IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK FISIK Pengamatan bentuk fisik buah pala papua (Myristica fragrans Warb) dilakukan untuk memperoleh data bobot, bentuk, dan warna dari buah, biji, dan fuli pala papua. Kemudian bentuk fisik pala papua dibandingkan antara umur delapan dan umur empat bulan. Selain itu, sampel pala papua juga dibandingkan dengan pala banda (pala yang sering digunakan). Perbandingan secara fisik kedua umur buah pala papua dapat dilihat pada Tabel 4.
Bagian
Tabel 4. Perbandingan fisik buah pala papua umur empat dan delapan bulan Pala papua
Biji Daging Fuli Tempurung
Umur 8 bulan
Umur 4 bulan
Berwarna coklat gelap dan tekstur keras
Berwarna putih dan tekstur lunak
Tekstur lunak, sudah terbelah, dan berwarna coklat
Tekstur keras, tidak terbelah, dan berwarna putih
Berwarna merah tua
Berwarna merah muda
Tekstur keras dan berwarna cokelat tua
Tekstur lunak dan berwarna putih kecoklatan
Buah pala umur delapan bulan memiliki ukuran lebih besar dari pada buah pala umur empat bulan. Buah pala papua umur delapan bulan memiliki bobot rata-rata 132 g, sedangkan buah pala umur empat bulan relatif lebih kecil yaitu 114 g. Bobot rata-rata biji pala papua umur delapan bulan adalah 12 g dan biji pala umur empat bulan adalah 10 g. Gambar perbandingan fisik buah, fuli, dan biji pala papua umur delapan dan empat bulan dapat dilihat pada Lampiran 5. Presentasi bagianbagian dari buah pala umur empat dan delapan bulan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Persentasi berat dari bagian-bagian buah pala papua Buah utuh umur 8 bulan Buah utuh umur 4 bulan % (b/b) % (b/b) Daging buah
90.20
89.43
Biji
7.46
7.57
Tempurung
1.12
2.01
Fuli
1.23
0.99
Bagian yang paling banyak pada buah pala papua adalah daging buahnya (90 %). Bagian buah ini banyak dimanfaatkan untuk diolah menjadi sari buah pala, dodol pala, dan manisan pala. Sedangkan fuli, biji, dan tempurung tidak lebih dari 10 % dari berat buah. Hasil perbandingan penampakan fisik dari pala papua dan pala banda (pala yang sering digunakan) pada umur yang sama (delapan bulan) adalah kedua pala tersebut memiliki bentuk dan
ukuran yang jauh berbeda. Gambar perbandingan buah pala papua dan pala banda dapat dilihat pada Gambar 10.
a b Gambar 10. a. Buah pala papua (Myristica argentea Warb) b. Buah pala banda (Myristica fragrans Houtt) Pala papua memiliki ukuran yang lebih besar dari pada pala banda. Biji pala papua berbentuk lonjong, sedangkan fulinya relatif tipis dan jarang. Pala banda memiliki biji dan buah yang berbentuk bulat dengan fuli yang hampir penuh. Biji pala banda memiliki panjang sekitar 3 cm dan lebar 2 cm, sedangkan biji pala papua memiliki panjang sekitar 6 cm dan lebar 2.5 cm. Rismunandar (1992) mengatakan bahwa meskipun memiliki ukuran yang berbeda, biji pala papua memiliki cara pengolahan yang tidak berbeda dengan pala banda, namun sifatnya lebih rapuh. Biji pala papua akan mudah pecah bila tempurungnya dipecahkan.
B. KADAR AIR Analisi kadar air penting untuk mengetahui berat kandungan air dalam bahan sehingga dapat diketahui bobot kering bahan. Kadar air buah pala papua segar (tanpa pengeringan) umur empat dan delapan bulan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil analisis kadar air metode azeotropik (basis basah) Pala umur 4 bulan Pala umur 8 bulan % (b/b) % (b/b) Biji 74.84 19.25 Fuli
26.71
19.30
Jika dibandingkan antara dua umur buah pala tersebut, biji pala umur empat bulan mengandung air jauh lebih banyak (74.84 %) dibandingkan biji umur delapan bulan (19.25 %). Hal yang serupa terjadi pada fuli, fuli empat bulan sebesar 26.71 % dan fuli delapan bulan sebesar 19.30 %. Perbedaan kadar air fuli umur delapan dan empat bulan relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan perbedaan kadar air biji umur delapan dan empat bulan. Berdasarkan bobot keringnya, pemanfaatan biji pala pada umur empat bulan kurang baik karena sebagian besar berupa air (total padatan 23-26 %). Pemanfaatan biji yang lebih baik adalah umur delapan bulan karena biji sudah mengandung padatan yang lebih banyak (80-82 %). Sebaliknya, fuli lebih baik dimanfaatkan pada umur empat bulan karena kadar air yang lebih kecil (total padatan 73-72 %).
21
Jumlah air dalam biji pala tua lebih rendah dari pada biji muda disebabkan karena biji mengalamai pertumbuhan. Pertumbuhan sel ini meliputi pembelahan sel (peningkatan jumlah sel sebagai hasil dari mitosis), ekspansi sel (peningkatan ukuran sel yang irreversibel sebagai hasil dari pengambilan air atau sintesis dalam protoplasma), dan diferensiasi sel. Jumlah protein, selulosa, asam nukleat dan sebagainya terus meningkat didaerah pertumbuhan, sementara berat kering cadangan makanan akan menurun.
C. KADAR LEMAK Analisis kadar lemak diperlukan untuk mengetahui kandungan lemak yang ada di dalam bahan. Lemak adalah senyawa organik yang tidak larut dalam air, dapat diekstrak dari sel dan jaringan oleh pelarut non polar yang merupakan ester dari gliserol dan asam lemak. Untuk itu, heksan digunakan dalam analisis ini. Di dalam bahan, minyak atsiri akan bercampur dengan lemak karena sifatnya yang non polar. Minyak atsiri akan ikut terekstrak bersama lemak karena sifatnya yang dapat terlarut oleh heksan. Minyak atsiri ini akan hilang (menguap) saat pengeringan hasil ekstraksi sehingga tinggal lemak yang tersisa. Hasil analisis kadar lemak metode Soxhlet dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil analisis kadar lemak metode Soxhlet Pala umur 8 bulan Pala umur 4 bulan %(b/b) BB*
%(b/b) BK**
%(b/b) BB*
%(b/b) BK**
Fuli
17.01
21.08
20.02
27.32
Biji
18.95
23.47
4.99
19.83
* Basis basah ; ** Basis kering
Berdasarkan Tabel 7, kadar lemak biji pala pada umur empat bulan masih cukup rendah, namun setelah biji berumur delapan bulan, kadar lemak meningkat. Tingginya minyak pada umur delapan bulan pada biji ini dapat disebabkan karena beberapa faktor yaitu ketersediaan sumber karbon untuk sintesis minyak/lemak dan aktivitas enzim. Menurut Harwood dan Page (1994), sumber karbon untuk sintesis lemak diperoleh dari proses fotosintesis. Menurut Hablacher et al. (1993), enzim yang berberan penting dalam sintesis lemak/minyak adalah enzim asetil-CoA karboksilase (ACCase). Enzim ini mengkatalis reaksi karboksilasi asetil-CoA (prekursor pembentukan lemak) menjadi melonil-CoA. Reaksi ini merupakan tahap awal penentuan sintesis lemak. Kadar lemak fuli umur delapan bulan tidak jauh berbeda dengan fuli umur empat bulan. Hal ini disebabkan karena fuli lebih mengembangkan komponen serat selama proses pertumbuhan. Lemak pada usia empat bulan lebih banyak terdapat pada fuli dari pada biji karena biji pada usia itu lebih banyak mengandung air. Sedangkan pada usia delapan bulan, lemak lebih banyak terdapat pada biji karena biosintesis lemak. Berdasarkan penelitian Lubis (1983), sejalan dengan perkembangan buah terjadi pula perubahan pada kandungan setiap komponen penyusun buah. Perkembangan buah meliputi kandungan minyak, air, dan serat pada berbagai tingkat perkembangan buah. Minyak dan serat mulai terbentuk setelah buah berumur tiga bulan. Kadar minyak akan terus meningkat dan mencapai maksimum pada stadia matang. Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui bahwa terdapat fase perkembangan buah yang diikuti meningkatnya kandungan minyak secara drastis. Hal ini menunjukkan bahwa selama fase tersebut terjadi peningkatan biosintesis minyak yang dapat berarti terjadi aktivitas enzim ACCase yang terlibat dalam proses tersebut.
22
Kandungan minyak/lemak pada tanaman disebabkan oleh biosintesis lipida. Biosintesi lemak/minyak merupakan proses multikompartemen. Menurut Harwood dan Page (1994), deposisi minyak pada jaringan yang berbeda terjadi pada kecepatan yang berbeda. Perkembangan biji yang mengandung minyak biasanya terdiri dari tiga fase. Fase pertama melibatkan pembelahan sel yang sangat cepat dan hanya sedikit mensintesis minyak. Pada fase ini jenis minyak yang dibuat lebih banyak glikolipid dan fosfolipid penyusun membran dari pada minyak yang disimpan. Oleh karena itu, minyak pada embrio muda cenderung tinggi kandungan asam linoleat dan linolenatnya terlepas dari spesies tanaman. Pada fase kedua, sintesis minyak mencapai maksimum. Pada fase ini disintesis asam lemak yang khas untuk spesiesnya, seperti pembentukan miristat pada pala atau stearat pada kelapa. Fase ketiga adalah periode desikasi. Pada periode ini hanya terjadi sedikit sintesis minyak biji. Lemak yang dihasilkan pada biji pala papua berupa padatan pada suhu kamar, sedangkan minyak fuli berwujud cairan pada suhu kamar. Lipida yang berupa cairan pada suhu kamar disebut minyak, dan terutama disusun oleh asam lemak tidak jenuh seperti asam oleat, asam linoleat, dan asam linolenat. Sedangkan yang berupa padatan pada suhu kamar disebut lemak dan tersusun terutama oleh asam lemak jenuh seperti asam palmitat. Berdasarkan hal diatas, bila pengembangan biji pala diarahkan untuk diambil lemak palanya, akan lebih potensial digunakan biji pala yang sudah tua. Bila pemanfaatan pala untuk diambil asam lemak tidak jenuhnya, akan lebih baik bila diambil dari minyak fuli pala. Bila pemanfaatan pala untuk diambil asam lemak jenuhnya, sebaiknya diambil dari lemak biji pala.
D. EKSTRAKSI MINYAK ATSIRI Untuk mengetahui potensi minyak atsiri biji dan fuli pala papua, perlu diketahui persentase kandungan minyak atsiri yang terdapat didalamnya. Jumlah minyak atsiri dalam pala dapat diketahui dengan cara mengekstraksi minyak atsiri di dalamnya. Bagian pala papua yang diekstraksi adalah biji dan fulinya. Metode ekstraksi yang digunakan adalah metode Simultaneous Steam Distillation– Extraction (SDE) Likens-Nickerson. Metode ini dipilih karena populer dan banyak diaplikasikan dalam analisis flavor. Selain proses destilasi, metode ini juga menggunakan prinsip ekstraksi. Pelarut akan menguap kemudian mengekstraksi komponen volatil yang menguap saat didestilasi. Keuntungan dari metode ini adalah mampu memperkecil hilangnya komponen volatil minor saat proses destilasi. Selain itu metode ini juga menggunakan pelarut yang relatif sedikit, namun dengan kuantitas bahan (sampel) yang cukup banyak. Menurut Self (2005), jika dibandingkan metode lain seperti metode High-vacuum Distillation, SDE Likens-Nickerson menghasilkan yield dengan aroma yang lebih intens. Namun metode ini kurang tepat bila diterapkan dalam skala industri karena tidak dapat mengekstraksi bahan dengan jumlah banyak. Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi minyak atsiri pada penelitian ini adalah dietil eter. Pemilihan pelarut berdasarkan pada kepolaran dan titik didihnya. Menurut Cronin (1982), pelarut yang digunakan untuk mengekstraksi komponen flavor harus memiliki titik didih rendah agar memudahkan penguapan pelarut dari hasil ekstraksi dan tidak merusak komponen yang terekstrak. Mukhopadhyay (2002) menyebutkan bahwa dietil eter memiliki titik didih rendah yaitu 34.6 °C (keadaan STP) dan kelarutan dalam air 6.9 g/100 ml (20 °C). Jika dibandingkan dengan pelarut lain, dietil eter memiliki sifat keatsirian (mudah menguap) yang tinggi. Hal inilah yang menyebabkan dietil eter cocok digunakan dalam ekstraksi minyak atsiri.
23
Setelah proses ekstraksi, minyak atsiri perlu dipekatkan agar pelarut (dietil eter) dapat hilang. Proses pemekatan dilakukan dengan kolom vigreux. Kolom vigreux biasanya digunakan untuk memekatkan larutan yang memiliki titik didih yang berdekatan (antara pelarut dan zat terlarut). Kolom vigreux memekatkan larutan dengan cara menguapkan komponen yang mudah menguap (pelarut) dengan mencegah ikut menguapnya zat yang lain (minyak atsiri). Hasil pekatan destilasi minyak atsiri menggunkan metode SDE Likens-Nickerson dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil pekatan destilasi minyak atsiri pala papua dengan metode Liken-Nickerson Minyak atsiri (% b/b) Basis basah (BB)
Basis kering (BK)
Fuli umur 4 bulan
4.97
6.78
Fuli umur 8 bulan
2.69
3.33
Biji umur 4 bulan
2.32
9.22
Biji umur 8 bulan
2.45
3.04
Berdasarkan basis kering, hasil ekstraksi minyak atsiri pala papua lebih banyak terdapat pada biji umur empat bulan dan fuli umur empat bulan. Fuli pala papua umur empat bulan lebih banyak mengandung minyak atsiri daripada fuli umur delapan bulan, begitu pula pada persentase minyak atsiri biji (BK). Menurut Ketaren (1985), biji pala muda menghasilkan rendemen minyak yang lebih besar dibandingkan dengan biji pala tua. Inilah yang melandasi destilasi minyak atsiri oleh industri banyak dilakukan pada buah pala umur empat bulan. Namun kadar minyak atsiri pala papua masih lebih rendah daripada pala banda (Myristica fragrans Houtt). Nurdjannah (2007) menyatakan bahwa rendemen minyak atsiri biji pala banda rata-rata 12 % dan minyak fuli rata-rata 11 % dalam basis basah.
E. KOMPONEN MINYAK ATSIRI Hasil ekstraksi minyak atsiri kemudian dianalisis komponen volatilnya menggunakan GC-MS. Hasil analisis komponen volatil GC-MS berupa kromatogram. Data disajikan dalam bentuk persen (%) luas area. Data ini dapat digunakan sebagai acuan untuk mengetahui komponen volatil dominan yang ada dalam sampel dan dapat merepresentasikan jumlah senyawa volatil di dalam minyak atsiri. Hasil kromatogram dapat dilihat pada Lampiran 7 dan hasil identifikasi komponen pada Lampiran 8. Berdasarkan kedua data tersebut, dapat diketahui komponen yang ada pada atsiri pala papua. Hasil identifikasi komponen atsiri dapat dilihat pada Tabel 9.
24
Peak
1
Tabel 9. Komponen atsiri fuli dan biji pala papua umur empat dan delapan bulan Luas area (%) Fuli Fuli Biji Komponen umur umur umur 8 4 8 bulan bulan bulan Bicyclo[3.1.0]hexane, 4-methyl-1-(1-methylethyl)-, 0.24 0.32 0.53 Didehydro derive
Biji umur 4 bulan 0.58
2
1R-.alpha.-Pinene
1.83
1.76
1.83
1.54
3
Camphene
0.04
0.04
0.03
0.04
4
Sabinen/4(10)-thujene
35.09
31.29
-
-
5
2-Thujene
-
-
60.91
54.13
6
.Beta.-Pinene
0.60
0.66
-
-
7
.Beta.-Myrcene
1.75
1.53
3.99
3.58
8
.Alpha.-Phellandrene
1.24
1.17
0.86
0.85
9
Beta.-phellandrene
16.58
16.24
11.22
10.59
10
Cyclopropane, 1,1-dimethyl-2-(3-methyl-1,3-butadienyl)-
0.17
0.20
0.06
0.04
11
.Gamma.-Terpinen
0.63
1.78
0.49
0.94
12
Terpineol,cis-.beta.
0.19
0.05
0.78
0.94
13
(+)-4-Carene
0.15
0.37
0.14
0.22
14
3-Carene
0.14
0.06
0.11
0.12
15
Cis-Sabinenhydrate
0.12
0.05
0.31
0.52
16
2-Cyclohexen-1-ol, 1-methyl-4-(1-methylethyl)-, cis-
0.12
0.20
0.04
0.15
17
Trans-Sabinenhydrate
0.07
0.13
0.03
0.07
18
Terpene-4-ol,
2.16
4.53
0.91
2.13
19
P-menth-1-en-8-ol
0.34
0.43
0.17
0.30
20
Piperitol
0.03
0.06
0.00
0.02
21
D-piperitone
0.04
0.03
-
0.02
22
Safrol
35.29
35.27
16.25
21.44
23
Eugenol
0.80
1.30
0.20
0.39
24
Copaene
0.02
0.02
-
-
25
Methyl eugenyl ether
1.00
1.04
0.65
0.72
26
Isohomogenol
0.02
0.02
0.01
0.02
27
.Alpha.-Farnesene
0.03
0.02
0.03
0.02
28
Elemicin
1.24
1.27
0.33
0.47
29
Dodecanoic acid
0.01
0.01
-
-
30
Phenol, 2,6-dimethoxy-4-(2-propenyl)-
0.00
0.01
-
-
31
Unknown compounds
0.10
0.15
0.12
0.16
29
29
24
25
Total komponen
25
Berdasarkan analisis GC-MS, komponen yang dapat diidentifikasi dari minyak atsiri fuli pala papua umur empat dan delapan bulan adalah 29 komponen, sedangkan pada biji umur delapan dan empat bulan sebanyak 24 dan 25 komponen. Minyak atsiri fuli memiliki jumlah komponen volatil yang lebih banyak dari pada biji. Jika dilihat berdasarkan umurnya, pala umur empat maupun delapan bulan memilik jumlah dan komposisi komponen volatil yang tidak berbeda. Walaupun begitu, minyak atsiri biji pala umur delapan bulan tidak mengandung d-piperiton sedangkan pada biji umur empat bulan masih mengandung d-piperiton. Ada beberapa perbedaan antara komponen atsiri fuli dan biji pala papua. Atsiri biji pala papua mengandung 2-thujene sedangkan fuli tidak. Namun fuli mengandung 4(10)-thujene atau sabinen sedangkan biji tidak. Selain tidak mengandung sabinen, minyak atsiri biji juga tidak mengandung beta-pinen, copaene, dodecanoic acid, dan Phenol, 2,6-dimethoxy-4-(2-propenyl). Diantara senyawa yang teridentifikasi, ada beberapa senyawa yang memiliki kemiripan, salah satunya adalah sabinen dan 2-thujene. Sabinen dan 2-thujene memiliki waktu retensi yang saling berdekatan yaitu 20.450 menit (senyawa 2-thujen) dan 20.350 menit (senyawa sabinen). Keduanya memiliki rumus molekul yang sama yaitu C10H16. Kedua senyawa ini merupakan senyawa yang termasuk kelompok ketiga dari monoterpen (bisiklik) yang mempunyai dua lingkaran, disertai dengan satu ikatan rangkap. Namun perbedaan dari kedua senyawa ini terletak pada ikatan rangkapnya. Perbedaan struktur molekul sabinen dan 2-thujene dapat dilihat pada Gambar 11. Selain dua senyawa ini, senyawa lain yang termasuk kelompok ketiga dari monoterpen seperti carane, pinane, kamfen, puritan, isoborinilan, dan fencan.
2-thujene Sabinen Gambar 11. Struktur molekul 2-thujene dan sabinen Menurut Guenther (2006), melalui proses pengaturan kembali persenyawaan-persenyawaan yang berbeda, dapat diturunkan sitem lingkaran lainnya. Peristiwa penyusunan kembali molekulmolekul, atau pemindahan posisi ikatan rangkap ke posisi lainnya dalam molekul, serta proses oksidasi atau dehidrogenasi dan hidrogenasi dapat berlangsung secara cepat (relatif), sedangkan perlakuan dengan asam dapat membuka sistem lingkar tersebut. Jadi hal itulah yang menyebabkan beberapa senyawa atsiri dengan struktur molekul berbeda, namun dengan rumus molekul yang sama (seperti sabinen dan 2-thujene). Komponen-komponen minyak atsiri fuli umur empat dan delapan bulan tidak begitu berbeda (relatif sama). Perbedaannya hanya ada pada komposisi (% luas area) dari masing-masing komponen, namun tidak begitu besar. Hal yang sama terjadi pada komponen minyak atsiri biji umur empat dan delapan bulan. Perbedaan komposisi (% luas area) dari keduanya tidak begitu besar pula. Dari komponen-komponen tersebut, terdapat komponen yang tidak diketahui jenis dan namanya. Hal ini dikarenakan nilai similarity senyawa yang dimaksud dengan data base yang ada di NIST library kurang dari 70%. Selain itu, hasil analisis GC-MS ulangan kedua juga menunjukkan hasil yang berbeda dari ulangan pertama sehingga senyawa yang dimaksud belum bisa diketahui.
26
Perbedaan umur pala (empat dan delapan bulan) tidak mempengaruhi jumlah dan komposisi komponen secara signifikan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 12. Penomoran yang terdapat pada Gambar 12 merupakan nomor urut sesuai penomoran pada senyawa di Tabel 9. Kromatogram seperti yang ditunjukan Gambar 12, menunjukkan bahwa peak minyak atsiri fuli dan biji pala papua memiliki pola yang sama.
Fuli 4 bulan
Fuli 8 bulan
Biji 4 bulan Biji 8 bulan Gambar 12. Kromatogram minyak atsiri fuli dan biji pala papua
27
Setiap komponen yang teridentifikasi memiliki luas area yang berbeda. Senyawa dengan luas area terbesar akan mempengaruhi kegunaan dan arah pengolahan dari komoditi tersebut. Komponen mayor pada minyak atsiri fuli dapat dilihat pada Tabel 10 dan komponen mayor pada minyak atsiri biji dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 10. Komponen mayor pada minyak atsiri fuli pala papua Komponen
Luas area % Fuli umur 8 bulan
Fuli umur 4 bulan
Safrol
35.29
35.27
Sabinen/4(10)-thujene
35.09
31.29
Beta.-phellandrene
16.58
16.24
Terpene-4-ol
2.16
4.53
1R-.alpha.-Pinene
1.83
1.76
.Beta.-Myrcene
1.75
1.53
Berdasarkan Tabel 10, dapat diketahui komponen yang paling banyak (mayor) pada minyak atsiri fuli pala papua umur delapan dan empat bulan adalah safrol, kemudian diikuti sabinen, beta.phellandrene, terpene-4-ol, 1R-.alpha.-pinene, dan beta.-myrcene. Kedua umur fuli ini memiliki luas area komponen mayor yang tidak begitu berbeda. Tabel 11. Komponen mayor pada minyak atsiri biji pala papua Luas area (%) Komponen Biji umur 8 bulan Biji umur 4 bulan 2-Thujene
60.91
54.13
Safrol
16.25
21.44
Beta.-phellandrene
11.22
10.59
.Beta.-Myrcene
3.99
3.58
1R-.alpha.-Pinene
1.83
1.54
Terpene-4-ol
0.91
2.13
Berdasarkan Tabel 11, dapat dilihat bahwa komponen terbanyak pada biji adalah 2-thujene, diikuti dengan safrol, kemudian beta.-phellandrene dan beta.-myrcene. Pada biji umur delapan bulan, senyawa terbesar berikutnya adalah 1R-.alpha.-pinene, sedangkan pada biji umur empat bulan adalah terpene-4-ol. Komponen 2-thujene pada atsiri biji delapan bulan lebih besar daripada biji 4 bulan, hal yang serupa terjadi pada beta.-phellandrene, beta.-myrcene, dan 1R-.alpha.-pinene. Sedangkan pada senyawa safrol dan terpene-4-ol lebih besar pada biji umur empat bulan. Jika dibandingkan antara luas area masing-masing komponen dari analisis kromatogafi atsiri fuli dan biji, maka dapat dilihat bahwa komponen atsiri fuli didominasi oleh safrol (35%) dan 4(10)thujene (35%), sedangkan pada biji adalah 2-thujene (60%) dengan kandungan safrol yang relatif lebih rendah (20%). Hal ini menunjukkan bahwa bahan aktif pada fuli adalah safrol dan 4(10)-thujene atau sabinen. Selain itu, bila dilihat berdasarkan umurnya, hampir semua komponen dominan pada biji
28
maupun fuli cenderung lebih besar pada umur delapan bulan yaitu senyawa thujene, beta.phellandrene, terpene-4-ol, 1R-.alpha.-pinene, dan .beta.-myrcene. Jika dibandingkan dengan pala banda (M fragrans Hout), komposisi komponen volatil pala papua dengan pala banda jauh berbeda. Komponen safrol atsiri biji dan fuli pala papua jauh lebih besar (20-35%). Menurut Chairul dan Sulianti (2000), safrol pada fuli pala banda sebesar 1.18% dan pada biji 7.04 %. Komponen utama pada fuli pala banda adalah isoeugenol (32.80%) dan pada biji adalah alfa-terpineol (40.20 %). Atsiri biji dan fuli pala pupua hampir tidak mengandung kedua senyawa ini. Chairul dan Sulianti (2000) juga menambahkan bahwa sabinen dan thujen tidak terkandung di dalam minyak atsiri pala banda.
F. ARAH PENGEMBANGAN MINYAK ATSIRI PALA PAPUA Setiap komoditi perlu dimanfaatkan dengan semaksimal mungkin. Pemanfaatan komoditi secara maksimal dapat terjadi bila mengetahui arah pengembangan dari komoditi tersebut. Minyak atsiri dapat diketahui arah pengembangannya dengan cara mengetahui komponen volatil yang ada didalamnya. Dengan mengetahui komponen volatil dominan yang ada dan fungsi dari masing-masing komponen, minyak atsiri pala papua dapat diketahui arah pengembangannya. Dilihat dari hasil analisis GC-MS, minyak atsiri pala papua dapat menggantikan fungsi dan kegunaan pala biasa (pala banda) yaitu sebagai sumber safrol, alpha.-pinene, beta.-myrcene, terpene-4-ol, 2-thujene, sabinen, dan beta.phellandrene yang banyak digunakan dalam berbagai industri. Struktur molekul komponen mayor pada minyak atsiri biji dan fuli pala papua dapat dilihat pada Gambar 13.
1R-.alpha.-pinene
Terpene-4-ol
Safrol
2-thujene
beta.-myrcene
Sabinen
beta.-phellandrene
Gambar 13. Struktur molekul komponen mayor pada minyak atsiri biji dan fuli pala papua Safrol memiliki rumus molekul C10H10O2 dengan struktur molekul yang dapat dilihat pada Gambar 13. Safrol adalah komponen terbanyak pada minyak atsiri fuli pala papua. Senyawa ini dapat digunakan sebagai bahan baku pada pembuatan tropikal antiseptik dan ekstasi (Eiser 1994). Senyawa safrol terutama miristin merupakan identitas pada minyak pala (Chairul et al.1996). Menurut Sastrohamidjojo (2005), safrol digunakan secara luas dalam bidang farmasi. Safrol bila direaksikan dengan basa akan mengalami isomerisasi menjadi isosafrol. Isosafrol dapat dikonversi menjadi piperonal dengan cara dioksidasi. Piperonal disebut juga heliotropin berwujud cairan tak berwarna
29
yang memiliki bau harum. Piperonal banyak digunakan sebagai bahan/komposisi pewangi. Reaksi konversi safrol akan menghasilkan safril keton yang juga menjadi turunan L-DOPA (L-3,4dihydroxyphenylalanine). L-DOPA merupakan bahan psikoaktif dalam pengobatan Parkinson. Menurut Triantoro dan Susanti (2007), safrol tidak hanya terdapat pada tanaman pala, tapi juga terdapat pada tanaman kulilawang, masoi, dan kayu manis (Cinnamomum burmani). Selain itu, Weiss (1997) menyebutkan bahwa senyawa safrol bersifat merangsang tidur berkhayal (halusigenik) dengan dosis kurang dari 5 g. Karakteristik senyawa safrol dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Karakter senyawa safrol (Parry 2007) Nilai Specific gravity
1.105-1.107
Indeks refraksi
1.5360-1.5400
Titik leleh
11°C
Rotasi optik
+ 0°
Selain safrol, sabinen juga menjadi senyawa dominan pada atsiri pala papua. Menurut Guenther (2006), sabinen merupakan senyawa yang dapat memutar bidang polarisasi cahaya ke arah kanan (dextrorotatory). Menurut Parry (2007), sabinen juga dapat memutar bidang polarisasi cahaya ke kiri (levorotatory) dalam bentuk keton sabinen. Kegunaan senyawa ini tidak terlalu luas, tetapi sering digunakan sebagai komponen bahan pada pembuatan minyak lada sintetik. Selain pada pala papua, sabinen merupakan komponen utama dalam minyak kemukus, yaitu sekitar 33% (Guenther 2006). Terpen ini biasanya diperoleh dari fraksi minyak kemukus yang mendidih dibawah 195 °C, namun masih memungkinkan dihasilkan sabinen yang memiliki kemurnian relatif rendah. Agar dihasilkan sabinen yang lebih murni, biasanya digunakan proses fraksinasi sistematis (Parry 2007). Seperti yang sudah dijelaskan pada sub bab sebelumnya, senyawa sabinen merupakan senyawa yang mirip dengan senyawa 2-thujene. Fungsi dari senyawa thujene juga mirip dengan sabinen. Thujene secara umum banyak digunakan sebagai bahan pencampuran dalam industri flavor. Kemiripan karakter dari kedua senyawa ini dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Karakter senyawa sabinen dan thujene (Parry 2007) Sabinen Thujene Specific gravity
0.846
0.8275
Indeks refraksi
1.4675
1.4504
Rotasi optik
+66°
-
Titik didih
162-166 °C
151-152 °C
Phellandrene sebagai komponen yang cukup banyak terdapat pada atsiri fuli dan biji pala papua merupakan senyawa yang berwarna atau sedikit berwarna kuning, tidak larut dalam air, larut dalam 10-15 bagian alkohol 90%, dan dalam 1-3 bagian alkohol 95%. Senyawa ini memiliki rumus
30
molekul C10H16 dengan struktur molekul yang dapat dilihat pada Gambar 13. Selain pada pala, senyawa ini terdapat dalam tanaman lada, memberikan aroma khas lada, namun tidak memberikan efek pedas (Ketaren 1985). Karakteristik senyawa phellandrene dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Karakter senyawa phellandrene (Parry 2007) Nilai Specific gravity
0.852
Indeks refraksi
1.4788
Rotasi optik
+14° 45’ - +18° 30’
Senyawa pada minyak atsiri yang cukup banyak lainnya adalah beta-mirsen. Senyawa ini memiliki rumus molekul C10H16 dengan struktur molekul yang dapat dilihat pada Gambar 13. Betamirsen merupakan komponen yang berkhasiat sebagai senyawa preventif terhadap kanker (Duke 1998). Namun kegunaan yang paling umum adalah sebagai bahan parfum. Karakteristik senyawa beta-mirsen dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Karakter senyawa beta-mirsen (Parry 2007) Nilai Density
0.794 g/cm3
Titik leleh
< -10 °C
Titik didih
166-168 °C
Alfa-pinen termasuk golongan senyawa monoterpen dengan rumus molekul C10H16 dan struktur molekul yang dapat dilihat pada Gambar 13. Senyawa ini berupa cairan putih jernih sampai berwarna kuning pucat dengan kelarutan yang tinggi dalam alkohol 95%. Selain itu, alfa-pinen memiliki aroma resin, menghangatkan, serta menyegarkan seperti wangi pinus dan memiliki rasa balsamic. Kegunaannya adalah sebagai pemberi rasa dan wewangian pada berbagai macam produk antara lain dalam industri kosmetika maupun obat-obatan (Renata et al. 2007). Karakteristik senyawa alfa-pinen dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Karakter senyawa alfa-pinen (Parry 2007) Nilai Specific gravity
0·864
Indeks refraksi
1·4656
Rotasi optik
+48·4°
Titik didih
155-156 °C
31
Terpeneol adalah senyawa monoterpen alkohol alami. Senyawa ini memiliki rumus molekul C10H18O dengan struktur molekul yang dapat dilihat pada Gambar 13. Terpeneol memiliki tiga isomer yaitu alfa, beta, dan gamma. Beta dan gamma terpeneol hanya berbeda pada posisi ikatan rangkapnya saja. Terpeneol digunakan sebagai bahan dasar parfum lilac dan aroma pinus (Jamal 2009). Karakteristik senyawa terpeneol dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Karakter senyawa terpeneol (Parry 2007) Nilai Specific gravity
0.935-0.940
Titik leleh
18 °C
Rotasi optik
+ 100°
Titik didih
217-218 °C
Senyawa-senyawa lain yang teridentifikasi pada atsiri biji dan fuli pala papua dengan jumlah yang sedikit antara lain eugenol, myristicin, kopaena, elemicin, dan alfa-farnesena. Eugenol (C10H12O2) adalah bahan baku farmasi. Eugenol digunakan dalam pembuatan obat analgesik lokal dan antiseptik. Selain itu eugenol dapat dikonversi menjadi senyawa turunan amfetamin maupun L-DOPA (L-3,4-dihydroxyphenylalanine) yang dikenal sebagai obat Parkinson. Menurut Weiss (1997), senyawa aromatik myristicin dan elemicin (C12H16O3) yang terdapat pada pala bersifat merangsang tidur/berkhayal (halusigenik). Kopaena (C15H24) bermanfaat sebagai karminatif, sedangkan alfafernesena (C15H24) dapat digunakan sebagi pestisida dan feromon (Duke 1998). Karakteristik dari senyawa-senyawa tersebut dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Karakter senyawa eugenol, myristicin, kopaena, elimicin, dan alfa-fernesena (Parry 2007) Eugenol
Myristicin
Kopaena
Elemicin
Alfa-fernesena
Specific gravity
1.070
1.1450
0.9077
1.1450
0.887
Indeks refraksi
1.5439
1.5403
1.4894
1.5403
1.4995
Rotasi optik
+ 0°
-
-13° 35’
-
-
Titik didih
252 °C
171-173 °C
119-120 °C
171-173 °C
129-132 °C
Senyawa tunggal dalam minyak atsiri (seperti yang sudah dipaparkan diatas) dapat diperoleh melalui proses isolasi. Pengisolasian senyawa tunggal pada minyak atsiri pala secara umum dapat dilakukan dengan menggunakan kromatografi. Jenis kromatografi yang bisa digunakan adalah kromatografi planar, salah satu jenisnya adalah kromatografi lapis tipis (KLT). Menurut Nyiredy (2004), pada prisipnya metode ini memanfaatkan kepolaran dari komponen atsiri dan pelarut. Kromatografi dilakukan pada selembar kaca, palstik, atau aluminium foil yang dilapisi lapisan tipis (adsorben). Adsorben yang biasa digunakan adalah silika gel dan aluminium oksida. Lapisan adsorben ini adalah fase diam. Pelarut yang digunakan (fase gerak) digunakan setelah sampel di letakkan pada plat KLT. Perbedaan polaritas menyebabkan setiap komponen akan naik ke plat KLT pada tingkat
32
yang berbeda. Senyawa dengan polaritas yang lebih mirip dengan pelarut akan naik lebih dahulu, sedangkan senyawa yang kurang mirip kepolarannya akan tertahan pada plat kromatografi. Setelah itu masing-masing komponen dapat di pisahkan. Untuk meningkatkan resolusi, dapat digunakan perangkat tambahan. Metode KLT dengan perangkat tambahan ini biasa disebut HPTLC (High Performance Thin Layer Chromatography). Senyawa yang sudah terpisah (terisolasi) dapat digunakan sebagai bahan pencampuran dalam pembuatan produk sesuai dengan kegunaan dan sifat dari senyawa tersebut. Komponen-komponen yang sudah teridentifikasi, kemudian di kelompokan kedalam senyawa golongan terpenoid dan non terpenoid. Selain dilihat berdasarkan komponen mayor yang ada dalam minyak atsiri, pengelompokkan ini juga dapat menjadi dasar untuk menentukan keguaan secara umum dari minyak atsiri pala papua. Untuk senyawa terpenoid sendiri juga dikelompokan ke dalam senyawa monoterpen, monoterpen teroksigenasi (mengandung oksigen), dan seskuiterpen. Menurut Smith (2011), senyawa terpen adalah lemak yang tersusun atas lima unit karbon secara berulang yang disebut dengan unit isoprene. Struktur molekul dari unit isoprene dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Struktur molekul unit isoprene Satu unit isoprene memiliki lima karbon, empat pada baris dengan satu karbon cabang pada pertengahan karbon. Senyawa yang megandung dua unit isoprene disebut monoterpen. Senyawa monoterpen mengandung sepuluh atom karbon. Sedangkan senyawa yang mengandung tiga unit isoprene disebut seskuiterpen. Seskuiterpen mengandung lima belas atom karbon. Selain atom karbon dan hidrogen, senyawa terpen juga dapat mengandung atom lain seperti oksigen (teroksigenasi). Penggolongan komponen-komponen volatil biji dan fuli pala berdasarkan jumlah unit isoprene dapat dilihat pada Lampiran 9. Berdasarkan penggolongan tersebut, dapat dikelompokkan dalam empat kelompok yang dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Pengelompokkan senyawa minyak atsiri biji dan fuli pala papua berdasarkan unit isoprene Luas area (%) Kelompok Fuli 8 bulan Fuli 4 bulan Biji 8 bulan Biji 4 bulan Monoterpen
58.45
55.43
80.18
72.64
Monoterpen teroksigenasi
39.25
42.09
18.99
26.49
Seskuiterpen
0.05
0.04
0.03
0.02
Senyawa lainnya
2.36
2.50
1.11
1.37
Berdasarkan Tabel 19, terlihat dominasi komposisi kimia dari keempat minyak atsiri tersebut. Senyawa-senyawa yang ada di atsiri pala papua pada umumnya termasuk golongan senyawa terpen. Minyak atsiri yang berasal dari biji lebih banyak didominasi oleh golongan senyawa monoterpen. Minyak atsiri fuli juga didominasi oleh golongan monoterpen, namun golongan monoterpen teroksigenasi juga relatif cukup besar pada fuli.
33
Menurut Agusta (2000), jika suatu minyak atsiri memiliki kandungan hidrokarbon tidak beroksigen dalam jumlah besar dan stearoptena dalam porsi kecil, maka kegunaannya lebih diutamakan sebagai pemberi bau yang spesifik atau perancah (flavoring). Bila minyak atsiri mengandung lebih banyak senyawa dari golongan hidrokarbon, alkohol, keton, fenol, ester dari fenol, oksida, dan ester, lebih memungkinakan untuk digunakan sebgai obat, karena secara teori diketahui bahwa semua senyawa itu memiliki gugus aktif yang berfungsi melawan suatu jenis penyakit. Minyak atsiri fuli dan biji pala papua sendiri mengandung banyak komponen hidrokarbon tidak beroksigen dalam jumlah besar yaitu 50 % pada atsiri fuli dan 80 % pada atsiri biji. Hal ini menyebabkan kedua minyak atsiri ini cocok untuk dikembangkan sebagai flavoring agent. Namun selain mengandung hidrokarbon tak beroksigen, minyak atsiri fuli juga cukup mengandung hidrokarbon beroksigen yang cukup besar pula (39-42 %). Sehingga minyak atsiri fuli pala papua juga dapat dikembangkan sebagai obat.
34