JURNAL
SYIAR TANPA SYAIR (Video Dokumenter Tentang Tradisi Sekaten Sebagai Media Syiar Islam di Jawa)
Disusun Oleh: BAYU ARDI ISNANTO D0208042
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2015
SYIAR TANPA SYAIR (Video Dokumenter Tentang Tradisi Sekaten Sebagai Media Syiar Islam di Jawa)
Bayu Ardi Isnanto Chatarina Heny D. S.
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract The spread of Islam in Java is one of the great historic events in the religious symbols of Islam in Indonesia. Walisongo who became the major character in the greatness, leaving a trail of cultural traditions that are used as a medium for spreading Islam, that was Sekaten. Ironically, society today is more familiar know Sekaten as a market rather than Sekaten as a means of spreading Islam. Sekaten is still held in several cities in Java, one in Surakarta. Sekaten in Surakarta still held the same as during the first Sekaten. However, over the ages, the implementation of Sekaten expanded into the domain of economy. Now, Sekaten also filled with entertainment and public market that sells various people needs with relatively low prices. This documentary can be a medium that leads people to know the meaning of real Sekaten. By understanding the meaning of Sekaten, surely, the tradition can be a reference to Muslims especially to preach without violence but with a particular approach that can be accepted by society. Keyword: Sekaten, spread of Islam, tradition
1
Pendahuluan Sekitar 10 abad wilayah Nusantara dikuasai oleh kerajaan Hindu-Budha. Mulai dari Kerajaan Kutai, Sriwijaya, hingga Majapahit. Bertahun-tahun pula budaya kerajaan tersebut mengakar hingga ke sendi-sendi kehidupan masyarakat di Nusantara. Namun ketika Islam mulai masuk ke wilayah Indonesia, Islam dapat tersebar dan berkembang dengan pesat melalui perdagangan, kesenian, maupun perebutan kekuasaan wilayah kerajaan.1 Penyebaran Islam di Pulau Jawa adalah salah satu peristiwa yang sangat bersejarah dalam syiar agama Islam di Indonesia. Ada sebuah sarana syiar Islam yang hingga kini masih menjadi tradisi yang tiap tahun selalu digelar, yaitu Sekaten. Sekaten menjadi media dakwah Islam tanpa kekerasan karena penyampaian pesan-pesan keagamaan dalam sekaten menggunakan pendekatan budaya dan disimbolkan dalam beberapa benda seperti gamelan, gunungan, kinang dan lain sebagainya. Pesan yang disampaikan di dalam tradisi sekaten tidak hanya mengenai agama, tetapi juga pesan sosial, medis, dan ekonomi. Selain melalui pemaknaan simbol-simbol, penyampaian pesan juga melalui cerita-cerita yang dikemas menggunakan mitos. Penggunaan mitos dianggap lebih efektif karena masyarakat di masa itu belum
mengenal sains. Mitos di sini berfungsi untuk
mentransformasikan keterbatasan pengetahuan manusia. Upacara sekaten sarat dengan simbol-simbol yang berperan sebagai alat komunikasi antar sesama warga masyarakat, dan juga dianggap sebagai penghubung dengan Tuhan. Setiap upacara tradisional biasanya diadakan dalam waktu dan periode tertentu. Ini berarti menyampaikan pesan yang mengandung nilai-nilai kehidupan itu harus diulang-ulang terus, demi terjaminnya kepatuhan para warga masyarakat terhadap pranata-pranata sosial yang berlaku2
1
A. Djamil, dkk., Sejarah dan Kebudayaan Islam. Semarang, Toha Putra, 1984, hal 28
2
Kundharu Saddhono, Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud), 2009
2
Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam tugas akhir ini adalah : “Bagaimanakah keadaan sekaten dari masa ke masa, dari perubahannya sebagai media syiar Islam menjadi tempat hiburan dan pasar rakyat yang digambarkan melalui format film dokumenter?”
Tujuan Tujuan dari tugas akhir ini adalah : Memberi pelajaran terhadap masyarakat tentang budaya lokal, terutama melalui sejarah sekaten yang awalnya ialah sebagai sarana penyebaran agama Islam.
Dengan
demikian,
diharapkan
masyarakat
akan
mengenal
dan
mengembalikan esensi sekaten yang sebenarnya.
Tinjauan Pustaka 1.
Komunikasi Antar Budaya dan Inkulturasi Beberapa pendapat klasik mengatakan bahwa komunikasi dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan. Komunikasi adalah kebudayaan dan kebudayaan adalah komunikasi. Apabila komunikasi merupakan bentuk, metode, teknik, proses sosial dari kehidupan manusia yang membudaya maka komunikasi adalah sarana transmisi kebudayaan, oleh karena itu kebudayaan adalah komunikasi.3 Beberapa fungsi sosial dari komunikasi antarbudaya diantaranya ialah sebagai penjembatan dan sosialisasi nilai. Melalui komunikasi, perbedaan-perbedaan latar belakang antara komunikator dan komunikan dapat terkontrol melalui pesan-pesan yang mereka pertukarkan, keduanya saling menjelaskan tafsir dari sebuah pesan sehingga menghasilkan makna yang sama. Kemudian komunikasi juga berfungsi memperkenalkan nilai-nilai suatu kebudayaan kepada masyarakat dengan budaya yang lain. Dalam fungsi ini mungkin sering muncul ketidakpahaman terhadap perilaku-perilaku
3
Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2009, hal 2021
3
nonverbal yang disampaikan, namun yang lebih penting ialah bagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam perilaku nonverbal dapat ditangkap.4 Pendekatan-pendekatan
dalam
berkomunikasi
sangat
penting
dilakukan untuk kelancaran sebuah proses komunikasi, salah satunya dengan proses inkulturasi. Inkulturasi adalah sejenis penyesuaian dan adaptasi kepada masyarakat, kelompok umat, kebiasaan, bahasa, dan perilaku yang biasa terdapat pada suatu tempat.5 Istilah inkulturasi sering digunakan dalam ajaran Katolik. Oleh Ary Roest Crollius (1984), inkulturasi dapat terjadi melalui tiga tahapan. Tahap pertama adalah akulturasi, yaitu ketika dua atau lebih budaya yang
berbeda
bertemu
dan
dapat
berjalan
beriringan.
Menurut
Koentjaraningrat (1990) titik penting dari akulturasi ialah bertahannya kedua unsur kebudayaan tersebut tanpa ada salah satu berusaha menghilangkan budaya yang lain. Tahapan kedua dalam proses inkulturasi adalah asimilasi, yaitu ketika kebudayaan- kebudayaan tersebut mulai berpadu menjadi kebudayaan baru. Tahapan terakhir adalah transformasi, yaitu kedua kebudayaan direinterpretasikan terus-menerus ke arah bentuk kebudayaan baru dengan tidak kehilangan identitas dari masing-masing kebudayaan asal.6 Dalam studi kebudayaan lokal, inkulturasi mengandaikan sebuah proses internalisasi sebuah ajaran baru ke dalam konteks kebudayaan lokal dalam konteks akomodasi atau adaptasi. Inkulturasi dilakukan dalam rangka mempertahankan identitas.7 Seperti gagasan K.H.Abdurrahman Wahid yang mulai disuarakan sejak tahun 80-an, yaitu “pribumisasi Islam”.
Ini adalah sebuah upaya
rekonsialisasi Islam dengan budaya setempat, agar budaya lokal itu tidak menghilang, malah dapat menjadi sumber kekuatan bagi perkembangan 4
Ibid, hal 40-41
5
Hari Kustanto, Inkulturasi Agama Katolik dalam Kebudayaan Jawa, Yogyakarta, PPY, 1989, hlm.40. 6
Huub J.W.M. Boelaars, Indonesianisasi, Yogyakarta, Kanisius, 2005, hal 338-339
7
Anna Zakiyah Hastriana, Pribumisasi Hukum Islam Dalam Pesantren, Jurnal Al-Manahij 7.1, 2013
4
Islam. Pribumisasi Islam bukanlah penggabungan atau perpaduan dengan budaya lokal, konsep ini hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri. Berikut petikan tulisan Gus Dur di media Tempo, 16 Juli 1983. “Yang ‘dipribumikan’ adalah manifestasi kehidupan Islam belaka. Bukan ajaran yang menyangkut inti keimanan dan peribadatan formalnya. Tidak diperlukan “Qur’an Batak’ dan Hadis Jawa”. Islam tetap Islam, dimana saja berada. Namun tidak berarti semua harus disamakan ‘bentuk-luar’nya. Salahkah kalau Islam ‘dipribumikan’ sebagai manifestasi kehidupan?”8
2.
Sejarah Sekaten Tradisi sekaten berawal ketika masa Kerajaan Demak yang didirikan oleh Raden Patah setelah keruntuhan Kerajaan Majapahit pada abad ke-15. Ketika itu agama Islam mulai berkembang di tanah Jawa, berpusat di Kerajaan Demak dengan pemuka agama yang dalam Agama Islam disebut wali. Para wali ini dikenal berjumlah sembilan orang, karena itu disebut Wali Songo. Nama mereka masing-masing adalah Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati, Sunan Muria, Syeh Maulana Maghribi, Syeh Siti Jenar. Tiap-tiap wali memiliki wilayah penyebarannya masing-masing. Tiap tahun para wali itu mengadakan pertemuan di kota Demak. Pertemuan tahunan tersebut diselenggarakan pada bulan Rabiul Awal, tanggal 6 sampai dengan tanggal 12, tepat ketika memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.9 Kesulitan dirasakan oleh para wali karena masih banyak masyarakat yang menganut agama Hindu yang merupakan ajaran Kerajaan Majapahit. Masyarakat masih sangat dekat dengan adat istiadat agama Hindu. Maka dalam syiarnya, para wali, terutama Sunan Kalijaga menggunakan pendekatan kebudayaan yang masih diusung oleh masyarakat Jawa. Beberapa
8
Ibid
9
Kundharu Saddhono, Loc.Cit.
5
cara yang dilakukan ialah dengan membiarkan tetap dilaksanakannya adat atau tata cara dalam agama Hindu, tetapi dimasuki pelajaran Islam, misalnya: a.
Semedi Semedi dalam agama Hindu mempunyai maksud memuja kepada dewa-dewa. Karena agama Islam tidak mengenal dewa, maka diganti dengan memuja Allah SWT dengan dzikir dan sholat.
b.
Sesaji Sesaji menurut agama Hindu mempunyai maksud memberi makanan kepada dewa-dewa dan jin, agar sesuai dengan ajaran Islam diganti dengan zakat fitrah pada fakir miskin.
c.
Keramaian Dalam agama Hindu keramaian mempunyai maksud menghormat kepada dewa-dewa, diganti keramaian menghormat hari raya dan peringatan Islam. Para wali juga mengetahui bahwa masyarakat sangat menyukai suara
gamelan dan gemar dengan keramaian. Atas usul Sunan Kalijaga, para wali lalu mengatur penyelenggaraan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dengan penyesuaian dengan tradisi rakyat pada waktu itu, yaitu mengganti kesenian rebana dengan kesenian gamelan. Untuk melaksanakan hal itu Sunan Kalijaga membuat seperangkat gamelan yang dinamakan Kyai Nogo Wilogo.10 Untuk memeriahkan perayaan itu, maka ditempatkanlah gamelan Kyai Nogo Wilogo di halaman Masjid Demak. Gamelan itu dipukul bertalutalu tidak henti-hentinya, mula-mula dengan irama dan suara lembut dan halus, lama kelamaan dipukul keras-keras. Karena tertarik dengan bunyi gamelan yang nyaring mengalun tersebut, maka orang-orang dari berbagai penjuru datang berduyun-duyun ke pusat kota, sehingga alun-alun kerajaan Demak menjadi penuh sesak dibanjiri orang yang ingin menikmati kesenian gamelan dan menyaksikan keramaian yang diselenggarakan. Keramaian itulah yang kemudian disebut sekaten, dan yang sampai sekarang masih 10
Wawancara dengan K.P. Winarnokusumo, 14 Januari 2014
6
dilestarikan.
Sementara
gamelan
dibunyikan,
para
wali
bergantian
memberikan wejangan dan ajaran tentang agama Islam di mimbar yang didirikan di depan gapura masjid.11 Orang yang datang tersebut diperbolehkan juga masuk ke dalam serambi masjid tetapi harus terlebih dahulu membaca dua kalimat syahadat. Membaca kalimat syahadat adalah syarat bagi seseorang untuk memeluk agama Islam. Kalimat syahadat ditulis di gapura masjid agar dapat dibaca oleh masyarakat yang akan masuk ke dalam masjid. Gapura sendiri berasal dari bahasa Arab ghafura yang berarti ampunan. Ini merupakan doa sekaligus simbol bahwa setelah melewati gapura, orang akan mendapatkan ampunan dari Allah SWT.12 Selain itu, sebelum masuk ke dalam masjid, orang-orang disuruh membasuh tangan, muka dan kaki mereka dengan air kolam luar serambi masjid dengan maksud berwudhu membersihkan diri dari kotoran. Demikianlah keramaian sekaten itu diselenggarakan sekali dalam setahun tiap bulan Rabiul Awal, dari tanggal 6 sampai dengan tanggal 12. Tradisi sekaten ini tetap dilestarikan oleh raja-raja yang memerintahkan berikutnya hingga masa Kerajaan Surakarta.
3.
Prosesi Upacara Sekaten Prosesi pertama ialah miyos gongso. Miyos gongso adalah prosesi gamelan yang disimpan di dalam keraton diboyong keluar menuju halaman Masjid Agung melewati sitinggil dan alun-alun, kemudian gamelan akan dibunyikan selama tujuh hari tujuh malam. Prosesi ini juga disebut ungeling gamelan atau gamelan yang dibunyikan. Gamelan dibawa ke halaman Masjid Agung pada tanggal 5 Rabiul Awal. Miyos gongso disertai dengan kebiasaan lain yakni mengunyah kinang pada saat gamelan dibunyikan. Masih banyak masyarakat yang percaya, mengunyah kinang pada saat itu akan membuat awet muda. Selain mengunyah kinang, masyarakat juga antusias berebut
11
Kundharu Saddhono, Loc.Cit.
12
Wawancara dengan K.P. Winarnokusumo, 14 Januari 2014
7
janur untuk memperoleh keberkahan. Ada pula telur asin, mainan pecut, dan celengan sebagai ciri khas sekaten. Puncak acara sekaten adalah grebeg maulud atau yang biasa orang menyebut gunungan. Pada prosesi ini, gunungan yang berisi hasil bumi dan kekayaan alam dikirab dari keraton menuju halaman Masjid Agung Surakarta untuk didoakan dan selanjutnya diperebutkan. Prosesi ini sekaligus mengakhiri segala prosesi sekaten di tahun tersebut.
4.
Simbol dan Makna dalam Sekaten a.
Sekaten Kata “sekaten” berasal dari bahasa Arab syahadatain yaitu kalimat syahadat yang merupakan suatu kalimat yang merupakan syarat seseorang untuk masuk Islam. Selain berasal dari kata syahadatain, sekaten juga berasal dari kata beberapa kata:13 1) Sakatain : menghentikan atau menghindari perkara dua, yakni sifat pengecut dan menyeleweng; 2) Sakhatain : menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan, karena watak tersebut sumber kerusakan; 3) Sakhotain : menanamkan perkara dua, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi luhur dan selalu menghambakan diri pada Tuhan; 4) Sekati : setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang baik dan buruk; 5) Sekat : batas, orang hidup harus membatasi diri untuk tidak berbuat jahat serta tahu batas-batas kebaikan dan kejahatan.
b. Miyos Gongso dan Ungeling Gamelan Miyos gongso adalah prosesi ketika gamelan yang disimpan di dalam keraton diboyong keluar menuju halaman Masjid Agung melewati sitinggil dan alun-alun, kemudian gamelan akan dibunyikan selama tujuh 13
Tim Penulis Masjid Agung Surakarta, Sejarah Masjid Agung Surakarta, Yogyakarta, Absolute Media, 2014, hal 129-130
8
hari tujuh malam. Prosesi ini juga disebut ungeling gamelan atau gamelan yang dibunyikan. Gamelan dibawa ke halaman Masjid Agung pada tanggal 5 Rabiul Awal dan akan dibawa kembali ke keraton pada tanggal 12 Rabiul Awal sebelum prosesi Garebeg Maulud atau yang juga disebut gunungan. Gamelan tersebut berjumlah dua perangkat yang diberi nama Kyai Guntur Sari dan Kyai Guntur Madu. Keduanya diletakkan di dalam bangsal Pradonggo di halaman Masjid Agung. Kyai Guntur Madu diletakkan di selatan, Kyai Guntur Sari diletakkan di utara. Kyai Guntur Madu memainkan gendhing Rambu yang berasal dari kata Robbuna yang berarti Allah Tuhanku, sehingga gamelan ini disimbolkan sebagai syahadat tauhid. Sedangkan, Kyai Guntur Sari memainkan gendhing Rangkung yang berasal dari kata Roukhun yang berarti jiwa besar atau jiwa yang agung. Rangkung menurut etimologi atau lebih tepatnya kerata basa atau jarwa dhasaknya berasal dari kata ‘barang kakung’ yang menginterpretasikan pada seorang Nabi, Khalifah, dan Raja-Raja Mataram yang kesemuanya laki-laki. Dan kemudian gamelan Kyai Guntur Sari disimbolkan sebagai syahadat rasul. Kedua perangkat gamelan dibunyikan secara bergantian dari pukul 9 pagi hingga pukul 12 malam. Namun ketika waktu sholat lima waktu tiba, gamelan akan berhenti agar masyarakat dapat bersama-sama menunaikan ibadah sholat. Selain pada waktu sholat lima waktu, gamelan juga diistirahatkan pada hari Jum’at, karena hari Jum’at adalah hari agung bagi umat Islam.
c.
Kinang Dalam prosesi sekaten, terdapat tradisi mengunyah kinang. Tradisi ini diyakini oleh masyarakat dapat
membuat awet muda.
Mengunyah kinang atau dalam Bahasa Jawa nginang, dilakukan ketika gamelan mulai dibunyikan, yaitu pada tanggal 5 Rabiul Awal atau pada prosesi miyos gongso.
9
Kinang terdiri dari lima unsur, yang juga menyimbolkan rukun Islam yang jumlahnya juga lima. Kelima unsur itu adalah daun sirih, injet, gambir, tembakau, dan bunga kantil. Orang yang mengunyah kinang menggunakan tiga unsur yang terdiri atas suruh, gambir dan injet itu sudah enak, artinya orang yang sudah melaksanakan tiga rukun Islam yakni syahadat, sholat, puasa itu sudah baik, apalagi melakukan zakat dan haji, maka lebih sempurna.14 Dalam dunia medis, masing-masing kandungannya berkhasiat bagi kesehatan tubuh. Kandungan inilah yang sebenarnya membuat awet muda. Banyak orang-orang tua kita yang masih berwajah cerah dan memiliki gigi yang utuh meskipun telah berusia lanjut. Tradisi ini dilakukan sebagai ajakan kepada masyarakat agar senantiasa hidup sehat.
d. Gunungan Pada puncak acara sekaten yang dalam bahasa Jawa disebut Garebeg Maulud, terdapat upacara membawa gunungan dari keraton ke halaman Masjid Agung untuk dibagikan kepada masyarakat. Namun pada kenyataannya, masyarakat tidak bisa tertib dan saling berebut untuk mendapatkan gunungan. Gunungan ialah wujud syukur kepada Allah SWT atas limpahan rejeki yang diberikan kepada manusia. Oleh karenanya, gunungan dibentuk dari hasil bumi, seperti sayuran, buah-buahan, dan biji-bijian. Disebut gunungan karena dibentuk seperti gunung yang semakin ke atas semakin kecil. Di atas gunungan juga tertancap bendera merah putih. Bendera merah putih merupakan bendera kerajaan Majapahit yang juga disebut gulo klopo, kemudian bendera ini juga digunakan kerajaan Mataram dan hingga saat ini digunakan sebagai bendera Republik Indonesia. Gunungan kakung dan putri melambangkan lingga-yoni atau organ vital lelaki dan perempuan. Dalam kehidupan, manusia terlahir dari 14
Ibid, hal 141
10
ayah dan ibu. Dan apabila diurutkan ke urutan teratas, manusia juga dimulai dari laki-laki dan perempuan, yaitu Nabi Adam AS dan Hawa. Gunungan kakung dibentuk dari bahan-bahan mentah, gunungan putri dibentuk dari makanan olahan. Ini melambangkan bahwa laki-laki yang berkewajiban mencari nafkah dan perempuan yang mengolahnya. Sedangkan gunungan anakan berisi makanan berwarna-warni yang melambangkan anak-anak.
e.
Makanan dan Mainan Khas Sekaten Dalam tradisi sekaten, terdapat makanan maupun mainan yang selalu dijual dan menjadi ikon dari sekaten. Tentunya mainan dan makanan tersebut juga merupakan simbol-simbol yang memiliki makna. 1) Telur Asin Telur asin dalam Bahasa Jawa disebut endhog kamal atau endhog amal, yang dimaksudkan agar kita beramal. Selain itu, Ada pula yang menghubungkan dengan istilah dalam bahasa Arab, kamal berarti sempurna, yakni sempurna melaksanakan rukun Islam.15 2) Pecut Pecut biasa digunakan oleh orang-orang dari desa ketika membajak sawah. Pecut digunakan untuk menggiring kerbau atau sapi, bukan digunakan untuk melukai hewan tersebut, sehingga pecut diibaratkan sebagai pengarah ke jalan yang benar.16 Dan bunyinya pun memiliki makna bahwa pecut ini dapat melecut semangat pemiliknya, semangat untuk bekerja, beribadah, dll. 3) Celengan Celengan juga dihubungkan dengan pecut di atas. Ketika orang membeli celengan, mereka akan semangat bekerja, semangat menabung dengan keinginan agar tahun berikutnya dapat kembali
15 16
Ibid, hal 143-144 Ibid
11
datang ke sekaten dengan uang yang ditabungnya di dalam celengan. Kemudian ketika di sekaten, mereka membeli celengan lagi, dan begitu seterusnya. Sehingga hidup mereka penuh semangat, tidak hanya berdiam diri. 4) Gasing Gasing ini dimaknai seperti hidup manusia yang selalu berputar. Dalam hidupnya, manusia boleh berputar ke mana saja, tetapi harus selalu pada porosnya, yaitu Allah SWT. Poros pada gasing ialah tiang di tengah gasing yang mengarah vertikal seperti hubungan manusia dengan Tuhannya.17
Metodologi Tugas akhir ini menggunakan metode observasi dan wawancara. Pawito (2007: 111) mengemukakan metode observasi (observation research) dilakukan untuk melacak secara sistematis dan langsung gejala-gejala komunikasi terkait dengan persoalan-persoalan sosial, politis, dan kultural masyarakat. Metode wawancara merupakan alat pengumpulan data yang sangat penting yang melibatkan manusia sebagai subjek (pelaku, aktor) sehubungan dengan realitas atau gejala yang dipilih untuk diteliti. Kedua metode tersebut bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi yang dibutuhkan dalam penyusunan tugas akhir (Pawito, 2007: 132). Di dalam film dokumenter ini, penulis melakukan observasi di Alun-Alun Utara Surakarta yang merupakan lokasi diadakannya sekaten tiap tahunnya dan di Keraton Kasunanan Surakarta yang merupakan penyelenggara Sekaten. Penulis juga melakukan wawancara dengan beberapa narasumber dengan latar belakang akademisi, budayawan, dan perwakilan dari Keraton Kasunanan Surakarta.
17
Ibid
12
Sajian dan Analisis Data a. Judul Syiar Tanpa Syair b. Lokasi Keraton Kasunanan Surakarta, Masjid Agung Surakarta, dan Alun-Alun Utara Surakarta. c. Durasi 19 menit 19 detik d. Segmentasi Masyarakat umum e. Film Statement Saat ini kebanyakan masyarakat, terutama kaum pemuda hanya mengetahui sekaten sebagai tradisi yang rutin digelar tiap tahunnya tanpa mengetahui fungsi dari tiap prosesi di sekaten. Sekaten hanya dikenal dengan keramaian dan hiburan rakyatnya. Padahal sekaten memiliki filosofi yang mendalam di tiap prosesinya. Dan sekarang tujuan asli sekaten sebagai media penyebaran agama Islam telah luntur. Dengan hilangnya pengetahuan tentang sekaten sebagai media dakwah Islam, masyarakat seperti kekurangan referensi untuk melakukan dakwah-dakwah Islam secara cerdas. Sekaten dibuat oleh para wali melalui proses berfikir yang cerdas, bagaimana agar Islam dapat diterima oleh masyarakat Jawa yang pada waktu itu menganut agama Hindu. Tentunya para wali adalah ulama-ulama yang dilebihkan ilmunya oleh Alloh SWT, sehingga segala tidakan yang dilakukan para wali sematamata hanya berdasarkan keimanan.
13
Ringkasan Film Film dokumenter Syiar Tanpa Syair ini terdiri dari empat sekuen. 1.
Sekuen I Menggambarkan prosesi Miyos Gongso sebagai tanda bahwa sekaten telah dibuka. Pada gambar tersebut dijelaskan bahwa ajaran Islam telah dimasukkan ke dalam prosesi ini, seperti makna gamelan dan gendhing yang dimainkan, lalu juga diceritakan bahwa dahulu gamelan inilah yang dapat menarik minat masyarakat untuk masuk Islam.
Gambar 1 : Gamelan dibawa masuk ke dalam Masjid Agung
Sumber : dokumen pribadi
Gambar 2 : Gamelan dimainkan para niyaga
Sumber : dokumen pribadi
Selain menceritakan sejarah sekaten menurut Keraton Surakarta, dalam sekuen ini terdapat pendapat akademisi, Prof. Dr. Dharsono, M.Si yang menganggap sekaten adalah politik kebudayaan. Dia menganggap demikian
14
karena sekaten digunakan para penguasa di masa itu agar masyarakat menyesuaikan pemerintahan di masa itu yang menganut agama Islam.
2.
Sekuen II Menjelaskan tradisi yang masih dilakukan masyarakat saat gamelan dibunyikan, yaitu berebut janur dan menginang. Selain itu, digambarkan pula bahwa sekaten memiliki ciri khas filosofis mengenai makanan dan mainan yang dijual di sekitar masjid, seperti telur asin, pecut, gasing, dll.
Gambar 3 : Masyarakat berebut janur
Sumber : dokumen pribadi
Gambar 4 : Masyarakat menginang
Sumber : dokumen pribadi
15
K.P. Winarnokusumo sebagai budayawan Keraton Kasunanan Surakarta menjelaskan tentang tradisi menginang yang ternyata memiliki banyak fungsi dari segi medis dan filosofis. K.G.P.H Puger sebagai kerabat Keraton juga menjelaskan tentang filosofi mainan yang terdapat di dalam sekaten.
3.
Sekuen III Sekuen ini menceritakan perkembangan sekaten di masa kini yang telah berubah bentuk maupun fungsi.
Gambar 5 : Wahana Permainan Bianglala
Sumber : dokumen pribadi
Gambar 6 : Musik yang tidak sesuai semangat syiar Islam
Sumber : dokumen pribadi
16
Keadaan sekaten yang telah berubah digambarkan dengan beberapa hal, yaitu seperti keramaian pasar malam, wahana permainan yang mengandung unsur judi, dan pedagang VCD musik dangdut. Dipertegas pula dengan vox pop masyarakat yang tidak tahu esensi sekaten yang sebenarnya.
4.
Sekuen IV Sekuen ini menceritakan prosesi Grebeg Maulud yang sering dikenal dengan gunungan sebagai puncak acara sekaten. Dan sekuen ini digunakan sebagai penutup.
Gambar 8 : Gunungan keluar dari Keraton
Sumber : Dokumen pribadi
Gambar 9 : Masyarakat berebut gunungan
Sumber : Dokumen pribadi 17
Sekuen ini menjelaskan makna simbolis gunungan dan tujuan yang terkandung di dalamnya. Digambarkan pula proses pembuatan gunungan beberapa hari sebelum puncak perayaan sekaten. Terakhir ditutup oleh K.P. Winarnokusumo yang menjelaskan bahwa tradisi di Keraton Kasunanan Surakarta akan tetap lestari selamanya.
Kesimpulan Kesimpulan dalam tugas akhir ini, antara lain: 1.
Banyak masyarakat, khususnya anak muda sudah tidak mengetahui sejarah dan makna sekaten. Mereka hanya mengetahui sekaten sebagai tempat hiburan dan pasar rakyat saja, bukan sebagai sarana media syiar agama Islam.
2.
Semangat sekaten juga telah berkurang untuk menyemarakkan hari lahirnya Nabi Muhammad SAW. Nampak dari banyaknya permainan yang mengandung unsur judi dan banyak musik yang tidak sesuai dengan semangat syiar Islam. Bergesernya fungsi sekaten tidak terlepas dari arus globalisasi yang juga semakin mengancam kebudayaan asli di Indonesia.
3.
Tradisi sekaten selalu digelar setiap tahun dengan prosesi yang masih lengkap, yaitu dari mulai miyos gongso atau keluarnya gamelan dan jenggleng pertama kali, hingga prosesi grebeg mulud atau gunungan.
Saran Saran yang diharapkan untuk Tradisi Sekaten untuk masyarakat pada umumnya, dan Keraton Kasunanan Suarakarta pada khususnya, antara lain: 1.
Masyarakat agar mau memperlajari sejarah kebudayaan di daerahnya, seperti sekaten agar dapat lestari sesuai esensi semula.
2.
Keraton Kasunanan Surakarta sebagai penyelenggara seharusnya lebih mengedukasi masyarakat tentang sejarah dan esensi sekaten agar masyarakat
18
juga paham. Mungkin dapat dilakukan dengan menambahkan media sosialisasi di beberapa titik di Alun-Alun Utara, Masjid Agung, dan Pagelaran. 3.
Keraton Kasunanan Surakarta seharusnya juga menerbitkan buku tentang sekaten secara khusus, karena literatur tentang sekaten sangat minim. Dengan demikian, pengetahuan sejarah sekaten dapat terus terjaga.
4.
Keraton Kasunanan Surakarta dan Pemerintah Kota Surakarta harus lebih tegas dalam membuat aturan untuk wahana permainan dan pasar rakyat di Alun-Alun Utara agar esensi sekaten sebagai media syiar Islam tetap terjaga. Pasalnya masih banyak permainan yang mengandung unsur judi dan sering pula tercium bau minuman keras di beberapa wahana permainan.
Daftar Pustaka Ayawaila, Gerzon Ron. (2008). Dokumenter Dari Ide Sampai Produksi. Jakarta: FFTV-IKJ Press. Beattie, Keith. (2004). Documentary Screens. New York: Palgrave Macmillan. Boelaars, Huub J.W.M. (2005). Indonesianisasi. Yogyakarta: Kanisius. Djamil, A. (1984). Sejarah dan Kebudayaan Islam. Semarang: Toha Putra. Effendy, Heru. (2002). Mari Membuat Film. Yogyakarta: Panduan. Effendy, Onong Uchjana. (1990). Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya. Gaarder, Jostein. (1996). Dunia Sophie : Sebuah Novel Filsafat. Bandung: Mizan. Himawan. (2008). Memahami Film, Jakarta: Homerian Pustaka. Kustanto, Hari. (1989). Inkulturasi Agama Katolik dalam Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: PPY. Liliweri, Alo. (2009). Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Liliweri, Alo. (2001). Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mulyana, Deddy. (2007). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKiS. Rabiger, Michael. (1998). Directing the Documentary. Burlington: Focal Press. Sumarno, Marselli. (1996). Dasar-dasar Apresiasi Film. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Sutardi, Tedi, (2007). Antropologi : Mengungkap Keragaman Budaya. Bandung: PT. Setia Purna Inves. Sutisno, P.C.S. (1993). Pedoman Praktis Penulisan Skenario Televisi dan Video. Jakarta: Grasindo.
19
Tim Penulis Masjid Agung Surakarta. 2014. Sejarah Masjid Agung Surakarta. Yogyakarta: Absolute Media. Wibowo, Fred. 1997. Dasar-dasar Produksi Program Televisi. Jakarta: Grasindo. Hastriana, Anna Zakiyah (2013). Pribumisasi Hukum Islam Dalam Pesantren, Jurnal Al-Manahij 7.1. Saddhono, Kundharu (2009). Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Williams, Linda (1993). Mirrors Without Memories, Film Quarterly, Vol. 46, No. 3, 9-21.
20