Judul Asli:
أحكام الضحية والضحي Penulis: Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, et.al Judul Indonesia:
Panduan Praktis Ibadah Qurban [Dalam Format Tanya Jawab]
Penerjemah: Al Ustadz Abdul Mu’thi Al Maidani Editor, Desain Sampul, dan Tata Letak: Tim Al Husna Penerbit: Penerbit Al Husna Perumahan Candi Gebang Permai BB-8 Jogjakarta Cetakan Pertama: Dzulqa’dah 1429 H – November 2008 Cetakan Ke: 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 (angka terkecil)
2
MUQADDIMAH PENERBIT Segala puji bagi Allah, semoga shalawat serta salam tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad, keluarga, sahabat, serta seluruh pengikut beliau. Tidak diragukan lagi, bahwa ibadah qurban adalah ritual yang senantiasa berulang setiap tahunnya. Untuk itu kami memandang penting untuk menerbitkan sebuah risalah sebagai bimbingan praktis bagi kaum muslimin untuk menunaikan ibadah kurban yang mulia ini. Risalah ini kami pilihkan dari sebuah posting di forum sahab dengan alamat URL: http://www.sahab.net/forums/showthread.php? p=621749. Kelebihan dari risalah ini adalah seluruhnya merupakan penukilan dari para ulama besar ahlussunnah wal jama’ah di masa kita yaitu Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, dan Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al 3
Utsaimin. Semoga Allah Ta’ala mencurahkan rahmatnya kepada mereka semua. Selain itu, dengan format tanya jawab, kami berharap risalah ini lebih mudah dipahami dan dapat menjawab permasalahan yang sering dialami oleh kaum muslimin yang hendak melakukan ibadah kurban. Demikianlah sedikit pengantar dari kami, semoga risalah kecil ini bisa bermanfaat bagi kaum muslimin. Jogjakarta, Dzulqa’dah 1429 H Penerbit Al Husna
4
MAKSUD KURBAN DALAM TINJAUAN SYARIAT Pertanyaan: Apa maksud dari berkurban dalam tinjauan syariat? Jawab: Maksudnya adalah pendekatan diri kepada Allah dengan melakukan kurban yang telah Allah gandengkan bersama shalat di dalam firman-Nya:
“Maka dirikanlah shalat demi menyembelihlah.” (Al Kautsar: 2)
Rabbmu
dan
Demikian pula firman-Nya:
5
“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku, dan matiku adalah untuk Allah Rabb alam semesta. Tak ada sekutu bagi-Nya.” (Al An’am: 162-163) Dengan demikian itu, kita mengetahui kedangkalan orang yang menduga bahwa yang dimaksud dengan berkurban adalah mengambil kemanfaatan dengan dagingnya. Sesungguhnya yang demikian ini adalah praduga yang dangkal dan lahir dari kebodohan. Maka yang dimaksud adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelih. Ingatlah mengenai firman Allah Ta’ala:
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kalianlah yang dapat mencapainya.” (Al Hajj: 27)
6
(Diambil dari Silsilah Liqa` Babil Maftuh oleh Asy Syaikh Ibnu Utsaimin, dengan nomor kaset: 228)
7
APAKAH KURBAN WAJIB ATAS SETIAP MUSLIM Pertanyaan: Apakah berkurban adalah kewajiban atas setiap muslim? Jawab: Kurban adalah sembelihan yang dengannya seseorang mendekatkan diri kepada Allah di hari raya ‘Idul Adha dan tiga hari setelahnya. Kurban itu termasuk ibadah yang paling utama, karena Allah telah menggandengkannya bersama shalat di dalam kitab-Nya. Allah Jalla wa ‘Alaa berfirman:
“Sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu telaga Al Kautsar. Maka dirikanlah shalat demi Rabbmu dan menyembelihlah”. (Al Kautsar: 1-2) Allah Ta’ala juga berfirman, 8
“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku, dan matiku untuk Allah Rabb alam semesta. Tak ada sekutu bagi-Nya, dengan yang demikian itulah aku telah diperintahkan, dan aku adalah orang yang pertama mempasrahkan diri (kepada Allah).” (Al An’am: 162-163) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah berkurban dengan dua kurban. Salah satunya bagi beliau dan ahli baitnya, sedangkan yang kedua bagi siapa saja yang beriman kepada beliau dari kalangan umatnya. Beliau telah mendorong dan memotivasi menusia untuk berkurban. Semoga shalawat dan keselamatan dari Allah tercurah kepada beliau. Para ulama rahimahumullah berselisih mengenai masalah apakah berkurban itu wajib atau tidak, di atas dua pendapat. Di antara mereka ada yang 9
berpendapat bahwa berkurban adalah wajib atas setiap orang yang mampu. Hal itu karena perintah untuk berkurban yang terdapat di dalam kitab Allah ‘Azza wa Jalla pada firman-Nya:
“Maka dirikanlah shalat demi menyembelihlah”. (Al Kautsar: 2)
Rabbmu
dan
Demikian pula karena yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang orang yang menyembelih sebelum shalat (hari raya ‘Idul Adha) bahwa hendaklah dia menyembelih setelah shalat. Juga diriwayatkan dari beliau (sabdanya),
مم ن وجد س عة ِل ن يص حي فل م يض ح فل يقرب ن نا$مصل “Barangsiapa yang mendapatkan kelapangan lalu dia tidak menyembelih, maka janganlah dia mendekati temapat shalat kami”. 10
Ini adalah madzhab Abu Hanifah, sebuah riwayat dari Al Imam Ahmad, dan pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah rahimahullah, di mana beliau pernah berkata: “Sesungguhnya pendapat yang nyata yaitu berkurban adalah wajib dan barangsiapa yang mampu melakukannya namun tidak memperbuatnya, maka dia berdosa.” Sebuah perkara yang kondisinya demikian ini sudah sepantasnya merupakan sesuatu yang wajib dan diharuskan setiap orang yang mampu untuk memperbuatnya. Dengan demikian, pendapat yang menyatakan wajib lebih tampak daripada yang tidak wajib tetapi dengan syarat ada kemampuan. Oleh sebab itu, tidak selayaknya seseorang meninggalkan berkurban selama dia mampu melakukannya. Akan tetapi hendaklah dia berkurban dengan seekor (kambing) bagi diri dan keluarganya. (Diambil dari Fatawa Nur ‘alad Darb dengan nomor kaset: 186 dan Syarh Zaadil Mustaqni’ pada Kitabul 11
Haj dengan nomor kaset: 18, oleh Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah)
12
PERBUATAN YANG TERLARANG BAGI ORANG YANG INGIN BERKURBAN Pertanyaan: Apakah perbuatan yang terlarang bagi orang yang ingin berkurban bila telah masuk sepuluh (hari pertama) dari bulan Dzul hijjah? Lalu sejauh mana keshahihan sebuah hadits yang maknanya yaitu barangsiapa yang ingin berkurban, maka dia tidak boleh mencukur rambut atau memotong kukunya sedikit pun sampai dia berkurban. Yang demikian itu berlangsung pada sepuluh hari pertama dari bulan Dzul hijjah. kemudian, apakah larangan ini sampai pada tingkat haram atau hanya sekedar mustahab (sunnah)? Jawab: Ini adalah hadits shahih yang telah diriwayatkan oleh Muslim. Adapun hukumnya adalah haram karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: 13
إذا د خل العش ر وأراد أحد كم أن يض حي فل يأخذن من شعره ول من ظفره شي “Apabila telah masuk sepuluh hari (dari bulan Dzul hijjah) dan salah seorang di antara kalian ingin menyembelih, maka janganlah dia mencukur rambutnya dan memotong kukunya sedikit pun” Dalam sebuah riwayat:
ول من بشره “Dan tidak pula kulitnya.” Kata “Al Basyarah” bermakna “Al Jild” yaitu kulit. Maksudnya dia tidak mencabut sebagian dari kulitnya. Sebagaimana yang diperbuat oleh sebagian manusia yang mencabut kulit tumit dari kakinya. Pada tiga perkara inilah terletak larangan tersebut yaitu rambut, kuku, dan kulit. Hukum asal pada larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah pengharaman sampai datang dalil yang mengalihkannya kepada hukum makruh atau yang selainnya. Atas dasar keterangan ini, 14
maka haram bagi orang yang ingin menyembelih untuk mencukur rambut, memotong kuku, dan mencabut kulitnya sedikit pun, pada sepuluh hari pertama dari bulan Dzul Hijjah sampai dia menyembelih. Ini merupakan kenikmatan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala atas sekalian hambanya. Tatkala luput dari para penduduk berbagai kota, kampung, dan negeri, untuk berhaji dan menghambakan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dia mensyariatkan perkara ini bagi mereka. Dia mensyariatkannya bagi mereka agar mereka bisa menyertai para jamaah haji dalam sebagian perkara, yang mereka mengibadahi Allah dengan meninggalkannya. Si penanya berkata: “Maksudnya inikah pensyariatannya?”
hikmah
dari
Asy Syaikh menjawab: Iya, hanya saja aku mengatakan yang demikian itu karena seseorang tidak boleh beribadah dengan meninggalkan atau memperbuat sesuatu 15
melainkan harus lewat sebuah nash (dalil) dari syariat. Jika seseorang ingin mengibadahi Allah di selasela sepuluh hari itu dengan tidak memotong kuku, mencukur rambut, atau mencabut kulit, dia ingin beribadah tanpa dalil yang syar’i, sungguh dia seorang ahli bid’ah lagi pendosa. Namun bila hal itu terjadi karena kandungan dalil yang syar’i, niscaya dia diberi ganjaran dan pahala, sebab dengan mennggalkan ini dia telah mengibadahi Allah. Atas dasar keterangan ini, maka seorang yang menjauhi perbuatan mencukur rambut, memotong kuku, dan mencabut kulitnya karena ingin berkurban, dianggap sebagai ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, dan dia diberi pahala atas amalnya tersebut. Ini merupakan kenikmatan dari Allah tanpa diragukan lagi. (Diambil dari Fatawa Nur ‘alad Darb dengan nomor kaset: 93 oleh Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah)
16
Pertanyaan: Apakah hukum ini berlaku pula bagi keluarga orang yang berkurban? Jawab: Hukum ini berlaku khusus bagi orang yang ingin berkurban saja. Adapun keluarganya maka tidak mengapa melakukan hal-hal tersebut. Hal ini karena hadits yang datang:
وأراد أحدكمأنيضحي “Dan salah seorang di antara kalian ingin berkurban”. Sebatas itu saja. Maka dicukupkan atas apa yang dibawa oleh nash. Kemudian sungguh telah diketahui bahwa dahulu Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam berkurban bagi keluarganya, namun tidak dinukilkan bahwa beliau melarang mereka dari mencukur rambut, memotong kuku, dan mencabut kulit mereka walaupun sedikit. Ini menunjukkan bahwa hukumnya khusus untuk orang yang ingin berkurban saja. Berikutnya, yang dimaksud dengan pernyataan: “Barangsiapa yang ingin berkurban” yakni bagi 17
dirinya sendiri. Bukan yang berkurban dalam rangka menunaikan wasiat dari bapak-bapak maupun kakek-kakeknya atau salah seorang dari karib kerabatnya. Karena orang ini pada hakekatnya bukan pelaku kurban tetapi dia merupakan wakil bagi yang selainnya. Sehingga hukum kurban tidak terkait dengannya. sebab itu, dia tidak diberi pahala atas kurban ini seperti pahala orang yang berkurban. Hanya saja dia diberi pahala seperti pahala pelaku kebaikan yang telah berbuat baik dan menunaikan wasiat-wasiat karib kerabatnya yang telah meninggal. (diambil dari Fatawa Nur ‘alad Darb oleh syaikh Ibnu Utsaimin dengan nomor kaset: 93) Pertanyaan: Apakah kewajiban seorang wanita bila ingin berkurban? Si penanya berkata: Jika seorang istri ingin berkurban, apakah boleh dia mewakilkan kepada suaminya, di mana suaminya yang menyembelih hewan kurban, 18
sedangkan dia masih tetap mencukur rambutnya dan memotong kukunya? Jawab: Yang demikian ini tidak boleh. Bila seseorang mewakilkan kepada yang selainnya untuk menyembelih hewan kurban, maka hukum kurban terkait dengan pemiliknya. Oleh sebab itu, jika seorang wanita mewakilkan kepada suaminya, dia berkata: wahai fulan! Ini uang seratus riyal atau lebih kurang, berkurbanlah dengannya untukku, maka haram atasnya untuk mencukur rambut, memotong kuku, atau mencabut kulitnya walaupun sedikit. Si penanya berkata: Namun bagaimana jika suami yang membelikan hewan kurban? As Syaikh menjawab: Walaupun dia yang membelikannya (tetap tidak boleh). As Syaikh balik bertanya: 19
(Maksudnya) suami membelikan hewan kurban bagi si istri? Si penanya menjawab: Suami yang membelikan hewan kurban bagi si istri. As Syaikh menjawab: Tetap tidak boleh. (diambil dari “Silsilsh liqa` babil maftuh” oleh syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dengan nomor kaset: 92) Pertanyaan: Apakah wanita yang ingin berkurban dilarang menyisir (rambutnya)? Jawab: Apabila seorang wanita butuh untuk menyisir pada hari-hari (sepuluh pertama dari bulan Dzul hijjah) ini padahal dia ingin untuk berkurban, maka tidak mengapa dia menyisir kepalanya. Tetapi dia menyisirnya dengan perlahan. Jika sebagian rambutnya rontok tanpa sengaja, maka 20
dia tidak berdosa. Sebab dia tidak menyisir rambutnya dalam rangka untuk merontokkannya namun untuk memperbaikinya. Sedangkan kerontokan (rambutnya) terjadi tanpa sengaja. (diambil dari Fatawa Nur ‘alad Darb oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dengan no. kaset: 283)
21
MEWAKILKAN DIRI KETIKA BERKURBAN Pertanyaan: Bolehkah mewakilkan dalam perihal berkurban? Jawab: Boleh mewakilkan kepada siapa yang menyembelihnya jika yang diwakilkan mengerti etika menyembelih. Yang paling utama dalam kondisi ini bahwa si pemilik kurban menghadiri acara penyembelihan. Dan yang lebih utama lagi dia sendiri yang langsung menyembelihnya dengan tangannya jika dia bisa melakukannya dengan baik. (diambil dari Fatawa Nur ‘alad Darb oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dengan no. kaset: 93)
Pertanyaan: Apabila seseorang mewakilkan kepada siapa yang bisa menyembelih untuknya, apakah boleh dia 22
mencukur rambut, mencabut kulit, dan memotong kukunya? Jawab: Kita mendengar dari kebanyakan manusia dari kalangan awam bahwa barang siapa yang mau berkurban tetapi dia tetap ingin mencukur rambut, memotong kuku, atau mencabut kulitnya, hendaklah dia mewakilkan kurban dan penyebutan namanya kepada orang lain. Dia menyangka bahwa yang demikian ini bisa mengangkat larangan. Ini merupakan kesalahan, karena seorang yang ingin berkurban walaupun dia mewakilkan kepada orang lain, tetap tidak halal dia mencukur rambut, memotong kuku, atau mencabut kulitnya. (diambil dari Fatawa Nur ‘alad Darb oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dengan no. kaset: 93)
Pertanyaan: Apakah haram atas seorang wakil apa yang haram atas si pelaku kurban? 23
Jawab: Barangsiapa yang ingin berkurban, maka janganlah dia mencukur rambut dan memotong kukunya. Inilah perkara yang wajib jika dia berkurban bagi dirinya sendiri. Adapun bila dia seorang wakil, tidak perlu demikian, tak ada sesuatu atasnya. (diambil dari Fatawa Nur ‘alad Darb oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dengan no. kaset 928)
24
BERSERIKAT DALAM SEEKOR HEWAN KURBAN Pertanyaan: Apakah boleh lima orang berserikat pada seekor hewan kurban? Jawab: Tidak sah perserikatan yang berstatus kepemilikan dari dua orang atau lebih pada seekor hewan kurban yang berupa kambing, baik domba maupun yang biasa. Adapun perserikatan pada sapi betina atau unta jantan, diperbolehkan berserikat tujuh orang dalam seekor. Ini penilaian dari sisi perserikatan dengan status kepemilikan. Adapun perserikatan dalam hal pahala, maka tidak mengapa seseorang berkurban bagi diri dan keluarganya dengan seekor kambing walaupun mereka banyak. Bahkan boleh dia berkurban bagi dirinya dan para ulama umat islam atau yang semacam itu dari yang berjumlah banyak yang tak dapat dihitung kecuali oleh Allah. 25
(diambil dari Fatawa Nur ‘alad Darb oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dengan no. kaset: 186)
26
KURBAN YANG LEBIH UTAMA Pertanyaan: Manakah yang lebih utama di dalam berkurban, kambing atau sapi? Jawab: Kibas lebih utama, berkurban dengan kambing lebih utama. Apabila dia berkurban dengan sapi atau unta, maka tidak mengapa. Akan tetapi dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkurban dengan dua ekor kibas, dan beliau menyembelih pada hari haji perpisahan sebanyak seratus ekor unta. Maksudnya bahwa berkurban dengan kambing lebih utama. Barangsiapa yang berkurban dengan seekor sapi atau unta, seekor unta bagi tujuh orang, seekor sapi bagi tujuh orang, maka semuanya adalah sembelihan kurban. (diambil dari Fatawa Nur ‘alad Darb oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dengan no. kaset: 419) Pertanyaan: 27
Manakah yang lebih utama di dalam berkurban, jantan atau betina? Jawab: Berkurban disyariatkan baik dengan yang jantan maupun yang betina dari kambing biasa dan domba. Demikian pula dari unta dan sapi. Semuanya adalah sunnah yang disyariatkan. Sama saja, apakah hewan kurbannya dari yang jantan maupun yang betina. Baik berupa kambing jantan, kibas, kambing betina, sapi jantan, sapi betina, unta jantan, dan unta betina. Semuanya sembelihan-sembelihan kurban yang syar’i jika dengan ukuran usia yang disyariatkan. Kambing domba pada usia jadza’, kambing biasa pada usia tsaniyyah, sapi pada usia tsaniyyah, dan unta juga demikian, (nanti akan datang keterangan mengenai batas masing-masing usia, pent.). Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkurban dengan kibas yang jantan. Domba yang jantan lebih utama. Kibas dari jenis domba tentunya lebih utama lagi. Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkurban dengan dua ekor kibas yang putih 28
bulunya bercampur dengan warna hitam. Keduanya lebih utama daripada yang betina. Namun jika dia berkurban dengan yang betina, maka tidak mengapa. Adapun kambing biasa, maka yang paling utama adalah yang betina. Tetapi bila dia berkurban dengan yang jantan, maka tidak mengapa, jika telah sempurna berusia setahun. (diambil dari Fatawa Nur ‘alad Darb oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dengan no. kaset: 728)
29
USIA HEWAN KURBAN Pertanyaan: Berapakah usia yang mu’tabar pada hewan kurban? Jawab: Usia yang mu’tabar secara syar’i: Pada`unta adalah lima tahun, sapi adalah dua tahun, kambing biasa adalah setahun, dan domba adalah enam bulan. Adapun yang masih dibawah usia ini tidak dipakai untuk kurban dan kalau dipakai untuk kurban maka tidak diterima. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
ا أن يعسر عليك<م فتذبحوا جذعة$ إِل,ا مسِن@ة$لا تذبحوا إِل مِن الض@أن “Jangan kalian menyembelih melainkan yang musinnah, kecuali jika terasa sulit oleh kalian maka sembelihlah jadz’ah dari jenis domba”. 30
Musinnah artinya tsaniyyah (yaitu yang berusia setahun bila dari jenis domba, pent.). Dan jadz’ah dari jenis domba adalah yang berusia enam bulan. (diambil dari Silsilah Liqo`Babil Maftuh oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dengan no. kaset: 228)
31
TATA CARA MENYEMBELIH KURBAN Pertanyaan: Bagaimana tata cara yang menyembelih hewan kurban?
benar
untuk
Jawab: Tata cara yang benar jika hewan kurban berupa kambing, baik domba maupun yang biasa yaitu: Hendaklah dia membaringkan hewan kurban itu diatas lambungnya yang kiri bila dia menyembelih dengan tangan kanannya. Namum jika dia menyembelih dengan tangan kirinya, maka hendaklah dia membaring kannya diatas lambungnya yang kanan. Karena tujuan dari hal itu adalah ketenangan binatang tersebut. Seorang yang menyembelih dengan tangan kirinya, niscaya binatang itu tidak tenang kecuali bila dibaringkan diatas lambungnya yang kanan. Kemudian hendaklah dia meletakkan kakinya diatas leher hewan kurban ketika menyembelih 32
dan memegang dengan tangan kirinya kepala si hewan sehingga tampak urat kerongkongannya. Lalu dia menggorokkan pisau diatas urat kerongkongan, dua urat yang disebut “Wudjain”, dan satu urat yang disebut dengan “Mari`” dengan kuat, sehingga dia dapat menumpahkan darah. Adapun kedua tangan dan kaki hewan kurban sebaiknya dibiarkan lepas dan tidak di tahan, sebab yang demikian itu lebih menyenangkannya dan lebih bagus dalam mengeluarkan darah dari jasadnya, karena darah akan keluar bersama gerakan, maka ini tentunya lebih utama. Kemudian tatkala menyembelih, dia membaca:
الل هم هذه، الل هم هذا م نك ولك،بس م ال وال أ كب عن وعن أهل بيت “Dengan nama Allah dan Allah maha besar. Ya Allah! (hewan) ini darimu dan untukmu. Ya Allah! ini adalah sembelihanku dan keluargaku” 33
Adapun yang selain kurban, dia melakukan padanya yang demikian ini tetapi dia mengucapkan sebelum menyembelih:
بسم ال وال أكب “Dengan nama Allah dan Allah maha besar”. Itu saja. (diambil dari Fatawa Nur ‘alad Darb oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dengan no. kaset: 93 dan 353) Pertanyaan: Apa makna ucapanmu:
اللهم هذا منك ولك “Ya Allah ini darimu dan untukmu? Jawab: Pernyataan “ini” merupakan isyarat kepada (hewan) yang disembelih atau dipotong. 34
Pernyataan “darimu” yakni sebagai pemberiaan dan rizqi. Pernyataan “untukmu” yakni sebagai peribadatan, syariat, keikhlasan, dan kepemilikan. (Binatang yang disembelih datang) dari Allah dan Dia pula yang menganugerahkannya. Dialah yang telah memerintahkan kita untuk beribadah dengan memotong dan menyembelihnya. Maka keutamaan adalah milik Allah, baik secara ketentuan taqdir maupun syariat. Karena jika Allah tidak mensyariatkan kepada kita untuk mendekatkan diri kepadanya dengan menyembelih atau memotong hewan ini, niscaya menyembelih atau memotongnya merupakan perkara bid’ah. (diambil dari “Assyarhul mumti’ ‘ala zaadil mustaqni’” pada kitabul manasik oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah) Pertanyaan: Apa hukum orang yang lupa membaca basmalah atas hewan sembelihan? Jawab: 35
Hukum orang yang menyembelih binatang sembelihan tanpa membacakan basmalah atasnya, jika dia melakukannya dengan sengaja, maka binatang sembelihan itu adalah haram dan perbuatannya pun haram. Binatang sembelihan itu tidak boleh dimakan dan dia berdosa. Dalil hal itu adalah firman Allah Ta’ala:
“Makanlah oleh kalian dari apa yang disebutkan nama Allah atasnya.” (Al An’am: 118) Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
من ل يذبح فليذبح على اسم ال “Barangsiapa yang belum menyembelih maka hendaklah dia menyembelih atas nama Allah”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda: 36
إل الس ن،ما أن ـهر الدم وذ< كِر ا سم ال عل يه فكلوا والظ “Apa yang bisa mengalirkan darah dan disebutkan nama Allah atasnya maka makanlah, kecuali gigi dan kuku”. Apabila penyembelih meninggalkan bacaan basmalah dengan sengaja maka dia berdosa dan sembelihannya haram. Jika dia meninggalkannya karena lupa maka dia tidak berdoasa, karena firman-Nya Ta’ala:
“Wahai Rabb kami! Janganlah engkau menyiksa kami jika kami lupa atau tersalah”. (Al Baqarah: 286) Akan tetapi sembelihannya haram, karena firmanNya Ta’ala:
37
“Janganlah kalian makan dari apa yang tidak disebutkan nama Allah atasnya”. (Al An’am: 121) (Di sini) Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang kita makan apa yang tidak disebutkan nama Allah atasnya. Karena di sana terdapat perbuatan menyembelih dan makan: Si penyembelih bila lupa membaca basmalah maka dia tidak berdosa. Orang yang makan, apakah dia makan dari apa yang tidak disebutkan nama Allah atasnya? Kita menjawab: tidak, karena melarangmu, Allah berfirman:
Allah
telah
“Janganlah kalian makan dari apa yang tidak disebutkan nama Allah atasnya”. (Al An’am: 121) Dan sembelihan ini tidak disebutkan nama Allah atasnya. Namun bila dia memakannya karena lupa atau tidak tahu (hukumnya) maka tidak mengapa.
38
Membaca basmalah adalah syarat dalam menyembelih dan berburu, syarat ini tidak gugur akibat lupa dan ketidak tahuan. Ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah rahimahullah. Dan segala syarat tidak gugur akibat kesengajaan, lupa, atau ketidak tahuan. (diambil dari Fatawal Haramin Nabawi dengan no. Kaset: 50, dan Asy Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ pada Kitabul Manasik, keduanya oleh Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah)
39
CACAT PADA HEWAN KURBAN Pertanyaan: Apakah cacat-cacat yang menjadikan hewan kurban tidak mencukupi (keabsahan kurban)? Jawab: Termasuk syarat-syarat hewan yang dikurbankan yaitu selamat dari berbagai cacat yang menghalangi dari mencukupi (keabsahan kurban). Berbgai cacat itu terkumpul dalam ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
, البي ن عور ه اT العوراء: ل تجوز فِي الض@حا ي اYأرب ع البين ظلعه والكسِيةT والعرجاء,والمرِيضة< البين مرضها تِي ل تنقِي$ال “Ada empat cacat yang tidak boleh terdapat pada hewan-hewan kurban: yang buta sebelah matanya dan tampak kebutaannya, yang sakit dan nyata sakitnya, yang pincang dan jelas kepincangannya, serta yang kurus dan tidak bersumsum”. 40
Al ‘Ajfa` yakni yang kurus dan pernyataan “ Laa tunqi” yakni yang tidak memiliki sumsum. Maka empat cacat ini mencegah dari mencukupi (keabsahan kurban). Yakni jika seseorang berkurban dengan seekor kambing yang buta sebelah matanya dan tampak kebutaannya, niscaya tidak akan diterima (di sisi Allah). Jika dia berkurban dengan seekor kambing yang pincang dan jelas kepincangannya, niscaya tidak akan diterima. Jika dia berkurban dengan seekor kambing yang sakit dan nyata sakitnya, niscaya tidak akan diterima. Dan jika dia berkurban dengan seekor kambing yang kurus dan tidak memiliki sumsum, niscaya tidak akan diterima. Demikian pula apa saja yang semakna dengan cacat-cacat ini atau lebih parah seperti buta kedua belah matanya. Oleh karena itu, jika dia berkurban dengan yang buta kedua belah matanya, niscaya tidak akan diterima, sebagaimana bila dia berkurban dengan yang buta sebelah matanya dan tampak kebutaannya. Seperti itu pula yang buntung tangan atau kakinya. Jika dia berkurban dengan yang pincang 41
tidak mencukupi, maka yang buntung tangan atau kakinya tentu lebih (parah lagi). Seperti itu pula yang sakit dan nyata sakitnya. Kambing bunting yang sedang memulai kelahiran, jika dia berada dalam proses melahirkan dan tidak diketahui apakah dia akan hidup atau mati, maka tidak mencukupi (keabsahan kurban) sampai dia selamat. Demikian pula yang tercekik, yang terlempar, yang tertabrak, yang tertanduk, dan yang diterkam binatang buas. Semua cacat ini tidak mencukupi. Sebab kecacatannya lebih pantas tidak mencukupi daripada yang sakit. Adapun cacat-cacat yang lebih ringan daripada itu, maka bisa mencukupi untuk kurban walaupun terdapat padanya sedikit kecacatan ini. Namun semakin hewan kurban itu sempurna, tentunya semakin utama pula. Sehingga hewan kurban yang terpotong sebagian dari telinga, tanduk, atau ekornya bisa mencukupi tetapi yang sempuna tentunya lebih utama. Tak ada bedanya yang terpotong sedikit atau banyak. 42
Walaupun yang terpotong keseluruhan tanduk, telinga, atau ekor tetap bisa mencukupi (keabsahan kurban). Namun tatkala lebih sempurna maka itu lebih utama. (diambil dari “Liqa` babil maftuh” oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dengan no. kaset: 92) Pertanyaan: Apakah yang harus diperbuat jika seandainya kaki hewan kurban patah setelah membelinya? Jawab: Contohnya: seperti seseorang yang membeli seekor kambing untuk kurban lalu kakinya patah sehingga tidak mampu berjalan bersama kambingkambing yang sehat, setelah dia menentukannya (sebagai kurban). Maka dalam kondisi yang seperti ini, dia menyembelihnya dan yang demikian itu mencukupi. Sebab tatkala dia telah menentukannya (sebagai kurban), kambing itu menjadi amanah di sisinya laksana barang titipan. Ketika cacat ini terjadi setelah penentuan dan bukan karena kelengahan atau perbuatannya, maka dia tak perlu menjamin. Dikecualikan dari 43
yang demikian itu apabila hewan mendapatkan cacat karena perbuatan atau kelengahannya, seperti seekor unta yang dibebankan di atas pikulannya apa yang tidak dimampunya sehingga unta itu tergelincir dan patah. Lalu dia membiarkan hewan kurban itu di tempat dan malam yang dingin sampai hewan itu merasakan pengaruh dari cuaca yang dingin tersebut. Maka dalam kondisi ini wajib atasnya untuk menjamin dengan yang semisal atau yang lebih baik daripadanya karena dia telah lengah. Oleh karena kelengahannya, wajib atasnya untuk menjamin (gantinya). (Diambil dari Asy Syarhul Mumthi’ Ala Zadul Mustaqni’ pada Kitabul Manasik oleh Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu Ta’ala)
44
MEMPERBANYAK KURBAN Pertanyaan: Apakah yang sunnah memperbanyak hewan kurban dalam rumah yang satu? Jawab: Yang sunnah yaitu tidak berlebih-lebihan mengenai hewan-hewan kurban dengan jumlah yang banyak, karena hal ini termasuk perbuatan boros. Sekarang ini, engkau dapatkan sebagian manusia berkurban bagi diri .dan keluarganya dengan beberapa hewan kurban sebagaimana dahulu Nabi shallallahu alaihi wasallam dan as salafush shalih memperbuatnya. Namun, bila seorang istri mengatakan “Aku ingin berkurban,” Lalu datang anak wanitanya dan mengatakan pula, “Aku ingin berkurban,” demikian pula datang saudara perempuannya dan juga mengatakan, “Aku ingin berkurban,” sehingga terkumpul sekian kurban dalam satu rumah. Ini menyelisihi keadaan as salafush shalih, karena semulia-mulia makhluk yaitu Muhammad 45
shallallahu alaihi wasallam, tidak berkurban kecuali dengan satu kurban bagi diri dan keluarganya. Padahal beliau memiliki Sembilan istri, yakni Sembilan rumah. Meskipun demikian, beliau tidak berkurban kecuali dengan satu kurban bagi diri dan keluarganya serta satu kurban bagi ummatnya. Dahulu seorang dari para sahabat berkurban dengan seekor kambing bagi diri dan keluarganya. Oleh karena itu kondisi kebanyakan manusia pada hari ini adalah sebuah pemborosan. Kita katakana kepada orang-orang yang menyembelih kurban-kurban ini, jika kalian memiliki kelebihan harta, maka di sana masih terdapat orang-orang yang membutuhkan dari kalangan muslimin dengan keperluan yang cukup banyak di muka bumi ini. (Diambil dari Silsilah Liqo’ Babil Maftuh oleh Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dengan nomor kaset 92)
46
MENYEMBELIH HEWAN YANG DIKEBIRI Pertanyaan: Apakah boleh menyembelih hewan kurban yang dikebiri? Jawab: Ya, boleh menyembelih hewan kurban yang dikebiri, sampai sebagian ulama lebih mengutamakannya di banding yang tidak dikebiri karena dagingnya jauh lebih baik. Pendapat yang benar bahwa yang tidak dikebiri lebih utama karena kesempurnaan anggota dan bagian jasadnya. Ini tentu lebih utama bagi kebaikan dagingnya. Bagaimana pun juga, boleh seorang berkurban dengan hewan yang sudah dikebiri. Telah datang di dalam sebuah hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkurban dengan dua ekor kibas yang telah dikebiri.
47
(Diambil dari Fatawa Nur ‘alad Darb oleh Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dengan nomor kaset 6)
48
BERKURBAN BAGI ORANG YANG TELAH MENINGGAL Pertanyaan: Bolehkah berkurban meninggal?
bagi
orang
yang
telah
Jawab: Di sini aku ingin memberi peringatan mengenai sebuah perkara yang dilakukan oleh sebagian orang awam yang meyakini bahwa kurban itu hanya dilakukan bagi orang yang telah meninggal. Sampai dahulu kala, bila salah seorang mereka ditanya “Apakah engkau telah berkurban bagi dirimu?” Dia menjawab, “Aku berkurban sementara aku masih hidup?” Dia mengingkari perkara ini. Akan tetapi, sepantasnya untuk diketahui bahwa kurban hanya disyariatkan untuk orang yang masih hidup. Amalan ini termasuk sunnah yang khusus bagi orang-orang yang masih hidup. Oleh karena itu, tidak pernah datang dari nabi 49
shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau berkurban bagi seorang dari karib kerabat dan istri-istrinya yang telah meninggal secara tersendiri. Beliau tidak pernah berkurban bagi Khadijah, padahal Khadijah adalah istri beliau yang paling utama radhiyallahu ‘anha. Demikian pula beliau tidak pernah berkurban bagi istrinya Zainab binti Khuzaimah yang meninggal setelah beliau nikahi dalam jangka waktu yang singkat. Demikian pula, beliau tidak pernah berkurban bagi pamannya Hamzah bin Abdil Muthallib yang mati syahid di perang Uhud. Yang ada beliau berkurban bagi diri dan keluarganya. Hal ini mencakup yang masih hidup maupun yang telah meninggal. Di sana ada perbedaan antara kurban yang berdiri sendiri dan yang hanya mengikuti, sehingga dia berkurban bagi orang yang telah meninggal, sebagai sesuatu yang diikutkan saja. Di mana seseorang berkurban bagi diri dan keluarganya, namun dia meniatkan dengan itu, bagi yang masih hidup dan yang telah meninggal. 50
Adapun jika dia berkurban bagi seorang yang telah berkurban secara khusus dengan sendirinya, maka perbuatan ini tidak memiliki dasar dalam as sunnah menurut yang aku tahu. Ya, (perbuatan ini boleh) jika orang yang telah meninggal berwasiat untuk berkurban, maka kurban itu dilakukan karena memenuhi wasiatnya. Aku berharap bahwa perkara ini sekarang bisa dimaklumi, yaitu bahwa kurban pada dasarnya hanya disyariatkan pada orang-orang yang masih hidup, bukan orang-orang yang telah meninggal. Kurban itu bias bagi orang yang telah meninggal bila mengikuti saja dan dengan keberadaan wasiat. Adapun berupa bantuan dari seseorang, walaupun diperbolehkan tapi yang utama adalah yang sebaliknya. (Diambil dari Fatawa Nur ‘alad Darb oleh Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dengan nomor kaset 186)
51
UPAH PENJAGAL KURBAN Pertanyaan: Apakah si penjagal boleh diberi tambahan upah dari hewan kurban apabila dia seorang yang fakir? Jawab: Tidak, tidak boleh. (Diambil dari Silsilah Al Huda wan Nur, oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah dengan nomor kaset 29)
Pertanyaan: Apakah boleh menjadikan upah si penjagal dari hewan kurban? Jawab: Tidak boleh. Yakni jika seandainya dia berkata “Sembelihlah hewan itu untukku.” Dan biasanya hewan kurban itu disembelih dengan upah 10 riyal. Kemudian dia berkata, “Aku beri upahmu 5 riyal dari dagingnya dan 5 riyal lainnya tunai.” 52
Yang demikian ini tidak boleh, karena dengan perbuatan itu dia telah menjual sesuatu yang dia pakai untuk mendekatkan diri kepada Allah, yaitu daging kurbannya. Sebab upah berkedudukan layaknya barter barang yang dijual. Berarti dia telah menjual daging yang dia telah mengeluarkannya untuk Allah. Ini tentunya perkara yang tidak boleh. (Diambil dari Asy Syarhul Mumthi’ ‘ala Zadil Mustaqni’ pada Kitabul Manasik oleh Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah)
Pertanyaan: Apa dalil yang menunjukkan ketidakbolehan memberi upah si penjagal dari hewan kurban? Jawab: Hal itu karena hadits Ali radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperingatkannya untuk menyembelih untanya dan membagikan seluruhnya, baik daging, kulit, gentanya, dan tidak diberikan sedikit pun sebagai 53
upahnya, (Dikeluarkan oleh Al Bukhari dan Muslim dalam Kitabul Hajj dari Shahih keduanya). (Diambil dari Asy Syarhul Mumthi’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ pada Kitabul Manasik oleh Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah)
Pertanyaan: Apa yang seharusnya dilakukan oleh orang yang menjadikan upah si penjagal dari hewan kurban? Jawab: (Hendaknya) dia bertaubat kepada Allah. (Si penanya bertanya), “Apabila dia mengetahui yang demikian itu, apakah dia berkewajiban (menyembelih) kurban yang baru?” Syaikh menjawab: Tidak, dia tidak berkewajiban (menyembelih) kurban yang baru. (Diambil dari Silsilah Al Huda wan Nur oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah dengan nomor kaset 564) 54
MENJUAL HEWAN KURBAN ATAU BAGIAN TUBUHNYA Pertanyaan: Apa hukum menjual hewan kurban atau menjual bulunya? Jawab: Jika telah ditetapkan sebagai hewan kurban melalui ucapan “Ini adalah kurban untuk Allah” maka tidak boleh menjualnya. Karena hewan kurban itu telah menjadi sedekah untuk Allah seperti wakaf yang tidak boleh dijual. Maka tidak boleh menjual hewan kurban dalam kondisi apapun walaupun sampai hewan itu melemah dan kurus, tetap tidak boleh menjualnya. Demikian pula tidak boleh dia menghibahkannya kepada seorang pun dan tidak pula mensedekahkannya, akan tetapi dia harus menyembelihnya. Kemudian, setelah menyembelihnya, dia boleh memberikan dan mensedekahkannya seukuran yang wajib 55
disedekahkan jika dia berkehendak. Namun jika dia suka, dia boleh mempertahankannya, dan bila dia suka boleh pula dia mensedekahkan keseluruhannya. Akan tetapi yang mesti adalah dia mensedekahkan sebagiannya. Setelah menyembelih, dia tidak boleh menjual kulitnya karena hewan itu telah ditetapkan untuk Allah dengan segenap bagian jasadnya. Segala yang telah ditetapkan untuk Allah tidak boleh mengambil barter atasnya. Tidak boleh pula menjual sesuatu dari bagian jasadnya seperti hati, kaki, kepala, jerohan, aau yang semacam itu. Alasannya adalah keterangan yang telah lalu. (Diambil dari Asy Syarhul Mumthi’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ pada Kitabul Manasik oleh Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah)
56
BERSEDEKAH DENGAN DAGING KURBAN Pertanyaan: Apakah wajib kurban?
bersedekah
dengan
sepertiga
Jawab: Bersedekah dengan sepertiga kurban tidak wajib. Boleh engkau makan seluruhnya dan engkau sisakan sedikit untuk engkau sedekahkan, sedangkan sisanya engkau makan karena Allah berfirman,
“Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orangorang yang sengsara dan fakir”. (Al Hajj: 28) Maksudnya, berilah makan darinya. Kata ‘dari’ menunjukkan sebagian. Dan bagian yang paling minimal dari kurban sudah benar untuk 57
dinyatakan sebagian. Meskipun yang paling utama adalah engkau bersedekah, menghadiahkan, dan memakannya. Sesungguhnya memberi hadiah dan bersedekah hanya dilakukan dengan daging yang mentah, bukan dengan daging yang telah dimasak. Bila hari raya telah tiba dan engkau mampu berkurban, maka kirimkanlah kepada orang-orang fakir apa yang mudah (untukmu). Hadiahkanlah kepada tetangga dan temanmu apa yang mudah (untukmu dari kurban itu) dan makanlah sisanya. (Diambil dari Fatawa Nur ‘alad Darb dengan nomor kaset 321 dan Asy Syarhul Mumthi ‘ala Zadul Mustaqni’ pada Kitabul Manasik oleh Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah)
Pertanyaan: Manakah yang lebih utama, menyembelih kurban atau bersedekah senilai harganya? Jawab: Menyembelih kurban lebih utama. Seandainya ada seseorang berkata, “Aku punya 500 riyal, apakah 58
yang lebih utama aku mensedekahkannya atau aku berkurban dengan mempergunakannya?” Kami jawab: Yang lebih utama, engkau berkurban dengan mempergunakannya. Jika dia berkata, “Bila aku membelikannya daging yang banyak bahkan lebih banyak dari nilai harga seekor kambing 4 atau 5 kali lipat, apakah ini lebih utama ataukah berkurban?” Kami jawab: Yang lebih utama adalah engkau berkurban, karena menyembelih kurban lebih utama daripada bersedekah senilai harganya dan daripada membeli daging seukurannya atau lebih banyak lalu engkau mensedekahkannya. Hal itu disebabkan tujuan yang paling terpenting dalam berkurban adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelih kurban, karena firman Allah Ta’ala, “Tidak akan sampai kepada Allah daging maupun darahnya, akan tetapi yang sampai kepadanya adalah ketakwaan dari kalian.”
59
(Diambil dari Asy Syarhul Mumthi ‘ala Zadul Mustaqni’ pada Kitabul Manasik oleh Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah) Pertanyaan: Seseorang memiliki beberapa orang anak. Seorang anaknya sudah dewasa, berkeluarga, punya pekerjaan, dan tinggal bersamanya. Sedangkan makan minum keduanya menjadi satu. Apakah cukup bagi keduanya satu hewan kurban? Jawab: Orang-orang yang tinggal satu rumah, kurban mereka cukup satu, walaupun mereka ada beberapa orang. Jika mereka bersaudara, makan dan rumah mereka menjadi satu, maka cukup kurban mereka hanya satu, walaupun masingmasing mereka sudah memiliki istri. (diambil dari Silsilah Liqo`Babil Maftuh oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dengan no. kaset: 4) Pertanyaan: Seseorang yang kedua orangtuanya tinggal di Kota Madinah, sedangkan dia tinggal di Kota Jeddah. 60
Mereka datang bertamu kepadanya, berarti mereka bersamanya dalam satu rumah. Apakah dia yang berkurban atau bapaknya? Syaikh menjawab: Tidak mengapa. Si Penanya kembali bertanya: Di sini, cukup seorang yang berkurban? Syaikh menjawab: Ya. Si Penanya kembali bertanya: Seandainya bapaknya yang membeli hewan kurban, lalu dia berkaata, “Wahai anakku, aku berada di tempatmu namun aku yang berkurban”? Syaikh menjawab: Tidak mengapa. Si Penanya kembali bertanya: Ini cukup? Syaikh menjawab: Ya. Si Penanya kembali bertanya: Jika anaknya yang lain dan juga ikut bertamu bersama mereka ingin berkurban? Syaikh menjawab: Juga demikian. Yang penting rumah ini mengeluarkan satu kurban. Apakah 61
yang berkurban itu adalah sang bapak atau si anak, baik anak yang besar maupun yang kecil. Yang penting, kewajiban penduduk setiap rumah di setiap tahun mengeluarkan satu kurban. (Diambil dari Silsilah Al Huda wan Nur, oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah dengan nomor kaset 406) Pertanyaan: Seorang yang sudah berusia dan memiliki tiga orang anak yang sudah beristri. Mereka tinggal dalam satu rumah yang disekat-sekat. Masingmasing mereka mempersiapkan makanan untuk satu hari karena setiap mereka memiliki dapur yang tersendiri. Apakah disunnahkan bagi mereka untuk mengeluarkan beberapa kurban, atau cukup satu kurban saja? Jawab: Menurut pandanganku bahwa keharusan atas setiap rumah mengeluarkan satu kurban karena masing-masing bagian adalah rumah tersendiri. 62
(diambil dari Silsilah Liqo`Babil Maftuh oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dengan no. kaset: 121)
63