JUSTIFIKASI DAN METODE PENETAPAN KOMODITAS STRATEGIS Pantjar Simatupang PENDAHULUAN Dalam putaran perundingan multilateral dalam naungan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization = WTO), Indonesia memelopori proposal Special Products , yakni sejumlah “ komoditas strategis “ yang amat penting untuk hajat hidup orang banyak, baik dari segi lapangan kerja, maupun jaminan perolehan pangan yang cukup, perlindungan, dan dinamisasi kehidupan desa secara berkelanjutan, serta preservasi dan stabilisasi sosial-politik yang sesungguhnya merupakan tujuan utama pembangunan pertanian, dikecualikan dari agenda perundingan lanjutan liberalisasi dan deregulasi perdagangan produk pertanian. Pengecualian tersebut dimaksudkan agar pemerintah suatu negara, negara sedang berkembang khususnya, tetap memiliki fleksibilitas atau kedaulatan dalam menetapkan kebijakan diskresi perihal produksi dan perdagangan sejumlah terbatas produk pertanian yang esensial bagi hajat hidup warga negaranya. Ini merupakan salah satu hak dasar yang mesti dimiliki oleh suatu negara berdaulat. Proposal Indonesia tersebut mendapat dukungan dari banyak negara-negara sedang berkembang. Konsep Special Products dan Strategic Products telah menjelma menjadi senjata diplomasi yang amat ampuh bagi kelompok negara-negara sedang berkembang dalam menghadapi negara-negara maju yang tergabung dalam
Uni Eropa dan negara-negara
eksportir utama pertanian dalam kelompok Cairns (Cairns group). Kalau negara-negara sedang berkembang kukuh mempertahankannya, Amerika Serikat dan anggota Cairns Group lainnya menentang keras proposal Special and Strategic Products tersebut. Uni Eropa cenderung mengambil posisi ” dapat memahami ” namun enggan menyatakan dukungannya. Alasannya, Uni Eropa juga berkepentingan untuk memperlambat proses perluasan dan intensifikasi liberalisasi perdagangan produk pertanian. Perbedaan pendapat mengenai Special and Strategic Products inilah yang menyebabkan Perundingan Tingkat Tinggi WTO di Cancun, Meksiko, pada bulan September 2003 gagal menghasilkan kesepakatan baru. Special and Strategic Products masih akan terus menjadi isu sentral dalam putaran perundingan WTO mendatang. Salah satu argumen utama yang dipakai oposan untuk menolak konsep Special and Strategic Products tersebut ialah tidak adanya indikator dan kriteria obyektif berdasarkan kerangka pikir ilmiah dan berlaku umum dalam penetapan Strategic Products. Praktek yang hingga kini masih dipakai masih berdasarkan penetapan sendiri (self – declared), yang amat subyektif dan tidak berlaku umum bagi semua negara. Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk merumuskan kerangka pikir ilmiah, indikator dan kriteria penetapan Strategic Products. Indikator dan kriteria tersebut selanjutnya digunakan
35
untuk menjustifikasi kelayakan beras, jagung, kedele dan gula sebagai Strategic Products bagi Indonesia, seperti yang sebelumnya telah ditetapkan sendiri secara subyektif. Konsep ini dapat dipergunakan oleh delegasi Republik Indonesia dalam putaran perundingan WTO untuk memperjuangkan keempat komoditas tersebut sebagai Special Products bagi Indonesia.
JUSTIFIKASI SPECIAL PRODUCTS Setelah dilaksanakan hampir satu dekade, kesepakatan GATT/WTO di bidang pertanian (Agreement on Agriculture=AoA) untuk secara signifikan dan berimbang meliberalisasi perdagangan produk-produk pertanian ternyata menimbulkan banyak kekecewaan khususnya bagi negara-negara sedang berkembang. Proteksi dan subsidi produk pertanian, khususnya di negara-negara maju, tidak semakin menurun sehingga menyebabkan harga-harga produk pertanian di pasar dunia menurun tajam, yang selanjutnya telah menimbulkan kebangkrutan petani kecil, pemiskinan dan kerawanan pangan di banyak negara-negara sedang berkembang. Kesepakatan GATT/WTO ternyata menimbulkan persaingan tidak adil yang amat merugikan bagi negara-negara sedang berkembang. Proposal negosiasi special products dimaksudkan untuk memberikan fleksibilitas bagi negara-negara sedang berkembang dalam menetapkan kebijakan diskresi untuk melindungi (proteksi) dan memberdayakan (promosi) sejumlah produk strategis yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak sebagai respon wajar terhadap ancaman persaingan tidak adil. Dengan demikian, special products hendaklah dipandang sebagai mekanisme perlindungan khusus yang fleksibel dan permanen (flexible and permanent special safeguard mechanism). Berikut diuraikan bukti-bukti empiris ketidakseimbangan fasilitasi dan
dukungan
kebijakan antar kelompok negara maju dan berkembang, serta dampaknya terhadap harga dunia, ekspor-impor, ketahanan pangan dan kehidupan petani di negara-negara sedang berkembang. Bukti-bukti empiris inilah yang menjadi justifikasi obyektif inisiatif special products. 1. Dukungan kepada petani produsen di negara-negara maju tidak menurun nyata. Kesepakatan WTO mestinya akan menurunkan secara nyata dukungan domestik (domestic supports) yang diberikan negara-negara maju untuk mendukung petani produsennya. Fakta menunjukkan dukungan domestik di negara-negara maju masih amat besar dan secara rata-rata tahunan malah menunjukkan peningkatan. Untuk negara-negara OECD, nilai dukungan domestik meningkat dari rata-rata 23 milyar dolar AS per tahun pada periode tahun 1986-1988 (pra WTO) menjadi 248 milyar dolar AS per tahun pada periode 1999-2001 (masa implementasi kesepakatan WTO. Nilai subsidi domestik terbesar adalah di Amerika Serikat (AS), yang meningkat dari ratarata 42 milyar dolar AS per tahun pada periode tahun 1986-1988 menjadi 51 milyar dolar AS
36
pada periode tahun 1999-2001 atau 21 persen. Di Uni Eropa, nilai subsidi domestik meningkat dari 94 milyar dolar AS per tahun pada periode tahun 1986-1988 menjadi 99 milyar dolar AS pada periode tahun 1999-2001 atau 5 persen (Tabel 1). Memang nilai subsidi domestik tersebut masih di bawah komitmen kesepakatan. Namun data tersebut merupakan bukti tak terbantahkan bahwa subsidi domestik yang amat besar di negara-negara maju merupakan salah satu penyebab persaingan tidak adil di pasar dunia. Tabel 1. Subsidi Kepada Petani Produsen di Negera-Negara Maju (milyar dolar AS). Kelompok negara
Rata-rata 1986-1988
OECD
1999
2000
2001
Rata-rata 1999-2001
236
273
242
231
240
Uni Eropa
94
115
90
93
99
Amerika Serikat
42
55
49
49
51
Sumber : OECD (2002).
Selain subsidi domestik, negara-negara maju juga memberikan subsidi ekspor yang amat besar untuk produk-produk pertaniannya. Tingkat subsidi ekspor tertinggi adalah di Uni Eropa yang mencapai hampir 90 persen dari total
nilai subsidi seluruh anggota WTO.
Walaupun cenderung menurun dan masih jauh lebih rendah dari ambang komitmen kepada WTO nilai subsidi ekspor masih tergolong amat besar ( Tabel 2) dan menimbulkan distorsi yang signifikan di pasar dunia. Subsidi ekspor menyebabkan disparitas harga antara pasar dunia dan pasar domestik negara-negara maju. Instrumen subsidi ekspor dapat dipandang sebagai fasilitasi untuk praktik dumping yang dilarang WTO. Tabel 2. Nilai subsidi ekspor seluruh anggota WTO dan Uni Eropa (juta dólar AS). Kelompok Negara I. Seluruh anggota WTO : 1. Komitmen 2. Notifikasi 3. Utilisasi (2/1, persen) II. Uni Eropa : 1. Komitmen 2. Notifikasi 3. Utilisasi (2/1, persen)
1995
1996
1997
1998
1995-1998
21.036 6.852 32,4
19.800 7.857 39,7
17.432 5.931 34,0
12.987 5.533 42,8
71.255 25.134 36,7
14.573 6.058 41,6
13.870 7.088 51,1
12.100 5.262 43,5
8.333 4.849 58,2
48.876 23.257 47,6
Sumber : Dixit, Josling and Blandford (2001).
Subsidi domestik dan subsidi ekspor merupakan insentif dan promosi yang berkontribusi terhadap peningkatan produksi produk pertanian di Amerika Serikat dan Uni Eropa serta sekaligus menekan harga di pasar dunia. Anjlok harga dunia telah menimbulkan kerugian amat besar terhadap petani di negara-negara sedang berkembang dan ancaman serius terhadap
37
sistem ketahanan pangan mereka. Penghapusan subsidi yang distortif
tersebut akan secara
nyata meningkatkan harga produk-produk pertanian di pasar dunia (Tabel 3). Dengan perkataan lain, harga dunia yang amat rendah saat ini dan melimpahnya produk pertanian di negaranegara maju merupakan akibat dari praktek persaingan tidak sehat dan tidak adil. Oleh karena itu, selama selama subsidi domestik dan ekspor di negara-negara maju masih tetap besar, selama itu pula negara-negara sedang berkembang berhak atas kebijakan diskresi untuk secara bebas menetapkan kebijakan penyelamatan bagi beberapa produk strategis atau special products.
Tabel 3. Peningkatan Harga Produk Pertanian Di Pasar Dunia Pada Berbagai Skenario Liberalisasi (%).
Komoditas Terigu Beras Biji-bijian lain Sayuran dan benih Minyak nabati Gula Tanaman lain Produk peternakan Makanan olahan
Liberalisasi penuh
Penghapusan tarif global
18,1 10,1 15,2 8,2 11,2 16,4 5,6 23,3 7,6
3,4 5,9 1,4 4,9 3,1 10,9 4,2 12,2 4,8
Penghapusan subsidi domestik OECD 12,0 2,4 12,2 -0,1 7,8 1,6 1,2 5,2 1,8
Penghapusan subsidi ekspor global 2,0 1,5 0,6 3,0 0,1 3,3 0,1 3,1 1,0
Sumber : Diao, Somwanu and Roe (2002).
2.
Kebijakan negara-negara maju telah menimbulkan dampak menghancurkan sektor pertanian dan perekonomian desa di negara-negara sedang berkembang
terhadap
Kebijakan negara-negara maju untuk terus menberikan subsidi dan proteksi kepada petani domestiknya terbukti telah menimbulkan dampak menghancurkan terhadap sektor pertanian, yang berarti pula perekonomian desa dan kemiskinan petani, di negara-negara sedang berkembang. Secara keseluruhan, kebijakan perdagangan negara-negara maju telah menyebabkan para petani dan pengusaha agroindustri di negara-negara sedang berkembang menderita kehilangan pendapatan sebesar 23,486 milyar dolar AS per tahun (Tabel 4). Ini masih berupa perkiraan minimal yang belum memperhitungkan efek dinamis dan efek keterkaitan dengan sektor-sektor lain. Oleh karena merupakan penyedia utama lapangan kerja dan motor penggerak perekonomian desa, dapat dipastikan anjloknya produksi pertanian dan agroindustri berdampak amat buruk terhadap kehidupan penduduk maupun perekonomian desa. Persoalan menjadi semakin parah karena penduduk miskin di negara-negara sedang berkembang terutama menggantungkan kehidupannya pada usaha pertanian dan atau agribisnis. Dapat dipastikan kebijakan perdagangan negara-negara maju telah menimbulkan kesengsaraan bagi jutaan atau mungkin milyaran penduduk. Hal ini jelas bertentangan dengan kesepakatan global untuk
38
menurunkan jumlah penduduk miskin sebagaimana dituangkan dalam deklarasi milenium development goals (MDG) oleh Perserikatan Bangsa-bangsa. Tabel 4. Dampak Kebijakan Liberalisasi Perdagangan Negara-Negara Maju Terhadap Pendapatan Dan Produksi Pertanian Primer Dan Agroindustri Di Negara-Negara Sedang Berkembang (juta dolar AS). Liberalisasi Perdagangan Kawasan Subsahara Afrika Asia Amerika Latin dan Karibia Negara berkembang lain Seluruh negara sedang berkembang
Amerika Serikat
Uni Eropa
455 2.186 2.896 1.148 6.684
Jepang dan Korea
1.290 2.099 4.480 5.069 12.936
150 2.346 607 339 3.442
Seluruh negara industri 1.945 6.624 8.258 6.659 23.486
Sumber : IFPRI (2003).
3.
Kebijakan negara-negara maju telah menyebabkan fundamental ekonomi makro negaranegara sedang berkembang semakin rawan (vulnerable). Konsisten dengan penurunan produksi, kebijakan perdagangan pertanian negara-negara
maju juga menimbulkan dampak amat buruk terhadap neraca perdagangan negara-negara sedang berkembang. Kebijakan perdagangan negara-negara maju tersebut telah banyak menyebabkan negara-negara sedang berkembang menderita kerugian penurunan neraca perdagangan produk pertanian sebesar 60,8 milyar dolar AS per tahun. Penghapusan proteksi dan subsidi negara-negara maju dapat meningkatkan neraca perdagangan produk pertanian negara-negara sedang berkembang menjadi tiga kali lipat (Tabel 5). Hal ini telah menyebabkan kerawanan neraca pembayaran (balance of payments) negara-negara sedang berkembang yang penurunan devisanya terutama berasal dari ekspor produk pertanian. Tabel 5. Dampak kebijakan perdagangan negara-negara maju terhadap neraca perdagangan negara-negara sedang berkembang (milyar dolar AS per tahun). Liberalisasi perdagangan Kawasan Subsahara Afrika Asia Amerika Latin dan Karibia Negara berkembang lain Seluruh negara berkembang
Amerika Serikat
Uni Eropa
8,1 12,7 37,1 (29,4) 31,4
9,6 15,6 29,2 (21,4) 42,6
Sumber : IFPRI (2003).
39
Jepang dan Korea 7,6 15,6 32,5 (30,1) 25,7
Nilai 10,7 22,8 46,4 (9,1) 60,8
Peningkatan (%) 45 85 47 38 198
Bagi negara-negara sedang berkembang dimana sektor pertanian masih cukup dominan dalam penciptaan Produk Domestik Bruto (PDB), penyediaan lapangan kerja dan perolehan devisa, maka dampak kebijakan proteksi dan subsidi pertanian negara-negara maju tentu jauh lebih buruk lagi. Kebijakan proteksi dan kebijakan perdagangan negara maju tidak saja melumpuhkan perekonomian desa tetapi juga perekonomian makro secara keseluruhan. Fundamental ekonomi makro yang rawan amat beresiko terperosok kedalam krisis ekonomi yang dapat berkelanjutan menjadi krisis multi dimensi ekonomi-sosial politik. Kebijakan subsidi dan proteksi negara-negara maju bersifat ofensif terhadap negaranegara sedang berkembang (beggar they neighbour policy). Kebijakan they neighbour policy sungguh tidak etis dan tidak adil. Oleh karena itu, negara-negara sedang berkembang memiliki hak membela diri. Proposal special products dapat dipandang sebagai
dasar untuk
mempertahankan hak azasi untuk membela diri (the right to protect) atas kebijakan ofensif negara lain (Khan, et.al, 2003). 4.
Fasilitas perlindungan keselamatan khusus (special safeguard) yang tersedia di dalam kesepakatan pertanian Putaran Uruguay yang kurang memadai dan pemanfaatannya amat sukar bagi negara-negara sedang berkembang. Dalam kesepakatan pertanian Putaran Uruguay (Article 5) dan Article XIX GATT
(Agreement on Safeguards) memang tersedia mekanisme perlindungan keselamatan khusus (special safeguard = SSG) yang dapat digunakan setiap negara anggota untuk melakukan kebijakan ” penyelamatan ” bila implementasi komitmen WTO menimbulkan dampak berbahaya (injury) seperti lonjak impor (import surge) dan atau anjlok harga (sharp price fall). Pada kondisi demikian, negara yang memenuhi syarat dapat menetapkan tarif impor tambahan, menunda atau memperlambat proses tarifikasi. Fasilitas perlindungan ini memang tersedia untuk semua anggota WTO. Namun demikian, mekanisme SSG amat sukar dimanfaatkan negara-negara sedang berkembang karena setidaknya tiga alasan : a. Proses administratif pemanfaatan SSG cukup rumit, membutuhkan dana, kapasitas institusi dan kemampuan legal yang cukup tinggi (Matthews, 2003 ; Khan, et.al. 2003). b. Karena prosesnya panjang, kerusakan (injury) sudah terjadi lama sebelum instrumen perlindungan efektif (Konandreas, 2000). c. SSG bersifat terbatas, hanya berlaku untuk produk yang sedang mengalami proses tarifikasi dalam rangka memenuhi ketentuan WTO. d. SSG bersifat khusus resiko, yakni menanggulangi banjir impor (import surge) dan anjlok harga. e. SSG berlaku sementara (selama proses penyesuaian tarifikasi). Dengan persyaratan demikian, tidak semua negara sedang berkembang dapat memanfaatkan mekanisme SSG. Kalaupun dapat, hanya sejumlah produk tertentu saja yang
40
dapat dilindungi dengan fasilitas SSG. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 6, SSG hanya tersedia untuk 38 negara anggota, 22 negara diantaranya merupakan negara sedang berkembang. Ironisnya jumlah produk yang dapat dilindungi dengan fasilitas SSG lebih banyak untuk negara-negara maju daripada negara-negara sedang berkembang. Dari total 6.072 produk layak lindung SSG, hanya 1.930 (31,8 %) terbuka untuk
negara-negara
sedang
berkembang, sementara negara-negara maju 4.142 (68,2 %).
Tabel 6. Daftar Negara Dan Jumlah Produk Yang Dapat Memperoleh Perlindungan SSG.
Australia (10)
El Savador (84)
Mexico (293)
Slovak
Barbados (37)
EC 15 (539)
Marocco (274)
(114)
Bostwana (161)
Guatemala (107)
Namibia (166)
South Africa (166)
Bulgaria (21)
Hungary (117)
New Zealand (4)
Swaziland (166)
Canada (150)
Iceland (462)
Nicaragua (21)
Switzerland (961)
Colombia (56)
Indonesia (13)
Norway (581)
Thailand (52)
Costa Rica (87)
Israel (41)
Panama (6)
Tunisia (32)
Phillipines (118)
United States (189)
Czech
Republic Japan (121)
Republic
(236)
Korea (111)
Poland (144)
Uruguay (2)
Ecuador (7)
Malaysia (72)
Romania (175)
Venezuela (76)
Catatan : Angka didalam kurung adalah jumlah produk.
Baik dari segi eligibilitas dan cakupan produk maupun dari segi kemampuan institusional dan legal, fasilitas SSG dalam kesepakatan pertanian tidak berimbang, bias,
lebih
menguntungkan negara-negara maju. Dengan berbagai keterbatasan dan dan ketidakadilan itulah
perlu ada kesepakatan baru yang memungkinkan semua negara-negara sedang
berkembang dapat dengan cepat, mudah dan murah melakukan tindakan atau kebijakan penyelamatan terhadap ancaman perusakan oleh anjlok harga atau banjir impor akibat implementasi kesepakatan pertanian. Proposal special products adalah opsi yang tepat untuk itu. 5.
Segera setelah kesepakatan pertanian (agreement on agriculture) WTO mulai di implementasikan, harga produk pertanian cenderung menurun tajam dan berkelanjutan dan insiden banjir impor (import surge) pangan di negara-negara sedang berkembang meningkat drastis. Periode implementasi kesepakatan pertanian (agreement on agriculture) WTO ditandai
oleh munculnya fenomena trend penurunan harga prooduk-produk pertanian di pasar dunia secara tajam dan berkelanjutan, tidak saja dalam nilai riil tapi juga dalam nilai nominal. Sebagai gambaran, selama periode tahun 1996-2003, harga riil beras anjlok lebih dari 50 persen, harga
41
riil jagung hampir 50 persen, harga riil kedele sekitar 30 persen, sedangkan harga riil gula sekitar 20 persen (Tabel 7, Tabel 8, Gambar 1, Gambar 2). Dapat dipastikan, anjlok harga ini meruoakjan akibat dari liberalisasi perdagangan dan persaingan tidak sehat. Kecendrungan penurunan harga dunia yang demikian tajam dan berkelanjutan merupakan ancaman permanen yang amat membahayakan bagi negara-negara sedang berkembang, tidak saja yang berstatus importir netto, tetapi juga yang termasuk eksportir utama dunia. Kesepakatan pertanian WTO telah membuat sektor pertanian dan agroindustri di negaranegara sedang berkembang semakin rawan (vulnerable) terhadap ancaman anjlok harga berkepanjangan. Keharusan membuka pasar telah menyebabkan dinamika harga dunia ditransasksikan langsung dan sempurna ke pasar konsumen maupun petani produsen di seluruh negara-negara anggota WTO. Petani di negara-negara maju maju jelas mampu bertahan menghadapi anjlok harga berkepanjangan tersebut karena tidak saja memiliki skala usaha yang amat besar tetapi juga karena mereka memperoleh subsidi dan proteksi yang amat besar. Sebaliknya petani di negaranegara sedang berkembang umumnya berupa usahatani keluarga berskala kecil dan, kalaupun ada, memperoleh subsidi dan proteksi amat kecil. Dengan demikian, dampak kecendrungan penurunan harga produk pertanian di pasar dunia berdampak jauh lebih buruk terhadap petani, sektor pertanian dan perekonomian desa di negara-negara sedang berkembang daripada di negara-negara maju.
42
Tabel 7. Perkembangan Harga Beras Thai 25 %, Kedele, Jagung dan Gula Internasional 1995-2003.
Tahun
Nominal Thai 25 %
Nominal Nominal Nominal Kedele
Jagung
( US$/MT) 1995 304.50 259.17 123.49 1996 331.80 304.83 165.82 1997 289.96 295.40 117.11 1998 275.99 242.83 101.99 1999 216.21 201.67 90.23 2000 172.83 211.83 88.63 2001 152.85 195.83 90.45 2002 174.93 212.67 99.58 2003 180.94 257.27 105.28 Rataan 233.33 242.39 109.18 Sumber : World bank (2003).
Gula 44.03 49.31 48.36 48.64 46.60 42.76 47.04 46.12 47.76 46.73
Riil Thai 25 %
IHK 84 = 100 152.38 156.86 160.53 163.01 166.58 172.19 177.03 179.78 183.99 168.04
199.67 211.60 180.73 169.33 129.88 100.46 86.34 97.31 98.35 141.52
43
Riil
Riil
Riil
Kedele Jagung
Gula
( US$/MT) 170.02 80.98 194.37 105.82 184.07 72.96 149.03 62.59 121.09 54.19 123.05 51.50 110.63 51.10 118.22 55.36 139.77 57.22 145.58 65.75
28.85 31.44 30.12 29.84 27.99 24.82 26.57 25.65 25.96 27.92
Tabel 8. Perkembangan Harga Beras Thai 25 %, Kedele, Jagung dan Gula 1996-2003, 1996 = 100.
Harga Nominal Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Thai 25 % 100.00 87.39 83.18 65.16 52.09 46.07 52.72 54.53
Kedele Jagung ( US$/MT) 100.00 100.00 96.91 70.63 79.66 61.51 66.16 54.41 69.49 53.45 64.24 54.55 69.76 60.06 84.40 63.49
Harga Riil Gula 100.00 98.07 98.65 94.50 86.72 95.39 93.52 96.87
IHK USA, 1984 = 100 100.00 102.34 103.92 106.19 109.78 112.86 114.61 117.30
Thai 25 % 100.00 85.41 80.02 61.38 47.47 40.80 45.99 46.48
Sumber : WorldBank, (2003).
44
Kedele Jagung
Gula
( US$/MT) 100.00 100.00 94.70 68.95 76.67 59.15 62.30 51.21 63.31 48.66 56.92 48.29 60.82 52.32 71.91 54.08
100.00 95.82 94.92 89.05 78.94 84.52 81.58 82.58
Grafik Indek Harga Riil Internasional Beras Thai 25%, Kedele, Jagung dan Gula 1996 - 2003, 1996 = 100 110.00
100.00
90.00
Indek (%)
80.00
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00 1996
1997
1998
1999
2000
2001
Tahun Beras Thai 25 %
Kedele
45
Jagung
Gula
2002
2003
Grafik Indek Harga Nominal Internasional Beras Thai 25%, Kedele, Jagung dan Gula 1996 - 2003, 1996 = 100 110.00
100.00
90.00
Indek (%)
80.00
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00 1996
1997
1998
1999
2000
2001
Tahun Beras Thai 25%
Kedele
46
Jagung
Gula
2002
2003
Tabel 9. Kasus Insiden Banjir Impor Pangan Di Negara-Negara Sedang Berkembang. Negara Bangladesh Benin Bostwana Burkina Faso Cape verde Comoros Cote d’Ivoire Dominican Republic Guinea GuineaBissau Haiti Honduras Jamaica Kenya Madagascar Malawi Mali Mauritania Mauritius Marocco Niger Peru Philippines Togo Uganda Unitred Republic of Tanzania Zambia
9 3 0 4
Minyak nabati 7 3 6 3
Daging sapi 5 6 4 8
Daging babi 6 7 9 8
Daging ayam 2 8 7 6
3 7 7 4
6 5 4
3 4 0
5 6 9
7 5 7
11 3 7
10 11 10
3 4 3
2
-
0
3
8
6
6
3
6 6
5 10
8 2
9 6
7 6
5 5
9 9
6 4
1 8 3 11 8 7 4 5 2 6 8 3 7 6 10 8
2 5 4 3 5 3 5 2 0 4 7 4 9 8 4 5
4 0 3 5 7 9 5 4 2 10 9 4 7 7 8 6
7 8 9 7 5 7 8 5 1 0 8 4 9 7 11 10
4 6 3 4 3 5 8 4 7 5 5 4 12 3 4 6
9 8 6 6 8 7 8 5 9 6 9 9 3 3 7
8 11 3 5 5 10 5 9 6 13 5 9 14 8 2 4
5 3 1 4 5 2 7 2 0 0 6 6 5 5 1 5
4
2
4
4
8
8
5
6
Terigu
Beras
Jagung
5 6 6 6
6 4 4 9
3 4 1
Susu
Sumber : FAO (2003).
Perbedaan antara keharusan membuka pasar dan anjlok harga di pasar dunia telah menyebabkan banyak negara-negara sedang berkembang kebanjiran impor (import surge). Ironisnya, banjir impor terutama terjadi untuk produk bahan makanan utama sumber energi, protein dan vitamin. Bukti empiris di tentang fenomena tingginya frekuensi banjir impor di tunjukkan pada Tabel 9. Secara rata-rata, insiden impor terjadi sekali dalam tiga tahun. Penelitian yang dilakukan oleh FAO (2003) tersebut juga menyimpulkan bahwa frekuensi insiden banjir impor tersebut terjadi lebih sering setelah periode tahun 1994, pasca implementasi kesepakatan pertanian WTO.
47
Insiden banjir impor merupakan salah satu indikator utama faktor resiko sistem ketahanan pangan nasional. Banjir impor yang terjadi berkelanjutan menyebabkan melonjaknya ketergantungan terhadap bahan pangan impor atau anjloknya kemandirian pangan yang berdampak pada semakin rawannya (vulnerable) sistem ketahanan pangan nasional terhadap ketersediaan dan fluktuasi harga produk pangan di pasar dunia. Ketahanan pangan nasional semakin rawan terhadap kebijakan strategis (misalnya penggunaan ekspor pangan sebagai senjata politik) oleh negara-negara eksportir pangan utama. Fenomena peningkatan insiden banjir impor di negara-negara sedang berkembang merupakan bukti empiris yang tak terbantahkan bahwa mekanisme SSG yang terdapat dalam kesepakatan pertanian (AoA) tidak efektif untuk mencegah dampak negatif liberalisasi perdagangan terhadap sistem ketahanan pangan negara-negara sedang berkembang. OPSI CARA PENETAPAN PRODUK STRATEGIS Setidaknya ada empat proposal mengenai cara penetapan produk strategis yang layak dijadikan sebagai “ Special Products “ 1.
Pendekatan daftar positif (positive list approach) Negara-negara sedang berkembang menetapkan sendiri (self-declared) produk-produk pertanian apa saja yang termasuk dalam dan tunduk kepada kesepakatan WTO
2.
Pendekatan daftar negatif (negative list approach) Negara-negara sedang berkembang menetapkan sendiri (self-declared) sejumlah terbatas produk strategis yang dikecualikan dari kesepakatan pertanian WTO.
3.
Pendekatan kelompok produk (product grouping definition) Sejumlah terbatas produk dalam suatu kelompok, misalnya kelompok serealia, termasuk beras, ditetapkan layak mendapatkan status perlakuan khusus dan berbeda (special and differential treatment).
4.
Pendekatan kriteria obyektif (objective criteria approach). Komoditas strategis yang layak dijadikan sebagai Special Products ditetapkan berdasarkan kriteria obyektif, dapat diukur secara kuantitatif, serta menggunakan data empiris yang tersedia di negara-negara sedang berkembang pada umumnya dan terbuka bagi siapa saja. Opsi-1 dan opsi-2 dapat dilakukan dengan suatu kriteria tertentu. Opsi-1 misalnya dapat
menggunakan kriteria umum ambang atas pangsa ekspor di pasar dunia. Opsi-2 antara lain dapat menggunakan batasan makanan pokok. Namun demikian, kedua opsi ini bersifat subyektif. Selain itu, jumlah produk yang potensial layak dijadikan Special products mungkin terlalu banyak sehingga dipandang sebagai suatu kemunduran dari keberhasilan kesepakatan pertanian WTO.
48
Opsi-3 dapat ditetapkan berdasarkan konsensus umum, untuk keperluan jaminan ketahanan pangan. Kesulitannya, kalau hanya berdasarkan kriteria bahan makanan pokok maka produk lain yang mungkin saja memiliki peran strategis untuk kehidupan masyarakat miskin menjadi tidak layak sebagai “ Special Products” . Selain itu, kriteria yang digunakan terlalu umum, sehingga yang layak dijadikan sebagai “ Special Products “ mungkin terlalu banyak. Opsi-4 bersifat obyektif sehingga dapat dijadikan sebagai pedoman umum yang dapat diuji oleh siapapun. Masalahnya ialah bagaimana menetapkan indikator dan kriteria yang dapat diterima semua pihak. Indikator komoditas strategis
mungkin berbeda bagi setiap negara
tergantung pada kondisi ekonomi, sosial dan politik masing-masing negara. Selain itu, data statistik untuk perhitungan indikator belum tersedia di semua negara sedang berkembang. Setiap opsi mengandung kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dilihat dari segi kepraktisan Opsi-2, pendekatan daftar negatif, mungkin merupakan cara paling sesuai untuk menetapkan komoditas strategis yang layak dijadikan sebagai Special Products. Dalam konteks ini, setiap negara sedang berkembang diperbolehkan menetapkan sendiri (self-declared), sejumlah terbatas komoditas strategis yang amat sangat menentukan ketahanan pangan nasionalnya. Batasan jumlah produk dapat ditetapkan berdasarkan konsensus perundingan, sedangkan pemilihan produk dilakukan dengan kriteria obyektif tertentu. Barangkali, pendekatan inilah yang dilakukan oleh Indonesia dalam menetapkan beras, jagung, kedele dan gula sebagai komoditas strategis pada putaran perundingan terdahulu. Walaupun cukup pragmatis dan layak diusulkan negara-negara sedang berkembang, pendekatan Opsi-2 dengan pendekatan luas tersebut mendapatkan tantangan keras dari negara-negara maju. Negara-negara maju hanya mau mempertimbangkan proposal “ Special Products “ jika penetapan produk strategis yang layak mendapat perlakuan khusus dan berbeda dilakukan berdasarkan kriteria obyektif (opsi-4). Indikatir dan kriteria haruslah di tetapkan berdasarkan kerangka pikir yang logis, mengacu pada tujuan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia (basic needs), dapat diukur secara kuantitatif, dengan data yang tersedia di setiap negara dan dapat diakses oleh semua pihak. Desakan untuk mempergunakan pendekatan kriteria obyektif (opsi-4) dapat dipahami sebagai strategi untuk membatasi jumlah produk yang layak dijadikan sebagai “ Special Products “. Pandangan ini wajar karena jika jumlah produk kategori “ Special Products “ terlalu banyak maka kesepakatan pertanian mengalami kemunduran. Selain itu, dengan pendekatan kriteria obyektif maka penilaian, memonitoring dan evaluasi kelayakan “ Special products “ dapat dilakukan oleh semua pihak berkepentingan. Namun demikian, penurunan indikator dan kriteria yang valid, praktis, dan dapat diterima semua anggota WTO bukanlah pekerjaan mudah.
49
INDIKATOR DAN KRITERIA OBYEKTIF PRODUK STRATEGIS Metoda obyektif dalam penetapan produk strategis yang layak dijadikan “ Strategic Products “ haruslah dirancang dengan kisi-kisi pokok sebagai berikut : 1.
Berlaku umum (generalized application). Metode yang dibuat haruslah diterima dan berlaku bagi setiap anggota WTO yang layak mendapatkan perlakuan khusus dan berbeda (special and differential treatment) yakni seluruh negara-negara sedang berkembang. Syarat ini mutlak harus dipenuhi sebagai implementasi dari prinsip dasar persamaan hak, kewajiban dan perlakuan bagi semua anggota WTO. Oleh karena itu, indikator dan kriteria haruslah memenuhi syarat-syarat berikut : a.
Berkorelasi erat atau koheren dengan tujuan pembangunan yang secara universal telah disiapkan sebagai prioritas pembangunan global yakni pemantapan ketahanan pangan (food security), kehidupan penduduk (people livelihood), serta pembangunan desa yang stabil dan berkelanjutan (stable and sustainable rural development).
b.
Dapat diukur secara kuantitatif dengan prosedur sederhana dan mudah. Untuk itu, indikator terpilih haruslah didasarkan pada variabel yang telah umum digunakan dalam evaluasi kinerja pembangunan negara-negara sedang berkembang. Rumusrumus perhitungan indikator dan penetapan kriteria haruslah sesederhana mungkin sehingga perhitungan dapat dilakukan oleh juru runding atau teknisi umum dengan cepat.
2.
Dapat dijadikan dasar
pemikiran obyektif (objective judgment) oleh semua pihak
berkepentingan. Prinsip ini dimaksudkan agar penetapan komoditas strategis tidak dilakukan secara sembarangan oleh anggota WTO yang layak untuk mendapatkan perlakuan khusus dan berbeda. Semua pihak yang berkepentingan dapat melakukan pengujian apakah usulan produk strategis memang sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati. Oleh karena itu, indikator yang digunakan haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Didasarkan pada variabel yang data statistiknya tersedia di seluruh negara-negara sedang berkembang. b. Data statistik yang diperlukan dapat diakses oleh semua pihak yang berkepentingan. 3.
Selektif. Indikator dan kriteria yang digunakan harus bersifat selektif sehingga jumlah produk yang memenuhi syarat sebagai komoditas strategis terbatas pada yang benar-benar amat sangat penting saja. Pembatasan jumlah produk amat penting, karena kalau tidak, kesepakatan pertanian WTO akan mengalami kemunduran nyata. Hal ini jelas akan mendapatkan tantangan luas dari anggota-anggota dominan WTO. Untuk itu, kriteria
50
batasan ambang (threshold) penentuan komoditas strategis haruslah didasarkan pada norma konsensus historis, bukti empiris atau bukti akademis. 4.
Kondisional. Keberadaan suatu poroduk sebagai komoditas strategis atau Special Products bersifat tidak permanen, sepanjang masa. Peran strategis suatu produk bersifat
dinamis
meningkat atau minimum, tergantung pada kondisi struktur dan tingkat kemajuan negara bersangkutan. Jumlah dan jenis produk yang memenuhi syarat sebagai produk pertanian strategis dapat berubah menurut waktu. Oleh karena itu, indikator yang digunakan dapat berlaku untuk setiap komoditas pertanian, di setiap negara, pada setiap tahapan pembangunan. Telah dikemukakan, tiga tujuan pembangunan yang secara universal diterima sebagai prioritas dan mutlak untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, di negara-negara sedang berkembang khususnya, yakni ketahanan pangan (food security), penghapusan kemiskinan / peningkatan kualitas hidup manusia (poverty eradication / people livelihood improvement), dan pembangunan desa berkelanjutan (sustainable rural development). Ketiga prioritas tujuan pembangunan tersebut saling berkaitan. Ketahanan pangan aling pengaruhmempengaruhi dengan kemiskinan maupun dengan pembangunan desa. Walaupun demikian, kiranya dapat diidentifikasi variabel pembangunan atau indikator yang paling berkorelasi erat dengan setiap tujuan pembangunan tersebut. Indikator yang paling tepat untuk mencirikan peranan suatu produk dalam pemantapan ketahanan sistem pangan ialah kontribusinya dalam penyediaan zat gizi, utamanya kalori dan protein, bagi penduduk. Tegasnya, kontribusi suatu produk dalam penyediaan total kalori dan atau protein secara nasional dapat merupakan indikator yang tepat untuk peranan ketahanan pangan. Data statistik untuk itu tersedia untuk semua negara dalam pengkalan data FAO sehingga dapat dihitung secara empiris dan berlaku umum untuk semua negara. Indikator yang paling sesuai untuk mengukur peranan suatu produk pertanian dalam pengentasan kemiskinan atau perbaikan kehidupan penduduk (poverty eradication and people livelihood improvement) ialah kontribusinya dalam penciptaan lapangan kerja. Perolehan lapangan kerja merupakan syarat mutlak untuk memperoleh pendapatan, yang berarti syarat mutlak untuk penghapusan kemiskinan dan perbaikan tingkat kehidupan ekonomi. Kontribusi (pangsa dalam persen) suatu produk dalam total serapan tenaga kerja sektor pertanian dapat dijadikan sebagai ukuran derajat peran strategisnya dalam penghapusan kemiskinan dan atau perbaikan kualitas kehidupan ekonomi penduduk. Peran suatu produk pertanian dalam dinamisasi perekonomian desa dapat diukur berdasarkan kontribusniya dalam total nilai hasil produk pertanian. Perekonomian desa umumnya berbasis pada usaha pertanian. Jika demikian halnya, besaran perekonomian suatu desa ditentukan oleh nilai produksi hasil usaha pertanian yang ada di desa tersebut. Semakin
51
tinggi pangsa suatu produk pertanian dalam total nilai produksi pertanian, semakin penting peranan produk tersebut dalam mendinamisasi perekonomian desa secara nasional. Kontribusi yang diukur dengan persentase pangsa menunjukkan peranan relatif dalam nilai absolut pada suatu waktu tertentu. Selain dalam nilai absolut, kinerja pembangunan juga diukur berdasarkan derajat kerawanan (vulnerability), kerapuhan (fragility), dan keberlanjutan (sustainability). Derajat kerawanan dapat diukur dengan indikator ketergantungan impor (import dependenc). Semakin besar ketergantungan terhadap impor, semakin rentan produk tersebut terhadap cekaman gejolak pasar internasional. Kerapuhan (fragility) menunjukkan derajat ketahahan suatu produk dalam menghadapi gejolak pasar internasional. Kerapuhan antara lain dapat diukur dengan fluktuasi insiden banjir impor (import surge incidence). Insiden banjir impor mencerminkan ketidakmampuan suatu produk dalam menghadapi desakan penetrasi produk pesaing dari negara lain. Semakin tinggi fluktuasi, insiden banjir impor suatu produk, semakin rapuh eksistensi usaha atau produk tersebut di dalam negeri. Keberlanjutan (sustainability) merupakan indikator eksistensi usaha atau produksi domestik dalam jangka panjang. Secara sederhana, keberlanjutan dapat di ukur berdasarkan trend produksi menurut waktu.
Produk yang volume produksinya semakin menurun
berkepanjangan merupakan petunjuk produk tersebut sedang dalam ancaman keberlanjutan eksistensi. Semakin tinggi trend laju penurunan produksi, semakin cepat produk tersebut mencapai titik kepunahannya. Koefisien trend pertumbuhan produksi dapat dihitung dengan regresi sederhana. Berdasarkan uraian diatas, diusulkan 6 (enam) indikator penciri produk strategis, yaitu : 1. Persentase pangsa dalam nilai total produksi pertanian domestik (peranan dalam perekonomian desa). 2. Presentase pangsa dalam penyediaan zat gizi, kalori dan protein (peranan dalam ketahanan pangan). 3. Persentase pangsa dalam total serapan tenaga kerja sektor pertanian (peranan dalam pengentasan kemiskinan atau kehidupan penduduk). 4. Ketergantungan terhadap impor (kerentanan). 5. Insiden banjir impor (kerapuhan). 6. Trend pertumbuhan (keberlanjutan).
Tiga indikator pertama menunjukkan kontribusi relatif suatu produk dalam menentukan dinamika perekonomian desa, memantapkan ketahanan pangan dan peningkatan kesejahteraan ekonomi penduduk, tiga indikator utama yang disepakati luas sebagai tujuan utama pembangunan pertanian. Pertanyaan selanjutnya ialah apa kriteria yang tepat untuk menetapkan signifikan tidaknya kontribusi tersebut ?. Dalam hal ini norma yang dapat digunakan antara lain ialah derajat nyata yang umum dipakai dalam statistik :
52
a. Kurang dari 5 persen
: kontribusi tidak nyata
b. 5-10 persen
: kontribusi nyata
c. Lebih dari 10 persen
: kontribusi besar.
Berdasarkan norma tersebut, kriteria yang dapat dipakai untuk menetapkan suatu produk layak disebut sebagai komoditas strategis adalah sebagai berikut : a. Berkontribusi besar (pangsa lebih dari 10 persen) dalam setidaknya satu dari tiga indikator tujuan pembangunan pertanian. b. Berkontribusi nyata (pangsa lebih dari 5 persen) dalam setidaknya dua dari tiga indikator tujuan utama pembangunan. Jika untuk setiap poin persentase diberi nilai skor satu, maka ambang minimum jumlah skor kontribusi agar suatu produk memenuhi syarat kecukupan sebagai produk strategis adalah 10 (Tabel 10). Ketergantungan terhadap impor dihitung sebagai rasio (persen) nilai impor di dalam total konsumsi (pasokan) domestik. Usaha produksi domestik atau sistem ketahanan pangan nasional dikatakan rawan terhadap gejolak pasar dunia jika ketergantungan impor lebih dari 10 persen. Jika untuk setiap poin persentase ketergantngan impor diberi nilai skor satu, maka kriteria ambang maksimum agar suatu produk pertanian dapat dikatakan rawan terhadap proses liberalisasi sehingga layak di lindungi melalui perlakuan Special Products adalah 10. Insiden banjir impor (import surge) diidentifikasi sebagai kasus lonjak impor yang mencapai lebih dari 20 persen diatas rata-rata bergerak 5 tahun (5-year moving average). Insiden banjir impor merupakan cermin kerapuhan (fragility) usaha produksi domestik terhadap penetrasi barang impor. Insiden banjir impor dihitung untuk suatu periode yang cukup panjang (15-20 tahun). Suatu produk dikatakan rapuh jika frekuensi insiden banjir impor mencapai 25 persen atau lebih. Trend pertumbuhan produksi adalah laju pertumbuhan eksponensial sejak tahun 1995 (pasca implementasi kesepakatan WTO). Dalam prakteknya, laju pertumbuhan di hitung sebagai hasil dugaan koefisien regresi logaritma produksi terhadap tahun. Suatu produk dikatakan berada dalam ancaman ketidakberlanjutan eksistensi jika koefisien pertumbuhan nyata dan bertanda negatif. Rangkuman indikator dan kriteria Special products ditampilkan pada Tabel 10. Tabel 10. Indikator dan kriteria produk strategis (SP). 1. 2.
3. 4. 5. 6. 7.
Indikator Pangsa dalam nilai produksi pertanian Pangsa dalam nilai zat gizi (max, a,b) a. Kalori b. Protein Pangsa dalam penyerapan tenaga kerja pertanian Jumlah pangsa (1+2+3) Ketergantungan terhadap impor Frekuensi banjir impor Trend pertumbuhan produksi
53
Kisaran skor 0-100 0-100
Kriteria SP > 10 > 10
0-100
> 10
0-300 0-100 0-100
> 10 > 10 > 25 Negatif
Uji kelayakan Beras, Jagung, Kedele dan Gula Sebagai Produk Strategis Bagi Indonesia Metode obyektif penentuan produk strategis yang telah dirumuskan pada bagian terdahulu selanjutnya di pergunakan untuk menguji kelayakan beras, jagung, kedele dan gula sebagai produk strategis bagi Indonesia sebagaimana telah dideklarasikan secara subyektif oleh delegasi pemerintah pada putaran perundingan WTO . Evaluasi dengan metode obyektif ini amat penting sebagai bahan pertimbangan bagi delegasi pemerintah Republik Indonesia (DELRI) dalam perundingan lanjutan di masa mendatang. Hasil perhitungan indikator kontribusi dalam nilai produksi pertanian (pembangunan desa), konsumsi zat gizi (ketahanan pangan) dan penyerapan tenaga kerja (pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan) ditampilkan pada Tabel 11. Beras terbukti sebagai kontributor utama (major contributor) untuk ketiga indikator tujuan utama pembangunan. Nilai produksi beras mencapai 28,28 persen dari total nilai produksi pertanian yang berarti beras merupakan mesin penggerak sebagian besar perekonomian desa. Beras merupakan penyumbang utama zat gizi, baik kalori (51,42 persen) maupun protein (43,39 persen). Agribisnis beras juga penyumbang utama lapangan kerja sektor pertanian dengan pangsa 30 persen. Tidak dapat terbantahkan beras merupakan komoditas strategis bagi Indonesia. Tabel 11. Kontribusi Beras, Jagung, Kedele dan Gula Dalam Indikator Kinerja Pembangunan.
Komoditi
Nilai produksi pertanian (%) 1
Konsumsi zat gizi (%) Kalori Protein
Penyerapan tenaga kerja
Jumlah skor
2
3
4
5 = 1+Max(2,3)+4
28.28 *
51.42 *
43.39 *
29.64 *
109.34 *
Jagung
2.86
8.23
3.36
5.70
16,79 *
Kedele
2.83
2.75
11.60 *
5.59
20.02 *
Gula
3,27
6,19
0,07
2,42
12,88 *
Beras
Catatan Sumber data
: *) menunjukkan kelayakan sebagai produk strategis : Nilai produksi dan serapan tenaga kerja dari Tabel Input-Output 2000, BPS. Konsumsi zat gizi dari Neraca Bahan Makanan, FAO.
Ketergantungan terhadap impor beras tergolong rendah, atau tingkat kemandirian akan beras tergolong tinggi. Namun demikian, frekuensi banjir impor beras tergolong tinggi yakni 40 persen atau dua kali dalam lima tahun selama periode tahun 1982-2001 (Tabel 12). Produksi beras masih mengalami pertumbuhan positif, yang berarti ketidakberlanjutan belum menjadi ancaman nyata. Tingginya insiden banjir impor menunjukkan bahwa usahatani padi atau
54
produksi beras tergolong rapuh. Oleh karena itu, beras amat memerlukan jaring pengaman kebijakan, sehingga layak dimasukkan sebagai ” Special Product ”. Kontribusi jagung, dalam nilai produksi pertanian tergolong kecil, hanya 2,86 persen. Namun sebagai bahan makanan pokok dan penciptaan lapangan pekerjaan kontribusi jagung cukup besar yakni berturut-turut 8,23 persen dan 5,70 persen. Dengan indikator tunggal jagung tidak termasuk produk strategis. Akan tetapi dengan indikator agregat, jumlah kontribusi nilai produksi, zat gizi dan tenaga kerja, jagung memenuhi syarat sebagai komoditas strategis dengan jumlah skor 16,79. Ketergantungan impor terhadap jagung tergolong rendah, hanya 5,89 persen. Produksi jagung juga mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Namun demikian, insiden banjir impor jagung amat tinggi dengan frekuensi 50 persen atau terjadi tiap dua tahun. Usahatani dan produksi jagung termasuk amat rendah sehingga amat rentan terhadap gejolak pasar luar negeri. Oleh karena itu, jagung layak dimasukkan sebagai salah satu produk strategis bagi Indonesia. Kedele merupakan salah satu bahan pangan utama sumber protein bagi penduduk Indonesia dengan kontribusi 11,60 persen. Dengan indikator kontribusi terhadap zat gizi saja, kedele memenuhi syarat sebagai komoditas strategis. Kontribusi dalam nilai produksi pertanian tergolong kecil, hanya 2,83 persen, sedangkan dalam penciptaan lapangan kerja tergolong cukup nyata yakni 5,59 persen. Kedele tergolong rawan dan rentan terhadap gejolak pasar internasional. Tingkat ketergantungan terhadap impor amat tinggi, mencapai 45,69 persen, demikian juga dengan frekuensi insiden banjir impor, yang mencapai 45 persen atau hampir sekali tiap dua tahun. Kedele juga terancam oleh masalah ketidakberlanjutan seperti yang di indikasikan oleh trend pertumbuhan produksi negatif. Dengan demikian, kedele layak dijadikan sebagai salah satu ” Special Products ” bagi Indonesia. Dengan indikator tunggal, gula tidak layak sebagai produk strategis bagi Indonesia. Kontribusi produksi gula dalam nilai produksi pertanian hanya 3,27 persen, kalori 6,19 persen, dan penyerapan tenaga kerja 2,42 persen. Namun demikian, dengan menggunakan indikator agregat, gula layak disebut sebagai komoditas strategis dengan jumlah skor ketiga indikator tunggal 12,88 persen. Ketergantungan terhadap impor gula amat tinggi, yakni 42,05 persen, yang berarti gula amat rawan terhadap gejolak pasar internasional. Frekuensi insiden impor juga amat tinggi, mencapai 60 persen, terjadi tiap dua tahun. Produksi gula juga terancam tidak berkelanjutan sebagaimana ditunjukkan oleh trend produksi yang menurun. Dengan demikian, gula amat mendesak ditempatkan sebagai salah satu ” Special products ” bagi Indonesia.
55
Tabel 12. Indikator Kerawanan, Kerapuhan dan Keberlanjutan Produksi Beras, Jagung, Kedele Dan Gula Komoditi Beras Jagung Kedele Gula
Ketergantungan impor 6.53 5.89 45.69 * 42.05 *
Insiden banjir impor (%) 40 * 50 * 45 * 60 *
Koefisien pertumbuhan produksi 0.22 0,61 -11.04 * -4.09 *
Catatan : *) Diatas ambang kriteria produk strategis 1) Persentase frekuensi periode 1982-2001 2) Trend eksponensial 1996-2001 Sumber data : FAO.
KESIMPULAN Berdasarkan indikator dan kriteria kuantitatif-obyektif yang dirumuskan dalam makalah ini, beras, jagung, kedele dan gula merupakan komoditas strategis yang amat menentukan keberhasilan untuk mewujudkan tujuan utama pembangunan pertanian yakni dinamisasi perekonomian desa, memantapkan ketahanan pangan, serta mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi penduduk. Selain itu, keempat komoditas tersebut rentan dan rapuh terhadap gejolak pasar internasional. Bahkan kedele dan gula sudah dalam cekaman ancaman tidak dapat berkelanjutan. Oleh karena itu, keempat komoditas tersebut layak dijadikan sebagai ” Special Products ” bagi Indonesia. Indonesia perlu kukuh memperjuangkan agar keempat produk strategis tersebut dikecualikan dari perundingan WTO. Konsep, indikator dan kriteria ” Special Products ” yang disusun dalam makalah ini dapat diusulkan sebagai metode kuantitatif-obyektif dalam penetapan ” Special Products ”. Setidaknya, metode ini dapat dijadikan sebagai langkah awal dalam memberi metode yang lebih sesuai. Oleh karena itu, metode ini perlu didiskusikan secara luas sehingga metode yang definitif dapat dirumuskan dan menjadi bahan bagi Delegasi Republik Indonesia dalam putaran Perundingan WTO.
DAFTAR PUSTAKA
Diao, X., E.D. Bonilla, and S. Robinson. 2003. Till me where it hurts, An I Tell You Who to Call. Industrialized Countries Agriculture Policies and Developing Countries. International Food Policy Research Institute, Washington, DC. Dixix, P.T. Josling and D. Blandford. 2001. The Current WTO Agriculture Negotiations : Options for Progress, Synthesis. International Agricultural Trade Research Consortium Commissioned paper No. 18. FAO. 2003. Support to the WTO Negotiations. http :// www. fao. Org / docrep / 005 / y485e1.htm.download on December 4, 2003.
56
FAO. 2003. Some Trade Policy Issues Relating to Trends in Agricultural Imports in the Context of Food Security. Committee on Commodity Problems, 64th Session, Rome 1821 March 2002. Food and Agriculture Organization. IFPRI. 2003. How Much Does It Hurt ? International Food Policy Research Institute. Washington, D.C. Khan, A.A, S. Clarks, D. Green, and T. Rice. 2003. Agriculture Negotiations in the WTO. http : // www.actionaid.org. Download December, 2003. Kwa, A. 2003. WTO Agriculture Talks Set to Exacubate http://www.arema.org.nz/WWthohung. htm. Download December 8, 2003.
Works
Hungry.
Mathews, A. 2003. Special and Differential Treatment Proposals in the WTO Agriculture Negotiations. Contributed paper presented at the International Conference “ Agricultural Policy Reform and the WTO : where are we heading ? Capri (Italy), June, 23-26, 2003. OECD. 2002. Agriculture Policies in OECD Countries. Monitoring and Evaluation 2002. Organization for Economic Co-operation and Development. Paris. Reffer, T. 2003. Special Poducts : thinking through the details. Oxford Policy Management. Valdez, A. 2003. Special Safeguards for Developing Country Agriculture in WTO Negotiations. Contributed paper presented at the International Conference “ Agricultural Policy Reform and the WTO : where are we heading ? Capri (Italy), June 23-26, 2003.
57