KEPAILITAN TERHADAP BANK DI BAWAH PENGAWASAN BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL ZULFI CHAIRI, SH Fakultas Hukum Bagian Hukum Keperdataan Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Bank merupakan intermediasi dana untuk menggerakkan dunia bisnis dan mempunyai tugas sebagai perantara untuk menyalurkan penawaran dan permintaan kredit pada waktu yang ditentukan dan suatu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan penyalurannya akan kembali pada masyarakat juga dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat. Sebagai badan usaha, Bank akan selalu berusaha mendapatkan keuntungan dari usaha yang dijalankannya, sebaliknya sebagai lembaga keuangan bank mempunyai kewajiban pokok untuk menjaga kestabilan nilai uang, untuk mendorong kegiatan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja. Persoalannya ialah krisis nasional yang hingga sekarang belum pulih karena lemahnya sektor keuangan, khususnya perbankan. Rapuhnya ekonomi Indonesia menghadapi efek berantai krisis valas yang datang dari Thailand terutama ialah karena kondisi perbankan yang sangat buruk. Keadaan yang demikian dapat menimbulkan terjadinya likuidasi bank, kewajiban yang ditentukan oleh Bank Indonesia (BI) sulit untuk dipenuhi oleh bank tersebut, akibatnya bank yang hampir dilikuidasi diupayakan oleh Bank Indonesia (BI) untuk sehat kembali karena bank yang tidak sehat akan dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap Bank, adanya pengawasan yang kerap dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) tidak menghasilkan yang memuaskan di dunia perbankan. Tanpa perbankan yang sehat dan terus berkembang sebuah perekonomian tidak akan dapat dibangun, terutama dalam era globalisasi dan ekonomi pasar sekarang, hanya dengan kesehatan yang primalah bank dapat menjalankan fungsinya. Untuk mencegah memburuknya keadaan ekonomi umumnya dan untuk menyehatkan perbankan khususnya, pemerintah sudah lama membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), lembaga ini didirikan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 tahun 1998 tertanggal 26 Januari dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 1999. Tugasnya tidak banyak, tetapi sangat berat yaitu ada tiga : Penyehatan Bank yang ditetapkan dan diserahkan oleh Bank Indonesia (BI), Penyelesaian Aset Fisik dan kewajiban debitur bank-bank yang menjadi tanggung jawabnya melalui unit Pengelolaan Aset, dan Pengupayaan Pengembalian Keuangan Negara yang telah tersalur kepada bank melalui penyelesaian aset dalam restrukturisasi. 1
1
Jhon Tafbu Ritonga, BPPN : Pemulihan Ekonomi Indonesia, Makalah untuk Kuliah di 5 Kota Besar, 1999, hal 3. ©2003 Digitized by USU digital library
1
Dilihat dari hasil kerja BPPN belum mendapat hasil yang baik dengan bukti adanya upaya BPPN untuk melakukan merger terhadap bank-bank yang berada dibawah pengawasan BPPN, namun ada hal yang mungkin dilakukan bank-bank tersebut untuk tidak merugikan negara. Sebelum bank tersebut diserahkan oleh Bank Indonesia (BI) ke BPPN atau upaya tersendiri yang dilakukan untuk mendapat adanya BPPN. Berdasarkan pertimbangan perhubungan di atas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dan mengambil judul “Tinjauan Hukum Kepailitan Terhadap Bank di bawah Pengawasan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)”. B. Permasalahan Bank merupakan suatu badan usaha yang dapat melakukan perbuatan hukum yang mempunyai hak dan kewajiban sebagai subjek hukum. Perbuatan hukum yang dilakukan oleh bank berdasarkan dari segala peraturan yang berisi tentang perbankan. Peraturan tentang perbankan tidak dapat menjerat pertumbuhan bank pada masa sekarang sehingga makin banyak bank yang akan dilikuidasi oleh Bank Indonesia. Upaya pemerintah membuat lembaga untuk penyehatan belum mencapai hasil yang maksimal sehingga Bank dalam rangka penyehatan semakin banyak. Upaya yang dilakukan oleh BPPN yang disebut sebagai lembaga penyehatan mengamankan Bank ke BPPN untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum telah jelas dengan bukti adanya merger yang dilakukan terhadap bank yang berada di pengawasan BPPN. Sehingga semua perbuatan tidak lagi dilakukan oleh bank tersebut yang dinyatakan tidak mampu memenuhi persyaratan oleh BI untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban Bank. Ketidakmampuan bank itu tidak dinyatakan pailit, karena dalam rangka penyehatan bank. Mengingat pada pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 yang berbunyi “Dalam hal yang menyangkut debitur yang merupakan bank, permohonan pernyataan pailit dapat diajukan oleh Bank Indonesia.” Dalam hal itu bank-bank berada dalam pengawasan Bank Indonesia dan harus memenuhi persyaratan yang ditentukan dan Bank Indonesia selalu mengadakan pengawasan terhadap bank tertentu. Apabila bank tidak mampu membayar hutang-hutangnya terhadap kreditur maka bank itu diupayakan untuk mengembalikan modal dengan cara penyehatan yaitu pengiriman bank oleh Bank Indonesia kepada BPPN. Jadi bank tersebut belum tentu dalam keadaan pailit disebabkan pengambil alihan oleh BPPN hanya bersifat sementara dan bank tersebut harus memenuhi persyaratan pailit dalam hal sebagai badan usaha yang berbadan hukum. Untuk membatasi pembahasan terhadap permasalahan ini, maka penulis membatasi ruang lingkup permasalahan terhadap : 1. Bagaimana status bank yang ada dibawah pengawasan BPPN menurut UU NO. 4 tahun 1998 tentang kepailitan. 2. Apakah akibat hukum dari bank yang berada dibawah pengawasan BPPN yang menyatakan pailit. BAB II ASPEK HUKUM BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL A. Pengertian Bank Azhar Abdullah menyatakan : Pada dasarnya definisi mengenai Bank tidak berbeda satu sama lain, walaupun ada perbedaannya hanya kelihatan pada tugas atau usaha-usaha Bank tersebut. Bank adalah suatu badan yang tugas utamanya sebagai
©2003 Digitized by USU digital library
2
perantara untuk menyalurkan penawaran dan permintaan kredit pada waktu yang ditentukan. 2 Sedangkan menurut pasal 1 ayat (2) Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang perbankan, yang dimaksud bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dari pengertian tersebut di atas jelaslah bahwa sebagai financial intermediary dengan usaha utama menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat serta memberi jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran dan usaha perbankan pada dasarnya suatu usaha simpan pinjam demi dan untuk kepentingan pihak ketiga tanpa memperhatikan bentuk hukumnya apakah perorangan ataukah badan hukum, sebagai badan usaha bank akan selalu berusaha mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari usaha yang dijalankannya. Sebaliknya sebagai lembaga keuangan bank mempunyai kewajiban pokok untuk menjaga kestabilan nilai uang, mendorong kegiatan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja, itulah merupakan dua fungsi bank yang tidak dapat dipisahkan. Selanjutnya pasal 3 dan 4 Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1999 menyebutkan fungsi dan tujuan perbankan Indonesia, yaitu : 1. Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. 2. Perbankan Indonesia bertujuan menunjang perlaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Dengan demikian fungsi perbankan Indonesia tidak hanya sekedar sebagai wadah penghimpun dan penyalur dana masyarakat atau perantara penabung dan investor tetapi fungsinya akan diarahkan kepada peningkatan taraf hidup orang banyak menjadi lebih baik dan sejahtera daripada sebelumnya. Oleh karena itu dalam menjalankan fungsinya perbankan Indonesia seyogyanya selalu mengacu kepada tujuan perbankan Indonesia tersebut. Dengan mempertahankan prinsip kehati-hatian itu, maka diharapkan perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya akan melindungi kepentingan masyarakat penyimpan dana khususnya serta menunjang kegiatan ekonomi pada umumnya, bahkan lembaga perbankan diharapkan dituntut maupun menciptakan stabilitas nasional dalam arti yang seluas-luasnya. B. Landasan Hukum Badan Penyehatan Perbankan Nasional Pembentukan badan khusus penyehat bank atau Badan Penyehatan Perbankan Nasional diawali dengan Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1998 tentang pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Kelahirannya dipandang sebagai bukti nyata kesungguhan pemerintah mengatasi dampak yang ditimbulkan oleh gejolak moneter khususnya terhadap sistem perbankan nasional. Badan Penyehatan Perbankan Nasional adalah badan pemerintah yang melaksanakan restrukturisasi bank oleh Bank Indonesia dinyatakan sebagai bank dalam penyehatan. Bank dalam penyehatan ini wajib membuat rencana kerja yang harus dilaksanakan. Jika bank dalam penyehatan tadi tidak dapat disehatkan kembali, maka Badan Penyehatan Perbankan Nasional melakukan pengamanan dan penyelamatan kekayaan bank yang bersangkutan. Lembaga ini berwenang pula antara lain mengambil alih pengoperasian bank, mengambil alih pengelolaan
2
Azhar Abdullah, etc,Kelembagaan Perbankan, PT. Gramedia Jakarta, 1997, hal 1.
©2003 Digitized by USU digital library
3
termasuk penilaian kembali (revaluasi) atas kekayaan yang dimiliki bank dan melakukan penggabungan, peleburan dan/ atau akuisisi bank. 3 Kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional adalah suatu kondisi sistem perbankan yang menurut penilaian Bank Indonesia terjadi krisis kepercayaan masyarakat terhadap perbankan yang berdampak kepada hajat hidup orang banyak. Jika situasi ini terjadi, atas permintaan Bank Indonesia, pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapat persetujuan dapat membentuk badan khusus penyehat bank yang akan melakukan program penyehatan terhadap bank-bank yang ditetapkan dan diserahkan oleh Bank Indonesia kepada BPPN. Adapun yang menjadi dasar atau landasan hukum terbentuknya Badan Penyehatan Perbankan Nasional adalah pasal 37 A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1998 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Tugas-tugas Badan Penyehatan Perbankan Nasional pada saat dibentuk sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1998 adalah : a. Melakukan pengadministrasian jaminan yang diberikan pemerintah kepada bank umum sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Presiden tersebut. b. Melakukan pengawasan, pembinaan dan upaya penyehatan termasuk restrukturisasi bank oleh Bank Indonesia tidak sehat. c. Melakukan tindakan hukum lain yang diperlukan dalam rangka penyehatan bank yang tidak sehat. Melalui perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 Pasal 37 A, BPPN diberikan mandat dan kewenangan khusus untuk merehabilitasi sektor keuangan dengan otonomi yang cukup luas. Selanjutnya sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 37 A, tanggal 27 Februari 1999 pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 yang memberikan BPPN kewenangan yang diperlukan untuk mencapai penyelesaian dengan baik, pemilik bank dan debitur. Untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas serta memperlancar pelaksanaan tugas BPPN, maka dibentuk lembaga-lembaga sebagai berikut : a. Komite Penilaian Independen (Independence Review Commite) sebagai lembaga penasehat yang terdiri dari lembaga-lembaga internasional (Internastional Monetary Fund, World Bank dan ADB). b. Komite Kebijakan Sektor Keuangan (Financial Sector Action Commite) sebagai lembaga pengawas yang terdiri dari menteri-menteri dibidang ekonomi, keuangan industri dan gubernur Bank Indonesia. Badan khusus penyehat bank ini bersifat sementara sampai dengan selesai tugas yang diberikan kepadanya. Ada tiga tugas pokok yang diberikan kepada badan khusus penyehat bank, yaitu : a. Penyehat bank yang diserahkan oleh Bank Indonesia b. Penyelesaian aset bank, aset fisik maupun kewajiban debitur melalui Unit Pengelola Aset (Aset Management Unit). c. Pengupayaan pengembalian uang negara yang telah tersalur kepada bank-bank. 4
Dalam menjalankan tugas pokok tersebut, badan khusus tadi memiliki sejumlah kewenangan khusus pula yang diberikan oleh undang-undang. Sementara pihak menganggap kewenangan yang dipunyai BPPN berlawanan dengan aturan 3
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2001, hal 194. 4 Ibid, hal 195. ©2003 Digitized by USU digital library
4
dan/atau kewenangan dari instansi lain yang tersalur dalam berbagai undangundang. Kewenangan Badan Penyehatan Perbankan Nasional menurut Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1998 adalah : a. Mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham termasuk hak dan wewenang Rapat Umum Pemegang Saham. b. Mengambil alih dan melaksanakan segala hak dan wewenang direksi dan komisaris bank. c. Menguasai, mengelola dan melakukan tindakan kepemilikan atau kekayaan milik atau yang menjadi hak bank, termasuk kekayaan-kekayaan bank yang berada pada pihak manapun, baik di dalam maupun di luar negeri. d. Meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri dan merubah kontrak yang mengikat bank dengan pihak ketiga yang menurut pertimbangan badan khusus merugikan bank. e. Menjual atau mengalihkan kekayaan bank, direksi, komisaris dan pemegang saham tertentu di dalam negeri maupun di luar negeri, baik secara langsung maupun melalui penawaran umum. f. Menjual dan mengalihkan tagihan bank dan menyerahkan pengelolaannya kepada pihak lain tanpa memerlukan persetujuan Nasabah Debitur. g. Mengalihkan pengelolaan kekayaan dan atau menajemen bank pada pihak lain. h. Melakukan penyertaan modal sementara pada bank, secara langsung atau melalui pengkonversian tagihan badan khusus menjadi penyertaan modal pada bank. i. Melakukan penagihan piutang bank yang sudah pasti dengan penerbitan Surat Paksa. j. Melakukan pengosongan atas tanah dan bangunan milik atau yang menjadi hak bank yang dikuasai oleh pihak lain baik sendiri maupun dengan bantuan alat negara penegak hukum yang berwenang. k. Melakukan penelitian dan pemeriksaan untuk memperoleh segala keterangan yang diperlukan dari dan mengenai bank dalam program penyehatan dan pihak manapun yang terlibat atau mengetahui kegiatan yang merugikan bank dalam program penyehatan tersebut. l. Menghitung dan menetapkan kerugian yang dialami bank dalam program penyehatan dan membebankan kerugian tersebut kepada modal bank yang bersangkutan dan bilamana kerugian tersebut terjadi atau kelalaian direksi, komisaris dan atau pemegang saham, maka kerugian tersebut dibebankan kepada yang bersangkutan. m. Menetapkan jumlah tambahan modal yang wajib disetor oleh pemegang saham bank dalam penyehatan. n. Melakukan tindakan lain yang diperlukan untuk menunjang pelaksanaan wewenang sebagaimana tersebut di atas. Kalau dicermati, terkesan kewenangan khusus yang dipunyai Badan Penyehatan Perbankan Nasional sangat luas dan itu tidak dipunyai lembaga lainnya bahkan bisa dikatakan mirip dengan pengadilan. Badan Penyehatan Perbankan Nasional dapat menerbitkan Surat Paksa guna melakukan tindakan penagihan piutang yang mempunyai kekuatan eksekutorial dalam kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Bukan itu saja, dalam hal tindakan penagihan piutang tidak diindahkan oleh pihak berutang. Badan Penyehatan Perbankan Nasional dapat melakukan penyitaan atas hak kekayaan milik pihak yang berutang dalam rangka pengembalian piutang dimaksud. Walaupun badan khusus ini diberi kewenangan untuk melakukan penagihan paksa, tata cara pelaksanaannya tetap memperhatikan aspek kepastian
©2003 Digitized by USU digital library
5
hukum dan keadilan. Berbagai ketentuan hukum yang menjadi dasar wewenang khusus dalam melaksanakan program penyehatan perbankan, secara argumentatif dapat dilihat sebagai terobosan, bahkan mungkin berseberangan dengan aturanaturan dan atau kewenangan lain yang diatur dalam berbagai undang-undang yang berlaku. C. Prinsip Kerja Badan Penyehatan Perbankan Nasional Misi dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional adalah membantu pemulihan perekonomian melalui restrukturisasi sektor perbankan dan restrukturisasi hutang perusahaan serta mengoptimalkan pengembalian uang untuk mengurangi beban terhadap anggaran pemerintah. Sytrya Utama mengatakan “Sebagai motor penggerak perekonomian pembenahan perusahaan yang mengalami kredit bermasalah menjadi penting. Inilah antara lain yang dilakukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional terhadap 1.689 debitur dengan jumlah kredit masing-masing sekitar Rp. 5 Miliar – Rp. 4,2 Triliun”. 5 Keberhasilan penyelesaian kredit itu akan berdampak pada perbaikan perbankan, sekaligus pemulihan perekonomian nasional sebab perusahaan (debitur) yang sehat akan menyehatkan perbankan (kreditur), begitu juga sebaliknya. Untuk mencapai misi tersebut, maka dalam mengemban tugasnya Badan Penyehatan Perbankan Nasional menganut beberapa prinsip kerja antar lain : fairnes (penerapan asas keadilan), transparansi (keterbukaan), akuntabilitas (bertanggung jawab), maksimalisasi nilai finansial, mengutamakan kepentingan Indonesia. Fairnes Dalam melaksanakan tugasnya dari mulai penutupan bank, penyelesaian klaim pihak ketiga dan penilaian atas aset, Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang selalu berupaya untuk dapat menyehatkan bank yang bermasalah dan untuk menerapkan asas keadilan pada setiap proses termasuk alokasi kerugian dan menghormati hak-hak yang ada, dengan tetap melindungi kepentingan pemerintah. Walaupun disadari bahwa kerugian pada sistem finansial di Indonesia dalam banyak hal disebabkan oleh kesalahan manajemen dan kecurangan. Dalam kasus ini, pihak yang menyebabkan kerugian akan dimintai jawabannya. 6 Transparansi Hal ini merupakan kunci utama untuk mempertahankan dukungan dari masyarakat dan integritas Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Badan Penyehatan Perbankan Nasional akan selalu berusaha terbuka untuk menjelaskan semua latar belakang dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian diharapkan dapat dicapai partisipasi dan dukungan dan dari semua pihak atas seluruh program Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Akuntabilitas Hal ini merupakan prinsip bagaimana Badan Penyehatan Perbankan Nasional menggunakan wewenang dan menjalankan tugas secara profesional sesuai dengan amanat perundang-undangan yang mendasarinya, serta mempertanggung jawabkan hasil-hasilnya kepada stakeholders secara profesional. Prinsip ini diharapkan akan meningkatkan kredibilitas Badan Penyehatan Perbankan Nasional, meningkatkan kepercayaan terhadap sistem perbankan Indonesia, dan apda akhirnya ikut membantu pemulihan ekonomi Indonesia secara lebih cepat.
5
Sytrya Utama, Merepasi Penggerak utama Ekonomi, Forum Keadilan No. 25/26-9 1999, hal 71. 6 BPPN, Rencana Strategis, Jakarta, 2000, hal 9. ©2003 Digitized by USU digital library
6
Maksimalisasi Nilai Finansial Maksimalisasi nilai finansial dari aset yang dikuasainya disadari bahwa aliran kas saat ini adalah lebih bernilai daripada aliran kas dikemudian hari. Karena itu penjualan aset akan dilakukan sesegera mungkin tanpa merusak nilai aset dengan memperhitungkan potensi pasar yang ada. Mengutamakan Kepentingan Indonesia Adalah sesadaran akan adanya efek-efek yang kurang menguntungkan yang mungkin timbul terhadap masyarakat Indonesia dari tindakan-tindakan yang diambil. Dalam kondisi ekonomi yang sulit seperti ini, Badan Penyehatan Perbankan Nasional akan selalu memilih alternatif yang mempunyai efek negatif terkecil terhadap penyediaan kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat. D. Kepailitan Pengertian kepailitan, secara defenitif tidak ada pengaturannya atau penyebutannya di dalam Undang-Undang Kepailitan. Namun para sarjana kebanyakan mendasarkan defenisi kepailitan dari berbagai sudut pandang, juga dari berbagai pasal di dalam Undang-undang itu sendiri. Kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan si debitur (orang-orang yang berhutang) untuk kepentingan semua kreditur-krediturnya (orang-orang berpiutang) bersama-sama, yang pada waktu itu debitur dinyatakan pailit mempunyai hutang dan untuk jumlah piutang masing-masing kreditur memiliki pada saat itu. Jika diperhatikan didalam pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 1998 disebutkan bahwa : Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, baik atas permohonan sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya. 7 Dari defenisi di atas tampak bahwa kepailitan itupun merupakan perbuatan yang berbentuk penyitaan maupun eksekusi terhadap harta debitur untuk pemenuhan kepada debitur. Sementara itu jika diperhatikan dari pengertian pailit menurut pendapat Sri Soemantri Hartono ialah : “Suatu lembaga hukum perdata Eropah sebagai realisasi dari dua asas pokok dalam hukum perdata Eropah yang tercantum dalam pasal-pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata”. 8 Menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1998 menyebutkan : (1) Debitur yang mempunyai dua lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu hutang yang telah jatuh dan dapat ditagih dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat juga diajukan oleh Kejaksaan untuk kepentingan umum.
7
Warta Perundang-undangan : Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 1998 Perubahan Undang-undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-undang, Warta Perundang-undangan, Jakarta, 1998. 8 Sri Sumantri Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Liberty Yokyakarta, 1981, hal 3. ©2003 Digitized by USU digital library
7
Ketentuan pasal 1 diatas menunjukkan bahwa syarat untuk dapat dinyatakan pailit adalah apabila debitur telah berhenti membayar hutangnya. Bukan dalam arti telah berhenti karena bukan tidak sanggup, hal ini sesuai dengan pasal 1 Undangundang Kepailitan tidak termasuk dalam kategori dinyatakan pailit. Dengan perkataan lain berhenti dimaksud apabila memang telah nyata-nyata si debitur berhenti karena tidak berkehendak atau berkeinginan untuk membayar hutangnya. Berhenti dalam arti tidak mau membayar hutang tersebut. Atau boleh dikatakan oleh debitur dalam memenuhi kewajibannya didalam membayar hutang. Jika diperhatikan prosedur untuk memohon pernyataan pailit bagi debitur sama sekali tidak diatur dalam undang-undang Kepailitan, namun hal jika debitur memohon sendiri tentang pernyataan dirinya sebagai pailit, ada kemungkinan nantinya di dalam permohonan tersebut terselip suatu itikad tidak baik pada debitur yang hal ini berhubungan dengan pemberesan dan pengurusan hartanya. Apabila si kreditur yangmemohonkan pernyataan pailit, maka si kreditur harus terbukti terlebih dahulu bahwa tuntutannya terhadap pembayaran piutangnya jelas ada, kalau tidak kreditur tersebut tidak akan dapat memintakan permohonan pernyataan pailit terhadap diri si debitur. Dengan kata lain permohonan dari si kreditur harus memang nyata-nyata mempunyai tagihan kepada debitur. Kalau perlu diperhatikan pernyataan kepailitan itu sendiri perlu ditekankan dalam hal ini harus terdiri dari dua orang kreditur atau lebih. Sebab kepailitan itu sendiri bertujuan untuk membagi harta kekayaan debitur (pailit) diantara penagihpenagihnya secara bersama-sama. Menurut Pasal 1 Undang-undang Kepailitan Nomor 4 Tahun 1998 disebutkan bahwa lima orang atau badan yang dapat memintakan pernyataan pailit tersebut yaitu debitur itu sendiri, seorang atau lebih kreditur, jaksa, Bank Indonesia dan Bapepam. Sebagaimana yang telah disebutkan terdahulu, bahwa kepailitan tersebut harus dikeluarkan oleh hakim, maka dengan demikian telah mulai berjalan suatu kepailitan, dimulai dari keluarnya putusan hakim untuk dijadikan sebagai hakim pengawas serta secara hukum mengangkat balai harta si pailit, baik itu pemberesannya maupun penguasaannya. Pada umumnya Balai Harta Peninggalan dapat melakukan tugasnya secara leluasa namun dalam beberapa hal diperlukan pemberian kuasa oleh hakim pengawas. Hal-hal tersebut adalah : a. Menghadap di muka pengadilan (in rechten optreden) b. Melanjutkan atau tidak suatu persetujuan timbal balik c. Melanjutkan atau tidak suatu perjanjian sewa menyewa ; atau suatu perhubungan kerja. d. Membebaskan suatu benda yang dibebani (het bevrijden van een bezwaard goed) e. Pencatatan di bawah tangan (onderhandse boeldbeschrijving) f. Melanjutkan perusahaan si pailit g. Membuat suatu perdamaian (dading) atau penyelesaian perkara (aangaan van asccorden schikkingen) h. Pemberian sekedar perabot rumah tangga i. Penjualan di bawah tangan j. Pemberian suatu jumlah uang, guna pembiayaan hidupnya si pailit dan keluarga. k. Melanjutkan penjualan barang-barang yang telah mulai dilelang l. Menolak suatu warisan 9
9
R. Suryatin, Hukum Dagang I dan II, h. 274-275. ©2003 Digitized by USU digital library
Cet V, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983,
8
Jadi dalam hal kepailitan ini setiap debitur yang telah memenuhi syaratsyarat yang tercantum di dalam pasal 1 Undang-Undang No. 4 tahun 1998 harus dinyatakan pailit dan dapat menjadi pertimbangan sebelumnya yaitu Rancangan Undang-Undang Kepailitan yang mungkin juga akan berlaku untuk masa berikutnya. Oleh karena itu tidak masalah apakah seorang pedagang atau bukan, apakah uatu badan hukum atau seorang manusia, apakah seorang istri atau suami, orang yang belum dewasa atau orang yang berda di bawah pengampuan. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan secara garis besarnya mengenai “debitur yang pailit” yaitu : 1. Kepailitan orang yang masih belum dewasa dan orang-orang yang berada di bawah pengampuan yaitu (berdasarkan Yurisprudensi) : Mengenai “siapakah yang harus dipanggil untuk didengar”, maka jawabnya adalah wakilnya yang sah. Jadi ayah atau walinya. Jika mengenai orang yang masih belum dewasa dan kuratornya jika mengenai orang di bawah pengampuan. Mengenai “yang dapat melawan, baik banding atau minta kasasi terhadap pernyataan pailit,” maka jawabannya adalah wakilnya yang sah, jadi bukan orang berada di bawah pengampunan atau orang yang belum dewasa. “Yang harus dinyatakan pailit”, dalam hal ini adalah debitur yang masih belum dewasa atau debitur yang berada di bawah pengampuan itu sendirilah yang harus dinyatakan pailit, jadi bukan walinya yang sah. 2. Kepailitan orang wanita yang bersuami. Kepailitan ini hanya dapat dinyatakan berdasarkan : - Hutang yang si isteri itu sendiri secara pribadi bertanggung jawab dengan perkataan lain, utang si siteri itu sendiri, misalnya saja hutang yang ia adakan dengan bantuan dalam akta atau izin tertulis dari suaminya (pasal 108 KUHPerdata), dengan ini disamakan hal-hal yang dimaksudkan dalam pasalpasal 114 dan 115 KUHPerdata. - Hutang dalam hal ini si isteri itu dengan izin yang tegas secara diam-diam dari suaminya, atas usaha sendiri melakukan sesuatu mata pencaharian (pasal 113 KUHPerdata). - Hutang si isteri itu sebelum ia kawin dan hutang-hutang rumah tangga si isteri itu (pasal 121 dan 109 KUHPerdata). Namun jika perkawinan antara suami dengan isteri adalah perjanjian persatuan harta, maka menurut pasal 62 ayat (1) Undang-Undang No. 4 tahun 1998, maka tentang kepailitan tersebut diperlukan sebagai persatuan, sebab suami sebagai kepala rumah tangga selalu yang pertamatama harus dinyatakan pailit. 3. Kepailitan Badan Hukum Dengan dinyatakan pailitnya suatu badan hukum, maka badan hukum itu kehilangan hak untuk mengurus dan berhubungan bebas terhadap kekayaan badan hukum itu. Hal tersebut berpindah ke kuratornya. 4. Kepailitan Firman dan CV Suatu Firma bukanlah suatu badan hukum, jadi tidak mungkin dinyatakan pailit terhadap suatu Firma sebagai hukum (person) yang berdiri sendiri. Kepailitan Firma berarti kepailitan dari perseronya yang masing-masing bertanggung jawab sepenuhnya terhadap perikatan-perikatan dari Firmanya. Utang-utang yang tidak dibayar oleh suatu Firma adalah utang-utang dari para persero Firma tersebut. Dan “keadaan telah berhenti membayar” dari suatu Firma adalah keadaan telah berhenti membayar dari perseronya yang tidak membayar utang-utang dari Firmanya, untuk utang-utang mana mereka masing-masing bertanggung jawab sepenuhnya. Jadi selama masih ada seorang persero yang mampu dan dapat
©2003 Digitized by USU digital library
9
membayar utang-utangnya dari Firmanya tidaklah mungkin menyatakan pailit terhadap sebuah Firma tersebut. Oleh karena itu pernyataan pailit terhadap suatu Firma berarti pernyatana pailit terhadap perseronya. Demikian juga kepailitan dari suatu CV (Commanditaire Vennotschap) juga kepailitan bagi para persero-persero pengurusnya. Para persero Commanditairenya atau “sleeping patnersnya” adalah diluar kepailitan atau dengan kata lain sleeping patnersnya tidak turut pailit. 3. Berakhirnya Kepailitan Ada 4 (empat) macam cara berakhirnya suatu kepailitan berdasarkan pasal 188 ayat (1) KUHDagang yaitu : 1. Kepailitan tersebut batal 2. Kepailitan tersebut dicabut 3. Adanya perdamaian (Accord) 4. Kekuatan daftar pembagian Ad.1. Kepailitan tersebut batal Pembatalan kepailitan dapat dilakukan jika terjadi perlawanan dari pihak kreditur dengan alasan-alasan yang sah, dimana perlawanan tersebut harus diajukan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari untuk Pengadilan Negeri, untuk banding di Pengadilan Tinggi juga diberikan tenggang waktu 8 (delapan) hari. Dasar hukum atas tenggang waktu mengajukan perlawanan selama 14 hari sejak putusan itu diucapkan oleh Hakim yaitu berdasarkan pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1998 yang berbunyi : “Dalam hal ia tidak telah didengarnya, maka berhaklah ia mengajukan perlawanan selama waktu empat belas hari.” Jika verzet atau banding yang diajukan dapat dikabulkan kembali atas pembatalan mana Balai Harta Peninggalan berkewajiban mengumumkannya dalam Berita Negara dan juga surat kabar setempat. Ad.2. Kepailitan tersebut dicabut Kepailitan tersebut dicabut dapat dilakukan jika ternyata setelah dinyatakan pailit dan telah mempunyai kekuatan, namun harta si pailit tidak ada. Pencabutan demikian untuk menghindari ongkos-ongkos yang dikeluarkan oleh negara dengan diajukan oleh Balai Harta Peninggalan kepada hakim Komisaris dengan mengemukakan bukti-bukti tentang tidak adanya boedel pailit atau terlalu sedikit boedel pailit tersebut. Jika unsur ini diterima, maka BHP mengumumkan dicabutnya kepailitan dalam Berita Negara dan dalam harian setempat. Mengenai dicabutnya keputusan pailit ini, ada diatur dalam pasal 15 dan pasal 17 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1998. Terhadap putusan kepailitan yang telah dicabut mempunyai akibat hukum yaitu sebagai berikut : 1. Debitur kembali dalam keadaan sebelum dijatuhi ia putusan pailit; 2. Para kreditur mendapat kembali hak-hak mereka untuk mengadakan eksekusi secara individual. Ad.3. Adanya Perdamaian (Accord) Kepailitan yang berakhir dengan accord tidak membutuhkan hakim perantara, namun terjadi antara debitur dengan kreditur. Pengajuan accord ini dilakukan 8 (delapan) hari sebelum rapat verifikasi oleh debitur yang ditujukan kepada para kreditur melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan kantor Balai Harta Peninggalan. Setelah diterima permohonan accord, maka diadakan homologasi accord, yaitu berupa pengesahan oleh Hakim. Akibat
©2003 Digitized by USU digital library
10
disetujuinya accord ini maka boedel pembayaran yang telah disepakati.
pailit
yang
dilanjutkan
dengan
Ad.4. Kekuatan Daftar Pembagian Daftar pembagian ini dibuat oleh Balai Harta Peninggalan untuk mengadakan pembagian kepada para krediturnya, dimana setiap harta si pailit maka tiap itu pula BHP membuat daftar pembagian. Daftar pembagian ini timbul karena kemungkinan bertambahnya boedel si pailit dari usaha yang dilanjutkan oleh BHP. Pada akhirnya setelah dapat dilunasi semua hutanghutang si pailit dengan adanya daftar pembagian tersebut maka berakhirlah kepailitan dari si pailit. Adapun kedudukan hukum si pailit sesudah berakhirnya pemberesan hutang, dapat dilihat dari apa yang dimaksud dalam pasal 188 Undangundang No. 4 tahun 1998 tentang pembayaran tagihan, tidaklah menjamin bahwa semua tagihan dari para kreditur dapat dilunasi. Bisa saja sebagian dari hutang tersebut tidak dapat dibayar lunas. Sisa tagihan ini masih menjadi beban bagi si bekas pailit walupun kepailitannya telah berakhir. Jadi jika si bekas pailit sewaktu-waktu mendapat harta lagi, maka para kreditur masih dapat menggunakan hak mereka untuk meminta penyitaan dan eksekusi kepada Hakim atas harta benda si bekas pailit tadi.
©2003 Digitized by USU digital library
11
BAB III KEPAILITAN TERHADAP BANK DIBAWAH PENGAWASAN BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL A.
Status Bank di bawah Pengawasan BPPN Menurut UU No. 4 tahun 1998 tentang Kepailitan Menurut Undang-undang Nomor 4 tahun 1998 tentang kepailitan maka bank yang berada d bawah pengawasan BPPN harus memenuhi pasal 1 ayat (1), (2) yaitu : a. Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya. b. Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat juga diajukan oleh Kejaksaan untuk kepentingan umum. c. Dalam hal menyangkut debitur yang merupakan bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia. d. Dalam hal menyangkut debitur yang merupakan Perusahaan Efek, permohonan pernyataan pailit, hanya diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal. 10 Jika ditinjau dari pasal 1 ayat (1) maka untuk dapat dinyatakan pailit adalah permohonan tersebut diajukan oleh debitur yang harus mempunyai dua kreditur atau lebih dan utang dari debitur tersebut telah jatuh sedangkan pengertian debitur dan kreditur tidak terdapat dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1998 maka penulis melihat pengertian debitur dari Rancangan Undang-undang Kepailitan pada pasal 1 ayat (2) ialah : “orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undangundang yang pelunasannya dapat ditagih dimuka pengadilan.” Dan pada ayat (1) yaitu kreditur ialah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undangundang yang dapat ditagih di muka pengadilan, dimana maksudnya ialah seorang debitur tersebut dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit atas diri debitur ke pengadilan dan hal tersebut dapat memberatkan pihak kreditur apabila debitur tidak beritikad baik maka harta dari debitur dapat dialihkannya ke pihak lain terlebih dahulu sebelum mengajukan permohonan pernyataan pailit. Kepailitan dianggap sebagai alat untuk melepaskan diri dari ikatan utang, upaya kepailitan dianggap sebagai pembebasan utang, apalagi bagi debitur yang tidak beritikad baik dan harus memenuhi dua atau lebih kreditur, ketentuan ini dapat menyulitkan debitur maupun kreditur untuk dapat mengajukan pernyataan pailit. Dalam mengajukan pernyataan pailit kesulitan tersebut adalah : a. Kreditur bermaksud menjadi pemohon pernyataan pailit harus dapat membuktikan bahwa debitur yang bersangkutan mempunyai kreditur lain selain dari kreditur pemohon. b. Apalagi sulitnya menerobos ketentuan rahasia bank c. Tidak ada ketentuan yang mewajibkan agar setiap utang yang diterima akan seorang debitur harus didaftarkan pada suatu lembaga tertentu yang diserahkan tugas untuk mencatat segala utang-utang dalam suatu daftar khusus, maka bagi kreditur pemohon sulit untuk dapat mengetahui, apalagi disuruh membuktikan mengenai kebenaran bahwa debitur yang dimohonkan untuk dinyatakan pailit itu juga mempunyai utang dari kreditur lain.
10
Warta Perundang-undangan, Loc Cid.
©2003 Digitized by USU digital library
12
Tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan pada saat itu juga maka kreditur dapat mengajukan pernyataan pailit atas diri debitur. Begitu uang jatuh tempo dan tidak di bayar oleh debitur yang bersangkutan hal itu telah memberikan hak kepada kreditur untuk dapat mengajakan permohonan pernyataan pailit terhadap debitur yang bersangkutan, apalagi dalam praktek perbankan, bank memaklumi hal tersebut dan bersedia memberikan toleransi kepada debitur yang tidak melunasi krediturnya pada saat jatuh tempo melewati beberapa waktu lamanya. Demikian juga kalau bank yang menjadi kreditur akan sangat merasa dirugikan dan dapat merugikan dunia perbankan, biasanya untuk kepentingan bank sendiri ditolerir oleh Bank Indonesia. Ketidakmampuan seorang debitur untuk membayar satu utangnya dan untuk dua atau lebih kreditur dapat menyatakan pailit dengan mengajukan kepada Pengadilan tetapi apabila debitur tersebut dinyatakan pailit harus dengan putusan pengadilan dimana menurut pasal 1 ayat (3) Rancangan Undang-undang Kepailitan pengadilan yang dimaksud adalah “Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum”. Jadi dengan adanya putusan pengadilan terhadap debitur yang menyatakan pailit maka debitur tersebut sah dianggap pailit atau telah memenuhi persyaratan untuk mengajukan pernyataan pailit, dalam hal bank sebagai debitur harus diajukan permohonan pernyataan pailit dikarenakan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana telah dibuat dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998. Bank menyangkut kepentingan orang banyak dan Bank Indonesia adalah bank sentral yang mengadakan pengawasan terhadap bank-bank yang bermasalah maupun yang tidak bermasalah, dengan jelasnya bank tersebut tidak berhak mengajukan pailit terhadap pengadilan dengan sendirinya. Isi dari pasal 1 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 dalam hal menyangkut debitur yang merupakan bank, oleh BI. Ketentuan ini dirasakan kurang adil, karena sudah merampas hak kreditur dari suatu bank, kreditur bank ada juga bank, bahkan ada kalanya banyak bank yang memberikan fasilitas kepada bank melalui pasar uang di kalangan perbankan. Jelaslah bahwa bank sebagai debitur tidak dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit, baik itu dalam pengawasan Bank Indonesia ataupun telah ditetapkan dan diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional dalam rangka penyehatan bank tersebut. Jika ditinjau dari Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tentang BPPN pada pasal 37 ayat (1), (2) yaitu : 1. BPPN melakukan program penyehatan terhadap bank-bank yang telah ditetapkan diserahkan oleh Bank Indonesia ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional. 2. Kriteria yang ditetapkan dan diserahkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan oleh Bank Indonesia. 11 Jadi pengertian yang dimaksud dari ayat (1) bank yang ditetapkan dan diserahkan oleh Bank Indonesia ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional dalam rangka penyehatan yang bersifat sementara untuk memulihkan kesehatan bank yang menjadikan sistem perbankan nasional yang baik dan memulihkan kepercayaan 11
Warta Perundang-undangan : Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Jakarta, 2000. ©2003 Digitized by USU digital library
13
masyarakat terhadap bank sebagai lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya lagi kepada masyarakat. Kriteria yang dimaksud pada ayat (2) ialah suatu kriteria yang ditetapkan oleh Bank Indonesia tentang tingkat kesehatan bank, bahwa Bank Indonesia berwenang untuk menetapkan tingkat kesehatan bank, dengan memperhatikan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen. Likuiditas, rentabilitas, solvabilitas dan aspek-aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank. Tingkat kesehatan bank merupakan kepentingan semua pihak yang terkait, baik pemilik dan pengelola bank, masyarakat pengguna jasa bank maupun Bank Indonesia sebagai pembina dan pengawas bank. Sesuai dengan tanggung jawanya, masing-masing pihak tersebut perlu mengikatkan diri secara bersama-sama berupaya mewujudkan Bank yang sehat. B. Akibat Hukum terhadap Bank yang berada di bawah Pengawasan BPPN yang menyatakan Pailit menurut Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 1999. Pada dasarnya telah dinyatakan bahwa Bank sebagai debitur tidak dinyatakan pailit atas debitur itu sendiri tetapi harus diajukan oleh Bank Indonesia yang berfungsi sebagai bank sentral negara, namun ada kalanya bank tersebut mengajukan pernyataan pailit untuk penyelesaian hutang-hutang terhadap krediturkrediturnya, bank lupa berfungsi sebagai “Finansial Intermediary dengan kegiatan usaha pokok menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat atau pemindahan dana masyarakat, pengumpulan dan penyauran dana masyarakat tersebut bertujuan menunjang sebagian tugas penyelenggara negara yaitu sebagai penunjang pembangunan nasional ataupun dengan kata lain bahwa bank tersebut untuk kepentingan umum maka pernyataan pailit harus diajukan oleh Bank Indonesia. Apabila bank yang dianggap mendapat kesulitan yang dapat membahayakan perekonomian nasional maka bank tersebut harus ikut dalam program penyehatan yang diserahkan oleh Bank Indonesia ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang mempunyai wewenang sangat luas seperti yang tertulis dalam pasal 37. Selain daripada itu, BPPN juga mempunyai tugas yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 1999 pada pasal 13 yaitu : Dalam melaksanakan tugasnya BPPN dapat : a. Melakukan tindakan hukum atas Aset dalam restrukturisasi dan atau kewajiban dalam restrukturisasi. b. Membentuk divisi atau unit dalam BPPN dengan wewenang yang ada pada BPPN atau pembentukan dan atau penyertaan modal sementara dalam suatu badan hukum untuk restrukturisasi, kewajiban dalam restrukturisasi dan atau kekayaan milik atau yang menjadi hak dalam penyehatan dan atau BPPN, dan c. Secara langsung atau tidak langsung melakukan tidakan hukum atas atau sehubungan dengan debitur, bank dalam penyehatan, aset dalam restrukturisasi, kewajiban dalam restrukturisasi dan atau kekayaan akan diserahkan atau dialihkan kepada BPPN meskipun telah diatur secara lain dalam suatu kontrak, perjanjian atau peraturan perundang-undangan terkait. Bahwa segala tindakan tidak dapat dilakukan oleh bank sebagai debitur, dan dalam rangka penyehatan baik itu diatur oleh peraturan perundang-undangan terkait maka jelas bahwa bank dibawah pengawasan Badan Penyehatan Perbankan Nasional tidak dapat melakukan tindakan hukum, baik itu menyatakan pailit dan akibat hukumnya apabila bank menyatakan pailit jika dilihat dari Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 09 K/N/1998 sejak adanya penyerahan oleh Bank Indonesia, maka secara yuridis telah berada dalam pengawasan dan kendali Badan Penyehatan Perbankan Nasional dengan akibat hukum sebagai berikut :
©2003 Digitized by USU digital library
14
Segala hak dan kewenangan Direksi, Komisaris, Pemegang Saham dan RUPS beralih ke BPPN - Direksi, Komisaris, RUPS, Bank yang bersangkutan dilarang melakukan perbuatan hukum apapun juga kecuali disetujui oleh BPPN. 12 Tentu hal di atas berdasarkan ketentuan dari Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 1999 pada pasal 40 (a), (b) yang berbunyi sebagai berikut terhitung sejak tanggal penyerahan suatu bank oleh Bank Indonesia kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional dalam rangka penyehatan perbankan : a. Segala hak dan kewenangan Direksi, Komisaris, Pemegang Saham dan Rapat Umum Pemegang Saham dalam penyehatan beralih kepada BPPN dan b. Direksi, Komisaris, dan atau Pemegang Saham Bank dalam penyehatan dilarang melakukan tindakan hukum apapun yang berhubungan dengan bank dalam penyehatan dan kekayaan Bank dalam penyehatan, juga kecuali tindakan hukum tertentu yang disetujui oleh BPPN. Jadi segala tindakan hukum yang dilakukan oleh bank yang berada dibawah pengawasan BPPN, dalam penyehatan harus disetujui oleh BPPN terlebih dahulu. Permohonan pernyataan pailit oleh bank secara resmi tidak sah menurut hukum. -
12
Kompilasi Abstrak Hukum Putusan Mahkamah Agung Tentang Kepailitan IKAHI, Jakarta, 2001. ©2003 Digitized by USU digital library
15
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 1.
Kesimpulan Setelah penulis menguraikan pembahasan masalah pada bab sebelumnya, maka kini sampailah kepada bab yang terakhir yang merupakan juga bab penutup di dalam skripsi ini dimana akan disimpulkan permasalahan yang ada serta diberikan saran yang dianggap perlu. 1. Bank yang berda di bawah pengawasan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) adalah dalam rangka penyehatan agar suatu bank dapat sehat kembali dan BPPN bersifat sementara yang melakukan pengamanan dan penyelamatan kekayaan bank yang bersangkutan. Jadi status bank yang berada di bawah pengawasan BPPN tidak pailit karena tidak dapat memenuhi persyaratan yang tertera dalam pasal 1 dan 2 ayat (3) bahwa bank sebagai debitur pernyataan pailit harus diajukan oleh Bank Indonesia, realitanya Bank tidak pernah ada yang pailit kecuali likuidasi yang dianggap dapat membahayakan sistem perbankan nasional. 2. Suatu bank yang berada di bawah pengawasan BPPN yang menyatakan pailit akibat hukumnya ialah segala hak dan kewenangan Direksi, Komisaris, Pemegang Saham dan RUPS bank dalam penyehatan beralih kepada BPPN dan juga Direksi, Komisaris dan atau Pemegang Saham bank dalam penyehatan dilarang melakukan tindakan hukum apapun baik itu mengajukan pernyataan pailit kepada pengadilan yang berhubungan dengan bank dalam penyehatan dan kekayaan bank dalam penyehatan kecuali tindakan hukum tertentu yang disetujui oleh BPPN. 2.
Saran-Saran 1. Agar kiranya bank tetap menjalankan fungsi dan tujuannya agar dapat menstabilkan perekomian nasional dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap bank. 2. Membuat suatu peraturan yang tegas yang berisi tentang suatu persyaratan yang lebih keras dalam melahirkan suatu bank yang baru agar bank yang mempunyai itikad yang tidak baik atau tujuan yang menyimpang dari financial intermediary dalam memajukan sistem perbankan nasional. 3. Agar kiranya bank harus beritikad baik dalam pemberesan pembayaran hutang-hutang terhadap kreditur-krediturnya bukan dengan cara mempailitkan diri karena bank lahir untuk kepentingan umum. 4. Agar kiranya BPPN bekerja semaksimal mungkin dalam pemberesan pembayaran hutang-hutang bank terhadap kreditur-krediturnya dan bukan merupakan suatu wadah untuk perebutan jabatan untuk pembangunan hidup sendiri karena BPPN merupakan lembaga yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk menyehatkan kembali bank yang bermasalah.
©2003 Digitized by USU digital library
16
DAFTAR BACAAN Azhar
Abdullah, et all, Jakarta, 1997.
Kelembagaan
Perbankan,
PT.
Gramedia,
BPPN, Rencana Strategis, Jakarta, 2000. Komaruddin, Kamus Perbankan, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 1994. Rachmadi
Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di PT. Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, 2001 – 04 – 26.
Indonesia,
Satrio, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994. R. Suryatin, Hukum Dagang I dan II, Pradnya paramita, Jakarta, 1994. Makalah : Abdul
Muis, Rancangan Perubahan Undang-undang Kepailitan dalam Perspektif Akademis Bahan Lokakarya di Ruang Administrasi USU, Medan, 2001.
Jhon Tafbu Ritonga, BPPN, Pemulihan Ekonomi Bahan Seminar di Uniland, Medan. Peraturan Perundang-undangan : Peraturan Perundang-undangan Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia. R. Tjitrosudibio dan R. Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Undang-undang Kepailitan, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1985. ________________________, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta 1985.
PT.
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 Tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Keputusan
Presiden Rwpublik Indonesia Nomor 27 Tahun 1998 Pembetukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
Tentang
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1998 Tugas dan Kewenangan Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Rancangan Undang-undang Kepailitan.
©2003 Digitized by USU digital library
17