KAJIAN HUKUM ADAT SUKU MOOI DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA ALAM DI SORONG Oleh Irma Yeny, Wilson Rumbiak, Arif Hasan RINGKASAN
Beberapa wilayah di Papua aturan adat masih diakui keberadaannya dan dianggap mempunyai kekuatan hukum yang dapat membuat jera dan cukup efektif. Sehingga untuk dapat mengakomodir potensi adat dalam penegakan sanksi adat maka kajian hukum adat perlu dilakukan. Penelitian dilakukan pada masyarakat sekitar hutan produksi di kabupaten Sorong provinsi Irian Jaya Barat. Penelitian ini bertujuan mengkaji dan mengelompokkan adat istiadat dalam mengatur masyarakat adat dalam pemanfaatan sumberdaya alam di Papua. Pengumpulan data dilakukan dengan metode survey, yang terdiri dari 2 (dua) kegiatan pokok berupa pencarian fakta dan penafsiran data/ fakta tersebut dengan tepat (Whitney, 1960 dalam Nazir, 1988). Hasil penelitian menunjukkan adanya paranata adat yang hidup sampai saat ini dan mampu mewadahi segala kepentingan adat yang dapat memperkuat kedudukan hutan adat dalam hukum formal. Selanjutnya Hukum adat Suku Mooi terdiri dari norma dan aturan adat (hukum adat). Sebagaimana hak-hak adat yang ada di Indonesia hukum adat tersebut tidak tertulis dan tidak statis, sehingga hukum adat waktu lampau berbeda isi dan sanksinya dengan hukum adat dimasa sekarang. Kata Kunci : Hukum Adat, Pemanfaatan, Sumberdaya Alam
I.
PENDAHULUAN
Hutan menurut UU 41 Tahun 1999 merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Lebih lanjut dikatakan semua hutan didalam wilayah Republik Indonesia, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penguasaan hutan negara tersebut tetap memperhatikan hak-hak
1
masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Di Papua secara praktis tidak ada kawasan hutan yang tidak diakui sebagai hak milik oleh penduduk setempat. Kepemilikan tersebut bersifat komunal, di mana alokasi hak dan kewajiban atas tanah merupakan bagian integral dari rumah tangga dan struktur marga antara anggota masyarakat (hutan adat). Selain itu penduduk memiliki sistem pengelolaan sumberdaya alam sendiri yang diwariskan secara turun temurun untuk mendukung upaya pemanfaatan yang berkelanjutan bahkan telah menjadi bagian dari khasanah sosiokultur masyarakat setempat. Sistem pengelolaan tersebut selanjutnya dikenal dengan aturan adat yang dewasa ini dikenal dengan hukum adat. Hukum adat merupakan sumber berbagai aturan dalam mengelola sumberdaya alam yang digerakkan oleh nilai-nilai budaya yang dimiliki masyarakat. Hukum adat tersebut kemudian menjadi lemah akibat kehadiran hukum formal di Indonesia yang menganut sistem hukum kontinental, yang muncul dari sistem demokrasi. Lemahnya kedudukan hukum adat ini terlihat pada sebagian besar ijin pemanfaatan sumberdaya alam diberikan tanpa mengindahkan aturan dan hak-hak masyarakat adat. Hal ini kemudian menjadi sengketa antara masyarakat dengan investor. Perlawanan masyarakat adat kemudian terlihat pada kegiatan perambahan hutan, baik pada hutan konservasi maupun hutan produksi yang telah dibebani ijin pemanfaatan. Kegiatan perambahan hutan tersebut lebih marak dikenal dengan illegal logging. Sesungguhnya masyarakat lokal dapat memberi kontribusi dalam pengelolaan hutan secara lestari. Beberapa penelitian yang dilakukan di Kawasan Timur Indonesia menggambarkan betapa efektifnya pengelolaan sumberdaya alam lokal yang didasari atas sistem tata nilai yang diwarisi secara turun- temurun. Marzali (1996) dalam Ahmad Rizal 2001, mengemukakan tentang
2
perlunya mengakomodasi nilai-nilai pengelolaan hutan secara lestari.
hukum
adat
dalam
Provinsi Irian Jaya atau yang dikenal dengan Papua memiliki sekitar 250 etnis, sebagian penduduknya, terutama yang tinggal di lokasi terpencil, masih menggunakan hukum adat dalam mengatur aktivitas kehidupannya sehari-hari. Hukum formal yang dintroduksi negara tidak bisa menggusur begitu saja sistem hukum dan kelembagaan adat yang telah exist di Papua. Hukum formal yang timbul sebagai hukum yang dikondisikan seringkali mempunyai banyak kelemahan yang secara sosiologis tidak membuat jera si pelanggar. Sebaliknya Hukum adat merupakan kumpulan aturan adat yang tidak dikitabkan, tidak dikodifisir, bersifat paksaan dan mempunyai sanksi, sehingga mempunyai akibat hukum yang berat. Oleh karena itu penelitian diarahkan untuk menginventarisir aturan-aturan adat Papua dalam mengatur pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari, yang berpeluang untuk dikodifikasikan menjadi suatu bentuk aturan formal yang mengikat (legally binding) seluruh komponen masyarakat yang berdiam di Papua Tujuan penelitian ini adalah mengkaji dan mengelompokkan adat istiadat dalam mengatur masyarakat adat dalam pemanfaatan sumberdaya alam di Papua. Pada tahun pertama, penelitian diarahkan ke Suku Mooi, di sebelah barat Kepala Burung Papua. Sasaran penelitian ini adalah terwujudnya penguatan aturan adat dalam pengelolaan hutan secara lestari. Melalui penegakkan hukum adat ini diharapkan dapat mengurangi laju illegal logging yang sedang marak di Papua. Luaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah diperolehnya masukan informasi bagi penyusunan materi hukum formal yang mengatur pemanfaatan sumberdaya hutan secara lestari dan yang bersumber dari hukum adat masyarakat Papua.
3
II.
METODE PENELITIAN
A.
Lokasi Penelitaian
Penelitian ini berlangsung selama 2 bulan dengan lokasi kabupaten Sorong provinsi Irian Jaya Barat khususnya masyarakat suku asli RW 1 kecamatan Aimas yang berbatasan langsung sebelah utara kampung klamalu, sebelah selatan distrik Sorong Timur, sebelah barat kampung Malawili dan sebelah timur distrik Beraur. B. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan metode survey, yang terdiri dari 2 (dua) kegiatan pokok berupa pencarian fakta dan penafsiran data/ fakta tersebut dengan tepat (Whitney, 1960 dalam Nazir, 1988). Penetuan informan kunci dilakukan secara purposif, sementara responden representatif dari kelompok yang homogen diambil secara random kemudian diwawancara dengan bantuan quisioner. Pendekatan terhadap masalah dilakukan dengan teknik wawancara focus discusion group pada beberapa lembaga yang terkait. Dari hasil wawancara kemudian ditentukan kelompok masyarakat adat yang menjadi sasaran kegiatan penelitian. Selanjutnya diambil beberapa tokoh adat/tetua adat yang mengetahui aturan adat. Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis-menulis, alat rekam (minicassete dan tape recorder), alat dokumentasi (kamera) dan panduan kuisioner. C. Analisis Data Data tersebut kemudian dikelompokkan berdasarkan metoda Biertedt, 1970 dengan mengelompokkan menjadi “forways” (adat istiadat; kebiasaan) dan hukum (aturan yang
4
mengandung sanksi) yang selanjutnya data dianalisis secara deskriptif. III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Pranata Adat Suku Mooi, Sorong
Masyarakat Adat Suku Mooi sebagaimana masyarakat adat Papua lainnya mendiami daerah yang sangat luas meliputi dari arah Timur Waiben/Saokorem perbatasan ManokwariSorong sampai Snopi, arah Selatan Snopi/Aikteren di arah Timur dan ke arah Barat/Wanurian daerah Klabra, arah Barat dari Wanurian sampai dengan Seget dan Misool, Arah Utara dari Misool sampai Kepulauan Ayau/Waigeo Utara (meliputi seluruh Kepulauan Raja Ampat) . Wilayah tersebut dikenal dengan wilayah Hukum Adat Suku Mooi atau lebih dikenal dengan suku Malamoi. Wilayah Hak Adat Malamoi dihuni oleh penduduk asli Suku Mooi yang terdiri dari 12 rumpun Mooi besar antara lain : Mooi Kilin, Mooi Sigali (Mooi Mare), Mooi Maya, Mooi Klasa, Mooi Moraid, Mooi Seget, Mooi Klabra, Mooi Madik, Mooi Karon, Mooi Meiyakh, Mooi Batan Mee/Batbat, Mooi Fiyawat. Suku Mooi menurut Anonimous, 2000 adalah suku yang pertama menjadi korban eksplorasi sumber kekayaan alam berupa minyak bumi yang dilakukan PERTAMINA sejak tahun 1930-an di Tanah Papua1. Kegiatan eksplorasi ini dianggap tidak memberikan nilai yang positif bagi kemajuan masyarakat Suku Mooi sebagai pemilik wilayah adat kota Sorong. Berbagai persoalan adat yang kemudian muncul mengakibatkan dibentuknya suatu kelembagaan adat yang dapat 1
Meski sesungguhnya kegiatan pengeboran minyak yang pertama kali dilakukan di Papua adalah di Bintuni yang dilakukan pada masa pemerintahan Belanda oleh perusahaan Nederland New Guinea Petroleum Maskapij (NNGPM).
5
mewadahi seluruh kepentingan masyarakat dibawah Ikatan Keluarga Besar Malamoi (IKBM) Sorong. Keberadaan IKBM saat ini dinilai kurang memadai dan banyak diintervensi oleh pihak pemerintah, akibatnya organisasi tersebut dibubarkan dan dilebur menjadi suatu lembaga idenpenden dan lebih khusus memperjuangkan hak-hak masyarakat suku Mooi yang di kenal dengan Lembaga Masyarakat Adat – Malamoi Sorong (LMAMS). Secara resmi lembaga adat Malamoi dibentuk pada tanggal 25 maret 1998 oleh para relawan pribumi yang prihatin terhadap kondisi masyarakat adatnya dalam posisi mereka sebagai penduduk pribumi. Status lembaga ini dilegitimasi melalui sidang adat suku Mooi pada tahun 1999 dengan tujuan untuk memperjuangkan hak, menyalurkan aspirasi dan memberdayakan masyarakat hukum adat suku Mooi di daerah kepala burung agar masyarakat tetap eksis di tengah kehidupan masyarakat majemuk. Adapun tugas pokok yang diemban LMA-MS adalah sebagai berikut : 1. Menegakkan kewibawaan Hukum adat, 2. Menata hak-hak batas tanah-tanah dari masing-masing keret, 3. Mendirikan peradilan Hukum Adat, 4. Menegakkan HAM, 5. Memilih pemerintah Adat 6. Menerbitkan pengelolaan sumberdaya alam di seluruh wilayah Hukum Adat Wilayah Malamoi demi kesejahteraan masyarakat Mooi khususnya dan masyarakat Sorong pada umumnya. Struktur kelembagaan LMA-MS terdiri atas pengurus harian (eksekutif) dan dewan adat (Legislatif). Adapun struktur organisasi Lembaga masyarakat Adat Malamoi yang telah terbentuk sejak tahun 1998 dapat dilihat pada lampiran 1. Pengurus harian merupakan pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi Lembaga Masyarakat Adat Malamoi Sorong berdasarkan AD ART, keputusan Musyawarah Organisasi Adat
6
dan keputusan Sidang Adat. Keputusan sidang/rapat pada organisasi LMA disemua tingkatan pada dasarnya diambil berdasarkan musyawarah/mufakat dan votting apabila dianggap perlu. khusus untuk sidang adat keputusan diambil berdasarkan kebiasaaan yang berlaku pada adat suku Mooi. Dewan Adat dibentuk oleh pengurus harian dan diketuai oleh seorang Kepala Suku yang mewakili 15 sub suku. Dewan Adat bertugas memberikan pertimbangan dan saran kepada pengurus harian baik diminta maupun atas inisiatif sendiri, serta memimpin upacara-upacara adat. Mengurus permasalahan dan menyelesaikan sengketa adat serta menyelenggarakan sidang adat dan memimpin rapat-rapat adat. Sistem kelembagaan adat yang dibentuk dapat dikatagorikan sebagai organisasi paguyuban yang mempunyai kewenangan mengatur hubungan antar warga masyarakat adat dan hubungan masyarakat adat dengan lingkungannya. Lembaga masyarakat adat tersebut telah memiliki embrio sejak dahulu. Hal ini dapat diketahui dari adanya sejarah seperti pendidikan inisiasi didalam Rumah Adat (kambik) yang berlangsung selama 7 bulan untuk menghasilkan para Dewan Adat (Wofli). Selain itu sudah terdapat struktur organisasi adat dengan fungsi dan tanggungjawab yang jelas, seperti: Neligin (kepala suku), Newok (hakim Adat), Mombri (panglima perang) dan Nevulus (Penasehat).
7
Gambar 1.
Struktur Organisasi Adat
Figure 1.
Traditional Structure Organization
Kepala Suku merupakan pemegang keputusan tertinggi dalam pemberian sanksi adat. Sanksi adat ditetapkan oleh hakim adat setelah mendapatkan masukan dari penasehat adat Nevulus (orang yang dianggap mengetahui sejarah dan permasalahan adat). Setelah melalui proses sidang adat pelaku akan dikenakan sanksi yang telah diputuskan oleh hakim adat. Upacara pelaksanaan sanksi adat dipimpin oleh kepala suku Neligin. B.
Beberapa Aturan Adat Suku Mooi
Walaupun mengalami tekanan berat, banyak studi yang telah membuktikan bahwa sebagian besar masyarakat adat di Indonesia masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Di banyak wilayah adat masih ditemukan kawasan hutan adat yang masih alami, bebas dari kegiatan penebangan kayu dan juga bertahan hanya dengan mengandalkan pengelolaan diatur dengan hukum adat.
8
Kehidupan masyarakat etnik Mooi telah dilandasi kepercayaan bahwa tempat tinggal dan tempat berusaha telah ditentukan oleh nenek moyang mereka berdasarkan batas-batas alam seperti : bukit, gunung (kli) , lembah, sungai serta sejauh mana mereka berburu (teritori) atau sejauh gemanya suara banir pohon yang di”toki” (di pukul) masih terdengar. Suatu hal yang menarik dalam sejarah budaya mereka yaitu telah dikenalnya sistim kepemilikan hak –hak atas harta warisan dan ulayat antara lain : hak tegestemoi (hak yang diturunkan secara turun temurun). Hal-hal yang berhubungan dengan pelanggaran-pelanggaran hukum adat dan pemberian sanksi diputuskan lewat sidang adat atau yang dikenal dengan sbalo. Proses sbalo ada dua macam yaitu : sbalo tertutup dan sbalo terbuka. Sbalo tertutup dianggap paling sakral dan ketat yang hanya dihadiri oleh para laki-laki dan dewan adat (wofli). Semua penyelesaian konflik atau hal-hal yang berhubungan dengan adat biasanya berakhir dengan suatu upacara ritual. Tongkat bambu Tui merupakan simbol perdamaian atau keprihatinan masyarakat Mooi. Tradisi hukum adat masyarakat Mooi masih tetap dipertahankan hingga saat ini. Hal ini dapat ditunjukan dari pengabdian lembaga adat dalam penyelesaian konflik menggunakan tata cara serta aturan adat yang berlaku. Pada saat ini untuk mengadakan suatu proses sbalo, masyarakat adat memanfaatkan Hutan Lindung km 14 sebagai lokasi sidang. Hukum adat Suku Mooi sebagaimana hak-hak adat yang ada di Indonesia tidak tertulis dan tidak statis, sehingga hukum adat waktu lampau berbeda isi dan sanksinya dengan hukum adat dimasa sekarang. Masyarakat Suku Mooi yang hidup dimasa lalu mengenal “Hongi” atau sanksi mati terhadap suatu pelanggaran baik yang bersifat perdata maupun pidana. Namun dewasa ini dengan masuknya injil dan adanya kekuasaan-kekuasaan yang lebih tinggi dari persekutuan hukum adat mengakibatkan aturanaturan adat yang berlaku lebih bijaksana dan mengandung sanksi yang relatif lebih ringan. Hasil penelitian menunjukkan adanya
9
beberapa aturan adat yang tidak mengandung sanksi (norma) dan aturan adat yang mengandung sanksi dalam mengelola dan memanfaatkan hutan dan lahan. Jika dikelompokan maka, normanorma yang ditemui dimasyarakat berupa : 1. Menghargai pemilik ulayat, sehingga suatu marga yang hidup bukan pada tanah ulayatnya, menyadari keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya sehingga tidak dapat seenaknya menjualbelikan tanah tersebut. 2. Memanfaatkan lahan/hutan/kebun sebatas kebutuhan hidup dan tidak boleh lebih 3. Pembukaan kebun tidak boleh dilakukan di kanan kiri sungai 4. Norma-norma dalam pergaulan muda mudi yang membatasi tingkah laku lawan jenis. Dari keempat norma-norma tersebut dilakukan pengujian tingkat pengetahuan Masyarakat Adat Suku Mooi di Kelurahan Aimas. Hasil survey menunjukkan norma-norma tersebut diketahui oleh seluruh kelompok umur baik laki-laki maupun perempuan. Namun demikian aturan tersebut hanya sebatas diketahui karena jika dilihat pelaksanaannya maka tampak bahwa kelompok usia 12 - 25 tahun tidak mengindahkan aturan tersebut. Hal ini disebabkan oleh masuknya peradaban barat dan melemahnya pemberian sanksi jika terjadi pelanggaran. Sedangkan aturan-aturan mengandung sanksi yang dikenal dengan hukum adat Suku Mooi mengarah ke masalah-masalah sebagai berikut : 1. 2.
Hak-hak peralihan harta warisan ulayat Pola pemanfaatan
Pengetahuan, penerapan dan sanksi masing-masing aturan diuraikan sebagai berikut: 1.
Hak-hak Peralihan harta warisan Ulayat
10
Hubungan hidup antara masyarakat Suku Mooi bertalian satu sama lain dengan tanah dimana mereka berdiam. Bagi masyarakat Suku Mooi tanah merupakan tempat mereka makan, dimakamkan dan yang menjadi tempat kediaman orang-orang halus pelindungnya beserta arwah leluhurnya. Hubungan hidup inilah yang kemudian memunculkan hak-hak peralihan atas tanah yang dikenal dengan hak tegestemoi (hak yang diturunkan secara turun temurun) berupa: a.
Hak Egefmun merupakan hak milik, biasanya diperoleh dari keturunan darah.
b.
Hak Subey merupakan hak pakai, hak ini diberikan kepada seorang anak susuan untuk dipakai tapi tidak dimiliki.
c.
Hak Sukubang merupakan hak pemberian tanah kepada anak perempuan sebagai tempat berladang. Apabila anak tersebut menetap maka tanah menjadi miliknya namun jika anak tersebut tidak menetap maka tanahnya dikembalikan.
d.
Hak Woti merupakan hak pemberian tanah kepada orang yang telah membantu / melindungi dalam perang (balas jasa).
e.
Hak Somala merupakan penyerahan hak ulayat kepada orang luar karena wilayah tersebut dianggap tidak aman.
Hak-hak tersebut di atas dewasa ini diatur oleh aturan yang lebih kuat yaitu tidak boleh menjual tanah kepada orang lain (suku lain), yang dapat dilakukan adalah sewa tanah dan sebagainya sehingga hak kepemilikannya tetap. Aturan ini harus dipahami dan jika tidak ditaati maka Dewan Adat akan memanggil orang tersebut dan dilakukan sidang adat. Jika alasan pemilik tidak dapat diterima oleh Dewan Adat maka pemilik akan dikenakan sanksi berupa sejumlah uang dan kain timur.
11
Hasil perhitungan tingkat pengetahuan kelima hak-hak pewarisan ulayat Suku Mooi tersebut yang berada pada kelurahan Aimas, diketahui bahwa tingkat pengetahuan tertinggi ditunjukkan pada kelompok umur > 46 tahun dengan persentase 11% untuk laki-laki dan 3 % untuk perempuan. 2.
Pola Pemanfaatan
Pada pelaksanaannya kegiatan pemanfaatan hasil alam dibagi menjadi 2 kegiatan pokok, yaitu : a. Pemanfaatan lahan hutan Masyarakat adat mengenal 2 jenis hutan, yaitu hutan keramat (kufok) dan hutan produksi biasa (kuwos). Hutan keramat merupakan hutan yang dilindungi oleh hukum adat dan dianggap sakral. Pada hutan ini dipercaya terdapat arwah-arwah nenek moyang dan timbunan harta yang disimpan di dalam tanah. Pada hutan ini tidak boleh dilakukan pemanfaatan baik dalam skala kecil/besar. Hutan produksi biasa (kuwos) dapat dimanfaatkan oleh pemilik ulayat dalam skala kecil maupun skala besar. Skala kecil terlihat pada pembukaan lahan untuk kebun, sedangkan pemanfaatan lahan dalam skala besar terlihat pada pembukaan lahan hutan untuk kepentingan transmigrasi dan pembangunan pemukiman. Bentuk-bentuk pemanfaatan tersebut sebelum era otonomi dilakukan tanpa adanya kesepakatan bersama antara pemilik ulayat dan pemerintah, sehingga menimbulkan konflik yang cukup besar. Namun demikian ada yang akhirnya dapat diselesaikan melalui pesta adat dan pihak pemerintah menyetujui keinginan pemilik ulayat. b.
Pemanfaatan hasil hutan
12
Pemanfaatan hasil hutan dikelompokkan menjadi 2 yaitu pemanfaatan kayu dan hasil hutan bukan kayu serta pemanfaatan Margasatwa. 1).
Pemanfaatan kayu dan hasil hutan kayu dan bukan kayu
Dalam pemanfaatan kayu dan hasil hutan bukan kayu, dapat dikelompokkan menjadi bentuk pemanfaatan komersil dan non komersil. Bentuk komersil dapat terlihat pada kesepakatan bersama dalam pemanfaatan hutan produksi pada wilayah hak ulayat beberapa sub Suku Mooi dengan HPH Intimpura Timber.Co, sebagai pemegang hak pemanfaatan kayu oleh pemerintah. Pemanfaatan hasil hutan tersebut dilakukan melalui beberapa tahapan aturan adat, sebagai wujud penghargaan terhadap hak-hak adat dan penghormatan terhadap arwah-arwah yang mendiami hutan tersebut. Langkah pertama : menyamakan keinginan dan persepsi antara pengusaha dan pemilik hak ulayat dalam hal bentuk pemanfaatan serta kompensasi yang diberikan. Langkah Kedua : melakukan upacara adat dengan tujuan membuka pintu bagi arwah-arwah (Muiwe) sehingga tidak menimbulkan bencana/malapetaka. Dalam upacara tersebut pihak perusahaan, pemerintah dan lembaga-lembaga adat serta pemilik hak ulayat duduk bersama untuk melaksanakan prosesi adat. Prosesi adat diawali dengan penyiapan bahan-bahan persembahan berupa kain timur, sirih, pinang, kapur sirih, tembakau yang diletakkan di atas sebuah piring. Setelah benda-benda tersebut lengkap sesuai permintaan tetua adat, maka Ketua Adat yang memimpin upacara adat akan membacakan sumpah yang diucapkan dalam bahasa Mooi. Sumpah tersebut berisikan permohonan ijin pada arwah-arwah dan penguasa tanah agar dalam pelaksanaannya kelak perusahaan tidak terkena musibah. Pembacaan sumpah selama ± 30 menit diiringi lantunan lagu yang dinyanyikan oleh tetua adat lainnya. Setelah sumpah tersebut dibacakan maka prosesi selanjutnya adalah makan bersama yang diawali dengan makan pinang/sirih yang
13
merupakan sesaji tersebut. Sesaji tersebut dimakan oleh ketiga belah pihak yakni perusahaan, pemerintah dan pemegang hak ulayat. Setelah makan bersama acara adat dapat dikatakan selesai yang diakhiri dengan jabat tangan sebagai tanda persaudaraan. Sedangkan untuk pemanfaatan non-komersil terlihat pada kegiatan pengambilan hasil hutan kayu untuk kepentingan pembuatan rumah. Kayu-kayu yang dibutuhkan biasanya berdiameter kecil dan dalam jumlah kecil. Selain pengambilan kayu untuk rumah, pemanfaatan kayu lainnya terlihat untuk kayu bakar dan pembuatan alat berburu dan pertanian seperti tombak dan tugal. Bentuk pemanfaatan dalam skala kecil/rumah tangga ini dilakukan hanya melalui kesepakatan pemegang ulayat saja, sehingga tidak membutuhkan prosesi adat yang besar. 2).
Pemanfaatan Marga Satwa
Pemanfaatan satwa ini diatur dalam aturan adat yang dikenal dengan pemanfaatan terbatas. Satwa berupa hewan buruan, burung serta ikan dapat dimanfaatkan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan hidup saja. Jika jumlah yang diambil dan direncanakan untuk dijual maka sebelum mengadakan kegiatan berburu atau menangkap ikan penduduk harus berdoa kepada arwah-arwah agar dimudahkan dalam berburu. Penduduk percaya jika tidak dilakukan hal tersebut maka hewan buruan tidak akan tampak oleh mata sehingga tidak dapat ditangkap. Kepercayaan terhadap arwah tersebut dilakukan juga dalam bentuk “sasi”. Budaya sasi merupakan larangan atau pantangan mengambil dan memanfaatkan tumbuhan dan hewan buruan tertentu ataupun secara keseluruhan dusun dan apa yang ada didalamnya selama kurun waktu tertentu (1 – 5 tahun), yang diawali dan diakhiri dengan upacara adat. Sasi yang sering dilakukan oleh suku Mooi adalah sasi terhadap dusun buah ataupun sungai. Sasi ini ditujukan untuk menghormati Tetua dusun yang telah meninggal, dan salah satu bentuk untuk mengenang kebaikan orang tersebut. Dusun/sungai yang akan disasi terlebih dahulu didoakan oleh tetua adat dan sekelilingnya ditanam bambu kecil dengan bentuk silang sebagai tanda tidak boleh dimanfaatkan. Sasi tersebut
14
biasanya berumur satu tahun dan diakhiri dengan upacara adat serta doa kepada arwah agar buah/ikan yang akan dipanen akan membawa berkah. Pencabutan bambu dilakukan oleh penduduk yang ingin memanen buah/ikan tersebut. Budaya “sasi” tersebut merupakan bentuk kearifan tradisonal dalam pemanfaatan dan mengelola sumberdaya alam yang ada disekitar mereka. Pada beberapa aturan adat tersebut, jika terjadi pelanggaran atas aturan tersebut akan diberikan sanksi adat. Sanksi adat diberikan berdasarkan berat ringannya suatu pelanggaran. Jika pelanggaran yang dilakukan bersifat ringan (mencuri hasil kebun dengan jumlah sedikit), maka sanksi yang diberikan relatif ringan dan biasanya hanya berupa denda sejumlah uang dengan batas waktu yang tidak terlalu ketat. Berbeda dengan pelanggaran berat seperti pemanfaatan lahan dalam jumlah besar tanpa ijin, perzinahan dan pemerkosaan. Pada pelanggaran seperti ini akan dilakukan penegakkan sanksi adat berupa denda yang cukup besar dan dengan waktu pembayaran yang ditentukan. Pada masa lalu penentuan lamanya batas waktu pembayaran denda dilakukan dengan cara tradisional seperti menuangkan sejumlah air ke tanah. Lamanya air tersebut meresap ke tanah merupakan jumlah hari atau batas waktu pembayaran denda. Namun dewasa ini penentuan waktu tersebut sudah tidak dilakukan lagi. Penentuan waktu dilakukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dan diketahui oleh para saksi. Bentuk pembayaran sanksi adat yang dewasa ini dianggap sangat berat adalah pembayaran denda dengan menggunakan sejumlah kain timur. Selain kain ini mempunyai harga yang cukup mahal Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000 / meter, kain tersebut sudah semakin sulit untuk mendapatkannya. Kain timur yang merupakan hasil tenunan penduduk asli Pulau Timor ini mempunyai motif dan nilai seni yang berbeda antara kain timur biasa dan kain timur kepala. Gambar dibawah ini membedakan 2 jenis kain timur yang merupakan alat denda suku Mooi.
15
(A.) Kain Kepala “Teba”
(B). Kain Timur Biasa
Gambar 2. Benda yang digunakan Sebagai Alat Pembayar Denda oleh Suku Mooi Figure 2. A Thing to used For Payment Fine Ethnic Mooi.
Kain timur “biasa” harganya lebih murah dan masih lebih mudah mendapatkannya, sedangkan kain timur yang mempunyai nilai lebih tinggi dikenal dengan kain teba2 atau kain kepala harganya lebih mahal dan sudah semakin sulit mendapatkannya. Keunikan lainnya dari kain ini adalah semakin lama umur kain tersebut, maka semakin tinggi nilai seni dan harganya. Namun seiring dengan berlakunya hukum formal dari negara, aspek pidana pelanggaran hukum adat diselesaikan melalui jalur hukum formal. Sedangkan hukum adat dipakai hanya untuk menyelesaikan aspek perdata. Disamping itu meskipun hukum adat secara efektif berlaku, tidak semua aspek kehidupan terwadahi dalam tataran tersebut. Hal ini yang
2
Ada kemungkinan yang dimaksud dengan kain teba disini adalah kain Ulos, yang juga dikenal beberapa kelompok suku yang mendiami jazirah Kepala Burung dengan sebutan “kain Toba”, kata yang diambil dari Danau Toba di Sumatera Utara.
16
menyebabkan hukum negara tetap diakui sebagai jalan terakhir bagi penyelesaian sengketa. C.
Illegal Logging Dalam Prespektif Adat
Penebangan liar (illegal logging) merupakan bentuk pemanfatan sumberdaya alam yang tidak sah. Bentuk perambahan tersebut telah menjadi issu lingkungan yang paling menonjol dalam 5 tahun terakhir ini. Berbagai pihak secara terus menerus melakukan kampanye dan mencoba melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya mendorong penegakkan hukum bagi penebang liar. Namun sampai sejauh ini kegiatan tersebut oleh kalangan penggiat lingkungan hidup diaggap tidak berhasil atau “Gagal”. Kegagalan ini bermuara pada masalah legalitas kayu, yaitu ada tidaknya pelanggaran terhadap hukum nasional. Sementara disisi lain kegiatan ini jelas-jelas merupakan pelanggaran terhadap hukum adat yang ada pada masing-masing wilayah adat. Pertanyaan yang kemudian muncul dimana kita menempatkan hukum adat dalam hukum negara ? Amandemen kedua UUD 1945 pasal 18B poin (2) pada bab VI yang megatur tentang pemerintahan daerah telah menegaskan bahwa: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undangundang”. Pasal ini, walaupun untuk pelaksanaannya masih memerlukan UU, namun telah menempatkan komunitas masyarakat adat dalam posisi yang kuat dan penting dalam kehidupan berbangsa serta dapat merupakan landasan konstitusional bagi hak masyarakat adat untuk mengatur dirinya dan menegakkan hukum adatnya. Dengan mengacu pada Amandemen kedua tersebut diatas maka penebangan liar (Illegal logging) selayaknya merupakan penebangan hutan yang melanggar hukum nasional dan hukum adat.
17
Dinas Kehutanan Papua, 2002 mendefenisikan illegal logging sebagai kegiatan pemanfaatan kayu yang tidak sah dan mengandung kesalahan pada unsur penebangan dan peredaran. Pengelompokkan tersebut oleh sebagian pihak belum bisa mewadahi modus penebangan liar yang marak di Papua. Disisi lain Abnon Nababan, 2002 mengelompokkan kegiatan illegal logging berdasarkan modus operasinya sebagai berikut: 1.
2.
3.
Perusahaan resmi dan pihak lain yang memperoleh ijin penebangan (HPH, Kontraktor, IPK, IHPHH dll), dimana wilayah penebangan tumpang tindih dengan kawasan hutan adat sehingga menimbulkan banyak konflik hukum atara hukum adat dengan Undang-undang kehutanan yang mendasari pemberian ijin. Perusahaan dan perorangan yang tidak memiliki ijin penebangan hutan tetapi mengendalikan penebangan dan perdagangan kayu. Operasi penebangan liar seperti ini hampir seluruhnya melibatkan pengusaha daerah yang disebut “cukong”. Mereka umumnya memiliki industri pengolahan kayu atau sawmill yang resmi (ada ijin), tetapi tidak memiliki ijin atas konsesi wilayah penebangan. Anggota komunitas adat dalam beberapa kasus juga melibatkan tokoh-tokoh adat dalam operasi penebangan liar. Kegiatan ini disebabkan oleh desakan pasar dan kondisi ekonomi yang bersangkutan serta difasilitasi oleh “mafia” penebangan liar, serta sadar maupun tidak sadar ikut melakukan pelanggaran terhadap hukum adatnya sendiri.
Illegal logging dalam prespektif masyarakat adat suku Mooi lebih familiar dengan sebutan “kayu tidak sah”. Batasan illegal logging menurut adatpun sangat berbeda dengan konsep illegal logging yang tertuang dalam hukum negara. Masyarakat adat akan mengatakan kayu tersebut tidak sah jika kayu tersebut tidak mempunyai ijin dari pemegang hak ulayat walaupun secara hukum negara, kayu tersebut memiliki ijin yang sah.
18
Hasil penelitian menunjukkan terdapat beberapa bentuk illegal logging yang terjadi pada Kelurahan Aimas atau pada areal konsesi HPH Intimpura Timber co. Jika dikelompokkan berdasarkan pelaku, terdapat tiga kegiatan illegal sebagai berikut : (1) Perambahan oleh HPH : - Kegiatan ekspoloitasi dilakukan terhadap jenis-jenis kayu produksi pada kawasan hutan larangan atau yang dikeramatkan oleh masyarakat adat termasuk zona pemanfaatan masyarakat dan seringkali diluar areal RKT. - Banyak terdapat kayu-kayu produksi yang sudah ditebang namun tidak dimuat, dan dilakukan penguburan terhadap kayu-kayu tersebut. (2) Penebangan liar oleh Masyarakat : - Perambahan banyak dilakukan oleh masyarakat lokal sekitar HPH untuk pembuatan balok dan papan terutama untuk dipasarkan ke para penadah (koperasi) atau pengusaha kayu gergajian / sawmill di kota Sorong. Perambahan tersebut dilakukan pada hutan-hutan bekas tebangan HPH, hutan ulayat dan kawasan lindung untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka . Usaha yang dilakukan masyarakat berbentuk perorangan maupun kelompok yang kebanyakan menggunakan sistim bapak angkat karena faktor modal, perijinan maupun pajak. - Umumnya perambahan dilakukan tanpa ijin dari instasi terkait akibat situasi dilematis yang dialami masyarakat terhadap sistim birokrasi perijinan yang tidak kondusif. Hal ini terjadi akibat terciptanya dualisme kewenangan dalam pengelolaan SDA Hutan di kabupaten Sorong yakni antara Pemda Kabupaten Sorong dan Pemda Kotamadya Sorong. Situasi ini
19
sangat dimanfaatkan untuk meraih keuntungan oleh para pengusaha kayu gergajian / sawmill bahkan keterlibatan aparat TNI, sehingga lingkungan bisnis kayu seperti ini menjadi sangat marak di kabupaten Sorong. Garret Hardin (1968) yang menulis artikel tentang Tragedy of the Common, menyebut si penunggang gelap atau yang mengail di air keruh ini sebagai “free riders”. (3) Perambahan Oleh Sistim Ijin Pemungutan Kayu – Masyarakat Adat (Kopermas) - Kegiatan eksploitasi yang dilakukan oleh sistim Kopermas menggunakan basis kekuatan masyarakat lokal, sangat menimbulkan dampak terhadap kelestarian hutan terutama yang overlap dengan areal konsesi HPH. Ini terjadi akibat benturan antara hak ulayat masyarakat adat dengan hak pengelolaan hutan oleh negara. Sebagai akibatnya HPH terpaksa mengijinkan Kopermas beroperasi di dalam wilayah konsesinya.. Hal ini dapat dilihat dari kasus salah satu Kopermas masyarakat Mooi yang beroperasi di areal konsesi HPH PT. INTIMPURA TIMBER CO. Selain itu banyak kayu-kayu produksi yang di timbun di TPK namun tidak dimuat hingga kayu tersebut rusak, tanpa ada kompensasi yang diterima masyarakat adat. Dari ketiga bentuk illegal logging tersebut diatas yang terjadi di Kelurahan Aimas, yang paling marak dan dapat terlihat dengan kasat mata adalah penebangan liar oleh masyarakat dan penebangan oleh KOPERMAS sedangkan penebangan yang dilakukan oleh HPH tidak begitu nampak akibat sistem peredarannya yang lebih sistematis dan terselubung. Kegiatan penebangan oleh masyarakat ini dilakukan oleh perusahaan atau perorangan yang memiliki usaha penjualan kayu olahan yang resmi (ada ijin), tetapi tidak mempunyai ijin penebangan kayu namun dapat mengendalikan penebangan. Operasi penebangan liar seperti ini memanfaatkan masyarakat adat yang mempunyai hak ulayat sebagai pemilik lahan usaha. Setelah mengambil kayu
20
pada lahan adat tersebut pemegang hak ulayat akan menerima kompensasi dari total kayu yang diambil. Kompensasi yang diterima masyarakat berkisar antara Rp.100.000 s/d 150.000 per kubik kayu olahan. Bentuk illegal logging seperti ini, jelas-jelas telah merugikan negara karena tidak memberika kontribusi kepada pendapatan negara. Dilain pihak bentuk illegal logging serupa dianggap legal oleh masyarakat adat atau lembaga adat, karena masyarakat adat memperoleh ganti rugi yang dianggap adil. Berbeda dengan kasus HPH yang meski dianggap menguntungkan negara, namun oleh sebagian besar masyarakat adat dianggap tidak memberikan keuntungan maksimal kepada mereka. Maraknya kehadiran sistem Kopermas sesungguhnya dipacu pula oleh rasa ketidakadilan yang ditimbulkan oleh sistem HPH sendiri. Untuk mengatasi permasalahan kayu ini Lembaga Masyarakat Adat Malamoi berusaha mendesak Pemerintah Daerah Sorong untuk melibatkan LMA Malamoi dalam pemberian legalitas kayu. Sehingga kayu yang beredar di dalam maupun keluar Kota Sorong harus memberikan kontribusi kepada kas daerah namun juga memberikan keuntungan pada masyarakat adat. IV.
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Adanya Pranata adat yang hidup di kalangan suku Mooi (Malamoi), yang hingga saat ini mampu mewadahi segala kepentingan adat dan dapat memperkuat kedudukan hutan adat sebagai pendamping hukum formal. 2. Hukum adat Suku Mooi terdiri dari norma dan aturan adat (hukum adat). Sebagaimana hak-hak adat yang ada di Indonesia hukum adat tersebut tidak tertulis dan tidak statis,
21
sehingga hukum adat waktu lampau berbeda isi dan sanksinya dengan hukum adat dimasa sekarang. 3. Seiring dengan berlakunya hukum formal dari negara, aspek pidana pelanggaran hukum adat diselesaikan melalui hukum formal. Sedangkan hukum adat dipakai untuk menyelesaikan aspek perdata. 4. Pola pemanfaatan sumberdaya alam suku Mooi, terlihat dalam bentuk perijinan dalam pemanfaatan lahan dimana harus melalui kepala adat ataupun musyawarah adat yang pada akhirnya terjadi kemitraan antara pemerintah dan pemegang ulayat dalam hal pemanfaatan dan pengawasan. 4. Bentuk-bentuk illegal logging yang terjadi terdiri atas : perambahan dan penebangan liar. Adapun aktor yang terlibat dalam illegal logging adalah HPH, Kopermas, Industri sawmil serta Masyarakat dengan keterlibatan oknum TNI yang dominan. B. Saran Perlu adanya peninjauan kembali oleh Departemen Kehutanan terhadap hak-hak dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat lokal (hukum adat) dalam rangka merevisi aturanaturan pengusahaaan hutan yang ada sekarang, termasuk strategi pemberdayaan masyarakat lokal lewat IPK-MA yang sudah berjalan, namun sangat beresiko terhadap kelestarian hutan di Papua.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Rizal, Abdullah Tuharea, Ifhendri, 2000. Kajian Peran Hukum Adat dan Hak Ulayat dalam Sistem Silvikultur Pengelolaan Hutan Alam Produksi. Info teknis BPK Manokwari No. 10 Tahun 2000. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari.
22
Achmad Rizal, 2001. Kajian Peran Hukum Adat dalam Pelestarian Sumberdaya Alam di Irian Jaya. Laporan Hasil Penelitian BPK Manokwari. Tidak diterbitkan. Anonimous, 2000. Laporan Masyarakat Organisasi Adat Ke I Lembaga Masyarakat Adat Malamoi Sorong. Tidak diterbitkan. Anonimous,2002. Rangkuman Hasil Keputusan Rapat Kerja I Dewan Adat Papua Wilayah Malamoi Sorong. Tidak diterbitkan. Anonimous, 2003. Data Monografi Kampung Kelurahan Aimas Sorong. Tidak diterbitkan. Bierstedl, Robert. 1970. The Social Order, Tata. Mc Graw-Hill Publising C.Ltd. Bombay-New Delhi. Dinas Kehutanan Provinsi Papua, 2002. Pembangunan Kehutanan Pada Era Otonomi Khusus Provinsi Papua. Tidak diterbitkan. Dinas Kehutanan Provinsi Papua, 2002. Illegal logging Permasalahan dan Penanganannya. Tidak diterbitkan Badan Planologi Kehutanan, 2001. Master Plan Reboisasi dan rehabilitasi Hutan/Lahan Propinsi Papua. Balai Inventarisasi Dan Perpetaan Hutan Wilayah X Jayapura B. Ter Haar Bzn. 1994. Begin selen en stelsel van het adatrecht.(terjemahan). Pradnya Paramita. Jakarta. Hardin G. 1968 The Tragedy of the Commons. Science, 162, 1243-1248 Gunawan Wiradi, 1999. Sekitar Masalah Hak Ulayat dan Hukum Adat pada Umumnya. Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat (P3KM). Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Soekanto, 1954. Meninjau Hukum Adat Indonesia. Penerbit Soeroengan Jakarta. Soetojo, M. 1961. Undang-undang Pokok Agraria. Penerbit Staf Penguasa Perang Tertinggi, Jakarta. Surojo Wignjodipuro,S.H, 1983. Pengantar dan Asas- asas Hukum Adat. Gunung Agung. Jakarta. Undang-undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
23
24
Lampiran 1. Struktur Organisasi Lembaga Masyarakat Adat (LMA Malamoi) Appendiks 1. Organisation Structure of Malamoi Community
25
26