JURNAL FISIKA DAN TERAPANNYA VOLUME 1, NOMOR 4, DESEMBER 2013
Penanggung Jawab Prof.,Drs., Win Darmanto, M.Si,Ph.D. Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga, Indonesia
Dewan Redaksi (Editorial Board): Ketua : Drs. Siswanto, M.Si. Wakil Ketua: Dr. Retna Apsari, M.Si. Anggota : Dr. Suryani Dyah Astuti, M.Si. Mohammad Faried, ST.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah yang Maha Esa, berkat rahmat dan hidayahNya semata jurnal online edisi pertama ini dapat diterbitkan. E-jurnal “Fisika dan Terapannya” ini merupakan media publikasi bagi sivitas di lingkungan departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga. Selain itu melalui media ini diharapkan dapat mencegah terjadinya praktek plagiasi dalam penelitian. Pada edisi pertama ini, diterbitkan sepuluh makalah hasil penelitian mahasiswa dari program studi S1 Fisika dan program studi Teknobiomedik, masing-masing memberikan sumbangan lima makalah. Topik makalah dari prodi S1 Fisika meliputi bidang biofisika, fisika material, fotonik dan komputasi, sedangkan topik makalah dari prodi teknobiomedik meliputi bidang biomaterial dan instrumentasi medis . Hal ini sesuai dengan kelompok bidang keahlian (KBK) yang dikembangkan pada kedua program studi tersebut. Semoga jurnal ini dapat bermanfaat bagi pembaca semua.
Ketua Departemen Fisika FST Universitas Airlangga
Drs. S i s w a n t o, M.Si.
Jurnal Fisika dan Terapannya (Journal of Physics and Application) Volume 1, Nomor 4, DESEMBER 2013
DAFTAR ISI Aditta Putri Aulia H. Welina Ratnayanti Tri Anggono P
Analisis Profil Potensial Listrik Pada Titik 1 Akupuntur Untuk Diagnosis Diabetes Mellitus
Ahmad Zaini Arif Samian Supadi
Aplikasi Serat Optik Sebagai Indikator 18 Ketinggian Cairan Dengan Metode Deteksi Daya Rugi Optis Akibat Pelengkungan Dan Pemolesan
Aziza Anggi Maiyanti Jan Ady Djoni Izak R
Sintesis dan Karakterisasi Sifat Mikroskopik 26 Keramik Batako dengan Variasi Penambahan Sekam Tebu
Cicilia Maya Christanti Dyah Hikmawati Djoni Izak R
Pengaruh Variasi Holding Time Pada Proses Laku Panas Terhadap Sifat Fisis Material Baja 2436
Fita Fitria Wellina Ratnayanti K
Penentuan Respon Optimal Fungsi 41 Penglihatan Ikan Terhadap Panjang Gelombang
Tri Anggono P.
Dan Intensitas Cahaya Tampak
Aditya Iman Rizqy Aminatun Prihartini Widiyanti
Studi Infiltrasi Tubulus Dentin Berbasis Hidroksiapatit yang Berpotensi untuk Terapi Dentin Hipersensitif
47
Agnes Krisanti W. Adri Supardi Prihartini Widiyanti
Sintesis dan Karakterisasi Kolagen dari
58
36
Tendon Sapi (Bos Sondaicus ) sebagai Bahan Bone Filler Komposit Kolagen – Hidroksiapatit
Sabrina Ifahdini S Adri Supardi Franky Chandra S.A.
Perancangan Aplikasi Audiometer Nada 70 Murni Dan Tutur untuk Diagnosis Pendengaran
Thieara Ramadanika Delima Ayu S Retna Apsari
Rancang Bangun Heart Rate Monitoring88 Device (HRMD) Sebagai Pemantau Bradikardi Dan Takikardi Berbasis Mikrokontroller
Wida Dinar Tri Meylani Sintesis Dan Karakterisasi Hidroksiapatit
Djoni Izak R Siswanto
Makropori Untuk Aplikasi Bone Filler
98
Analisis Profil Potensial Listrik Pada Titik Akupuntur Untuk Diagnosis Diabetes Mellitus Aditta Putri Aulia Haqque, Welina Ratnayanti, Tri Anggono P Laboratorium Biofisika, Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya 60115
Abstract The aim of this research is to analyze electrical potential profile on the acupoint betwen healty people and the patient of diabetes mellitus type II. Administering data have done by recording electrical potential profile on the acupoints: Feishu, Xinshu, Ganshu, Pishu, and Shenshu to the 10 healthy people and the 10 people with diabetes mellitus based on the second data observation at the Local Government Clinic Mulyorejo, Surabaya. Potential profile of the organs has the electrical signals form. It was achieved by the result of electrical potential which is based time recording. Recording time was done during 100 second. The results couldn't be differentiated significantly, so it needs the other signals processing with FFT analyze method with cutting as the data frames. It was done every 3,29 second. Based on the result of analyzing the amplitude each frequency group, the significant differences are on the acupoint Feishu: 348-352 Hz, on the acupoint Xinshu 1-5 Hz, on the acupoint Ganshu 248-252 Hz. According to the preference, it was found that the electrical potential profile on the acupoints of the healthy people has lower amplitude than the people with diabetic mellitus. So, analyze of electrical potential profile on the acupoints can be used for diabetes mellitus diagnose. Keywords : electrical biopotential, acupoint, diabetes mellitus, FFT.
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013
1
PENDAHULUAN Diabetes mellitus baru disadari oleh penderitanya ketika kadar gula darah meningkat hingga ≥ 200 mg/dl. Setiap tahun jumlah penderita diabetes mellitus semakin meningkat. Menurut laporan WHO, jumlah penderita diabetes mellitus di dunia pada tahun 1987 kurang lebih 30 juta. Pada bulan November 1993, jumlah penderita diabetes mellitus di dunia meningkat hingga menjadi 100 juta lebih dengan prevalensi 6%. Pada tahun 1994, jumlah penderitanya di dunia mencapai 110,4 juta, pada tahun 2000 meningkat kurang lebih 1,5 kali lipat menjadi sekitar 175,4 juta, pada tahun 2010 meningkat kurang lebih 2 kali lipat menjadi sekitar 239,3 juta, dan hingga tahun 2020 diperkirakan menjadi 300 juta (Tjokroprawiro dkk, 2007). Pengertian diabetes mellitus adalah suatu kelainan metabolisme yang ditandai dengan kadar gula darah yang tinggi akibat pankreas yang tidak dapat menghasilkan insulin. Metode diagnosis yang umum digunakan untuk mendeteksi kadar gula dalam darah seperti tes kuantitatif laboratorium glukosa urin, tes kuantitatif kadar glukosa darah puasa, serta uji toleransi memerlukan waktu dan biaya yang dirasakan oleh sebagian masyarakat menjadi salah satu masalah sehingga sebagian masyarakat terlambat mendeteksi dini kenaikan kadar glukosa dalam darah. Sehingga pada akhirnya menyebabkan penderita diabetes mellitus semakin meningkat dari waktu ke waktu. Akupunktur merupakan cara pengobatan tradisional dengan memasukkan atau memanipulasi jarum ke dalam titik akupunktur tubuh. Titik akupunktur adalah titik yang mempunyai sifat aktif listrik dengan karakteristik “High Voltage Low Resistance”. Permukaan tubuh tempat titik akupunktur memiliki resistansi yang rendah sehingga dapat mengalirkan beda potensial yang lebih tinggi dibangdingkan dengan permukaan tubuh yang bukan titik akupunktur. Rangsangan dari titik akupunktur lebih didasarkan pada kenyataan biofisika bahwa dasar aktif listrik antar sel ke arah organ sasaran. Titik akupunktur sebagai model reseptor fungsional dua arah dimana salah satu bioinformasi tubuh dapat dimanfaatkan untuk kepentingan terapi dan diagnosis dalam bidang kedokteran (Saputra, 2002). Sedangkan meridian sebagai jalur spesifik menuju ke organ target dari suatu titik akupunktur yang terdapat pada permukaan kulit. Dengan adanya hubungan antara titik akupunktur dengan organ yang dituju, maka akan dapat diketahui aktivitas kelistrikan organ tersebut dari analisis sinyal yang dihasilkan di titik akupunktur. Telah dilakukan penelitian sebelumnya mengenai analisis profil potensial listrik pada titik akupunktur untuk diagnosis fungsional organ. Analisis profil potensial listrik pada titik akupunktur untuk mengetahui kelainan fungsi organ telah
2
Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
dilakukan oleh Puspa Erawati (2004). Penelitian ini memanfaatkan aktifitas kelistrikan dari organ melalui titik akupunktur untuk diamati kemudian profil potensial listriknya dijadikan sebagai indikator kelainan fungsional organ. Sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan menggunakan titik akupunktur sebagai titik yang menghubungkan sifat aktif listrik organ yang ingin diketahui aktivitas listrik dari organ-organ yang terkait dengan penyakit diabetes mellitus (melalui meridian kandung kemih) sehingga profil kelistrikannya dapat digunakan untuk diagnosis dini penderita diabetes mellitus. Dalam penelitian ini akan digunakan titik akupunktur yang spesifik ke organ meridian Shu belakang, yaitu titik Feishu (Paru), Xinshu (Jantung), Ganshu (Hati), Pishu (Limpa), dan Shenshu (Ginjal). Profil potensial listrik pada titik akupunktur yang diperoleh akan dianalisis sinyal hingga dapat diperoleh hasil yang dapat memperlihatkan perbedaan secara nyata profil potensial listrik pada kondisi sehat dan pada kondisi diabetes mellitus. Dengan dapat dibedakannya profil potensial listrik kedua kondisi ini diharapkan dapat menjadi suatu metode diagnosis baru menggunakan prinsip fisika dan dapat mengetahui implementasi serta pentingnya prinsip fisika dalam metode penelitian khususnya analisis sinyal.
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian primer, observasional, dan bersifat analitik dengan pendekatan yang dilakukan bersifat transversal atau cross sectional yaitu sekali pengambilan data pada saat tertentu dan tidak simultan. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Variabel bebas
: kadar gula darah testi
2.
Variabel terikat
3.
Variabel terkendali : titik akupuntur yang terkait dengan penyakit diabetes dan
: profil potensial listrik testi (dalam frekuensi dan amplitudo)
gejalanya serta waktu perekaman profil potensial listrik. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah 10 orang testi sehat yang dibuktikan dengan tes kadar gula darah dan penelusuran riwayat kesehatan dengan metode wawancara, dan 10 orang testi testi penderita diabetes mellitus yang direkomendasikan oleh Puskesmas Mulyorejo dan Dinas Kesehatan Kota Surabaya serta dibuktikan dengan tes kadar gula darah. Alur penelitian yang dilakukan digambarkan dalam bagan diagram berikut :
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013
3
Gambar 1. Alur Penelitian Tanpa memberikan perlakuan apapun kepada kedua kelompok testi, masing-masing anggota kelompok kedua testi diuji kadar gula darahnya kemudian dilakukan pemasangan elektrode untuk perekaman biopotensial pada titik-titik akupunktur yang berhubungan dengan organ yang terkait dengan penyakit diabetes mellitus. Titik-titik yang digunakan adalah titik Feishu (terkait organ paru), Xinshu (terkait organ jantung), Ganshu (terkait organ Hati), Pishu (terkait organ Limpa), dan Shenshu (terkait organ Ginjal).
Gambar 2. Letak titik-titik akupuntur meridian Shu belakang.
4
Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
Alat perekam biopotensial yang digunakan bekerja dengan prinsip perekaman biopotensial dengan EMG. Perekaman biopotensial menggunakan prinsip dari EMG (Electromyography). EMG (Electromyography) merupakan pemeriksaan syaraf tepi dan otot (Widjaja, 2012). Sinyal EMG mempunyai sifat random karena sangat bergantung kepada ukuran, bentuk, dan penempatan elektroda pada permukaan dari bagian yang akan diuji. Sinyal EMG mempunyai rentang amplitudo sebesar 0,10 mV, dengan dominan pada 200-400 mikrovolt. Sinyal EMG mempunyai rentang frekuensi yang lebar antara 20-500 Hz, sehingga untuk proses perekaman diperlukan rangkaian penguat yang besar. Frekuensi cut off high 500 Hz digunakan untuk menapis frekuensi tinggi. Sinyal bioelektrik sangat rentan terhadap derau (noise), yang muncul dari interfrensi jala-jala listrik, gerakan tubuh dan frekuensi radio (Cromwell L., dkk, 1976). Sinyal dideteksi pada dua sisi dari elektrode positif dan negatif yang dipasang, rangkaian elektrik mendapatkan beda tegangan antara kedua sisi kemudian dikuatkan beda tegangannya. Sebagai hasilnya, sinyal manapun yang common pada kedua sisi akan dihilangkan, dan sinyal yang berbeda pada kedua sisi akan memiliki differensial yang kemudian dikuatkan. Sinyal yang munculnya jauh dari organ yang dideteksi akan tampak sebagai sinyal biasa, dimana sinyal yang berada disekitar area akan berbeda pada konfigurasi ini (Carlo dan Deluca, 2000). Sinyal yang diperoleh rentan terhadap derau (noise). Hal tersebut dikarenakan, elektrode yang digunakan merupakan elektrode noninvasif sehingga sangat mudah terjadi gangguan yang berasal dari adanya gangguan inheren komponen elektronik, gangguan dari sumber radiasi seperti transmisi, ketidakstabilan sinyal yang bersifat inheren karena sinyal EMG bersifat random, ketidakstabilan penempatan selama masa perekaman, atau masuknya sinyal dari komponen tubuh lain di dekat penempatan elektrode yang terkena ransang listrik kecil sehingga mengganggu sinyal dari target yang ingin dideteksi (Wijayanto dan Hastuti, 2006). Pada perangkat Iworx, sinyal yang dikeluarkan merupakan hasil dari penguatan sinyal yang dilakukan 1000x dari sinyal bioelektrik masukan. Setting alat yang digunakan adalah :
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013
5
Gambar 3. Setting Alat Tahap-tahap perekaman biopotensial organ menggunakan perangkat ini adalah : 1.
Arus bioelektrik organ dikeluarkan melalui titik akupunktur kemudian diterima elektrode non-invasif ditempatkan kemudian mengalir ke bioamplifier.
2.
Sinyal yang dihasilkan tubuh sangat kecil berorde mikrovolt, sehingga dilakukan penguatan pada bioamplifier sebesar 1000 kali agar sinyal dapat terlihat pada layar komputer pada program Labscribe. Tampilan sinyal dari perekaman biopotensial dapat ditunjukkan pada gambar 2.
Gambar 4. Tampilan sinyal perekaman biopotensial pada titik akupuntur. Sinyal hasil perekaman merupakan gelombang yang dipancarkan dari aktivitas organ yang dapat dipresentasikan oleh fungsi gelombang : n
ψ (t ) = ψ 1 (t ) + ψ 2 (t ) + .......... + ∑ψ i (t ). i =1
n
ψ (t ) = A1 sin ω1t + A2 sin ω 2 + ...... + ∑ Ai sin ω i t
(2.0)
i =1
Dengan : Ψ(t) : fungsi gelombang sebagai fungsi waktu Ai : Amplitudo
6
Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
ω : frekuensi penyusun gelombang t
: waktu penjalaran Setiap fungsi gelombang penyusunnya dapat dijabarkan menggunakan deret Fourier jika fungsi gelombang tersebut periodik. Deret Fourier memperlihatkan bahwa semua fungsi periodik dapat diekspresikan sebagai suatu kombinasi dari suku-suku pembentuknya. Fourier menunjukan bahwa sebuah fungsi dengan periode T dapat diperlihatkan dengan deret trigonometri dengan bentuk : ∞
f (t ) = a 0 + ∑ a n cos nωt +bn sin nωt
(2.1)
n =1
Dengan 𝝎𝝎 = 2π/T adalah frekuensi perulangan fungsi (rad/s).
Untuk fungsi genap, koefisien Fourier dalam deret Fourier dapat dihitung dengan persamaan :
1 T f (t )dt T ∫−T 1 T a n = ∫ f (t ) cos nωtdt T −T 1 T bn = ∫ f (t ) sin nωtdt T −T a0 =
(2.2)
Titik awal dari integral dapat diubah. Pada titik awal manapun harus dan pasti menghasilkan nilai yang sama untuk integral dari fungsi yang periodenya lebih dari satu. Deret Fourier memiliki beberapa sifat yang penting, yaitu : frekuensi dari bentuk sinus dan cosinus pertama adalah suatu fungsi frekuensi, dan kenaikan frekuensi antara pembentuk-pembentuknya kenaikan n yang sebanding dengan fungsi frekuensi. Periode pembentuk sinus dan cosinus pertama adalah sebuah fungsi, dan setiap pembentuk dalam deret tersebut memperlihatkan sebuah bilangan bulat dari gelombang sinus dan cosinus yang sesuai dengan periode fungsi tersebut. Suatu fungsi f(t) dengan variasi waktu dapat ditulis sebagai sebuah persamaan dengan parameter waktu. Fungsi tersebut juga digambarkan dalam bentuk grafik terhadap waktu. Kedua ekspresi fungsi, yaitu grafik waktu dan persamaan fungsi waktu disebut dengan representasi domain waktu. Deret Fourier menawarkan sebuah representasi alternative untuk fungsi dalam domain frekuensi. Meskipun penggambaran fungsi terhadap waktu sebuah histogram yang dapatdiperbaiki dengan sumbu x sebagai frekuensi dan sumbu y sebagai amplitude tiap frekuensi. Bentuk tersebut merupakan representasi domain frekuensi. Dengan menggunakan identitas Euler,
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013
7
1 cos 𝑥𝑥 = �𝑒𝑒 𝑖𝑖𝑖𝑖 + 𝑒𝑒 −𝑖𝑖𝑖𝑖 � 2 1
sin 𝑥𝑥 = 2𝑖𝑖 (𝑒𝑒 𝑖𝑖𝑖𝑖 + 𝑒𝑒 −𝑖𝑖𝑖𝑖 )
deret Fourier dapat ditulis dalam bentuk kompleks sebagai berikut : ∞
𝑇𝑇 ∫ 𝑓𝑓(𝑡𝑡)𝑒𝑒 −𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 𝑇𝑇 𝑇𝑇 1
𝑐𝑐𝑛𝑛 =
𝑓𝑓 (𝑡𝑡) = � �𝑐𝑐𝑛𝑛 𝑒𝑒 𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 � 𝑛𝑛=−∞
𝑑𝑑𝑑𝑑
Dalam kelistrikan, deret Fourier dapat memperlihatkan suatu tegangan periodik. Jika
kita mengingat sebuah integral merupakan sebuah batas dari penjumlahan, deret Fourier berubah menjadi integral Fourier. Fourier yang telah ditransformasi dapat digunakan untuk memperlihatkan fungsi non periodic menjadi fungsi periodik dengan periode menuju tak hingga, contohnya satu pulsa tegangan tidak berulang. Deret Fourier hanya berlaku untuk sinyal periodik. Sedangkan transformasi Fourier digunakan untuk sinyal aperiodik yang dianggap sebagai sinyal periodik orde tak hingga. Jika sinyal aperiodik dianggap sebagai sinyal periodik orde tak hingga maka periodenya diperbesar menuju tak hingga, sehingga spectrum sinyal menjadi spektrum kontinyu. Dengan demikian penjumlahan pada deret Fourier berubah menjadi integral dengan variabel kontinyu 𝝎𝝎, bentuknya menjadi :
f (t ) =
1 2π
F (ω ) =
∞
∞
∫ F (ω )e
i ωt
dω
−∞
∫ f (t )e
(2.5) − i ωt
dt
−∞
f(t)
F(ω)
t (ms)
ω(Hz)
Gambar 5. Kurva fungsi waktu yang akan ditransformasi (sebelah kiri) dan kurva yang menunjukkan hasil Fourier Transform (sebelah kanan). Dicuplik dari www.certif.com
8
Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
Gambar 5
menunjukkan contoh sinyal sebagai fungsi waktu yang sulit
dideskripsikan bentuk deret Fourier atau fungsi waktunya (sebelah kiri). Sumbu ordinat menyatakan tegangan sebagai fungsi waktu f(t) dan sumbu absis sebagai waktu t. Amplitudo pada tegangan fungsi waktu bergantung pada koefisien Fourier (a0, an, dan bn), sedangkan yang mempengaruhi rapat dan renggangnya sinyal adalah frekuensi-frekuensi (ω) penyusun sinyal tersebut. Setelah dilakukan transformasi Fourier, diperoleh kurva berubah pada sumbu absis merupakan frekuensi (ω), sedangkan sumbu ordinat merupakan Amplitudo yang ternormalisasi sebagai fungsi frekuensi F(ω). Fast Fourier Transform merupakan suatu bentuk analisis data dengan memanfaatkan operasi matematika yang digunakan dalam pemrosesan sinyal untuk mengubah data dari domain waktu kontinyu menjadi domain frekuensi dengan cepat. Konvolusi pada transformasi Fourier menunjukkan bahwa,
F (ω ) = F (−ω ) * F (ω ) =
1
π
[ f (t )]2 (2.6)
Teorema Parseval menunjukkan bahwa,
F (ω ) =
∞
∫ F (ω )
2
dω =
−∞
1
π
∞
∫
2
f (t ) dt
−∞
Rata-rata dari [ f (t )] 2 adalah
(2.7)
1
π
∞
∫
2
f (t ) dt
−∞
Teorema Parseval secara fisis menunjukkan hubungan antara rata-rata dari kuadrat f(t) dan koefisien Fourier (a0, an, dan bn) seperti pada persamaan berikut:
[ f (t )] 2 =
1
π
∞
∫
2
f (t ) dt
−∞ 2
∞ 1 ∞ 1 [ f (t )] 2 = a0 + ∑ a 2 n + ∑ b 2 n 2 1 2 1 ∞
[ f (t )]2 = ∑ c n
2
−∞
Dalam analisis sinyal ini, perangkat lunak yang digunakan adalah program Labscribe. Pada tampilan terdapat nilai T2-T1 merupakan fasilitas untuk memudahkan membaca rentang skala yang memiliki satuan format jam:menit:detik. Display time menunjukkan kurun waktu perekaman. Setelah hasil perekaman ditampilkan, selanjutnya mengklik icon analisis FFT pada program Labscribe, yaitu fungsi analisis yang mengubah sinyal profil potensial listrik
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013
9
domain waktu ke domain frekuensi. Hasil yang muncul adalah pulsa-pulsa yang menunjukkan frekuensi (sumbu-x) dari fungsi gelombang pada sinyal listrik hasil perekaman mulai dari 1 Hz sampai 499 Hz dengan masing-masing amplitudo mulai dari 0 sampai 1 (sumbu-y). Data diolah dengan mencuplik pada rentang waktu yang sama, yaitu 3,29 sekon kemudian klik menu FFT lalu menempatkan dua kursor sampai mendapatkan beberapa nilai frekuensi dan amplitudonya. Frekuensi
Amplitudo
Waktu
Gambar 6. Cuplikan Hasil Analisis Transformasi Fourier Profil Potensial Domain Waktu menjadi Domain Frekuensi Kemudian dilakukan pencatatan frekuensi dan amplitudo profil potensial listrik masing-masing testi pada tiap-tiap titik dengan pencuplikan data hingga 20 bingkai. Perhitungan uji beda dilakukan dengan menggunakan uji T sampel bebas pada rata-rata amplitudo dari 20 bingkai data yang diambil untuk tiap kelompok frekuensi pada masingmasing kelompok testi. Uji T sampel bebas merupakan uji beda untuk data rasio yang terdistribusi normal atau mendekati normal. Penarikan kesimpulan dari Uji T sampel bebas dilakukan dengan menghitung nilai t tabel dan t hitung. Jika nilai t hitung > t tabel dengan taraf signifikansi 0,05, maka H0 diterima. Namun, jika nilai t hitung < t tabel dengan taraf signifikansi 0,05, maka H0 ditolak dan H1 diterima. Untuk t tabel : t=
x−µ s n
Untuk t hitung :
10
Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
t=
A−B s
( A .B )
=
A−B
(s )2 + (s )2 A
B
2 ∑A ∑A − n 1 s 2= A n −1 1 2 ∑B ∑B − n 2 2 s = B n −1 2
Keterangan :
x
= rata-rata dari sampel yang diambil
µ = rata-rata dari populasi yang diambil n
= jumlah sampel yang diambil
s
=standar deviasi data
A = rata-rata sampel jenis A B = rata-rata sampel jenis B
s ( A .B )
= standar error yang diperoleh dari standar error masing-masing jenis perlakuan Uji beda antara data dari testi sehat dengan data dari testi sakit menggunakan uji T
sampel bebas pada perangkat lunak SPSS 13.0. Cara penarikan kesimpulan dari hasil Uji T sampel bebas menggunakan SPSS adalah dengan memperhatikan nilai signifikansi 2tail yang disebut sebagai p. Jika p > 0,05, maka H0 diterima dan H1. Namun, jika p < 0,05, maka H0 ditolak dan H1 diterima (Kusriningrum, 2008). HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam persiapan penelitian, testi diabetes mellitus diperiksa kadar gula darahnya menggunakan alat cek kadar gula darah digital untuk meyakinkan bahwa pada testi diabetes mempunyai kadar gula darah yang tinggi atau pada testi sehat mempunyai kadar gula darah yang rendah dan diminta untuk menyampaikan keluhan-keluhan yang terjadi setelah pasien menderita diabetes mellitus. Pada testi sehat dilakukan juga wawancara untuk riwayat kesehatan testi. Kemudian dilakukan uji beda untuk membandingkan kadar gula darah pada testi sehat dan testi diabetes mellitus. Testi sehat sebanyak 10 orang diberi kode n1 hingga n10 dan testi diabetes sebanyak s1 hingga s10. Berdasarkan hasil SPSS uji beda kadar gula darah pada testi sehat dan testi diabetes, diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan signifikan antara kadar gula darah testi sehat dengan testi diabetes
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013
11
mellitus, yaitu nilai p= 0,0003. Nilai rata-rata kadar gula darah pada testi sehat adalah (100,0±9,1) mg/dl dan pada testi sakit adalah (297,0±43,1) mg/dl. Profil potensial listrik pada titik akupunktur dihasilkan dari perekaman potensial listrik pada titik-titik akupunktur Feishu (BL 13) terkait organ paru, Xinshu (BL 15) terkait organ jantung, Ganshu (BL 18) terkait organ hati, Pishu (BL 20) terkait organ limpa, dan Shenshu (BL 23) terkait dengan organ ginjal selama 100 detik. Hasil cuplikan perekaman profil potensial listrik domain waktu untuk orang sehat yaitu pada gambar 7 dan penderita diabetes mellitus dapat dilihat pada gambar 8.
Gambar 7. Profil Potensial Listrik Domain Waktu pada orang sehat.
Gambar 8. Profil Potensial Listrik Domain Waktu pada penderita diabetes mellitus. Dengan absis menyatakan rentang waktu pencuplikan data (ms), dan ordinat merupakan tegangan sebagai fungsi waktu (V/ms). Profil potensial listrik domain waktu pada titik akupunktur belum dapat dibedakan secara langsung sehingga diperlukan analisis sinyal untuk dapat membadakan keduanya. Oleh karena itu, diperlukan analisis FFT (Fast Fourier Transform) pada perangkat lunak Labscribe untuk mengubah profil potensial listrik domain waktu menjadi profil potensial listrik domain frekuensi. Profil potensial listrik yang terekam dapat dicuplik menjadi bingkai-bingkai data dalam selang waktu pencuplikan yang sama. Dari setiap bingkai yang dicuplik, frekuensi dan masing-masing amplitudo diamati dengan kursor, dicatat ke
12
Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
dalam tabel sehingga menghasilkan data yang rapi dan dapat dianalisis secara statistik. Frekuensi-frekuensi yang muncul sebagai frekuensi dominan pada setiap pencuplikan adalah frekuensi-frekuensi dengan interval 1-5 Hz, 98-102 Hz, 148-152 Hz, 198-202 Hz, 248-252 Hz, 298-302 Hz, 348-352 Hz. Hasil pencatatan amplitudo yang telah disusun secara rapi dari 20 pencuplikan setiap kelompok frekuensi dihitung nilai rata-rata amplitudonya. Hasil perhitungan rata-rata amplitudo tiap kelompok frekuensi pada profil potensial listrik titik akupunktur domain frekuensi kemudian diuji beda menggunakan uji T sampel bebas. Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil uji T sampel bebas untuk rata-rata amplitudo adalah : 1. Terdapat perbedaan signifikan pada kelompok frekuensi 1-5 Hz dengan p=0,032 pada titik Xinshu, 248-252 Hz dengan p=0,035 pada titik Ganshu, dan 348-352 Hz dengan p=0,020 pada titik Feishu. 2. Tidak terdapat perbedaan signifikan pada frekuensi lainnya dan pada titik akupunktur lainnya. Pada penelitian ini menggunakan perangkat lunak perekam biopotensial yang telah diatur secara otomatis sebagai perekam sinyal EMG. Sinyal EMG yang dihasilkan berorde hingga mikrovolt, sehingga diperlukan penguatan agar dapat diperlihatkan pada layar komputer. Sinyal EMG dari permukaan tubuh yang direkam berasal dari beda potensial yang terjadi antara dua elektrode yang dipasang pada titik akupunktur secara lateral sebagai pintu masuk dan keluarnya energi yang memiliki arah positif dan negatif. Antara titik akupunktur dan kelistrikannya pada organ dihubungkan oleh meridian sebagai jalur aliran energi. Sehingga organ diamati kelistrikannya melewati meridian menuju titik akupunktur. Elektrode positif dan negatif yang dipasang secara lateral, menerima
beda
potensial
pada
kedua
titik
akupunktur
lateral
kemudian
mentransmisikannya ke dalam bioamplifier. Perekaman sinyal EMG menggunakan perangkat Iworx yang dapat melakukan penguatan 1000 kali dari sinyal masukannya sehingga dapat teramati pada layar komputer. Sinyal yang teramati pada layar komputer merupakan sinyal sebagai fungsi waktu yang belum dapat dibedakan secara nyata. Sehingga belum dapat dijadikan sebagai metode analisis profil potensial listrik untuk diagnosis diabetes mellitus. Dengan menggunakan transformasi Fourier, sinyal dalam fungsi waktu yang sebelumnya tidak dapat dibedakan kini dapat terlihat perbedaannya yang nyata secara statistik. Kecederungan yang timbul pada profil potensial listrik untuk kondisi sehat
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013
13
dengan kondisi diabetes adalah amplitudo yang dihasilkan cenderung lebih tinggi pada kondisi diabetes. Hal ini menunjukkan bahwa metode pengolahan sinyal untuk persiapan data sangat diperlukan untuk mengetahui perbedaan profil potensial listrik yang sebelumnya merupakan fungsi waktu. Dengan dapat terbedakannya profil potensial listrik pada titik akupunktur untuk kondisi orang sehat dengan kondisi orang sakit, maka metode analisis ini dapat dijadikan sebagai metode diagnosis untuk penyakit diabetes mellitus. Faktor-faktor yang menyebabkan tidak ditemukannya perbedaan signifikan pada titik-titik akupunktur yang lain dan frekuensi yang lain karena profil kesehatan dari testi yang tidak homogen serta terdapatnya kemungkinan adanya arus listrik yang bukan berasal dari organ yang ditransmisikan oleh elektrode. Profil potensial listrik yang terekam merupakan profil potensial untuk keadaan pada waktu tertentu saat perekaman. Keadaan testi yang tidak homogen akibat faktor psikologis maupun fisik menyebabkan perubahan profil potensial listrik secara seketika. Penentuan letak elektrode pada titik akupunktur yang kurang tepat atau terjadinya pergeseran elektrode juga dapat menjadi salah satu penyebab hilangnya sinyal yang harusnya terekam. Pola profil potensial listrik fungsi frekuensi pada testi sehat terdapat kecenderungan frekuensi dominannya memiliki amplitudo yang lebih kecil dibandingkan dengan pada testi sakit. Frekuensi yang muncul merupakan representasi dari aktivitas kelistrikan organ. Perbedaan ini dapat disebabkan karena adanya kecenderungan perubahan aktivitas listrik pada orang sakit dan orang sehat, dimana organ pada orang sakit lebih banyak melakukan aktivitas untuk menyeimbangkan kondisi tubuh. Dalam pembahasan secara akupunktur, apabila terdapat salah satu unsur dalam hukum lima unsur yang memberikan energi yang berlebihan, maka akan menyebabkan unsur lain menjadi tidak seimbang. Dengan menggunakan kajian akupunktur pada organ dalam hukum lima unsur, terdapat hubungan ibu dan anak yang merupakan pengibaratan saling menghidupi, serta saling membatasi atau saling menindas. Dalam hubungan saling menghidupi, unsur hati menghidupi jantung, jantung menghidupi limpa, limpa menghidupi paru, paru menghidupi ginjal, dan ginjal menghidupi hati. Sedangkan dalam hubungan saling membatasi, unsur hati membatasi limpa,unsur limpa membatasi ginjal, ginjal membatasi jantung, jantung membatasi paru, dan paru membatasi hati. Dari hasil penelitian, diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada titik Feishu (terkait organ paru) di frekuensi tinggi yaitu 348-252 Hz, titik Xinshu (terkait organ jantung) di frekuensi rendah yaitu 1-5 Hz, titik Ganshu (terkait organ hati) di frekuensi 248-252
Hz. Penjelasan untuk hasil tersebut berdasarkan kajian akupunktur, hati
14
Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
merupakan representasi dari unsur kayu menunjukkan dominasi pada frekuensi 248-252 Hz. Frekuensi tersebut menunjukkan energi tinggi dari hati yang kemudian membatasi limpa sebagai unsur tanah sehingga menyebabkan limpa lemah (lebih lemah dibanding pada orang sehat) pada frekuensi tinggi yaitu 348-352 Hz. Limpa yang mengalami defisiensi tidak cukup kuat untuk menghidupi paru, sedangkan jantung tidak cukup dihidupi oleh hati sehingga menyebabkan dominasi frekuensi kecil, yaitu 1-5 Hz. Sehingga akibatnya jantung tidak dapat membatasi paru. Dengan demikian, efek selanjutnya yaitu paru menunjukkan frekuensi dominan yang tinggi atau energi tinggi pada frekuensi 348-352 Hz. Dengan tingginya energi pada paru menyebabkan gejalagejala awal penyakit yang sering terjadi terkait dengan ketidaknormalan fungsi kerja organ paru, seperti : rasa gatal pada kulit, kulit yang kering, dan lain-lain. Hal ini dapat diduga sebagai akibat dari ketidaknormalan kerja organ pada kondisi diabetes sehingga menyebabkan diperlukannya energi yang lebih untuk menyeimbangkan kondisi tubuhnya. Energi yang berlebihan ini dapat dianggap sebagai sinyal yang dipancarkan oleh organ tersebut. Dalam kajian akupunktur dan kedokteran konvensional, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui penyebab dari munculnya kecenderungan yang menjadikan perbedaan pada profil potensial listrik pada titik akupunktur untuk kondisi sehat dan kondisi diabetes mellitus. Pada penelitian ini belum dapat diketahui penyebab secara pasti alasan dari timbulnya kecenderungan tersebut. Perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut dan lebih serius dengan melibatkan pakar di bidang kedokteran konvensional maupun kedokteran akupunktur untuk menelusuri hal-hal yang terjadi pada organ-organ yang diamati dari penelitian ini. Namun yang dapat dicermati adalah organ-organ yang terhubung pada titik-titik akupunktur ini merupakan organ-organ yang rentan terganggu atau rentan terjadi komplikasi diabetes melitus. KESIMPULAN Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa Profil potensial listrik pada titik akupuntur untuk orang sehat memiliki pola kecenderungan amplitudo pada masing-masing kelompok frekuensi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan profil potensial listrik pada titik akupuntur untuk penderita diabetes mellitus tipe II. Berdasarkan analisis statistik, terdapat perbedaan signifikan antara profil potensial listrik fungsi frekuensi untuk orang sehat dan orang sakit yaitu pada frekuensi 1-5 Hz pada titik Xinshu, frekuensi 248-252 Hz pada titik Ganshu, frekuensi 348-352 Hz pada titik Feishu, sedangkan pada frekuensi lainnya pada titik akupunktur lainnya tidak terdapat perbedaan
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013
15
signifikan. Dengan dapat terbedakannya profil potensial listrik pada titik akupunktur untuk orang sehat dan penderita diabetes mellitus, metode ini dapat digunakan untuk diagnosis dini diabetes mellitus. Namun perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk meyakinkan analisis profil potensial listrik pada titik akupunktur dapat dijadikan sebagai metode diagnosis baru diabetes mellitus.
DAFTAR PUSTAKA Ashari dan Santosa, B. P., 2005, Analisis Statistik dengan Microsoft Excell & SPSS, Penerbit ANDI, Yogyakarta Aston, R, 1990, Principles of Biomedical Instrumentation and Measurement, Merril Publishing Company Boas, Mary L., 1983, Mathematical Methods in the Physical Sciences Second Edition, John Wiley & Son, Inc, Canada Erawati, P., Astuti, S. D., dan Prijo, T. A., 2003, Analisis Profil Potensial Untuk Kelainan Fungsional Organ, Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, Surabaya Cameron, J.R, 1978, Fisika Tubuh Manusia, Diterjemahkan Oleh Brahm U. Pendit, Edisi 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta Carlo
J,
Deluca,
1976,
The
use
of
Surface
EMG
in
Biomechanics,
http://www.delesys.com.09/19/2000 Cromwell L., Arditi M. Weibel F.J., Pfeiffer E.A, Steele B., Labok J., 1976, Medical Instrumentation for Health Care, Prentice Hall Inc Gabriel, J. F, 1996, Fisika Kedokteran, EGC, Fisika Universitas Udayana, Bali Griffiths, D. J., 1999, Introduction to Electrodynamics, 3rd Edition, Prentice-Hall, Inc., New Jersey Hobbie, R. K. and Roth, B. J., 2007, Intermediate Physics For Medicine and Biology, 4th Edition, Springer Science+Bussines Media, New York Hall, Guyton A., 1997, Bahan Ajar Fisiologi Kedokteran (Textbook of Medical Physiology), Diterjemahkan oleh Irawati Setiawan, Edisi 1, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta Istikomah, 2006, Pengaruh Stimulasi Listrik Terhadap Penurunan Kadar Gula Darah Mencit (Mus musculus), Fisika Universitas Airlangga, Surabaya Kusriningrum, 2008, Perancangan Percobaan, Airlangga University Press, Surabaya Labscribe Data Acquisition Software Manual.iWorx/ CB Sciences, Inc, Washington. http://www.iworx.com.
16
Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
Rahayu, N. E., 2011, Analisis FFT (Fast Fourier Transform) Untuk Respon Otak Terkait Fungsi Penglihatan Akibat Pengaruh Intensitas Dan Panjang Gelombang Cahaya, Fisika Universitas Airlangga, Surabaya Papoulis, A., 1984, Signal Analysis, McGraw Hill. Inc, Singapore Saputra, K., 2002, Akpunktur Klinik, Airlangga University Press, Surabaya Saputra, K., Idayanti, A., 2005, Akupunktur Dasar, Airlangga University Press, Surabaya Setioningsih, 2010, Analisa Efek Terapi Panas Terhadap Kelelahan Otot, ITS Library, Surabaya Tjia, M. O., 1994, Gelombang, Dabara Publishers, Solo Tjokroprawiro, Askandar, dkk, 2007, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Airlangga University Press, Surabaya Widhiarso, Wahyu, Cara Membaca SPSS, Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta Widjaya, Witjahyakarta, 2012, EEG dan EMG: Teknik Pemeriksaan Syaraf, RS Pondok Indah Group, Jakarta Wijayanto, Y. Nur. dan Hastuti, D., 2006, Rangkaian Bioamplifier untuk Mendeteksi Sifat Elektris Otot, Jurnal Elektronika No. 2 Juli-Desember 2006, Volume 6 Website : http://compassionatedragon.com http://certif.com http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs310/en/ http://digilib.its.ac.id/analisa-efek-terapi-panas-terhadap-kelelahan-otot-10406.html
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013
17
APLIKASI SERAT OPTIK SEBAGAI INDIKATOR KETINGGIAN CAIRAN DENGAN METODE DETEKSI RUGI DAYA OPTIS AKIBAT PELENGKUNGAN DAN PEMOLESAN A Zaini Arif, Samian, Supadi Departemen Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga Kampus C Unair Jl. Mulyorejo, Surabaya 61113
ABSTRAK Telah dikembangkan indikator ketinggian cairan dengan prinsip modulasi intensitas yaitu dengan memanfaatkan perubahan rugi daya optis pada lengkungan(macro-bending) serat optik yang dipoles. Serat optik plastik dengan diameter 1 mm dilengkungkan menyerupai huruf U dengan jari-jari 4,4 mm kemudian disebut dengan probe. Ujung probe dipoles dengan kedalaman 175,6 μm agar dapat kontak langsung dengan media luar yang diukur. Dibuat 9 buah probe dengan jarak 70 mm. Didapat hubungan antara rugi daya optis dengan jumlah probenya adalah berupa grafik ekponesial dan didapat hubungan yang linear antara rugi daya optis dalam satuan desibel (dB) dengan jumlah probe. Dalam pengukuran ketinggian cairan, tegangan yang terukur oleh detektor mengalami kenaikan jika jumlah probe yang tercelup bertambah sehingga ketinggian cairan dapat terdeteksi dengan baik pada setiap periode ketinggian 70 mm. Total rentang ketinggian yang diukur adalah 0 mm sampai 700 mm.
Kata kunci : Probe, Rugi daya optis
18
Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
1.
PENDAHULUAN Pengukuran ketinggian cairan sa-ngatlah penting diantaranya pada dunia industri.
Dalam pengukuran ketinggian cairan tersebut diantaranya dibutuhkan sistem yang bekerja secara otomatis, mem-punyai respon yang baik, akurat, dan mudah pengaplikasiannya. Pengembangan pengukuran ketinggi-an zat cair sangatlah menarik karena banyak metode pengukuran ketinggian cairan yang telah berhasil dikembangkan. Beberapa metode untuk mengukur ketinggian zat cair telah banyak dilakukan diantaranya adalah dengan menggunakan prinsip hidrostatis, kapasitif, ultrasonik, gelombang mikro, inframerah, elektro-mekanik, radiometri, dan metode optik. Penggunaan dan pengembangan se-rat optik (fiber optic) sebagai sensor telah banyak dilakukan. Serat optik menjadi salah satu pilihan pengembangan sensor yang menjanjikan karena memiliki ke-unggulan diantaranya yaitu tidak kontak langsung dengan obyek pengukuran, tidak menggunakan sinyal listrik, akurasi pe-ngukuran yang tinggi, tahan terhadap in-duksi listrik maupun magnet, dapat di-monitor dari jarak jauh, dapat dihubung-kan dengan sistem komunikasi data, serta dimensinya yang kecil dan ringan me-mudahkan penginstalannya (Krohn, 2000). Ada banyak aplikasi sensor serat optik untuk pengukuran ketinggian zat cair, diantaranya yang berhasil diteliti adalah sensor ketinggian zat cair meng-gunakan serat optik dengan probe berupa prisma (Hossein, 2004) maupun elemen sensitif berbentuk kerucut (Pekka, 1997), deteksi ketinggian zat cair melalui per-geseran panjang gelombang Bragg yang dihasilkan dari Fiber Bragg Grating (FBG) (Kyung-Rak. dkk, 2009). Deteksi ketinggian cairan juga telah dilakukan dengan menggunakan dua buah serat op-tik sebagai pemancar dan penerima berkas cahaya melalui sebuah cermin (head sensor) sebagai collimator (C. Vazquez dkk, 2004). Kemudian, dengan teknik yang sederhana telah dikembangkan juga sensor ketinggian air berdasarkan sensor pergeseran berbasis modulasi intensitas menggunakan fiber coupler serta meng-gunakan prinsip hidrostatis yaitu tekanan hidrostatis (Samian dan Supadi, 2010). Salah satu rugi daya optis yang dialami oleh serat optik adalah disebabkan karena adanya lengkungan (macro-bending) pada serat optik. Rugi daya ini tergantung pada karakteristik serat optik, pada jari-jari kelengkungan, dan pada media eksternal yang kontak langsung dengan bagian lengkungan tersebut. Dengan memanfaatkan rugi daya karena adanya lengkungan dapat dibuat indikator ketinggian cairan dengan prinsip modulasi intensitas. Tekniknya relarif sederhana yaitu dengan melengkungkan serat optik dengan jari-jari tertentu dipoles pada ujung
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013
19
lengkungnya (probe). Karena bagian teras serat optik dapat kontak langsung dengan cairan akibat pemolesan tersebut, sehingga diharapkan dapat meningkatkan respon penurunan rugi daya optis karena ujung probe tercelup cairan. Pada penelitian ini dibuat beberapa probe dengan jarak tertentu, sehingga akan mengukur ketinggian cairan pada level-level tertentu. Oleh karena itu proses pengukuran sensor ini akan bersifat diskontinu. Serat optik yang digunakan adalah serat optik plastik karena jika dibanding dengan jenis lain serat optik jenis plastik harganya relatif lebih murah, fleksibel, mudah memanipulasinya, aperture nu-meriknya besar, diameternya lebih besar, dan dapat dilengkungkan dengan mudah dengan jari-jari yang kecil. Keuntungan metode ini adalah relatif mudah dan murah dalam pembuatannya, jangkauan pengu-kuran level dapat dibuat cukup lebar.
2.
METODE PENELITIAN
Pembuatan Probe Serat optik dilengkungkan menyeru-pai bentuk U. Lengkungan tersebut ditahan dengan sebuah penyangga sehingga bentuknya tidak berubah. Kemudian di-lakukan pemolesan (diamplas) sehingga terdapat goresan berbentuk elips (2x) pada ujung probe tersebut dengan panjang 2x sebesar 2,6 mm. Proses pemolesan di-lakukan pada ujung probe dengan meng-gunakan ampelas waterproof no 1200. Ampelas dicelupkan pada air terlebih dahulu agar permuakaan ampelas lebih halus. Ujung probe dipoles pelan-pelan agar panjang 2x tidak melebihi 2,6 mm. Jika nilai 2x belum 2,6 mm dilakukan pemolesan lagi hingga nilai 2x mencapai 2,6 mm. Saat proses pemolesan berkas laser He-Ne dimasukkan dari salah satu ujung serat optik tujuannya adalah untuk mem-perjelas goresan ellips diujung probe sehingga mempermudah pengukurannya. Pengukuran 2x menggunakan jangka sorong dengan ketelitian 0,05 mm dan di-lihat dengan bantuan lup/kaca pembesar untuk memperjelas pengukuran. Ilustrasi Pemolesan pada bagian ujung probe dapat dilihat pada Gambar 1. Pada Gambar 1 menunjukkan serat optik yang yang dilengkungkan dan dipoles pada ujungnya. Jika diperhatikan maka pada bagian muka polesan tersebut terdapat goresan pada ujung probe yang berbentuk elips. Kedalaman polesan (d) dapat dihitung sebagai fungsi dari panjang sumbu mayor elips (2x), jika jari-jari lengkungan R dan jari-jari serat optik adalah r, maka persamaan yang menyata-kan kedalaman polesan (d) adalah,
20
Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
𝑑𝑑 = (𝑟𝑟 + 𝑅𝑅) − �(𝑟𝑟 + 𝑅𝑅)2 − 𝑥𝑥 2
(1)
Penggunaan persamaan (1) secara geometri memudahkan dalam mengetahui kedalamam inti(core) yang terpoles karena nilai 2x relatif lebih mudah untuk diukur panjangnya.
Gambar 1. Gambar salah satu probe dan ilustrasi pemolesannya Dari pengukuran nilai jari-jari probe (R) adalah 4,4 mm, jari-jari serat optik adalah 0,5 mm, dan nilai 2x adalah 2,6 mm. Maka berdasarkan perhitungan de-ngan menggunakan persamaan (1) didapat kedalaman polesan sebesar 175,6 μm. Adapun tujuan pemolesan adalah agar bagian teras (core) serat optik dapat kontak langsung dengan cairan yang diukur. Sehingga terjadi respon perubahan tegangan yang terukur akibat perubahan probe yang tercelup. Kemudian Rugi daya tiap probe diukur dengan detektor cahaya sehingga diketahui hubungan antara rugi daya dengan jumlah probenya. Langkah selanjutnya adalah mengaplikasikan probe yang telah dibuat untuk mendeteksi ketinggian cairan.
Set up Eksperimen Rancangan pemanfaatan rugi daya optis karena lengkungan dan pemolesan sebagai indikator ketinggian cairan secara sederhana dapat di ilustrasikan pada gambar 2. Laser sebagai sumber cahaya dipancarkan dan dipandu olah serat optik. Ketika sinar laser melewati probe maka akan terjadi rugi daya atau terdapat sinar yang diloloskan. Ketika probe tersebut hanya berinteraksi dengan media luar berupa udara maka rugi daya optisnya akan berbeda dengan jika ada bagian probe yang terendam dengan cairan. Oleh karena dengan mengubah-ubah ketinggian cairan secara teratur maka probe yang
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013
21
terendam dengan cairan juga akan berubah. Dapat diperkirakan jumlah probe yang terendam dengan cairan akan mempunyai hubungan dengan perubahan rugi daya optis pada serat optik tersebut. Detektor pada ujung serat optik yang lain akan mendeteksi daya optis yang masih terpandu oleh serat optik. Detektor ini akan mengubah cahaya yang mengenainya menjadi tegangan listrik. Dengan demikian perubahan ketinggian zat cair dapat dideteksi melalui tegangan listrik yang terbaca pada detektor optis tersebut.
Gambar.2 Rancangan indikator ketinggian
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN Data hubungan antara tegangan keluaran detektor terhadap jumlah probe dan dapat
dilihat pada gambar 3. Detektor yang digunakan adalah detektor OPT 101 dan sumber
Tegangan (Volt)
cahayanya adalah laser He-Ne 632,8 nm uniphase dengan daya 0,95 mW. 18 17 16 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 -1
16.3440
y = 44.83e-0.97x R² = 0.989
8.4560
3.2540 0.6338 0
1
2
3
4
0.0965 0.0215 0.0094 0.2899 0.0376 5
6
7
8
9
Probe
Gambar 3. Hubungan tegangan keluaran detektor dengan jumlah probe Gambar 3 grafiknya mempunyai persamaan eksponesial y = 44.83e-0.97x artinya bahwa pola hubungan antara tegangan keluaran terhadap jumlah probe adalah eksponensial. Tegangan keluaran yang diterima oleh detektor optik me-ngalami
22
Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
pelemahan secara eksponensial ketika jumlah probe bertambah. Hal ini sesuai dengan attenuasi atau rugi daya pada serat optik yang secara fisis di rumuskan 𝑃𝑃𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜 = 𝑃𝑃𝑖𝑖𝑖𝑖 𝑒𝑒 −𝛼𝛼𝛼𝛼
2
(2)
Nilai R dari grafik 4.1 adalah 0,989 menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan grafik hubungan keluaran dengan jumlah probe berupa grafik eksponen adalah 98,9 % atau mengalami error sebesar 1,1 %. Rugi daya biasanya dinyatakan dalam satuan Desibel, sehingga untuk mengetahui bahwa tiap probe mengalami rugi daya. Serta untuk mengetahui hubungan rugi daya dengan jumlah probe maka dapat dihitung rugi daya dalam satuan desibel (dB). Desibel berkaitan dengan rasio dua kuantitas elektrik seperti daya(watt), Tegangan(volt), dan Arus(ampere). Jika kita melewatkan sinyal pada suatu pe-rangkat, tentunya akan mengalami pe-nurunan atau penguatan daya. Sinyal input dan Output dapat berupa satuan daya(W), arus (A), atau tegangan(V). Desibel sangat berguna untuk membandingkan level ma-sukan ke keluaran. Jika level keluaran lebih besar daripada level masukan, ja-ringan menunjukkan penguatan, sebalik-nya jika level keluaran lebih kecil maka jaringan tadi menunjukkan peredaman. (Fremann, Roger L. 2005). Secara matematis rugi daya dalam Desibel adalah perbandingan logaritmik antara daya masukan ( Pout ) dengan daya keluaran ( Pin ). Dan dapat di tulis 𝑅𝑅𝑅𝑅𝑔𝑔𝑔𝑔 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 = −10 log
𝑃𝑃𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜
𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 = −20 log
𝑉𝑉𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜
𝑃𝑃𝑖𝑖𝑖𝑖
(3)
Karena yang terukur oleh detektor adalah tegangan (V) dan P ≈ V2 maka persamaan 3 menjadi 𝑉𝑉 𝑖𝑖𝑖𝑖
(4)
Vin adalah tegangan keluaran detektor dengan jumlah probe 0 atau serat optik belum dilengkungkan dan dipoles berdasarkan pengukuran nilainya 17,23 Volt. Sedangkan Vout adalah tegangan keluaran detektor dengan jumlah probe 1, 2, sampai 9 buah. Berdasarkan hasil per-hitungan dengan menggunakan persamaan 4 maka dapat dibuat grafik hubungan antara rugi daya yang terjadi karena kenaikan jumlah probe (gambar 4)
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013
23
Rugi Daya (dB)
65.3002 58.0769 53.2312 45.0316
70 65 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
35.4807 28.6867
y = 8.481x - 8.305 R² = 0.989
14.4774 6.1824 0.4585 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Jumlah Probe
Gambar 4. Grafik Rugi daya terhadap jumlah probe Dari Gambar 4 nampak terjadi kenaikan rugi daya secara linear karena penambahan jumlah probe. persamaan linearitas adalah y = 8.481x - 8.305 dengan nilai koefisien korelasi (R2) sebesar 0.989. Nilai R2 artinya Hubungan rugi daya dengan jumlah probe adalah linear dengan tingkat kepercayaan sebesar 98,9 atau error sebesar 1,1 %. Karena rugi daya mengalami kenaikan secara linear akibat pertambahan jumlah probe maka dapat dipastikan tiap probe mengalami rugi daya. Pengaplikasian serat optik yang di-lengkungkan (probe) sebagai indikator ketinggian cairan hasil datanya dapat dilihat pada gambar 5.
Gambar 5. Grafik kenaikan tegangan terhadap jumlah probe yang tercelup Pada gambar 5 nampak bahwa te-gangan yang terukur oleh detektor mengalami kenaikan jika jumlah probe yang tercelup bertambah. Kenaikan tegangan terjadi karena cladding yang terpoles semula digantikan oleh udara dengan indek bias 1 terisi oleh air dengan indek bias 1,33 sehingga terjadi kenaikan pantulan sinar didalam core serat optik. Jumlah probe yang tercelup mewakili rentang
ketinggian cairan tertentu. Misal-nya
jumlah probe yang tercelup 0 maka ketinggian cairannya adalah 0 s/d 70 mm. Jika 1 probe yang tercelup maka ketinggi-an cairannya adalah 70 s/d 140 mm dan seterusnya. Sehingga total
24
ketinggian cair-an yang terukur adalah 700 mm. rentang ini dapat
Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
dimungkinkan bertambah dengan mengatur jarak antar probe serta mencari jari-jari dan kedalaman polesan probe yang sesuai sehingga rugi daya optis yang terjadi pada probe tidak terlalu besar. 4.
KESIMPULAN Rugi daya akibat pelengkungan (macro-bending) serat optik yang dipoles ujung
lengkungnya dapat dimanfaatkan sebagai indikator ketinggian cairan dengan prinsip pendeteksian secara diskontinu dan dapat bekerja dengan baik. Rentang ketinggian yang terukur adalah 0 sampi 700 mm.
5.
DAFTAR PUSTAKA
Binu, S. V.P. Mahadevan Pillai, N. Chandrasekaran, 2007, Fiber Optic Displacement Sensor for Measure-ment Amplitude and Frequency of Vibration, Optic & Laser Tech-nology, 39:1537 – 1543 . University of Kerala, Kariavattom, Thiruvananthapuram 695 581, Kerala, India Freeman, Roger L., 2005, Fundamentals of telecommunications, John Weley & Sons, Inc, Hoboken, New Jersey. Hossein Golnabi, 2004, Design and Operation of A Fiber Optic Sensor For Liquid Level Detection, Optics and Lasers in Engineering, 41: 801–812. Sharif University of Tech-nology, Tehran, Iran Krohn, D.A, 2000, Fiber Optic Sensor, Fundamental and Application, 3rd, ISA, New York. M. Lomer, J. Arrue , C. Jauregui, P. Aiestaran, J. Zubia, J.M. L´opez-Higuera, 2007, Lateral Polishing of Bends In Plastic Optical Fibres Applied to A Multipoint Liquid-Level measurement sensor, A 137: 68–73, Spain. Samian dan Supadi, 2010, Sensor Ketinggian Air Menggunakan Multi-mode Fiber Coupler, Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga, Surabaya Samian, Yono Hadi Pramono, Ali Yunus Rohedi, Febdian Rusydi, AH Zaidan, 2009, Theoretical and Experimental Study of Fiber-Optic Displacement Sensor Using Multimode Fiber Coupler. Journal of Optoelectronics and Biomedical Materials, 1 (3): 303– 308 . Universitas Airlangga, Surabaya
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013
25
Sintesis dan Karakterisasi Sifat Mikroskopik Keramik Batako dengan Variasi Penambahan Sekam Tebu Aziza Anggi Maiyanti, Jan Ady dan Djony Izak Departemen Fisika,Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga Surabaya Kampus C Mulyorejo, Surabaya 60115
e-mail :
[email protected]
Abstrak Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan sekam tebu pada sifat mikroskopis batako sehingga dapat diketahui komposisi sekam tebu paling baik untuk bahan pengikat dari batako tersebut. Sampel yang digunakan batako dengan penambahan sekam tebu diayak dan tanpa diayak dengan persentase masing – masing 0wt%, 3wt%, 6wt%,
9wt%, 12wt% ,15wt%. Variasi optimum terlihat pada variasi
12wt% untuk penambahan sekam tebu tanpa diayak dan 15wt% untuk penambahan sekam tebu diayak. Nilai porositas batako rata-rata normal yaitu sebesar (8,119 ± 3,866)% dan nilai densitas rata-rata (2,343 ± 0,211) gr/cm3, setelah penambahan sekam tebu maka terjadi perbaikan sifat porositas dan densitas yaitu (7,692 ± 2,492)% dan (2,387 ± 0,087) gr/cm3 untuk variasi penambahan sekam tebu tanpa pengayakan, sedangkan nilai porositas dan densitas untuk penambahan variasi sekam tebu dengan pengayakan adalah (3,846 ± 0,427)% dan (2,674 ± 0,125) gr/cm3. Setelah melalui uji XRD terlihat pembentukan fasa baru yaitu Al0,03Fe0,15Mg1,82O6Si1,97 (Enstatite) yang diidentifikasikan memiliki pengaruh perbaikan sifat densitas batako. Berdasarkan nilai porositas dan nilai densitas diatas maka batako dengan variasi penambahan sekam tebu telah berhasil memperbaiki sifat mikroskopis batako meskipun pada penambahan sekam tebu tanpa pengayakan memiliki nilai porositas dan densitas tidak stabil.
Kata Kunci : Keramik Batako, Sekam Tebu, Porositas, Densitas, XRD
26
Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
PENDAHULUAN Definisi keramik mencakup semua bahan bukan logam dan anorganik yang berbentuk padat.Umumnya senyawa keramik lebih stabil dalam lingkungan termal dan kimia dibandingkan elemennya. Bahan baku keramik yang umum dipakai adalah felspard, ball clay, kwarsa, kaolin, dan air. Sifat keramik sangat ditentukan oleh struktur kristal, komposisi kimia dan mineral bawaannya.Klasifikasi keramik meliputi keramik modern dan keramik tradisional.Dalam penelitian ini bahan keramik yang digunakan masuk dalam kategori keramik modern yaitu batako.Batako merupakan keramik modern yang biasa digunakan untuk bahan dasar bangunan sebagai pengganti batu bata. Hasil penelitian laboratorium yang pernah dilakukan untuk batako berumur 28 hari diperoleh : berat fisik rata-rata sebesar 12,138 kg, densitas rata-rata sebesar 2,118 gr/c, penyerapan air sebesar 12,876% dan kuat tekan rata-rata sebesar 1,97 MPa (Darmono, 2009). Seiring dengan perkembangan jaman dan kemajuan teknologi, sekam tebu yang dahulunya hanya digunakan sebagai abu gosok, sudah mulai dimanfaatkan dalam industri bahan bangunan, seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Hidayati pada tahun 2010 dengan judul Pengaruh Penambahan Abu Ampas Tebu Terhadap Sifat Fisis dan Mekanis Batako. Pada penelitian ini digunakan variasi penambahan sekam tebu dengan persentase 10wt%, 20wt%, 30wt%, 40wt%, 50wt%. Peneliti menggunakan perbandingan semen, pasir, air sebesar 1:4:0,5. Penelitian ini menambahkan sekam tebu pada proses pembuatan sehingga diharapkan memperbaiki sifat fisis dan mekanis batako meliputi penyerapan air, densitas, kuat pukul, kuat tekan dan kekerasan. Selain itu terdapat juga penelitian yang dilakukan oleh Emelda Sihotang pada tahun 2010 dengan judul Pemanfaatan Abu Ampas Tebu pada Pembuatan Mortar. Penelitian ini menggunakan variasi penmabahan sekam tebu 3%, 6%, 9%, 12% dan 15%. Penelitian Sihotang mendapatkan hasil porositas semakin baik tetapi tidak menghitung nilai densitas sedangkan pada penelitian Hayati diketahui nilai densitas. Kedua penelitian diatas tidak meneliti tentang pengaruh penambahan sekam tebu dengan sifat mikroskopik sebuah bahan. Ulasan di atas memberikan inspirasi untuk mengkarakterisasi material keramik batako baik yang sudah ditambahkan dengan variasi sekam tebu ataupun yang belum ditambahkan sekam tebu terkait dengan sifat mikroskopik yang dikandung oleh material keramik batako sehingga dapat menjadikan material keramik batako yang telah disintesis dengan sekam tebu mempunyai kelebihan dibandingkan dengan material keramik batako tanpa variasi apapun.
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013
27
METODE PENELITIAN Pembuatan Sampel Pencampuran material dilakukan dengan menggunakan mixer sesuai dengan proporsi dalam rancangan percobaan di atas.Pertama, agregat halus dicampur dengan sekam tebu sampai merata pencampurannya.Kedua, semen Portland tipe-1 ditaburkan pada permukaan pencampuran tersebut.Setelah ketiganya merata, dilubangi bagian tengahnya seperti sebuah kawah untuk ditaburi air PDAM lalu diaduk hingga campuran tersebut saling mengikat dan homogen menjadi sebuah adonan pasta. Pencetakan
material
dilakukan
setelah
pencampuran
dan
pengadukan
material.Adonan batako basah dimasukkan di dalam cetakan balok (10x5x5) cm. Sebelum dimasukkan ke dalam cetakan, terlebih dahulu cetakan diolesi dengan vaselin.Setelah dimasukkan ke cetakan, adonan pasta dipress hingga padat dan ditutup dengan kain basah selama 24 jam. Pengeringan material dilakukan setelah batako dicetak dan dibiarkan selama 24 jam lalu dikeluarkan dari cetakannya. Selanjutnya diletakkan di rendam di bak perendaman selama 27 hari. Pada hari ke 28 dilakukan proses pengeringan atau pengangkatan material selama 24 jam dilanjutkan dengan pengujian mikroskopik, porositas dan densitas pada mortar tersebut. Pengujian Porositas Setelah melalui proses perendaman dan pengeringan maka dilakukan uji porositas menggunakan persamaan : Porositas (%) = Dimana :
𝑚𝑚 𝑏𝑏 − 𝑚𝑚 𝑘𝑘 𝑣𝑣 𝑏𝑏
x 𝜌𝜌
1
𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎
x 100%
mb = Massa basah dari benda uji (gram) mk= massa kering dari benda uji (gram) vb = Volume benda uji
28
Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
Gambar 1. Grafik Hasil Uji Porositas Batako dengan variasi Sekam Tebu Pengujian Densitas Untuk pengukuran densitas batako mengacu pada standard ASTM C 134-95 dan dihitungdengan persamaan (Juwairiah,2009): ρpc =
Dimana :
ms
m b −(m s −m k )
x ρair
ρpc= densitas (gr/cm3) ms= massa sample kering (gr) mb= massa sample setelah di rendam (gr) mg= massa sample digantung didalam air (gr) mk= massa kawat penggantung (gr) ρair= densitas air = 1(gr/cm3) Hasil penelitian laboratorium yang pernah dilakukan untuk batako berumur 28 hari diperoleh: berat fisik rata-rata sebesar 12,138 kg, densitas rata-rata sebesar 2,118 gr/cm3, penyerapan air sebesar 12,876%, dan kuat tekan rata-rata sebesar 1,97 MPa (Darmono, 2009). Uji XRD Pengujian XRD dilakukan setelah melewati uji porositas dan uji densitas. Uji XRD dilakukan untuk mengetahui pengaruh sifat mikroskopik batako dengan variasi penambahan sekam tebu dengan perbaikan nilai porositas dan nilai densitas.
HASIL DAN PEMBAHASAN Sekam tebu yang digunakan untuk variasi penambahan pada batako harus merupakan silika amorf dikarenakan bentuk silika amorf akan memberi pengaruh peningkatan kekuatan keramik yang lebih besar dibanding dengan bentuk fase kristalnya.Berdasarkanpenelitian Hanafi dan Nandang (2010), memaparkan bahwa kuat patah maksimum diberikan oleh bentuk amorf sebesar 940 dyne/cm2 yang lebih tinggi dari kuat patah keramik Indonesia dalam literatur. Silika amorf diperoleh dengan cara membakar sekam tebu dengan suhu antara 5000C-6000C dan setelah melalui uji XRD maka akan terlihat hasil seperti pada Gambar 2.
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013
29
Gambar 2. Hasil Uji XRD Sekam Tebu Hasil XRD batako dengan variasi penambahan sekam tebu disajikan pada Gambar 3, 4 dan 5.
Gambar 3. Hasil Uji XRD Variasi 0 wt%
Gambar 4. Hasil Uji XRD Variasi 12wt% dengan pengayakan
Gambar 5. Hasil Uji XRD Variasi 15wt% tanpa pengayakan
30
Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
Berdasarkan analisis XRD pada Gambar 3 menunjukkan bahwa batako sebelum penambahan sekam tebu didominasi oleh dua fasa yaitu SiO2 sebanyak 62,5 % dan Al2ClF25Sr10(Strontium Hexafluoroaluminate fluoride chloride) sebanyak 37,5%. Hasil XRD
pada
Gambar
4
mengandung
3
fasa
dominan
yakniSiO2sebanyak1,8%,Al2ClF25Sr10sebanyak3,0%danAl0,03Fe0,15Mg1,82O6Si1,97 (Enstatite)sebanyak 95,2%. Hasil Grafik XRD pada Gambar 4.4 mengandung 3 fasa dominan
yaitu
SiO2sebanyak
17,3
%,
Al2ClF25Sr10sebanyak
10,6
%
dan
Al0,03Fe0,15Mg1,82O6Si1,97(Enstatite) sebanyak 72,1 %. Fasa enstatite terlihat mulai muncul pada variasi penambahan sekam tebu 12 wt%. Perbedaan dari ke tiga sampel yang di uji adalah persentase kedua fasa dominan tersebut dan terlihat juga terdapat fasa baru yang terbentuk pada hasil pengujian XRD batako yang telah divariasikan dengan sekam tebu yaitu fasa Al0,03Fe0,15Mg1,82O6Si1,97 (Enstatite). Pembentukan fasa enstatite disajikan dalam lampiran 3 point B dan C . Munculnya senyawa enstatite di duga berperan dalam perbaikan sifat densitas batako. Berdasarkan(Dana,E.S,1892) dijelaskan juga bahwa Enstatite tersusun atas senyawa pada Tabel 1. Tabel 1. Senyawa penyusun Enstatite No
Senyawa
1
SiO2
2
TiO2
3
Al2O3
4
Fe2O3
5
Cr2O3
6
FeO
Berdasarkan Tabel1 terlihat penyusun dari enstatite hampir sama dengan penyusun sekam tebu, pasir dan semen yang terdiri dari SiO2,Al2O3 dan Fe2O3 sedangkan setelah mengalami pencampuran maka terjadi perubahan pada senyawa TiO3 menjadi TiO2 hal ini diduga terjadi karena pada saat pencampuran bahan terjadi suatu reaksi penggantian atom sehingga terbentuk juga senyawa-senyawa yang lain. Dikarenakan pasir, sekam tebu dan semen mempunyai senyawa pembentuk yang identik maka jika ketiga bahan tersebut dicampurkan maka terdapat kemungkinan terbentuk fasa enstatite. Karakterisasi perbaikan sifat porositas ditunjukkan pada Tabel 2 dan Gambar 6. Sebagai pembanding terdapat variasi 0wt% dengan nilai porositas adalah 8,119± 3,866 % dan nilai densitas sebesar 2,343 ± 0,211 gr/cm3.
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013
31
Tabel 2. Hasil Uji Porositas Batako Variasi
Porositas Rata – Rata (%)
(%)
Tidak diayak
Diayak
1
3 wt
9,402 ± 3,140
7,692 ±0,855
2
6 wt
12,820±0,457
6,838 ± 1,298
3
9 wt
11,111±2,898
5,128 ± 1,047
4
12 wt
7,692 ± 2,492
4,273± 4,472 x 10-4
5
15 wt
12,820±1,788
3,846 ± 0,427
Porositas (%)
No
15 10 5
Tidak Diayak
0 0
10
20
diayak
Variasi (%) Gambar 6. Grafik Hasil Uji Porositas Batako Porositas yang stabil dihasilkan pada penambahan variasi sekam tebu yang telah melalui pengayakan yaitu mengalami perbaikan disetiap persentase sekam tebu yang ditambahkan sehingga didapatkan hasil yang optimum pada variasi penambahan sekam tebu sebanyak 15%. Sekam tebu dapat berperan sebagai pengisi antara partikel partikel pembentuk batako sehingga kedapan batako akan menjadi bertambah sehingga permeabilitas semakin kecil. Partikel-partikel SiO2 pada sekam tebu yang sangat halus memiliki luas permukaan interaksi yang tinggi. Partikel-partikel tersebut berinteraksi dengan campuran pasir dan semen yang merupakan bahan baku utama dari batako. Semakin banyak partikel yang berinteraksi, semakin kuat pula batako. Semakin kuat batako maka semakin berkurang juga nilai porositas batako sehingga didapatkan nilai porositas batako yang optimum.(Mulyati, 2010) Menurut penelitian Mulyati pada tahun 2010 dengan penambahan sekam tebu melalui pengayakan 200 mess atau setara dengan 75 mikron maka sekam tebu memiliki ukuran lebih kecil dibandingkan ukuran partikel semen yaitu 120 mess atau setara dengan 125 mikron sehingga sekam tebu dapat memasuki pori-pori yang ditinggalkan oleh air tetapi tidak dapat dimasuki oleh ukuran partikel semen. Sehingga saat sekam tebu dapat mengisi pori-pori yang ditinggalkan oleh air maka rongga-rongga pori dalam batako akan semakin sedikit perbandingannya dengan volum batako tersebut sehingga nilai
32
Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
porositasnya mengalami perbaikan di setiap penambahan persentase sekam tebu yang melalui proses pengayakan. Hasil Karakterisasi perbaikan nilai densitas ditunjukkan pada Tabel 3 dan Gambar 7. Tabel 2. Hasil Uji Densitas Batako Variasi
Densitas Rata – Rata (gr/cm3)
(%)
Tidak diayak
Diayak
1
3 wt
1,745 ± 0,145
2,399 ± 0,049
2
6 wt
1,897 ± 0,079
2,452 ± 0,044
3
9 wt
2,060 ± 0,145
2,516 ± 0,123
4
12 wt
2,387 ± 0,087
2,631 ± 0.079
5
15 wt
1,879 ± 0,129
2,674 ± 0,125
No
Jika diperhatikan pada hasil Grafik uji XRD yakni Gambar 4 dan 5terlihat terdapat fasa baru yang diindikasikan menjadi salah satu penyebab perbaikan sifat yakni
Densitas (gr/cm3)
fasa Al0,03Fe0,15Mg1,82O6Si1,97 (Enstatite). 3 2 1 0
Tidak diayak 0
10
20
Diayak
Variasi (%) Gambar 7. Hasil uji Densitas Batako Gambar
3
menunjukkan
terdapat
dua
fasa
dominan
yakni
SiO2dan
Al2ClF25Sr10(Strontium Hexafluoroaluminate fluoride chloride) dengan nilai persentase yang berbeda. Berdasarkan penelitian (Brownel, L.E dan Young, E.H, 1993) didapatkan nilai densitas dari SiO2 (Quartz) adalah 2,648 gr/cm3 sedangkan menurut penelitian (N.N. Greenwood,1997)
terlihat
bahwa
nilai
densitas
Al2ClF25Sr10
(Strontium
3
Hexafluoroaluminate fluoride chloride) yakni 3,69 gr/cm . Gambar 4 dan 5 masih terdapat
dua
fasa
yang
sama
tetapi
terlihat
terbentuk
fasa
baruyaitu
Al0,03Fe0,15Mg1,82O6Si1,97 (Enstatite) dengan persentase yang sangat tinggi. Berdasarkan Morimoto,N dan Koto,K,1969diketahui Enstatitememiliki nilai densitas 3,9 gr/cm3. Berdasarkan data densitas masing-masing fasa yang telah didapatkan dan persentase masing-masing fasa yang telah di ketahui maka terlihat bahwa fasa Al0,03Fe0,15Mg1,82O6Si1,97(Enstatite) memiliki nilai densitas paling tinggi sehingga dengan nilai densitas tersebut serta persentase yang ditunjukkan pada Gambar 4 dan Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013
33
Gambar 5 yang tinggi pula dapat disimpulkan bahwa Enstatite mempunyai pengaruh pada perbaikan nilai densitas batako. KESIMPULAN 1.
Metode Penambahan Silika Amorf Sekam Tebu dapat digunakan untuk mensintesis material keramik batako dengan nilai porositas dan densitas yang lebih baik dibandingkan dengan batako murni. Porositas batako murni memiliki nilai ratarata(8,119 ± 3,866)% dan Densitas batako murni memiliki nilai (2,343 ± 0,211) gr/cm3. Sedangkan nilai porositas setelah penambahan sekam tebu adalah (7,692 ± 2,492) % untuk yang tidak diayak dan (3,846± 4,472 x 104)% untuk batako dengan variasi penambahan sekam tebu diayak, sedangkan densitas batako yang dihasilkan setelah mendapatkan penambahan silika amorf sekam tebu adalah (2,387 ± 0,087) gr/cm3 untuk penambahann variasi sekam tebu tanpa pengayakan dan penambahan sekam tebu yang mengalami pengayakan didapatkan nilai (2,674 ± 0,125) gr/cm3.
2.
Hasil dari uji XRD menggambarkan penambahan silika amorf sekam tebu dapat memperbaiki sifat mikroskopis batako dengan adanya pembentukan fasa baru yaitu Al0,03Fe0,15Mg1,82O6Si1,97 (Enstatite) yang berperan dalam memperbaiki nilai densitas batako dikarenakan Enstatite memiliki nilai densitas yang cukup tinggi dibandingkan dengan fasa SiO2 (Quartz) dan Al2ClF25Sr10 (Strontium Hexafluoroaluminate fluoride chloride).
DAFTAR PUSTAKA Brownell,L.E. Young, E.H. 1993. Precipitation chemystry.New York. Dana, E.S. (1892) .Dana’s System of Mineralogy 6th edition. 346-348. Darmono.2009.Penerapan Teknologi Produksi Bahan Bangunan Berbahan Pasir Bagi Korban
Gempa
Di
Kulonprogo
Serta
Analisis
Mutu
dan
Ekonominya.Yogyakarta:Universitas Negeri Yogyakarta. Hayati, E.K. 2007.Buku Ajar Dasar-Dasar AnalisaSpektroskopi. Malang: UINpress. Herdianita.2000.Pengukuran Kristalinitas Silika Berdasarkan Metode Difraktometer Sinar-X.Bandung:Institut Teknologi Bandung Hidayati,Nurwahyu.2010.Pengaruh Penambahan Abu Ampas Tebu Terhadap Sifat Fisis dan Mekanis Batako. Departemen Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Medan: Universitas Sumatera Utara. Jaturapitakkul,Chai.2009.Utilization
of
Bagase
Ash
a
Pozzolanic
Material
in
Concrete.Thailand:University of Technology Thonbury. Joelianingsih.2004. Peningkatan Kualitas Genteng Keramik Dengan Penambahan Sekam
34
Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
Padi Dan Daun Bambu (Makalah Pribadi Falsafah Sains (PPS 702) Sekolah Pasca Sarjana / S3). Bogor: Institut Pertanian Bogor. Juwairiah, 2009.Efek Komposisi Agregat Batu Apung dan Epoxy Resin Dalam Pembuatan Polymer Concrete Terahadap Karakteristiknya.Medan:Universitas Sumatera Utara. Morimoto,N. Koto,K. 1969. The Crystal Structure of Orthoenstatite.Zeitschrift fur kristallographie. Mulyati, Sri. 2010. Pengaruh Persen Massa Hasil Pembakaran Serbuk Kayu dan Ampas Tebu Pada Mortar Terhadap Sifat Mekanik dan Sifat Fisisnya. Universitas Andalas. Nawy,Tavio dan Kusuma.Beton Bertulang : Sebuah Pendekatan Mendasar. Surabaya:ITS Press. N.N. Greenwood.1997. Chemistry of the element. Butterwort-Heinemann. United Kingdom:Oxford.. Ratnasari,D.2009. Tugas Kimia Fisik X-Ray Diffraction (XRD).Surakarta:Universitas Sebelas Maret Surakarta. S.A.Hanafi dan R.A. Nandang.2008.Studi Pengaruh Bentuk Silika dari Sekam tebu terhadap Kekuatan Produk Keramik.Serpong : Pusat Penelitian Kimia LIPI Sihotang,Emelda.2010.Pemanfaatan
Sekam
tebu
pada
Pembuatan
Mortar.Medan:Universitas Sumatera Utara Sitorus, T.K. 2009.Pengaruh Penambahan Silika Amorf Dari Sekam Padi Terhadap Sifat Mekanis Dan Sifat Fisis Mortar. Medan: Universitas Sumatra Utara. Simbolon, T, 2009. Pembuatan dan Karaterisasi Batako Ringan Yang Terbuat dari Styoform Semen.Medan:Uuniversitas Sumatera Utara Sukmawati,Rahman.2010.Kajian Eksperimental Pengaruh Aspek Lekatan Agregat Kasar Terhadap Mortar pada Kuat Tekan Beton.Semarang:Universitas Diponegoro Umah,Saiyidatul.2010.Penambahan Abu Sekam Padi dari Berbagai Suhu Pengabuan Terhadap Plastisitas Kaolin.Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Wiboweo.FX.
Nurwadji,
John
Pengembangan Alat
Tri
Hatmoko,
Haryanto
Yoso
Pengolah Limbah Sekam tebu
Wigroho.2006.
Menjadi Pozolan.
Yogyakarta:Universitas Atma Jaya Wijanarko W.,2008, Analisis Bahan Jerami Padi Dalam Bentuk Block atau Kotak Sebagai Bahan Pengisi Batako.Surakarta:Universitas Sebelas Maret
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013
35
PENGARUH VARIASI HOLDING TIME PADA PROSES LAKU PANAS TERHADAP SIFAT FISIS MATERIAL BAJA 2436 Cicilia Maya Christanti[1], Dyah Hikmawati., M.Si[1], Drs. Djoni Izak R., S.Si., M.Si. Jurusan Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga Surabaya
Email :
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh laku panas pada variasi Holding Time terhadap komposisi, struktur mikro dan kekerasan baja 2436. Perlakuan panas austenit dengan suhu 950oC dengan variasi waktu penahanan dari 20 menit sampai 90 menit dan tempering. Pengujian menggunakan uji kekerasan Rockwell, spektrometer, serta mikroskop optik. Hasil penelitian menunjukkan tingkat kekerasan baja bora 2436 yang dapat di aplikasikan sebagai produk pendukung adalah yang diproses dengan waktu penahanan 30 menit sampai 50 menit sekitar 57,25 HRC sampai 59,25 HRC. Hal ini terjadi dengan adanya komposisi unsur-unsur penting yaitu Fe sebagai unsur utama dan unsur yang sengaja ditambahkan untuk meningkatkan sifatnya baja bora 2436 dan unsur C, Cr, V, dan W yang masih teridentifikasi. Hasil pengujian struktur mikro dengan waktu penahanan dari 30 menit sampai 50 menit terlihat struktur perlit yang bersifat lebih keras lebih banyak dibandingkan ferit yang lebih rapuh.
Kata kunci : perlakuan panas, kekerasan, komposisi, struktur mikro.
36
Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Masalah Baja adalah bahan utama yang banyak digunakan oleh dunia industri, biasanya
banyak digunakan terutama untuk membuat alat-alat perkakas. Salah satu baja yang digunakan baja bora 2436, baja tersebut digunakan sebagai produk pendukung dari produk utama yaitu stempel merk. Keunggulan dari baja 2436 adalah memiliki kekerasan yang tinggi (baik) yang dapat digunakan untuk stempel merk. Kelemahannya adalah baja 2436 hanya perusahaan tertentu saja yang memproduksi baja tersebut. Selain unsur besi sebagai unsur utamanya, baja bora 2436 mengandung unsur-unsur Fe, C, Si, Mn, P, S, Cr, W dan V yang memiliki persentase tertentu. Persentase masing-masing unsur tersebut berpengaruh terhadap sifat-sifat fisis dari baja 2436, diantaranya sifat kekerasannya. Sebagai industri yang banyak memanfaatkan bahan baku baja pada produk-produknya, maka banyak proses perlakuan dilakukan untuk mendapatkan sifat baja yang sesuai dengan aplikasinya. Salah satu aplikasinya adalah sebagai bahan pembuatan alat untuk stemple merk. Produk ini memiliki kekerasan tertentu sehingga diperlukan baja dengan karakteristik kekerasan tertentu pula untuk membuat stemple merknya. Sifat tersebut dapat diperoleh melalui lama waktu proses perlakuan panas (heat treatment). Variasi yang berbeda pada perlakuan ini diharapkan akan diperoleh baja bahan baku stempel merk
yang memiliki kekerasan yang melebihi atau paling tidak sama dengan sifat
kekerasan produk utama.
METODE PENELITIAN 3.1
Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2011 sampai dengan bulan
Juni 2011 dan dilaksanakan di Laboratorium Logam, Bengkel Perkakas, dan Laboratorium Heat Treatment, Turen-Malang dan Laboratorium Fisika Material jurusan Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga. 3.3.1
Perlakuan Panas Austenit (Heat Treatment) Spesimen yang digunakan sebanyak 8 dilakukan proses heat treatment secara
bersamaan dengan suhu 950oC selama satu jam. 3.3.2
Waktu Penahanan (Holding Time)
Spesimen sebanyak 8 buah tersebut diberi waktu penahanan dari 20 menit sampai 90 menit dengan interval waktu 10 menit.
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013
37
Tempering Suhu tempering 180 oC dan lama waktu tempering adalan satu jam dengan pendinginan di udara. Diagram Alir Penelitian
Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian
38
Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
HASIL DAN PEMBAHASAN Baja bora sebelum proses perlakuan belum siap untuk di aplikasikan sebagai produk pendukung sehingga diperlukan proses perlakuan panas austenit yang dapat meningkatkan nilai kekerasannya. Meskipun proses ini mengakibatkan nilai kekerasan yang tinggi sebesar 58,98 HRc sampai 62,50 HRc, tapi menyebabkan baja bersifat yang getas. Hal ini terjadi karena tegangan sisa yang dapat mengakibatkan bahan menjadi patah. Oleh karena itu, diperlukan proses tempering untuk menghilangkan tegangan sisa. Meskipun tingkat kekerasan sedikit menurun dari semula 57,25 HRc sampai 59,25 HRc tapi nilai kekerasan tersebut cukup tinggi bagi baja bora 2436 sehingga siap di aplikasikan sebagai produk pendukung. Pada penelitian ini waktu penahanan 30 menit sampai 50 menit terbukti memberikan nilai tingkat kekerasan yang cukup untuk spesifikasi produk pendukung.
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1
Kesimpulan
Dari hasil pengujian, pengamatan, serta hasil dan pembahasan yang telah dilakukan dalam penelitian ini, dapat diambil kesimpulan : 1. Hasil uji kekerasan menunjukkan peningkatan dari sekitar 16,13 sampai 19,75 menjadi sekitar 57,25 sampai 59,25 untuk seluruh perlakuan. Peningkatan kekerasan tersebut adanya unsur-unsur C, Cr, V, dan W yang ada dalam kandungan baja bora 2436 dan hasil struktur mikro mendukung hal tersebut dimana nampak pada penahanan 30 menit sampai 50 menit memiliki struktur perlit yang keras lebih dominan dan struktur ferit yang lebih rapuh. 2. Pengaruh variasi waktu penahanan 20 menit belum tepat karena nilai kekerasannya belum layak untuk digunaka sebagai produk pendukung. Waktu penahanan 30 menit sampai 50 menit merupakan pilihan yang terbaik untuk memproses baja 2436 karena nilai kekerasan mencapai sekitar 57,25 sampai 59,25 yang paling tinggi, adapun waktu penahanan 60 menit sampai 90 menit kurang menjadi pilihan karena waktu penahanan lebih dari 60 menit cenderung menurunkan nilai kekerasannya 5.1.
Saran
Pada waktu proses perlakuan panas sebaiknya oven furnace tidak terlalu sering di buka sehingga hasil yang di peroleh dapat lebih baik
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013
39
DAFTAR PUSTAKA Cain Tubal, 1984, “Hardening, Tempering and Heat Treatment”, First edition, Argus Book. Dalil, M, 1999, ”Pengaruh Perbedaan Waktu Penahanan Suhu Stabil (Holding Time) Terhadap Kekerasan Logam”, Jurnal Natur Indonesia II, Fakultas Teknik Universitas Riau Djafri, Sriati, 1987, Terjemahan dari Mechanical Metallurgy. Jakarta, Erlangga : Metalurgi Mekanik Hariyanto, Agus, 2006, “Pengaruh Perlakuan Panas Terhadap Peningkatan Nilai Kekerasan dan Perubahan Struktur Mikro Pada Alat Pemindah Gigi Isuzu Diesel “ Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta R. Koekoeh K Wibowo, SENTA (2007) “Pengaruh Proses Perlakuan Panas Pada Baja AISI 304 Terhadap Kekerasan Dan Laju Korosi Dalam Media HCl (35%)”. Low R. Samuel, 2001, “Rockwell Hardness Measurement of Metallic Materials”, National Institute of Standards and Technology, America. Mubarok, Fahmi, St., MSc, 2008, “Metallurgy I”, Jurusan Teknik Mesin, ITS Sofiyyudin Ahmad Aniq, 2007, “Pengaruh Suhu Carburizing Menggunakan Media Arang Batok Kelapa Terhadap Kekerasan Dan Ketahanan Aus Roda Gigi Baja AISI 4140”, Jurusan Teknik Mesin, Skripsi, Universitas Negeri Semarang. Suherman Wahid Ir, “Pengetahuan Bahan”, Jurusan Teknik Mesin FTI-ITS, Surabaya, 1988. Wibowo, Bambang Tri, 2006, “Pengaruh Temper Dengan Quenching Median Pendingin Oli Mesran SAE 40 Terhadap Sifat Fisis dan Mekanis Baja ST 60” Jurusan Teknik Mesin, Skripsi, Universitas Negeri Semarang. Van Vlack, Lawrence H., 1992, Ilmu Dan Teknologi Bahan, Terjemahan : Sriati Djapire, Edisi Kelima, PT. Erlangga, Jakarta
40
Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
PENENTUAN RESPON OPTIMAL FUNGSI PENGLIHATAN IKAN TERHADAP PANJANG GELOMBANG DAN INTENSITAS CAHAYA TAMPAK Fita Fitria, Welina Ratnayanti K, Tri Anggono P Laboratorium Biofisika, Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya 60115
ABSTRAK
Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui pengaruh panjang gelombang dan intensitas cahaya tampak terhadap respon ikan dan mengetahui panjang gelombang dan intensitas cahaya tampak yang paling berpengaruh terhadap respon ikan. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap. Prosedurnya adalah rangkaian lampu LED yang telah diisolasi dipasangkan ke dalam tambak ± 30 cm dari permukaan perairan tambak dan jaring angkat dipasangkan ke dalam tambak, selanjutnya rangkaian lampu LED dinyalakan selama 10 menit, setelah 10 menit jaring angkat diangkat dari tambak dan dihitung jumlah ikan liar yang telah masuk ke dalam jaring angkat. Berdasarkan analisis data menggunakan Anova yang dilanjutkan dengan uji Tukey. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa panjang gelombang dan intensitas cahaya tampak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap perilaku ikan liar, menunjukkan bahwa pada perlakuan selama 10 menit dengan pemaparan cahaya LED hijau dengan panjang gelombang 548 nm menunjukkan respon optimum penglihatan ikan terhadap warna cahaya Led hijau dengan rata-rata jumlah ikan liar yang berkumpul pada jaring angkat adalah 23,8 dan intensitas cahaya tampak sebesar 296,4 k Lux memberikan respon optimal penglihatan ikan dengan rata-rata jumlah ikan liar yang berkumpul pada jaring angkat adalah 27,8.
Kata kunci: Panjang gelombang, Intensitas Cahaya, Penglihatan ikan
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013
41
PENDAHULUAN Perkembangan Teknologi saat ini memudahkan manusia untuk melakukan aktivitasnya di segala bidang, salah satu yang terkena imbasnya adalah kemajuan teknologi dalam bidang perikanan yaitu mengembangkan alat penangkap ikan yang ramah lingkungan. Perkembangan teknologi penangkapan ikan yang saat ini sedang sukses dan berkembang pesat adalah penggunaan sumber cahaya untuk menarik perhatian ikan dalam proses penangkapan ikan (Nikonorov, 1975). Penggunaan alat bantu penangkap ikan dengan menggunakan sumber cahaya sudah banyak dilakukan di perairan laut oleh nelayan dengan tujuan untuk mengumpulkan ikan di suatu areal penangkapan ikan sehingga nelayan dapat meningkatkan hasil tangkapannya, Pemanfaatan sumber cahaya sebagai alat bantu penangkap ikan adalah dengan memanfaatkan tingkah laku ikan terhadap cahaya. Ada beberapa factor ikan dapat berkumpul pada area tertentu oleh suatu cahaya diantaranya ikan tertarik cahaya karena adanya sifat phototaksis . Secara umum respon ikan terhadap sumber cahaya dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu bersifat phototaksis positif (ikan yang mendekati datangnya arah sumber cahaya) dan bersifat phototaksis negatif (ikan yang menjauhi datangnya arah sumber cahaya). Identik dengan penangkapan ikan di perairan laut, penangkapan ikan di perairan darat yaitu di tambak juga perlu dilakukan dengan tujuan yang berbeda dari perairan laut, dalam perairan darat tujuannya lebih pada menangkap ikan liar yang ada di dalam tambak. Pada umumnya dalam suatu tambak terdapat ikan liar yang tidak di inginkan berkembang, ikan liar ini dapat menggangu pertumbuhan ikan yang diproduksi dalam suatu tambak ikan, sehingga dapat menurunkan hasil panen petani tambak. Diharapkan penggunaan sumber cahaya dalam menangkap ikan di perairan tambak dapat membantu petani tambak dalam upaya mengurangi ikan liar di dalam tambak sehingga hasil panen yang dihasilkan dapat optimal. Pada penelitian yang dilakukan oleh utami dengan menggunakan cahaya yang berbeda – beda yaitu cahaya hijau , merah, biru, kuning, dengan intensitas yang berbedabeda yaitu antara 1 lux-19 lux dengan interval 2 lux. Ikan yang di gunakan adalah ikan pepetek yang merupakan ikan demersal yang hidup di laut tropis Hasil penelitian tersebut menghasilkan ikan yang paling banyak berkumpul pada cahaya berwarna hijau dan ikan yang paling sedikit berkumpul pada cahaya berwarna merah dengan intensitas 19 lux.
42
Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
Sedangkan menurut Najamuddin dkk, 1994 Ikan-ikan pelagis seperti ikan layang, tembang dan kembung sangat peka terhadap warna merah dan kuning. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Masyahoro 1998 ikan kembung lelaki (Rastraligger Kanagurta) tertarik oleh cahaya warna biru dengan intensitas 3500 lux. Menurut Fujaya (2002) Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkah laku ikan terhadap cahaya antara lain intensitas, komposisi spektrum warna cahaya dan lama penyinaran. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa intensitas cahaya dan panjang gelombang sangat menentukan jenis ikan yang tertangkap. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan menentukan kesukaan ikan terhadap warna cahaya tertentu dengan intensitas yang berbeda –beda. Sehingga petani tambak dapat menangkap ikan liar yang dapat menggangu perkembangan ikan budidaya yang di produksinya. Sumber cahaya yang digunakan dalam penelitian ini adalah cahaya LED. Penggunaan cahaya LED ini dimaksudkan untuk memanfaatkan respon ikan terhadap cahaya. Untuk meminimalkan masuknya cahaya dalam air peletakkan sumber cahaya dinyalakan di dalam air. Diharapkan peletakan sumber cahaya di dalam air memberikan pengaruh terhadap ikan agar dapat berkumpul di dalam jebakan atau jaring ikan.
METODOLOGI PENELITIAN Metode penelitian mencakup tahap persiapan dan tahap penelitian .Alur kegiatan disajikan pada bagan alir di bawah ini (Gambar 1).
Gambar 3.1. diagram blok langkah – langkah penelitian
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013
43
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian Jumlah ikan liar yang masuk ke dalam jaring angkat terhadap panjang gelombang cahaya LED Tabel 1.Rata-rata jumlah ikan gatul yang masuk ke dalam jaring angkat terhadap variasi cahaya LED Warna LED
Jumlah ikan pada pengulangan ke -
Rata rata
1
2
3
4
5
Hijau
27
24
26
27
15
23.8
Biru
26
27
23
24
10
22
Merah
10
14
10
11
9
10.8
Kuning
16
18
10
6
8
11.6
Putih
26
16
14
12
9
15.4
Dari data yang diperoleh pada Tabel 1. dapat disajikan Histogram Rata-rata jumlah ikan gatul yang masuk ke dalam jaring angkat terhadap panjang gelombang cahaya LED
Gambar 2. Histogram Rata-rata jumlah ikan gatul yang masuk ke dalam jaring angkat terhadap panjang gelombang cahaya LED Dari gambar 2 diatas memperlihatkan bahwa Lampu LED warna hijau lebih disukai daripada Lampu LED warna lainnya, kemudian Lampu LED warna biru, lalu lampu Lampu LED warna putih, Lampu LED warna merah dan paling sedikit warna kuning, maka dapat diketahui bahwa ikan gatul lebih adaptif dengan panjang gelombang yang pendek yaitu warna hijau sepanjang 548 nm dan warna biru dengan panjang 465 nm dibandingkan dengan panjang gelombang yang panjang seperti yang dimiliki oleh warna putih sepanjang 440-700 nm, warna merah sepanjang 653 nm dan kuning sepanjang 595 nm.
44
Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
Hal tersebut disebabkan karena intensitas cahaya yang di pancarkan LED kuning paling kecil dibandingkan dengan lampu LED lainnya (ditunjukkan pada Lampiran ). Sehingga intensitas cahaya yang diterima oleh ikan kurang optimal. Sedangkan warna LED hijau dan biru memiliki intensitas cahaya yang besar dan diperkuat oleh Panjang gelombang hijau dan biru yang memiliki panjang gelombang yang pendek sehingga daya tembus ke dalam perairan semakin besar. Dan juga berdasarkan habitatnya ikan gatul lebih terbiasa dengan warna hijau yaitu warna cahaya LED hijau yang menyerupai kondisi dari lingkungan (air tambak) pemeliharaan oleh karena itu ikan gatul lebih adaptif terhadap warna hijau. Menurut Ayodhyoa, 1981 ikan tertarik oleh cahaya disebabkan oleh kekuatan dan warna lampu yang digunakan. Ikan dapat membedakan warna cahaya asalkan cukup terang dan masing-masing jenis ikan menyukai warna terang yang berbeda-beda. Tabel 2 Rata-rata jumlah ikan gatul yang masuk ke dalam jaring angkat terhadap variasi intensitas cahaya LED warna Hijau Intensitas Cahaya LED
Jumlah ikan pada pengulangan ke -
Rata-rata
1
2
3
4
5
265,2 kLux
25
27
28
28
20
25.6
296,4 kLux
23
30
26
23
37
27.8
327,6 kLux
28
13
29
14
25
21.8
358,8 kLux
30
27
23
21
12
20.6
390
24
17
15
13
11
16
kLux
Dari data yang diperoleh pada Tabel 2. dapat disajikan Histogram Rata-rata jumlah ikan gatul yang masuk ke dalam jaring angkat terhadap variasi intensitas cahaya LED warna Hijau
Gambar 3 Histogram Rata-rata jumlah ikan Gatul yang masuk ke dalam jaring angkat terhadap Intensitas Cahaya.
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013
45
Dari gambar 3 dapat diketahui bahwa intensitas cahaya 296.2 kLux mengumpulkan ikan paling banyak sedangkan ikan paling sedikit berkumpul pada intensitas cahaya 296.2 kLux. Pada intensitas cahaya sebesar 327.6 kLux terjadi penurunan jumlah ikan gatul yang masuk ke dalam jaring angkat. Hal ini disebabkan karena ikan juga memiliki intensitas cahaya optimum, yaitu intensitas cahaya maksimum (paling kuat atau besar) yang dapat diterima oleh sel indra penglihatan ikan. Apabila cahaya yang diberikan sudah melebihi intensitas maksimum yang dapat diterima oleh ikan, maka ikan akan cenderung menjauhi cahaya tersebut. Dapat disimpulkan bahwa intensitas cahaya sebesar 296.2 kLux adalah intensitas maksimum yang dapat diterima oleh penglihatan ikan gatul. Menurut Woodhead (1963) menyatakan bahwa tiap spesies ikan mempunyai intensitas cahaya optimum yang berbeda-beda, tergantung susunan organ-organ tubuhnya.
KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : 1. Panjang gelombang dan intensitas cahaya tampak dengan menggunakan Lampu LED memberikan pengaruh terhadap perilaku ikan liar dalam penelitian ini ikan liarnya adalah ikan gatul. 2. Kesukaan warna cahaya LED ikan gatul adalah warna cahaya LED hijau dengan panjang gelombang cahaya 548 nm dan intensitas cahaya
optimum yang dapat
diterima oleh penglihatan ikan gatul sebesar 296,4 kLux. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Universitas Airlangga Surabaya dan Laboratorium biofisika telah memfasilitasi penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Ayodhyoa. 1976. Teknik Penangkapan Ikan. Bagian Teknik Penangkapan Ikan. Institut Pertanian Bogor. Fujaya, Y. 2002. Fisiologi Ikan.Dasar Pengembangan Teknologi Perikanan. Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. 146 hlm. Fujaya, Y . 2004. Fisiologi Ikan . Dasar Pengembangan Teknologi Perikanan. Jakarta: PT Asdi Mahasatya. Woodhead PMJ. 1966.
The Behavior of Fish Relation to the Light in The Sea.
Eceanografy Marine Biology: Horald Barnes Edition. Rev. 4: 337-403.
46
Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
Studi Infiltrasi Tubulus Dentin Berbasis Hidroksiapatit yang Berpotensi untuk Terapi Dentin Hipersensitif Aditya Iman Rizqy1, Aminatun 2, Prihartini Widiyanti 3 1,2,3
Program Studi Teknobiomedik, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga E-mail :
[email protected]
Abstract Dentin hypersensitivity is pain that lasts shortly and sharp due to stimuli to an open dentin which is caused by gingival recession. When the open dentin is exposed to a stimuli from outside, fluid in the dentinal tubules experiences in and out mechanical movements which may trigger the pain. This study aimed to infiltrate the dentin tubules so that the open dentin tubules could be sealed back. Hydroxyapatite (HA) was chosen as the infiltration base material since it is the largest component (70%) of dentin and also biocompatible. Calcium phosphate precipitation method was used in this study. Variations of HA concentration (0.133 M: 0.113 M: 0.093 M: 0.073 M: 0.053 M) were conducted to observe the effect of HA addition to the microstructure and the biocompatibility of the obtained precipitate. The SEM test result showed that the addition of HA concentration resulted in denser and thicker precipitate, of which the concentration of 0.133 M yielded the best precipitate. ANOVA test on the results of MTT assay showed that increasing the HA concentration of the solution showed no significant difference in the number of cells with the condition that the percentage of the living cells is still below the toxicity threshold. Based on the SEM result, hydroxyapatite has the potential as a material for dentine hypersensitivity therapy, yet an optimization to the solutions’ concentrations would be necessary to obtain biocompatible solutions.
Keywords: hydroxyapatite, dentin hypersensitivity, dentin tubules, infiltration, precipitation, calcium phosphate.
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013
47
Abstrak Hipersensitivitas dentin adalah rasa sakit yang berlangsung singkat dan tajam akibat rangsangan terhadap dentin yang terbuka karena gusi yang menurun. Ketika dentin yang terbuka terpapar rangsangan dari luar, cairan dalam tubulus dentin mengalami pergerakan mekanis ke dalam dan ke luar yang memicu timbulnya rasa nyeri. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan infiltrasi tubulus dentin sehingga tubulus dentin yang terbuka dapat tertutup kembali. Hidroksiapatit (HA) dipilih menjadi bahan dasar infiltrasi karena merupakan komponen terbesar (70%) penyusun dentin gigi serta sifatnya yang biokompatibel. Metode presipitasi kalsium fosfat digunakan dalam penelitian ini. Dilakukan variasi konsentrasi HA (0,133 M ; 0,113 M ; 0,093 M ; 0,073 M ; 0,053 M) untuk diamati perbedaan struktur mikro dan biokompatibilitas tumpatan yang terbentuk. Hasil Uji SEM menunjukkan bahwa seiring penambahan konsentrasi HA, presipitat yang dihasilkan semakin padat dan tebal, dimana konsentrasi 0,133 M menghasilkan tumpatan terbaik. Uji ANOVA pada hasil MTT Assay menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi HA pada larutan tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna pada jumlah sel hidupnya dengan kondisi masih dibawah batas ambang toksisitas. Berdasarkan hasil SEM, hidroksiapatit berpotensi sebagai bahan terapi dentin hipersensitif, namun perlu dilakukan optimasi konsentrasi larutan untuk memperoleh larutan yang biokompatibel.
Kata kunci : hidroksiapatit, hipersensitivitas dentin, infiltrasi tubulus dentin, presipitasi, kalsium fosfat.
48
Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
PENDAHULUAN Salah satu masalah gigi sehubungan dengan rasa sakit yang banyak terjadi dan sulit diatasi oleh dokter gigi adalah dentin hipersensitif (Orchardson et al., 2006) atau yang lebih dikenal oleh masyarakat luas dengan istilah gigi sensitif saja. Pada tahun 2007, sekitar 30 % penduduk dunia mengalami hipersensitivitas dentin (Carini dkk., 2007) dengan tidak menutup kemungkinan terjadinya peningkatan prevalensi hingga saat ini. Hipersensitivitas dentin didefinisikan sebagai rasa sakit yang berlangsung singkat dan tajam akibat adanya rangsangan terhadap dentin yang terbuka (terpapar lingkungan oral) (Kielbassa et al., 2002). Walaupun rasa sakit yang timbul hanya berlangsung singkat, namun hal ini dapat mengakibatkan proses makan menjadi sulit (Aldo et al., 2002). Rasa sakit tersebut akan mempengaruhi kenyamanan dan kesehatan rongga mulut dan bila tidak diatasi akan menimbulkan defisiensi nutrisi pada penderitanya (Camila dkk., 2006). Salah satu cara perawatan dentin hipersensitif adalah dengan menutup tubulus dentin (saluran penghubung permukaan dentin dengan saraf pada pangkal dentin) untuk mencegah rangsangan dari luar memicu rasa nyeri (Chu et al., 2010). Calcium oxalate, contohnya, telah direkomendasikan sebagai perawatan efektif untuk dentin hipersensitif berdasarkan presipitasi (penggumpalan) calcium oxalate dalam tubulus dentin. Perawatan ini secara efektif menghilangkan hipersensitivitas pada tahap awal, namun ternyata hanya bertahan sebentar saja dikarenakan larut/terkikisnya calcium oxalate itu sendiri (Kerns et al., 1991). Fazrina (2011) telah melakukan penelitian infiltrasi tubulus dentin dengan pasta desensitasi pro-Argin yang mengandung arginin, asam amino, dan kalsium karbonat sebagai sumber kalsium dalam pasta ini, dan diperoleh kedalaman tumpatan sedalam 2 µm saja. Tumpatan yang hanya 2 µm ini rentan terkikis oleh berbagai gerakan mekanis cairan dalam mulut seperti halnya kocokan air ketika berkumur, sehingga banyak dokter gigi menghimbau pada pasien untuk tidak berkumur terlalu lama setelah penyikatan gigi dengan pasta desensitasi. Penelitian oleh Bedi (2011) juga mendukung fenomena ini, dimana percobaannya yang menggunakan bahan potassium nitrate juga menunjukkan pengikisan total pada tumpatan setelah pembilasan langsung dengan aquades. Saat ini, telah ada pasta desensitasi komersial yang mengandung kristal hidroksiapatit, namun bagaimanapun penggunaan tumpatan dari pasta desensitasi masih memberikan kekhawatiran akan
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013
49
hilangnya tumpatan setelah berkumur sehingga tumpatan dari pasta desensitasi tidak bisa bertahan terlalu lama dalam dentin. Ishikawa et al. (1995) melakukan antisipasi terhadap kasus serupa sebelumnya dengan
menginfiltrasi
(menutup)
tubulus
dentin
dengan
metode
presipitasi
(penggumpalan) kalsium fosfat dalam tubulus dentin yang menghasilkan tumpatan (presipitat) sedalam ± 10-15 µm sehingga semua kekhawatiran di atas dikatakan dapat teratasi. Berdasarkan konsep di atas, perlu dilakukan upaya infiltrasi tubulus dentin dengan kalsium fosfat seperti yang dilakukan Ishikawa et al. (1995). Kalsium fosfat berjenis hidroksiapatit (HA) dipilih karena hidroksiapatit merupakan komponen terbesar dari dentin (70 %) (Ismiawati, 2009) dan memiliki sifat biokompatibel, yakni tidak menimbulkan reaksi inflamasi atau efek kerusakan hingga kematian sel jaringan sekitar (Dainti, 2010). Presipitat HA yang dihasilkan akan dibandingkan dengan tumpatan yang dihasilkan dari pasta desensitasi HA komersial terhadap pengaruh pengocokan dengan aquades (simulasi proses kumur) untuk melihat perbedaan struktur mikro yang terjadi. Upaya infiltrasi tubulus dentin berbasis hidroksiapatit dalam penelitian ini diprediksikan akan menghasilkan tumpatan yang cukup dalam (lebih dari kedalaman yang dihasilkan dari pasta desensitasi komersial) dan bisa menjawab kebutuhan akan tumpatan yang lebih tahan pengaruh kumur yang berakibat pada kembalinya rasa nyeri tajam karena hilangnya tumpatan.
BAHAN DAN METODE 1. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain bubuk hidroksiapatit (Ca10(PO4)6(OH)2), aquades, H3PO4 2 M, NaOH 1 M ; 1,5 M ; 2 M ; 2,5 M dan 3 M, HCl 0,6 M, serta 7 buah gigi molar manusia berusia 16-35 tahun (kondisi sehat/normal) yang diperoleh dari Unit Bedah Mulut FKG Universitas Airlangga. 2. Metode Metode dalam penelitian ini adalah presipitasi kalsium fosfat yang digunakan Ishikawa et al. (1994) untuk menginfiltrasi tubulus dentin dengan bahan kalsium fosfat. Ada 2 macam larutan yang digunakan dalam metode ini, yakni larutan HA dan NaOH sebagai netralisator. Larutan HA disiapkan dengan melarutkan bubuk hidroksiapatit dalam larutan H3PO4 2 M. Setelah larutan HA diaplikasikan pada sampel, larutan NaOH diaplikasikan pada sampel yang sama. Larutan HA yang bersifat asam akan mengalami
50
Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
kenaikan nilai pH setelah bercampur dengan larutan NaOH yang bersifat basa. Campuran kedua larutan akan menghasilkan larutan dengan suasana netral sehingga hidroksiapatit yang sebelumnya terlarut dalam H3PO4 akan terpresipitasi kembali membentuk gumpalan yang dapat menyumbat saluran tubulus dentin pada sampel. Perolehan nilai konsentrasi larutan HA jenuh yang dijadikan angka patokan variasi dilakukan dengan menghitung jumlah bubuk HA maksimal yang dapat larut dalam H3PO4 2 M. Eksperimen dilakukan dengan membuat larutan HA keruh terlebih dahulu. Untuk memperoleh HA yang tak larut, digunakan alat centrifuge (Beckman tipe TJ-R Refrigeration Unit) dengan memisahkan bubuk HA tak larut (endapan) dari larutan jenuhnya (supernatan). Pemusingan dengan centrifuge dilakukan terhadap larutan HA awal yang masih keruh selama 15 menit dengan kecepatan 2200 rpm sampai diperoleh endapan pada dasar tabung centrifuge. Endapan yang diperoleh dicuci berulang kali dengan aquades hingga kondisi netral kemudian dipisahkan dari aquades yang tersisa. Endapan lembab dikeringkan menggunakan oven pada suhu 100° C selama 1 jam untuk menguapkan semua aquades yang masih tercampur. Jumlah endapan HA ini digunakan untuk menentukan jumlah HA maksimal yang larut. Tabung Durham sebanyak 5 buah disiapkan untuk mensimulasikan presipitasi yang terjadi pada 5 variasi larutan HA yang ditentukan. Larutan HA diteteskan pada kelima tabung masing-masing 1 tetes sesuai urutan variasinya. Kemudian NaOH 1 M diteteskan masing-masing juga 1 tetes pada kelima tabung yang sebelumnya sudah berisi larutan HA untuk menetralisasi larutan. Kondisi presipitat yang terbentuk diamati satu per satu selama 6 jam.
3. Karakterisasi Beberapa uji dilakukan, antara lain uji karakterisasi SEM, uji sitotoksisitas MTT Assaydan uji ANOVA satu arah. Hasil dari masing-masing uji kemudian dianalisis
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Penentuan variasi konsentrasi HA Hasil eksperimen menunjukkan bahwa nilai konsentrasi larutan HA jenuh yakni sebesar 0,133 M. Eksperimen ini dilakukan hanya dengan sekali percobaan, sehingga peneliti menyatakan bahwa konsentrasi larutan HA sebesar 0,133 M ini menggambarkan kondisi larutan yang mendekati tepat jenuh. Angka 0,133 M inilah yang kemudian menjadi patokan dalam penentuan angka konsentrasi yang lain, sehingga diperoleh
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013
51
deretan variasi konsentrasi 0,133 M ; 0,113 M ; 0,093 M ; 0,073 M dan 0,053 M untuk 5 larutan HA yang digunakan dalam penelitian ini. 2. Simulasi presipitasi dengan tabung Durham Simulasi ini dilakukan untuk sedikit memberikan gambaran proses presipitasi yang terjadi di dalam tubulus dentin secara kasat mata sebelum diaplikasikan langsung pada sampel dentin serta untuk memastikan keberhasilan proses karakterisasi SEM. Hasil simulasi ini ditunjukkan oleh Tabel 1. Tabel. 1. Kondisi presipitat dalam tabung Durham
Berdasarkan Tabel 1, NaOH 3 M pada akhirnya dipilih untuk digunakan sebagai netralisator dalam penelitian ini karena menghasilkan presipitat yang mampu bertahan (kuat) dan tidak rontok kembali ke dasar tabung hingga jam ke-6 bahkan pada seluruh variasi larutan HA. 3. Hasil SEM Karakterisasi SEM terhadap tumpatan juga dilakukan untuk menunjukkan bahwa HA dapat digunakan untuk menginfiltrasi tubulus dentin, serta memberikan gambaran pengaruh penambahan konsentrasi HA dalam metode presipitasi kalsium fosfat terhadap mikrostruktur tumpatan yang dihasilkan. Struktur mikro dari presipitat (tumpatan) sebelum dan sesudah pengocokan dengan aquades dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.
52
Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
A
B
C
D
E
F
G
Gambar 1. Dentin sebelum perlakuan (A) ; tumpatan pasta HAP komersial (B) ; dan tumpatan HAP 0,133 M (C) ; 0,113 M (D) ; 0,093 M (E) ; 0,073 M (F) dan 0,053 M (G) (Magnifikasi 2500X untuk semua sampel) Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013
53
Gambar 1 menunjukkan bahwa larutan HA dengan konsentrasi 0,133 M (C) menghasilkan tumpatan yang paling padat (kompak) dan menutup seluruh permukaan dentin secara merata dibandingkan dengan keempat konsentrasi lainnya (D-G). Pasta HA komersial (B) pun terlihat tidak menutup permukaan dentin secara merata dan masih menyisakan tubulus dentin yang terbuka.
A
B
C
D
E
F
Gambar 2. Tumpatan HA setelah pengocokan dengan aquades : pasta HA komersial (A) ; 0,133M (B) ; 0,113M (C) ; 0,093M (D) ; 0,073M (E) dan 0,053M (F) (Magnifikasi 2500X)
54
Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
Gambar 2 menunjukkan bahwa bahkan setelah pengocokan dengan aquades, tumpatan dengan konsentrasi HA 0,133 M (B) masih meninggalkan tumpatan hingga ke dalam tubulus dentin, tidak hanya di permukaan saja seperti yang dihasilkan dari larutan HA konsentrasi 0,073 M (E) yang berupa lapisan presipitat tipis sehingga banyak bagian yang retak akibat pengocokan. Pada bagian bawah lapisan yang hilang pun (tanda panah), tidak terlihat presipitat yang masih mengisi bagian dalam tubulus dentin. Sedangkan tumpatan yang dihasilkan pasta HA komersial menunjukkan tubulus dentin yang makin terbuka lebar setelah pengocokan dengan aquades (A). Hal ini relevan dengan pernyataan Strassler (2008) bahwa efektivitas penggunaan pasta desensitasi memang baru bisa ditunjukkan setelah penggunaan rutin selama ± 2 minggu. 3. Hasil Uji MTT Assay Hasil uji MTT Assay menunjukkan bahwa larutan HA 0,093 M ; 0,113 M dan 0,133 M secara berurutan menyisakan sel hidup sebanyak 34,49 % ; 34,75 % dan 36,48 %. Sebelum dilakukan uji untuk menganalisis hasil OD formazan antar kelompok konsentrasi, pengujian distribusi dan homogenitas sampel dilakukan terlebih dahulu. Uji normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov Test menunjukkan p = 0,997 yang berarti bahwa semua kelompok konsentrasi memiliki distribusi normal (p > 0,05). Uji homogenitas dengan Levene Statistic menunjukkan p = 0,604 yang berarti bahwa semua kelompok konsentrasi memiliki varians yang homogen (p > 0,05). Setelah diketahui semua kelompok konsentrasi berdistribusi normal dan homogen, dilakukan uji parametrik ANOVA satu arah dengan taraf kemaknaan 5% untuk mengetahui perbedaan nilai OD formazan antar kelompok konsentrasi. Probabilitas yang diperoleh adalah sebesar 0,456 (p > 0,05) yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan jumlah sel hidup yang bermakna antar kelompok konsentrasi yang diuji. Berdasarkan prosentase sel yang hidup, baik larutan HA 0,093 M ; 0,113 M maupun 0,133 M, semuanya masih bersifat toksik dikarenakan menyisakan sel hidup kurang dari 60 %. Hal ini diduga karena sifat asam larutan HA 0,093 M ; 0,113 M dan 0,133 M yang masih terlalu kuat dengan nilai pH masing-masing 1,40 ; 1,43 dan 1,49 (hasil pengukuran dengan pH meter).
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013
55
KESIMPULAN 1. Karakterisasi SEM (Scanning Electron Microscopy) menunjukkan bahwa HA dapat digunakan untuk infiltrasi tubulus dentin. 2. Penambahan konsentrasi HA pada larutan, menghasilkan presipitat yang lebih padat dan tebal, dimana konsentrasi 0,133 M menghasilkan tumpatan terbaik. 3. Peningkatan konsentrasi HA pada larutan tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna pada jumlah sel hidupnya dengan kondisi masih dibawah batas ambang toksisitas. SARAN 1. Semua larutan HA maupun NaOH dari metode yang digunakan dalam penelitian ini masih bersifat toksik, karena itu perlu dilakukan optimasi lebih lanjut pada H3PO4 (pelarut hidroksiapatit) menggunakan pH yang lebih tinggi (konsentrasi di bawah 2 M), serta NaOH dengan pH yang lebih rendah (konsentrasi di bawah 3 M) hingga diperoleh larutan HA dan NaOH yang aman/non-toksik. 2. Uji in vivo perlu dilakukan setelah diperoleh larutan HA dan NaOH yang aman/nontoksik.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada Ibu Aminatun, Ibu Prihartini Widiyanti, Ibu Retna Apsari dan semua pihak yang telah membantu terselesaikannya fullpaper ini.
DAFTAR PUSTAKA Addy, M., 2002. Dentine hypersensitivity: new perspectives on an old problem. Int Dent J Aldo, B., 2002. Jr. Laser therapy in the treatment of Dental hypersensitivity. http://www.walt.nu Bedi, G., 2011. Clinical and Scanning Electron Microscopic Evaluation of Various Concentrations of Potassium Nitrate as a Desensitizing Agent. Volume 6, Smile Dental Journal Camila, 2006. Efficacy of Gluma Desensitizer® on dentin hypersensitivity in periodontally treated patients. Braz Oral Res 2006 Carini, F., 2007. Effects of a ferric oxalate dentin desensitizier: SEM analysis. Research Journal of Biological Sciences Chu, C., 2010. Management of dentine hypersensitivity. Dental Bulletin Maret
56
Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
Dainti, E.A., 2010. Pengaruh Penambahan Hydroxyapatite Terhadap Karakteristik Amalgam High Copper Tipe Blended Alloy. Skripsi Program Sarjana. Surabaya : UNAIR. Fazrina, N., 2011. Perawatan Non-Invasif Hipersensitivitas Dentin dengan Pro-Argin. Skripsi Program Sarjana. Medan : USU. Imai, Y., 1990. A New Method of Treatment for Dentin Hypersensitivity by Precipitation of Calcium Phosphate in situ. Japan : Tokyo Medical and Dental University. Ishikawa, K., 1994. Occlusion of Dentinal Tubules with Calcium Phosphate Solution Followed by Neutralization. Japan : Tokushima University. Ismiawati, I.D., 2009. Analisis Sifat Mekanik dan Struktur Kristal Hidroksiapatit pada Enamel Gigi Akibat Paparan Laser Nd-YAG. Skripsi Program Sarjana. Surabaya : UNAIR. Kerns, D.G., 1991. Dentinal Tubule Occlusion and Root Hypersensitivity. Journal Periodontal. Kielbassa, A.M., 2002. Dentine hypersensitivity: Simple steps for everyday diagnosis and management. International Dental Journal Muchtaridi, 2006. Kimia 2. Indonesia : Yudhistira. Orchardson, R., 2006. Managing dentin hypersensitivity. J Am Dent Assoc Strassler, H. dan Serio, F., 2008. Dentinal Hypersensitivity : Etiology, Diagnosis, and Management. USA : The Academy of Dental Therapeutics and Stomatology.
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013
57
Sintesis dan Karakterisasi Kolagen dari Tendon Sapi (Bos Sondaicus ) sebagai Bahan Bone Filler Komposit Kolagen – Hidroksiapatit Agnes Krisanti Widyaning, Adri Supardi2, Prihartini Widiyanti2 1Program Studi S1 Teknobiomedik Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga 2Staf Pengajar Departemen Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga Email :
[email protected]
Abstrak
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mensintesis
komposit
kolagen – hidroksiapatit dengan memanfaatkan tendon sapi, mengetahui karakteristik mikro dan biologis komposit kolagen – hidroksiapatit, serta mengetahui variasi komposisi komposit kolagen – hidroksiapatit yang terbaik untuk dapat diaplikasikan sebagai bahan implant. Prosedur penelitian yang dilakukan adalah mensintesis kolagen dari tendon sapi dengan cara merendam 70 gram tendon dalam 5% HCl selama 24 jam pada suhu 4ºC. Perendaman dilakukan dengan perbandingan b:v 1:20. Setelah masa perendaman, filtrat hasil perendaman ditambahkan 1N NaOH. Akan terbentuk gumpalan putih, yang kemudian disaring menggunaka kertas saring. Kolagen basah yang terbentuk sebanyak 13,86%, kemudian
dikompositkan
dengan
hidroksiapatit
dengan
7
variasi komposit kolagen - hidroksiapatit yaitu 100:0; 0:100; 30:70; 40:60; 50:50; 60:40 dan 70:30. Produk hidroksiapatit yang digunakan berasal dari Instalasi Pusat Bioamaterial dan Bank Jaringan Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo Surabaya. Hasil FTIR komposit terdeteksi adanya pita serapan vibrasi asimetri streching (υ3) fosfat 3-2 (PO4 ), pita serapan υ3 karbonat (CO3 ), pita serapan NH dan pita serapan OH. Hasil uji toksisitas menunjukkan sel dapat hidup semua lingkungan sampel. Hasil karakteristik biologi sampel menunjukkan bahwa sampel pada perbandingan kolagen : hidroksiapatit 40 : 60 memiliki potensi besar untuk dijadikan bone filler dengan nilai uji MTT Assay 108,1%. Kata
Kunci : Kolagen
Tendon,
Hidroksiapatit, Komposit
kolagen
–hidroksiapatit, bone filler.
58
Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
Abstract
This study aims to synthesize the composite collagen - hydroxyapatite by using bovine tendon, Knowing and biological characteristics of the micro- composite collagen hydroxyapatite, and Knowing the composition variation of the composite collagen hydroxyapatite is best to be applied as an implant material. The procedure is to synthesize research conducted collagen from bovine tendon by soaking 70 grams of tendon in 5% HCl for 24 h at 4 º C. Soaking is done by comparison wv 1:20. After the immersion, the filtrate was added 1N NaOH immersion results. Will form white lumps, which make use of filter paper and then filtered. The results of this white blob is wet collagen. Collagen is formed and then wet yag dikompositkan with hydroxyapatite with 7 variations of hydroxyapatite collagen composite is 100:0; 0:100; 30:70: 40:60: 50:50: 60:40 and 70:30. Products derived from hydroxyapatite used Bioamterial Central Bank Network
Installation General Hospital Dr. Soetomo Surabaya. FTIR results
weredetected composite asymmetric stretching vibration absorption band (υ3) phosphate (PO43-), υ3 absorption band of carbonate (CO3-2), NH absorption band and the OH absorption band. For the toxicity test results indicate the cell can survive all environmental samples. The results of the biological characteristics of the
samples
showed that the samples on a comparison of collagen: hydroxyapatite-40: 60 has great potential to be used as bone filler by the MTT test Assay108, 1%. Key word : Tendon bovine, Hydroxyapatite, Collagen–Hydroxyapatite Composite, Bone Filler.
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013
59
PENDAHULUAN Kualitas
hidup
manusia
bergantung
pada
jaringan.Terganggunya fungsi organ atau jaringan dapat
kesehatan
organ
dan
menyebabkan kerusakan
yang fatal bagi tubuh. Bila suatu organ telah mengalami kerusakan yang cukup fatal, maka perlu dilakukan tindakan untuk mengganti organ atau jaringan yang rusak tersebut. Penggantian organ atau jaringan inilah yang disebut sebagai implant. Ketika autograft dan allograft sudah tidak memungkinkan untuk digunakan, maka solusi yang tepat adalah penggunaan biomaterial sebagai implant. Tendon sapi banyak ditemukan dipasaran, mudah didapat dan harga cukup terjangkau. Tendon sapi juga memiliki kandungan kolagen yang cukup tinggi. Kolagen secara luas diaplikasikan dalam bidang medis karena sifatnya yang biokompatibel dengan tubuh dan biodegradable. Protein kolagen telah banyak digunakan untuk perbaikan jaringan tulang karena protein ini mampu untuk merangsang pertumbuhan sel – sel tulang baru (Lee et al, 2001). Hidroksiapatit ( Ca10(PO4)6(OH)2) adalah salah satu biomineral paling penting yang ditemukan alami pada jaringan keras. Hidroksiapatit
memiliki biokompatibilitas
yang sangat baik dengan jaringan keras, osteokondutivitas tinggi dan bioaktivitas meskipun laju degradasi rendah, serta kekuatan mekanik dan potensi osteoinduktif yang baik ( Rodrigues et al, 2003 ). Hidroksiapatit digunakan dalam rekonstruksi tulang karena struktur kimia yang mirip dengan komposisi anorganik tulang manusia.Tulang merupakan bagian tubuh kompleks yang terdiri dari protein, terutama kolagen dan mineral hidroksiapatit. Oleh karena itu, penelitian sekarang banyak difokuskan pada biomaterial
hidroksiapatit dengan protein dan polimer sintetis lainnya yaitu kolagen .
Komposit kolagen – hidroksiapatit berbentuk scaffold banyak dimanfaatkan untuk memperbaiki jaringan tulang rusak. Namun dalam aplikasinya, tidak semua scaffold dapat memenuhi kebutuhan untuk menutupi bagian tulang yang rusak. Diperlukan suatu bone filler untuk mengisi ruang kosong antar scaffold. Menurut pendapat ahli dalam bidang ortopedi, untuk aplikasi bone filler banyak digunakan untuk keperluan bedah mulut,
perbaikan struktur wajah dan perbaikan
jaringan tulang rawan. Untuk tulang panjang (long bone), sangat jarang bone filler diaplikasikan karena kurang memberikan sifat mekanik yang diharapkan.
60
Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
MATERIAL DAN METODE Material Bahan yang digunakan untuk pembuatan sampel adalah 37% asam klorida (HCl), 40 gram NaOH, asam fosfat, 1M NH4OH, 5% asam asetat (CH3COOH), 1M Na2HPO4.2H2O, akuades, 70 gram tendon sapi, serta 10 gram hidroksiapatit tulang sapi bubuk. Untuk karakterisasi sampel, bahan yang diperlukan antara lain sel fibroblast, larutan PBS, EMS 5%, tripsin 0,25%, pewarna MTT, DMSO, serum sapi 10%.
Preparasi Tendon Sapi Tendon sapi yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari rumah potong hewan (RPH)
Pegirikan Surabaya.
Langkah pertama
proses
sintesis
kolagen adalah mencuci bersih tendon sapi dengan air mengalir. Kemudian tendon dipotong kecil dan dihancurkan. Pemotongan dan penghancuran tendon berguna untuk memperluas permukaan tendon sehingga mengoptimalkan interaksi molekul kolagen dengan larutan pada saat perendaman maupun ekstraksi. Ekstraksi Kolagen Tendon yang sudah dipotong, dihancurkan dan ditimbang seberat 70 gram, kemudian direndam dalam 5% HCl dengan perbandingan berat tendon dan volume HCl adalah 1 : 20 agar tendon terendam sempurna pada suhu 4ºC. Setelah mencapai 24 jam waktu perendaman, cairan dipisah melalui penyaringan dengan kain. Filtrat hasil perendaman ditambahkan dengan larutan NaOH 1 N sampai pH mencapai Ketika pH netral, terbentuk gumpalan putih yang berkumpul ditengah filtrat, kemudian didiamkan selama 30 menit hingga gumpalan putih tersebut mengendap dan selanjutnya disaring.
Komposit Kolagen Hidroksiapatit. Hidroksiapatit yang digunakan berasal dari tulang sapi produk Instalasi Pusat Bioamterial dan Bank Jaringan Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo Surabaya. Dilakukan 7 variasi komposit kolagen – hidroksiapatit yaitu 100:0; 0:100; 30:70; 40:60;
50:50;
60;40 dan 70:30. Metode pembuatan komposit mengacu pada metode Wenpo et al (2009) dengan modifikasi. Kolagen
dilarutkan
dalam
1M
asam
asetat
kemudian
ditambahkan
Na2HPO4.2H2O dengan perbandingan 1:1:1. Larutan yang masih bersifat asam ini dinetralkan dengan menambahkan 1M NaOH. Hidroksiapatit dilarutkan dalam asam fosfat dengan perbandingan 1:4. Dinetralkan dengan NH4OH. Larutan kolagen dan larutan hidroksiapatit kemudian dicampurkan dan diaduk selama 15 menit. Larutan
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013
61
diendapkan ± 6 jam. Cairan diatas endapan dibuang, dan endapan dituang dalam cetakan untuk selanjutnya di- freeze drying. Komposit yang didapat berbentuk bubuk. Fourier Transform Infra Red (FTIR) Karakterisasi sampel kolagen dan sampel omposit kolagen – hidroksiapatit menggunakan FTIR Jasco – 4200.
MTT Assay Kultur sel fibroblast dilakukan dengan mengambil sel BHK-21 (baby hamster kidney). Uji menggunakan wadah microwell plate 96. Satu baris plate diisi oleh kontrol media, satu baris lainya untuk kontrol sel, dan sisanya untuk pengujian sampel. Sebagai kontrol sel dibuat dengan cara menambahkan bovine serume dan medium eagle kedalam satu baris plate. Kemudian kontrol media dibuat dengan menambahkan medium eagle dan sel fibroblast kedalam satu baris plate lainya. Sampel yang akan diuji
berbentuk
serbuk.
Sampel
dilarutkan kedalam medium eagle dan bovinne
serume sampai mencapai 50cc. Sebanyak 50µl larutan sampel diambil, untuk kemudian dilakukan uji. Setelah sampel diteteskan kedalam plete dengan 8 kali perulangan, semua sampel termasuk kontrol sel dan kontrol media diberi pewarna MTT stock solution ((3-(4,5-Dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyltetrazolium bromide). Jumlah sel hidup kemudian dihitung dengan menggunakan Elisa Reader.
HASIL DAN PEMBAHASAN Perendaman 70 gram kolagen dengan HCl 5% menghasilkan kolagen basah sebesar 9,7 gram dengan prosentase :
9.7 𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔 𝑥𝑥 100% = 13.86% 70 𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔
Menurut Li (2003), ikatan antar molekul kolagen dalam otot bagian kulit dan atau tulang akan meregang ( melunak ) pada kondisi pH dibawah 4 atau diatas 10. Wang (1994) menyatakan bahwa rantai protein kolagen apabila dipotong (dipecah) dengan HCl akan dihasilkan asam amino dan rantai polipeptida. Hasil spekstroskopi kolagen tendon sapi pada Gambar 1 menunjukkan adanya daerah serapan amida A pada 3438,46 cm-1 (titik no.7). Daerah serapan amida A merupakan daerah dimana terdapat ikatan NH streching yang berasosiasi dengan ikatan hidrogen dan OH dari hidroksiprolin ( Puspawati et al, 2012 ). Daerah serapan 1421,28
62
Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
cm-1 dan
1449,24 cm-1 (titik no.12 dan no.13) menunjukkan adanya bending OH
yang terdapat pada daerah sekitar 1300 – 1550 cm-1. Daerah ini teridentifikasi sebagai serapan amida II. Adanya gugus OH dimungkinkan karena masih ada senyawa OH dari air yang digunakan untuk mengekstraksi kolagen.
Gambar 1. Spektrum FTIR kolagen tendon sapi Terlihat pula daerah serapan amida I pada bilangan gelombang 1638,23 cm-1 (titik no. 11) . Daerah serapan ini menunjukkan adanya
ikatan C=O streching
dengan kontribusi dari NH bending (Puspawati et al, 2012) dan O-H yang berpasangan dengan gugus karboksil ( Suwardi et al, 2010). Serapan amida III kolagen tendon sapi teridentifikasi didaerah 1125,26 cm-1 (titik no. 14 ) yang merupakan gugus dari NH bending. Sedangkakan
hasil
FTIR
hidroksiapatit
pada
gambar
2 menunjukkan
adanya pita serapan vibrasi asimetri streching (υ3) fosfat (PO4) pada b ilangan gelombang 1049,31 cm -1 dengan puncak yang sangat tajam. Terlihat juga adanya pita serapan υ3 karbonat (CO3-2) pada bilangan gelombang 1461,05 cm-1 dan 1416,31 -1 cm
dengan intensitas sangat lemah. Adanya kandungan karbonat mengurangi
tingkat kristalinitas hidroksiapatit (Mulyaningsih, 2007).
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013
63
Gambar 2. Spektrum FTIR hidroksiapatit tulang sapi
-1 -1 Pada daerah panjang gelombang 3571,42 cm dan 632,19 cm
terdeteksi
daerah serapan gugus hidroksil (OH) dengan intensitas yang lemah. Kristal hidroksiapatit ditandai oleh pita vibrasi asimetri bending (υ4) dalam bentuk pita belah dengan maksimum pada 570,52 cm-1 dan 602,43 cm-1. Sedangkan daerah serapan maksimum kristal hidroksiapatit yang tampak
menyatu dengan pita υ4 pada
daerah 632,19 cm-1 bukan berasal dari PO43-, melainkan dari gugus OH. Selain menunjukkan kehadiran kristal apatit, kadar belah pita serapan υ 4 menunjukkan kandungan fase kristal apatit dalam sampel ( Djawarni dan Wahyuni, 2002). Ketika dikompositkan, hasil FTIR komposit terlihat pada gambar 3 yang menunjukkan adanya serapan amida A dan amida I yang mengalami pergeseran dari hasil FTIR kolagen murni (gambar 1). Amida A bergeser dari posisi spektrum awal 3438,46 cm-1 ke titik 3112,55 cm-1 (titik no. 3) Pergeseran spektrum amida A dipengaruhi oleh kehadiran gugus OH dari penambahan hidroksiapatit. Daerah amida I mengalami pergeseran dari spektrum awal pada daerah 1638,23 cm-1 ke titik 1675,84 cm-1 (titik -1 no. 9) dan 1716,34 cm (titik no.8). Demikian pula daerah amida II, terjadi pergeseran -1 dari spektrum awal pada titik 1421,28 cm
-1 dan 1449,24 cm ke titik 1461,78
cm-1 (titik 11), yang merupakan gugus deformasi NH dan di titik 1402 cm-1 (titik 12), yang merupakan gugus CH2 dari prolin. Spektrum amida III tidak tampak akibat adanya interaksi antara kolagen dan hidroksiapatit.
64
Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
Gugus
fosfat
(PO43-)
milik
hidroksiapatit
juga
terlihat
mengalami
pergeseran di daerah 1072,23 cm-1 (titik no. 15). Sedangkan kristal hidroksiapatit mengalami pergeseran dari spektrum awal pada 570,52 cm-1 dan 602,43 cm-1 ke titik di daerah 552,506 cm-1 (titk no.23 Gambar 4.3) dan 536,114 cm-1 (titik no.24).
Gambar 3. Spektrum FTIR komposit kolagen – hidroksiapatit
Hasil dari pergeseran spektrum ikatan amida antara spektrum kolagen dan spektrum komposit kolagen – hidroksiapatit, menunjukkan bahwa terjadi ikatan hidrogen yang terbentuk antara gugus OH dari hidroksiapatit dan gugus NH dari kolagen. Hilangnya pita amida III pada daerah sekitar 1229 – 1301 cm-1, memperkuat indikasi adanya ikatan hidrogen. Sedangan atom Ca2+ dari hidroksiapatit dengan gugus –COOdari kolagen membentuk ikatan koordinasi atom anorganik – organik sperti pada Gambar 4.4 (Sionkowska et al, 2010).
Gambar 4. Sketsa struktur ikatan komposit kolagen – hidroksiapatit (
ikatan koordinasi, ----- ikatan hidrogen )
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013
65
Hasil pengujian selanjutnya adalah uji toksisitas dengan metode MTT Assay. Prosentase jumlah sel hidup untuk uji MTT dapat dihitung dengan persamaan :
Hasil analisis perhitungan uji MTT Assay dapat dilihat pada tabel 1. Pada uji MTT Assay, suatu bahan dikatakan tidak toksik apabila prosentase sel hidup masih diatas
60% (Wijayanti,2010). Dibawah 60% menunjukkan bahwa sampel
tersebut bersifat toksik dan berbahaya bila diaplikasikan dalam tubuh. Sampel A dan sampel B merupakan sampel kontrol. Sampel A adalah sampel kolagen tanpa perlakuan, sedangkan sampel B adalah sampel hidroksiapatit tanpa perlakuan. Pada sampel A, hasil uji MTT Assay mencapai lebih dari 100%, yaitu 119,4%. Hal ini menunjukkan bahwa sampel kolagen tidak toksik dan mampu menumbuhkan sel fibroblast. Kolagen merupakan suatu protein bioresorbable alami, yang umum digunakan sebagai perancah atau filler untuk regenerasi jaringan. Kolagen tipe 1 digunakan sebagai perancah atau filler jaringan tulang. Dalam aplikasi perbaikan jaringan tulang, umumnya kolagen dipakai dalam bentuk komposit, karena jaringan tulang bukan merupakan jaringan lunak, melainkan jaringan keras. Sedangkan sifat kolagen adalah lentur dan lunak, sehingga perlu penambahan bahan lain. Dalam penelitian ini, kolagen dijadikan sebagai
matriks
dari
komposit
kolagen
–
hidroksiapatit yang bisa dijadikan sebagai bone filler.
66
Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
TABEL 1 Hasil Uji MTT Assay
Nama Rata rata sel hidup Kontrol Sel Kontrol Media % Sel Hidup Sampel Sampel A 0,127 0,091 0,093 119,4 Sampel B
0,080
0,091
0,093
94,3
Sampel C
0,084
0,091
0,093
96,1
Sampel D
0,106
0,091
0,093
108,1
Sampel E
0,079
0,091
0,093
93,9
Sampel F
0,073
0,091
0,093
90.2
Sampel G
0,861
0,091
0,093
97,4
Sampel B merupakan hidroksiapatit menujukkan hasil uji 94,3% yang menunjukkan sampel ini tidak toksik. Hidroksiapatit memiliki biokompatibilitas yang baik terhadap kontak langsung dengan tulang. Untuk sampel C, sampel D, sampel E, sampel F dan sampel G berturut – turut memiliki prosentase hasil uji sebesar 96,1% ; 108,1% ; 93,9% ; 90,2% dan 97,4%. Kelima variasi sampel ini juga menunjukkan bahwa sampel tidak toksik. Namun pada sampel D, hasil MTT Assay mencapai 108,1%. Hal ini menunjukkan bahwa ada sel yang tumbuh pada sampel (proliferasi). Sampel D merupakan sampel dengan variasi kolagen : hidroksiapatit 40 : 60. Hasil uji MTT 5 variasi sampel dapat disajikan dalam bentuk grafik.
Gambar 5. Diagram Hasil Uji MTT Assay 5 Sampel Variasi
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013
67
Secara keseluruhan hasil uji MTT Assay pada semua variasi sampel menunjukkan hasil yang baik dan tidak toksik.
Variasi sampel yang terbaik
adalah pada sampel D, yaitu variasi kolagen : hidroksiapatit 40 : 60, karena mampu menunjukkan adanya aktivitas pertumbuhan sel.
KESIMPULAN Hasil spekstroskopi FTIR komposit
kolagen - hidroksiapatit terdeteksi adanya
-1 gugus N-H dari amida A di serapan 3112,55 cm , gugus N-H dari amida I terdeteksi didaerah 1675,84 cm-1 dan 1675,84 cm-1, gugus N-H dari amida II 1240,97 cm-1, gugus N-H dari amida III pada serapan 1461,78 cm-1
gugus O-H pada daerah
-1 3-1 serapan 607,467 cm , gugus PO4 pada 1072,23 cm
dan gugus karboksil C=O
-1 streching pada titik 1716,34 cm . Hasil
karakteristik
biologi
sampel
menunjukkan
bahwa
sampel
pada
perbandingan kolagen : hidroksiapatit 40 : 60 memiliki potensi besar untuk dijadikan bone filler dengan nilai uji MTT Assay 108,1%.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada Bapak Drs. Adri Supardi, M.Sc,
Ibu Dr.
Prihartini Widiyanti, drg., M.kes, Ibu Dyah Hikmawati S.Si M.Si serta pihak pihak yang terlibat dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Lee, C.H (a),. Singla, A (a),. Lee, Y(b). 2001. Biomedical Application of Collagen . (a) Department of Pharmaceutics, College of Pharmacy, The University of Missouri-Kansas City, (b) Engineering,
The
Uni_ersity
School of Interdisciplinary Computing and of
Missouri-Kansas
City,
Kansas
City,
MO64110, USA Li, Shu-Thung. 1993. Collagen Biotechnology and it’s Medical Application. Biomed. Eng. ppl.Baia Comm. 5 : 646-657 Mulyaningsih, N.N. 2007. Karakterisasi Hidroksiapatit Sintetik dan Alami pada Suhu 1400ºC. Institut Pertanian Bogor. Bogor
68
Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
Mulyaningsih, Neng Nenden. 2007. Karakterisasi Hidroksiapatit Sintetik dan Alami pada Suhu 1400ºC. Institut Pertanian Bogor. Bogor Puspawati ,N.M., Simpen, I.N., Sumerta Miwada, I.N.. 2012. Isolasi Gelatin dari Kulit Kaki Ayam Broiler dan Karakterisasi Gugus Fungsinya dengan Spektrofotometri FTIR. Universitas Udayana. Bali. Rodrigues ,C.V.M., Serricella, P., Linhares, ABR., Guerdes, RM., Duarte, MEL., Farina, M. 2003. Characterization of a Bovine Collagen–Hydroxyapatite Composite Scaffold for Bone Tissue Engineering. Brazil. Sionkowska, A., Kowslowska, J. 2010. Characterization of Collagen/Hydroxyapatite Composite Sponges as a Potential Bone Subtitute.Faculty of Chemistry. Copernicus University. Torun. Polandia Suwardi, Yuniarto., Atmaja, Lukman., Martak, Fahimah. 2010. Pengaruh Variasi Larutan Asam pada Isolasi Gelatin Kulit Ikan Patin (Pangasius hypothalmus) terhadap Sifat – Sifat Kimia dan Fisik. Jurusan Kimia. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Teknologi Sepuluh November. Surabaya. Wang, D. 1994. Studies on Manufacturing a Functional Ingredient from Porcine skin Collagen by Enzyme Hidroyst. Tungai University, Taichung. Taiwan. Wenpo Feng, Keyong Tang, Xuejing Zheng, Yuanming Qi, Jie Liu. 2009. Preparation and Characterization of Porous Collagen / Hydroxyapatite / Gum arabic Composite. China. Wijayanti, Fitria. 2010. Variasi Komposisi Cobalt Chromium pada Komposit Co- CrHAP sebagai Bahan implan. Departemen Fisika. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas. Surabaya
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013
69
Perancangan Aplikasi Audiometer Nada Murni dan Tutur untuk Diagnosis Pendengaran Sabrina Ifahdini S1, Adri Supardi2, Franky Chandra3 1,2,3
Program Studi Teknobiomedik Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
Email:
[email protected],
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Telah dilakukan penelitian dengan tujuan merancang suatu perangkat lunak Audiometer nada murni maupun tutur yang lebih praktis, efektif, dan efisien dan mampu menampilkan audiogram nada murni maupun tutur serta hasil diagnosis gangguan pendengaran pasien pada frekuensi 250 Hz hingga 8 kHz secara langsung dan disimpan dalam database. Dalam penelitian ini, sistem aplikasi perangkat lunak audiometer telah diprogram menggunakan Delphi untuk dapat menghasilkan nada murni dengan memanfaatkan soundcard dari komputer/laptop. Dalam proses pembangkitan nada murni ini dibutuhkan suatu komponen audio bernama Tonegen. Sedangkan untuk audiometer tutur, dibutuhkan suatu rekaman kata-kata yang telah dibakukan yakni PB List yang untuk selanjutnya diujikan pada pasien. Variabel frekuensi memiliki tingkat akurasi sebesar 100% dan tingkat presisi sebesar 100%. Variabel taraf intensitas untuk headphone kanan memiliki tingkat akurasi sebesar 99,4% dan tingkat presisi sebesar 99,85%, sedangkan untuk headphone kiri memiliki tingkat akurasi sebesar 99,45% dan tingkat presisi sebesar 99,84%.
Kata kunci
: audiometer nada murni, audiometer tutur, perangkat lunak, gangguan
pendengaran, diagnosis pendengaran.
70
Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
ABSTRACT It has been conducted a research with the goal of designing a pure tone and speech audiometer software that is more practical, effective, efficient and capable of displaying pure tone and speech audiogram as well as the diagnosis of hearing loss patients at a frequency 250 Hz to 8 kHz and stored directly in to database. In this study, the application system audiometer software was programmed using Delphi to be able producing pure tones using soundcard of computer / laptop. In this pure tone generation process needs an audio component called Tonegen. As for the speech audiometer, it needs some recordings of words that have been standardized (PB List) then subsequently tested on patients. Variable of frequency has accuracy percentage of 100% and precision percentage of 100%. Variable of sound level for the right headphone has accuracy percentage of 99,4% and precision percentage of 99,85%, whereas for the left headphone has accuracy percentage of 99,45% and precision percentage of 99,84%.
Keyword
: pure tone audiometer, speech audiometer, software, hearing loss,
hearing level diagnosis.
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013
71
PENDAHULUAN Damayanti (2010) mengatakan bahwa angka ketulian telah mencapai 16,8% dari jumlah penduduk Indonesia dan 0,4% untuk ketulian dengan kelompok tertinggi di usia sekolah (7-9 tahun). Disamping itu diperkirakan setiap tahunnya akan ada sekitar 5200 bayi lahir tuli. Angka tersebut yang menempatkan Indonesia termasuk negara yang memiliki angka ketulian yang tinggi di Asia Tenggara. Tingkat penurunan kemampuan pendengaran (ambang pendengaran) pada individu dapat diketahui dengan berbagai jenis tes pendengaran diantaranya tes bisik, tes garputala, tes audiometri (Miyoso, 1985). Hingga saat ini telah berkembang audiometer dengan berbagai jenis, diantaranya adalah Audiometer nada murni dan Audiometer tutur. Namun dari pemeriksaan ketulian dengan menggunakan audiometer tersebut masih terdapat beberapa kekurangan dan keterbatasan. Audiometer pada umumnya hanya menyediakan tampilan hasil data yang mentah sehingga hanya orang yang ahli dalam bidang audiologi yang mampu mendiagnosa secara penuh. Tampilan data tersebut berupa audiogram yang menunjukkan berapa tingkat taraf intensitas yang menunjukkan ambang pendengaran pasien. Selain itu, audiometer umumnya berupa audiometer dengan rangkaian yang rumit dan berbentuk hardware analog audiometer dan tidak praktis untuk dibawa dari satu tempat ke tempat yang lain.
METODE PENELITIAN 1. Perancangan Dalam penelitian ini perancangan sistem dari perangkat lunak audiometer diprogram melalui PC/Laptop. Adapun blok diagram perancangan sistem secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Blok diagram perancangan sistem
72 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
1. Komputer Pribadi (PC) Komputer pribadi adalah suatu sistem yang berfungsi untuk mengontrol kerja dan pengolah data yang kemudian ditampilkan pada layar monitor dengan hasil audiogram berserta diagnosis ambang pendengaran pasien. Selain itu fungsi dari komputer pribadi ini adalah untuk membuat suatu program (perangkat lunak) uji ambang pendengaran dan diagnosis pendengaran dengan menggunakan software Delphi 6.0. 2. Soundcard Dalam penelitian ini soundcard berfungsi untuk mengolah sinyal dari berbagai taraf intensitas dan frekuensi. Komponen untama dari soundcard adalah ADC (Analog to Digital Converter) dan DAC (Digital to Analog Converter). 3. Rekaman kata Rekaman kata-kata ini terdiri dari beberapa kata yang telah dibakukan dan digunakan untuk menguji kemampuan pasien dalam menirukan kata-kata dengan benar. 4. Headphone Headphone adalah suatu priranti yang berfungsi untuk mengubah besaran listrik menjadi suara/bunyi dari berbagai taraf intensitas dan frekuensi yang dapat didengar manusia. Dengan headphone ini, pasien akan mendengarkan beberapa nada murni (Audiometri nada murni) maupun kata-kata yang terekam (Audiometri tutur). 5. Pasien Pasien adalah objek yang diuji ambang pendengarannya dengan cara mendengar bunyi dari berbagai taraf intensitas dan frekuensi. Perancangan software meliputi proses interupsi pasien, penampilan grafik Audiogram program melalui monitor, pengaturan frekuensi dan taraf intensitas (dB), serta penyimpanan data pasien melalui memori komputer. Adapun diagram alir rancangan program audiometer nada murni dan tutur dibagi menjadi 3 yakni diagram alir menu utama, diagram alir menu audiometer nada murni dan diagram alir menu audiometer tutur.
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013
73
Gambar 3. Diagram alir menu utama program
74 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
Gambar 4. Diagram alir menu audiometer nada murni
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013
75
Gambar 5. Diagram alir menu audiometer tutur 2. Kalibrasi Kalibrasi pada umumnya merupakan proses untuk menyesuaikan keluaran atau indikasi dari suatu perangkat pengukuran agar sesuai dengan besaran dari standar yang digunakan dalam akurasi tertentu. Kalibrasi dimaksudkan sebagai tindakan untuk
76 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
menyesuaikan bunyi yang dibangkitkan oleh audiometer, sehingga sesuai dengan ketentuan atau kebutuhan pemeriksaan. Pada audiometer nada murni, bunyi yang dibangkitkan terdiri atas dua parameter, yaitu taraf intensitas dan frekuensi. Sedangkan pada audiometer tutur, suara yang dibangkitkan juga terdiri dari dua parameter, yaitu taraf intensitas dan jenis kata. Untuk mengetahui seberapa besar penyimpangan bunyi/suara dalam taraf intensitas yang dibangkitkan oleh audiometer adalah dengan melakukan pengukuran dengan menggunakan sound level meter. Selain mengkalibrasi variabel taraf intensitas, variabel frekuensi juga akan dikalibrasi. Pada kalibrasi frekuensi, dibutuhkan suatu osiloskop yang akan disambungkan pada PC. 3. Pengujian Pengujian dimaksudkan untuk mengetahui kesesuaian perangkat lunak yang dirancang dengan soundcard pada komputer pribadi dengan audiometer yang telah berstandar dan digunakan di pasaran. Pengujian ini dilakukan dengan cara mengujikan program perangkat lunak audiometer yang telah dibuat pada penelitian ini ke beberapa sampel pasien yang diambil secara acak. Setelah dilakukan pengujian ke beberapa pasien, maka tahap berikutnya adalah membandingkan kedua hasil dari pemeriksaan pasien. Diharapkan, bahwa kedua pemeriksaan tersebut memiliki hasil yang sama sehingga dapat disimpulkan bahwa program yang dibuat dari penelitian telah memenuhi standar alat medis pada umumnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Perancangan Perancangan sistem yang berhasil dibuat dalam penelitian ini adalah perancangan perangkat lunak (software) aplikasi beserta rancangan pendukungnya yang telah mampu menghasilkan gelombang sinus dalam bentuk nada-nada murni dari berbagai frekuensi dan taraf intensitas (dB) untuk audiometer nada murni. Selain nada murni, telah dibuat suatu rekaman tutur yang dapat diubah taraf intensitasnya (dB) untuk audiometer tutur. Selanjutnya nada-nada murni dan rekaman tutur tersebut akan digunakan sebagai parameter diagnosis gangguan pendengaran pasien. Perancangan program aplikasi audiometer nada murni maupun tutur pada penelitian ini telah berhasil dibuat dengan bahasa Pascal menggunakan software Delphi 6.0. Program audiometer ini terdiri dari empat form menu yakni form tampilan depan dan menu utama, form pengisian data pasien, form tampilan audiometer nada murni, dan form tampilan audiometer tutur.
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013
77
1.1 Tampilan Data Pasien Fungsi dari form ini adalah untuk menyimpan data identitas pasien serta hasil diagnosis pendengaran sehingga akan memudahkan pemeriksa untuk mencari hasil rekam medis saat dibutuhkan kembali. Tampilan data pasien ini dapat diperlihatkan pada Gambar 6.
Gambar 6. Tampilan data pasien 1.2 Tampilan Audiometer Nada Murni Tampilan/form ini digunakan untuk memeriksa pendengaran pasien dengan cara pasien akan mendengarkan beberapa nada murni dari berbagai frekuensi maupun taraf intensitas. Fungsi dari audiometer nada murni adalah untuk mendiagnosis ambang dengar pasien sehingga dapat diketahui apakah pasien memiliki gangguan pendengaran tertentu atau tidak. Tampilan Audiometer nada murni ini dapat diperlihatkan pada Gambar 7.
Gambar 7. Tampilan Menu Audiometer Nada Murni 1.3 Tampilan Audiometer Tutur Pemeriksaan dengan audiometer tutur ini perlu dilakukan karena kelemahan audiometer nada murni yang hanya memeriksa berupa nada-nada saja, tidak bahasa. Oleh karena itu, pada audiometer tutur ini disajikan beberapa kata-kata. Kata-kata yang digunakan adalah kata-kata yang biasa diucapkan pada percakapan. Kata-kata ini berupa kata-kata baku dari UGM atau biasa disebut UGM PB List (Phonetically Balanced List). Namun dalam penelitian ini, rekaman kata tidak diambil dari rekaman asli UGM
78 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
melainkan rekaman yang dibuat sendiri namun tetap menggunakan kata-kata yang telah dibakukan. Tampilan Audiometer tutur ini dapat diperlihatkan pada Gambar 8.
Gambar 8. Tampilan Menu Audiometer Tutur 2. Hasil Uji Kinerja Program dan Analisis Data Pengujian dilakukan untuk mengetahui kesesuaian perangkat lunak audiometer nada murni dan tutur yang telah dirancang dengan Komputer Pribadi. Terdapat dua parameter yang harus diuji kalibrasi yakni parameter frekuensi dan parameter taraf intensitas (dB). 2.1 Hasil Uji Frekuensi Parameter frekuensi yang telah dibangkitkan oleh program Delphi diuji dengan menggunakan osiloskop untuk mengetahui ketepatan nilai frekuensi yang telah dihasilkan dengan cara melihat dari bentuk gelombang pada layar osiloskop. Nilai frekuensi yang dihasilkan oleh program diharapkan sama dan sesuai dengan frekuensi pada umumnya. Pengukuran frekuensi dengan osiloskop ini dilakukan sebanyak lima kali yang selanjutnya diambil rata-rata dan nilai error seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil pengukuran frekuensi Frek (Hz)
Rata
Osiloskop (Hz)
(Hz)
Error (%)
250
250
250
250
250
250
250
0
500
500
500
500
500
500
500
0
1000
1000
1000
1000
1000
1000
1000
0
2000
2000
2000
2000
2000
2000
2000
0
4000
4000
4000
4000
4000
4000
4000
0
8000
8000
8000
8000
8000
8000
8000
0
Rata-rata kesalahan/error
0
2.2 Hasil Uji Taraf Intensitas (TI) Pada pengujian taraf intensitas, program dijalankan pada nilai dB mulai dari 30 hingga maksimal dB di tiap frekuensi yang berbeda-beda dengan penambahan kelipatan sebesar 5 dB dan diukur dengan menggunakan sound level meter untuk mengetahui kesesuaian nilai taraf intensitas yang dihasilkan program dengan nilai yang diharapkan. Pengujian ini harus dilakukan dalam kondisi tenang dan tidak ada suara (noise).
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013
79
Data hasil uji taraf intensitas dapat dilihat pada Tabel 2 untuk keluaran headphone sebelah kiri sedangkan Tabel 3 untuk keluaran headphone sebalah kanan. Tabel 2. Hasil pengukuran taraf intensitas Headphone kanan Frekuensi (Hz)
250
500
TI Audiometer (dB)
TI Sound level meter (dB)
Error (%)
30
30.7
30.7
30.6
2.22
35
35
34.9
35
0.10
40
40.1
40
40
0.08
45
45.2
45.1
45.1
0.30
50
47.6
48
47.8
4.40
30
30.9
30.8
30.8
2.78
35
35.3
35.3
35.3
0.86
40
40
40
40
0.00
45
45.2
45
45.2
0.30
50
50
50
50.1
0.07
30
31
30.9
31
3.22
35
35.3
35.3
35.3
0.86
40
40.1
40.
40
0.08
45
45.3
45.3
45.2
0.59
50
50.2
50.2
50.2
0.40
55
55.1
55.1
55.1
0.18
30
30.9
31
31
3.22
35
35
35
35
0.00
40
39.7
39.8
39.8
0.58
45
44.9
44.9
45
0.15
50
50.2
50.2
50.1
0.33
55
55.2
55.2
55.1
0.30
30
31
31
30.9
3.22
35
34.5
34.7
34.8
0.95
40
40.3
40.2
40.2
0.58
45
45.5
45.4
45.4
0.96
50
49.9
50
49.9
0.13
55
54.8
55
55
0.12
60
60.3
60.3
60.2
0.44
30
30.8
31
30.8
2.89
35
34.5
34.7
34.8
0.95
40
40.8
40.8
40.7
1.92
45
45.6
45.6
45.6
1.33
50
50.5
50.4
50.3
0.80
55
55.5
55.5
55.4
0.85
60
60.4
60.4
60.3
0.61
65
65.4
65.4
65.4
0.62
1000
2000
4000
8000
Rata-rata error (%)
0.60
80 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
Tabel 3. Hasil pengukuran taraf intensitas Headphone kiri Frekuensi
TI Audiometer (dB)
TI Sound level meter (dB)
Error (%)
(Hz)
250
500
1000
30
31
30.8
30.9
3.00
35
35.1
35
35
0.10
40
40.2
40.2
40.1
0.42
45
45.2
45
45.2
0.30
50
48.1
48.3
48.2
3.60
30
31
31
30.9
3.22
35
35.2
35.2
35
0.38
40
39.8
39.9
40
0.25
45
44.8
44.8
44.9
0.37
50
50.2
50
50.2
0.27
30
31
31
31
3.33
35
35.1
35
35.1
0.19
40
40
40
40
0.00
45
45
45
45
0.00
50
49.9
50
50.1
0.00
55
54.9
54.9
55
0.12
30
31
31
30.9
3.22
35
35
34.9
35
0.10
40
39.9
40
40
0.08
45
44.9
44.9
45
0.15
50
50.2
50.2
50.1
0.33
55
55.2
55
55.1
0.18
30
30.9
31
31
3.22
35
35.5
35.4
35.3
1.14
40
39.9
39.9
40
0.17
45
45.4
45.4
45.4
0.89
50
49.8
50
49.8
0.27
55
55.2
55.2
55.2
0.36
60
60.2
60.2
60.1
0.28
30
31
30.9
30.9
3.11
35
34.9
35
35
0.10
40
40.6
40.4
40.4
1.17
45
45.2
45.1
45.2
0.37
50
50.1
50.1
50
0.13
55
55
55
55.1
0.06
60
60
60
60
0.00
65
65
65
65
0.00
2000
4000
8000
Rata-rata error (%)
0.55
Tingkat ketepatan audiometer dalam menentukan nilai Taraf Intensitas (TI) dihitung dengan persamaan: No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013
81
Ketepatan alat = 100% - % error Ketepatan headphone kanan = 100% - 0.60% = 99.40% Ketepatan headphone kiri = 100% - 0.55% = 99.45% Selain tingkat ketepatan alat, perlu dihitung pula Standar Deviasi (SD). Perhitungan standar deviasi (SD) ditentukan dari persamaan :
SD =
∑ (x
i
− x) 2
n −1
sedangkan perhitungan nilai koefisien variasi (KV) ditentukan dari persamaan :
KV =
SD × 100% x Sehingga didapat tingkat presisi alat adalah sebesar 99.85% untuk headphone
kanan dan 99.84 % untuk headphone kiri.
2.3 Hasil Uji Pasien Pengujian yang dilakukan disini bersifat simulatif dalam arti pasien diambil secara acak sehingga tidak semua pasien yang diuji benar-benar pasien yang mengalami gangguan pendengaran tertentu. Namun pengujian ini dilakukan dengan tujuan menghasilkan hasil pemeriksaan audiogram yang sesuai dengan gangguan pendengaran yang diharapkan. Alasan dilakukan pengujian secara simulatif ini karena sulitnya menemui pasien dengan gangguan pendengaran yang sesuai dengan yang dibutuhkan. Setelah dilakukan pemeriksaan ambang dengar dengan audiometer nada murni konvensional kemudian dibuat grafik audiogram secara manual. Sedangkan pemeriksaan ambang dengar dengan perangkat lunak audiometer, grafik secara otomatis. Selanjutnya pasien tersebut diperiksa dengan audiometer tutur dan pasien diharuskan dapat menebak kata-kata yang muncul. Kemudian dari kata-kata yang benar diambil persentasenya sehingga dapat diambil audiogram tutur. Pada penelitian ini diambil tujuh pasien secara acak dengan hasil audiogram konvensional dan audiogram aplikasi dari pemeriksaan menggunakan audiometer nada murni dapat dilihat pada Tabel 4. Sedangkan audiogram dari pasien dengan pemeriksaan audiometer tutur dapat dilihat pada Tabel 5.
82 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
Tabel 4. Perbandingan hasil diagnosis antara audiometer nada murni standar dan aplikasi audiometer nada murni Audiometer Nada Murni No
Pasie n
1
A
2
B
3
C
4
D
Standar Audiogram
Diagno
Aplikasi Audiometer Nada Murni Audiogram
Diagnos
sis
is
Tuli
Tuli
Ringan
Ringan
Tuli
Tuli
Sedang
Sedang
Tuli
Tuli
Sedang
Sedang
Normal
Normal
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013
83
5
E
Normal
Normal
6
F
Normal
Normal
7
G
Normal
Normal
Tabel 5. Perbandingan hasil diagnosis dengan audiometer tutur Audiometer Tutur No
Pasien
Diagnosis sebelumnya Persentase
Diagnosis
1
A
Tuli Konduktif
100%
Tuli Konduktif
2
B
Tuli Konduktif
90%
Tuli Konduktif
3
C
Tuli Konduktif
90%
Tuli Konduktif
4
D
Normal
100%
Normal
5
E
Normal
100%
Normal
6
F
Normal
100%
Normal
7
G
Normal
100%
Normal
Dari kedua hasil tersebut dapat diketahui bahwa dari uji pasien, perangkat lunak audiometer nada murni dan tutur tersebut dapat mendiagnosis sesuai dengan yang diharapkan. Meskipun pada pemeriksaan dengan audiometer nada murni, bentuk audiogram dan nilai ambang dengar di tiap frekuensinya tidak mutlak sesuai, namun perangkat lunak audiometer telah dapat mendiagnosis sesuai dengan hasil diagnosis dengan alat audiometer yang standar.
84 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Dari analisis data dan pembahasan yang dilakukan dalam penelitian ini dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1.
Perangkat lunak audiometer nada murni dan tutur memiliki kemampuan menampilkan dan mencetak hasil pemeriksaan dalam bentuk grafik audiogram serta menampilkan hasil diagnosis pendengarannya dengan pembangkitan frekuensi pada perangkat lunak audiometer nada murni sebesar 250 Hz, 500 Hz, 1 kHz, 2 kHz, 4 kHz, dan 8 kHz.
2.
Variabel frekuensi memiliki tingkat akurasi sebesar 100% dan tingkat presisi sebesar 100%. Variabel taraf intensitas untuk headphone kanan memiliki tingkat akurasi sebesar 99,4% dan tingkat presisi sebesar 99,85%, sedangkan untuk headphone kiri memiliki tingkat akurasi sebesar 99,45% dan tingkat presisi sebesar 99,84%.
2. Saran Berikut adalah beberapa saran yang dapat dipertimbangkan untuk penyempurnaan penelitian lebih lanjut : 1. Pengembangan berikutnya diharapkan rentang nilai taraf intensitas maksimal yang dapat dibangkitkan mencapai 120 dB sehingga audiometer dapat digunakan untuk mendiagnosis segala jenis gangguan pendengaran/ketulian. 2. Pengujian pada pasien dilakukan menggunakan pasien yang memiliki gangguan pendengaran yang sebenarnya dan lebih bervariasi. 3. Pengembangan untuk penelitian dengan audiometer nada murni diantara seperti mengarah ke yang lebih spesifik misal pasien dengan pengaruh lingkungan yang bising (biasa pada industri) dan sebagainya. 4. Pengembangan untuk penelitian dengan audiometer tutur diantaranya sepertipada pembuatan rekaman kata yang dapat diatur frekuensinya sehingga parameter yang diukur dapat bervariasi.
DAFTAR PUSTAKA Andi. 2003. Seri Panduan Pemrograman Borland Delphi 7 (Jilid 1). Andi Offset. Yogyakarta. Andriani, Dina. 2011. Perancangan Perangkat Lunak Pelayanan Rawat Inap Rumah Sakit Adam Malik Dengan Menggunakan Visual Basic 6.0. Universitas Sumatra Utara. Medan.
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013
85
Anggraeni, Dya. 2011. Fisika Medik. Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Sriwijaya. Palembang. Anonim, 2011. Bafo USB to Parallel Printer Adapter (USB-A/Cent36-M). (online) (http://hellotrade.com diakses pada tanggal 17 November 2011) Aras, Vineet P. 2003. Audiometry techniques, circuits, and systems. M. Tech. Credit Seminar Report, Electronic Systems Group, EE Dept, IIT Bombay. Aritmoyo, Dullah. 1985. Pengertian Umum Tentang Audiometri. Cermin Dunia Kedokteran No 39. International Standard Serial Number: 0125-913x. Penerbit: Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma. Asroel, Harry. 2009. Audiologi. Bagian THT Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara. Medan. Bachtiar, Syaiful. 2011. Audiometer Berbasis Soundcard Pada Komputer Pribadi. Program Studi Teknik Elektro. Universitas Diponegoro. Semarang. Cameron, John R, Skofronik, James G., Grant, Roderick M. 2006 Fisika Tubuh Manusia. Edisi Kedua. EGC. Jakarta. Damayanti, Soetjipto. 2010. Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran Dan Ketulian, (Online). (http://www.ketulian .com, diakses 17 November 2011). Davis, Don, Eugene, Patronis. 2006. Sound System Engineering. Edisi Ketiga. Focal Press. Burlington, USA. Estu, Devy. 2011. Borland Delphi. Materi Delphi Grafik. Modul TIK SMA Negeri 3 Yogyakarta. Gabriel, J. F. 1988. Fisika Kedokteran. Edisi Pertama. EGC. Denpasar. Gatot, Wempy. 2011. Rancang Bangun Audiometer Dengan Tampilan Audiogram Digital Berbasis Mikrokontroler AVR Atmega 8535. Program Studi Fisika. Universitas Airlangga Surabaya. Handajadi, Wiwik. 2009. Pembacaan Output Timbangan Digital Jarak Jauh Dengan Menggunakan Pemprograman Visual Basic 6.0. Jurnal Teknologi 2(1) : 96-107. Harahap. 2011. Sistem Pengontrolan Level Ketinggian Air Secara Otomatis Menggunakan Mikrokontroler ATMega8535 Dengan Sensor Ultrasonik. Program Studi Teknik Elektro. Universitas Sumatera Utara. Medan. Hermanto. 2010. Membangun Kesadaran Bunyi Anak Tunarungu Melalui Pembelajaran Bina Persepsi Bunyi Dan Irama Di Sekolah. Universitas Negeri Yogyakarta.
86 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
Latifah, Melly. 2010. Implikasi Assessment Dan Diagnosis Pada Anak Penderita Gangguan Pendengaran Terhadap Treatment Dan Pendidikannya. Program Studi Ilmu Keluarga dan Pangan. IPB Bandung. Marcus, Teddy. 2003. Pemrograman Delphi untuk Pemula : IDE dan Struktur Pemrograman. (Online) (http:/maranatha.edu diakses pada tanggal 17 November 2011) Miyoso, Dwi Priyo. 1985. Diagnosis Kekurangan Pendengaran. Cermin Dunia Kedokteran No 39. International Standard Serial Number: 0125-913x. Penerbit: Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma. Utami, Ema. 2005. 10 Langkah Belajar Logika Dan Algoritma. Menggunakan Bahasa C Dan C++ Di Gnu/Linux. Penerbit CV Andi Offset. Yogyakarta. Pearce, Evelyn. 2009. Anatomi dan Fisologi untuk Paramedis. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Prasetina, Retna, Catur. 2004. Teori dan Praktek interfacing Port Paralel dan Port Serial Komputer dengan Visual Basic 6.0. Andi. Yokyakarta. Riantiningsih, Wahyu. 2009. Pengamanan Rumah Berbasis Microcontroller Atmega 8535 Dengan Sistem Informasi Dengan Menggunakan Pc. Program Studi Teknik Elektro. Universitas Sumatra Utara. Medan. Saladin. 2003. Anatomy and Physiology. The unity of form third edition. Mcgrawhill. New York. Solihat, Muthiah, Choirina, Halimah. 2008. Port Paralel. Program Studi Matematika. Universitas Islam Bandung. Suhardiyana. 2010. Peningkatan Kemampuan Kognitif Anak Melalui Permainan Kartu Angka Dan Gambar Siswa Kelas Persiapan Tunarungu Wicara SLBN Kendal Tahun 2009 / 2010. Universitas Negeri Semarang. Syaiffudin. 2004. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan. Edisi ketiga. EGC. Jakarta. Syndhuwardhana, Felisiano. 2010. Pengendalian ATCS Dengan CCTV Dinamis Melalui Port Paralel. Program Studi Teknik Elektro. Universitas Katolik Soegijapranata. Semarang.
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013
87
RANCANG BANGUN HEART RATE MONITORING DEVICE (HRMD) SEBAGAI PEMANTAU BRADIKARDI DAN TAKIKARDI BERBASIS MIKROKONTROLER
Thieara Ramadanika1, Retna Apsari 2, Delima Ayu S 3 , ,1,2,3
Program Studi S1 Teknobiomedik Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
Email :
[email protected]
ABSTRACT
A research has been conducted entitled “Design of Microcontroller Based-Heart Rate Monitoring Device. It aimed to design a Heart Rate Monitoring device that would be equipped with a heart condition display such as bradycardia, tachycardia, or normal as well as with an additional wireless so that when it was used at hospitals, the heart rate of the hospitalized patients could be monitored by doctors or nurses from a distance, which would simplify doctors or nurses to control their patients. The sensor used in this study applied a plethysmograph method of which is a technique to detect or measure changes in blood volume within the patients’ fingers. The technique used was “reflection” in which the LED and the LDR were placed side by side. Microcontroller programming was done in this study to calculate the number of heartbeats per minute as well as information of heart rate condition such as bradycardia (heart rate less than 60 Bpm), tachycardia (heart rate over 100 Bpm) or normal (heart rate between 60-100 BPM), which was then transmitted by using wireless communication and then displayed on LCDs or PC. A test using ECG calibrator was conducted to patients with a heart disease, which showed that it had an accuracy rate of 94%. Besides, this tool also have a high accuracy, mobile, competitive, and productive.
Keywords: Heart Rate, Heart, plethysmograph, LDR, LED
88 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian dengan judul Rancang Bangun Heart Rate Monitoring Device Berbasis Mikrokontroler, dengan tujuan merancang Heart Rate Monitoring yang dilengkapi dengan tampilan kondisi jantung saat itu yaitu bradikardi, takikardi, atau normal, serta terdapat tambahan berupa wireless agar jika digunakan di Rumah Sakit, pasien opname dapat dipantau denyut jantungnya oleh dokter jaga atau perawat secara jarak jauh, sehingga memudahkan dokter jaga atau perawat dalam mengontrol pasien. Sensor yang digunakan pada penelitian ini menggunakan metode plethysmograph, yaitu mendeteksi atau mengukur perubahan volume darah di dalam jari, dengan mode yang dipakai adalah refleksi dimana LED dan LDR diletakkan bersampingan. Pemrograman mikrokontroler dilakukan untuk menghitung jumlah denyut jantung permenit serta informasi kondisi denyut jantung yaitu bradikardi (denyut jantung kurang dari 60 Bpm), takikardi(denyut jantung lebih dari 100 Bpm) atau normal (denyut jantung antara 60-100 Bpm), kemudian dikirim menggunakan komunikasi wireless dan ditampilkan pada LCD maupun PC. Alat ini mempunyai tingkat keakuratan yang tinggi dalam mengukur denyut jantung. Uji yang dilakukan kepada penderita penyakit jantung dengan kalibrator ECG mempunyai tingkat akurasi sebesar 94%. Di samping mempunyai tingkat akurasi tinggi, alat yang dihasilkan peneliti ini bersifat mobile, kompetitif, dan produktif.
Kata Kunci
: Heart Rate, Jantung, plethysmograph, LDR, LED
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013
89
PENDAHULUAN Penggunaan alat medis sangat diperlukan sebagai alat bantu diagnosa kesehatan seseorang sebagai indikasi ada tidaknya suatu penyakit. Salah satu penyakit yang paling banyak dijumpai adalah penyakit jantung. Berdasarkan data yang disampaikan WHO (World Health Organization) dalam laporan mengenai beban penyakit global bahwa angka kematian karena jantung sangat tinggi yaitu sebesar 29% kematian global setiap tahun, perhitungan ini didasarkan catatan kematian dari 112 negara pada 2004 (Rusciano, 2004). Kemajuan teknologi terutama dalam bidang pemeriksaan jantung terus dilakukan, namun beberapa kendala yang dihadapi salah satunya yaitu pasien yang diharuskan selalu bertemu dengan dokter, hal ini tentu tidak efektif sehingga penulis memiliki inovasi supaya pasien tetap dapat berkomunikasi dengan dokter tanpa harus bertatap muka. Alat medis yang dikembangkan tersebut berupa heartrate monitoring device (HRMD). Heart rate monitoring digunakan untuk pengukuran jumlah denyut jantung. Perubahan denyut jantung yang tidak normal sering dialami oleh penderita penyakit jantung yang mana variabel ketidak normalannya terjadi saat bradikardi (denyut jantung kurang dari 60 kali per menit) dan takikardi (denyut jantung lebih dari 100 kali per menit). Monitoring denyut jantung ini berfungsi sebagai informasi awal agar lebih berhati – hati dalam beraktifitas sehingga perubahan denyut jantung yang tidak normal dapat diminimalisir. Perancangan HRMD terdiri dari sensor, mikrokontroler, wireless, dan display. Pengukuran yang dilakukan untuk menentukan jumlah heartrate menggunakan metode Plethysmografi, dengan mengukur perubahan volume darah di suatu organ akibat dari pemompaan darah oleh jantung. Photoplethysmograph (PPG) merupakan instrumen plethysmograph yang bekerja menggunakan sensor optik (Mascaro dkk, 2001). Diharapkan dengan adanya alat ini maka penderita penyakit jantung akan lebih terkontrol, karena dalam alat akan dilakukan pengukuran secara realtime untuk mendapatkan BPM dan didapat hasil kondisi denyut jantung yaitu bradikardi, takikardi, atau normal.
Jantung Jantung adalah salah satu organ tubuh yang paling vital fungsinya dibandingkan dengan organ tubuh vital lainnya. Apabila fungsi jantung mengalami gangguan maka besar pengaruhnya terhadap organ-organ tubuh lainnya terutama ginjal dan otak. Fungsi utama jantung adalah sebagai single pompa yang memompakan darah ke seluruh tubuh
90 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
untuk kepentingan metabolisme sel - sel demi kelangsungan hidup. Kerja jantung dikatakan normal jika atrium berkontraksi kira-kira seper enam detik mendahului kontraksi ventrikel, sehingga memungkinkan pengisian ventrikel sebelum ventrikel memompa darah menuju paru-paru dan tubuh. Kontraksi jantung bekerja secara otomatis hingga dihasilkan arus listrik dalam bentuk potensial aksi atau konduksi jantung dan ritme jantung dapat dikontrol (Kurachi, 2001).
Gambar 2.1 Jantung Sensor Pletyhsmograph Plethysmograph merupakan suatu teknik untuk mendeteksi/mengukur perubahan volume di dalam suatu organ. Informasi dari sinyal perubahan volume darah ini dapat digunakan untuk menghitung detak jantung per menit karena setiap puncak gelombang yang terjadi korelasi dengan satu denyut jantung. Photoplethysmograph (PPG) merupakan instrumen plethysmograph yang bekerja menggunakan sensor optik (Huang, 2011).
Gambar 1. Skema Rangkaian Sensor
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013
91
Heart Rate Monitor Sistem monitoring heart rate telah menjadi suatu alat yang umum pada medis karena sensitif terhadap adanya gangguan fisiologis dan psikologis. Penggunaan awal adanya heart rate monitor adalah untuk aplikasi klinis sebagai alat diagnosis, prognosis dan manajemen pasien yang memiliki masalah kesehatan (Ramli, 2011).
Wireless Wireless adalah teknologi yang menghubungkan 2 buah komputer atau lebih dengan menggunakan media transmisi gelombang radio. Teknologi radio menggabungkan sinyal frekuensi rendah dan gelombang pembawa yang frekuensi tinggi ke dalam modulator untuk kemudian di konversi ke gelombang elektromagnet dan dipancarkan ke udara (Evolution Education, 2010).
Gambar 2. Skema Rangkaian Modul Wireless XBee
Arduino Arduino adalah pengendali mikro single-board yang bersifat open-source, diturunkan dari Wiring platform, dirancang untuk memudahkan penggunaan elektronik dalam berbagai bidang. Hardware arduino memiliki prosesor Atmel AVR dan software arduino memiliki bahasa pemrograman sendiri (Mike Mc Roberts, 2010).
Gambar 3. Board Arduin
92 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
METODE PENELITIAN Prosedur proses ini dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu, persiapan desain diagram blok alat, perancangan hardware, perancangan software. Diagram blok alat dijelaskan pada Gambar 4. Transmitter Catu daya Input (Sensor)
Mikrokontroler Wireless transmitter
Receiver Catu daya Output (LCD dan buzzer)
Wireless receiver Mikrokontroler
Gambar 4. Proses Pembuatan Alat Penjelasan untuk Gambar 4, dalam penelitian ini desain sensor yang digunakan adalah Plethysmograph mode refleksi seperti pada Gambar 5, dimana menunjukkan pemasangan LED dan LDR pada jari yang digunakan sebagai sensor pendeteksi denyut jantung.
Gambar 5. Pemasangan Sensor Plethsymograph
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013
93
Mikrokontroler dalam penelitian ini ada 2 yaitu difungsikan untuk transmitter dan receiver. Rangkaian transmitter terdiri dari sensor, catu daya, modul wireless dan Arduino Duemilanove, proses kerja pada transmitter yang pertama yaitu sensor mendeteksi adanya denyut jantung pada jari kemudian data tersebut dikirimkan dengan modul wireless yang difungsikan sebagai transmitter yang dikontrol oleh mikrokontroler. Rangkaian receiver terdiri dari modul wireless yang difungsikan sebagai receiver yang akan menerima data dari transmiter dan diproses oleh mikrokontroler yang kemudian akan ditampilkan ke LCD dengan keluaran berupa kondisi denyut jantung. Adapun perancangan software HRMD dapat disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Perancangan Software HRMD
94 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
HASIL DAN PEMBAHASAN Tahapan selanjutnya yang dilakukan ada pengujian alat. Alat ini telah diuji di klinik dokter spesialis jantung dengan pasien yang memiliki beragam kondisi penyakit jantung. Proses pengujian alat juga disertai proses pembanding dengan alat yang telah terkalibrasi yaitu ECG yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Data Uji Coba HRMD Dengan Pembanding ECG
Rata-rata % eror HRMD : (4,13% + 10,15% + 1,33% + 7,71%) = 6% 4
Prosentase akurasi HRMD 100% − 6% = 94%
Berdasarkan hasil perhitungan akurasi didapati nilai jika HRMD memiliki tingkat
akurasi sebesar 94% setelah dilakukan kalibrasi dengan ECG. Hasil ini menunjukkan jika HRMD telah berhasil dibuat dengan baik dan dapat diaplikasikan pada penderita penyakit jantung. Dari hasil perhitungan denyut jantung pada masing-masing penderita penyakit jantung selama perhitungan, kondisi jantung mereka menunjukkan aktivitas yang stabil dan tidak terjadi kelainan bradikardi maupun takikardi. Namun hal ini tidak berarti penderita dinyatakan sembuh, karena selama pengukuran mereka dalam kondisi beristirahat. Ketika sedang beraktivitas sehari-hari, kemungkinan terjadinya kelainan secara tiba-tiba sangat besar, sehingga peran HRMD sangat dibutuhkan untuk mengantisipasi terjadinya penyakit jantung yang lebih parah. Pengujian selanjutnya yaitu uji aktivitas fisik dimana bertujuan untuk menguji alat HRMD bahwa alat HRMD dapat digunakan untuk monitoring denyut jantung dengan optimal, hasil pengujian dapat disajikan pada Tabel 2.
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013
95
Tabel 2. Data Uji Aktivitas Fisik
Data uji perlakuan fisik pada Tabel 2 menunjukkan bahwa alat HRMD dapat bekerja secara optimal, dibuktikan pada saat beristirahat kondisi denyut jantung terlihat normal, dan setelah melakukan aktifitas fisik kondisi denyut jantung terlihat cepat. Dari perbedaan inilah alat HRMD dapat digunakan untuk mendeteksi deyut jantung, serta dapat membedakan antara kondisi jantung beristirahat dan kondisi denyut jantung setelah melakukan aktivitas fisik Analisis secara medis dari hasil uji pada Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa denyut jantung dipengaruhi oleh aktifitas yang dilakukan. Ketika seseorang melakukan olah raga maka denyut jantung permenitnya akan lebih cepat dibandingkan sebelum beraktifitas (istirahat), hal ini disebabkan ketika seseorang melakukan aktifitas olah raga maka akan meningkatkan kebutuhan
oksigen, sehingga jantung akan meningkat kerjanya untuk
memenuhi kebutuhan oksigen tersebut.
UCAPAN TERIMAKASIH Kepada DIKTI yang telah menghibahkan dana untuk penelitian ini, serta temanteman 1 tim PKM-T Tyas, Keke, Fifin dan dosen pembimbing kami yaitu ibu Delima Ayu Saraswati. Saya ucapkan juga banyak terimakasih kepada dosen monevin dari UNAIR yang juga dosen pembimbing skripsi saya yaitu ibu Retna Apsari yang telah banyak memberikan masukan dalam penelitian ini.
96 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
DAFTAR PUSTAKA Evolution
Education.
2010.
XBee-Pro
Basic,
(Online)
( http://www.rev-
ed.co.uk/docs/xbe001.pdf ) , diakses 29 Juni 2012 Huang, Fu-Hsuan. et,al, 2011. Analysis of Reflectance Photoplethysmograph Sensors. United Kingdom: World Academy of Science, Engineering and Technology. Kurachi,
Yoshihisa.,
2001,
Heart
Physiology
and
Pathophysiology,
Boston,
Massachusetts :9-10. Mascaro, stephen A dan H. Harry Asada. 2001. Photoplethysmograph Fingernall sensor for measuring Forces Without Haptic Obstruction. IEEE Transactions On Robotics And Automation, Vol 17, No. 5. Mike Mc Roberts. 2010. Arduino Starter Kit Manual: Earthshine Design Ramli, NI . 2011. Design and Fabrication of a Low Cost Heart Monitor using Reflectance Photoplethysmogram. United Kingdom: World Academy of Science, Engineering and Technology. Rusciano, Florence. 2004. Global Burden of Disease. Switzerland : WHO (World Health Organization).
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013
97
SINTESIS DAN KARAKTERISASI HIDROKSIAPATIT MAKROPORI UNTUK APLIKASI BONE FILLER Wida Dinar Tri Meylani, Djoni Izak R., Siswanto Program Studi Teknobiomedik Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
Email :
[email protected]
Abstract In this study, macroporous hydroxyapatite has been done by foam immersion method. Materials used in this study include hydroxyapatite, PVA and foams. Synthesis carried out by immersing the foam in the slurry which mixture of 40 wt% hydroxyapatite and PVA solution (50 wt%). Sample is dried and heated at 650 º C to remove PVA and foam. The next stage is the process of sintering the sample at 1000 º C with variation in sintering duration about 4 hours, 5 hours and 6 hours. Based on SEM test, porosity test, and compressive strength test, the best results shown by the samples with 6 hours of sintering because it has a pore diameter of 184-571 μm with a porosity of 87.565%, compressive strength value of 7.1395 x 10-3 MPa and not give toxic effects.
Key words: macroporous hydroxyapatite, foam immersion method, sintering, pore diameter, porosity, compressive strength, non toxic.
98 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
Abstrak Telah dilakukan sintesis hidroksiapatit makropori dengan metode perendaman busa. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi hidroksiapatit, PVA dan busa. Sintesis dilakukan dengan cara merendam busa dalam slurry yang merupakan campuran 40 wt% hidroksiapatit dan larutan PVA (50 wt%). Selanjutnya sampel dikeringkan dan dipanaskan pada temperatur 650º C untuk menghilangkan busa dan PVA. Tahap selanjutnya adalah proses sintering sampel pada temperatur 1000º C dengan variasi lama waktu sintering 4 jam, 5 jam dan 6 jam. Berdasarkan uji SEM, uji porositas, dan uji compressive strength, hasil terbaik ditunjukkan oleh sampel yang disintering 6 jam karena memiliki diameter pori sebesar 184 – 571 µm dengan porositas 87,565 %, nilai compressive strength 7,1395 x 10-3 MPa dan tidak toksik. Kata kunci : hidroksiapatit makropori, metode perendaman busa, sintering, diameter pori, porositas, compressive strength, tidak toksik.
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013
99
PENDAHULUAN Transplantasi sangat terbatas oleh ketersediaan organ dan masalah kompatibilitas imun. Perkembangan yang menarik perhatian saat ini adalah regenerasi atau penumbuhan kembali jaringan yang sakit atau rusak. Teknik jaringan mengacu pada penumbuhan jaringan baru menggunakan sel hidup yang dikendalikan oleh struktur substrat dari material sintetis (Park et al, 2007).Bone filler telah banyak digunakan dalam rekonstruksi tulang akibat kecelakaan, tumor jinak, tumor ganas dan cacat tulang bawaan. Rongga tulang yang rusak diisi dengan bone filler sehingga memungkinkan tumbuhnya sel tulang yang baru. Bone filler akan menghilang saat sel tulang yang baru telah tumbuh (Phillips, 2005). Dalam rangka untuk mendorong pertumbuhan sel tulang di dalam bone filler sangat diperlukan kontrol karakteristik fisik porositas (Descamps et al, 2008). Parameter penting untuk bone filler antara lain porositas, ukuran diameter pori, serta interkoneksi pori. Saat ukuran pori hidroksiapatit melebihi 100 µm, tulang akan tumbuh di dalam pori yang saling terkoneksi dan mempertahankan vaskularitas (Ratner, 2004). Pada tulang, porositas bone filler yang dibutuhkan
± 70% (Keaveny, 2004) dengan ukuran pori
minimum untuk pertumbuhan sel tulang adalah sebesar 100 µm (Swain, 2009). Ukuran pori yang paling cocok atau efektif untuk pertumbuhan sel tulang adalah pada kisaran ukuran 100 – 400 µm (Swain, 2009). Hidroksiapatit adalah salah satu biokeramik yang digunakan sebagai bahan pembuatan bone filler. Bone filler dari hidroksiapatit dapat ditempati oleh jaringan tulang karena hidroksiapatit memiliki kemiripan dengan komposisi tulang. Hidroksiapatit memiliki biokompatibilitas yang tinggi dengan jaringan hidup disekelilingnya serta bersifat osteokonduktif yaitu dapat merangsang pertumbuhan tulang (Descamp et al, 2008).Swain (2009) menggunakan metode perendaman busa polimer untuk mensintesis hidroksiapatit makropori. Hidroksiapatit dibuat dalam bentuk slurry dengan cara dicampurkan dalam larutan PVA (Polyvinyl Alcohol) kemudian busa direndam dalam slurry tersebut. Setelah sampel dikeringkan, pembakaran sampel di dalam furnace dilakukan untuk menghilangkan busa dan PVA kemudian dilanjutkan ke tahap akhir yaitu tahap sintering. Pada penelitian tersebut hidroksiapatit makropori yang dihasilkan memiliki ukuran diameter pori 400 – 500 µm dan terdapat interkoneksi. Kelemahan dari penelitian ini adalah ukuran pori yang dihasilkan kurang sesuai untuk pertumbuhan tulang karena ukuran pori yang efektif untuk pertumbuhan tulang adalah 100-400 µm.
100 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
Selama proses pembakaran material atau proses sintering, terjadi suatu penyusutan dimana porositas menurun dan terjadi peningkatan integritas mekanik. Perubahan ini terjadi akibat penggabungan butiran-butiran atau partikel sehingga material menjadi lebih padat (Callister, 2001). Semakin lama waktu yang diberikan pada proses sintering, maka porositas dari material tersebut semakin menurun (Smith, 1990). Selama proses sintering tersebut berlangsung, semakin lama waktu sinteringnya maka ukuran pori-pori akan menjadi lebih kecil (Callister, 2001). Pada
penelitian
ini,
telah
dilakukan
sintesis
hidroksiapatit
makropori
menggunakan metode perendaman busa dimana pada proses sintesisnya digunakan busa sebagai media atau agen pembuat pori. Penelitian Swain (2009) memiliki kelemahan yaitu pori-pori yang dihasilkan sebesar 400-500 µm kurang efektif untuk pertumbuhan tulang karena ukuran pori yang efektif adalah sebesar 100-400 µm. Variasi pada lama waktu proses sintering pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada ukuran pori dan porositas hidroksiapatit makropori sebagai akibat dari perbedaan lama waktu sintering. Selain itu dengan mengetahui lama waktu sintering yang tepat maka akan dapat dihasilkan hidroksiapatit makropori yang memiliki porositas dan diameter pori yang efektif untuk pertumbuhan sel tulang.
METODE PENELITIAN Penelitian tentang “Sintesis dan Karakterisasi Hidroksiapatit Makropori untuk Aplikasi Bone Filler” ini dilakukan dalam dua tahap pelaksanaan yaitu tahap pembuatan sampel dan tahap pengujian sampel. Tahap pembuatan sampel meliputi proses pembuatan slurry, perendaman busa Polyurethane, pengeringan, penghilangan busa dan PVA serta proses sintering. Pembuatan sampel hidroksiapatit makropori dilakukan dengan menggunakan metode perendaman busa. Pada pembuatan sampel tersebut dilakukan variasi pada lama waktu sintering dengan temperatur sintering yang tetap yaitu 1000º C. Tahap-tahap pembuatan sampel hidroksiapatit makropori adalah sebagai berikut. Hidroksiapatit slurry dibuat dengan mencampurkan 40 wt% serbuk hidroksiapatit dengan larutan Polyvinyl Alcohol (PVA) 5 wt%. Busa yang terbuat dari polyurethane dipotong berbentuk kubus dengan ukuran kurang lebih 1x1x1 cm. Busa yang telah dipotong kemudian direndam dalam slurry. Sampel kemudian dikeringkan dalam furnace selama 2 jam pada temperatur 80º C kemudian temperatur ditingkatkan menjadi 650º C selama 1 jam untuk menghilangkan busa serta PVA. Tahap terakhir adalah sintering
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013
101
sampel I, II dan III pada temperatur 1000º C dengan variasi lama waktu masing-masing sampel adalah 4 jam, 5 jam dan 6 jam. Tahap pengujian ketiga sampel hidroksiapatit makropori meliputi pengujian porositas, pengujian SEM, pengujian compressive strength, pengujian FTIR dan pengujian MTT assay sebagai berikut. Pengujian FTIR Pengujian FTIR dilakukan Laboratorium Polimer dan Membran Teknik Kimia UBAYA. Sejumlah sampel digerus bersama KBr dengan perbandingan 1:20 (w/w). Komposisi sampel dan KBr masing-masing adalah 0,025 gr dan 0,5. Digunakan KBr karena sel tempat cuplikan dari sampel harus terbuat dari bahan-bahan yang tembus terhadap sinar infra merah, seperti NaCl dan KBr. Campuran kemudian di press dengan menggunakan alat pengepres pada tekanan 10 torr sehingga menjadi pellet yang padat, pellet ini yang kemudian dianalisa dengan menggunakan alat spektrokopi FTIR tipe Bruker Tensor 27. Pengujian SEM Sampel diuji menggunakan SEM tipe INSPECT S50 dan dilakukan di Laboratorium Sentral Universitas Negeri Malang. Sampel yang akan dipotret disiapkan terlebih dahulu. Sampel direkatkan dengan karbon pada tempat (stub) yang terbuat dari logam dan dilapisi palladium. Lalu sampel dimasukkan dalam ruang spesimen dan disinari dengan pancaran elektron (20 kV). Elektron yang dipantulkan lalu dideteksi dengan detektor sintilator yang diperkuat dengan suatu rangkaian listrik yang dapat mengakibatkan timbulnya gambar layar CRT (Catode Ray Tube). Lalu dilakukan pemotretan setelah memilih bagian tertentu dari objek dengan pembesaran yang diinginkan sehingga diperoleh foto yang baik dan jelas.bagian bawah halaman. Pengujian Porositas Porositas hidroksiapatit makropori dihitung dengan menghitung persen volume ruang kosong yang terdapat pada sampel. Sebelum ditimbang massanya, sampel dihitung volumenya kemudian sampel dalam keadaan kering ditimbang massanya. Selanjutnya sampel dimasukkan dalam gelas beaker yang berisi air. Massa sampel setelah direndam kemudian ditimbang. Porositas dari sampel dihitung berdasarkan persamaan berikut.
102 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
Dimana, mb = massa basah dari benda uji (gram) mk = massa kering dari benda uji (gram) Vb = volume benda uji (cm3) ρair = massa jenis air (1 gr/cm3) Pengujian Compressive Strength Pengujian compressive strength dilakukan di Laboratorium Korosi dan Kegagalan Material Jurusan Material Metalurgi ITS. Sisi sampel diukur dengan menggunakan jangka sorong (panjang p, lebar l). Sampel ditempatkan pada tempat spesimen alat uji tekan, kemudian sampel ditekan dengan alat penekan sehingga penekan dapat menekan permukaan sampel sampai hancur. Besarnya beban (F) yang digunakan untuk menekan sampel hingga hancur dapat dilihat pada alat. Dari data yang telah diperoleh kemudian dimasukkan dalam persamaan sebagai berikut.
Dimana F merupakan gaya tekan sampel dalam satuan Newton (N) dan A merupakan luas penampang sampel yang dikenai gaya tekan. Pengujian MTT assay Pengujian MTT assay yang dilaksanakan di Pusat Veterinaria Farma dilakukan dalam beberapa tahap antara lain persiapan kultur sel fibroblas, pengerjaan sampel dan tahap pengujian sampel. Tahap persiapan kultur sel fibroblas akan dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut. Persiapan dilakukan dalam laminar flow. Kultur sel BHK-21 dalam bentuk monolayer dengan media Eagle’s dan FBS 10% ditanam dalam botol kultur Roux kemudian diinkubasi pada suhu 37° C selama 48 jam menggunakan inkubator. Kultur sel lalu dicuci dengan PBS sebanyak 5 kali yang bertujuan untuk membuang sisa serum yang tersisa. Kemudian ditambahkan tripsin versene untuk melepaskan sel dari dinding botol dan memisahkan ikatan antar sel agar tidak menggerombol. Sel dengan kepadatan 2 x 105 dimasukkan dalam 100 µL media Eagle’s (media eagle’s 86%, penstrep 1%, fungizone 100 unit/mL) kedalam mikroplate 96-sumur sesuai dengan jumlah sampel dan kontrol. Tahap kedua adalah pengerjaan sampel yang akan dilakukan dengan langkahlangkah sebagai berikut. Sampel disterilkan dalam autoklaf selama 1 jam pada suhu 120º C. Dalam laminar flow, sampel diencerkan dengan media eagle’s dan FBS. Sampel yang
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013
103
telah diencerkan dimasukkan dalam mikroplate 96-sumur sebanyak 50 µL lalu diinkubasi 24 jam pada suhu 37° C. Tahap ketiga adalah pengujian sampel yang akan dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut. 10 µL pereaksi MTT 5 mg/mL yang telah dilarutkan
dalam PBS
ditambahkan ke media untuk setiap sumuran kemudian diinkubasi selama 4 jam dalam suhu 37° C. Pelarut DMSO ditambahkan ke setiap sumuran sebanyak 50 µL lalu disentrifuse 30 rpm selama 5 menit. Nilai densitas optik formazan dihitung dengan Elisa reader pada panjang gelombang 630 nm. Penghitungan persentase sel hidup dapat dihitung sesuai dengan persamaan sebagai berikut.
Dimana % sel hidup = persen jumlah sel setelah perlakuan, OD perlakuan = nilai densitas optik sampel setelah perlakuan, OD kontrol media = nilai densitas optik kontrol media, OD kontrol sel = nilai densitas optik kontrol sel.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil FTIR diperoleh dalam bentuk spektrum yang menggambarkan besarnya nilai % transmitan dan bilangan gelombang untuk sampel hidroksiapatit makropori. Hasil pengujian FTIR dari ketiga sampel hidroksiapatit makropori dengan variasi lama waktu
2500 2000 Wavenumber cm-1
1000
632.96 603.04 569.56 473.72
1500
875.72
2002.06
2360.81
3000
1032.06 962.09
3500
1446.64
4000
3433.59
3572.10
0
20
40
Transmittance [%] 60 80 100
120
140
sintering 4 jam, 5 jam dan 6 jam dapat dilihat pada Gambar 1, Gambar 2 dan Gambar 3.
500
Gambar 1. Hasil pengujian FTIR dari sampel Hidroksiapatit makropori yang disintering 4 jam.
104 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
140 120 Transmittance [%] 60 80 100 40 20
3500
3000
2500 2000 Wavenumber cm-1
1500
1000
633.20 603.20 569.54 474.27
875.91
962.08
1050.08
1429.96
2002.14
2360.71
3435.01
3572.35
0 4000
500
Gambar 2. Hasil pengujian FTIR dari sampel Hidroksiapatit makropori yang disintering 5
3000
1500
1046.32
1423.84
2002.15
2500 2000 Wavenumber cm-1
633.05 602.97 569.22 474.10
3500
961.78
4000
2361.38
3642.38 3572.38 3495.68
0
20
40
Transmittance [%] 60 80 100
120
140
jam.
1000
500
Gambar 3. Hasil pengujian FTIR dari sampel Hidroksiapatit makropori yang disintering 6 jam. Selama proses pembuatan, Polyvinyl Alcohol (PVA) dan busa jenis Polyurethane (PU) digunakan bersama dengan hidroksiapatit sampai terbentuk makropori. Sisa-sisa dari PVA dan PU akan semakin berkurang sesuai dengan meningkatnya lama waktu sintering. Dalam hal ini proses sintering selain berfungsi sebagai proses penggabungan partikel-partikel material, proses sintering juga berfungsi sebagai tahap akhir untuk menghilangkan bahan-bahan sisa yang sudah tidak diperlukan. Untuk mengetahui apakah PVA dan PU masih tersisa dalam sampel hidroksiapatit makropori, maka dilakukan analisis pada ketiga spektrum FTIR sampel. Jika pada sampel masih terdapat PVA, maka pada spektrum FTIR akan muncul puncak gugus vinil (C=C) yang terletak pada bilangan gelombang 1600-1700 cm-1. Adanya polyurethane akan ditunjukkan oleh adanya puncak milik gugus ester (R-COO-R) pada bilangan gelombang (1735-1750 cm-1) dan gugus amina (NH) pada bilangan gelombang (3000-3700 cm-1). No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013
105
Dari spektrum FTIR hasil pengujian ketiga sampel pada Gambar 1, Gambar 2 dan Gambar 3 dapat diketahui bahwa tidak ada gugus fungsi vinil milik PVA (C=C) dan gugus ester dan amina dari busa polyurethane (NH dan R–COO-R). Dalam spektrum FTIR tersebut hanya terdapat gugus-gugus fungsi milik hidroksiapatit yaitu hidroksil dan fosfat (OH dan PO43-). Sehingga dapat dikatakan bahwa ketiga sampel hidroksiapatit makropori yang terbentuk tidak mengandung PVA dan polyurethane. Pengujian dengan SEM dilakukan untuk mengetahui struktur permukaan dan diameter pori sampel. Hasil pengujian SEM yang menunjukkan struktur permukaan dari sampel hidroksiapatit makropori dengan variasi lama waktu sintering 4 jam, 5 jam dan 6 jam dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Hasil pengujian SEM dari sampel Hidroksiapatit makropori dengan variasi lama waktu sintering (a) 4 jam, (b) 5 jam, dan (c) 6 jam. Lama waktu sintering berpengaruh pada ukuran diameter pori dari sampel hidroksiapatit makropori. Ukuran diameter pori sampel hidroksiapatit makropori dapat diukur menggunakan garis skala yang terdapat pada gambar hasil SEM. Setelah dilakukan pengukuran diameter pori pada ketiga sampel tersebut berdasarkan Gambar 4, untuk masing-masing sampel diperoleh ukuran diameter pori yang berbeda-beda. Pengaruh dari variasi lama waktu sintering terhadap ukuran diameter pori pada sampel hidroksiapatit makropori diperlihatkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil pengukuran diameter pori dari sampel hidroksiapatit makropori dengan variasi lama waktu sintering 4 jam, 5 jam, 6 jam.
106 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
Tabel 1 menunjukkan bahwa pada sampel hidroksiapatit makropori, ukuran diameter pori menurun sesuai dengan kenaikan lama waktu sintering. Hal ini terjadi karena selama proses sintering berlangsung, terjadi penggabungan butiran atau partikel sehingga material menjadi lebih padat. Semakin lama waktu yang diberikan pada proses sintering maka ukuran pori-pori akan menjadi lebih kecil. Pada penelitian ini meskipun telah terjadi penurunan ukuran diameter pori sampel terhadap kenaikan lama waktu sintering, namun sampel III yang disintering 6 jam dan memiliki diameter pori terkecil yaitu 184 – 571 µm belum dapat diaplikasikan untuk bone filler. Hal ini dikarenakan ukuran diameter pori pada sampel tersebut lebih besar dari ukuran diameter bone filler yang efektif untuk pertumbuhan sel tulang, yaitu 100 – 400 µm. Untuk mendapatkan diameter pori hidroksiapatit makropori yang efektif untuk pertumbuhan tulang, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yaitu dengan meningkatkan pada lama waktu sintering agar diperoleh diameter pori sebesar 100 – 400 µm. Selain ukuran diameter pori, lama waktu sintering juga berpengaruh terhadap porositas dari sampel hidroksiapatit makropori. Hasil pengujian porositas sampel hidroksiapatit makropori dengan variasi lama waktu sintering 4 jam, 5 jam dan 6 jam dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil pengujian porositas dari sampel hidroksiapatit makropori dengan variasi lama waktu sintering 4 jam, 5 jam, 6 jam.
Setelah dilakukan pengukuran porositas, maka berdasarkan Tabel 2 diperoleh porositas yang berbeda-beda untuk ketiga sampel dengan lama waktu sintering yang berbeda. Pengaruh dari variasi lama waktu sintering terhadap porositas sampel hidroksiapatit makropori ditunjukkan oleh grafik pada Gambar 5.
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013
107
Gambar 5. Grafik hubungan antara variasi waktu sintering dengan porositas (%) Hidroksiapatit makropori. Porositas dipengaruhi oleh proses sintering dimana porositas akan menurun ketika lama waktu proses sintering ditingkatkan. Grafik pada gambar 5 menunjukkan bahwa pada sampel hidroksiapatit makropori, porositas menurun sesuai dengan kenaikan lama waktu sintering. Sampel III yang disintering selama 6 jam memiliki porositas lebih kecil jika dibandingkan dengan sampel I dan II. Hal ini disebabkan karena selama proses sintering berlangsung terjadi penyusutan akibat penggabungan partikel-partikel yang menyebabkan material menjadi lebih padat. Semakin lama waktu untuk proses sintering, maka penggabungan partikel material menjadi semakin efektif sehingga porositas makin menurun. Meskipun telah dihasilkan tiga sampel hidroksiapatit makropori dengan porositas sebesar 95,447%, 90,886% dan 87,565% untuk sampel I, II dan III, namun ketiga sampel tersebut masih belum sesuai untuk diaplikasikan sebagai bone filler. Menurut Keaveny (2004), hidroksiapatit makropori yang akan diaplikasikan sebagai bone filler pada tulang spongious femur membutuhkan porositas sebesar ±70%. Pada penelitian ini, ketiga sampel hidroksiapatit makropori yang dihasilkan memiliki porositas lebih dari 70% sehingga belum dapat diaplikasikan untuk bone filler. Untuk mendapatkan hidroksiapatit makropori yang memiliki porositas ±70% dapat dilakukan penelitian lebih lanjut dengan cara menambah lama waktu sinteringnya yaitu lebih dari 6 jam. Lama waktu sintering akan berpengaruh terhadap compressive strength dari sampel hidroksiapatit makropori. Hasil pengujian compressive strength sampel
108 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
hidroksiapatit makropori dengan variasi lama waktu sintering 4 jam, 5 jam dan 6 jam dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil pengujian compressive strength dari sampel hidroksiapatit makropori dengan variasi lama waktu sintering 4 jam, 5 jam, 6 jam.
Setelah dilakukan pengukuran compressive strength, maka berdasarkan Tabel 3 diperoleh nilai compressive strength yang berbeda-beda untuk ketiga sampel dengan lama waktu sintering yang berbeda. Pengaruh dari variasi lama waktu sintering terhadap sifat mekanik compressive strength sampel hidroksiapatit makropori ditunjukkan oleh grafik pada Gambar 6.
Gambar 6. Grafik hubungan antara variasi waktu sintering dengan compressive strength hidroksiapatit makropori. Lama waktu sintering mempengaruhi sifat mekanik sampel dimana nilai compressive strength sampel akan meningkat sesuai dengan kenaikan lama waktu sintering. Grafik pada Gambar 6 menunjukkan bahwa pada sampel hidroksiapatit makropori, compressive strength meningkat sesuai dengan kenaikan lama waktu
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013
109
sintering. Sampel III yang disintering selama 6 jam memiliki nilai compressive strength lebih besar jika dibandingkan dengan sampel I dan II. Hal ini disebabkan karena selama proses sintering, terjadi penggabungan partikel-partikel atau butir material sehingga terjadi ikatan yang kuat antara masing-masing butir. Peristiwa ini dapat terjadi karena adanya suatu mekanisme gerakan material diantara butir (proses difusi) dan sumber energi untuk mengaktifkan gerakan tersebut. Semakin lama waktu yang diberikan pada proses sintering, semakin banyak partikel-partikel yang berikatan sehingga material menjadi lebih kuat. Dalam hal ini lama waktu sintering akan berpengaruh pada sifat mekanik bahan termasuk compressive strength. Nilai compressive strength dari hidroksiapatit
makropori
yang akan
diaplikasikan sebagai bone filler adalah sebesar 7,5 – 41 MPa. Nilai compressive strength dari ketiga sampel hidroksiapatit makropori pada penelitian ini belum memenuhi nilai compressive strength yang sesuai untuk aplikasi bone filler. Nilai compressive strength sampel dapat ditingkatkan dengan cara menambah lama waktu sintering sampai didapatkan nilai yang sesuai untuk aplikasi bone filler. Ketiga sampel hidroksiapatit makropori menggunakan PVA dan PU dalam proses pembuatannya. Setelah ketiga sampel hidroksiapatit telah terbukti
tidak
mengandung PVA dan PU berdasarkan hasil pengujian FTIR, maka perlu dibuktikan apakah ketiga sampel tersebut tidak bersifat toksik. Oleh karena itu dilakukan tahap pengujian toksisitas yaitu uji MTT assay. Hasil pengujian MTT assay yang menunjukkan persen sel hidup dari sampel hidroksiapatit makropori yang disintesis dengan variasi lama waktu sintering 4 jam, 5 jam dan 6 jam dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Hasil pengujian MTT assay dari sampel hidroksiapatit makropori yang disintesis dengan variasi temperatur sintering 4 jam, 5 jam, 6 jam.
Tabel 4 merupakan hasil perhitungan nilai densitas optik dari setiap sampel yang diuji. Densitas optik dapat diartikan kemampuan suatu material untuk menyerap
110 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
suatu cahaya. Nilai dari densitas optik (OD) setara dengan banyaknya sel hidup. Makin tinggi nilai OD maka sel yang hidup semakin banyak. Setelah dilakukan pengujian MTT assay, maka berdasarkan tabel 4 yang diperoleh dari hasil pembacaan Elisa Reader menunjukkan bahwa ketiga sampel hidroksiapatit makropori tidak bersifat toksik pada sel. Hal ini ditunjukkan oleh persentase sel yang hidup masih diatas 60 % pada pengujian ketiga sampel tersebut. Ketiga sampel hidroksiapatit makropori tersebut tidak bersifat toksik karena selama proses sinteringnya, PVA dan PU sudah dihilangkan sehingga yang tertinggal hanya hidroksiapatit. Hal tersebut dikuatkan oleh pengujian pada ketiga sampel hidroksiapatit yang telah diuji FTIR dimana pada spektrum FTIR ketiga sampel hanya terdapat gugusgugus fungsi hidroksil dan fosfat (OH dan PO43-) atau dengan kata lain tidak ada gugusgugus fungsi milik PVA dan PU. Hasil pengujian FTIR memperlihatkan bahwa PVA dan busa telah berhasil dihilangkan melalui proses pemanasan 650º C dan sintering 1000º C dengan lama waktu sintering berbeda. Berdasarkan hasil pengujian SEM dan porositas, ukuran diameter pori dan porositas sampel hidroksiapatit makropori menurun sesuai dengan kenaikan lama waktu sintering. Penurunan porositas tersebut akan menyebabkan kenaikan pada compressive strength sampel. Dalam hal ini perubahan pada ukuran pori sampel akan menyebabkan perubahan pada porositas dan compressive strength sampel. Hasil pengujian MTT assay juga memperlihatkan bahwa sampel hidroksiapatit makropori yang disintesis menggunakan metode perendaman busa tidak memberikan efek toksik karena PVA dan busa yang telah hilang. Dari beberapa hasil uji yang telah dilakukan pada ketiga sampel hidroksiapatit makropori, diperoleh karakteristik terbaik yaitu pada sampel III yang disintering pada temperatur 1000º C selama 6 jam. Pada sampel tersebut ukuran diameter pori yang dihasilkan adalah sebesar 184 – 571 µm dengan porositas 87,565 % dan nilai compressive strength 7,1395 x 10-3 MPa. Pada sampel tersebut juga tidak ditemukan adanya sisa PVA dan busa. Pengujian MTT assay menunjukkan bahwa sampel tersebut tidak memberikan efek toksik karena persen sel hidup yang diperoleh dari pengujian sampel tersebut adalah sebesar 96,472%. Hidroksiapatit makropori dapat diaplikasikan sebagai bone filler jika memenuhi syarat antara lain ukuran pori 100-400 µm, porositas kurang lebih 70%, memiliki compressive strength 7,5 – 41 MPa dan tidak bersifat toksik. Dari beberapa pengujian yang telah dilakukan, sampel III memiliki sifat terbaik jika dibandingkan dengan kedua
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013
111
sampel lainnya. Meskipun hasil uji MTT assay menunjukkan bahwa sampel III tidak toksik, namun sampel III tersebut belum dapat diaplikasikan sebagai bone filler karena ukuran diameter pori, porositas serta nilai compressive strengthnya tidak memenuhi syarat sebagai bone filler. Untuk mendapatkan sampel hidroksiapatit makropori yang diameter pori, porositas dan sifat mekanik compressive strengthnya sesuai untuk aplikasi bone filler maka perlu dilakukan penambahan pada lama waktu sinteringnya.
KESIMPULAN 1. Variasi lama waktu sintering berpengaruh pada ukuran pori, porositas dan sifat mekanik compressive strength sampel hidroksiapatit makropori. Semakin lama waktu sintering yang digunakan,
maka ukuran pori dan porositas sampel akan
menurun. Semakin lama waktu sinteringnya akan membuat nilai compressive strength sampel meningkat. 2. Sampel III yang disintering selama 6 jam memiliki kandidat untuk aplikasi bone filler karena ukuran pori yang dimiliki adalah sebesar 184-571 µm, mendekati ukuran pori yang efektif untuk pertumbuhan sel tulang (100-400 µm).
DAFTAR PUSTAKA Ananto, S., 2008, Analisis Mikrostruktur, Sifat Mekanik dan Sifat Kimia Logam SS-904L, Skripsi Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya. Chou, J., et al., 2007, Conversion of Coral Sand to Calcium Phosphate for Biomedical Application, Department of Chemistry Materials and Forensic Science, University of Technology Sydney, Australia. Callister, W. D., 2001, Fundamentals of Materials Science and Engineering, John Wiley and Sons, Inc, New York. Demirkol, et al., Mechanical and Microstructural Properties of Sheep Hydroxyapatite (SHA) of Nanocrystalline Hydroxyapatite Composites, Technical Prog. Dept., Vocational School of Degirmendere Ali Ozbay, Kocaeli University. Golcuk, Turkey. Descamps, M., et al., 2007, Manufacture of macroporous β - Tricalcium Phosphate Bioceramics, Laboratoire des Mate´riaux et Proce´de´s (LMP), Universite´ de Valenciennes et du Hainaut-Cambre´sis, EA 2443, Zl du champ de l’Abbesse, 59600 Maubeuge, France.
112 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
Descamps, M., et al., 2008, Synthesis of Macroporous β – Tricalcium Phosphate with Controlled Porous Architectural, Laboratoire des Mate´riaux et Proce´de´s (LMP), Universite´ de Valenciennes et du Hainaut-Cambre´sis, EA 2443, Zl du champ de l’Abbesse, 59600 Maubeuge, France. Gross, K. A., et al., 1997, Thermal Processing of Hydroxyapatite for Coating Production, Thermal Spray Laboratory, Department of Materials Science and Engineering, State University of New York at Stony Brook, New York. Heimann, R. B., 2001, Modern Bioceramic Materials : Design, Testing, and Clinical Application, Department of Mineralogy Freiberg University of Mining and Technology Brennhausgasse 14, 09596 Freiberg, Germany. Kalita, S., et al., 2006, Fabrication of 3-D Porous Mg/Zn doped Tricalcium Phosphate Bone-Scaffolds via the Fused Deposition Modelling, Department of Mechanical, Materials and Aerospace Engineering, University of Central Florida, Orlando, Florida. Keaveny, T. M., 2004, Standard Handbook of Biomedical Engineering and Design, McGraw Hill. Kurniawan, S. B., 2012, Sintesis dan Karakterisasi Sifat Mekanik Mortar Berbasis Material Komposit Silika Amorf dengan Variasi Penambahan Sekam Tebu, Skripsi Jurusan Fisika, Universitas Airlangga, Surabaya. Li, S., et al., 2003, Macroporous Biphasic Calcium Phosphate Scaffold with High Permeability / Porosity Ratio, 1IsoTis NV, Bilthoven, The Netherlands. Liebschner, M. A. K., et al., 2003, Optimization of Bone Scaffold Engineering for Load Bearing Applications, Department of Bioengineering, Rice University, Texas, USA. Miao, X., et al., 2010, Graded/Gradient Porous Biomaterials, Institute of Health and Biomedical Innovation, Queensland University of Technology, 60 Musk Avenue, Kelvin Grove, QLD 4059, Australia. Mooney, D. J., et al., 2000, Engineering Biomaterials for Tissue Engineering: The 10– 100 Micron Size Scale, The Biomedical Engineering Handbook, Second Edition, Boca Raton: CRC Press LLC. Muzzarelli, R. A. A., et al., 1978. Enchanced Capacity of Chitosan for Transition Metal Ions in Sulphate – Sulphuric Acid Solution.Talanta. Vol 21. Pp. 1137-1143. Nath, S., et al., 2006, A Comparative Study of Conventional Sintering with Microwave Sintering of Hydroxyapatite Synthesized by Chemical Route, Laboratory for
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013
113
Advanced Ceramics, Department of Materials & Metallurgical Engineering, IITKanpur National Metallurgical Laboratories, Jamshedpur. Oktar, et al., 2007, Mechanical Properties of Bovine Hydroxyapatite (BHA) Composites Doped with SiO2, MgO, Al2O3, and ZrO2, School of Engineering, Industrial Engineering Department, Marmara University, Goztepe Campus, Ziverbey, Kadikoy, Istanbul, Turkey. Park, J., et al., 2007, Biomaterials an Introduction, 3rd Edition, Springer, New York. Phillips, G. O., 2005, Clinical Application of Bone Allografts and Substitutes Biology and Clinical Application, World Scientific, London. Rachadini, N., 2007, Uji Sitotoksisitas Ekstrak Serbuk Kayu Siwak (Salvadora persica) pada Kultur Sel dengan Menggunakan Esei MTT. Skripsi Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Airlangga, Surabaya. Ratner, B. D., et al., 2004, Biomaterial Science, Second Edition, Elsevier Scademic Press, San Diego. Sahin, E., 2006, Shynthesis and Characterization of Hydroxyapatite – Alumina – Zirconia Biocomposit, Izmir Institute of Technology, Izmir. Sari, N. A. W., 2005, Pengaruh Suhu dan Waktu Sintering pada Pembentukan Paduan PbS, Skripsi Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya. Sloane, E., 2003, Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula, EGC, Jakarta. Swain, S. K., 2009, Processing of Porous Hydroxyapatite Scaffold, Thesis Department of Ceramic Engineering, National Institute of Technology, Rourkela. Syafrudin, H., 2011, Analisis Mikrostrukutr, Sifat Fisis dan Sifat Mekanik Keramik Jenis Refraktori, Skripsi Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya. Sedyono, J., 2008, Proses Sintesis dan Karakterisasi FTIR Hidroksiapatit dari Gipsum Alam Kulon Progo, Teknik Mesin UGM, Yogyakarta. Smith, W. F., 1990, Principles of Material Science and Engineering, Second Edition, Mc Graw-Hill Publishing Company, New York. Thermo Nicolet. 2002. Introduction to Fourier Transform Infrared Spectrometry. Thermo Nicolet Corporation All rights reserver, Worldwide. Viswanath, et al., 2004, Synthesis, Sintering and Microstructural Characterization of Nanocrystalline Hydroxyapatite Composites, Materials Research Centre, Indian Institute of Science, Bangalore, India.
114 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
Wijayanti, F., 2010, Variasi Komposisi Cobalt - Chromium Pada Komposit Co-Cr-HAP Sebagai Bahan Implan, Skripsi Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya. Yeo, W. H., 2008, Improvement in Sinterability of Hydroxyapatite by Addition of Magnesium Oxide, Universiti Tenaga Nasional, Malaysia. Ylinen, P., 2006, Applications of Coralline Hydroxyapatite with Bioabsorbable Containment and Reinforcement as Bone Graft Substitute, Academic dissertation Department of Orthopaedics and Traumatology, Helsinki University Central Hospital and University of Helsinki, Helsinki.
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013
115