IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Hasil
4.1.1
Parameter Demografi Populasi Panenan
Tingkat pemancing dan pengumpul di Kabupaten Sambas Pemanenan labi-labi di Kalimantan Barat dilakukan dengan menggunakan pancing dan bubu. Di Kabupaten Sambas, selain menggunakan bubu masih ada yang menggunakan pancing. Umpan yang digunakan ikan keli (Clarius nieuhofii). Tabel 2 Parameter demografi populasi panenan di tingkat pemancing dan pengumpul di Kabupaten Sambas Kelas Umur Mati
No.
Pemancing/ Penangkap
1.
A
2. 3.
B C
4. 5.
D E
6. 7.
F G
8. 9. 10. 11.
H I J K
Asal
Tanjakan Sabung Seminis Perigi Parit Sungai Enau Lumbang Sungai Bening Temajok Sungai Baru Meriuk Sepandak Sepandak Sungai Kajang
Jumlah Tngkpn
R
J
B
-
5 2 1
9 5 6
2
4 3 3
6 10
1
3 5
3 4
5 3
-
4 2
1 1
3 7 4 5
1 -
1 4 1 3
1 3 3 2
12. 4 1 L Total 67 4 34 Keterangan: R = remaja, Dws = dewasa, J = jantan, B = betina
3 29
Peman
Pengum
cing
pul
2 (J&B) 1 (R)
1 (R) 2(J&B) 2 (J)
1 (J_Dws)
1 (J) 1 (J) 1 (B)
2
10
Berdasarkan hasil pengukuran bagian tubuh labi-labi (A. cartilaginea) hasil tangkapan di Sambas tercatat selama penelitian berjumlah 67 ekor (Tabel 2), terdiri dari satu kelas umur yaitu dewasa karena semua PLK ≥ 25 cm, tetapi dari 67 ekor yang tertangkap terdapat 4 ekor labi-labi yang tidak bisa diidentifikasi jenis kelaminnya sehingga peneliti memasukkan ke-4 ekor labi-labi tersebut ke dalam
22
kelas umur remaja. Karena adanya pengecualian tersebut, maka labi-labi hasil tangkapan di Kabupaten Sambas dibagi ke dalam dua kelas umur yaitu remaja (PLK 6,0 – 19,9 cm) dan dewasa (PLK ≥ 25 cm) mencapai 66 cm dengan persentase masing-masing 6,0 % dan 94,0 %. Dari 63 ekor yang teridentifikasi terdiri atas jenis kelamin jantan 34 ekor dan jenis kelamin betina 29 ekor dengan persentase masingmasing 54% dan 46% sehingga diketahui seks rasio labi-labi hasil tangkapan di Kabupaten Sambas adalah 34:29 = 1:0,85. Dilihat dari struktur populasi berdasarkan berat badan, dari piramida terlihat bahwa untuk tangkapan di Kabupaten Sambas jumlah labi-labi berukuran kecil lebih banyak tertangkap dibandingkan yang berukuran besar. Tangkapan terbesar pada kelas berat 1,0 kg – 5,0 kg (Gambar 10).
15
10
5
Gambar 10 Perbandingan jantan dan betina berdasarkan berat badan di lokasi tangkap Kabupaten Sambas Hasil tangkapan pemancing labi-labi yang masuk ke pengumpul di Kabupaten Sambas dengan jumlah 65 ekor, terdiri dari satu kelas umur sama seperti di tingkat pemancing yaitu dewasa karena semua PLK ≥ 25 cm. Dari 65 ekor yang berdasarkan PLK masuk di kelas umur dewasa tersebut, terdapat 3 ekor labi-labi yang tidak bisa diidentifikasi jenis kelaminnya sehingga peneliti menganggap ke-3 ekor labi-labi tersebut terlalu subur dan kelebihan berat badan dari ukuran yang normal sehingga penulis memasukkannya ke dalam kelas umur remaja. Karena adanya pengecualian
23
tersebut, maka labi-labi hasil tangkapan di Kabupaten Sambas dibagi ke dalam dua kelas umur. Kelas umur tersebut adalah remaja 3 ekor (PLK 6,0 – 19,9 cm) dan dewasa 62 ekor (PLK ≥ 25 cm) dengan persentase masing-masing 4,6 % dan 95,4 %. Dari 62 ekor yang teridentifikasi terdiri atas jenis kelamin jantan 33 ekor dan jenis kelamin betina 29 ekor dengan persentase masing-masing 53,2% dan 46,8% sehingga diketahui seks rasio labi-labi di tingkat pengumpul di Sambas adalah 33:29 = 1:0,88. Mortalitas/laju kematian kasar pada populasi panenan di tingkat pemancing di Kabupaten Sambas adalah 3% dengan jumlah labi-labi yang mati dua ekor. Sedangkan mortalitas/laju kematian kasar pada populasi panenan di tingkat pengumpul di Sambas adalah 15%. Tingkat pemancing dan pengumpul di Kabupaten Ketapang Pemanenan labi-labi di Kabupaten Ketapang menggunakan pancing sebagai alat tangkap. Umpan yang sering digunakan adalah ikan keli (Clarius nieuhofii) dan ikan haruan (Channa striatus). Tabel 3 Parameter demografi populasi panenan di tingkat pemancing dan pengumpul di Kabupaten Ketapang
No.
Pemancing/
Peman
Pengum
B
cing
Pul
1. 3 kp mayak 2 1 A 2 2. tj pura 1 1 B 3 3. ngri baru 2 1 C 2 4. Satong 2 0 D 18 5. tj pasar 4 4 10 E 14 6. ulak mdg 2 3 9 F 6 7. Pesaguan 2 4 G 48 Total 4 0 2 16 26 Keterangan: R = remaja, DM = dewasa muda, Dws = dewasa, J = jantan, B = betina
1 (J)
1 (B) 1 (J) 1 (J) 2 (J&B)
Penangkap
Asal
Mati
Kelas Umur
Jumlah Tngkpn
R
DM J
Dws B
J
1 (J) 4 (R) 1 J)
1 (J) 7
6
Hasil tangkapan pemancing di Kabupaten Ketapang berjumlah 48 ekor, berdasarkan pengukuran panjang lengkung karapas (PLK) terbagi ke dalam tiga kelas umur yaitu 1 ekor remaja (PLK 6,0 – 19,9 cm), 5 ekor dewasa muda (PLK 20,0 – 24,9 cm) dan 42 ekor dewasa (PLK ≥ 25 cm) dengan persentase masingmasing 2,1 %, 10,4 % dan 87,5%. Dari
yang 3 ekor dewasa muda tidak bisa
24
diidentifikasi jenis kelaminnya yang mungkin kasusnya seperti hasil tangkapan yang di Sambas dikarenakan terlalu subur dan berat badannya melebihi ukuran yang normal sehingga peneliti memasukkannya ke dalam kelas umur remaja. Hasilnya di Kabupaten Ketapang tetap terdiri dari tiga kelas umur hanya komposisinya yang berbeda yaitu kelas umur remaja 4 ekor, kelas umur dewasa muda 2 ekor dan kelas umur dewasa 42 ekor dengan persentase masing-masing 8,3%, 4,2% dan 87,5%. Dari 44 ekor yang teridentifikasi terdiri atas jenis kelamin jantan 16 ekor dan jenis kelamin betina 28 ekor dengan persentase masing-masing 36,4% dan 63,6% sehingga diketahui seks rasio labi-labi hasil tangkapan di Kabupaten Ketapang adalah 16 : 28 = 1 : 1,75. Berdasarkan kelas berat, panenan di Kabupaten Ketapang sama halnya dengan di Kabupaten Sambas dimana ukuran yang tertangkap didominasi labi-labi berukuran kecil. Demikian juga kelas berat terbanyak yang tertangkap di Ketapang juga pada berat 1,0 kg – 5,0 kg (Gambar 11)
10
5
Gambar 11 Perbandingan jantan dan betina berdasarkan berat badan di lokasi tangkap Kabupaten Ketapang Hasil tangkapan pemancing di Ketapang yang masuk di pengumpul berjumlah 41 ekor, terbagi ke dalam dua kelas umur yaitu 2 ekor dewasa muda (PLK 20,0 – 24,9 cm) dan 39 ekor dewasa (PLK ≥ 25 cm) dengan persentase masing-masing 4,9 % dan 95,1 % (Gambar 11). Jumlah jenis kelamin jantan 13 ekor dan jenis kelamin betina 28 ekor dengan persentase masing-masing 31,7% dan
25
68,3% sehingga seks rasio labi-labi hasil panenan di Ketapang adalah 13 : 28 = 1 : 2,15. Mortalitas/laju kematian kasar pada populasi panenan di tingkat pemancing di Kabupaten Ketapang mortalitas pada populasi panenan adalah 12,5%. Mortalitas di tingkat pemancing di Ketapang lebih tinggi dibandingkan di Sambas karena menggunakan pancing sebagai alat tangkap sehingga labi-labi hasil tangkapan terluka dan mati, berbeda dengan di Kabupaten Sambas yang menggunakan bubu sebagai alat tangkap, walaupun masih ada yang kadang-kadang menggunakan pancing. Sedangkan mortalitas/laju kematian kasar pada populasi panenan di tingkat pengumpul di Ketapang adalah sebesar 15%. Tingkat eksportir Hasil pengukuran parameter demografi di tingkat eksportir dari masingmasing pengumpul dapat kita lihat pada Tabel 4 dan Tabel 5. Tabel 4 Parameter demografi populasi panenan dari pengumpul Sambas yang masuk di tingkat eksportir
No.
Kelas Umur
Jumlah yang dikirim
R
1. 2.
22 33
2
Total
55
2
DM J
0
Dws B
0
Kematian
J
B
12 15
8 18
27
26
1 (R) 1 (J)
Keterangan: R = remaja, DM = dewasa muda, Dws = dewasa, J = jantan, B = betina
Hasil pengukuran bagian tubuh labi-labi (Amyda cartilaginea) berdasarkan PLK dari pengumpul di Sambas yang masuk di eksportir (berjumlah 55 ekor) selama penelitian hanya ada satu kelas umur sama seperti di tingkat pengumpul yaitu dewasa karena semua PLK ≥ 25 cm. Dari 55 ekor yang berdasarkan PLK masuk di kelas umur dewasa tersebut, terdapat 2 ekor labi-labi yang tidak bisa diidentifikasi jenis kelaminnya sehingga peneliti menganggap ke-2 ekor labi-labi tersebut terlalu subur dan kelebihan berat badan dari ukuran
yang normal sehingga peneliti
memasukkannya ke dalam kelas umur remaja. Karena adanya pengecualian tersebut, maka labi-labi dari pengumpul Sambas yang masuk ke eksportir terdiri dari dua kelas umur yaitu remaja 2 ekor (PLK 6,0 – 19,9 cm) dan dewasa 53 ekor (PLK ≥ 25 cm)
26
dengan persentase masing-masing 3,6 % dan 96,4 %. Dari 53 ekor yang teridentifikasi terdiri atas jenis kelamin jantan 27 ekor dan jenis kelamin betina 26 ekor dengan persentase masing-masing 51% dan 49% sehingga diketahui seks rasio labi-labi di tingkat pengumpul di Sambas adalah 27:26 = 1 : 0,96. Tabel 5 Parameter demografi populasi panenan dari pengumpul Ketapang yang masuk di tingkat eksportir No.
Kelas Umur
Jumlah yang dikirim
1.
35
Total
35
T
0
R
0
Mortalitas
DM J
0
Dws B
J
B
2
9
24
2
9
24
2 (dm)
Populasi panenan dari pengumpul Ketapang yang masuk ke eksportir berjumlah 35 ekor, berdasarkan pengukuran panjang lengkung karapas (PLK) terbagi ke dalam dua kelas umur yaitu 2 ekor ekor dewasa muda (PLK 20,0 – 24,9 cm) dan 33 ekor dewasa (PLK ≥ 25 cm) dengan persentase masing-masing 5,7 % dan 94,3 %. Dari kelas umur dewasa 33 ekor terdiri atas jenis kelamin jantan 9 ekor dan jenis kelamin betina 26 ekor dengan persentase masing-masing 25,7% dan 74,3% sehingga seks rasio labi-labi dari pengumpul Ketapang yang masuk di eksportir adalah 9 : 26 = 1 : 2,89. Mortalitas di tingkat eksportir untuk populasi dari pengumpul Sambas sebesar 3,6% (kematian 2 ekor, 1 remaja dan 1 jantan dewasa), sedangkan yang berasal dari Ketapang sebesar 5,7% (kematian 2 ekor dewasa muda). Berdasarkan Uji Chi Square (Lampiran 11), jumlah populasi labi-labi berdasarkan kelas umur pada masing-masing lokasi tidak berbeda nyata (X2 tabel = 5,99 > X2
hit
=2,23; p = 0,327 > 0,05). Demikian pula jumlah populasi berdasarkan jenis
kelamin (Lampiran 12), menunjukkan hasil pada masing-masing lokasi tidak berbeda nyata (X2 tabel = 3,84 > X2 hit =3,22; p = 0,073 > 0,05).
4.1.2
Parameter Morfometri Populasi Panenan Karakteristik ukuran morfologi labi-labi hasil tangkapan di Kabupaten
Sambas dan Kabupaten Ketapang dapat dilihat pada Tabel 6 dan Tabel 7 berikut.
27
Tabel 6 Karakteristik ukuran morfologi labi-labi hasil tangkapan di Kabupaten Sambas Parameter PLK (cm)
LLK (cm)
PP (cm)
LP (cm)
PE (cm)
BB (kg)
Keterangan :
Kelas umur
N
Remaja dewasa muda Dewasa Remaja dewasa muda Dewasa Remaja dewasa muda Dewasa Remaja dewasa muda Dewasa Remaja dewasa muda Dewasa Remaja dewasa muda Dewasa
4 0 63 4 0 63 4 0 63 4 0 63 4 0 63 4 0 63
Rata-rata (cm) 27,875 0 40,62 23,125 0 33,47 22,13 0 30,78 22,88 0 32,03 2,38 0 3,3 2,15 0 8,14
BB = berat badan (kg) PLK = panjang lengkung karapas (cm) LLK = lebar lengkung karapas (cm)
Standar Deviasi 1,44 0 9,47 1,11 0 7,00 1,03 0 7,26 1,31 0 6,18 0,48 0 0,96 0,48 0 5,98
Kisaran (cm) 26.0 - 29.5 0 28 – 66 22.0 - 24.5 0 22.5 - 50.0 21.0 - 23.5 0 21 – 50 21 – 24 0 22.5 – 47 2.0 - 3.0 0 2.0 - 6.0 1.6 - 2.6 0 2.0 - 27.0
PP = panjang plastron (cm) LP = lebar plastron (cm) PE = panjang ekor (cm)
28
Tabel 7
Karakteristik ukuran morfologi labi-labi hasil tangkapan di Kabupaten Ketapang
Parameter PLK (cm)
LLK (cm)
PP (cm)
LP (cm)
PE (cm)
BB (kg)
Keterangan :
Kelas umur
N
Remaja dewasa muda Dewasa Remaja dewasa muda Dewasa Remaja dewasa muda Dewasa Remaja dewasa muda Dewasa Remaja dewasa muda Dewasa Remaja dewasa muda Dewasa
1 5 42 1 5 42 1 5 42 1 5 42 1 5 42 1 5 42
Rata-rata (cm)
Standar Deviasi
Kisaran (cm)
17,5 21,5 38,69
0 1,5 10,34 0 1,56 8,10 0 1,41 8,28 0 1 7,23 0 0,27 1,30 0 0,23 6,35
17,5 20 – 23 25 – 68 16,5 17.5 – 21 23 – 56 13 15 – 18 18 – 52 16,5 18 – 19 21.5 – 48 0,5 1.5 - 2.0 1.5 - 6.0 1 1.1 - 1.5 1.8 - 30.0
16,5
19,4 32,31 13
16 29,11 16,5
18,5 30,10 0,5
1,7 2,98 1
1,2 7,46
BB = berat badan (kg) PLK = panjang lengkung karapas (cm) LLK = lebar lengkung karapas (cm)
PP = panjang plastron (cm) LP = lebar plastron (cm) PE = panjang ekor (cm)
Labi-labi tangkapan dari Sambas yang berjumlah 67 (enam puluh) ekor dan tangkapan di Ketapang yaitu sebanyak 48 (empat puluh delapan) ekor dihitung rataan ukuran bagian-bagian tubuh seperti tertera pada Tabel 8. Tabel 8 Hasil Pengukuran labi-labi tangkapan di dua lokasi Bagian yang diukur BB (kg) PLK (cm) LLK (cm) PP (cm) LP (cm) PE (cm) Keterangan :
Sambas (n = 67) Kisaran Rata-rata 1,6 – 27,0 26,0 – 66,0 22,0 – 52,0 20,5 – 50,0 21,0 – 47,0 1,5 – 6,0
9,20 ± 7,06 42,23 ± 10,63 34,67 ± 7,97 32,10 ± 8,30 32,90 ± 7,016 3,19 ± 1,22
BB = berat badan (kg) PLK = panjang lengkung karapas (cm) LLK = lebar lengkung karapas (cm)
Ketapang (n = 48) Kisaran Rata-rata 1,0 – 30,0 17,5 – 68,0 16,5 – 56,0 13,0 – 52,0 16,5 – 48,0 0,5 – 6,5
7,73 ± 4,06 37,00 ± 13,06 30,48 ± 9,98 27,61 ± 10,0 4 28,81 ± 8,67 2,69 ± 1,40
PP = panjang plastron (cm) LP = lebar plastron (cm) PE = panjang ekor (cm)
29
Hasil hitungan tersebut selanjutnya diolah dengan uji-Z untuk melihat ada tidaknya perbedaan nyata (P≤0,05) atau sangat nyata (P≤0,01) antar bagian-bagian dari dua lokasi tangkapan tersebut. Perbandingan rata-rata ukuran tubuh labi-labi (Amyda cartilaginea) dari dua lokasi tangkap seperti tertera pada Tabel 9 berikut. Tabel 9 Perbandingan nilai rata-rata ukuran bagian tubuh labi-labi (Amyda cartilaginea) di dua lokasi tangkap No.
Bagian tubuh yang diukur
Sambas terhadap Ketapang
1. 2. 3. 4. 5. 6.
BB (kg) PLK (cm) LLK (cm) PP (cm) LP (cm) PE (cm)
0,30tn 0,09tn 0,10tn 0,07tn 0,04n 0,07tn n = berbeda nyata (P ≤ 0,05)
tn = tidak berbeda nyata (P > 0,05) sn = berbeda sangat nyata (P ≤ 0,01)
Hasil tangkapan di Kabupaten Sambas, dari 67 ekor terdapat 27 ekor (40%) dengan berat yang tidak boleh ditangkap menurut ketentuan CITES. Hasil tangkapan di Kabupaten Ketapang, dari 48 ekor hasil tangkapan terdapat 18 ekor (37,5%) yang tidak boleh ditangkap menurut ketentuan CITES (Tabel 10). Tabel 10 Berat labi-labi yang ditangkap di dua lokasi No.
Asal
1. 2.
Sambas Ketapang
< 5,5
%
30 ekor 25 ekor
45 52,1
Berat (kg) 5,5-13,5 % 27 ekor 18 ekor
40 37,5
13,5>
%
10 ekor 5 ekor
15 10,4
Jumlah
Persentase
67 48
100 100
4.1.3 Pendugaan Populasi di Alam Populasi hasil panenan di dua lokasi yaitu di Kabupaten Sambas dan Kabupaten Ketapang digunakan juga untuk menduga populasi labi-labi di alam di dua lokasi tersebut. Data-data yang diperoleh selama penelitian dimasukkan ke dalam tabel-tabel berikut kemudian diolah dan dianalisis untuk mendapatkan dugaan/perkiraan populasi alami.
30
Tabel 11 Data populasi panenan di tingkat pemancing di Kabupaten Sambas No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Total
Hasil tangkapan
Usaha
(ekor)
(hari)
(C)
(f)
9
5
1,80
0,587787
0
5
6
0,83
-0,18232
5
6
7
0,86
-0,15415
11
6
7
0,86
-0,15415
18
10
4
2,50
0,916291
25
5
4
1,25
0,223144
29
3
2
1,50
0,405465
33
3
2
1,50
0,405465
35
7
5
1,40
0,336472
37
4
2
2,00
0,693147
42
5
4
1,25
0,223144
44
4 67
3 51
1,33 1,31
0,287682 3,587973
48 51
C/f
Akumulasi usaha (G)
Ln (C/f)
Dari hasil perhitungan (Lampiran 9) diduga populasi awal labi-labi di alam di lokasi-lokasi penangkapan (menggunakan bubu dan pancing) sebelum dilakukan penangkapan adalah 363 ekor. Lokasi-lokasi tangkapan di Sambas yang dijadikan sampel adalah Sungai Kajang, Seminis, Sungai Enau, Lumbang, Sungai Bening, Temajok, Sungai Baru, Sepandak, Tanjakan Sabung, Meriuk dan Perigi Parit. Tabel 12 Data populasi panenan di tingkat pemancing di Kabupaten Ketapang No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Total
Hasil tangkapan
Usaha
(ekor)
(hari)
(C)
(f)
3
7
0,43
-0,847
0
2
3
0,67
-0,405
7
3
2
1,50
0,405
10
2
3
0,67
-0,405
12
18
19
0,95
-0,054
15
14
16
0,88
-0,134
34
6
8
0,75
-0,288
50
48
58
5,834273
-1,728
58
C/f
Akumulasi usaha (G)
Ln (C/f)
31
Hasil perhitungan (Lampiran 10) diduga populasi awal labi-labi di alam di lokasi-lokasi penangkapan (menggunakan pancing) sebelum dilakukan penangkapan adalah 180 ekor. Lokasi-lokasi tangkapan di Ketapang yang dijadikan sampel adalah Ulak Medang, Tanjung pura, Tanjung Pasar, Negeri baru, Pesaguan, Satong dan Kampung Mayak. 4.1.4 Fluktuasi Tangkapan Per-periode Tangkap (minggu) Jika kita lihat hasil tangkapan perminggu, tangkapan di Sambas berturut-turut dari minggu I – minggu IV selama empat minggu adalah 22 ekor, 13 ekor, 22 ekor dan 10 ekor. Hasil tangkapan perminggu cukup berfluktuasi dimana terjadi penurunan pada minggu II, naik lagi pada minggu III kemudian turun lagi pada minggu IV, walaupun penurunannya tidak tajam. Sementara di Ketapang, tangkapan selama empat minggu berturut-turut adalah 13 ekor, 14 ekor, 10 ekor dan 11 ekor. 4.2.
Pembahasan
4.2.1
Parameter Demografi Populasi Panenan Hasil tangkapan selama penelitian, baik di Kabupaten Sambas maupun di
Kabupaten Ketapang menunjukkan bahwa pemancing tidak membedakan jenis kelamin dalam menangkap labi-labi. Demikian juga hasil penelitian Walter (2009) di Danau Sentarum, dimana masyarakat lokal baik Dayak Iban maupun Melayu mengambil semua A. cartilaginea yang tertangkap tanpa membedakan jenis kelaminnya. Pada penelitian ini, labi-labi yang tertangkap didominasi oleh kelas umur dewasa, sehingga hal tersebut dapat menjadi ancaman terhadap perkembangan populasi alami A. cartilaginea di kedua lokasi penelitian karena yang tertangkap lebih banyak kelas umur dewasa yang merupakan stok induk di alam. Menurut penelitian Oktaviani (2007) di Sumatera Selatan A. cartilaginea dengan ukuran PLK ≥ 25 cm yang tertangkap jumlahnya mencapai 75%. Berbeda dengan hasil penelitian Walter (2009) di Danau Sentarum yang menunjukkan bahwa dari total yang tertangkap lebih sedikit labi-labi yang mencapai kelas umur yang lebih tua. Secara umum, pemanenan labi-labi di Kalimantan Barat menggunakan pancing yang diberi umpan. Di Danau Sentarum, menggunakan daging/lemak ayam, ikan toman (Channa micropeltes), ikan keli (Clarius nieuhofii) dan ikan-ikan lokal lainnya yang tersedia, kadang-kadang juga menggunakan daging monyet dan
32
bekantan (wawancara langsung dengan pemancing). Menurut Kusrini et al. (2009), pemancing di Kalimantan Timur menggunakan umpan daging/lemak ayam, ikan hasil pancingan, daging ular (Python reticulatus), daging babi, bahkan daging primata (monyet). Di Serawak, menurut Jensen dan Das (2008) umpan yang digunakan terdiri dari ayam, babi, atau ikan lokal seperti ikan keli (Clarius nieuhofii), ikan toman (Channa micropeltes) atau ikan haruan (Channa striatus). Harus diperhatikan dan menjadi tugas staf BKSDA Kalbar untuk melarang penggunaan satwa liar dilindungi sebagai umpan. Rasio tertangkapnya jantan di Kabupaten Sambas lebih besar dibandingkan betina, tetapi di Ketapang rasio tertangkapnya betina lebih besar daripada jantan, hal tersebut mungkin disebabkan bulan April sudah memasuki musim kawin A. cartilaginea dimana betina keluar dari sarang sehingga lebih sering tertangkap dibanding jantan. Hasil penelitian Kusnidar (1995) di Belawa, Cirebon Jawa Barat melaporkan bahwa periode musim kawin A. cartilaginea pada bulan April – Juli dalam setahun. Rasio betina lebih banyak dibandingkan jantan juga ditunjukkan pada penelitian Oktaviani (2007) pada data tangkapan bulan April – Juni 2006, demikian juga penelitian Widagti (2007) untuk kura-kura ambon (C. amboinensis). Mortalitas di tingkat pemancing disebabkan dua hal yaitu karena dikonsumsi sendiri dan karena alat tangkap. Mortalitas di tingkat pemancing di Kabupaten Ketapang lebih tinggi dibandingkan di Kabupaten Sambas (12,5% > 3%), hal tersebut disebabkan alat tangkap yang digunakan di Kabupaten Ketapang adalah pancing/kail sehingga labi-labi tidak bertahan lama karena kail tertelan (Gambar 13) dan mengakibatkan luka, sementara di Kabupaten Sambas alat tangkap yang digunakan adalah bubu buatan Malaysia yang terbuat dari tali nilon yang memang khusus untuk menangkap labi-labi, ditiru dan diperbanyak oleh pengumpul dan dibagikan ke penangkap labi-labi di Kabupaten Sambas, walaupun masih ada yang menggunakan pancing. Mortalitas di Kabupaten Sambas selain karena alat tangkap juga karena dikonsumsi pemancing (pemancing etnis Dayak dan Tionghoa). Menurut Jensen dan Das (2008), di Serawak A. cartilaginea diburu masyarakat lokal untuk dikonsumsi, pet dan diperdagangkan. Alat tangkap pancing juga digunakan pemancing labi-labi di Kalimantan Timur (Kusrini et al. 2009), pancing dan bubu digunakan masyarakat pemancing labi-labi di Danau Sentarum (Walter 2009).
33
Foto oleh Lilly
Gambar 12 Labi-labi yang luka terkena mata pancing tidak akan bertahan lama
Foto oleh Lilly
Gambar 13
Mata pancing yang tertelan mengakibatkan labi-labi tidak bertahan lama (contoh hasil tangkapan di Ketapang)
34
Foto oleh Lilly
Gambar 14 Penangkap labi-labi sedang memeriksa bubu dan membersihkan sampah di sekitar mulut bubu Mortalitas di tingkat pengumpul baik di Sambas maupun di Ketapang sama yaitu 15% yang berbeda adalah penyebab kematiannya. Berdasarkan hasil wawancara dengan pengumpul di Kabupaten Sambas, tingginya tingkat mortalitas di tingkat pengumpul di Kabupaten Sambas dikarenakan adanya permintaan lokal untuk konsumsi (10 ekor dengan total berat 81,3 kg) bukan dikarenakan luka atau penyakit. Menurut Alikodra (2002), kematian satwaliar dapat disebabkan karena berbagai faktor yaitu: 1) Kematian yang disebabkan oleh keadaan alam, seperti penyakit, pemangsaan, kebakaran dan kelaparan, 2) Kematian yang disebabkan karena kecelakaan yang menyebabkan terjadinya infeksi sehingga mengalami kematian, 3) Kematian yang disebabkan karena adanya perkelahian dengan jenis yang sama untuk mendapatkan ruang, makanan, dan air serta persaingan untuk menguasai kawasan, dan 4) kematian yang disebabkan karena aktivitas manusia, seperti perusakan habitat, perburuan, mati karena kecelakaan, terperangkap dan sebagainya. Berdasarkan faktor penyebabnya menurut Alikodra (2002), kematian labi-labi di tingkat pengumpul di Kabupaten Sambas dan Kabupaten Ketapang termasuk ke dalam faktor ke-4 yaitu karena aktivitas manusia, di Kabupaten Sambas karena permintaan lokal untuk dikonsumsi, sedangkan di Kabupaten Ketapang disebabkan penggunaan alat tangkap berupa pancing/kail sehingga labi-labi tidak bertahan lama karena kail tertelan, luka dan mengakibatkan kematian.
35
Mortalitas/laju kematian kasar pada populasi panenan di tingkat eksportir sangat dipengaruhi cara pengemasan dan lama perjalanan yang berhubungan dengan jarak tempuh. Selain itu juga dipengaruhi oleh kondisi labi-labi itu sendiri dimana labi-labi yang luka karena menelan mata kail sangat rentan kematian, apalagi jika sudah lama di pengumpul. Mortalitas di tingkat eksportir untuk populasi dari pengumpul Sambas sebesar 3,6% (kematian 2 ekor, 1 remaja dan 1 jantan dewasa), sedangkan yang berasal dari Ketapang sebesar 5,7% (kematian 2 ekor dewasa muda). Menurut Kusrini et al. (2009), di Kalimantan Timur mata pancing yang tertelan atau terkait biasanya tidak pernah dilepaskan dan pada kebanyakan kasus labi-labi akan mati dalam waktu 1-2 minggu. Berdasarkan Uji Chi Square, jumlah populasi labi-labi berdasarkan kelas umur pada masing-masing lokasi tidak berbeda nyata (X2 tabel = 5,99 > X2 hit =2,23; p = 0,327 > 0,05). Demikian pula jumlah populasi berdasarkan jenis kelamin pada masing-masing lokasi tidak berbeda nyata (X2 tabel = 3,84 > X2 hit =3,22; p = 0,073 > 0,05).
4.2.2
Parameter Morfometri Populasi Panenan Labi-labi (Amyda cartilaginea) memiliki ciri-ciri karapas yang terdapat
guratan memanjang tidak teratur dengan garis punggung (dorsal) yang nyata. Guratan ini tidak nyata pada individu dengan panjang lengkung karapas > 25 cm atau berat > 1,8 kg. Plastron pada labi-labi (Amyda cartilaginea) berwarna pucat pada yang dewasa dan kemerahan pada individu muda. Kepala memanjang, agak sempit, terdapat bintik-bintik kuning pada kepala yang tetap ada sampai labi-labi mencapai ukuran maksimal (dewasa).
Bintil (tubercle)
Sumber foto: Lilly
Gambar 15 Labi-labi (Amyda cartilaginea) hasil tangkapan di Sambas
36
Karapas berbentuk oval, melebar di bagian belakang, halus namun tepi depan memiliki bintil (tubercle) (Gambar 15) dan terkadang juga dapat dijumpai di bagian belakang, dan selama penelitian ditemukan labi-labi berkarapas warna kuning, coklat, hijau coklat hingga kehitaman dalam fase dewasa. Pada individu muda terdapat beberapa lunas di sepanjang karapas. Karapas pada individu muda memiliki bercak kekuningan, dan pada beberapa populasi memiliki pola hitam dengan dasar coklat atau hijau, menyerupai bentuk/pola seperti sayap, pada populasi lainnya terdapat bintik berbentuk mata dan berwarna gelap, di bingkai terdapat garis-garis tipis dan semakin memudar seiring pertumbuhan (Auliya 2007). Warna karapas abu-abu kehitaman seperti lumpur,terdapat satu atau dua pasang bentuk bundar hitam di kiri dan kanan punggung. Karapas agak keras dan kaku, tidak terlihat adanya sisik kostal di permukaan karapas. Pada bagian belakang karapas juga terdapat bagian yang melebar, bentuknya membulat mengikuti bentuk punggung (Elviana 2000). Panjang lengkung karapas (PLK) individu dewasa pada spesies terbesar dari softshell turtles dapat mencapai 47 inch (120 cm) bahkan lebih (Hutchins 2003). Menurut Auliya (2007), panjang total A. cartilaginea 83 cm. Menurut Iskandar (2000), labi-labi dapat mencapai sekitar 100 cm, walaupun pada umumnya hanya sekitar 60 cm saja. Dalam penelitian ini, PLK hasil panenan di Sambas berkisar 26,0 – 66,0 cm, sedangkan di Ketapang berkisar 17,5 – 68,0 cm. Hasil perhitungan pada Tabel 9 menunjukkan bahwa antara Labi-labi hasil tangkapan di Sambas dan di Ketapang pada berbagai ukuran tubuh tidak berbeda nyata kecuali pada lebar plastron yang berbeda nyata, hal tersebut antara lain disebabkan karena kondisi lokasi tangkap yang hampir sama yaitu beraliran agak deras, dasar perairan berbatu dan sama-sama merupakan perairan daerah hilir. Tetapi dari rata-rata secara umum menunjukkan bahwa labi-labi hasil tangkapan di Sambas lebih besar baik berat, PLK, LLK, PP, LP maupun PE (berturut-turut yang di Sambas adalah 9,22; 42,23; 34,67; 32,10; 32,90; 3,19 sedangkan yang di Ketapang berturutturut adalah 7,03; 37,00; 30,48; 27,61; 28,81; dan 2,69). Selain lebih besar dalam ukuran tubuh, dalam rentang waktu yang sama (± 1 bulan) hasil tangkapan di Kabupaten Sambas juga lebih banyak dibandingkan hasil
37
tangkapan di Kabupaten Ketapang, hak tersebut dikarenakan jumlah pemancing di Kabupaten Sambas lebih banyak dibandingkan di Kabupaten Ketapang. Selain itu, alat tangkap yang digunakan di Kabupaten Sambas yaitu bubu memungkinkan untuk menangkap lebih dari satu ekor per-bubu sehingga tangkapan di Sambas lebih banyak dibandingkan di Ketapang yang hanya menggunakan mata pancing sebagai alat tangkap. Membedakan jenis kelamin pada labi-labi bukanlah hal yang mudah. Menurut Carr (1952) antara jantan dan betina bangsa kura-kura dibedakan dalam warna, ukuran, proporsi kulit (tempurung) dan ciri-ciri lain. Ekor yang jantan kerap kali lebih panjang daripada ekor betina dan agak menebal pada pangkalnya. Perisai perut (plastron) yang jantan biasanya agak cekung, yang betina agak cembung (Ensiklopedi Indonesia 1989). Dimorfisme seksual antara jantan dan betina diketahui dengan melakukan Uji-Z terhadap enam variabel yang diukur yaitu berat, PLK, LLK, PP, LP dan BB di masing-masing lokasi penelitian. Hasil analisis Uji-Z populasi panenan di Sambas (Lampiran 4) menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dari enam variabel yang diuji. Hasil analisis Uji-Z populasi panenan di Ketapang (Lampiran 6) juga menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dari enam variabel yang diuji. Tetapi dari ukuran morfometri tubuh labi-labi dari dua lokasi tangkapan, pada labi-labi jantan mempunyai rata-rata yang lebih besar dari betina. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan Kusdinar (1995) dan Oktaviani (2007). Untuk bangsa kura-kura semi akuatik, ukuran tubuh jantan sama atau lebih besar daripada betina (Hutchins 2003). Dari hasil pengamatan dan pengukuran selama peneliti di lapangan dan berdasarkan informasi langsung dari pengumpul dan tukang sembelih/potong labi-labi, diperoleh beberapa indikator yang dapat dijadikan pembeda antara jantan dan betina pada labi-labi dewasa (PLK ≥ 25 cm) antara lain: 1) berdasarkan panjang ekor dimana pada jantan lebih panjang daripada betina. Ini yang selama ini dijadikan faktor pembeda antara jantan dan betina dalam beberapa penelitian.
38
Tabel 13 Perbandingan panjang ekor labi-labi tangkapan di dua lokasi Bagian yang
Sambas (n = 67)
Ketapang (n = 31)
diukur
Kisaran
Rata-rata
Kisaran
Rata-rata
PE_J
1,0 – 6,0 cm
3,21 ± 1,26
1,0 – 6,5 cm
2,99 ± 1,46
PE_B
2,0 – 5,0 cm
2,90 ± 0,86
1,5 – 6,0 cm
2,85 ± 1,39
Berdasarkan Tabel 13 di atas, baik hasil tangkapan di Kabupaten Sambas maupun Kabupaten Ketapang menunjukkan bahwa Panjang Ekor (PE) pada jantan lebih panjang dibandingkan pada betina walaupun bedanya tidak terlalu jauh. Kasmiruddin (1998) menyatakan dari hasil pembedahan ditemukan bahwa penanda kelamin terletak pada ekor. Pada betina memiliki ekor yang lebih pendek, lebih ramping dan lubang anus terletak distal. Sedangkan yang jantan memiliki ekor yang lebih panjang, tebal dan lubang anus terletak proksimal. Demikian juga menurut Jensen dan Das (2008) dimana jantan mempunyai ekor yang relatif lebih panjang dibandingkan betina. Kusrini (2007) menyatakan secara keseluruhan individu betina mempunyai rata-rata ukuran lebih besar pada setiap parameter morfologi yang diukur, kecuali lebar plastron (LP) dan panjang ekor (PE). Perbedaan ekor pada jantan dan betina dapat dilihat pada Gambar 16 berikut.
Sumber foto Lilly
Gambar 16 Panjang ekor pada jantan (kiri) dan panjang ekor pada betina (kanan) 2) Bentuk tubuh Dari pengamatan di lapangan, jenis kelamin pada labi-labi dapat dibedakan dari bentuk tubuhnya. Labi-labi jantan memiliki bentuk tubuh lebih pipih/ramping dibandingkan labi-labi betina yang lebih tebal dan lebih cembung. Hal tersebut juga dibuktikan dengan dilakukan pemotongan labi-labi yang sebelumnya sudah
39
diidentifikasi jenis kelaminnya. Beda bentuk tubuh antara jantan dan betina dapat dilihat pada Gambar 17 berikut.
Sumber foto Lilly
Gambar 17 Beda bentuk tubuh jantan lebih pipih (kiri) dan betina yang lebih tebal dan cembung (kanan) 3) Bentuk karapas Cara ini baru dapat dilakukan jika Labi-labi yang akan diidentifikasi dibedah/disembelih/dipotong. Bentuk karapas pada jantan memiliki sudut-sudut yang tajam/runcing (berjumlah 8 pasang) sama seperti yang dinyatakan dalam Kusrini (2007), dibandingkan pada betina. Perbedaan bentuk karapas antara jantan dan betina yang memiliki berat yang sama (8,2 kg) dapat dilihat pada Gambar 18 berikut.
Sumber foto Lilly
Gambar 18 Beda bentuk karapas jantan yang sudutnya lebih runcing dan pipih (kiri) dan betina yang sudutnya lebih tumpul dan cembung (kanan) 4) Warna daging Seperti cara nomor 3 dimana labi-labi yang akan diidentifikasi harus dibedah/disembelih/dipotong. Dari pengamatan di lapangan dan dari informasi langsung pengumpul dan tukang sembelih/tukang potong labi-labi di Sambas, jenis
40
kelamin pada labi-labi juga dapat dibedakan dari warna dagingnya dan ini gampang dibedakan pada labi-labi dewasa. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan yang dilakukan oleh tukang sembelih/tukang potong labi-labi (pengalaman selama belasan tahun), daging pada labi-labi dewasa jantan berwarna lebih pucat dibandingkan pada labi-labi dewasa betina yang lebih merah. Perbedaan warna daging pada labi-labi dewasa jantan dan betina dapat dilihat pada Gambar 19 berikut.
Sumber foto Lilly
Gambar 19 Beda warna daging betina yang lebih tua (atas) dan jantan yang warna dagingnya lebih muda/pucat (bawah) Ukuran labi-labi yang diperbolehkan ditangkap/dipanen adalah ≤ 5 kg dan ≥ 15 kg dengan deviasi 10% sehingga ukuran yang boleh ditangkap adalah individu dengan berat tidak lebih dari 5.5 kg atau lebih dari 13.5 kg (ID CITES MA 2008). Pemancing tidak membedakan ukuran/berat labi-labi yang ditangkap. Pemancing lebih senang jika mendapatkan labi-labi yang berukuran besar, karena semakin besar labi-labi yang tertangkap semakin besar penghasilan yang diperoleh, dalam hal ini yang dihitung adalah berat (kg) bukan jumlah individu. Demikian juga di tingkat pengumpul dan eksportir yang menerima semua ukuran yang diantarkan ke tempatnya. Meskipun hasil panenan di Kabupaten Sambas maupun Ketapang, didominasi ukuran kecil. Demikian juga di Kalimantan Timur (Kusrini et al. 2009) yang juga didominasi hasil tangkapan yang berukuran kecil. Panenan dengan ukuran antara 5,5 – 13,5 kg juga banyak tertangkap. Kenyataan ini harus mendapat perhatian serius dari instansi terkait (PHKA dan jajarannya) jika memang ukuran tersebut adalah usia produktif. Tetapi selain itu harus dilihat lagi apakah didominasi oleh jenis kelamin betina karena yang paling
41
berpengaruh terhadap perkembangan populasi adalah betina usia produktif. Satu hal yang cukup penting diperhatikan di sini adalah perlunya penegasan dalam pembatasan ukuran labi-labi yang boleh ditangkap oleh pemancing labi-labi terutama untuk betina produktif (diduga berat antara 5,5 – 13,5 kg) untuk menjamin kelangsungan perkembangan populasi labi-labi di alam, tidak hanya untuk kebutuhan ekspor (selama ini sudah diberlakukan untuk ekspor) tetapi juga untuk konsumsi dalam negeri yang mungkin jumlahnya jauh melebihi dari kuota tangkap yang diberikan.
Menurut
keterangan
dari
eksportir,
labi-labi
yang
tidak
bisa
dikirim/diekspor digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi lokal. Menurut Samedi dan Iskandar (2000), informasi tentang pemanfaatan skala domestik masih sedikit. Tidak menutup kemungkinan di Kalbar konsumsi lokal lebih besar dibandingkan yang diekspor karena berdasarkan informasi pengumpul di Kabupaten Sambas dan eksportir, permintaan lokal untuk konsumsi cukup tinggi. 4.2.3 Pendugaan Populasi di Alam Lokasi-lokasi tangkapan di Sambas yang dijadikan sampel adalah Sungai Kajang, Seminis, Sungai Enau, Lumbang, Sungai Bening, Temajok, Sungai Baru, Sepandak, Tanjakan Sabung, Meriuk dan Perigi Parit. Dari hasil perhitungan (Lampiran 9) diduga populasi awal labi-labi di alam di lokasi-lokasi penangkapan (menggunakan bubu dan pancing) sebelum dilakukan penangkapan adalah 363 ekor. Hasil tangkapan tersebut kurang optimal karena waktu pengambilan data kurang panjang (± 1 bulan) dan pada saat pengambilan data sedang musim kemarau dan musim panen tanaman padi dimana sebagian penangkap labi-labi juga berprofesi sebagai petani, hal tersebut berpengaruh terhadap dugaan populasi alami di Sambas. Lokasi-lokasi tangkapan di Ketapang yang dijadikan sampel adalah Ulak medang, Tanjungpura, Tanjung pasar, Negeri baru, Pesaguan, Satong dan Kampung mayak. Hasil perhitungan (Lampiran 10) diduga populasi awal labi-labi di alam di lokasi-lokasi penangkapan Kabupaten Ketapang (menggunakan pancing) sebelum dilakukan penangkapan adalah 180 ekor. Hasil tangkapan di Sambas tidak bisa dibandingkan dengan hasil tangkapan di Ketapang karena alat tangkap yang digunakan berbeda, sehingga berpengaruh terhadap hasil tangkapan. Hasil tangkapan di Sambas lebih banyak karena menggunakan alat tangkap berupa bubu yang dapat
42
menangkap 1 ekor – 6 ekor labi-labi setiap kali dipasang, walaupun selama penelitian tidak pernah menangkap sampai enam ekor per-bubu, tangkapan berkisar 1 ekor - 3 ekor per-bubu (Gambar 20), selain bubu di Sambas juga menggunakan pancing walaupun dalam jumlah kecil. Sementara di Ketapang hasil tangkapan lebih sedikit karena alat tangkap yang digunakan berupa pancing yang hanya dapat menangkap 1 (satu) ekor labi-labi per-pancing yang dipasang. Selain itu, waktu pengambilan data yang juga kurang panjang (± 1 bulan) dan jumlah pemancing lebih sedikit dibandingkan di Sambas, sehingga hasil tangkapan di Ketapang sedikit dibandingkan hasil tangkapan di Sambas. Secara umum baik di Sambas maupun di Ketapang, panenan biasanya berlimpah di akhir tahun – awal tahun berikutnya, hal tersebut diperkirakan karena saat-saat tersebut memasuki musim bertelur sehingga tangkapan juga melimpah. Selama pengambilan data (April), populasi di Ketapang didominasi oleh jenis kelamin betina. Hal ini juga ditemukan pada hasil penelitian Oktaviani (2007) dimana rasio betina lebih besar dari jantan pada data tangkapan bulan April – Juni 2006.
Gambar 20 Bubu yang digunakan di Sambas yang dapat menangkap lebih dari satu ekor labi-labi per-bubu 4.2.4 Fluktuasi Tangkapan Per-periode Tangkap (minggu) Berdasarkan Uji Chi Square (Lampiran 13), jumlah populasi tangkapan pada setiap periode tangkapan di Sambas tidak berbeda nyata (X2
tabel
= 7,81 > X2
hit
=4,404; p = 0,221 > 0,05). Fluktuasi tangkapan pada setiap periode (minggu) dapat
kita lihat pada kedua grafik berikut. Walaupun jika kita lihat hasil tangkapan perminggu, tangkapan di Sambas berturut-turut dari minggu I – minggu IV selama empat minggu adalah 22 ekor, 13 ekor, 22 ekor dan 10 ekor, hasil tangkapan
43
perminggu cukup berfluktuasi dimana terjadi penurunan pada minggu II, naik lagi pada minggu III kemudian turun lagi pada minggu IV, walaupun penurunannya tidak tajam (Gambar 20).
Gambar 21 Grafik populasi tangkapan per-minggu di Kabupaten Sambas Berdasarkan Uji Chi Square (Lampiran 14), jumlah populasi tangkapan pada setiap periode tangkap di Ketapang juga tidak berbeda nyata (X2
tabel
= 12,59 > X2
hit
=8,794; p = 0,185 > 0,05). Tangkapan selama empat minggu berturut-turut di
Ketapang adalah 13 ekor, 14 ekor, 10 ekor dan 11 ekor, dan memang menunjukkan hasil tangkapan cukup stabil dari periode tangkap yang satu ke periode tangkap berikutnya (Gambar 21). Hal tersebut menunjukkan tangkapan di dua lokasi tidak terlalu berfluktuasi, dimana tangkapan per-periode waktu tangkap cukup stabil dari minggu ke minggu di dua lokasi.
44
Gambar 22 Grafik populasi tangkapan per-minggu di Kabupaten Ketapang Dilihat dari parameter demografi populasi panenan, di kedua lokasi tangkapan didominasi oleh kelas umur dewasa, bahkan di Ketapang rasio betina lebih besar dari jantan. Hal tersebut cukup memprihatinkan jika terjadi terus-menerus karena individu betina dewasa memiliki peranan penting dalam proses reproduksi. Jika dilihat dari jumlah tangkapan perminggu masih relatif stabil, tetapi ke depan diperlukan upaya-upaya dalam pengelolaan sumberdaya hayati labi-labi agar populasinya di alam tetap terjaga dalam rangka pemanfaatan lestari dan berkesinambungan yaitu dengan melalui tiga pendekatan (Nuitja 2010): 1. Pendekatan spesies dilakukan dengan mengetahui ciri-ciri hidup, morfologi, ukuran, dan sebagainya 2. Pendekatan habitat dimana habitat mencerminkan bahwa secara ekologis, spesies tersebut cocok hidup pada daerah bersangkutan, dibuktikan dengan populasi yang tertangkap dalam jumlah banyak 3. Pendekatan teknologi yaitu dengan menggunakan alat tangkap yang tepat dalam pemanenan spesies tertentu Selain tiga pendekatan di atas, beberapa upaya pengamanan juga dapat dilakukan untuk melindungi populasi dalam suatu daerah tertentu (Effendie 1997):
45
1. Penutupan daerah tangkapan, contohnya larangan mengadakan penangkapan di daerah tempat bersarang/bertelur labi-labi 2. Pemilihan ukuran dalam pemanenan/penangkapan dengan tujuan memberi kesempatan bagi spesies tersebut untuk tumbuh dan berkembang 3.
Sistem quota, sudah diterapkan hanya perlu kontrol dan pengawasan dari instansi terkait agar tujuannya dapat tercapai.
