Jurnal Waca Cipta Ruang Vol.II No.II Tahun 2010/2011 ISSN 2301-6507
TINJAUAN BANGUNAN PURA DI INDONESIA (oleh : Febry Maharlika) Program Studi Desain Interior UNIKOM Abstrak Penelitian ini merupakan suatu tinjauan mengenai bangunan Pura yang ada di Indonesia khususnya yang ada di Bali sebagai daerah yang mayoritas penduduknya beragama Hindu. Bangunan Pura memiliki bentuk berpola dengan sistem yang diatur dalam pakempakem yang ada pada tradisi masyarakat Bali dan mengandung nilai-nilai ajaran agama Hindu salah satunya adalah Asta Kosala Kosali. Penelitian ini menjelaskan konsep, fungsi dan struktur yang berkaitan dengan pola fikir masyarakat Hindu terhadap alam dan Sang Hyang Widi Washa (Tuhan Yang Maha Esa) yang termanifestasikan lewat bangunan Pura. Setiap bangunan yang ada di dalamnya memiliki fungsi berbeda, hal tersebut mempengaruhi bentuk bangunannya sehingga bangunan yang ada di Pura memiliki ciri khas masing-masing. Metode yang digunakan adalah metode analisis deskriptif dengan menganalisa bentuk bangunan yang dikaitkan dengan dasar pemikiran masyarakat Hindu Bali mengenai pemahamannya terhadap alam dan kepercayaan yang diyakininya. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa arsitektur Pura merupakan suatu bangunan yang konsep, struktur serta fungsinya mempertimbangkan pemahaman masyarakat Hindu Bali terhadap alam guna menjaga keseimbangan kosmologi yang diyakininya. Bangunan Pura merupakan bangunan yang mencerminkan salah satu pemikiran masyarakat Hindu Bali mengenai keseimbangan kosmologi yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan alam, dan manusia, Sang Hyang Widhi Washa (Tuhan Yang Maha Esa) dengan kepercayaan yang diyakini masyarakat Hindu dengan memasukkan agar terjadi keseimbangan dan keselamatan seluruh umat manusia.
Kata kunci : Bangunan Pura, Konsep, Fungsi, Agama Hindu, Asta Kosala Kosali
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Tubuh manusia terdiri dari jasmani dan rohani yang masing-masingnya memiliki kebutuhan berbeda. Kebutuhan jasmani seperti diantaranya : pakaian, makanan, dan pemukiman berusaha dicukupi oleh setiap manusia untuk kelangsungan hidupnya. Sedangkan kebutuhan rohani wujudnya tidak terlihat, tetapi dapat diaplikasikan dalam bentuk kegiatan pemujaan terhadap apa yang manusia yakini, dan dapat memenuhi kebutuhan spiritual manusia itu sendiri. Salah satu bentuk aplikasinya adalah agama. Hampir seluruh manusia di dunia ini memiliki agama dan kepercayaan yang dianut. Agama maupun kepercayaan dianggap sebagai suatu kebutuhan rohani maupun aturan nyata yang salah satunya memuat ajaran-ajaran mengenai bagaimana cara manusia seharusnya bersikap secara transendental yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya maupun secara horizontal yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya. Menurut UU No.1/PNPS/1965, saat ini pemerintah Indonesia mengakui enam agama yaitu : Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Budha, Hindu dan Khong Hu Cu. Setiap umat beragama di Indonesia mendapatkan kebebasan untuk beribadah sesuai dengan agama yang dianut, seperti yang tercantum dalam pasal 29 ayat 2 dalam UUD 1945. Salah satu agama tertua yang masih tetap dianut oleh sebagian masyarakat Indonesia adalah agama Hindu. Agama Hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh orang-orang India yang datang dengan membawa misi perdagangan. Terdapat beberapa daerah di Indonesia yang masyarakatnya menganut agama Hindu dikarenakan hal tersebut, tetapi dengan masuknya pengaruh-pengaruh dari bangsa lain, maka masyarakat yang menganut agama Hindu saat ini berkurang dan menjadi agama dengan jumlah penganut minoritas yang sebagian besar berdomisili di Bali. Kini agama Hindu lebih dikenal dengan sebutan Hindu Bali dikarenakan agama Hindu ini sangat merasuk dalam kehidupan masyarakat Bali, bahkan sebaliknya budaya Bali sepertinya tidak dapat dipisahkan dari agama Hindu di Indonesia.
Berbicara mengenai agama, tidak lepas dari kegiatan peribadatan dan sarana atau tempat peribadatan. Begitu pula dengan agama Hindu yang tempat peribadatannya disebut dengan Pura. Pura merupakan salah satu bangunan penting bagi umat Hindu Bali yang dikenal memiliki kehidupan religius yang tinggi. Masyarakat Bali selalu menempatkan pura di tempat yang utama atau di tempat yang menurut aturan atau pakem yang berlaku sesuai dengan nilai-nilai spiritual umat Hindu. Bali sebagai pulau yang masyarakatnya sebagian besar menganut agama Hindu, memiliki banyak sekali bangunan pura dengan nilai historis yang tinggi bagi kehidupan spiritual masyarakatnya. Diantaranya Pura Besakih, Pura Lempuyang Luhur, Pura Uluwatu, Pura Goa Lawah, Pura Batukaru dan Pura Pusering jagad. Pura-pura tersebut merupakan pura-pura utama yang menurut kepercayaan masyarakat Bali merupakan sendi-sendi pulau Bali.
Gbr.01. Pura Besakih Sumber : seputar-bali.blogspot.com/.../pura-di-bali.htm
Jika diperhatikan, setiap bangunan Pura memiliki kesamaan konsep dan struktur. Arsitektur Pura memiliki konsep lapangan, yakni tiap bangunannya dipisahkan berdasarkan fungsinya. Pura secara keseluruhan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Nista Mandala (bagian terluar), Madya Mandala (bagian tengah) dan Utama Mandala (bagian dalam). Jadi, walaupun kita telah berada di dalam Pura kita tetap dapat menemukan halaman terbuka. Hal tersebut dikarenakan pada bangunan pura, walaupun bangunan-bangunannya dipisahkan seperti kompleks bangunan, tetapi tetap dianggap sebagai suatu kesatuan dari pura. Pembatas antara bagian dalam pura dengan bagian luar pura adalah tembok Panyengker.
Hal ini dikarenakan ada pakem-pakem yang mengatur pembuatan Pura dan harus dipatuhi dimanapun Pura itu berada. Arsitektur Pura sebagai tempat beribadahpun berbeda arsitektur Bali lainnya. Walaupun ada pemahaman logika mengenai ruang yang sama dengan arsitektur tradisional Bali lainnya, tetapi bangunan Pura dari segi konsep maupun struktur lebih dikaitkan dengan pemahaman masyarakat Bali terhadap ajaran agamanya. Dalam pemahaman kosmologinya, masyarakat Bali berusaha untuk menyeimbangkan hubungan keseluruhan elemen dalam alam semesta. Yakni keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan penciptanya (Sang Hyang Widi Washa)
1.2. Identifikasi Masalah Dari latar belakang di atas, maka teridentifikasi masalah bahwa pada setiap Pura, terdapat suatu konsep dan struktur yang sama satu sama lain. Hal itu dikarenakan ada pakempakem yang diikuti oleh masayarakat Hindu Bali dalam membangun suatu Pura yang didasarkan oleh logika masyarakatnya yang berdasar pada keyakinan agamanya. 1.3. Rumusan Masalah Dari indentifikasi masalah di atas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut :
Bagaimana konsep dan struktur Pura
Bagaimana pemahaman masyarakat Hindu Bali terhadap keyakinannya sehingga mempengaruhi konsep arsitektur Pura
BAB II TINJAUAN UMUM PURA
2.1. Pengertian dan Fungsi Pura 2.1.1.Pengertian Pura Pura adalah istilah tempat ibadah agama Hindu di Indonesia. Secara etimologi kata pura berasal dari akhiran bahasa Sansekerta (-pur, -puri, -puram, -pore), yang artinya adalah kota, kota berbenteng atau kota dengan menara atau istana. Pada awalnya, istilah Pura berasal dari bahasa Sansekerta, yang berarti kota atau benteng yang sekarang artinya berubah menjadi tempat pemujaan Sang Hyang Widhi. Sebelumnya, tempat suci/ tempat pemujaan disebut Kahyangan
atau
Hyang.
(Pengertian
Pura.
diakses
pada
10
Nopember
2008
(www.wikipedia.com). Pura dapat dikelompokkan dalam berbagai jenis, namun walaupun demikian, tidak mempengaruhi bentuk fisik dari pura tersebut. Pengelompokkan adalah sebagai berikut : a. Berdasarkan Fungsinya
Pura Jagat, yaitu Pura yang berfungsi sebagai tempat memuja Sang
Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa dengan segala manifestasinya atau dengan segala perwujudannya.
Pura Kawitan, yaitu Pura sebagai tempat suci untuk memuja roh suci
leluhur. Masyartakat Bali percaya bahwa setelah melalui upacara penyucian, roh leluhur memasuki alam dewata. Secara fisik tidak terlihat perbedaannya, tetapi hal tersebut dapat dibedakan dengan pedagingannya.
b. Berdasarkan pemuja pura
Pura yang penyungsungnya atau pemujanya berasal dari satu keluarga
atau mempunyai hubungan darah. Kelompok Pura ini adalah Sanggah, sebutan untuk golongan jaba (diluar Tri Wangsa), Pemerajan (sebutan untuk golongan Tri Wangsa), Dadia dan Kawitan.
Pura yang penyungsungnya atau pemujanya berasal dari satu wilayah
atau teritorial yang sama. Kelompok Pura ini pura Kahyangan Tiga (Pura Desa dan Bale Agung, Pura Puseh, Pura Dalem). Pura Kahyangan Tiga memiliki tiga macam Pura yang masing-masing merupakan tempat pemujaan Trimurthi (perwujudan Sang Hyang Widhi), yaitu; -Pura yang diperuntukkan untuk memuja Dewa Brahma, yaitu perwujudan Ida Sang Hyang Widhi sebagai pencipta alam semesta. Pura ini letaknya di pusat desa dan biasa disebut sebagai Pura Desa. -Pura yang diperuntukkan untuk memuja Dewa Wisnu, yaitu perwujudan Ida Sang Hyang Widhi sebagai pemelihara alam semesta. Pura ini disebut Pura Puseh dan letaknya berdekatan dengan Pura Desa atau satu tempat dengan Pura Desa. -Pura yang diperuntukkan untuk memuja Dewa Siwa, yaitu perwujudan Ida Sang Hyang Widhi sebagai Sang Pelebur. Pura ini disebut Pura Dalem, dan biasanya terletak di dekat kuburan desa, di tepi, atau di luar desa.
Pura yang penyungsungnya atau pemujanya mempunyai kepentingan
yang sama atau fungsional. Pura ini biasa disebut sebagai Pura Pengulu. Pura ini diperuntukkan bagi umat Hindu yang memiliki profesi yang sama, sebagai contoh petani, nelayan, dan lain-lain.
Pura yang penyungsungnya atau pemujanya mempunyai ikatan
keagamaan secara umum untuk seluruh umat tidak ada batasannya. Kelompok Pura ini adalah Pura Sad Kahyangan (Pura Besakih, Pura Lempuyang, Goa Lawah, Pura Luhur Uluwatu, Pura Bukit Pengelengan, Pura Watukaru), Pura Kahyangan jagat (Pura Batur, Pura Andakasa, Pura Tanah Lot, Pura Pulaki, dan lain – lain termasuk Pura Sad Kahyangan di atas) yang tersebar di seluruh Bali . Biasanya Pura Sad Kahyangan dijadikan tempat untuk mengadakan upacara yang diperuntukkan untuk alam, seperti hutan, kebun, ladang, gunung, laut, danau, dan lain-lain. c. Pura Penunggu, yaitu Pura yang sengaja dibangun di tempat-tempat yang dianggap angker atau ada penunggunya, seperti goa,lokasi tempat terjadi kecelakaan, dekat pohon besar yang dianggap angker, dan lain-lain.
2.1.2. Fungsi dan Kegiatan dalam Pura Sebagai bagunan suci, Pura merupakan sarana peribadatan bagi umat Hindu dalam usahanya melakukan penyerahan diri dan mendekatkan diri kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa sehingga dapat meningkatkan kualitas umat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Di tempat suci seperti Pura, diharapkan manusia dapat mengembangkan dirinya untuk saling mengenal diantara sesama umat sehingga kerukunan intern umat Hindu dapat terwujud. Pura digunakan oleh umat Hindu untuk melakukan upacara–upacara yang bersifat keagamaan. Secara keseluruhan, kegiatan upacara dapat dibagi menjadi lima macam upacara (Panca-Yadnya). Panca Yadnya merupakan lima pokok penuntun pelaksanaan upacara yadnya di Bali. Upacara-upacara tersebut dilakukan berdasarkan suatu sistem penanggalan, yaitu :
Dewa–Yadnya,upacara kepada Dewa-dewa yang bersemayam di pura–
pura, sanggah atau pemerajan. Bagi umat Hindu, Dewa merupakan perantara ketika Tuhan memberikan berkah-Nya kepada manusia.
Bhuta–Yadnya, upacara korban untuk para Bhuta, yaitu Panca Maha
Bhuta terdiri dari Akaca (Angkasa), Bayu (Angin), Teja (Api), Apah (Air), dan Pertiwi (Tanah) sampai Bhuta-Kala yang dipercaya ikut menyelamatkan masyarakat atau roh kekuatan di luar manusia yang kasat mata.
Manusia–Yadnya, upacara terhadap manusia agar menjadi selamat,
sejahtera, luhur budinya, sehingga melahirkan masyarakat susila.
Pitra – Yadnya, upacara untuk roh-roh leluhur yang telah
mengadakan, melahirkan, dan memelihara manusia, guna mendoakan leluhur agar mendapat tempat yang sebaik-baiknya di alam baka dan cepat mencapai moksa menyatu dengan Tuhan.
Rsi – Yadnya, upacara untuk para pandita atau orang suci yang telah
memimpin upacara demi keselamatan bersama.
Disamping tempat beribadat Pura juga berfungsi sebagai tempat untuk melakukan pembinaan rohani, dalam rangka mempertebal keyakinan umat Hindu terhadap ajaran
agamanya. Biasanya teradapat bangunan terpisah semacam kelas di samping Pura yang dipergunakan sebagai tempat pembinaan keagamaan.
2.2. Arsitektur Pura Arsitektur tradisional Bali dapat diartikan sebagai tata ruang dari wadah kehidupan masyarakat Bali yang telah berkembang secara turun temurun dengan segala aturan-aturan yang diwarisi sejak zaman dahulu. Masyarakat Bali memiliki aturan atau patokan yang jelas dalam mendirikan suatu bangunan, yang kini dikenal sebagai arsitektur tradisional Bali. Salah satu lontar yang berisi aturan-aturan mengenai pembangunan arsitektur tradisional Bali adalah Lontar Asta Kosala Kosali, dikatakan lontar karena pada zaman Bali Kuna, masyarakatnya menulis aturan-aturan di sebuah daun lontar. Asta Kosali dalam bagian utamanya biasanya diisi dengan aturan-aturan yang menentukan dimensi-dimensi ideal pada bangunan, yang diukur berdasarkan ukuran tubuh manusia dengan menggunakan satuan ukur Depa, Asta, Musti dan lainnya. Lontar ini paling banyak digunakan oleh masyarakat Bali dalam pembuatan bangunan tradisional Bali. Salah satu wujud fisik dari arsitektur Bali yang menggunakan acuan Asta Kosala-Kosali adalah Pura. Pada arsitektur Pura, para undagi memiliki acuan yang sama dengan bangunan tradisional Bali lainnya meskipun di dalamnya terdapat perbedaan bangunan berdasarkan fungsi dari bangunan tersebut. Berikut adalah tiga falsafah yang mendasari perwujudan arsitektur tradisional Bali, termasuk Pura. a) Tri Hita Karana Tri Hita Karana, berasal dari tiga kata, yaitu Tri adalah tiga, Hita adalah kemakmuran, baik, gembira, senang, dan lestari; dan Karana adalah sebab musabab. Dari tiga kata tersebut maka arti Tri Hita Karana adalah tiga penyebab kehidupan (gembira, baik). Unsurnya adalah atma (jiwa atau zat penghidup), Prana (tenaga), Angga (jasad/fisik). Pada alam semesta (Bhuwana Agung) memiliki jiwa yaitu praatma (Sang Pencipta) dan Khaya yaitu segala bentuk tenaga alam yaitu seperti tenaga laut, angin, panas bumi, dan lain-lain, sedangkan angga yaitu segenap materi yang terdapat dalam bumi yang disebut dengan sebutan Panca Maha Bhuta. Jika ketiga unsur ini dalam satu kesatuan dan seimbang maka kehidupan manusia dan alam semesta akan lebih optimal dan kebahagiaan akan tercapai. Penerapan konsepsi Tri Hita Karana pada arsitektur tradisional Bali adalah pada pola ruang pemukiman masyarakatnya dalam sebuah desa, hal ini tercermin dengan adanya
Parhyangan (kawasan suci) atau Pura Desa sebagai jiwa dari desa tersebut, Pawongan (kawasan aktifitas manusia) yakni warga desa sebagai khaya, dan Palemahan (kawasan untuk memberikan pelayanan) yakni teritorial desa sebagai angga.
b) Panca Maha Bhuta Panca Maha bhuta adalah lima unsur pembentuk kehidupan manusia, alam, dan lingkungannya. Lima unsur ini terdiri dari apah (cairan), teja (sinar), bayu (angin), akaca (udara),pertiwi (zat padat) yang senantiasa dijaga keseimbangannya dengan tujuan menyeimbangkan kehidupan. Kelima elemen ini digunakan dalam arsitektur tradisional Bali sebagai salah satu perwujudan kosmos sebagai bhuana agung, untuk manusia sebagai bhuana alit. Untuk itu arsitektur tradisioanal Bali memperhatikan iklim dengan sebaik-baiknya. Penataan pekarangan, pola ruang, struktur konstruksi dan pemilihan bahan juga diperhitungkan untuk keseimbangan pengkondisian manusia dan alamnya. c) Nawa Sanga Filosofi dasar selanjutnya adalah Nawa Sanga, yaitu sembilan lintasan yang masingmasing berkedudukan pada arah tertentu yang menjadi representasi dari alam semesta yang berpusat di tengah. Masing-masing merupakan arah mata angin yang dilambangkan oleh dewa-dewa beserta lambang warna serta senjatanya.
Gbr.04 Nawa sanga Sumber : www.tirtagangga.nl/Sculplan.htm
Berikut adalah dewa-dewa yang dilambangkan berdasarkan nawa sanga;
1. Dewa wisnu
Gbr.05 Dewa Wisnu Sumber : www.tirtagangga.nl/Sculplan.htm
Dewa Wisnu merupakan penguasa arah utara,bersenjata Chakra Sudarshana, dan Garuda sebagai kendaraannya. Dewa Wisnu merupakan salah satu dari dewa Trimurthi. Selain sebagai kendaraan bagi Dewa Wisnu, Garuda merupakan simbol atau perlambang pelepasan roh dalam budaya Bali dan visualisasinya dapat ditemukan ketika diadakan upacara ngaben. Aksara sucinnya “U” dengan shakti Dewi Sri. Dewa Wisnu dipuja di Pura Batur dan warna perlambangnya ireng (hitam). Dan biasanya arang digunakan sebagai sumber bahan warna dari lambang tersebut.
2. Dewa Sambhu
Gbr.06 Dewa Sambhu Sumber : www.tirtagangga.nl/Sculplan.htm
Dewa Sambhu merupakan penguasa arah timur laut, bersenjatakan trisula (tombak bermata tiga) dan berkendara Wilmana. Aksara sucinya “Na” dengan shakti Dewi Mahadewi, dan dipuja di Pura Goa Lawah. Simbol warna dari Dewa ini adalah biru atau abu-abu. 3. Dewa Iswara
Gbr.074 Dewa Iswara Sumber : www.tirtagangga.nl/Sculplan.htm
Dewa Iswara merupakan penguasa
arah Timur. Dewa Iswara berkendara Gajah
dengan bersenjatakan Bajra. Simbol warna dari dewa ini adalah warna putih dengan shakti Dewi Uma. Aksara sucinya “Sa”, di Bali Dewa Iswara dipuja di Pura Lempuyang. Dalam upacara adat biasanya menggunakan beras putih sebagai lambang dari warna putih. 4. Dewa Maheswara
Gbr. 08 Dewa Maheswara Sumber : www.tirtagangga.nl/Sculplan.htm
Dewa Maheswara merupakan penguasa arah tenggara, bersenjatakan Dupa, dengan berkendara Macan. Simbol warna dari dewa ini adalah merah muda atau Barak
Mude/Dadu, dengan shakti Dewi Lakshmi. Aksara sucinya “Na”, di Bali Dewa Maheswara dipuja di Pura Goa Lawah.
5. Dewa Brahma
Gbr.09 Dewa Brahma Sumber : www.tirtagangga.nl/Sculplan.htm
Dewa Brahma merupakan salah satu Dewa Trimurthi umat Hindu. Dalam ajaran Weda, Dewa Brahma dianggap sebagai pencipta dari alam semesta. Dewa Brahma merupakan penguasa arah selatan dengan bersenjata Gada dan menggunakan simbol warna merah. Shaktinya Dewi Saraswati, dengan aksara suci “Ba”. Di Bali, Dewa Brahma di puja di Pura Andakasa. Kendaraan Dewa Brahma adalah angsa atau biasa disebut Hamsa (simbol dari kebebasan untuk hidup kekal). Dalam penggambarannya Dewa Brahma berkepala empat, yang masing-masingnya mengarah ke arah mata angin.
6. Dewa Rudra
Gbr.10 Dewa Rudra Sumber : www.tirtagangga.nl/Sculplan.htm
Dewa Rudra merupakan penguasa arah barat daya, bersenjatakan Moksala dengan berkendara Kerbau. Simbol warna dari Dewa Rudra adalah jingga atau kudrang. Aksara sucinya adalah “Ma” dengan shakti Dewi Samodhi/Santani, dan di Bali, Dewa Rudra dipuja di Pura Uluwatu.
7. Dewa Mahadewa
Gbr.11 Dewa Mahadewa Sumber : www.tirtagangga.nl/Sculplan.htm
Dewa Mahadewa merupakan penguasa arah barat, bersenjatakan Nagapasa dengan berkendara Naga. Simbol warna dari Dewa Mahadewa adalah kuning. Aksara sucinya “Ta”, dengan shaktinya Dewi Sachi. Dewa Mahadewa dipuja di Pura Batukaru.
8. Dewa Sangkara
Gbr.12 Dewa Sangkara Sumber : www.tirtagangga.nl/Sculplan.htm
Dewa Sangkara merupakan penguasa arah Barat Laut, bersenjatakan Angkus atau Duaja dengan berkendara singa. Simbol warna dari Dewa Sangkara adalah gadang atau hijau. Aksara sucinya “Si”, dengan shaktinya Dewi Rodri. Di Bali Dewa Sangkara dipuja di pura Puncak Mangu. 9. Dewa Siwa
Gbr.13 Dewa Siwa Sumber : www.tirtagangga.nl/Sculplan.htm
Dewa Siwa merupakan penguasa arah tengah, bersenjatakan Padma dengan berkendara Lembu Nandini. Dewa Siwa merupakan salah satu Dewa Trimurthi. Shaktinya adalah Dewi Durga/Parwati dengan aksara suci “I” dan “Ya”. Dewa Siwa dipuja di Pura Besakih. Simbol warna dari Dewa Siwa adalah Brumbun yaitu pencampuran dari kedelapan warna di sekelilingnya.
Selain dari tiga falsafah di atas, arsitektur Pura juga memiliki acuan yang sangat dipatuhi oleh masyarakat Bali, yaitu : a)
Hireararki Ruang Tri Loka atau Tri Angga
b)
Orientasi Kosmologi Nawa Sanga/Sanga Mandala
c)
Kosmologi Keseimbangan Manik Ring Cucupu
d)
Proporsi Skala Tubuh Manusia
e)
Lahan terbuka, Konsep Lapangan
f)
Penjelasan struktur
g)
Kebenaran Bahan
berikut penjelasan mengenai acuan-acuan tersebut : a)
Tri Loka/ Tri Angga – Hierarki Ruang Konsep Tri Loka adalah suatu konsep yang menjadi acuan bagi arsitektur tradisional
Bali yang meyakini bahwa segala sesuatunya telah memiliki tempatnya masing-masing. Konsep ini menjelaskan bahwa terdapat tiga tingkatan dari alam semesta ini, yakni; Tuhan memiliki tempat yang paling tinggi dan dilambangkan dengan Swah Loka (alam atas) atau atmosfer, gunung. Yang kedua ditempati oleh daratan tempat manusia hidup atau biasa disebut land/litosfer atau Bhuwah Loka, dan tempat ketiga adalah bagian Bhur Loka atau laut/hidrosfer yang ditempati oleh setan. Sedangkan pada konsep Tri Angga membagi suatu bagian arsitektur menjadi bagian Utama, Mandala, dan Nista. Konsepsi ini merujuk kepada anatomi tubuh manusia yaitu kepala, badan dan kaki. Perwujudan konsep Tri Angga dalam suatu arsitektur adalah dengan membagi Pura/Parhyangan sebagai tempat utama, banjar/Pawongan sebagai Mandala, dan kuburan/Palemahan sebagai Nista.
Gbr.14 Konsep Triloka/Tri Angga Sumber : (Othman, 2004)
b) Orientasi Kosmologi Nawa Sanga atau Sanga Mandala Acuan kosmolosi Nawa Sanga atau Sanga Mandala yaitu dengan menempatkan bagian-bagian arsitektur tradisional Bali berdasarkan arah sumbu gunung-laut dan sumbu matahari terbit dan tenggelam. Kawasan paling suci mengarah kepada Gunung Agung (kaja) dan kawasan umum mengarah ke laut (kelod).
Gbr.15 Kosmologi orientasi Nawa Sanga, arah mata angin Bali, warna dan Dewa Sumber : (Othman, 2004)
c) Keseimbangan Kosmologi Manik Ring Cucupu Konsep Maning Ring Cucupu ini timbul dikarenakan besarnya penghargaan masyarakat Bali terhadapa alam. Alam sebagai tempat tinggal manusia dan segala isinya atau sebagai Bhuana agung diharapkan saling menjaga dengan manusia agar terhindar dari bahaya. Salah satunya dengan mengadakan upacara-upacara adat ketika akan melakukan penebangan pohon yang dipergunakan untuk bahan arsitektur. Kemudian pohon yang telah ditebang diharuskan ditanam sepucuk daun-daunan kayu sehingga akan tumbuh pohon baru yang lebih baik dan akan berguna lagi kelak. Bahan yang berasal dari alam atau Bhuana Agung kemudian dijadikan arsitektur bagi manusia, dan kemudian arsitektur itu menjadi Bhuana Agung bagi manusia selaku Bhuana Alit. Dalam arsitektur Bali umumnya mahir memadukan antara bahan-bahan yang terdapat di alam untuk bangunannya.
d) Lahan Terbuka, Konsep Lapangan Arsitektur tradisional Bali dibangun terpisah dengan fungsi masing–masing. Begitu pula dengan bangunan Pura, bangunannya dipisah menurut fungsinya dan menggunakan konsep lahan terbuka. Hal ini dimaksudkan karena tanah bukan saja sebagai suatu elemen yang bisa dilihat tetapi dapat dirasa oleh orang yang berada dalam bangunan itu.
Gbr.16 Konsep Lahan Terbuka Sumber : www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/9/17/n1.htm
e) Kejelasan Struktur (Clarity of Structure) Struktur kerangka bangunan Bali adalah jelas terlihat. Tiang yang menahan beban dipisahkan dari dinding blok yang tidak menanggung beban. Tidak ada kaidah atau cara pembangunan rumah dengan menggunakan bambu, kayu, pohon kelapa atau batu. Penyambungan antar tiang–tiang dan balok jelas terlihat tanpa menyembunyikan sesuatu. f) Proporsi Skala Tubuh Manusia Dalam pembuatan arsitektur Pura, ukuran yang diterapkan adalah ukuran bagian tubuh manusia yang telah ditentukan pada lontar Asta Kosala Kosali, seperti rai (muka),tampak, tampak ngandang, amusti dst. Satuan ukur setiap elemen dalam arsitektur Bali disebut gegulak. Dan dalam pembuatannya menggunakan jasa undagi.
Gbr.17 Satuan Ukur Arsitektur Tradisional Bali Sumber : (Othman, 2004)
g) Keaslian Bahan (Truth of Materials) Setiap bahan yang digunakan oleh bangunan Bali adalah terpapar dan kelihatan tekstur bentuk dan warna yang berbeda serta tersendiri. Pandangan atau struktur bangunan tidak dicat hanya tiang dan balok kayunya dikilatkan. Mereka lebih mengagumi kecantikan bahan alami daripada bahan buatan manusia dan menggunakannya sebagai bahan bangunan. Seperti pada pura, bahan yang digunakan adalah batu bata merah dan batu paras untuk ornamen. Biasanya batu bata di Bali dinamakan cita. Batu bata yang digunakan masyarakat Bali dipanggang di udara terbuka. Oleh karena itu batu batanya tidak terlalu solid dengan ukuran yang tidak selalu sama satu dengan yang lainnya
2.2.1. Struktur denah Pura Pada umumnya struktur atau denah pura di Bali dibagi atas tiga bagian, yaitu: jabapura atau jaba pisan (halaman luar), jaba tengah (halaman tengah) dan jeroan (halaman dalam). Di samping itu ada juga pura yang terdiri dari dua halaman, yaitu: jaba pisan (halaman luar) dan jeroan (halaman dalam) dan ada juga yang terdiri dari tujuh halaman (tingkatan) seperti pura Agung Besakih. Pembagian halaman pura ini, didasarkan atas konsepsi makrokosmos (bhuwana agung), yakni : pembagian pura atas 3 (tiga) bagian (halaman) itu adalah lambang dari "triloka", yaitu: bhurloka (bumi), bhuvaaloka (langit) dan svaaloka (sorga). Pembagian pura atas 2 (dua) halaman (tingkat) melambangkan alam atas (urdhaa) dan alam bawah (adhaa), yaitu akauadan pativi. Sedang pembagian pura atas 7 bagian (halaman) atau tingkatan melambangkan "saptaloka" yaitu tujuh lapisan/tingkatan alam atas, yang terdiri dari: bhurloka, bhuvaaloka, svaaloka, mahaoka, janaloka, tapaloka dan satyaloka. Dan pura yang terdiri dari satu halaman adalah simbolis dari "ekabhuvana", yaitu penunggalan antara alam bawah dengan alam atas. Pembagian halaman pura yang pada umumnya menjadi tiga bagian itu adalah pembagian horizontal sedang pembagian (loka) pada pelinggih-pelinggih adalah pembagian yang vertikal. Pembagian horizontal itu melambangkan prakati (unsur materi alam semesta) sedangkan
pembagian
yang
vertikal
adalah
simbolis
puruua
(unsur
kejiwaan/spiritual alam semesta). Penunggalan konsepsi prakati dengan puruua dalam struktur pura adalah merupakan simbolis dari pada "Super natural power".
Gbr. 18 Denah Pura yang dibagi tiga bagian (Tri Mandala) Sumber : www.I Made’s site.com
Sebagian besar pura menggunakan struktur denah Pura Tri Mandala, yaitu : 1) Nista Mandala Nista Mandala atau yang biasa disebut jaba pisan adalah bagian terluar dari arsitektur Pura. Bagian ini merupakan bagian Nista atau kotor dan tidak sakral dari sebuah pura. Setiap orang dapat memasuki bagian ini. Bangunan yang terdapat pada mandala ini diantaranya : Bale Kulkul, sebagai tempat kentongan digantung, Bale Wantilan, yaitu balai tempat pementasan kesenian yang diadakan di dalam pura, kemudian Bale Pawaregan yaitu bangunan yang digunakan sebagai dapur tempat sesaji dibuat, dan Lumbung yaitu bangunan yang digunakan untuk menyimpan beras. 2) Madya Mandala Madya Mandala atau biasa disebut jaba tengah, adalah bagian tengah dari arsitektur Pura. Bagian madya mandala adalah bagian dalam pura yang sakral. Pada bagian ini umat Hindu sudah mulai terfokus untuk menghadap Sang Hyang Widi Wasa. Biasanya pada areal ini terdiri dari bangunan Bale Agung (Balai Panjang), Bale Pagongan (Balai tempat gamelan), selain itu juga terdapat Bale Panyimpenan (ruangan tempat menyimpan barangbarang berharga Pura) biasanya di atas pintu masuk bale panyimpenan terdapat karang Bhoma,yang berfungsi untuk menjaga barang-barang yang berada dalam ruangan tersebut. 3) Utama Mandala Utama Mandala atau jeroan adalah bagian terdalam dan tersuci/tersakral dari sebuah Pura. Pada bagian Utama ini, umat diharuskan benar-benar fokus untuk menghadap Sang Hyang Widhi dengan meningggalkan nafsu keduniawiannya. Di bagian ini terdapat pelinggih-pelinggih seperti padmasana untuk menstanakan Sang Hyang Widhi (sebagai Trimurthi atau Tripurusa) atau pelinggih-pelinggih lain untuk pemujaan roh leluhur. Selain bangunan pelinggih, juga terdapat bale Piasan, dan bangunan Panglurah (bangunan yang menempatkan pangawal Sang Hyang Widhi). Untuk memasuki jeroan, umat Hindu satu persatu masuk melalui pintu pada Kori Agung yang dijaga oleh Karang Bhoma. Biasanya jika tidak ada upacara keagamaan, umat Hindu memasuki jeroan lewat bebetelan.
2.2.2. Bangunan yang terdapat di dalam Pura 1. Candi Bentar Candi Bentar merupakan pintu masuk yang membatasi antara bagian Nista Mandala dengan bagian luar Pura. Candi Bentar dianggap sebagai perwujudan dari pangkal gunung Maha Meru, oleh karena itu dianggap kurang sakral daripada Kori Agung. Biasanya area sirkulasi dari candi bentar dibuat lebar. Hal ini dimaksudkan agar para umat Hindu datang dengan leluasa. Candi Bentar juga merupakan pintu masuk yang membatasi Nista Mandala dengan Madya Mandala, biasanya area sirkulasinya sama dengan Candi Bentar sebelumnya yang membatasi antara Nista Mandala dengan bagian luar Pura. Ruangan/pintu candi bentar dibuat agak lebar,dimaksudkan agar umat dapat lebih banyak masuk jaba tengah sekaligus. Juga mengandung arti umat boleh dengan leluasa keluar masuk dari jaba sisi ke jaba tengah atau sebaliknya. Bangunan ini merupakan sebagai pintu masuk penyaring atau penanda dimana setelah melewati pintu masuk ini, umat Hindu sudah mulai melepaskan keduniawiannya.
Gbr. 19 Candi Bentar Sumber : www.mertasarirempoa.org
2. Kori Agung Merupakan pintu masuk dan batas wilayah antara jaba tengah (Madya Mandala) dengan jeroan (Utama Mandala). Ruang/pintu tempat masuk sengaja dibuat kecil, hanya cukup untuk satu orang. Diatasnya terdapat ornament berupa karang Boma, dan dijaga oleh dua buah patung Dwara Pala. Hal ini mengandung pengertian untuk masuk jeroan (Utama Mandala), tidak setiap orang bebas leluasa melainkan masuk satu persatu,maksudnya agar mereka yang masuk ke dalam jeroan atau (Utama Mandala) benar-benar orang yang satu antara bayu (tenaganya), Sabha (perkataannya), Idep (pikirannya), dan bulat tertuju hanya untuk memuja Tuhan.
Gbr. 20 Kori Agung Sumber : Dokumentasi Penulis
3. Padmasana Padmasana merupakan bangunan pelinggih atau bangunan suci yang dikembangkan oleh Danghyang Nirartha atau Pedanda Sakti Wawu Rauh. Ia seorang sastrawan Majapahit sekaligus pendeta yang memperkenalkan
arsitektur pura. Beliau datang ke Bali untuk
menyebarkan agama Hindu Siwa Sidhanta pada abad ke-15 ketika kekuasaan kerajaan Majapahit mulai memudar. Ajarannya yang pertama adalah mendirikan padmasana di setiap komplek pura maupun pamerajan sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Widhi Wasa.
Pembangunan
padmasana ini dilakukan untuk memperbaiki kesalahan persepsi masyarakat terhadap Sang Hyang Widhi. Sebelumnya masyarakat Bali membuat pelinggih dari bambu atau pohon pinang yang tidak permanen dan biasanya dicabut kembali setelah upacara selesai. Hal tersebut menyababkan timbulnya pura-pura fungsional yaitu pura yang memiliki fungsi khusus, sebagai contoh : Pura Ulun Siwi untuk menyembah-Nya sebagai penguasa kemakmuran, Pura Melanting untuk menyembah-Nya sebagai penguasa pasar dan sebagainya. Timbulnya pura-pura tersebut menyebabkan persepsi bahwa Tuhan itu banyak. Maka Danghyang Nirartha menganjurkan pendirian padmasana untuk memperbaiki persepsi yang salah tersebut. Sebutan Padmasana berasal dari kata Padma yang berarti bunga Teratai, dan Asana berarti sikap yang terbaik dalam memuja. Teratai/Padma adalah salah satu simbol kesucian dalam agama Hindu, karena bunga Teratai ini dianggap dapat bertahan hidup walaupun hidup
dalam lumpur, tidak sedikitpun lumpur yang menempel pada bunganya. Dengan tidak adanya kotoran yang melekat ini merupakan simbol bahwa kesucian itu akan bebas dari segala kemelekatan atau noda. Pada bagian kepala/sari terdapat Singghasana seperti kursi yang diapit oleh naga tatsaka. Pada bagian belakangnya terdapat ulon yang bagian tengahnya terdapat ukiran lukisan Sang Hyang Acintya sebagai simbol perwujudan Ida Sang Hyang Widhi. Lukisan ini menggambarkan sikap tari dari dewa Siwa yang disebut dengan Siwa Natyaraja dalam menciptakan alam semesta. Sebenarnya posisi Padmasana adalah sikap duduk bersila dengan kedua telapak kaki dilipat ke atas, sehingga tampak seperti posisi yang berbentuk lingkaran. Hal ini tidak sesuai dengan apa yang terlihat di lapangan bahwa pada puncak padmasana terdapat Singghasana yang berupa kursi berkaki empat. Jadi nama Padmasana sebenarnya digunakan karena isi dari pedagingan yang ditanamkan pada puncak bangunan tersebut berupa padma yang terbuat dari emas. Sedangkan pada padmasana yang menggunakan Bhedawang Nala, pedagingan berjumlah tiga buah, yang ditanamkan pada dasar, tengah, dan puncak.
Gbr. 21 Padmasana Sumber : Ngakan Ketut Acwin Dwijendra, 2008
Fungsi utama padmasana adalah sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa atau Sang Hyang Widhi Wasa sehingga tidak ada padmasana yang dijadikan sebagai pemujaan roh leluhur. Pelinggih padmasana adalah simbol stana Sang Hyang Widhi dengan berbagai sebutan, yaitu Sanghyang Siwa Raditya, dalam manifestasi yang terlihat atau dirasakan manusia sebagai matahari atau surya dan Sanghyang Tri Purusa dalam tiga manifestasi yaitu sebagai Siwa, Sada Siwa, dan Parama Siwa. Oleh karena itu, padmasana
merupakan pelinggih yang digunakan oleh umat Hindu sekte Siwa Sidhanta karena sentral manifestasi Hyang Widhi yang menjadi pujaan utama adalah sebagai Siwa. Berdasarkan lokasi atau tata letak, padmasana dibedakan berdasarkan arah mata angin, yang terbagi menjadi sembilan jenis, yaitu : 1. Padma Kencana, di timur (purwa) menghadap ke barat (pascima) 2. Padmasana, di selatan (daksina) menghadap ke utara (uttara) 3. Padmasari, di barat (pascima) menghadap ke timur (purwa) 4. Padma Lingga, di utara (uttara) menghadap ke selatan (daksina) 5. Padma Asta Sedhana, di tenggara (agneya) menghadap ke barat laut (wayaba) 6. Padma Noja, di barat daya (nairity) menghadap ke timur laut (airsaniya) 7. Padma Karo, di barat laut (wayabya) menghadap ke tenggara (agneya) 8. Padma Saji, di timur laut (airsanya) menghadap ke barat daya (nairity) 9. Padma Kurung, di tengah-tengah pura (madya) menghadap ke pintu masuk/keluar (pemedal) Pemilihan letak padmasana berdasarkan pertimbangan letak pura dan konsep huluteben. Dikarenakan manusia sulit membayangkan Hyang Widhi, maka Hyang Widhi dianggap seperti organ tubuh manusia yaitu memiliki kepala, badan, dan kaki. Kepala dikatakan sebagai hulu, badan sebagai madya dan kaki sebagai teben. Yang utama selalu berada di hulu. Hal tersebut mempengaruhi pembagian mandala pada pura yang dibagi menjadi bagian nista, madya, utama. Hulu teben memakai dua acuan yaitu timur sebagai hulu dan barat sebagai teben, atau gunung sebagai hulu dan laut sebagai teben. Sedangkan berdasarkan bentuk pepalihan (undakan) dan rong (ruang) bangunan padmasana terdiri dari : 1. Padma Anglayang, bangunan padmasana yang memakai Bhedawang Nala, bertingkat tujuh / berpalih tujuh dan di puncaknya terdapat tiga ruang. Digunakan selain sebagai tempat distanakannya Sang Hyang Siwa Raditya atau Sang Hyang Tripurusa, juga Trimurti 2. Padma Agung, memakai dasar Bhedawang Nala, bertingkat lima/ berpalih lima dan di puncaknya terdapat dua ruang. Dipakai sebagai tempat distanakannya Sang Hyang Siwa Raditya atau Sang Hyang Tripurusa, juga stana Ardanareswari yaitu kekuatan/kesaktian Hyang Widhi sebagai pencipta segala yang berbeda misalnya, lelaki-perempuan, siang-malam, kiri-kanan dan seterusnya.
3. Padmasana, memakai dasar Bhedawang Nala, bertingkat lima/ berpalih lima dan di puncaknya terdapat satu ruang. Digunakan selain sebagai stana Sang Hyang Siwa Raditya atau Sang Hyang Tripurusa, juga sebagai stana Sang Hyang Tunggal yaitu Hyang Widhi/ Yang Maha Esa. 4. Padmasari, tidak memakai dasar Bhedawang Nala, bertingkat/ berpalih tiga dan di puncaknya terdapat satu ruang. Digunakan hanya untuk stana Sang Hyang Siwa Raditya atau Sang Hyang Tripurusa. 5. Padma Capah, tidak memakai dasar Bhedawang Nala bertingkat/berpalih dua dan di puncaknya terdapat satu ruang. Digunakan sebagai Baruna (Dewa Lautan)
1. Gedong Bentuknya serupa dengan tugu hanya bagian kepalanya terbuat dari konstruksi kayu, atapnya alang-alang, ijuk atau bahan-bahan penutup lain mengikut bentuk dan fungsinya. Bagian badan dan kaki, pasangan batu halus tanpa atau sedikit perekat siar-siar pasangan. Denah bujur sangkar dengan ukuran sisi dasar sekitar 1m dan tinggi sekitar 3m. Fungsi Gedong beragam sesuai dengan tempatnya di pamrajan, pura, kahyangan atau dilain tempat tertentu. Tata letak gedong, bentuk konstruksi atap dan ketentuan lain mengikut fungsi gedong tersebut. Pemakaian bahan, penyelesaian konstruksi dan hiasannya sesuai dengan tingkatan utama, madya dan sederhana dari suatu pura yang ditempatinya.Terdapat juga gedong kembar dengan dua ruangan dan gedong tiga ruangan atau rong telu untuk kemulan di sanggah atau pamerajan. Gedong dengan atap bertumpang disebut gedong sari untuk kahyangan jagat dari suatu pura tertentu.Dasar ukuran gedong, proporsi berbaturan dan rangka ruangnya didasarkan pada ketentuan tradisional. Bentuk penyelesaian, bagian-bagian dan hiasannya bervarisi mengikuti kreasi logika dan estetika perancangnya. 2. Meru Bentuknya menonjolkan keindahan atap bertingkat-tingkat yang disebut atap tumpang. Jumlah tumpang atap selalu ganjil, yaitu tumpang 5,7,9, dan tumpang 11 yang tertinggi. Keindahan banguanan meru timbul dari ketepatan proporsi, teknik konstruksi dan hiasannya. Tata letak meru di suatu pura adalah di halaman jeroan bagian utara. Meru umunya menghadap kearah barat di sisi timur senagai tempat pemujaan utama. Menurut mitologi Hindu, Meru merupakan nama sebuah gunung di Sorgaloka. Salah satu puncaknya disebut Kailasa, yang merupakan tempat bersemayamnya Bhatara Siwa. Gunung tersebut
lalu diturunkan ke dunia menjadi gunung Himalaya di India, Gunung Mahameru di Jawa, dan gunung Agung di Bali.
Gbr. 22. Meru Sumber : Ngakan Ketut Acwin Dwijendra, 2008
3. Aling-aling Aling-aling pada pura adalah bangunan berbentuk persegi panjang yang berada di depan pintu masuk Kori Agung. Aling-aling ini berfungsi sebagai penhalang pandangan dari arah pintu masuk Kori Agung.
4. Pelinggih-pelinggih Runtutan Meru, Padmasana, Gedong dan Kemulan merupakan bangunan-bangunan pelinggih tempat pemujaan utama. Untuk bangunan pelengkap dengan fungsi tertentu di suatu Pura atau Pamerajan dibuat bangunan-bangunan runtutan sebagai berikut :
Tajuk atau pepelik ; bentuk dan konstruksinya serupa bangunan gedong
terbuka tiga sisi ke depan dan sisi samping. Fungsinya untuk penyajian sarana dan perlengkapan upacara.
Bangunan dan paliangan ; bentuk dan konstruksinya serupa dengan
gedong, sedikit lebih besar dan ada yang memakai tiang jajar. Fungsinya untuk menstanakan symbol-simbol dan saran upacara.
Taksu nenggeng ; semacam gedong bertiang satu dan taksu nyangkil
semacam gedong ruang dua empat tiang, dua tiang gantung di tepi kanan.
Manjangan salu wang ; Serupa dengan gedong, terbuka tiga sisi,
didepan memakai tiang tengah dengan kepala manjangan.
Gedong Mas Catu dan Mas Sari ; bentuk dan konstruksinya sama
dengan gedong. Mas Catu puncak atapnya tumpul dan Mas Sari puncaknya kerucup lancip. Fungsinya untuk tempat pemujaan Sri Sedana, harta kekayaan untuk kesejahteraan.
Gedong Agung, Gedong Ibu dan Gedong Batu ; bangunan gedong
besar dengan dinding batu berhias ornament pepalihan. Fungsinya tempat pemujaan leluhur di sanggah dan pamerajan. Terdapat juga di Pura Kahyangan Tiga. Selain bangunan-bangunan itu terdapat juga bangunan-bangunan yang digunakan sebagai pelengkap upacara, yaitu ;
Bale Piyasan :sebuah bangunan tipe sakepat, sakenem, astasari, atau
sakaroras sesuai dengan besarnya tingkatan pura. Fungsinya untuk tempat penyajian sarana-sarana upacara. Terbuka pada keempat sisinya. Letaknya di sisi barat halaman atau sisi lain menghadap meru, gedong atau padmasana. Atap dari alang-alang dan bahannya dari klas khusus untuk bangunan pemujaan.
Bale Pawedaan : bangunan sakepat atau lebih besar, letaknya di sisi
sehadapan dengan bangunan pemujaan. Bale Pawedaan dibangun di pura-pura besar yang sering menyelenggarakan upacara tingkat utama.
Pewaregan Suci, letaknya di Jaba tengah atau jaba sisi. Bentuk
bangunannya memanjang deretan tiang dua-dua,luas bangunan tergantung keperluan dari besarnya suatu pura. Fungsi bangunan untuk dapur mempersiapkan keperluan sajian upacara di Pura yang jauh dari desatempat pemukiman.
Bale Gong, terletak di jaba tengah atau jaba sisi, bangunan tanpa balai-
balai jajaran tiang tepi tanpa tiang tengah. Fungsi bangunan untuk tempat menabuh gamelan gong atau gamelan lainnya.
Bale Kul-kul, letaknya di sudut depan pekarangan pura. Fungsinya
untuk tempat kulkul yang dibunyikan awal, akhir dan saat tertentu pada upacara.
Penggunaan, letaknya dibagian selatan menghadap ke utara atau
jabaan. Bentuk bengunan sederhana, fungsinya untuk tempat penyajian banten upacara.
BAB III KESIMPULAN Konsep bangunan Pura mengacu pada pemahaman umat Hindu Bali terhadap Alam dan ajaran agama yang diyakininya. Konsep pembuatan arsitektur Pura mengacu pada Lontar Asta Kosala-Kosali yang di dalamnya terdapat falsafah perwujudan arsitektur Pura yaitu Tri Hita Karana, Panca Maha Bhuta, Nawa Sanga. Ketiga falsafah tersebut menjadi dasar pembuatan arsitektur Pura yang di dalamnya terdapat suatu pemahaman mengenai alam yang dikaitkan dengan kepercayaan umat Hindu, seperti keterlibatan pengaruh Dewa- dewa yang terdapat pada setiap penjuru mata angin. Selain itu, bangunan Pura juga memiliki satuan ukur bangunan yang mengacu pada ukuran anatomi manusia itu sendiri. Hal tersebut mengacu pada logika manusia sebagai pengguna bangunan. Pemahaman tentang alam juga mempengaruuhi struktur Pura yang dilihat dari denahnya juga mengacu pada pemahaman masyarakat Hindu Bali mengenai pembagian alam. Pada umumnya struktur atau denah pura di Bali dibagi atas tiga bagian, yaitu: jabapura atau jaba pisan (halaman luar), jaba tengah (halaman tengah) dan jeroan (halaman dalam). Di samping itu ada juga pura yang terdiri dari dua halaman, yaitu: jaba pisan (halaman luar) dan jeroan (halaman dalam) dan ada juga yang terdiri dari tujuh halaman (tingkatan). Pembagian halaman pura ini, didasarkan atas konsepsi makrokosmos (bhuwana agung), yakni : pembagian pura atas 3 (tiga) bagian (halaman) itu adalah lambang dari "triloka", yaitu: bhurloka (bumi), bhuvaaloka (langit) dan svaaloka (sorga). Pembagian pura atas 2 (dua) halaman (tingkat) melambangkan alam atas (urdhaa) dan alam bawah (adhaa), yaitu akauadan pativi. Sedang pembagian pura atas 7 bagian (halaman) atau tingkatan melambangkan "saptaloka" yaitu tujuh lapisan/tingkatan alam atas, yang terdiri dari: bhurloka, bhuvaaloka, svaaloka, mahaoka, janaloka, tapaloka dan satyaloka. Dan pura yang terdiri dari satu halaman adalah simbolis dari "ekabhuvana", yaitu penunggalan antara alam bawah dengan alam atas. Pembagian halaman pura yang pada umumnya menjadi tiga bagian itu adalah pembagian horizontal sedang pembagian (loka) pada pelinggih-pelinggih adalah pembagian yang vertikal. Pembagian horizontal itu melambangkan prakati (unsur materi alam semesta) sedangkan pembagian yang vertikal adalah simbolis puruua (unsur kejiwaan/spiritual alam semesta). Penunggalan konsepsi prakati dengan puruua dalam struktur pura adalah merupakan
simbolis dari pada "Super natural power". Pemahaman masyarakat Hindu terhadap keyakinannya jelas tercermin ke dalam konsep bangunan Pura. Dilihat dari struktur pembagian denah Pura maupun bangunan yang ada di dalamnya merupakan cerminan dari pengertian alam yang di pahami masyarakat Hindu Bali. Hal tersebut dilakukan karena masyarakat Hindu Bali menginginkan suatu keseimbangan antara hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Sang Hyang Widi Washa agar kebahagiaan dapat tercapai bagi seluruh manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Dwijendra,A N.K.A. (2008). Arsitektur Bangunan Suci Hindu Berdasarkan Asta KosalaKosali. Denpasar: Udayana University Press Herdita, P. (2008). Identifikasi Dan Pemaknaan Warna Dalam Konteks Simbol Religi Agama Hindu Pada Arsitektur Tradisional Bali. Skripsi- Jurusan Desain Interior. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Kagami,H (1988). Balinese Traditional Architecture In Process. Nagoya: The Little World Museum of Man Moh. Nor, O.H. (2004). Unsur-Unsur Pada Rumah Tinggal Melayu Di Selangor Malaysia. Thesis- Program Magister Desain Program Pasca Sarjana. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Pudja,G. Kena Upanisad (Kenopanisad) Naskah-Terjemahan-Penjelasan. Jakarta :Lembaga Penterjemah Kitab Suci Weda Swasty, W. (2004). Pengungkapan Kembali Nilai Lokal Bali Dengan Idiom NeoVernacular Pada Arsitektur Dan Interior Restoran. Skripsi- Jurusan Desain Interior. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Titib,I.M. (2007). Pengertian Dan Fungsi Pura. Diakses pada 10 Nopember 2008 dari w.w.w : http:e-Banjar.com Udiana,Tjokorda N.P. (2003). Motif Garuda Dalam Seni Budaya Bali. Denpasar : Universitas Udayana