KELAS TERAKHIR – BAGIAN KEDUA
10. Kerikil dan Batu Besar
Januari 2015. Aku kembali duduk menunggu di ruangan Profesor. Bersama dengan Adit dan Nadine. Dari kami berdelapan, yang paling rajin bimbingan adalah Lisa dan Eva. Setidaknya itulah yang sering kubaca dari grup percakapan; mereka berdua yang paling sering mengajak mahasiswa-mahasiswa yang lain untuk datang menghadap dan melakukan bimbingan. Lisa bahkan kabarnya sudah mengalami banyak kemajuan – konon sudah sampai bab 4. Aku? Kalau saja bukan karena surat pemanggilan yang ditandatangani kepala jurusan, aku mungkin tidak berada di sini. Selepas ujian akhir pada mata kuliah yang diasuh Profesor, perkuliahanku nyaris berantakan. Bahkan tugas studio pada mata kuliah yang diajar dosen waliku pun nyaris terbengkalai. Semua berawal dari pengumuman pemerintahan yang baru dibentuk, dan setelah itu duniaku (dan terutama sekali Juna) sontak jungkir balik. Aku bukan penentang presiden yang baru terpilih, meski aku juga tidak memilihnya (aku GOLPUT tepatnya). Tetapi aku bukan pencinta maupun pembenci membabi buta juga. Aku sebenarnya netral; kebijakan yang baik aku dukung, dan kebijakan yang nyeleneh sudah pasti aku kritik. Namun, keputusan presiden yang satu ini benar-benar membuat duniaku runtuh. Sejak pengumuman nomenklatur lembaga negara yang baru, unit kerjaku dan Juna sudah tidak berada di kementerian tempat kami bekerja selama ini lagi, melainkan dipindah ke kementerian lain. Aku jelas kaget. Apalagi Juna. Dan bukan hanya kami, tetapi nyaris seluruh pegawai di unit kami pun terkejut. Sebagian besar tidak bisa menerimanya karena selama ini pegawai sudah sangat terikat dengan kementerian (termasuk di unitku) sebagai satu kesatuan korps. Suasana kantor saat ini sangat tidak kondusif, apalagi dengan adanya beberapa pejabat yang disinyalir mencoba mengambil kesempatan dalam kesempitan. Pendeknya, aku shock. Juna? Reaksi pertamanya, sih, biasa saja dan mencoba tenang. Namun, lamakelamaan sikapnya mulai berubah. Ia mulai sering uring-uringan dan marah-marah tanpa sebab. Tesisnya? Berhenti total! Bahkan ia seperti tidak berminat menyentuh tesisnya lagi. Dan inilah sebenarnya yang membuatku pusing. Aku pernah beberapa kali mencoba mengingatkannya untuk kembali menggarap tesisnya, dan reaksinya selalu marah. Akhirnya, aku hanya mencoba menghiburnya dengan jalan-jalan, entah ke Solo atau Magelang. Kadang-kadang kami menginap sehari hingga dua hari. Juna sepertinya depresi berat. Kondisi psikologisnya semakin lama semakin tidak sehat. Aku sendiri akhirnya juga ikut-ikutan tertahan di Yogyakarta. Pernah beberapa kali aku meminta ijin untuk pergi ke Bandung. Tetapi, Juna tidak pernah mengijinkannya. Itulah sebabnya aku nyaris terlambat mengumpulkan tugas studio (dan karenanya juga nyaris tidak lulus!). Draf tesisku sendiri berhenti di bulan Oktober. Bimbingan pertama kali setelah menyerahkan tugas akhir di bulan September kemarin adalah bimbingan terakhirku dengan Profesor. Setelah itu, aku tidak pernah menyentuh drafku lagi. Kelas Terakhir, by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
Akhir tahun kemarin, sebuah surat pemanggilan ditujukan kepada kami – anak-anak bimbingan Profesor. Kami diperintahkan untuk kembali menggarap tesis. Aku, setelah janjian dengan beberapa teman, pun akhirnya menyempatkan diri ke Bandung. Tentu saja sekaligus menyelesaikan berbagai urusan di Bandung. Seperti mengosongkan kamar kos, misalnya. Bahkan, kalau dipikir-pikir, aku sudah buang-buang uang karena kamar kos itu sama sekali tidak pernah aku pakai sejak bulan Oktober. Makanya, aku sekalian ingin mengosongkan kamar kosku. Sayang, sepertinya justru terjadi kesalahpahaman. Aku dianggap penghuni yang tidak jelas, bahkan dituduh tidak bayar (meski aku selalu rutin mentransfer uangnya ke ibu kos). Walhasil, ketika aku kembali ke kamar kosku, penjaga kos justru mengatakan kalau kamarku sudah dipakai orang lain dan barang-barangku sudah dimasukkan kardus. Gembok yang kupakai untuk mengunci kamar pun dibobol. Meledaklah amarahku! Aku muntahkan amarahku kepada ibu kos di telepon. Kami pun bertengkar hebat. Penjaga kos bahkan sampai ketakutan melihatku. Untung ada Juna yang mencoba menetralisir keadaan. Tetapi tak urung aku jengkel setengah mati. Akhirnya aku keluar dari kos juga dengan membawa seluruh barang-barangku ke rumah orang tuaku di Ciputat. Aku pun akhirnya menginap di Ciputat selama beberapa hari, sebelum tanggal yang ditentukan untuk bimbingan. Dan hari ini, aku dan Juna kembali ke Bandung. Untunglah rumah orang tuaku dekat dengan pintu tol. Jadi, kami tidak perlu menghabiskan banyak waktu untuk berputar-putar ke tengah kota. Tinggal masuk jalan tol, kami pun langsung melesat menuju Bandung (meski jalan tol pun kini semakin padat). Selesai? Ternyata masalah belum mau jauh-jauh bergi dariku. Tiba-tiba, grup percakapan di lingkungan mahasiswa penerima beasiswa dilanda kehebohan dengan adanya kabar bahwa lembaga pemberi beasiswa sudah tidak membayarkan uang kuliah kami untuk semester ini. Memang, perjanjian di atas kertas adalah 13 bulan. Tetapi, pada kenyataannya, mana ada mahasiswa S2 yang menyelesaikan kuliahnya dalam waktu 13 bulan? Juna kebetulan penerima beasiswa yang sama dan ia dibayari kuliahnya selama 2 tahun atau 4 semester. Menurut informasi yang didengarnya juga, uang beasiswa selalu dibayarkan penuh di muka sebesar jumlah semester yang wajar diikuti mahasiswa (dalam hal ini, berarti 4 semester). Jadi, bagaimana mungkin tiba-tiba ada perubahan kebijakan tanpa mahasiswa diberitahu sebelumnya? Kepalaku mendadak sakit. Bagi Kiki dan Rezza yang tesisnya sudah lebih dari separuh jalan, mungkin tidak terlalu masalah. Seapes-apesnya mungkin hanya bayar separuh (dan aku rasa mereka pun bahkan tidak perlu bayar separuh, cukup bayar uang tunggu wisuda saja. Nombok pun paling hanya menyisihkan sedikit uang tesis. Tetapi aku, Eva, Raafi, dan sebagian besar lain mahasiswa penerima beasiswa yang bahkan penyusunan tesis saja baru mau akan dimulai, jelas ini masalah besar. Padahal urusan kantor saja sudah menyita banyak tenaga dan pikiran. Ini pakai ditambah dengan urusan uang kuliah. Mana pakai acara diusir dari kos-kosan juga. Jadi, kalaupun seandainya nanti Profesor marah besar kepadaku karena aku terlalu lama menghilang dan tidak menunjukkan kemajuan apapun, percayalah, itu masih tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan dimutasi paksa dari kantor, diusir dan tempat kos, dan dicabut beasiswanya.
Kelas Terakhir, by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
Juna hari ini sibuk dengan urusan administrasinya. Aku memberikan kunci mobil dan kartu untuk menonton bioskop agar ia bisa menghabiskan waktunya di bioskop sementara aku mengikuti bimbingan tesis. Tadi, aku juga menyempatkan diri untuk mencari informasi ke Bu Indri (tanpa sepengetahuan Juna tentunya) mengenai uang kuliah semester ini yang konon harus dibayar sendiri. Bu Indri belum bisa memberikan informasi apapun. Ia hanya menyuruhku untuk jangan membayar dulu sampai KRS-nya keluar. Kalau KRS-ku (dan teman-teman yang lain) tidak keluar, baru aku harus membayarnya. Tetapi jika keluar, berarti aman. Bu Indri menyuruh kami berdoa saja agar KRS-nya nanti bisa keluar. Aku mengeluarkan sebuah map plastik berisi draf tesis yang sudah kususun sebelumnya. Hanya beberapa belas lembar, plus 2-3 lembar dalam bentuk ringkasan berupa bagan. Visualisasi skematik (semua mahasiswa bimbingan Profesor harus bisa membuat ini!). Adit mengambil mapku dan melihat isinya. Ia ingin tahu hasil pekerjaanku. Kubiarkan saja. Sekilas wajah Adit menyiratkan kekaguman, sekaligus ketidakpercayaan diri akan hasil pekerjaannya setelah melihat hasil kerjaku. Maklum, di antara kami semua, Adit adalah mahasiswa yang pertama kali sudah melakukan bimbingan, bahkan sebelum mata kuliah berakhir. Dan dalam perkembangannya, ternyata Adit justru tersusul oleh mahasiswa yang lain (terutama Lisa dan Eva). Dan sekarang ia melihat hasil kerjaku. Meski sebenarnya aku sendiri membuatnya dengan setengah asal-asalan. Aku memang sedang tidak bisa berpikir. Masalah kantor benar-benar menyita energiku. Belum lagi masalah uang kuliah. Dan tentu saja Juna. Profesor datang terlambat sekitar setengah jam dari waktu yang dijanjikan. Kemudian ia meminta draf Adit. Kemudian membahasnya. Agak lama. Dan aku mendengarkannya dengan perasaaan degdegan. Aku sudah terlalu lama menghilang dan sebenarnya tidak terlalu menunjukkan perkembangan yang berarti juga. Beberapa waktu yang lalu sempat tersiar kabar di grup percakapan bahwa Profesor memarahi Iqbal. Meski kabar yang kudengar adalah bahwa Profesor tidak pernah marah kepada mahasiswi, amarah yang dimuntahkan kepada Iqbal tak urung membuat Aisha dan Lisa – yang waktu itu juga berada di sana – ikut tegang juga. Karena itu, sebenarnya aku tidak terlalu mengharapkan kehadiran Adit saat ini. Aku khawatir Profesor marah kepada Adit. Meski aku rasa Profesor tidak akan memarahiku, aku sedang tidak dalam kondisi siap untuk mendengarkan amarah. Untunglah sepertinya mood Profesor sedang baik. Ia tidak memarahi Adit. Hanya sedikit menyindirnya dengan agak sedikit nyelekit. Kemudian giliran Nadine. Nadine juga menunjukkan kemajuan dalam penyusunan tesisnya. Dan Nadine pun termasuk yang rajin melakukan bimbingan (bersama dengan Lisa dan Eva). Jadi, Profesor pun sepertinya puas dengan Nadine. Aku sedang menyusun beberapa argumen di dalam kepala ketika tiba-tiba Profesor meminta drafku. Aku pun memberikannya. Profesor membaca belasan halaman draf bab 1 yang kususun. Masih sangat mentah karena aku menyusunnya dari beberapa makalah yang pernah aku buat sebelumnya. Belum matang, tetapi sudah ada sedikit gambarannya. Intinya, aku ingin melihat perubahan sosial (aku mencoba mencocokkan tema yang diberikan Profesor kepadaku) dengan adanya pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Hibrid di Pantai BaruKelas Terakhir, by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
Pandansimo, Bantul, Yogyakarta. Aku mencoba menjelaskannya dengan hati-hati. Dulu, aku pernah mengutarakannya dan ditolak. Mungkin karena aku salah dalam mengemukakan sudut pandangku. Aku melirik sekilas Profesor yang tengah membaca drafku dengan teliti. Dan di luar dugaan, ternyata Profesor menyetujui proposalku. Ia bahkan langsung menyuruhku untuk segera menyusun tinjauan pustaka kerangka-kerangka teori yang akan kupakai nanti. Biar cepat, begitu katanya. Aku pun menyanggupinya. Meski rasanya aku hanya sekedar berjanji mengingat aku pun juga tidak tahu kapan selanjutnya akan menemui Profesor lagi. Prioritasku adalah Juna. Bagaimana membuat Juna mau menyentuh tesisnya lagi, dan kalau perlu membantunya mengumpulkan data. Dan itu rasanya akan menyita banyak waktu dan tenagaku. Aku keluar dari ruangan Profesor sore hari menjelang maghrib, tepat ketika Juna mengirimkan SMS dan menanyakan apakah aku sudah bisa menyusulnya ke Cihampelas. Selama aku bimbingan, ia memang menghabiskan waktunya untuk menonton film di sebuah bioskop di Cihampelas Walk (ternyata ia tidak menggunakan kartu bioskopku karena bioskop tersebut ada di Paris Van Java). Sudah dua film yang ia tonton, dan dua-duanya menurutnya tidak menarik. Aku membalas SMS-nya kalau aku pun sedang dalam perjalanan menuju Cihampelas. Tepat ketika sebuah pesan masuk di grup percakapan. Dari Raafi, yang ternyata baru saja membayar uang kuliah untuk semester ini, dan mendapat notifikasi bahwa saldonya kelebihan di rekening SPP-nya. Aku tersenyum membaca pesan Raafi. Karena itu artinya urusan uang kuliah pun sudah beres. Uang kuliah memang dibayarkan untuk 2 tahun sebagaimana jadwal normal program S2. Itu artinya, aku tidak perlu mengorbankan uang tesisku untuk membayar uang kuliah semester ini. Kerikil-kerikil kecil sudah tersingkirkan. Kini, tinggal batu besar di kantor. Aku memikirkan nasibku, Juna, dan masa depan karir kami. Aku mulai memikirkan hal lain dan mencoba realistis. Kalau memang kantor tidak membutuhkanku lagi, kenapa aku harus bertahan? Kenapa tidak aku mengejar saja impianku yang lain? Selama ini aku memang nyaman dengan statusku sebagai PNS. Tetapi pekerjaanku? Banyak yang mengatakan sayang kalau aku menghabiskan karirku di kantor hanya untuk mengurusi administrasi surat-menyurat yang bahkan bisa dilakukan oleh lulusan SMK sekalipun. Termasuk Juna yang sedari awal pernikahan kami sudah memaksaku untuk berganti haluan – misalnya menjadi dosen di perguruan tinggi. Aku mencoba bertahan dan bersabar dengan pekerjaanku yang aku pun berpikir kalau itu adalah pelecehan terhadap kemampuan intelektualku. Tetapi setelah gonjang-gajing yang terjadi di kantor, aku mulai berpikir ulang untuk bertahan dan bersabar. Rasanya sudah cukup! Aku menemui Juna di Cihampelas Walk. Kami membeli paket nasi dan ayam goreng tepung di sebuah minimarket merk lokal yang membuka gerainya di sana. Dua buah paket untuk dimakan di tempat, dan dua paket lagi untuk dibawa. Kami memutuskan untuk kembali ke Yogyakarta saat itu juga. Perkiraan kami, jika kami berangkat selepas maghrib, kami sudah akan tiba di Banjar tengah malam nanti. Ada salah satu pom bensin di Banjar yang biasa digunakan para supir truk dan penglaju untuk istirahat. Rasanya, kami akan tidur di sana semalam untuk kemudian melanjutkan perjalanan keesokan paginya.
Kelas Terakhir, by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
11. Babak Baru
Satu semester hampir berlalu sejak terakhir kali aku menemui Profesor. Dengan janji untuk segera menyerahkan draf bab 2 yang tidak pernah kupenuhi. Satu semester ini kuhabiskan penuh untuk mendukung Juna. Urusan kantor, aku mencoba melobi habis-habisan. Kadang hingga menegangkan urat-urat syarafku. Urusan kuliah Juna, aku pun mencoba menyemangatinya habis-habisan. Aku menjadi supir pribadinya ketika ia harus mengurus ijin di komplek Pemerintahan Kabupaten Sleman, maupun ketika ia harus naik ke atas gunung untuk menemui narasumber-narasumbernya. Peugeot 206 matic selalu setia menemani perjalanan kami. Kadang, aku sampai kasihan ketika harus memaksanya mendaki gunung. Bahkan, pernah suatu kali aku harus membawanya menuruni jalanan yang rusak berat bersama dengan truk-truk pengangkut pasir, melintasi debu dan batu-batu besar. Meski ada kalanya juga Juna lebih suka mengendarai sepeda motornya, dan tentu saja dengan aku membonceng di belakang dengan kamera Nikon D3000 yang harus selalu siap sedia membidik target-target dokumentasi. Sudah barang tentu, aku tidak sempat memikirkan tesisku lagi. Tentu saja aku selalu memantau perkembangan teman-temanku melalui grup percakapan. Yang paling serius adalah Lisa. Bahkan, Lisa sudah siap untuk maju ujian pratesis sebelum semester ini berakhir. Selain itu, Eva juga sudah banyak mengalami kemajuan, bahkan kalau ia mau lebih serius lagi, ia juga tinggal menunggu jadwal ujian pratesisnya. Nadine dan Aisha juga banyak mengalami kemajuan. Aisha bahkan sudah mengalami kemajuan dalam kehidupan pribadinya: sudah menikah! (Dan aku tidak bisa menghadirinya karena Juna membutuhkanku di Yogyakarta). Menurut Lisa, Profesor beberapa kali menanyakan mahasiswa yang tidak pernah hadir dalam bimbingan. Tentu saja termasuk aku. Untungnya, Lisa begitu pengertian dengan mengatakan kepada Profesor kalau aku sedang sibuk membantu suamiku. Aku sebenarnya malu karena itu adalah urusan pribadi. Tetapi menurut Lisa, itu lebih baik daripada Profesor berprasangka buruk terhadapku. Meski tentu saja aku pun harus menahan malu ketika aku menelepon Bu Indri, karena Profesor ternyata sering curhat kepada Bu Indri tentang kelakuan-kelakuan ajaib mahasiswa bimbingannya – dan terutama sekali kelakuanku! “Mosok, Bu Indri, ada mahasiswa saya yang sibuk mengurusi suaminya sampai tesisnya terbengkalai...” begitu suatu hari Bu Indri menceritakan curhatan Profesor kepadaku. Aku senyum-senyum saja mendengar “laporan” Bu Indri. Masalahnya, Juna memang tidak bisa aku tinggal sama sekali. Andai saja masalahnya hanya tesis dan jatah waktu kuliah yang hampir habis, tentu tidak terlalu “masalah”. Tetapi masalah Juna tidak hanya sekedar tesis. Atasanku pernah mengatakan kalau kami lebay; harusnya kami tinggal menerima saja keputusan pimpinan, ditempatkan di mana pun, tanpa harus berpikir macam-macam. Toh, kami tetap digaji, dan tetap dengan status PNS. Hanya saja, apa yang terjadi di kantor telah memengaruhi psikis Juna jauh di luar perkiraan semua orang. Aku bisa melihat kalau Juna depresi berat. Bahkan aku sampai terpikir untuk membawa Juna ke psikolog – dan kebetulan ada rumah sakit jiwa yang bisa dijangkau dari rumahku dengan cepat. Kelas Terakhir, by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
Butuh perjuangan luar biasa untuk menyemangati Juna agar ia mau menyentuh dan mengerjakan tesisnya lagi. Butuh perjuangan lebih berat lagi untuk menutup semua kabar dari kantor untuk menjaga kondisi psikologis Juna. Juna sering stres dan uring-uringan setiap kali ia membuka media sosial dan membaca unggahan dari beberapa teman kantornya. Ada yang mengeluhkan masalah mutasi, dan ada juga yang dengan tidak sensitifnya mengunggah foto-foto pelantikan kenaikan jabatan. Juna naik darah; bagaimana mungkin ada yang pamer kebahagiaan dipromosikan sementara yang lain menahan gondok karena “dibuang” dari kantor? Akhirnya aku menyuruh Juna untuk menghapus saja semua kontak di media sosialnya daripada stres. Dan ternyata Juna tidak hanya menghapus semua kontak di media sosialnya. Nomor telepon yang biasa ia gunakan pun dimatikan. Ia memang memiliki dua buah nomor telepon. Tetapi nomor telepon yang satu itu tidak boleh tersebar ke mana-mana. Akhirnya, semua telepon untuk Juna dialihkan ke nomor teleponku. Setiap ada telepon dari kantor, aku yang menerimanya, dan tidak semua aku alihkan ke Juna. Pernah suatu kali ada salah seorang pegawai tata usaha di kantor yang berusaha menelepon Juna melalui nomorku, memaksa-maksa untuk berbicara dengan Juna, dan Juna tidak mau berbicara dengannya. Akhirnya, akulah yang adu tegang urat syaraf dengan pegawai tata usaha tersebut. Jadi, waktu dan tenagaku memang sangat tersita untuk Juna. Aku tidak sempat memikirkan tesisku sebelum Juna menyelesaikan tesisnya. Kuliah Juna adalah prioritas utama saat ini. Setidaknya, kalau ia benar-benar marah dan memutuskan untuk mundur sama sekali, gelar S2 itu sudah bisa digunakan sebagai modal. Hari ini, aku pun kembali ke kampus. Menemani Juna mengurusi keperluan-keperluan menjelang sidangnya. Akhirnya ia mendapatkan jadwal pratesis juga. Dan sementara Juna berdiskusi dengan dosen pembimbingnya, yang juga dosen waliku, aku pun menemui Bu Indri di ruang sekretariat jurusan. Ada Lisa juga di sana dan sedang duduk berhadapan dengan Bu Indri. Tadinya aku ingin menyapanya dan mengajaknya bercanda seperti biasa. Tetapi hari itu aku melihat mata Lisa sembab seperti habis menangis. Jadi, aku pun mengurungkan niatku. Aku bahkan memutuskan untuk keluar ruangan dan memilih untuk menunggu di ruang komputer karena tidak enak dengan Lisa. Juna ada di lobi, sedang berdiskusi dengan dosen waliku. Pintu di ruangan komputer selalu terbuka. Posisinya yang persis di sebelah lobi membuatku bisa leluasa menguping pembicaraan-pembicaraan yang terjadi di lobi. Juna sedang asyik berdiskusi dengan pembimbingnya, ketika kemudian Lisa ikut bergabung. Mata Lisa yang sembab sepertinya menarik perhatian dosen waliku dan pembicaraan pun kemudian beralih ke Lisa. Sepertinya, Lisa mengalami masalah dalam penyusunan tesisnya. Penasaran, aku pun ikut bergabung dan mendengarkan cerita Lisa. Dari penuturan Lisa, ada beberapa hal yang (untuk sementara) bisa kusimpulkan. Pertama, telah terjadi sedikit kesalahpahaman antara Lisa dengan Profesor. Kesalahpahaman itu kemudian membuat Profesor marah besar kepada Lisa. Dan kedua, akibat kemarahan Profesor tersebut, Lisa mengkhawatirkan rencana sidangnya. Karena, ketiga, ternyata Lisa mengambil 0 SKS untuk semester ini, yang artinya ia harus segera sidang bulan ini. Dan sepertinya, yang terakhir itulah yang membuat Profesor marah besar. Kelas Terakhir, by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
Aku tidak ingin mengambil kesimpulan apapun dari cerita Lisa. Aku baru mendengarkan versi Lisa dan siapa tahu ada versi yang lainnya, bukan? Hanya saja, aku terkejut melihat Lisa yang sampai menangis gara-gara Profesor. Bu Indri memang pernah cerita kalau mahasiswa bimbingan Profesor banyak yang curhat sambil menangis. Tetapi, aku belum pernah melihat Profesor begitu marah kepada MAHASISWI bimbingannya. Jadi, aku memutuskan untuk keluar dari lobi dan duduk di samping coffee machine, lalu mengirim pesan kepada Eva sambil menyeruput segelas kopi untuk menceritakan kejadian yang menimpa Lisa barusan. Jawaban yang kuterima ternyata lebih mengejutkan lagi: “Aku juga dulu malah pernah digebrak Profesor, draf tesisku dilempar, sampai aku trauma. Tapi, ya, mau bagaimana lagi? Aku kuat-kuatin aja, daripada ga lulus-lulus...” Lha? Aku terkejut. Kapan itu? Aku penasaran. Karena Eva sama sekali tidak pernah menceritakannya. “Udah cukup lama, kok. Yang aku datang sendiri sore-sore itu. Ya mungkin waktu itu Bapaknya lagi capek. Kan beliau sibuk berat.” Aku terdiam membaca SMS dari Eva. Kalau Eva saja dimarahi (dan kemudian Lisa), bagaimana denganku, aku mulai cemas. Aku sudah satu semester menghilang tanpa jejak. Bahkan Profesor sering mengeluhkan kelakuanku ke Bu Indri. Aku tidak berani membayangkan seandainya Profesor memarahiku. Meski aku mencoba meyakinkan diriku sendiri, kalau Profesor rasanya tidak akan marah kepadaku. Selama ini juga tidak, kok. Selama perkuliahan, ia tidak pernah marah kepadaku. Ketika aku mengikuti bimbingan tesis satu semester yang lalu dengan progress seadanya, ia juga tidak marah. Aku berbeda dengan Lisa dan Eva, pikirku mencoba menghibur diri sendiri. Aku pasti bisa mengatasinya, pikirku – tidak yakin. ... Beberapa bulan pada akhir semester ini aku sering sekali bolak-balik Yogya-Bandung. Jalanan sudah menjadi rumahku yang kedua dan pom bensin menjadi tempat menginap gratis favoritku. Semua demi mendukung Juna. Aku bahkan sampai hafal pom bensin-pom bensin yang layak dijadikan tempat bermalam gratis. Misalnya, di depan stasiun Bojong di sebelah timur selepas kota Ciamis. Kemudian ada juga di Banjar. Ada lagi yang cukup luas di Wanareja. Itu kalau kami berangkat dari Bandung. Kalau dari Yogya, biasanya kami mengincar pom bensin di Kebumen yang cukup luas. Cari saja pom bensin yang banyak truk-truk terparkir, pasti di situ aman karena sering dipakai penglaju untuk bermalam. Pernah suatu hari aku ngebut dari Tasikmalaya jam 6 pagi demi mengejar jadwal pratesis Juna yang jam 10 pagi (dan jadwal Juna malah ngaret hingga empat jam!). Di Bandung sendiri, karena aku sudah tidak punya tempat tinggal lagi, aku pun dengan modal nekat mencoba mencari kamar di salah satu balai diklat kementerian yang berada di belakang hotel mewah Grand Royal Panghegar. Jika sedang tidak ada acara pelatihan, ada banyak kamar kosong yang bisa kami pakai. Kalaupun ada acara, masih bisa dicoba dengan melobi penjaganya – siapa tahu ada kamar kosong yang masih bisa dipakai, tidak apa di pojokan ataupun lantai 3 yang berantakan. Tarifnya hanya 25.000 rupiah per orang per malam. Kalau aku dan Juna menginap, berarti 50.000 rupiah per malam. Lumayanlah, masih lebih murah dibanding hotel yang rata-rata tarif paling murahnya saja sudah 200.000-an per malam. Aku sangat berterima kasih pada para pegawai balai diklat yang ramah-tamah dan ringan tangan. Apalagi belakangan aku juga punya kenalan pegawai Kelas Terakhir, by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
balai diklat yang ternyata juga sedang menyusun tesis di kampus dan program studi yang sama – satu angkatan dengan Juna, tetapi mengikuti kelas khusus kantor sehingga tidak pernah bertemu. Tentu saja aku tidak bilang kalau kami (kemungkinan) sudah tidak lagi berada di kementerian tersebut. Aku hanya bilang, kalau surat keputusan terakhir (tentang tugas belajar, maksudnya) adalah kami berada di kementerian. Selanjutnya, belum ada kabar dan kami tidak tahu sama sekali. Juna sendiri sudah melewati pratesis dan kini sedang menyiapkan sidang tesisnya. Aku pun memiliki waktu luang untuk mengurusi tesisku dan urusan-urusan administrasi yang harus kuselesaikan. Aku sendiri harus membayar semester ini karena jatah uang beasiswaku sudah habis. Jadi, hari itu aku pergi ke kampus dengan mengendarai mobil sendirian sementara Juna sibuk di kamarnya mengerjakan slide presentasinya untuk sidang besok. Aku memarkir kendaraan di seberang kampus dan berjalan kaki menuju kampus dengan perasaan galau. Uangku semakin menipis. Jadi, aku harus berani bertaruh dengan mengambil 0 SKS dan membayar separuh uang semester saja. Aku sendiri yakin bisa melakukannya – menyelesaikan tesisku lebih cepat dari jadwal satu semester. Hanya saja, aku harus “melewati” Profesor dulu. Karena, seperti yang sudah pernah dikatakan Bu Indri, Profesor tidak pernah setuju jika mahasiswamahasiswanya mengambil 0 SKS. Aku berniat membicarakan hal ini dengan Bu Indri. Sekali lagi. Karena sebelumnya aku sudah pernah membicarakannya, dan Bu Indri menentang keras rencanaku. Rencanaku, kali ini aku akan mengatakan kepada Bu Indri kalau aku akan meminta ijin langsung kepada Profesor. Meski aku sebenarnya takut setengah mati. Bagaimana jika Profesor tidak setuju dan kemudian marah? Walaupun untuk mengantisipasinya aku juga sudah memiliki rencana ekstrim: aku akan mundur jika Profesor tidak setuju aku mengambil 0 SKS. Aku tahu, Profesor pasti akan lebih marah lagi jika ini terjadi. Tetapi, aku memang benar-benar sudah tidak punya uang lagi jika harus membayar uang SKS penuh. Aku baru melangkahkan kakiku keluar dari mobil ketika ponselku berdering. Dari Raafi. “Halo?” “Mbak? Lagi di kampus?” “Iya,” jawabku. “Mbak udah ngomong ke Profesor kalau mau ngambil 0 SKS?” “Belum. Baru mau...” “Jangan!” Tiba-tiba Raafi mencegah. “Mbak, pokoknya, jangan ngomong apa-apa ke Profesor soal SKS itu. Aku juga mau ngambil 0 SKS, tapi aku mau diem-diem aja. Jangan sampai Profesor tahu.” “Oh, begitu? Boleh, ya?”
Kelas Terakhir, by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
“Ya kalau kata Bu Indri nggak boleh. Tapi kalau ngomong ke Profesor, takutnya malah jadi panjang urusannya. Tadi aku juga udah nelpon Eva. Dia juga mau ngambil 0 SKS. Dan diem-diem juga.” “Lha terus nanti ngomong ke Bu Indrinya gimana?” “Aku udah ngomong juga ke Bu Indri. Sebenernya masalahnya begini, Profesor itu nggak suka kalau diburu-buru waktu. Makanya, dia nggak suka kita ngambil 0 SKS, karena itu artinya dia bakal dikejarkejar. Jadi, kita ngambil 0 SKS, tapi jangan bilang-bilang, dan ikutin aja maunya Profesor. Ya kita gambling jadinya. Tapi aku sih yakin kita bisa ngejar sidang sebelum jatuh tempo. Asalkan kitanya pro aktif aja.” Raafi menjelaskan panjang lebar. Sebenarnya, kalau aku bisa mengambil 0 SKS tanpa melapor kepada Profesor, aku lebih senang lagi. Terus terang, setelah kejadian yang menimpa Lisa, juga cerita Eva, aku jadi takut kalau seandainya nanti Profesor marah kepadaku. Meski aku belum bisa membayangkannya sama sekali, karena aku memang belum pernah dimarahi, dan aku yakin rasanya tidak mungkin Profesor memarahiku. “OK....OK....aku nggak akan ngomong apa-apa ke Profesor,” jawabku. “Thanks, ya, Mbak....” Klik. Telepon ditutup. Aku kembali melanjutkan langkahku menuju jurusan. Dan berbicara dengan Bu Indri. Dan seperti yang sudah diduga, Bu Indri lagi-lagi tidak setuju dengan rencanaku (dan Raafi, juga Eva). Tetapi masalahnya kami benar-benar mengalami krisis keuangan. Aku mencoba meyakinkan Bu Indri. Bu Indri kemudian menunjukkan jadwal akademik. Ia mengatakan, kalau aku mengambil 0 SKS, maka sebelum tanggal tertentu aku sudah harus memastikan jadwal sidang, dan lulus sebelum tenggat waktu berakhir. Jika tidak, maka aku harus mengambil SKS penuh (yang artinya aku harus melunasi uang semester sisanya) dan mengambil SKS penuh untuk semester berikutnya. Yang artinya, aku harus membayar total sebanyak sekitar 12 juta rupiah! Aku terhenyak. Ini, sih, benar-benar taruhan. Tetapi, saat ini pun aku tidak sanggup jika harus mengeluarkan uang sebanyak 8.250.000 rupiah. Jadi, aku pun menerima “taruhan” tersebut. “Sekarang semua tergantung kamu. Kalau kamunya rajin, proaktif, aku, sih, yakin kamu bisa sidang sebelum deadline. Tapi, sekali lagi, semua tergantung kamu. Kalau kamunya ngilang kaya semester kemarin, aku nggak jamin,” Bu Indri berkata sambil setengah mengancam. Aku tersenyum mengiyakan. Untuk sementara, aku merasa lega. Aku yakin, aku bisa melakukannya. Asalkan, aku tidak direcoki urusan-urusan non teknis yang tidak ada hubungannya dengan tesis. Termasuk urusan kantor. Aku kembali ke kamar balai diklat setelah urusanku selesai. Juna pun sudah selesai dengan draf presentasinya. Malam ini, ia ingin istirahat sebelum hari penentuan esok harinya. Aku ingin Kelas Terakhir, by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
mentraktirnya nasi Padang sebagai penyemangat. Dengan lauk ayam pop atau gulai otak kesukaannya. Hanya saja, tiba-tiba teleponku berbunyi. Bu Indri meneleponku. Ada apalagi ini? “Halo?” sapaku. “Mbak Nadya, tadi Profesor telepon saya. Dia minta supaya kamu segera bimbingan. Kalau tidak, dia mau minta ke kepala jurusan buat bikin surat pemanggilan khusus buat kamu.” Informasi dari Bu Indri benar-benar membuatku tersentak. “Lho, kok tiba-tiba, Bu?” “Ini saya lagi mau buat konsep surat pemanggilannya. Kamu mau sampai ada surat-menyurat, nggak? Kalau enggak mau ada surat, kamu mending segera hubungi Profesor, deh. Surat masih bisa saya tunda.” Aku mendadak dicekam kepanikan. Menghubungi Profesor? Tetapi bahkan aku TIDAK membawa draf sama sekali! Tetapi kalau sampai surat pemanggilan itu keluar, untuk kedua kalinya, keadaannya bisa tambah runyam! “Gimana, Mbak?” “OK....OK.....aku segera SMS Profesor,” jawabku singkat. “Ya udah. Aku nggak bikin suratnya kalau begitu.” Klik. Telepon ditutup. “Ada apa?” tanya Juna. Aku pun menceritakan telepon dari Bu Indri barusan. “Ya udah. Kalau begitu, malam ini kamu kerjain aja draf kamu. Bikin seadanya. Yang penting ada yang dibawa dulu,” saran Juna. Aku segera mengirimkan SMS kepada Profesor. Di SMS itu, aku menyampaikan permohonan maaf karena terlalu lama menghilang dan baru bisa menghubunginya hari ini, dan meminta waktu untuk bimbingan. Tentu saja, mengharapkan Profesor segera menjawab SMS-ku adalah suatu hal yang nyaris mustahil. Akhirnya, kami pun menghabiskan malam ini dengan panik bersama-sama. Juna deg-degan menunggu sidangnya, dan aku pun deg-degan menanti jawaban Profesor. ... Hari ini, aku tegang dua kali lipat. Aku dari pagi sudah “bertapa” di ruang perpustakaan tesis yang bersebelahan persis dengan ruang sidang. Sidang tesis tertutup untuk publik (berbeda dengan sidang pratesis yang memang untuk konsumsi publik). Namun, tembok yang membatasi persis membuatku dapat mendengar sayup-sayup yang terjadi di dalam ruang sidang antara Juna dengan dosen-dosen pengujinya. Meski aku yakin Juna pasti lulus, tak urung aku merasa tegang juga. Karena Juna sudah tidak memiliki waktu lagi seandainya harus mengulang.
Kelas Terakhir, by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
Ketegangan yang kedua, yaitu SMS balasan dari Profesor yang tak kunjung datang. Aku mengirimkan SMS kemarin siang menjelang sore setelah aku kembali dari kampus. Bayanganku, Profesor segera membalasnya dan memberikan jadwal hari ini. Jadi, selagi Juna menyelesaikan sidang tesisnya, aku bisa menunggunya dengan melakukan bimbingan tesis dengan Profesor. Lalu setelah sidang selesai, aku pun juga sudah selesai bimbingan. Kemudian, kami kembali ke Yogyakarta. Tetapi rencana tinggal rencana. Dan mengharapkan Profesor segera membalas SMS adalah sesuatu yang nyaris mustahil. Akhirnya, aku memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan mempelajari tesis-tesis yang ada sekaligus mencari teori yang cocok untuk tesisku sendiri. Hanya saja, penantian akan SMS balasan dari Profesor, serta suara sayup-sayup dari dalam ruang sidang, benar-benar mengganggu pikiranku. Sidang selesai hampir tengah hari. Tesis Juna dibabat selama nyaris 2 jam. Sebenarnya, itu justru menunjukkan kalau tesisnya sangat menarik. Sebuah penghargaan bagi mahasiswa sebenarnya. Hanya saja, cecaran dosen-dosen penguji adalah mimpi buruk bagi setiap mahasiswa yang menjalankan sidang tesis dan waktu sidang itu sendiri – bagi mahasiswa – semakin singkat semakin baik. Juna keluar dari ruang sidang dengan wajah datar. Seperti yang sudah kuduga, ia pasti lulus. Hanya saja, Juna merasa hasil sidangnya kurang maksimal. Meski demikian, ia berusaha berpikir positif: yang penting lulus dan yang penting lagi IPK-nya masih termasuk layak diperhitungkan. Kami duduk di lobi dan membahas jalannya sidang yang baru saja berlalu. Dosen waliku kembali memberikan beberapa masukan. Untuk Juna, tentu saja, dan untukku juga. Dosen waliku mencoba menghibur bahwa apa yang dicapai Juna adalah yang maksimal yang bisa ia dapatkan dengan segala keterbatasan dan kondisi yang dialami saat ini (termasuk permasalahan di kantor, tentu saja). Aku pun mencoba menghiburnya dengan mengatakan bahwa yang terpenting dari ujian tesis adalah apa pelajaran penting yang bisa didapatkan, dan itu lebih dari sekedar nilai. Lagipula, siapa yang menanyakan nilai ujian? Yang ditanya hanyalah, Anda lulusan mana dan apa judul tugas akhir Anda. Kami asyik mengobrol sampai-sampai aku lupa dengan SMS balasan dari Profesor yang sedari tadi kunantikan. Pukul 1 siang, ketika jam istirahat sudah berakhir dan giliran sidang ujian tesis berikutnya akan segera dilaksanakan, dan ketika aku dan Juna sudah mau bersiap-siap untuk pulang kembali ke Yogyakarta, tiba-tiba ponselku berbunyi. Dari Profesor. “Mbak Nadya, silahkan menghadap saya besok jam 1 siang bersama dengan Nadine. Wassalam.” SMS dari Profesor begitu singkat. Namun membuatku tersentak. Aku benar-benar lupa. Pikiranku saat itu sudah ingin pulang ke Yogyakarta. Tetapi kalau aku meminta untuk menunda pertemuan, bisa-bisa Profesor marah kepadaku. Aku segera memberitahukan isi SMS itu kepada Juna. Dan seperti yang sudah kuduga, Juna pun langsung cemberut. Aku mencoba merayunya dengan mengajaknya mencari hotel untuk menginap. Hitung-hitung untuk merayakan kelulusannya. Dan malam ini, ketika Juna terlelap merayakan akhir dari petualangan kuliahnya di kampus Dewa Ganesha, aku justru begadang berkutat memperbaiki draf tesis yang untuk kesekian kalinya akan kuajukan lagi kepada Profesor. Draf yang kubuat kemarin aku coba sempurnakan lagi berbekal Kelas Terakhir, by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
referensi yang kudapatkan di perpustakaan siang hari tadi. Aku sudah satu semester menghilang dan masih juga berkutat dengan draf yang belum matang. Entah apa reaksi Profesor nanti....
12. Doa
Siang itu aku datang ke ruangan Profesor. Sudah ada Nadine yang menunggu di sana. Dan seorang lagi. Mahasiswa angkatan 2014. Namanya Dina. Sebelumnya, aku sebenarnya sudah pernah bertemu Dina. Di lobi jurusan pada saat diskusi dengan dosen waliku. Beberapa kali, malah. Sekilas, Dina orangnya terlihat urakan. Seorang dengan pemikiran feminis tulen, dan karenanya langsung “tertarik” denganku dan Juna yang lulusan sosiologi. Beberapa waktu yang lalu ia pernah menanyakan sebuah buku dan ingin meminjamnya seandainya aku memilikinya. Aku lupa dengan buku tersebut dan karenanya, aku meminta nomor teleponnya agar aku bisa memberitahukannya kalau aku memang memiliki buku tersebut di koleksi yang kusimpan di Yogyakarta. Setelah aku datang, Dina mengetikkan SMS di ponselnya, lalu pamit dan berdiri. “Aku cuma diminta tolong Profesor untuk bukain pintu ruangan dan nunggu kalian datang,” ia memberitahukan tanpa diminta. “OK...makasih, ya,” aku tersenyum. Dina membalas senyumku, kemudian pergi. Ada yang bilang, jangan melihat orang hanya dari penampilan luarnya saja. Dan Dina adalah contoh bagus untuk itu. Seperti yang kubilang barusan, Dina itu sekilas tampak urakan. Tambah urakan kalau ia sedang nongkrong di lobi jurusan. Mulutnya tidak pernah berhenti mengepulkan asap rokok. Caranya memegang batang rokok pun menunjukkan kalau ia sangat akrab dengan benda yang merusak tubuh itu. Konsumsi rokoknya pun niscaya akan membuat orang menggeleng-gelengkan kepala. Aku pernah duduk bersamanya di lobi – ada dosen waliku juga – selama kurang lebih 2 jam. Dan Dina selalu menyalakan rokoknya selama obrolan berlangsung. Lisa adalah salah satu yang cukup mengenalnya dan sering mengajaknya berdiskusi (karena topik tesis Lisa adalah gender). Pernah suatu kali Lisa mengingatkan Dina tentang bahaya rokok bagi wanita. Dan Dina langsung menekuk wajahnya karena gendernya diungkit-ungkit. Menurutnya, sehat ya sehat, tidak sehat ya tidak sehat; tidak perlu diungkit-ungkit masalah gender. Dan untuk urusan rokok, menurut Dina, pandangan negatif terhadap wanita merokok lebih karena stigma dan bukan masalah kesehatan. Aku sendiri sempat berpikir untuk mengingatkan Dina tentang bahaya rokok bagi wanita. Tetapi Lisa buru-buru mengingatkan, jika berbicara dengan orang seperti Dina, jangan ungkit masalah gender. Kalau aku perhatian dengan kesehatannya, fokus saja dengan masalah kesehatan, bahwa rokok itu merusak kesehatan; tidak perlu mengatakan bahwa rokok (lebih) berbahaya bagi wanita.
Kelas Terakhir, by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
Tetapi, siapa sangka kalau Dina ternyata justru orang yang sanggup mengambil hati Profesor. Dina juga salah satu mahasiswa bimbingan Profesor. Sikapnya yang pengertian dan sopan, dan domisilinya yang di Bandung, membuat ia ringan tangan setiap kali Profesor meminta bantuannya – dan tentu saja Profesor menyukainya dan percaya kepadanya. Secara kepribadian pun, menurutku Dina orangnya asyik. Enak diajak diskusi dan sikapnya pun baik. Maka dari itu, jangan pernah melihat orang hanya dari penampilan luarnya saja! Sepeninggal Dina, tinggal aku dan Nadine yang menunggu Profesor. Nadine, mahasiswi berjilbab dengan latar belakang S1 di bidang teknologi informasi, berusia sekitar 10 tahun di bawahku. Dengan kata lain, kami adalah orang dari dua generasi yang berbeda. Tetapi, mahasiswa di program studi yang kami ikuti memang berasal dari beragam generasi. Ada yang kelahiran tahun 1970-an, dan ada juga yang kelahiran tahun 1990-an (dan aku berada di tengahnya). Jam sudah menunjukkan waktu hampir setengah 2 siang. Terlambat lagi dari waktu yang dijanjikan. Profesor memang sangat sibuk, dan semakin lama semakin sibuk saja sepertinya. Namun, bukankah menunggu dosen pembimbing adalah romantika yang hampir selalu dirasakan para mahasiswa yang sedang menyusun tugas akhirnya? Percayalah, ketika ini semua berakhir, saat-saat seperti ini akan menjadi kenangan indah semasa kuliah. Untuk mengisi waktu, aku dan Nadine saling bertukar draf. Aku melihat draf Nadine yang memang sudah mengalami banyak kemajuan. Yang sudah jadi dan rapi sudah sampai bab 3. Bab 4 masih disusun dan Nadine sepertinya masih bingung mengumpulkan data lapangannya. Nadine baru mendapatkan satu narasumber dari satu instansi pemerintah. “Mbak, kalau narasumbernya cuma satu kira-kira cukup, nggak, ya?” tanyanya bingung. Aku jelaskan, kalau menggunakan metodologi biografi, satu narasumber sudah cukup. Tetapi masalahnya apalah metodologi seperti itu relevan dengan penelitiannya? Aku menyarankan, jangan hanya mengambil satu narasumber dari satu instansi. Perlu juga mencari tahu pandangan dari pegawai-pegawai lain, termasuk yang bukan pejabat. “Pelaksanaan e-government di instansi pemerintah itu jangan hanya dilihat secara normatif, apalagi hanya melihat pernyataan pejabatnya. Tapi perlu juga lihat bagaimana pandangan pegawai-pegawai di bawahnya. Bilangnya e-govt, tapi jangan-jangan pegawai yang di bawahnya belum siap,” aku mengemukakan pandanganku. Nadine mengangguk-angguk sambil membaca drafku yang masih acak-acakan. Aku kadang merasa aneh. Aku bisa lancar memberikan masukan bagi tesis yang dikerjakan orang lain (termasuk tesis Juna tentu saja). Tetapi untuk tesisku sendiri, aku justru mandeg. Ini mungkin yang dimaksud dengan “bounded rationality”; karena setiap orang memiliki rasionalitas yang terbatas, dialog dan menerima masukan menjadi sangat penting. Mungkin itu juga sebabnya Tuhan menciptakan dua buah telinga dan satu buah mulut; agar manusia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Sayangnya, sepertinya lebih banyak orang yang lebih ingin didengar daripada mendengar. Dan orang-orang yang ingin didengar ini merasa dirinya paling benar dan susah menerima masukan dari yang lain. Seperti para pengamat di televisi yang selalu merasa paling benar itu, misalnya. “Maaf, ya, menunggu lama,” tiba-tiba Profesor melangkah cepat masuk ke dalam ruangan. Kelas Terakhir, by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
Jam menunjukkan pukul 13 lewat 44 menit. Aku dan Nadine segera beranjak ke dalam. Tanpa basa-basi, Profesor langsung meminta hasil pekerjaan Nadine. Untuk sementara, aku diacuhkan. Nadine kemudian memaparkan yang ia kerjakan selama ini. Termasuk kebingungannya dalam mencari data lapangan. Profesor yang kurang puas dengan jawaban Nadine kemudian memintanya untuk maju ke depan dan menuliskan rancangan daftar isi mulai dari bab 1 hingga 5 di papan tulis. Aku menatap papan tulis dengan pandangan bosan – jujur saja. Dulu, Profesor pernah membahas ini juga. Pendeknya, sih, bab 1 berisi pendahuluan (latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian, dan sebagainya); bab 2 berisi tinjauan pustaka; bab 3 mencakup metodologi, bab 4 memuat hasil dan analisis penelitian; dan bab 5 berisi kesimpulan dan saran. Aku sudah hafal di luar kepala. Meski aku sempat berpikir untuk memecah bab 4 menjadi beberapa bab agar lebih detil pembahasannya (seperti tesis Juna). Toh, aku tetap memerhatikan papan tulis dengan seksama sambil sesekali mencatat di buku catatan yang selalu kubawa. Lagipula, aku berpikir kalau Profesor meminta Nadine menuliskannya kembali di papan tulis adalah untuk menyegarkan kembali ingatanku yang selama satu semester menghilang. “Din, kalau kamu bikin ini aja nggak beres-beres, mending kamu saya suruh kawin saja,” ujar Profesor tiba-tiba. Tampaknya ia mulai tidak sabar dengan Nadine. Nadine tampak gelisah. Ia menjadi salah tingkah. “Saya perhatikan, kamu itu kurang konsentrasi. Kaya’ orang lagi dikejar-kejar disuruh kawin,” Profesor kembali nyinyir dan Nadine pun semakin salah tingkah. “Kalau Mbak Nadya ini, sih, orangnya terlalu baik. Terlalu sibuk mengurusi suaminya sampai-sampai tesisnya sendiri terbengkalai,” tiba-tiba Profesor menyindirku. Aku diam saja meski bibirku tersenyum dengan kepala menunduk pura-pura mencatat. “Mana pekerjaan kamu?” Aku segera menyerahkan draf penelitianku. Masih belum banyak kemajuan meski rancangan bab 1 sudah kubuat dengan lebih serius. Aku kembali menjelaskan rencana penelitianku. Lebih tepatnya, mengulangi pemaparan yang sebenarnya pernah kusampaikan satu semester yang lalu. Yah, kalau-kalau Profesor lupa. Profesor mengembalikan drafku. Kami kemudian berdiskusi tentang perubahan sosial. Perubahan perilaku yang diakibatkan oleh hadirnya sesuatu. Dalam kasusku, kehadiran energi menstimulus kehidupan masyarakat. Aku memang ingin melihat itu. Perubahan-perubahan yang terjadi, dan keberlanjutan pembangunan itu sendiri. Gambaran besarnya sudah ada di dalam kepala. Mungkin aku perlu melihatnya sekali lagi di lapangan untuk menyempurnakan bab 1.
Kelas Terakhir, by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
Bimbingan kali ini tidak memakan waktu terlalu lama (menurutku). Dan ketika kami akan pamit, tibatiba wajah Nadine sedikit memerah. Ia kemudian mengambil sesuatu dari dalam tasnya dan menyerahkannya kepada Profesor dengan wajah malu-malu. “Anu, Pak.....saya jadi merasa tidak enak sama Bapak, nih....” Nadine berkata malu-malu dengan wajah yang semakin memerah. Profesor mengamati lembaran kaku terbuat dari karton yang ukurannya separuh halaman kertas tesis itu. Tanpa perlu menunggu hitungan detik, Profesor langsung tertawa demi melihat tulisan yang tertera di kertas karton tersebut. “Rupanya kamu memang mau kawin, ya, Din?” Nadine semakin tersipu. “Saya sudah menduganya. Kamu itu kaya orang kurang konsentrasi. Saya benar-benar kepikiran untuk menikahkan kamu saja. Ternyata, kamu benar-benar mau menikah, ya?” “Bapak, sih, ngomongnya mau nyuruh saya kawin melulu....” Nadine merengut seperti anak kecil. Profesor kembali tertawa. “Kemarin Aisha. Sekarang kamu,” ujarnya. Aku mau tidak mau ikut terkikik juga demi mengingat Aisha. Dulu, ketika kami masih aktif kuliah di kelas, Profesor sering menggoda Aisha agar cepat-cepat menikah. Wajah Aisha memang sendu dan sorot matanya seolah selalu menerawang mendambakan calon suami. Aisha selalu kagetan, dan setiap kali Aisha kagetan begitu, Profesor pasti menyindirnya, “Sha, kamu itu, mbok, jangan mikirin kawin melulu......” Tetapi, Aisha memang sangat cocok menjadi pengantin. Pernah suatu kali beberapa dari kami menghadiri resepsi pernikahan Akbar di Magelang. Lokasi pernikahan yang bersebelahan dengan Candi Borobudur membuat kami tak menyia-nyiakan kesempatan untuk sekalian saja piknik. Nah, masalahnya dandanan Aisha sangat heboh seperti pengantin. Hasilnya, sepanjang jalan-jalan kami di Candi Borobudur, entah sudah berapa banyak orang yang meneriaki Aisha: “Mbak Penganteeennn.....!!!” Tetapi, aku pikir-pikir, kok, kata-kata Profesor seolah menjadi doa, ya? Dulu Profesor selalu menyindir Aisha soal menikah, dan hasilnya Aisha benar-benar menikah. Kini, Profesor kembali menyindir Nadine tentang pernikahan, dan Nadine benar-benar akan menikah juga. “Dulu, pernah juga ada mahasiswa bimbingan saya yang selalu pulang kampung melulu,” Profesor mulai bercerita. Mahasiswa tersebut, menurut Profesor, selalu menghilang. Alasannya pulang kampung. Dan kebetulan mahasiswa tersebut sudah menikah. “Saya bilang, kamu itu pulang kampung terus, jangan-jangan nanti balik-balik malah hamil. Eh, lah, kok ternyata beneran hamil?” Kami kembali tertawa mendengar cerita Profesor. Andai saja Profesor “menyumpahiku” untuk segera hamil karena kelamaan di Yogya..... Kelas Terakhir, by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
Aku dan Nadine kemudian berdiri dan pamit. Aku katakan ke Profesor kalau aku akan turun lapangan kembali untuk melihat situasi dan memperoleh gambaran yang lebih lengkap. Dan seperti biasa, aku tidak menjanjikan kapan aku akan datang lagi ke kampus. Ponselku berdering tepat ketika aku sudah akan memasuki lift untuk turun ke lantai satu. Dari Juna. Menanyakan apakah aku sudah selesai bimbingan; kok lama sekali; dan betapa bosannya ia menunggu di Cihampelas sambil menonton film yang menurutnya – lagi-lagi – tidak menarik. Aku pun menyuruhnya untuk menunggu saja; jangan menonton film lagi karena aku mungkin dalam waktu setengah jam sudah di sana. Dan sepertinya, kami akan segera bertolak ke Yogyakarta malam ini juga. SPBU Ciamis atau Banjar akan menjadi pilihan bermalam kami nanti.
13. Time’s Running Out!
Aku cuma bisa tersenyum-senyum getir di depan petugas yang berjaga di salah satu ruang tunggu di kompleks pemerintahan Kabupaten Bantul itu. Untuk bisa melakukan penelitian, aku harus meminta ijin terlebih dahulu. Aku sudah meminta surat pengantar dari kampus sebenarnya. Masalahnya, surat tersebut dibuat per bulan Maret, dan sekarang sudah bulan Oktober. Tentu saja sudah kadaluarsa! Selain itu, urutannya juga salah. Seharusnya, surat ijin ke Pemkab Bantul berasal dari rekomendasi Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Surat ke Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, harus berasal dari Pemerintah Propinsi Jawa Barat sebagai propinsi asal kampus. Jadi, surat dari kampus harusnya ditujukan kepada kantor pemerintahan Propinsi Jawa Barat dulu. Begitulah urutan birokrasinya. Juna langsung cemberut. Entah bagaimana, ia dulu berhasil “potong kompas” ketika mengerjakan tesisnya, dan ia tidak menyangka kalau aku harus melalui prosedur resmi yang urutannya ribet begitu. Padahal, kami sudah bersusah-payah berangkat pagi dari rumah. Juna yang bertugas sebagai sopir pribadiku pun misuh-misuh mengingat jarak tempuh antara Sleman-Bantul yang sudah barang tentu bukan selemparan dadu. Mau lanjut ke Srandakan – lokasi penelitianku – pun rasanya percuma. Kami pun akhirnya memutuskan untuk kembali. Hari ini terbuang sia-sia. Waktu terus berlalu dan aku harus mengefektifkan waktu yang tersisa. Pastinya, aku harus ke Bandung untuk kembali mengurus surat-menyurat. Tetapi, aku akan menghabiskan banyak waktu, energi, dan – ini yang paling penting – uang, jika aku hanya ke Bandung untuk mengurus suratmenyurat. Jadi, mau tidak mau, aku harus ke Bandung untuk mengurus surat, sekaligus konsultasi dengan Profesor. Harus sekali jalan dan semua urusan terselesaikan. Hanya saja, aku merasa tidak percaya diri jika harus menghadap Profesor. Drafku masih berkutat di bab 1. Yah, bab 2 sebenarnya juga sudah aku buat sedikit-sedikit. Tetapi, bagaimana mau memastikan teori yang akan dipakai kalau gambaran lengkap penelitiannya saja belum jadi? Aku membuka grup percakapan dengan teman-teman kuliah yang sama-sama menjadi mahasiswa bimbingan Profesor. Mungkin ada yang berencana untuk konsultasi dalam waktu dekat dan aku bisa Kelas Terakhir, by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
ikut nebeng. Tetapi grup percakapan sedang sepi. Tidak ada yang punya rencana menghadap Profesor. Tidak juga Eva yang padahal kalau mau mengajukan tanggal sidang pratesis pun bisa. Aku kembali menutup grup percakapan. Ini hari Senin. Aku bisa saja memburu tiket kereta malam ini untuk bertolak ke Bandung. Tetapi kalau aku tidak sekalian bertemu Profesor untuk konsultasi, rasanya, kok, sayang, ya? Namun, di sisi lain, aku pun juga tidak berani untuk meminta waktu kepada Profesor saat ini. Kalau aku mengirimkan SMS kepada Profesor hari ini untuk meminta waktu, takutnya Profesor akan memberi waktu besok atau lusa, yang artinya aku pun belum siap juga dengan draf tesisku. Selain itu, aku bisa jungkir balik mencari tiket kereta dengan penuh ketegangan. Mobil kembali melaju ke arah utara. Jalan Bantul pagi ini tidak terlalu ramai. Untunglah lalu lintas di Yogyakarta tidak macet seperti Jakarta. Jadi, jarak Bantul-Sleman yang lumayan jauh tidak begitu terasa. Setelah berpikir beberapa saat, aku akhirnya memutuskan untuk mengirimkan SMS kepada Profesor hari Jumat saja. Pertimbanganku, jika Profesor segera membalas SMS-ku, waktu untuk bimbingan yang paling mungkin adalah minggu depannya. Paling apes hari Senin depan. Tetapi kalau melihat jadwal Profesor selama ini, rasanya tidak mungkin ia memberikan waktu hari Senin. Kemungkinan besar Selasa, atau setelahnya. Jadi, aku memiliki jeda waktu cukup lama, baik untuk mempersiapkan tiket maupun merapikan draf tesisku. Juna tidak terlalu menanggapi rencanaku. Ia kecewa karena aku membuang-buang waktu. Aku diamkan saja. Lha, wong dia sendiri juga membuang-buang waktunya begitu, sampai molor dua semester dan nyaris drop out. Sesampainya di rumah, aku tidak mau membuang-buang waktuku lagi. Bab 2 aku kebut dengan referensi buku yang kumiliki di rumah. Bab 1 aku coba sempurnakan sebisaku. Begitu juga dengan bab 3. Penjabaran metodologi tidak perlu panjang-panjang. Aku malah menganggapnya seperti basa-basi saja. Toh, praktek di lapangan tergantung kondisi dan tidak dapat dipastikan. Jadi, aku garap saja sebisanya. Untuk urusan surat menyurat, aku pun langsung menelepon jurusan dan minta dibuatkan surat pengantar, ditujukan kepada Kesbangpol Jawa Barat. Pak Wagiman yang biasa mengurusi suratmenyurat langsung menyanggupinya. Aku pun mengucapkan terima kasih serta permohonan maaf juga karena telah merepotkan. Terus terang saja, birokrasi kampusku adalah yang paling aku suka. Pelayanan cepat dan tidak ribet. Hari Jumat pagi, aku memberanikan diri untuk mengirim SMS kepada Profesor. Biasanya, aku dan rekan-rekan lain saling bertukar informasi kalau ada yang ingin bimbingan dan menawarkan kalaukalau ada mahasiswa lain yang ingin nimbrung. Tetapi, kali ini aku simpan sendiri saja rencanaku. Bahkan, aku juga tidak memberitahu Eva. Satu hari berlalu, dan belum ada SMS balasan. Sabtu, juga tidak ada SMS yang masuk. Hari Minggu, aku sudah tidak berharap banyak. Bagaimanapun, Profesor pasti juga membutuhkan waktu pribadi untuk bersama keluarga dan tidak ingin diganggu. Aku pun juga tidak suka dengan “gangguan” terkait urusan kerja (baca: kantor) di hari libur. Tetapi, justru pada Minggu malam itu ponselku berdering. SMS balasan dari Profesor. Aku membukanya sambil berdoa dalam hati, semoga bukan hari Senin besok. Dan.... Kelas Terakhir, by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
“Mbak Nadya, silahkan datang menghadap hari Selasa besok pukul 13.00. Wass.” Yeah! Aku melompat kegirangan. Aku segera memberitahu Juna. Tiketnya sendiri belum aku cari, karena berdasarkan pengalamanku, tiket untuk Senin malam biasanya banyak tersedia. Berbeda dengan hari Minggu malam yang sering habis (dan ini juga sebabnya aku berharap bimbingan hari Selasa, bukan Senin). Senin pagi, aku berburu tiket ke stasiun Tugu. Dan seperti yang sudah kuduga, tiket tersedia masih sangat banyak. Aku membeli tiket kereta api Malabar jurusan Malang-Bandung. Tiba di stasiun Tugu Yogyakarta pukul 23.32, dan tiba di Bandung pukul 08.23. Waktu yang paling tepat, tidak terlalu pagi dan tidak terlalu siang. Sebenarnya masih ada kereta setelah Malabar, yaitu Mutiara Selatan yang berangkat dari Yogyakarta pukul 00.30 dan tiba di Bandung sekitar jam 10-an. Tetapi aku lebih suka Malabar. Kasihan juga Juna kalau harus mengantarku jam 12 malam. Ada juga, sih, kereta api sebelum Malabar, yaitu Lodaya Malam yang berangkat pukul 8 malam. Tetapi, Lodaya tiba di Bandung sekitar jam 4 pagi. Masalahnya, aku sudah tidak punya tempat menginap lagi di Bandung. Masakkan aku harus tidur di stasiun sampai hari terang? Sesampainya di rumah, aku segera mengemasi barang-barangku. Draf tesis dan laptop adalah barang yang tidak boleh tertinggal sama sekali. Selanjutnya, aku menyisipkan pakaian dalam dan kemeja. Jika kereta api tiba pukul 08.23, aku mungkin bisa menumpang mandi di mesjid kampus dan berganti pakaian dengan kemeja agar lebih sopan. Baru kemudian menuju kampus untuk bertemu Profesor jam 1 siang. Rencana yang sempurna! Siang hari, aku masih bersantai di rumah sambil merapikan drafku. Sore hari, tiba-tiba ponselku kembali berdering. SMS dari Profesor, lagi. “Assalamualaikum, Mbak Nadya, pertemuan saya ajukan menjadi jam 9 karena saya harus ke dokter. Wass.” Aku melongo demi membaca SMS dari Profesor barusan. Otak matematikaku berusaha mengutakatik hitungan antara waktu tempuh Yogya-Bandung, waktu kedatangan, dan waktu pertemuan yang dimajukan. Masih ada jeda waktu 37 menit. Masih bisa diburu, asalkan keretanya tidak terlambat. Aku sempat berpikir untuk membatalkan tiketku dan menggantinya dengan Lodaya Malam yang tiba jam 4 pagi. Tetapi, aku tidak tega pada Juna. Ah, ya sudahlah. Toh, masih belum terlambat, kok, pikirku. Setengah sebelas malam, Juna mengantarku ke stasiun. Jalanan malam yang sepi membuatku tiba di stasiun pukul 11 lebih sedikit. Masih ada waktu setengah jam lebih sebelum kereta berangkat. Juna langsung pergi begitu aku turun dari sepeda motor. Aku pun segera masuk ke stasiun, mencetak tiket, masuk ke dalam peron dengan menunjukkan tiket dan KTP-ku, kemudian dengan spontan melihat jadwal kedatangan kereta yang terpampang di layar digital di depanku.... Malabar, 00.05, terlambat. Dulgembhussssssss.....!!!!! Aku menghempaskan tubuhku di bangku stasiun sambil menyumpah-serapah dalam hati. Ini, sih, alamat aku bakal terlambat tiba di Bandung. Bagaimana mungkin kereta terlambat justru ketika aku Kelas Terakhir, by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
harus datang tepat waktu? Otakku langsung berputar demi menyusun argumen kepada Profesor atas keterlambatanku nanti. Mohon maaf, Pak. Keretanya terlambat. Ini di luar perkiraan saya. Tetapi, bagaimana kalau Profesor marah? Bagaimana kalau pertemuannya ditunda lain hari? Kepalaku mendadak sakit. Meski aku tetap berharap akan ada keajaiban. Misalnya, bisa saja, kan, keretanya ngebut sehingga walau terlambat tetapi tetap tiba di Bandung tepat waktu? Atau, kalaupun terlambat, tidak sampai lebih dari jam 9 pagi? Siapa tahu, kan? Aku beranjak dari tempat duduk dan berjalan menuju kafetaria. Segelas kopi kaleng atau minuman bersoda mungkin bisa menenangkan isi kepalaku. Besok pagi sajalah, aku beri tahu Profesor, pikirku. Lagipula ini sudah hampir tengah malam. Tidak mungkin juga, kan, mengirim SMS sekarang? Bilang saja nanti keretanya terlambat, entah kenapa, dan ini di luar perkiraan. Lagipula, bukankah keterlambatan kereta api merupakan suatu hal yang “biasa”? ... Kereta api Malabar menepati “janjinya” untuk tiba di stasiun Tugu Yogyakarta pukul 00.05 dini hari. Aku pun segera naik. Kelas bisnis, seperti biasa. Dengan harga tiket yang semakin tinggi di tengah persediaan uangku yang semakin menipis. Aku sering berpikir untuk naik kelas ekonomi saja. Namun, aku butuh tidur yang nyaman, dan kelas ekonomi membuat punggungku pegal-pegal. Belum lagi kalau aku mendapatkan tempat duduk yang satu deret bertiga. Dan, entah perasaanku saja atau tidak, aku kurang nyaman dengan perilaku para penumpang di kelas ekonomi. Tidak semuanya, sih. Tetapi beberapa kali aku naik kelas ekonomi, aku selalu menemukan perilaku kurang beretika yang membuatku tidak nyaman. Sebagian besar penumpang sudah terlelap dalam mimpi masing-masing di balik selimut sambil bertumpu pada bantal sewaan seharga 5000 rupiah. Aku menuju tempat dudukku yang sengaja kupesan khusus untukku seorang diri agar bisa tidur berselonjor. Aku mengeluarkan Lumia 620, memasang Sennheiser, dan masuk ke daftar lagu. Coldplay, Keane, hingga yang kekinian seperti Adele, segera menemani perjalananku. Mataku terkantuk-kantuk ketika The Miracle mengalun dan Silenced By The Night membuai khayalan. Dan mataku mulai terpejam ketika Adele menyapa dengan Hello. Hello, it's me, I was wondering if after all these years you'd like to meet. To go over everything, they say that time's supposed to heal ya. But I ain't done much healing... (Adele. Hello). Aku mulai terlelap dan masuk ke alam mimpi dengan Adele yang masih setia menemaniku.... Hello from the other side...I must have called a thousand times...To tell you I'm sorry for everything that I've done, but when I call you never seem to be home... (Adele. Hello). Sayup-sayup suara mesin kereta terdengar dari luar. Sesekali terhenti, kemudian berjalan lagi. Sekali waktu kereta kembali terhenti dengan iringan lagu khas stasiun – entah di mana. Berpadu dengan lengkingan Adele.
Kelas Terakhir, by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
Hello from the outside....At least I can say that I've tried...To tell you I'm sorry for breaking your heart But it don't matter....it clearly doesn't tear you apart anymore (Adele. Hello). Terdengar suara orang menawarkan barang dagangan sambil setengah berteriak. Tetapi mataku tidak terpengaruh dan masih betah untuk terpejam. Hello...... Kring........ Sebuah suara yang lain mengganggu telingaku. Kring.....kring......... Hello...... Kring.......kring.......kring........ Suara itu semakin bising. Aku pun akhirnya memaksakan diri untuk membuka mata. Setengah sadar, aku mengambil Lumia 620-ku. Ponsel kesayanganku masih menjerit. Dengan layar bertuliskan.....Profesor! Mataku langsung segar-bugar. Jariku kemudian dengan lincah menggeser layar sentuh ke atas dan mengetuk kotak bertuliskan “answer”. “Ya? Halo, Pak?” aku segera menjawabnya. “Mbak Nadya?” “Iya, Pak.” “Begini, Mbak. Nanti, kalau sudah sampai, langsung saja ke ruangan saya. Saya pagi ini ada rapat, jadi saya akan datang terlambat. Mbak tunggu saja saya.” “Iya, Pak....anu....” “Mbak Nadya, di dalam tesis yang Mbak susun, itu faktor perubahan sosialnya harus masuk. Nanti akan saya cek, apakah sudah dimasukkan atau belum.” “Iya, Pak. Tapi.....” aku ingin menjelaskan kalau keretanya tadi malam terlambat. Tetapi lagi-lagi Profesor memotong ucapanku. Dan malah menerangkan panjang lebar tentang perubahan sosial, tentang energi terbarukan, tentang..... Aku semakin panik. Di luar sudah terang. Sawah, pepohonan, gunung, jalan, semua silih berganti menghiasi jendela di sampingku. Tetapi, aku tidak tahu ini di mana. Aku bisa saja mengeceknya melalui GPS, tetapi ponselku masih tersambung dengan Profesor. Kata-kata Profesor aku iyakan saja semuanya. “Baik, Pak. Tetapi, Pak, saya....” “Pokoknya nanti Mbak tunggu saja di ruangan, ya. Nanti saya ke sana setelah rapatnya selesai.” Kelas Terakhir, by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
“Iya, Pak. Tapi anu, Pak.....” “Assalamualaikum....” “Wa alaikum salam. Pak, tapi sebenarnya saya....” Klik. Telepon diputus. Duh! Jam digital di ponselku menunjukkan sekitar pukul 7 pagi. Aku pun segera membuka GPS, dan bulatan hijau menunjukkan posisi seputaran Tasikmalaya. Bisakah kereta ini sampai sebelum jam 9 pagi? Aku semakin panik. Kantukku langsung hilang seketika. Seorang pramusaji menawarkan minuman hangat dan aku segera memilih segelas kopi hitam. Aku tadi ingin menjelaskan kepada Profesor kalau kemungkinan aku pun terlambat tiba di Bandung. Tetapi Profesor tidak memberikan aku kesempatan untuk bicara. Aku menyeruput kopi panas sambil menatap layar ponselku. Daftar kontak bergerak turun seiring dengan gerakan jempolku. Lalu berhenti di nomor telepon Profesor. Aku menghela napas dan mulai mengetik sesuatu. Mudahmudahan Profesor tidak marah....
14. Filosofi
Pukul 9 pagi. Lewat beberapa menit. Dan kereta api Malabar baru saja tiba di stasiun Bandung. Aku segera bergegas melompat keluar dari kereta dan berlari menuju pintu selatan stasiun Bandung. Beberapa orang langsung menghadang di depan pintu untuk menawarkan jasa taksinya. Aku terus berjalan melewati orang-orang itu sambil mataku menyapu sekeliling, kalau-kalau ada kendaraan super cepat yang bisa segera membawaku ke kampus. “Ojek, Neng?” seorang pria menawarkan jasanya. Nah, ini dia, pikirku. “Ke Dago sabaraha, ‘A?” tanyaku. “Duapuluh lima ribu, neng,” jawabnya. Tanpa menawar, aku langsung mengiyakan tarif yang ditembak si abang ojek. Beberapa waktu yang lalu aku sempat mendengar penolakan para tukang ojek di stasiun Bandung terhadap masuknya ojek online. Dari penumpang sendiri, konon tarif ojek online lebih murah dibandingkan dengan ojek pangkalan sehingga banyak yang memilih ojek online. Aku termasuk yang tidak peduli dengan tren ojek online. Mungkin aku justru cenderung yang menentangnya. Ada dua alasan. Pertama, aku tidak suka dengan sikap para penggila ojek online yang gemar mem-bully tukang ojek pangkalan melalui media-media sosial. Menurutku, itu tidak etis; para Kelas Terakhir, by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
pengguna media sosial pemilik telepon pintar rata-rata berasal dari kalangan minimal menengah berkecukupan, sedangkan para tukang ojek berasal dari kalangan bawah. Apakah etis kalangan berduit mencaci-maki kalangan miskin yang cari uang sehari-hari saja susah? Alasan kedua, ponsel yang kugunakan tidak menyediakan aplikasi ojek online. Jadi, aku memang tidak mungkin menggunakan ojek online. Aku segera mengenakan helm dan naik membonceng di belakang. Entah apakah 25.000 rupiah dari stasiun Bandung ke Dago itu terlalu mahal atau tidak. Yang jelas, andai saja si tukang ojek mau membawaku tanpa rem, aku bersedia, kok, membayarnya dua kali lipat! Tadi aku sudah mengirim SMS kepada Profesor. Intinya, aku menginformasikan bahwa kereta yang kutumpangi mengalami keterlambatan, dan karenanya, ada kemungkinan terlambat juga tiba di Bandung (dan kenyataannya memang terlambat). Aku meminta maaf sebesar-besarnya dan tetap mengusahakan untuk datang tepat waktu (meski sudah pasti itu mustahil). Profesor tidak membalas SMS-ku. Kekhawatiranku pun meningkat dua kali lipat. Jangan-jangan Profesor marah; jangan-jangan pertemuannya ditunda lagi; jangan-jangan drafku nanti dilempar seperti draf milik Eva; jangan-jangan...... “Bang, belok situ aja,” aku mengingatkan si tukang ojek. Ojek pun membelok di pertigaan di seberang rumah sakit Santo Borromeus. Tepat di depan kampus, aku meminta turun. Tarif kubayar pas. Duapuluh lima ribu rupiah. “Makasih, ya, Bang,” kataku. “Sama-sama,” si tukang ojek memasukkan uang yang kuberikan ke dalam saku jaketnya. Aku pun segera melesat menuju ruang Profesor. Padahal, seandainya pertemuan tetap jam 1 siang seperti pemberitahuan awal, aku masih bisa bersantai dengan menumpang mandi di masjid seberang kampus. Tetapi karena aku sudah terlambat, boro-boro mandi, berganti pakaian saja belum. Aku masih mengenakan pakaian yang kupakai ketika berangkat semalam: kaos oblong lengan panjang abu-abu terang, rok jeans warna hitam, jilbab berwarna biru, serta jaket gunung bertudung dengan warna biru yang sejak semalam melindungiku dari AC kereta api. Ditambah dengan tas ransel Deuter yang biasa kupakai untuk hiking, aku benar-benar mirip pendaki nyasar di kampus. Setengah berlari aku menuju gedung tempat ruangan Profesor berada. Labtek V, lantai 4. Aku segera menaiki tangga yang ada – lupa kalau gedung tersebut memiliki lift! Aku segera masuk ke ruangan Profesor yang ternyata pintunya sudah terbuka. Namun ternyata Profesor belum datang. Aku bernapas lega sambil menghempaskan tubuhku di kursi. Aku menaruh tas ranselku di bawah meja dan membuka jaketku. Kaos yang kupakai tidur semalaman di kereta api menebarkan bau keringat dan air liur akibat tidurku semalam. Aku melirik ke arah luar. Masih sepi. Sepertinya Profesor belum akan datang dalam waktu dekat. Maka, secepat kilat aku mengambil kemeja, deodorant, sabun pencuci muka, sikat dan pasta gigi, serta bedak compact dari dalam tas, dan kemudian melesat ke kamar mandi. Kelas Terakhir, by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
Aku segera mengganti kaosku yang bau iler dengan kemeja putih bersih yang masih bau wangi sabun binatu. Tak lupa aku juga menyemprotkan deodorant ke seluruh tubuhku. Aku mencuci muka dan menggosok gigi, lalu memoleskan bedak ke wajahku. Sekarang, aku tampak lebih segar dan cerah dari sebelumnya. Profesor pasti tidak akan menyangka kalau aku belum mandi pagi ini! Aku kembali ke ruangan Profesor. Ternyata Profesor masih belum datang juga. Syukurlah, aku tidak terlambat. Aku segera mengambil ponselku dan mengirim SMS kepada Profesor, memberitahukan kalau aku sudah di ruangannya. Tak perlu menunggu lama, SMS balasan dari Profesor pun tiba. “Alhamdulillah, Mbak Nadya. Saya sebentar lagi selesai. Wassalam.” Aku tersenyum geli membaca jawaban Profesor. Alhamdulillah – bahkan sampai kata itu keluar. Parah sekali kelakuanku, pikirku. Pukul 09.30, dan Profesor masih belum datang juga. Aku mencoba membunuh waktu dengan menghabiskan tesis George Ritzer tentang “McDonaldisasi Masyarakat”. Aku memang sosiolog – sosiolog jadi-jadian, tepatnya. Pekerjaan selepas kuliah selama satu windu memang nyaris membuatku melupakan sosiologi. Namun, kampus ini dengan semua materi perkuliahannya, entah bagaimana seolah membangkitkan “hantu” sosiologi yang bersemayam di dalam diriku. Dan kini, aku sepertinya lebih “parah” dibanding ketika baru lulus S1 dulu. Profesor baru datang ketika jarum jam menunjukkan waktu hampir pukul 11. Seperti biasa, profesor langsung masuk ke dalam ruangannya. Seseorang tampak mengikuti Profesor dari belakang. Sepertinya, itu salah satu staf Profesor. “Mbak Nadya tunggu sebentar, ya,” Profesor keluar sebentar untuk memberitahuku. “Ya, Pak,” aku menoleh dan menjawab singkat. Profesor kembali masuk ke dalam ruangan dan memulai pembicaraan dengan stafnya yang tadi mengikutinya. Berhubung pintu yang menghubungkan bagian luar dan dalam ruangan Profesor selalu terbuka, ditambah lagi dengan sekat yang hanya terbuat dari partisi, aku pun bisa mendengarkan dengan jelas obrolan Profesor dengan bawahannya itu. “Anda ini, kan, diminta untuk menghadiri rapat. Nah, Anda paham tidak, apa FILOSOFI bahwa Anda disuruh menghadiri rapat?” suara Profesor terdengar keras menggelegar seperti ketika mengajar sambil memarahi para mahasiswa di kelas. Wow! Aku memasang telingaku baik-baik. Aku sendiri sering disuruh mengikuti rapat oleh atasanku di kantor. Tetapi, rasanya aku tidak pernah sekalipun ditanya tentang FILOSOFI menghadiri rapat. “Kalau Anda diminta menghadiri rapat, itu FILOSOFINYA apa? Apakah Anda hanya duduk diam dan mendengarkan? Apakah Anda diminta mewakili? Apakah Anda memiliki hak untuk memberikan pendapat dan masukan? Atau apakah Anda juga berhak untuk ikut mengambil keputusan di sana? Pahami dulu FILOSOFINYA!”
Kelas Terakhir, by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
Aku menutup Ritzer dan diam-diam mencuri dengar percakapan Profesor dengan stafnya itu. Aku benar-benar “terpesona” dengan ucapan Profesor tentang “Filosofi (Menghadiri) Rapat”. Rupanya seperti ini rasanya menjadi staf seorang profesor. Segala sesuatu harus dipahami filosofinya terlebih dahulu. Syukurlah, atasanku bukan profesor.... Aku semakin deg-degan menunggu giliran menghadap. Kalau Profesor saja sedemikian keras menerima laporan bawahannya untuk urusan rapat, bagaimana denganku yang harus melaporkan perkembangan tesis? Mana aku pun juga melakukan berkali-kali kesalahan; mulai dari menghilang terlalu lama, terlambat datang, berkali-kali merecoki Profesor dengan SMS. Dan kemajuanku masih belum seberapa. Pembicaraan Profesor dengan bawahannya berakhir menjelang jam 12 siang. Segera setelah bawahan Profesor meninggalkan ruangan, aku segera dipanggil untuk masuk ke dalam. Baru kali ini aku melakukan konsultasi seorang diri dengan Profesor. Biasanya, aku selalu bersama dengan mahasiswa yang lain. “Silahkan, Mbak Nadya. Bagaimana perkembangan tesisnya?” suara Profesor jauh lebih lembut dibanding tadi. Sepertinya suasana hatinya sudah mendingin. Aku pun lega. Artinya, Profesor tidak akan marah kepadaku. Aku pun memaparkan perkembanganku. Sekaligus meminta masukan karena – jujur saja – aku pun bingung untuk menstrukturkan ide-ideku. “Kebiasaan buruk mahasiswa, banyak terjadi, mereka kebingungan ketika di lapangan. Kalau sudah bingung begitu, mereka justru menghilang. Bingungnya dibawa sendiri. Ya nggak selesai-selesai, dong,” lagi-lagi Profesor menyindirku. Aku diam saja dan menunduk. Kata-kata Profesor memang ada benarnya. Tetapi, aku sendiri terbatasi oleh kondisi. Andai saja Juna bisa aku tinggal, mungkin aku akan kembali tinggal di Bandung untuk beberapa waktu. Tetapi, Juna benar-benar tidak bisa aku tinggalkan. “Suami kamu sudah lulus?” “Sudah, Pak,” jawabku. “Baguslah kalau begitu. Berarti kamu sudah bisa fokus sama tesis kamu sendiri.” “Insya Allah, Pak,” jawabku lagi. Iya, kalau saja urusan kantor juga beres. Kami kemudian melanjutkan diskusi. Sebenarnya, aku juga tidak tahu apa yang harus aku diskusikan. Mauku, sih, aku menghadap Profesor dengan draf lengkap mulai dari bab 1 hingga 5. Tetapi kalau hari ini aku ke Bandung tanpa melapor pada Profesor, rasanya sayang juga. Dan lagi, sepertinya yang aku butuhkan hanya dukungan moral dari Profesor. Sepatah-dua patah kata sebenarnya cukup untukku. Aku hanya ingin meyakinkan diriku sendiri kalau Profesor selalu mendukung langkahlangkahku. “Habis ini mau langsung balik ke Yogya?”
Kelas Terakhir, by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
“Mungkin. Tapi mungkin saya akan ke rumah orang tua dulu di Ciputat,” jawabku sambil membereskan barang-barangku. “Setelah ini, saya mau ke jurusan dulu untuk mengurus surat ijin penelitian. Kemarin saya ke Pemkab Bantul, ternyata saya harus membawa surat pengantar dulu; dari Jawa Barat, lalu ke Yogya, baru ke Bantul,” aku menjelaskan. “Jadi, habis ini saya mau ke Kesbangpol dulu,” aku melanjutkan. “Lho, kok, ribet banget? Bukannya surat dari jurusan saja cukup? Kemarin rasanya Lisa lancar-lancar saja, kok.” Aku tersenyum. “Nggak tahu, Pak. Waktu suami saya mengurus ijin penelitian juga nggak ribet, cukup surat pengantar dari kampus. Tapi pas giliran saya kok begini. Ya sudah, saya jalani saja, Pak.” “Iya...iya....hati-hati saja, lah, Mbak. Jaga kesehatan,” ujar Profesor. “Iya, Pak. Saya pamit dulu. Terima kasih banyak atas waktunya,” aku pun pamit. ... Ruang jurusan tampak sepi. Hanya ada Bu Indri dan Pak Wagiman. Aku segera menghampiri Pak Wagiman untuk meminta surat pengantar dari kampus. “Terima kasih, ya, Pak. Maaf jadi merepotkan,” ucapku. “Iya. Tenang aja, Mbak. Santai saja,” Pak Wagiman menjawab dengan senyumannya yang khas seperti biasa. Setelah mengambil surat yang aku butuhkan, aku keluar dari ruang administrasi jurusan. Setelah ini, aku akan ke Kesbangpol (mudah-mudahan prosesnya juga cepat), dan malamnya aku bisa pulang. Hanya saja, nanti aku pulang naik apa, ya? “Mbak,” seseorang menyapaku . “Eh, Akbar,” aku balas menyapa. “Lagi ngapain di sini?” aku senang akhirnya ada juga orang yang aku kenal. “Mau minta tanda tangan revisi, Mbak.” “Kamu udah lulus, kan?” “Udah. Tapi belum wisuda. Paling wisudanya nanti bareng Mbak Nadya.” “Amin...” aku tersenyum. “Mbak habis ngapain?” “Bimbingan. Terus mau ngurusin surat ijin juga,” jawabku. “Langsung balik ke Yogya?”
Kelas Terakhir, by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
“Iya.” “Naik apa?” Akbar kembali bertanya. Aku mengangkat bahuku. “Tergantung nanti dapatnya apa.” “Aku nanti malam naik Kahuripan. Dari Kiara Condong ke Lempuyangan. Hemat. Cuma 90.000 rupiah. Lumayan lah...” ujarnya. Oh, iya. Akbar, kan, selalu pulang-pergi Bandung-Yogya dengan “paket hemat”. Kalau tidak dengan bus, ia pasti mencari tiket murah kereta api kelas ekonomi. “Udah ada tiket?” tanyaku. “Udah, Mbak. Tapi kalau mau beli di tempat kayanya masih ada, kok. Kan sekarang bukan musim liburan,” terangnya. Aku langsung terpikir untuk naik kereta yang sama dengan Akbar. Aku memang malas naik kereta kelas ekonomi. Tetapi kalau ada yang menemani, kenapa tidak? “Mau ke mana lagi, Mbak?” Akbar kembali bertanya. Aku terangkan kalau aku mau mengurus surat ijin penelitian dulu. Kemudian, mencari tiket pulang. Mungkin aku akan naik Kahuripan juga. “Kalau naik Kahuripan, nanti kita ketemu di Kircon aja. Mudah-mudahan satu gerbong, ya, Mbak.” Aku mengangguk. Aku kemudian pamit karena harus mengejar waktu ke Kesbangpol. Jam pulang PNS rata-rata pukul 16.00. Jadi, aku sudah harus menyelesaikan urusanku sebelum jam 4 sore kalau aku ingin langsung pulang ke Yogyakarta. ... Kiara Condong. Jam 18.30. Aku sudah duduk manis di ruang tunggu yang sempit dan penuh sesak. Benar kata Akbar, tiket masih banyak tersedia. Aku bahkan masih bisa meminta untuk mendapatkan tempat sendiri – 6 bangku saling berhadapan dan aku hanya sendirian. Peraturan di stasiun Kiara Condong adalah, calon penumpang belum boleh masuk ke dalam peron kalau jadwal keretanya masih lama. Umumnya, peron baru dibuka antara satu hingga setengah jam sebelum kedatangan kereta. Saat ini, misalnya, baru calon penumpang kereta api Lodaya Malam yang diperbolehkan masuk karena keretanya akan tiba pukul 7 malam. Calon penumpang kereta api Kahuripan yang masih satu setengah jam lagi berangkat belum diperbolehkan untuk masuk. Walhasil, ruang tunggu penuh dengan calon penumpang yang menunggu. Tadi ketika adzan maghrib berkumandang, aku sempat berniat untuk sholat maghrib terlebih dahulu. Sayangnya, mushola terlalu kecil dan kamar mandinya agak jorok sehingga aku malas untuk sholat. Nanti sajalah di mushola dalam yang seingatku jauh lebih luas dan bersih. Toh, aku musafir, jadi boleh-boleh saja, kan, menjamak sholat di waktu isya nanti saja?
Kelas Terakhir, by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
Aku mengeluarkan ponsel dan mengirim pesan ke Akbar. Tetapi tidak ada jawaban. Mungkin ia sedang di kendaraan umum dan tidak mendengar suara teleponnya, pikirku. Tadi aku mengurus surat pengantar yang ditujukan kepada Kesbangpol Daerah Istimewa Yogyakarta (dari Kesbangpol Propinsi Jawa Barat). Ternyata prosesnya sangat cepat. Tinggal menyerahkan proposal, mengisi formulir, menyerahkan pas foto dan fotokopi KTP, lalu surat langsung dicetak dan jadi hari itu juga. Yang membuatku terkesan, ternyata petugas sudah memiliki spesimen tanda tangan pejabat untuk surat ijin. Surat ijin tinggal di-print di kertas yang sudah ada spesimen tanda tangan tersebut. Cepat dan tidak pakai ribet. Sehari jadi. Sungguh inovatif! Aku menyelesaikan urusanku sekitar jam 3 sore. Aku tidak jadi ke Ciputat karena menurutku tidak efesien dengan waktu yang tersisa. Sempat terpikir untuk langsung ke stasiun Bandung saja dan membeli tiket kereta paling cepat (Malabar atau Mutiara Selatan seingatku berangkat sore). Namun, persediaan uangku yang membuatku memilih untuk naik Kahuripan saja yang hanya 90.000 rupiah. Untungnya, aku ingat kalau aku punya teman di Bandung. Aku pun segera menghampiri kantornya di Jalaprang. Kami mengobrol cukup lama dan temanku itu juga yang kemudian mengantarkan aku ke stasiun Kiara Condong. Naik angkot tentu saja. Setidaknya, aku jadi tahu harus naik angkot yang untuk menuju stasiun Kiara Condong. Petualanganku di Bandung hari ini berakhir di sini, di stasiun Kiara Condong, dengan menunggu kereta api menuju Yogyajarta jam 8 malam nanti, dengan kondisi tubuh penuh keringat karena terakhir kali mandi adalah kemarin malam. Ah, yang penting Profesor tidak tahu kalau tadi aku menghadap dalam kondisi belum mandi....
Kelas Terakhir, by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)