KERJASAMA INTERNASIONAL INDONESIA DAN JEPANG: PERAN JEPANGTERHADAP ISU DEFORESTASI DI INDONESIA DALAM SKEMA ASIA FOREST PARTNERSHIP (AFP) PERIODE 2008-2011 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
oleh Starlet Rallysa Injaya 106083003674
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2013
i
ABSTRAK
Skripsi ini memaparkan kerjasama internasional antara pemerintah Indonesia dan Jepang terhadap isu deforestasi di Indonesia dalam skema AFP periode 2008-2011. Skripsi ini bertujuan menganalisa peran Jepang terhadap isu deforestasi di Indonesia dalam forum AFP, dan diharapkan mampu menjadi informasi yang bermanfaat. Skripsi ini menggunakan metode kualitatif yang dilakukan melalui studi kepustakaan dan menggunakan dokumen. Dalam proses penelitian, informasi yang telah diperoleh kemudian dikaitkan dengan konsep kerjasama internasional, pendekatan green thought, dan konsep kepentingan nasional. Hasil dari proses penelitian tersebut selanjutnya dipaparkan menjadi sebuah uraian penelitian. Dari penelitian skripsi ini diketahui bahwa kerjasama internasional Indonesia dan Jepang periode 2008-2011, dilatarbelakangi oleh deforestasi akibat penebangan liar. Hutan bagi Indonesia merupakan sebuah kawasan yang terdiri atas pepohonan dan tumbuh lebat, serta memiliki banyak manfaat sehingga perlu dijaga kelestariannya. Namun permasalahan penebangan liar di hutan Indonesia terus terjadi. Sehingga pemerintah Indonesia perlu menangani persoalan ini dengan cara melakukan kerjasama dengan Jepang melalui AFP, yang tertera dalam "The G8 Forest Expert Report on Illegal Logging" dan "The Second Round of The Expert Meeting on Illegal Logging." Peran Jepang sangat berpengaruh bagi Indonesia dengan alasan, membantu Indonesia bertujuan guna mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari di Asia. Dengan cara membentuk forum AFP dan menyumbangkan pinjaman dari ODA dan dana bantuan yang disalurkan melalui JICA. Dalam hal ini, Jepang memiliki kepentingan terhadap Indonesia. Disisi lain, Jepang memiliki motif ekonomi dalam isu lingkungan yaitu, membeli kayu dari Indonesia dengan mendapatkan harga murah. Karena Jepang merupakan negara pengimpor kayu terbesar di dunia. Selain itu, Jepang mempunyai kepentingan besar atas perkembangan industri HTI dan kertas Indonesia. Sebab, kebutuhan Jepang atas kayu dan dalam mendapatkan bubur kertas dari Indonesia selalu dimanfaatkan dalam membuat rumah dan kertas origami. Untuk itu, Jepang dan Indonesia diharapkan selalu menjaga hubungan baik agar menciptakan kondisi yang stabil dalam menangani penebangan liar dan menjaga wilayah jalur perdagangan antara Jepang dan Indonesia guna melancarkan motif politik internasional Jepang. Dikarenakan Jepang merupakan negara strategis bagi Indonesia dan sebagai salah satu investor terbesar bagi Indonesia.
Keywords: Jepang, Indonesia, deforestasi, Illegal Logging.
ii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum. Wr. Wb.
Bismillahirrohmanirrohim. Syukur Alhamdulillah atas kemudahan dan keberkahan yang Allah SWT telah berikan dalam proses pengerjaan skripsi dari awal hingga akhir. Selanjutnya, kepada beberapa orang yang sangat berkontribusi dan berpartisipasi dalam penyusunan skripsi saya, dengan tema “Kerjasama Internasional Indonesia dan Jepang: Peran Jepang Terhadap Isu Deforestasi di Indonesia dalam Skema Asia Forest Partnership (AFP) Periode 2008-2011.” Saya telah menyelesaikan skripsi saya sebagai persyaratan untuk melewati Sarjana Hubungan Internasional. Saat ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Untuk pembimbing skripsi saya Ibu Rahmi Fitriyanti, M.Si yang selalu memotivasi dan memberikan masukan, agar cepat terselesaikannya skripsi ini, serta mau mendengarkan keluh kesah saya. Terimakasih bu, semoga Allah SWT membalas dengan keberkahan dan kasih sayang atas apa yang telah ibu berikan kepada saya. 2. Untuk ketua Program Studi Hubungan Internasional, selaku penguji I Bapak Kiky Rizky, M.Si. dan penguji II Bapak M. Adian Firnas, M.Si. Terimakasih atas saran, hasil akhir (nilai) dan nasehatnya. Semoga Allah memberikan kelancaran rizki dan kesehatan untuk bapak sekeluarga. 3. Untuk Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Prof. Dr. Bahtiar Effendy terimakasih atas dukungannya kepada mahasiswa angkatan 2006. 4. Untuk semua dosen terbaik saya yang selalu mendukung saya dan waktu yang berharga untuk berdiskusi dengan saya, Bapak Drs. Armein Daulay, M.Si. Ibu Mutiara Pertiwi, MA. Bapak Agus Nilmada Azmi, M.Si. Ibu Friane Aurora, M.Si. dan Ibu Eva Mushoffah, MHSPS. 5. Untuk Kedua Orang Tua (R. Yoviara Indri Novianthy Koesoemadinegara dan M. Slamet Sanjaya Soenhadji, B.Sc) dan Ibu mertua saya (Hj. Muniah), yang selalu memberikan do’a, motivasi dan memberikan pelajaran tentang kesabaran. Terakhir terimakasih kepada nenek tercinta Ibu Sri Sundari
iii
Prawiroredjo, atas dukungan dan doanya. Ini adalah hadiah terbesar untuk kalian. 6. Untuk pendamping hidup saya Dedi Hermawan, S.Pd. Terimakasih atas dorongannya dan selalu berada disamping saya, jika saya senang maupun sedih, serta anak-anakku tersayang Ghaisan Azfaar Sabir dan Aurora Raisha Ramadhani, kalian adalah harta berharga bagi saya. 7. Saya juga ingin mengucapkan terimakasih untuk Bapak Jajang serta Bapak Amali, Ibu Novi, Ibu Lily, Ibu Dewi, Bapak Basri, Bapak Nanda dan semua Staf Departemen Hubungan Internasional, Universitas Islam Negeri Jakarta, atas dukungannya. 8. Untuk adik-adik tercinta Vanya, Adrian, Ivy, Audy, dan keponakan tersayang Adiva, terimakasih atas semangat, canda dan tawanya. 9. Terimakasih kepada teman-teman terdekat saya Rosi, Yeni, Susan, Chairunnisa, Maya ndut, Lilis, Nadya, Sabriela, Prila, Iyul, Ibnu, Ade, Ikhsan, Wibi, Firman, Viki, Kiss, Maya, Atik, Hazrina, Tia, Nanda, Hendrawan, Maman, Umam, Adnan, Alfian, dan Insan. Saya ingin berterimakasih kepada Puthi, Eno, Riri, Diana, Zaza, Awi, Ika Zahara, dan Fitriyanti atas partisipasinya dalam peminjaman buku-buku yang saya butuhkan. 10. Selanjutnya, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada tante Tetri, om Romi, Tasya, tante Lily, om Hakso, Zafira dan Abigael, atas doa, dukungan serta semangatnya. Yang, terakhir kepada keluarga besar Koesoemadinegara, keluarga besar Muntaha, keluarga besar Soenhadji, dr. Aisyah, Ph.D., ka Herni, om Amax, Nihal, Melur, dan Zuhdayanti terimakasih atas supportnya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Salam,
Starlet Rallysa Injaya
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK…………………………………………………………………
i
KATA PENGANTAR……………………………………………………..
ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………….
iv
DAFTAR AKRONIM……………………………………………………..
vi
DAFTAR TABEL………………………………………………………….
vii
DAFTAR GAMBAR…………………………………………….................
viii
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………….
ix
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………
1
A. Latar Belakang Masalah………………………………………
1
B. Pertanyaan Penelitian……………………………….…………
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………..
6
D
7
Tinjauan Pustaka………………………………………………
E. Kerangka Pemikiran…………………………………………... 9 E.1 Konsep Kerjasama Internasional………………..………..
9
E.2 Pendekatan Green Thought ………………....……..……..
10
E.3 Konsep Kepentingan Nasional ………………….……….. 11 F. Metode Penelitian……………………………………………… 13 G. Sistematika Penulisan…………………………………..……… 14
BAB II ISU PENEBANGAN LIAR DI INDONESIA……………………... 16 A. Kondisi Hutan di Indonesia………………….…………...…… 16 A.1 Kondisi Hutan di Kalimantan Timur..…..………………..
18
A.2 Kondisi Hutan di Kalimantan Barat……...……………….
23
A.3 Kondisi Hutan di Sumatera dan Papua…………………… 28 B. Penyebab Penebangan Liar di Indonesia...……….……..…….. 30 B.1 Faktor Ekonomi……………………………..…………... 31 B.2 Faktor Geografis………….……………………….…….. 33 B.3 Faktor Penegakan Hukum………..………….………….. 35
v
C. Respon Pemerintah Indonesia terhadap Penebangan Liar…….. 36 D. Kebijakan Pemerintah Indonesia terhadap Penebangan Liar di Hutan Indonesia………………………….. 38
BAB III PERAN JEPANG DALAM MENGATASI DEFORESTASI….. 42 A. Kerjasama Jepang di Bidang Lingkungan Hidup Internasional guna Mengatasi Penebangan liar di Lingkungan Internasional... 42 B. Keterlibatan Jepang pada Sustainable Forest Management….………………………………………………..
49
C. Tujuan Jepang dalam Mengatasi Penebangan Liar di Indonesia……………………………………………………. 50 D. Kepentingan Jepang dalam Mengatasi Penebangan Liar di Indonesia…………………………………. 52
BAB IV KERJASAMA INTERNASIONAL INDONESIA DAN JEPANG TERHADAP ISU DEFORESTASI DI INDONESIA DALAM SKEMA AFP PERIODE 2008-2011……………………………………………. A. Pertemuan Formal AFP……………………………………….
58 59
A.1 Fase Pertama Tahun 2002-2007.......................................... 60 A.2 Fase Kedua Tahun 2008-2011……………………………
66
B. Perkembangan Kesepakatan Indonesia dan Jepang
BAB V
dalam AFP periode 2008-2011……………………………….
69
C. Peran Jepang dalam Asia Forest Partnership (AFP)…………
71
PENUTUP………………………………………………………..
78
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….
x
LAMPIRAN-LAMPIRAN.…………………………………………………
xvi
vi
DAFTAR AKRONIM
AFP APL ASEAN A/R BRIK CDM CGI CIFOR FAO FLEG GDP HL HPT HP HPK HTI IGES IJ-EPA ITTC ITTO JBIC JFWIA JICA KALBAR KALTIM KPA KSA KTT LEI LIPI MRV ODA OECD PHKA RAPP REDD SDM SFM TNC WALHI WSSD WWF
Asia Forest Partnership Area Penggunaan Lain Association of Southeast Asian Nations Afforestaion and Reforestation Badan Revitalisasi Industri Kehutanan Clean Development Mechanism Consultative Group on Indonesia Center for International Forestry Research Food and Agriculture Organization Forest Law Enforcement and Governance Gross Domestic Product Hutan Lindung Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi Hutan Tetap yang dapat Dikonversi Hutan Tanaman Industri Intsitute for Global Environmental Strategies Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement International Tropical Timber Council The International Tropical Timber Organization Japan Bank for International Coorperation Japan Federation of Wood Industry Associations Japan International Coorperation Agency Kalimantan Barat Kalimantan Timur Kawasan Pelestarian Alam Kawasan Suaka Alam Konferensi Tingkat Tinggi Lembaga Ekolabel Indonesia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Measurement, Reporting and Verification Official Development Assistance Organisation for Economic Co-Operation and Development Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Riau Andalan Pulp and Paper Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation Sumber Daya Manusia Sustainable Forest Management The Nature Conservancy Wahana Lingkungan Hidup Indonesia World Summit on Sustainable Development World Wide Fund
vii
DAFTAR TABEL
Tabel II.A.1.1. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 79/Kpts-II/2001…
20
Tabel II.A.1.2. Rekapitulasi Luas Penutupan Lahan Dalam dan Luar Kawasan Hutan Berdasarkan Penafsiran Citra Satelit Landsat 7 Etm+2009/2010…………………………………....
21
Tabel II.A.1.3. Angka Deforestasi di Dalam dan di Luar Kawasan Hutan Per Provinsi Periode 2009/2010……………………….…...…
22
Tabel II.A.1.4. Luas Kawasan Hutan Kalimantan Timur………………….…
23
Tabel II.A.2.1. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 259/Kpts-II/2000…
24
Tabel II.A.2.2. Rekapitulasi Luas Penutupan Lahan Dalam dan Luar Kawasan Hutan Berdasarkan Penafsiran Citra Satelit Landsat 7Etm+2009/2010……...………………………….…..
25
Tabel II.A.2.3. Angka Deforestasi di Dalam dan di Luar Kawasan Hutan Per Provinsi Periode 2009/2010 (Ha/Th) ……………………
27
Tabel II.A.2.4. Luas Kawasan Hutan Kalimantan Barat…………………….
27
Tabel II.A.3.1. Luas Kawasan Hutan Papua……………………………...….
28
Tabel II.A.2.2. Luas Kawasan Hutan Sumatera…….……………………….
29
Tabel III.A.2. Penyaluran ODA Jepang melalui JICA “Baru”...………..…..
48
Tabel III.C.1. Daftar Proyek/Program Kerjasama Luar Negeri (Kln) di Lingkup Departemen Kehutanan Tahun 2008-2011……....
51
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.B.2.1. Peta Kalimantan Barat……………..………………………
34
Gambar II.B.2.2. Peta Kalimantan Timur……………….……………………
35
Gambar III.A.1. ODA (Bantuan Pembangunan Jepang yang Diberikan pada Tingkat Pemerintah Tahun 2002) …………………………
46
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 The G8 Forest Expert Report on Illegal Logging ……….…..... xvi Lampiran 2 The Second Round of The Expert Meeting on Illegal logging… xxv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki potensi besar terhadap hutan karena Indonesia pemilik hutan tropis terbesar ketiga di dunia setelah Brazil danRepublik Demokrasi Kongo. Hutan tropis dapat ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia seperti, pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, bahkan di Papua. Meskipun didera berbagai permasalahan seperti penebangan liar (illegal logging), penambangan, dan kebakaran hutan, Indonesia tetap bertahan untuk menjaga keragaman hutan.Manfaat hutan bagi Indonesia sedemikian rupa sehingga tetap harus dijaga kelestariannya.Hutan adalah salah satu ekosistem penyangga kehidupan, sehingga kelestariannya harus dijaga untuk memperkuat ekonomi rakyat dan mendukung perekonomian nasional demi kesejahteraan rakyat. Menurut data Informasi Umum Kehutanan, sebelum tahun 2000, produksi kayu bulat dari hutan alam dan hutan tanaman rata-rata per tahun sebesar 25,40 juta m3. Begitupun dengan keuntungan yang didapat Indonesia berupa devisa dari ekspor komoditas primer kehutanan pada tahun 1998 yang mencapai US $7.52 miliar.1 Tenaga kerja yang sangat menggantungkan kehidupan dari sektor kehutanan ini berjumlah 183 ribu orang. Namun, pada tahun 2000, produksi kayu bulat cenderung menurun akibat menurunnya sumber daya hutan.2 Hutan merupakan sebuah kawasan yang terdiri atas pepohonan dan tumbuhan lebat. Hutan dapat digunakan sebagai penampung karbondioksida, tempat tinggal fauna, dan tempat pelestarian tanah. Kawasan ini terhampar luas di seluruh dunia. 1
BoenM Purnama.Informasi Umum Kehutanan. Jakarta.2002, h. 10 BoenM Purnama. 2002, h. 10
2
1
Hutan yang terdapat di seluruh dunia ini beragam jenisnya. Salah satunya adalah hutan tropis di Indonesia. Hutan tropis adalah hutan yang berada dalam kawasan tropika yang mencakup tanah dan persembunyian bagi kekayaan hayati dunia (pepohonan, tumbuh-tumbuhan, serangga dan aneka satwa).Selanjutnya, hutan tropis memiliki beberapa karakteristik, yaitu, memiliki curah hujan tinggi, perbedaan temperature rendah, kelembaban udara tinggi, selalu hijau, dan tingkat keanekaragaman jenis tinggi.3 Sebagaimana kondisi hutan di Jepang yang memiliki hutan seluas 22,120 juta ha, sekitar 80% wilayah Jepang terdiri dari pegunungan yang berhutan-hutan. Namun, sebagai salah satu negara yang berpenduduk padat di dunia 120 juta jiwa pada tahun 2005, luas perkapita hutan di Jepang sangatlah rendah. Dengan kehidupan yang sangat membutuhkan kayu pertahun untuk masyarakat Jepang, kebutuhan kayu mencapai 87 juta m3 yang sebagian besar untuk membangun rumah dan 68 juta m3 untuk import.4 Dilihat dari kemampuan Jepang dalam mencukupi kebutuhan domestiknya sangat berpengaruh pada kondisi hutan di Jepang. Sebagian besar kawasan hutan Jepang terletak di daerah pegunungan, di mana fungsi hutan dan sebagai kawasan perlindungan sangat diutamakan. Selain itu, biaya dan harga kayu yang cenderung meningkat, menjadi salah satu alasan Jepang untuk memenuhi kebutuhan kayu dari import. Kondisi geografis di Jepang sangat mempengaruhi hutan di negaranya. Seperti, gempa bumi, terdapatnya lereng-lereng, memiliki pegunungan, dan memiliki empat musim. Sama halnya di Indonesia, hutan di Jepang sangat membutuhkan perhatian. Akan tetapi, kebutuhan kayu domestik maupun import setiap tahunnya terus meningkat, yang disertai adanya penebangan liar,
3
http://www.ut.ac.id/html/suplemen/biol4413/materi_02.swf. Diakses pada 4 Juli 2013 Forestry Agency (2008). AnnualReport on Trensd In Forest And Forestry Fiscal Year 2007 (Summarry) 4
2
penurunannya keanekaragaman hayati, dan pengurangan dampak perubahan iklim.5 Penebangan liar juga telah menjadi praktek yang mendominasi hutan di Indonesia sehingga menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi Indonesia. Pada zaman rezim Soeharto, keuntungan perekonomian dihasilkan dari eksploitasi hutan dan untuk mendapat dukungan politik tidak luput dari pemanfaatan alokasi kawasan hutan.6 Namun, sangat disayangkan bahwa masyarakat umum sendiri tidak merasakan adanya keuntungan yang diperoleh dari tebangan kayu untuk wilayah yang ditebang, yang sebelumnya sangat berharap keuntungan dapat diraih dari hasil tebangan di wilayah mereka. Selain itu, kerugian seperti kekurangan air tanah, potensi banjir, dan penyakit yang berasal dari hama tanaman dapat terjadi jika penebangan liar tidak dihentikan. Faktor kebutuhan import yang sangat tinggi, sehingga membuat Jepang menjadi lebih mementingkan bagaimana menjaga hubungan dengan negara lain dalam isu kehutanan. Seperti diberitakan dalam Metro TV News adanya kontribusi Jepang dalam penanaman pohon di Taman Nasional Way Kambas.7 Menurut Zain,penebangan liar adalah kegiatan penebangan, pengangkutan, dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari pemerintah setempat.8 Penebangan liar ini berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional yang dilihat dari besarnya kapasitas industri kayu dalam negeri, konsumsi lokal, lemahnya penegakan hukum, pemutihan kayu yang terjadi di luar kawasan tebangan, dan wilayah perbatasan Indonesia. Penebangan liar ini juga kerap terjadi di perbatasan wilayah Republik Indonesia, meliputi penebangan kayu dan membuka jalan untuk mengangkut hasil 5
Forestry Agency (2008), Summarry Luca Tacconi dkk. Proses Pembelajaran Promosi Sertifikasi Hutan dan Pengendalian Penebangan Liar di Indonesia. CIFOR. 2004, h.10 7 http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/02/04/3/128360/Jepang-BantuPelestarian-Hutan-Indonesia. Diakses pada 1 April 2013 8 Alam Zain. Hukum Lingkungan Konservasi Alam. Jakarta. 1997, h. 66-67 6
3
kayu dari penebang liar.9 Dengan adanya berbagai konvensi mengenai lingkungan yang membahas sumber daya hutan dan beberapa negara yang memiliki kepentingan atas wilayah hutan, Indonesia merupakan salah satu negara yang berperan dalam beberapa pembentukan kerjasama dengan negara lain yang menyangkut penebangan liar. Di sisi lain, untuk menjaga keutuhan hutan, Indonesia merupakan negara yang tergolong aktif dalam berbagai konvensi mengenai lingkungan. Pada September 2001, Indonesia merupakan tuan rumah dari Deklarasi Bali, yang menggambarkan keprihatinan belahan dunia terhadap maraknya penebangan liar dan perdagangan ilegal kayu-kayu hasil penebangan liar atau yang dikenal dengan nama ForestLawEnforcementandGovernance (FLEG).10 Deklarasi Bali ini merupakan komitmen pertama komunitas internasional dalam memerangi perdagangan kayu ilegal. Deklarasi yang ditandatangani dalam konferensi tingkat Menteri Asia Timur tentang "penegakan hukum dan pengelolaan kehutanan ("Forest Law Enforcement and Government East Asia Ministerial Conference") yang dilaksanakan di Bali, Indonesia, 11 -13 September 2001, juga memasukkan komitmen negara dari belahan dunia lain, seperti, Amerika dan Eropa. Tujuan dari Deklarasi ini adalah memperkuat usaha-usaha untuk mengatasi kejahatan kehutanan, terutama illegal logging, yang bersisian dengan perdagangan liar dan korupsi, baik itu di tingkat nasional, bilateral, regional, maupun internasional, yang mempunyai pengaruh besar pada lemahnya penegakkan hukum. Deklarasi ini juga menginginkan adanya aksi nyata kerja sama antarpenegak hukum, baik di dalam negeri maupun antar negara untuk mencegah pergerakan kayu ilegal.11 Dengan waktu yang bersamaan dalam rangka mempromosikan Sustainable Forest Management (SFM) dan sebagai tindak lanjut FLEG, maka perlu di bentuk Asia Forest Partnership (AFP) yang merupakanforum kemitraan sukarelaserta 9
Suryadi. Ilegal Loging di Perbatasan Indonesia Malaysia. Majalah Kehutanan Indonesia. Edisi X. Departemen Kehutanan. Jakarta. 2008, h. 26-27 10 http://arsip.gatra.com//2003-07-07/artikel.php?id=29675. Diakses pada 20 Maret 2013 11 http://www.cifor.org/ilea/_pf/1/_ref/ina/instruments/Law_Enforcement/antikorupsi/corrupti on-interco.htm. Diakses pada 20 Maret 2013
4
merupakan kolaborasi dari berbagai pihak yang meliputi lembaga pemerintah, organisasi antarpemerintah dan organisasi nonpemerintah dalam rangka mempromosikan hutan lestari di Asia. Tujuan AFP adalah mempromosikan pengelolaan hutan lestari di Asia, yang didasari atas adanya deforestasi di Indonesia. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, AFP memiliki peran-peran penting dalam isu lingkungan, yaitu, pengelolaan hutan lestari dan penebangan liar. Oleh karena itu, Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki permasalahan dalam hutan harus dapat bekerjasama dengan Jepang melalui AFP sebagai salah satu sarana untuk mengatasi penebangan liar. Dengan adanya AFP, diharapkan kepentingan Indonesia dalam tataran internasional guna mengatasi penebangan liar sedikitnya dapat tercapai serta dapat menekan kerugian akibat praktik penebangan liar. 12 Pada dasarnya, hubungan Indonesia dengan AFP lebih ditekankan untuk mendapatkan sumber-sumber pengetahuan yang baru dengan cara berbagi informasi dengan negara anggota yang lain. Kajian ini akan difokuskan pada permasalahan penebangan liar di wilayah Kalimantan Timur dan Barat. Latar belakang kajian ini didasari olehkerjasama internasional Indonesia dan Jepang terhadap isu deforestasi dalamskema AFP. Selain itu, penelitian ini juga akan memfokuskan analisanya terhadap seberapa besar peran Jepang dalam forum AFP guna mengatasi penebangan liar di Indonesia. 12
http://www.dephut.go.id/INFORMASI/UMUM/KLN/AFP.htm. Diakses pada 24 Maret
2013
5
B. Pertanyaan Penelitian Sebagaimana yang sudah dikemukakan di atas, maka pertanyaan penelitian adalah: 1. “Bagaimana perkembangan kesepakatan antara Indonesia dan Jepang dalam forum Asia Forest Partnershipperiode 2008-2011?” 2. “Seberapa besar peran Jepang dalam forum Asia Forest Partnership?” Pertemuan AFP dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahun 2002-2007 pada tahap pertama dan tahun 2008-2011 pada tahap kedua. Fokus kajian dalam skripsi ini dibatasi pada kerjasama internasional Indonesia dan Jepang terhadap isu deforestasi di Indonesia dalam skema AFP di Indonesia periode 2008-2011 yaitu tahap kedua. Alasan utama fokus penelitian diawali pada tahun 2008 karena tahun itu merupakan tahap berkelanjutan yang dipelopori oleh Indonesia dan Jepang pada tahap pertama.Sebab, pada masa sebelumnya, telah terjadi penebangan liar yang merugikan Indonesia. Untuk membatasi pembahasan kerjasama dalam forum AFP di kedua negara, skripsi ini mengakhiri periodisasi waktu pada tahun 2011 yang menunjukkan telah terlaksananya beberapa pertemuan antara mitra atau anggota AFP, termasuk Indonesia dan Jepang.
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah, pertama, mendeskripsikan perkembangan kesepakatan kerjasama internasional antara Indonesia dan Jepang terhadap isu deforestasi di Indonesia dalam skema AFP periode 2008-2011. Dan seberapa
6
besarperan Jepang dalam forum AFP.Dikarenakan hutan Indonesia merupakan hutan alam sangat penting dalam ekonomi politik global sehingga dapat meningkatkan kredibilitasnya di mata dunia internasional. Penelitian ini untuk memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan ekonomi politik internasional khususnya menangani deforestasi yang diakibatkan penebangan liar di Indonesia.Dan memberikan masukan kepada pihak-pihak tertentu dalam menangani dan menanggulangi penebangan liar.
D. Tinjauan Pustaka Skripsi ini diinspirasikan oleh tesis sebelumnya yang ditulis Ferrytilova Noviar berjudul “Hubungan AFP dengan Indonesia dalam Mengatasi Masalah Illegal Logging(2002-2006).” Noviar menjelaskan bagaimana organisasi AFP ini berkontribusi di Indonesia. Dengan melihat visi, misi, keanggotaan, struktur, dan mekanisme serta ruang lingkup AFP.13 Termasuk terbentuknya AFP pada tahun 2002-2006 dan menciptakan dinamika perkembangan AFP dalam menangani kasus illegal logging di Indonesia. Dalam tesis ini juga menyatakan upaya internal pemerintah Indonesia, upaya eksternal Indonesia, serta kerjasama dengan negara lainnya. Penelitian lain tentang penebangan liar di Indonesia dilakukan oleh Kusmayadi dalam tesisnya yang berjudul “Aktivitas Illegal Loggingdan Pengendaliannya
di
Perbatasan
Kalimantan
Barat-Sarawak.”
Kusmayadi
menggambarkan bahwa aktivitas illegal logging dilihat dari fakta-fakta yang 13
Ferrytilova Noviar. Hubungan AFP dengan Indonesia dalam Mengatasi Masalah Illegal Logging periode 2002-2006. Tesis Program Pascasarjana Universitas Indonesia. 2007, h. 25
7
terungkap melalui hasil operasi penertiban yang dilakukan oleh aparat kepolisian maupun yang telah diproses sampai ke pengadilan.14 Dengan demikian, illegallogging dapat dibuktikan dengan melakukan pengamatan melalui pos-pos pemeriksaan lintas batas yang ada di sepanjang perbatasan, seperti, Entikong dan Nanga Badau. Selain Noviar dan Kusmayadi, Siti zulfah juga membahas illegal logging dalam skripsinya yang berjudul “Tindak Pidana Illegal Logging Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif.” Zulfah menyatakan bahwa masalah illegal logging erat kaitannya dengan hukum islam karena dua hal, yaitu, halal (yang menguntungkan) dan haram (yang membahayakan).15 Illegal logging merusak bagi manusia dan sebaliknya, serta sanksi hukuman yang patut diberikan pada pelaku illegal logging yang dinyatakan pada perusakan terhadap lingkungan, yakni, hudud atau ta’zir. Selain itu, skripsi ini juga memperjelas dengan menggunakan dalil-dalil Al-Qur’an Q.S. ALmaidah, ayat 33 dan 38 sebagai landasan Hukum Islam. Dari ketiga penelitian yang telah dipaparkan di atas,terdapat perbedaan dengan penelitian ini. Ketiganya lebih difokuskan pada cara menangani aktivitas illegal loggingyang dilakukan oleh pemerintah dan berdasarkan hukum islam. Bedanya, skripsi ini difokuskan pada perkembangan kesepakatan kerjasama internasional antara Indonesia dan Jepang dalamskema AFP, serta peran Jepang dalam AFP.
14
Kusmayadi. Aktivitas Illegal Logging dan Pengendaliannya di Perbatasan Kalimantan Barat-Sarawak. Tesis Program Pascasarjana Universitas Indonesia. 2003, h. 93 15 Siti Zulfah. Tindak Pidana Illegal Logging Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif. Skripsi UIN Syarif Hidayatullah. 2006, h. 6 dan 7
8
E. Kerangka Pemikiran Analisa mengenai perkembangan kesepakatan antaraIndonesia dan Jepang terhadap isu deforestasi di Indonesia dalam skema AFP periode 2008-2011, kemudian menganalisa peran Jepang dalam AFP dengan menggunakan konsep kerjasama internasional, pendekatan green thought, dan konsep kepentingan nasional. E.1 Konsep Kerjasama Internasional Kerjasama internasional adalah hubungan antar bangsa yang memiliki tujuan berlandaskan
kepentingan
nasional.Kerjasama
internasional
terdiri
dari,
seperangkat aturan, prinsip-prinsip, norma-norma, dan prosedur pembuat keputusan yang mengatur jalannya rezim internasional.16 Selain itu, negara-negara yang melakukan kerjasama internasional mempunyai tujuan bersama atau kepentingan bersama karena, ketidakberadaan kepentingan bersama di dalam kerjasama, merupakan sesuatu hal yang mustahil.17 Menurut Matthew Paterson dalam palgrave advances in environmental international politics, bahwa “politik lingkungan internasional dalam kerjasama internasional adalah ketergantungan antar aktor akan membuat mereka melakukan kerjasama untuk menghadapi ancaman yang akan membahayakan kepentingan nasional.”18Adanya kesamaan tujuan atau kepentingan bersama merupakan hal yang wajib dalam kerjasama. Tidak dipungkiri bahwa dalam kerjasama selalu 16
Lisa L. Martin. Noe liberalism dalam Internasional Relations Theories:Discipline and Diversity. 2007, h. 11 17 Robert O Keohane.Neoliberal Institutionalsm: a Prespektif in World Politics, in Internasional Instituions and State Power. 1989, h.3 18 Michele M. Betsill et al. ed. Palgrave Advances in International Environmental Politics. 2006, h. 63
9
terdapat benturan kepentingan masing-masing negara, namun selama tujuan bersama dapat disepakati, sejauh itu pula kerjasama dapat terus berjalan. Kerjasama internasional menurut Thomas Bernauer di kutip dari Kate O’Neill, change the behavior or states and other actors in the direction intended by the cooperating parties, solve the environmental problem they are designed to solve and do so in an efficient and equitable manner. Dalam kerjasama internasional negara akan cenderung mengubah sikapnya sesuai dengan kesepakatan yang diambil dalam institusi kerjasama tersebut, kemudian para aktor akan memfokuskan masalah apa yang akan mereka hadapi dan merencanakan skema penyelesaian masalah yang dianggap paling efektif (terj. pen-).19 Sependapat dengan pemahaman di atas bahwa keefektifan suatu kerjasama internasional, dilihat sebagaimana negara merespon suatu insentif guna memenuhi kewajiban perjanjian internasionaldengan adanya mekanisme, seperti bantuan lingkungan dan transfer teknologi dapat mengembangkan kapasitas negara guna mencapai tujuan yang telah disepakati dalam perjanjian.20
E.2 Pendekatan GreenThought Pendekatan greenthought (ekologisme) lebih kepada isu atau penyelesaian masalah terhadap lingkungan hidup. Seperti, sistem negara kontemporer, struktur utama perekonomian global, dan institusi global dilihat sebagai bagian dari permasalahan.21 Greenthought merupakan hubungan antarmanusia dengan alam secara luas dan menjelaskan krisis lingkungan hidup yang sedang terjadi saat ini. Berbagai fase hubungan ini perlu disusun agar kehidupan yang akan datang lebih aman.22
19
Kate O’Neill. The Environment and Internasional Relations. 2009, h. 106 Kate O’Neill. 2009, h. 119 21 Jill Steans dan Lloyd Pettiford. Hubungan Internasional Perspektif dan Tema.2009, h. 381 22 Jill Steans dan Lloyd Pettiford. 2009, h. 382 20
10
Asumsi dasar dari GreenThought sendiri, adalah:23 1. Para pemerhati lingkungan menekankan institusi global atau kerjasama internasional, contohnya: nilai penting komunitas global sama diakuinya hakhak dari komunitas lokal untuk mengontrol sumber daya mereka sendiri dan keberadaan komunitas-komunitas bioregional sebagai bangunan dasar bagi bumi. 2. Para pemerhati lingkungan berangkat dari pemahaman implisit bahwa kebiasaan manusia masa kini dalam beberapa pengertian tidak sejalan dengan dunia nonmanusia. 3. Para pemerhati lingkungan menekankan bahwa kebiasaan manusia zaman modern, yang didukung oleh sistem kepercayaan, filsafat, dan antroposentris, sebagai penyebab utama dari krisis lingkungan hidup. Penebangan liar juga mengakibatkan berkurangnya sumber mata air di daerah hutan.Masyarakat bergantung pada air bersih dan air untuk irigasi.Oleh karena itu, makin berkurangnya lapisan tanah yang subur, maka banjir di Indonesia tidak dapat dicegah.24 Akibatnya, tanah yang subur semakin berkurang dan menyebabkan musnahnya flora dan fauna. Penyebab krisis lingkungan sangat perlu dibatasi, karena konsumsi sumber daya alam tidak pernah berhenti yang didasari oleh kebebasan dan keegoisan. Permasalahan ini erat kaitannya terhadap pemikiran politik hijau atau biasa disebut dengan Teori Hijau, dimana memiliki dampak cukup besar terhadap politik global. Tujuan dari Teori Hijau ini untuk memberikan penjelasan tentang krisis ekologi yang dihadapi manusia dan memberikan pengertian bahwa krisis ini menjadi persoalan utama.25 E.3 Konsep Kepentingan Nasional Selanjutnya penelitian ini menggunakan konsep kepentingan nasional. Melihat kerjasama internasional erat hubungannya dengan kepentingan nasional dari beberapa negara yang bersangkutan. Menurut Miroslav Nincic dikutip dari Jemadu, terdapat tiga asumsi dasar dalam mendefinisikan kepentingan nasional. Pertama, kepentingan itu harus 23
Jill Steans dan Lloyd Pettiford. 2009, h. 395-396 Kenneth Chomitz. Laporan Penelitian Kebijakan Bank Dunia“Dalam sengketa?Perluasan, pertanian, pengentasan kemiskinan dan lingkungan di hutan tropis”.Jakarta. 2007, h. 3 25 Burchill dan Linklater. Teori-teori Hubungan Internasional. Bandung.1996, h. 361 24
11
bersifat vital sehingga pencapaiannya menjadi prioritas utama pemerintah dan masyarakat. Kedua, kepentingan tersebut harus berkaitan dengan lingkungan internasional atau pencapaian kepentingan nasional dipengaruhi oleh lingkunga internasional. Ketiga, kepentingan nasional harus melampaui kepentingan yang bersifat partikularistik dari individu, kelompok atau lembaga pemerintahan sehingga menjadi kepedulian masyarakat secara keseluruhan.26 Untuk mencapai target serta tujuan yang diinginkan suatu negara haruslah mengacu pada kepentingan nasional demi menciptakan kebijakan luar negeri yang baik. Dapat dilihat dari kekuasaan dan negara, menurut Subadi adalah mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang bertentangan satu dengan yang lainnya supaya tidak menjadi hal yang membahayakan. Sehingga tercapai kegiatan yang sesuai tujuan dari masyarakat menuju tujuan nasional.27 Begitu pula yang dikatakan oleh Joseph Frankel bahwa kepentingan nasional merupakan aspirasi dari suatu negara yang bisa direalisasikan secara operasional pada suatu kebijakan dalam upaya mencapai suatu tujuan yang spesifik.28 Menurut Olthon kepentingan nasional adalah kesejahteraan ekonomi, militer keamanan dan pertahanan sebagai hasil dari bentuk adanya kepentingan nasional. Sehingga kepentingan nasional dapat menjadi arahan para pembuat keputusan dalam merumuskan kebijakan luar negeri dan konsep dasar untuk menjelaskan perilaku luar negeri seperti yang terdapat dalam kamus hubungan internasional.29 Solusi untuk penebangan liar sudah menjadi masalah di tataran internasional, dengan adanya kerjasama internasional diharapkan dapat menjaga kelestarian hutan. Demikian konsep kerjasama internasional, pendekatan Green Thought dan
26
Aleksius Jemadu. Politik Global Dalam Teori Dan Praktek. Yogyakarta. 2008, h. 67 Subadi. Penguasaan dan Penggunaan Tanah Kawasan Hutan. Jakarta. 2010, h. 10 28 Joseph Frankel. Internasional Relations in Changing World. 1998, h. 93 29 Jack C. Plano&Olton R. Kamus Hubungan Internasional. Bandung. 1999, h. 11 27
12
konsep kepentingan nasional yang saling berkesinambungan kiranya relevan untuk membahas lebih lanjut mengenai Kerjasama Internasional Indonesia dan Jepang terhadap isu deforestasi di Indonesia dalam skema Asia Forest Partnership Periode 2008-2011.
F. Metode Penelitian Metode penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif analitis. Pengertian deskriptif analitis, yaitu suatu cara untuk membuat gambaran dan situasi yang menjadi bagian permasalahan yang akan diteliti.30 Menurut Creswell, pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada fenomena sosial dan masalah manusia. Selanjutnya, untuk memaparkan tentang kerjasama pemerintah Indonesia dan Jepang dalam forum AFP menangani isu penebangan liar di Indonesia periode 2008-2011 menggunakan penelitian kualitatif. Pengumpulan data diambil dari beberapa dokumen untuk lebih memahami kerjasama Pemerintah Indonesia dan Jepang dalam forum Asia Forest Partnership (AFP) menangani masalah penebangan liar di Indonesia, seperti, buku rujukan (textbook), artikel dalam buku, skripsi atau tesis, jurnal, surat kabar, majalah dan internet. Sumber tersebut diperoleh dari berbagai perpustakaan misalnya, perpustakaan utama Universitas Islam Negeri Jakarta, perpustakaan utama Universitas Indonesia,perpustakaan Ali Alatas Kementrian Luar Negeri, perpustakaan
30
John W. Creswell. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches.1994, h. 148
13
Kementrian Kehutanan, perpustakaan Harian KOMPAS, perpustakaan Nasional Republik Indonesia, perpustakaan Center for International Forestry Research (CIFOR), dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Dalam penelitian kualitatif ini meliputi empat tipe, yaitu: observasi, wawancara, dokumen, dan gambar visual yang masing-masing mempunyai fungsi dan keterbatasan.31 Dari keempat tipe tersebut penelitian menggunakan dokumen atau arsip yang dikeluarkan dari Kementrian Kehutanan, Kementrian Luar Negeri dan Kementrian Lingkungan Hidup Jepang untuk mengetahui permasalahan yang tercatat dalam dokumen atau arsip yang menjadi topik dalam penelitian ini. Diharapkan dengan adanya studi kepustakaan dan dokumen atau arsip dari beberapa Kementrian dapat membantu analisa penelitian ini
mengupas dan
membahas lebih dalam mengenai peran Jepang dalam AFP dalam mengatasi deforestasi di Indonesia.
G. Sistematika Penulisan BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Pertanyaan Penelitian C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian D. Tinjuan Pustaka E. Kerangka Pemikiran E.1 Konsep Kerjasama Internasional E.2 Green Thought E.3 Konsep Kepentingan Nasional F. Metode Penelitian G. Sistematika Penulisan
BAB II
ISU PENEBANGAN LIAR DI INDONESIA A. Kondisi Hutan di Indonesia A.1 Kondisi Hutan di Kalimantan Timur
31
John W. Creswell.1994, h. 147
14
A.2 Kondisi Hutan di Kalimantan Barat A.3 Kondisi Hutan di Sumatera dan Papua B. Penyebab Penebangan Liar di Indonesia B.1 Faktor Ekonomi B.2 Faktor Geografis B.3 Faktor Penegakan Hukum C. Respon Pemerintah Indonesia terhadap Penebangan Liar D. Kebijakan Pemerintah Indonesia terhadap Penebangan Liar di Hutan Indonesia BAB III PERAN JEPANG DALAM MENGATASI DEFORESTASI A. Kerjasama Jepang di Bidang Lingkungan Hidup Internasional guna Mengatasi Penebangan liar di Lingkungan Internasional B. Keterlibatan Jepang pada Sustainable Forest Management C. Tujuan Jepang dalam Mengatasi Penebangan Liar di Indonesia D. Kepentingan Jepang dalam Mengatasi Penebangan Liar di Indonesia BAB IV KERJASAMA INTERNASIONAL INDONESIA DAN JEPANG TERHADAP ISU DEFORESTASI DI INDONESIA DALAM SKEMA AFP PERIODE 2008-2011 A. Pertemuan Formal AFP A.1 Fase Pertama Tahun 2002-2007 A.2 Fase Kedua Tahun 2008-2011 B. Perkembangan Kesepakatan Indonesia dan Jepang dalam AFP periode 2008-2011 C. Peran Jepang dalam Asia Forest Partnership (AFP) BAB V
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
15
BAB II ISU PENEBANGAN LIAR DI INDONESIA
Bab ini memaparkan isu penebangan liar di Indonesia,khususnya kondisi hutan di Kalimantan Barat (Kalbar) dan Kalimantan Timur (Kaltim). Alasan utama memilih kawasan Kaltim dan Kalbar adalah, besarnya kasus deforestasi terbesar terjadi di Kalimantan dan Sumatera dengan persentase masing-masing 36,32 persen dan 24,49 persen, sedangkan Papua menjadi wilayah paling kecil dalam menyumbang deforestasi yaitu sebesar 4,15 persen.32Sehingga deforestasi di Indonesia sampai pada tahun 2009 terkonsentrasi di Kalimantan dan Sumatera. Bab ini selanjutnya dibagi menjadi empat sub-bab, yang diawali dengan pembahasan kondisi hutan di Indonesia. Dilanjutkan, mengenai faktor-faktor penebangan liar di Indonesia.Lalu, respon pemerintah Indonesia terhadap penebangan liar.Terakhir, mengenai kebijakan pemerintah Indonesia terhadap penebangan liar di hutan Indonesia.
A. Kondisi Hutan di Indonesia Hutan Indonesia merupakan salah satu hutan tropis terluas di dunia dan ditempatkan pada urutan kedua dalam hal tingkat keanekaragaman hayati. Selain itu, hutan di Indonesia telah memberikan manfaat berlipat ganda, baik secara
32
Forest Watch Indonesia.Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode Tahun 2000-2009.
16
langsung maupun tidak langsung untuk memenuhi hampir semua kebutuhan manusia.33 Akan tetapi, pertumbuhan sektor kehutanan yang sangat pesat dan menggerakkan ekspor bagi perekonomian pada tahun 1980 dan 1990 telah mengorbankan hutan. Karena, praktik kegiatan kehutanan yang tidak lestari. Untuk itu, Indonesia tercatat sebagai negara penyumbang emisi terbesar ketiga di dunia yang berasal dari penebangan hutan yang berlebihan dan cenderung liar dengan laju deforestasiataukerusakan hutan mencapai dua juta ha per tahun.34 Selama sepuluh tahun terakhir, kerusakan hutan di Indonesia mencapai dua juta hektar per tahun. Selain kebakaran hutan, penebangan liar adalah penyebab terbesar kerusakan hutan. Bahkan, lebih dari itu, penebangan liar ini telah melibatkan banyak pihak dan dilakukan secara terorganisir serta sistematis. Kejahatan ini bukan hanya terjadi di kawasan produksi, melainkan juga sudah sampai ke kawasan hutan lindung dan taman nasional.35 Istilah penebangan liar (illegal logging) mulai umum digunakan di Indonesia sejak pertengahan tahun 1990-an yang diidentikan pada perusakan hutan.Log berartikan batang kayu atau kayu gelondongan dan Logging artinya menebang kayu dan membawa ke tempat gergajian.36 Penebangan liar ini memanfaatkan lahan hutan masyarakat setempat. Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan kekayaan yang 33
http://fwi.or.id/wp-content/uploads/2013/02/PHKI_2000-2009_FWI_low-res.pdf. Diakses pada 4 Juli 2013 34 http://www.hariansumutpos.com/2012/09/42591/hutan-ini-milik-siapa#axzz2Y81sSfoi. Diakses pada 4 Juli 2013 35 http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/04/23/problematika-penanganan-illegallogging-di-indonesia-357287.html. Diakses pada 4 Juli 2013 36 Kbbi.web.id. Diakses pada 4 Juli 2013
17
dikuasai oleh negara dan bermanfaat bagi umat manusia serta dijaga kelestariannya. Selain itu, sebagai salah satu penentu sistem penyanggah kehidupan manusia dan sumber kemakmuran rakyat, maka keberadaannya harus dipertahankan secara optimal.37 Kerusakan hutan di Indonesia terus menurun setiap tahunnya.Pada tahun 2003-2006 sebesar 1,15 juta hektar dan terus menurun menjadi 0,45 juta hektar pada tahun 2009-2011. Meskipun masih banyak yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk menurunkan aktivitas pengerusakan hutan yang salah satunya dilakukan akibat penebangan liar.38 Dapat
disimpulkan
bahwa
kondisi
hutan
di
Indonesia
sudah
memprihatinkan.Hal ini dapat dilihat dari adanya kerusakan hutan dengan cara penebangan liar yang telah menjadi akar permasalahan pada rendahnya kesadaran masyarakat terhadap masalah lingkungan.
A.1 Kondisi Hutan di Kalimantan Timur Propinsi di Pulau Kalimantan bagian timur atau disebut Kalimantan Timur dengan luas wilayah 245.237,8 km2 atau seluas satu setengah kali Pulau Jawa dan Madura, terletak antara 113’44” Bujur Timur dan 119’00” Bujur Barat serta diantara 4’24” Lintang Utara dan 2’25” Lintang Selatan. Dengan adanya pemekaran wilayah, propinsi terluas kedua setelah Papua ini dibagi menjadi sembilan kabupaten, empat kota, seratus sembilan kecamatan, dan 1.299 desa atau kelurahan.39
37
Undang-Undang R.I No 41 Tahun 1999. Tentang Kehutanan dan Illegal Logging. Dikutip dalam Undang-Undang RI No.19 Tahun 2004. 2010, h. 3 38 http://reddkaltim.or.id/2012/08/kliping-berita-kemenhut-laju-deforestasi-indonesiamenurun.html. Diakses pada 29 April 2013 39 Bappeda Propinsi Kalimantan Timur
18
Pulau yang beribu kota Samarinda ini, memiliki beberapa suku bangsa, yaitu, Daya (Tunjung, Kenyah, Medang, Benuaq, Bahau, Penihing, Punang, Basap), Kutai dan Banjar.40 Lebih dari empat per lima wilayah daerah ini tertutup hutan tropis yang memiliki berbagai macam tumbuh-tumbuhan, seperti, meranti, ulin, keriung, damar, kayu kapur, lempung, agatis, rotan, bambu, dan pakis.41 Hasil utama dari hutan tropis ini adalah kayu karena merupakan salah satu sumber sektor perekonomian dan memiliki nilai ekspor yang cukup tinggi. Guna mencegah makin luasnya penghabisan hutan, maka pemerintah makin giat menggalakkan pembangunan dengan wawasan lingkungan.42 Hutan Kalimantan Timur pada tahun 2002 mencapai luas sekitar 19,54 juta hektar yang terbagi menjadi enam jenis hutan, yaitu, hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi, dan hutan pendidikan atau penelitian. Dari enam jenis hutan
tersebut, yang terluas adalah hutan tetap dan hutan produksi terbatas
masing-masing 4.597.809 ha dan 5.181.422 ha. Sedangkan daerah atau kota yang mempunyai kawasan hutan terluas adalah kabupaten Kutai Timur dengan luas area hutan mencapai 3,58 juta ha atau 18,32 persen dari luas hutan Kalimantan Timur. 43 Kawasan hutan adalah hutan tetap dimana pada wilayah tertentu yang ditunjuk dan ditetapkankeberadaannya oleh pemerintah. Untuk itu, wilayah Kalimantan Timur memiliki tiga fungsi, yaitu, sebagai kawasan hutan konservasi, 40
Redaksi Ensiklopedi Indonesia. Ensiklopedi Indonesia Seri Geografi “Indonesia”. 1990, h.
173 41
Redaksi Ensiklopedi Indonesia. 1990, h. 175 Redaksi Ensiklopedi Indonesia. 1990, h. 175 43 Redaksi Ensiklopedi Indonesia. 1990, h. 175 42
19
kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan produksi. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 79/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001 menunjuk kawasan hutan dan perairan di Provinsi Kalimantan Timur dengan rincian sebagai berikut:44 Tabel II.A.1.1. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 79/Kpts-II/200145
No
Penunjukan/Fungsi Hutan
Luas
Hutan Kawasan Konservasi a.Cagar Alam b.Taman Nasional c.Hutan Wisata Alam
173.272 ha 1.930.076 ha 61.850 ha
2
Hutan Lindung
2.751.702 ha
3
Hutan Produksi Terbatas
4.612.965 ha
4
Hutan Produksi
5.121.688 ha
1
14.651.553 ha
JUMLAH
Sumber: Keputusan Menteri Kehutanan No. 79/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001.
Indonesia memiliki beberapa kategori kawasan hutan tetap yang terdiri atas, Kawasan Suaka Alam (KSA), Kawasan Pelestarian Alam (KPA), Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi Terbatas (HPT), dan Hutan Produksi (HP). Sedangkan Hutan Tetap yang dapat dikonversi (HPK) dan Area Penggunaan Lain (APL), juga dimasukkan sebagai salah satu kategori untuk melihat sejauh mana perubahan kawasan hutan di Indonesia.46Dapat dilhat pada tabel dibawah ini:
44
Heru Soekarno. Statistik Kehutanan BP2HP Kaltim. 2009, h. 15 Data tersebut diolah berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 79/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001 46 Boen M Purnama. Informasi Umum Kehutanan. 2002, h. 19 45
20
Tabel II.A.1.2. Rekapitulasi Luas Penutupan Lahan Dalam dan Luar Kawasan Hutan Berdasarkan Penafsiran Citra Satelit Landsat 7 Etm+2009/2010.47 KAWASAN HUTAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR
TOTAL HPK
HUTAN TETAP
Jumlah
Jumlah
%
1,824.7
13,491.8
69.2
5,970.9
242.9
6,213.8
31.9
-
5,293.2
1,442.0
6,735.2
34.5
402.9
-
402.9
139.9
542.8
2.8
2,196.4
2,984.0
-
2,984.0
3,030.4
6,014.4
30.8
-
-
-
-
-
-
-
-
4,613.0
5,121.7
14,651.1
14,651.1
4,855.1
19,506.2
100.0
KSAKPA
HL
HPT
HP
Jumlah
A. Hutan
1,761.2
2,606.6
4,374.0
2,925.3
11,667.0
-
11,667.0
- Hutan Primer
1,415.6
1,970.3
2,145.6
439.5
5,970.9
-
- Hutan Sekunder
307.2
625.8
2,224.0
2,136.3
5,293.2
- Hutan Tanaman *
38.5
10.5
4.5
349.5
B. Non Hutan
403.5
145.2
238.9
-
-
2,164.7
2,751.7
C. Tidak ada data TOTAL
APL
-
Sumber: • Hasil Penafsiran citra Landsat 7 ETM+ liputan tahun 2009/2010, Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (Data Hasil Pencermatan per Desember 2011) • Data digital kawasan hutan dan perairan berdasarkan SK Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan, TGHK serta mutasi kawasan hutan per Desember 2010,
Perubahan kawasan hutan di Indonesia khususnya Kaltim pada tahun 2011, telah ditetapkan bahwa KSA dan KPA memiliki luas 2,164.7 ha, HL memiliki luas 2,751.7 ha, selanjutnya HPT seluas 4,613.0 ha, HP memiliki luas 5,121.7 ha, terakhir adalah APL seluas 4,855.1 ha.Dapat disimpulkan bahwa Hutan Produksi memiliki kawasan yang lebih luas dibandingkan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
47
Data tersebut telah diolah berdasarkan Buku Statistik Kehutanan Tahun 2011,Kementerian Kehutanan, Jakarta, Juli 2012
21
Luas kawasan hutan di Kaltim tidak terlepas dari deforestasiyang terjadi pada provinsi tersebut, hal ini salah satunya diakibatkan oleh penebangan liar dan dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel II.A.1.3. Angka Deforestasi di Dalam dan di Luar Kawasan Hutan Per Provinsi Periode 2009/2010 (Ha/Th).48 KAWASAN HUTAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR KSAKPA A. Hutan Primer
HPK
HUTAN TETAP HL
HPT
HP
Jumlah
APL
TOTAL
Jumlah
54.4
255.0
248.0
101.8
759.2
-
759.2
24.6
783.8
640.5
2,586.8
8,248.6
24,875.2
36,351.1
-
36,351.1
5 6,420.8
92,771.9
C. Hutan Lainnya *
-
-
24.0
2,758.6
2 ,782.6
-
2,782.6
597.6
3,380.2
TOTAL
20,794.9
2,841.8
8,520.6
27,735.6
39,893.0
-
39,893.0
57,042.9
96,935.9
B. Hutan Sekunder
Sumber: • Data digital Hasil Penafsiran citra Landsat 7 ETM+ liputan tahun 2005/2006 dan 2009/2010, Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (Data Hasil Pencermatan per Desember 2011) • Data digital kawasan hutan dan perairan berdasarkan SK Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan, TGHK serta mutasi kawasan hutan per Desember 2010,
Sesuai dengan tabel diatasdeforestasi atau pengrusakan yang terjadi di Kaltim, pada KSA dan KPA seluas 20,794.9 m2, HL 2,841.8 m2, HPT8,520.6 m2, dan HP 27,735.6 m2. Dapat disimpulkan bahwa luas kawasan Hutan Produksi berkurang sangat tinggi dibandingkan dengan kawasan yang lainnya.
48
Data tersebut telah diolah berdasarkan Buku Statistik Kehutanan Tahun 2011, Kementerian Kehutanan, Jakarta, Juli 2012
22
TabelII.A.1.4. Luas Kawasan Hutan Kalimantan Timur49 Kalimantan Timur Tahun 2001 Tahun 2009-2010 Tahun 2011
Luas (ha) 14,651,553 ha 14,651,100 ha 14,611,207 ha
Deforestasi 453,000 ha 39,893 ha -
Persentase 3.10 0.27
Pada tahun 2001, luas kawasan hutan tetap di Indonesia, khususnya Kalimantan Timur mencapai 14,651,553 ha,50 dan mengalami penurunan luas kawasan pada tahun 2009 sampai 2010 menjadi 14,651,100 ha51akibat adanya penurunan luas kawasan hutan sebesar 453,000 ha atau dengan persentase sebesar 3,10 persen. Namun, melihat kondisi kawasan hutan pada tahun 2011 itu, maka telah terjadideforestasi atau kerusakan hutan yang mencapai 39,893 ha atau dengan persentase sebesar 0.27 persen.52 Sehingga, dapat disimpulkan bahwa luas kawasan hutan Indonesia mengalami perubahan yang cukup banyak dan semakin berkurangnya kawasan hutan tetap Indonesia, dimana jumlah luas kawasan pada tahun 2011 adalah 14,611,207 ha.
A.2 Kondisi Hutan di Kalimantan Barat Selanjutnya adalah propinsi di bagian barat Pulau Kalimantan, yaitu Kalimantan Barat yang memiliki luas daratan Indonesia sekitar 544.150,07 km2, serta memiliki delapan kabupaten, satu kotamadya, 128 kecamatan, dan 1.444
49
Data tersebut telah diolah dari beberapa sumber yaitu, SK Menteri Kehutanan No. 79/KptsII/2001 dan Bambang.Statistik Kehutanan Indonesia 2011. Jakarta. 2012, h. 17,24 50 Bambang Soepijanto. Statistik Kehutanan Indonesia Tahun 2011. 2012, h. 11 51 Bambang Soepijanto. 2012, h. 17 52 Bambang Soepijanto. 2012, h. 24
23
desa, terletak antara 108’30” Bujur Timur dan 114’10” Bujur Barat serta diantara 2’05” Lintang Utara dan 3’05” Lintang Selatan.53 Wilayah Kalimantan Barat memiliki tiga fungsiyang sama dengan Kalimantan Timur, yaitu, sebagai kawasan hutan konservasi, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan produksi.54 Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 259/Kpts-II/2000 pada 23 Agustus 2000 menunjuk kawasan hutan dan perairan di Provinsi Kalimantan Barat dengan rincian sebagai berikut: Tabel II.A.2.1. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 259/Kpts-II/200055
No
Penunjukan/Fungsi Hutan Kawasan Suaka Alam dan KAwasan Pelestarian Alam (darat dan perairan) a.Cagar Alam b.Taman Nasional c.Taman Wisata Alam d.Suaka Alam Laut • Dataran • perairan
1
Luas
153.275 ha 1.252.895 ha 29.310 ha
2
Hutan Lindung
22.215 ha 187.885 ha 2.307.045 ha
3
Hutan Produksi Terbatas
2.445.985 ha
4
Hutan Produksi
2.265.800 ha
5
Hutan produksi yang dapat dikonversi
514.350 ha 9.178.760 ha
JUMLAH
Sumber: SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 259/Kpts-11/2000. Tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan di wilayah Provinsi Kalimantan Barat.
53
Sukaryadi. Potret Hutan Provinsi Kalimantan Barat. 2011, h. 1 http://humasplanologi.dephut.go.id/sekdit/index.php?option=com_content&view=article&i d=102&Itemid=109&lang=en. Diakses pada 4 Juli2013 55 Data tersebut diolah berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 259/Kpts-II/2000 pada 23 Agustus 2000 54
24
Kalimantan Barat memiliki beberapa suku bangsa, yaitu, Melayu dan Daya (Iban, Kendayan, Kayan, Embaloh, Taman, Kantuk, Bugau, Bukat, Punan). Wilayah Kalimantan Barat 65 persen terdiri dari hutan dan termasuk hutan tropis. Oleh sebab itu, kawasan hutannya kaya akan berbagai jenis kayu. Beberapa nama kayu hasil hutan tropis ini adalah ramin, meranti, jelutung, medang, dan kayu besi.56 Indonesia memiliki beberapa kategori kawasan hutan tetap yang terdiri atas, Kawasan Suaka Alam (KSA), Kawasan Pelestarian Alam (KPA), Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi Terbatas (HPT), dan Hutan Produksi (HP). Sedangkan Hutan Tetap yang dapat dikonversi (HPK) dan Area Penggunaan Lain (APL)juga dimasukkan sebagai salah satu kategori untuk melihat sejauh mana perubahan kawasan hutan di Indonesia.57 Tabel II.A.2.2. Rekapitulasi Luas Penutupan Lahan Dalam dan Luar Kawasan Hutan Berdasarkan Penafsiran Citra Satelit Landsat 7 Etm+2009/2010.58 KAWASAN HUTAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT
TOTAL
HUTAN TETAP
Jumla h
HPK
APL
Jumlah
%
KSAKPA
HL
HPT
1,253.2
1,793.9
1,831.3
765.9
5,644.3
279.2
5,923.6
780.0
6,703.6
46.0
- Hutan Primer
957.3
966.5
575.0
24.5
2,523.4
3.4
2,526.7
18.4
2,545.1
17.5
- Hutan Sekunder
295.9
827.4
1,256.3
732.9
3,112.4
275.9
3,388.3
758.0
4,146.3
28.5
-
-
-
8.5
8.5
-
8.5
3.6
12.2
0.1
A. Hutan
- Hutan Tanaman*
HP
Jumlah
56
Redaksi Ensiklopedi Indonesia. Ensiklopedi Indonesia seri Geografi”Indonesia”. 1990, h.
154 57
Boen M Purnama. Informasi Umum Kehutanan. 2002, h. 19 Data tersebut telah diolah berdasarkan Buku Statistik Kehutanan Tahun 2011, Kementerian Kehutanan, Jakarta, Juli 2012. 58
25
B. Non Hutan C. Tidak ada data TOTAL
315.3
513.2
614.7
1,499.9
2,943.1
235.1
3,178.2
4,690.8
7,868.9
54.0
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1,568.6
2,307.0
2,446.0
2,265.8
8,587.4
514.4
9,101.8
5,470.8
14,572.5
100.0
Sumber: • Hasil Penafsiran citra Landsat 7 ETM+ liputan tahun 2009/2010, Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan(Data Hasil Pencermatan per Desember 2011) • Data digital kawasan hutan dan perairan berdasarkan SK Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan, TGHK serta mutasikawasan hutan per Desember 2010,
Perubahan kawasan hutan di Indonesia khususnya Kalbar pada tahun 2011, telah ditetapkan bahwa KSA dan KPA memiliki luas 1,568.6 ha, HL memiliki luas 2,307.0 ha, selanjutnya HPT seluas 2,446.0 ha, HP memiliki luas 2,265.8 ha, terakhir adalah APL seluas 5,470.8 ha. Dapat disimpulkan bahwa Area Penggunaan lain memiliki kawasan yang lebih luas dibandingkan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Luas kawasan hutan di Kalbar tidak terlepas dari deforestasi yang terjadi pada provinsi tersebut, hal ini salah satunya diakibatkan oleh penebangan liardapat dilihat pada tabel dibawah ini:
26
Tabel II.A.2.3. Angka Deforestasi di Dalam dan di Luar Kawasan Hutan Per Provinsi Periode 2009/2010 (Ha/Th).59 KAWASAN HUTAN PROVINSI HUTAN TETAP
KALIMANTAN BARAT
KSA-
HL
KPA A. Hutan Primer B. Hutan Sekunder
HP
Jumlah
APL
TOTAL
Jumlah
-
-
-
-
-
-
-
-
-
17781.4
4,984.8
12,226.7
14,340.3
32,333.3
5,714.0
38,047.3
56,500.8
94,548.1
C. Hutan Lainnya * TOTAL
HPT
HPK
-
-
-
-
-
-
-
-
-
17 781.4
4,984.8
12,226.7
14,340.3
32,333.3
5,714.0
38,047.3
56,500.8
94,548.1
Sumber: • Data digital Hasil Penafsiran citra Landsat 7 ETM+ liputan tahun 2005/2006 dan 2009/2010, Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan(Data Hasil Pencermatan per Desember 2011) • Data digital kawasan hutan dan perairan berdasarkan SK Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan, TGHK serta mutasi kawasan hutan per Desember 2010,
Sesuai dengan tabel diatas bahwa deforestasi atau pengrusakan yang terjadi di Kaltim, pada KSA dan KPA seluas 17,781.4 m2, HL 4,984.8 m2, HPT 12,226.7 m2, dan HP 14,340.3 m2. Dapat disimpulkan bahwa luas KSA dan KPA berkurang sangat tinggi dibandingkan dengan kawasan yang lainnya. Tabel II.A.2.4. Luas Kawasan Hutan Kalimantan Barat60 Kalimantan Barat
Luas (ha)
Deforestasi
Persentase
Tahun 2000
9,178,760 ha
591,360 ha
6.44
Tahun 2009-2010
8,587,400 ha
32,333 ha
0.38
Tahun 2011
85,550,67 ha
-
-
59
Data tersebut telah diolah berdasarkan Buku Statistik Kehutanan Tahun 2011, Kementerian Kehutanan, Jakarta, Juli 2012 60 Data tersebut telah diolah dari beberapa sumber yaitu, SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 259/Kpts-11/2000 danBambang.Statistik Kehutanan Indonesia 2011. Jakarta. 2012, h. 16,23
27
Pada tahun 2000, kawasan hutan di Kalimantan Barat mencapai 9,178,760 ha61 sampai pada akhirnya menurun hingga menjadi 8,587,400 ha62 pada tahun 2009 hingga 2010. Penurunan luas kawasan hutan inisebesar 591,360 ha atau dengan persentase sebesar 6.44 persen. Namun, pada tahun 2011, luas kawasan hutan di Kalimantan Barat tidak terlalu berkurang banyak dibanding tahun 2009. Yaitu, mencapai 85,550,670 ha. Berkurangnya luas kawasan hutan tetap diakibatkan karena adanya deforestasi atau kerusakan hutan sebesar 32,333 ha atau dengan persentase sebesar 0.38 persen.63
A.3 KondisiHutan di Sumatera dan Papua Kawasan yang menjadi wilayah deforestasi selain Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat adalah kawasan hutan Sumatera dan Papua.sehingga dapat dilhat pada tabel berikut: Tabel II.A.3.1. Luas Kawasan Hutan Papua64 Papua Tahun 1999 Tahun 2009-2010 Tahun 2011
Luas (ha) 42,224,840.ha 24,626,600ha 24,605,607ha
Deforestasi 17,598,240ha 20,993 ha -
Persentase 41.68 0.08 -
Pada tahun 1999, kawasan hutan di Papua mencapai 42,224,840 ha65 sampai pada akhirnya menurun hingga menjadi 24,626,600 ha66 pada tahun 2009 hingga 2010.Penurunan luas kawasan hutan ini sebesar 17,598,240 ha atau dengan 61
Bambang Soepijanto. Statistik Kehutanan Indonesia Tahun 2011. 2012, h. 11 Bambang Soepijanto. 2012, h. 16 63 Bambang Soepijanto. 2012, h. 23 64 Datatersebut telah diolah dari beberapa sumber yaitu, SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.891/Kpts-II/1999 14 Oktober 1999 dan Bambang.Statistik Kehutanan Indonesia 2011. Jakarta. 2012, h. 11, 19, 25 65 Bambang Soepijanto. Statistik Kehutanan Indonesia Tahun 2011. 2012, h. 11 66 Bambang Soepijanto. 2012, h. 19 62
28
persentase sebesar 41.68 persen. Namun, pada tahun 2011, luas kawasan hutan di Papua tidak terlalu berkurang banyak dibanding tahun 2009. Yaitu, mencapai 24,605,607 ha. Berkurangnya luas kawasan hutan tetap diakibatkan karena adanya deforestasi atau kerusakan hutan sebesar 20,993 ha atau dengan persentase sebesar 0.08 persen.67 Tabel II.A.3.2. Luas Kawasan Hutan Sumatera68 Sumatera Tahun 2005 Tahun 2009-2010 Tahun 2011
Luas (ha) 3,742,120 ha 3,689,000ha 3,659,337 ha
Deforestasi 53,120ha 29,663 ha -
Persentase 1.42 0.8 -
Pada tahun 2005, kawasan hutan di Sumatera mencapai3,742,120 ha69 sampai pada akhirnya menurun hingga menjadi3,689,000ha70 pada tahun 2009 hingga 2010. Penurunanluas kawasan hutan inisebesar 53,120ha atau dengan persentase sebesar 1.42 persen. Namun, pada tahun 2011, luas kawasan hutan di Sumatera tidak terlalu berkurang banyak dibanding tahun 2009. Yaitu, mencapai 3,659,337 ha. Berkurangnya luas kawasan hutan tetap diakibatkan karena adanya deforestasi atau kerusakan hutan sebesar29,663 ha atau dengan persentase sebesar 0.8 persen.71 Dapat disimpulkan bahwa penyumbang deforestasi paling kecil di Indonesia pada tahun 2011 adalah wilayah Papua sebesar 0.08 persen, jika dibandingkan
67
Bambang Soepijanto. 2012, h. 25 Data tersebut telah diolah dari beberapa sumber yaitu, SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 44/Menhut-II/2005 16 Februari 2005dan Bambang.Statistik Kehutanan Indonesia 2011. Jakarta. 2012, h. 11, 14, 21. 69 Bambang Soepijanto. Statistik Kehutanan Indonesia Tahun 2011. 2012, h. 11 70 Bambang Soepijanto. 2012, h. 14 71 Bambang Soepijanto. 2012, h. 21 68
29
dengan wilayah Sumatera, Kaltim dan Kalbar. Oleh karena itu, Kalbar menjadi penyumbang deforestasi paling besar di Indonesia pada tahun 2011 sebesar 0.38 persen.
B. Penyebab Penebangan Liar di Indonesia Masalah penebangan liar sudah menjadi berita umum yang merupakan tindakan tidak baik yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi akan tetapi penebangan liar ini sudah menjadi pekerjaan rutinitas dan kini bukan lagi merupakan masalah kehutanan saja. Melainkan menjadi persoalan multipihak yang dalam penyelesaiannya membutuhkan banyak pihak terkait.72 Ada tiga jenis penebangan liar, pertama, yang dilakukan oleh orang atau kelompok orang, baik yang tinggal di sekitar hutan atau bahkan jauh berada dari hutan yang tidak mempunyai hak legal untuk menebang pohon. Kedua, dilakukan oleh perusahaan kehutanan yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam izin yang dimilikinya. Ketiga, dilakukan oleh orang-orang tertentu yang mengatasnamakan rakyat.73 Banyaknya kasus penebangan liar di Indonesia telah berdampak negatif terhadap beberapa faktor, seperti, faktor ekonomi, faktor geografis, dan faktor penegakan hukum. Adapun penjelasan yang akan dipaparkansebagai berikut:
72
http://www.wwf.or.id/?18621/Jon-Hendra-mantan-pembalak-liar-yang-menjadi-salahseorang-anggota-TPU/ . Diakses pada 4 Juli 2013 73 http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/04/23/problematika-penanganan-illegallogging-di-indonesia-357287.html . Diakses pada 4 Juli 2013
30
B.1 Faktor Ekonomi Kerugian dari sisi ekonomi yang disebabkan penebangan liar tidak sedikit. Setiap tahunnya diperkirakan negara Indonesia mengalami kerugian sebesar Rp35 triliun sampai Rp45 triliun. Jumlah ini selalu meningkat setiap tahunnya.74 Di bawah himpitan ekonomi yang semakin berat, tidak jarang mereka menerima tawaran sebagai penebang liar dengan upah yang cukup menarik. Namun, lain dengan kenyataan yang ada, upah mereka diberikan hanya sedikit. Sedangkan keterlibatan mereka sebagai pemain lapangan semakin memperkuat illegal loggersyang pada akhirnya mereka tergantung dengan satu sistem yang telah diciptakan para pelaku mafia penebangan liar.75 Selain kerugian yang dialami masyarakat setempat, negara juga mengalami kerugian yang cukup besar hingga Rp83 milyaratau setara dengan Rp30,3 triliun.76Guna
menanggulangi
permasalahan
ini,
diharapkan
pemerintah
membentuk satuan petugas pemberantasan mafia hutan karena Instruksi Presiden tidak berpengaruh bagi pelaku penebangan liar. Salah satu penyebab sulitnya memberantas penebangan liar adalah faktor wilayah perbatasan, karena kuatnya kerjasama antara masyarakat dan para mafia dari Malaysia dalam mendukung kelancaran aktifitas penebangan liar. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Barat menengarai, pembalakan liar di wilayah perbatasan Kalimantan Barat yang
74
Siti Zulfah. Tindak Pidana Illegal logging Perspektif Hukum Islam dan Hukum positif. 2006, h. 43 75 http://www.kabarindonesia.com/beritaprint.php?id=20081028134227. Diakses pada 4 Juli 2013 76 http://news.detik.com/read/2010/07/29/153943/1409542/10/-negara-rugi-rp-83-miliar-hariakibat-illegal-logging. Diakses pada 29 April 2013
31
selanjutnya diselundupkan ke wilayah Serawak, Malaysia, hingga saat ini masih terus terjadi. Modus yang digunakan adalah memanfaatkan kayu hasil tebangan saat pembersihan lahan untuk perkebunan kelapa sawit skala besar yang dikelola pihak swasta.77 Di sisi lain, adanya oknum aparat yang menjadi cukong kayu. Sebagimana di beritakan oleh harian kompas bahwa Brigjen Nata Kesuma mendapat amanah langsung dari Kapolri Jenderal Sutanto, menyusul pencopotan jabatan Kapolda Brigjen Zainal yang dinilai gagal memberantas pembalakan liar. Zainal dicopot Kapolri, bersama tiga perwira lainnya terkait kasus penebangan hutan secara liar di Kabupaten Ketapang. Zainal dituding turut melindungi cukong kayu. Nata Kesuma pun diberi amanah untuk memangku jabatan Kapolda Kalbar, sejak 15 April 2008 lalu. Kapolri
mengeluarkan
keputusan
perpindahan
jabatan
bernomor
Skep/133/IV/2008/15 April 2008 tentang Pemberhentian dari dan Pengangkatan dalam Jabatan di lingkungan Polri.78 Hal ini terjadi karena kurangnya rasa nasionalisme bangsa Indonesia dan merupakan akibat dari kesenjangan ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat di perbatasan dibandingkan masyarakat di bagian wilayah Indonesia lainnya serta masyarakat di negara tetangga Malaysia.
77
http://regional.kompas.com/read/2008/11/03/20481589/Pembalakan.Liar.di.Perbatasan.Kal bar-Serawak.Masih.Terjadi. Diakses pada 5 Juli 2013 78 http://regional.kompas.com/read/2008/04/29/21550833/Kapolda.Kalbar.Pertaruhkan.Jabata n. Diakses pada 5 Juli 2013
32
B.2 Faktor Geografis Kalimantan Barat merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara asing. Dilihat dari banyaknya garis perbatasan,maka hal ini merupakan salah satu faktor terjadinya praktik penebangan liar. Sebab,banyaknya patok-patok perbatasan yang
dibuat telah
bergeser masuk ke wilayah Indonesia atau bahkan hilang sama sekali. Misalkan, perbatasan darat dengan Malaysia yang sering hilangnya patok-patok pembatasan wilayah. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus berupaya menyelesaikan lintas batas Indonesia dan Malaysia dengan membuat kebijakan atau undangundang batas wilayah negara.79 Adapun batas-batas wilayah Kalimantan Barat, yaitu, bagian utara adalah serawak (Malaysia), bagian selatan adalah Laut Jawa dan Kalimantan Tengah, bagian timur adalah Kalimantan Timur, dan terakhir bagian barat adalah Laut Natuna dan selat Karimata.80 Adanya jalan darat antara Kalimantan dan Malaysiatelah menjadi salah satu perantara untuk menjalankan kegiatan yang ilegal.Sebab, hanya perlu menempuh sekitar enam sampai delapan jam perjalanan dari Pontianak menuju Entinkong dan terakhir sampai di Kuching, Malaysia. Hal ini dapat dilihat dalam peta berikut:81
79
Awani Irewati. Jurnal Penelitian Politik:Sikap Indonesia dalam Menghadapi Kejahatan Lintas Negara: Illegal logging di Kalbar dan Kaltim. 2005, h. 94 80 http://www.kalbarprov.go.id/profil.php?id=9. Diakses pada 29 April 2013 81 http://www.pu.go.id/publik/ind/produk/info_peta/infrastruktur/flash/html/images/kabupaten /kalbar/kalbarrtrw.htm. Diakses pada 29 April 2013
33
GambarII.B.2.1. Peta Kalimantan Barat
Sumber: Bappeda Propinsi Kalimantan Barat dan RTRWN
Selain Kalimantan Barat, sebelah utara Kalimantan Timur berbatasan dengan Sabah (Malaysia), bagian timur berbatasan dengan Laut Sulawesi dan Selat Makasar, dan sebelah selatan berbatasan dengan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.82Hal ini dapat dilihat dalam peta berikut:83
82
http://www.kaltimprov.go.id/halaman-20-kaltim-green.html. Diakses pada 29 April 2013 http://www.pu.go.id/publik/ind/produk/info_peta/infrastruktur/flash/html/images/kabupaten /kaltim/kaltimrtrw.htm. Diakses pada 29 April 2013 83
34
Gambar II.B.2.2. Peta Kalimantan Timur
Sumber: Bappeda Propinsi Kalimantan Timur dan RTRWN
B.3 Faktor Penegakan Hukum Permasalahan mendasar yang dihadapi bagi penegak hukum dalam memberantas penebangan liar termasuk dalam kategori kejahatan yang terorganisir adalahadanya pemeran utama (intelectual actor) dan pelaku materialnya.84 Pelaku material adalah buruhpenebang kayu yang hanya dibayar dengan upah kecil. Sedangkan pemeran utama adalah pemilik modal (cukong),
84
http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/04/23/problematika-penanganan-illegallogging-di-indonesia-357287.html. Diakses pada 4 Juli 2013
35
pembeli, penjual, dan TNI atau Polri, aparat pemerintah, maupun tokoh masyarakat.85 Kerja sama yang dilakukan secara rapi dan teratur ini telah membuat praktik penebangan liar sulit diberantas. Oleh karena itu, pemeran utama sangat susah ditangkap dan hanya pelaku biasa seperti penebang kayu, pengemudi, atau nakhoda kapal yang dapat ditangkap.86 Minimnya hukuman bagi pelaku kejahatan kehutanan dalam praktik ini, menimbulkan suatu pemikiran bahwa tidak adanya ketidakadilan. Disatu sisi, masyarakat kecil yang mengambil sejumlah kecil hasil hutan untuk penyambung hidupnya. Disisi lain, mereka pun terlibat dalam membantu penebangan kayu dan dikenakan sanksi hukuman penjara. Sementara itu, para mafia penebangan kayu liar dan pihak-pihak lain justru mendapatkan keuntungan yang sangat besar dan mereka dibiarkan bebas dan menikmati hasil kejahatannya.87
C. Respon Pemerintah Indonesia terhadap Penebangan Liar Awal tahun 1970 hutan sudah mulai dimanfaatkan dan dipersiapkan untuk masa yang akan datang. Hal ini tampak dari pendapatan devisa yang besar, peningkatan pendapatan, mendorong pembangunan wilayah, dan penyerapan tenaga kerja. Sedangkan jika dilihat dari segi negatif, hutan sudah menjadi hutan yang rusak karena tingginya deforestasi atau pengrusakan hutan dengan sengaja, 85
http://regional.kompas.com/read/2008/04/29/21550833/Kapolda.Kalbar.Pertaruhkan.Jabata n. Diakses pada 5 Juli 2013 86 http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/04/23/problematika-penanganan-illegallogging-di-indonesia-357287.html. Diakses pada 4 Juli 2013 87 http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/04/23/problematika-penanganan-illegallogging-di-indonesia-357287.html. Diakses pada 4 Juli 2013
36
kecilnya kawasan hutan primer, serta luasnya hutan.Disamping itu, terdapatnya ketidakstabilan
perekonomian
rakyat
atau
ketimpangan
sosial
ekonomiantarkelompok masyarakat maupun antarwilayah.88 Penebangan liar sudah sangat memprihatinkan setelah berbagai upaya perlindungan dan pengamanan hutan, baik itu berupa operasi pengamanan fungsional, gabungan dan operasi khusus, serta berbagai tim koordinasi yang bekerjasama melibatkan semua instasi terkait dan keahlian, namun tetap saja pemerintah tidak dapat menanganinya. Selain itu juga adanya keterbatasan dilingkungan pemerintah menjadi faktor penghambat
penanggulangan
penebangan
liar.
Yaitu,
kurangnya
sarana
danprasarana operasi pengamanan hutan yang diperlukan serta sedikitnya tenaga atau aparat yang mau menindaklanjuti permasalahan ini. Oleh karena itu, meningkatnya penebangan liar telah menyebabkan tingginya penyelundupan kayu ke luar negeri khususnya negara tetangga. Kegiatan liar ini telah sampai ke kawasan hutan yang seharusnya tidak boleh tersentuh manusia seperti, kawasan-kawasan konservasi dan hutan lindung (taman-taman nasional Tanjung Puting dan Gunung Leuser).89 Kerugian pun tidak dapat dihindari dan berdampak kepada semua aspek misalnya, ekonomi, sosial budaya, politik, lingkungan. Dan yang paling memberatkan adalah hilangnya kesempatan untuk memanfaatkan keragaman hasil hutan di masa depan. Selain itu, kerusakan lingkungan tidak dapat 88
Nursanti.Deforestasi dan Degradasi Hutan di Indonesia. Jurnal Agronomi Vol. 12 No. 1, Januari - Juni 2008, h. 54 89 http://regional.kompas.com/read/2009/10/26/18431034/17.726.Hektar.Hutan.TNGL.Rusak. Diakses pada 5 Juli 2013
37
disembunyikan. Yang paling utama adalah berubahnya iklim, menurunnya produktivitas lahan, erosi, banjir, dan terakhir hilangnya keanekaragaman hayati. Pemerintahtelahmengusahakan untuk menangani kasus penebangan liar dengan cara operasi hutan (pemberantasan penebangan liar) sejak dikeluarkannya PP No. 28 tahun 1985 tentang perlindungan hutan, antara lain, operasi terpadu Wira Wanan Praja (Naraja) yang melibatkan unsur-unsur militer, pembentukan TKPH dan TKK, operasi bersama bea cukai, dan operasi-operasi rutin kehutanan di daerah. Akan tetapi, tetap saja operasi tersebut tidak menghentikan kegiatan penebangan liar.90 Pemerintah hanya melihat penebangan liar sebagai permasalahan biasa. Seharusnya, pemerintah dapat lebih tegas lagi terhadap pola-pola kegiatan penebangan liar yang sering terjadi, yang didukung dengan jalur pengangkutan kayu, terdapatnya pelaku atau pemeran penebangan liar, dan terciptanya sistem jual beli. Sehingga perputaran ini dapat saling menguntungkan bagi masyarakat.
D. Kebijakan Pemerintah Indonesia terhadap Penebangan Liar di Hutan Indonesia Dalam sidang Consultative Group on Indonesia(CGI) di Jakarta tanggal 1-2 Februari 2000, pemerintah Indonesia menyampaikan delapan butir komitmen menyangkut penebangan liar, salah satunya adalah, to invite cooperation and coordination of other minister to Impose strong measures against illegal logger especially those operating with in national park, and closure of illegal sawmills.91 Strategi penanggulangan penebangan liar yang dapat dilakukan antara lain:92 1. Komitmen nasional: Perlu dibangun suatu komitmen nasional untuk menanggulangi penebangan liar dan bentuk-bentuk perusakan sumber daya hutan lainnya.Sebab, hutan berperan sebagai sistem penyangga kehidupan serta memiliki dampak kerusakan sumber daya yang luas. 90
Boen M Purnama dan Heru Bazuki. Masalah Penebangan Liar dari Prespektif Pemerintah. 2000, h. 4 91 http://storage.jak-stik.ac.id/ProdukHukum/kehutanan/lok_08-090800.pdf. Diakses pada 4 Juli 2013 92 Boen M. Purnama dan Heru Bazuki. 2000, h. 9-10
38
2. Meningkatkan keterlibatan masyarakat: Pengendalian penebangan liar perlu dilakukan dengan melibatkan masyarakat secara langsung dalam pengelolaan hutan. Bukan sebagai buruh, tetapi sebagai bagian penting. 3. Penegakkan Hukum dan Penataan Kelembagaan: melakukan upaya penegakan hukum secara tegas dan konsukuen sebagai dasar pengelolaan sumber daya hutan yang menjamin terselenggaranya kelestarian fungsi dan manfaat. 4. Peningkatan Kapasitas Pengamanan Hutan: selain meningkatkan intensitas pengamanan, petugas pengaman perlu dilengkapi dengan fasilitas kerja serta insentif berupa gaji dan tunjangan asuransi. Kecanggihan teknologi dapat dijadikan saran untuk mendeteksi pencurian melalui satelit yang akan dapat membantu dalam mendeteksi kecenderungan dan perubahan yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut. Departemen Kehutanan telah bekerjasama dengan Mabes Tentara Nasional untuk membasmi penebangan liar pada 15 Januari 2003.Kerjasama ini diperluas untuk Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan konservasi alam (PHKA) dan Mabes
Angkatan
Laut.Yang
dihasilkan
dari
kerjasama
ini
adalah
keberhasilanmenangkap delapan kapal angkutan yang mengandung 26.564m3 log. Tahun 2002 telah ditangkap lima kapal yang mengangkut 2.500 m3 dan delapan kapal 26.564 m3 senilai Rp63,6 miliar.93 Berdasarkan Instruksi Presiden No. 4 tahun 2005 tentang pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya,94pemerintah memiliki tindakan tegas terhadap setiap orang atau badan yang melakukan penebangan liar sehingga dapat terselesaikan dengan cepat untuk memberantas penebangan kayu ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia.
93
Tunas,vol.1,No.8,Februari2003.Dikutip dalam Herman Hidayat. Politik Lingkungan:Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Reformasi. 2011, h. 190 94 Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 4 Tahun 2005. Tentang pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia.
39
Selanjutnya, inpres itu juga ditujukan kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, yakni dengan cara mengkoordinasi instasi terkait, melaporkan setiap tiga bulan kepada presiden atas pelaksanaan pemberantasan penebangan kayu secara liar, meningkatkan penegakan hukum dengan kepolisian dan kejaksaan, memberikan
insentif bagi pihak-pihak yang berjasa dalam
menangani kasus ini, menginstrusikan kepada aparat bea cukai untuk meningkatkan pengawasandan penindakan terhadap lalu lintas kayu serta melakukan instruksi ini dengan penuh tanggung jawab. Akan tetapi, peraturan tersebut tidak membuat takut para pelaku penebang liar. Kesimpulannya, jika peraturan tertulis tidak membuat jera para pelaku, maka harus ada tindakan langsung dari pemerintah atau aparat-aparat yang berada dalam sektor kehutanan. Kalimantan Timur memiliki cara sendiri untuk memperbaiki kerusakan hutan yang diakibatkan oleh aktivitas penebangan liar. Seperti, kebijakan yang di terapkan oleh Pemerintah Kalimantan Timur sebagai upaya menjaga lingkungan dan menghijaukan kembali Kalimantan Timur (Kaltim). Kebijakan tersebut dinamakan Kaltim Green untuk periode 2010-2013 yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat Kaltim, baik itu secara ekonomi, sosial, budaya, dan kualitas lingkungan hidupnya. Kedua, mengurangi ancaman bencana ekologi, seperti, banjir, kebakaran, dan penebangan liar di seluruh wilayah Kaltim. Ketiga, mengurangi terjadinya pencemaran dan pengerusakan kualitas ekosistem darat, air, dan udara. Keempat, meningkatkan pengetahuan dan melembagakankesadaran dikalangan masyarakat Kaltim akan pentingnya sumber daya terbaharukan dan pemanfaatan secara bijak bagi sumber daya alam tidak terbaharukan.95 Oleh karena itu, untuk menekan laju penebangan liar Ali Maskur (anggota BPK Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup) 95
http://www.kaltimprov.go.id/halaman-20-kaltim-green.html Diakses pada 29 April 2013
40
menegaskan.Pertama, peningkatan pengawasan oleh aparat dinas kehutanan terhadap izin pengusahaan hutan. Kedua, adanya komunikasi yang baik antara pemerintah daerah dan pusat soal perizinan dengan melihat PP No. 26 Tahun 2008 tentang Perencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Ketiga, menindak tegas aparat atau pejabat yang terlibat. Keempat, pengetatan sistem virifikasi legalitas kayu. Kelima, adanya sinergi kerjasama antara dinas kehutanan, lembaga audit, unit inteligen keuangan, penyedia jasa keuangan, dan masyarakat sipil.96 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun sangat menginginkan persoalan penebangan liar ini terselesaikan. Hal ini dilihat dari hasil teleconference dengan gubernur Kalimantan Timur yang mengatakan bahwa“Ada sindikat yang melakukan illegal logging. Saya ingatkan semua negara agar tidak menjadi tukang tadah kayu hasil illegal logging.”97 Sampai saat ini pun Indonesia masih bekerja keras dalam memerangi penebangan liar dan sangat mengharapkan negara-negara lain untuk memberikan dukungannya dengan cara menolak masuknya kayuproduk hasil olahan dari tindakan penebangan liar.
96
http://news.detik.com/read/2010/07/29/153943/1409542/10/-negara-rugi-rp-83-miliar-hariakibat-illegal-logging Diakses pada 29 April 2013 97 http://news.detik.com/read/2011/11/28/131618/1777138/10/sby-jangan-jadi-penadah-kayuillegal-logging. diakses pada 30 April 2013
41
BAB III PERAN JEPANG DALAM MENGATASI DEFORESTASI
Bab ini memaparkan tentang peranan Jepang dalam mengatasi deforestasi di Indonesia dari tahun 2008 sampai tahun 2011. Pada bab ini dibagi atas empat bagian. Pada bagian pertama, akan menjelaskan kerjasama Jepang dibidang lingkunganhidup internasional guna mengatasi penebangan liar di lingkungan internasional. Kedua, sejauh mana keterlibatan Jepang pada Sustainable Forest Management. Ketiga,membahas tujuan Jepang dalam mengatasi penebangan liar di Indonesia.Terakhir, memaparkan kepentingan Jepang dalam mengatasi penebangan liar di Indonesia.
A. Kerjasama Jepang di Bidang Lingkungan Hidup Internasional Guna Mengatasi Penebangan liar di Lingkungan Internasional Masalah lingkungan merupakan salah satu isu masa kini yang telah mengusik perasaan semua orang di seluruh dunia karena membahayakan masa depan umat manusia. Seusai era perang dingin, masalah lingkungan adalah salah satu agenda politik internasional yang paling dinamis karena mempunyai hubungan yang serius dengan masalah ekonomi, politik, sosial, budaya, dan teknologi. Sebenarnya, bencana ekologi telah berdampak pada banyak negara saat ini, tidak peduli apakah itu negara maju atau berkembang sehingga meningkatkan kesadaran akan dan perhatian kepada pentingnya memperkuat kerjasama internasional. Di antara negara maju,Jepang mempunyai posisi yang unik dalam menangani masalah lingkungan.
42
Selama dua dekade terakhir, terutama sejak tahun 1980-an, Jepang menghadapi citra negatif tentang sikap lingkungan negaranya dan mendapat sebutan sebagai predator ekologi.98 Kemudian,Jepang mengubah posisinya yang unik dalam masalah lingkungan dan memberi kontribusi kepada agenda solusi lingkungan global, terutama sejak Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi tahun 1992. Pasca KTT Bumi pada tahun 1992, Jepang telah berupaya untuk menjadi pemimpin dalam mengatasi masalah lingkungan, seperti, mengutamakan laju penurunan keanekaragaman hayati, penanggulangan illegallogging, dan penanggulangandampak perubahan iklim. Sejak April2006, Pemerintah Jepang telah menerapkan Green Konyuhoo (Japan’s Green Purchasing Policy).99 Kebijakan tersebut mensyaratkan agar kayu serta produk kayu yang digunakan sebagai bahan baku harus berasal dari hasil tebangan legal dan terverifikasi legalitasnya (Goho Wood). Hal ini juga merupakan salah satu upaya dukungan
Jepang
terhadap
negara-negara
lain
dalam
menanggulangi
masalah illegal logging.100 Pemerintah Jepang terus mempromosikan inisiatif ”Cool Earth Partnership” yang diluncurkan pada awal tahun 2008 dengan target mengurangi emisi CO2 sebanyak 50 % pada tahun 2050. Juni tahun 2008, Perdana Menteri Fukuda meningkatkan angka pengurangan emisi jangka panjang menjadi 60-80% pada tahun 2050, yang kemudian dikenal sebagai Fukuda Vision. Kemudian, pemerintah menerjemahkan visi ini dengan menyusun Action Plan for Achieving Low-Carbon Society.Komitmen Jepang dalam penanggulangan masalah perubahan iklim semakin menonjol setelah Perdana Menteri Kunio 98
https://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&src=a&id=72219. Diakses pada 5 Mei 2013. Dikutip pada IsnaeniNurul. Jepang dan politik lingkungan global: tinjauan peran internasional Jepang dalam isu lingkungan hidup. 2006, h. 203-218 99 http://www.indonesianembassy.jp/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=138. Diakses pada 4 Juli 2013
43
Hatoyama yang terpilih pada 8 September2009 menetapkan midterm target penurunan emisi CO2 hingga 25% tahun 2020 (berdasarkan tingkat emisi ditahun 1990). Hal ini jauh lebih tinggi dari pada komitmen pemerintahan Perdana Menteri Taro Aso yang disampaikan padaJuni 2009, yaitu 8%.101 Jepang juga melakukan Soft Diplomacy Science and Technology dengan meluncurkan program Global Environmental Leader untuk mencetak
500
mahasiswa program S2 atau S3 selama lima tahun pada periode 2008-2013 bagi negara-negara berkembang.102 Dengan demikian, diakui bahwa Jepang telah berubah dari tidak melakukan apa-apa menjadi melakukan tindakan kongkret dalam menanggapi masalahmasalah lingkungan. Sebagai bagian dari negara industri yang kaya, Jepang secara konsisten telah berupaya menunjukkan komitmen politik dan ekonomi sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan yang mendasar dalam melindungi lingkungan global, yaitu semakin memberikan kontribusi kepada permasalahan, maka semakin besar pula yang harus dibayar. Namun, seberapa penting Jepang memainkan perannya dalam permasalahan ini, dapat dilihat dari perbandingan Jepang dalam memberikan bantuannya kepadaOfficial Development Assistance(ODA) dan memberikan bagiannya untuk 101
http://cintahutan.wordpress.com/author/srimurniningtyas/. Diakses pada 5 Mei 2013. Tulisan diatas merupakan pembaharuan informasi dari ”Gambaran Umum Kehutanan Jepang” yang disusun oleh Atase Kehutanan pada tahun 1998/1999 dengan menggunakan informasi dari sumber-sumber: • Biodiversity Center of Japan (2009). Japan’s National Survey of the Natural Environment • Forestry Agency (2008). Annual Report on Trends in Forest and Forestry Fiscal Year 2007 (Summary) • Forestry Agency (2009). Annual Report on Trends in Forest and Forestry Fiscal Year 2008 (Summary) • Japan Overseas Forestry Consultants Association (2009). Forestry in Japan: Seven items introducing Japanese Forests and Forestry • Ministry of the Environment (2009. Nature Conservation in Japan (pamphlet) 102 http://cintahutan.wordpress.com/author/srimurniningtyas/. Diakses pada 5 Mei 2013
44
Gross Domestic Product (GDP) dunia serta adanya tanggung jawab historis Jepang dalam kontribusinya bagi degradasi lingkungan global.Hal ini dapat dicermati lebih lanjut dengan mempelajari konsistensi kebijakan baru ODA Jepang dan praktik bisnis Jepang di seluruh dunia. Jepang juga aktif dalam memberikan bantuan tingkat pemerintah untuk pembangunan ODA kepada negara-negara sedang berkembang untuk membantu pembangunan ekonomi dan sosial mereka. Kebijakan dasar dari ODA Jepang ini meliputi dukungan bagi usaha-usaha mandiri yang dilakukan oleh negara-negara yang sedang berkembang dan meningkatkan keamanan manusia. Jepang merupakan salah satu donor terkemuka di dunia dalam hal ODA.103 ODA Jepang diberikan dalam berbagai bentuk. Bantuan hibah, yang tidak perlu dibayar kembali, diberikan untuk membantu negara-negara yang sedang berkembang agar dapat memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya di bidang-bidang pangan, kesehatan, dan pendidikan. Sementara itu, pinjaman diberikan untuk proyek-proyek besar dengan tujuan membantu pembangunan ekonomi di sebuah negara, seperti membangun jembatan dan jalan.104
103
http://www.id.emb-japan.go.jp/expljp_14.html. Diakses pada 4 Juli 2013 http://www.id.emb-japan.go.jp/expljp_14.html. Diakses pada 4 Juli 2013
104
45
Gambar III.A.1 ODA (Bantuan Pembangunan Jepang yang Diberikan pada Tingkat Pemerintah Tahun 2002).105
Bentuk lain dari ODA adalah pengiriman warga Jepang dalam kerangka relawan kerjasama luar negeri Jepang(Japan Overseas Cooperation Volunteers)ke negara-negara yang sedang berkembang. Salah satunya adalah Indonesia untuk berbagi keterampilan dan keahlian mereka di bidang-bidang, seperti, teknologi, kesehatan, dan pendidikan, kepada rakyat setempat.106 Seiring dengan berjalannya waktu, kerangka kerjasama teknik lebih terstruktur dan akhirnya pemerintah mendirikan Japan International Cooperation Agency (JICA) pada 1 Agustus 1974.JICA merupakan institusi resmi Jepang yang bertanggungjawab atas pelaksanaan kerjasama teknis dengan negara-negara berkembang berdasarkan atas kesepakatan bilateral antarpemerintah secara resmi.107
105
http://www.id.emb-japan.go.jp/expljp_14.html. Diakses pada 4 Juli 2013 http://www.id.emb-japan.go.jp/expljp_14.html. Diakses pada 4 Mei 2013 107 http://www.jica.go.jp/english/about/oda/index.html. Diakses pada 5 Juli 2013 106
46
Pada awal berdirinya, JICA hanya memiliki fungsi sebagai lembaga kerjasama yang secara khusus bertugas untuk menyalurkan bantuan teknik saja. Namun, pada Oktober 2008, JICA melakukan merger dengan bagian operasi kerjasama ekonomi luar negeri dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC) menjadi JICA baru.108 Sejak saat itu, JICA mendapatkan tugas untuk melaksanakan tiga Bantuan Pembangunan Resmi atau Official Development Assistance (ODA), yaitu, Bantuan Hibah, Kerjasama Teknik, dan Pinjaman ODA. Tujuan dari pembentukan JICA sejak awal ialah untuk mempromosikan kerjasama internasional bagi pembangunan ekonomi dan sosial negara-negara berkembang.109 Saat ini, JICA merupakan badan bantuan bilateral terbesar di dunia dengan besaran anggaran sekitar 10 miliar dolar AS dan beroperasi di sekitar 150 negara di dunia.110
108
http://www.jica.go.jp/english/publications/jbic_archive/annual/2008/pdf/03.pdf.Diakses pada 4 Mei 2013 109 http://www.jica.go.jp/indonesia/indonesian/office/others/pdf/brochure01.pdf. Diakses pada 4 Mei 2013 110 http://www.jica.go.jp/indonesia/indonesian/office/others/pdf/brochure01.pdf. Diakses pada 4 Mei 2013
47
Tabel III.A.2. Penyaluran ODA Jepang melalui JICA “Baru”.111
Bantuan Bilateral ODA Bantuan Multilater
Bantuan Hibah
MOFA
Kerjasama teknik
JICA
Pinjaman ODA
JBIC
JICA ‘baru”
Dari bagan di atas dapat dilihat bahwa JICA dengan format yang baru bertanggungjawab dalam menyalurkan bantuan hibah, kerjasama teknik, serta pinjaman ODA. Meskipun dalam bagan digambarkan bahwa bantuan hibah disalurkan melalui JICA, akan tetapi beberapa jenis bantuan hibah akan tetap diberikan langsung oleh Kementerian Luar Negeri Jepang melalui kantor Kedutaan Besar dalam rangka menjalankan kebijakan diplomatik.112 Dalam perubahannya, JICA juga telah membuat visi serta misi yang baru sebagai komitmen dalam mencapai tujuannya. Demi mencapai tujuannya ini, maka JICA merumuskan visi serta misinya sebagai berikut :113 1. Visi Japan International Cooperation Agency adalah, pembangunan yang inklusif dan dinamis. Berarti JICA akan berusaha mempromosikan pembangunan yang berdampak pada pengurangan kemiskinan dan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. 2. Misi Japan International Cooperation Agency pertama, fokus pada agenda global, pemanfaatan pengalaman, dan teknologi yang dimiliki Jepang secara maksimal sebagai bagian dari masyarakat internasiona.l 111
http://www.jica.go.jp/indonesia/indonesian/office/others/pdf/brochure01.pdf. Diakses pada 4 Mei 2013 112 http://www.jica.go.jp/indonesia/indonesian/office/others/pdf/brochure01.pdf. Diakses pada 4 Mei 2013 113 http://www.jica.go.jp/indonesia/indonesian/office/others/pdf/brochure01.pdf. Diakses pada 4 Mei 2013
48
Dengan memfokuskan perhatiannya pada berbagai permasalahan global yang dihadapi oleh negara-negara berkembang secara menyeluruh, seperti, perubahan iklim, penyakit menular, terorisme, dan krisis ekonomi. Kedua, pengentasan kemiskinan melalui pertumbuhan yang berkeadilan dengan menyediakan dukungan terhadap pengembangan sumber daya manusia (SDM), pengembangan kapasitas, peningkatan kebijakan dan institusi, serta penyediaan prasarana sosial dan ekonomi. Ketiga, peningkatan tata pemerintahan, dengan menawarkan bantuan bagi peningkatan berbagai pranata/perangkat dasar yang dibutuhkan oleh sebuah pemerintahan dan berbagai sistem pelayanan umum yang didasarkan atas kebutuhan masyarakat secara efektif, serta dukungan bagi pengembangan institusi dan SDM yang diperlukan untuk mengelola berbagai pranata tersebut. Selanjutnya keempat, pencapaian ketahanan manusia, dengan mendukung berbagai upaya dalam rangka peningkatan kapasitas sosial dan institusi serta peningkatan kemandirian dan kemampuan diri manusia dalam menghadapi berbagai ancaman.
B. Keterlibatan Jepang pada Sustainable Forest Management Pada tanggal 2 Mei 2002, Menteri Kehutanan Republik Indonesia menerima kunjungan delegasi Jepang yang dipimpin oleh Ambassador for Global Environment and International Economic Affairs. Dalam pembicaraannya, kedua delegasi sepakat bahwa Deklarasi Bali sebagai tindak lanjut dari Forest Law Enforcement and Governance (FLEG) pada September 2001 dan dilanjutkan dalam rangka persiapan World Summit on Sustainable Development (WSSD), maka perlu membentuk kerangka inisiatif atau partneship dalam rangka mempromosikan Sustainable Forest Management (SFM) di Asia, yang kemudian dinamai Asia Forest Partnership (AFP).114 Sejak diluncurkan sidang KTT Dunia tentang Pembangunan Berkelanjutan atau World Summit on Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg pada tanggal 31 Agustus 2002, maka pada tahun 2002, AFP telah menjadi forum kemitraan regional bidang kehutanan dengan empat "leading partners" yakni, pemerintah Jepang dan Indonesia mewakili government atau 114
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:LAAZYTBIjJwJ:www1.dephut.g o.id/index.php/news/details/457&client=firefox-a&hl=en&strip=1. Diakses pada 4 Juli 2013
49
pemerintah, The Center for International Forestry Research (CIFOR) mewakili Inter-Governmental Organization atau organisasi antar pemerintah, serta The Nature Conservancy (TNC) mewakili civil society atau organisasi nonpemerintah atau masyarakat.115
C. Tujuan Jepang dalam Mengatasi Penebangan Liar di Indonesia Indonesia juga memiliki hutan yang bagus dan luas sehingga Indonesia disebut “paru-paru dunia”. Akan tetapi, hutan tersebut makin lama makin sempit dengan pasti. Masalah kerusakan hutan di Indonesia bukan hanya merupakan masalah
di
dalam negeri
saja,
namun
juga
sudah
menjadi
masalah
internasional. Kerusakan hutan ini terjadi berdasarkan alasan yang sederhana, yaitu “daripada kayu luar negeri, lebih murah kayu Indonesia”. Di Jepang dari dulu ramai reboisasi pohon sejenis daun berjari sebagai kayu bahan bangunan. Akan tetapi, karena dikuasai kayu luar negeri yang lebih murah, seperti kayu dari Indonesia, maka hutan yang di Jepang sendiri kurang terawat. Karena pohon-pohon ditanami dalam jarak pendek dan pohon di antaranya tidak ditebang padahal seharusnya ditebang agar pohon yang sisa menjadi lebih subur, akibatnya pohon-pohon tersebut menjadi tinggi dengan kondisi langsing.116 Pohon-pohon yang langsing dan tinggi tersebut sangat lemah jika turun hujan, saljunya banyak atau datang angin topan besar. Akhirnya mengakibatkan tanah longsor dan air bah yang terjadi di kota dan desa yang ada di lereng
115
http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/509. Diakses pada 29 April 2013 http://komunikasiij.web.fc2.com/Visi-misi.htm. Diakses pada 4 Mei 2013
116
50
gunung. Masalah ini juga boleh dikatakan sebagai deforestasi yang disebabkan kayu luar negeri lebih murah daripada kayu Jepang.117 Dapat dilihat bahwa Jepang masih berusaha memenuhi kebutuhan kayu dengan mengimpor dari negara-negara tropis terutama Indonesia. Jepang menjalin kerja sama yang erat dengan Indonesia karena ketergantungan Jepang atas hasil hutan Indonesia. Oleh karena itu, Jepang membantu kelestarian hutan tanaman industri (HTI) di Indonesia melalui beberapa bentuk bantuan yang dapat dilihat dari Tabel III.C.1 berikut ini: Tabel III.C.1. Daftar Proyek/Program Kerjasama Luar Negeri (Kln) di Lingkup Departemen Kehutanan Tahun 2008-2011118 No 1
2
3
4
5
6
Donor/Nama Proyek /Jangka Waktu Pelaksana/Lokasi Forest Fire Prevention Project by Initiative of People in Buffer Zone in Indonesia. Jepang/ JICA PHKA Riau, Jambi Dan Kalimantan Barat 1 Desember 2006-30 Nopember 2009 Program of Community Development of Fire Control in Peat Land Area. Jepang/JICA Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan –Ditjen PHKA Kab. Kubu raya dan kab. Bengkayang-Propinsi Kalbar serta Kab.SiakPropinsi Riau Juli 2010-Juli 2015 The Project of Support on Forrest Resources Management Through Leveraging Satelite Image Information. Jepang/JICA 2008-2011 Strategy for Strengthening Biodiversity Conservation Through Appropiate national Park Management and Human Resources Development. Jepang/JICA 2009-2012 Facilitating the Implementation of National Forestry Strategic Plan Jepang-JICA Desember 2009-Nopember 2012 Project on Capacity Building for Restoration Ecosystem in Restoration Areas Jepang-JICA Maret 2010-maret 2015 117
Anggaran Bln Yen 100.000.000
Yen 530.000
US $ 720.000
Rp 10.649.267.588
Rp 4.913.451.620
-
http://komunikasiij.web.fc2.com/Visi-misi.htm. Diakses pada 4 Mei 2013 Data tersebut telah diolah, berdasarkan Bambang. Buku Statistik Kehutanan Indonesia tahun 2008-2011. 2012, h. 268-272 118
51
7
8
Forest Preservation Programme Jepang-JICA 2010-2013 The Project for Mangrove Management Centre (MMC) Region I and II as the Regional Mangrove Conservation Cooperation. Jepang-jica 2010-2013
Yen 1.000.000.000
US $ 3.600.000
Sumber: Pusat Kerjasama Luar Negeri
Di antara tujuan batuan Jepang atas hutan Indonesia adalah dengan memberikan sarana pengembangan perencanaan strategis danpengelolaan hutan, mengkoordinasikan
dan
membantu
pengelolaanaktivitas,
pengembangan
kebijakan,perencanaan pengelolaanhutan dan mengembangkan dalam optimalisasi pengelolaan hutan maupun meningkatkankegiatan monitoring pelaksanaan proyek kerja sama luar negeri, serta pengembangan pembiayaan luar negeri.119 Adapun kegiatan pokok Jepang dan Indonesia dalam menjalankan kerjasama: 1) Operations and Strategies. 2) Membantu kegiatan-kegiatan dalam penyusunanpengembangan kebijakan dan perencanaan. 3) Membantu kegiatan-kegiatan pengembangan inisiatif dilapangan dalam penerapan kebijakan-kebijakan baru dalam eradesentralisasi. 4) Kegiatan lain yang diperlukan oleh Departemen Kehutanan.
D. Kepentingan Jepang dalam Mengatasi Penebangan Liar di Indonesia Pada tahun 2002, lebih dari 200 delegasi menghadiri simposium perhutanan (Forest Certification Symposiums) yang baru pertama kali diadakan di Jepang.Dalam forum yang bertujuan memaparkan manfaat sertifikasi hutan, baik
119
http://www.jica.go.jp/english/about/mission/index.html. Diakses pada 4 Juli 2013
52
di dalam maupun di luar Jepang, disimpulkan bahwa kayu Jepang perlu membenahi diri untukmengurangiketergantungan pada impor. Data perdagangan kayu dunia menyatakan bahwa Jepang merupakan negara pengimpor kayu terbesar di duniayang mendatangkan 80% kayu dan produk kayu lainnya dari luar negeri. Sekitar 50% konsumsi kayu lapis dan pulp negara tersebut diimpor dari Asia Pasifik. Pertumbuhan impor kayu lapis Jepang melonjak 4.200 % selama kurun waktu 10 tahun terakhir. Sementara itu, impor particle board meningkat sebanyak 1.900 %. Total impor produk kayu tahunan bernilai sekitar 20 miliar dolar AS. Data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) tahun 1992 menyatakan bahwa impor kayu Jepang dari Indonesia tahun 1990 tercatat 69,88 juta dolar AS. Sedangkan impor pulp dan limbah kertas dari Indonesia tercatat 6,27 juta dolar AS.120 Sektor industri perkayuan di Jepang juga pada saat ini memiliki sekitar 140 asosiasi kehutanan dan perkayuan di tingkat nasional maupun daerah seperti Japan Federation of Wood Industry Associations (JFWIA) yang telah menetapkan masing-masing aturan secara spontan untuk memasok kayu dan produk kayu yang terverifikasi legalitas dan sebagainya, dan dengan sungguh-sungguh berupaya untuk mengatasi masalah penebangan liar.121 Jepang tampak begitu tergantung pada impor kayu. Kendati hutan Jepang mencakup 68% dari kawasan teritorial negeri itu, namun industri domestik 120
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1996/09/13/0017.html. Diakses pada 5 Juli 2013 http://www.goho-wood.jp/world/guideline/id.html#wrapper. Diakses pada 8 Mei 2013
121
53
tidak berkembang. Dengan menggalakkan sertifikasi hutan (forest certification) di Jepang sekarang ini, diharapkan akanmendorong industri kayu setempat dan mengurangi ketergantungan pada impor. Pada tahun 1981 dilaporkan, 12 perusahaan Jepang beroperasi di Indonesiadi areal seluas 1.362.000 ha. Pada tahun 1980-an, impor kayu jenis plywood untuk Jepang dari Indonesia mencapai sekitar 95 % dari semua impor negeriitu.122 Pada tahun 2012, PT Pleasure Life Create Indonesia, anak usaha dari J Cool Internasional siap membangun pabrik pengolahan kayu lapis dengan nilai investasi Rp100 miliar di Cianjur, Jawa Barat. Rencananya, pabrik tersebut akan mengolah kayu sengon dan jabon menjadi triplek.Alasan Pleasure Life membangun pabrik pengolahan di Cianjur adalah karena bahan bakunya diambil dari lokasi dekat pabrik. Manfaat lainnya membangun pabrik di Cianjur karena menghemat distribusi bahan baku."Bahan baku yang digunakan dalam industri kayu lapis ini dipasok dari perusahaan perkebunan di Cianjur," kata Katsuhito Segawa, Presiden Direktur PT. J Cool International Indonesia, Minggu (24/2/2013).123 Namun, untuk menjaga pasokan bahan baku, pabrik juga akan mendatangkan kayu sengon dan jabon dari Jawa Tengah. Perusahaan menargetkan bisa memproduksi 130 meter kubik kayu lapis per hari. "Semuanya akan diekspor ke Jepang untuk memenuhi permintaan pasar di sana yang memang terbilang besar," jelas Segawa.Pabrik pertama perusahaan berdiri pada Juni 2012. Sementara itu, pabrik kedua direncanakan selesai dibangun pada Agustus 2013.124 Negara Jepang punya kepentingan besar atas industri Hutan Tanaman Industri (HTI) Indonesia. Itu sebabnya, sejumlah ilmuwan Jepang meneliti pengelolaan HTI lestari dan berkelanjutan di lahan gambut.125
122
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1996/09/13/0017.html. diakses pada 5 Juli 2013 http://www.tribunnews.com/2013/02/24/jepang-bangun-pabrik-pengolahan-kayu-dicianjur. Diakses pada 8 Mei 2013 124 http://www.tribunnews.com/2013/02/24/jepang-bangun-pabrik-pengolahan-kayu-dicianjur. Diakses pada 8 Mei 2013 125 http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/02/01/6/127638/-JepangBerkepentingan-Besar-atas-Industri-HTI-Indonesia. Diakses pada 4 Juli 2013 123
54
Hal tersebut diungkapkan pakar gambut dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Budi Indra Setiawan, Jumat (1/2). Budi yang juga Ketua Measurement, Reporting and Verification (MRV) Kementrian Kehutananmengatakan Indonesia punya potensi lahan gambut yang sangat besar.126 Budi Indra Setiawan mengatakan penelitian itu memperlihatkan besarnya kepentingan Jepang terhadap perkembangan industri HTI dan kertas Indonesia. "Negara Jepang sangat membutuhkan bahan baku berupa bubur kertas dari Indonesia untuk memenuhi tingginya permintaan kertas di sana," jelasnya.127 Kebudayaan Jepang, lanjut Budi, tidak bisa lepas dari kertas seperti tradisi origami atau seni melipat kertas 'Negeri Sakura' dan tingginya minat baca di negeri 'Matahari Terbit' tersebut.Tiga ilmuwan Jepang sejak pertengahan 2012 hingga tiga tahun setelahnya akan meneliti pelepasan karbondioksida (Co2) di lahan gambut yang dikelola untuk HTI.128 Tiga ilmuwan tersebut adalah Toshihide Nagano, Guru Besar Teknik Lingkungan Universitas Utsunomiya, Jepang. Kemudian Kazutoshi Osawa, kolega Nagano di Fakultas Pertanian Universitas Utsunomiya. Serta Kazuhito Sakai, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Ryukyus, Jepang.129 Penelitian ini dilakukan di lahan gambut HTI PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Estate Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan.Budi berkeyakinan,
126
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/02/01/6/127638/-JepangBerkepentingan-Besar-atas-Industri-HTI-Indonesia. Diakses pada 4 Juli 2013 127 http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/02/01/6/127638/-JepangBerkepentingan-Besar-atas-Industri-HTI-Indonesia. Diakses pada 4 Juli 2013 128 http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/02/01/6/127638/-JepangBerkepentingan-Besar-atas-Industri-HTI-Indonesia. Diakses pada 4 Juli 2013 129 http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/02/01/6/127638/-JepangBerkepentingan-Besar-atas-Industri-HTI-Indonesia. Diakses pada 4 Juli 2013
55
penelitian ini akan membawa keuntungan sangat besar untuk Indonesia Jepang."Jepang tidak ingin pasokan pulp dari Indonesia berkurang atau bahkan terhenti," jelasnya.130 Sementara itu, Presiden Direktur PT RAPP Kusnan Rahmin mengatakan pihaknya berkomitmen membuka akses seluas-luasnya bagi berbagai pihak yang ingin meneliti tata kelola lahan gambut di area konsesi HTI nya.Pihaknya berharap, hasil riset ini dapat menjadi pembelajaran bagi perusahaan dalam meningkatkan aspek tata kelola lingkungan dalam HTI."Kami tahu, dalam penelitian ini bisa saja ditemukan kekurangan dalam pengelolaan HTI di lahan gambut. Tapi kami berharap ada rekomendasi dan masukan untuk perbaikan agar lebih baik dalam mengelola gambut".131 Jadi sangat jelas, bahwa Jepang memiliki perhatian yang besar dalam pemberantasan pembalakan liar karena memiliki kepentingan,antara lain:132 • Pertama, sumber daya alam. Sebagai contoh, Jepang mendapatkan harga dari Indonesia dengan harga yang murah. • Kedua, adanya bantuan pinjaman ODA dari Jepang telah memberikan peluang bagi Jepang untuk melebarkan pangsa pasar produk-produk Jepang di Indonesia di tengah persaingan global dengan negara lain. • Ketiga, bantuan pinjaman ODA dari Jepang sebagai langkah Jepang untuk menciptakan kondisi Indonesia sebagai wilayah yang relatif stabil bagi jalur perdagangan Jepang. Dari bantuan pinjaman ODA Jepang terhadap Indonesia mendorong hubungan yang erat antara Jepang dan Indonesia. Hal ini dapat diidentifikasikan dari perayaan ulang tahun emas Indonesia-Jepang yang menunjukkan bahwa Jepang merupakan negara yang strategis bagi Indonesia.133 Seperti yang dijelaskan Ronny Prasetya Yuliantoro, selaku Pejabat Fungsi Penerangan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Tokyo. Secara ekonomi, Jepang menduduki posisi yang sangat strategis, yakni selain menjadi 130
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/02/01/6/127638/-JepangBerkepentingan-Besar-atas-Industri-HTI-Indonesia. Diakses pada 4 Juli 2013 131 http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/02/01/6/127638/-JepangBerkepentingan-Besar-atas-Industri-HTI-Indonesia. Diakses pada 9 Mei 2013 132 http://www.parc-jp.org/parc_e/index.html. Diakses pada 20 Mei 2013 133 http://www.presidenri.go.id/index.php/pidato/2008/01/20/850.html. Diakses pada 4 Juli 2013
56
mitra dagang utama Indonesia, Jepang juga termasuk negara dengan investasi terbesar di Indonesia.134 Dari pembahasan diatas, dapat diperoleh jawaban bahwa dalam bantuan pinjaman ODA yang diberikan Jepang terdapat muatan kepentingan politik yang ditujukan kepada Indonesia. Kepentingan politik tersebut adalah kepentingan hubungan antara Jepang dan Indonesia yang dikonstruksikan Jepang, mengingat posisi strategis Indonesia di kawasan Asia Timur, baik secara geografis maupun sumber daya alamnya. Dengan adanya bantuan pinjaman ODA dari Jepang, telah membentuk sebuah konstruksi bahwa Jepang adalah mitra strategis bagi Indonesia. Oleh
karena
itu,
Indonesia
dapat
membantu
Jepang
dalam
mengimplementasikan kepentingan-kepentingan praktis Jepang, baik secara politik dan ekonomi di kawasan Asia Timur.
134
http://www.presidenri.go.id/index.php/pidato/2008/01/20/850.html. Diakses pada 4 Juli
2013
57
BAB IV KERJASAMA INTERNASIONAL INDONESIA DAN JEPANG TERHADAP ISU DEFORESTASI DI INDONESIA DALAM SKEMA AFP PERIODE 2008-2011 Bab ini akan menganalisa perkembangan kesepakatan antara Indonesia dan Jepang dalam forum Asia Forest Partnershipperiode 2008-2011 dengan menggunakan konsep kerjasama internasional, pendekatan green thoughtdan konsep kepentingan nasional. Konsep-konsep tersebut diharapkan mampu menggambarkan kepentingan setiap negara dalam kerjasama untuk mengatasi penebangan liar di Indonesia. Pada2 Mei 2002, Menteri Kehutanan Republik Indonesia menerima kunjungan delegasi Jepang yang dipimpin oleh Ambassador for Global Environment and International Economic Affairs. Dalam pembicaraannya, kedua delegasi sepakat menindaklanjutiForest Law Enforcement and Governance (FLEG) pada September 2001, mengenai Deklarasi Bali.135 Dalam rangka persiapan World Summit on Sustainable Development (WSSD), telah terbentuk kemitraan dalam rangka mempromosikan Sustainable Forest Management (SFM) di Asiayang kemudian dinamakan sebagai Asia Forest Partnership (AFP), di Johannesburg, pada 31 Agustus 2002. Sampai saat ini, AFPpada tahun 2002telah menjadi forum kemitraan regional bidang kehutanan dengan empat mitra utama (leading partners,) yakni, pemerintah Jepang dan Indonesia (mewakiligovernment), Center for International
135
http://www1.dephut.go.id/index.php/news/details/457. Diakses pada 24 Maret 2013
58
Forestry Reseach (CIFOR) (mewakili inter-governmentalorganization), dan The Nature Conservancy (TNC) (mewakili civil society).136 AFP adalah sebuah forum multipihak penting regional untuk berbagi informasi dan memfasilitasi dialog-dialog informal. Keanggotaan AFP terdiri dari beberapa negara pendukung dan lembaga dari luar kawasan Indonesia yang berjumlah 42 mitra. Tujuan AFP adalah untuk menggalang kemitraan di antara para pihak, baik itu di sektor pemerintah, swasta, maupun masyarakat guna mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari di Asia. Misi dari AFP adalah mempromosikan kerjasama dan mengkatalisasi tindakan antara pemerintah, masyarakat sipil dan bisnis untuk mencapai pengelolaan hutan lestari di Asia dan Pasifik. Selain itu juga mempertahankan dan meningkatkan penyediaan produk hutan dan jasa ekonomi dan kontribusi mereka terhadap kesejahteraan manusia.137
A. Pertemuan Formal AFP Forum AFP merupakan forum multilateral yang fokus pada keberlangsungan hutan secara lestari dengan tujuan untuk menggalang kemitraan di antara para pihak, baik sektor pemerintah, swasta maupun masyarakat, guna mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari di Asia.Pertemuan-pertemuan formal AFP
136
http://www1.dephut.go.id/index.php/news/details/457. Diakses pada 24 Maret 2013 http://www.karbonhutanberau.org/id/2010/08/catatan-dari-pertemuan-ke-9-asia-forestpartnership-dialogue-2010/. Diakses pada 4 Mei 2013 137
59
berlangsung setiap tahun. Sehingga, pertemuan AFP terbagi berdasarkan periodenya dan menjadi beberapa tahap diantaranya adalah:138 1. Tahap pertama,yaitu antara tahun 2002 sampai dengan tahun 2007 dan telah mengadakan pertemuan formal sebanyak tujuh kali. 2. Tahap kedua, yaitu antara tahun 2008 sampai dengan tahun 2011 dan telah mengadakan pertemuan formal sebanyak empat kali. Dalam situs resmi Kementrian Kehutanan Republik Indonesia, terdapat tiga poin penting dalam masalah hutan yang harus segera ditangani, yaitu, penanggulangan penebangan liar, penanggulangan kebakaran hutan, serta rehabilitasi hutan dan lahan.139 A.1 Tahap Pertama Periode 2002-2007 Dalam pertemuan ke-1 AFP pada 11 November 2002 di Tokyo, Jepang, menyepakati tiga fokus kegiatan AFP, yakni,memberantas penebangan liar, pencegahan kebakaran hutan, dan rehabilitasi lahan terdegradasi.140 Sedangkan pada pertemuan ke-2 di Yogyakarta pada9-10 Juli 2003 ditandai dengan
kesepakatan
rencana
kemitraan
kerjasama
yang
nyata
untuk
menanggulangi penyebab utama kerusakan hutan, memberikan hasil yang maksimal, melibatkan para pihak yang berkepentingan dengan memperhatikan
138
http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_workplan&task=completed&Itemid=32 3. Diakses pada 4 Juli 2013 139 http://www.dephut.go.id/INFORMASI/UMUM/KLN/AFP.htm. Diakses pada 24 Maret 2013 140 http://www.mofa.go.jp/policy/economy/fishery/afp/summary0211.html. Diakses pada 4 Juli 2013
60
dari segi ekonomi, sosial, dan lingkungan, serta memberikan nilai tambah pada ide baru.141 Tiga topik yang disepakati dalam pertemuan AFP ke-2 yang menjadi isu atau concern utama dari AFP adalahillegal logging and its associated trade,forest fires and transboundary haze pollution, andrehabilitation and reforestation of degraded land and forest (penebangan liar dan kegiatan perdagangan, kebakaran hutan dan polusi asap lintas batas, dan rehabilitasi serta reboisasi lahan hutan terdegradasi) [terj. pen-]. Pada pertemuan ke-3 di Kisarazu City-Chiba, Jepang, pada 21 November 2003, membahas berbagai rencana kerja yang terkait dalamtiga fokus kegiatan AFP seperti yang dipaparkan diatas dan telah disepakati, yakni Indonesia akan menyelenggarakan lokakarya atau workshop tentang Strengthening the Asia Forset Partnership sesuai the International Tropical Timber Council (ITTC) Decision 3 (XXXIV).142 The International Tropical Timber Organization (ITTO) adalah organisasi antar
pemerintah
mempromosikan
konservasi
dan
pengelolaan
yang
berkelanjutan, penggunaan dan perdagangan sumber daya hutan tropis. 59 anggota yang mewakili sekitar 80% dari hutan tropis dunia dan 90% dari perdagangan kayu tropis global.143 ITTO didirikan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1986 di tengah meningkatnya kekhawatiran di seluruh dunia untuk nasib hutan
141
http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_workplan&task=view_detail&agid=13 &year=2003&month=07&day=09&Itemid=323. Diakses pada 4 Juli 2013 142 http://www1.dephut.go.id/index.php/news/details/457. Diakses pada 24 Maret 2013 143 http://www.itto.int/about_itto/. Diakses pada 5 Juli 2013
61
tropis. Sementara hampir semua orang khawatir akan laju deforestasi yang terjadi di banyak negara tropis, ada juga kesepakatan yang cukup bahwa perdagangan kayu tropis adalah salah satu kunci bagi pembangunan ekonomi di negara-negara yang sama. Rekonsiliasi dari dua fenomena yang tampaknya terpisah adalah cerita ITTO.144 Regional Workshop on Strengthening the Asia Forest Partnership diselenggarakan di Yogyakarta, 30 Agustus - 1 September 2004 yang didukung dana dari The International Tropical Timber Organization (ITTO). Lokakarya atau workshop diselenggarakan dengan tujuan menyusun cara kerja dan struktur kemitraan secara lebih konkrit dan spesifikuntuk mengembangkan dan memperkuat AFP. 145 Sehingga, telah menghasilkan rekomendasi untuk perumusan struktur AFP sesuai dengan konsep yang diusulkan oleh Indonesiadan diharapkanrekomendasi dalam bentuk pernyataan atau announcement tersebut, agar dapat didukung dalam pertemuan AFP ke-4 di Tokyo, 8-10 Desember 2004 guna berfungsi seperti kode etik/code of conduct bagi kemitraan di forum AFP. Selanjutnya, pertemuan ke-4 diselenggarakan di Tokyo pada tanggal 8-10 Desember 2004,berhasil mendeklarasikan Announcement for Strengthening the AFP. Hal tersebut dapat diartikan sebagai keberhasilan Indonesia karena pernyataan tersebut merupakan langkah awal untuk memperjelas struktur dan cara kerja AFP untuk memperkuat forum tersebut di masa depan.
144
http://www.itto.int/about_itto/. Diakses pada 5 Juli 2013 http://www1.dephut.go.id/index.php/news/details/457. Diakses pada 24 Maret 2013
145
62
Sesuai agenda, maka pertemuan tersebut membahas enam materi yaitu: 146 • Establishing Reliable Production and Trade Chain, and Coordination of International Effort (membangun produksi handal dan rantai perdagangan dan koordinasi upaya internasional) [terj. pen-]. • Learning from Good Forest Management Practices and Building Capacity(belajar dari praktik pengelolaan hutan dan membangun kapasitas) [terj. pen-]. • Forest Fires Monitoring and Prevention(pemantauan dan pencegahan kebakaran hutan) [terj. pen-]. • DemandDriven Market Forces/Contribution of Consumers(permintaan didorong adanya angkatan pasar atau adanya kontribusi konsumen) [terj. pen-]. • Good Governance and Better DecisionMaking for Sustainable Forest management(tata kelola yang baik membuat keputusan untuk manajemen hutan lestari) [terj. pen-]. • Rehabilitation of Degraded LandsLearning from the Past and Looking into the Future(rehabilitasi lahan terdegradasi belajar dari masa lalu dan melihat ke masa depan) [terj. pen-]. Dari hasil tersebut, langkah tindak lanjut yang perlu dilakukan oleh Indonesia adalah:147 1. Mempersiapkan keikutsertaan delegasi Republik Indonesia untuk mengikuti pembahasan lokakarya AFP di Kualalumpur terkait dengan bahasan tentang produksi handal dan koordinasi perdagangan/reliable production and trade coordination, khususnya legalitas kayu, serta verifikasi asal-usul kayu (chain of custody/legal origin verification). Diharapkan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dan Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK) juga dapat berperan aktif dalam pertemuan tersebut. 2. Mempersiapkan penyelenggaraan pertemuan khusus yang akan menindaklanjuti pernyataan yang sudah disepakati pada sidang pleno pertemuan AFP ke-4 dan dideklarasikan pada tanggal 10 Desember 2004. 3. Departemen Kehutanan (Badan Planologi) segera menyusun proposal tentang penyelenggaraan lokakarya desentralisasi terkait dengan isu utama AFP dan dapat memberikan argumen arti pentingnya lokakarya regional tersebut diselenggarakan di Indonesia. Untuk itu, diskusi intensif dengan pemerintah Swiss diharapkan dapat segera dilakukan oleh Indonesia. Pertemuan ke-5 di Yokohama pada tanggal 13-15 November 2005 menyetujui untuk memperkuat AFP sesuai dengan struktur dan sistem promosi 146
http://www1.dephut.go.id/index.php/news/details/457. Diakses pada 24 Maret 2013 http://www1.dephut.go.id/index.php/news/details/457. Diakses pada 24 Maret 2013
147
63
dan pelaksanaan pengelolaan hutan lestari di Asia.Hal ini dilaksanakan melalui kerjasama sukarela antara pemerintah, organisasi antarpemerintah, organisasi masyarakat sipil, sektor swasta serta mitra donor, yang dilandaskan rasa saling menghormati, tanggung jawab bersama, proses yang transparan, dan terbuka untuk semua orang yang mendukung visi serta tujuan kemitraan.148 Sehingga, upaya memberantaspenebangan liar, perdagangan hasil hutan, pengelolaan kebakaran hutan, rehabilitasi,serta reboisasi hutan dan lahan terdegradasi diperoleh melalui berbagi informasi.Seperti, dialog dan aksi bersama untuk membangun kapasitas untuk pengelolaan hutan yang efektif, penegakan hukum kehutanan yang lebih baik dan pemerintahan yang baik serta dengan caramenjamin operasi antara kemitraan AFP dan gagasan yang terkait lainnya di wilayah tersebut.149 Kemitraan AFP tidak luput dari kontribusi CIFOR yangakan terus menjadi tuan rumah sekretariat AFP. Secara teknis dan keuangan didukung oleh mitra atas dasar sukarela. Lamanya tahap pertama AFP akan menjadi lima tahun, yaitu 20022007. Namun, mitra dapat memutuskan untuk memperpanjang atau mengakhiri kemitraan tidak kurang dari tiga bulan sebelum akhir tahap pertama.150 Pertemuan ke-6 di Yogyakarta pada tanggal 6-8 September 2006 telah membahas isu-isu teknis, salah satunya masa depan AFP dan pada masa setelah tahap pertama yang akan berakhir pada tahun 2007 nanti.Di mana tim
148
http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_workplan&task=view_detail&agid=17 &year=2005&month=11&day=13&Itemid=323. Diakses pada 4 Juli 2013 149 http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_workplan&task=view_detail&agid=17 &year=2005&month=11&day=13&Itemid=323. Diakses pada 4 Juli 2013 150 http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_workplan&task=view_detail&agid=17 &year=2005&month=11&day=13&Itemid=323. Diakses pada 4 Juli 2013
64
akanmengevaluasi atau penilaian danmemberi petunjukpada perpanjangan pada tahap ke-2.151 Sebagai negara penting di asia dalam bidang kehutanan, Indonesia mendapat kesempatan menyampaikan perkembangan di tiga bidang utama AFP, seperti, persoalan penebangan liar, kebakaran hutan dan lahan, reboisasi dan rehabilitasi hutan serta lahan sebagai masalah yang kompleks, maupun skala persoalannya begitu besar. Oleh karena itu, diperlukan dorongan dan kerjasama dari luar, termasuk dari mitra AFP. Usulan dari Kementrian Kehutanan yang telah dirintis pada AFP ke-6 adalah membantu masyarakat yang daerahnya rawan penebangan liar serta memasarkan produk legalnya. Usulan ini mendapat dukungan positif dari pemerintah Jepang, World Wide Fund (WWF), Tropenbos International (Belanda), Food and Agriculture Organization (FAO), Institute for Global Environmental Strategies (IGES), sertaLembaga Ekolabel Indonesia (LEI). Kelompok ini akan mengusahakan dukungan finansial melalui FAO dan Jepang.152 Selanjutnya disepakati bahwa Jepang akan menjadi tuan rumah pertemuan AFP ke-7, jika tidak ada negara kemitraan lain yang bersedia. Pertemuan ke-6 ini diselenggarakan atas kerjasama Kementrian Kehutanan dengan AFP Sekretariat yang berkedudukan di Center for International Forestry Research (CIFOR) di Bogor.153 Pada pertemuan ke-7 di Yokohama pada tanggal 12-15 November 2007membahas tentang pentingnya kelanjutan dan hubungan kegiatan dari AFP sebagai mekanisme multi-pihak untuk memfasilitasi dan mempromosikan 151
http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_workplan&task=view_detail&agid=18 &year=2006&month=11&day=06&Itemid=323. Diakses pada 4 Juli 2013 152 http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_workplan&task=view_detail&agid=18 &year=2006&month=11&day=06&Itemid=323. Diakses pada 4 Juli 2013 153 http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_workplan&task=view_detail&agid=18 &year=2006&month=11&day=06&Itemid=323. Diakses pada 4 Juli 2013
65
dialog,pertukaran informasi, serta tindakan kooperatif untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari di kawasan Asia-Pasifik. 154 Hal ini didasarkan atas apresiasi karya kelompok kerja tim evaluasi AFPyang terkandung dalam laporannya, yaitu, penilaianAFP tahap I dan rekomendasi untuk tahap 2 pada November2007, evaluasi yang terdapat dalam dokumen tahap I AFPserta saran untuk meningkatkan sukses ditahap II pada November2007.155 Selanjutnya, untuk tahap kedua AFP periode 2008-2015memperhitungkan perkembangan keadaan dan peluang baru yang mempengaruhi hutan dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan di kawasan Asia-Pasifik.156
A.2 Pertemuan Formal AFP Fase Kedua Periode 2008-2011 Pertemuan formal AFP dilanjutkan pada pertemuan ke-8 di Hanoi, Vietnam. Pada 24 April 2008 AFP membahasisu kebijakan seputar perdagangan kayu global yang sedang dalam sorotan akhir-akhir ini. Berbagai ahli kehutanan dari seluruh dunia berkumpul di Hanoi untuk menghadiri AFPdalam membahas perdagangan kayu, kepatuhan terhadap hukum kehutanan, dan pemerintahan.157 Salah satu acara puncak pada Asia-Pasifik Kehutanan di Vietnam, lebih dari 500 undangan yang memiliki peran dalam kepentingan kehutanan turut membahas
154
http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_content&task=view&id=69&Itemid=9. Diakses pada 4 Juli 2013 155 http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_content&task=view&id=69&Itemid=9. Diakses pada 4 Juli 2013 156 http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_content&task=view&id=68&Itemid=9. Diakses pada 4 Juli 2013 157 http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_content&task=view&id=68&Itemid=9. Diakses pada 4 Juli 2013
66
keberlanjutan perdagangan kayu, hasil hutan, serta untuk mengembangkan strategi yang bagus dalam lingkungan yang semakin luas.158 Selanjutnya, pertemuan AFP di Bali pada tanggal 28-29 Mei 2009, pemerintah Indonesia bekerja sama dengan Asia Forest Partnershipdan menyelenggarakan dialog regional untuk menguji hubungan antara skema untuk mengkompensasi negara dalam pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan serta upaya memerangi pembalakan liar dan perdagangannya.159 Acara tersebut dihadiri oleh Cristian Kuchil, Kunio Shimizu, dan Menteri Kehutanan RI M.S. Kaban.Kemudian, para pembicara membahas tentang aksi untuk mengatasi penebangan liar dan perdagangan kayu liar dari berbagai negara. Pembicaranya antara lain, Puspa Dewi Liman, Hapsoro, Hang Suntra, Andy Roby, Ivy Wong Abdullah, dan Kristof Obidzinski.Kesepakatan yang dihasilkan adalah:160 a) Kebutuhan akan pemahaman yang lebih baik tentang kerusakan hutan/deforestasi, degradasi, dan hubungannya dengan penebangan liar. b) Dibutuhkan jaringan pengaman/safety-netuntuk melakukan aktivitas berdasarkan pentingnya kebutuhan masyarakat lokal. c) Perlunya peraturan pemerintah yang jelas tentang verifikasi Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation (REDD). d) Mekanisme REDD juga harus bisa menjamin bahwa jangan sampai dijadikan pendapatan pribadi oleh sekelompok orang. Pertemuan hari kedua membahas tentang REDD dan tata hutan, dengan pembicara antara lain, Christian Kuchli, Daniel Murdiyarso, Theo Yasause, Nur Masripatin, dan Ralps Strabel. Dengan kesimpulan antara lain:161 a) Penebangan liar merupakan masalah nasional dan internasional. Pada levelnasionalmasalah ini berhubungan erat dengan pemerintah setempat. Dan instrumen yang ada saat ini dinilai belum efektif. Dengan terdapatnya mekanisme REDD, maka perlu meninjau mengapa instrumen yang ada tersebut tidak efektif. b) Berbagai lembaga pemerintah memiliki pendekatan yang berbeda terhadap REDD.
158
http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_content&task=view&id=68&Itemid=9. Diakses pada 4 Juli 2013 159 http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_content&task=view&id=68&Itemid=9. Diakses pada 4 Juli 2013 160 http://www.dephut.net/index.php?q=id/node/5421. Diakses pada 19 Mei 2013 161 http://www.dephut.net/index.php?q=id/node/5421. Diakses pada 19 Mei 2013
67
c)
Terdapat hubungan yang erat antara REDD dan Afforestation and reforestation (A/R) dalamClean Development Mechanism (CDM). Dan muncul pertanyaan, apakah REDD perlu dibedakan, lebih diinklusifkan atau diekslusifkan. d) REDD juga perlu mengikutsertakan para ahli dan organisasi sektor kehutanan untuk menangani masalah sosial dan pengetahuan tentang kehutanan. Secara keseluruhan diperoleh kesimpulan bahwa kecenderungan pembahasan dari keseluruhan sesi bersifat positif. Dengan adanya pertemuan AFP, terlihat adanya pengalaman dan pandangan yang berbeda dari berbagai negara. Hal ini memunnculkan berbagai inisatif baru REDD, baik itu pada level nasional maupun internasional secara sukarela maupun instruksi atau wewenang.162 Pertemuan AFP di Bali pada 4-6 Agustus 2010 membahas tentang tantangan tata kelola hutan luar Copenhagen, yang meneliti hubungan antara REDD plus (+) dan tata kelola hutan. Pemerintahan sebagai pelaksana untuk REDD + untuk memastikan jangka panjang, pengurangan emisi dan hasil yang adil, serta diharapkan REDD + akan memberikan peluang baru untuk memperkuat tata kelola hutan.163 Pada pertemuan AFP di Beijing, China, pada 8-9 November 2011 membahas tentangdampak dari upaya memerangi pembalakan liar pada kebijakan kehutanan, pasar kayu, industri kehutanan, dan masyarakat yang bergantung pada hutan selama 10 tahun terakhir dengan hasil sebagai berikut:164 a. Untuk memperoleh data, negara harus memiliki pengalaman dalam mengembangkan standar legalitas, sistem kebenaran laporan, dan tantangan yang besar dalam mengurangi penebangan liar. b. Melihat dari pengalaman beberapa negara konsumen dalam mengembangkan dan menerapkan kebijakan untuk membatasi aliran kayu 162
http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_content&task=view&id=68&Itemid=9. Diakses pada 4 Juli 2013 163 http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_content&task=view&id=221&Itemid=2 5. Diakses pada 4 Juli 2013 164 http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_content&task=view&id=252&Itemid=1 46. Diakses pada 4 Juli 2013
68
liarke pasar mereka selama dekade terakhirdan tantangan yang beredar dalam mengurangi pasar kayu liar. c. Selanjutnya, dampak yang muncul dalam pemberantasan pembalakan liar dan pasarnya diharapkan menghasilkan perubahan dan menindaklanjuti penyebab utama pembalakan liar.
B. Perkembangan Kesepakatan Indonesia dan Jepang dalam AFP Periode 2008-2011 Perkembangan dalam forum AFP telah disepakati beberapa hal guna mengatasi deforestasi di Indonesia.Pertama, pada pertemuan AFP ke-5 di Yokohama pada tanggal 13-15 November 2005, untuk memperkuat AFP melalui kerjasama sukarela antara pemerintah, organisasi antarpemerintah, organisasi masyarakat sipil, sektor swasta serta mitra donor, yang dilandaskan rasa saling menghormati, tanggung jawab bersama, proses yang transparan, dan terbuka bagi semua pihak yang mendukung visi serta tujuan kemitraan.165 Institusi kerjasama ini dilandaskan rasa saling menghormati dan tanggung jawab, sesuai dengan kerjasama internasional menurut Thomas Bernauer, negara akan cenderung mengubah sikapnya sesuai dengan kesepakatan yang diambil dalam institusi kerjasama dan memfokuskan masalah apa saja serta merencanakan penyelesaian masalah tersebut. Kedua, pertemuan AFP ke-6 di Yogyakarta pada tanggal 6-8 September telah disepakati bahwa dalam membantu masyarakat maupun wilayah yang rawan penebangan liar, akan mendapatkan dukungan finansial melalui FAO dan Jepang.166Dengan demikian hal tersebut sesuai dengan pendapat Kate O’Neill,
165
http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_workplan&task=view_detail&agid=17 &year=2005&month=11&day=13&Itemid=323. Diakses pada 4 Juli 2013 166 http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_workplan&task=view_detail&agid=18 &year=2006&month=11&day=06&Itemid=323. Diakses pada 4 Juli 2013
69
dalam memenuhi kewajiban perjanjian internasional, bantuan lingkungan dan transfer teknologi dapat mengembangkan kapasitas negara untuk mencapai tujuan yang telah disepakati dalam perjanjian. Dalam hal ini transfer teknologi tertera dalam The G8 Forest Experts Report on Illegal Logging, yaitu melaksanakan kerjasama untuk mengembangkan teknologi pemantauan hutan dengan penggunaan satelit gambar. Dengan demikian, dukungan Jepang dalam mendonorkan sejumlah uang untuk satelit sebesar US $ 720.000 dapat dimanfaatkan sesuai perjanjian proyek atau program kerjasama luar negeri antara Indonesia dan Jepang.167 Kerjasama internasional Indonesia dan Jepang dalam skema AFP, sesuai dengan asumsi dasar green thought, bahwa untuk menjaga keselamatan lingkungan diperlukan adanya kerjasama internasional yang dilakukan oleh Indonesia dan Jepang, yaitu komunitas-komunitas lokal maupun regional, seperti, AFP (forum internasional antar negara), JICA (badan kerjasama internasional Jepang), ODA (bantuan pembangunan Jepang yang akan diberikan pada setiap negara), sebagai penguat bangunan dasar bagi bumi serta dapat mengontrol sumber daya mereka sendiri. Diharapkan, dengan adanya kerjasama internasional antara pemerintah, masyarakat sipil, dan bisnis dapat mewujudkan pengelolaan hutan lestari di Asia dan Pasifik. Dapat disimpulkan bahwa Jepang dan Indonesia juga melakukan kerjasama internasional melalui forum AFP dan telah menghasilkan beberapa kesepakatan dalam isu deforestasi, yaitu, memberantas penebangan liar, pencegahan kebakaran 167
Data tersebut telah diolah, berdasarkan Bambang. Buku Statistik Kehutanan Indonesia tahun 2008-2011. 2012, h. 268-272
70
hutan, rehabilitasi lahan terdegradasi, memperhatikan segi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Selain itu juga terdapatnya dialog dan aksi bersama untuk pengelolaan hutan yang efektif, penegakan hukum kehutanan dan pemerintahan yang lebih baik lagi, membantu masyarakat yang daerah rawan penebangan liar serta memasarkan produk legalnya. Selanjutnya, pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan sebagai upaya memerangi pembalakan liar dan ikatan perdagangannya.
C. Peran Jepang dalam Asia Forest Partnership(AFP) Kerjasama internasional Indonesia dan Jepang terhadap isu deforestasi di Indonesia periode 2008-2009 dapat terlihat dari berbagai kesepakatan antara dua negara yang merupakan hasil dari komunikasi atau dialog-dialog dalam forum AFP, tercantum dalam “The G8 Forest Expert’ Report on Illegal Logging”168 dan “The Second Round of the International Expert Meeting on Illegal Logging”169 sebagai berikut: 1. Pada tahun 2003 Jepang menandatangani rencana aksi bersama pengumuman dalam memberantas pembalakan liar dan perdagangan kayu liar dan produk kayu dengan Indonesia. 2. Melaksanakan kerjasama untuk mengembangkan teknologi pemantauan hutan dengan penggunaan satelit gambar. 3. Terdapatnya bantuan dana dari Jepang untuk pengadaan verifikasi legalitas kayu. 4. Diadakannya acara yang dihadiri para ahli kehutanan untuk membahas penebangan liar. 5. Memverifikasi legalitas kayu berkelanjutan untuk meningkatkan kinerja sertifikasi serta mengembangkan legalitas nasional standar yang dapat 168
http://www.mofa.go.jp/policy/environment/forest/report0805.pdf . Diakses pada 4 Juli
2013 169
http://www.mofa.go.jp/policy/environment/forest/meet0803-s.pdf.
2013
71
Diakses pada 4 Juli
menciptakan kebijakan untuk pengadaan publik agar memilih kayu legal dan lestari. 6. Memastikan transparansi pengelolaan hutan dalam perdagangan kayu bagi negara-negara produsen pelaku ekspor maupun impor. 7. Melibatkan bea cukai untuk mengendalikan perdagangan kayu ilegal.
Penelitian ini menganalisa peran Jepang dalam AFP, diawali pada tanggal 24 April tahun 2008 di Hanoi Vietnam pertemuan ke-8 dalam forum AFP, telah disepakati menanganiperdagangan kayu ilegal menjadi tanggung jawab bersama dan kepatuhan terhadap hukum kehutanan, serta pemerintah.170Hasil kesepakatan pertemuan ke-8 adalah The Second Round of the International Expert Meeting on Illegal Logging.171Yaitu, memastikan transparansi pengelolaan hutan dalam perdagangan kayu bagi negara-negara produsen pelaku ekspor maupun impor, dan melibatkan bea cukai untuk mengendalikan perdagangan kayu ilegal. Selanjutnya adalah, pertemuan ke-11 di Beijing China pada tanggal 8-9 November 2011, telah disepakati bahwa demi kepentingan bersama harus mengembangkan standar legalitas.172 Seperti yang tertera pada The G8 Forest Experts Report on Illegal Logging dan The Second Round of the International Expert Meeting on Illegal Logging, yaitu, terdapatnya bantuan dana dari Jepang untuk
pengadaan
verifikasi
legalitas
kayu
dan
meningkatkan
kinerja
sertifikasiserta mengembangkan legalitas nasional standar.
170
http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_content&task=view&id=68&Itemid=9. Diakses pada 4 Juli 2013 171 http://www.mofa.go.jp/policy/environment/forest/meet0803-s.pdf. Diakses pada 4 Juli 2013 172 http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_content&task=view&id=252&Itemid=1 46. Diakses pada 4 Juli 2013
72
Kemudian, dilanjutkan menerapkan kebijakan untuk membatasi aliran kayu liar ke pasar Jepang.Sejalan dengan The G8 Forest Experts Report on Illegal Logging, adalah melaksanakan kerjasama untuk mengembangkanteknologi pemantauan hutan dengan penggunaan satelit gambar.173 Jepang sebagai negara maju berperan atau memposisikan diri sebagai pendonor bagi Indonesia.Selain itu, Jepang ikut berperan dalam pengelolaan Hutan Tanaman Industri (HTI) lestari dan berkelanjutan di lahan gambut.174 Peran Jepang dalam segi ekonomi, pertama, memiliki perhatian besar dalam menangani deforestasi.Motif ekonomi Jepang adalah mendapatkan sumber daya alam Indonesia, yaitu mendapatkan kayu dan bahan baku bubur kertas dengan harga murah. Dengan cara terus mengimpor kebutuhan kayunya dari Indonesia. Dan berperan serta dengan menjalin kerjasama yang erat untuk membantu kelestarian Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia melalui beberapa bentuk bantuan finansial Jepang melalui Official Development Assistance (ODA). Kedua, Selanjutnya peranan Jepang terlihat dalam kebijakan Green Konyuhoo. Yang mensyaratkan agar kayu dan produk kayu yang digunakan sebagai bahan baku harus berasal dari tebangan legal dan terverifikasi legalitasnya, sebagai upaya dalam menangani isu deforestasi. Dengan demikian, Green Konyuhoo telah menjadi prioritas utama pemerintah Jepang dan masyarakat
173
http://www.mofa.go.jp/policy/environment/forest/report0805.pdf . Diakses pada 4 Juli
2013 174
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/02/01/6/127638/-JepangBerkepentingan-Besar-atas-Industri-HTI-Indonesia. Diakses pada 4 Juli 2013
73
dalam mencapai kepentingan nasionalnya, yaitu lebih selektif lagi terhadap kayu impor dari Indonesia dan harus dinyatakan legal.175 Selanjutnya adalah peran Jepang dalam segi poltik. Pertama,terdapatnya bantuan pinjaman ODA yang diberikan Jepang, sebagai peluang Jepang untuk melebarkan pangsa pasar produk-produk Jepang di Indonesia di tengah persaingan global dengan negara lain.Dan menjaga jalur perdagangan antara Jepang dan Indonesia, mengingat posisi strategis Indonesia di kawasan Asia Timur, baik secara geografis maupun sumber daya alam. Dilanjutkan dengan beberapa hal yang mempengaruhi hubungan kedua negara selama ini adalah arah kebijakan luar negeri Jepang, dengan memperhatikan
perkembangan
ekonomi
poltik
domestik
Indonesia
dan
perkembangan regional di Asia Timur.176 Dalam segi politik, pertama, Perdana Menteri Yasuo Fukuda dalam pidato kebijakan tanggal 18 Januari 2008, menyatakan pemerintahnya memiliki kebijakan luar negeri yang mewujudkan Jepang sebagai bangsa yang mendorong terciptanya perdamaian (peace fostering nation). Pemerintah Jepang menyadari kondisi internasional yang damai dan stabil merupakan aset berharga untuk kemajuan Jepang.Hal yang positif ini tentunya juga dapat menjadi faktor
175
http://www.indonesianembassy.jp/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=138. Diakses pada 4 Juli 2013 176 http://www.deplu.go.id/_layouts/mobile/PortalDetailNewsLike.aspx?l=id&ItemID=e0f3be c9-3b69-4b86-bfc0-e4a6f9b1a716. Diakses pada 4 Juli 2013
74
pendorong kerjasama lebih erat dengan Indonesia baik dalam konteks bilateral maupun regional.177 Kedua, Perkembangan dinamis di Asia Timur mengarah pada semakin eratnya
kerjasama
di
wilayah
ini.Association
of
Southeast
Asian
Nations(ASEAN), dimana Indonesia adalah negara terbesar di dalamnya, telah memainkan peran penting dalam memperkuat kerjasama di Asia Timur, khususnya kerjasama dengan Jepang, China, dan Korea Selatan. Suasana yang kondusif ini juga akan membantu memperkuat hubungan bilateral antara Indonesia dan Jepang.178 Mengenai hubungan di masa mendatang, tampaknya arah hubungan akan dapat semakin erat mengingat terdapat beberapa keadaan positif yang dapat membantu perluasan hubungan keduanya. Ketiga, kedua negara menjunjung nilainilai yang sama yaitu sebagai negara pencinta damai, negara yang menjunjung nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan pemerintahan yang baik. Keempat, perkembangan regional yang mengarah kepada integrasi regional di Asia
Timur
akan
mendukung
peningkatan
hubungan
bilateral
kedua
negara.179Ketujuh, potensi kerjasama kedua negara tidak saja dalam konteks bilateral, namun juga dalam konteks penanganan isu global seperti lingkungan
177
http://www.deplu.go.id/_layouts/mobile/PortalDetailNewsLike.aspx?l=..&ItemID=e0f3bec 9-3b69-4b86-bfc0-e4a6f9b1a716. Diakses pada 4 Juli 2013 178 http://www.deplu.go.id/_layouts/mobile/PortalDetailNewsLike.aspx?l=..&ItemID=e0f3bec 9-3b69-4b86-bfc0-e4a6f9b1a716. Diakses pada 4 Juli 2013 179 http://www.deplu.go.id/_layouts/mobile/PortalDetailNewsLike.aspx?l=..&ItemID=e0f3bec 9-3b69-4b86-bfc0-e4a6f9b1a716. Diakses pada 4 Juli 2013
75
hidup.Jepang saat ini aktif mempromosikan konsep “Cool Earth 50” dengan berupaya mengurangi emisi hingga 50% di tahun 2050.180 Kemudian dari segi ekonomi.Pertama, Indonesia setelah krisis ekonomi tahun 1997 telah tumbuh menjadi negara demokrasi baru.Perkembangan makro ekonomi Indonesia juga menunjukkan tanda yang positif dan iklim investasi yang semakin baik.Hal tersebut tentunya dapat menjadi dasar yang baik bagi peningkatan hubungan Indonesia dan Jepang termasuk dalam upaya menarik kembali investor Jepang ke Indonesia.181 Dengan ini, diharapkan tidak ada yang menghalangi peningkatan hubungan lebih erat antar kedua negara.Kedua, hubungan Indoesia dan Jepang merupakan hubungan saling yang membutuhkan dan melengkapi.Jepang merupakan sumber modal, ilmu pengetahuan, dan teknologi bagi Indonesia. Sedangkan Indonesia menjadi penyedia sumber daya alam bagi Jepang.Dapat terlihat dalam upaya Jepang mempertahankan pengaruhnya di Asia terutama Indonesia.Ketiga, kedua negara baru memiliki perjanjian perdagangan bebas, yaitu
Indonesia-Japan
Economic
Partnership
Agreement
(IJEPA)
yang
diharapkan dapat menjadi pemicu peningkatan lebih erat hubungan ekonomi keduanya.182Keempat, masih terbuka peluang peningkatan kerjasama antara
180
http://www.deplu.go.id/_layouts/mobile/PortalDetailNewsLike.aspx?l=..&ItemID=e0f3bec 9-3b69-4b86-bfc0-e4a6f9b1a716. Diakses pada 4 Juli 2013 181 http://www.deplu.go.id/_layouts/mobile/PortalDetailNewsLike.aspx?l=..&ItemID=e0f3bec 9-3b69-4b86-bfc0-e4a6f9b1a716. Diakses pada 4 Juli 2013 182 http://www.deplu.go.id/_layouts/mobile/PortalDetailNewsLike.aspx?l=..&ItemID=e0f3bec 9-3b69-4b86-bfc0-e4a6f9b1a716. Diakses pada 4 Juli 2013
76
masyarakat secara langsung, terutama, di bidang sosial budaya, pendidikan, dan pariwisata dengan mengingat potensi Jepang yang besar.183 Sementara itu, Indonesia juga baru saja menjadi tuan rumah Konferensi Perubahan Iklim dan aktif dalam upaya memajukan perlindungan lingkungan. Melalui kesamaan pandangan antara kedua negara ini, diharapkan keduanya dapat lebih bekerjasama dan berkontribusi bagi penanganan isu global seperti perlindungan lingkungan ini.Hal ini sejalan dengan konsep kerjasama internasional.
183
http://www.deplu.go.id/_layouts/mobile/PortalDetailNewsLike.aspx?l=..&ItemID=e0f3bec 9-3b69-4b86-bfc0-e4a6f9b1a716. Diakses pada 4 Juli 2013
77
BAB V PENUTUP
Skripsi ini memaparkan deforestasi akibat praktik penebangan liar di Indonesia serta perkembangan kerjasama Indonesia dan Jepang terhadap isu deforestasi di Indonesia dalam skema AFP periode 2008-2011.Permasalahan yang diangkat
adalah
peran
Jepang
dalam
AFPkhususnya
dilatarbelakangi
meningkatnya impor kayu ke Jepang yang terjadi di Kalbar dan Kaltim.Dengan demikian, masalah penebangan liar menjadi perhatian Indonesia dan Jepang dalam menciptakan pengelolaan hutan lestari dalam skema AFP. Kerjasama bilateral Indonesia dan Jepang tersebut telah membentuk sebuah forum Asia Forest partnership (AFP) yang bertujuan mempromosikan pengelolaan hutan lestari di Asia dan merupakan kolaborasi lembaga pemerintah atau beberapa negara anggota lain, organisasi antarpemerintah Centre for Internastional Forestry Research (CIFOR), dan organisasi non pemerintah The Nature Conservancy (TNC). AFP memiliki tugas untuk mendapatkan sumbersumber pengetahuan yang baru dengan cara berbagi informasi dengan negara anggota lain. Selain itu, juga dapat menjaga hubungan baik antara Indonesia dan Jepang dalam menangani kasus penebangan liar.
78
Kesepakatan yang dihasilkan oleh Indonesia dan Jepang, adalah cenderung bersifat mengadopsi bantuan luarnegeri.Terutama Jepang dengan memposisikan diri sebagai negara donordi Indonesia.Agar hubungan Indonesia dan Jepang terus berlangsung dengan misi untuk keselamatan hutan di Indonesia yang memiliki banyak manfaat bagi manusia, flora dan fauna. Dapat disimpulkan bahwa Jepang dan Indonesia juga melakukan kerjasama internasional melalui forum AFP sebagai tuan rumah dalam beberapa sesi pertemuan dan telah menghasilkan beberapa kesepakatan, yaitu, memberantas penebangan liar, pencegahan kebakaran hutan, rehabilitasi lahan terdegradasi, memperhatikan segi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Selain itu juga terdapatnya dialog dan aksi bersama untuk pengelolaan hutan yang efektif, penegakan hukum kehutanan dan pemerintahan yang lebih baik lagi, membantu masyarakat yang daerah rawan penebangan liar serta memasarkan produk legalnya. Selanjutnya, pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan sebagai upaya memerangi pembalakan liar dan ikatan perdagangannya. Dalam mengatasi permasalahan penebangan liar di Indonesia, Jepang memiliki tujuan yang sangat jelas, yaitu menekankan pentingnya negara-negara produsen dan konsumen bekerjasama untuk memberantas penebangan liar, antara lain:184Sebagai mitra dagang utama Indonesia, maka Jepang harus menghindari keterlibatan dari penebangan liar. Oleh karena itu, Jepang sebagai negara pembeli produk kayu Indonesia dalam jumlah besar harus mengeluarkan peraturan yang melarang perdagangan kayu ilegal. 184
http://www.presidenri.go.id/index.php/pidato/2008/01/20/850.html. Diakses pada 4 Juli
2013
79
Jepang adalah negara yang memiliki kecanggihan teknologi, sehingga Jepang dapat membantu Indonesia dengan menyumbangkan alat pemindai (satelit image) untuk mendeteksi hasil tebangan berupa kayu-kayu yang akan di ekspor, sehingga legalitas kayu dapat terjamin. Tantangan atau hambatan selanjutnya adalah rendahnya tingkat kesadaran hukum dan terbatasnya jumlah pos-pos perbatasan yang telah menyebabkan pelanggaran lintas batas dan tindakan kriminal lainnya. Begitu juga dengan terancam dan berkurangnya batas wilayah Republik Indonesia, terbatasnya sarana dan prasarana dikawasan perbatasan Kalimantan, berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat perbatasan, serta rendahnya kesadaran politik. Dalam
hal
inidapat
disimpulkan
bahwa
konsep
kerjasama
internasionalternyata mampu menjawab kedua pertanyaan penelitian ini.Sesuai dengan asumsi dasar greenthought, bahwa untuk menangani masalah penebangan liar di hutan Indonesia dan menjaga keselamatan lingkungan diperlukan adanya kerjasama internasional yang dilakukan oleh Indonesia dan Jepang, yaitu komunitas-komunitas lokal maupun regional. Antara lain,melalui AFP (forum internasional antar negara), JICA (badan kerjasama internasional Jepang), serta ODA (bantuan pembangunan Jepang yang akan diberikan pada setiap negara). Hal ini bermanfaat sebagai penguat bangunan dasar bagi bumi serta dapat mengontrol sumber daya mereka sendiri. Harapannya, dengan adanya kerjasama internasional antara pemerintah, masyarakat sipil, dan bisnis juga dapat mewujudkan pengelolaan hutan lestari di Asia dan Pasifik.
80
x
DAFTAR PUSTAKA 1. Buku Betsill, Michele M. et al. ed. 2006. Palgrave Advances in International Environmental Politics. Palgrave Macmillan. New York. Burchill, Scott dan Andew Linklater. 1996. Teori-teori Hubungan Internasional. Bandung. Chomitz, Kenneth 2007. Laporan Penelitian Kebijakan Bank Dunia “Dalam Sengketa? Perluasan, Pertanian, Pengentasan Kemiskinan dan Lingkungan di Hutan Tropis”. Salemba Empat. Jakarta. Creswell, John W. 1994. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. Thousand Oaks: SAGE Publications, Inc. Frankel, Joseph. 1998. International Relations in Changing world. New York: Oxford University Press. Hidayat, Herman. 2011. Politik Lingkungan:Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Reformasi. Yayasan Pustaka Obor. Jakarta. Irewati, Awani. 2005. Jurnal Penelitian Politik:Sikap Indonesia dalam Menghadapi Kejahatan Lintas Negara: Illegal logging di Kalbar dan Kaltim. LIPI. Jakarta. Jemadu, Aleksius. 2008. Politik Global Dalam Teori dan Praktek. Graha Ilmu. Yogyakarta. Keohane, Robert O. 1989. Neoliberal Instititionalism: A Perspective in World Politics, in Internasional Instituions and State Power. Westview Press. Boulder. Kusmayadi. 2003. Aktivitas Illegal Logging dan Pengendaliannya di Perbatasan Kalimantan Barat-Sarawak. Tesis Program Pascasarjana Universitas Indonesia. M. Purnama, Boen dan Bazuki, Heru. 2000. Masalah Penebangan Liar dari Ptrespektif Pemerintah. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta. M. Purnama, Boen. 2002. Infomasi Umum Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Martin, Lisa L. 2007. Neo liberalism dalam International Relations Theories: Dicipline and Diversity, Tim Dunne, Milka Kurki and Steve Smith. Oxford University Press. Great Britain.
xi
Noviar, Ferrytilova. 2007. Hubungan AFP dengan Indonesia dalam Mengatasi Masalah Illegal Logging periode 2002-2006. Tesis Program Pascasarjana Universitas Indonesia. O’Neill, Kate. 2009. The Environment and Internasional Relations. Cambrige University Press. New York. Plano,Jack. C dan Olton R. 1999. Kamus Hubungan Internasional. Abardin. Bandung. Redaksi Ensiklopedi Indonesia. 1990. Ensiklopedi Indonesia Seri Geografi “Indonesia”. Intermasa. Jakarta. Soekarno, Heru. 2009. Statistik Kehutanan BP2HP Kaltim. Kementerian Kehutanan. Kalimantan Timur. Soepijanto, Bambang. 2012. Statistik Kehutanan Indonesia tahun Kementrian Kehutanan. Jakarta.
2011.
Steans, Jill dan Pettiford, Lloyd. 2009. Hubungan Internasional Perspektif dan Tema. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Subadi. 2010. Penguasaan dan Penggunaan Tanah Kawasan Hutan. Prestasi Pustaka. Jakarta. Sukaryadi. 2011. Potret Hutan Provinsi Kalimantan Barat. BPKH Wilayah III Pontianak. Tacconi, Luca dkk. 2004. Proses Pembelajaran Promosi Sertifikasi Hutan dan Pengendalian Penebangan Liar di Indonesia. CIFOR. Bogor. Zain, Alam Setia. 1997. “Hukum Lingkungan Konservasi Alam”. Rieneka Cipta. Jakarta. Zulfah, Siti. 2006. Tindak Pidana Illegal logging Perspektif Hukum Islam dan Hukum positif. Universitas Islam Negeri. Jakarta.
2.
Jurnal, Arsip dan Majalah
Bappeda Propinsi Kalimantan Timur. Forest Watch Indonesia. Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode Tahun 2000-2009. Forestry Agency (2008). Annual Report on Trensd in Forest and Forestry Fiscal Year 2007 (Summarry).
xii
Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 4 Tahun 2005. Tentang pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia. Kementerian Kehutanan Juli 2012. Buku Statistik Kehutanan Tahun 2011. Jakarta. Nursanti. Deforestasi dan Degradasi Hutan di Indonesia. Jurnal Agronomi Vol. 12 No. 1, Januari - Juni 2008. Jambi. Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 259/Kpts-II/2000 pada 23 Agustus 2000. Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 44/Menhut-II/2005 16 Februari 2005. Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.891/Kpts-II/1999 14 Oktober 1999. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 79/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001. Suryadi. 2008. “Ilegal Loging di Perbatasan Indonesia Malaysia”. Majalah Kehutanan Indonesia. Edisi X. Departemen Kehutanan. Jakarta. Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999. Tentang Kehutanan dan Illegal Logging. Dikutip dalam Undang-Undang RI No.19 Tahun 2004. 2010. Citra Umbara. Bandung.
3.
Internet
http://arsip.gatra.com//2003-07-07/artikel.php?id=29675. Diakses pada 20 Maret 2013. http://cintahutan.wordpress.com/author/srimurniningtyas/. Diakses pada 5 Mei 2013. http://fwi.or.id/wp-content/uploads/2013/02/PHKI_2000-2009_FWI_low-res.pdf. Diakses pada 4 Juli 2013. http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/04/23/problematika-penanganan-i llegal-logging-di-indonesia-357287.html. Diakses pada 4 Juli 2013. http://humasplanologi.dephut.go.id/sekdit/index.php?option=com_content&view= article&id=102&Itemid=109&lang=en. Diakses pada 4 Juli 2013. http://komunikasiij.web.fc2.com/Visi-misi.htm.Diakses pada 4 Mei 2013. http://news.detik.com/read/2010/07/29/153943/1409542/10/-negara-rugi-rp-83-mi liar-hari-akibat-illegal-logging.html Diakses pada 29 April 2013.
xiii
http://news.detik.com/read/2011/11/28/131618/1777138/10/sby-jangan-jadi-penad ah-kayu-illegal-logging. diakses pada 30 April 2013. http://reddkaltim.or.id/2012/08/kliping-berita-kemenhut-laju-deforestasi-indonesia -menurun.html Diakses pada 29 April 2013. http://regional.kompas.com/read/2008/04/29/21550833/Kapolda.Kalbar.Pertaruhk an.Jabatan. Diakses pada 5 Juli 2013. http://regional.kompas.com/read/2008/11/03/20481589/Pembalakan.Liar.di.Perbat asan.Kalbar-Serawak.Masih.Terjadi. Diakses pada 5 Juli 2013. http://regional.kompas.com/read/2009/10/26/18431034/17.726.Hektar.Hutan.TN GL.Rusak. Diakses pada 5 Juli 2013. http://storage.jak-stik.ac.id/ProdukHukum/kehutanan/lok_08-090800.pdf. Diakses pada 4 Juli 2013. http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:LAAZYTBIjJwJ:www1. dephut.go.id/index.php/news/details/457&client=firefox-a&hl=en&strip=1. Diakses pada 4 Juli 2013. http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_content&task=view&id=68&It emid=9. Diakses pada 4 Juli 2013 http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_content&task=view&id=221& Itemid=25. Diakses pada 4 Juli 2013. http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_content&task=view&id=252& Itemid=146. Diakses pada 4 Juli 2013. http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_workplan&task=completed&It emid=323. Diakses pada 4 Juli 2013. http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/6193/.Diakses pada 4 Juli 2013. http://www.cifor.org/ilea/_pf/1/_ref/ina/instruments/Law_Enforcement/antikorups i/corruption-interco.htm. Diakses pada 20 Maret 2013. http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/509. Diakses pada 29 April 2013. http://www.dephut.go.id/INFORMASI/UMUM/KLN/AFP.htm. Diakses pada 24 Maret 2013. http://www.dephut.net/index.php?q=id/node/5421. Diakses pada 19 Mei 2013. http://www.deplu.go.id/_layouts/mobile/PortalDetailNewsLike.aspx?l=..&ItemID =e0f3bec9-3b69-4b86-bfc0-e4a6f9b1a716. Diakses pada 4 Juli 2013. http://www.goho-wood.jp/world/guideline/id.html#wrapper. Diakses pada 8 Mei 2013.
xiv
http://www.hariansumutpos.com/2012/09/42591/hutan-ini-milik-siapa#axzz2Y81 sSfoi. Diakses pada 4 Juli 2013. http://www.id.emb-japan.go.jp/expljp_14.html. Diakses pada 4 Mei 2013. http://www.indosiar.com/fokus/penurunan-suku-bunga-jepang-peluang-investasi_ 52947.html. Diakses pada 4 Juli 2013. http://www.itto.int/about_itto/. Diakses pada 5 Juli 2013. http://www.jica.go.jp/english/about/mission/index.html. Diakses pada 4 Juli 2013. http://www.jica.go.jp/english/about/oda/index.html. Diakses pada 5 Juli 2013. http://www.jica.go.jp/english/publications/jbic_archive/annual/2008/pdf/03.pdf. Diakses pada 4 Mei 2013. http://www.jica.go.jp/indonesia/indonesian/office/others/pdf/brochure01.pdf. Diakses pada 20 Mei 2013. http://www.kabarindonesia.com/beritaprint.php?id=20081028134227.Diakses pada 4 Juli 2013. http://www.kalbarprov.go.id/profil.php?id=9.html. Diakses pada 29 April 2013. http://www.kaltimprov.go.id/halaman-20-kaltim-green.html April 2013.
Diakses
pada
29
http://www.karbonhutanberau.org/id/2010/08/catatan-dari-pertemuan-ke-9-asia-fo rest-partnership-dialogue-2010/. Diakses pada 4 Mei 2013. http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1996/09/13/0017.html. Diakses pada 8 Mei 2013. http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/02/04/3/128360/Jepang-Bant u-Pelestarian-Hutan-Indonesia. Diakses pada 1 April 2013. http://www.mofa.go.jp/policy/economy/fishery/afp/summary0211.html. pada 4 Juli 2013.
Diakses
http://www.mofa.go.jp/policy/environment/forest/meet0803-s.pdf. Diakses pada 4 Juli 2013. http://www.mofa.go.jp/policy/environment/forest/report0805.pdf . Diakses pada 4 Juli 2013. http://www.presidenri.go.id/index.php/pidato/2008/01/20/850.html. Diakses pada 4 Juli 2013. http://www.pu.go.id/publik/ind/produk/info_peta/infrastruktur/flash/html/images/ kabupaten/kalbar/kalbarrtrw.htm. Diakses pada 29 April 2013.
xv
http://www.pu.go.id/publik/ind/produk/info_peta/infrastruktur/flash/html/images/ kabupaten/kaltim/kaltimrtrw.htm. Diakses pada 29 April 2013. http://www.tribunnews.com/2013/02/24/jepang-bangun-pabrik-pengolahan-kayudi-cianjur. Diakses pada 8 Mei 2013. http://www.ut.ac.id/html/suplemen/biol4413/materi_02.swf. Diakses pada 4 Juli 2013. http://www.wwf.or.id/?18621/Jon-Hendra-mantan-pembalak-liar-yang-menjadi-sa lah-seorang-anggota-TPU/ . Diakses pada 4 Juli 2013. http://www1.dephut.go.id/index.php/news/details/457. Diakses pada 24 Maret 2013. https://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&src=a&id=72219. Diakses pada 5 Mei 2013. Dikutip dalam Isnaeni Nurul. 2006. Jepang dan Politik Lingkungan Global: Tinjauan Peran Internasional Jepang Dalam Isu Lingkungan Hidup. Journal of Japanese Studies.Japan Kbbi.web.id. Diakses pada 4 Juli 2013.
xvi
Lampiran 1
The G8 Forest Experts’ Report on Illegal Logging May, 2008 1. Background The G8 put illegal logging on the international agenda in 1998, when the G8 Foreign Ministers launched the Action Programme on Forests that featured illegal logging as one of the five issues of particular importance to be addressed. In 2002, the G8 Action Programme on Forests was formally brought to completion when the Final Report was submitted to the G8 Foreign Ministers. In the Final Report, the G8 members were committed to retain forest-related issues at a high level on a domestic and international agenda, and to combat illegal logging and the use of illegally-harvested timber and related products. In 2005, the G8 Environment and Development Ministers committed themselves to a range of different actions to combat illegal logging in the following areas (see Annex 1), with each country acting where it can contribute most effectively: - Cooperation with partner countries (supporting forest law enforcement and governance; enhancing transparency and access to information; and sharing technical knowledge and tools) - Trade-related measures (halting the import and marketing of illegally logged timber; taking action through bilateral and regional trade-related arrangements; and promoting public timber procurement policies) - Engaging the public (working with the private sector; and informing consumers) The outcome of the ministerial conference was endorsed by the G8 leaders at the Gleneagles Summit. G8 leaders adopted the “Gleneagles Plan of Action: Climate Change, Clean Energy and Sustainable Development,” in which they committed themselves to take forward conclusions endorsed at the ministerial conference (see Annex 2). Against this backdrop, G8 forest experts agreed to submit a report on illegal logging to the G8 Environment Ministers Meeting in May 2008 in Japan. In this report, the experts provide illustrative examples of the range of different actions taken by G8 members over the last decade, and consider the impacts of such actions and challenges ahead to be addressed by G8 members in cooperation with public and private partners at local, national, and international levels.
xvii
2. Actions taken and their impacts Since 1998, a significant number of activities have been undertaken by members of the G8, and the following is a number of examples of such activities, although not comprehensive. It is worth pointing out that many of them involve joint actions between timber producer and consumer countries. During the last decade, we have witnessed encouraging progress in some areas, and the G8 has shown that it can play a significant leadership role in combating illegal logging and its associated trade. (1) Cooperation with partner countries Members of the G8 have been assisting developing countries through bilateral and multilateral frameworks in enhancing law enforcement and improving governance, enhancing transparency and access to information related to forests and the forest sector, and developing legality verification schemes for timber and timber products. In response to these actions taken by the G8, some improvements have been observed in clear and transparent allocations of tenure and concessions, sustainable forest management and land use, compliance with relevant laws by timber and forest products companies, transparent customs procedures for export, and strengthening disciplines in timber-exporting countries. (a) Supporting forest law enforcement and governance / Enhancing transparency and access to information - Members of the G8 actively participated in a series of ministerial conferences on Forest Law Enforcement and Governance (FLEG) coordinated by the World Bank and hosted by Indonesia in 2001 (East Asia FLEG), by Cameroon in 2003 (Africa FLEG), and by Russia in 2005 (Europe and North Asia FLEG). Each of those conferences has contributed to raising political awareness of the issue in the regions. - Japan, together with Indonesia, took the initiative to launch the Asia Forest Partnership (AFP) in 2002 that aims at promoting sustainable forest management, mainly in the Asia-Pacific region, through active study and exchange of views among th
various stakeholders including the private sector and civil society. At the AFP’s 7 Meeting, held in 2007, Partners decided to keep focusing on illegal logging and nd
associated trade during its 2 Phase (2008-2015), particularly considering improving forest-related governance. - The United States, together with South Africa, took the initiative to launch the Congo Basin Forest Partnership (CBFP) in 2002, to support implementing the Convergence Plan of the COMIFAC (Commission des Forêts d’Afrique centrale) that aims to implement sustainable forest management and to reduce poverty. The United States, followed by France and Germany, played a role as
xviii
facilitator of the CBFP. The United States has contributed to promoting sustainable forest management in the region, including efforts to fight illegal logging by providing local forest users and owners with tools to monitor and protect their forests and by increasing community involvement in forest governance. Since 2003, France has engaged in promoting sustainable forest management in the Congo Basin, including law enforcement, management plans and technical assistance. One of the main tasks of the German facilitation is to contribute to improving forest governance and framework conditions in the region. - In accordance with the EU Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) Action Plan adopted in 2003, the European Commission with the support and assistance of France, Germany, the Netherlands, and the United Kingdom, have been assisting producer countries in building a consensus among various stakeholders on the definition of legality, in developing verification systems, in enhancing transparency and governance in the forest sector, and other relevant activities such as independent monitoring. - Germany has developed a specific FLEGT-Strategy as part of the overall concept “forests and sustainable development.” The goal of this strategy is to support partner countries in designing FLEGT-related measures that effectively contribute both to achieving legality and to sustainable forest management and development. German Development Cooperation is contributing to support FLEGT-related measures in almost 20 partner countries and regions. - The United States launched the President's Initiative Against Illegal Logging (PIAIL) in 2003 to help tropical countries combat illegal logging and the export of illegally harvested timber and timber products. Under the PIAIL framework, the United States has supported a wide range of actions in collaboration with public and private partners, including the launch of the Liberia Forest Initiative (LFI) in 2004 to help put the country’s forest sector on a legal, transparent, and sustainable footing. The LFI led to Liberia’s Forest Reform Act in 2006. - The United Kingdom concluded a Memorandum of Understanding on illegal logging with Indonesia in 2002. - Japan signed the Joint Announcement and the Action Plan on cooperating in combating illegal logging and trade in illegally logged timber and wood products with Indonesia in 2003. - In 2006, the United States and Indonesia concluded a Memorandum of Understanding (MOU) on combating illegal logging and associated trade. In 2007, the United States concluded a similar MOU with China to combat illegal logging and associated trade and promote transparent timber markets and use of legally-sourced timber. - Much of Canada’s effort to combat illegal logging has aimed at addressing its underlying causes, such as immature infrastructure, inadequate capacity, and
xix
lack of transparency in governance, among others. Canadian official development assistance has supported sustainable forest management in a number of developing countries. These resources, along with Canadian expertise, support capacity-building and governance, particularly in the areas of forestry policy and administrative management. Experience has shown that improved forestry management often reduces the incidence of illegal logging and associated trade, and helps ensure the transparency of forest management. - G8 member countries have been supporting producer countries in their efforts by carrying out a number of projects and activities that address the illegal logging issue through International organizations such as the International Tropical Timber Organization (ITTO) and the World Bank. (b) Sharing technical knowledge and tools - Some members of the G8 have been supporting developing countries in their efforts to create adequate conditions (review and clarification of laws, legality criteria and indicators, traceability schemes, improvement of statistics, control by independent third party for tax payments, tax sharing with local communities, etc.) for implementing forest certification and other chain-of-custody verification schemes (FSC, PEFC, PAFC, MTCC, LEI and FLEGT-licensing scheme etc.) that verify legality and/or sustainability of timber and timber products. - In accordance with the Joint Announcement and the Action Plan signed in 2003, Japan, in collaboration with Indonesia and NGOs, has been implementing cooperation for developing forest monitoring technology with the use of satellite images and a log traceability system with the use of 2D bar code. - Since 2007, Japan has been providing images put together from observation data of the Amazon region by “Daichi,” the Advanced Land Observing Satellite (ALOS), to the Brazilian government and thereby cooperating in identifying the areas of deforestation, including those involving illegal logging. - Under its Memorandum of Understanding with Indonesia, and working through partnerships with NGOs and the private sector, the United States supported the implementation of the Indonesian Forest Monitoring and Assessment System (FOMAS) as well as efforts to develop a remote sensing-based alert system for protected areas. - The United States Geological Survey has initiated aggressive steps to make access to its entire Landsat data archive — an unrivaled, 35-year record of the Earth’s surface and a useful tool for forest management worldwide — freely available to the public by February 2009. - Germany, jointly with the WWF, organized an international scientific expert meeting on chemical and genetic methods to verify origins of traded timber (“timber fingerprinting”) in 2007. The meeting concluded that development of concrete tracking systems for most important traded timber species was
xx
feasible and achievable within a reasonable time frame. Follow-up action has been initiated. (2) Trade-related measures Steps taken by members of the G8 to control illegal logging and associated trade, including wildlife trafficking, have included voluntary bilateral trade agreements, bilateral and regional arrangements related to trade, and public timber procurement policies. (a) Halting the import and marketing of illegally logged timber - In accordance with the EU FLEGT Action Plan, the European Commission launched negotiations with some producer countries in South-East Asia and Africa on Voluntary Partnership Agreements (VPAs) with a view to limiting the import of timber and timber products from partner countries to the EU, only to the verified legal timber and timber products. - To strengthen the FLEGT Action Plan, and in recognition of the potential for circumvention of the Partnership Agreements, the EU is considering additional legislation to exclude illegal timber from the European market. - Canada has proposed and promoted the adoption of a taxonomic classification system for International Customs authorities to standardize, organize, and capture wildlife trade data. - G8 member countries, as parties to the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), have enhanced control of trade in endangered timber species listed in Appendices such as Big Leaf Mahogany and Ramin in accordance with the provisions of the Convention. (b)Taking action through bilateral and regional trade-related arrangements - Japan took initiatives to address the illegal logging issue in forums related to FTA/EPA in negotiations with timber-exporting countries initiated recently (e.g. the forum on forestry issues established under the ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership (AJCEP) Agreement). - The United States has supported efforts to combat illegal logging through its free trade agreements (FTAs), by including the core obligation to effectively enforce environmental laws as well as provisions on transparency, customs cooperation, and rules of origin. FTAs are complemented by parallel agreements that include specific mechanisms for enhanced cooperation on environmental matters. (c) Promoting public timber procurement policies
xxi
- Since 2000, some G8 and EU member countries (Belgium, Denmark, France, Germany, Japan, the Netherlands, the United Kingdom, and others) have introduced government procurement policies that favour verified legal and/or sustainable timber and timber products. The introduction of these policies has contributed to improving the practices of the private sector by showing the preference for legal and/or sustainable timber and timber products. Although the scale and the share of the public sector differ from country to country (e.g. 15-20% in the United Kingdom and 2-3% in Japan), public procurement policies created and influenced markets for verified legal and/or sustainable timber and timber products. (3) Engaging the public (working with the private sector; and informing consumers) Members of the G8 have been working with the private sector and civil society to improve business practices and raise public awareness on the issue. - In many timber-exporting countries, dialogues on national legislations related to land use and the utilization of forest resources among multi-stakeholders, including governments, the private sector, forest-dependent local communities, and NGOs, have been initiated and activated with the support of G8 members. - In line with the introduction of its government procurement policy, Japan has issued a guideline that provides verification modalities for legality and sustainability of wood and wood products in 2006. The guideline has facilitated voluntary initiatives by forest products industry associations and individual companies. - Members of the G8 have worked with forest product companies and their suppliers worldwide to promote responsible forest management, reduce illegal logging, and improve the well-being of local communities in developing countries. - The actions taken by the G8 contributed to improving the practices of the private sector and raising consumers’ and local population’s awareness on the issue. They also served as an incentive for timber-exporting countries to take voluntary actions to address the issue. Thus, a variety of voluntary initiatives by the private sector, including adopting and implementing voluntary codes of conduct and traceability schemes, has been launched and developed in both producer and consumer countries. (4) Other actions - As members of the United Nations Forum on Forests and the UN General Assembly, all G8 members joined in adopting the Non-Legally Binding Instrument on All Types of Forests, which provides a framework for national action and international cooperation of forests, including combating illegal logging and timber trafficking, through 2015.
xxii
- Canada organized a series of like-minded countries meetings to explore developing a Legally-binding Agreement on Sustainable Forest Management that also addresses the issue of illegal logging. - Since 2005 Canada and the Russian Federation have worked together pursuant to a Joint Statement of Technical Cooperation to improve sustainable management of forests in Russia. Cooperation focuses on forest fire management, forest carbon accounting, certification, and model forests. - Canada has promoted environmental stewardship through the International Model Forest Network, the Secretariat of which is housed and supported by Canada, which now links over 20 countries and nearly 50 landscape-level sites around the world to develop, apply, and share innovative sustainable forest management practices based on inclusive partnerships. - Japan organized a series of International Experts Meetings on Illegal Logging to promote dialogue among major timber-producing and -consuming countries, international organizations, institutions, and civil society on the issue. - The United States co-sponsored, with Australia, Indonesia, the Philippines, and Thailand, a resolution adopted in 2007 by the UN Commission on Crime Prevention and Criminal Justice on "International cooperation in preventing and combating illicit international trafficking in forest products," and supported a follow-up resolution in 2008 at the Crime Commission. These resolutions are important tools to engage the law enforcement community internationally to address forest and wildlife crimes, in line with one of the Crime Commission’s priorities to promote the role of criminal law in protecting the environment. - The United States has concluded 13 innovative debt-for-nature agreements with partner countries in Africa, Asia, and Latin America, which will generate funds over 10-25 years for forest conservation, including improved law enforcement. - The United States, Canada, and the United Kingdom, together with Australia, Chile, and India, have worked through the Coalition Against Wildlife Trafficking launched in 2007 to address the black market in wildlife and wildlife parts, which often is associated with illegal logging and organized crime. 3. Challenges ahead and ways to move forward G8 member countries are home to much of the world’s forests and account for a major proportion of international trade in timber and timber products as well as bilateral and multilateral forest-related assistance. Therefore they can significantly impact illegal logging as development and trading partners, and they should continue to address the issue collectively and individually. G8 forest experts shared the view that G8 members, in close cooperation with interested countries, organizations, and public and private partners, should
xxiii
continue to take a range of different actions, with each member acting where it can contribute most effectively. G8 forest experts have identified a number of possible ways to move forward in efforts to combat illegal logging and its associated trade. The following is a preliminary list of options developed to date: - Promote transparent timber markets and trade in legal and sustainably- produced timber and timber products through creating incentives and partnerships among timber-exporting and -importing countries. This may include voluntary measures to encourage application of timber verification and labeling schemes. - Promote expansion and development of bilateral and multilateral frameworks and dialogues between timber-exporting and -importing countries, involving timber-processing countries. - Encourage, adopt, improve or extend public timber procurement policies that favor legal timber, where they can influence the private sector to use legally sourced timber, and share experience of this with others. - Encourage and support voluntary initiatives by the private sector in both timber-exporting and -importing countries including such efforts as adoption and implementation of voluntary codes of conduct, and improvement of its business practices and market transparency. - Promote and disseminate knowledge about sustainable forest management to all stakeholders and encourage the development of sustainable forest management plans in consultation with stakeholders. - Promote cooperation with civil society, including NGOs and consumer groups in raising consumers’ and local population’s awareness on the issue. - Support actions identified through regional Forest Law Enforcement and Governance (FLEG) ministerial processes in Africa, Europe-North Asia, and East Asia, and actively engage the International Tropical Timber Organization (ITTO) and other relevant multilateral fora that can bring resources to bear in addressing the illegal logging issue. - Promote coordination of efforts being made by G8 members in assisting producer countries. - Continue to work with the forest products industry, NGOs, international organizations, and partner countries to build the capacity of timber-producing and -exporting countries to stop illegal logging, including supporting efforts to comply with CITES obligations.
xxiv
- Improve public access to forest-related information and enhance transparency of the forest sector through assistance to producer countries in developing necessary measures. Increase public awareness, including in producer countries, on the environmental, social and financial impact of illegal logging. - Explore with partner countries developing and using systems for tracking origins and the flow of timber. - Utilize information obtained from satellites to detect, report, prevent, and prosecute illegal activities in forests through cooperation and capacity building of producer countries. - Explore developing a global monitoring network for forests, deforestation, forest degradation and illegal logging based on ongoing national and international earth observation initiatives and forest monitoring and assessment processes. - Reflect discussion of and lessons learnt from combating illegal logging in the discussion on Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) as appropriate, recognizing that substantial progress on forest governance can contribute significantly to making progress on REDD. Strengthen coordination with relevant policies, in particular land use policies, including agriculture and bio-fuel policies. - Identify ways to enhance cooperation between customs and law enforcement authorities in producer and consumer countries. - Consider possible measures to promote better due diligence of investments by the private sector to contribute to efforts to combat illegal logging and its associated trade, promoting measures against money laundering, and enhancing transparent accounting in timber and forest products companies. 4. Follow up G8 forest experts pointed out that worldwide deforestation and forest degradation continue at an alarming rate and that illegal logging remains a significant contributory factor. Yet, there has been considerable progress, too. The experts are committed to further meeting challenges and pursuing ways to move forward with a view to curbing illegal logging and its associated trade. In addition, the experts recognize that the international community is continuously in need of political momentum in dealing with the issue. G8 forest experts will keep close contact with each other and meet occasionally and again in 2010 to review progress in realizing the commitments made, share lessons, and continue exploring options for coordinated action against illegal logging and its associated trade involving other relevant partners, in efforts to identify national, regional and global solutions to the issue.
xxv
Lampiran 2 The Second Round of the International Experts Meeting on Illegal Logging Chairpersons’ Summary The Second Round of the International Experts Meeting on Illegal Logging took place in Tokyo, Japan, on 3-4 March 2008. The Meeting was hosted by the Government of Japan and attended by 51 senior level experts on the illegal logging issue as well as 11 observers. Participating countries were 18 major timber-producing and timber-consuming countries, namely, Australia, Canada, France, Gabonese Republic, Germany, Republic of Ghana, Indonesia, Italy, Japan, Malaysia, the Netherlands, New Zealand, Papua New Guinea, Romania, Russian Federation, Solomon Islands, the United Kingdom and the United States, and European Commission, as well as representatives from international organizations and institutions, namely FAO, ITTO, the World Bank, Chatham House, IGES, Lembaga Ekolabel Institute, TRAFFIC International and World Resources Institute, that are actively involved in initiatives to combat against illegal logging. Representatives from the private sector and civil society also participated as observers. The first day of the meeting consisted of 13 presentations divided into sessions on actions to tackle illegal logging and their impacts, verifying legality and sustainability, ensuring transparency of forest management, and further options to eliminate illegal logging and its associated trade. 1. Opening Remarks The Meeting was opened by the co-chairs, H.E. Mr. Kyoji Komachi, Ambassador for Global Environmental Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Japan and Mr. Salman Al Farisi, Director for Development, Economic and Environmental Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Indonesia. The co-chairs welcomed the participants from producer and consumer countries, international organizations and the private sector. Ambassador Komachi emphasized the importance of SFM especially with the recognition of the critical role of forests to the efforts to address global challenges such as climate change. He stressed that as President of the G8, Japan will take initiative to tackle forest issues, including illegal logging, and he stressed the importance of producer and consumer countries working together to combat illegal logging. He explained that the outcome of the Meeting should contribute to the G8 Hokkaido-Toyako Summit. Mr. Salman Al Farisi expressed appreciation to the Government of Japan for organizing the meeting and noted efforts at the international level to promote SFM and combat illegal logging such as the UNFF’s MYPOW and the NLBI. The co-chairs explained that China was unable to send a representative but that Japan was pleased to welcome the Solomon Islands, Gabon, Ghana and Romania as new participants in this meeting.
xxvi
The co-chairs explained that the Meeting would review developments on illegal logging at the national and international levels, the effects of measures taken and discuss how further progress can be made. 2. Actions to Tackle Illegal Logging and their Impacts This session consisted of presentations on i) developments since 2002 in forest law enforcement, governance and trade, ii) policies of Gabon to tackle illegal logging, and iii) FLEG initiatives, specifically in East Asia. During the discussion one participant warned that the new issue of climate change may soon replace illegal logging as the next theme for forests, as yet another shift in the forests agenda, but without significant impacts on deforestation rates. Further elaboration was provided of the study by Chatham House on indicators of progress in dealing with illegal logging. The study will initially cover 12 countries, the indicators are not yet fully decided and there may be scope for social issues to be included. The 11 steps for Indonesia to tackle illegal logging that had been developed by the World Bank and others also generated interest. Some of the steps may now be reflected in some aspects of national policy but it appears that these steps have not become a truly national programme. The WB, together with others, is supporting Indonesia in promoting the development of national efforts. One participant asked whether we could reflect on the recommendations of the last meeting in our discussions, i.e. whether they are still valid or whether we can build upon these. The co-chair stated that this would be touched upon in session 4. Logging, whether legal or illegal, was recognized as very important in the Solomon Islands. As part of its development policy the government is reviewing its logging legislation and is putting in place a code of ethics of logging. The Solomon Islands would like further assistance from G8 countries for these initiatives. A participant felt that the FLEG discussion lacked a result focus, i.e. a mechanism to assess whether countries are moving forward. Due diligence (prosecutions etc.) can be measured and could be used to reward countries through ODA. One participant felt that market incentives such as favourable prices from consumer countries that can be channeled back to producer countries would work better to enhance progress in forest management in a country such as Malaysia that does not receive ODA. Another participant emphasized that illegal logging was a livelihood strategy of poor communities in countries that had experienced colonialism and that the Meeting needed to take up this issue in its discussion. It was noted that there is a need for different policy responses according to whether illegal logging is driven by poverty or by greed
A participant explained that the partnership agreement approach of EU-FLEGT is based on a dialogue between parties, identification of what needs to be done, a program of action, agreement of what support is required and measurement of results.
xxvii
3. Challenges Ahead and Ways to Move Forward 3.1 Verifying Legality and Sustainability The three presentations in this session were on i) the experience of Indonesia in timber legality verification, ii) public procurement policies for legal and sustainable timber, and iii) initiatives by the private sector in Japan. A question was raised as to whether governments should develop their own criteria or use what is available in certification schemes for public procurement. In response, it was suggested that governments should develop their own standards to explain what they mean by legality and sustainability and that these could raise the performance of certification schemes. One participant felt that principles from certification, which are broadly accepted, could be used to develop national legality standards that could then be used for public procurement. A problem noted of certification is that it was introduced to improve forest management in tropical countries but it has progressed most in the temperate zone countries because of their longer experience with SFM. A concern raised was that while Japan’s current procurement system is useful, timber rejected by countries with procurement policies will be consumed elsewhere. The need for additional measures was discussed. One participant argued that if Indonesia develops a good verification scheme, it should be accepted by all countries. A concern that VPAs might be discriminatory trade measures was raised. Another participant responded that these are voluntary agreements and that discussions with Latin American countries are now underway, i.e. that there is no intention to limit the VPAs to Asia and Africa. The issue of changing forest agendas again stimulated interest with one participant arguing that without fundamental changes in forest governance climate change objectives cannot be met. One participant explained that in Indonesia the legality verification standard has been elaborated to distinguish between planted forests, community forests and natural forests and that this will help in combating illegal logging. He felt that a global scheme may be ideal but it is unrealistic; therefore, mutual recognition agreements between important producing and consuming countries to ensure that only verified legal products from the producing countries are permitted entry to the consuming countries may be a more practical and important measure. Another participant explained that because forest certification has progressed further in temperate forests most governments have included alternative verification modalities in their procurement policies, allowing the purchase of verified legal products from tropical countries. Public procurement policies that only use the two global forest certification schemes may be discriminating against tropical countries. The concern that public procurement policies will merely shift the flow of illegal wood to countries without policies is also relevant for the substitute of wood materials, according to one participant. To reduce these risks, he argued that there is a need to bring in cost effective systems and to promote harmonization amongst consumer countries.
xxviii
3.2 Ensuring Transparency of Forest Management i) Improvement of international trade statistics, ii) multi-stakeholder initiatives to promote transparency, and iii) forest governance initiatives in Ghana were the three topics of presentations in this session. A question was asked as to whether there is evidence that transfer pricing continues to be a significant source of revenue loss for producer countries. One participant felt that there is a need for information to be connected with a clear process for informed action, but that for transparency we need a lot of data that may not be available. The issue of discrepancies in trade statistics was a point of interest for participants. One participant explained that some discrepancies are to be expected, but that we need to identify which of these are due to forest crime, and that in such cases there is a need for further investigation. He felt that this is the responsibility of national governments; therefore, we need to build the capacity of governments to follow up on some of the clues from these discrepancies. He explained that ITTO studies have shown that this follow up is very inadequate. Another participant noted that if information is in the public domain, the public can play a role in forest monitoring. Several participants raised the issue of the need for making the counterfactual available to the public. The participants noted that information sharing is very important. Cooperation between Japan and Brazil under which Japan is providing information from its satellite system was given as an example. One participant recommended that such cooperation could be extended to other countries and suggested to the G8. Whether FLEGT had a positive impact from the perspective of producer countries was discussed. A participant explained that his country’s experience with FLEGT had been very positive. He noted that the country had undertaken policy reforms from 1994, but that it struggled to implement these and that FLEGT provided support for this reform process. He argued that FLEGT should be viewed as a mutually beneficial process. Another participant noted that developing a standard of legality involving forest stakeholders could have a positive outcome in terms of broad buy in, but explained that this takes much longer than a unilateral process. He felt that additional necessary elements are adequate possession of information and a larger system of information governance including freedom of the press. On information sharing, one participant felt that it could be very useful for G8 countries to make information available to producer countries, thereby reducing costs, and that informal multi-stakeholder processes can also be very useful (e.g. the process behind the amendment of the Lacey Act). He explained that multi-stakeholder processes have to be chosen and should be inclusive. One participant explained the experience of a producer country included the following lessons:
xxix
--To define the stakeholders for a multi-stakeholder process is difficult. --Building trust is important but difficult. --Governments with many different agencies, businesses and the representatives of local people must all decide their positions to be presented in the multi-stakeholder forum. --Local people need the assistance of local NGOs that can communicate in local languages. -- The issue is not just about transparency, it is also about building trust amongst the stakeholders. 3.3 Further Options to Eliminate Illegal Logging and its Associated Trade The four presentations in this session covered i) emerging lessons from VPAs and prospects for additional legislative measures, ii) efforts by Malaysia to combat illegal logging, iii) engaging Customs to curb the trade in illegal wood, and iv) US actions to combat illegal logging. The suggestion of using Customs declaration forms to combat the international trade in illegal wood generated a lot of interest. A question as to whether they were easy to tamper with and defraud was raised. In response it was noted that there are some measures used by Customs to determine whether documents are accurate, but that there needs to be further analysis of documentation processes to determine if export declarations can be used at the importer end. Another participant felt that further work on the awareness of Customs of illegal logging is needed. He asked how high illegal logging is on their agenda, given that they are very busy people. Another participant noted that the strength of using a Customs declaration form is that if it does not accompany a shipment it will not be imported. Another participant asked what the most effective disincentives and incentives are for businesses in relation to illegal logging and also whether the VPA schemes could address the issue of countries importing from non-VPA countries.
xxx
Appreciation for the study by TRAFFIC on Customs was expressed and the need to seriously consider how exporting and importing countries can exchange information on trade statistics was emphasised. One participant felt that before taking action we need to discuss what timber items should be included when a producer country decides to implement export bans. He felt that we must consider how markets can provide incentives for legal timber and noted that most countries do not yet have a market for verified legal and sustainable timber. He felt that the focus should be on increasing supply and that action should start with the developed countries that can most easily provide timber verified as legal to the market and that this could be used as an incentive for developing countries. A participant explained that the Cebu workshop in 2005 on promoting cooperation among Customs and forest authorities showed that there was little action by Customs on illegal trade. The workshop found that international action was focused on forest departments and that the role of Customs was not being addressed. He explained that they lack expertise on forest crime and need other agencies to work with them. Another participant noted that a strength of the proposed amendment to the Lacey Act is that an existing system is being used and that overall this is a significant step to tackle illegal trade. Several participants expressed the view that timber should be perceived as a free trade commodity. A concern was raised that there appears to be no mention of the FLEGT VPAs in the public procurement policies and that expecting case by case assessment of evidence for public procurement would be too much, especially after countries had gone through the VPA process. One participant noted that the VPAs cannot stand on their own and that they need market incentives. He explained that the additional legislative options discussion should result in legislative options to support the VPAs. He also noted that the procurement policies in Europe prefer certified timber and hoped that they will acknowledge the VPAs. Another participant explained that the FLEGT license will be the only legality verification used by the UK from 2009 and that the licensing system needs to be elaborated to deal with laundering, and that there are two studies on this issue underway. He noted that the FLEGT licensing system would offer an easy way to ensure that any banned exports from VPA partner countries (e.g. logs or sawnwood) could not be imported into EU countries. The desirability of reciprocal action was again raised in the discussion with one participant stating that this would be useful in relation to the Indonesia log and sawn timber export ban. It was noted that there are three tools that could be considered in relation to the role of Customs: i) UNEP Green Customs Initiative, ii) International Network for Environmental Compliance and Enforcement, which tries to professionalise law enforcement in the realm of the environment, and iii) international law enforcement academies, which are regional training centres that have law enforcement tools and can include environmental issues. One participant suggested that the new focus on REDD should be viewed positively as it would increase attention towards the same governance issues that the illegal logging agenda is attempting to deal with.
xxxi
In commenting on the discussion that had taken place throughout the day one participant felt that the keys to success are good governance, effective verification, an appropriate legal framework and enforcement, and that the participation of communities is essential. He noted a shift in the global agenda from SFM as a whole to its parts - on illegal logging and moving on to REDD - and stressed that there is a need to return to a holistic SFM approach that engages local communities and that incorporates international approaches. He felt that many lessons are offered by bilateral approaches that would allow us to develop a broader multilateral approach, and that an effective legal arrangement is the best approach to SFM and would include recognition of the problem of illegal logging. Co-chair summary of discussion The co-chairs briefly summarised the day’s discussion noting that participants had discussed many lessons from existing initiatives and best practices, but that they had also identified issues for further discussion such as timber as a free trade commodity and incentives for legal timber and timber products. 4. The G8 Forest Experts Meeting Report on Illegal Logging Participants made suggestions that may be considered in preparation of the G8 Forest Experts Meeting Report on Illegal Logging. It was announced that the Draft Report will be drawn up by the Government of Japan in consideration of the discussion held at the Meeting with the intention of forwarding it to the G8 Environment Ministers Meeting to be held in May this year.