Kata Pengantar Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah S.W.T. yang dengan izinnya tim telah dapat menyelesaikan laporan akhir penelitian hukum Pengaruh Pemberlakuan Hukum Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Terhadap Hukum Nasional. Tim ini dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Mentri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No: G1-20.PR.09.03 Tahun 2006 tanggal 16 Januari 2006 tentang “Pembentukan Tim Pelaksana Penelitian Hukum Tahun 2006” Sesuai tugas yang diberikan kepada tim, anggota tim telah melakukan penelitian tentang sejarah pelaksanaan syariat Islam di Aceh sampai sekarang serta pengaruhnya terhadap hukum nasional. Namun karena terbatasnya waktu yang diberikan penelitian ini belum sempat membahas tentang korelasi dengan Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang baru disahkan tersebut. Pada kesempatan penyampaian laporan akhir ini, atas nama seluruh anggota tim, kami mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Depertemen Hukum dan Hak Asasi Manusia yang telah memberi kepercayaan kepada kami, untuk melakukan penenelitian. Kami menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, yang tentu saja menuntut penelitian yang lebih mendalam lagi.
Laporan akhir dari hasil penelitian ini dapat diselesaikan adalah atas kerjasama yang baik dari semua anggota tim. Untuk itu kami mengucapkan terimakasih dengan harapan, sumbangan pemikiran ini ada manfaatnya dalam kehidupan bernegara secara umum khususnya dalam pembinaan dan pembangunan hukum nasioanal.
Jakarta, 20 Desember 2006. Pengaruh Pemberlakuan Hukum Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Nad) Terhadap Hukum Nasional. Ketua,
ACHYAR, S.H.,M.H.
1 BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Sebagai suatu Negara Kesatuan, Indonesia dihuni berbagai kemajemukan
budaya,
suku,
ras
dan
agama,
dengan
sendirinya
keberadaan suku bangsa yang majemuk juga melahirkan berbagai kemajemukan pedoman perilaku maupun pola pikir. Hal demikian itu merupakan suatu tantangan bagi perkembangan hukum Formal (Nasional). Selain kemajemukan budaya, pada masyarakat berkembang seperti Indonesia
dengan
prioritas
pembangunan
ekonomi,
terjadi
pula
kesenjangan sosial ekonomi yang relatif kompleks. Pada jaman penjajahan Belanda, kemajemukan suku bangsa memeng dipertahankan sejalan dengan politik Pemerintah Kolononial. Ketika itu memeng dibedakan Hukum untuk orang Eropa dan Hukum untuk Bangsa
Pribumi.
Bentuk
pengadilanpun
beraneka
ragam,
seperti
pengadilan Jawa, Pengadilan Madura dan sebagainya. Berkenaan dengan kemajemukan sosial, budaya dan ekonomi yang ada pada saat ini, terdapat sejumlah masalah nasional yang antara lain mencakup: Pertama, Integrasi Nasional yang mencakup; hubungan antar suku bangsa, hubungan antar ras, hubungan antara pusat pemerintahan dengan regional atau daerah, hubungan antar berbagai pelaku pembangunan, kepedulian sosial antar warga masyarakat dan sebagainya. Kedua, Perubahan Sosial Budaya yang mencakup; perubahan dasar orientasi nilai budaya, perubahan dalam sistem sosial tradisional, perubahan dalam pelaksanaan sistem hukum, stratifikasi sosial, pola kepemimpinan, kemajuan teknologi komunikasi, dampak pariwisata dan sebagainya. Ketiga, Pendidikan yang mencakup; kesenjangan antara pendidikan yang ideal dengan kenyataan pada berbagai situasi lokal dan budaya, persepsi pendidikan bagi berbagai kebudayaan yang berbeda,
1
2 fungsi sosial politis sekolah sebagai institusi non tradisional, kesenjangan kemajuan
pendidikan
antar
daerah
dan
sebagainya.
Keempat,
Pembangunan Masyarakat yang mencakup; perubahan pada penghasilan dan pengeluaran keluarga, hambatan pembangunan pada daerah tertentu, derasnya arus globalisasi, dampak kemajuan teknologi, kesenjangan kesempatan
berusaha,
kesenjangan
akses
terhadap
hukum,
dan
sebagainya (Yatiman,1995:50). Masalah-masalah
tersebut
diatas,
tentunya
membutuhkan
penangann yang integratif dengan instrumen-instrumen yang tepat sasaran. Berbagai produk hukum yang berupa peraturan serta keputusan tentunya harus dapat mengatasi berbagai kemajemukan yang ada. Tentu saja tidak semua produk hukum dapat memenuhi atau memuaskan semua keinginan masyarakat, terutama pada masyarakat majemuk. Namun demikian, apabila sebagian besar saja sendi-sendi kehidupan pada masyarakat sudah terlindungi serta diakui oleh warga masyarakat sebagai batasan tingkah laku dalam masyarakat maka dapat dikatakan produk hukum yang bersangkutan telah memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum masyarakatnya. Dalam kemajemukan sosial budaya Indonesia, fungsi hukum dapat dikatakan sangat berpengaruh untuk mengatur tatanan masyarakat. Sebab, pada dasarnya hukum tidak memandang perbedaan suku bangsa, golongan, kedudukan, pendidikan dan sebagainya. Selain itu, Hukum Nasional Indonesia bersumber pula dari hukum-hukum adat yang berlaku di suatu daerah. Misalnya, Hukum Agraria bersumber dari hukum tanah adat yang tidak tertulis. Demikian pula yang berkaitan dengan warisan dan perkawinan selain dari hukum adat juga dari hukum syariah Islam sebagaimana saat ini diberlakukan di daerah Aceh. Syariat Islam merupakan serangkaian norma agama yang bersifat imperatif bagi pemeluknya, yang mewajibkan umatnya untuk melaksanakan seluruh ajaran agamanya secara menyeluruh, integral dan komrehensip,
2
3 dalam segala aspek kehidupan termasuk dalam aspek pembangunan termasuì kehidupan. Berhubungan dengan kedudukan yang unik ini, maka perlu dilakukan satu penelitian untuk menjelaskan, bagaimana pemahaman tentang makna, kewenangan dan kedudukan Qanun dalam tertib hukum di Indonesia, apa kesulitan yang dihadapi dalam menjabarkan makna Syariat Islam sebagai salah satu otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh dan bagaimana pengaruh pemberlakuan Qanun tersebut terhadap hukum nasional.
B. Permasalahan Dalam
penelitian
ini
akan
diidentifikasi
dalam
beberapa
permasalahan antara lain: 1. Apa saja akibat yang timbul dari pemberlakuan syariat Islam di NAD dalam sistem Hukum Tata Negara Indonesia. 2. Bagaimana ajaran Islam yang Universal dan Holistic diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat majemuk dan heterogen dalam bingkai negara kesatuan (Riat Syah Daud Ali) Republik Indonesia (NKRI) di NAD
C. Tujuan Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan, maka tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui pelaksanaan Syariat Islam di NAD. b. Untuk mengetahui Mekanisme Pemberlakuan Syariat Islam c. Untuk mengetahui Upaya-upaya apa saja yang telah dilakukan Pemda dalam melaksanakan Syariat Islam di NAD. D. Kegunaan Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian terhadap perkembangan hukum khususnya hukum Islam di Indonesia. 1. Secara teoritis, penelitian ini dapat menjadi bahan kajian terhadap perkembangan hukum khususnya hukum Islam di Indonesia.
3
4 2. a. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih dan
bahan
masukan
bagi
pemerintah
dalam
menevaluasi
pelaksanaan/kegiatan pemberlakuan syariat Islam di NAD. b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan berharga bagi aparat pelaksana Syariat Islam di NAD, terutama Lembaga Ekskutif, Legeslatif dan Yudikatif serta masyarakat pada umumnya.
E. Metode 1. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriftif analitis dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif-empiris, yang dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang jelas tentang pengaruh pelaksanaan pemberlakuan syariat Islam di NAD terhadap hukum nasional yang berlaku. Dengan demikian akan diperoleh gambaran tentang penerapan hukum yang berlaku dikalangan masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam. 2. Sumber Data Penelitian ini memerlukan bahan atau materi yang dijadikan sebagai sumber data, baik data primer maupun data skunder. Untuk keperluan data primer, maka yang dijadikan responden tokoh-tokoh masyarakat, perguruan tinggi, birokrat yang terkait dengan penelitian ini. Untuk bahan-bahan skunder, diupayakan mencari bahan-bahan buku yang berkenaan dengan pemberlakuan hukum syariah di NAD, misalnya peraturan-peraturan/Undang-undang
maupaun
ketentuan-ketentuan
syariah yang melandasi pemberlakuan syariat Islam. F. Kerangka Teori Memperhatikan substansi hukum dalam konteks Qur‟an, maka hukum berasal dari Tuhan, suci, transendental, universal dan secara umum tidak bisa berubah. Pada prakteknya, syariat lebih merupakan tumpuan produk pemikiran dan penalaran manusia, yang tentu saja temporal dan kondisional. Contoh sederhana, ayat Al-Qur‟an yang membicarakan hukum hanya
4
5 berjumlah sekitar 40 saja, tetapi pembahasan hukum dalam fiqh kita sampai berpuluh-puluh jilid 1 Menurut Prof. Dr. H. Rusjdi Ali Muhammad, S.H., MA. Syariat atau hukum
Islam
merupakan
seperangkat
peraturan
Allah
yang
wajib
dilaksanakan oleh setiap umat Islam. Ia bertujuan untuk menjalin hubungan antara manusia dengan Allah dan antara manusia dengan manusia secara regular, selanjutnya menurut beliau mengutip pendapat Abdurrahman, dan ketentuan diatas pula yang menyebabkan syariat tidak lepas dari etika (Muhammad, 2003:142). Menurut Ali Fikri, syariat secara terminologi adalah suatu sistem norma ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan sesama manusia serta alam lainnya. Syariat jika ditelaah, substansinya (muatan isinya) adalah
ibadah kepada Allah. Disini ibadah
hendaknya dipahami terlebih dahulu dalam pengertiannya yang umum dan luas, yaitu seluruh aktivitas hidup, tiap gerak dan perbuatan manusia yang dilandasi niat ikhlas dan tidak keluar dari kriteria amal saleh (perbuatan yang baik menurut Al-qur‟an dan Sunnah Nabi). Syariat isinya secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua, pertama, adalah ibadah dalam pengertian yang khusus, yaitu hubungan langsung antara manusia dengan Allah yang tata cara dan ketentuannya telah diatur secara rinci dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Rasul. Isinya adalah meliputi Taharah, Shalat, Saum, Zakat, Haji dan sebagainya. Kedua, adalah Muamalah yang meliputi mulai dari hukum niaga, hukum nikah, hukum waris, jinayah (hukum pidana), sehingga khliafah (hukum negara) dan lain-lain. Atau kalau disebut dengan istilah popular maka muamalah ini meliputi Sistem Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya, Pendidikan dan sistem rumah tangga dan lainnya. (Fikri,1997 : 8). Prof. Dr. Muchtar Kusumaatmadja, bahwa pedoman dalam kegiatan di bidang hukum, baik kegiatan perundang-undangan maupun kegiatan penegakan hukum 1
didasarkan
kepada
tiga
asas
tujuan
hukum,
yaitu
asas
Nevisra Viviani ( http://www.rahima.or.id/SR/02-01/Fokus1.htm tgl 13 Feb 2006. 5
6 perikemanusiaan mengamanatkan, bahwa tujuan akhir daripada kita bermasyarakat atau bernegara adalah kebahagiaan, kesejahteraan dan kemuliaan manusia itu sendiri. Hidup bernegara yang bertentangan dengan asas perikemanusiaan. Dalam hukum ini berarti bahwa martabat manusia harus dijunjung tinggi dalaam hukum. Asas keadilan sosial mengamanatkan bahwa hidup bernegara itu harus mewujudkan keadilan dalam masyarakat, setidak-tidaknya bahwa setiap anggota masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dalam usaha mencapai tujuan hidupnya, tanpa perbedaan yang berdasarkan agama, ras atau kedudukan sosial. Dalam hukum ini berarti bahwa setiap orag atau warga sama (derajat) dalam hukum. Asas demokrasi mengamanatkan bahwa pada analisa terakhir kedaulatan atau kekuasaan itu ada pada rakyat. Apabila asas kerakyatan tidak hanya diartikan secara simbolik saja, tapi benar-benar hendak diwujudkan ini berarti bahwa cepat atau lambat rakyat melalui wakil-wakilnya harus dapat mengawasi pelaksanaan amanat rakyat yang dipercayakan kepada pemerintah sebagai pengemban amanat itu (Kusumaatmadja, 1995 : 43).
6
7
G. Organisasi / Keanggotaan Ketua
: Ahyar, S.H.,M.H
Sekretaris : Heru Wahyono, S.H Anggota
: 1. Prof.Dr. Al Yasa‟ Abubakar 2. Drs. Ridwan Nurdin, MCL 3. Ady Kusnadi, S,H., M.H, CN 4. Hesty Hastuti, S.H., M.H 5. Ida Padmanegara, S. H., M. Hak Milik 6. Hidayat, S.H
Asisten :
Pengetik
1.
Karno
2.
Muchtaril Amir
: 1. Saliyo 2. Imam Sumadi
7
8 BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A.
Wawasan Pembangunan Hukum Nasional Makna positif dari arah pembangunan
itu dilihat dari tujuan yang
hendak dicapai oleh pembangunan itu, yaitu mencerdaskan dan memajukan kesejahteraan umum, sebagaimana secara konstitusional ditetapkan di dalam alinea IV
Pembukaan UUD 1945. Sedangkan makna” teratur” dari
pembangunan itu menunjukkan bahwa masyarakat hukum Indonesia menjatuhkan pilihan yang tepat untuk menggunakan hukum sebagai sarana pembangunan atau perubahan masyarakat. Makna
ini
menegaskan
masyarakat Indonesia,
hukum
bahwa
dalam
rangka
penbangunan
telah diberi tugas dalam fungsinya yang
terbaru, yaitu sebagai sarana perubahan masyarakat. Urgensi pembangunan hukum di Indonesia terletak pada konteks ini. Bab
IV
GBHN
dari
Tap
yang
sama
menyatakan
bahwa
pembangunan hukum di Indonesia ditujukan untuk memantapkan dan mengamankan pelaksanaan pembangunan dan hasil-hasilnya, menciptakan kondisi yang membuat anggota masyarakat dapat menikmati iklim kepastian dan ketertiban hukum, lebih mengarahkakn pembangunan untuk mencapai kemakmuran yang adil dan merata, menumbuhkembangkan disiplin dan rasa tanggung jawab sosial setiap anggota masyarakat, mengayomi masyarakat, memberi rasa aman dan tentram, menciptakan iklim yang mendorong kreativitas, mendorong partisipasi masyarakat, dan mendukung stabilitas nasional yang dinanmis. Tugas berat ini menempatkan hukum dalam posisi dilematis, yaitu pada satu sisi tugas berat dan progresifitas pembangunan itu menghendaki kehadiran hukum sebagai sarana yang ”siap ” , sedangkan pada sisi lainnya, adalah fakta bahwa hukum indonesia berada dalam kondisi yang sangat lemah untuk menunjang fungsi itu.
8
9 Hal ini membuat Indonesia harus memilih desain pembangunan hukum yang paling tepat dan mampu menyelenggarakan fungsinya. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan ketat mengadakan diagnosis terhadap setiap komponen hukumsehingga dengan begitu dapat ditentukan komponen hukum yang mana yang paling membutuhkan rehabilitasi.
B. Pola Pikir Pembangunan Hukum Nasional Diagnosis dan penentuan komponen-komponen yang membutuhkan rehabilitasi merupakan salah satu cara
untuk menetapkan skala prioritas
pembangunan hukum secara tepat dan efisien sehingga dengan begitu pembangunan itu dapat memberi manfaat terhadap pengembangan fungsi hukum dalam pembangunan Berikut akan dibahas karakteristik beberapa komponen sistem hukum Indonesia:
a. Karakteristik Masyarakat Hukum Indonesia Masyarakat hukum Indonesia merupakan suatu bangsa yang negaranya didasarkan atas hukum(rechtstaat), berbentuk republik, dan sistem pemeritahannya berbentuk demokrasi. Masyarakat ini merupakan satu kesatuan masyarakat hukum yang besar, yang tersusun atas kesatuan-kesatuan masyarakat hukum yang lebih kecil, yang dikenal sebagai masyarakat hukum adat. Kesatua-kesatuan masyarakat hukum yang lebih kecil merupakan suatu bentk masyarakat tradisionil
yang
memiliki tradisi-tradisi hukum tersendiri yang diakui otonominya. Sebagai suatu sistem masyarakat hukum,
kesatuan-kesatuan masyarakat ini
memiliki komponen-komponen sisten tersendiri pula. Mereka memiliki struktur sosial, sistem filsafat, sistem budaya, sistem pendidikan, sistem konsep hukum, sistem pembentukan dan sistem penerapan hukum yang serba khas pula.
9
10 Pada tingkat keseluruhan yang lebih besar, masyarakat hukum Indonesia memiliki satu kesatuan hukum (hukum nasional) yang mengatasi seluruh sistem hukum pada kesatuan-kesatuan masyarakat yang lebih kecil. Pada tingkat yang lebih besar ini, sistem hukum masyarakat Indonesia dibentuk oleh masyarakat hukum Indonesia sendiri,melaleu sistem perwakilan. Sistem pembentukan ini terutama berlaku untuk pembentukan peraturan perundangan pada tingkat yang tertinggi, yaitu Ketetapan MPR dan Undang-undang. Pada tingkat yang lebih rendah pembentukan dan penjabaran peraturan-peraturan dasar itu diselenggarakan oleh lembaga-lembaga administratif yang ada pada jajaran eksekutif. Pembangunan
hukum
di
Indonesia
diarahkan
pada
pembangunan masyarakat hukum yang lebih besar. Pembangunan ini antara lain diarahkakn pada usaha kodifikasi, Unifikasi, dan penyusunan perundang-undangan
yang
paling
dibutuhkanoleh
pembangunan.
Beberapa kesulitan yang dihadapi dalam rangka pembangunan bidang ini adalah kesulitan-kesulitan yang terutama bersumber pada karakteristik masyarakat
Indonesia,
antara
lain:
pertama,
keragaman
kemasyarakatan, tradisi hukum, pluralisme hukum peninggalan
sistem
kolonial,
perbedaan
tingkat
sistem
yang berasal dari pendidikan
dan
kesejahteraan, sikap tradisional yang cenderung menolak perubahan, kebiasaan ketaatan terhadap tradisi-tradisi lokal, merupakan beberapa sebab yang menyulitkan proses kodifikasi kedua,kebiasaan
diatur
oleh
hukum
dan unifikasi hukum; adat
yang
senantiasa
mempertimbangkan perasaan hukum dan keadilan, merupakan sebab lain yang juga berpengaruh kuat terhadap proses ini; ketiga, kurang lancarnya sistem
komunikasi antara masyarakat
dengan wakil-wakilnya, kurang
pahamnya masyarakat untuk menggunakan saluran-saluran komunikasi dalam menyampaikan aspirasi-aspirasinya, merupakan sebab lain yang juga sama besar pengaruhnya terhadap kualitas hukum yang dibentuk.
10
11 b. Karakteristik Budaya Hukum Indonesia Secara sempit budaya hukum Indonesia diartikan sebagai tradisi hukum yang dimiliki atau dianut oleh masyarakat hukum Indonesia. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas , budaya hukum Indonesia diartikan sebagai keseluruhan endapan dari kegiatan dan karya hukum masyarakat Indonesia. Pada mulanya, budaya masyarakat hukum
Indonesia adalah
budaya hukum tidak tertulis (unwritten law), atau budaya hukum yang hidup, tumbuh, dan berkembang di dalam masyarakat (living law). Budaya hukum ini hidup dalam setiap kesatuan kecil masyarakat hukum Indonesia, sehingga secara keseluruhan, budaya hukum masyarakat Indonesia
adalah
budaya
hukum
living
law.
Tetapi
dalam
perkembangannya kemudian, masyarakat hukum Indonesia juga terbiasa dengan
budaya hukum tertulis, yang pada dasarnya merupakan
konsekuensi dengan proses kolonialisme di Indonesia. Budaya hukum keduau ini dibawa dan diperkenalkan oleh kolonialisme bangsa-bangsa Eropa, terutama Belanda yang menganut budaya hukum
Eropa
Kontinental. Dalam proses pembangunan hukum, kedua budaya hukumini memberi pengaruh terhadap konsep hukum
Indonesia, sebagaimana
tercermin dalam konsep pembangunan hukum
Indonesia yang juga
mengutamakan kodifikasi hukum. Akan halnya masing-masing kelemahan dari tradisi ini , yang telah banyak disinggung dalam berbagai pembahasan
maka
hambatan
pembangunan
dipandangberasal dari tradisi hukum bangsa menaruh kesadaran yang dalam terhadap
hukum
lebih
Indonesia, dengan tetap kelemahan tradisi
hukum
Eropa Kontinental itu. Sebagaimana
diusulkan
oleh
para
penganut
Sociological
Jurisprudence, kelemahan hukum tertulis ini dapat diatasi dengan mempertimbangan secara cermat hukum yang hidup di masyarakat, yang bahkan kodifikasi itu harus selaras dan mengembangkan nilai-nilai hukum
11
12 yang hidup di masyarakat itu. Dalam konteks pembangunan hukum di Indonensia, kesulitan ini
dapat diatasi dengan mengefektifkan sistem
perwakilan, atau komunikasi antara masyarakat dengan wakil-wakilnya, atau juga denga dengha senantiasa mendahului pembentukan hukum dengan penelitian tentang pandangan, sikap dan perasaan hukum, rasa butuh hukum, dan rasa keadilan masyarakat tentang hukum yang akan dibentuk.
c. Kakteristik Filsafat Hukum Indonesia Filsafat hukum merupakan hasil dari pemikiran manusia yang mendalam tentang hukum yang ideal, atau hukum sebagaimana seharusnya. Berfilsafat (hukum)
adalah proses penelaahan secara
mendalam terhadap hal-hal mendasar dari hukum, seperti masalah hakikat hukum, fungsi hukum, tujuan hukum, dan lain-lainnya. Pada gilirannya, sistem filsafat merupakan formulasi dan nilai-nilai ideal dan nilai-nilai mendasar dari sesuatu. Wujud sistem filsafat hukum Indonesia adalah formulasi dari endapan nilai-nilai hukum Indonesia yang tercakup di dalam kristalisasi nilai-nilai luhur bangsa yang disebut Pancasila. Sistem filsafat ini tersusun atas lima unsur nilai dasar, yaitu nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilaikebangsaan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan yang satu sama lain merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Nilai-nilai yang terkndung dalam sistem filsafat ini bersifat objektif dan subjektif
karena nilai-nilai itu bersumber dari masyarakat hukum
Indonesia sendiri. Sifat subjektifnya terletak pada pada sifat khas dari formulasi nilai itu, yaitu sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahpisahkan . Sedangkan dinyatakan bersifat objektif karena unsur-unsur nilai itu juga dimiliki oleh hampir seluruh masyarakat. Sistem filsafat ini merupakan dasar bagi setiap pembentukan hukum di Indonesia, dan juga merupakan sumber dari segala sumber material hukum Indonesia. Sistm filsafat ini merupakan norma dasar
12
13 tertinggi (fundamental) yang tidak dapat disimpangi oleh setiap peraturan hukum di Indonesia. Bertentangan atau penyimpangan
terhadap nilai-
nilainya mengakibatkan lenyapnya daya laku hukum itu.
d. Karakteristik Pendidikan Hukum di Indonesia Pendidikan
tinggi
hukum
merupakan
media
yang
dapat
menjembatani kesenjangan antara ide atau teori hukum dengan kehidupan hukum. Fungsi utama pendidikan hukum dalam pembangunan hukum
adalah
pembangunan
penyelenggara
hukum,
pembentukan
dan
kualitas
penyelenggara pengembangan
personil penelitian hukum,
pembentuk dalam
dan
rangka
penyelenggaraan
pembangunan teori, dan konsep-konsep hukum. Permasalahan umum yang dihadapi penyelenggaraan pendidikan hukum adalah kurang berkembangnya sistem informasi dan dokumentasi hukum, kurang aktifnya penyelenggaraan pertukaran dan penggalian informasi hukum antar lembaga pendidikan hukum, antar lembaga pendidikan hukum dengan institusi-institusi hukum, dan antar lembaga pendidikan tinggi internal dengan lembaga-lembaga pendidikan atau institusi-institusi hukum luar negeri. Permasalahan lain yang juga menonjol adalah kurang terbuka dan kurang antisipatifnya kurikulum dan, pengajaran ilmu hukum sehingga pendidikan hukum sering kehilangan daya perannya dalam pembangunan hukum. Kurangnya sarana dan prasarana pendukung.
e. karakteristik konsep hukum indonesia konsep hukum adalah ide hukum yang dianut oleh suatu masyarakat hukum. Konsep ini seharusnya meliputi konsep tentang seluruh komponen sistem hukum, detail peran dan fungsinya secara individual, dan detail peran dan fungsinya dalam proses sistem hukum secara keseluruhan. Konsep ini juga meliputi konsep tentang tujuan hukum yang hendak diwujudkan oleh suatu masyarakat hukum. Sehingga
13
14 hakikat konsep hukum adalah konsep tentang masyarakat hukumnya, budaya hukum yang dianutnya, sistem filsafat hukumnya, sistem pembentukan
hukumnya,
sistem
bentuk
hukumnya;
sistem
penyelenggaraan, termasuk sistem lembaga, penyelenggara (personil), dan proses penyelenggaraannya, dan sistem evaluasi hukumnya. Konsep hukum yang ditetapkan di indonesia, cenderung hanya menyangkut konsep pembangunan. Jikapun kemudian termasuk konsep bentuk (kodifikatif), fungsi(sebagai sarana pembangunan – agen of development), dan tujuannya, maka konsepsi tentang hal itu hanyalah bersifat implisit dalam konsep pembangunan hukum. Bertolak dari sini mudahlah dipahami mengapa daya fungsi hukum dalam mendukung pembangunan di indonesia sedemikian lemahnya. Demikian juga dengan timbunan
masalah
yang
menyebabkan;
pendidikan
yang
masih
terbelakang, pemahaman dan penjabaran konsep hukum hukum yang sangat lemah, kualitas hukum yang lemah, proses pembentukan yang tersendat-sendat,
sistemperaturan
perundangan
yang
kacau,
penyelenggaraan hukum melalui media peradilan dan media lainnya yang lamban, dan sering tidak memuaskan, sistem pengawasan terhadap hasil pembentukan dan penerapan hukum yang hampir sama sekali tidak terselenggara.
f. Karakteristik Komponen Pembentukan dan Bentuk Hukum Komponen ini hakikatnya merupakan sistem
otonom-integral,
bagian yang lebih kecil dari sistem hukum global, yang meliputi empat komponen
(sub-komponen
sistem
hukum)
utama,
yaitu
lembaga
pembentuknya, personil pembentuknya, dan komponen sarana dan prasarana. Masalah penetapan
atau
kelembagaannya penegasan
meliputi
peran
dan
antara fungsi
lain,masalah
lembaga-lembaga
pembentuknya, batas-batas lingkup peran dan fungsinya, serta tanggung jawab
terhadap
peran
dan
fungsinya.
Sedangkan
masalah
14
15 pembentuknya meliputi antara lain, masalah kualitas dan kapasitas pembentuknya.
Hal
ini
pemahamannya
terhadap
meliputi
kualitas
konsep
hukum,
pendidikan, dan
kualitas
kemampuannya
menjabarkan konsep itu. Sub-sub komponen ini berfungsi dalam proses pembentukan hukum yang berbeda pada setiap tingkatannya. Menurut UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan beserta Peraturan Pelaksanaannya, peraturan perundang-undangan di Indonesia diklasifikasikan dalam derajat sebagai berikut2 : Undang-undang Dasar 1945 Undang-undang/Perpu Peraturan Pemerintah Peraturan Presiden Peraturan Daerah: Masing-masing bentuk dari peraturan perundangan ini memiliki derajat, substansi, pembentuk, proses pembentukan , dan luas fungsi yang berbeda. Ketetapan MPR dibentuk oleh MPR, undang-undang dibentuk oleh presidwen bersama DPR, Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden dibentuk oleh Presiden, dan peraturan pelaksanaan lainnya dibentuk lembaga-lembaga administrasi bawahan lainnya. Proses pembentukan hukum berlangsung pada masing-mamsing lembaga itu. Sehingga
pada
prinsipnya
lembaga
pembentukan
dan
proses
pembentukan ini dapat diklasifikasikan atas dua badan utama, yaitu lembaga legislatif (Presiden bersama DPR), dan lembaga administratif,, yaitu lembaga yang berada pada jajaran eksekutif. Etika yang berlaku
antar derajat peraturan perundangan itu
adalah bahwa peraturan yang lebih rendah harus bersumber dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Bertolak dari garis ini pula,
maka
pengawasan
terhadap proses dan
hasil proses
2
Lihat pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan beserta Peraturan Pelaksanaannya, yang sahkan tgl 22 Juni 2004 dan diundangkan dalam lembaran Negara tahun 2004 No, 53.
15
16 pembentukan peratura perundangan juga dilakukan menurut garis derajat kedudukan peraturan itu. Diamping proses melalui lembaga-lembaga itu, pembentukan hukum juga dilakukan oleh hakim melalui lembaga peradilan. Pasal 13 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 menyatakan bahwa suatu pengadilan tidak boleh menolak untuk memerksa dan mengadili suatu perkara dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas. Karenanya, menurut ketentuan ini, selain fungsi penyelenggaraan hukum,maka
fungsi lin
hakim adalah sebagai legal creator melalui putusan-putusannya. Berdasarkan hal-hal di atas, pembicaraan tentang kualitas lembaga pembentuk, personil pembentuk, proses pembentukan, dan kualitas hukum hasil masing-mmasing lembaga itu, senantiasa akan melibatkan masing-masing lembaga yang bersangkutan. Jika terjadi kepincangan
proses
hukum
yang
berkaitan
dengan
proses
pembentukannya, maka yang layak diperiksa adalah keseluruhan kualitas lembaga-lembaga itu.
g. Karakteristik Komponen Penyelenggara Hukum di Indonensnia Hukum di Indonesia diselenggarakan oleh dua lembaga hukum, yaitu lembaga eksekutif
dan lembaga yudikatif. Lembaga eksekutif
menyelenggarakan perangkat hukum yang bersifat administratif, yaitu segenap peraturan perundangan yang berada di bawah undang-undang. Penyelenggaraan hukum ini bersifat administratif. Sedangkan untuk yang bersifat
yudikatif , diselenggarakan oleh lembaga peradilan dengan
perangkat kelengkapannya, jaksa, kejaksaan. Permasalahan yang berkaitan dengan komponen ini adalah masalah kelembagaan, personil, sarana pendukung proses itu. Hingga saat ini peradilan Indonesia tetap menjadi bahan pembicaraan yang memalukan. Permasalahan umumnya berkaitan dengan kualitas mental dan wibawa personilnya. Hal demikian sering terjadi juga pada personil lembaga-lembaga administratif.
16
17
C. Kerangka Sistem Hukum Nasional Diatas telah dikemukakan, bahwa “sistem” adalah suatu yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang selalu pengaruh-mempengaruhi dan terkait satu saoleh satau beberapa asas.3 Agar supaya berbagai unsur itu merupakan kesatuan yang terpadu maka dibutuhkanlah organisasi. Tetapi ada perbedaan antara benda-benda alamiah sebagai sistem, seperti misalnya apabila kita berbicara tentang sistem pencernaan sapi atau sistem perbintangan dengan sistem politik atau sistem hukum. Pada sistem politik dan sistem hukum organisasi itu adalah buatan atau ciptaan manusia. Pada sistem perbintangan dan pencernaan sapi organisasinya bersifat alami. Namun demikiann, tetap untuk memelihara keutuhan sistem itu diperlukan organisasi dan asas-asas tertentu, sehingga begitu organisasi atau salah satu asas yang mengaitkan unsur-unsur itu diubah, serentak akan dialami pula perubahan dalam sistem yang bersangkutan, sehingga sistem itu bukan lagi merupakan sistem yang semula. Keterangan
ini
dapat
kita
pergunakan
dalam
menerangkan
perbedaan antara sistem-sistem Hukum Adat, Sistem Hukum Kolonial, dan Sistem Hukum Nasional. Karena asas yang memadukan masing-masing sistem hukum adat, berbeda dengan asas dalam Hukum Kolonial dan berbeda dan berbeda lagi dalam Hukum Nasional kita. Sampai abad ke-14 penduduk kepulauan Nusantara ini hidup di dalam
suasana
sistem
Hukum
Adat-nya
masing-masing.
Orang
Minangkabau memiliki sistem Hukum Adat-nya sendiri dengan asas-asas dan filsafat yang dianggap benar di daerah tersebut. Aas-asas dan filsafat ini berbeda dengan asas dan filsafat di Jawa Timur atau Majapahit, misalnya, yang berbeda lagi dengan filsafat dan asas hukum di Sulawesi Selatan, atau di Bali, atau di Flores, atau di Aceh, atau di Alor atau di Irian Jaya, atau di mentawai, dan sebagainya. 3
Lihat visser „Thooft, op. cit. hal. 48
17
18 Mungkin hanya dua unsur saja (bukan 3 seperti yang dikemukakan oleh van Vollenhoven)4 yang sama, yang dimiliki oleh semua sistem Hukum Adat itu, yaitu sifat kekeluargaan (komunitas) dan sifat tidak tertulis (dengan pengecualian Hukum Majapahit, Hukum Wadjo dan beberapa daerah lainnya). Dengan masuknya Agama Islam ke kepulauan Nusantara, maka (a) ada daerah-daerah yang banyak meresap unsur Agama Islam ke dalam Hukum Adatny (seperti di Aceh, Banten, Sulawesi Selatan, Lombok dan lain-lain; (b) ada pula yang lebih banyak mempertahankan sifat keasliannya (seperti Nias dan mentawai, Toraja dan Asmat misalnya); dan (c) ada yang tetap mempertahankan sifat Agama hindu-nya (seperti Jawa Tengah dan Bali). Ketika dalam abad ke-17 Bangsa Portugis, Belanda serta bangsa asing lainnya mulai menginjakkan kakinya ke beberapa daerah di Indonesia, maka selain produk hasil industrinya mereka juga mempengaruhi masyarakat setempat dengan ajaran-ajaran agamanya, sehingga Hukum Adat setempat seperti di Batak, di Sulawesi Utara, di Maluku, di Irian Jaya dan di Flores, dan di Timor, yang saat itu sebenarnya masih lebih “asli” daripada sistem-sistem Hukum Adat yang sudah terpengaruh oleh Agama Hindu dan islam itu mulai meresepsi unsur-unsur agama Kristen dan Katholik ke dalam Hukum Adatnya. Ketika Nederburgh ingin mengunifikasikan hukum di Indonesia, tetapi terbentur oleh reaksi Van den Bergh dan Van Vollenhoven, sebagai hasil perjuangan Van Vollenhoven, semua sistem-sistem Hukum Adat dikaitkan ke dalam satu sistem menjadi “het” Adatrecht yaitu : “de onder hen (yaitu orang Bumiputera) delgende, met hunne godsdiensten en gewoonten samenhangende rechts regelen” (lihat pasal 131 ayat (2) b, Indische Staatsregeling : S.1855 – 2).
4
Yaitu commuun, contant dan concreet.
18
19 Pada saat yang sama Indische Staatsregeling itu menjadi semacam undang-undang dasar bagi Indonesia sebagai daerah jajahan belanda, sehingga sistem hukum kolonial yang berlaku di Indonesia. Setelah Proklamasi Kemertdekaan 17 Agustus dan berakunya UUD 1945, Sistem Hukum Indonesia berbentuk seperti pada gambar 5, karena Indische Staatsregeling telah diganti dengan Pancasila dan UndangUndang dasar 1945 sebagai sumber dari segala sumber hukum. Namun demikian sebagai akibnat Aturan Peralihan Pasal II dalam UUD 1945, masih berlaku juga bagian-bagian dari hukum kolonial, dengan penyesuaian disana disini dengan UUD 1945 itu. Sementara itu GBHN telah menggariskan unifikasi hukum dan bahwa di seluruh kepulauan Nusantara hanya berlaku satu sistem yaitu Sistem Hukum Nasional. Berdasarkan pandangan sistemik, maka dalam Sistem Hukum Nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 setiap bidang hukum yang akan merupakan bagian dari Sistem Hukum Nasional itu wajib bersumber pada Pancasila dan UUD 1945. Itulah sebabnya kami letakkan Pancasila pada titik tengah lingkaran yang membentuk Sistem Hukum Nasional kita. Lingkaran yang berikut adalah UUD 1945 yang menjadi landasan setiap bidang hukum dalam sistem Hukum Nasional itu, disusul oleh lingkaran ketiga yang terdiri dari peraturan-peraturan hukum tertulis. Lingkaran yang keempat menandakan yurisprudensi dan lingkaran yang paling luar adalah hukum kebiasaan. Dengan demikian setiap bidang (atau sektor dari lingkaran) Hukum Nasional itu bersumber pada Pancasila, berlandaskan UUD 1945 dan terdiri dari sejumlah peraturan perundang-undangan, yurisprudensi maupun hukum kebiasaan di bidang yang bersangkutan. Karena pluralisme hukum tidak lagi ingin dipertahankan, maka unsurunsur
Hukum
Adat
dan
Hukum
Agama
yang
bersangkutan
ditransformasikan atau menjadi bagian dari bidang-bidang hukum Sistem Hukum Nasional, yang di akhir abad ke-20 ini diperkirakan tidak lagi hanya
19
20 akan terbagi-bagi ke dalam bidang Hukum Tata Negara, Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Acara dan Hukum Administrasi Negara saja, tetapi yang akan mengenal jauh lebih banyak bidang hukum lagi, seperti Hukum Lingkuangan, Hukum Ekonomi, Hukum Kesehatan, Hukum Komputer, dan sebagainya. Bagaimanapun setiap bidang hukum yang baru itu akan bersumber pada Pancasila dan UUD 1945, berlandaskan UU dan lain peraturan perundang-undangan, mengembangkan yurisprudensinya dan hukum kebiasaan di bidang yang bersangkutan. Dengan menggunakan pola atau kerangka pemikiran seperti ini kita tetap berfikir sistemik, walaupun masing-masing bidang hukum itu dapat berkembang sesuai dengan kebutuhannya sendiri. Demikian pula jumlah bidang hukum terus dapat berkembang tanpa batas, selama dipegang teguh asas utama dari kerangka formal hukum yang ditunjukkan di atas. Tentu saja Sistem Hukum Nasional seperti ini tidak mungkin tersusun dalam 5 atau 10, bahkan tidak dalam 25 tahun saja. Akan tetapi Sistem Hukum Nasional kita dari masa ke masa terus dapat dikembangkan berdasarkan pola atau kerangka formal seperti tersebut di atas ini. Jelas bahwa untuk setiap bidang (sektor dalam lingkaran) Hukum diperlukan keterpaduan dan kesearahan antara pembentuk hukum, Pengadilan, Aparat Penegakan Hukum, Aparat Pelayanan Hukum, Profesi Hukum dan Masyarakat, agar supaya pada akhirnya peraturan perundangundangan, yurisprudensi dan hukum kebiasaan akan menjadi satu kesatuan yang terpadu. Oleh sebab itu untuk setiap bidang hukum itu sendiri diperlukan
suatu
rencana
pengembangan
dan
organisasi
yang
“mengarahkan” dan mensinkronkan pembentukan Hukum Nasional. Inilah yang menjadi tugas Badan Pembinaan Hukum Nasional untuk memikirkan konsep dan perencanaannya yang mengandung seluruh Sistem Hukum Nasional, tetapi juga masing-masing bidang hukum berlangsung secara sinkron, terpadu dan sistemik. Di sinilah keterlibatan Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam politik hukum.
20
21
D. Politik Hukum Pertanyaan yang muncul dengan judul Sub Bab di atas yaitu : Apakah yang dimaksud dengan politik hukum nasional ? Untuk menjawab pertanyaan diatas, maka jawaban terlebih dahulu diawali dengan uraian terhadap unsureunsur yang terdapat dalam prase politik hukum nasional, gabungan dari katakata, hukum dan nasional, terbentuk menjadi prase politik hukum nasional. Selain itu, tinjuauan pustaka terhadap politik hukum nasional perlu pula ditelusuri definisi atau pengertian dari politik hukum nasional. Dengan demikian setelah diketahui makna dan arti dari kata-kata dan pengertian dari prase tersebut di atas diharapkan akan terdapat persamaan persepsi terhadap pemahaman dan pemaknaan atas politik hukum nasional. Dalam Kamus Van der tas, kata “Politik” diartikan sebagai balied (kebijakan) dan sama dengan “policy” (Inggris) dan kata “hukum” dapat diartikan sebagai seperangkat aturan tingkah laku yang berlaku bagi individu, kelompok dan masyarakat.5 Dengan arti demikian, politik hukum (rects politiek) dapat berarti suatu kebijakan yang menyangkut bidang hukum (kebijakan dalam bidang hukum), sedangkan kata “Nasional” berasal dari kata “Nationl” (Inggris) diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia “Bangsa”, sehingga politik hukum nasional dapat diartikan sebagai suatu kebijakan yang menyangkut bidang hukum dalam suatu bangsa atau negara. Definisi atau pengertian politik hukum nasional yang disampaikan oleh para ahli hukum tidak selalu sama, namuin politick hukum nasional dapat dilihat dari sudut filosofis, sosiologis dan formal konstitusional, lebih jauh dari sudut perspektif formal lainnya. Politik hukum nasional dapat dilihat dalam garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menetapkan garis-garis besarnya secara terus menerus dan dari waktu ke waktu, 6 padahal cakupan studi tentang politik hukum nasional tidak hanya dilihat dari perspektif formal 5 6
Sri Sumantri, bahan kuliah tentang Politik Hukum. Dengan Amandemen Terhadap UUD 1945, maka Pasca Amanedmen tidak terdapat lagi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN)
21
22 yang memandang kebijaksanaan hukum dari rumusan-rumusan resmi sebagai produk saja, melainkan dapat dilihat dari latar belakang dan proses keluarnya rumusan-rumusan resmi tersebut. Berkaitan dengan pengertian politik hukum nasional dalam literature terdapat beberapa pengertian atau definisi mengenai politik hukum, yang telah disampaikan oleh beberapa ahli hukum, oleh karena itu agar mendapatkan gambaran pengertian tentang politik hukum nasionnal secara jelas, maka berikut mini dipaparkan pandangan dan pengertian politik hukum menurut beberapa ahli hukum antara lain : Prof. Dr. Sri Sumantri, SH, menyatakan bahwa politik hukum merupakan terjemahan dari “rechts Politiek” dan hukum menurutnya adalah seperangkat aturan tingkah laku manusia yang tidak hanya berlaku bagi individu tetapi juga bagi kelompok dan masyarakat.7 Dengan demikian politik hukum diartikan sebagai suatu kebijakan yang berkaitan dengan aturan tingkah laku manusia di dalam suatu kelompok dan masyarakat di suatu negara. Di lain pihak, Teuku Mohammad Radhie, SH mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa, mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan arah kemana hukum hendak di bangun 8. Dengan definisi tersebut maka politik hukum mencakup penguasa negara yang mempunyai (MPR, DPR, Mahkamah Agung, Presiden/Wakil Presiden) dan Ius Constitutum atau hukum yang berlaku di wilayah negara pada saat ini, serta Ius Constituendum atau hukum yang akan atau seharusnya diberlakukan di masa mendatang. Sedangkan menurut Prof. Padmo Wahjono, SH, politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk9. Definisi diatas diperjelas dalam tulisannya pada majalah
7
Sri Sumantri, Bahan kuliah tentang Politik Hukum. Teuku Mohammad Radhie, “Pembaharuan dan Politik Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional” dalam majalah Prisma nomor 6 Tahun II Desember 1973, halaman 3. 9 Padmo Wahjono, SH, “Indonesia Negara Berdasarkan Hukum”, Ghalia Indonesia, Jakarta 1986, Cet. i.i, halaman 65. 8
22
23 Forum Keadilan10, bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan criteria untuk menghukumkan sesuatu yang di dalamnya mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum. Maka pengertian politik hukum dari Teuku Mohammad Radhie dan Padmo Wahyono tidak terlalu tajam perbedaannya, jika Padmo Wahyono melihat politik hukum lebih condong kepada aspek Ius Constituendum yaitu hukum yang akan atau seharusnya diberlakukan di masa mendatang. Sebaliknya, Teuku Mohammad Radhie mendefinisikan politik hukum lebih luas dan saling terkait antara Ius Constitutum dan Ius Constituendum. Selanjutnya Prof. Sydarto, SH mendefiniskkan politik hyukum adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang menetapkan peraturan perundang-undangan yang dikehendaki yang diperkirakan akan dipergunakan
untuk mengekspressikan
apa
yang
terkandung
dalam
masyarakat dan untuk mencapai apa yang deicita-citakan.11 Setelah itu dalam bukunya yang terbit pada tahun 1986, Sudarto mendefinisikan politik hukum sebagai usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu, 12 dengan demikian berarti politik hukum dari suatu negara tersebut diwujudkan di ddalama bentuk peraturan-peraturan, sehingga politik hukum tersebut terdapat di berbagai bidang. Menurut Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH dalam bukunya yang berjudul “Ilmu Hukum” didefinisikan bahwa politik hukum adalah aktifitas memilih ndan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan social dan hukum tertentu dalam masyarakat. Selanjutnya menurut Satjipto Rahardjo muncul beberapa pertanyaan yang mendasar, yaitu : a. Tujuan apa yang hendak dicapai melalui sistem yang ada; b. Cara-cara apa dan yang mana yang dirasa paling baik untuk dipakai dalam mencapai tujuan tersebut; 10
Padmo Wahjono, “Menyelidik Proses Terbentuknya Peraturan Perundang-undangan”, dalam Forum Keadilan Nomor 29, April 1991 halaman 65. 11 Sudarto “Perkembangan ilmu Hukum dan Politik Hukum”, majalah Hukum dan Peradilan nomor 5 Tahun ke-VII Juni-Pebruari 1979, halaman 15-16. 12 Sudarto, “Hukum dan Hukum nPidana”, Alumni, bandung 1986, halaman 151.
23
24 c. Kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu perlu diubah; d. Dapatkan dirumuskan suatu pola yang baku dan mapan yang bisa membantu memutuskan proses memilih tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik. Sedangkan Prof. Dr. CFG Sunaryati Hartono dalam bukunya “Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional” dijelaskan bahwa politik hukum dapat diartikan sebagai alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional yang dapat digunakan untuk menciptakan cita-cita bangsa dan tujuan negara.13, namun demikian politik hukum itu tidak terlepas daripada realita social dan tradisional yang terdapat dalam suatu negara, di lain pihak sebagai salah satu anggota masyarakat dunia, politik hukum Indonesia tidak terlepas pula dari realita dan politik hukum internasional. Dengan demikian factor-faktor yang akan menentukan politik hukum nasional tidaklah semata-mata ditentukan oleh apa yang dicita-citakan atau tergantung pada kehendak pembentuk hukum, praktisi atau para teoritisi belaka, akan tetapi ditentukan pula oleh perkembangan hukum di lain-lain negara serta perkembangan hukum internasional, dengan lain perkataan ada factor-faktor di luar jangkauan suatu bangsa yang ikut menentukan politik hukum masa kini dan masa yang akan dating. Berkaitan dengan politik hukum nasional, maka Abdul hakim Garuda Nusantara mendefinisikan politik hukum sebagai legal policy atau kebijakan hukum myang hendak diterapkan atau bdilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu yang dapat meliputi : a. Pelaksanaan secara konsisten ketentuan hukum yang telah ada; b. Pembangunan hukum yang berintikan pembaharuan atas hukum yang telah adan dan pembuatan hukum-hukum baru; c. Penerapan fungsi lembaga penegak hukum serta pembinaan para anggotanya;
13
CFG Sunaryati hartono, “Poilitik Hukum; Menuju Satu Sistem Hukum Nasional”, Alumni, bandung 1991, halaman 1.
24
25 d. Peningkatan kesadaran hukum, masyarakat menurut persepsi elit pengambil keputusan.14 Dalam pidato pada Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap di Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang berjudul “Politik Pembangunan Hukum Nasional Dalam Era Pasca Reformasi”, menurut Dr. Satya Arinanto, SH, MH menjelaskan bahwa politik pembangunan hukum nasional merujuk pada beberapa arahan yang bertajuk “Pembenahan dan Sistem Politik Hukum” yang merupakan salah satu bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMN) 2004-200915, selanjutnya diuraikan dalam Peraturan Presiden ini pengaruh Freidman sangat tampak pada bagianbagian awal, dimana permasalahan politik pembangunan hukum nasional ditunjau dari 3 (tiga) hal; substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum dan ketiganya menghadapi beberapa permasalahan, oleh karena itu permasalahan utama politik pembangunan hukum nasional antara lain adalah : a. Memperbaharui atau mengganti peraturan hukum dari masa kolonial yang masih berlaku melalui Aturan Peralihan UUD 194516 b. Menciptakan hukum yang baru yang secara utuh bersumber pada Pancasila dan UUD 1945 (termasuk perubahan-perubahannya) sesuai dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat pada tingkat lokal, nasional, dan regional dan internasional dalam era globalisasi. Berdasarkan arahan dalam hal pembenahan dan sistem politik hukum tersebut, Satya Arinanto menyimpulkan bahwa pembangunan hukum nasional merupakan salah satu bidang pembangunan yang penting dan memerlukan perhatian serta penanganan secara intensif sebagaimana bidang-bidang pembangunan lainnya.
14
Abdul hakim Garuda Nusantara, “Politik Hukum Nasional”, makalah pada Karya Latihan Bantuan Hukum, yang diselenggarakan oleh yayasan LBH Indonesia dan LBH Surabaya, September 1985. 15 Lihat Republik Indonesia, Peraturan Presiden RI tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009”. 16 Satya Arinanto, “Politik Pembangunan Hukum Nasional Dalam Era Pasca Reformasi” (Pidato pada upacara pengukuhan sebagai Guru besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia tanggal 18 Maret 2006).
25
26 Politik Pembangunan Hukum Nasional yang diberlakukan sejak masa Orge Lama hingga era pasca reformasi, sebenarnya cukup memberikan akomodasi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan sebagaimana yang telah terjadi, namun demikian dalam realitanya politik pembangunan hukum nasional tersebut terkesan agak sulit diterapkan, sehingga dalam beberapa sisi, politik pembangunan hukum nasional dimaksud terkesan menjadi sloganisasi. Sehubungan dengan hal tersebut, dibutuhkan suatu politik pembangunan hukum nasional yang komprehensif untuk memperbaiki dan menyempurnakan tatanan hukum dalam era pasca reformasi. Dalam
bukunya
yang
berjudul
“Politik
Hukum
di
Indonesia”,
Mohammad Mahfud MD, SH menjelaskan bahwa politik hukum merupakan kristalaisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersaingan dalam pemberlakuan hukum, sehingga latar belakang politik tertentu dapat melahirkan hukum dengan karekter tertentu. 17 Lebih lanjyt dijelaskan bahwa politik hukum merupakan bagian dari ilmu hukum18 diibaratkan sebagai pohon, maka filsafat merupakan akarnya, sedangkan politik merupakan pohon yang kemudian melahirkan cabang-cabang berupa berbagai bidang hukum seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum tata negara, hukum administrasi negara dan sebagainya. Dengan demikian dapat dikemukakan argumen mengapa politik hukum dilihat sebagai bagian dari ilmu hukum, oleh karena itu antara hukum dan politik saling pengaruhmempengaruhi. Sebelum UUD 1945 di amandemen, politik hukum dirumuskan dalam Garis- Politik Hukum Nasional yang ada di dalam GBHN, akan tetapi menurut Dr. Todung Mulya Lubis perumusan politik hukum tersebut tidak secara tegas menyatakan
keperpihakannya
kepada
perkembangan
hukum
yang
berkeadilan social, karena rumusannya menunjukkan bahwa pembangunan hukum harus menjadi alat legitimasi dan pengaman bagi pembangunan 17
Moh. Mahfud MD, “Politik Hukum di Indonesia”, Pustaka LP3ES, Indonesia, Jakarta 1998 Literatur yang menyebutkan bahwa “Politik Hukum” merupakan bagian dari obyek studi ilmu hukum antara lain Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni Bandung, 1982, Soerjono dan Sri mamudji, Penelitian Hukum Normatif, CV Rajawali, Jakarta 1985; Bambang Poernomo “Pola Dasar Teori Dan Asas Umum Hukum Pidana”, Liberty, Yogyakarta 1988. 18
26
27 ekonomi.19
Pemberian fungtsi legitimasi dan pengaman pembangunan
ekonomi, bagi hukum ini dapat ditemukan di hampir semua GBHN produk Orde Baru yang secara substantif dapat dilihat dari kata-kata “menjadi kepastian,
ketertiban,
penegakan,
dan
mkendukung pembangunan nasional ……”
pertimbangan
hukum
yang
20
. Sehubungan dengan itu, maka
Mulyana W. Kusumah mengemukakan bahwa dari rumusan GBHN terlihat adanya penonjolan fungsi instrumental hukum sebagai sarana kekuasaan politik dominan yang telah terasa dari fakta fungsi-fungsi lainnya, hal itu terlihat dari pertumbuhan pranata hukum, nilai dan prosedur perundangundangan dan birokrasi penegak hukum yang bukan hanya mencerminkan hukum sebagai kondisi-kondisi dari proses pembangunan melainkan juga menjadi penopang yang tangguh atas struktur politik, ekonomi, dan sosial.21 Setelah diketahui berbagai definisi politik hukum dari para ahli hukum, maka dapatlah diambil substansinya antara lain bahwa politik hukum adalah atau garis resmi yang dijadikan dasar pijak dan cara untuk membuat dan melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara. Selain itu dapat juga dikatakan bahwa politik hukum merupakan upaya menjadikan hukum sebagai proses pencapaian tujuan negara, demikian pula politik hukum dapat dikatakan sebagai jawaban atas pertanyaan tentang mau diapakan hukum itu dalam perspektif formal kenegaraan guna mencapai tujuan negara.22 Selain
itu
politik
hukum
nasional
dapat
dirumuskan
sebagai
kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia, di lain pihak, politik hukum nasional sumber dasarnya adalah tidak saja Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terakhir telah di amandemen sebanyak 4 19
Ibid. Rumusan redaksional di dalam setiap GBHN, namun tidak selalu persis seperti tersebut, hanya isinya secara substansial selalu sama. 21 Mulyana W. Kusumah, “Perspektif, Teori dan Kebijaksanaan Hukum”, Rajawali, Jakarta 1986, halaman 29. 22 Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, SH, “Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum Nasional”, makalah pada Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen, Jakarta Tahun 2006. 20
27
28 (empat) kali (1999-2002) sebagai landasannya formal konstitusional, akan tetapi terdapat pula landasan politik, sosiologis. Dalam tataran praktis landasan formapolitik hukum adalah Garis-garis Besar haluan Negara (GBHN), akan tetapi setelah Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di amandemen UUD 1945, maka GBHN tidak terdapat lagi, terakhir politik hukum nasional dirumuskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2004-2009 yang tertuang dalam Bab 9 dengan judul “Pembenahan Sistem dan Politik Hukum”.
BAB III
IMPLEMENTASI HUKUM ISLAM DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
A. SEJARAH SYARIAT ISLAM Islam telah sampai ke Nusantara pada paruh abad XII atau bertepatan dengan tahun 750 M abad pertama Hijriah. Tentang kedatangan Islam ke Nusantara terdapat dua versi, pertama islam masuk kenusantara melewati Gujarat India. Kedua Islam dating ke Nusantara bukan lewat India akan tetapi langsung dari Arab.23 Mengenai masuknya islam ke Nusantara juga dapat dilihat dalam kesimpulan hasil seminar Masuknya Islam Ke Indonesia, yang berlangsung di Medan pada tanggal 17 sampai dengan 29 maret 1963, dengan hasil kesimpulan sebagai berikut: 1. Bahwa menurut sumber-sumber yang kita ketahui, Islam untuk pertama kalinya telah msuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah (abad ketujuh/kedelapan masehi) dan langsung dari arab. 2. Bahwa daerah yang pertama didatangi oleh Islam ialah pesisir Sumatera: dan bahwa setelah terbentuknya masyarakat Islam, maka Raja Islam yang pertama berada di Aceh
23
Hamka, Pidato Dies Natalis Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri di Gedung Negara Jogyakarta pada tahun 1958.
28
29 3. Bahwa dalam proses peng- Islaman selanjutnya orang-orang Indonesia ikut aktif mengambil bagian. 4. Bahwa mubaligh-mubaligh Islam yang lama-lama itu selain sebagai penyiar agama, juga sebagai saudagar. 5. Bahwa penyiaran Islam itu di Indonesia dilakukan dengan cara damai 6. Bahwa kedatangan Islam ke Indonesia itu membawa kecerdasan dan peradaban yang tinggi dalam membentuk keperibadian Bangsa Indonesia 7. bahwa sebuah Badan Penelitian dan penyusunan Sejarah islam di Indonesia yang lebih luas dan tetap
harus dibentuk. Dirasakan supaya badan ini
berpusat di Medan, sedang ditempat-tempat lain yang dipandang perlu, dibentuk dibentuk pula cabang-cabangnya, teristimewa di Jakarta.24 Dalam seminar tersebut terjadi perbedaan pandangan mengenai kata-kata Raja Ta-Cheh, yang ada dalam catatan sejarah Tiongkok pada tahun 674 M. Menurut Hamka kata Ta-cheh adalah raja Arab, tahun 674 M adanya Raja Tacheh sama dengan zaman pemerintahan Khalifah Mu‟awiyah, sahabat Nabi Muhammad SAW dan pendiri kerajaan Mu‟awiyah. Mengenai kata Ta-cheh atau Tashih dalam cerita Cina juga diartikan dengan orang Arab.25 Begitu juga menurut Sir Thomas Arnold dalam bukunya Preaching of Islam bahwa di pantai barat pulau Sumatera pada tahun 684 sudah ada satu kelompok perkampungan orang Arab26, pada tahun 684 adalah zaman pemerintahan Yazid kesatu dari dinasti Umayyah. Berbeda dengan pendapat dari Mohammad Said yang dimaksud dengan Ta-shi dalam bahasa Tionghoa adalah Pasai.27 Pernyataan ini diperkuat oleh Wan Husein Ajmi dari Malaysia dalam seminar masuk dan berkembanganya Islam di Aceh dan Nusantara yang berlangsung di Rantau Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Timur pada tanggal 25 sampai dengan 30 September 1980, mengatakan sebagai berikut: Kita tidak mendapat keterangan yang jelas dan secara mendetail bagaimana dakewenanganah Islamiah itu bergerak dan berkembang di 24 25
Risalah Seminar Masuknya Islam ke Indonesia, Panitia Seminar, 1963, hlm. 265. Sartono Kartodirdjo, Sejarah Nasional Indonesia III, Edisi kedua, Dep. P dan K, 1976,
Hlm.109. 26 27
Risalah seminar, Op.Cit. Mohammad Said, Atjeh Sepanjang Abad, Jilid Pertama, Medan. 1961, hlm. 34
29
30 Utara Sumatera ini di abad ke VII M. Akan tetapi kita mendapat keyakinan bahwa perkembangan dakewenanganah Islamiah di daerah ini adalah dengan baik dan licin, karena di tahun 650 M., karangan tua Cina mencatat ada sebuah kerajaan di Utara sumatera namanya Ta-shi telah dicatat dalam peta ptolemos dan letaknya Ta-shi itu telah dicatat dalam bukubuku tahunan Sung di tahun 922 M., dngan catatan mengatakan: “Letaknya kerajaan ta-shi adalah lima hari berlayar dari Cho‟po (yaitu bagian yang lebar dari Malaka di seberang selat malaka. Ini menunjukkan Ta-shi yang tersebut dalam catatan Cina ialah Ta-shi Sumatera Utara, bukannya Ta-shi Arab yang dimaksudkan oleh orang-orang Parsi, kaerana T-Shi itu tidak boleh sampai kepadanya dari malaka di dalam masa lima hari.28
Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa masuknya Islam tersebut telah berlangsung sejak abad VII M., dengan demikian kerajaan yang ada dalam catatan Cina tersebut adalah kerajaan Islam Samudra Pasai. Islam datang ke Nusantara dibawa oleh para pedagang. Karena sifat para pedagang yang lemah lembut sehingga penerimaan masyarakat nusantara terhadap Islam berlangsung secara baik dan damai. Islamisasi nusantara tidak berlansung lama, artinya dalam waktu yang singkat pengislaman terhadap masyarakat di Nusantara berlansung secara cepat. Kedatangan Islam ke suatu tempat selalu membawa perubahan yang mendasar bagi sistem kehidupan masyarakat setempat. Sesuai dengan sifat ajaran Islam yang mengatur segala aspek kehidupan mulai dari kebersihan pribadi, rumah tangga, dan selanjut masyarakat dan negara. Kondisi ini paling tidak telah memberikan dampak yang besar bagi kehadiran Islam di Nusantara. Salah satunya dapat terlihat adalah banyaknya kerajaan yang muncul dan membawa kemajuan di nusantara. Perlu diketahui bahwa kedatangan Islam adalah sebagai penyempurna dan pemurnian terhadap kebudayaan yang telah ada pada masyarakat di
28
A. Hasimy, (editor), Sejarah Masuknya dan Berkembangnya Islam di Indonesia, PT, Ma‟arif, Bandung, Cetakan pertama Tahun 1981, hlm 193.
30
31 Nusantara, karena sebelum datangnya Islam mereka telah mempunyai kebudayaan yang dipengaruhi dan diwariskan dari dua aliran kepercayaan yaitu animisme dan dinamisme serta
dua agama yaitu Hindu dan Budha.
Jadi
kedatangan Islam secara langsung atau tidak langsung berhadapan dengan kebudayaan yang telah ada. Seperti dituturkan oleh Prof. Ruslan Abdulgani dalam dalam seminar sejarah masuk dan berkembangnya Islam Di Aceh dan Nusantara, yang diadakan di Aceh Timur pada tahun 1980 yang menyatkan: “Bahwa Islam telah datang kekepulauan Nusantara membawa tamaddun, kemajuan dan kecerdasan. Namun kedatangan Islam ke Nusantara itu bukan dalam suatu fakum peradaban akan tetapi bertatap muka antara dua peradaban.”29 Terjadinya asimilasi antara peradapan tersebut sangat berpengaruh pada suatu tatanan sosial masyarakat tersebut. Apabila kedua peradaban ini telah bercampur maka mau tak mau peradaban lama (adat istiadat) daengan peradaban baru (Hukum Islam) harus ada persesuaian dan dapat berjalan seiring dengan tidak ada paradok diantara keduannya, akan tetapi penyatuan tersebut harus membutuhkan waktu yang panjang. Kerajaan atau pemerintahan dalam sistem kemasyarakatan merupakan puncak dari kegiatan yang telah dirintis atau dibangun sehingga berdirinya suatu negara merupakan perjuangan yang telah melewati berbagai saluran. Kenyataan ini menunjukan bahwa
Islam di Nusantara telah menjadi penggerak kepada
kemajuan masyarakat. Sistem Islam telah dilaksanakan secara baik oleh masyarakat dan hal tersebut dapat terlihat dari laporan Ibn Batutah yang singgah di Samudra Pasai pada tahun 1315, Ibnu Batutah sangat mengagumi perkembangan islam di negeri ini.Selain itu ia juga mengagumi kemampuan Suktahn al-malik al-zahir berdiskusi dengan dia tentang berbagai masalah Islam dan ilmu fikih. Menurutnya sultan selain sebagai raja ia juga sebagai seorang fukaha yang
29
M. Beni Banta Cut, Dalam Bunga Rampai Temu Budaya Nusantara, Pekan Kebudayaan Aceh (PKA 3), 1988. Hal 460
31
32 mahir tentang hukum Islam.30 Pelaksanaan syariat disini masih dalam skop mazhab Syafi‟i yang memang menjadi mazhab remi negara. Hal ini mungkin tidak terlalu signifikan dalam pelaksanaan syariat karena mazhab adalah suatu pemahaman dan memang pemahaman itu diperlukan dalam melaksnakan syariat. Hal penting adalah tidak ditemukan suatu data yang menyatakan perpecahan karena mazhab terjadi di Nusantara. Pelaksanaan syariat dalam konteks ini merupakan tangung jawab negara agar masyarakat dapat dibina melalui pengamalan syariat (agama). Kondisi ini paling tidak telah menjadi awal yang baik bagi pelaksanan Islam dalam kehidupan masyarakat di Indoensia atau nusantara secara umum. Kondisi
di
atas,
berpengaruh
bagi
perkembangan
agama
Islam
selanjutnya. Karena interaksi yang demikian baik telah dimulai sehingga perkembagan Islam tidak mendapat perlawanan atau penolakan dari penduduk setempat. Namun kondisi ini tidak berlansung lama karena kedatangan penjajahan yang memotong perkembangan agama Islam selanjutnya. Setelah penjajah datang keberadaan
Islam mempunyai pasang surut
sejarah dengan berbagai ketentuan yang diterapkan oleh pejajah Belanda. Pada awal masuknya VOC (1602-1800) ke Indonesia, mereka masih menghormati setiap aturan adat istiadat dan agama dari penduduk pribumi. Pengakuan ini nampak dari adanya Compendium Preijer, yang disusun oleh Belanda yang memuat tentang peraturan yang menjadi pedoman bagi orang Islam dalam menjalankan aktifitas yang berhubungan dengan perkawinandanwarisan. Pada masa inilah maka disebut berlakunya teori receptio in complekxu. Selanjutnya Pemerintahan Belanda langsung masuk ke Hindia Belanda mengantikan VOC. Perlawanan terhadap penjajah sangat dirasakan oleh pemerintah Belanda dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa menjadi kekuatan
masyarkat muslim
yang
pada umumnya adalah Agamanya,
Belanda tidak takut terhadap Islam sebagai Agama akan tetapi Belanada takut terhadap Islam sebagai doktrin politik pada waktu itu. Dengan kesimpulan yang
30
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan peradilan Agama (kumpulan tulisan), Raja Grafindo Persada, 1997, hlm. 190.
32
33 demikian maka diupayakan untuk memsisahkan orang Islam dengan agamanya. Dimotori oleh Cornelis van Vollenhoeven, P. Scholten dan Snouck Hogronye, maka digulirkanlah statemen bahwa hukum Islam yang ada dalam masyarakat baru diterima apabila sesuai atau diresepsi dengan dan oleh hukum adat, yang dikenal dengan teori resepsi. Dengan teori secara langsung atau tidak langsung mepengaruhi pergerakan kaum pejuang untuk melawan penjajah hal ini terlihat dari terjadinya perpecahan antara ulama derngan umara, anatar kelompok yang dominan kepada adat dengan kaum yang lebih dominan pada agama, antara kelompok yang konservatif dengan kaum kelompok modernis. Teori ini juga sukses membuat perpecahan antara anak negeri, yangkemudian dikenal dengan politik depide et empera. Upaya Belanda untuk memperpecah persatuan golongan pribumi, pada pertama kali adalah mengupayakan dualisme hukum, pertama dengan berdasarkan hukum yang hidup di dalam masyarakat serta kedua adalah berdasarkan hukum agama. Dengan demikian seolah-olah anatara hukum yang hidup tersebut dengan hukum agama cenderung dibedakan kemudian dipertentangkan. Pada masa teori Recepsi, pada masa inilah tiang-tiang hukum adat ditegakkan oleh Van Volen Hoeven, yang menyatakan tentang berlakunya hukum Islam apabila telah diresepsi dengan hukum adat, pada masa inilah hukum Islam dinafikan dan tidak diakuinya hukum Islam sebagai salah satu dari hukum yang hidup dalam masyarakat bila hukum tersebut tidak direcepsi dalam hukum adat. Bagi masyarakat Aceh
secara umum
teori resepsi
yang diterapkan
Belanda tidak terlalu berpengaruh. Kewenangan pemerintahan mukim, gampong serta keadaan agama dan adat istiadat. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini yaitu yang pertama Aceh tidak lama di kuasai oleh Belanda, karena Belanda mendapatkan perlawanan yang keras dari masyarakat Aceh. Tidak ada perang kolonial lain di Indonesia yang sedahsyat peperangan Belanda dengan pejuang Aceh Dahsyatnya peperangan tersebut ditulis dalam satu jilid khusus oleh G.B. Hooyer tentang masalah perang Aceh dengan Belanda dari tiga jilid bukunya. Hooyer ia menyatakan bahwa perang melawan Aceh adalah suatu
33
34 pelajaran (tempat belajar)
bagi tentara Belanda.31 Kedua masyarakat Aceh
adalah penganut Islam yang taat. Hal ini tercermin dapat sistem adat Aceh yang bersendikan Islam yang temuat dalam ungkapan Adat
bak poetumeurehum
hukom bak syiah kuala, qanun bak putro phang resam bak laksamana. Dalam ungkapan lain didaerah Gayo ditemui ungkapan Edet urum hukum lagu zet urm sifet lagu ruh orom nyawa. Yang berarti adat bersendikan hukum Islam, mengamalkan adat sama dengan mengamalkan dan menjaga hukum Islam. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan pengaruh teori resepsi tidak mempengaruhi kehidupan beragama serta kehidupan adat istiadat di Aceh. Mengenai pemerintahan di Aceh, pada tingkat bawah terdapat Ulee balang yang terdiri dari beberapa mukim. Setiap kemukiman dikepalai oleh imeum mukim. Daerah-daerah di Aceh, seperti daerah lainnya di Nusantara, kebijaksanaan pemerintah kolonial dijalankan dengan perantaraan aparatur pemerintahan adat dalam bentuk swapraja yang dikepalai oleh uleebalang. Di Aceh Besar uleebalang itu terbagi di sejumlah mukim yang dikepalai oleh seorang imum mukim. Di dalam setiap mukim terdapat sejumlah gampong atau meunasah yang dikepalai oleh seorang keuchik (kepala Kampung). Sejak beberapa waktu yang lalu daerah-daerah uleebalang itu tergabung dalam tiga buah federasi yang dinamakan sagi (baca;sagoe) yang dikepalai oleh seorang panglima sagi secara turun temurun. Di luar federasi ini juga terdapat mukimmukim yang berpemerintahan sendiri, yang imum-imumnya tidak tunduk di bawah uleebalang tetapi sama derajatnya dengan uleebalang. Di Aceh Utara dan Aceh Timur terdapat daerah-daerah uleebalang semacam susunan yang disebut uleebalang cut, uleebalang peut, uleebalang lapan. Masing-masing susunan ini terbagi dalam gampong yang dikepalai oleh keuchik atau petua. Pembagian atas mukim tidak dikenal di wilayah-wilayah ini. Jadi perkembangan
Islam
di Aceh sangat dipengaruhi oleh struktur
pemerintahan yang berlaku pada waktu itu, kelengkapan aparatur pemerintahan muali dari uleebalang sampaikegampong-gampong
biasanya dipegang oleh
31
G.B. Hooyer, De Krijgsgeschiedenis van Nederlandsc-Indie van 1811 tit 1894, jilid III, De Gebroeders van Cleef, Den Haag, 1897. Hal 5
34
35 orang yang mengerti
hukum Islam dan diangap mampu menjadi Imam bagi
masyarakatnya. Melihat perkembangan yang sangat
menyulitkan pemerintah Belanda
dalam menerapkan kebijakan di Aceh,dengan alasan bahwa orang Aceh sangat dekat dengan Islam atau panatik dengan ajaran Islam. Jalan yang ditempuh oleh Belanda adalah dengan mengadakan pendekatan dan mengadakan perjanjian baik secara kooperatif maupun represif. Pendekatan tersebut ditujukan kepada pemerintahan bumi putera yang berjumlah 100 (seratus) lebih ulee balang, dari keseluruhan tersebut
82 (Delapan puluh dua) dari padanya telah menanda
tangani perjanjian pendek dengan Belanda. Isi perjanjian ini secara singkat adalah sebagai berikut: 1. Bahwa negeri yang dikepalai oleh Ulee balang itu merupakan bagian dari Hindia Belanda dan berada di bawah kekuasaan Nederland, Uleebalang tetap setia pada Ratu Belanda dan pada wakilnya Gubernur Jenderal Hindia Belanda. 2. Tidak mengadakan hubungan dengan negara-negara asing. 3. Tunduk pada perintah Gubernur Aceh32
1. Islam pada Masa Kerajaan Aceh Darussalam Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan pada hari Jum‟at 601 H/1205 M di Banda Aceh dengan Raja pertama yaitu Meurah Johan dengan gelar Sulthan Alaiddin Johansyah anak Raja Linge dari Linge (daerah Aceh Tengah sekarang). Beliau dilantik di depan Ulama besar asal Yaman yaitu Syech Abdullah Kan‟an (Tgk. Chik di Lampene‟en). Kerajaan sesuai dengan asas pendirian merupakan Kerajaan Islam sehinga segala pengaturannya didasarkan kepada Islam. Sebagai Kerajaan yang baru Meurah Johan melakukan penataan kembali kerjaan dengan mendirikan berbagai badan yang menyokong kerajaannya. Lembaga-lembaga yang diperlukan dalam melaksanakan syariat Islam dirikan seperti lembaga peradilan, lembaga ulama, angkatan perang kerajaan, sekretaris 32
Ibid., hal, 5
35
36 negara dan sebagainya. Kerajaan ini
masih berdiri pada masa pendudukan
VOC, jadi kedudukan pemerintahan gampong sebagai persekutuan hidup masyarakat aceh dan kedudukan agama dan adat istiadat masih murni dibawah kendali kerajaan. Hal ini dibuktikan pada tahun abad ke- 17 ditemukannya kitab Shirattal Mustaqim karangan Syeikh Nuruddin Ar-Raniry33 yang menjabat sebagai Mufti dikerajaan Aceh Darussalam, yang kitabnya tersebut dijadikan sebagai kitab pedoman untuk umat Islam di seluruh nusantara. Dari perjalanan sejarah yang panjang tentang kerajaan Aceh Darussalam sangat syarat dengan penegakkan dan pengamalan syari‟at Islam, hal ini nampak dengan adanya lembaga pendidikan seperti Jami‟ah Baiturrahman, kemudian hukum yang berlaku saat itu bersumber dari Qanun Meukuta (AlQur‟an, Al-Hadits, Ijma‟ dan qiyas) serta pola kehidupan masyarakat juga mempunyai aturan hukum yaitu Resam (Undang-undang yang mengatur hal kemasyarakatan) dan adat ( Undang-undang yang mengatur hal kenegaraan). Dengan landansan peraturan perundang-undangan di atas, dapat dipahmi Kerajaan Aceh Darussalam menyatukan sistem hukum Islam dan sistem hukum adat dalam acuan dalam kehidupan bermasyarakat. Sistem hukum Islam pada masa pemerintahan kerajaan Aceh Darussalam, memberikan nilai yang sangat berharga bagi pemerintahan serta masyarakat. Sehingga kehidupan masyarakat pada kerajaan Aceh darussalam sangat termashur sebgai kerajaan besar dan berperadapan tinggi yang dikenal di Asia Tenggara pada khususnya dan di di dunia ini pada umumnya. Oleh karena itu kedudukan Kerajaan Aceh darussalam setara dengan beberapa kerajaan Islam yang dianggap berpengaruh di dunia adalah Kurasan, Andalusia, Turki Usamani, Mughal India dan sebagainya. Bila diteliti secara cermat yang menyebakan peran Agama Islam sangat terkenal pada kerajaan Aceh Darussalam adalah karena adanya syariat Islam yang betul-betul diterapkan (syariat Islam secara kaffah). Terwujudnya syariat Islam yang kaffah tersebut menurut kami tidak terlepas dari tiga hal penting yang menjadi latar belakang atau pundamen awal pada masa tersebut. a. Struktur dalam pelaksanaan syarari‟at Islam yang sempurna 33
Ahmad Rafiq. Hukum Islam Di Indonesia, Rajawali-Press Jakarta. 1995. Hal 17
36
37 Dalam sebuah struktur syariat Islam tersebut perlu diteliti mengenai subjek dan lembaga yang menjalankan syariat islam tersebut. Dari hal subjeknya,
pada
masa
Kerajaan
Aceh
Darussalam,
pengendali
pemerintah adalah Raja. Kedudukan raja dalam pemerintahan berlatar belakang umara sekaligus ulama, dengan kata lain seorang raja tidak hanya mengerti dalam hal-hal pemerintahan akan tetapi juga wajib mengetahui hal-hal yang menyangkut keagamaan dan seluk beluknya. Raja adalah seorang pemimpin sekaligus juga berfungsi sebagai hakim dalam menyelesaikan suatu perkara apakah yang bersifat menetap atau memutus. Raja pertama Kerajaan Aceh Darussalam adalah Sultan Ailidin Johan Syah (Meurah Johan), beliau adalah bekas murid dari Ulama besar asal Yaman yaitu Syech Abdullah Kan‟an (Tgk. Chik di Lampene‟en). Dengan latar belakang yang demikian maka mengenai pengetahuan keagamaan beliau tiidak diragukan lagi, selain juga beliau adalah seorang panglima perang yang dianggap mapan dalam ilmu strategi perang daan perpolitikan. Dari lembaganya.
Pada masa kerajaan Aceh Darusalam,
lembaga yang menjalankan syariat Islam adalah langsung di bawah koordinasi kerajaan. Sebagai wakil raja dalam bidang keagaaman maka raja langsung menunjuk seorang mufti, diantara mufti-mufti yang terkenal pada kerajaan Aceh Darussalam diantaranya adalah Nuruddin Ar-Raniry (wafat 1658 M), Syamsuddin As-Sumatrani (wafat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam hal-hal keagamaan. Lembaga-lembaga yang pernah hidup
dalam masa kesultanan Aceh Darussalam, yang
dianggap sebagai tulang punggung penerapan syariat Islam 1661 M) dan Abdurrauf As-Singkili (1615-1691 M) yang dianggap sebagai perpanjangan tangan raja dalam menetapkan atau memutuskan sesuatu, adalah: 1) Meunasah, 2) Imum Mukim 3) Panglima Laot 4) Haria Pekan
37
38 5) Petua Seuneubok. 6) Syah banda 7) Keuchik 8) Tuha Lapan 9) Tuha peut
b. Materi Hukum yang seragam dan disepakati secara sadar dan tidak sadar Seperti digambarkan dalam bebrapa tulisan para pakar sejarah tentang landasan
syari‟at Islam pada Kerajaan Acehdarussalam adalah
Al-
Qur‟an, Al-Hadits, Ijmak dan qiyas. Selainitu juga dilengkapi dengan Resam dan Adat. Perlu di ketahui bahwa antara
landasan hukum
tersebut di atas berjalan secara beriringan dan saling melengkapi. Anatara hukum Islamdan adat istiadat masyarakat Aceh berjalan searah tidak dipertentangkan walaupun ada adat sitaiadat dianggap tidak sesuai dengan Ajaran islam dirubah secara perlahan sehingga lama-kelamaan adat-istiadat
tersebut
dapat
dilurusakan
secara
evolusi.
Materi
pelaksanaan syari‟at Islamselain dalam Al-qur‟an, hadits, qiyas resam dan adat, juga terdapat dalam beberapa buku karangan yang dianggap sebagai
sumber materi hukum islam yang sangat mebantu dalam
pelaksanaan syarita Islam tersebut secara kaffah pada waktu itu diantaranya: Safinat al-hukkam al-khashsham, (bahtera para hakim dalam menyelesaikan perkara segala orang yang bertikai) pada masa sekarang kitab ini sama dengan buku Hukum Acara. Qanun al-Asy (Adat Meukuta Alam) yang mengandung hukum-hukum Dusturiyyat dan alaqwah Dauliyyah yang menjadi Undang-undang kerajaan. Dari adanay meteri hukum yang jelas, disepakati serta sesuai dengan keadaan masyarakat pada waktu itu maka aturan-aturan ini secara sadar ayau tidak sadar diikuti dan diamalkan oleh masyarakat. c. Budaya masyarakat yang mendukung Pada awalnya Islam sangat mudah diterima di Samudra Pasai, hal ini tidak terlepas dari strategi yang digunakan oleh para penyebar Islam dari
38
39 tanah Arab, Gujarat dan lain-lain secara damai. Hal ini terlihat dari dari penyebaran agama Islam dengan melalui perdagangan dan perkawinan. Menurut beberapa penelitian
bahwa langgengnya Islam di Nusantara
pada umunhya dan Aceh pada khusunya tidak terlepas dari cara penyebarannya denga jalan damai dan kekeluargaan. Bila dibandingkan mengapa Islam sekarang tinggal kenangan di Cordova (spanyol) tidak terlepas dari masuknya Islam kesana melalui invansi besar-besaran dan peperangan yang indentik dengan kekerasan. Begitu juga dengan berjalannya syariat Islam di Kerajaan Aceh Darussalam pada waktu itu, karena hukum yang terkandung serta ajaranyang ada dalam islam dianggap sesuai dengan budaya masyarakat pada masa itu. Dengan demikian munculah ungkapan Adat bak Peutemrhum hukom bak Syiah Kuala, Kanun bak putroe phang Resam bak laksamana. Artinya antara budaya masyarakat Aceh pada waktu itu mendukung berlakunya syari‟at Islam.
Mencermati berlakunya syariat Islam pada kerajaan Aceh Darussalam pada waktu itu, telah memenuhi standar sistem hukum modern, Hal ini adalah sebuah pengalaman dan pelajaran yang sangat berharga bagi ilmuan-ilmuan sekarang dalam menerapkan suatu sistem hukum dalam suatu masyarakat. Selain dari hal tersebut, hukum Islam merupakan
suatu yang bersifat
universal dan sesuai dengan keadaan segala zaman.
2. Islam di Aceh Setelah Indonesia Merdeka Setelah Indonesia merdeka Islam di Aceh ditelaah dalam tiga aspek, pertama dari aspek sosiologi dan kedua dari aspek yuridis kenegaraan dalam penyelenggaraan ajaran Islam serta ketiga adalah pelaksanaan lembaga adat sebagai pendukung eksistensi hukum Islam. Pertama; dari aspek sosiologi, masyarakat Aceh sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam baik dari aspek mental maupun adat istiadat yang berkembang. Hal ini bisa dilihat dari proses kelahiran orang sejak dari bayi sampai ia dikuburkan,
39
40 berlangsung dalam proses yang syarat dengan nilai-nilai keislaman. Misalnya bila lahir seorang bayi laki-laki langsung di azankan, begitu juga dengan bayi perempuan langsung diqamatkan. Dalam meninabobokan bayi juga selalu dilantungkan sealwat-selawat kepada Nabi. Setelah bayi berumur lima tahun kemudian diajarkan
untuk mengenal huruf hijaiyah, setiap
gampong selalu
dilengkapi dengan nama meunasah. Fungsi meunasah selain tempat shalat juga digunakan sebagai pusat pengajian, dan tempat bermusyawarah masyarakat gampong. Setelah anak-anak di Aceh berumur kurang lebih 10 tahun, anak lakilaki dikhitankan, hal ini sesuai dengan sunnah Rasulullah Saw. Dalam proses pengkhitanan berlangsung kenduri atau pesta yang diringi dengan acara berdoa pada arwah leluhur yang telah tiada. Pada umur kira-kira 20 tahun anak-anak laki-laki an anak perempuan sudah masnya dinikahkan. Di Aceh pernikahan merupakan sesuatu yang sakral, dengan
melaksanakan proses meminang,
sampai terjadinya aqad nikah (ijab qabul), setelah selesai proses tersebut lalu diberikan nasehat dengan khutbah nikah dan pesta yang melibatkan saudara dekat dan jauh. Ketika seseorang mendekati azal umpamanya pada waktu sakit keras juga dianjurkan untuk membaca surat yassin dan pada sakratul maut, diiringi dengan kalimat laillahailallah. Proses kematian bagi orang-orang dia Aceh juga sesuai dengan ajaran Islam yaitu dimandikan dikapankan dshalatkan dan dikuburkan. Kedua; dari aspek yuridis kenegaraan terjadi pasang surut hukum Islam sebelum merdeka sampai pada masa merdeka dapat digolongkan dalam 1. Periode penerimaan hukum Islam sepenuhnya. 2. Periode penerimaan hukum Islam oleh hukum adat. 3. periode penerimaan hukum Islam sebagai salah satu sistem hukum nasional Periode penerimaan hukum Islam sepenuhnya disebut juga “Receptio in Complexu” adalah memberlakukan penuh hukum Islam bagi orang Islam, sebab mereka memeluk agama Islam. L.W.C. Van den Berg mengatakan: “Bahwa bagi
40
41 orang Islam berlaku penuh hukum Islam sebab ia telah memeluk agama Islam walaupun dalam pelakasanaan terdapat penyimpangan.34 Hukum Islam yang telah berlaku sejak adanya kerajaan Islam di Nusantara hingga zaman VOC, hukum kekeluargaan Islam khususnya hukum perkawinan dan waris tetap diakui dan oleh pemerintah Hindia Belanda didirikan dasar hukumnya yaitu dalam “Regeering Reglement” (R.R) dalam stbl. Tahun 1854 : 129 atau stbl. Hindia Belanda 1855:2 berlakunya undang-undang Islam bagi orang Islam Indonesia itu telah ditegaskan pasal 75” oleh Hakim Indonesia itu hendaknya diperlakukan undang-undang agama (godsdienslige wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia itu”.35 Kemudian periode penerimaan Hukum Islam oleh hukum adat yang disebut juga “Theorie Receptie” adalah hukum Islam baru berlaku bila dikehendaki atau diterima oleh hukum adat. Pendapat “Prof. Snouch Hurgronye” ini diberi dasar hukumnya dalam undang-undang Dasar Hindia Belanda yang menjadi pengganti R.R. yang disebut : “Wet ap de staats inrichting Van Nederland Indie” disingkat “Indische Staatsregering” (I.S) yang diundangkan dalam stbl. Tahun 1929 : 212 Hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda, pasal 132 ayat (2) I.S. tahun 1929 itu berbunyi : “Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh Hakim Agama Islam apabila hukum adat mereka menghendakinya dan sejak itu tidak tentukan lain dengan suatu ordonansi”.36 Kemudian setelah Indonesia merdeka, maka berlakulah UUD 1945, hukum Islam berlaku bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam, karena kedudukan hukum Islam itu sendiri bukan karena ia telah diterima oleh hukum adat akan tetapi menjadi ilham dan senbagai salah satu sub sistem dari sistem hukum nasional. Hal ini di perjelas dalam Pasal 29 UUD 1945 disebutkan : 1. Negara berdasar atas Ketuhanan yang maha Esa. 34
Sayuti Thalib, Reciptio Acontrario (hubungan hukum adat dengan hukum Islam), (Jakarta, PT. Bina Aksara, 1982, cet. ketiga), hal. 16 35 Ibid., hal. 17-18 36 Ismail Suni, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Dalam Prospek Hukum Islam dalam Kerangka pembangunan hukum Nasional di Indonesia, sebuah kenangan 65 tahun Prof. DR. H. Bustanul Arifin, SH., (Jakarta, Pengurus pusat IKAHA, 1994)., hal. 194.
41
42 2. Negara
menjamin
kemerdekaan
tiap-tiap
penduduk
untuk
memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Dari pasal 29 UUD 1945 tersebut, jelas bahwa Negara menjamin hak rakyat dalam beribadah menunaikan agamanya masing-masing, dan bagi ummat Islam ini berarti menjalankan “aqidah wa syari‟ah” (kepercayaan dan hukum).37 Pada dasarnya dengan berlakunya UUD 1945 teori resepsi maka Indische Staatsregering (IS) tidak berlaku lagi, namun
teori tersebut masuk
dengan landasan yuridis yang kuat melalui PP No. 45 tahun 1957 tentang pembentukan Mahkamah Syar‟iy di luar Jawa/Madura, dan Kalimantan Selatan/Timur, melalui Pasal 4 ayat 91) yang berbunyi; “Mahkamah syar‟iyah memeriksa dan memutus perselisihan antara suami isteri yang beragama Islam, dan segala perkara yang menurut hukum yang hidup diputus menurut hukum Islam berkenaan dengan nikah dan seterusnya...”. Dari pasal di atas dapat dipahmi dua hal yang menjadi alasan mengapa teori resepsi masuk melalui Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 tersebut pertama adanya pemisahan antara hukum yang hidup dengan hukum Islam, hal ini jelas
dengan demikian kedua hukum tersebut diakui dari aspek materil
hukum. Kedua mengenai penyelesaian perkara dapat diambil pengertian bahwa apabila hukumyang hidup tersebut diputus menurut hukum Islam apabila telah diterima oleh hukum Islam, namun apabila belum direcepsi olehhukum Islam maka hukum yang hidup tersebut harus diselesaikan dengan hukum di luar hukum Islam. Kendala lain dari kedudukan mahkamah syar‟iyah adalah tidak adanya wewenang yang independen dan selalu di bawah bayangan pengadilan negeri, muali dari materi hukum sampai struktur hukumnya tidak diberikan secara sempurna. Misalnya dalam melaksanakan eksekusi Mahkamah Syar‟iyah
37
Bustanul Arifin, Prospek Hukum Islam Dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, Sebuah kenangan 65 tahun Prof. Dr. H. Bustanul Arifin, SH., Jakarta : Pengurus Pusat Ikatan Hakim Agama, 1994.. Cit., hal. 53.
42
43 pada waktu itu tidak mempunyai jurusita dan harus mendapatkan fiat eksekusi dari pengadilan negeri. Adapun hukum Islam yang secara tegas telah masuk sebagai bagian dari tata hukum Indonesia adalah telah disebutkan dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagai penjabaran dari pasal 29 UUD 1945 tersebut, yaitu hanya meliputi bidang-bidang hukum perdata tertentu saja bukan perdata Islam secara keseluruhan, apalagi bidang hukum pidana, sebagaimana disebutkan dalam pasal 49 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 ; sebagai berikut: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orangorang yang beragama Islam di bidang : a. Perkawinan b. Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. c. Waqaf dan Shadaqah. Di bidang hukum perkawinan telah diundangkan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan beserta aturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, termasuk didalamnya telah diatur juga mengenai masalah perceraian/thalak, mengingat perceraian adalah bagian dari hukum perkawinan. Kemudian sebagai hukum matriel yang merupakan hukum terapan bagi Pengadilan Agama sebagai salah satu lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman yang mempunyai tugas dan wewenang menyelesaikan perkara dibidang hukum perdata sebagaimana disebutkan pada pasal 49 Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 tersebut, yang meliputi hukum perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah,waqaf dan shadaqah. Pemerintah telah mengeluarkan intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang amarnya agar KHI tersebut disebarluaskan, digunakan oleh instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan masalah dibidang hukum perdata agama tersebut. Instruksi Presiden tersebut kemudian ditindak lanjuti oleh Menteri Agama dengan keputusannya nomor 154
43
44 tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991 sebagai upaya pensosialisasian kompilasi hukum Islam di Indonesia. Meskipun KHI diterbitkan melalui Intruksi Presiden yang bukan termasuk dalam intrumen hirarchi perundang-undangan di Indonesia, karena itu menurut A.Hamid Attamimi; KHI bukanlah peraturan perundang-undangan, dengan demikian bukanlah hukum tertulis (meskipun KHI ditulis).38 Karena itulah Kompilasi Hukum Islam bukanlah peraturan yang sifatnya mengikat, meskipun demikian paling tidak Kompilasi Hukum Islam dapat dijadikan sebagai acuan bagi Hakim Pengadilan Agama untuk diterapkan dalam menyelesaikan perkara yang dihadapi, dengan tujuan agar terwujud keseragaman hukum dibidang hukum perdata dimaksud. Dan pada akhirnya dapat tercapai kepastian, ketertiban serta keadilan hukum. Setelah Indonesia merdeka sistem hukum barat masih sangat kuat berlaku di Indonesia. Dari aspek yuridis hal ini diakui melalui pasal 2 Aturan Peralihan, bahwa badan-badan dan aturan yang ada masih tetap belaku sepanjang sebelum ada aturan lain yang menggantikanya. Dengan demikian sistem hukum Belanda
masih tetap di laksanakan.
Hazairin menyebutkan
bahwa teori resepsi adalah teori iblis dan bertentangan dengan ajaran Islam, oleh karena itu dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang perkawinan maka teori receptie tersebut dengan sendirinya tidak berlaku lagi. Karena dalam Undang-undang ini sahnya suatu perkawinan apabila sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaan masing-masing. Pada awal orde baru keadaan ini terus berlanjut, terjadinya perubahan pada tahun 1989 dengan diundangkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dalam Undang-undang tersebut Peradilan Agama sebagai peradilan khusus diberikan kewenangan absolut untuk menyelesaikan hal perkawinan, warisan, wakaf, wasiat dan shadaqah. Dari satu sisi keadaan Peradilan Agama telah diakui dengan demikian maka
dalam memutuskan
38
A.Hamid Attamimi, Kedudukan KHI Dalam Sistem Hukum Nasional suatu tinjauan dari sudut teori perundang-undangan Indonesia. Dalam prospek hukum Islam dalam kerangka pembangunan hukum Nasional di Indonesia sebuah kenangan 65 tahun Prof. Dr.H. Bustanul Arifin, SH. (Jakarta : Pengurus Pusat IKAHA, 1994), hal. 223-224.
44
45 perkara tidak lagi diperlukan penetapan dari Peradilan Umum, disisi lain kewenangan ini sangat sulit untuk dijalankan karena tidak adanya materi hukum yang seragam (univikasi) sehingga dalam menyelesaikan perkara yang sama antara satu pengadilan Agama dengan Pengadilan Agama yang lain terjadinya perbedaan produk putusan sangat besar peluangnya.
Perbedaan ini juga
dibenarkan dengan adanya SK No. 6 Tahun 1980, yang mengizinkan para hakim dalam memutuskan perkara berpedoman pada tiga belas kitab fiqh mazhab Syafi‟I yaitu Albajuri, Fathal-Mu’in, Syarqawi ‘ala al-Tahrir, alMahalli, Fath alWahhab, Tuhfat, Targhib al-Musytaq, Qawawin al-Syar’iyyah Utsman Ibn Yahya, Qawawin al-Syar’iyyah Shadaqah Dhi’an, Syamsuri fi al-Faraidh, Bughat alMustarsyidi, al-Fiqh ala alMadzahib al arba’ahdan Mughni Muhtaj. Meliaht banyaknay kitab yang dijadikan rujukan melahirkan keragaman putusan yang dilahirkan oleh para hakim. Melihat hal in menjadi suatu masalah yang akan mepengaruhi kewibawaan dan mengupayakan
ketidakpastian huykum maka pemerintah
untuk mengadakan suatu sumber hukum yang seragam
(uniform) dalam lembaga peradilan agama. Sejalan dengan itu maka pada tahun 1991 dikeluarkanlah Kepres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang di dalamnya diatur tiga buku, buku pertama tentang perkawinan, buku kdua tentang warisan dan buku ketiga tentang wakaf, hibah wasiat dan shadakah. Dengan adanya KHI tersebut merupakan langkah awal untuk melahirkan univikasi materi _ias_ Islam dalam hal keperdataan. Hukum sebagai sebuah _ias_m tentu ada sub-sub _ias_m yang perlu disempurnakan hal ini tidak _ias dilaksanaklan sekaligus, oleh karenanya pelaksanaan dilapangan harus melihat
situasi dan kondisi yang
tepat. Pada masa reformasi terjadilah perubahan yang sangat signifikan dalam tiga hal aspek kehidupan bangsa Indonesia. Ketiga hal ini diangap telah tidak sesuai lagi dengan semangat reformasi oleh karena itu ketiga aspek tersebut perlu untuk direformasi. Ketiga hal tersebut adalah, pertama reformasi dalam bidang hukum, kedua dalam bidang politik dan ketiga dalam bidang ekonomi. Dengan adanya reformasi di bidang hukum maka
kedudukan hukum Islam
45
46 sebagai salah satu sub sisten dari hukum nasional juga mendapat perhatian khusus, karena banyak para pakar hukum lebih cenderung memasukkan subsistem hukum Islam dalam upaya legislasi hukum nasional. Perlu diketahui peluang ini juga tidak banyak memberikan harapan karena andaikata pemerintah hanya terpukau pada materi hukum Islam an sich, yang sangat berperan dalam memberikan peluang berlakunya hukum Islam secara paripurna adalah juga menjadi tugas hukum tata negara Untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai daerah modal dan berpenduduk muslim dan merupakan daerah dengan sebutan serambi mekah. Selain itu Provinsi ini dianggap telah banyak berjasa dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, dengan demikian
maka para pemimpin Aceh
menginginkan adanya pelaksanaan syariat Islam di bumi Aceh. Namun hal ini tiodak mendapat tanggapan dari pemerintah pusat dalam kenyataan. Akibat kekecewaan maka Daud Berueuh, mendirikan DI/TII pada tahun 1953 sebagai aksi protes dan wujud kekecewaan terhadap pemerintah pusat. Melihat hal ini merupakan suatu kendala bagi pemerintah pusat maka diberikan kedudukan istimewa bagi provinsi ini, yaitu istimewa dalam bidang pendidikan, agama, dan adat istiadat. Dengan demikian maka di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terdapat peradilan Mahkamah Syar‟iyyah yang berwenang dalam menangani nikah, cerai, thlak dan rujuk (NTCR) dengan ketentuan harus mendapat pengesahan dari Pengadilan Negeri dalam hal penetapan putusan. Walaupun dari satu sisi pemerintah pusat mengakui keistimewaan dalam tiga bidang tersebut, akan tetapi pelaksanaan di lapangan tidak berjalan sebagaimana yang di harapkan. Kendala utama adalah minimnya anggaran daerah unruk membangun infrastruktur untuk mendukung terlaksananya ketiga bidang keistimewaan tersebut. Ketiga;
dari
pelaksanan
lemabag
adat
sebagai
pendukung
berkembangnya hukum Islam. Hal ini bisa dilihat dari lembaga-lembaga yang berperan dalam tata pemerintahan yang ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
46
47 Lembaga
Adat
sudah
sejak
lama
diakui
keberadaannya
oleh
masyarakat Aceh. Lembaga Adat adalah satu organisasi kemasyarakatan adat yang dibentuk oleh masyarakat hukum adat tertentu dan berwenang mengatur dan mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat Aceh. Dibawah ini akan diuraikan Lembaga Adat yang secara turun temurun telah dikenal dalam masyarakat adat Aceh, sampai pada masa orde baru yang menjalani degradasi dalam pembinaannya. Lembaga Adat tersebut adalah : a. Lembaga adat Keuchik. Lembaga ini sebagaimana yang telah diuraikan diatas adalah pemimpin tertinggi digampong (desa) yang melalui UU No. 5 Tahun 1979 telah berubah nama dengan Kepala Desa. b. Lembaga Imeum Mukim. Imeum Mukim adalah pimpinan mukim yaitu satu kesatuan masyarakat hukum adat dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri dari beberapa gampong. Pada masa orde baru dengan diberlakukan UU No. 5 Tahun 1979, fungsi pemerintahan dari Imeum Mukim menjadi hapus dengan ditetapkan gampong menjadi desa dan kelurahan. Akan tetapi dalam perkembangan
selanjutnya
Lembaga
ini dihidupkan
kembali dengan
dikeluarkan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh No. 5 Tahun 1996, tentang Mukim Sebagai Kesatuan Masyarakat Adat Dalam Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Berdasarkan peraturan daerah tersebut, Imeum Mukim tidak lagi berkedudukan sebagai unit pemerintahan terendah, akan tetapi semata-mata merupakan kesatuan masyarakat hukum adat dan keoordinator dari gampong-gampong yang berada dalam kemukiman. Dengan demikian Imeum Mukim mempunyai fungsi : 1). Melancarkan khususnya
pelaksanaan pembangunan
pemerintahan
kemasyarakatan
dan dan
pembangunan sosial
budaya
digampong-gampong yang berada didalam koordinasinya. 2). Mengurus segala urusan hukum adat dan adat istiadat dalam kemukimannya.
47
48 3). Menyelesaikan
dan
menetapkan
hukumnya
dalam
hal
adanya
sengketa-sengketa adat . 4). Membina dan mengembangkan nilai-nilai adat Aceh. 5). Menjaga dan memelihara serta memanfaatkan kekayaan mukin untuk kesejahteraan kemukiman. c. Lembaga Tuha Peut. Lembaga Tuha Peut adalah Lembaga yang terdiri dari pemuka masyarakat, unsur agama, unsur pimpinan adat dan unsur cerdik pandai yang ada digampong. Dengan keluarnya UU No. 5 Tahun 1979 maka lembaga Tuha Peut berubah nama menjadi LMD sebagaimana yang telah diuraikan diatas. d. Lembaga Tuha Lapan. Lembaga ini merupakan badan kelengkapan gampong dan mukim yang terdiri dari unsur pemerintah, unsur agama, unsur pimpinan adat, pemuka masyarakat, unsur cerdik pandai, unsur pemuda dan unsur wanita serta unsur kelompok organisasi masyarakat. e. Lembaga Imeum Menasah Lembaga
Imeum
menasah
keberadaannya
diperlukan
dalam
masyarakat adat sehubungan dengan kegiatan masyarakat digampong dengan mengkoordinir pelaksanaan kegiatan beragama dan peningkatan peribadatan serta pelaksanaan syariat Islam dalam kehidupan masyarakat. f. Lembaga Keujruen Blang. Lembaga ini berperan sebagai pembantu Geucik dibidang pengaturan dan penggunaan irigasi untuk persawahan. g. Lembaga Panglima Laot. Selain berwenang memimpin adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dibidang penangkapan ikan laut, juga mengatur tempat/areal penangkapan ikan dan penyelesaian sengketa. h. Lembaga Peutua Seuneubok.
48
49 Lembaga ini berwenang memimpin dan mengatur ketentuan-ketentuan tentang pembukaan dan penggunaan lahan untuk perladangan dan perkebunan. I. Lembaga Haria Peukan. Lembaga Haria Peukan berwenang mengatur ketertiban, keamanan dan kebersihan pasar serta mengutip retribusi pasar gampong. j. Lembaga Syahbandar. Lembaga
ini
berwenang
memimpin
dan
mengatur
tambatan
kapal/perahu dibidang angkutan laut, danau dan sungai. Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, lembaga-lembaga adat yang telah disebutkan diatas berfungsi sebagai alat kontrol keamanan, ketentraman dan ketertiban masyarakat baik preventif maupun represif, antara lain sebagai penengah (hakim perdamaian) untuk mendamaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat serta menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan. Diantaranya, lembaga-lembaga tersebut telah agak kabur keberadaanya dengan bergesernya manajemen pemerintahan dari pola lama, misalnya: Keberadaaan Tuha Lapan, Peutua Seuneubok, Haria Peukan dan Syahbanda. Dengan adanya LMD, Tuha Lapan telah tergeser perannya bahkan tidak pernah didengar lagi digampong-gampong musyawarah/rapat yang dilakukan Geuchik dengan Tuha Lapan. Demikian juga peranan Peutua Seuneubok tergeser oleh kebijakan pemerintah mengenai perlindungan hutan. Lain lagi dengan adanya instansi atau aparat pemerintah yang menangani pasar dan pemungutan restribusi serta petugas-petugas pelabuhan yang lambat laun telah menghilangkan peran Haria Peukan dan syahbandar. Menyadari kemungkinan akan hilangnya atau tergesernya sedikit demi sedikit lembaga-lembaga adat atau adat istiadat serta budaya hidup ditengah masyarakat yang notabenenya yang menjadi pendukung syari‟at Islam, maka pemerintah mengeluarkan keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh No. 430/75/1989, tentang pembentukan Lembaga Adat Dan Kebudayaan Aceh (LAKA) . Sesuai dengan pasal 3 keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh No.430/75/1989 tersebut, LAKA bertugas:
49
50 a. Meningkatkan cara pemeliharaan, pembinaan dan menyebar luaskan adat dan kebudayaan Aceh dalam masyarakat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari adat dan kebudayaan Indonesia. b. Meningkatkan penyelenggaraan pendidikan calon budayawan, seniman adatwan
yang
profesional
sesuai
dengan
keadaan
dan
kebutuhan
masyarakat di Daerah. c. Meningkatkan penyebarluasan adat dengan kebudayaan Aceh kedalam masyarakat melalui keureuja Udep dan keureuja mate, pementasan pengelaran kreatifitas media cetak dan elektronik dan sebagainya. d. Meningkatkan kerja sama dengan berbagai pihak,
perorangan maupun
badan-badan yang ada kaitannya dengan masalah adat dan kebudayaan Aceh pada khususnya dan adat kebudayaan Indonesia pada umumnya, baik didalam maupun diluar negeri, sejauh tidak bertentangan dengan agama, adat istiadat, tidak merusak kebudayaan bangsa dan perundang-undangan yang berlaku. e. Menyusun risalah-risalah untuk menjadi pedoman terhadap adat dan seni budaya. f. Merencanakan penyelenggaraan Peukan Kebudayaan Aceh (PKA) setiap lima tahun sekali. Dan Peukan kebudayaan Aceh daerah Tk. II Aceh. g. Mengusahakan perwujudan dalam masyarakat maksud dan makna falsafah hidup (hadih maja) yang berfungsi : Adat bak Poteumerhom, hukom bak syiahkuala, kanun bak putroe phang resam bak laksamana ; hukom ngoen adat lage zat goen sifat.
Dari uraian tugas (job descpription) tersebut dapat disimpulkan bahwa LAKA
merupakan benteng pengamanan adat istiadat dan kebudayaan di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dari ancaman-ancaman yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan adat. Benteng-benteng ini dibangun tidak hanya ditingkat Provinsi juga di kabupaten kecamatan dan desa bahkan di luar Provinsi. Keberadaannya adalah sebagai berikut ; a. Di ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darusalaam dibentuk LAKA pusat.
50
51 b. Di ibukota Kabupaten/Kota dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dibentuk cabang LAKA. c. Di ibukota kecamatan dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dibentuk ranting LAKA. d. Disetiap desa dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam lembaga Tuha Peut gampong berfungsi sebagai LAKA gampong. Dengan jenjang tingkatan LAKA diatas terlihat keunikan ditingkat gampong yang tidak perlu lagi dibentuk LAKA karena secara otomatis lembaga Tuha Peut dapat menjalankan fungsi dan berperan sebagai LAKA dalam melestarikan
dan
membina
adat
istiadat
dan
kebudayaan
digampong.
Sedangkan apabila dianggap perlu diluar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat dibentuk perwakilan LAKA. Dari uraian diatas dapat disimpulkan eksistensi lembaga-lembaga adat dan LAKA sebagai benteng pengamanannya sangat dibutuhkan untuk pembinaan pemeliharaan, pengembangan dan pelestarian adat istiadat yang secara langsung dan tidak langsung berpengaruh pada pengamanan nilai-nilai keagamaan ditengah-tengah masyarakat Aceh
51
52 B. PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM DI PROVINSI NAD
1. Pemberlakuan Otonomi Daerah Perkembangan ketatanegaraan Indonesia pasca runtuhnya orde, dilajutkan dengan orde reformasi, diantara agenda reformasi adalah perlunya ada perubahan bidang politik terutama dalam hal kebijakan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Dengan
alasan tersebut maka perlu diatur
reformulasi baru tentang pemerintah daerah, hal ini dengan dierapkannya otonomi daerah, yang diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Kita ketahui bahwa pada masa orde baru berkuasa, kehidupan berbangsa dan bernegara dalam segala bidang semuanya mengacu pada usaha penyeragaman dan bersifat sentralistik, nilai-nilai adat istiadat yang hidup dan berkembang didaerah-daerah nampak tidak begitu terakomodasi, perbedaan-perbedaan corak karakteristik yang ada didaerah-daerah kurang mendapatkan pengakuan dan penghargaan, “Bhineka Tunggal Ika” yang didengung-dengungkan
hanyalah
merupakan
jargon
semata
tanpa
diiplementasikan secara propesional. Temasuk dalam hal wewenang dalam hal pemerintahan desa serta instansi lembaga, adat yang ada di daerah gunanya dimasyarakatkan dan diatur oleh pemerintah pusat secara sentralistik, adanya UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok pemerintahan di daerah dan UU No. 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa yang menyeragamkan nama, bentuk, susunan dan kedudukan pemerintahan desa. Kewenangan pemerintahan (Pemerintahan Desa) serta keberadaan lembaga adat, di Aceh seperti Mukim, Gampong dan sebagainya, semuanya menjadi tidak berdaya bahkan hilang sama sekali dari permukaan (punah). Dari keadaan tersebut diatas mendorong keinginan terjadinya suatu perubahan hingga pada tahun 1998 bergulirlah tuntutan reformasi dari rakyat yang menginginkan perubahan penyelenggaraan pemerintahan secara total.
52
53 Dalam era reformasi dalam mewujudkan pemerintahan yang demokratis yakni pemerintahan yang menjunjung tinggi dan mengakomodasi adat istiadat di daerah-daerah, serta memberikan kewenangan luas kepada pemerintahan daerah (Pemerintahan Desa), mengatur dan mengurus kehidupan masyarakat daerah atau desa secara mandiri, maka pemerintah (pemerintah pusat) telah memunculkan Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang otonomi Daerah sebagai menggantikan undang-undang yang ada sebelumnya yaitu Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintah di Daerah dan Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Hal ini perlu di bahas, karena pelaksanaa Syari‟at islam hanya diatur oleh pemerintah akan tetapi dalam menjalankannya
adalah
masyarakat yang terdapat dalam suatu persekutuan hukum terkecil di Aceh disebut dengan Gampong. Dalam Undang-undang No. 22 tahun 1999 Bab I pasal 1 huruf (h), (i) dan huruf (o) di sebutkan : 1. Otonomi Daerah adalah kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 2. Daerah otonomi, selanjutnya di sebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan apirasi masyarakat dalam Ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya di sebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan Nasional dan berbeda didaerah kabupaten. Dari bunyi pasal-pasal tersebut di atas jelas bahwa Pemerintahan Daerah yang meliputi pemerintahan desa di berikan kebebasan serta kewenangan yang lebih luas yakni untuk mengurus dan mengatur
53
54 kepentingan/kehidupan masyarakat daerah/desa berdasarkan/sesuai dengan aspirasi nilai-nilai adat istiadat setempat secara mandiri tanpa ada paksaan dan perseragaman lagi oleh pemerintah pusat seperti yang terjadi pada era sebelumnya
(era
orde
baru),
demikian
juga
mengenai
keberadaan
(eksistensi) Lembaga-Lembaga adat yang ada di Daerah-Daerah, dengan adanya Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah tersebut. Lembaga-lembaga adat telah di akui kembali keberadaannya, lembagalembaga
adat
telah
di
berikan
kebebasan
untuk
menampakkan,
memunculkan serta memfungsikan dirinya di tengah-tengah masyarakat di daerah/desa yang sebelumnya lembaga-lembaga adat tersebut seakan mati suri, ada tapi kurang berfungsi, tenggelam serta kurang eksis keberadaanya, lembaga-lembaga adat di maksud tentu saja corak, bentuk, serta modelnya akan sangat berlainan (berbeda) antara daerah satu dengan daerah yang lain di Indonesia yang itu sebenarnya mencerminkan kekayaan khasanak budaya bangsa Indonesia yang patut kita akui dan kita hargai. Untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, selain berlaku UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, Juga berlaku UU No. 44 tahun 1999 Tentang Penyelenggaran Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Misi Undang-undnag tersebut jelas bahwa keistimewaan yang diberikan oleh pemerintah pusat mesti dijalankan, salah satu jalanya adalah membuat Perda yang berkenaan dengan keistimewaan tersebut, terutama pelaksanaan syari‟at Islam dan penyelenggaran adad istiadat. Dari Undang-undang ini disadari betul harus ada lembaga yang mengurus pelaksanaan Syari‟at Islam setingkat Dinas yang dipimpin oleh seorang kepala dinas dengan eselon 2a. Hal inipun terwujud dengan dikeluarkannya PERDA Istimewa Aceh No. 33 Tahun 2001
Provinsi Daerah
tentang Pembentukan Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Dinas Syari‟at Islam Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Dalam
pasal 2 disebutkan tentang kedudkan, tugas, fungsi dan
kewenagang lembaga ini. Dala Pasal 2 ayat (1) disebutkan “Dinas syari‟at Islam adalah perangkat daerah sebagai unsur pelaksana Syari‟at Islam di
54
55 lingkungan Pemerintah Daerah Istimewa Aceh berada di bawah Gubenur.” Adapun tugas yang harus diemban oleh lembaga ini ada lima hal yaitu:
Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan perencanaan, penyiapan qanun yang berhubungan dengan pelaksanaan Syari‟at islam serta mendokumentasikan dan menyebarluaskan hasil-hasilnya.
Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan penyiapan dan pembinaan sumber daya manusia yang berhubungan dengan Pelaksanaan Syari‟at islam
Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan kelancaran dan ketertiban pelaksanaanya serta penyemarakan syi‟ar islam
Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan bimbingan dan pengawasan terhadap Pelaksanaan Syari‟at islam ditengahtengah masyarakat.
Pelaksanaan tugas yangberhubungan dengan pembimbingan dan penyuluhan syari‟at islam.
Dari kewengaan di ats merupakan suatu tugas yang sangat berat oleh karena itu dalam menjalankan kedua Undang-undang (Undang-Undang No. 22 tahun 1999 dan Undang-Undang No. 44 tahun 1999) dan Perda Provinsi Daerah Istimewa Aceh No. 33 Tahun 2001, tentu bukan suatu perkara yang mudah, perlu perbaikan infra struktur dan faktor pendukung yang besar terhadap kedua Undang-undang tersebut di atas, dahulu Daerah Istimewa Aceh juga pernah diberikan keistimewan namun tidak diiringi dengan adanya fasilitas pendukung yang memadai. Kekhawatiran itu tertutupi dengan lahirnya aturan tentang perimbangan atau pembagian keuangan yang sesuai dengan kebutuhan daerah kemudian dikenal dengan UU No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan adanya dana yang dibutuhkan dari hasil perimbangan memberikan peluang dalam pengelementasian UU No. 44 Tahun 1999
55
56 tersebut, maka di Aceh perlu diberdayaan lembaga-lembaga keagamaan dan adat agar lebih konkrit eksistensinya, pemerintah daerah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) telah mengeluarkan tiga Perda yaitu Perda No. 3 Tahun 2000 tentang pembentukan Organisasi dan tata kerja MPU Provinsi daerah Istimewa Aceh,
Perda No. 5 tahun 2000 tentang pelaksanaan
Syari‟at Islam serta Perda No. 7 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan kehidupan adat. Dalam Perda No. 3 Tahun 2000 tentang pembentukan Organisasi dan tata kerja MPU Provinsi daerah Istimewa Aceh, mengenai tugas MPU disebutkan dalam pasal 4 sampai pasal 6 dengan ketentuan sebagai berikut: Pasal 4 MPU mempunyai tugas memberikan masukan, pertimbangan, bimbingan dan nasehat serta saran-saran dalam menentukan kebijakan Daerah dari aspek Syari‟at Islam, baik kepada Pemerintah daerah maupoun kepada masyarakat di daerah. Pasal 5 Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud pada pasal 4, MPU fungsi menetapkan Fatwa Hukum, memberikan pertimbangan baik diminta atau tidak terhadap kebijakan daerah, terutama dalam bidang pemerintahan. Pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan serta tatanan ekonomiyang Islami. Pasal 6 MPU ikut bertanggung jawab atas terselenggaranya pemerintahan yang jujur dan berwibawa serta islami di daerah ini.
Dari isi pasal di atas, dengan dibentuknya MPU tersebut merupakan suatu langkah maju dalam pembinaan Syari‟at Islam, memlaui suatu institusi yang keberadaaannya ditopang dengan kekuatan yuridis. Dengan demikian setiap
tugas dan pelaksanaanya telah mendapat legitimasi yang kuat.
Namun demikian dalam pelaksanaan di lapangan sering muncvul benturanbenturan serta kendala-kendala. Hal ini terjadi karena tahap
penerapan
56
57 lembaga ini adalah pada masa transisi dari pelimpahan wewenagg dari pusat ke daerah dengan demikian perlu disesuaikan dengan keadaan yang berkembang. Perda kedua yang dikeluarkan pemerintah daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Perda No. 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari‟at Islam. Dalam pasal 3 disebutkan bahwa “Pemerintah daerah berkewajiban mengembangkan dan membimbing serta mengawasi pelaksanaan Syari‟atIslam dengan sebaik-baiknya.” Dari isi pasal tersebut dipahami bahwa pelaksanaan Syri‟at Islam selain kewajiban masyarakat juga menjadi kewajiban pemerintah daerah, dari aspek menyediakan infra struktur yang
berhubungan langsung dalam upaya peneggakan Syari‟at Islam
tersebut. Aspek-aspek yang harus dilaksanakan berdasrkan Perda ini adalah sebagaimana terdapat dalam Pasal 5 ayat (2) yaitu: pelaksanaan Syari‟at Islam meliputi: a.
aqidah
b.
ibadah
c.
mu‟amalah
d.
akhlak
e.
pendidikan dan dakewenanganah islamiah/amar ma‟ruf nahi mungkar
f.
bitulmal
g.
kemasyarakatan
h.
syi‟ar Islam
i.
pembelaan Islam
j.
qadha
k.
jinayat
l.
munakahat
m.
mawaris.
Dengan ketentuan tersebut maka pelaksanaan Syariat islam dari aspek yuridis telah diakui dan diatur secara kaffah, tinggal pelaksanaa di lapangan
57
58 yang menetukan berjalan atau tidaknya aturan-aturan yang telah diigariskan tersebut. Perda ketiga adalah tentang penyelenggaraan adat istiadat Perda tersebut pada pokoknya adalah mengfungsikan kembali lembaga-lembaga adat yang telah ada sebelumnya di Nanggroe Aceh Darussalam, dalam pasal 5 perda No. 7 tahun 2000 disebutkan : 1). Lembaga-lembaga adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat di daerah tetap di pertahankan, di manfaatkan, di pelihara, di berdayakan dan dibakukan. 2). Lembaga-lembaga adat sebagaimana di maksud dalam ayat (1) antara lain : a. Mukim b. Geucik c. Tuha Peut d. Tuha Lapan e. Imum Menasah f. Keujruen Blang g. Panglima Laot h. Peutua Seuneubok i.
Haria Peukan
j.
Syahbanda
Selanjutnya pasal 4 Perda No. 6 disebutkan : Pasal 4 : Lembaga-lembaga adat di jadikan alat sosial kontrol dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Pasal 6
: Lembaga adat sebagaimana di maksud pada pasal 5 berfungsi sebagai
alat
kontrol
keamanan,
ketentraman,
kerukunan
dan
ketertiban masyarakat baik prefentif maupun represif antara lain : a. Menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan. b. Penengah (Hakim perdamaian) mendamaikan sengketa yang timbul di masyarakat.
58
59
Dari pasal-pasal peraturan daerah tersebut dapatlah kita pahami dan nampak jelas bahwa lembaga adat yang ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah sangat di akui keberadaanya serta di fungsikan kembali sebagai sosial kontrol dalam kehidupan bermasyarakat di daerah Nanggroe Aceh Darussalam, bahkan sebagai kontrol pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana di sebutkan dalam pasal 4 Perda No. 7 tahun 2000 tersebut diatas, yang selama ini, yakni 32 tahun orde baru berkuasa lembaga-lembaga adat tersebut tenggelam dan tidak berdaya (mati suri). Dari uraian tersebut diatas dapatlah dirincikan bahwa secara yuridis pada era reformasi, pemerintah daerah telah di beri kewenangan yang cukup atau lebih luas yakni di berikan kebebasan untuk mengurus atau mengatur kehidupan masyarakat secara mandiri dengan didasarkan pada potensi nilainilai keagamaan dan adat istiadat yang ada dan berkembang dalam masyarakat
daerah/desa
setempat,
demikian
juga
lembaga-lembaga
keagamaan dan adat telah nampak jelas eksistensinya dengan ditandai berfungsinya kembali lembaga-lembaga adat tersebut dalam mengatur serta sebagai sosial kontrol kehidupan masyarakat Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
2. Pemberlakuan Otonomi Khusus Masa Undang-Undang No 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
UU
ini
berlaku
mulai
sejak
Undang-undang
tersebut
diundangkan pada tanggal 9 Agustus 2001, undang-undang ini diberikan sebagai kompensasi oleh pemerintah setelah selama 32 tahun rezim orde baru berkuasa dengan sistem sentralis yang secara langsung atau tidak langsung
mengakibatkan ketidakadilan diberbagai daerah terutama di
daerah yang merasa mempunyai sumber daya alam yang lebih dari daerahdaerah lainnya.
59
60 Undang-Undang No. 18 tahun 2001 adalah suatu kebijakan yang tepat untuk dilahirkan, dengan demikian maka segala apa yang diinginkan oleh masyarakat Aceh tentang otonomi khusus akan dapat dinikmati. Dalam penegakkan Syari‟at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, adalah dengan
dibentuknya
Mahkamah
Syar‟iyah
Provinsi
Nanggroe
Aceh
Darussalam. Hal ini diatur dalam pasal 25 dengan ketentuan sebagai berikut: (1) Peradilan Syari‟at islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagi bagian dari sistem peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar‟iyah yang berbeda dari pengaruh pihak manapun. (2) Kewenangan Mahkamah Syar‟iyah sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), didasarkan atas Syariat
Islam dalam sistem Hukum nasional,
yang diatur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam . (3) Kewenangan sebagaiman dimaksud pada ayat (2) diberlakukan bagi pemeluk agama Islam. Selain ditentukan dalam qanun sebagai landasan operasional dari Undang-undang ini pemerintah mengeluarkan Kepres No. 11 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Syar‟iyah. Dengan adanya Kepres No. 11 Tahun 2003 tersebut merupakan suatu langkah konkret untuk menyatukan pemahaman tentang
lembaga Mahkamah Syar‟iyah
yang kerap ditafsirkan secara
partikular dan berbeda-beda. Qanun-qanun yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sampai saat ini berjumlah 14 qanun. Dalam hal ini kami membagi dalam yang kami bagi dalam tiga aspek, yaitu: 1. Qanun yang berhubungan dengan struktur atau lembaga pelaksana Syari‟at Islam. Qanun yang tergolong dalam poin a tersebut juga dapat dibagi dalam tiga jenis yaitu: 1) Qanun yang mengatur lembaga atau struktur pelaksanaan syari‟at Islam secara umum: Menyangkut tentang hal ini
terdapat dalam Qanun Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam No. 2 tahun 2003 tentang Sususnan
60
61 Keduddukan dan Kewenangan kabupaten atau kota dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 3 Tahun 2003 tentang Sususnan dan kewenangan Pemerintahan
Kecamatan
dalam
Provinsi
Nanggroe
Aceh
Darussalam. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 2 tahun 2003 tentang tentang pemerintahan mukim dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 5 tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 2) Qanun yang mengatur lembaga atau struktur pelaksanaan Syari‟at Islam secara khusus yaitu: Hal ini terdapat dalam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 10 Tahun 2002 tentang peradilan Syariat islam, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 3) Qanun yang mengatur tentang kedudukan lembaga dan kerjasama serta pembagian tugas atau kekuasaan dalam lembaga-lembaga tersebut.
Menyangkut hal tersebut terdapat dalam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 9 Tahun 2003 tentang Hubungan Tata kerja Majelis Permusyawaratan Ulama dengan eksekutif, Legislatif dan instansi lainya. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 11 Tahun 2004 tentang Tugas Fungsional Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam 2. Qanun yang berhubungan dengan materiel pelaksanaan Syari‟at Islam Hal ini terdapat dalam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 11 tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari‟at Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi‟ar Islam. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 12 tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan sejenisnya. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
No. 13 Tahun 2003 Maisir (Perjudian).
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 14tahun 2003 Khalwat
61
62 (Mesum) Serta Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 7 2004 Tentang Pengelolaan Zakat. 3. Qanun mengenai adat istiadat dan budaya sebagai faktor pendukung pelaksanaan Syari‟at Islam. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 3 Tahun 2004 tentang Pembentukan susunan organisasi dan Tata Kerja Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam serat Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 12 Tahun 2004 tentang Kebudayaan Aceh.
C. KEWENANGAN APARAT PEMERINTAH Sejalan dengan landasan pelaksanaan pemerintah yang telah diamanahkan oleh undang-undang maka dalam pelaksanaan syariat Islam terdapat beberapa lembaga yang mempunyai fungsi antara lain: 1. Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam Sesuai dengan UU No. 44/1999 dan UU No. 18/2001 yang telah memberikan kewenangan kepada pemerintah Aceh untuk mengurus pelaksanaan syariat Islam. Posisi Pemda adalah membuat kebijakan sehingga pelaksanaan syariat merupakan tanggung jawab pemerintah. Hal ini tentu berbeda dengan kedaan sebelumnya dimana agama merupakan bagian individu bukan urusan negara. Tetapi dengan otoritas yang dimiliki oleh Pemda NAD saat ini maka pelaksanaan syariat Islam dilakukan melalui penerbitan Qanun-Qanun sebagai pelaksanan syariat Islam. Artinya pelaksanaan syariat Islam adalah qanun –qanun. Ajaran Islam yang menjadi tanggung jawab Pemda adalah yang telah dirumuskan dalam qanun. Disamping itu, syariat Islam merupakan sebuah kekhususan bagi Aceh karena itu bagian dari otonomi khusus bagi Aceh. Penyerahan otonomi khusus dan penggantian nama Provinsi Daerah Istimewa menjadi Provinsi NAD Didasarkan kepada UU No. 18 Tahun 2001. kelahiran UU ini sendiri dilatar belakangi setidak-tidaknya oleh dua faktor utama; konflik Aceh berupa gerakan separatisme yang dilancarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka sejak tahun 1976; dan reformasi yang menuntut perubahan di segala aspek, terutama pola hubungan pusat dana daerah. Pola hubungan pusat
62
63 daerah yang sebelumnya berbasis sentralisasi berubah menjadi sentralisasi dengan disahkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004. UU Nomor 44 Tahun 1999 dianggap belum maksimal mengkomodir tuntutan Aceh, karena itu, Sidang Umum MPR Tahun 1999 melalui ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999, antara lain mengamanaikan pemberian otonomi khusus kepada Daerah Istimewa Aceh. Selanjutnya, Sidang Tahunan (ST) MPR Tahun
2000
melalui
ketetapan
MPR
No
IV/MPRI/2000
kembali
merekomendasikan agar UU Tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dapat dikeluarkan
selambat-lambatnya bulan Mei 2001. kemudian,
perubaahan kedua atas UUD 1945 yang dilakukan MPR pada sidang tahunan (ST) tahun 2000, dalam pasal 18 B ayat (1) mengakui dan menghormati satuansatuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa
yang
akan diatur dengan UU. Atas dasar perubahan yang relatif drastis ini, sebagian anggota DPR kembali mengajukan usul inisiatif mengenai Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, yang pada akhirnya disahkan sebagai UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi NAD, yang disyahkan pada tanggal 9 Agustus 2001. Pasal 31 (1) UU Nomor 18 Tahun 2001 menyatakan bahwa “Ketentuan pelaksanan Undang-Undang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah ditetepkan dengan Peraturan Pemerintah”; sedang pada ayat (2) dinyatakan bahwa
“Ketentuan
pelaksanaan
Undang-Undang
ini
yang
menyangkut
kewenangan Pemerintah Provinsi NAD ditetapkan dengan Qanun Provinsi NAD. Menurut pasal 1 angka 8 UU ini, qanun adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan
undang-undang
di
wilayah
Provinsi
NAD
dalam
rangka
penyelenggaraan otonomi khusus. Dari ketentuan ini terlihat bahwa Qanun Provinsi
NAD
(selanjutnya
disingkat
qanun)
adalah
peraturan
untuk
melaksanakan otonomi khusus dalam hal yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi.
63
64 Dengan demikian, walaupun dari satu segi qanun adalah peratuan daerah, tetapi dari segi laen qanun tidak tunduk kepada peraturan pemerintah karena qanun berada langsung dibawah undang-undang. Dengan kedudukan yang unik ini, maka tulisan ini ingin melihat bagaimana posisi qanun dalam tertib hukum di Indonesia, bagaimana menjabarkan kedudukan qanun tersebut, dan bagaimana kedudukan qanun dalam pelaksanaan syari‟at Islam. Namun, sebelumnya akan dipaparkan sedikit tentang sejarah dan makna otonomi khusus bagi Aceh.
Subtansi Pokok UU Nomor 44 Tahun 1999 Dengan UU Nomor 44 Tahun 1999 ini, keistimewaan yang selalu disebutsebut sebagai ciri utama dan telah menjadi “identitas” Aceh sejak tahun 1959 itu diharapkan akan menjadi lebih menyeluruh di tengah masyarakat. UU ini hanya mengatur hak-hak pokok dan memberi kebebasan kepada Daerah untuk mengatur pelaksanaannya melalui peraturan daerah dan keterlibatan ulama dalam pembuatan kebijakan daerah, agar kebijakan daerah lebih akomodatif terhadap aspirasi masyarakat Aceh. Adapun hal-hal pokok yang ditetapkan dalam UU Nomor 44 Tahun 1999 untuk menyelenggarakan keistimewaan yang diberikan kepada Aceh adalah sebagai berikut: Dalam pasl 1 angka 8 disebutkan bahwa “keistimewaan adalah kewenangan khusus untuk menyelenggarakan kehidupan beragama , adat, pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.” Pasal 1 angka 9 berbunyi, “Kebijakan Daerah adalah Peraturan Daerah atau Keputusan Gubenur yang bersifat mengatur dan mengikat dalam penyelenggaraan keistemewaan”. Pasal 1 angka 10, “Syari‟at Islam adalh tuntutan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan; “Pasal 1 angka 11, “Adat adalah aturan atau perbuatan yang bersendikan Syari‟at Islam yang lazim dituruti, dihormati, dan dimuliakan sejak dahulu yang dijadikan sebagai landasan hidup”. Mengenai keistimewaan di bidang kehidupan beragama, di atur dalam pasal 4 ayat (1) dan (2), bahwa penyelenggaran kehidupan beragama di daerah diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan Syari‟at Islam bagi pemeluknya dalam
64
65 bermasyarakat; dengan tetep menjaga kerukunan hidup antar umat beragama. Sedang cakupan Syari‟at Islam seperti dijelaskan dalam pasal 1 angka 10 di atas, telah didefenisikan secara relatif lengkap, yaitu mencakup seluruh ajarannya (tuntutan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan). Jadi UU ini telah memberikan pemahaman yang kaffah kepada Syari‟at Islam, mencakup ibadat, mu‟amalat, jinayat, munakahat bahkan lebih daripada itu mencakup „aqidah dan akhlak serta ajaran dan tuntutan di berbagai bidang lainnya. Sedangkan mengenai kehidupan adat, Provinsi NAD di beri izi melestarikan dan membentuk lembaga adat di tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan , kemukiman dan gampong (desa) yang seperti telah dikutip di atas tadi harus dijiwai serta sesuai dengan ajaran Islam. Selanjutnya, keistimewaan di bidang pendidikan, walaupun urusan pendidikan telah diserahkan kepada daerah dalam rangka otonomi daerah, namun
dengan
undang-undang
ini,
Daerah
Istimewa
Aceh
diberikan
kewenangan khusus untuk menata pendidikan, mengembangkan dan mengatur berbagai jenis dan jenjangpendidikan srta kurikulumnya dengan menambah materi muatan lokal yang berbasis kompetensi agar sesui dan mendukung pelaksanaan Syari‟at Islam. Dalam hubungan ini tentu perlu diingat dan dijaga bahwa penetapan kebijakan di bidang pendidikan ini harus tetap sejalan dengan sistem pendidikan nasional. Dengan demikian, aturan teentang penyelenggaraan keistimewaan dalam bidang kehidupan adat dan pendidikan, kelihatannya adalah untuk lebih memudahkan dan mengukuhkan pelaksanaan Syari‟at Islam dalam khidupan masyarakat muslim di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kemudian dari itu, pelaksaan Syari‟at Islam secara formal diperkut dan dipertegas lagi melalui melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001, tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
65
66 Otonomi Khusus dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 Dalam konsideren “menimbang” UU No.18 Tahun 2001 huruf d antara lain disebutkan bahwa ketentuan dalam UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999”…belum meampung sepenuhnya hak asal usul dan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.” Sedangkan dalam huruf e disebutkan “bahwa pelaksanaan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999…perlu diselaraskan dalam pernyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.” Dari kutipan ini dapat dipahami bahwa otonomi khusus adalah otonomi yang diberika sebagai tambahan atas otonomi yang sudah ada dan juga penyempurnaan atas penyelenggaraan keistimewaan yang sudah diberikan sebelumnya. Dalam pasal 3 Undang-undang ini ditemukan rumusan: 1) “Kewengan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang diatur dalam |Undang-undang ini adalah kewenangan otonomi khusus”; 2) “Kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam selain yang diatur dalam ayat (1) tetap berlaku sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Dalam kaitan ini, sekiranya diingat bahwa yang tidak diotonomikan oleh UU Nomor 22 Tahun 1999 pada pokoknya hanyalah lima buah urusan yaitu: hukum, agama, fiskal, hubungan luar negeri, dan pertahanan, maka otonomi khusus seyogyanya paling kurang dipahami sebagai pemberian sebagian kewenangan dalam lima urusan yang belum diotonomikan oleh UU No.22 Tahun 1999 sebelumnya. Dalam “penjelasan UU No.18 Tahun 2001 disebutkan bahwa “ hal mendasar dan Undang-undang ini adalah pemberian kesempatan yang lebih luas untuk mengatur dan mengrus rumah tangga sendiri termasuk sumbersumber ekonomi, menggali sumber daya alam dan sumber daya manusia, … dan mengaplikasikan syari‟at Islam dalam kehidupa bermasyarakat.” Pada alinia lainnya disebutkan, “kewenagan yang berkaitan dengan bidang pertanahan negara merupakan kewenagan pemerintah. Dalam hal pelaksanaan kebijakan tata ruang pertanahan untuk kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia diwilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang tidak bersifat rahasia,
66
67 pemerintah
berkoordinasi
dengan
Gubernur
Provinsi
Nanggroe
Aceh
Darussalam.” Akan tetapi, dalam UU Nomor 18 Tahun 2001 tidak menyebutkan dengan jelas asfek-asfek apa saja yang diserahlan kepada Aceh melaui otonomi khusus. Memang ada beberapa hal yang secara jelas dinyatakan berbeda dengan peraturan sebelumnya, seperti besaran nisbah dana perimbanagan, pnerimaan provinsi NAD dalam rangka otonomi khusus, dan jumlah anggota DPR Provinsiv maksimal 125 % dari jumlah yang ditetapkan UU. Kalaupun ada beberapa asfek yang secara jelas diserahkan kepada qanun untuk mengaturnya, asfek itu tidak lebih hanya merupakan tambahan atas otonomi dalam bidang yang sebelumnya sudah merupakan otonomi daerah. Yang dianggap baru misalnya asfek hukum dan agama yang dalam peraturan sebelum UU
No.22 Tahun 1999 tidak
termasuk asfek-asfek yasng diotonomikan. Terlepas dari batasan-batasan yang dilakukan UU Pemerintahan Daerah di atas, dalam UU No.18 Tahun 2001 ada 15 hal yang secara jelas dinyatakan “perlu diatur dalam qanun‟ yang spektrumnya relatif luas meliputi pemerinahan, keuangan, DPRD, pemilihan kepala daerah, hak memilh di Provinsi NAD, kepolisian serta peradila. Namun demikian, semua ini belum menjelaskan secara tegas cakupan otonomi khusus tersebut dan juga batas-batas kewenagan antara pemerintah pusat dan pemerintah Provinsi NAD. Namun demikian karna luasnya jangkauan bidang yang didelegasikan kepada qanun dan tidak adanya rincian yang jelas dan tegas tentang asfek yang diotonomi khususkan, maka kelihatannya terbuka lebar dan tidak dapat dihindari peluang terjadinya perbedaan penafsiran yang relatif luas dan bersegi banyak tentang: a) kandungan dan cakupan otonomi khusus; dan b) “kekuatan hukum” atau “daya tawar” qanun dalam hirarki perundangan di \Indonesia.
Pengertian Qanun Istilah qanun telah digunkan sejak lama sekali dalam bahasa atau budaya melayu. Kitab “Undang-undang Malaka” yang disusun pada abad ke lima belas atau enam belas masehi telah menggunakan istilah ini. Menurut Liaw Yock Fang,
67
68 istilah ini dalam budaya Melayu digunakan semakna dengan adat dan biasanya dipakai ketika ingin membedakan antara hukum yang tertera dalam adat dengan hukum yang tertera dalam kitab fiqih. (Liaw Yock Fang 1975: 178). Kuat dugaan istilah qanun masuk kedalam budaya Melayu dan bahasa Arab karena mulai digunakan bersamaan dengan kehadiran agama Islam dan penggunaan bahasa Arab Melayu di Nusantara. Bermanfaat disebutkan, dalam literatur Barat pun istilah ini sudah digunakan sejak lama, diantaranya merujuk kepada hukum Kristen (canon Law) yang sudah ada sejak sebelum zaman Islam. Dalam bahasa Aceh istilah ini relatif sangat populer dan tetap digunakan di tengah masyarakat, karena salah satu pepatah adat yang menjelaskan hubungan adat dan syari‟at yang tetap hidup dan bahkan sangat sering dikutip menggunakan istilah ini. Dalam literatur melayu Aceh pun qanun sudah digunkan sejak lama, dan diartikan sebagai aturan yang berasal dari hukum Islam yang telah menjadi adat. Salah satu naskah tersebut berjudul Qanun Syara’ kerajaan Aceh yang ditulis oleh Tengku di Mulek pada tahun 1257 Hak Milik atas perintah Sultan Alauddin Mansur Syah yang wafat pada tahun 1870 M. Naskah pendek (hanya beberapa halaman) ini berbicara beberapa asfek di bidang hukum tata negara, pembagian kekuasaan badan peradilan dan kewenagan mengadili, fungsi kepolisian dan kejaksaan, serta aturan protokoler dalam berbagai upacara kenegaraan. Dapat dsimpulkan bahwa dalam arti sempit, qanun merupakan suatu aturan yang dipertahankan dan diberlakukan oleh seorang Sultan dalam wilayah kekuasaannya yang bersumber pada hukum Islam. Sedangkan dalam arti luas, qanun sama dengan istilah hukum atau adat. Di dalam perkembangannya boleh juga disebutkan bahwa qanun merupakan suatu istilah untuk menjelaskan aturan yang berlaku di tengah masyarakat yang merupakan penyesuaian dengan kondisi setempat atau penjelasan lebih lanjut atas ketentuan didalam fiqih yang ditetapkan oleh Sultan. Sekarang ini qanun digunakan sebagai istilah untuk “peraturan Daerah” atau lebih teapatnya Peraturan Daerah yang menjadi peraturan pelaksanaan
68
69 langsung untuk undang-undang (dalam rangka otonomi khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam). Hal ini ditegaskan dalam pasal 1 angka 8 “Ketentuan Umum” dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 yang telah dikutif diatas. Sejak dimulainya penyelenggaraan otonomi khusus berdaarkan UU No.18 Tahun 2001, sudah banyak qanun yang disahkan. Menurut sumber di sekretariat DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sampai agustus 2004 telah diselesaikan 49 qanun yang mengatur berbagai materi untuk merealisasikan kewenagan khusus yang diserahkan pemerintah kepada Pemerintah Provinsi Aceh termasuk pelaksanaan Syari‟at Islam. Untuk yang terakhir dibawah akan diuraikan lebih lanjut.
Kedudukan dan Fungsi Qanun dalam pelaksanaan Otonomi Khusus Qanun dibentuk oleh DPR Provinsi NAD dan disahkan oleh Gubernur sebagai Kepala Daerah
setelah mendapatkan persetujuan bersama. Ketentuan ini
mengikuti semanagat rumusan
Pasal 20 Ayat (1) dan (2) UUD 1945
amandemen pertama yang berisi: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang. Setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Dengan demikian qanun merupakan peraturan perundang-undangan di daerah yang dibuatuntuk menyelenggarakan otonomi khusus bagi Provinsi NAD dan karena itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kesatuan sistem perundangundangan nasional. Dalam kaitan ini, kedudukan peraturan daerah dalam tata urutan sistem perundang-udangan Republik Indonesia telah diatur dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Negara Republik Indonesia sebagai berikut: 1. UUD 1945 2. Ketetapan MPR 3. Undang-undang 4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU)
69
70 5. Peraturan Pemerintah 6. Keputusan Presiden 7. Peraturan Daerah Tata urutan peraturan Perundang-undangan menurut TAP MPR di atas, dengan sendirinya menempatka qanun sebagai sub-sistem dala tata peraturan perundang-undangan nasional, bahkan sistenm hukum nasional pada umumnya. Karena itu qanun sebagai peraturan daerah “plus” tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya. (Bagir Manan, 1995:9). Namun demikian , ketentuan Pasal 31 ayat (2) UU.No.18 Tahun 2001 yang dikutup diatas menghadapkan kita pada dilema baru, yakni kenyataan bahwa qanun tidaklah sama persis dengan peraturan daerah. Walaupun daru satu segi qanun disebutkan sebagai eraturan daerah, tetapi dia diberi kekuatan khusus yaitu merupakan peraturan plaksanaan langsung untuk undang-undang dalam urusan otonomi khusus yang menjadi kewengan Provinsi NAD. Dengan kata lain qanun merupakan peraturan pelaksanaan yang secara hirarki berada langsung dibawah undang-undang, tidak diselingi oleh peraturan perundangan lainnya. Mengikuti ketentuan ini, maka barang kali tidak ada keraguan bahwa untuk pelaksanaan otonomi khusus yang menjadi kewenangan Provinsi, qanun setingkat dengan peraturan pemerintah. Jalan pikiran atau kesimpulan diatas menjadi penting karena mendapat pembenaran dari Pasal 1 angka 8 UU No. 18 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa “Qanaun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang dapat menyampingkan peraturan perundang-undangan yang lain dengan mengikuti asas lex specialis derogat lex generalis dan Mahkamah Agung berwenang melakukan uji materil terhadap qanun”. Dari bunyi rumusan ini muncul pertanyaan, ketentuan atau peraturan apa yang dapat disingkirkan oleh qanun? Untuk menjawab ini, sekiranya jalan pikiran diatas tadi diterima, maka qanun dapat menyingkirkan peraturan pemerintah dan keputusan presiden sepanjang menyangkut otonomi khusus yang menjadi kewenangan Provinsi NAD.
70
71 Selanjutnya dalam Pasal 33 disebutkan “ Perubahan atas undang-undang ini dapat dilakukan dengan memperhatikan Pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”. Ketentuan ini secara tidak langsung menyatakan bahwa undang-undang yang tidak sejalan dengan UU No. 18 tahun 2001 yang datang sesudahnya, tidak serta merta berlaku di Provinsi NAD. Jalan pikiran ini secara tidak langsung menyatakan bahwa Qanun Provinsi NAD dapat menyampingkan undang-undang baru (yang datang belakangan) yang tidak sejalan dengan UU No. 18 Tahun 2001. Dari urain diatas dapat dipahami bahawa Qanun Provinsi NAD berfungsi sebagai berikut: a. Menyelengggarakan peraturan hal-hal yang belum jelas, yang oleh undang-undang otonomi khusus diminta (diserahkan) kepada qanun untuk mengaturnya. b. Menyelenggarajkan pengaturan hal-hal yang belum diatur oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu undang-undang. c. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi yaitu undang-undang. Menurut kami kedudukan Qanun dalam hubungan dengan penyelenggaraan otonomi khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam perlu dikaji dan dijelaskan oleh para akademisi dan praktisi secara jernih dan tanpa prasangka, sehingga posisinya dan kewenangannya yang diatas tadi dikatakan setingkat dengan peraturan pemerintah dan bahkan undang-undang, dapat dipahami dan diterima oleh para pembuat kebijakan dan pencari keadilan. Melalui penelitian dan penjelasan ini nanti, para pembuat kebijakan dan pencari keadilan dan bahkan para pengamat hukum secara umum akan secara mudah dapat memahami bahawa qanun dalam rangka pelaksaan otonomi khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat menyampingkan peraturan lain yang lebih tinggi, yang dalam keadaan biasa tidak dapat disingkirkan oleh peraturan daerah. Akan tetapi sebagai konsekuensi diberikannya otonomi khusus kepada Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam maka produk legilatif daerah ini dapat saja menyimpang dan produk eksekutif ditingkat pusat. Misalnya suatu materi
71
72 Keputusan
Presiden
(apalagi
hanya
dengan
keputusan
menteri)
yang
bersinggungan dengan otonomi khusus, maka Mahkamah Agung tentu harus menyatakan bahwa qanun itulah yang berlaku untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sedangkan Keputusan Presiden atau Peraturan Menteri berlaku secara umum di seluruh Indonesia (Jimly Assbiddiqie, 2000 :29). Dalam praktik, pembuatan dan pengesahan qanun, terutama dan segi materil atau subtansi masalah yang diatur, tidaklah berjalan mulus dalam arti mungkin sekali akan terjadi tolak tarik karena adanya perbedaan kepentingan antara berbagai unsur yang ada didaam masyarakat. Perbedaan mana harus diakomodir dan dimusyawarahkan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan gejolak atau kesulitan yang tidak perlu. Sebagai contoh, qanun pertama yang dibuat
oleh
DPR
Provinsi
Nanggroe
Aceh
Darussalam
untuk
mengimplementasikan otonomi khusus adalah qanun tentang keuangan dan perimbangan bagi hasil minyak dan gas bumi. Qanun ini endapat kritik terutama dari masyarakat kabupaten penghasil, Kabupaten Aceh Utara. Menurut mereka, substansi qanun tersebut tidak lebih sebagai perpindahan sentralisasi dari Jakarta ke ibukota provinsi sebab pembagian hasil gas bumi tidak memenuhi keinginan dari masyarakat yang bersangkutan sehingga mereka menuntut DPRD Kabupaten dan Bupati Aceh Utara untuk menolak qanun tersebut (Humam Hamid, 2004 : 8-9). Kedudukan Qanun dalam Pelaksanaan Syari’at Islam Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 merupakan legalitas dan landasan formal dari pelaksana Syari‟at Islam di aceh yang sebelumnya hanya sebatas slogan. UU ini juga mengakui penyelenggaraan tiga keistimewaan lain, yang sesungguhnya tidah lebih sebagai unsur pendukung pelaksana Syari‟at Islam tersebut. Undang-undang No. 18 Tahun 2001 memperkuat UU No. 44 Tahun 1999 sekaligus pelaksanaan Syari‟at Islam. Jika UU No. 44 Tahun 1999 mengatur keberadaan lembaga-lembaga pemerintah dalam rangka penyelenggaraan keistimewaan tersebut.
72
73 Dalam UU No.18 Tahun 2001, ada tiga bab tentang penegaka hukum yaitu Bab X tentang Kepolisian Daerah, Bab XI tentang Kebijakan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dan Bab XII Tentang Mahkamah Syar‟iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Mengenai Kepolisian, undang-undang menyatakan bahwa tugas fungsional kepolisian dibidang ketertiban dan ketentraman masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diatur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Pasal 22 ayat 4). Sedang mengenai Kejaksaan tidak ada perintah untuk mengaturnya dengan qanun. Mengenai Mahkamah Syari‟ah, karena merupakan pusat perhatian kami kutipkan secara lengkap: Pasal 25: Ayat (1) : Peradilan Syari‟at di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian dan sistem peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar‟iyah yang bebas dari pengaruh pihak manapun. Ayat (2) : Kewenangan Mahkamah Syari‟ah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), didasarkan atas Syari‟at Islam dalam sistem hukum nasional, yang diatur lebih lanjut denga Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Ayat (3) : Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperlukan bagi pemeluk agama Islam.
Pasal 26 : Ayat (1) : Mahkamah Syar‟iyah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) terdiri atas Mahkamah Syari‟ah Kabupaten/sagoe dan Kota/Banda atau nama lain sebagai pengadilan tingkat pertama, dan Mahkamah Syar‟iyah Provinsi sebagai pengadilan tingkat banding di ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Ayat(2) : Mahkamah Syar‟iyah untuk pengadilan tingkat kasasi dilakukan pada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Ayat (3) : Hakim Mahkamah Syar‟iyah diangakat dan diberhentikan oleh Presiden sebagai Kepala Negara atas usul Menteri Kehakiman setelah
73
74 mendapat
pertimbangan
Gubernur
Provinsi
Nanggroe
Aceh
Darussalam dan Ketua Mahkamah Agung.
Seperti telah disinggung diatas, urusan yang menurut UU No.22/99 tidak diotonomikan kepada daerah, tetapi oleh UU No.18 Tahun 2001 dijadikan sebagai otonomi khusus adalah peradilan Syari‟at Islam yang dilaksanakan oleh Mahkamah Syari‟ah. Melihat redaksi dalam dua pasal di atas, dan juga sistematikanya yang terletak sesudah kepolisisan dan kejaksaan, maa dapat dapat dikatakan bahwa pelaksanaan Syari‟at Islam di Aceh menurut UU No.18 Tahun 2001 ini termasuk ke dalam bidang hukum, bukan bidang agama. Dengan demkian pelaksanaan Syari‟at Islam sebagai bagian dari otonomi khusus di Aceh dapat dikatakan berinduk kepada dua bidang, ada yang ke agama berdasarkan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 dan ada yang ke hukum berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001. berhubung kajaina ini berkaitan dengan qanun (UU No.18/2001), maka uraian di bawah difokuskan pada bidang hukum, bukan bidang agama. Karena tidak jelas apakah Mahkamah Syari‟ah merupakan lembaga baru atau pengubahan atas lembaga yang sudah ada, dan apakah merupakan lembaga daerah (otonomi khusus) ataukah lembaga pusat (masuk ke Departemen Kehakiman atau Departemen Agama atau Mahkamah Agung), maka sejak awal tahun 2002, dibentuk sebuah tim yang mewakili Aceh yang secara aktif berkonsultasi dengan pemerintah dalam hal ini Mahkamah Agung, Depeh dan HAM, Departemen Agama, Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia dan Departemen Dalam Negeri. Rangkaian konsultasi ini pada akhirnya memeberikan rekomendasi agar pada tingkat pusat dibentuk sebuah tim antar departemen di bawah pimpinan Departemen Dalam Negeri. Tim ini dibentuk oleh Departen Dalam Negeri diketuai oleh Sekretaris Jenderal dalam hal ini Ibu Siti Nurbaya dan beranggotakan utyusan dari Departemen dan lembaga terkait, termasuk utusan Pemerintah Provinsi NAD. Tugas tim antara departemen ini adalah menyiapkan segala sesuatu berkaiatan drengan pembentukan dan peresmian Mahkamh Syar‟iyah di Aceh.
74
75 Salah satu tugas yang dianggap mendesak adalah menyiapkan rancangan Peraturan Pemerintah tentang Peradilan Syari‟at Islam atau Mahkamah Syar‟iyah sebagai bagian dan pelaksanaan otonomi khusus. Di pihak lain, sementara tim pusat bekerja, dan konsultasi antara Pemerintah Provinsi NAD dan Pemerintah Pusat Berlangsung, Pemerntah NAD juga bekerja menyiapkan rancangan qanun (raqan) tentang Peradilan Syari‟at Islam (difokuska pada kewenangannya), yang menurut Undang-undang diserahkan kepada qanun. Pada bulan oktober 2002 disahkan qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari‟at Islam, tepatnya tanggal 14 Oktober 2002, yang di antara isinya mengubah Peradilan Agama menjadi Mahkamah Provinsi (pasal 2); serta menetapkan
kewenangannya
kekeluargaan
(al-ahwal
yang
meliputi
al-syakhshiyyah),
bidang
hukum
perdata
perdata
kebendaan
(mu’ammalah), dan pidana (jinayat) (pasal 49). Rancangan peraturan pemerintahan yang di siapkan oleh tim pusat sesuai dengan masukan yang di sampaikan utusan dari aceh dan juga hasil pembicaraan dalam beberapa kali pertemuan dan diskusi, berisi pengukuhan atas pengubahan atas pengadilan agama menjadi mahkamah syari‟ah seperti yang telah tercantum dalam Qanun, serta menjelaskan hubungan antara kepolisian dan kejaksaan dengan mahkamah sayar‟iyah di bidang pidana telah dapat di selesaikan dalam februari 2003. akan tetepi, karna sebab yang tidak jelas, rancangan PP
yang dengan susah payah di sisipkan oleh tim antar
departemen tadi, tidak di sahkan sebagai gantinya di sahkan keputusan Presiden nomor 11 Tahun 2003 tanggal 3 Maret 2003 tentang Mahkamah Syar‟iyah dan Mahkamah Syar‟iyah provensi di provensi NAD. Keppres ini di samping menetapkan pengubahan sebagaimana di sebutkan di atas, juga menetapkan kewenangaan Mahkamah Syar‟iyah, yaitu kewenangan pengadilan agama sebelumnya di tambah dengan kewenangan lain berkaitan dengan ibadah dan syari‟ah islam yang akan di tetapkan dalam Qanun. Sedangkan hubungan antara kepolisian dan kejaksaan denan Mahkamah Syar‟iyah tidak di sebut-sebut dalam kepres ini, padahal ketentuan ini sangat di tunggu-tunggu.
75
76 Terlepas dari apa yang dimaksud dengan “ Kekuasaan dan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam ibadah dan syi’ar Islam”, mengapa rangkaian kata ini muncul sebagai kewenangan Mahkamah Syar‟iyah dalam Keppres dasn bagaimana melaksanakannya dalam praktik, maka disini kami mengemukakan pendapat pribadi kami berkaitan dengan hal ini. UU Nomor 18 Tahun 2001 secara jelas menyatakan bahwa kewenangan Mahkamah Syar‟iyah ditetapkan dengan qanun dan qanun untuk itu telah disahkan sebelum Keppres lahir, yaitu Qanun Nomor 10 Tahun 2002; akan tetapi, meski telah ada Qanun, Ternyata keppres juga mengatur Kewenangan Mahkamah Syar‟iyah. Tentu saja hal ini bukan kewenangan
Keppres untuk
mengaturnya. Karena hal ini telah terjadi, maka konsekuensinya saat ini adalah munculnya berbagai pertanyaan: Mana yang dipakai, Qanun atau Keppres? Dapatkah Keppres dianggap batal karena berlawanan dengan ketentuan Undang-undang yang menyatakan bahwa peraturan pelaksanaan otonomi khusus di Aceh adalah Qanun? Atau, apakah yang dianggap batal hanya sebagian Keppres yang bertentangan dengan isi Qanun? Kemudian, perlukan kedua peraturan yang tumpang tindih ini mendapatkan uji materil dari Mahkamah Agung?. Kembali kepada Qanun Nomor 10 Tahun 2000 tentang peradilan Syari‟at Islam, Pasal 53 dan Pasal 54 menetapkan bahwa hukum materil dan hukum formil yang dipergunakan oleh Mahkamah Syar‟iyah adalah hukum materil dan formil yang bersumber dari Syari‟at Islam yang akan diatur dengan qanun tersendiri. Berkenaan dengan hukum materil, maka sejak tahun 2002, DPRD NAD telah mengesahkan satu hukum materil, yaitu qanun tentang akidah, ibadah, dan Syi‟ar Islam (Qanun Nomor 11 Tahun 2002). Selanjutnya, pada tahun 2003, berturut-turut disahka tiga qanun sekaligus yang mengatur tentang larangan khamar, judi, dan khalwat (masing-masing Qanun Nomor 12,13, dan 14 Tahun 2003). Sedangkan pada tahun 2004 disahkan lagi qanun pengelolaan zakat (Qanun Nomor 7 Tahun 2004). Qanun-qanun tersebut adalah prioritas yang memenuhi kebutuhan praktis, meski masih banyak aspek yang perlu diatur
76
77 dengan qanun, namun tentu saja semuanya harus dilakukan secara bertahap. Untuk melahirkan sebuah qanun, diperlukan proses panjang berupa kajian akademik dan uji kelayakan. Pengalaman dari qanun-qanun yang telah diterapkan,
begitu
terkait
dilaksanakan,
maka
tampaklah
kekurangan-
kekurangan yang memerlukan revisi dengan segera. Sementara itu, berkaitan dengan hukum formil atau hukum acara, maka dala qanun-qanun yang telah disahkan dinyatakan dengan jelas bahwa sementara menunggu lahirnya qanun hukum formil yang spesifik untuk delik-delik syari‟at, maka hukum formil yang digunakan mengacu sepenuhnya kepada KUHAP, kecuali dalam hal-hal teknis yang secara khusus telah diatur dalam qanun. Selain permasalahan hukum materil dan hukum formil, maka permasalahan lain yang cukup penting adalah mengenai hukum bagi pelanggaran qanun-qanun syari‟at. Dalam hal ini, terjadi kontradiksi antara ketentuan qanun dengan ketentuan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Dalam UU ini dinyatakan bahwa hukuman yang dapat diatur Perda adalah hukum maksimal berupa denda sebanyak Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) atau hukuman penjara paling lama 6 (enam) bulan. Sedangkan qanun-qanun syari‟at menetapkan hukuman cambuk sebagai hukuman pokok selain dua bentuk hukuman di atas (denda atau penjara), sedangkan hukuman cambuk tidak terdapat dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Untuk menjawab persoalan ini, ada tiga hal yang perlu diperhatikan: Pertama, UU Nomor 18 Tahun 2001 menytaka bahwa kewenangan Mahkamah Syar‟iyah untuk menjalankan peradilan syari‟at Islam ditetapkan dengan qanun berdasarkan syari‟at Islam dalam sistem hukum nasional.sedangkan mengenai hukum syari‟at Islam yang akan dilaksanakan oleh mahkamah tersebut, tidaklah disebutkan harus ditetapkan ke dalam qanun terlebih dahulu. Aturan bahwa syari‟at yang akan dijalankan itu aka ditetapkan ke dalam qanun terlebih dahulu diatur oleh qanun, yaitu Qanun Nomor 10 Tahun 2002. Qanun inilah yang menetapkan bahwa sryari‟at Islam yang akan dilaksanakan itu harus ditetapkan di dalam qanun terlebih dahulu yang telah disebutkan diatas. Kebijkan ini ditempuh untuk lebih memudahkan dan lebih mewujudkan kepastian hukum.
77
78 Dengan kata lain, karena dituliskan di dalam qanun, maka siapa saja yang berminat dengan mudah dapat mencari dan mempelajarinya. Sebetulnya qanun boleh saja menetapkan bahwa syari‟at Islam yang akan dijalankan adalah ketentuan yang terdapat dalam suatu buku fiqih tertentu, atau langsung meminta hakim mencarinya kedalam al-Quran atau hadits Nabi, tidak perlu dirumuskan kedalam qanun-qanun terlebih dahulu tetapi cara ini tidak ditempuh karena diduga akan sangat menyulitkan hakim. Cara ini memerlukan tenaga hakim dengan kualifikasi yang sangat ketat. Juga aka sangat menyusah para pihak bahkan pengacara karena yang menguasai buku pikih untuk kepentingan beracara ini relatif sangat sedikit. Kedua, walaupun sanksi tersebut dituliskan didalam qanun, tetapi sanksi itu bukanlah sanksi perda melainkan sanksi syari‟at Islam itu sendiri, dalam hal ini berupa hukuman hudud, khisas-diat, atau ta‟zir. Maksudnya, tampa dituliska didalam qanunpun para ahli hukum islam sudah mengetahui bahwa hudud, khisas-diat yang akan diajukan untuk perbuatan pidana tertentu itu adalah seperti itu, tida boleh yang lain jadi, kamian sanksi di dalam qanun sebagimana telah disebutkan diatas, adalah sekedar untuk lebih mudah mewujudkan kepstian hukum, mengurangi alternatif atas berbagai pilihan kadang-kadang ditemukan didalam fiqih. Ketiga, masyarakat Aceh sejak dari awal kemerdekaan sudah menuntut izin untuk melaksanakan syari‟at Islam secara sempurna ditengah masyarakat tampa tidak pernah berhenti. Setelah hampir 60 Tahun merdeka bahwab keinginan ini mendapat pengakuan dan landasan yuridis perundangan yang relatif memadai. Tetapi oleh sebagian pihak, landasan dan pengakuan ini dianggap masih belum cukup kuat dan oleh karena itu tidak dapat digunakan untuk melaksanakan syari‟at Isla secara Kaffah. Untuk ini menurut kami, para akademisi dan praktisi selayaknya memberikan tafsir berdasarkan tujuan (tiologis) sedemikian rupa. Keinginan rakyat Aceh yang sudah cukup lama untuk melaksanakan syari‟at Isalam, yang oleh undang-undang diakomodir dengan baik, tetapi karena keterbatasan rumusan dan pilihan kata ternyata tidak mapu menampung semuanya, perlu diatasi dengan cara memberikan tafsir berdasar tujuan. Bahwa
78
79 ketentuan dalam undang-undang diatas seyogyanya dipahami berdasarkan tujuannya yaitu memberikan kesempatan kepada masyarakat Aceh untuk melaksanakan syari‟at Islam secara sempurna melalui lembaga pengadilan di tengah masyarakatnya.
79
80 BAB IV ANALISIS
A.
Korelasi Syariat Islam dengan Hukum Nasional Kehadiran dua undang-undang, Undang-undang Nomor 44 Tahun Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh
dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh membuka kesempatan luas bagi masyarakat Aceh untuk untuk melaksanakan syariat Islam secara sempurna (kaffah). Pelaksanaan syariat Islam di Aceh sebetulnya bukanlah hal yang baru, karena masyarakat Aceh adalah masyarakat yang telah lama menjadikan Islam sebagai aturan yang mengatur perikehidupan sehari-hari. Namun, dalam beberapa decade yang lalu pelaksanaan syariat Islam secara sempurna mengalami kendala baik yang bersifat yuridis, sosiologis maupun politis. Undang-undang Nomor 44 Tahun Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 memang belum menghapuskan secara total tiga kendala di atas baik yuridis, sosiologis, mapun politis. Namun, kehadiran dua undang-undang ini paling tidak memperkecil kendala yang selam ini dirasakan masyarakat Aceh, dalam rangka mewujudkan syariat Islam secara Kaffah dalam kehidupannya. Secara yuridis masih terdapat beberapa kendala teknis yang memiliki nilai subtansial seperti belum berjalannnya Mahkamh Syar‟iyyah secara optimal, belum adanya hokum materil dan hokum formil yang nantinya akan diterapkan pada Mahkamah Syar”iyyah di Aceh. Kendala yuridis lain yang barangkali macih cukup mengganjal adalah pada proses pelaksanaan syariat Islam yang masih berada dalam bingkai system nasional. Sbegai contoh, upaya hokum kasasi Mahkamah Syar‟iyyah Aceh tetap bermuara pada Mahkamah Agung Republik Indonesia, dan Mahkamah Agung masih tetap memiliki uji materil (judicial revieu) terhadap qanun-qanun yang dilahirkan di Aceh.
80
81 Undang-undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Nanggroe Aceh Darussalam, dalam pasal 1 angka
8
menyebutkan
bahwa
Qonun
Provinsi
Nanggroe
Aceh
Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksana undang-undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam penyelenggaraan otonomi khusus. Dalam pasal 31 disebutkan: (1) ketentuan pelaksanaan undang-undang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. (2) Ketentuan pelaksanaan undangundang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan dengan Qonun Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Dari kutipan dua pasal diatas dapat diketahui bahwa Qonun tidak sama dengan peraturan daerah biasa. Qonun diberi kewenangan yang relatif tinggi, langsung menjadi peraturan pelaksana bagi undang-undang yang berhubungan dengan otonomi khusus di Provinsi NAD. Dengan demikian Pemerintah Provinsi NAD tidak perlu menunggu Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan otonomi khusus di Provinsi NAD. Mereka dapat langsung menyiapkan Qonun sebagai peraturan pelaksanaannya. Sesuai dengan pasal 31 ayat (1) diatas, maka Peraturan Pemerintah hanya perlu dibuat untuk hal-hal yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dalam hubungan dengan pelaksanaan otonomi khusus di Aceh. Aturan ini semakin menguatkan kesimpulkan sebelumnya bahwa untuk sesuatu
yang
menjadi
kewenangan
pemerintah
provinsi,
maka
Pemerintah Provinsi Aceh tidak perlu menunggu peratruran pemerintah. Dilihat dari logika diatas sekiranya peraturan pemerintah dibuat dan peraturan ini dianggap mengatur kewenangan pemerintah provinsi, atau dianggap tidak sejalan dengan qonun yang mengatur hal tersebut, maka perarturan pemerintah ini akan dianggap tidak berlaku, ini ekstrimnya. Sehingga
disimpulkan bahwa qonun tidak sama dengan Peraturan
Daerah dalam arti biasa.
81
82 Sekiranya dikaitkan dengan hirarkhi/tata urutan peraturan perundangundangan di Indonesia seperti diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Beserta Peraturan Pelaksanaannya dalam pasal 7 bahwa Peraturan Daerah diletakkan pada urutan ke 5 sedangkan undang-undang diletakkan pada urutan ke 3. artinya antara Undang-undang dengan Peraturan Daerah ada 2 peraturan perundangan lain, yaitu Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Tetapi di dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 Peraturan Pemerintah sebagai pelaksana undang-undang di wilayah Provinsi NAD telah ditiadakan. Peraturan Pemerintah hanya diperlukan dalam hal yang menyangkut pelaksanaan otonomi khusus yang berkaitan dengan kewenangan Pemerintah Pusat.
B. Kendala-kendala Dilihat dari pemberlakuan syariat Islam di Nanggro Aceh Darussalam, rupanya masih banyak kendala-kendala dalam penerapannya dilapangan39 : 1. Romantisme masyarakat yang tidak diiringi dengan pemahaman ilmu yang benar. 2. belum adanya daerah
atau masyarakat yang telah berhasil menjadi
model/contoh dalam upaya pelaksanaan syariat Islam di Aceh. 3. pelaksanaan syariat islam di Aceh dibatasi dalam lingkup ”sistem hukum nasionbal” dan harus dalam ”sistem peradilan nasional. 4. kekeliruan pemahaman karena pengetahuan tentang syaraiat Islam yang relatif tidak memadai dkalangan pimpinan, baik yag formal maupun yang non formal. 5. kekurangan tenaga atau sumber daya yang berkewenanganalitas, baik menjadi pemikir ataupun bertindak sebagai penggerak pelaksanaan syariat Islam. Prof, Dr. H. Al Yasa, Abubakar, MA, Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Paradigma kebijakan dan kegiatan hal.113 – 123. 39
82
83 6. perbedaan pemahaman dikalangan sarjana dan ulama sendiri tentang makna dan cakupan Syariat Islam yang akan dijalankan, serta tanggung jawab pelaksanaannya.
83
84 BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN. Dari hasil penelitian tersebut diatas dapat diambil kesimpulan bahwa ; 1. Melalui penelitian dan penjelasan ini nanti, para pembuat kebijakan dan pencari keadilan dan bahkan para pengamat hukum secara umum akan secara mudah dapat memahami bahawa qanun dalam rangka pelaksaan otonomi khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat menyampingkan peraturan lain yang lebih tinggi, yang dalam keadaan biasa tidak dapat disingkirkan oleh peraturan daerah. Akan tetapi sebagai konsekuensi diberikannya otonomi khusus kepada Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam maka produk legilatif daerah ini dapat saja menyimpang dan produk eksekutif ditingkat pusat. Misalnya suatu materi Keputusan Presiden (apalagi hanya dengan keputusan menteri)
yang
bersinggungan
dengan
otonomi
khusus,
maka
Mahkamah Agung tentu harus menyatakan bahwa qanun itulah yang berlaku untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sedangkan Keputusan Presiden atau Peraturan Menteri berlaku secara umum di seluruh Indonesia 2. Qanun Provinsi NAD berfungsi sebagai berikut: a. undang-undang otonomi khusus diminta (diserahkan) kepada qanun untuk mengaturnya. b. Menyelengggarakan peraturan hal-hal yang belum jelas, yang oleh Menyelenggarajkan pengaturan hal-hal yang belum diatur oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu undangundang. c. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi yaitu undang-undang.
84
85 3. Adanya perubahan dari Peradilan Agama menjadi Mahkamah Provinsi (pasal 2); serta menetapkan kewenangannya yang meliputi bidang hukum perdata kekeluargaan (al-ahwal alsyakhshiyyah), perdata kebendaan (mu’ammalah), dan pidana (jinayat) (pasal 49).
4. Dengan demikian kewenangan pengadilan agama sudah jauh lebih luas
bukan
haya
berkenaan
dengan
bidang
hukum
perdata
kekeluargaan saja, tetapi sekarang surah diberikan kewenangan untuk menyelesaikan permasalahan muamalat dan jinayat yang tentunya ini membutuhkan percepatan pemahaman dari para penegak hukum dalam hal-hal yang dimikian tersebut.. Sedangkan hubungan antara kepolisian dan kejaksaan denan Mahkamah Syar‟iyah tidak di sebutsebut dalam kepres ini, padahal ketentuan ini sangat di tunggu-tunggu
85
86 DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ali Fikri, Hakikat
Islam: Suatu Perbandingan (tinjauan atas Akidah, Syariat,
Akhlak dan Jihad dalam Islam dalam buku Wawasan Islam dan Ekonomi sebuah bunga rampai, Penerbit, Fakultas Ekonomi Lembaga A.Salim Ruhana, „ Kerikil Tajam Disekitar Mahkamah Syariah” bulletin Cipta, No. 02/II/1424, Jakarta: HMI Komisariat Fak. Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2003 Dr. Rifyal Ka‟bah, MA, Politik dan Hukum Dalam Al-Qur‟an, Penerbit Khairul Bayan, Jakarta 2005
Prof. Dr. H. Rusjdi Ali Muhammad, S.H, MA, Revitalisasi Islam di Aceh, Penerbit Logos, Jakarta 2003
Nevisra Viviani, http://www.rahima.or.id/ SR/02-01/Fokus 1.htm Ttgl 13 Feb 2006.
Dr. Yusuf Qaradhawi, Sepktrum Zakat Dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan, Penerbit Zikrul Hakim, Jakarta,2005
Prof. Dr. Muchtar Kusumaatmajdja, BPHN Departemen Kehakiman, Laporan Seminar Nasional, Jakarta 1995
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Moh. Mahfud MD, “Politik Hukum di Indonesia”, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 1998. Oadmo Wahjono, “Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum”, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986.
86
87
Mulyana W. Kusumah, “Perspektif, Teori dan Kebijaksanaan Hukum”, Rajawali, Jakarta, 1986. CFG Sunaryati hartono, “Politik Hukum; Menuju Satu Sistem Hukum Nasional”, Alumni, bandung, 1991. Sudarto, “Hukum dan Hukum Pidana”, Alumni, Bandung 1986.
Peraturan Presiden RI Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009.
87
88 BAB DUA OTONOMI KHUSUS DALAM BIDANG PERADILAN DI NAD
Sebagai konsekuensi lagis dari penyelenggaraan keistimewaan Aceh berdasarkan UU Nomor 44 Tahun 1999, maka pemerintah juga menyelenggarakan pemerintah daerah secara khusus untuk Aceh kemudian dikenal dengan UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tampaknya,
sejak
awal
UU
ini
diproyeksikan
untuk
menyelaraskan
penyelenggaraan keistimewaan Aceh yang mencakup 4 aspek (agama, adat, pendidikan, dan peran ulama) dengan sistem dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan. Persoalan penyelenggaraan pemerintahan dipusat baru saja mengalami perubahan fundamental terutama mengenai pola hubungan antara pusat dan daerah, tepatnya pelaksanaan otonomi daerah. Karena itu, UU Nomor 18 Tahun 2001 adalah wujud dari akomodasi tingkat tinggi; di satu sisi berupaya mengamodir tuntutan penyelenggaraan keistimewaan Aceh (yang intinya adalah pelaksaan syari‟at Islam); dan pada sisi yang lain, juga menerapkan substansi pelaksanaan otonomi daerah. Hasil dari akomodasi ini adalah penyelenggaraan otonomi daerah dalam nuansa penyelenggaraan keistinmewaan Aceh. Salah satu wujud dari politik akomodasi ini adalah sistem peradilan yang ditetapkan untuk Provinsi NAD. Masalah ini diatur dalam Pasal 25 dan 26 sebagai berikut: Ayat(1) :
Peradilan syari‟at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian dan sistem peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar‟iyah yang bebas dan pengaruh pihak manapun.
Ayat (2) : Kewengan Mahkamah Sar‟iyah
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1),didasarkan atas Syari‟at Islam dalam sistem hukum nasional, yang diatur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Ayat (3) : Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan bagi pemeluk agama Islam Pasal 26 :
88
89 Ayat (1) : Mahkamah Syar‟iyah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) terdiri atas Mahkamah Syari‟ah Kabupaten/sagoe dan Kota/Banda atau nama lain sebagai pengadilan tingkat pertama, dan Mahkamah Syar‟iyah Provinsi sebagai pengadilan tingkat banding di ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Ayat(2) : Mahkamah Syar‟iyah untuk pengadilan tingkat kasasi dilakukan pada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Ayat (3) : Hakim Mahkamah Syar‟iyah diangakat dan diberhentikan oleh Presiden sebagai Kepala Negara atas usul Menteri Kehakiman setelah mendapat pertimbangan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Ketua Mahkamah Agung.
Bahwa UU ini mengakomodir tuntutan dari penyelenggaraan keistimewaan Aceh (yang intinya adalah pelaksanaan Syari‟at Islam) tampak jelas dari peluang yang diberikan, yaitu menyelenggarakan suatu sistem peradilan yang khas di Aceh berupa peradilan syari‟at Islam dan masih dalam kerangka sistem hukum nasional. Sistem peradilan seperti ini jelas merupakan suatu pengecualian yang khusus untuk Aceh semata. Selain itu, ketentuan mengenai sistem peradilan ini sekaligus mendobrak ketentuan UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang sistem pemerintahan daerah (UU Otonomi Khusus). Dikatakan mendobrak, karena dalam UU ini dengan tegas dinyatakan bahwa yan tidak termasuk aspek agama dan hukum. Otonomi agama justru telah terjadi di aceh denga adanya UU Nomor 44 Tahun 1999 yang menyatakan keistimewaan Aceh dalam empat aspek: agama, adat, pendidikan, dan peran ulama. Aspek agama kemudian diisi dengan pelaksanaan syri‟at Islam. Selanjutnya, sebagai konsekuensi dari pelaksanaan syari‟at Islam sebagaimana diatur oleh Perda Nomor 5 Tahun 2000(isi pokok tentang 13 aspek pelaksanaan syari‟at), maka secara de fakto bahkan de jure, maka aspek-aspek tertentu dari hukum Islam juga menjadi hukum positif yang berlaku bagi masyarakat Aceh yang beragama Islam. Hal inilah yang kami maksud bahwa dengan berlakunya hukum Islam (meskipun menyisip menjadi hukum positif), maka otonomi dalam bidang hukumpun sesungguhnya sudah
89
90 berjalan di Aceh. Tentu saja ini mendobrak “ketabuan” yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Pemerintah Daerah. Berdasarkan argumentasi di atas, maka sangat tepat jika UU Nomor 18 Tahun 2001 disebut sebagai UU otonomi khusus karena banyaknya pengecualian-pengecualian yang diberikan kepada Aceh, tentu saja dari satu sisi ini juga merupakan penghargaan yang tinggi terhadap keistimewaan aceh. Pada uraian selanjutnya masih dapat ditemukan keberpihakan UU ini terhadap keistimewaan Aceh, misalnya terhadap kedudukan qanun yang dapat berfungsi sebagai peraturan pelaksana bagi UU yang khusus untuk Aceh, tentu saja UU Nomor 44 Tahun 1999 dan UU 18 Tahun 2001 sendiri.
A.
Kedudukan dan kewenangan mahkamah syar’iyah Sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 25 dan pasal 26 UU Nomor 18 Tahun
2001diatas, maka pemerintah daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mengesahkan qanun-qanun sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 25 Ayat (2) diatas. Qanun yang disahkan tersebut adalah qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang perdilan syari‟at Islam. Dalam hubungan dengan kedudukan Mahkamah Syar‟iyah, maka qanun ini belum dengan jelas mengaturnya. Untuk lebih jelas disini dikutip pasal 2 dari qanun tersebut: (1). Mahkamah Syar‟iyah adalah lembaga peradilan yang dibentuk dengan qanun ini serta melaksanakan syari‟at Islam dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. (2). Dalam melaksanakan kewenangannya, Mahkamah Syar‟iyah bebas dari pengaruh pihak manapun. (3).
Mahkamah Syar‟iyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pengembangan dari peradilan agama yang telah ada.
Ketentuan yang tidak cukup jelas mengenai kedudukan Mahkamah Syar‟iyah dapat ditangkapadari ayat (1) Pasal 2 diatas, seolah-olah Mahkamah Syar‟iyah adalah lembaga peradilan sari‟at Islam yang baru disamping lembaga-lembaga peradilan yang ada. Asumsi ini mungkin dibantah denga sendirinya oleh bunyi ayat (3) diatas, dimana dinyatakan bahawa Mahkamah Syar‟iyah adalah pengembangan dari PA yang telah ada. Akan tetapi, qanun ini tidak memuat penjelasan yang memadai akan makna
90
91 “pengembangan” yang dimaksudkannya. Hal ini dapat diamati dalam penjelesan atas qanun ini. Penjelasan Pasal 3 ayat (3) menyatakan : Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang telah ada yang diatur dengan UU Nomor 7 Tahun 1989 yang juga berwenang menangani perkaraperkara tertentu sesui dengan hukum syari‟at Islam,
harus dikembangkan,
diselaraskan, dan disesuaikan dengan maksud UU Nomor 18 Tahun 2001, agar tidak terjadi dualisme dalam peradilan syari‟at Islam yang dapat menimbulkan kerawanan sosial dan ketidakpastian hukum. Maka lembaga peradilan agama beserta perangkatnya (sarana dan prasarananya) yang telah ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dialihkan menjadi lembaga Peradilan Sari‟at Islam. Sampai disini,
penjelasan mengenai kedudukan Mahkamah Syar‟iyah masih
belum dapat dikatakan memadai. Memang pada bagian penjelasan sudah dinyatakan bahwa lembaga Peradilan Agama di alih seluruhnya menjadi Peradilan Sari‟at Islam. Tetapi, bagaimana bentuk peralihannya? Ternyata hal ini tidak dijelaskan lebih lanjut oleh karena ini. Menurut kami penjelasan mengenai hal inilah yang akan memperjelas kedudukan Mahkamah Syar‟iyah dalam sistem peradilan nasional. Karena itu, dalam masalah ini, penjelasan qanun dianggap tanggung. Atas apa yang diasumsikan diatas, maka pada Tahun 2003 setahun setelah terbitnya Qanun Nomor 10 Tahun 2002, maka keluarlah Keppres yang memperjelas masalah tehnis pengalihan sebagaimana yang menyatakan sepintas oleh Qanun Nomor 10 Tahun 2002. ketentuan pengalihan dinyatakan dengan jelas pada pasal 1 ayat (1): Pengadilan agama yang telah ada di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam di
ubah menjadi Mahkamah Syar‟iyah.
Selanjutnya, pada ayat (2) dan (3) pasal ini dinyatakan bahwa semua pengadilan agama tingkat pertama yang tersebar di berbagai Kabupaten/Kota di Aceh diubah semuanya menjadi Mahkamah Syar‟iyah. Sedangkan untuk tingkat banding, maka Pengadilan Tinggi Agama yang berkedudukan di Banda Aceh diubah menjadi Mahkamah syar‟iyah Provinsi. Mengenai kasasi memang tidak dinyatakan lagi oleh kepres ini, sebab masalah
91
92 ini sudah jelas diatur oleh Qanun Nomor 10 Tahun 2002 bahwa untuk kasasi tetap Mahkamah Agung RI di Jakarta. Selain masalah kedudukan tersebut, maka yang tidak kalah penting adalah masalah kewenagan Mahkamah Syar‟iyah sebagai Peradilan Islam di NAD. Masalah inipun sesungguhnya sudah disinggung oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 pasal 25 ayat (2) di atas; bahwa masalah kewenagan akan diatur dengan qanun. Dapat dilihat bahwa UU ini memberikan kewenangan yang luas kepada qanun untuk menetapkan asfek-asfek hukum apa saja yang menjadi kompetensi atau kewenagan Mahkamah Syar‟iyah. Karena itu, Qanun Nomor 10 Tahun 2002 memerincinya pada pasal 49: Mahkamah
Syar‟iyah
bertugas
dan
berwenang
memeriksa,
memutus,
dan
menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama, dalam bidang: a. Ahwal al-syakhsyiah b. Mu‟ammalah c. Jinayat
Kejelasan pasal 49 ini memerinci bidang-bidang apa saja yang termasuk alsyakhsyiah, mu‟ammalah dan jinayat dari rincian itu dapat disimpulkan bahwa kewenangan Mahkamah Syar‟iyah secara umum mencakup semua aspek hukum perdata dan pidana Islam karena itu wewenagnya luas sekali. Namun demikian, keluasan ketentuan tersebut dibatasi oleh pasal 53, di mana di nyatakan bahwa dalam bidangbidang tersebut harus qanun terlebih dahulu. Dalam peraktek saat ini, aspek-aspek yang telah dirumuskan qanunnya adalah aspek-aspek yang secara normatif ada pertentangan fundamental antara KUHP (dalam bidang pidana) dengan hukum pidana Islam misalnya, masalah khamar, judi, dan khalwat yang masing-masing telah memiliki qanun. Persoalan kewenangan Mahkamah Syar‟iyah ternyata diungkit lagi oleh Keppres Nomor 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar‟iyah dan Mahkamah Syar‟iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Jika dalam ketentuan tentang kedudukan Mahkamah Syar‟iyah Keppres ini dianggap memperjelas, maka dalam hal kewenangan Mahkamah Syar‟iyah yang sudah cukup jelas diatur oleh Qanun Nomor 10 Tahun 2002, dimentahkan lagi oleh Keppres ini. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 3 :
92
93 1.
Kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Syar‟iyah dan Mahkamah Syar‟iyah Provinsi adalah kekuasaan dan kewenagan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, di tambah degan kekuasaan dan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam ibadah dan syi‟ar Islam yang ditetapkan dalam qanun
2.
Kekuasaan dan kewenangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kemampuan kompetensi dan ketersediaan sumber daya manusia dalam rangka sistim peradilan nasional. Ketentuan pada ayat (1) pasal ini jelas mementahkan kembali apa yang
dinyatakan oleh Qanun Nomor 10 Tahun 2002 bahwa kewenangan Mahkamah Syar‟iyah mencakup hampir semua hukum perdata dan pidana Islam. Yang agak membingungkan adalah bahwa ketentuan Keppres ini seolah-olah tidak mahu tahu dengan ketentuan Qanun Nomor 10 Tahun 2002. Yang lebih aneh lagi adalah pernyataan:…ditambah dengan kekuasaan dan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam ibadah dan syi’ar Islam yang ditetapkan dalam qanun. Ketentuan ini memunculkan asumsi yang kontradiktif pertama, Keppres menginginkan bahwa syari‟at Islam hanya dalam masalah ibadah dan syi‟ar Islam sebagaimana yang diatur dalam Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tetapi dugaan ini terbantahkan dengan sendirinya sebab aspek “akidah” yang juga diatur qanuntersebut tidak disinggung oleh Pasal 3 ayat (1) Keppres ini. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa antara kedua peraturan di atas tidak boleh dianggap kontrakdiktif satu sama lain, tetapi harus dianggap sebagai saling isi dan saling menyempurnakan.
Kekeliruan
pembuatnya
masing-masing
tidak
terlepas
dari
keterbatasan pihak-pihak yang terlibat didalamnya. Untuk menyelesaikan persoalan pertentangan kewenangan di atas, maka jalan satu-satunya adalah mengambil segi-segi yang tepat dari masing-masing aturan tersebut. Misalnya masalah kedudukan Mahkamah Syar‟iyah yang diperjelas oleh Keppres, maka ketentuan Keppres inilah yang dipakai, karena memang UU Nomor Tahun 2001 sendiri tidak menyatakan bahwa masalah ini akan diatur dengan qanun. Demikian juga dengan masalah kewenangan, karena Keppres kembali membuat kabur masalah ini, maka yang harus dipegeng adalah ketentuan Qanun Nomor 10 Tahun 2002 karena memang UU Nomor 18 Tahun 2001 memberikan mandat
93
94 langsung untuk mengatur kewenangan dengan qanun. Meski terkesan cara seperti ini kurang logis, namun dalam praktik demikianlah adanya sampai saat ini. B. Hukum Materil dan Hukum Formil Mahkamah Syar’iyah Suatu sistem peradilan baru bisa berjalan jika ia dilengkapi dengan perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) yang memadai perangkat keras dari suatu sistem peradilan misalnya sumber daya manusia daya manusia yang menjalankan sistem peradilan misalnya sumber daya manusia yang menjalankan sistem peradilan seperti hakim, panitera, juru sita, sarana dan prasarana, serta pembiayaannya. Masalah ini telah diatur dengan jelas baik dalam Qanun Nomor 10 Tahun 2002 maupun dalam Keppres Nomor 11 Tahun 2003. secara singkat dapat dikatakan bahwa semua perangkat keras yang ada pada pengadilan agama, baik ditingkat pertama maupun tingkat banding, dialihkan semuanya menjadi perangkat Mahkamah Syar‟iyah dan Mahkamah Syar‟iyah Provinsi. Kemudian, selain perangkat keras yang tidak kalh pentingnya adalah perangkat lunak yang menjadi acuan bagi penyelenggaraan sistem peradilan. Lebih tepatnya, yang dimaksud dengan perangkat blunak ini adalah aturan-aturan yang dijadikan acuan dalam mengadili perkara yang menjadi kewenangan Mahkamah Syar‟iyah. Dalam bahasa hukum, aturan-aturan ini disebut dengan hukum materil dan hukum formil. Hukum materil adalah aturan atau kumpulan peraturan yang berisi ketentuan-ketentuan tentang perbuatan atau apa-apa yang boleh dilakukan dan apa-apa yang tidak boleh dilakukan; sedangkan hukum formil adalah peraturan atau kumpulan peraturan yang berisi ketentueketentuan tentang tata cara mempertahankan apa-apa yang ditetapkan dalam hukum materil; atau dengan kata lain, hukum formil adalah aturan tentang prosedur beracara dipengadilan jika suatu ketentuan hukum materil dilanggar. Ketentuan tentang hukum materil dan hukum formil yang dipergunaskan oleh Mahkamah Syar‟iyah tidak diatur oleh UU Nomor 18 Tahun 2001. Tampaknya masalah ini juga diserahkan kepada qanun sebagai bagian dari kewenangannya. Berdasarkan hal itulah maka dalam Qanun
Nomor 10 Tahun 2002 pada Pasal 53 dan Pasal 54
memberikan ketentuan tentang kedua hal penting ini:
94
95 Hukum materil yang akan digunakan dalam menyelesaikan perkara sebagaimana tersebut dalam pasal 49 adalah yang bersumber dari atau sesuai dengan syari‟at Islam yang akan diatur dengan qanun.
Hukum formil yang akan digunakan Mahkamah adalah yang bersumber dari atau sesuai dengan Syari‟at Islam yang akan diatur dengan qanun.
Pasal 53 di atas tidak menetapkan hukum materil yang akan dijadikan acuan di Mahkamah Syar‟iyah berasal dari kitab-kitab atau mazhab-mazhab tertentu, tetapi digali secara leluasa dan diformat menjadi peraturan terkodifikasi yang disebut qanun hukum materil. Sampai saat ini, dari sekian banyak aspek yang menjadi kewenangan Mahkamah Syar‟iyah, baru lima aspek yang telah dirumuskan melalui qanun, itupun dibuat secara terpisah satu dari yang lain. Berkenaan dengan hukum materil ini, maka sejak 2002, DPRD NAD telah menengah satu hukum materil, yaitu qanun tentang akidah, ibadah, dan Syi‟ar Islam (Qanun NOmor 11 Tahun 2002). Selanjutnya, pada tahun 2003, berturut-turut disahkan tiga qanun sekaligus yang mengatur tentang larangan khamar, judi, dan khalwat (masingmasing Qanun Nomor 12, 13, dan 14 Tahun 2003). Sedang pada tahun 2004 disahkan lagi qanun lagi qanun pengelolaan zakat (Qanun Nomor 7 Tahun 2004). Qanun-qanun tersebut adalah prioritas yang memenuhi kebutuhab praktis. Masih banyak aspek sesungguhnya yang memerlukan kepastian aturan berbentuk qanun, namun tentu saja semuanya harus dilakukan secara bertahap. Untuk melahirkan sebuah qanun, diperlukan kajian akdemik yang mendalam diatambah dengan uji kelayakan kepada masyarakat. Pelaksanaan qanun-qanun yang telah memberikan pengalaman bahwa begitu qanun tersebut dilaksanakan, maka tampaklah kekurangan-kekurangannya yang memerlukan revisi dengan segera. Berbeda dengan ukum materil yang cenderung tidak terlalu sulit untuk meneruskannya. Maka sampai saat ini hukum formil yang dipergunakan di Mahkamah Syar‟iyah belum dirumuskan. Sama halnya terhadap hukum materil, maka UU Nomor 18 Tahun 2001 dan Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tidak menetapkan aturan spesifik hukum formil apa yang akan diberlakukan. Akan tetapi, Qanun Nomor 10 Tahun 2002
95
96 memberikan solusi bahwa selama masih belum ada aturan khusus mengenai hukum syari‟at, maka yang berlaku adalah hukum yang ada. Untuk mengisi kekosongan dalam hal hukum materil ini maka qanun-qanun materil sebagaimana yang disebutkan diatas, terutama empat qanun terakhir, secara eksplisit menyatakan bahawa sebelum ada hukum formil tersendiri bagi Mahkamah Syar‟iyah, maka hukum formil yang dipakai merujuk kepada UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan peraturan Perundang-undangan lainnya sepanjang tidak diatur dalam qanun-qanun hukum materil berkaitan. C. Hukuman Terhadap Pelanggaran Syari’at Selain permasalahan hukum materil dan hukum formil, maka permasalahan lain yang cukup penting adalah mengenai hukum bagi pelanggaran syari‟at. Berbeda dengan hukum yang berlaku secara umu di Indonesia yang memprioritaskan hukuman penjara bagi semua jenis perbuatan pidana, maka hukum pidana Islam menetapkan hukuman cambuk sebagai peroritas. Ini merupakan pradigma baru dalam sistem hukum nasional. Hukuman cambuk merupakan yang tidak asing dalam hukum pidana islam. Jenis hukuman ini mendapat legalitas dari al-Qur‟an dan sunnah. Dalam hukum pidana Islam, sifat hukuman terbagi dua: (1) hukuman yang bersifat statis. Sudajh ditetapkan nash dan tidak dapat diubah-ubah, yaitu hukuman hudud, qisas-diyat,dan kafarat. (2) hukuman yang elastis, dapat berubah menurut jenis dan tidak terikat dengan ketentuan nash yang disebut dengan ta‟zir. Katagori pertama terbatas pada delik-delik tertentu seperti mencuri, merampok, berzina, menuduh berzina, membunuh, meminum khamar, dan memberontak. Sedangkan katagori kedua sangat luas cakupan, jenis, dan khadar hukumannya, semuanya dapat dihukum dengan ta‟zir. Hukum ta‟zir yang paling umum diterapkan adalah hukuman cambuk atau jilid, hukuman penjara kurang populer dalam pidana Islam. Peraturan pertama yang mengangkat kemabli konsep cambuk dalam pelaksanaan sayri‟at Islam di NAD adalah Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan sayri‟at Islam dibidang Akidah, Ibadah, dan Syi;ar Islam. Dalam qanun ini, hukum cambuk memang tidak ditempatkan sebagai prioritas utama bagi setiap perbuatan pidana yang diatur Qanun Nomor 11, tetapi salah satu alternatif dari beberapa jenis hukuman lain
96
97 yang sesuai menurut standar hukum pidana indonesia seperti hukuman penjara atau denda tadi. Pemasukan hukuman cambuk sebagai hkuman alternatif bagi pelanggar syari‟at Islam di Aceh tentu saja merupakan pradigma baru yang mendobrak tradisi KUHP Indonesia yang hanya bertumpu pada tiga bentuk hukuman: hukuman mati, penjara (tutupan), dan denda dan yang paling banyak diterapkan adalah hukuman penjara atau tutupan. Tampaknya, dalam hal inipun perumus qanun memanfaatkan kewenangan yang diberikan UU Nomor 18 Tahun 2001 untuk mengatur semua aspek yang berkenaan dengan peralihan dengan qanun. Sekali lagi, dalam masalah jenis hukuman, pelaksanaan otonomi khusus di NAD menyimpangi ketentuan undang-undang pemerintaha daerah yaitu UU Nomor 22 Tahun 1999. Dalam UU ini dinyatakan bahwa hukuman yang dapat diatur dalam Perda adalah hukuman maksimal berupa denda sebanyak Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) atau hukuman penjara paling lam 6 (enam) bulan. Sedangkan qanun –qanun syari‟at menetapkan hukuamn cambuk sebagai hukuman pokok selain dua bentuk diatas (denda atau penjara), sedagkan hukuman cambuk tidak terdapat dalam sistem hukum pidana Indonesia. Untuk menjernihkan asumsi terhadsap penyimpangan di atas, maka pegangan kita adalah UU Nomor 18 Tahun 2001, dimana dinyatakan bahwa kewenangan Mahkamah Syar‟iyah untuk menjalankan peradila syari‟at Islam ditetapkan dengan qanun berdasarkan syari‟at Islam dalam sistem hukum vasional, karena itu ketentuan bentuk hukumannya pun include di dalamnya. Hal ini logisnya saja, sebab aspek-aspek yang menjadi kewenangan Mahkamah Syar‟iyah sangat berbeda dengan aspek-aspek yangmenjadi kewenangan peradilan pidana lain di Indonesia, karena hukumannya juga berbeda. Dalam uraian diatas, dapat disimpulkan bahawa dasar hukum otonomi khusus dalam bidang peradalin di Nanggroe Aceh Darussalam tetap berada dalam kerangka sistem peradilan di Indonesia. Pembentukan Mahkamah Syar‟iyah sesungguhnya adalah mengikuti penyelenggaraan keistimewaan Aceh, karena penyelenggaraan itu kemudian diisi dengan pelaksanaan syari‟at Islam. Fenomena itu tentu saja harus diselaraskan dengan penyelenggaraan sistem ketatanegaraan dalam semua aspek, termasuk sistem
97
98 perdilan yang menampung hukum pidana Islam yang masuk menjadi bagian hukum positif sebagai konsekuensi dari pelaksanaan syari‟at Islam.
98
99
99
100 PENGARUH PEMBERLAKUAN HUKUM ISLAM DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM (NAD) TERHADAP HUKUM NASIONAL
II.
PENDAHULUAN
B.
Latar Belakang
C.
Permasalahan
D.
Tujuan
E.
Kegunaan
F.
Metode
G.
Kerangka teori
H.
Organisasi
III. TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A.
Wawasan Pembangunan Hukum Nasional
B.
Pola Pikir Pembangunan Hukum Nasional
C.
Kerangka Sistem Hukum Nasional
D.
Politik Hukum
IV. SYSTEM SYARIAT ISLAM DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
V.
A.
Sejarah dan Konsepsi Syariat Islam di Aceh
B.
Pelaksanaan Syariat Islam
C.
Kewenangan Aparat Pemerintah, Masyarakat, Wilayatul Hisbah, Jaksa, Polisi
ANALISIS
100
101 4.Korelasi Syariat Islam dengan Hukum Nasional 5.Kendala-kendala
101
DAFTAR ISI halaman KATA PENGANTAR .................................................................................... i DAFTAR ISI .................................................................................................
ii
BAB I.
PENDAHULUAN.........................................................................
1
A. Latar Belakang ..................................................................
1
B. Permasalahan ...................................................................
3
C. Tujuan ...............................................................................
3
D. Kegunaan ..........................................................................
3
E. Metode ..............................................................................
4
F. Kerangka teori ...................................................................
4
G. Organisasi .........................................................................
7
TINJAUAN KEPUSTAKAAN ......................................................
8
A. Wawasan Pembangunan Hukum Nasional .......................
8
B. Pola Pikir Pembangunan Hukum Nasional .......................
9
C. Kerangka Sistem Hukum Nasional....................................
17
D. Politik Hukum ....................................................................
21
BAB II.
BAB III. IMPLEMENTASI SYARIAT ISLAM DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM ...........................................................................
29
A. Sejarah Syariat Islam di Aceh ...........................................
29
B. Pelaksanaan Syariat Islam Di Provinsi NAD .....................
52
C. Kewenangan Aparat Pemerintah .....................................
62
BAB IV. ANALISIS ....................................................................................
80
A. Korelasi Syariat Islam dengan Hukum Nasional ...............
80
B. Kendala-kendala ...............................................................
82
BAB V. PENUTUP .....................................................................................
84
A. Kesimpulan ......................................................................
84
B. Saran ...............................................................................
85
DAFTAR KEPUSTAKAAN