1
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah dihaturkan kepada Allah SWT atas petunjuk dan pertolongan-Nya, sehingga tugas penelitian dengan judul: “Perlindungan Hukum terhadap Anak Luar Kawin dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”, dapat diselesaikan dengan baik. Penelitian ini dilaksanakan terkait dengan isu hukum mengenai perlindungan anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri). Mengingat dalam hukum perdata Barat (Kitab Undang-undang Hukum Perdata), anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan dikategorikan sebagai “anak luar kawin” (onwettig kind), yang menurut Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya mempunyai hubungan hukum keperdataan dengan ibu dan keluarga ibu yang melahirkan. Akibatnya, perlindungan hukum yang diberikan kepada anak luar kawin, termasuk anak yang lahir dari nikah sirri, secara hukum berbeda dengan anak sah, yakni anak yang lahir dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah (dicatatkan menurut undang-undang). Padahal, dalam perspektif hak asasi manusia, perlindungan hukum terhadap anak tidak boleh ada perbedaan antara anak sah dan anak luar kawin. Pada kesempatan ini, saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung dan membantu dalam melaksanakan tugas penelitian ini, khususnya kepada Rektor Universitas Islam Malang, Dekan Fakultas Hukum, dan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Islam Malang. Kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca senantiasa diharapkan demi penyempurnaan hasil penelitian ini di masa mendatang. Malang, 20 Desember 2011 Peneliti,
Dr. H. Abdul Rokhim, SH, MH
3
ABSTRAK Perlindungan Hukum terhadap Anak Luar Kawin dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Abdul Rokhim Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji (menganalisis) secara lebih mendalam mengenai: (1) Keabsahan perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) dalam perspektif hukum Islam; (2) Keabsahan perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; dan (3) Perlindungan hukum terhadap Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif. Penelitian yang dilakukan melalui studi pustaka ini hanya menggunakan data sekunder yang dalam penelitian hukum normatif disebut bahan-bahan hukum (legal materials), yang mencakup: (1) bahan hukum primer, berupa peraturan perundang-undangan; (2) bahan hukum sekunder, meliputi buku-buku dan kitab-kitab hukum (fiqh), dokumen-dokumen hukum, hasil-hasil penelitian sebelumnya, termasuk jurnal atau majalah hukum perkawinan; serta (3) bahan hukum tersier, berupa kamus dan ensiklopedi hukum. Berdasarkan studi pustaka, hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Dalam kitab-kitab klasik, pembahasan tentang munakahat (pernikahan) telah banyak dikaji oleh para fuqaha’ secara luas dan mendalam, namun tak satupun di dalamnya ada yang membahas hukum mengenai pencatatan nikah. Karena masalah pencatatan perkawinan memang merupakan masalah hukum yang tergolong baru (kontemporer) dalam kehidupan umat Islam. Karena itu, masalah pencatatan perkawinan secara hukum dapat dikaji berdasarkan dalil dan hakikat maslahah mursalah. Jika dihubungkan dengan tiga syarat maslahat menurut Al Ghazali, maka dapatlah disimpulkan bahwa tujuan perkawinan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan pokok (dharuriyyat) yakni melanjutkan keturunan, ketenangan dan kebahagiaan hidup, menjaga kehormatan dan ibadah adalah sejalan dengan maqaashid al khamsah atau maqaashid as syari’, karena dengan perkawinan maka tujuan memelihara keturunan (hifdh al nashl min janib al-wujud) yang merupakan salah satu kebutuhan dharuriyyat (pokok) dapat tercapai. Dengan melihat salah satu tujuan dan urgensi pencatatan perkawinan, maka tidak akan sempurna sebuah perkawinan kalau tidak dicatatkan (nikah sirri). Sifat dharuriyyatnya dapat dilihat dari fungsi akta nikah sebagai alat bukti yang kuat dan resmi (otentik) yang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum yang pasti bagi para pihak yang telah melangsungkan perkawinan, termasuk bagi anak-anak atau keturunan mereka. Hal ini maka hukum pencatatan perkawinan pada masa sekarang ini berdasarkan maslahah mursalah menjadi wajib (keharusan) yang tidak dapat dielakkan. Dengan kata lain, berdasarkan penafsiran a contrario, hukum “nikah sirri” pada masa sekarang ini “tidak sempurna”. Karena, dengan adanya pencatatan perkawinan akan menunjang dan menyempurnakan tujuan syara’ yang bersifat dhoruriyyat. Pasangan suami isteri yang perkawinannya tidak dicatat (nikah sirri) tidak memiliki kepastian hukum, dan status perkawinannya juga tidak mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah/negara. Padahal itu merupakan sesuatu yang amat diperlukan bagi mereka dan keturunannya sebagai warga negara. 2. Rumusan pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, masih menimbulkan kontroversi dan multi-interpretasi di kalangan para
4
ahli hukum. Kontroversi dan perbedaan pendapat tentang rumusan pasal tersebut pada dasarnya terbagi ke dalam dua pendapat. Pertama, pendapat yang menganggap pencatatan perkawinan termasuk salah satu syarat sahnya perkawinan. Berdasarkan perdapat ini, “nikah sirri” (perkawinan yang tidak dicatatkan) adalah tidak sah, karena tidak memenuhi salah satu syarat sahnya perkawinan menurut undang-undang. Sedangkan, pendapat kedua menyatakan bahwa pencatatan perkawinan hanyalah pelengkap untuk kepentingan administrasi yang tidak termasuk syarat sahnya perkawinan. Dengan mengacu pada pendapat kedua ini, “nikah sirri” adalah sah hukumnya, hanya saja persyaratan administrasinya dalam bentuk pencatatan perkawinan sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang belum dilakukan. Pencatatan nikah ini sama sekali tak ada hubungannya dan tak mempengaruhi keabsahan perkawinan, meskipun dari segi pembuktian lemah dan dari segi kepastian hukumnya “nikah sirri” tidak dijamin oleh ketentuan undang-undang. Berdasarkan pendapat tersebut di atas, “nikah sirri” termasuk perkawinan yang sah, apabila hal itu dilakukan menurut hukum agamanya. 3. Menurut 43 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, anak yang lahir dari sebuah perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) hanya mempunyai hubungan hukum keperdataan dengan ibu dan keluarga ibu yang melahirkannya. Anak yang lahir sebagai akibat dari perkawinan yang tidak dicatatkan, dalam konsep hukum perdata Barat dikategorikan sebagai “anak luar kawin” (onwettig kind). Dalam konsep hukum Islam tidak dikenal istilah “anak luar kawin”, karena dalam pandangan hukum Islam tidak ada keharusan (ketentuan yang mewajibkan) untuk melakukan pencatatan perkawinan. Menurut hukum Islam, perkawinan (akad nikah) harus dilakukan menurut syarat-syarat dan rukun perkawinan sesuai dengan syariat (hukum Islam). Dengan demikian, hukum Islam tidak membedakan kedudukan hukum anak yang dilahirkan dari nikah sirri dan anak yang dilahirkan sebagai akibat dari perkawinan yang dicatatkan menurut ketentuan undang-undang. Pandangan hukum Islam tersebut sejalan dengan konsep hak asasi anak yang sama sekali tidak membedakan antara “anak sah”, yaitu anak yang lahir dari perkawinan yang sah menurut undang-undang dan “anak tidak sah”, yaitu anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah menurut undang-undang. Dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) tidak ada diskriminasi terkait dengan status (kedudukan) hukum anak dengan melihat keabsahan dari perkawinan orang tua yang melahirkannya. Dengan perkataan lain, semua anak di depan hukum sama, tidak ada perbedaan sedikitpun mengenai kedudukan hukum anak ditinjau dari sudut pandang HAM. Meskipun demikian, perlindungan hukum yang diberikan kepada anak yang lahir dari sebuah perkawinan yang sah dengan yang tidak sah menurut undang-undang memiliki implikasi yang berbeda, khususnya mengenai hubungan keturunan (kekeluargaan) dan hubungan waris dengan bapak biologisnya. Sebab, menurut Pasal 42 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan hanya memiliki hubungan hukum keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya saja, ia tidak memiliki hubungan hukum keperdataan dengan bapak biologis maupun keluarga dari bapak biologisnya itu. Dengan demikian, anak luar kawin secara hukum tidak memiliki orang tua (bapak dan ibu) sebagai satu kesatuan yang bertanggungjawab kepadanya. Oleh karena itu, perlindungan hukum yang diberikan kepada anak luar kawin, termasuk anak yang lahir dari nikah sirri, membawa implikasi yang tidak sama dengan anak yang lahir dari perkawinan yang sah menurut undang-undang, walaupun dalam perspektif HAM tidak boleh ada perbedaan di antara keduanya. Kata Kunci: Perlindungan Hukum; Anak Luar Kawin; Hak Asasi Manusia
5
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………….……..………………………….………….…………. i LEMBAR PENGESAHAN .............................................................. ...……………….. ii KATA PENGANTAR ..................................................................... ...…………......... iii ABSTRAK ..................................................................................... ...……….…........ iv DAFTAR ISI …………… ………………………………………………………………. vi BAB I PENDAHULUAN …………………….……………………………..…….…… 8 A. Latar Belakang Masalah ………….……………………………………….. 8 B. Rumusan Masalah ………………………………………………………... 14 C. Tujuan Penelitian ………………………………………………………….. 15 D. Manfaat Penelitian ………………………………………………………… 15 E. Metode Penelitian …………………………………………………….…….16 F. Sistematika Pembahasan…………………………………………………. 20 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………...…….. 21 A. Pengertian Perkawinan ……………………………………………….…. 21 B. Asas-asas Perkawinan……………………………………………….……...26 C. Syarat-syarat Sahnya Perkawinan ………………………………………... 35 D. Sejarah Perkawinan di Indonesia …………………………………………. 44 E. Perlindungan Hukum terhadap Hak Asasi Anak ……………………….. 51 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………….…………………….. 56 A. Keabsahan Nikah Sirri dalam Perspektif Hukum Islam …..…………….. 56 B. Keabsahan Nikah Sirri Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 …………..….………….……………………….……………... 65 C. Perlindungan Hukum terhadap Anak Luar Kawin (Nikah Sirri) .………… 72 6
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN .…………………………………………………… 79 A. Kesimpulan …………………………………………………………………… 79 B. Saran ………………………………………………………………………….. 83 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………….. 84
7
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum. Di dalam negara hukum, setiap warga negara berhak memperoleh perlindungan hukum. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan dibentuknya pemerintahan negara Indonesia menurut alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Bentuk perlindungan yang diberikan oleh pemerintah Indonesia terhadap bangsa (warga negara) Indonesia, antara lain adalah perlindungan hukum (rechtsbescherming) di bidang keluarga melalui instrumen hukum perkawinan. Perlindungan hukum terhadap keluarga melalui instumen hukum perkawinan memiliki makna yang sangat fundamental, karena pada hakikatnya keluarga (yang terbentuk melalui perkawinan itu) merupakan unit terkecil dalam suatu komunitas sosialpolitik yang terorganisasi dalam suatu negara. Melalui hukum perkawinan diharapkan semua warga negara Indonesia yang terhimpun dalam satuan-satuan keluarga bisa hidup dan berkehidupan dengan tertib, tenteram, dan sejahtera. Untuk itulah perlu dibuat suatu undang-undang perkawinan yang berlaku secara nasional yang diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan menjamin perlindungan hukum bagi setiap warga negara Indonesia. Untuk merealisasikan tujuan tersebut di atas, pemerintah Indonesia telah mengundangkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang disahkan pada tanggal 2 Januari 1974. Undang-undang ini merupakan produk hukum hasil kompromi dari berbagai lapisan dan golongan penduduk Indonesia yang masing-
8
masing mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dalam memperjuangkan ideologi dan cita-citanya berdasarkan paham kebangsaan, agama, dan adat-istiadat bangsa Indonesia yang memang beraneka ragam. Itulah sebabnya, dari dulu sejak zaman Hindia Belanda hingga pada saat dibuatnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pemerintah saat itu menyadari betapa sulitnya membuat undang-undang perkawinan yang berlaku secara nasional yang dapat mengakomodasi semua kepentingan dan harapan semua warga bangsa Indonesia berdasarkan prinsip unifikasi hukum atau “asas ketunggalan” (eenheidsbeginsel), karena bangsa Indonesia memang terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang memiliki budaya, adat istiadat, dan terutama agama dan kepercayaan yang berbeda-beda (pluralistik). Undang-undang ini tidak muncul secara serta merta, tetapi melalui perjalanan perjuangan yang panjang dari berbagai kelompok kepentingan yang berbeda-beda agama dan ideologinya, latar belakang sosial dan budayanya, serta motivasi dan tujuannya. Usaha mewujudkan undang-undang perkawinan yang bersifat nasional itu, terutama untuk memenuhi tuntutan dari gerakan organisasi-organisasi kaum perempuan yang dilakukan sejak awal kemerdekaan. Tuntutan dari gerakan dan organisasiorganisasi kaum perempuan itu dilatarbelakangi oleh maraknya gerakan emansipasi (women movement) pada saat itu yang menuntut kesamaan derajat dan kedudukan hukum antara kaum laki-laki dan perempuan, termasuk dalam urusan keluarga. Di samping itu, mereka juga menuntut jaminan kepastian dan perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan sebagai isteri dalam suatu keluarga yang menurut hukum perkawinan yang berlaku saat itu sangat dirasakan kurang berpihak dan bahkan bisa dikatakan merendahkan derajat kaum hawa (perempuan) di satu pihak, sekaligus memihak dan menguntungkan kepentingan kaum adam (laki-laki) di pihak lain, misalnya tentang poligami.
9
Dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dalam hubungan-hubungan keluarga, misalnya tentang hak dan kewajiban suami-isteri, hubungan hukum mengenai hak dan kewajiban orang tua dan anak (hak alimentasi), termasuk hak waris dan lain-lain, Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan bahwa “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pencatatan perkawinan itu baru dapat dilakukan apabila sebelumnya telah didahului dengan pelaksanaan perkawinan yang sah menurut ketentuan undang-undang. Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Rumusan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) undang-undang ini menimbulkan multiinterpretasi dan pendapat yang berbeda-beda di kalangan masyarakat dan para ahli hukum. Pendapat pertama mengatakan bahwa secara yuridis perkawinan dipandang sah, apabila telah dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya masing-masing. Menurut pendapat ini, keabsahan perkawinan hanya didasarkan pada pelaksanaan perkawinan yang dilakukan menurut hukum agamanya sebagai satu-satunya syarat yuridis saja, pencatatan perkawinan hanya dipandang sebagai tindakan atau syarat administratif yang sama sekali tidak ada hubungannya atau tidak mempengaruhi keabsahan suatu perkawinan. Dengan perkataan lain, meskipun adanya suatu perkawinan itu tidak dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang lazim disebut dengan istilah “nikah di bawah tangan” atau “nikah sirri” (“nikah diamdiam”), apabila hal itu dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya (dalam arti misalnya, menurut hukum (agama) Islam sudah dipenuhi syarat-syarat dan rukun perkawinan) maka perkawinan itu adalah sah.
10
Sedang, pendapat kedua mengatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila memenuhi dua syarat sebagai satu kesatuan syarat, yakni: pertama, dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya masing-masing, dan kedua, dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2). Dengan perkataan lain, meskipun perkawinan itu telah dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya masing-masing, apabila hal itu tidak dilanjutkan dengan pencatatan nikah (perkawinan), maka perkawinan tersebut adalah tidak sah dan negara secara hukum tidak mengakui keberadaan dan keabsahan perkawinan yang dilakukan seperti itu dengan segala akibat hukumnya, termasuk terhadap anak-anak yang dilahirkannya. Rumusan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Perkawinan ini tidak dimaksudkan sebagai salah satu bentuk campur tangan pemerintah dalam urusan-urusan dan hak-hak pribadi seseorang dalam hubungan keluarga menurut hukum agamanya masing-masing warga negara, tetapi bentuk campur tangan itu merupakan wujud tanggungjawab pemerintah dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap seluruh warga negara demi ketertiban, ketenteraman dan kesejahteraan yang berkepastian hukum. Jaminan perlindungan yang berkepastian hukum dalam hubungan keluarga (yang nota bene terbentuk melalui perkawinan itu) diwujudkan oleh pemerintah hanya dapat dilakukan apabila perkawinan itu dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan. Jaminan perlindungan hukum dalam perkawinan itu tidak semata-mata diberikan kepada para pihak yang melakukan perkawinan (suami, dan terutama istri), melainkan juga pihakpihak lain yang berkaitan dan berkepentingan langsung dengan perkawinan itu, khususnya anak-anak yang dilahirkannya. Melalui pencatatan perkawinan, pasangan suami isteri secara formal legalistik memiliki bukti yang berkekuatan hukum formal dalam bentuk Akta Nikah yang dibuat oleh
11
pejabat yang berwenang menurut ketentuan undang-undang. Perkawinan yang dilakukan secara sah menurut hukum agama dan dilanjutkan dengan pencatatan perkawinan diharapkan dapat menjamin ketenangan keluarga dan ketertiban umum. Itulah motivasi dan tujuan utama pembuat undang-undang yang, meskipun tidak secara tegas (eksplisit) “mewajibkan” setiap perkawinan untuk dicatatkan, namun secara implisit dapat ditafsirkan sebagai “keharusan” karena apabila perkawinan itu tidak dicatatkan negara (pemerintah atau pejabat publik, termasuk pengadilan) tidak mengakui keberadaan dan keabsahan perkawinan itu. Pencatatan perkawinan ini dilakukan demi kepentingan dan kemaslahatan (kebaikan) masyarakat secara keseluruhan. Persoalannya adalah mengapa sejak berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tanggal 1 Oktober 1975 hingga sekarang (lebih dari dua dasawarsa atau 20 tahun), pelaksanaan ketentuan tentang pencatatan perkawinan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 ayat (2) undang-undang tersebut tampaknya di beberapa kalangan masyarakat di beberapa wilayah Indonesia, khususnya di Jawa Timur, masih belum efektif? Masih belum efektifnya ketentuan mengenai pencatatan nikah dalam undangundang tersebut terbukti dari data yang termuat dalam Buku Laporan Penyelesaian Perkawinan yang Tidak Tercatat dalam Buku Akta Nikah pada Kantor Urusan Agama seJawa Timur tahun 1999. Berdasarkan laporan Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten dan Kota se-Jawa Timur yang termuat dalam buku laporan tersebut di atas menunjukkan bahwa sejak sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tanggal 1 Oktober 1975 sampai dengan tanggal 21 Mei 1998 jumlah kasus perkawinan yang tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang berperkara di Pengadilan Agama sebesar 11.813 kasus perkawinan (Abu Amar, 2004:14). Hal ini berarti, jumlah perkawinan yang tidak dicatat akan jauh lebih banyak lagi apabila ditambah dengan jumlah perkawinan yang tidak dicatat dan tidak masuk dalam laporan tersebut, karena
12
tidak pernah berperkara di Pengadilan Agama. Hal ini juga merupakan bukti bahwa “nikah sirri” masih banyak dilakukan di kalangan warga masyarakat kita, meskipun hal itu tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang. Apabila dari perkawinan yang tidak dicatatkan tersebut melahirkan seorang atau beberapa orang anak, maka sejalan dengan pendapat kedua tersebut di atas berarti anak yang dilahirkan (dari perkawinan yang tidak sah) itu disebut anak luar kawin (menurut undang-undang) atau yang lazim disebut dengan istilah onwettig kind. Di samping itu, anak luar kawin juga bisa terjadi (lahir) sebagai akibat dari hubungan “perzinahan” (yang dalam konsep hukum perdata Barat disebut overspel) antara seorang atau beberapa lakilaki dan seorang perempuan yang sama sekali dilakukan di luar perkawinan resmi menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut hukum agama. Selanjutnya, anak luar kawin juga bisa terjadi (lahir) sebagai akibat dari tindak pidana pemerkosaan (rape) yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang laki-laki kepada seorang perempuan (bukan suami-isteri) yang dilakukan dengan paksaan fisik atau psikis, jadi bukan atas dasar suka sama suka di antara mereka. Dalam penelitian ini, hanya dibatasi dan difokuskan anak luar kawin yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri). Berdasarkan uraian di atas, anak luar kawin ialah anak yang tidak mempunyai kedudukan yang sempurna sebagaimana anak sah. Dikatakan anak luar kawin, oleh karena asal usulnya tidak didasarkan pada hubungan perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya sebagai suami isteri (Soetojo Prawirohamidjojo, 1994:105). Sebaliknya, anak yang sah menurut Pasal 42 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Selanjutnya, menurut Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
13
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Sedang, dalam ayat (2)-nya dikatakan bahwa: “Kedudukan anak tersebut dalam ayat (1) di atas, selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah”. Hingga sekarang peraturan pemerintah yang akan mengatur tentang kedudukan anak luar kawin belum terlaksana. Dengan keadaan seperti ini, maka timbul persoalan hukum terkait dengan kedudukan (status) hukum anak luar kawin, termasuk di dalamnya menyangkut perlindungan hukum yang diberikan oleh undangundang terhadap anak luar kawin, yang pada hakikatnya merupakan anak yang lahir tanpa dosa (fitrah) yang sebenarnya merupakan hasil (resultaat) dan “korban” dari hubungan kelamin “ayah” (biologis) dan ibunya di luar ikatan perkawinan yang resmi menurut undang-undang, baik yang dilakukan atas dasar “nikah sirri”, karena tindak “perzinahan”, maupun sebagai akibat dari tindak pidana perkosaan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, adalah penting untuk melakukan penelitian tentang keabsahan perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) baik menurut pandangan hukum Islam maupun menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta perlindungan hukum terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatakan ditinjau dari perspektif (sudut pandang) Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Terkait dengan persoalan hukum (legal issues) tersebut di atas, penelitian ini diberi judul: “Perlindungan Hukum terhadap Anak Luar Kawin dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana telah dipaparkan di atas, pokokpokok masalah yang akan diteliti dan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana keabsahan perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) dalam perspektif hukum Islam?
14
2. Bagaimana keabsahan perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan? 3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan (anak luar kawin) dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji (menganalisis) secara lebih mendalam mengenai persoalan-persoalan hukum terkait dengan: 1. Keabsahan perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) dalam perspektif hukum Islam; 2. Keabsahan perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; 3. Perlindungan hukum terhadap Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya menurut Undangundang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. D. Manfaat Penelitian Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis dan para pembaca pada umumnya dalam rangka meningkatkan ilmu pengetahuan hukum, khususnya di bidang hukum perkawinan. Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat mengenai pentingnya pencatatan perkawinan bagi masyarakat secara keseluruhan. Khusus bagi penulis, penelitian ini juga dimaksudkan untuk melaksanakan salah satu tugas Tridharma Perguruan Tinggi yang merupakan kewajiban dosen, di samping tugas di bidang pengajaran dan pengabdian pada masyarakat.
15
Di samping itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat praktis bagi semua pihak, khususnya tokoh-tokoh agama (kyai; ulama’) dalam masyarakat dan pejabat publik yang mengurusi masalah perkawinan, antara lain Kepala Desa/Lurah, Pegawai Pencatat Nikah (PPN), pejabat Kantor Urusan Agama, Kantor Catatan Sipil dan para hakim Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri, termasuk aparat penegak hukum lainnya, seperti polisi, jaksa, dan pengacara, agar terbentuk persepsi dan pemahaman yang sama atau setidak-tidaknya mempersempit perbedaan sudut pandang terhadap berlakunya Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya mengenai hukum pencatatan perkawinan. Dengan adanya persepsi dan pemahaman yang sama mengenai pentingnya pencatatan perkawinan di kalangan pejabat publik dan tokoh-tokoh agama yang ada dalam masyakarat diharapkan dapat meningkatkan kesadaran hukum bagi masyarakat mengenai pentingnya pencatatan perkawinan dalam rangka memperoleh jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang diberikan oleh negara (baca: pemerintah) melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. E. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan untuk mencari jawaban dan menganalisis pokok-pokok masalah sebagaimana telah dipaparkan dalam rumusan masalah tersebut di atas adalah sebagai berikut: a. Jenis dan Tipe Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif, yang menurut Ronny Hanitijo Soemitro (1990:12) dapat dibedakan ke dalam lima tipe penelitian, yaitu: (1) Penelitian inventarisasi hukum positif; (2) Penelitian terhadap asas-asas hukum; (3) Penelitian untuk menemukan hukum in concreto;
16
(4) Penelitian terhadap sistematik hukum; (5) Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal. Berdasarkan tipe-tipe penelitian hukum normatif tersebut di atas, penelitian ini termasuk tipe penelitian inventarisasi hukum positif. Hasil dari inventarisasi hukum positif ini kemudian dibandingkan dan dicari kaitannya dengan norma hukum lain yang berlaku di masyarakat, khususnya hukum Islam dan kebiasaan masyarakat setempat. Kegiatan inventarisasi hukum positif dalam penelitian ini bukan sekedar mengumpulkan bahanbahan hukum positif, melainkan dilakukan melalui proses identifikasi yang kritis-analitis dan selanjutnya melalui proses klasifikasi yang logis-sistematis. Oleh karena dalam penelitian ini, setelah dilakukan kegiatan inventarisasi hukum positif dilanjutkan dengan kegiatan membandingkan atau mencari kaitannya dengan norma hukum tidak tertulis yang berlaku masyarakat, maka penelitian ini menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji (1990:14) dapat dikategorikan sebagai penelitian perbandingan hukum (legal comparative study) antara norma hukum tertulis dan norma hukum yang tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan. b. Bahan Hukum Di dalam penelitian hukum normatif, termasuk jenis penelitian ini, data yang digunakan hanyalah data sekunder yang diperoleh melalui studi pustaka terhadap bahanbahan hukum, yang menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji (1994:12-13), mencakup: (1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang penelitian ini terdiri dari: a) Undang-Undang Dasar 1945 (yang telah diamandemen); b) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; c) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
17
d) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; e) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Penacatatan Nikah, Talak dan Rujuk; f)
Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura;
g) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; h) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam; i)
Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1990 tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah;
j)
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek);
k) Sumber-sumber hukum yang hanya mengikat orang-orang yang beragama Islam, yaitu: Al Qur’an dan Al Hadits; l)
Peraturan perundang-undangan lain yang terkait masalah perkawinan;
(2) Bahan hukum sekunder, yakni bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yang dalam penelitian ini meliputi: buku-buku dan kitab-kitab hukum yang ditulis oleh para ahli hukum dan ahli fiqh, dokumen-dokumen hukum, hasil-hasil
penelitian
sebelumnya,
termasuk
jurnal
atau
majalah
hukum
perkawinan; (3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang dalam penelitian ini meliputi kamus dan ensiklopedi hukum.
18
c. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian inventarisasi hukum positif ini dilakukan melalui tiga kegiatan pokok, yaitu: pertama, penetapan kriteria identifikasi untuk menyeleksi norma-norma yang dimasukkan sebagai norma hukum positif dan normanorma yang dianggap sebagai norma sosial bukan hukum positif; kedua, melakukan pengumpulan norma-norma yang sudah diidentifikasikan sebagai norma hukum positif; dan
ketiga, dilakukan pengorganisasian norma-norma yang sudah didentifikasi dan
dikumpulkan itu ke dalam suatu sistem yang komprehensif atau menyeluruh (Ronny Hanitijo Soemitro, 1990:13). Kriteria identifikasi dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan pada dua konsepsi, pertama konsepsi legisme-positivistik yang berpandangan bahwa hukum identik dengan norma-norma hukum tertulis dalam peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa (pejabat yang berwenang). Sedang yang kedua adalah konsepsi yang justru menekankan arti pentingnya norma-norma hukum tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan, termasuk dalam hal ini norma hukum agama (meskipun tertulis dalam kitab-kitab suci dan kitab-kitab yang ditulis para ahli hukum agama) dan hukum adat masyarakat setempat. d. Teknik Analisis Bahan Hukum Kegiatan inventarisasi hukum positif
dalam penelitian ini bukan sekedar
mengumpulkan bahan-bahan hukum positif, melainkan dilakukan melalui proses identifikasi yang kritis-analitis dan selanjutnya melalui proses klasifikasi yang logissistematis. Setelah melalui proses identifikasi dan klafisikasi terhadap bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tersier, selanjutnya dilakukan pengkajian terhadap isi dari bahan-bahan hukum tersebut melalui metode analisis isi (content analysis) dengan melakukan interpretasi secara historis, otentik, sistematis, tekstual dan kontekstual
19
(sosiologis). Hasil dari analisis isi ini kemudian dipaparkan (dideskripsikan) secara sistematis dalam laporan hasil penelitian yang berbentuk tesis. F. Sistematika Pembahasan Laporan hasil penelitian ini disusun berdasarkan sistematika pembahasan sebagai berikut: Bab I Pendahuluan berisi uraian tentang Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan. Bab II Tinjauan Pustaka, yang menguraikan tentang Pengertian Perkawinan, Asas-asas Perkawinan, Syarat-syarat Sahnya Perkawinan, serta Sejarah Pencatatan Perkawinan di Indonesia, serta Perlindungan Hukum terhadap Hak Asasi Anak. Bab III Hasil Penelitian dan Pembahasan, yang berisi pembahasan tentang: Keabsahan Nikah Sirri dalam Perspektif Hukum Islam; Keabsahan Nikah Sirri menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; dan Perlindungan Hukum terhadap Anak yang Lahir dari Nikah Sirri dalam Perspektif Hak Asasi Manusia (HAM). Bab IV Kesimpulan dan Saran merupakan bab penutup yang berisi tentang: Kesimpulan dan Saran atas hasil penelitian yang telah dianalisis dan diuraikan dalam bab sebelumnya.
20
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Islam Menurut Hukum Islam, istilah perkawinan secara semantik atau ilmu bahasa berasal dari kata “kawin”. Kata kawin itu sendiri merupakan terjemahan dari bahasa Arab “nikah”. Perkataan nikah ini berarti “bergabung” dan “berkumpul”. Arti tersebut dipergunakan juga untuk kata akad nikah (Kamal Muchtar, 1974:11). Kedua arti “nikah” tersebut di atas ternyata memunculkan perbedaan pendapat di kalangan para ahli hukum Islam dalam menentukan manakah di antara keduanya yang merupakan makna yang sebenarnya (hakiki) dan majazi (kiasan) dari kata nikah. Madzab Hanafi mengartikan kata nikah yang sebenarnya adalah watha’ (bersetubuh), sedangkan makna kiasannya adalah “akad”. Berdasarkan makna hakiki, seorang laki-laki melakukan persetubuhan dengan seorang wanita secara tidak sah (zina) dapat dikatakan telah menikah. Namun nilai-nilai normatif akan mengatakan hal ini sebagai suatu yang na’if dan aib, maka madzab Syafi’i tidak sependapat dengan hal tersebut. Menurut Madzab Syafi’i, nikah yang sebenarnya (hakiki) adalah “akad” dan makna kiasannya (majas) adalah watha’. Nikah sebagaimana tersebut di dalam Al Qur’an berarti akad, karena lebih sesuai dengan hukum syara’. Nikah menurut syara’ adalah akad yang memperbolehkan seorang laki-laki bergaul bebas dengan perempuan tertentu dan pada waktu akad menggunakan lafal nikah (tazwij) atau terjemahannya. Apabila nikah dimaksudkan sebagai “berkumpul”, digunakan lafal mulamasah atau mumasah yang berarti menyentuh (Peunoh Daly, 1988:102).
21
Kata “perkawinan” sama dengan kata “nikah” dan kata “zawaj”. Dalam pengertian syara’, nikah adalah akad (ijab kabul) antara wali nikah dan mempelai laki-laki dengan ucapan tertentu dan memenuhi rukun dan syaratnya (Zahri Hamid, 1978:1). Akad ialah ijab dari pihak wali perempuan atau wakilnya dan kabul dari pihak calon suami atau wakilnya (Mahmud Junus, 1975:1). Perbedaan pendapat di antara para ahli hukum Islam tersebut, sebenarnya bukan suatu yang prinsip di dalam lingkup hukum perkawinan. Sebab, persamaan unsur dalam memberikan makna nikah masih terlihat jelas di dalam polemik itu. Unsur agar terjadi nikah adalah adanya akad dan berkumpul, walaupun keduanya ditempatkan pada posisi yang berbeda dan berlawanan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, pengertian perkawinan menurut hukum Islam adalah: “Melakukan akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara keduanya, dengan dasar sukarela dan keridhloan kedua belah pihak berkeluarga yang diliputi oleh rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhloi oleh Allah SWT” (Ahmad Azhar Basyir, 1977:10). 2. Pengertian Perkawinan Menurut KUH Perdata Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek) tidak tertuang secara jelas definisi dari perkawinan (huwelijk). Namun, istilah perkawinan ini sering digunakan dalam dua arti, yakni: Pertama, sebagai suatu perbuatan, maksudnya perbuatan melangsungkan perkawinan, seperti yang digunakan dalam pasal 104 KUH Perdata. Juga dalam arti yang sama, istilah perkawinan dalam pasal 209 sub 3. Jadi, perkawinan adalah suatu “perbuatan hukum” yang dilakukan pada suatu saat tertentu. Kedua, sebagai suatu “keadaan hukum”. Maksudnya keadaan bahwa seorang pria dan wanita terikat oleh suatu hubungan perkawinan. Keadaan hukum ini adalah sebagai
22
akibat perbuatan yang dimaksud di atas. Dalam keadaan itu pihak pria mempunyai status sebagai suami dan pihak wanita sebagai istri. Maka perkawinan dalam arti keadaan hukum adalah suatu instelling atau lembaga hukum (Soetojo Prawirohamidjojo, 1988:35). Di samping itu, dalam KUH Perdata dengan tegas ditentukan bahwa perkawinan hanyalah persoalan “hubungan keperdataan”. Hal ini termaktub dalam pasal 26 KUH Perdata yang menyatakan bahwa: “Undang-undang memandang perkawinan hanya dalam hubungan keperdataan”. Berdasarkan penggunaan istilah perkawinan seperti terdapat dalam beberapa pasal KUH Perdata tersebut, beberapa ahli hukum Belanda, seperti Asser, Scholten, Wiarda, Pitlo, Petit dan Melis mencoba memberikan definisi perkawinan sebagai berikut: “Perkawinan adalah persekutuan antara pria dan wanita yang diakui oleh negara untuk hidup bersama/bersekutu yang kekal” (Soetojo Prawirohamidjojo, 1988:36). Berdasarkan ketentuan pasal 26 KUH Perdata tersebut di atas, maka perkawinan hanya dipandang sebagai suatu perbuatan hukum (rechtshandeling), seperti halnya perjanjian (kontrak) perdata lainnya. Perkawinan hanya diintepretasikan sebagai suatu persetujuan antara seorang laki-laki dan wanita dalam lingkup hukum keluarga, yaitu masing-masing pihak berhak untuk menyatakan kehendak mereka secara bebas sebagai isi hubungan mereka. Namun demikian, persetujuan perkawinan ini tidaklah sama dengan persetujuan dalam Buku III KUH Perdata. Definisi di atas juga tidak berisi suatu penunjukan mengenai senggama, walaupun dasar perkawinan adalah adanya perbedaan kelamin, tetapi kemungkinan senggama tidaklah mutlak dalam suatu perkawinan. Hal ini menimbulkan konsekuensi diperkenankannya perkawinan antara orang-orang yang sudah lanjut usia. Berdasarkan definisi perkawinan tersebut tersurat juga bahwa perkawinan merupakan suatu lembaga yang terikat pada pengakuan oleh negara. Perkawinan
23
dikatakan sah apabila dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang (penguasa). Suatu concubinaat bukanlah perkawinan. Menurut hukum, concubinaat ini berarti hidup bersama antara seorang pria dan wanita dalam waktu yang singkat (semacam nikah mut’ah). Demikian juga halnya dengan perkawinan yang dilakukan menurut agama (kawin sirri) belum dikatakan sah jika belum dilakukan di hadapan atau dicatat oleh pejabat yang berwenang.
3. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Definisi perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tertuang dalam pasal 1, yang menegaskan bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Berdasarkan definisi tersebut, ada lima unsur pokok (esensial) yang harus selalu ada dalam setiap prosesi perkawinan hingga terbentuk sebuah keluarga. Kelima unsur pokok tersebut adalah: a. Ikatan lahir batin. b. Antara seorang pria dan seorang wanita. c. Sebagai suami/isteri. d. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berikut ini diuraikan kelima unsur pokok tersebut di atas: a. Ikatan lahir batin Yang dimaksud ikatan lahir batin adalah ikatan dalam sebuah perkawinan tersebut tidak hanya berfokus pada tanggung jawab yang sifatnya lahiriah atau batiniah, tetapi harus terjalin perpaduan antara keduanya. Suatu ikatan lahir merupakan ikatan yang 24
dapat dilihat dan mengungkapkan adanya hubungan hukum antara seorang pria dan wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Ikatan lahir ini sifatnya formal, karena hubungan ini nyata, baik bagi pihak yang mengikatkan dirinya maupun bagi pihak ketiga. Sebaliknya, suatu ikatan batin merupakan hubungan yang tidak formal. Ikatan batin ini tidak tampak, tidak nyata dan hanya dapat dirasakan oleh pihak yang bersangkutan. b. Antara seorang pria dan seorang wanita Ikatan perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dan seorang wanita. Selain itu tidak boleh atau dilarang, misalnya antara pria dan pria (kaum homoseks) atau wanita dengan wanita (lesbian). Dalam poin kedua ini tersirat dengan jelas bahwa pada prinsipnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut asas monogami, walaupun tidak mutlak. Karena, dalam hal-hal tertentu poligami (perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari satu orang wanita) juga diperbolehkan, apabila dilakukan menurut syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. c. Sebagai suami/istri Suatu ikatan antara seorang pria dan wanita baru dapat dipandang sebagai suami istri apabila ikatan mereka telah didasarkan pada suatu perkawinan yang sah. Perkawinan itu sendiri dapat dikatakan sah bilamana telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang, baik syarat intern maupun syarat ekstern. Maksud syarat intern adalah hal-hal yang menyangkut pihak-pihak yang melakukan perkawinan, yaitu kesepakatan, kecakapan, dan ada ijin dari pihak lain yang harus diberikan untuk melangsungkan perkawinan. Sedangkan syarat ekstern adalah hal-hal yang menyangkut formalitas-formalitas dalam melangsungkan perkawinan.
25
d. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal Yang dimaksud keluarga adalah kesatuan yang tersendiri atas ayah, ibu, dan anak. Keluarga sendi dasar susunan masyarakat Indonesia. Dalam mewujudkan masyarakat yang sejahtera, tidak bisa terlepas dari faktor kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga. Sebab tingginya kualitas dan kuantitas kebahagiaan keluarga bisa menjadi cermin sejahteranya suatu masyarakat. Keluarga yang bahagia berhubungan dengan lahirnya generasi baru. Memperoleh keturunan adalah salah satu tujuan pokok dari perkawinan. Untuk mendapakan generasi penerus yang berkualitas, dibutuhkan kekalan perkawinan. Sehingga pada prinsipnya sekali orang melakukan perkawinan berupaya untuk tidak cerai, sehingga bahtera keluarganya berlangsung selama-lamanya, kecuali karena ada kematian atau pasangan suami/istri tersebut justru tidak bahagia dalam ikatan perkawinan tersebut. e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan erat dengan agama atau kerohanian. Perkawinan tidak boleh berunsurkan lahir/jasmani saja, tetapi harus memiliki
unsur
batin/rohani
berdasarkan
nilai-nilai
keyakinan
dan
ketuhanan
(keagamaan). Sebab religiusitas adalah salah satu pilar pokok bagi terciptanya kebahagiaan dan kekekalan sebuah keluarga dalam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. B. Asas-asas Perkawinan Perkataan asas berasal dari kata Arab, asasur artinya dasar, basis, pondasi. Apabila dikorelasikan dengan sistem berpikir, asas memiliki makna landasan berpikir yang sangat mendasar. Oleh karena itu, dalam bahasa Indonesia asas mempunyai arti dasar, alas, 26
dan pedoman (Poerwadarminta, 1982:60). Jika kata asas diaplikasikan dalam ilmu hukum, maka asas mengandung maksud kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat, terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum (Muhammad Daud Ali, 1993:113). Berikut ini dipaparkan secara singkat asas-asas perkawinan menurut hukum Islam, hukum adat, KUH Perdata, dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. 1.
Asas-asas Perkawinan Menurut Hukum Islam
Asas-asas perkawinan menurut hukum Islam antara lain adalah sebagai berikut: a. Tujuan pokok perkawinan menurut hukum Islam seperti yang ditegaskan dalam Al Qur’an surat Ar Ruum ayat (21), adalah terciptanya rumah tangga (keluarga) yang penuh ketenangan (sakinah), cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah). b. Kegunaan (faedah) perkawinan menurut Al Ghazali (Abu Amar, 2004:23), paling sedikit terdiri dari lima hal: (1) memperoleh keturunan; (2) menjaga diri dari godaan setan; (3) menenangkan dan menentramkan jiwa; (4) membagi tugas rumah tangga; dan (5) tempat berlatih untuk tanggang jawab. c. Hikmah Perkawinan menurut Ali al Jurjawi (Abu Amar, 2004:23), adalah: (1) sarana reproduksi untuk meneruskan atau melanjutkan kehidupan umat manusia di muka bumi; (2) memenuhi watak dasar manusia; dan (3) menjamin hak-hak kewarisan. d. Sahnya perkawinan menurut hukum Islam adalah apabila suatu perkawinan telah dilakukan sesuai dengan syariat Islam, yaitu memenuhi seluruh rukun dan syarat perkawinan. e. Menurut hukum Islam, perjanjian perkawinan (aqad nikah) dilakukan antara calon mempelai laki-laki dengan wali nikah yang mewakili pihak mempelai perempuan.
27
f. Menurut hukum Islam sebagaimana ditegaskan dalam Al Qur'an surat An Nisa’ ayat (3), poligami (beristri lebih dari seorang) diperbolehkan dengan ketentuan sebanyak-banyaknya empat orang perempuan, dengan syarat suami dapat berlaku adil kepada istri-istrinya, tetapi jika seseorang khawatir tidak dapat berlaku adil hendaklah beristri seorang saja. Dengan perkataan lain, hukum Islam pada prinsipnya menganut paham monogami tetapi tidak mutlak, artinya boleh poligami asalkan dapat berlaku adil. g. Perceraian dipandang sebagai perbuatan yang halal (boleh), tetapi amat dibenci oleh Allah SWT. Dengan kata lain, hukum Islam memandang bahwa perkawinan adalah hidup bersama dalam ikatan lahir batin antara suami dan istri untuk selama-lamanya (kekal); perceraian hanya dimungkinkan apabila keadaannya terpaksa, misalnya tujuan perkawinan sebagaimana ditentukan menurut syariat Islam tidak tercapai dalam perkawinan tersebut. 2. Asas-asas Perkawinan Menurut KUH Perdata a. Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata saja (pasal 26 KUH Perdata). Perkawinan hanya dapat dikatakan sah apabila dilakukan dimuka petugas Kantor Catatan Sipil. Perkawinan yang hanya dilakukan menurut tata cara agama saja belum dapat dikatakan sah hukumnya. Lebih tegasnya, pasal 81 KUH Perdata menyebutkan bahwa perkawinan menurut upacara keagamaan baru dapat dilaksanakan setelah perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai catatan sipil. Perkawinan menurut KUH Perdata juga tidak mengindahkan larangan-larangan perkawinan menurut hukum suatu agama, larangan perceraian misalnya. Walaupun hal itu sangat dilarang oleh suatu agama tertentu, tetapi jika ternyata memenuhi syarat-syarat dalam undangundang ini maka hal tersebut adalah sah.
28
b. Perkawinan agar dianggap sah harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan oleh undang-undang. c. Perkawinan adalah suatu persetujuan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di dalam lapangan hukum keluarga. Pasal 28 KUH Perdata menghendaki adanya kebebasan kata sepakat antara kedua calon suami istri dalam perjanjian ini. Walaupun jelas bahwa perkawinan merupakan suatu perjanjian, namun perjanjian ini tidaklah sama dengan perjanjian dalam Buku III KUH Perdata. Perbedaan antara keduanya terletak pada: 1) Perjanjian dalam Perkawinan a) Suatu perkawinan harus diindahkan oleh setiap orang. b) Perkawinan harus dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini petugas kantor catatan sipil. c) Segala akibat di dalam perkawinan diatur oleh undang-undang, hak-hak yang timbul tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain. d) Perkawinan tidak dapat diakhiri dengan permufakatan antara kedua belah pihak. e) Dalam perkawinan, bentuk atau syarat-syarat formal yang paling utama, sedang isinya (sesuai agama atau tidak) bukanlah suatu hal yang esensial. 2) Perjanjian di dalam Buku III KUH Perdata a) Perjanjian hanya meningkatkan kedua belah pihak. b) Perjanjian dapat dilakukan oleh/antara kedua belah pihak. c) Perjanjian tersebut dapat mengatur segala hal yang disepakati kedua belah pihak, hak-hak yang timbul dari perjanjian dapat dilimpahkan kepada orang lain. d) Perjanjian dapat diakhiri dengan permufakatan antara kedua belah pihak.
29
e) Isi penjanjian adalah paling utama, sedang bentuk tidak. d. Perkawinan didasarkan pada asas monogami mutlak (Pasal 27 KUH Perdata). Asas monogami dalam pasal 27 KUH Perdata adalah bahwa waktu yang sama seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, dan seorang perempuan hanya seorang laki-laki sebagai suaminya. e. Perkawinan merupakan dasar terwujudnya pertalian keluarga dan hal ini melahirkan hak dan kewajiban di antara mereka yang termasuk di dalam lingkungan keluarga itu. Pada dasarnya, pertalian keluarga itu sendiri dapat terjadi karena dua hal yaitu: 1. Karena keturunan sedarah Mengenai keturunan sedarah inipun dapat dibedakan menjadi keturunan darah yang sah dan keturunan darah di luar kawin. Maksud keturunan darah yang sah adalah tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, sehingga ia memperoleh si suami sebagai bapaknya (pasal 250). Sedangkan maksud keturunan luar kawin adalah keturunan yang dibenihkan dan dilahirkan diluar perkawinan yang sah. Dalam keturunan sedarah ini, kemudian menimbulkan hak dan kewajiban antara orang tua dan anak seperti dalam pasal 298 KUH Perdata. 2. Karena perkawinan/pertalian semenda Kekeluargaan semenda menurut pasal 295 adalah suatu pertalian keluarga yang diakibatkan karena perkawinan seseorang dengan keluarga suami atau istri. Perlu diperhatikan bahwa antara keluarga suami dan keluarga istri tidak terdapat hubungan semenda. Selanjutnya hubungan semenda ini tidak akan lepas karena adanya perceraian (pasal 297). f. Perkawinan mempunyai akibat di dalam hak dan kewajiban suami atau istri.
30
Mengenai hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan dimuat dalam pasal 103-118 yang antara lain adalah: 1. Kekuasaan marital dari suami, yaitu bahwa suami menjadi kepala keluarga dan bertanggung jawab atas istri dan anak-anaknya. 2. Wajib nafkah (kewajiban alimentasi) yaitu suami wajib memelihara dan memberi nafkah pada istrinya. 3. Istri mengikuti kewarganegaraan suaminya. 4. Istri mengikuti tempat tinggal (domisili) suaminya. 5. Istri menjadi tidak cakap bertindak. Di dalam segala perbuatan hukum ia memerlukan bantuan dari suaminya, kecuali dalam beberapa hal antara lain: a. Perbuatan sehari-hari guna keperluan rumah tangga. b. Mengadakan perjanjian kerja sebagai majikan guna kepentingan rumah tangga. c. Melakukan pekerjaan bebas (profesi). d. Membuat wasiat. e. Membuat perjanjian kerja sebagai buruh. f. Memperoleh hak milik atas suatu benda. g. Menyimpan dan mengambil uang di bank h. Menggugat. Ketentuan tentang ketidakcakapan seorang istri dalam melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan suami sebagaimana tersebut di atas, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1963 dinyatakan tidak berlaku, karena tidak relevan dengan perkembangan zaman dan keadaan masyarakat Indonesia. 6. Suami berhak mengurus dn menguasai harta perkawinan gabungan jika sebelumnya tidak diadakan perjanjian harta perkawinan pisah (Kansil, 1980:219-220).
31
g. Perkawinan mempunyai akibat terhadap harta kekayaan suami istri. Pasal 119 menyebutkan bahwa mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami istri, sepanjang sebelumnya tidak dibuat janji kawin yang mengatur sebaliknya. Persatuan harta kekayaan ini tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami dan istri. Persatuan harta kekayaan dalam perkawinan ini menjadi bubar antara lain karena: 1. Kematian. 2. Berlangsungnya suatu perkawinan atas ijin hakim, setelah adanya keadaanya tak hadir si suami. 3. Perceraian 4. Perpisahan meja dan tempat tidur 5. Perpisahan harta benda (pasal 126) h. Perceraian dapat terjadi berdasarkan alasan-alasan yang ditentukan oleh undangundang. Perceraian itu sendiri sebenarnya hanyalah salah satu penyebab bubarnya perkawinan. Pasal 119 KUH Perdata menyebutkan mengenai penyebab bubarnya perkawinan antara lain: 1. Karena kematian 2. Karena keadaan tak hadir si suami atau istri, selama 10 tahun, diikuti dengan perkawinan baru dari suami atau istri setelah mendapat ijin dari hakim. 3. Karena putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan tempat tidur dan pembukuan bubarnya perkawinan dalam register catatan sipil. 4. Karena Perceraian Alasan-alasan yang dapat mengakibatkan perceraian menurut pasal 209 KUH Perdata, antara lain:
32
a. Zina; b. Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan sengaja selama 5 tahun berturut-turut; c. Dihukum dengan hukum penjara 5 (lima) tahun atau lebih yang dijatuhkan setelah perkawinan; d. Menganiaya atau melukai berat pasangannya sehingga membahayakan jiwa pihak yang dilukai atau dianiaya (Sudarsono, 1991:9-26).
3. Asas-asas Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Asas-asas atau prinsip-prinsip yang tercentum dalam undang-undang ini adalah sebagai berikut: a. Tujuan Perkawinan Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material. b. Sahnya Perkawinan Pada pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, seperti kelahiran, kematian, yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. c. Asas Monogami Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum, dan agama dari yang bersangkutan
33
mengijinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang istri. Meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan, baru dapat dilakukan apabila telah dipenuhi sebagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. d. Prinsip-prinsip Perkawinan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menganut prinsip bahwa calon suami istri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian serta menghasilkan keturunan yang sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih di bawah umur. Di samping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyata batas umur yang lebih rendah lagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Sehubungan dengan hal tersebut, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan batas umur untuk kawin 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita. e. Mempersukar Terjadinya Perceraian Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal, dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan. f. Hak dan Kedudukan Suami Istri Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dibandingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri (Kansil, 1980:225-226)
34
C. Syarat-syarat Sahnya Perkawinan Di dalam sistem hukum perkawinan di Indonesia, syarat-syarat sahnya perkawinan ditentukan
menurut
hukum
agama
atau
kepercayaan
dari
para
pihak
yang
melangsungkan perkawinan (pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974). Oleh karena negara Indonesia mengakui berbagai macam agama, maka dalam penelitian ini hanya dibatasi menurut hukum Islam dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Meskipun demikian, sebagai suatu perbandingan hukum juga perlu dikemukakan syaratsyarat sahnya perkawinan menurut KUH Perdata. Untuk mengetahui lebih jelas syaratsyarat perkawinan dari ketiga perspektif hukum tersebut, dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Syarat-syarat Perkawinan Menurut Hukum Islam Menurut hukum Islam, perkawinan itu sah apabila telah memenuhi syarat-syarat atau rukun dari perkawinan. Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia menyebutkan bahwa untuk melakukan suatu perkawinan harus ada: a. Calon Suami b. Calon Istri c. Wali nikah d. Dua orang saksi e. Ijab Kabul Berikut ini dijelaskan secara singkat syarat-syarat perkawinan tersebut di atas: a. Calon Suami dan Calon Istri Calon Suami dan calon Istri dapat disebut juga sebagai calon mempelai, adalah seorang pria dan seorang wanita yang merupakan pihak-pihak yang akan melakukan akad/perjanjian perkawinan. b. Wali
35
Perwalian dalam istilah fiqh disebut wilayah, yang berarti penguasaan dan perlindungan. Jadi arti dari perwalian menurut fiqh adalah penguasaan penuh yang yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan melindungi orang atau barang. Pada dasarnya perwalian itu dibagi menjadi: 1. Perwalian atas orang; 2. Perwalian atas barang; 3. Perwalian atas orang dalam perkawinan. Dalam penelitian ini tidak akan membahas semua jenis perwalian tersebut, tetapi hanya memfokuskan pada perwalian dalam perkawinan seseorang saja. Masalah perwalian dalam perkawinan ini terdapat dua pendapat dikalangan para pakar hukum Islam. Pendapat pertama berasal dari Imam Maliki, Syafi’i, dan Hambali, yang mengatakan bahwa wali adalah merupakan salah satu rukun yang harus ada dalam perkawinan. Tanpa adanya wali, perkawinan tidak sah. Dasar hukum yang dipergunakan adalah: a) Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh empat orang ahli hadist terkecuali Nasa’i, yang artinya: “Barangsiapa di antara perempuan yang nikah dengan tidak diijinkan oleh walinya, maka perkawinannya batal.” b) Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Daruquthni, yang artinya: “Jangan menikahkan perempuan akan perempuan yang lain dan jangan pula menikahkan pula akan dirinya sendiri.” c) Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh HR Ahmad, yang artinya: “Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan dua saksi yang adil.” Pendapat kedua berasal dari Imam Abu Hanifah yang ada intinya membolehkan seorang wanita mengawinkan dirinya sendiri tanpa wali. Pendapat ini didasarkan pada hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhori Muslim dari Ibnu Abbas R.A., yang artinya:
36
“Orang-orang yang tidak mempunyai jodoh lebih berhak atas (perkawinan) dirinya dari pada walinya dan gadis itu dimintakan perintah (agar ia dikawinkan) kepadanya dan ijinnya adalah diamnya.” Berdasarkan hadist tersebut, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa wali dalam perkawinan hanya disyaratkan bagi wanita yang belum dewasa, sedangkan wanita dewasa dan janda boleh mengawinkan dirinya sendiri. Di negara kita yang dianut adalah pendapat dari Madzab Syafi’i, sehingga tidak mungkin terjadi perkawinan tanpa adanya wali. Hal ini dipertegas dengan ketentuan pasal 19 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyebutkan bahwa: “Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.” c. Saksi Adanya saksi dalam akad nikah, menurut Imam Syafi’i adalah suatu keharusan dalam perkawinan. Karena, saksi dalam perkawinan sangat diperlukan antara lain untuk: 1. Alat bukti terhadap pihak ketiga jika terjadi keraguan akan sahnya perkawinan itu. 2. Agar Suami maupun istri tidak dapat dengan mudah melakukan pengingkaran. 3. Keyakinan dalam masyarakat terhadap telah berlangsungnya perkawinan, dapat ditimbulkan karena adanya saksi. Dasar hukum yang dipergunakan oleh para ahli hukum Islam mengenai masalah persaksian dalam perkawinan adalah hadist nabi sebagai berikut: “Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” Lebih lanjut, Imam Abu Hanifah kemudian mengkiaskan persaksian dalam akad nikah pada persaksian dalam akad muamalah, maka otomatis saksi dalam akad nikah tentu lebih utama dan diperlukan dari pada saksi-saksi dalam akad muamalah. Ketentuan mengenai saksi ini dimuat dalam pasal 24 KHI yaitu: 1. Saksi dalam perkawinan merupakan rukun dari pelaksanaan akad nikah. 2. Setiap perkawinan harus di saksikan oleh dua orang saksi. d. Akad Nikah 37
Akad nikah adalah pernyataan sepakat dari pihak calon suami dan pihak calon istri untuk mengikatkan diri mereka kedalam tali perkawinan dengan menggunakan “Sighat akad nikah”. Sedangkan yang dimaksud dengan “Sighat akad nikah” ialah perkataan atau ucapan-ucapan yang diucapkan oleh calon suami dan calon istri yang terdiri dari “ijab” dan “Qabul”. “Ijab” ialah pernyataan dari pihak calon istri, yang biasanya dilakukan oleh wali pihak calon istri yang maksudnya bersedia dinikahkan dengan calon suaminya. Sedangkan, “Qabul” ialah pernyataan atau jawaban pihak calon suami bahwa ia menerima kesediaan calon istrinya menjadi istrinya. 2. Syarat-syarat Perkawinan Menurut KUH Perdata Syarat-syarat perkawinan menurut KUH Perdata pada dasarnya dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu: a. Syarat material (syarat inti), yang berdiri dari: - Syarat material absolut (mutlak); - Syarat material relatif. b. Syarat Formal Syarat material absolut (mutlak) adalah syarat yang menyangkut pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk pelaksanaan perkawinan. Syarat ini berlaku untuk: 1. Monogami; 2. Persetujuan antara kedua suami isteri; 3. Memenuhi syarat umur minimal; 4. Perempuan yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus mengindahkan waktu 300 hari setelah perkawinan yang dahulu dibubarkan. 5. Izin dari orang tertentu didalam melaksanakan perkawinan. Dalam pemberian izin untuk kawin, dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
38
a. Untuk orang yang belum dewasa, yaitu yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin, ketentuannya adalah: 1) Anak-anak sah yang belum dewasa, untuk melaksanakan perkawinan harus memperoleh izin dari kedua orang tuanya. Jika ternyata hanya satu diantara mereka yang dapat memberikan izinnya, karena yang lain dipecat kekuasaan orang tua atau perwalian atas diri si anak, maka pengadilan negeri dalam wilayah hukum tempat tinggal anak atas permintaannya berkuasa memberikan izin kawin setelah memanggil dengan sah mereka yang izinnya diperlukan. 2)
Jika satu diantara kedua orang tua telah meninggal dunia atau berada dalam keadaan tak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang lain (pasal.35).
3) Jika anak-anak yang kawin belum dewasa tersebut ada dibawah perwalian orang lain dari bapak dan ibunya, maka selain izin yang harus diperoleh menurut pasal 35 KUH Perdata harus pula diperoleh izin dari wali mereka, atau jika izin tersebut diperlukan untuk kawin dengan wali itu sendiri, maka diperlukan izin dari wali pengawas. 4) Jika semuanya ternyata menolak memberikan izin, atau berada dalam keadaan tak mampu menyatakan kehendak mereka, maka berlakulah pasal yang lalu, asal orang tua yang tidak dipecat dari kekuasaan orang tua atau perwalian atas diri anak telah memberikan izin (pasal 36). 5)
Jika bapak dan ibu dari keduanya telah meninggal dua atau keduanya berada dalam keadaan tak mampu menyatakan kehendaknya, maka masing-masing mereka harus diganti oleh orang tuanya sekedar orang-orang ini masih hidup dan tidak berada dalam keadaan yang sama.
39
Ayat kedua pasal 35 berlaku, jika mereka yang izinnya menurut ayat ke satu atau kedua dalam pasal ini diperlukan, ada perbedaan pendapat, atau jika seorang atau lebih diantara mereka tak menyatakan pendiriannya. (pasal 37). 6) Jika bapak ibu beserta kakek-kakek dan nenek-nenek tidak ada, atau mereka berada dalam keadaan tak mampu menyatakan kehendaknya, maka anak-anak selama mereka belum dewasa, tak diperbolehkan kawin tanpa izin dari wali dan wali pengawas mereka. 7) Jika baik si wali maupun wali pengawas, atau salah satu diantara mereka menolak memberi izin itu, atau jika mereka tak menyataka diri mereka, maka Pengadilan Negeri dalam wilayah hukum tempat tinggal si anak atas permintaannya, berkuasa memberikan izin kawin, setelah mendengar atau memanggil dengan sah wali, wali pengawas dan keluarga sedarah dan semenda (pasal 38) b. Untuk orang dewasa namun belum genap usia 30 (tiga puluh) tahun, untuk kawin masih diperlukan izin dari orang tua mereka. Jika izin tak diperoleh, maka mereka boleh meminta perantaraan Pengadilan Negeri yang di wilayah tempat tinggal mereka (pasal 24). Syarat material relatif adalah ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan larangan seseorang untuk melakukan perkawinan dengan orang ketentuan yaitu: 1. Larangan melakukan perkawinan dengan seseorang yang berhubungan sangat dekat di dalam kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan (pasal 30 dan 31). 2. Larangan melakukan perkawinan dengan orang, dengan siapa orang tersebut pernah berbuat zina (pasal 32). 3. Memperbarui perkawinan setelah adanya perceraian, apabila belum lewat 1 tahun ternyata terlarang (pasal 33).
40
Di samping syarat-syarat material, perkawinan juga memerlukan syarat-syarat formal terdiri dari: a. Pemberitahuan tentang maksud untuk kawin (diatur dalam pasal 50 dan 51): 1. Semua orang yang hendak kawin, harus memberitahukan kehendak itu kepada pegawai catatan sipil tempat tinggal salah satu dati kedua belah pihak. 2. Pemberitahuan ini harus dilakukan, baik diri sendiri, maupun dengan surat-surat yang dapat tentang pemberitahuan itu oleh pegawai catatan sipil harus dibuatkan sebuah akta. b. Pengumuman tentang maksud untuk kawin. Pengumuman ini untuk memberitahukan kepada siapa saja yang berkepentingan untuk melakukan pencegahan bagi adanya maksud perkawinan tersebut berdasarkan alasan tertentu. Adapun pencegahan ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu, dan dalam keadaan tertentu pula secara resmi diatur oleh undang-undang (pasal 86-92). 3. Syarat-syarat Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Syarat-syarat perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 diatur dalam Bab II Pasal 6 hingga 12, yang antara lain adalah sebagai berikut: 1. Persetujuan kedua belah pihak Pengertian persetujun kedua belah pihak adalah bahwa perkawinan harus dilaksanakan berdasar kehendak bebas dari kedua calon mempelai. Persetujuan dan kesukarelaan ini adalah merupakan syarat yang penting sekali untuk mereaalisasikan tujuan dari perkawinan yaitu untuk membentuk rumah tangga yang bahagia, sejahtera dan kekal (pasal 6 ayat (1) Undang-undang Perkawinan). 2. Izin orang tua atau wali
41
Ayat (2) pasal 6 menentukan bahawa untuk melangsungkan perkawinan, seseorang yang belum berumur 21 tahun harus meminta izin kepada orang tua. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua meninggal dunia, izin itu cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya (ayat (3) pasal 6). Dalam hal kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dapat diperoleh dari: (1) Wali (2) Orang yang memelihara (3) Keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas (kakek atau nenek) selama mereka masih hidup dan dapat menyatakan kehendaknya (ayat (4) pasal 6). c. Batas umur untuk kawin Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Perkawinan menentukan bahwa perkawinan hanya dibenarkan jika pihak pria sudah mencapai 19 tahun dan pihak wanita 16 tahun. Ayat (2) menetapkan tentang kemungkinan penyimpangan terhadap ketentuan tersebut dengan jalan meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditujukan oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita. Dalam hal salah seorang atau kedua orang tua telah meninggal dunia, maka perkecualian dapat dimintakan kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditujukan oleh orang tua yang masih hidup atau wali atau orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas dari pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan, dengan ketentuan sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya tidak menentukan lain. d. Tidak terdapat larangan kawin Ketentuan yang mengatur tentang larangan untuk kawin diantara orang-orang yang mempunyai hubungan persaudaraan terdapat dalam pasal 8 (a) hingga (f) Undang-
42
undang Perkawinan. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang: (1) Berhubungan darah dalam garis keturunan harus kebawah maupun keatas. (2) Berhubungan darah dalam garis menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. (3) Hubungan semenda: mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau bapak tiri. (4) Berhubungan susunan yaitu: orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi atau paman susuan. (5) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan istri, dalam hal suami beristri lebih dari seorang. (6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. e. Tidak terikat oleh suatu perkawinan Pasal 9 Undang-undang perkawinan melarang seseorang yang masih terikat oleh suatu perkawinan untuk kawin lagi kecuali dalam hal yang tersebut dalam ayat (2) pasal 3 dan pasal 4, yaitu bahwa pengadilan dapat memberi izin untuk poligami apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Permohonan ini diajukan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Pengadilan hanya memberi izin jika: (1) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri (2) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. (3) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan. f.
Tidak bercerai kedua kali dengan suami atau isteri yang akan di kawin maksud dari ketentuan pasal 10 tersebut dijelaskan dalam penjelasan Undang-undang Perkawinan yaitu agar suami isteri dapat dibentuk keluarga yang kekal, maka suatu tindakan yang
43
dapat mengakibatkan terputusnya perkawinan harus benar-benar dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. g. Bagi janda telah lewat masa tunggu (tenggang iddah). Pasal 11 ayat (1) Undang-undang Perkawinan menentukan bahwa bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. h. Memenuhi tata cara perkawinan Undang-undang perkawinan menetapkan tentang pencatatan dan tata cara perkawinan itu pada peraturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 pasal 2 hingga pasal 11. D. Sejarah Pencatatan Perkawinan di Indonesia Dalam negara modern, masalah perkawinan tidak hanya dipandang sebagai perbuatan hukum yang berkarakter privat (privaat rechtelijk) yang mengatur urusan pribadi seseorang (private affair) seperti yang selama ini dipahami oleh sebagian warga negara, melainkan merupakan perbuatan hukum yang juga mengandung karakter publik (publieke rechtelijk), karena selain mengatur mereka yang melakukan perkawinan juga menyangkut kepentingan pihak lain dan berkaitan pula dengan kemaslahatan dan kepentingan umum. Oleh karena itulah, sejak pemerintah kolonial Hindia Belanda hingga pemerintah nasional Indonesia pasca kemerdekaan melakukan tindakan campur tangan publik dalam urusan perkawinan dengan membentuk dan memberlakukan peraturan perundang-undangan di bidang perkawinan. Pada
zaman
kolonial
pemerintahan
Hindia
Belanda,
pemerintah
telah
memberlakukan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan yang berlaku berdasarkan golongan penduduk yang ada di wilayah Hindia Belanda, yaitu: 1.
Bagi golongan Bumiputera berlaku:
44
a. bagi mereka yang beragama Islam berlaku hukum Islam sebagai bagian dari hukum adat; b. bagi mereka yang beragama Kristen di Jawa, Minahasa dan Ambon berlaku Huwelijk Ordonantie Christen Indonesia (HOCI) berdasarkan Staatblad 1933 Nomor 74); c. bagi mereka yang tidak termasuk sub a dan sub b, berlaku hukum adat mereka masing-masing. 2. Bagi golongan Eropa dan yang dipersamakan berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), khususnya Buku I Titel IV s/d XI. 3. Bagi golongan Timur Asing Tionghoa berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata sebagaimana tersebut pada sub 2 di atas, dengan sedikit perubahan. 4. Bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa, seperti keturunan India, Arab dan Pakistan, berlaku hukum adat mereka masing-masing. Pemberlakuan peraturan hukum perkawinan berdasarkan golongan penduduk seperti tersebut di atas terkait dengan politik hukum pemerintah kolonial Hindia Belanda yang dikenal dengan sebutan Vrijwillige Onderwerping dan Toepasselijk Verklaring yang dipermaklumkan berdasarkan Keputusan Raja (Koninklijk Besluit) tentang Algemene Bepalingen van Wetgeving (Ketentuan-ketentuan Umum tentang Perundang-undangan). Vrijwellige Onderwerping adalah upaya hukum yang diberikan kepada orang-orang pribumi (bumiputera) untuk menundukkan diri secara sukarela kepada hukum perundangundangan yang berlaku bagi orang Eropa, khususnya Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Sedangkan, Toepasselijk Verklaring adalah pernyataan Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk menerapkan hukum perundang-undangan yang berlaku bagi golongan Eropa untuk golongan penduduk pribumi manakala pemerintah memandang perlu. Algemene Bepalingen van Wetgeving yang tadinya hanyalah merupakan
45
Keputusan Raja pada akhirnya dengan persetujuan Parlemen Belanda dikukuhkan dalam bentuk undang-undang (Wet) berupa Regeringsreglement pada tahun 1854 yang lazim disingkat R.R. 1854. Pasal 5 R.R. 1854 menyatakan bahwa penduduk Hindia Belanda dibedakan menjadi golongan Eropa (beserta mereka yang dipersamakan dengannya) dan golongan pribumi. Sedangkan, pada pasal 11-nya dikatakan bahwa untuk golongan penduduk pribumi, oleh hakim akan diterapkan hukum agama, pranata-pranata dan kebiasaan orang-orang pribumi itu sendiri, sepanjang hukum, pranata dan kebiasaan itu tidak bertentangan dengan asas-asas kepantasan dan keadilan yang diakui umum, dan apabila terhadap orang-orang pribumi itu telah ditetapkan berlakunya hukum Eropa (berdasarkan kebijakan Toepasselijk Verklaring) atau apabila orang pribumi yang bersangkutan telah menundukkan
diri
kepada
hukum
Eropa
(berdasarkan
kebijakan
Vrijwellige
Onderwerping) sebagaimana tersebut di atas (Soetandyo Wignjosoebroto, 1995:54). Penerapan hukum Islam, khususnya hukum meteriil Islam, bagi penduduk pribumi yang beragama Islam pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda adalah mengacu pada ketentuan pasal 11 R.R. 1854 tersebut, dengan syarat norma hukum tersebut tidak bertentangan dengan asas-asas kepantasan dan keadilan yang diakui umum, tentu saja menurut ukuran dan penilaian pemerintah Hindia Belanda pada saat itu. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, pemerintah Hindia Belanda berpendirian bahwa masalah pencatatan perkawinan merupakan masalah yang terkait dengan prinsip kepastian hukum dalam rangka menjaga ketertiban umum masyarakat. Oleh karena itulah, pemerintah sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawabnya untuk melindungi warga negara mempunyai kewajiban untuk campur tangan dalam hal pengaturan pencatatan terhadap kedudukan (status) hukum warga negaranya, mulai dengan pencatatan kelahiran, perkawinan, hingga kematiannya.
46
Di Indonesia, pencatatan terhadap kedudukan (status) hukum warga negara tersebut dilakukan oleh Kantor Catatan Sipil yang merupakan kelanjutan dari Burgerlijk Stand (B.S.) pada zaman Hindia Belanda. Burgerlijk Stand merupakan lembaga yang diadakan oleh pemerintah Hindia Belanda yang berfungsi mencatat (membukukan) selengkap-lengkapnya tentang peristiwa atau kejadian penting, misalnya kelahiran, perkawinan, pengakuan/pengesahan anak, perceraian dan kematian terjadi pada seseorang. Setiap peristiwa tersebut dicatat sebagai bukti otentik mengenai peristiwa tertentu yang dapat digunakan sebagai bukti bagi yang berkepentingan maupun pihak ketiga setiap saat (Situmorang dan Sitanggang, 1991:15). Pencatatan mengenai status hukum seseorang tersebut sekaligus bertujuan untuk menjamin kepastian hukum atas peristiwa penting terkait diri seseorang. Menurut Sudikno Mertokusumo (1991:122), pencatatan itu dilakukan dalam sebuah akta otentik yang mempunyai fungsi formal (formalitatis causa) dalam arti untuk lengkap atau sempurnanya (bukan sahnya) suatu perbuatan atau peristiwa hukum. Di samping itu, akta tersebut mempunyai fungsi sebagai alat bukti (probationis causa). Sehubungan dengan akta nikah, seseorang yang telah menikah selain perkawinannya menjadi lengkap dan sempurna, akta nikah juga merupakan alat bukti surat tentang perkawinan yang telah dilangsungkannya. Sehingga jika di kemudian hari timbul persoalan menyangkut perkawinan maka ia telah memiliki akta otentik yang menjadi alat bukti perkawinannya. Urgensi (pentingnya) pencatatan status hukum seseorang, khususnya pencatatan perkawinan, pada masa Hindia Belanda mengacu pada ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (yang sebenarnya hanya berlaku untuk golongan penduduk Eropa dan mereka yang dipersamakan, termasuk golongan pribumi yang secara sukarela menundukkan diri pada undang-undang tersebut), khususnya pasal 81 yang menyatakan: “Tiada suatu acara keagamaan (dalam hal ini perkawinan) boleh dilakukan, sebelum
47
kedua pihak (maksudnya suami isteri) kepada pejabat agama mereka membuktikan bahwa perkawinan di hadapan Pegawai Catatan Sipil telah berlangsung”. Bahkan pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam pasal 530 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP): (1) Seorang petugas agama yang melakukan upacara pernikahan, yang hanya dapat dilangsungkan di hadapan pejabat Burgerlijk Stand (Kantor Catatan Sipil), sebelum dinyatakan padanya bahwa pelangsungan di muka pejabat itu sudah dilakukan, diancam dengan denda paling banyak tiga ratus rupiah. (2) Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat waktu dua tahun sejak adanaya pemidanaan yang tetap karena pelanggaran yang sama, denda dapat diganti dengan kurungan paling lama dua bulan. Di kalangan umat Islam, sejalan dengan politik hukum pemerintah Hindia Belanda, hukum perkawinan Islam secara materiil berdasarkan ketentuan syariat dibiarkan atau diperbolehkan berlaku menjadi hukum yang hidup dalam masyarakat yang beragama Islam. Namun demikian, melalui sebuah ordonansi pemerintah Hindia Belanda mengharuskan untuk mendaftarkan semua perkawinan, talak dan rujuk bagi penduduk yang beragama Islam, dengan dalih satu dan lain hal untuk kepastian hukum. Sehingga pada tahun 1895 diundangkanlah ordonansi (undang-undang) yang dimuat dalam Staatsblad 1895 Nomor 198 dan ditinjau kembali dengan Staatsblad 1929 Nomor 348 yang
dikenal
dengan
Huwelijksordonnatie-Reglement
Betreffende
Huwelijk
en
Verstotingen onder Mohammedanen op Java en Madura (Ordonansi PerkawinanReglemen tentang Perkawinan dan Talak bagi umat Islam di Jawa dan Madura). Pada tahun 1910 juga diundangkan ordonansi perkawinan yang berlaku di daerah luar Jawa dan Madura, sebagaimana telah diubah pada tahun 1932 dengan diundangkannya Huwelijk Ordonantie Buitengewesten Reglement betreffende Huwelijk en Vertotingen
48
onder Moslems in de Gewestenbuiten Java en Madura. Di samping itu, pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1933 juga mengundangkan Ordonansi Perkawinan Daerah Swapraja, Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta sebagaimana termuat dalam Staatsblad 1933 Nomor 98 tentang Vorstenlandsche Huwelijksordonantie (Wila Chandrawila Supriadi, 2002:62-63). Peraturan perundang-undangan tentang perkawinan yang di dalamnya juga mengatur tentang pencatatan perkawinan tersebut di atas tetap berlaku sejak diundangkan sampai dengan masa pemerintahan pendudukan (penjajahan) Jepang dan pada masa awal pemerintahan Republik Indonesia pasca kemerdekaan. Tepatnya pada tanggal 21 November 1946, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, sebagai pengganti dari ordonansi-ordonansi perkawinan yang dibuat pada zaman Hindia Belanda sebagaimana tersebut di atas. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 ini diberlakukan di seluruh wilayah Nusantara setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan disahkannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh Daerah luar Jawa dan Madura. Dalam pencatatan perkawinan, menurut pasal 1 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk juncto Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954, Pegawai Pencatat Nikah diangkat oleh Menteri Agama atau oleh yang ditunjuk olehnya. Selanjutnya, pada pasal 1 huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 ditegaskan bahwa Pegawai Pencatat adalah pegawai pencatat perkawinan dan perceraian. Sebenarnya tugas Pegawai Pencatat Nikah (PPN) tidak hanya menyangkut pencatatan perkawinan dan perceraian, tetapi apabila dilihat dengan seksama ketentuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946, tugas PPN meliputi pula:
49
1) mengawasi nikah (perkawinan) yang dilakukan menurut agama/hukum Islam; 2) mencatat nikah tersebut dan menerima pemberitahuan, selanjutnya mencatat segala talak dan rujuk yang diberitahukan kepadanya. Yang dimaksud tugas mengawasi menurut penjelasan umum dari undang-undang tersebut adalah: (1) Pegawai Pencatat Nikah harus hadir pada saat akad nikah dilangsungkan dan kemudian mencatat perkawinan itu; dan (2) Memeriksa ketika pihakpihak yang bersangkutan (calon suami, wali dan calon isteri) memberitahukan kehendaknya untuk menikah, apakah terdapat halangan untuk menikah dan apakah syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum agama Islam tidak dilanggar (Moch. Asnawi, 1975:105). Akan tetapi dalam pelaksanaannya, menurut Abu Amar (2004:90), ternyata kadangkadang telah terjadi penyimpangan berupa tidak tercatatnya perkawinan sebagian anggota masyarakat di kalangan umat Islam yang menjadi tugas mereka, baik karena kelalaian mereka atau karena adanya unsur kesengajaan. Unsur kelalaian terjadi karena banyaknya “nikah bedolan”, yakni pernikahan yang dilakukan dengan cara menghadirkan PPN atau Wakil PPN di rumah calon mempelai perempuan untuk melangsungkan akad nikah dan pencatatannya. Unsur kesengajaan dilakukan dengan motif menghindari kewajiban menyetor biaya pencatatan ke Kas Negara sesuai ketentuan yang berlaku. Setelah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diundangkan, ketentuan tentang pencatatan perkawinan ini sebagai salah satu persoalan yang dirasakan sangat penting, sehingga ditegaskan pada pasal 2 ayat (2) yang berbunyi: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, yang merupakan satu kesatuan dengan pasal 2 ayat (1) yang berbunyi: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Ketentuan tersebut kemudian dijabarkan secara rinci pada Bab II
50
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun tujuan pencatatan perkawinan adalah memberikan kepastian hukum sebesar-besarnya tentang peristiwa atau kejadian penting perkawinan sebagaimana peristiwa lainnya, misalnya peristiwa kelahiran, pengakuan/pengesahan anak, dan kematian, sebagai bukti otentik mengenai peristiwa itu yang dapat digunakan baik bagi yang berkepentingan maupun pihak ketiga setiap saat. E. Perlindungan Hukum terhadap Hak Asasi Anak Masa depan bangsa terletak pada keadaan dan kesejahteraan anak masa kini, begitulah ungkapan yang sering kita dengar bila sedang membicarakan persoalan anak. Sayangnya, ungkapan itu tidak berbanding lurus dengan realitas yang ada. Dalam realitas masih banyak anak yang tidak beruntung dalam pemenuhan hak-haknya. Hak-hak tersebut secara mendasar meliputi antara lain hak atas kelangsungan hidup, tumbuh berkembang, perlindungan hukum dan partisipasi, termasuk hak atas pendidikan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagaimana dikutip oleh I Gede Arya B. Wiranata (dalam Muladi, 2005:227-228) disebutkan bahwa “hak” adalah: (1) yang benar; (2) milik, kepunyaan; (3) kewenangan; (4) kekuasaan untuk berbuat sesuatu; (5) kekuasaan yang benar atas suatu atau untuk menuntut sesuatu; (6) derajat atau martabat; (7) (hukum); wewenang menurut hukum. Pengertian yang beragam dan luas tersebut pada dasarnya mengandung prinsip bahwa hak adalah sesuatu yang oleh sebab itu seseorang (pemegang) memiliki kebebasan untuk menuntut sesuatu yang dianggap tidak dipenuhi atau diingkari. Seseorang yang memegang hak atas sesuatu, maka orang tersebut dapat memperlakukan sesuatu tersebut sebagaimana dikehendaki atau sebagaimana keabsahan dimilikinya.
51
Sedang, hak asasi adalah kebutuhan yang bersifat mendasar dari umat manusia. Hak asasi merupakan hak natural (alami/kodrati) yang merupakan pemberian langsung dari Tuhan. Oleh karena itu, bila seorang manusia ingin memperoleh kehidupannya secara bermartabat, maka harus memposisikan hak asasi dengan melihatnya dari sudut alamiah atau kodratnya secara hakiki. Hak asasi manusia bukanlah sesuatu yang baru. Akar sejarahnya telah berkembang ketika orang-orang Yunani dan Romawi Kuno telah mulai mengakui eksistensi hukum kodrat atau hukum alam. Salah satu muatan hukum alam (natural law) adalah adanya hak-hak pemberian dari alam (natural right), karena dalam hukum alam ada sistem keadilan yang berlaku universal. Adanya penekanan hak pada hukum alam memberi indikasi dan bukti bahwa hukum alam memihak kepada kemanusiaan, dalam bentuk hak asasi sejak kelahirannya, hak hidup merupakan hak asasi manusia (HAM) pertama. Oleh karena itulah, penyebutan istilah “hak asasi manusia” semula adalah “hak-hak alamiah” (natural rights), kemudian diganti istilah yang lebih populer disebut “human rights”. Istilah natural rights berkembang menjadi human rights pada abad XVIII yang dipelopori oleh para pelopor teori hukum alam, antara lain Thomas Hobbes, John Locke, Montesquieu, dan J.J. Rousseau, yang mengakui hak-hak yang dimiliki oleh manusia. Walaupun di dalam dasar pemikiran dan tataran aplikasinya, antara satu pemikir dengan pemikir lainnya terdapat perbedaan yang cukup tajam. Dalam perkembangannya lebih jauh, bahkan hingga dewasa ini, hak asasi manusia yang dikenal sebagai fundamental rights meliputi moral rights dan legal rights (Masyhur Effendi, 2005:8-9). Selama ini, hak asasi manusia sering juga disebut hak kodrat, hak dasar manusia, hak mutlak atau dalam bahasa Inggris disebut natural rights, human rights, atau fundamental rights, sedang dalam bahasa Belanda dikenal dengan sebutan grond rechten, mensen rechten atau rechten van mens. Istilah-istilah tersebut menunjukkan
52
bahwa titik berat hak asasi manusia adalah pengakuan adanya hak manusia itu sendiri. Dalam diri hak mengandung makna wewenang atau tuntutan. Dengan demikian, ketika hak-hak kemanusiaan diinjak-injak, dikesampingkan, disepelekan, dilecehkan, dilangar, sampai dihapus atau dibuang, secara hukum akan timbul wewenang (hak) untuk menuntut dipulihkannya hak-hak kemanusiaan tersebut (Masyhur Effendi, 2005:9). Silang pengertian dan pemaknaan ini baru mendapatkan penegasan ketika Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menetapkan Universal Declaration of Human Rights pada 10 Desember 1948. Deklarasi ini kemudian diikuti oleh lahirnya konvensi dan protokol sebagai berikut: a.
The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights;
b.
The International Covenant on Civil and Political Rights; dan
c.
Optional Protocol for the Covenant on Civil and Political Rights. Peristiwa ini dijadikan titik tolak sebagai Hari Hak Asasi Manusia. Secara aklamasi
deklarasi tersebut kemudian diterima secara baik oleh Sidang Umum PBB pada tanggal 16 Desember 1966 dengan memberikan kesempatan kepada negara-negara anggota PBB untuk meratifikasinya. Majelis Umum PBB merekomendasikan agar semua negara anggota dan semua rakyat untuk menggalakkan dan menjamin pengakuan yang efektif dan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan yang ditentukan di dalam deklarasi ini. Dalam 30 pasal yang dimuat di dalamnya, terdapat pengakuan hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan pribadi hingga hak bebas dari perbudakan, menikah, beragama, hak perlindungan bagi perempuan, lingkungan hidup dan lain-lain. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bahwa dengan lahirnya deklarasi ini memposisikan perlindungan hak yang maju lebih pesat dari pada rumusan John Locke ketika memperkenalkan hak kodrati manusia yang hanya meliputi hak hidup, hak kemerdekaan dan hak milik saja (Wiranata, dalam Muladi, 228-229).
53
Pada dasarnya ada dua hak dasar pada manusia, yaitu: pertama, hak-hak manusia (human rights) yang melekat pada manusia dan secara asasi ada sejak manusia dilahirkan. Ia berkaitan dengan eksistensi hidup manusia, bersifat tetap dan utama, tidak dapat dicabut, termasuk oleh negara atau pemerintah. Wujud hak ini di antaranya adalah berupa: kebebasan batin, kebebasan beragama, kebebasan hidup pribadi atau nama baik, melakukan pernikahan, kebebasan untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat, termasuk emansipasi wanita. Hak-hak yang sifatnya asasi ini biasanya diatur dalam konsitusi suatu negara. Kedua, hak-hak manusia yang diatur dalam undang-undang (legal rights), yaitu hak yang diberikan secara khusus kepada pribadi manusia berdasarkan ketentuan undang-undang. Oleh karena diberikan berdasarkan ketentuan undangundang, maka pengaturannya harus jelas tertuang dalam peraturan perundangundangan. Sifatnya, sewaktu-waktu dapat dicabut atau diubah apabila memang dikehendaki oleh pembuat undang-undang. Hak-hak khusus yang diberikan oleh undangundang di antaranya hak seseorang menjadi Pegawai Negeri Sipil, hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan umum, hak atas pensiun, jaminan hari tua, hak untuk memperoleh pendidikan dan pekerjaan yang layak, dan lain-lain. Hak-hak manusia disebut hak asasi, karena dianggap sebagai fundamen yang di atasnya seluruh organisasi hidup bersama harus dibangun dan merupakan asas-asas undang-undang. Makna hak asasi itu menjadi jelas apabila pengakuan akan hak-hak tersebut dipandang sebagai bagian humanisasi hidup yang mulai ada dan digalang sejak manusia menjadi sadar tentang tempat, kedudukan dan tugasnya di dunia ini. Di Indonesia, ketentuan mengenai hak asasi tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dan beberapa pasal dalam UUD 1945, khususnya pasal 27 sampai dengan pasal 34. Di samping itu, pengaturan mengenai masalah HAM di Indonesia juga terdapat pada peraturan perundang-undangan, antara lain Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
54
tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan khusus mengenai perlindungan hukum terhadap hak-hak anak diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Persoalannya adalah, siapa yang bertanggungjawab terhadap perlindungan hakhak asasi manusia (HAM) ini? Secara teori ada dua pendapat mengenai siapa yang bertanggungjawab atas masalah perlindungan hak asasi manusia. Pertama, adalah menjadi kewajiban pemerintah atau suatu negara hukum untuk mengatur pelaksanaan hak-hak asasi manusia, yang berarti pemerintah wajib mengatur mengenai pelaksanaan dan pembatasan-pembatasannya demi kepentingan umum (masyarakat), bangsa dan negara. Pandangan kedua, menyatakan bahwa pertanggungjawaban tidak harus berada pada negara, namun juga pada segenap individu warga negara. Jadi secara bersamasama
negara
(pemerintah)
dan
semua
warga
negara
mempunyai
kewajiban
(tanggungjawab) dalam upaya perlindungan hak asasi manusia. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor: a.
bahwa kepentingan HAM tidak hanya menyangkut kepentingan negara semata, tetapi juga menyangkut kepentingan warga negara;
b.
HAM yang seutuhnya itu bersumber pada pertimbangan normatif agar manusia diperlakukan sebagaimana martabat manusia yang sesungguhnya;
c.
Operasionalisasi kegiatan HAM memiliki tanggungjawab bersama antara manusia dalam struktur negara yang saling berinteraksi dan harus diwujudkannya (Muladi, 2005:230).
55
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Keabsahan Nikah Siri dalam Perspektif Hukum Islam Dalam nash al Qur’an maupun hadits tidak ada ketentuan yang secara jelas mengatur tentang pencatatan nikah (perkawinan). Hukum Islam memandang bahwa masalah perkawinan adalah suatu aqad (perjanjian), seperti halnya pada perjanjianperjanjian yang lain, misalnya perjanjian jual beli (tijarah), perjanjian bagi hasil (syirkah). Dalam hukum Islam umumnya tidak ada keharusan formal untuk mencatat perjanjian yang dibuat oleh para pihak, kecuali dalam perjanjian utang piutang. Begitu pula dalam membentuk perjanjian perkawinan (aqad nikah), tidak ada kewajiban bagi umat Islam yang melangsungkan perkawinan untuk mencatatkannya. Dengan perkataan lain, umat Islam memiliki kebebasan membuat perjanjian perkawinan baik secara tertulis (dicatatkan) maupun secara lisan atau tidak dicatatkan (nikah sirri), karena memang tidak ada nash (ketentuan) yang mewajibkan untuk itu sebagai syarat sahnya suatu perkawinan. Oleh karena itu, bisa difahami kalau dalam praktek pelangsungan aqad nikah, banyak masyarakat di kalangan umat Islam, baik pada zaman dulu yang hidup dalam pergaulan masyarakat yang masih sederhana bahkan di antara mereka masih banyak yang buta huruf maupun umat Islam yang hidup pada zaman sekarang (modern) dengan berbagai faktor penyebab, alasan dan motivasi, melakukan perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri). Umumnya, mereka berdalih bahwa menurut hukum Islam (syariat), nikah sirri itu sah hukumnya. Dalam kitab-kitab fiqh klasik (yang lazim disebut “kitab kuning”), para ulama fiqh (fuqaha) hampir dapat dikatakan tidak pernah menyinggung atau membahas tentang masalah pencatatan perkawinan (nikah). Pembahasan yang dilakukan umumnya berkisar
56
pada masalah ta’rif (pengertian) nikah, hukum nikah, syarat dan rukun nikah, hak dan kewajiban suami isteri dalam perkawinan, putusnya perkawinan, dan sebagainya. Hal ini, menurut Abu Amar (2004:61), dapat dimaklumi karena ruang lingkup pergaulan hidup kaum muslimin pada saat itu relatif masih terbatas, belum kompleks, karena itu belum dirasakan perlunya percatatan perkawinan seperti dalam kehidupan masyarakat modern sekarang ini. Di samping itu, adanya sikap kepatuhan dan ketaatan hukum di kalangan umat Islam menyebabkan pada masa lalu jarang terjadi adanya sengketa tentang perkawinan yang berkepanjangan. Untuk melakukan pembuktian terhadap adanya suatu perkawinan di hadapan pengadilan, keterangan para saksi dan sumpah penggugat dianggap telah memadahi karena sikap adil dan jujurnya para pihak maupun para saksi dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sementera itu, di kalangan masyarakat Islam di Indonesia keberadaan kitab-kitab fiqh klasik hingga kini masih tetap menjadi rujukan dan pedoman utama dalam menghukumi permasalahan-permasalahan yang timbul dan dihadapi dalam kehidupan beragama mereka, termasuk dalam masalah perkawinan. Oleh karena itulah, menurut Husein Muhammad (2002:73), boleh jadi sebagian masyarakat Islam di Indonesia memandang
bahwa
Undang-undang
Perkawinan
tidak
mewakili
hukum
Islam.
Sebaliknya, teks-teks fiqh yang terdapat dalam kitab kuning dipandang sebagai ketentuan hukum yang benar-benar Islami, yang karena itu harus diterapkan. Akan tetapi, sejalan dengan perkembangan zaman, luas dan kompleksnya pergaulan di antara umat Islam, di mana perkawinan tidak hanya terjadi di antara pasangan calon suami isteri dari kalangan kelompok masyarakat yang sempit melainkan telah menjangkau pada perkawinan antar ras, antar suku, antar bangsa, dan bahkan antar agama, maka pencatatan perkawinan, menurut Asjmuni A. Rahman, menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan (Abu Amar, 2004:62). Untuk menyikapi hal itu,
57
diperlukan suatu kearifan dalam mengkaji aspek hukum (Islam) tentang pencatatan perkawinan, karena pencatatan perkawinan terkait dengan tujuan pemerintah dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat yang berkepastian hukum. Di samping itu, menurut Muhammad Daud Ali (1991:192) dengan mengutip pendapat dari Abu Ishaq as-Syatibi dalam Kitab Al Muwaafaqaat, pencatatan perkawinan juga sesuai dengan lima tujuan syariat (hukum Islam) atau al Maqashidu al Khamsah, yaitu: (1) memelihara kemaslahatan agama; (2) memelihara jiwa; (3) memelihara akal; (4) memelihara keturunan, dan (5) memelihara harta. Dalam kajian Ushul Fiqh, tujuan umum syari’ dalam pembentukan hukum ialah merealisasikan kemaslahatan manusia dan kehidupan, mengambil manfaat bagi mereka dan menghindari terjadinya bahaya bagi mereka. Kemaslahatan manusia dalam kehidupan sehari-hari secara garis besar terdiri dari beberapa hal yang bersifat dharuriyyah (keputuhan primer), haajiyyah (kebutuhan sekunder), dan tahsiiniyyah (kebutuhan pelengkap/tersier). Apabila kebutuhan umat manusia yang bersifat dharuriyyah, haajiyyah dan tahsiiniyyah telah terpenuhi, maka menurut Abdul Wahab Khallaf (1996:331), berarti telah nyata kemaslahatan mereka. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Musthafa Ahmad al Zarqa (2000:37-39) memberikan penjelasan sebagai berikut: a.
Al Dharuuriyyat (kebutuhan primer), yaitu perkara (aturan atau perbuatan) yang dapat menjaga kelima tujuan pokok hukum Islam (al Maqashidu al Khamsah) tersebut di atas. Menurut hukum Islam, kelima tujuan pokok tersebut harus ada
58
supaya kehidupan menjadi layak. Apabila perkara tersebut tidak ada, maka kehidupan manusia terganggu. b.
Al Haajiyyat (kebutuhan sekunder), yaitu perbuatan-perbuatan yang ketiadaannya tidak mengganggu kelima tujuan pokok tersebut di atas, akan tetapi kebutuhan hidup memerlukan
atau
menuntutnya
dengan
tujuan
untuk
mencari
kelapangan
(kemudahan) dan meniadakan kesulitan (kesempitan). c.
Al Tahsiiniyyat (kebutuhan tersier), yaitu sesuatu yang tidak mendesak bagi kehidupan jika ditinggalkan, tetapi memeliharanya termasuk akhlak mulia atau merupakan kebiasaan baik. Atas dasar itulah, Ibrahim Hoesen, mantan Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia menyatakan bahwa pencatatan perkawinan sebagai suatu kewajiban dapat diterima secara terbuka oleh masyarakat Islam, khususnya di Indonesia. Oleh karena, dalam Al Qur’an, Hadits maupun kitab-kitab Fiqh tidak ada ketentuan dan tidak membahas masalah pencatatan perkawinan, maka hal itu merupakan persoalan Ijtihadi. Meskipun demikian, jelas hal itu membawa kemaslahatan bagi umat Islam, karena ia sangat diperlukan (Ibrahim Hoesen, 1993/1994:58). Sehubungan dengan persoalan “nikah siiri” menurut pandangan hukum Islam, dalam analisis ini bisa dikaji berdasarkan metode penafsiran a contrario (secara berkebalikan) tentang hukum pencatatan perkawinan. Abu Amar (2004:65), seorang Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi Agama Jawa Timur, berpendapat bahwa masalah pencatatan perkawinan sudah seharusnya dilakukan kajian hukum sejauh manakah urgensinya terutam dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada suami isteri maupun pihak-pihak yang terkait langsung dengan perkawinan itu, khususnya kepada anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Perkawinan dalam kehidupan manusia merupakan salah satu kebutuhan pokok
59
(al dharuuriyyah), karena dengan perkawinan akan terpenuhi kebutuhan pokok biologis, melalui proses reproduksi dan memelihara keturunan. Di samping itu, dengan perkawinan, kebutuhan pokok yang sifatnya psikologis, yakni berupa ketengan, kebahagiaan dan kehormatan hidup dapat tercapai. Karena itulah, hukum Islam mewajibkan kepada seseorang yang mampu dan berkeinginan kuat (berhasrat) untuk kawin, maka segeralah melangsungkan perkawinan, supaya terhindar dari perbuatan maksiat (dalam bentuk zina), terjaga kehormatan dirinya dan memiliki keturunan yang jelas. Dengan demikian, perkawinan menurut hukum Islam merupakan ibadah, karena menjalankan perintah (sunnah) rasul, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Meskipun dalam kitab-kitab klasik, pembahasan tentang munakahat (pernikahan) telah banyak dikaji oleh para fuqaha’ secara luas dan mendalam, namun tak satupun di dalamnya ada yang membahas hukum mengenai pencatatan nikah. Karena masalah pencatatan perkawinan memang merupakan masalah hukum yang tergolong baru (kontemporer) dalam kehidupan umat Islam. Dalam kajian hukum Islam, para Mujtahid atau Imam Madzhab dengan menggunakan metode istinbath (pengambilan hukum) telah menetapkan berbagai hukum tentang perkawinan yang diikuti dengan taat oleh para pengikutnya di kalangan umat Islam, namun demikian tidak pernah ditemukan dalam kitab-kitab klasik itu yang membahas masalah pencatatan perkawinan. Mungkin saat itu, belum ada kebutuhan hukum mengenai pentingnya pencatatan perkawinan di kalangan umat Islam sehingga tidak terlintas dalam pemikiran para Imam Madzhab untuk membahas masalah tersebut. Namun dalam kehidupan modern seperti sekarang, dimana ruang lingkup pergaulan umat Islam semakin luas dan kompleks, menembus batas-batas regional, yang dihadapkan pada berbagai macam kepentingan dan permasalahan dalam
60
kehidupan dan pergaulan masyarakat, maka keberadaan sebuah catatan atau akta yang mencatat peristiwa-peristiwa penting tertentu yang berkaitan dengan identitas dan status hukum seseorang sebagai warga negara mulai dari catatan tentang kelahiran, perkawinan dan kematian, menjadi sesuatu yang sangat penting (urgen) dilakukan dalam pergaulan hidup mereka di masyarakat. Pentingnya catatan tentang peristiwa perkawinan dalam bentuk akta nikah menjadi kebutuhan yang tak terelakkan (inevitable) dalam kehidupan masyarakat modern. Akta nikah, di samping merupakan bukti hukum yang bersifat otentik dalam menangani masalah-masalah perkawinan di Pengadilan (Agama) juga merupakan salah satu persyaratan formal administratif yang diperlukan bagi suami isteri maupun anakanak mereka dalam mengurus dan menyelesaikan masalah-masalah tertentu, khususnya yang terkait dengan status hukum anak dan hukum waris. Keberadaan akta nikah menjadi semakin penting dalam proses peradilan, khususnya dalam masalah pembuktian, karena peran saksi dan sumpah sebagai alat-alat bukti terkait dengan status hukum perkawinan seseorang, saat ini tidak terlalu dapat diharapkan. Hal ini disebabkan dalam masyarakat modern, semakin menurunnya tingkat kejujuran para saksi dalam memberikan kesaksiannya dan kejujuran dari para pihak yang bersengketa dalam mengucapkan sumpahnya di Pengadilan. Oleh karena itu, tidaklah terlalu salah, dengan menggunakan metode maslahah mursalah ditetapkan hukum-hukum baru bagi kepentingan umum, termasuk masalah pencatatan perkawinan. Al Ghazali, dalam kitabnya “Al Musthafa” yang dikutip oleh Musthafa Ahmad Zarqa (2000:73-74), membuat atau menentukan tiga syarat untuk maslahat agar dapat dijadikan sebagai hujjah mu’tabarah (yang diakui), yaitu: a.
Maslahat tersebut harus dharuuriyyat (menyangkut kebutuhan primer);
61
b.
Maslahat tersebut harus qath’i (pasti), maksudnya pasti dapat menyampaikan kepada tujuan syara’ yang dharuuriyyat (kebutuhan primer);
c.
Maslahat tersebut harus bersifat kulliyat (umum), maksudnya dapat menolak kemadharatan kaum muslimin secara umum bukan kepada perseorangan.
Maslahat yang memenuhi ketiga syarat tersebut di atas dapat dijadikan hujjah (dasar hukum) yang cukup untuk menetapkan hukum, meskipun tidak didukung oleh dalil syara’ tertentu. Adanya maslahat sesuai dengan maqaashid as syari’ (tujuan-tujuan syari’) menurut Madzhab Maliky berarti sama dengan merealisasikan maqaashid as syari’ itu sendiri. Sebaliknya, mengesampingkan maslahat berarti mengesampingkan maqaashid as syari’. Padahal mengesampingkan maqaashid as syari’ adalah batal. Oleh karena itu, adalah wajib menggunakan dalil maslahat atas dasar bahwa ia adalah sumber hukum pokok (ashl) yang berdiri sendiri. Sumber hukum ini tidak keluar dari ushul (sumber-sumber pokok), namun terjadi kesesuaian (sinkronisasi) antara maslahat dan maqqashid as syari’ (Muhammad Abu Zahrah, 2002:430:432). Berdasarkan hal tersebut di atas, hakikat maslahah mursalah itu adalah pengambilan hukum yang sama sekali tidak ada dalil dalam nash (Al Qur’an dan Hadits), baik yang menolak maupun yang mengakuinya, tetapi terdapat kemaslahatan yang dihajatkan (dibutuhkan) oleh manusia yang keberadaannya sejalan dengan tujuan syara’. Masalah pencatatan perkawinan secara hukum juga dapat dikaji berdasarkan dalil dan hakikat maslahah mursalah. Jika dihubungkan dengan tiga syarat maslahat menurut Al Ghazali sebagaimana dikemukakan di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa tujuan perkawinan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan pokok (dharuriyyat) yakni melanjutkan keturunan, ketenangan dan kebahagiaan hidup, menjaga kehormatan dan ibadah adalah sejalan
62
dengan maqaashid al khamsah atau maqaashid as syari’, karena dengan perkawinan maka tujuan memelihara keturunan (hifdh al nashl min janib al-wujud) yang merupakan salah satu kebutuhan dharuriyyat (pokok) dapat tercapai. Dengan melihat salah satu tujuan dan urgensi pencatatan perkawinan, maka tidak akan sempurna sebuah perkawinan kalau tidak dicatatkan (nikah sirri). Sifat dharuriyyatnya dapat dilihat dari fungsi akta nikah sebagai alat bukti yang kuat dan resmi dari pemerintah (otentik) yang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum yang pasti bagi para pihak yang telah melangsungkan perkawinan termasuk bagi anak-anak atau keturunan mereka. Dengan demikian, dengan mengacu pada kaidah Ushul Fiqh yang artinya: “Sesuatu yang tidak sempurna sebuah kewajiban, kecuali dengan adanya sesuatu itu, maka (sesuatu itu) hukumnya menjadi wajib pula” (Asjmuni A. Rahman, 1976:114). Hal ini berarti bahwa hukum pencatatan perkawinan pada masa sekarang ini berdasarkan maslahah mursalah menjadi wajib (keharusan) yang tidak dapat dielakkan. Atau dengan kata lain, berdasarkan penafsiran a contrario, hukum “nikah sirri” pada masa sekarang ini berdasarkan pendapat tersebut di atas adalah “tidak sempurna”. Karena, dengan adanya pencatatan perkawinan akan menunjang dan menyempurnakan tujuan syara’ yang bersifat dhoruriyyat. Pasangan suami isteri yang perkawinannya tidak dicatat (nikah sirri) tidak memiliki kepastian hukum, dan status perkawinannya juga tidak mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah atau negara. Padahal hal itu merupakan sesuatu yang amat diperlukan bagi mereka dan keturunannya sebagai warga negara. Di samping itu, hukum perkawinan yang merupakan bagian dari hukum muamalah merupakan perjanjian atau aqad yang sangat kuat (miitsaaqon gholidan) untuk melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya yang pelaksanaannya merupakan ibadah. Sebagai suatu perjanjian yang kuat, semestinya masalah pencatatan pencatatan
63
perkawinan merupakan suatu kebutuhan yang mutlak (amat diperlukan). Berdasarkan qiyas, dalam perjanjian utang piutang yang juga merupakan cabang dari hukum muamalah, Allah subhaanahu wa ta’ala, telah memberikan tuntutan untuk mencatat (menuliskan) perbuatan hukum tersebut, sebagaimana tercantum dalam Al Qur’an surat al Baqarah ayat 282, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar”. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, untuk bermuamalah dalam bentuk utang piutang saja, Allah memerintahkan adanya dua orang saksi yang adil dan dituliskan (dicatatkan) oleh seorang penulis dengan cara yang benar, apalagi untuk membuat perjanjian perkawinan yang merupakan miitsaaqon gholiidon, sudah barang tentu pencatatan itu lebih diperlukan sebagai bukti tertulis, meskipun Al Qur’an tidak secara tegas mengatur hal itu. Atas dasar inilah, Abu Amar (2004:75) berpendapat bahwa: “sudah seharusnya pencatatan perkawinan ditetapkan sebagai salah satu syarat sahnya perkawinan”. Kalau kita sejalan dengan pendapat ini, maka hukum “nikah sirri” adalah tidak sah (batal), karena tidak memenuhi salah syarat sahnya perkawinan, yakni pencatatan perkawinan. Menurut hemat saya, perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) tetap sah hukumnya sepanjang dilakukan menurut hukum agamanya (ex pasal 2 ayat (1), tetapi “tidak sempurna”, karena itu tidak ada jaminan perlindungan hukum yang diberikan oleh negara kepada para pihak yang melangsungkan perkawinan itu, termasuk dalam hubungan antara bapak yang melahirkan dengan anak-anak yang dilahirkannya. Anak yang lahir dari nikah sirri menurut hukum perdata disebut “anak luar kawin” (onwettig kind) dan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu (dan keluarganya) yang
64
melahirkannya. Ia tidak mempunyai hubungan hukum keperdataan dengan bapak biologisnya, termasuk dalam hubungan waris. Instrumen hukum yang mengharuskan untuk mencatatkan perkawinannya sebagai salah satu syarat sahnya perkawinan bagi umat Islam tentunya harus dirumuskan dalam bentuk peraturan perundang-undangan di bidang perkawinan atau berdasarkan putusanputusan hakim yang secara “ajeg” menghukumi (menetapkan) pencatatan nikah sebagai suatu kewajiban hukum yang harus dipenuhi dalam perkawinan berdasarkan ijtihad maslahah mursalah untuk melindungi kepentingan umat Islam secara umum (kulliyat) selaku warga negara, bukan hanya kepentingan orang tertentu yang bersengketa di pengadilan itu saja. Persoalannya adalah bagaimana Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan hukum pencatatan perkawinan? Atau dengan perkataan lain, bagaimana keabsahan perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) menurut Undangundang Perkawinan? Dalam sub bab berikut ini dibahas mengenai persoalan tersebut. B. Keabsahan Nikah Sirri Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Perkawinan yang tidak dicatatkan sebenarnya merupakan hal yang biasa terjadi dalam masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu. Problematik tentang perkawinan yang tidak dicatatkan (“nikah sirri”) baru terjadi sejak pemerintah mewajibkan setiap warga negara yang melangsungkan perkawinan agar dicatatkan dalam suatu akta yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah. Peraturan perundang-undangan yang mengaitkan keabsahan perkawinan dengan keharusan mencatatkan perkawinan tersebut memancing kontroversi pendapat di kalangan para ahli hukum, termasuk pakar hukum Islam. Kontroversi pendapat mengenai lembaga pencatatan nikah ini terjadi bukan hanya ketika Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dilaksanakan, melainkan sudah terjadi pada saat
65
Rancangan Undang-undang Perkawinan tersebut untuk pertama kalinya diajukan oleh Pemerintah kepada DPR pada tanggal 31 Juli 1973. Salah satu di antara pasal-pasal dari Rancangan Undang-undang Perkawinan tersebut yang menjadi bahan perdebatan dan kontroversi pendapat dari berbagai kalangan adalah pasal 2 ayat (1) tentang sahnya perkawinan, dan ayat (2) tentang pencatatan perkawinan. Rumusan lengkap pasal 2 Rancangan Undang-undang Perkawinan tersebut sebagaimana dikutip oleh Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan (1974:10) adalah sebagai berikut: Ayat (1): Perkawinan adalah sah apabila dilakukan di hadapan pegawai pencatat perkawinan, dicatatkan dalam daftar pencatat perkawinan oleh pegawai tersebut, dan dilangsungkan menurut ketentuan undang-undang ini dan/atau ketentuan hukum perkawinan pihak-pihak yang melakukan perkawinan, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini. Ayat (2): Pencatatan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan oleh pejabat negara yang diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Ketentuan tentang sahnya perkawinan sesuai pasal dalam Rancangan Undangundang (RUU) Perkawinan tersebut dapat diterima oleh kelompok yang menyatakan puas dengan RUU ini, namun di kalangan umat Islam memberikan reaksi keras dan menyatakan keberatan dengan rumusan pasal tersebut dengan memberikan kritik yang sangat tajam, antara lain H.M. Rasjidi, mantan Menteri Agama Republik Indonesia yang pertama, dengan menyatakan: “. . . bahwa RUU tentang Perkawinan ini adalah Kristenisasi terselubung. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat toleran, tidak pernah terjadi huru hara keributan soal agama kecuali setelah tahun 1965, ketika Umat
66
Islam mengganyang pihak Komunis, masyarakat Islam diserbu dari belakang oleh usahausaha Kristenisasi” (Wila Chandrawila Supriadi, 2002:200). Kritikan yang agak lunak menganggap bahwa dengan undang-undang tersebut akan mendorong percepatan proses sekulerisasi di Indonesia. Kritikan lain dapat disimak dari pernyataan Juru Bicara Fraksi Persatuan Pembangunan di DPR yang disampaikan oleh Teuku H.M. Saleh dalam Pidato Pemandangan Umum di depan sidang DPR tanggal 17 dan 18 September 1973 yang antara lain sebagai berikut: “Dari ketentuan pasal 2 tersebut dapat ditarik tiga pengertian: a. Sahnya perkawinan apabila dicatat, sedangkan pelaksanaan perkawinan menurut agamanya adalah sekedar pelengkap. b. Dimungkinkan bagi setiap calon mempelai untuk tidak melakukan perkawinan menurut ketentuan agamanya. c. Kata-kata sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini, mengurangi berlakunya perkawinan menurut hukum agama secara penuh”. Teuku H.M. Saleh, lebih lanjut mengatakan bahwa sahnya perkawinan menurut agama Islam apabila dilaksanakan sepenuhnya menurut ketentuan hukum Islam itu sendiri. Sedangkan pencatatan adalah pelengkap untuk kepentingan administrasi. Ketentuan pasal 2 itu, di samping tidak sesuai dengan ketentuan hukum agama Islam, mengandung pertanyaan apakah pemerintah tidak menganggap pula menyimpang dari pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang menjamin kemerdakaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Apakah dengan pasal 2 ini tidak akan dapat diartikan bahwa negara juga menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk tidak memeluk agamanya dan tidak beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya (Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan, 1974:101-102). Setelah RUU tentang Perkawinan tersebut secara kompromi disetujui dan kemudian disahkan menjadi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, rumusan pasal 2 ayat (1) dan (2) masih menimbulkan kontroversi dan multi-interpretasi di
67
kalangan para ahli hukum. Kontroversi dan perbedaan pendapat tentang rumusan pasal tersebut pada dasarnya terbagi ke dalam dua pendapat. Pertama, pendapat yang menganggap pencatatan perkawinan termasuk salah satu syarat sahnya perkawinan. Berdasarkan perdapat ini, “nikah sirri” (perkawinan yang tidak dicatatkan) adalah tidak sah, karena tidak memenuhi salah satu syarat sahnya perkawinan menurut undangundang. Sedangkan, pendapat kedua menyatakan bahwa pencatatan perkawinan hanyalah pelengkap untuk kepentingan administrasi yang tidak termasuk syarat sahnya perkawinan. Dengan mengacu pada pendapat kedua ini, “nikah sirri” adalah sah hukumnya, hanya saja persyaratan administrasinya dalam bentuk pencatatan perkawinan sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang belum dilakukan. Pencatatan nikah ini sama sekali tak ada hubungannya dan tak mempengaruhi keabsahan perkawinan, meskipun dari segi pembuktian lemah dan dari segi kepastian hukumnya “nikah sirri” tidak dijamin oleh ketentuan undang-undang. Menurut Hartono Mardjono (1995:33-34), bila ditilik dari sudut sistematika susunan maupun bunyi kalimat-kalimatnya, maka ketentuan yang termaktub dalam ayat (2) sama sekali tidak berkaitan dengan masalah sah atau tidaknya suatu perkawinan, karena yang menyangkut hal sah atau tidaknya suatu perkawinan sudah dengan jelas dan tegas dinyatakan pada ayat (1). Dengan sistematika atau susunan demikian, maka ketentuan yang termaktub dalam ayat (2) hanyalah menyangkut masalah lain, yaitu berupa perintah, agar perkawinan yang dilakukan secara sah, dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Masalah pencatatan, menurut sistematika atau susunan dan bunyi kalimat pasal 2, tidak menjadi syarat bagi sahnya perkawinan. Berdasarkan pendapat tersebut di atas, “nikah sirri” termasuk perkawinan yang sah, apabila hal itu dilakukan menurut hukum agamanya.
68
Pendapat yang berbeda dikatakan oleh Subekti, mantan Ketua Mahkamah Agung dalam rangka memperingati satu tahun meninggalnya Prof. Dr. Mr. Hazairin pada tanggal 11 Desember 1976, yang menulis tentang beberapa hal yang tidak jelas dalam Undangundang Perkawinan, yang juga merujuk pada ketentuan pasal 2 ayat (1) dan (2) tersebut dikaitkan dengan pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Menurut Subekti, pasal 2 Undang-undang Perkawinan tersebut di atas, tidak jelas apakah pelangsungan menurut cara hukum agama itu sudah menelorkan suatu perkawinan yang sah ataukah perkawinan itu baru sah kalau sudah dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku. Kalau dilihat dari teks pasal 2 itu saja, timbul kesan bahwa pencatatan (menurut peraturan perundangan yang berlaku) itu hanya sekedar merupakan perbuatan administrasi saja, sedangkan perkawinannya sudah dilahirkan secara sah pada saat ia dilangsungkan menurut cara hukum agama yang dimaksudkan pada ayat (1). Namun kalau kita membaca pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam Bab III yang berjudul ‘Tata Cara Perkawinan’, akan kita lihat bahwa pasal itu, setelah dalam ayat (2) mengulangi apa yang sudah tertulis dalam ayat (1) dari pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 (“Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan
kepercayaannya”),
mengatakan
dalam
ayat
(3)-nya:
“Dengan
mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi”. Kesan kita menjadi lain, yaitu kalau di waktu kita hanya membaca pasal
2
Undang-undang
Perkawinan
dilangsungkannya perkawinan menurut
saja, hukum
kita
menduga
agama,
bahwa
dengan
sudah dilahirkan suatu
perkawinan yang sah (penacatatan hanya merupakan administrasi), tetapi setelah membaca pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tersebut, kita
69
memperoleh kesan bahwa babakan final dari pelangsungan perkawinan adalah terjadi di hadapan Pegawai Pencatat. Dari ketentuan terakhir dapat kita simpulkan bahwa Pegawai Pencatat itu memberikan keabsahan kepada perkawinan (Sajuti Thalib, 1981:25-26). Adanya perbedaan pendapat terkait dengan ketentuan tentang sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan tersebut di atas, sebagian masyarakat khususnya yang beragama Islam, berpandangan bahwa sahnya perkawinan itu tak ada hubungannya dengan pencatatan perkawinan, karena itu “nikah sirri” itu juga merupakan perkawinan yang sah sepanjang dilakukan menurut rukun dan syarat perkawinan menurut syariat hukum Islam. Tampaknya anggapan tersebut telah membudaya secara turun temurun di kalangan masyarakat Islam, khususnya di kalangan kaum “santri”, sejak zaman Hindia Belanda sampai berlakunya Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Meskipun pencatatan perkawinan itu baik bila dilihat dari manfaatnya untuk memberikan
kepastian
dan
perlindungan
hukum
terhadap
para
pihak
yang
melangsungkan perkawinan maupun pihak-pihak lain yang terkait dengan perkawinan itu, namun karena lembaga pencatatan itu pertama-tama dikenalkan oleh penjajah Belanda yang kafir (tidak beragama Islam) maka masyarakat Islam umumnya menolak pada saat itu.
Sikap penolakan itu muncul karena pemerintah kolonial Hindia Belanda
“memaksakan” bentuk perkawinan model Barat menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (yang semestinya hanya berlaku bagi golongan penduduk Eropa yang umumnya beragama Kristen) kepada penduduk pribumi yang umumnya beragama Islam dengan mencatatkan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil (Burgerlijk Stand), yang saat itu orang menyebutnya “kawin bercatat” (Amrullah Ahmad, 1996:42). Oleh karena itu, walaupun pencatatan perkawinan itu tujuannya baik, namun di kalangan sebagian umat Islam sampai sekarang masih ada yang menganggap tidak begitu penting, akibatnya
70
praktek “nikah sirri” masih merupakan fenomena umum dalam kehidupan sebagian umat Islam di Indonesia hingga sekarang. Persoalannya adalah mengapa sebagian masyarakat masih ada yang melakukan perkawinan tanpa dicatatkan atau melakukan praktek “nikah sirri”? Ada beberapa faktor yang menyebabkan sebagian masyarakat melakukan perkawinan di bawah tangan atau “nikah sirri”, menurut Masyfuk Zuhdi (1996:10) dan Wildan Suyuti Mustofa (1996:36) adalah sebagai berikut: 1) Untuk menjaga hubungan antara laki-laki dan perempuan agar terhindar dari hal-hal yang terlarang menurut agama, sebab sebenarnya mereka belum siap untuk hidup berumah tangga karena masih belajar atau belum bekerja; 2) Tidak ada izin dari orang tua atau wali nikah, padahal kedua calon mempelai sudah saling cinta dan menghendaki pernikahan; 3) Karena menemui kesulitan berupa izin dari isteri dalam hal mempelai laki-laki nikah lebih dari seorang perempuan (poligami) atau menghindari izin dari pejabat dalam hal mempelai laki-laki adalah seorang Pegawai Negeri Sipil atau anggota TNI/Polri. Berdasakan uraian di atas, masalah keabsahan perkawinan dikaitkan dengan pencatatan perkawinan merupakan salah satu problematik hukum perkawinan di Indonesia yang belum bisa diselesaikan hingga sekarang, karena terkait dengan perbedaan pendapat yang sama-sama didukung oleh argumentasi yang kuat menurut versinya masing-masing. Oleh karena itu, menurut hemat saya masalah pencatatan nikah janganlah semata-mata dikaitkan dengan persoalan keabsahan perkawinan, tetapi perlu pula dikaitkan dengan urgensi dan manfaat pencatatan nikah itu sendiri. Dalam arti, meskipun “nikah sirri” menurut sebagian umat Islam dipandang sah apabila dilakukan menurut rukun dan syaratnya nikah menurut hukum Islam, namun akibat dari nikah sirri itu, perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang lemah sulit untuk dijamin. Di samping itu,
71
bukankah tidak ada ketentuan dalam hukum Islam yang melarang adanya pencatatan perkawinan, apalagi tujuannya memang untuk melindungi pihak-pihak yang lemah (terutama isteri dan anak-anak yang dilahirkan) serta demi ketertiban umum dan kemaslahatan umat? Dalam urusan utang piutang saja sebagaimana telah diuraikan di atas, di dalam Al Qur’an Surat al Baqarah ayat 282, Allah memerintahkan (mewajibkan) untuk mencatat, apalagi dalam urusan perkawinan yang merupakan perjanjian yang kokoh (miitsaaqon gholiidlan), yang membawa konsekuensi hukum tidak hanya berupa hak dan kewajiban kedua belah pihak (antara suami dan isteri) yang terikat dalam akad nikah itu, tetapi juga membawa akibat hukum yang lebih luas dari pada itu, karena menyangkut pula tanggung jawab orang tua kepada anak-anak yang dilahirkan, hubungan perwalian dan lain-lain, termasuk dalam hubungannya dengan masalah waris. Pembahasan mengenai akibat hukum perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri), dalam dalam sub bab berikut ini dibahas mengenai hal itu. C. Perlindungan Hukum terhadap Anak Luar Kawin (Nikah Sirri) Perkawinan yang dicatatkan menurut ketentuan pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membawa akibat hukum dalam bentuk jaminan perlindungan hukum dari pemerintah (negara) secara berkepastian mengenai hubungan hukum berupa hak dan kewajiban antara suami dan isteri, termasuk hubungan hukum yang timbul sebagai akibat dari perkawinan tersebut antara orang tua dengan anak-anak yang dilahirkannya. Jaminan perlindungan hukum juga diberikan oleh undangundang dari kemungkinan gangguan dari pihak ketiga yang mempermasalahkan perkawinan yang sudah dicatatkan tersebut. Sebaliknya, jika perkawinan itu hanya dilakukan menurut syarat rukun hukum agama akan tetapi tidak dicatatkan (nikah sirri) maka dapat menimbulkan akibat-akibat hukum berikut ini:
72
1.
Perkawinan antara pasangan suami dan isteri yang tidak dicatat tidak mendapatkan perlindungan hukum. Jika terjadi sengketa antara suami isteri, misalnya salah satu pihak mengingkari perkawinan tersebut, sulit dilakukan pembuktian secara otentik adanya perkawinan yang sah di antara mereka.
2. Adanya perkawinan yang sulit dibuktikan, akan menimbulkan ketidakjelasan hubungan nasab anak dilahirkan dengan ayahnya, karena yang bersangkutan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. Akibatnya, timbul kesulitan dalam menentukan mahram maupun wali nikah. 2.
Karena tidak ada alat bukti perkawinan berupa akta nikah, jika terjadi sengketa pihak isteri sulit untuk menuntut perceraian, nafkah, mut’ah maupun pembagian harta bersama (gono gini).
3.
Tidak adanya alat bukti perkawinan seseorang jika terjadi sengketa akan menyulitkan para ahli waris yang lahir dari perkawinan itu untuk mengajukan gugatan atas harta waris atau peninggalan orang tersebut di hadapan sidang pengadilan.
4.
Tidak adanya alat bukti berupa akta nikah akan menyulitkan anak yang lahir dari perkawinan tersebut dalam mengurus akta kelahiran pada Kantor Catatan Sipil. Secara hukum, menurut 43 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, anak yang lahir dari sebuah perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) hanya mempunyai hubungan hukum keperdataan dengan ibu dan keluarga ibu yang melahirkannya. Anak yang lahir sebagai akibat dari perkawinan yang tidak dicatatkan, dalam konsep hukum perdata Barat dikategorikan sebagai “anak luar kawin” (onwettig kind). Dalam konsep hukum Islam tidak dikenal istilah “anak luar kawin”, karena dalam pandangan hukum Islam tidak ada keharusan (ketentuan yang mewajibkan) untuk melakukan pencatatan perkawinan. Menurut hukum Islam, perkawinan (akad nikah) harus dilakukan menurut syarat-syarat dan rukun perkawinan sesuai dengan syariat
73
(hukum Islam). Dengan demikian, hukum Islam tidak membedakan kedudukan hukum anak yang dilahirkan dari nikah sirri dan anak yang dilahirkan sebagai akibat dari perkawinan yang dicatatkan menurut ketentuan undang-undang. Pandangan hukum Islam tersebut sejalan dengan konsep hak asasi anak yang sama sekali tidak membedakan antara “anak sah”, yaitu anak yang lahir dari perkawinan yang sah menurut undang-undang dan “anak tidak sah”, yaitu anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah menurut undang-undang. Persoalannya adalah bagaimana perlindungan hukum yang diberikan oleh ketentuan undang-undang terhadap “anak yang tidak sah” menurut undang-undang, yang lazim disebut “anak luar kawin”? Dalam uraian di atas telah disebutkan bahwa dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) tidak ada diskriminasi terkait dengan status (kedudukan) hukum anak dengan melihat keabsahan dari perkawinan orang tua yang melahirkannya. Dengan perkataan lain, semua anak di depan hukum sama, tidak ada perbedaan sedikitpun mengenai kedudukan hukum anak ditinjau dari sudut pandang HAM. Meskipun demikian, perlindungan hukum yang diberikan kepada anak yang lahir dari sebuah perkawinan yang sah dengan yang tidak sah menurut undang-undang memiliki implikasi yang berbeda, khususnya mengenai tanggungjawab orang tua terhadap anaknya. Sebab, secara hukum, menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan hanya memiliki hubungan hukum keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya saja, ia tidak memiliki hubungan hukum keperdataan dengan bapak biologis maupun keluarga dari bapak biologisnya itu. Dengan demikian, anak luar kawin secara hukum tidak memiliki orang tua (bapak dan ibu) sebagai satu kesatuan yang bertanggungjawab kepadanya. Oleh karena itu, perlindungan hukum yang diberikan kepada anak luar kawin juga tidak sama dengan anak yang lahir dari perkawinan yang sah menurut undang-undang, walaupun dalam perspektif HAM hal itu tidak dibedakan.
74
Menurut Deklarasi PBB tahun 1986, Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan tujuan (end) sekaligus sarana (means) pembangunan. Turut sertanya masyarakat dalam pembangunan bukan sekedar aspirasi, melainkan kunci keseluruhan hak asasi atas pembangunan dan menjadi tugas badan-badan pembangunan internasional maupun nasional untuk menempatkan hak asasi manusia sebagai salah satu fokus utama pembangunan. Namun demikian, fenomena hak asasi harus dicermati secara arif (bijaksana), sebab dalam masyarakat individualisme ada kecenderungan menuntut pelaksanaan hak asasi manusia secara mutlak, sebab penuntutan pelaksanaan hak secara mutlak berarti melanggar hak asasi yang sama yang dimiliki oleh orang lain (Wiranata, dalam Muladi, 2005:231). Arah kebijakan pembangunan yang diamanatkan oleh GBHN 1999-2004, khususnya agenda bidang hak asasi manusia, meliputi: a.
Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum, serta mengahrgai hak asasi manusia.
b.
Melanjutkan ratifikasi konvensi internasional, terutama yang berkaitan dengfan hak asasi manusia sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan bangsa dalam bentuk undang-undang.
c.
Meningkatkan pemahaman dan penyadaran, serta meningkatkan perlindungan, penghormatan, dan penegakan hak asasi manusia dalam seluruh aspek kehidupan.
d.
Menyelesaikan berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang belum ditangani secara tuntas. Telah menjadi kesepakatan berbagai bangsa, persoalan anak ditata dalam suatu
wadah UNICEF (United Nations of International Children Educational of Fund), yakni badan dunia di bawah PBB yang menangani (menggalang) dana bagi pendidikan anak secara internasional. Bagi bangsa Indonesia sendiri, anak dikelompokkan sebagai
75
kelompok rentan. Dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ditegaskan bahwa yang termasuk kelompok rentan adalah orang lanjut usia (lansia), anak-anak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat. Menyangkut masalah perlindungan terhadap anak, sebenarnya merupakan realisasi dari Pasal 34 UUD 1945 yang mengatur mengenai tanggungjawab negara untuk melindungi dan memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar. Ketika menetapkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pemerintah menyandarkan sejumlah asumsi dasar mengapa disusun undangundang ini, di antaranya adalah bahwa: a.
Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia.
b.
Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.
c.
Anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggungjawab tersebut, maka perlu
mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh dan konprehensif, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas non-diskriminasi, kepentingan terbaik
76
bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan, serta penghargaan terhadap pendapat anak. Orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak, menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya, serta mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Sedangkan, pemerintah selain menginventarisasi anak dalam struktur administratif berupa pencatatan, juga wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera, upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Tentang batasan anak, dapat ditemukan dalam beberapa peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia. Meski dalam banyak rumusan, namun pada prinsipnya keragaman batasan tersebut mempunyai implikasi yang sama, yaitu memberikan perlindungan pada anak. Menurut Pasal Undang-undang 1 butir 1 Undangundang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Sedangkan, menurut Pasal 1 butir 5 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia: “Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”. Pada dasarnya perlindungan terhadap anak merupakan tanggungjawab orang tua, keluarga, masyarakat dan pemerintah. Dengan perkataan lain, masalah perlindungan
77
terhadap hak-hak anak bukan hanya tanggungjawab orang tua atau pemerintah saja, melainkan merupakan tanggungjawab dan kewajiban bersama antara orang tua (keluarga), masyarakat dan pemerintah. Dengan demikian, perlu pelibatan dan peran serta masyarakat dalam upaya memberikan perlindungan hukum dan kesejahteraan anak. Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ditegaskan bahwa tanggungjawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.
78
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan studi pustaka sebagaimana telah dipaparkan pada bab sebelumnya, secara garis besar hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Dalam kitab-kitab klasik, pembahasan tentang munakahat (pernikahan) telah banyak dikaji oleh para fuqaha’ secara luas dan mendalam, namun tak satupun di dalamnya ada yang membahas hukum mengenai pencatatan nikah. Karena masalah pencatatan perkawinan memang merupakan masalah hukum yang tergolong baru (kontemporer) dalam kehidupan umat Islam. Para Mujtahid atau Imam Madzhab dengan menggunakan metode istinbath (pengambilan hukum) telah menetapkan berbagai hukum tentang perkawinan, namun demikian tidak pernah ditemukan dalam kitab-kitab klasik yang membahas masalah pencatatan perkawinan. Mungkin saat itu, belum ada kebutuhan hukum mengenai pentingnya pencatatan perkawinan di kalangan umat Islam sehingga tidak terlintas dalam pemikiran para Imam Madzhab untuk membahas masalah tersebut. Masalah pencatatan perkawinan secara hukum juga dapat dikaji berdasarkan dalil dan hakikat maslahah mursalah. Jika dihubungkan dengan tiga syarat maslahat menurut Al Ghazali sebagaimana dikemukakan di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa
tujuan
perkawinan
sebagai
sarana
pemenuhan
kebutuhan
pokok
(dharuriyyat) yakni melanjutkan keturunan, ketenangan dan kebahagiaan hidup, menjaga kehormatan dan ibadah adalah sejalan dengan maqaashid al khamsah atau maqaashid as syari’, karena dengan perkawinan maka tujuan memelihara keturunan
79
(hifdh al nashl min janib al-wujud) yang merupakan salah satu kebutuhan dharuriyyat (pokok) dapat tercapai. Dengan melihat salah satu tujuan dan urgensi pencatatan perkawinan, maka tidak akan sempurna sebuah perkawinan kalau tidak dicatatkan (nikah sirri). Sifat dharuriyyatnya dapat dilihat dari fungsi akta nikah sebagai alat bukti yang kuat dan resmi dari pemerintah (otentik) yang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum yang pasti bagi para pihak yang telah melangsungkan perkawinan, termasuk bagi anak-anak atau keturunan mereka. Hal ini berarti bahwa hukum pencatatan perkawinan pada masa sekarang ini berdasarkan maslahah mursalah menjadi wajib (keharusan) yang tidak dapat dielakkan. Atau dengan kata lain, berdasarkan penafsiran a contrario, hukum “nikah sirri” pada masa sekarang ini berdasarkan pendapat tersebut di atas adalah “tidak sempurna”. Karena, dengan adanya pencatatan perkawinan akan menunjang dan menyempurnakan tujuan syara’ yang bersifat dhoruriyyat. Pasangan suami isteri yang perkawinannya tidak dicatat (nikah sirri) tidak memiliki kepastian hukum, dan status perkawinannya juga tidak mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah atau negara. Padahal hal itu merupakan sesuatu yang amat diperlukan bagi mereka dan keturunannya sebagai warga negara. Perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) tetap sah hukumnya sepanjang dilakukan menurut hukum agamanya (berdasarkan pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tetapi “tidak sempurna”, karena itu tidak ada jaminan perlindungan hukum yang diberikan oleh negara kepada para pihak yang melangsungkan perkawinan itu, termasuk dalam hubungan antara bapak yang melahirkan dengan anak-anak yang dilahirkannya. Anak yang lahir dari nikah sirri menurut hukum perdata disebut “anak luar kawin” (onwettig kind) dan hanya mempunyai
hubungan
keperdataan
dengan
ibu
(dan
keluarganya)
yang
80
melahirkannya. Ia tidak mempunyai hubungan hukum keperdataan dengan bapak biologisnya, termasuk dalam hubungan waris. 2. Rumusan pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, masih menimbulkan kontroversi dan multi-interpretasi di kalangan para ahli hukum. Kontroversi dan perbedaan pendapat tentang rumusan pasal tersebut pada dasarnya terbagi ke dalam dua pendapat. Pertama, pendapat yang menganggap pencatatan perkawinan termasuk salah satu syarat sahnya perkawinan. Berdasarkan perdapat ini, “nikah sirri” (perkawinan yang tidak dicatatkan) adalah tidak sah, karena tidak memenuhi salah satu syarat sahnya perkawinan menurut undang-undang. Sedangkan, pendapat kedua menyatakan bahwa pencatatan perkawinan hanyalah pelengkap untuk kepentingan administrasi yang tidak termasuk syarat sahnya perkawinan. Dengan mengacu pada pendapat kedua ini, “nikah sirri” adalah sah hukumnya, hanya saja persyaratan administrasinya dalam bentuk pencatatan perkawinan sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang belum dilakukan. Pencatatan nikah ini sama sekali tak ada hubungannya dan tak mempengaruhi keabsahan perkawinan, meskipun dari segi pembuktian lemah dan dari segi kepastian hukumnya “nikah sirri” tidak dijamin oleh ketentuan undangundang. Berdasarkan pendapat tersebut di atas, “nikah sirri” termasuk perkawinan yang sah, apabila hal itu dilakukan menurut hukum agamanya. 3. Menurut 43 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, anak yang lahir dari sebuah perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) hanya mempunyai hubungan hukum keperdataan dengan ibu dan keluarga ibu yang melahirkannya. Anak yang lahir sebagai akibat dari perkawinan yang tidak dicatatkan, dalam konsep hukum perdata Barat dikategorikan sebagai “anak luar kawin” (onwettig kind). Dalam konsep hukum Islam tidak dikenal istilah “anak luar kawin”, karena dalam pandangan hukum
81
Islam tidak ada keharusan (ketentuan yang mewajibkan) untuk melakukan pencatatan perkawinan. Menurut hukum Islam, perkawinan (akad nikah) harus dilakukan menurut syarat-syarat dan rukun perkawinan sesuai dengan syariat (hukum Islam). Dengan demikian, hukum Islam tidak membedakan kedudukan hukum anak yang dilahirkan dari nikah sirri dan anak yang dilahirkan sebagai akibat dari perkawinan yang dicatatkan menurut ketentuan undang-undang. Pandangan hukum Islam tersebut sejalan dengan konsep hak asasi anak yang sama sekali tidak membedakan antara “anak sah”, yaitu anak yang lahir dari perkawinan yang sah menurut undang-undang dan “anak tidak sah”, yaitu anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah menurut undang-undang. Dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) tidak ada diskriminasi terkait dengan status (kedudukan) hukum anak dengan melihat keabsahan dari perkawinan orang tua yang melahirkannya. Dengan perkataan lain, semua anak di depan hukum sama, tidak ada perbedaan sedikitpun mengenai kedudukan hukum anak ditinjau dari sudut pandang HAM. Meskipun demikian, perlindungan hukum yang diberikan kepada anak yang lahir dari sebuah perkawinan yang sah dengan yang tidak sah menurut undangundang memiliki implikasi yang berbeda, khususnya mengenai hubungan keturunan (kekeluargaan) dan hubungan waris dengan bapak biologisnya. Sebab, menurut Pasal 42 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan hanya memiliki hubungan hukum keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya saja, ia tidak memiliki hubungan hukum keperdataan dengan bapak biologis maupun keluarga dari bapak biologisnya itu. Dengan demikian, anak luar kawin secara hukum tidak memiliki orang tua (bapak dan ibu) sebagai satu kesatuan yang bertanggungjawab kepadanya. Oleh karena itu, perlindungan hukum yang diberikan kepada anak luar kawin, termasuk anak yang lahir dari nikah sirri, membawa
82
implikasi yang tidak sama dengan anak yang lahir dari perkawinan yang sah menurut undang-undang, walaupun dalam perspektif HAM tidak boleh ada perbedaan di antara keduanya. B. Saran Masalah pencatatan nikah janganlah semata-mata dikaitkan dengan persoalan keabsahan perkawinan saja, tetapi perlu pula dikaitkan dengan urgensi dan manfaat pencatatan nikah itu sendiri. Dalam arti, meskipun “nikah sirri” menurut sebagian umat Islam dipandang sah apabila dilakukan menurut rukun dan syaratnya nikah menurut hukum Islam, namun akibat dari nikah sirri itu, perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang lemah (khususnya ibu yang melahirkan dan anak yang dilahirkan) sulit untuk dijamin. Di samping itu, bukankah tidak ada ketentuan dalam hukum Islam yang melarang adanya pencatatan perkawinan, apalagi tujuannya memang untuk melindungi pihak-pihak yang lemah serta demi ketertiban umum dan kemaslahatan umat? Dalam urusan utang piutang saja sebagaimana telah diuraikan di atas, di dalam Al Qur’an Surat al Baqarah ayat 282, Allah memerintahkan (mewajibkan) untuk mencatat. Oleh karena itu, seyogyanya dalam urusan perkawinan yang menurut hukum Islam merupakan perjanjian yang kokoh (miitsaaqon gholiidlan), yang membawa konsekuensi hukum tidak hanya berupa hak dan kewajiban kedua belah pihak (antara suami dan isteri) yang terikat dalam akad nikah itu, tetapi juga membawa akibat hukum yang lebih luas dari pada itu, karena menyangkut pula tanggung jawab orang tua kepada anak-anak yang dilahirkan, hubungan perwalian, hubungan waris, dan lain-lain itu, juga perlu (baca: wajib) dicatatkan, supaya ada jaminan kepastian hukum bagi semua pihak yang memiliki kepentingan hukum.
83
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an dan Terjemahannya, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al Qur’an, Departemen Agama R.I., 1978/1979, Jakarta. Abdul Wahab Khallaf, 1996, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Ilmu Ushulul Fiqh, Terjemahan Noer Iskandar Al Barsany dan Moh. Tolchah Mansur, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Al Ghazali, Abi Hamid Muhammad bin Muhammad, 1357 H./1939 M., Ihyaa Ulumi ad Diin II, Musthofa al Baabii al Halabii, Mesir. Abu Amar, 2004, “Problematika Pencatatan Perkawinan di Kalangan Umat Islam Sesudah Berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Tesis, Program Magister Hukum Pascasarjana Unisma, Malang. Ahmad Azhar Basyir, 1977, Hukum Perkawinan Islam, Bagian Penerbitan FH UII, Yogyakarta. Amrullah Ahmad, et al., 1996, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Gema Insani Press, Jakarta. Asjmuni A. Rahman, 1976, Qaidah-qaidah Fiqh, Bulan Bintang, Jakarta. Asnawi, Moch., 1975, Himpunan Peraturan dan Undang-undang R.I. tentang Perkawinan serta Peraturan Pelaksanaannya, Menara, Kudus. Djojodigoeno, M.M., 1964, Azas-azas Hukum Adat, Gadjah Mada, Yogyakarta. Hartono Mardjono, 1995, “Syarat Manakah yang Menentukan Sahnya Perkawinan”, Mimbar Hukum, No. 23 Th. Vi, Al Hikmah dan Ditbinbaperais, Jakarta. Husein Muhammad, 2002, Fiqh Perempuan Refleksi Kiaatas Wacana Agama dan Gender, LKIS, Yogyakarta. Ibrahim Hoesen, 1993/1994, Asas-asas Hukum Perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam, Yayasan Al Hikmah, Jakarta. Iman Sudiyat, 1981, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta. Kamal Muchtar, 1974, Azas-azas Hukum Islam tentang Perkawinan, Bulan Bintang, Jakarta. Kansil, C.S.T., 1980, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Mahmud Junus, 1975, Hukum Perkawinan dalam Islam, Hidakarya Agung, Jakarta.
84
Masyfuk Zuhdi, 1996, “Nikah Sirri, Nikah di Bawah Tangan dan Status Anaknya menurut Hukum Islam dan Hukum Positif”, Mimbar Hukum, No. 28 Th. VII, Al Hikmah dan Ditbinpaperais, Jakarta. Masyhur Effendi, 2005, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia dan Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta. Mochtar Kusumaatmadja, 2002, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, Mohammad Daud Ali, 1991, Asas-asas Hukum Islam, Rajawali Press, Jakarta. Muhammad Abu Zahro, 2002, Ushul Fiqh, Terjemahan Saefullah Ma’shum, dkk., Pustaka Firdaus, Jakarta. Muladi, (Editor), 2005, Hak Asasi Manusia: Hakikat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung. Musthofa Ahmad Al-Zarqa, 2000, Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Rineka Cipta, Jakarta. Poerwadarminta, W.J.S., 1982, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Peunoh Daly, 1988, Hukum Perkawinan, Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahli Sunah di Negara-negara Islam, Bulan Bintang, Jakarta. Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta. Sajuti Thalib, 1981, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia: In Memoriam Prof. Mr. Dr. Hazairin, UI Press, Jakarta. Situmorang, Victor M, dan Cormentyna Sitanggang, 1991, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1995, Penelitian Hukum Normatif, RajaGrafindo Persada, Jakarta. Soetandyo Wignjosubroto, 1995, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, RajaGrafindo Persada, Jakarta. Soetojo Prawirohamidjojo, 1988, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya. Subekti, R. dan R. Tjitrosudibjo, 1983, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Terjemahan “Burgerlijk Wetboek”, Pradnya Paramita, Jakarta. Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta.
85
Wila Chandrawila Supriadi, 2002, Hukum Perkawinan Indonesia dan Belanda, Mandar Maju, Bandung. Wildan Suyuti Mustofa, 1996, “Nikah Sirri antara Kenyataan dan Kepastian Hukum”, Mimbar Hukum, No. 28 Th. VII, Al Hikmah dan Ditbinpaperais, Jakarta. Zahri Hamid, 1978, Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan di Indonesia, Binacipta, Jakarta.
86
87
88