Keajaiban di Pasar Senen dan Beberapa Keajaiban Lainnya Posted: June 6, 2013 | Author: brigitta isabella | Filed under: Uncategorized |1 Comment
Perubahan adalah sesuatu yang ajaib. Di abad ke 19, pada awal kemunculan teknologi kamera di Hindia Belanda, para penduduk desa dibikin ketakutan oleh para fotografer yang menjinjing sebuah “mesin pencabut nyawa” dengan cahaya kilat yang membutakan mata. Soal ini ditulis R.A Kartini dalam catatan hariannya, “Amat sulit untuk membuat bahkan satu foto saja di desa.. Ada takhyul bahwa mereka takut umurnya dapat diperpendek bila membiarkan kami mengambil fotonya..” Selain kehadiran teknologi sebagai pembawa perubahan (atau apa yang disebut kemajuan), kebaruan ide juga serta merta menghadirkan keajaiban-keajaiban dalam kebudayaan, menciptakan mitos-mitos yang dapat menantang maupun semakin mengukuhkan kepercayaan lama. Buku “Keajaiban di Pasar Senen” (terbitan pertama tahun 1971, diterbitkan kembali tahun 2008) merupakan kumpulan 17 cerita pendek karangan Misbach Yusa Biran yang memotret gaya hidup para “seniman” tahun 50an yang sering nongkrong di sekitaran Pasar Senen. Dipenuhi sindiran yang jenaka, dengan ringan buku ini menghadirkan sebuah perenungan berharga untuk memikirkan ulang apa arti “menjadi seniman”. Tokoh utama dalam kumpulan cerpen ini ialah Biran, seorang laki-laki rantau yang bekerja sebagai pegawai rendahan di Jakarta dan mengaku “bukan seniman” melainkan hanya senang nongkrong dengan para seniman di Pasar Senen. Dari sudut pandang seorang Biran-lah kemudian mengalir kisah-kisah sederhana yang tak jarang membangkitkan campuran rasa sebal, gemas, terharu dan geli bagi yang membacanya. Jakarta Tahun 50-an Seperti apa Senen di tahun 50-an, dalam pengantar buku ini sang pengarang memberi sedikit gambaran bahwa Pasar Senen adalah, “pasar kelas menengah bawah yang sejak awal abad ke-20 telah menjadi jantung kota dan bagian yang tidak pernah tidur. Di sini orang bisa mendapatkan apa saja. Termasuk tukang copet dan tukang jambret yang dikenal sebagai “Buaya Senen.” Sejarah juga mencatat, bahwa di akhir 30-an Pasar Senen telah menjadi tempat bertemunya para intelektual muda yang datang untuk menjual buku ke tukang loak “Nasution” di belakang bioskop Grand. Di masa pendudukan Jepang, Pasar Senen menjadi tempat persinggahan para sastrawan dan seniman, salah satunya, Chairil Anwar. Sementara, pada tahun 50-an sebagaimana kerangka waktu yang dihadirkan dalam buku ini, Pasar Senen masih menjadi sarang para seniman muda yang bercampur baur antara sastrawan, pekerja film maupun pekerja teater. Pilihan para seniman untuk nongkrong di Pasar Senen, menurut sang pengarang, mungkin karena dekat dengan Gedung Kesenian Pasar Baru dan studio film
Golden Arrow. Karena Senen terletak di pusat Jakarta, maka dari sana mereka dapat menggunakan trem untuk mencapai segala penjuru Jakarta dengan harga murah. Tahun 50-an gelanggang ekonomi dan politik Indonesia masih berdiri pada landasan yang sangat labil. Ekonomi masih semrawut karena sumber-sumber penghasilan ekspor masih dikuasai lembaga asing (Antariksa, Tuan Tanah Kawin Muda, 2005). Jakarta tahun 50-an, menurut Claire Holt, “Seperti setiap kota metropolitan, Jakarta adalah sebuah pasar yang besar, sebuah tempat pertukaran sentral dari semua jenis barang, pelayanan, dan ide-ide, dari kacang sampai produk otomotif, dari usaha daur sampah sampai urusan politik tingkat tinggi, dari keahlian merias sampai keahlian kritik seni. Ibukota adalah pusat ahli pengetahuan nasional, tempat pangkalan industri film yang sedang naik daun, akademi teater modern dan sarang para kritikus seni. Jakarta adalah markas media massa nasional dan segala organisasi dalam setiap bidang. Kota ini memiliki perusahaan paling megah serta perkampunganperkampungan yang paling kumuh. Penduduknya adalah warga negara yang paling terpelajar dan kaum proletar urban yang dungu.” (Holt, Art in Indonesia: Continuities and Change, 1967) Kebebasan dan Kemiskinan Dalam riuh rendah euforia kemerdekaan, kata “bebas” adalah buzzword yang berkumandang di mana-mana. Si Biran sampai hafal, saking seringnya teman-teman senimannya berkata bahwa, “Seorang seniman haruslah seorang manusia yang merdeka. Bebas jiwa dan segalagalanya karena hanya dengan jiwa yang bebaslah seorang baru mungkin bisa menciptakan sesuatu yang besar.” (hlm 119) Konsep dan kata “bebas” ini kemudian jadi pegangan atau pembelaan bagi para pengangguran muda gondrong, kumal dan ogah kerja. Di Yogyakarta, Hersri Setiawan mencatat, “Pada awal ’50an itu, banyaklah tunas-tunas ‘seniman’ dan ‘sastrawan’, yang sesudah mencoba membikin-bikin sketsa, ‘potret diri’ atau menulis satu dua potong sajak ‘rembulan’ dan ‘sajak cinta’, mereka menobatkan diri menjadi ‘seniman’. Adapun atribut seniman yang bebas merdeka itu ialah: membiarkan rambut gondrong awut-awutan, mengenakan pakaian dekil bertambal sana sini, mandi kapan mau seolah-olah air dan sabun memadamkan ‘inspirasi’. Kalau malam berkeluyuran konon untuk menangkap ilham yang berpendaran di tengah pekat alun-alun mesum. Menipu dan mengutil. Seperti Chairil, kata mereka.” (via Antariksa, 2005). Sementara, senada dengan Hersri, Biran mengatakan bahwa ia dan teman-temannya di majalah Aneka kerap menertawakan kegilaan anak-anak Senen yang bergaya “sok seniman”. Meski demikian, ia juga mengakui kelebihan para seniman muda Senen yang berani mencoba apa saja, mementaskan sandiwara tanpa modal, mendirikan majalah baru, bahkan mendirikan lembaga pendidikan. Kemiskinan para seniman-seniman Senen, bertolak belakang dengan arus utama seni di Jakarta di mana seniman-seniman kesayangan Soekarno yang hidupnya luar biasa mewah. Para pelukis salon atau “istana” relatif kaya, misalnya Dullah yang adalah kurator seni Istana memiliki kamar suite di dalam Istana Negara. Pameran-pameran seni besar biasa
diselenggarakan di satu-satunya galeri permanen di Jakarta, yaitu Balai Budaya, Hotel des Indes dan Gedung Pemuda. Tahun 1957, pameran tunggal Harijadi memakan pengeluaran hampir sebesar Rp 25.000. (Holt, 1967) Bandingkan dengan penghasilan honor penerbitan cerpen yang hanya sebesar Rp 50 dan sajak Rp 25. Biaya hidup paling minimal sebulan untuk bayar kos dan makan sekitar Rp 300. Dengan nilai rupiah pada waktu itu, orang yang mengandalkan hidupnya dari menulis harus menulis paling tidak enam cerpen sebulan, itu pun kalau semua bisa dimuat. Harga skuter Vespa tahun 50 adalah Rp 1000. Kisah tragis para seniman Senen ini, bagaimanapun kerap mengundang rasa gemas. Meskipun miskin luar biasa, mereka tetap menolak kerja karena bekerja berarti menjadi budak yang hanya menunggu pensiun. Rusli, salah seorang tokoh fiktif dalam cerpen “Hadiah Lebaran”, menyindir Biran yang bekerja sebagai pegawai dengan berkata, “Jarang yang bisa dan berani menghadapi hidup ini dengan kekuatan sendiri, di atas kedua kakinya. Apa salahnya kalau aku bisa? Kau tak akan bisa mengerti. Kau tidak tahu apa artinya bakat!”. Meski demikian sehabis menggertak Biran, seperti kemudian di beberapa cerita-cerita lainnya, Biran kerap jadi sasaran teman-teman senimannya untuk pinjam duit atau sekedar traktir kopi. Sosok “ Sang Seniman” Saya kira tak ada salahnya untuk melompat dari kisah 50-an ke masa kini, mengamati bagaimana tingkah laku para seniman muda Indonesia sekarang. Romantisme kehidupan bohemian para seniman Senen, mau tidak mau mengingatkan saya pada kisah, rumor atau mitos yang sering saya dengar soal kehidupan seniman di ISI tahun 1990-an. Para seniman Yogya, misalnya Bob Sick dan S. Teddy adalah sosok-sosok eksentrik yang secara penampilan bisa disebut “seniman banget”. Ciri-cirinya adalah rambut gimbal, tubuh penuh tattoo dan mulut yang selalu bau alkohol. Dari cerita seorang teman yang pernah kuliah di Gampingan, ia mengenang aktivitas-aktivitas seni seperti nonton bersama, menggambar mural di dinding kampus, acara musik, diskusi atau sekedar nongkrong di bawah pohon beringin terus bergulir dalam dinamika yang mengasyikan. Ada banyak mahasiswa seni yang sering menginap di kampus, dan waktu itu kuliah masih diijinkan bercelana pendek dan bersendal jepit. Dari kampus saya sendiri, di Filsafat UGM, banyak kakak kelas yang mengenang kejayaan majalah Pijar dan komunitas musik Sande Monink yang anggotanya menjadi “semakin pintar berfilsafat” setelah botol anggur merah yang ketiga ditenggak beramai-ramai. Dari kebrutalan gaya hidup mahasiswa-mahasiswa ini, kita menemukan letupan-letupan karya seni yang radikal, zine-zine bawah tanah yang menulis tentang subkultur dan kritik terhadap pemerintahan serta ruang-ruang alternatif yang berdikari. Meski demikian, tentu saja cara pandang ini romantik. Mata teman saya, mantan anak punk yang kini jadi bos musik netlabel, seperti menerawang sambil setengah berbisik, “Asik ya jaman dulu.” Menengok gaya mahasiswa jaman sekarang, tentu saja banyak hal yang berubah. Toh, perubahan memang niscaya. Setelah kampus ISI pindah ke Sewon, mahasiswa seperti didisplinkan, mereka wajib bersepatu dan bercelana panjang. Sementara di UGM, ada
larangan menginap di kampus, portal-portal kampus ditutup setelah jam 11 malam dan kuliah wajib selesai dalam waktu 7 tahun atau yang bersangkutan akan dikenakan DO. Saya pun adalah bagian dari generasi ini, kuliah saya selesaikan cepat-cepat berhubung biaya kuliah tidaklah murah. Di dalam komunitas seni, gaya-gaya seniman berambut gondrong dan berpakaian belel justru dianggap “agraris”. Dalam salah satu tulisan Wicaksono Adi di tahun 2009, gaya-gaya seniman Yogya ini dianggapnya “sok keren tapi enggak nyampe”. Senimanseniman muda Yogya kini tampil maksimal dengan kaus distro, kacamata Rayban dan sepatu Adidas atau Nike berwarna-warni (beberapa pakai yang asli, tidak sedikit yang membelinya di Outlet Biru, pusat sepatu KW di daerah Seturan Jogja). Tentu saja kita tidak bisa serta merta menilai seseorang dari penampilan, sebab membayangkan seniman harus tampak eksentrik juga adalah cara pandang yang romantik dan tidak produktif. Gerakan Seni Rupa Baru misalnya, sudah menyindir gaya-gaya seniman sukses 70-an yang memakai topi pet ala Perancis dan pakaian batik eksotik dibekali jargon-jargon filosofis. FX Harsono dalam sebuah seminar mengatakan bahwa dia dan teman-temannya menggunakan jas dan sepatu untuk membedakan diri dari seniman-seniman bohemian. Dalam katalog Pasaraya Dunia Fantasi (1987) para seniman GSRB menyatakan bahwa mereka “secara terencana menggantikan wahyu dengan telaah dingin. Secara terukur kami menanggalkan sifat seni yang bersifat individual”. Kesadaran ini bisa jadi berangkat dari pemikiran pascamodern atas matinya subjek modern, seniman bukan lagi sang jenius yang maha tahu dan maha benar– seniman adalah masyarakat. Karya seni adalah hasil riset dan pengamatan yang jeli atas kondisi sosial, bukan sekadar bualan-bualan ekspresi seorang seniman eksentrik yang berhalusinasi akibat mariyuana. Dari sini saya kira, jelas bahwa kita tidak bisa berpijak pada bagaimana penampilan seorang seniman, entah berpakaian rapih atau bergaya kumuh, sebab kesenimanan seseorang dinilai dari karya dan buah pikirnya. S. Sudjojono pernah menyarankan sebuah syarat agar seseorang pantas disebut “seniman” atau “tidak”. Ia mengatakan bahwa kerja seorang ”seniman” tidak semata-mata berurusan dengan soal ”kecakapan” dalam soal teknis saja. Lebih dari itu, untuk menjadi ”seniman yang baik dan benar”, kata S. Sudjojono, seseorang itu harus memiliki watak dan jiwa yang besar. (via Aminudin TH Siregar, “Salah Kaprah Istilah Seniman,” Kompas, 11 Sept 2011) Yang menyedihkan, ajaibnya, para seniman kini lebih peduli soal Vespa keluaran terbaru atau sepatu Camper model mutakhir ketimbang membangun diskusi-diskusi kritis. Akhirnya untuk tidak membuat tulisan ini terkesan sok heroik, saya akan mengutip Basuki Resobowo yang kala itu berkomentar soal Sudjojono dan Affandi yang menjauhi gelanggang politik pada akhir 50-an, “Buat saya gerak kerakyatan mereka itu sama, mereka adalah manusia borjuis yang hanya membuat gebrakan yang berteriak dalam lingkungan kelas borjuis. Mereka belum meninggalkan kelasnya. Gebrakan semacam ini, di dunia, disebut aliran futurisme yang hanya melawan sikap formalistis untuk mengejar kebebasan perseorangan.” Bukankah, mereka juga adalah saya, anda, dan kita?
Please download full document at www.DOCFOC.com Thanks