IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. GAMBARAN UMUM MESIN DAN KONDISI PENGOPERASIAN EKSTRUDER Mesin ekstruder yang digunakan di dalam penelitian ini adalah jenis mesin ektruder berulir ganda (Twin Screw Extruder). Tipe ulir yang digunakan adalah intermeshing. Pengaturan pada panel terdiri atas pengaturan terhadap kecepatan ulir, besarnya suhu laras, kecepatan pemasukan bahan, dan kecepatan putaran pisau pemotong. Lubang keluaran (die) yang digunakan berbentuk cincin dengan diameter lingkaran dalam sebesar 4 mm dan diameter lingkaran luar sebesar 7 mm. Pada bagian bawah laras tabung terdapat kipas yang berfungsi sebagai pendingin laras tabung (barrel). Kondisi pengoperasian ekstruder yang optimal diperlukan untuk menghasilkan produk dengan karakteristik yang dapat diterima secara sensori. Oleh karena penelitian ini tidak difokuskan pada kondisi pengoperasian ekstruder, maka nilai – nilai kondisi pengoperasian ekstruder yang diambil berdasarkan percobaan secara acak. Namun, nilai yang diambil berada dalam kisaran nilai kondisi pengoperasian ekstruder untuk bahan dasar grit jagung (tabel 3). Alat pengatur kecepatan ulir pemasukan bahan (feed screw) dan ulir tabung menggunakan satuan Hz sehingga harus dikonversi. Satuan hasil konversi disesuaikan dengan satuan pada tabel 3, yaitu kg/jam untuk ulir pemasukan bahan (feed screw/feed rate) dan rpm untuk ulir tabung. Angka konversi ditentukan dengan cara menghitung waktu yang dibutuhkan feed screw pada kecepatan 1 Hz untuk memindahkan bahan sebanyak 1 kg ke dalam tabung ekstruder. Penetapan dilakukan dengan memasukkan bahan grit jagung sebanyak 10 kg dan mengatur kecepatan feed screw sebesar 7 Hz kemudian dihitung waktu yang dibutuhkan semua bahan tersebut untuk habis dari tempat pengumpanan. Hasil yang didapat adalah 29, 97 menit untuk 10 kg bahan habis dari tempat pengumpanan pada kecepatan feed screw 7 Hz. Oleh karena itu, 1 Hz dianggap setara dengan 1kg/20,96 menit atau 2,86 kg/jam. Angka konversi 34
untuk kecepatan ulir tabung didasarkan pada kesetaraan 1 Hz dengan rpm, yaitu 1 Hz merupakan definisi dari satu putaran setiap detik sehingga 1 Hz juga setara dengan 60 rpm (rotasi per menit). Angka konversi untuk feed screw speed sebetulnya hanyalah kisaran kasar saja dengan tujuan mempermudah pengaturan pada alat ekstruder. Pada prakteknya, angka konversi ini tidak berhubungan secara linier oleh karena slip yang terjadi antara putaran screw dengan bahan. Berdasarkan acuan pada tabel 3 (kecepatan feed screw 450 kg/jam dan ekstruder screw speed 300 – 600 rpm) dan angka konversi tersebut di atas maka alat ekstruder untuk pertama kalinya diatur dengan feed screw 157 Hz dan extruder screw speed 10 Hz. Selanjutnya pencatatan hasil percobaan dapat dilihat pada tabel 6. Pada ketiga pengaturan pertama, extrudat yang dihasilkan gosong dan terjadi kemacetan pada alat akibat penyumbatan pada die. Hal ini disebabkan karena ketidakseimbangan antara feed screw speed dengan extruder screw speed. Feed screw speed terlalu besar sehingga kondisi di dalam tabung ekstruder mendapatkan desakan berlebih seiring masuknya bahan grit jagung yang terlampau cepat. Lebih lanjut, kondisi ini mengakibatkan penumpukan bahan pada bagian ujung ekstruder. Pada kondisi suhu dan tekanan yang tinggi, bahan yang menumpuk pada bagian ujung ekstruder akan mengalami pemasakan yang berlebih dan mengeras sebelum sempat keluar sehingga ekstruder mengalami kemacetan pada alat dalam waktu singkat. Pada pengaturan ke-4 di mana feed screw speed dan extruder screw speed 10 Hz, tidak terjadi penyumbatan pada ekstruder, namun produk yang dihasilkan mempunyai kualitas sensori yang tidak dikehendaki, yaitu berasa gosong dan berwarna coklat. Suhu barrel dinaikkan dengan pertimbangan awal bahwa penurunan feed screw speed menjadi 10 Hz akan kurang memasakkan bahan, namun ternyata ekstrudat yang dihasilkan mengalami pemasakan yang masih berlebihan sehingga berasa gosong. Namun demikian, penyebab utama rasa gosong dan warna coklat bukanlah suhu ekstruder karena pada percobaan 35
ini masih terjadi penyumbatan kecil pada bagian die yang lebih disebabkan oleh kecepatan pemasukan bahan. Oleh kerena itu, pertimbangan percobaan selanjutnya adalah menurunkan feed screw speed kembali. Pada pengaturan ke-5, feed screw speed kembali diturunkan lagi menjadi 7 Hz dengan parameter lain sama seperti pengaturan ke-4. Ekstrudat yang dihasilkan memiliki tekstur yang relatif keras, warna kuning, dan pori – pori seragam, dan beraroma jagung masak. Tekstur yang cenderung keras tersebut kemungkinan
karena
pengembangan
yang
dialami
produk
kurang.
Pengembangan produk dapat disebabkan oleh tekanan pada bagian die sesaat sebelum adonan masak keluar melalui die. Tekanan yang semakin meningkat akan meningkatkan pula pengembangan produk ekstrudat. Oleh karena itu, ekstruder screw speed ditingkatkan perlahan hingga 10,7 Hz, yaitu pada pengaturan ke-6 sebesar 10,5 Hz kemudian pengaturan ke-7 sebesar 10,7 Hz dengan tujuan meningkatkan tekanan dalam ekstruder. Pada pengaturan ke-7 diperoleh hasil sensori ekstrudat yang dianggap paling bagus, yaitu pori – pori yang seragam, tekstur renyah, dan aroma jagung masak. Jika extruder screw speed dinaikkan lagi hingga 11 Hz maka ekstrudat yang dihasilkan justru mengalami tektur yang rapuh akibat pengembangan yang berlebihan (pengaturan ke-8). Daerah abu – abu pada tabel 6 (pengaturan ke-7) merupakan hasil pengaturan kondisi operasi ekstruder yang dianggap dapat menghasilkan ektrudat terbaik. Selanjutnya satuan hasil untuk feed screw/rate dan kecepatan ulir tabung (ekstruder screw speed) dikonversi kembali dengan menggunakan angka konversi yang telah disebutkan pada alinea di atas. Hasil konversi kondisi pengoperasian yang didapatkan pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 7.
36
Tabel 6 Pencatatan pengaturan alat ekstruder hingga dihasilkan pengaturan optimal untuk hasil ekstrudat terbaik. Kondisi Proses
Pengaturan alat ke-…
Satuan 1
2
3
4
5
6
7
8
Feed screw/rate
Hz
157
125
50
10
7
7
7
7
Ekstruder screw speed ekstruder barrel temperature
Hz
10
10
10
10
10
10,5
10,7
11
T1
o
C
41
43
42
50
50
50
50
50
T2
o
C
96
96
97
101
101
101
101
101
T3
o
C
121
123
123
129
129
129
129
129
%
13 esktrudat gosong, terjadi penyumbatan pada die
13 ekstrudat gosong, terjadi penyumbatan pada die
13 ekstrudat gosong, terjadi penyumbatan pada die
13 esktrudat berwarna coklat terang, pori - pori tidak seragam, berasa gosong
13 ekstrudat berwarna kuning, pori - pori seragam, tekstur masih keras, aroma jagung masak
13 ekstrudat berwarna kuning, pori - pori seragam, tekstur agak renyah, aroma jagung masak
13 ekstrudat berwarna kuning, pori - pori seragam, tekstur renyah, aroma jagung masak
13 ekstrudat berwarna kuning, pori - pori tidak seragam, tekstur rapuh, aroma jagung masak
feed moisture
Keterangan
Catatan: 1. Penentuan aspek sensori ekstrudat pada baris keterangan dilakukan oleh teknisi dan peneliti di lapangan. 2. Daerah abu – abu merupakan pengaturan yang dianggap menghasilkan produk optimal. 3. Feed moisture dibuat seragam setiap percobaan.
37
Tabel 7 Kondisi Pengoperasian Ekstruder Kondisi Proses
Nilai
Dry corn meal feed rate
20 kg/jam
Extruder screw speed
642 rpm
Extruder barrel temperature T1 = 42 - 56 oC, T2 = 98 – 101 oC, T3 = 129 – 137 oC Feed moisture
13 % wb
Adanya kisaran suhu seperti dapat dilihat pada tabel 7, menandakan adanya perbedaan panas yang diberikan akibat gesekan antara ulir dengan bahan dan bahan dengan barrel. Oleh karena itu, nilai suhu selama proses ekstrusi tidak pernah konstan dan dipengaruhi oleh konstanta friksi bahan yang masuk ke dalam laras. Kecepatan ulir berpengaruh terhadap pengembangan dari produk. Pada kecepatan yang lebih rendah maka produk ekstrusi yang dihasilkan juga akan mengalami pengembangan yang lebih rendah pula. Paling tidak, terdapat dua faktor yang mempengaruhi mekanisme pengembangan produk ekstrusi, yaitu tekanan dan suhu. Semakin tinggi tekanan dan suhu akan menyebabkan air di dalam adonan menguap dengan cepat tepat sesaat keluar dari die sekaligus meregang ikatan – ikatan di dalam molekul adonan, pada proses ini adonan sudah tergelatinisasi, searah dengan keluarnya air. Proses ini berlangsung secara simultan, cepat, dan menghasilkan produk yang berongga (porous). Gambaran mekanisme pengembangan dapat dilihat pada gambar 14.
38
Gambar 14 Skema pengembangan produk ekstrusi (Kokini et al.,1992) Kadar air bahan pada hasil percobaan merupakan kadar air bahan yang menghasilkan
pengembangan
dan
porositas
yang
optimal.
Proses
pengembangan terjadi pada adonan yang sudah mengalami gelatinisasi sehingga diperlukan air yang cukup untuk menggelatinisasi pati di dalam adonan. Pada produk ekstrusi direct puffing jumlah air diatur untuk dapat segera menguap sebagian besar dan meninggalkan produk yang hanya mengandung sedikit air (kering) sehingga menghasilkan produk yang mengembang, berongga, dan renyah. Jumlah air yang terlalu banyak akan menghasilkan produk yang basah dan liat (pasta), sedangkan jumlah air yang terlalu sedikit akan menghasilkan produk yang keras dan tidak tergelatinisasi secara sempurna. Penampakan produk ekstrusi hasil percobaan dapat dilihat pada gambar 15.
39
Gambar 15 Penampakan produk ekstrusi pada berbagai sampel B. ANALISIS PRODUK EKSTRUSI 1. Kadar air produk ekstrusi Hasil ANOVA terhadap kadar air ekstrudat sebelum dan sesudah pengeringan dapat dilihat pada lampiran 18 dan 19. Jenis dan tingkat substitusi tidak berpengaruh secara nyata terhadap nilai kadar air sebelum pengeringan (p > 0.05). Pada nilai kadar air setelah pengeringan, jenis substitusi berpengaruh secara nyata (p < 0.05), tetapi tingkat substitusi tidak berpengaruh secara nyata (p > 0.05). Interaksi antara jenis substitusi dan tingkat substitusi tepung tidak berpengaruh secara nyata baik pada kadar air sebelum pengeringan maupun kadar air setelah pengeringan (p > 0.05).
Gambar 16 Kadar air setelah pengeringan produk ekstrusi 40
Nilai kadar air produk ekstrusi setelah pengeringan berbeda nyata antara jenis substitusi tepung beras dengan tepung kentang berdasarkan uji lanjut dengan LSD (lampiran 19b). Proses penguapan untuk mengurangi kadar air produk ekstrusi dipengaruhi oleh tingkat kemudahan molekul – molekul air dalam bentuk terikat untuk lepas dari ruang di antara struktur molekul produk. Kadar air setelah pengeringan produk ekstrusi substitusi tepung kentang lebih tinggi dari ekstrudat substitusi tepung beras karena daya ikat air pada ekstrudat substitusi tepung kentang lebih tinggi daripada ekstrudat substitusi tepung beras. Nilai kadar air produk sebelum pengeringan merupakan nilai kadar air produk ekstrusi yang dihasilkan setelah produk keluar dari mesin ekstrusi. Nilai kadar air sebelum pengeringan adalah 4,47 % sampai 6,10 % (lampiran 1). Jika nilai tersebut dibandingkan dengan nilai kadar air adonan sebelum dimasukkan ke dalam mesin ekstrusi, maka terjadi kehilangan air sebesar 54 % sampai 66 % selama proses ekstrusi. Jenis tepung substitusi tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kadar air sebelum pengeringan. Hal ini berbeda dengan kadar air setelah pengeringan dimana jenis tepung subsitusi berpengaruh. Kehilangan air ekstrudat setelah pengeringan adalah sebesar 3,71 % sampai 4,35 % yang berarti jauh lebih kecil daripada saat kehilangan air selama proses ekstrusi. Dengan demikian tampaklah jelas bahwa kadar air ekstrudat sebelum pengeringan dipengaruhi oleh kadar air bebas adonan sedangkan kadar air ekstrudat setelah pengeringan dipengaruhi oleh kadar air terikat pada produk di mana setiap jenis substitusi memiliki daya ikat air yang berbeda. Kadar air produk sebelum pengeringan dipengaruhi oleh penguapan air di dalam adonan selama proses ekstrusi. Sedangkan pada kadar air produk setelah pengeringan dipengaruhi oleh penguapan molekul air produk ekstrudat selama proses pengeringan di dalam oven. Oleh karenanya kadar air produk sebelum pengeringan dipengaruhi oleh karakteristik adonan. Jenis tepung substitusi merupakan bagian yang mempengaruhi karakteristik 41
dari adonan, akan tetapi variabel ini tidak berpengaruh secara nyata pada kadar air produk sebelum pengeringan. Dengan demikian, jenis tepung substitusi mungkin menghasilkan karakteristik adonan yang tidak berbeda sehingga berakibat juga pada pengaruh yang tidak nyata terhadap kadar air ekstrudat sebelum pengeringan. Dalam hal ini, karakteristik adonan yang dimaksud adalah kemampuan mengikat air dalam bentuk bebasnya pada saat proses pencampuran maupun melepaskan air dalam bentuk bebasnya selama proses ekstrusi. Pengaruh kondisi proses ekstrusi terhadap kadar air sebelum pengeringan mungkin dapat diabaikan karena pada percobaan kondisi proses ekstrusi dibuat seragam pada berbagai sampel. Kadar air produk ekstrusi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kerenyahan produk ekstrusi. Semakin rendah kadar air produk ekstrusi maka semakin renyah ketika digigit, tetapi kadar air bukanlah satu – satunya yang mempengaruhi kerenyahan produk ekstrusi. Kadar air maksimal berdasarkan SNI 01-2886-2000 untuk produk ekstrusi adalah 4 %. Secara umum, kadar air produk ekstrusi sebelum pengeringan pada grafik adalah 4.48 % sampai 6.17 % (wb). Oleh karena itu perlu dilakukan pengurangan kadar air dengan cara dikeringkan di dalam oven. Pengeringan pada oven bersuhu 120 oC selama 10 menit. Hasil kadar air setelah pengeringan adalah berkisar 0.77 % sampai 1.72 % (wb). Dengan demikian, produk ekstrusi setelah pengeringan telah memenuhi syarat SNI yang dianjurkan.
2. Derajat Gelatinisasi Hasil analisis derajat gelatinisasi produk hasil ekstrusi digunakan untuk mengetahui persentase pati yang mengalami gelatinisasi. Hasil analisis ini dapat dilihat pada gambar 17. Analisis statistik (lampiran 20) menunjukkan bahwa derajat gelatinisasi ekstrudat dengan tingkat substitusi tepung sebesar 5 % dan 10 % tidak berbeda signifikan, tetapi jenis substitusi tepung berbeda menghasilkan ekstrudat dengan derajat gelatinisasi yang berbeda. 42
Dari hasil ANOVA juga didapatkan adanya interaksi yang signifikan antara jenis tepung dengan tingkat konsentrasinya dalam hal derajat gelatinisasi. Dari grafik pada gambar 17, sampel AB mengalami peningkatan nilai derajat gelatinisasi dengan bertambahnya konsentrasi substitusi tepung terigu. Sebaliknya pada sampel AD dan AC, nilai derajat gelatinisasi justru menurun dengan bertambahnya konsentrasi substitusi tepung. Berdasarkan grafik tersebut, terlihat bahwa nilai derajat gelatinisasi tertinggi untuk tepung substitusi terdapat pada sampel AB (jagung : tepung terigu) yaitu sebesar 85.47% dan 93.91 %, namun tetap lebih rendah dari kontrol (AA) sebesar 93.67 %. Derajat gelatinisasi terendah terdapat pada sampel AC (jagung : beras), yaitu sebesar 72.24 % dan 69.51 %.
Gambar 17 Grafik derajat gelatinisasi produk ekstrusi Gelatinisasi yang terjadi selama proses ekstrusi pada penelitian dapat dipengaruhi oleh viskositas setiap sampel. Menurut Whistler dan BeMiller (2009), sifat viskositas pati gandum lebih rendah dari beras dan kentang dengan nilai viskositas puncak pati gandum (250 BU), beras (500 BU), dan kentang (2900 BU). Namun, viskositas tersebut merupakan nilai viskositas pasta pati di mana air tersedia dalam kondisi yang banyak atau pati 43
merupakan bagian yang terdispersi. Menurut Yang dan Tang (2002), perilaku reologi pati sangat berbeda ketika digunakan pada proses di mana air tersedia dalam kondisi yang rendah (10 – 20 %) atau bahkan tanpa air seperti yang terjadi di dalam proses ekstrusi. Dalam proses ekstrusi di mana kadar air adonan rendah, gelatinisasi yang terjadi merupakan proses degradasi polimer pati akibat gesekan dan suhu yang tinggi (melting). Lebih lanjut dikatakan bahwa reologi pati dalam kondisi kandungan air rendah dapat bergantung pada berat molekul dari pati, semakin rendah berat molekul maka semakin rendah viskositas. Bahkan viskositas dan shear effect akan menurun jika kadar air meningkat karena tingginya kadar air dapat berlaku sebagai lubricant dan menyebabkan ekstrudat yang keluar tidak mengembang/puffing. Oleh kerena itu, nilai viskositas pati dalam kondisi kadar air tinggi tidak dapat digunakan untuk menganalisis gelatinisasi proses ekstrusi dengan kadar air rendah. Viskositas berhubungan dengan shear effect di mana kenaikan viskositas menyebabkan kenaikan shear effect karena pada viskositas lebih tinggi terjadi friksi lebih besar baik antar partikel adonan maupun antara partikel adonan dengan ulir ekstruder. Menurut Bhattacharya dan Hanna (1987), tingginya shear effect menyebabkan tingginya energi mekanik yang diperoleh sehingga derajat gelatinisasi juga lebih tinggi. Kemungkinan tingginya viskositas adonan sampel substitusi tepung terigu dalam penelitian ini akan lebih besar mengingat adanya kandungan gluten dari tepung terigu. Guy (2001) mencatat bahwa protein sereal seperti gluten dapat membentuk adonan yang bersifat viskoelastis. Menurut data Spesific Mechanical Energy (SME) yang dicatat oleh Guy (2001), dari yang tertinggi hingga yang terendah, adalah tepung gandum (620 – 700 kJ/kg); jagung (400 – 450 kJ/kg); dan beras (380 – 450 kJ/kg). Sementara itu, catatan lain menyebutkan SME pati gandum sebesar ± 0,042 kWh/kg lebih tinggi dari SME jagung dan kentang, yaitu ± 0,039 kWh/kg dan 0,03 kWh/kg secara berturut – turut dalam 25 % glicerol (Mitrus, 2005). 44
Dengan demikian, berdasarkan pengaruh viskositas setiap sampel, shear effect yang terjadi, dan kombinasi nilai SME di atas mungkin dapat menjelaskan
mengapa
kenaikan
tingkat
substitusi
tepung
terigu
menyebabkan kenaikan derajat gelatinisasi sedangkan kenaikan substitusi tepung kentang dan beras menyebabkan penurunan derajat gelatinisasi.
3. Bulk density Berdasarkan ANOVA (lampiran 22), baik jenis tepung substitusi maupun tingkat/konsentrasi substitusi tepung tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai densitas produk ekstrusi (p > 0.05). Artinya, jenis substitusi tepung memberikan respon nilai densitas yang tidak berbeda, baik pada tingkat 5 % dan 10 %. Nilai densitas produk ekstrusi hasil percobaan adalah 0,077 g/ml - 0,085 g/ml (lampiran 5). Bulk Density merupakan ukuran kepadatan yang dinyatakan dalam satuan berat per volume. Pada produk ekstrusi, bulk density juga dapat digunakan untuk menilai tingkat porositas produk, produk yang lebih banyak memiliki rongga maka memiliki nilai bulk density yang rendah demikian sebaliknya. Nilai bulk density juga berhubungan dengan derajat gelatinisasi produk ekstrusi. Semakin tinggi nilai derajat gelatinisasi maka semakin rendah nilai bulk density-nya. Schwartz (1992) mengemukakan bahwa gelatinisasi yang tinggi menyebabkan tingginya volume dan rendahnya densitas pada produk ekstrusi chip. Namun demikian, densitas ekstrudat hasil percobaan tidak berbeda nyata pada taraf 5% meskipun terdapat interaksi yang nyata terhadap nilai derajat gelatinisasinya. Hal ini berarti proses gelatinisasi setiap bahan baku ekstrudat tidaklah cukup untuk menjelaskan keadaan ini. Perlu dilakukan analisis terhadap struktur-mikro, baik pada bahan baku produk maupun pada ekstrudat untuk mendapatkan data yang lebih akurat untuk menjelaskan fenomena ini.
45
4. Analisis tekstur (hardness) obyektif Nilai tekstur kekerasan pada percobaan disajikan pada gambar 18. Berdasar ANOVA (Lampiran 21), baik jenis substitusi maupun tingkat substitusi berpengaruh secara nyata terhadap nilai tekstur produk ekstrusi. ANOVA juga menunjukkan terdapat interaksi yang signifikan antara jenis substitusi dengan tingkat substitusi terhadap nilai tekstur. Pada gambar 18, kenaikan tingkat substitusi dari 5 % menjadi 10 % tidak merubah kekerasan ekstrudat dengan jenis substitusi tepung terigu (AB), sedangkan menyebabkan penurunan tekstur produk dengan substitusi kentang. Menurut Q-B.Ding et al.(2005), nilai kekerasan berasosiasi dengan pengembangan dan struktur sel dari ekstrudat. Namun demikian, perbedaan tekstur ekstrudat pada penelitian ini tidak dapat sepenuhnya dimengerti. Secara umum dapat dikatakan bahwa kenaikan tingkat substitusi menyebabkan penurunan kekerasan ekstrudat terutama ekstrudat dengan substitusi tepung kentang.
Gambar 18 Grafik tekstur (hardness) produk ekstrusi
46
5. Derajat Pengembangan Produk Pengukuran derajat pengembangan produk terbagi menjadi dua, yaitu secara vertikal dan secara horisontal. Alasannya, bentuk produk ekstrusi tidak bulat sempurna, melainkan berbentuk elip. Penyebab perbedaan bentuk produk dengan bentuk dari cetakan belum dapat dipastikan, sehingga memerlukan penelitian lebih lanjut untuk menganalisanya secara ilmiah. Penentuan posisi vertikal dan horisontal dari produk dapat dilihat pada gambar 19.
horisontal
vertikal
Gambar 19 Posisi vertikal dan horisontal pada produk ekstrusi Nilai derajat pengembangan vertikal berdasarkan ANOVA (Lampiran 25) menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata baik pada perlakuan jenis substitusi maupun tingkat substitusi tepung. ANOVA juga menunjukkan tidak terdapat interaksi yang signifikan antara jenis substitusi tepung dengan tingkat substitusinya terhadap nilai derajat pengembangan vertikal. Hal ini berarti semua sampel memiliki nilai derajat pengembangan vertikal yang tidak berbeda berdasar uji statistik. Derajat pengembangan vertikal berkisar 308.57 % sampai 334.53 % (lampiran 8). ANOVA (Lampiran 26) menunjukkan adanya interaksi antara jenis substitusi dengan tingkat substitusi tepung terhadap derajat pengembangan horisontal. Interaksi ini menandakan bahwa penggunaan substitusi tepung memberikan respon yang berbeda terhadap derajat pengembangan horisontal pada setiap tingkat substitusi. Pada gambar 20, kenaikan tingkat substitusi dari 5 % menjadi 10 % tidak merubah derajat pengembangan horisontal ekstrudat dengan substitusi tepung terigu dan kentang, sedangkan menyebabkan kenaikan derajat pengembangan horisontal dengan substitusi 47
beras. Namun nilai semua sampel substitusi lebih tinggi dari nilai ekstrudat kontrol (501,80%).
Gambar 20 Grafik derajat pengembangan horisontal Derajat pengembangan produk ekstrusi merupakan perbandingan antara diameter produk ekstrusi dengan cetakannya (die) yang dinyatakan dalam persen. Menurut Bhattacharya dan Hanna yang diacu di dalam Schwartz et al (1992), produk ekstrusi berbasis jagung mengalami peningkatan pengembangan ketika bahan lebih tergelatinisasi sebagai akibat peningkatan suhu. Hal ini berarti bahwa derajat pengembangan dipengaruhi oleh tingkat gelatinisasi dari adonan bahan. Namun, data derajat pengembangan horizontal hanya sesuai dengan data nilai derajat gelatinisasi pada tingkat 5 %. Pada tingkat 5 % derajat gelatinisasi tertinggi pada substitusi tepung terigu dan terendah pada substitusi tepung beras. Demikian juga pada derajat pengembangan horizontal di mana tertinggi adalah tepung terigu dan terendah tepung beras. Pada tingkat 10 %, derajat pengembangan horisontal hanya memberikan perbedaan yang nyata dengan substitusi tepung beras sekalipun derajat gelatinisasinya menunjukkan perbedaan yang nyata pada 48
semua substitusi. Dengan demikian, pengaruh derajat gelatinisasi hanya nampak pada derajat pengembangan horisontal pada kenaikan tingkat substitusi tepung beras dari 5 % menjadi 10 %.
6. Water Absorption Index (WAI) Berdasarkan ANOVA (Lampiran 23) baik perlakuan jenis substitusi maupun tingkat substitusi tepung, tidak berpengaruh nyata terhadap WAI. Interaksi antara jenis substitusi dengan tingkat substitusi terhadap nilai WAI produk juga tidak berbeda secara nyata. Hal ini berarti, jenis substitusi tepung memberikan respon yang tidak berbeda terhadap nilai WAI pada setiap tingkat substitusi. Dengan demikian, nilai WAI setiap kelompok sampel produk ekstrusi dapat dianggap tidak berbeda secara statistik. Nilai WAI berkisar dari 4.43 ml/g sampai 5.96 ml/g (lampiran 3). Water Absorption Index (WAI) merupakan nilai berat gel yang dihasilkan dalam setiap satuan berat produk. Gel merupakan konsistensi molekul air di dalam molekul padat sehingga gel ekstrusi terbentuk sebagai akibat ikatan antara molekul air dengan molekul hidrofilik penyusun produk ekstrusi. Pada produk ekstrusi, molekul hidrofilik tersebut sebagian besar terdiri dari molekul – molekul yang berasal dari pecahan pati selama proses pemasakan di dalam barrel atau dengan kata lain pati yang telah tergelatinisasi. Nilai WAI juga merupakan ukuran volume pati setelah mengalami penggelembungan dalam air berlebih dimana mempengaruhi integritas pati dalam dispersi larutan (Mason dan Hoseney di dalam Q-B. Ding et al., 2005). Menurut Wulandari (1997), semakin meningkat jumlah pati yang tergelatinisasi pada proses ekstrusi (suhu dan tekanan) tinggi akan menyebabkan semakin banyak pati yang mengalami dekstrinisasi. Selain itu, Gomes dan Aguilera (1983) menyatakan bahwa penyerapan air tergantung pada ketersediaan grup hidrofilik yang mengikat molekul air dan pada kapasitas pembentukan gel dari makromolekul. Dengan demikian, pati
49
yang terdekstrinisasi inilah yang disebut sebagai makromolekul hidrofilik, berperan dalam penyerapan air, dan berperan dalam menentukan nilai WAI. Nilai WAI yang tidak berbeda nyata pada percobaan menunjukkan nilai gelatinisasi yang tidak cukup untuk membuat adanya perbedaan pada nilai WAI. Dalam hal ini, pati yang terdekstrinisasi pada setiap jenis tepung substitusi memiliki jumlah yang relatif sama sekalipun mengalami tingkat gelatinisasi yang berbeda. Jika tidak demikian, terdapat faktor – faktor lain di luar derajat gelatinisasi yang mempengaruhi nilai WAI sehingga mendistorsi pengaruh dari gelatinisasi. Faktor tersebut dapat berupa kesalahan teknis pada percobaan atau hasil produk ekstrusi setiap jenis tepung substitusi tidak homogen.
7. Water Solubility Index (WSI) Berdasarkan ANOVA (Lampiran 24), nilai WSI tidak berbeda nyata baik pada perlakuan jenis substitusi maupun tingkat substitusi yang digunakan serta tidak terdapat interaksi yang nyata antara kedua variabel tersebut. Artinya, nilai WSI pada setiap golongan sampel dapat dianggap tidak berbeda secara statistik. Nilai WSI pada penelitian ini adalah 0.038 g/2ml – 0.043 g/2ml (lampiran 4). Water Solubility Index (WSI) adalah nilai berat bahan kering yang diperoleh setelah penguapan air dari supernatan produk ekstrusi yang diperoleh dari pengukuran WAI dalam setiap satuan volume tertentu. Bahan kering yang diperoleh akan berbentuk seperti lapisan film tipis pada cawan pengeringan. Bahan kering yang diperoleh ini adalah molekul – molekul dari produk ekstrusi yang bersifat larut di dalam air. Seperti halnya pada nilai WAI, nilai WSI juga dipengaruhi oleh molekul – molekul yang bersifat hidrofilik. Namun pada kasus WSI, molekul – molekul hidrofilik merupakan molekul yang dapat terdispersi di dalam air. Keadaan ini memerlukan ukuran rantai molekul yang lebih kecil sehingga mudah terdispersi di dalam air. Molekul – molekul ini merupakan hidrokoloid yang 50
dapat berasal dari senyawa turunan protein, turunan selulosa, pektin, alginat, dan polisakarida lainnya sehingga setelah mengalami proses pengeringan akan membentuk suatu lapisan film. Beberapa protein yang dapat membentuk film seperti zein jagung, gluten gandum, protein kedelai, dan protein kacang (Krotcha et al., 1994). Nilai WSI memang sering digunakan sebagai indikator degradasi dari komponen molekul, mengukur tingkat konversi pati selama ekstrusi yang mana sejumlah polisakarida yang mudah larut dilepaskan dari komponen pati setelah ekstrusi (Kirby, Ollet, Parker, dan Smith di dalam Q-B. Ding et al., 2005). Carboniere et al. (1973) di dalam Appruzzese (1998) mempelajari perubahan sifat fungsional berbagai pati selama ekstrusi. Hasil studi tersebut mengindikasikan bahwa WSI menurun seiring dengan meningkatnya kandungan
amilosa,
sedangkan
WAI
meningkat
seiring
dengan
meningkatnya kandungan amilosa. Adanya retrogradasi struktur amilosa dan amilopektin mungkin dapat menjelaskan keadaan tersebut. Menurut Rooney dan Huang (2002), amilosa lebih memiliki kecendrungan untuk mengalami retrogradasi daripada amilopektin. Retrogradasi merupakan kebalikan dari gelatinisasi. Secara sederhana, polimer pati terlarut dan sisa fragmen granular yang tidak larut berasosiasi kembali setelah proses pemanasan. Selama terjadinya retrogradasi, pasta pati berubah menjadi bentuk jel dan opak. Seiring dengan waktu, jel menjadi seperti karet dan memiliki kecendrungan untuk melepaskan air. Pada percobaan ini hasil analisis WSI sesuai dengan nilai WAI secara statistik. Hal ini karena pengukuran nilai WSI dan WAI diambil dari satu sampel yang sama, walaupun nilai di antara keduanya berkorelasi negatif. Oleh karena itu, nilai WSI dapat ikut menjelaskan mengapa nilai WAI tidak berbeda nyata baik dari segi jenis tepung substitusi yang digunakan maupun tingkat substitusinya pada taraf 5%.
51
8. Uji Organoleptik Uji organoleptik sangat penting untuk mengukur atribut sensori produk pangan bagi alat sensori manusia. Hasil uji organoleptik pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 8. Secara keseluruhan (overall, tidak termasuk nilai kelengketan), tingkat penerimaan panelis (LoA) terhadap produk secara berturut – turut dari yang tertinggi adalah AB2 (3.60), AD2 (3.52), AB1 (3.51), AD1 (3.49), AA (3.47), AC1 (3.24), dan AC1 (3.24). Nilai standar untuk Level of Asceptance perusahaan adalah 3.5, artinya untuk produk di bawah 3.5 perusahaan berasumsi bahwa produk akan sulit untuk dipasarkan. Dengan demikian, produk yang dapat diterima adalah AB2, AD2, dan AB1, yaitu untuk substitusi menggunakan tepung terigu 10 %, tepung kentang 10%, dan tepung terigu 5%. Tingkat kelengketan (adhesiveness) dimaksudkan untuk mengetahui tingkat penerimaan panelis terhadap kelengketan produk di gigi ketika dikunyah. Penilaian ini diperlukan karena produk ekstrusi yang dihasilkan memiliki kecendrungan untuk menempel di gigi ketika dikunyah. Tingkat kelengketan tertinggi (tingkat penerimaan terendah) terdapat pada sampel AA, yaitu untuk produk yang 100 % menggunakan grit jagung, sedangkan tingkat kelengketan terendah terdapat pada sampel AC1, yaitu produk dengan menggunakan substitusi tepung beras 5%. Tekstur yang paling disukai oleh panelis adalah tekstur dengan nilai tertinggi yaitu terdapat pada sampel AB2 (substitusi terigu 10 %) dengan nilai 3.71 menurut uji sensori secara subyektif. Karakteristik kerenyahan sampel AB2 memiliki 3 titik pecah (rupture point) dan waktu tahan untuk patah kurang dari 25 detik (lampiran 9) berdasarkan uji tekstur secara obyektif. Rata – rata titik puncak tertinggi (kekerasan) untuk substitusi terigu 10 % sebesar 0.88 kgf (lampiran 6). Sementara itu, karakteristik kerenyahan tekstur secara obyektif untuk sampel AB2 adalah kurang dari 3 titik pecah, sedangkan titik pecah lebih dari 3 terdapat pada sampel AA, AC1, AC2, AD1, dan AD2. 52
Tabel 8 Nilai penerimaan produk ekstrusi pada berbagai atribut sensori Sampel
AA AB1 AB2 AC1 AC2 AD1 AD2
Tekstur 3.63 3.63 3.71 3.35 3.31 3.60 3.69
Nilai LoA (Level of Asceptance) Rasa Keseluruhan Aftertaste Tingkat Kelengketan 3.29 3.1 1.38 3.38 3.29 1.83 3.46 3.42 1.79 3.10 3.02 2.00 3.19 3.02 1.58 3.25 3.40 1.83 3.29 3.25 1.67
overall 3.47 3.51 3.60 3.24 3.23 3.49 3.52
Keterangan: AA = kontrol (100% grit jagung), AB1= grit jagung + 5% tepung terigu, AB2 = grit jagung + 10% tepung terigu, AC1 = grit jagung + 5% tepung beras, AC2 = grit jagung + 10% tepung beras, AD1 = grit jagung + 5% tepung kentang, AD2 = grit jagung + 10% tepung kentang.
53