KABUPATEN BOGOR PADA MASA PEMERINTAHAN DARURAT TAHUN 1947-1949 : PEMERINTAHAN GERILYA IPIK GANDAMANA Ifa Nurkarimah, Prof. Dr. Susanto Zuhdi
Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia Email:
[email protected]
Abstrak Skripsi ini membahas mengenai Kabupaten Bogor pada masa Pemerintahan Darurat tahun 1947-1949 dibawah pimpinan Ipik Gandamana. Pemerintahan Ipik Gandamana ini menjalankan roda pemerintahan dengan cara bergerilya dari desa ke desa di pedalaman Kabupaten Bogor. Hal ini terpaksa dilakukan karena situasi didalam kota Bogor yang tidak memungkinkan lagi untuk menjalankan pemerintahan sehari-hari dengan semestinya. Sebab utama pemerintahan Kabupaten Bogor terusir dari Kota Bogor dan membentuk pemerintahan gerilya karena adanya Agresi Militer Belanda yang pertama dan kedua, serta usaha Belanda dalam membentuk negara boneka yaitu “Negara Pasundan” di Bogor. Kata Kunci : Gerilya, Kabupaten Bogor, Pemerintahan Darurat
Abstract Bogor Regency In The Past Period Of Emergency Administration In 1947-1949: Ipik Gandamana Leadership This mini thesis research is about Bogor Regency in the past period of emergency administration from 1947 to 1949, under the ipik gandamana leadership. Ipik gandamana government started the role of government by doing warfare from village to village in the rural areas of Bogor Regency. This was urgently done because it was possible to run the dialy start government properly in Bogor areas. The were two main reason. First, Bogor regency government was expelled from Bogor city, there fore they set up a guerrillia government due to the aggression of Dutch military. The other reason was The Netherlannd tried to estabilish a puppet state wicha was called “ Pasundan Country” in Bogor. Key Words: Guerrillia, Bogor Regency Government, Emergency Administration
Pendahuluan Pada masa Revolusi Nasional Indonesia tahun 1945-1949 atau sering disebut sebagai perang kemerdekaan, Republik Indonesia terus menerus dilanda krisis peperangan melawan kekuatan penjajah Belanda yang ingin menguasai kembali wilayah Indonesia. Namun tidak ada masa yang lebih gawat selama periode tersebut selain daripada masa perjuangan gerilya, yaitu sewaktu Belanda melancarkan Agresi Militer II ke Ibukota Yogyakarta dan kota-kota lainya termasuk Bogor. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta beserta sejumlah anggota kabinetnya ditangkap Belanda dan dalam tempo satu minggu hampir semua kota-kota penting di Indonesia jatuh ke tangan Belanda.
Kabupaten Bogor..., Ifa Nurkarimah, FIB UI, 2014
Belanda mengumumkan bahwa Republik sudah tidak ada lagi, tetapi suatu perkembangan baru yang tak terduga oleh Belanda membuat keadaan yang kritis dalam kepemimpinan Republik segera dapat dipulihkan kembali. Kevakuman kekuasaan pemerintah Republik ditingkat nasional kemudian diisi oleh para pemimpin sipil dan militer yang mengungsi ke luar kota, dari Sumatra Mr Sjafruddin Prawiranegara, menteri kemakmuran dalam kabinet Hatta, segera mengumumkan berdirinya Pemerintahan Darurat RI (PDRI). Dengan begitu, selama lebih kurang delapan bulan keberadaanya (Desember 1948 – Juli 1949), PDRI berhasil meneruskan kepemimpinan Republik dengan menjalankan roda pemerintahan secara mobil, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain sambil meneruskan perjuangan gerilya di Sumatera dan Jawa.61 Ditingkat lokal, Kabupaten Bogor juga membentuk pemerintahan daruratnya di bawah pimpinan Ipik Gandamana. Pemerintahan darurat62 ini terbentuk karena situasi di dalam Kota Bogor yang tidak memungkinkan lagi untuk menjalanan roda pemerintahan. Agresi Militer Belanda II yang terjadi pada tanggal 19 Desember 1948 membuat pemerintah Republik Indonesia menginstruksikan pembentukan Pemerintahan Darurat Kabupaten Bogor. Atas Petunjuk dari Komandan Brigade I/Tirtayasa dan Residen Militer Mayor dr. Erie Sudewo dan Wakil Gubernur Mr. Adiwinata, maka Pemerintahan Darurat Kabupaten Bogor R.I dibentuk di Desa Girilaya, Jasinga pada tanggal 20 Desember 1948.63 Dipandang dari UUD 1945, pasal 12 dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1946 tentang keadaan bahaya, pasal 1 ayat 2, 64 maka pernyataan tentang keadaan bahaya dan penyerahan mandat untuk pembentukan pemerintahan darurat yang sah. Jadi, latar belakang dibentuknya pemerintahan darurat tersebut karena situasi negara sedang terancam oleh Agresi Militer Belanda. Ipik Gandamana lahir di Purwakarta, Jawa Barat pada 30 November 1906. Meskipun tanah kelahirannya di Kabupaten Purwakarta, namun dia menjalani masa kecil hingga dewasanya di Banten. Ipik Gandamana menempuh pendidikan mulai dari ELS, MULO, OSVIA A & B dan setelah menyelesaikan studinya, dia aktif di lingkungan kepamongprajaan. Perjalanan karirnya dimulai saat dia menjadi Candidat Ambtenar di zaman Jepang serta ditempatkan di Bogor selama kurang lebih dua tahun. Pada tahun 1938 Ipik Gandamana diangkat menjadi Sekretariat II Kabupaten Ciamis, kemudian pada tahun 1942 menjadi Camat Cibeureum Tasikmalaya sampai akhirnya diangkat menjadi Patih Bogor pada tahun 1946. Peristiwa ”Bandung Lautan Api” menyebabkan keluarga Ipik Gandamana beserta stafnya mengungsi ke tempat yang aman dan tetap melaksanakan tugas pemerintahannya berjalan sambil berpindah-pindah tempat dan akhirnya pada tahun 1948 menjadi Bupati Kabupaten Bogor dan memimpin pemerintahan gerilya di Bogor. Ketika Kota Bogor diserang dan diduduki militer Belanda, dan para pemimpin Republik ditangkap, Belanda dapat meraih kemenangan militernya. Tetapi tidak bisa begitu saja menganggap bahwa Pemerintahan Republik di Bogor telah terhapus. Para pemimpin sipil 61
Zeid, Mestika., Somewhere In The Jungle (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, Sebuah Mata Rantai yang Terlupakan), (Jakarta: Grafiti, 1997), hal. 3. 62 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI, keadaan darurat merupakan keadaan yang sukar/sulit, yang tidak disangka dan membutuhkan penanggulangan dengan segera, keadaan terpaksa sehingga pemerintah dapat segera memutuskan tindakan yang tepat. 63 Abdullah, Tohir. Sedjarah Korem 61/Suryakantjana (Daerah Bogor) Periode tahun 1945-1949, (Manuskrip), 1969, hal. 3. 64 UUD 1945 Pasal 12 menyatakan: “ Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya ditentukan dengan Undang-Undang.” Sedangkan Undang-Undang nomor 6 Tahun 1946 pasal 1 ayat 2 menyatakan: “Keadaan dinyatakan, jika terjadi a. Serangan, b. serangan dari luar, c. pemberontakan atau perusuhan, sehingga dikhawatirkan pemerintahan sipil tidak mampu lagi menjalankan tugasnya. Lihat Herman Sihombing, Hukum Tata Negara Darurat Di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1996), hal. 3.
Kabupaten Bogor..., Ifa Nurkarimah, FIB UI, 2014
dan militer yang tersisa dan masih setia pada Republik, hidup berpencar-pencar dalam pengungsian sambil bergerilya dari desa ke desa. Ini merupakan periode dimana untuk sementara waktu pemerintahan Kabupaten Bogor tidak dapat menjalankan fungsi pemerintahaan dengan semestinya, karena pada masa ini pada umumnya masyarakat masih buta informasi sehingga keberadaan pemerintahan gerilya Ipik Gandamana ini hanya terdengan samar-samar. Pemerintahan gerilya Ipik Gandamana ini telah mengubah medan perjuangan yang sebelumnya hanya di kota, kemudian beralih ke pedesaan dan hutan-hutan di pedalaman. Pergeseran panggung sejarah dari kota ke pedesaan juga membawa implikasi yang sangat penting terhadap keterlibatan pelaku sejarah yang lebih luas. Belum pernah terjadi sebelumnya, kecuali periode ini, dimana perjuangan kemerdekaan melibatkan segenap lapisan masyarakat Kabupaten Bogor mulai dari pemimpin daerah sampai kepada rakyat kecil di daerah-daerah pedalaman Kabupaten Bogor. Ipik Gandamana yang menerima tugas menyusun pemerintahan darurat Kabupaten Bogor yang pusatnya di wilayah Jasinga dan beliau ditetapkan menjadi Bupati Bogor, kemudian diangkat lagi oleh Wakil Gubernur Jawa Barat untuk merangkap menjadi Bupati Lebak. Pemerintahan Ipik Gandamana di Jasinga hanya bertahan beberapa hari, karena sering mendapat teror dan serangan oleh tentara Belanda maka Ipik Gandamana beserta rombongan berpindah-pindah tempat untuk menghindari serangan tentara Belanda. Dari Jasinga, Ipik Gandamana bergerilya melalui desa-desa terpencil di wilayah Bogor Barat, mulai dari Desa Kumpai di daerah Kecamatan Muncang dan akhirnya sampai di Desa Malasari Kecamatan Leuwiliang (sekarang Kecamatan Nanggung). Di Desa Malasari ini merupakan pusat pemerintahan Ipik Gandamana dilangsungkan selama kurang lebih enam bulan. Pemerintahan gerilya Ipik Gandamana ini selalu didampingi Batalyon O Brigade Tirtayasa pimpinan Kapten Sholeh Iskandar. Kekuatan batalyon ini terdiri dari empat kompi yang tersebar di berbagai wilayah sekitar Leuwiliang, Jasinga sampai Malasari. Agresi militer Belanda pertama pada 21 Juli 1947 yang menjadikan Jawa Barat (kecuali Banten) sebagai salah satu sasaran penyerbuan tentara Belanda, ditambah setelah Divisi Siliwangi “hijrah” ke Jawa Tengah sebagai konsekuensi dari persetujuan Renville bulan Januari 1948, maka proyek Negara Pasundan tersebut mulai dilaksanakan.65 Pembentukan Negara Pasundan ini membuat situasi di Bogor memanas. Belanda melalui Negara Pasundannya berusaha merebut wilayah kekuasaan pemerintahan Republik Indonesia dengan cara pengambilalihan kantor-kantor penting Republik. Selain itu, terjadi penculikan terhadap pejabat-pejabat di wilayah Bogor seperti : Residen Supangkat, Bupati Hardjadiparta, Sekretaris Mohammad Basir, Patih Ipik Gandamana, Wedana Bogor R. Basrah Adiwinata, Kepala Pekerjaan Umum Kabupaten Sanusi, Kontrolir Kabupaten R. Sutadjab.66 Selama Pemerintahan Pasundan, Pemerintahan Republik masih bertahan sampai kurang lebih tujuh bulan lamanya di Bogor sambil melancarkan pemerintahan secara bergerilya. Pada tanggal 4 Mei 1947 di Bogor diadakan arak-arakan dan upacara proklamasi kemerdekaan Negara Pasundan Bogor di gedung K.M.V.J Bogor.67 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode disiplin ilmu sejarah. Metode sejarah terdiri dari empat tahapan yakni heuristik atau 65
Helius Sjamsudin,dkk., Menuju Negara Kesatuan : Negara Pasundan, (Jakarta: Depdikbud, 1992), hal. 28. Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor. Sejarah Perjuangan (1942-1945) di Kabupaten Bogor, (Bogor: 1982), hal. 26, selanjutnya disebut Pemda DT II Bogor. 67 Moh. Nasir, Detik dan Peristiwa ( Catatan Kronologi), hal. 10 66
Kabupaten Bogor..., Ifa Nurkarimah, FIB UI, 2014
pengumpulan objek yang berasal dari zaman itu dan pengumpulan bahan yang boleh jadi relevan, selanjutnya kritik atau menyingkirkan bahan-bahan atau bagian daripadanya yang tidak autentik, lalu interpretasi atau menyimpulkan kesaksian yang dapat dipercaya mengenai bahan yang autentik, dan yang terakhir historiografi penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya itu menjadi sebuah kisah atau penyajian yang berarti.68 Pada tahap awal penelitian, penulis melakukan pengumpulan bahan penelitian dengan mencari bahan-bahan yang diperlukan di dalam perpustakaan, antara lain perpustakaan Universitas Indonesia (Depok), Perpustakaan Nasional R.I (Jl. Salemba Raya Jakarta Pusat), Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Bogor (Jl. Bersih Komplek Pemda Kabupaten Bogor), Kantor Arsip Daerah Kota Bogor (Jl. Trapi, Menteng Asri), Perpustakaan Daerah Kota Bogor (Komplek GOR Pajajaran), Arsip Nasional (Jl. Ampera Raya, Jakarta Selatan) dan Museum Perjuangan Bogor (Jl. Merdeka No. 56 Bogor). Dari pencarian tersebut penulis mendapatkan sumber-sumber yang penulis cari dan kumpulkan berupa sumber primer dan sumber sekunder. Untuk sumber primer yang penulis kumpulkan, berupa arsip Bupati Bogor Januari-April 1949, arsip Jawatan Penerangan Kabupaten Bogor bulan Desember 1948 dan laporan-laporan kejadian dari Polisi Kabupaten Bogor bulan Februari-April 1949. Arsip tersebut penulis dapatkan dari Museum Perjuangan Bogor dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Sedangkan sumber-sumber sekunder yang penulis kumpulkan berupa buku-buku, dan tesis yang berkaitan dengan tema skripsi ini. Setelah sumber-sumber primer maupun sekunder telah penulis dapatkan maka penulis melakukan tahap selanjutnya yakni kritik. Dalam tahap kedua ini penulis mengkritik sumbersumber baik kritik ekstern dan intern. Kritik ekstern ialah melihat bentuk fisik sumber yang telah didapat apakah kertas, tanggal dan tahun pada sumber tersebut relevan atau tidak dengan zaman yang dimaksud. Misalnya di dalam kumpulan arsip Jawatan Penerangan Kabupaten Bogor tahun 1948 yang penulis temukan didalamnya berisikan arsip tahun 1949. Untuk sumber wawancara, penulis hanya mengambil 2 dari 4 orang yang penulis wawancarai. Sedangkan kritik intern yaitu dengan menguji isi data tersebut apakah relevan dan objektif dengan penelitian ini. Dari hasil mengkritik, kita akan mengetahui mana data yang relevan atau tidak relevan. Setelah itu, penulis melakukan interpretasi atau penafsiran tehadap data tersebut sehingga hubungan antara satu fakta dengan fakta yang lainnya terlihat jelas. Fakta-fakta yang sudah didapat kemudian oleh penulis diuraikan (analisis) dan menyatukan (sintesis) sehingga muncul suatu pandangan baru yang bermakna sesuai dengan landasan perumusan masalah dan tujuan penelitian. Tahap keempat yakni historiografi dalam arti sempit, berarti penulisan sejarah dengan merekontruksi kembali fakta-fakta yang telah didapat, sedangkan dalam arti luas, penulisan sejarah yang di dalamnya tercakup metode, teori, serta suasana zaman sewaktu penulis itu menuliskan karya akademiknya. Jadi, setelah ketiga metode tersebut dilakukan, maka penulis menuangkannya dalam sebuah tulisan yang merekontruksi sesuai dengan fakta bukan hanya menjadi kumpulan peristiwa-peristiwa di masa lampau akan tetapi menjadi sebuah kisah yang memiliki sebuah arti penting.
68
Louis Gottschalk. Mengerti Sejarah. (Jakarta: Universitas Indonesia(UI-Press), 1985), terj. Nugroho Notosusanto, hlm.71
Kabupaten Bogor..., Ifa Nurkarimah, FIB UI, 2014
Situasi Umum di Keresidenan Bogor Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 merupakan puncak perjuangan bangsa Indonesia dalam menghadapi kekuatan dan kekuasaan bangsa asing. Pada saat itu, Indonesia menyatakan diri sebagai bangsa yang berdaulat penuh dan sederajat dengan bangsa lain. Namun, pernyataan kemerdekaan yang di umumkan bangsa Indonesia ke seluruh dunia mendapat sambutan antipati dari bangsa Eropa terutama dari Belanda. Sambutan antipati ini berawal dari kedatangan pasukan Inggris dan Sekutu yang tergabung dalam South East Asia Command (SEAC) dibawah pimpinan laksamana Lord Louis Mounbatten pada tanggal 29 September 1945 di Pulau Jawa dan Sumatera. Jalanya pemerintahan Republik Indonesia di Bogor kemudian mengalami keguncangan setelah Sekutu tiba di Bogor. Di Bogor, sekutu menggeledah, membakar rumah-rumah dan menembaki penduduk sipil. Puncaknya yaitu Jatuhnya Istana Bogor ke tangan Sekutu pada tanggal 8 Desember 1945. 69 Sejak pada saat itu, pemerintahan R.I. Bogor tidak lagi berada di dalam kota Bogor. Residen beserta alat-alat kelengkapan negara lainya terpaksa menyelenggarakan pemerintahan dari luar kota Bogor untuk sementara. Pada awalnya Pemerintah Indonesia menerima kedatangan pasukan Inggris tersebut karena bertujuan untuk melaksanakan perintah Gabungan Kepala Staf Sekutu, yakni sekitar penerimaan penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang dan melucuti persenjataan mereka serta mengembalikan pasukan Jepang ke Negaranya. Namun, lambat laun diketahui bahwa pasukan Inggris tersebut diboncengi Netherland Indies Civil Administration (NICA), sehingga pemerintah Indonesia berubah sikap menjadi bermusuhan. Pertempuran besar di wilayah Bogor mulai muncul setelah tentara Sekutu dan NICA yang ikut didalamnya memasuki Kota Bogor pada akhir bulan September 1945. Sesuai dengan Civil Affairs Agreement, di Chequers, kota kecil dekat London pada tanggal 24 Agustus 1945 antara Pemerintah Belanda dan Inggris yang berisikan mengenai kerja sama mereka untuk menduduki kembali daerah yang sebelumnya ditetapkan di bawah tanggung jawab Amerika. Maka panglima Inggris memegang kekuasaan wilayah Indonesia atas nama pemerintah Belanda. 70 Tentara Inggris itu tergabung dalam South East Asia Command atau SEAC. Dengan kedatangan tentara Sekutu yang diboncengi oleh tentara Kerajaan Belanda mulailah babak baru perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.71 Kedatangan pasukan sekutu di Bogor pada awalnya diterima dengan baik oleh Residen Bogor, hal tersebut sesuai intruksi dari pemerintah pusat di Jakarta. Namun penduduk Bogor tidak menyukai kedatangan pihak asing karena sering melakukan kekacauan dan perusakan di dalam kota. Pada hakekatnya, Tentara Inggris yang berada di Indonesia merupakan alat atau unsur-unsur usaha penjajahan kembali Belanda di Indonesia, namun Belanda pada saat itu tidak mampu menegakan kembali kekuasaanya. Hal tersebut mengundang reaksi penentangan dari masyarakat Indonesia termasuk masyarakat Bogor. Penentangan terhadap Sekutu datang dari seluruh penduduk Bogor. Hampir setiap golongan etnis penduduk Kota Bogor membentuk badan pertahananya masing-masing untuk membantu menjaga dan mempertahankan keamanan di Bogor.
69
Moh.Nasir, Detik dan Peristiwa (Catatan Kronologi), hal.1 Drs. Alwi Djamaludin, dkk, Sejarah Revolusi Kemerdekaan DKI Jakarta (1945-1949),(Jakarta: Departmen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991), hal.102. 71 Ibid., hal.105. 70
Kabupaten Bogor..., Ifa Nurkarimah, FIB UI, 2014
Masuknya tentara Sekutu di Indonesia tersebut merupakan awal terciptanya perang kemerdekaan, yaitu suatu fase perjuangan bersenjata sekaligus diplomasi bangsa Indonesia dalam usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Atau lebih dikenal masa Revolusi Nasional Indonesia tahun 1945-1949. Pada fase ini, Republik Indonesia terus menerus dilanda krisis peperangan melawan kekuatan penjajah Belanda yang ingin menguasai kembali wilayah Indonesia. Usaha Belanda untuk menguasai kembali Indonesia tidak hanya dengan jalan kekerasan, namun juga melalui politik adu dombanya yang kembali diterapkan dengan mendirikan negara-negara boneka sebagai produk dari perjanjian Linggarjati. Setelah dengan sepihak Belanda menyatakan kekuasaan Republik di Kota Bogor dihapuskan dan membentuk pemerintahannya sendiri dibawah Residen Statius Muller pada akhir tahun 1946 maka mereka memulai suatu gerakan untuk membentuk Negara Pasundan. Pembentukan Negara Pasundan ini merupakan bagian dari strategi Belanda untuk mempersiapkan Negara Federal Indonesia. Sejak tahun 1946, telah diadakan sejumlah konferensi di daerah untuk rencana pembentukan negara-negara bagian tersebut oleh pihak Belanda. Selain Negara Pasundan, negara bagian lain yang dibentuk Belanda adalah Negara Indonesia Timur, Negara Sumatera Timur, Negara Madura, Negara Sumatera Selatan dan Negara Jawa Timur.72 Untuk mendukung pembentukan Negara Pasundan, Soeria Kartalegawa mantan Bupati (1929-1944) Kabupaten Garut mendirikan Partai Rakyat Pasundan dengan mendapat dukungan penuh dari pihak Belanda pada tanggal 20 Mei 1946. Pembentukan negara-negara bagian ini merupakan strategi politik Belanda dalam berdiplomasi dengan Indonesia. Strategi tersebut bertujuan untuk memperlambat jalanya perundingan dan apabila upaya Belanda ini berhasil dalam membentuk banyak negara bagian maka pengambilan pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta disertai dengan pengakuan pemerintahan Belanda terhadap status Republik Indonesia yang mempunyai daerah kekuasaan tertentu tidak akan mempunyai arti lagi.73 Republik Indonesia hanya menjadi suatu bagian kecil saja dari Republik Indonesia Serikat yang akan segera dibentuk. Dalam melancarkan rencananya, Kartalegawa mengajak orang-orang Sunda yang belum bergabung dengan PRP untuk segera bergabung dan membentuk Negara Pasundan. Orang-orang sunda dianggap cukup terpelajar dan mampu untuk menjadi pemimpin yang lebih baik daripada pemimpin Republik sekarang.74 Secara intensif, rapat-rapat mengenai pembentukan Negara Pasundan terus dilakukan di Bandung dan Bogor, namun keberadaan Negara Pasundan pimpinan Kartalegawa ini kurang mendapat dukungan seperti yang diharapkan oleh Belanda. Berbagai protes maupun pernyataan keras Pemerintahan Republik di tingkat pusat menyebabkan Belanda memilih untuk membentuk Negara Pasundan dibawah pimpinan Adil Puradiredja melalui Konferensi Jawa Barat oleh Recomba. Dalam Negara Pasundan versi Adil Puradiredja, PRP masih tetap diberi kesempatan untuk duduk dalam pemerintahanya. Negara Pasundan yang dibentuk melalui konferensi Jawa Barat ini memilih R.A.A. M Wiranatakusumah sebagai Wali Negara (presiden) setelah menang suara dari R.A. A. Hilman Djayadiningrat dalam tiga kali pemilihan. Adapun susunan pengurus Negara Pasundan ini ialah sebagai berikut :75 1. Perdana Mentri merangkap Menteri Dalam Negeri : Adil Puradiredja 72
The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah Di Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung, 1967), hal.170. 73 Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hal. 66. 74 Helius Sjamsudin,dkk., Menuju Negara Kesatuan : Negara Pasundan, (Jakarta: Depdikbud, 1992), hal. 52. 75 Ibid., hal. 52.
Kabupaten Bogor..., Ifa Nurkarimah, FIB UI, 2014
2. Menteri Kemakmuran 3. Menteri Pengajaran 4. Menteri Keuangan 5. Menteri Lalu Lintas dan Perairan 6. Menteri Sosial 7. Menteri Kesehatan 8. Ketua Parlemen Pasundan 9. Wakil Ketua I 10. Wakil Ketua II 11. Wakil Ketua III
: Dendakusumah : Yudakusumah : P.J Gerke : Tan Hwat Tiong : Bunyamin : Dr. Maskawan : R. Djoearsa : R. Soeradiredja : Panji Soenarjo : Drs. Tan Eng Oen
Situasi politik di dalam kota Bogor semakin memanas ketika ada upaya perebutan kekuasaan pemerintahan R.I. di Kota Bogor oleh pemerintahan Negara Pasundan yang dibantu oleh Belanda. Tidak lama setelah itu, muncul aksi penculikan para pejabat pemerintahan Republik di wilayah Bogor yaitu Residen Supangkat, Bupati Hardjadiparta, Sekretaris M. Nasir, Patih Ipik Gandamana, Wedana Bogor Basarah Adiwinata, Kepala Pekerjaan Umum Kabupaten Bogor Sanusi, dan Kontrolir Kabupaten Bogor Sutadjab.76 Dengan ditangkapnya mereka, praktis Pemerintahan Republik wilayah Bogor menjadi kosong. Pada tanggal 23 Mei 1946 beredar selebaran berisi pernyataan bahwa saat itu Pemerintahan Republik Indonesia di wilayah Bogor sudah mati.77 Pada tanggal 4 Mei 1947 di Bogor diadakan arak-arakan oleh orang-orang yang mendukung PRP yang dilanjutkan dengan aksi pengabilalihan kantor-kantor pemerintahan Republik, antara lain: Kantor Kabupaten, Bank Rakyat, Kantor Pajak, Kantor Pos dan Jawatan Kereta Api.78 Akan tetapi, penduduk Bogor yang tidak terpengaruh justru merobek-robek selebaran tersebut. Selanjutnya, dengan dukungan Belanda maka terbentuklah Pemerintahan Pasundan dan Pemerintahan sipil (Territorial Bestuurs Adviseur) Belanda di wilayah tersebut. Adapun Pemerintahan Pasundan di wilayah tersebut dipegang oleh R.Wirasampurna sebagai Residen Bogor dan Agus Kusumadinata sebagai Walikota Bogor. Sedangkan pihak Belanda juga membentuk pemerintahan sipil Belanda (Territorial Bestuurs Adviseur) di wilayah Bogor dengan susunan sebagai berikut :79 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Residen Bogor Walikota Bogor Wedana Kota Bogor Bupati Bogor Komandan Militer kota Kepala Polisi Kepala Pekerjaan Umum
: Statius Muller : M. Wisaksono Wirdjodihardjo : R. Wirasampurna : R. Hardjadiparta : Kolonel J. W. R. H. Doorman : R. Jasper : Ir. J.Pennock
Mengenai struktur pemerintahan Kabupaten Bogor Pasundan, sebagai kepala pemerintahan Kabupaten adalah Bupati, dibantu oleh Patih. Bupati dan Patih membawahi Wedana-wedana Distrik, yang mempunyai wilayah kekuasaan yang disebut Kewedanaan. Wedana-wedana Distrik dalam menjalankan pekerjaannya dibantu oleh para Asisten Wedana Onderdistrik, yang mempunyai wilayah kekuasaan yang disebut Keasistenan Wedana atau 76
Drs. H. A Martin Burhan, op.cit.,hal. 65 Ariwiadi, Kota dan Kabupaten Bogor Pada Perang Keerdekaan Taraf II, (Yogykarta: Seminar Sejarah Nasional II, 26-29 Agustus 1970), hal. 9 78 Pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor. Sejarah Perjuangan (1942-1945) di Kabupaten Bogor, (Bogor:1982), hal. 25 79 Drs. H.A. Martin Burhan, op.cit., hal. 65 77
Kabupaten Bogor..., Ifa Nurkarimah, FIB UI, 2014
Kecamatan. Selanjutnya para Asisten Wedana membawahi para Lurah, yang wilayah kekuasaanya disebut dengan Kelurahan.80 Kadang-kadang pada Kabupaten ditempatkan juga pejabat Asisten Residen, yang bertugas membantu Bupati disamping Patih, sedangkan di Kewedanaan ditempatkan juga seorang pejabat Kontrolir. Para Kontrolir tersebut bertanggung jawab kepada Asisten Residen. Demikian mengenai struktur pemerintahan dilingkungan Kabupaten Bogor Pasundan. Susunan pejabat-pejabat Kabupaten Bogor Pasundan pada bulan Januari 1948 sebagai berikut : Bupati Patih Sekretaris Kepala Tata Usaha Otonomi Kepala Pekerjaan Umum Kepala Bagian Pendidikan Kepala Bagian Keuangan Kepala Polisi
: Hardjadiparta : Agus Sumadinata : Moh. Basir : Oesoep : Clerks : Brataatmadja : Yusuf : Inspektur Polisi Sudjono
Pembentukan Struktur Pemerintahan Darurat Kabupaten Bogor Pendudukan militer Belanda dan adanya proklamasi Partai Rakyat Pasundan (PRP) pada tanggal 4 Mei 1947 di Bogor, serta hijrahnya divisi Siliwangi sebagai konsekuensi perjanjian Renville membuat situasi di dalam kota Bogor semakin memanas. Karena adanya tekanan Belanda tersebut, maka ibukota Kabupaten Bogor dipindahkan ke Jasinga yang termasuk kedalam Keresidenan Banten dibawah pimpinan Mayor Sumarna sebagai Bupati Bogor. Akan tetapi beberapa pejabat Kabupaten Bogor masih berada di dalam kota, sebagian ditahan oleh Belanda di penjara Paledang seperti: Residen Supangkat, Sekretaris Muhammad Basir, Patih Ipik Gandamana, Wedana Bogor R. Basrah Adiwinata, Kepala Pekerjaan Umum Kabupaten Sanusi, Kontrolir Kabupaten R. Sutadjab. 81 Dengan ditangkapnya mereka, pemerintahan Republik di wilayah Bogor menjadi kosong. Bupati Bogor RI yaitu dijabat oleh Mayor Sumarna menyusun pemeritahan di Jasinga dengan susunan stafnya sebagai berikut : 82 Patih : Ipik Gandamana Sekretaris : Bahrudin Rifai Kepala Keuangan : M.A.A. Brawidjaya Wedana Istimewa : R.E Abdullah Perekonomian : Bahrudin Bagian Umum : Ghafur Bagian Sosial : Tjetje Moh. Sahah Bagian Penerangan : E.M. Kahfie Bagian Pendidikan : Prawiraatmadja Bagian Kesehatan : Dr. Sjahid Kepolisian : Moh. Hadji Hasan.
80
Ibid., hal. 57 Pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor. Sejarah Perjuangan (1942-1945) di Kabupaten Bogor, (Bogor, 1982), hal. 25 82 Abdullah, Tohir. Sedjarah Korem 61/Suryakantjana (Daerah Bogor) Periode tahun 1945-1949. (Manuskrip), 1969. hal. 2 81
Kabupaten Bogor..., Ifa Nurkarimah, FIB UI, 2014
Setelah dibebaskan dari penjara, Ipik Gandamana, Sutadjab dan Sanusi dikeluarkan Belanda dari daerah Bogor ke daerah Banten.23 Tepatnya ke daerah Bogor Barat Kewedanaan Jasinga yang termasuk dalam Keresidenan Banten. Sampai di Jasinga, Ipik Gandamana dan rombongan yang datang dari Rumah Penjara Pasundan menimbulkan kecurigaan masyarakat setempat karena disangka sebagai mata-mata pihak Pasundan atau Belanda. Setelah beberapa lama, masyarakat yang sudah dijelaskan oleh Bupati Mayor Sumarna akhirnya menerima dan mendukung kedatangan Ipik Gandamana dan rombongan untuk mendirikan pemerintahan darurat. Berdirinya pemerintahan darurat ini telah mendapat persetujuan Pemerintahan Pusat sebagai imbangan adanya Pemerintahan Pasundan yang didirikan oleh Van Mook. Selanjutnya, selama di Jasinga diadakan pemilihan anggota Badan Perwakilan Rakyat dan Badan Eksekutif sebagai pelaksanaan pemerintahan sehari-hari. Peserta calonnya sendiri diambil dari tokoh-tokoh Kewedanan dan Kecamatan yang dianggap mempunyai pengaruh di lingkungan Kabupaten Bogor. Pemilihan tersebut dilakukan dengan cara yang sederhana, yaitu dengan membentuk badan-badan pemilihan di setiap kewedanan. Calon-calon dari Kewedanaan diangkat menjadi anggota Badan Eksekutif, hal ini dianggap perlu karena mereka dianggap mengetahui kondisi daerahnya masing-masing. Sebagai calon anggota Badan Perwakilan Rakyat diambil dari orang-orang yang terkemuka di kecamatan-kecamatan lingkungan Kabupaten Bogor R.I.. Banyaknya anggota yang akan dipilih yaitu 25 orang, 20 orang untuk anggota Badan Perwakilan Rakyat dan 5 orang lagi untuk anggota Badan Eksekutif. Sebagai hasil pemilihan ini, untuk anggota Badan Eksekutif Pemerintahan Kabupaten Bogor terpilih yaitu : 24 1. 2. 3. 4. 5.
R. Moch. Noor I. Sanusi Romli Husni E.M Kahfie M. Tabrani
: Wakil dari Leuwiliang : Wakil dari Leuwiliang : Wakil dari Jasinga : Wakil dari Jasinga : Wakil dari Bogor
Sedangkan untuk Badan Perwakilan Rakyat Pemerintahan Kabupaten Bogor yang terpilih orang yaitu : 25 1. Abdulmanan. 11. R.E Abdulah. 2. R.E. Moch. Koordi. 12. R. Suharja. 3. Soeparman. 13. Soeherman. 4. Hasan Basri. 14. Eling. 5. Maroen. 15. Abdullah Ghaindy. 6. Gozali. 16. Mudjitaba. 7. Ahjid. 17. Soewarta. 8. O. Sanoesi. 18. Soepena. 9. Tjakramihardja. 19. Abdulpatah Mardhei. 10. Niftah. 20 Soekanta. Sementara itu jabatan Bupati Bogor yang sebelumnya dijabat oleh Mayor Sumarna digantikan oleh Patih Ipik Gandamana dengan anggota stafnya terdiri dari :26 23
Moh. Nasir, Op. Cit., hal. 11. Drs. H. A Martin Burhan, Sejarah Perjuangan di Kabupaten DT II Bogor (1942-1949), (Bogor: Pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II, 1986), hal. 68. 25 Drs. H. A Martin Burhan, Op. cit., hal. 68. 26 Ariwiadi., Op. Cit., hal. 46. Dikutip dari Telegram Menteri Dalam Negeri di Jakarta, tentang pelantikan Bupati Ipik Gandamana. 24
Kabupaten Bogor..., Ifa Nurkarimah, FIB UI, 2014
Patih : R.E Abdullah Kepala Jawatan Penerangan : E.M Kahfie Kepala Bagian Perekonomian : Baharudin Kepala Jawatan Sosial : Tjetje Moh. Sahah. Selama pemerintahan Kabupaten Bogor R.I. di Jasinga, Bupati Ipik Gandamana telah mengadakan rapat-rapat dengan para wedana dan staf pemerintahan lainnya di Pendopo Bupati. Pada tanggal 6 Desember 1948 diadakan pertemuan yang dihadiri sepuluh orang dari jawatan-jawatan pemerintahan Kabupaten Bogor. Dalam pertemuan ini diterangkan bahwa pamong praja kabupaten memberikan penerangan kepada rakyat tentang pembekuan ORIDABS R. 25- dengan bekerja sama dengan Jawatan Penerangan.27 Selain itu pada tanggal 9 Desember 1948 yang diteruskan pada tanggal 10 Desember 1948 diadakan rapat Pleno BPR Kabupaten Bogor di Pendopo Bupati. Pada tanggal 11 Maret 1949 Rd. Moch. Enoch Nur, Wakil Ketua Badan Eksekutif gugur karena Wedana Jasinga Asep Mudjitaba membelot kepada pihak Belanda. Maka H. Moch. Hasan, Kepala Polisi Negara Kabupaten Bogor RI disamping jabatanya yang pertama, diangkat pula sebagai Wedana Jasinga menggantikan Asep Mudjitaba dan untuk Wedana Leuwiliang diangkat M.A.A. Purawidjaya. Pemerintahan darurat di Jasinga ini bertahan sampai adanya Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948. Kemudian, Bupati Ipik Gandamana beserta rombongan bergerilya untuk menghindari tentara Belanda yang terus mengejar. Bergerilya dari Desa ke Desa Agresi militer Belanda II yang terjadi pada tanggal 19 Desember 1948 membuat pemerintah Republik Indonesia menginstruksikan pembentukan Pemerintahan Darurat Kabupaten Bogor. Atas Petunjuk dari Komandan Brigade I/Tirtayasa dan Residen Militer Mayor Dr. Erie Sudewo dan Wakil Gubernur Mr. Adiwinata, maka staf Pemerintahan Darurat Kabupaten Bogor R.I. dipindahkan ke Desa Girilaya, Jasinga yang termasuk kedalam wilayah Bogor Barat pada tanggal 20 Desember 1948. Pemindahan ini dilakukan lebih ke pedalaman namun masih dalam Kewedanaan Jasinga. Perjalanan awal rombongan Ipik Gandamana, Rd Sudtajab, R.E. Abdullah dan M Kahfie menuju Desa Girilaya melalui daerah Leuwiliang (kurang lebih 20 km dari Jasinga). Di Leuwiliang Ipik Gandamana beserta rombongan sudah ditunggu oleh Kompi pimpinan Letnan II Sanusi yang bermarkas di Desa Hambaro Kewedanaan Leuwiliang. Kompi pimpinan Sanusi ini merupakan bagian dari kesatuan Batalyon IV Brigade Tirtayasa pimpinan Kapten Sholeh Iskandar. Kekuatan Batalyon ini terdiri dari 4 Kompi ditambah dengan laskar-laskar yang dipimpin oleh Suparta, Dasuki. Adapun Strukturnya sebagai berikut:28 Kepala Staf Batalyon : Letnan I Hasan Selamet Komandan Kompi I : Letnan I Affendi Komandan Kompi II : Letnan II Sanusi Komandan Kompi III : Pembantu Letnan Emon Sumantri Komandan Kompi IV : Letnan I Kurdi. Pada tanggal 21 Desember 1948 pihak Belanda yang mengetahui keberadaan rombongan Bupati Ipik Gandamana yang berjalan dari Leuwiliang menuju Jasinga berusaha terus mengejar rombongan Bupati dan mengadakan serangan mendadak di wilayah Bogor 27
Arsip Jawatan Penerangan Kabupaten Bogor Desember 1948 : Laporan Seba Pamong Pradja Kabupaten. Senin 6 Desember 1948 28 Pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor. Sejarah Perjuangan (1942-1945) di Kabupaten Bogor, (Bogor:1982), hal. 125
Kabupaten Bogor..., Ifa Nurkarimah, FIB UI, 2014
Barat. Di Bogor Barat pada pukul 00.00 WIB, Batalyon III Resimen Jagers mengerahkan empat kolone yang bergerak ke sekitar Leuwiliang dan menyebrangi kali Cianten untuk menduduki Kracak sebagai pusat pembangkit listrik untuk Jakarta.29 Serangan dilakukan oleh satu kompi pasukan Belanda yang dibantu satu pleton mortar dan satu baterei altileri lapangan. Dari pukul 03.00 sampai pagi hari terjadi pertempuran di pinggiran Leuwiliang dan terus ke wilayah Jambu.30 Pasukan pimpinan Letnan Dua Sanusi dan dibantu oleh Batalyon X dan Batalyon IV yang berada di Bogor Barat berusaha mempertahankan daerah tersebut namun pasukan Belanda berhasil menduduki sebagian wilayah Leuwiliang dan Jambu. Pada tanggal 23 Desember 1948 sekitar pagi hari pasukan Belanda melintasi garis ststus quo dengan melancarkan serangan secara besar-besaran dari Leuwiliang dengan tujuan Kawangjati dan selanjutnya ke Jasinga. Kolone Panser yang berada di depan terus mendobrak rintangan yang dibuat pasukan TNI Batalyon IV pimpinan Sholeh Iskandar dan Hizbullah yang berada di Leuwiliang. Untuk menahan gerak pasukan Belanda tersebut agar tidak lebih jauh lagi, pasukan TNI menghancurkan jembatan Cidurian yang akan dilewati pasukan Belanda. Kemudian pasukan TNI yang dipimpin oleh Letnan Dua Sanusi menembaki pasukan Belanda dari sebrang kali. Akan tetapi pasukan Belanda tetap dapat melewati kali Cidurian dengan melakukan gerakan melambung lewat kali dan menyerang dari arah belakang sedangkan panser dan tank-tank terus maju dan menembaki dari arah depan. Pasukan Batalyon IV dan para pejuang akhirnya mundur dengan meninggalkan korban 17 orang tewas dan sejumlah alat peledak, setelah mereka mempertahankan tempat itu selama satu jam.31 Dengan Demikian, Jasinga dapat direbut Belanda yaitu oleh satuan-satuan dari Batalyon Infantri XIX dengan komandannya Mayor Van Buuren pada tanggal 23 Desember 1948, pukul 14.00. Kemudian oleh Komandan Brigade 1ste Infantri Brigade Grup Letnan Kolonel Blanken ditempatkan satu detasemen pasukan di Jasinga dengan komandannya Mayor Manstra. Girilaya beberapa hari setelah Agresi Militer Belanda II merupakan pusat pemerintahan gerilya Ipik Gandamana. Karena fungsinya yang sangat penting ini seringkali mengalami serangan-serangan dari pihak Belanda, maupun infiltarsi mata-mata dari pihak Pasundan. Infiltrasi dari pihak Belanda terjadi didesa Cikasungka, Cigudeg. 32 Tempat ini sering mengalami gangguan-gangguan. Serangan Belanda yang tersebar terjadi pada tanggal 23 Desember 1948 yang membuat Ipik Gandamana beserta rombongan meninggalkan Girilaya dan bergerilya dengan tujuan Desa Malasari, yang masih dalam lingkungan Kewedanaan Leuwiliang. Desa Girilaya, Jasinga merupakan tempat pertama yang disinggahi Ipik Ganadamana beserta rombongan. Bukan saja sebagai batu loncatan pertama dalam pengungsian dari kota Bogor ke tempat selanjutnya, melainkan juga tempat ditetapkannya susunan pemerintahan gerilya Ipik Gandamana. Pemerintahan gerilya Ipik Gandamana di desa Girilaya sering mendapatkan teror dan diserang oleh tentara Belanda. Karena Girilaya dianggap kurang strategis untuk mengadakan hubungan dengan kewedanaan dan kecamatan-kecamatan maka Pemerintahan Darurat Kabupaten Bogor lalu dipindahkan ke Kampung Kumpai di daerah Kecamatan Muncang. Namun di daerah tersebut, Bupati Ipik Gandamana kurang diterima dengan baik oleh tokoh masyarakat setempat karena mereka telah dipengaruhi oleh Pemerintahan Negara Pasundan.33 29
Moh. Nasir, Detik dan Peristiwa ( Catatan Kronologi), hal. 10. Sejarah Perjuangan Bersenjata Daerah Bogor Sejak Proklamasi Kemerdekaan. 1976. Hal. 12. (Manuskrip) 31 Sejarah Militer Korem 61 Suryakentjana. Perkembangan Resimen Suryakentjana, hal.18-19. 32 Arsip Bupati Bogor Januari-April 1949: Laporan kejadian dari Wedana Jasinga kepada Bupati Bogor 1949. 33 Arsip Bupati Bogor Januari-April 1949 (Perihal Desa-desa yang telah berpihak ke Belanda) 30
Kabupaten Bogor..., Ifa Nurkarimah, FIB UI, 2014
Bupati Ipik Gandamana akhirnya mengambil keputusan, bahwa pusat pemerintahan harus lebih maju kearah timur mendekati kota Bogor.34 Setelah berhasil menduduki Jasinga, pihak Belanda melakukan serangan ke pos-pos gerilya para pejuang dan melakukan penggeledahan di desa-desa yang terdapat para pejuang disekitar wilayah Jasinga. Untuk menjaga Kewedanaan Jasinga dari kemungkinan serangan para pejuang dan sekaligus mencari para pejuang, tentara Belanda sering mengadakan patroli. Pada tanggal 4 Januari 1949 terjadi bentrokan antara satu pasukan tentara Belanda yang sedang patroli dan pasukan TNI Batalyon IV, Kompi I pimpinan E. Affandi di Peteuy, Garisul. Akibatnya tujuh orang pasukan Belanda tewas dan satu orang rakyat tewas. 35 Setelah meninggalkan Jasinga, Bupati Ipik Gandamana beserta Staf Pemerintahan Darurat Kabupaten Bogor bergerak ke arah Selatan dengan tujuan daerah Nanggung. Perjalanan gerilya Ipik Gandamana dimulai dari Jasinga rombongan berjalan melalui desadesa sebagai berikut: Cilisung, Ciangoen, Andoan, Karang, Cikumpai lalu belok kearah Cisugin, Cibarani, Muara, Gunung julang, Sarongge.36 Di Sarongge rombongan Bupati Ipik Gandamana bertemu dengan orang-orang yang mengungsi ke sebelah Utara dan Selatan Jasinga pada tanggal 3 Januari 1949. Dengan melalui Cisarua, akhirnya pada tanggal 10 Januari 1949 rombongan bupati sampai di Kampung Pojok. Sebagian dari rombongan tersebut menempati kampung Cipeundeuy (Kiarapandak), karena di desa itu mempunyai jalan besar yang menghubungkan Cipatat dan Cigudeg sehingga mudah untuk melakukan hubungan dengan kewedanaan dan kecamatan. Perjalanan rombongan Bupati Ipik Gandamana dari Jasinga menuju desa Nanggung ini dipimpin oleh Letnan Satu Hasan Slamet yang menjabat sebagai Kepala Staf Batalyon O Brigade Tirtayasa. Selain menjabat sebagai Kepala Staf, Letnan Satu Hasan Slamet juga menjabat Komandan Operasi yang mempunya empat seksi, yaitu : Seksi Perlengkapan, dipimpin oleh Sersan Mayor Sukri, Seksi Personil dipimpin oleh Letnan Dua Abdullah, Seksi Persenjataan dibantu oleh Pembantu Letnan Chotib, Seksi Pelaksana dipimpin oleh Sersan Mayor H. Ayoeb. Untuk membina pertahanan di wilayah Bogor Barat, maka setiap Desa oleh Kompi IV pimpinan Letnan Satu Kurdi dibentuk Pasukan Pagar Desa dengan kekuatan 2 Regu (20 orang) setiap desa antara Desa Jasinga sampai Nanggung. Pasukan tersebut bertugas menjaga keamanan desa. Letnan Satu Kurdi juga telah berhasil membina kekuatan sebanyak satu Batalyon dan kemudian dinamakan Batalyon Perjuangan.37 Selanjutnya, untuk menjaga garis demakrasi di Nanggung ditempatkan kompi-kompi secara bergiliran.38 Dalam usaha Belanda mengejar rombongan Bupati Ipik Gandamana yang bergerak ke arah Nanggung, berdasarkan Laporan Asisten Wedana Leuwiliang, yang menyatakan bahwa pada tanggal 7 Februari 1949 sepasukan Belanda yang berkekuatan 115 orang berpangkalan di Puraseda dekat Leuwiliang, telah menyerang tentara Republik di Gunung Masigit, TNI berhasil menjebak mereka dengan ranjau. Kemudian pasukan Belanda melanjutkan perjalananya ke Desa Bantarkaret dan kembali ke pangkalannya. Pada saat gunung Masigit diserang, sepasukan militer Belanda yang berkekuatan kira-kira 45 orang yang berpangkalan 34
Drs. H. A Martin Burhan, Op. cit., hal. 67 Abdullah, Tohir. Op. cit., hal. 9 36 Arsip Bupati Bogor Januari-April 1949, Lihat Lampiran 6 37 ibid., hal.125 38 Pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor. Sejarah Perjuangan (1942-1945) di Kabupaten Bogor, (Bogor:1982), hal. 125 dikutip dari wawancara dengan Kolonel Hasan Slamet, Bekas Komandan Kompi I Batalyon O Brigade Suryakancana, Letnan Kolonel Sanusi, Bekas Komandan Kompi II Batalyon O Brigade Tirtayasa. 35
Kabupaten Bogor..., Ifa Nurkarimah, FIB UI, 2014
di Jambu, bergerak ke Nanggung hingga ke Desa Pongkor (Cisarua), pasukan Belanda melakukan penyiksaan dan penembakan terhadap penduduk sekitar. 39 Dari Nanggung, pada tanggal 20 Januari 1949 rombongan bupati menuju Malasari, suatu tempat yang mereka anggap aman dari ancaman-ancaman tentara Belanda. Untuk menuju Malasari, rombongan Bupati melewati daerah Nanggung, suatu tempat yang jaraknya kira-kira 28 km dari Malasari. Antara kedua tempat tersebut tidak memiliki jalan besar. Didekat Malasari terdapat sebuah pabrik teh Nirmala yang telah hancur. Malasari Sebagai Pusat Pemerintahan Darurat Ipik Gandamana meninggalkan Desa Girilaya, Kewedanaan Jasinga pada tanggal 23 Desember 1948, setelah tentara Belanda berhasil menduduki rumah yang sebelumnya dijadikan Kantor Pemerintahan Republik di Jasinga pada hari yang sama. Selanjutnya Belanda mengangkat kepala desa baru di daerah-daerah yang telah didudukinya, seperti misalnya pengangkatan Muhammad Musa sebagai Lurah Girilaya dan Kyai Saban diangkat sebagai Lurah Nanggung oleh pihak Belanda.40 Kemudian Ipik Gandamana beserta rombongan bergerak menuju Malasari (sekitar 40 km dari Jasinga) setelah melewati desa-desa seperti Cilisung, Ciangoen, Andoan, Karang, Cikumpai, Cibarani, dengan melalui Cisarua, Pada tanggal 10 Januari 1949 mereka sampai di Kampung Pojok dan Cipeundeuy (Sekarang Kiarapandak).41 Di Kiarapandak, Ipik Gandamana beserta rombongan hanya bertahan sepuluh hari. Pada tanggal 20 Januari 1949 mereka melanjutkan perjalanan dengan tujuan Malasari, suatu tempat yang mereka anggap aman untuk bersembunyi dari militer Belanda. Desa Malasari berada di Kewedanaan Leuwiliang, yang secara administratif termasuk wilayah Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Secara ekologi Desa Malasari berada di kawasan Pegunungan Halimun Salak dan berbatasan langsung dengan Sukabumi. Desa Malasari dipilih oleh Ipik Gandamana sebagai pusat pemerintahan darurat Kabupaten Bogor karena beberapa faktor pendukung, yaitu letak geografis yang berada di bawah pegunungan sehingga sulit dijangkau oleh pihak Belanda yang terus mengejar Ipik Gandamana dan rombongannya. Selain letak geografis, faktor strategis dan stabilitas keamananpun sangat mendukung. Penduduk Desa Malasari sangat ramah dan menyambut baik kedatangan rombongan Bupati Ipik Gandamana dan masyarakatpun membantu perjuangan pemerintahan darurat Kabupaten Bogor dengan ikut berjuang dengan berbagai cara.42 Meskipun letaknya sangat jauh di pedalaman, Malasari dianggap strategis dalam arti menguntungkan dari sudut pandang hubungan antara daerah-daerah yang penting di Kabupaten Bogor. Malasari relatif mudah dicapai dari dan kejurusan manapun dengan melewati jalan setapak. Malasari yang letaknya berada di sebelah barat Kota Bogor ini mudah dicapai dari Kabupaten Sukabumi maupun Banten yang hanya dibatasi oleh perbukitan gunung Halimun. Namun begitu tidak ada jalan umum yang menghubungkan Malasari dengan kedua wilayah tersebut, kecuali jalan melalui bukit-bukit terjal berhutan yang berfungsi sebagai lintasan gerilya. Hubungan dilakukan dengan daerah Nanggung, suatu tempat di sebelah Utara Malasari, di Nanggung terdapat pos penjagaan terdepan yang dijaga secara bergantian oleh kompi-kompi pimpinan Sholeh Iskandar. 39
Arsip Bupati Bogor Januari-April 1949 : Laporan kejadian, dari Asisten Wedana Leuwiliang kepada Bupati Bogor Perihal Gerakan Militer Belanda. 40 Arsip Bupati Bogor Januari-April 1949 : Laporan kejadian dari Wedana Jasinga Kepada Bupati Bogor, Januari 1949. 41 Arsip Bupati Bogor Januari-April 1949 42 Wawancara dengan Ahmad Sastra Wijaya, Putra Bapak Ining sebagai Kepala Desa Malasari 1946-1949, 2 Maret 2014
Kabupaten Bogor..., Ifa Nurkarimah, FIB UI, 2014
Kabupaten Bogor R.I. ini masuk daerah keresidenan Banten yang dipimpin oleh Residen Kyai Tubagus H.Achmad Chatib. Di Malasari terjadi pergantian pejabat Badan Eksekutif Kabupaten Bogor R.I. yang sebelumnya telah dibentuk di Jasinga yang diketuai oleh Bupati Ipik Gandamana dan wakil ketuanya yaitu Rd. Moch. Enoch Nur serta tiga orang anggota lainya yaitu Sanusi, E.M. Kahfi, Romli Husni dan M. Tabarani digantikan oleh Abdul Fatah Mardai. Badan Perwakilan Rakyat juga diikutsertakan dalam pemerintahan Bupati Ipik Gandamana di Malasari. Selain itu, dibentuk juga Badan Legislatif Kabupaten Bogor R.I. dengan anggota sebanyak 25 orang. Meskipun dengan peralatan yang serba sederhana, pemerintahan darurat ini tetap melakukan kegiatan-kegiatan diberbagai bidang seperti pembangunan, pendidikan, kebudayaan dan lainnya. Pada bulan Maret 1949 Mr. Jusuf Adiwinata, Wakil Gubernur Jawa Barat datang ke Malasari menginstruksikan agar Pemerintahan Darurat Kabupaten Bogor R.I. ini menyusun Pamong Praja untuk seluruh wilayah Kabupaten Bogor R.I.. Instruksi tersebut secara bertahap dilaksanakan oleh staf Kabupaten Bogor R.I. sehingga selesai pada tanggal 7 Mei 1949 dimana telah disusun 6 Kewedanaan dan 19 Kecamatan untuk seluruh Kabupaten Bogor. Adapun 6 Kewedanaan tersebut yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kewedanaan Jasinga Kewedanaan Leuwiliang Kewedanaan Cibinong Kewedanaan Bogor Kewedanaan Ciawi Kewedanaan Cibarusa
: Asep Mudjitaba : Purawidjaja : Darma Priatna : Abdul Karim : Hisbulloh Tjakrakusuma : Sarodji
Selama pusat pemerintahan darurat Kabupaten Bogor di Malasari, terdapat gangguangangguan yang dilancarkan pihak Belanda di sekitar wilayah Desa Malasari. Disamping melakukan gerakan pada siang hari pihak militer Belanda juga sering mengadakan pada malam hari. Hal ini dilakukan karena pada siang hari biasanya mereka mengirimkan penyelidikan. Pada tanggal 12 Maret 1949 militer Belanda melakukan serangan terhadap Desa Cigudeg. Serangan tersebut dilakukan dengan mengepung Kampung Pabuaran, Desa Hamboro dan berhasil menangkap Komandan Seksi I Kompi I Batalyon IV Hisbullah yang bernama Idrus, yang pada saat itu kebetulan sedang bermalam di kampung itu. Jumlah penduduk yang ditangkap 20 orang dan menurut laporan selanjutnya beberapa orang diantara mereka ada yang dibebaskan.43 Dari Cigudeg, Belanda menyerang ke Cidoger, Jambu kemudian ke daerah Banar dengan tujuan Nanggung.44 Nanggung merupakan pintu terakhir menuju Desa Malasari. Disana terdapat pos TNI Kompi I pimpinan Hasan Selamet. Kehidupan SosIal dan Ekonomi Dengan pecahnya agresi militer Belanda yang ke II pada tanggal 19 Desember 1948 saat, maka oleh Markas Besar Komando Djawa ( M.B.K.D ) di keluarkan instruksi No.1/MBKD/48 bagi Pemerintahan Militer seluruh Jawa untuk wajib bekerja.45 Dalam bidang perekonomian telah ditetapkan bahwa untuk urusan suplai Komandan Militer Daerah (K.M.D) diserahi tugas untuk menyusun organisasi perdagangan di distrik-distrik militer, dalam rangka memenuhi kebutuhan rakyat dan tentara yang berjuang di daerah-daerah. Selain itu, diselenggarakan juga perdagangan dengan koperasi Desa, sehingga kegiatan tukar 43
Ariwiadi. Sejarah Perjuangan (1942-1945) di Kabupaten Bogor. Panitia Sejarah Kabupaten Bogor.hal.126 Arsip Bupati Bogor Januari-April 1949: Surat dari Kecamatan Cigudeg perihal ancaman Belanda. 45 A.H Nasution, Pokok-pokok Gerilya, (Jakarta: Pembimbing Masa, 1949), hal. 119. 44
Kabupaten Bogor..., Ifa Nurkarimah, FIB UI, 2014
menukar barang antara distrik-distrik militer berjalan dengan lancar. Selain itu juga untuk mempermudah melakukan perdagangan dengan kota pendudukan, sehingga rakyat di desa dapat memperoleh kebutuhan sehari-hari yang hanya bisa didapat dari kota, seperti : pakaian, garam, ikan asin dan sebagainya. Mata uang yang beredar di Malasari dan digunakan sebagai alat tukar menukar yang sah yaitu uang yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Banten.46 Sejak bulan Agustus 1947 oleh Pemerintah Daerah Banten telah diedarkan mata uang yang dinamakan Uang Republik Indonesia Daerah Banten Sementara atau disingkat URIDABS. Pengeluaran atau pencetakan mata uang ini disebabkan karena pemerintah tidak mempunyai uang untuk membayar gaji pegawainya. Adapun mata uang yang beredar itu terdiri dari pecahan mata uang 1 rupiah, 5 rupiah, 25 rupiah dan 50 rupiah. Mata uang tersebut ditandatangani oleh Residen Banten K.H Achmad Chalib dan wakil Gubrnur Jawa Barat Mr. Yusuf Adiwinata.47 Kepercayaan rakyat terhadap URIDABS yang semula dimaksudkan sebagai pengganti ORI, ternyata tidak berhasil menyisihkan ORI (Oeang Republik Indonesia), sehingga uang tersebut beredar disamping ORI. Untuk melakukan kontrol terhadap perkembangan URIDABS, maka oleh pemerintahan Kabupaten Bogor R.I. dibentuk panitia penguji URIDABS. Adapun tugas panitia ini adalah mengadakan penelitian dilingkungan Kabupaten Bogor terhadap kemungkinan timbulnya pemalsuan URIDABS. Panitia tersebut mulai menjalankan tugasnya sejak bulan Desember 1948. Pada tanggal 15 Desember, menurut laporan dari Kepala Jawatan Penerangan Kabupaten Bogor E.M Kahfie, bahwa telah terjadi pemalsuan terhadap URIDABS. Beberapa orang pedagang dari Kabupaten Bogor yang berjualan di pasar Cisoka mengaku mendapatkan uang yang tidak laku jika dibelanjakan kembali.48 Selama Agresi Belanda II berlangsung yang dimulai pada tanggal 19 Desember 1948, disetiap desa di Kewedanaan Jasinga dan Leuwiliang didirikan sebuah badan yang bernama “Panitia Perbekalan”. Pembentukan badan ini dilakukan oleh masyarakat sekitar simpatisan para pejuang Republik dengan tujuan memberikan sumbangan dari penduduk berupa beras, hasil kebun seperti palawija dan barang kebutuhan lainnya. Pembentukan panitia tersebut mendapat persetujuan Pamongpraja R.I. dengan sifat pengumpulan sembangan itu secara sukarela, tanpa adanya paksaan. Hal tersebut dilakukan sebagai akibat adanya blokade ekonomi Belanda, maka di daerah Kewedanaan Jasinga oleh Wedana Mudjitaba pada bulan Desember 1948 diadakan rapat diantara Asisten Wedana dan wakil-wakil petani dari desadesa di Kewedanaan Jasinga untuk membicarakan masalah kekurangan makanan. Pertemuan diadakan di kelurahan-kelurahan lingkungan Kewedanaan Jasinga, misalnya di Kelurahan Koleang pada tanggal 8 Desember, di Kelurahan Jasinga pada tanggal 9 Desember, di Kelurahan Pangradin pada tanggal 10 Desember, pertemuan di Kelurahan Bagoang pada tanggal 11 Desember, pertemuan di rumah Camat Toge pada tanggal 13 Desember, pertemuan di rumah Camat Lebakwangi pada tanggal 14 Desember, pertemuan di rumah Cirangsad pada tanggal 16 Desember, pertemuan di rumah Camat Cipatat pada tanggal 17 Desember, pertemuan di rumah Lurah Ps. Madang pada tanggal 18 Desember, pertemuan di rumah Lurah Tarajo pada tanggal 20 Desember, pertemuan di rumah Lurah Desa Cilelet pada tanggal 22 Desember, pertemuan di Desa Cibunar pada tanggal 23 Desember, pertemuan
46
Wawancara dengan Ahmad Sastra Wijaya, Putra Bapak Ining sebagai Kepala Desa Malasari 1946-1949 Jawatan Penerangan Keresidenan Bogor R.I. 1948-1949 48 Arsip Jawatan Penerangan Kabupaten Bogor : Perihal Tindakan Penguji Uang Palsu di Cisoka, Jasinga 15 Desember 1948 47
Kabupaten Bogor..., Ifa Nurkarimah, FIB UI, 2014
di Desa Gerowong pada tanggal 24 Desember, pertemuan di Kelurahan Ciomas pada tanggal 25 Desmeber.49 Setelah ada pengumuman tentang perintah Cease Fire dan menindaklanjuti keputusan Markas Besar Komando M.B.K.D maka pemerintah Republik Keresidenan Banten pada bulan Agustus 1949 mengeluarkan maklumat N0.3. yang ditandatangani oleh Letkol Erie Sudewo (Residen Militer), K.H Achmad Chatib (Residen Banten) dan Mr. Jusuf Adiwinata (Wakil Gubernur Jawa Barat). Maklumat tersebut beredar juga di wilayah Bogor Barat yang termasuk kedalam wilayah Pemerintahan Darurat Kabupaten Bogor. Maklumat tersebut berisikan perintah untuk wajib bekerja secara gotong royong kepada semua warga negara Republik Indonesia khususnya di wilayah Keresidenan Banten dimulai dari umur 16 sampai 50 tahun. Wajib bekerja tersebut dilakukan selama delapan jam sehari yang dimaksudkan untuk kepentingan pembangunan negara karena banyaknya kerusakan-kerusakan, kerugian dan terlantarnya alat-alat dan bangunan negara akibat perang. Perintah wajib bekerja “Gugur Gunung” umumnya dilakukan tidak lebih jauh dari 10 km dari kampung atau tempat tinggal masyarakat. Selain ketentuan tersebut, ada beberapa golongan yang dibebaskan dari kewajiban bekerja yaitu: a. b. c. d.
Pegawai Pemerintahan Anggota Angkatan Perang Alim Ulama (Guru Agama) Orang-orang yang sedang sakit.
Mereka yang melanggar peraturan tersebut akan dijatuhkan hukuman penjara selamalamanya tiga bulan atau hukuman denda sebanyak 300 ranggeong.50 Selain itu, pemerintah juga mengadakan pemungutan pajak yang dimaksudkan untuk membantu membiayai alat-alat negara. Selain pemungutan pajak, biasanya rakyat turut serta membantu para pejuang dengan memberikan sebagian hasil buminya untuk keperluan perjuangan sehingga apa yang diperlukan untuk kepentingan perjuangan dapat terpenuhi. Untuk membiayai perjuangan dan kelancaran jalannya pemerintahan, maka Pemerintahan Darurat Kabupaten Bogor yang pada waktu itu berada di wilayah Bogor Barat membentuk Panitia Pengerahan Tenaga Rakyat. Panitia tersebut diketuai oleh Bupati Ipik Gandamana dengan dibantu oleh Kepala Perekonomian Kabupaten Bogor Bachrudin yang mempunyai tugas untuk mengkoordinir keamanan di desa-desa dan dibidang perekonomian bertugas untuk memungut sumbangan mobilisasi perjuangan dari para petani dan pedagang. Perjalanan Akhir Pemerintahan Gerilya Ipik Gandamana Pada bulan Juni pusat pemerintahan Kabupaten Bogor yang sebelumnya di Malasari kemudian dipindahkan ke wilayah Nanggung, sekitar 20 km dari Malasari. Pemindahan tersebut karena situasi yang mulai aman antara daerah tersebut. Daerah Nanggung dengan letak geografisnya yang mendukung, yaitu daerah pegunungan yang berbukit-bukit dijadikan daerah gerilya untuk menghadapi dan mengadakan perlawanan atas serangan-serangan dari pasukan Belanda. Terutama daerah ini dijadikan basis pertahanan bagi kesatuan-kesatuan yang ditugaskan untuk menguasai daerah tersebut yaitu dari Komandan BatalyonIV/Brigade I Tirtayasa. Kesatuan batalyon ini selalu berpindah-pindah dalam melakukan gerilya. Namun 49
Arsip Jawatan Penerangan Kabupaten Bogor Desember 1948 : Perihal daftar penetapan waktu kumpulan petani di desa daerah Kewedanaan Jasinga dari tanggal 8 Desember s/d 25 Desember 1948. 50 Jenis mata uang ORI di daerah Banten Selatan
Kabupaten Bogor..., Ifa Nurkarimah, FIB UI, 2014
demikian hanya berkisar antara jalur Gunung Nyungcung, Malasari, perkebunan teh Nirmala dimana daerah-daerah tersebut itu merupakan lintasan hubungan ke Pura Salak (wilayah Leuwiliang). Disekitar daerah inilah pemerintahan darurat Kabupaten Bogor pimpinan Ipik Gandamana saat itu dilangsungkan.51 Dengan tercapainya persetujuan Room Van Royen maka permusuhan antara Indonesia dan Belanda dihentikan. Untuk merealisasikan pelaksanaan penghentian permusuhan, di Jasinga diadakan perundingan antara TNI dengan pihak militer Belanda pada tanggal 29 Agustus 1949. Dalam pertemuan tersebut disetujui suatu pedoman untuk menyelenggarakan penghentian permusushan. Dalam hal ini telah disetujui bersama, bahwa isi pedoman tersebut bersifat mengikat bagi Pemerintahan Belanda dan Republik Indonesia, serta bagi pengikut kedua belah pihak khususnya untuk menetapkan daerah patroli.52 Pertemuan tersebut dihadiri oleh staf Komando IV/Sektor Bogor Barat, pihak TNI diwakili oleh Kepala Staf Batalyon “O” Letnan Satu E. Kurdi sedangkan dari pihak Belanda diwakili oleh Komandan Detasemen Jasinga Kapten Frankkers. Hasil dari pertemuan tersebut disetujui perubahan dislokasi kesatua-kesatuan dan ketentuan-ketentuan dalam berpatroli.53 Pada akhir tahun 1949 terjadi perundingan mengenai masalah penyerahan kekuasaan yang dilakukan antara pimpinan TNI daerah Bogor dan Banten dengan pimpinan tentara Belanda yang berada di daerah tersebut. Dalam perundingan itu pihak TNI diwakili oleh Mayor Taswin sebagai ketua serta Mayor R.A Kosasih sebagai Komandan Batalyon Suryakencana, Mayor Kemal Idris dan Letnan Utut Zaenudin selaku sekretaris. Pihak militer Belanda diwakili oleh Kolonel Blanken untuk daerah Cianjur, Letnan Kolonel Retteviel untuk daerah Purwakarta, Letnan Kolonel Matlank untuk daerah Sukabumi, Mayor Braakel untuk daerah Cipacung, Mayor Van Buuren untuk daerah Leuwiliang dengan sekretaris Letnan Van der Heide.54 Setelah pengakuan kedaulatan R.I. dari pihak Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, Pemerintahan Kabupaten Bogor R.I. pimpinan Ipik Gandamana yang sebelumnya berada dari Pasar Selasa dipindahkan ke Cibelagung, Kecamatan Ciomas, Kewedanaan Kota Bogor. Setelah itu masuk ke Kota Bogor dan berkantor di Gedung Gasbi (sekarang gedung Museum Perjuangan Bogor) dan kemudian mengambil alih Kabupaten Bogor dari tangan Bupati Pasundan R.K. Hardjadiparta.55 Pada tanggal 29 Desember 1949 secara berangsurangsur semua TNI dan para pejuang Republik Indonesia memasuki kota Bogor. Dengan demikian pada akhir tahun 1949 Indonesia memasuki babak baru dalam sejarah kemerdekaannya dan secara berangsur-angsur pula, Belanda meninggalkan Indonesia. Kesimpulan Pemerintahan Ipik Gandamana ini dapat dikatakan pemerintahan gerilya karena beberapa faktor. Pertama pemerintahan Ipik berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lainya. Kedua, pemerintahan Ipik Gandamana dalam melaksanakan pemeintahanya didampingi oleh pasukan pimpinan Sholeh Iskandar. Terakhir, pemerintahan Ipik Gandamana ini dapat dikatakan pemerintahan gerilya karena adanya serangan yang dilakukan Belanda 51
Drs. H. A Martin Burhan, Sejarah Perjuangan di Kabupaten DT II Bogor (1942-1949), Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor, Bogor: 1986, .hal. 73 52 Pemda DT II Bogor., hal. 146. 53 Ibid., hal. 146. 54 Sejarah Militer Resimen Suryakentjana, Op Cit.hal. 22 55 Abdullah, Tohir. Sedjarah Korem 61/Suryakantjana (Daerah Bogor) Periode tahun 1945-1949. (Manuskrip), 1969. hal. 2
Kabupaten Bogor..., Ifa Nurkarimah, FIB UI, 2014
sehingga Ipik Gandamana menjalankan pemerintahannya berpindah-pindah untuk menghindari Belanda. Pemerintahan gerilya ini telah mengubah medan perjuangan yang sebelumnya hanya di kota, kemudian beralih ke pedesaan dan hutan-hutan di pedalaman. Pergeseran panggung sejarah dari kota ke pedesaan juga membawa implikasi yang sangat penting terhadap keterlibatan pelaku sejarah yang lebih luas. Belum pernah terjadi sebelumnya, kecuali periode ini, dimana perjuangan kemerdekaan melibatkan segenap lapisan masyarakat Kabupaten Bogor mulai dari pemimpin daerah sampai kepada rakyat kecil di daerah-daerah pedalaman Kabupaten Bogor. Pemerintahan yang dibentuk di Jasinga ini hanya bertahan beberapa hari, karena sering mendapat teror dan serangan oleh tentara Belanda maka Ipik Gandamana beserta rombongan berpindah-pindah tempat untuk menghindari serangan tentara Belanda. Dari Jasinga, Ipik Gandamana bergerilya melalui desa-desa terpencil di wilayah Bogor Barat dengan tujuan Desa Malasari. Setelah melewati desa-desa seperti Cilisung, Ciangoen, Andoan, Karang, Cikumpai, Cibarani, dengan melalui Cisarua, Pada tanggal 10 Januari mereka sampai di Kampung Pojok dan Cipeundeuy (Sekarang Kiarapandak). Di Kiarapandak Ipik Gandamana beserta rombongan hanya bertahan 10 hari. Pada tanggal 20 Januari mereka melanjutkan perjalanan dengan tujuan Malasari. Pemerintahan gerilya Ipik Gandamana ini selalu didampingi Batalyon O Brigade Tirtayasa pimpinan Kapten Sholeh Iskandar. Kekuatan Batalyon ini terdiri dari 4 Kompi yang tersebar di berbagai wilayah sekitar Leuwiliang, Jasinga sampai Malasari. Pengungsian Pemerintahan Kabupaten Bogor ke Jasinga kemudian dilanjutkan ke daerah Malasari pada masa perang kemerdekaan taraf dua ini dilatarbelakangi oleh dua faktor. Faktor pertama, keadan politik di kota Bogor yang semakin memanas. Keadaan tersebut karena pembentukan Negara Pasundan di Bogor sehingga terjadi dualisme kepemimpinan di Bogor yang sama-sama mengklaim sebagai pemerintahan yang berdaulat. Faktor kedua yaitu Instabilitas kota Bogor akibat adanya aksi militer Belanda kedua. Tindakan pasukan Belanda yang melakukan teror baik kepada pemerintah maupun masyarakat serta melakukan penangkapan terhadap para pejabat pemerintahan Republik Indonesia merupakan penyebab utama instabilitas tersebut. Desa Malasari yang berada di Kewedanaan Leuwiliang sebagai pusat pemerintahan darurat Kabupaten Bogor di dasarkan pada beberapa alasan dan pertimbangan. Alasan Pertama yaitu letak geografis Malasari yang berada di bawah pegunungan sehingga sulit dijangkau oleh pihak Belanda yang terus mengejar Ipik Gandamana dan rombongannya. Selain letak geografis, faktor strategis dan stabilitas keamanan pun sangat mendukung. Penduduk desa malasari sangat ramah dan menyambut baik kedatangan rombongan Bupati Ipik Gandamana. Meskipun letaknya sangat jauh di pedalaman, Malasari dianggap strategis dalam arti menguntungkan dari sudut pandang hubungan antara daerah-daerah yang penting di Kabupaten Bogor. Malasari relatif mudah dicapai dari dan kejurusan manapun dengan melewati jalan setapak. Malasari yang letaknya berada di sebelah barat Kota Bogor ini mudah dicapai dari Kabupaten Sukabumi maupun Banten yang hanya dibatasi oleh perbukitan gunung Halimun. Namun begitu tidak ada jalan umum yang menghubungkan Malasari dengan kedua wilayah tersebut, kecuali jalan melalui bukit-bukit terjal berhutan yang berfungsi sebagai lintasan gerilya. Setelah pengakuan kedaulatan R.I. dari pihak Belanda tanggal 27 Desember 1949, Pemerintahan Kabupaten Bogor R.I. dari Malasari dipindahkan ke Cibelagung, Kecamatan Ciomas, Kewedanaan Kota Bogor. Setelah itu masuk kembali ke dalam Kota Bogor dan berkantor di Gedung Gasbi (sekarang gedung Museum Perjuangan Bogor) dan kemudian
Kabupaten Bogor..., Ifa Nurkarimah, FIB UI, 2014
mengambil alih Kabupaten Bogor dari tangan Bupati Pasundan R.K. Hardjadiparta. Pada tanggal 29 Desember 1949 secara berangsur-angsur semua TNI dan para pejuang Republik Indonesia memasuki Kota Bogor. Dengan demikian pada akhir tahun 1949 Indonesia memasuki babak baru dalam sejarah kemerdekaannya dan secara berangsur-angsur pula Belanda meninggalkan Indonesia. Daftar Acuan Arsip dan Dokumen Arsip Bupati Bogor, Januari-April 1949 Arsip Djawatan Penerangan Kabupaten Bogor, Desember 1949 Buku Agenda II Djawatan Penerangan Kabupaten Bogor, 1949 Daftar Nama Wedana/Camat Dilingkungan Kabupaten Bogor s/d September 1949. Dokumen Museum Perjuangan Bogor Laporan-Laporan Kejadian dari Polisi Kabupaten Bogor Kepada Bupati Bogor FebruariMaret-April 1949 K.D.M. Bogor Barat/KMD IV Jawa Barat, Situasi Militer Daerah S.K IV Sektor Bogor Barat Sesudah Gencatan Senjata Komando Resort Militer 061 Surya Kancana. Sejarah Perjuangan Rakyat Kabupaten Bogor di Masa-masa Perjuangan Physic, Hari Ulang Tahun ke 32 Divisi Siliwangi, 1 September 1981. Komando Resort Militer 061 Surya Kancana. Sejarah Singkat Komando Resort Militer 061 Suryakantjana. Hari Ulang Tahun ke 32 Divisi Siliwangi, Bogor, 1 September 1981 Nasir, Moch., Detik dan peristiwa, (Beberapa Tjatatan Tentang Bogor). Catatan Kronologis. Manuskrip Resolusi Pusat Organisasi Rakyat Bogor, Museum Perjuangan Bogor, 24 Mei 1947 R.H. Samaun, Catatan Pengalaman Sebelum, Selama, Sesudah Perang Kemerdekaan. (Manuskrip) Tohir, Abdullah., Sejarah perjuangan Bersenjata Daerah Bogor Sejak Proklamasi Kemerdekaan. 31 Desember 1976 Wawancara Ahmad Sastra Wijaya (82 tahun), Putra ke 1 Bapak Ining Kepala desa Malasari tahun 19471950. Wawancara dilaksanakan 3 April 2013, 21 Desember 2013, 2 Maret 2014 di Malasari Buku Burhan, Drs. H. A. Martin. 1986. Sejarah Perjuangan di Kabupaten DT II Bogor (19421949). Bogor : Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor. Djoened Poesponegoro, Marwati, & Notosusanto, Nugroho. 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI, Jakarta: Balai Pustaka Djamaludin, Alwi, dkk. 1991. Sejarah Revolusi Kemerdekaan DKI Jakarta (1945-1949). Jakarta: Dpartmen Pendidikan dan Kebudayaan. Djayusman. 1979. Bandung Lautan Api. Bandung: Angkasa Disjarahdam. Siliwangi dari Masa Ke Masa. Edisi ke III. Bandung: Granesia Ekadjati, Edi S. 1993. Sejarah Pemerintahan di Jawa Barat. Bandung: Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat . 1981. Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Jawa Barat. Jakarta: Depdikbud Gie, The Liang. 1965. Pertumbuhan Pemerintahan di Daerah Republik Indonesia. Jakarta: Gunung Agung
Kabupaten Bogor..., Ifa Nurkarimah, FIB UI, 2014
Kartahadimaja, Ramadhan. 1988. A.E. Kawilarang Untuk Sang Merah Putih: Pengalaman 1942-1961. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Kuntowijoyo. 1994. Metodelogi Sejarah. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya. Moeliono, Anton M. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Nasution, A.H. 1964. Pokok- Pokok Gerilja. Cetakan ke-3. Jakarta: Pembimbing Masa Nasution, A.H. 1978. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid VI : Perang Gerilya Semesta I. Bandung : PT Angkasa Panitia Penyusunan Sejarah Pemerintahan Jawa Barat. 1994. Sejarah Pemerintahan Daerah Jawa Barat. Depdikbud Pramoedya ananta toer. dkk. 1999. Kronik Revolusi Indonesia Jilid II, Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia. Reid, Anthony J.S. 1996. Revolusi Nasional Indonesia (terj. Pericles G. Katoppo). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Sejarah Kota Bandung Periode Revolusi Kemerdekaan, 1945-1950, Universitas Padjajaran Bandung, 1981 Sjamsudin, Helius. 1992. Menuju Negara Kesatuan : Negara Pasundan. Jakarta: Departmen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktori Sejarah dan Nilai Tradisional Zeid, Mestika., 1997. Somewhere In The Jungle (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, Sebuah Mata Rantai yang Terlupakan). Jakarta: Grafiti Makalah Ariwiadi. Kota dan Kabupaten Bogor pada Perang Kemerdekaan Taraf II. Seminar Sejarah Nasional II, 26-29 Agustus 1970. Yogyakarta. Sujadi, didi. Studi Sejarah Sekitar Lahirnya Divisi Siliwangi Pada Tanggal 20 Mei 1946. Seminar Sejarah Nasional II, 26-29 Agustus 1970. Yogyakarta.
Kabupaten Bogor..., Ifa Nurkarimah, FIB UI, 2014