KEMAMPUAN JUSTIFIKASI MATEMATIS SISWA SMP PADA MATERI SEGITIGA Anwaril Hamidy1; Sri Suryaningtyas2 12 Universitas Negeri Yogyakarta 1
[email protected]
Abstrak: Dalam pembelajaran Matematika, justifikasi merupakan komponen penting untuk membangun kecakapan siswa pada aspek penalaran matematis, pemahaman konsep Matematika yang mendalam dan komunikasi matematis. Namun kenyataannya dalam pembelajaran Matematika di Indonesia, guru masih jarang menggali kemampuan justifikasi siswa. Oleh karena itu, perlu dilakukan investigasi dan analisis terhadap kemampuan justifikasi siswa sebagai suatu cara untuk mempelajari penalaran, kedalaman pemahaman konsep dan komunikasi matematis siswa. Hal ini dalam rangka agar dapat membantu siswa memperoleh kecakapan Matematika secara efektif dan efisien. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Subyek penelitian adalah 30 siswa kelas VII D SMPN 5 Depok, Sleman. Pengambilan data dilakukan dengan memberikan soal yang berisi lima pernyataan berkaitan dengan konsep segitiga kepada siswa (soal terlampir) dan meminta mereka memberikan justifikasi terhadap pernyataan tersebut beserta alasannya. Data kemudian di analisis dengan pendekatan analisis konten. Diperoleh tiga tipe justifikasi siswa, yaitu visual, prosedural, dan konseptual. Secara umum penalaran siswa terhadap konsep segitiga masih bersifat deskriptif dan ringkas, sehingga belum menjawab bagian ‘mengapa’. Justifikasi siswa yang ringkas mengindikasikan kemampuan komunikasi matematis siswa secara tertulis masih rendah. Selain itu siswa masih mengalami kesulitan dalam membedakan jenis segitiga dalam konteks panjang sisi dan ukuran sudutnya. Kata Kunci: Justifikasi, Penalaran Matematis, Pemahaman Konsep, Komunikasi Matematis
Globalisasi di abad ke-21 merupakan peluang sekaligus tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia sebagai negara berkembang. Arus komunikasi yang terbuka secara luas memungkinkan masyarakat Indonesia untuk mengakses informasi dari mana saja dan membangun jaringan dengan masyarakat internasional tanpa harus dibatasi oleh ruang dan waktu. Di satu sisi, globalisasi juga menciptakan persaingan kerja secara terbuka. Dalam konteks MEA, setiap masyarakat di wilayah ASEAN memiliki kesempatan yang sama untuk bekerja di Indonesia. Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi pendidikan Indonesia untuk membentuk generasi yang siap bersaing dalam dunia kerja internasional. Untuk menciptakan daya saing yang kuat, maka pendidikan Indonesia dituntut untuk membekali siswa dengan keterampilan abad 21. Konsorsium Assessment and Teaching of 21st Century Skills (AT21CS) (Saveedra dan Opfer, 2012) telah menyusun empat kategori keterampilan abad 21 sebagai berikut. 1. Ways of Thinking. Meliputi keterampilan inovasi dan kreativitas, berpikir kritis, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, dan metakognisi. 2. Ways of Working. Meliputi keterampilan komunikasi dan kerjasama 3. Tools for Working. Meliputi keterampila dalam pengetahuan umum dan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) 4. Living in the World. Meliputi keterampila hidup bermasyarakat berbangsa dan bernegara, berkarir, mengelola tanggungjawab, dan kesadaran budaya. Salah satu keterampilan abad 21 yang diharapkan dimiliki oleh siswa adalah keterampilan dalam belajar dan berinovasi. Keterampilan ini penting berperan dalam mempersiapkan generasi agar siap menghadapi kehidupan dan lingkungan kerja yang makin Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika dengan tema ”Pengembangan 4C’s dalam Pembelajaran Matematika: Sebuah Tantangan dalam Pengembangan Kurikulum Matematika" " pada tanggal 28 Mei 2016 yang diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Matematika Pascasarjana Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika dengan tema ”Pengembangan 4C’s dalam Pembelajaran Matematika: Sebuah Tantangan dalam Pengembangan Kurikulum Matematika" " pada tanggal 28 Mei 2016 yang diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Matematika Pascasarjana Universitas Negeri Malang
kompleks. The Partnership for 21st Century Skills (P21) (2011) menjelaskan bahwa untuk mempersiapkan keterampilan belajar dan berinovasi, pembelajaran harus fokus dalam mengembangkan 4C`s (Creativity, Critical Thinking, Communication, Collaboration). Sebagai salah satu kemampuan yang perlu dikembangkan, berpikir kritis memiliki hubungan yang kuat dengaan rasionalitas atau penalaran (Siegel dalam Mark Mason, 2008), yakni berpikir kritis menuntut pemahaman secara epistemologis terhadap dasar-dasar penalaran, pembuktian dan justifikasi. Sehingga kemampuan penalaran, pembuktian, dan justifikasi idealnya menjadi output pembelajaran dalam rangka membentuk kemampuan berpikir kritis siswa. Ketiga kemampuan tersebut secara eksplisit maupun implisit nampak dalam karakter Matematika. Justifikasi merupakan aktivitas yang erat kaitannya dalam dunia Matematika. De Villiers dan Hanna menggunakan istilah pembuktian untuk menjelaskan tentang kemampuan justifikasi. Namun Staples dan Bartlo (2010) memperluasnya dengan istilah justifikasi, karena pembuktian merupakan bentuk spesifik dari justifikasi. De Villiers (dalam Staples dan Bartlo, 2010) menjelaskan bahwa justifikasi digunakan untuk melakukan validasi terhadap sebuah penyataan, menghasilkan wawasan terhadap suatu fenomena, dan sistematisasi pengetahuan. Dalam lingkungan Matematika murni (Hanna, 2000), peran justifikasi antara lain: verification (berkaitan dengan kebenaran sebuah pernyataan), explanation (memberikan penjelasan alasan mengapa pernyataan itu benar), systematization (mengatur beragam hasil jawaban secara deduktif menjadi sebuah sistem aksioma, konsep dan teorema), discovery (menemukan atau menciptakan jawaban yang baru), communication (menyebarkan pengetahuan Matematika), dan incorporation (menggunakan sebuah fakta untuk sebuah kerangka berpikir yang baru). Dalam pembelajaran Matematika, justifikasi merupakan komponen penting untuk membangun kecakapan siswa di bidang Matematika. Hasil penelitian Knuth (dalam Staple dan Bartlo, 2010) menemukan bahwa terdapat beberapa fungsi justifikasi dalam proses pembelajaran, di antaranya peningkatan kemampuan berpikir logis, menggambarkan pikiran siswa, dan penjelasan mengapa sebuah pernyataan bernilai benar. Selain itu, merangkum dari Ball (dalam Brodie, 2010); Staples dan Bartlo (2010); dan Back, Mannila dan Wallin (2010), peran justifikasi dalam membangun kecakapan Matematika setidaknya meliputi tiga aspek, yakni penalaran matematis, pemahaman konsep Matematika yang mendalam dan komunikasi matematis. JUSTIFIKASI DAN PENALARAN MATEMATIKA Hanna (2000: 24) menuliskan “Siswa tidak dapat dikatakan telah mempelajari Matematika kecuali mereka telah mempelajari apa itu pembuktian”. Artinya, pembuktian seharusnya tidak cukup diajarkan hanya sebagai latihan yang tidak bermakna, yakni sekedar untuk menyusun kebenaran sebuah pernyataan. Tetapi pembuktian seharusnya diajarkan sebagai alat yang digunakan untuk memberikan penalaran, mengapa sebuah pernyataan bernilai benar. Kilpatrick et al. (dalam Brodie, 2010) menyatakan bahwa kemampuan menjustifikasi merupakan elemen yang penting dalam penalaran adaptif, karena melakukan justifikasi berarti memberikan penalaran yang cukup jelas. Mereka berpendapat bahwa siswa perlu memiliki kemampuan menjustifikasi dan menjelaskan suatu gagasan agar penalaran mereka menjadi jelas, sehingga kemampuan penalaran mereka terasah dan meningkatkan pemahaman konseptual. Hal ini diperkuat oleh penjelasan Ball dan Bass (2003) bahwa pengetahuan yang tidak terjustifikasi adalah pengetahuan yang tidak masuk akal, sehingga tentu saja tidak dapat dinalar. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Knuth (2002) menyimpulkan bahwa siswa harus menjadikan pembuktian (justifikasi) sebagai alat yang bermakna dalam mempelajari Matematika. Ketika berpikir secara matematis, siswa mesti belajar bagaimana menjustifikasi, menjelaskan alasan mengapa jawaban mereka benar, dan meyakinkan guru serta siswa yang lain. JUSTIFIKASI DALAM MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA 2
ISBN: ___-___-____
Kemampuan justifikasi tidak hanya berfungsi untuk meyakinkan orang lain terhadap jawaban yang kita buat. Tetapi juga untuk memperdalam pemahaman konsep Matematika. Hal ini dibuktikan dari beberapa hasil penelitian tentang kemampuan justifikasi. Hasil observasi Dreyfus dan Kidron (2010) tentang proses justifikasi seorang Matematikawan (L) dalam memahami materi Sistem Dinamik menunjukkan bahwa L melakukan proses justifikasi tidak untuk membuktikan kebenaran sebuah pernyataan secara formal, tidak pula untuk melakukan verifikasi. Namun L melakukan justifikasi untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih mendalam. Dalam penelitian yang mereka lakukan, seseorang yang melakukan proses justifikasi secara tidak langsung juga sedang membangun pengetahuannya. Sehingga sejalan dengan perspektif teori belajar konstruktivisme (Brodie, 2010), bahwa ketika siswa memiliki kemampuan justifikasi, mereka sekaligus mampu mengonstruksi pengetahuan yang baru secara mandiri. Hasil penelitian Jane Lo, Grant dan Flowers (2007) juga menunjukkan bahwa siswa mengalami peningkatan pemahaman terhadap konsep Matematika ketika diajarkan dengan menggunakan strategi justifikasi. Di satu sisi, dalam penelitian yang sama, Jane Lo, Grant dan Flowers (2007) juga menemukan bahwa ketidakmampuan siswa dalam menjelaskan apa yang pikirkan sering dikaitkan dengan pemahaman siswa yang kurang lengkap terhadap soal yang dihadapi. Sehingga pemahaman siswa terhadap sebuah konsep Matematika yang mendalam diduga mampu meningkatkan kemampuan justifikasi. Dan begitu pula sebaliknya, kemampuan siswa dalam melakukan justifikasi akan meningkatkan pemahamannya. Skemp (1976) mengklasifikasikan pemahaman menjadi dua tipe, relational understanding (memahami apa yang dilakukan beserta alasannya) dan instrumental undaerstanding (menjalankan suatu aturan tanpa memiliki alasan mengapa melakukan hal tersebut). Siswa yang hanya memiliki instrumental understanding dalam Matematika, mereka hanya mengetahui bagaimana menggunakan suatu rumus atau aturan dan seolah-olah memahaminya, padahal tidak. Sebagaimana memahami aturan bahwa jika suatu suku berpindah ruas maka mengalami perubahan tanda, tanpa mengetahui alasannya. Sedangkan siswa yang memiliki pemahaman tipe relational understanding mampu menjelaskan mengapa suatu langkah, operasi dan rumus digunakan. Brodie (2010) menjelaskan bahwa instrumental understanding lebih melibatkan banyak rumus dan aturan dalam menyelesaikan suatu soal, sedangkan relational understanding menggunakan beberapa prinsip-prinsip Matematika yang bersifat umum. Sehingga keberhasilan siswa memperoleh jawaban yang benar ketika menerapkan suatu rumus bukanlah bentuk dari relational understanding, melainkan hanya instrumental understanding, kecuali siswa mampu memberikan alasannya berdasarkan konsep Matematika yang mendasar. Selanjutnya Skemp (1976) menjelaskan bahwa relational understanding memiliki beberapa keunggulan, yaitu pemahaman lebih mudah beradaptasi dengan tugas-tugas yang tidak rutin, lebih mudah untuk diingat, dan memungkinkan bagi siswa untuk meningkatkan pengetahuannya. Kilpatrick (dalam Brodie 2010) mengaitkan konsep relational understanding di atas dengan kemampuan justifikasi, di mana relational understanding bergantung kepada peningkatan kemampuan justifikasi. Hal ini didukung oleh hasil wawancara yang dilakukan oleh Staples dan Bartlo (2007) terhadap seorang guru, bahwa proses justifikasi mendorong siswa untuk berjibaku dengan gagasan-gagasan yang penting, membangun keterhubungan dan memperoleh wawasan yang baru. Sehingga siswa tidak hanya menjelaskan tentang ‘bagaimana’, tetapi juga menjawab pertanyaan dari ‘mengapa’. Klasifikasi yang dilakukan oleh Skemp beririsan dengan tipe pengetahuan matematis siswa dari Hiebert & Lindquist (van de Walle, 2007) yang terdiri dari pengetahuan prosedural (procedural knowledge) dan pengetahuan konseptual (conceptual knowledge). Pengetahuan konseptual terdiri dari beragam jaring-jaring pengetahuan yang saling terhubung sehingga disebut juga sebagai pengetahuan yang dipahami (knowedge that is understood). Sedangkan pengetahuan prosedural merupakan pengetahuan terhadap aturan dan prosedur dalam 3
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika dengan tema ”Pengembangan 4C’s dalam Pembelajaran Matematika: Sebuah Tantangan dalam Pengembangan Kurikulum Matematika" " pada tanggal 28 Mei 2016 yang diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Matematika Pascasarjana Universitas Negeri Malang
menyelesaikan masalah Matematika rutin dan juga simbolisme yang biasa digunakan untuk menjelaskan Matematika. Hal ini berkaitan dengan algoritma dalam penyelesaian soal. Kedua tipe pengetahuan tersebut penting dalam pembelajaran Matematika. Pengetahuan prosedural tidak akan bermakna tanpa dilandasi suatu konsep karena hal itu akan menimbulkan kesalahan konsep atau sikap tidak suka terhadap Matematika. KOMUNIKASI MATEMATIS DALAM PROSES JUSTIFIKASI Komunikasi matematis merupakan kompetensi yang penting dimiliki oleh siswa. Berdasarkan NCTM (2008), siswa pada setiap tingkatannya seharusnya memiliki kemampuan untuk mengomunikasikan gagasan matematisnya, menganalisa gagasan siswa lain, menggunakan bahasa Matematika secara tepat, mengembangkan dan mengevaluasi argumen dan pembuktian matematis. Justifikasi juga memerlukan kemampuan komunikasi matematis. Thurston (dalam Dreyfus dan Kidron, 2010) menjelaskan bahwa seorang matematikawan sebaiknya dalam berkomunikasi matematis tidak hanya sekedar definisi, teorema, dan pembuktian, tetapi juga ide matematis. Karena sebuah pernyataan dapat diterima kebenarannya ketika orang dapat memahami ide dari pernyataan tersebut dengan mudah, meski hal tersebut tidak mesti dalam bentuk tertulis secara formal. Selain itu, keterlibatan siswa dalam proses justifikasi pada pembelajaran dapat membantu mereka dalam meningkatkan kemampuan komunikasi dan representasi (Staples dan Bartlo, 2010). Dari beberapa cara, komunikasi tertulis merupakan cara yang efektif dan efisien dalam mengomunikasikan gagasan Matematika agar mudah dipahami (Albert, 2000). Adapun komunikasi tertulis yang mencerminkan kemampuan justifikasi yang baik adalah jawaban yang detail, menggunakan suatu metode yang mudah diidentifikasi, sehingga dapat diamati keterkaitan antar konsepnya. TIPE DAN TINGKATAN KEMAMPUAN JUSTIFIKASI Back, Mannila dan Wallin (2009) menjelaskan bahwa justifikasi tidak hanya penting bagi siswa, tetapi juga bagi guru. Karena penjelasan siswa terhadap jawaban yang memungkinkan bagi guru untuk mempelajari perkembangan pemahaman Matematika siswa. Selain itu, proses justifikasi juga dapat digunakan untuk melacak kesalahan konsep yang dimiliki oleh siswa. Beberapa penelitian mencoba untuk mengkategorikan karakteristIk dari justifikasi dan menyusun tingkatannya. Hasil penelitian Back, Mannila dan Wallin (2009) menemukan lima tipe justifikasi pada jawaban siswa, yaitu sebagai berikut. 1. Assumption. Siswa hanya berasumsi dalam memberikan alasan. 2. Vague/broad statement. Siswa memberikan alasan yang sangat ringkas dan kurang informatif. 3. Rule. Siswa memberikan alasan berdasarkan aturan atau definisi. 4. Procedural description. Siswa menjelaskan alasannya secara tahap demi tahap. 5. Own explanation. Siswa memberikan alasan menggunakan bahasa mereka sendiri atau menggunakan simbol. Selain itu, Simon dan Blume (1996) mendeskripsikan level kemampuan justifikasi sebagai berikut: 1. Primitive. Jawaban siswa tidak mengarah kepada justifikasi. 2. Naïve empiricism. Justifikasi berdasarkan beberapa contoh kasus saja. 3. Crucial experiment. Justifikasi berdasarkan pengujian suatu contoh yang tidak bersifat khusus. 4. Generic example. Justifikasi berdasarkan kasus tertentu, namuan masih termasuk dalam contoh yang bersifat umum. 5. Thought experiment. Justifikasi tidak menggunakan contoh, tetapi menggunakan pembuktian konseptual Sedangkan Jane Lo, Grant dan Flowers (2007) mengklasifikasikan derajat justifikasi siswa menjadi lima tingkatan berdasarkan hasil jaawaban siswa secara tertulis. 4
ISBN: ___-___-____
1. Level 0. Tidak terdapat jawaban atau jawaban tidak mengandung strategi penalaran yang valid 2. Level 1. Justifikasi hanya bersifat deskriptif atau sekedar mennjelaskan langkah-langkah penyelesaian. 3. Level 2. Sebagian dari justifikasi mengandung konsep Matematika yang keliru atau belum mengandung detail yang cukup jelas. 4. Level 3. Justifikasi sebagian besar jelas dan secara konsep tepat. Namun sedikit menghilangkan beberapa aspek yang penting. 5. Level 4. Justifikasi secara keseluruhan jelas, lengkap dan secara konsep tepat. Berdasarkan beberapa teori tentang level dan tipe justifikasi di atas, penulis merumuskan tiga tipe justifikasi siswa pada konsep segitiga, yaitu tipe visual, prosedural dan konseptual. Ketiga tipe justifikasi tersebut akan dijelaskan lebih detail pada bagian hasil dan pembahasan. Peran penalaran dan justifikasi dalam pembelajaran Matematika telah memperoleh perhatian yang besar sejak standar kompetensi Matematika dirilis oleh the National Council of Teachers of Mathematics pada tahun 1998 dan 2000. Hal ini juga ditegaskan oleh Ball and Bass (2003) bahwa justifikasi merupakan kemampuan yang perlu untuk dikuasai siswa. Namun kenyataannya dalam pembelajaran Matematika di Indonesia, guru masih jarang menggali kemampuan justifikasi siswa dan menjadikannya sebagai modal untuk memperdalam pemahaman konsep Matematika, menunjang kemampuan komunikasi matematis, dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Guru hanya meminta siswa menjelaskan atau menalar jawaban mereka hanya jika siswa melakukan kesalahan dalam menjawab, sedangkan jawaban yang benar jarang diminta oleh guru untuk diberikan alasan atau penalarannya (Glass dan Maher, 2004). Sehingga, siswa pun tidak terbiasa dalam menjustifikasi jawaban mereka (Dreyfus, 1999). Padahal The Partnership for 21st Century Skills (P21) (2011) menjelaskan bahwa salah satu cara agar siswa dapat menguasai keterampilan abad 21 adalah dengan memadukan keterampilan tersebut dengan konten dan praktik Matematika di sekolah sehingga pembelajaran Matematika menjadi lebih tepat, relevan, dan menyenangkan. Selain itu, siswa pun memiliki kecakapan dan pemahaman dalam konsep Matematika, yang merupakan bekal dalam menghadapi tantangan dan isu global. Oleh karena itu, perlu dilakukan studi analisis terhadap karakteristik kemampuan justifikasi siswa untuk mempelajari kedalaman pemahaman konsep, penalaran dan komunikasi matematis siswa. Hal ini dalam rangka membantu siswa memperoleh kecakapan Matematika secara efektif dan efisien. Berdasarkan paparan di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan bagaimana karakteristik kemampuan justifikasi matematis siswa SMP pada materi segitiga dan kaitannya dengan tingkat pemahaman, penalaran dan komunikasi matematis siswa. Penelitian ini berfokus pada kemampuan justifikasi siswa dalam lingkup materi segitiga pada siswa SMP kelas VII. Siswa diberikan tugas yang tidak rutin, yakni mereka diminta memberikan justifikasi beserta alasannya terhadap beberapa pernyataan tentang konsep segitiga secara tertulis. Selanjutnya, justifikasi dan alasan yang siswa susun dianalisis untuk melihat sejauh mana pemahaman, penalaran dan komunikasi matematis siswa. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Partisipan penelitian merupakan siswa kelas VII D SMPN 5 Depok, Sleman yang berjumlah 30 siswa (17 putra dan 13 putri). Pengambilan data dilakukan dengan memberikan soal yang berisi lima pernyataan berkaitan dengan konsep segitiga kepada siswa (soal terlampir), meliputi identifikasi jenis segitiga berdasarkan sudut dan panjang sisi segitiga, luas segitiga, dan ukuran sudut segitiga. Siswa diminta untuk memberikan justifikasi (benar, salah, atau belum tentu) terhadap pernyataan tersebut beserta alasannya. Dari jawaban siswa diperoleh data tertulis yang bersifat deskriptif tentang kemampuan justifikasi siswa. 5
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika dengan tema ”Pengembangan 4C’s dalam Pembelajaran Matematika: Sebuah Tantangan dalam Pengembangan Kurikulum Matematika" " pada tanggal 28 Mei 2016 yang diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Matematika Pascasarjana Universitas Negeri Malang
Data tersebut kemudian di analisis dengan pendekatan analisis konten (Cohen, 2007). Jawaban siswa dianalisis dan direduksi menjadi menjadi beberapa kategori jawaban, yaitu tipe justifikasi siswa. Kategori-kategori jawaban tersebut berdasarkan teori-teori tipe dan level kemampuan justifikasi yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Selain itu, proses analisis dan reduksi hingga menjadi tipe justifikasi siswa dilakukan oleh beberapa peneliti dalam suatu diskusi kelompok untuk menjamin keabsahan hasil analisis data. Dari hasil analisis tersebut justifikasi siswa dikelompokkan dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi justifikasi siswa, lalu diinterpretasikan untuk menjelaskan kemampuan penalaran, pemahaman dan komunikasi matematis siswa berdasarkan teori yang telah dibahas sebelumnya. HASIL DAN PEMBAHASAN Rekapitulasi justifikasi siswa terhadap lima pernyataan tentang konsep segitiga dideskripsikan sebagai berikut. Tabel 1. Rekapitulasi Justifikasi Siswa Pernyataan (Justifikasi yang Benar Benar) (orang) 1. Kedua segitiga merupakan segitiga samakaki (Benar) 2. Luas segitiga I adalah 2 satuan persegi (Benar) 3. Luas segitiga II adalah 1 satuan persegi (Belum Tentu) 4. Sedikitnya ada satu sudut pada segitiga I yang berukuran 450 (Benar) 5. Sedikitnya ada satu sudut pada segitiga II yang berukuran 300 (Salah)
Salah (orang)
Belum tentu (orang)
Tidak Memberikan Justifikasi (orang)
2
28
0
0
28
2
0
0
2
27
0
1
16
14
0
0
0
29
0
1
Selanjutnya, alasan-alasan dari justifikasi siswa dikelompokkan dengan menggunakan pendekatan analisis konten sehingga diperoleh tiga tipe justifikasi siswa. Pengelompokkan ini berdasarkan pendekatan siswa dalam menjelaskan alasan atas justifikasi yang mereka buat, tanpa memerhatikan secara langsung ketepatan alasannya. Penjelasan tentang tipe justifikasi siswa yang ditemukan pada penelitian ini serta kaitannya dengan teori level justifikasi siswa dijabarkan sebagai berikut. 1. Visual Siswa yang termasuk ke dalam tipe ini melakukan justifikasi hanya berdasarkan tampilan visual dari gambar segitiga dan ukuran yang tertera. Siswa tidak menangkap informasi-informasi tersembunyi yang terdapat pada gambar yang merujuk pada konsep segitiga. Sehingga minimnya informasi yang mereka dapatkan dari gambar mengakibatkan siswa kesulitan dalam menjelaskan alasan justifikasi dan cenderung menjustifikasi pernyataan bernilai salah. Selain itu, justifikasi siswa yang berdasarkan pengukuran langsung terhadap gambar juga termasuk ke dalam tipe justifikasi visual. Siswa menganggap gambar sebagai standar kebenaran mutlak, padahal dalam banyak situasi gambar berperan sebagai ilustrasi/sketsa untuk memudahkan siswa dalam memahami konteks pembelajaran. Tipe justifikasi ini termasuk tingkatan vague/broad statement (Back, Mannila dan Wallin, 2009), dimana justifikasi kurang informatif dan minim deskripsi dan belum mengandung strategi penalaran yang valid (Jane Lo, Grant dan Flowers, 2007). Berikut salah satu justifikasi siswa tipe visual yang ditemukan. 6
ISBN: ___-___-____
Pernyataan Jawaban
: Kedua segitiga merupakan segitiga samakaki : Salah. Karena kedua sudut segitiga berbentuk siku-siku
Siswa menjustifikasi pernyataan bernilai salah dengan alasan visual berupa ukuran salah satu sudut segitiga (yang ditunjukkan dengan gambar “kotak” pada sudut segitiga) yang merupakan ciri-ciri segitiga siku-siku, dan menganggap tidak terdapat cukup alasan untuk menjustifikasi bahwa gambar tersebut merupakan segitiga samakaki. Siswa mungkin yakin bahwa segitiga I merupakan segitiga samakaki dari ukuran dua sisi segitiga yang sama panjang karena ukurannya tertera pada gambar soal. Sedangkan segitiga II hanya menampilkan gambar segitiga siku-siku dengan ukuran salah satu sudutnya diketahui 450. Sehingga bagi siswa yang belum memahami sifat-sifat segitiga samakaki berdasarkan ukuran sudutnya, akan kesulitan menyimpulkan bahwa segitiga II merupakan segitiga samakaki. 2. Prosedural Siswa yang termasuk ke dalam tipe ini melakukan justifikasi dengan menunjukan beberapa langkah prosedural yang melibatkan rumus dan perhitungan. Namun rumus dan perhitungan yang digunakan muncul begitu saja tanpa dilandasi oleh suatu konsep. Sehingga siswa yang melakukan justifikasi prosedural cenderung menuliskan apa yang mereka pahami tanpa mempertimbangkan apakah pembaca memahami alur berpikir mereka atau tidak. Pada penelitian Back, Mannila dan Wallin (2009), pendekatan ini termasuk kategori rule, di mana siswa menjelaskan alasan berdasarkan aturan berupa rumus, dengan contoh yang ditampilkan bersifat khusus (Simon dan Blume, 1996). Karena belum dilengkapi oleh landasan konseptual yang jelas (van de Walle, 2007), sehingga justifikasi siswa sangat memungkinkan terdapat kekeliruan, atau minimal kurang detail yang jelas (Jane Lo, Grant dan Flowers, 2007). Tipe justifikasi ini lebih sering muncul ketika siswa menghadapi pernyataan yang berkaitan erat dengan perhitungan menggunakan rumus, seperti luas segitiga, ukuran suatu sudut segitiga jika diketahui kedua sudut lainnyya, dan sebagainya. Berikut salah satu jawaban siswa tipe justifikasi prosedural. Pernyataan Jawaban
: Sedikitnya ada satu sudut pada segitiga I yang berukuran 450. : Benar. Karena 1800-900=900, 900:2= 450
Dari jawaban tersebut, nampak siswa berupaya menunjukkan bahwa ada salah satu sudut pada segitiga I yang berukuran 450 melalui proses perhitungan. Namun proses perhitungan tersebut jika dibaca oleh orang awam maka memungkinkan mereka tidak mengerti alasan mengapa harus diselesaikan dengan cara perhitungan tersebut meski jawabannya benar. Hal ini dikarenakan pada justifikasi siswa tidak diawali dengan penjelasan konsep segitiga. 3. Konseptual Siswa yang termasuk ke dalam tipe ini melakukan justifikasi dengan mengaitkan segala informasi yang terdapat pada gambar dengan konsep Matematika. Sehingga siswa mampu menangkap informasi-informasi tambahan yang ‘tersembunyi’ pada gambar berdasarkan konsep yang mereka pahami. Jawaban siswa yang termasuk tipe konseptual dapat dilihat dari alasan justifikasi yang lebih lengkap dan komprehensif dengan memanfaatkan informasi pada gambar dan konsep Matematika yang mendasar. Justifikasi tipe konseptual merupakan tingkatan justifikasi siswa yang paling tinggi ditemukan di antara jawaban siswa. Karena penjelasan tidak hanya menggunakan contoh, tetapi juga pembuktian konseptual (Simon dan Blume, 1996; Jane Lo, Grant dan Flowers, 2007) serta menuntut kemampuan siswa menjelaskan konsep yang mereka pahami dengan cara komunikasi menurut bahasa mereka sendiri (Back, Mannila dan Wallin, 2009). Berikut salah satu jawaban siswa tipe justifikasi konseptual. 7
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika dengan tema ”Pengembangan 4C’s dalam Pembelajaran Matematika: Sebuah Tantangan dalam Pengembangan Kurikulum Matematika" " pada tanggal 28 Mei 2016 yang diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Matematika Pascasarjana Universitas Negeri Malang
Pernyataan Jawaban
: Sedikitnya ada satu sudut pada segitiga II yang berukuran 300. : Salah. Karena jumlah derajat segitiga adalah 1800 dan sudah diketahui itu segitiga siku-siku, maka 1800-900=900 dan untuk kedua sudutnya, 900:2= 450. Maka untuk masing-masing kedua sudutnya adalah 450.
Siswa mengawali justifikasi dengan menjelaskan konsep jumlah sudut pada bangun segitiga. Melalui konsep tersebut -meskipun belum cukup lengkap-, siswa mampu menentukan ukuran sudut-sudut lainnya yang belum diketahui pada gambar. Hingga akhirnya siswa mampu menjustifikasi kebenaran pernyataan berdasarkan informasi yang lengkap dan melalui langkah-langkah yang valid. Adapun sebaran tipe justifikasi pada setiap pernyataan yang diberikan kepada siswa adalah sebagai berikut. Tabel 2. Sebaran Tipe Justifikasi Siswa pada Setiap Pernyataan Pernyataan Tipe Tipe Visual Prosedural 1. Kedua segitiga merupakan segitiga 29 0 samakaki 2. Luas segitiga I adalah 2 satuan persegi 1 27 3. Luas segitiga II adalah 1 satuan persegi 1 25 4. Sedikitnya ada satu sudut pada segitiga I 14 10 yang berukuran 450 5. Sedikitnya ada satu sudut pada segitiga II 15 8 yang berukuran 300 60 (40) 70 (47,7) Total (%)
Tipe Konseptual 0
Tidak Ada Alasan 1
1 1 1
1 3 5
1
6
4 (2,7)
16 (10,7)
Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar justifikasi siswa SMPN 5 Depok (87,7%) tergolong tipe visual dan prosedural, yakni justifikasi siswa berdasarkan informasi yang diperoleh pada gambar atau ilustrasi yang diberikan dan langkah-langkah pembuktian yang melibatkan perhitungan menggunakan rumus. Jika dikaitkan dengan rekapitulasi justifikasi siswa pada tabel 1, maka tampak keterkaitan antara tipe justifikasi dengan ketepatan justifikasi siswa. Tabel 3. Sebaran Justifikasi Siswa Berdasarkan Tipe Justifikasi Pernyataan Visual Prosedural Konseptual (Justifikasi yang Tepat) Benar Salah Benar Salah Benar Salah 1 (Benar) 28 0 0 1 0 0 2 (Benar) 3 (Belum Tentu) 4 (Benar) 5 (Salah)
0 1 0 0
1 0 14 15
27 0 10 0
0 25 0 8
0 1 1 0
1 0 0 1
Pada pernyataan pertama di mana hampir seluruh siswa menggunakan justifikasi visual, sebagian besar melakukan kekeliruan dalam memberikan justifikasi. Hal ini disebabkan karena kurangnya informasi yang diperoleh untuk memberikan justifikasi jika hanya mengandalkan keterangan dari gambar atau ilustrasi (contoh jawaban siswa sebagaimana pada contoh yang digunakan pada penjelasan tipe justifikasi visual). Pada pernyataan kedua dan ketiga siswa melakukan justifikasi tipe prosedural, yakni menggunakan rumus luas segitiga untuk menguji kebenaran pernyataan.
8
ISBN: ___-___-____
Pada pernyataan kedua, siswa dapat dengan mudah menentukan luas segitiga karena ukuran tinggi dan alas yang bersesuai telah diketahui pada gambar. Sehingga siswa sebagian besar memberikan justifikasi dengan tepat. Salah satu contoh jawaban siswa adalah sebagai berikut. “Benar. Karena alas segitiga I 2, tinggi segitiga I 2, jadi
”
Sedangkan pada pernyataan ketiga, informasi tentang ukuran panjang dan alas yang bersesuaian tidak memungkinkan diketahui, kecuali siswa tipe visual mencoba mengukurnya secara langsung atau memperkirakan ukurannya. Dan hal tersebut akan mengarahkan siswa kepada justifikasi pernyataan bernilai salah, karena ukuran segitiga tidak dibuat dalam ukuran yang sebenarnya. Padahal jawaban yang diharapkan adalah pernyataan tersebut belum dapat dijustifikasi kebenarannya, belum tentu benar atau salah. Salah satu contoh jawaban siswa adalah sebagai berikut. “Salah. Karena
, bukan 1” (Siswa menganggap bahwa ukuran tinggi dan alas
yang berseusaian adalah 1 satuan panjang.) Pada pernyataan keempat proporsi jawaban siswa antara justifikasi tipe visual dan prosedural berimbang. Namun dilihat jika dari ketepatan justifikasi, maka nampak perbandingan tingkat kekeliruan justifikasi dari tipe visual maupun prosedural. Siswa dengan tipe prosedural berhasil memberikan justifikasi dengan tepat setelah melakukan perhitungan sudut pada segitiga. Sebaliknya, siswa dengan tipe visual justru semuanya keliru dalam memberikan justifikasi. Hal ini disebabkan kesalahan tidak terdapat keterangan ukuran sudut pada gambar yang disajikan. Salah satu contoh jawaban siswa adalah sebagai berikut (untuk contoh tipe prosedural sebagaimana contoh yang digunakan pada penjelasan tipe justifikasi prosedural sebelumnya). Tipe visual
: Salah. Karena tidak terdapat sudut yang berukuran 450
Pada pernyataan kelima, seluruh siswa memberikan justifikasi secara tepat, baik yang menggunakan justifikasi secara visual dan prosedural. Karena gambar pada pernyataan telah memberikan informasi yang cukup bagi sebagian besar siswa untuk memberikan justifikasi, meskipun sebenarnya perlu dibuktikan secara perhitungan. Sehingga nampak dari proporsi tipe justifikasi yang muncul lebih dominan adalah justifikasi visual. Salah contoh jawaban siswa adalah sebagai berikut. Tipe visual Tipe prosedural
: Salah. Karena sudutnya 450 (Siswa melihat keterangan sudut yang terdapat pada gambar) : Salah. Karena 1800-900=900, 900:2= 450, bukan 300
Adapun tipe justifikasi konseptual masih tergolong minim terjadi pada jawaban siswa, yakni hanya empat justifikasi atau sekitar 2,7%. Dari empat justifikasi tersebut, dua jawaban memberikan justifikasi yang tepat dan sisanya masih keliru. Justifikasi yang diawali dengan penjelasan secara konseptual membuat hasil justifikasi menjadi lebih jelas dan rasional. Sedangkan justifikasi yang keliru diakibatkan ketidakcocokan antara konsep yang digunakan dengan pernyataan yang dijustifikasi. Meskipun begitu, penulis tetap mengelompokkan dalam tipe justifikasi konseptual dengan mempertimbangkan landasan justifikasinya yang masih berupa konsep. Salah contoh jawaban siswa yang tidak tepat pada tipe justifikasi konseptual adalah sebagai berikut. 9
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika dengan tema ”Pengembangan 4C’s dalam Pembelajaran Matematika: Sebuah Tantangan dalam Pengembangan Kurikulum Matematika" " pada tanggal 28 Mei 2016 yang diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Matematika Pascasarjana Universitas Negeri Malang
Pernyataan 2 : Luas segitiga I adalah 2 satuan persegi. Jawaban : Salah. Karena dua kali segitiga siku-siku adalah suatu persegi. Jadi, justifikasi tipe visual dan prosedural belum cukup untuk menyusun suatu justifikasi sebuah pernyataan secara rasional dan valid. Justifikasi perlu berdasarkan konsep yang mendasar dan sesuai dengan konteks pernyataan. Justifikasi siswa yang mayoritas tipe visual dan prosedural merupakan gambaran dari kemampuan penalaran siswa yang masih rendah. Hanna (2000) menyatakan bahwa justifikasi tidak cukup hanya untuk menyusun kebenaran sebuah pernyataan. Tetapi juga digunakan sebagai alat yang digunakan untuk memberikan penalaran. Ball dan Bass (2003) juga menegaskan bahwa pengetahuan yang tidak terjustifikasi adalah pengetahuan yang tidak masuk akal, sehingga tentu saja tidak dapat dinalar. Justifikasi visual dan prosedural masih bersifat deskriptif dan ringkas dalam memberikan penalaran. Kecenderungan jawaban siswa adalah mendeskripsikan bagaimana mereka memperoleh jawaban, bukan menjelaskan mengapa mereka mengambil langkah-langkah perhitungan hingga akhirnya mengambil sebuah kesimpulan mengapa sebuah pernyataan bernilai benar atau salah. Selain itu, justifikasi yang hanya berdasarkan pada ilustrasi gambar mengakibatkan siswa mudah terkecoh. Di satu sisi, masih sedikit siswa yang memiliki kemampuan interpretasi gambar yang baik. Sehingga proses penalaran yang valid pun tidak muncul dalam proses justifikasi siswa. Justifikasi siswa yang ringkas mengindikasikan kemampuan komunikasi matematis siswa secara tertulis masih rendah. Hal ini juga tampak pada minimnya penggunaan simbol dan ilustrasi gambar dalam melakukan justifikasi. Sehingga keterkaitan antar konsep atau informasi yang diketahui tidak tergambarkan dengan jelas. Padahal, justifikasi matematis sebagai suatu pengetahuan Matematika perlu ditransmisikan kepada orang lain melalui proses komunikasi (Hanna, 2000). Sehingga pernyataan yang valid secara logika perlu ditopang oleh komunikasi matematis yang detail agar mudah dipahami oleh orang lain. Di satu sisi, menjelaskan justifikasi yang siswa pikirkan melalui sebuah komunikasi bukanlah hal yang mudah. Sehingga sering kita mendengar ungkapan siswa, “Saya mengerti, tapi saya tidak bisa menyampaikannya.” (Jane Lo, Grant dan Flowers, 2007). Selain itu, ketidakmampuan siswa menjelaskan pemikirannya lewat komunikasi erat kaitannya dengan pemahaman yang belum utuh terhadap soal yang dikerjakan. Siswa masih mengalami kesulitan dalam membedakan jenis segitiga dalam konteks panjang sisi dan ukuran sudutnya. Sehingga banyak siswa yang terkecoh atau pun terhenti karena bingung dalam menyusun justifikasi. Minimnya pemahaman ini juga mengakibatkan siswa cenderung hanya memasukkan angka ke dalam suatu rumus, tanpa memaknai operasi perhitungan yang dilakukan (Jane Lo, Grant dan Flowers, 2007). Sedangkan yang diharapkan adalah siswa memiliki relational understanding (pemahaman berdasarkan prinsip) yang lebih mudah beradaptasi dengan tugas-tugas yang tidak rutin, lebih mudah untuk diingat, dan memungkinkan bagi siswa untuk meningkatkan pengetahuannya, bukan instrumental understanding (pemahaman terhadap rumus atau operasi hitung semata) (Skemp, 1976). PENUTUP Justifikasi dalam proses pembelajaran memiliki peran dalam meningkatkan kemampuan penalaran, komunikasi dan pemahaman Matematika siswa sekaligus menilai (assessment) ketiganya. Berdasarkan hasil analisis terhadap justifikasi siswa terhadap pernyataan Matematika tentang konsep segitiga, diperoleh tiga tipe justifikasi siswa, yaitu visual, prosedural, dan konseptual. Mayoritas siswa yang memiliki tipe visual mengindikasikan penalaran siswa terhadap konsep segitiga masih bersifat deskriptif dan ringkas, sehingga belum menjawab bagian 10
ISBN: ___-___-____
dari mengapa suatu pernyataan bernilai benar atau salah. Justifikasi siswa yang ringkas juga menunjukkan kemampuan komunikasi matematis siswa secara tertulis masih rendah. Selain itu siswa masih mengalami kesulitan dalam membedakan jenis segitiga dalam konteks panjang sisi dan ukuran sudutnya yang menandakan pemahaman konsep Matematika yang belum utuh. Rendahnya tingkat pemahaman, penalaran dan komunikasi matematis siswa berimplikasi terhadap justifikasi siswa yang tidak tepat dan tidak berdasarkan konsep yang benar. Oleh karena itu, kemampuan penalaran, komunikasi dan pemahaman Matematika siswa perlu ditingkatkan lagi. Hal ini dapat dimulai dengan merupakan pendekatan pembelajaran dari yang berdasarkan aturan rumus kepada pembelajaran yang berbasis justifikasi. Penelitian ini masih bersifat terbatas pada materi segitiga dan memiliki banyak kekurangan dari sisi metodologi. Penelitian yang lebih lanjut dengan memperluas materi maupun metode pengambilan data (seperti wawancara dan video) disarankan untuk memperoleh hasil yang valid dan ilmiah. DAFTAR RUJUKAN Albert, L.R. 2000. Outside-In – Inside-Out: Seventh-Grade Students’ Mathematical Thought Processes. Educational Studies in Mathematics, (Online), 41(2): 109-141, (http://link.springer.com), diakses 16 September 2015. Back, J.R., Mannila, L. & Wallin, S. 2010. Student Justifications in High School Mathematics. Makalah di sajikan dalam CERME, INRP, Lyon, 28 Januari-1 Februari 2009. Ball, DL & Bass, H. 2003. Making Mathematics Reasonable in School. Reston: NCTM. Brodie, K. 2010. Teaching Mathematical Reasoning in Secondary School Classrooms. New York: Springer. Cohen, L., Manion, L. & Morrison, K. 2007. Research Methods in Education 6th Edition. London: Routledge New York. Dreyfus, T. & Kidron, I. 2010. Justification Enlightenment and Combining Constructions of Knowledge. Educational Studies in Mathematics, (Online), 74 (1): 83, (http://link.springer.com), diakses 16 September 2015. Glass, B. & Maher, C.A. 2004. Students Problem Solving and Justification. Makalah disajikan dalam 28th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education, Ankara, April 2012. Hanna, G. 2000. Proof, Explanation, and Exploration: An Overview. Educational Studies in Mathematics. 44 (2). 5-23. Knuth, E. J. 2002. Secondary School Mathematics Teachers' Conceptions of Proof. Journal for Research in Mathematics Education. 33(5). Lo, J.J., Grant, T.J., & Flowers, J. 2007. Challenges in Deepening Prospective Teachers' Understanding of Multiplication Through Justification. Journal of Mathematics Teacher Education, (Online), 11 (1): 12-13, 18-19, (http://link.springer.com), diakses 16 September 2015.
11
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika dengan tema ”Pengembangan 4C’s dalam Pembelajaran Matematika: Sebuah Tantangan dalam Pengembangan Kurikulum Matematika" " pada tanggal 28 Mei 2016 yang diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Matematika Pascasarjana Universitas Negeri Malang
Mason, M. 2008. Critical Thinking and Learning. Victoria: Blackwell Publishing. NCTM. 2008. Standards for School Mathematics. Reston: NCTM Saveedra, A. R. & Opfer, V. D.. 2012. Teaching and Learning 21st Century Skills: Lessons from the Learning Sciences. New York: Asia Society. Simon, M. A., Blume G.W. 1996. Justification in The Mathematics Classroom: A Study of Perspective Elementary School Teachers. Journal of Mathematical Behavior, (Online), (http://www.journals.elsevier.com), diakses 16 September 2015. Skemp, R.R. 1976. Relational Understanding and Instrumental Understanding. Teaching in The Middle School. 12 (2). 88-95. Staples, M. & Bartlo, J.. 2010. Justification as a Learning Practice: Its Purposes in MIddle Grades Mathematics Classrooms. Center of Research in Mathematics Education. (Online), 3 (1) (http://digitalcommons.uconn.edu/merg_docs/3), diakses 18 April 2016. The Partnership for 21st Century Skills. 2011. 21st Century Skills Map. Washington: P21. Van de Walle, J.A. 2007. Elementary and Middle School Mathematics. Boston, MA: Pearson Education, Inc.
12
ISBN: ___-___-____
LAMPIRAN SOAL UJI KEMAMPUAN JUSTIFIKASI MATEMATIS SISWA SMP PADA MATERI SEGITIGA Perhatikan dua segitiga berikut.
Tentukan apakah pernyataan di bawah ini benar, salah, atau belum tentu. Sertakan alasannya. a. Kedua segitiga merupakan segitiga samakaki b. Luas segitiga yang besar (segitiga I) adalah 2 satuan persegi c. Luas segitiga yang kecil (segitiga II) adalah 1 satuan persegi d. Sekurang-kurangnya ada satu sudut pada segitiga I yang berukuran 45o e. Sekurang-kurangnya ada satu sudut pada segitiga II yang berukuran 30o
13