berumur sepuluh tahun seperti sebuah gambar yang garisnya tampak jelas, tetapi warnanya telah pudar. Oleh karenanya aku menghidupi masa kini seakanakan itu adalah kenangan yang telah pudar. Maka, saat aku bangkit dan memutar di belakang Enishte Effendi, seraya mengangkat wadah tinta perunggu yang besar dan berat itu di antara bendabenda kaca, porselen, dan kristal yang biasa kulihat di atas mejanya, miniaturis di dalam diriku yang bekerja kerasyang telah ditanamkan Tuan Osman dalam diri kami semuatengah mengerjakan ilustrasi yang kulihat dan kulakukan dalam adegan yang tampak jelas tetapi warnanya pudar, bukan sebagai sesuatu yang kualami sekarang, tetapi seakanakan itu adalah sebuah kenangan dari masa silam. Kautahu bagaimana dalam mimpi kita gemetar melihat diri kita seakanakan dari luar, dengan perasaan yang sama, seraya memegang wadah tinta perunggu yang besar tetapi berujung kecil itu, aku berkata, “Ketika aku masih seorang murid berumur sepuluh tahun, aku pernah melihat wadah tinta semacam ini.” “Itu adalah wadah tinta Mongol berumur tiga ratus tahun,” tukas Enishte Effendi. “Hitam membawanya dari Tabriz. Itu untuk menaruh warna merah.” Pada saat itu tentu saja setan membujukku untuk menjatuhkan wadah tinta itu ke kepala Enishte Effendi. Namun, aku tak menyerah pada bujuakan setan, dan dengan harapan palsu, aku berkata, “Akulah yang membunuh Elok Effendi.” Kau paham mengapa aku mengatakan hal ini dengan penuh harapan, bukan? Aku yakin Enishte akan mengerti, dan sebagai akibatnya, maafkan akuia akan merasa takut dan menolongku.[] b 29
AKU ADALAH PAMANMU TERCINTA KESUNYIAN MELINGKUPI ruangan ketika ia mengaku telah membunuh Elok Effendi. Aku menduga ia juga hendak membunuhku. Jantungku berdetak lebih cepat. Apakah ia datang ke sini untuk mengakhiri hidupku atau hanya untuk mengaku dan membuatku takut? Bukankah ia sendiri tahu apa yang ia inginkan? Aku takut saat menyadari betapa tak kenalnya aku dengan dunia batin seniman luar biasa ini yang garisgaris menakjubkan dan penggunaan warna ajaibnya telah akrab denganku selama bertahuntahun. Aku bias merasakannya berdiri tegang di belakangku, di tengkukku, memegang wadah tinta besar yang digunakan untuk warna merah, tetapi aku tidak menoleh padanya. Aku tahu diamku akan membuatnya gelisah. “Anjinganjing itu belum juga berhenti melolong,” ujarku. Kami terdiam lagi. Kali ini, aku tahu bahwa kematianku, atau keterhindaranku dari nasib buruk ini, akan tergantung pada apa yang kukatakan padanya. Yang kutahu selain dari pekerjaannya adalah ia sangat cerdas, dan jika kau percaya bahwa seorang ilustrator tak pernah mengungkap jiwanya dalam karyanya, kecerdasan tentu saja adalah sebuah modal. Bagaimana ia memojokkanku di rumahku ketika tak ada orang lain di sini? Pikiranku yang renta dipenuhi oleh pertanyaan ini, tetapi aku terlalu bingung untuk melihat diriku keluar dari permainan ini. Di manakah Shekure? “Kautahu akulah yang melakukannya, bukan?” tanyanya. Aku sama sekali tidak tahu sampai ia mengatakannya padaku. Dalam benakku aku bahkan bertanyatanya apakah ia telah melakukan hal yang baik dengan membunuh Elok Effendi dan mungkin miniaturis yang telah tiada itu memang telah menyerah
pada kecemasannya dan membuat masalah bagi kami semua. Aku justru sedikit berterima kasih pada pembunuh ini, yang dengannya aku sendirian di rumah sunyi ini. “Aku tak terkejut kau membunuhnya,” kataku. “Orangorang seperti kita yang hidup dengan buku dan senantiasa memimpikan halaman-halamannya hanya takut pada satu hal di dunia ini. Terlebih lagi, kita bergelut dengan sesuatu yang lebih terlarang dan berbahaya, yakni kita bergelut membuat lukisan di sebuah kota muslim. Seperti halnya Syekh Muhammad dari Isfahan, kita para miniaturis cenderung merasa bersalah dan menyesal, kitalah yang pertama kali menyalahkan diri kita sendiri sebelum orang lain melakukannya, merasa malu dan memohon ampun pada Tuhan dan orang banyak. Kita membuat bukubuku kita secara rahasia seperti para pendosa yang malu hati. Aku tahu benar bagaimana penyerahan terhadap serangan tanpa akhir para hoja, para pengkhotbah, para hakim dan para mistikus yang menuduh kita menistakan agama, serta rasa bersalah tanpa akhir mematikan dan sekaligus memelihara imajinasi para seniman.” “Kau tidak menyalahkanku karena membunuh miniaturis tolol itu?” “Yang membuat kita tertarik untuk menulis, membuat ilustrasi, dan melukis berkaitan erat dengan rasa takut akan balas jasa ini. Bukan untuk uang kita bermurah hati berlutut di depan karya kita dari pagi hingga petang, terus bekerja diterangi cahaya lilin sepanjang malam hingga menemui kebutaan dan mengorbankan diri demi lukisan dan bukubuku, melainkan untuk lari dari ocehan orang lain, lari dari masyarakat. Namun, berlawanan dengan gairah untuk mencipta ini, kita juga ingin agar mereka yang kita tinggalkan itu melihat dan menghargai lukisanlukisan yang kita buatdan ketika mereka menyebut kita para pendosa? Oh, penderitaan ini dibebankan pada ilustrator yang berbakat murni! Namun, lukisan yang murni tersembunyi dalam kesedihan yang tak terlihat dan tak dibuat orang. Ini terdapat dalam lukisan yang pada pandangan pertama mereka sebut buruk, tak lengkap, menghujat atau melecehkan. Seorang miniaturis sejati tahu ia harus mencapai titik itu, tetapi pada saat bersamaan ia takut pada kesepian yang menantinya di sana. Siapa yang mau menerima keberadaan yang menakutkan dan mencekam urat saraf seperti itu? Dengan menyalahkan diri sebelum orang lain menyalahkannya, seorang seniman percaya ia akan terhindar dari apa yang ia takuti selama bertahuntahun. Orang lain mendengarkannya dan percaya padanya hanya ketika ia mengakui kesalahannya, yang membuatnya dikutuk akan dibakar di neraka ilustrator dari Isfahan bahkan menyalakan sendiri api neraka untuknya.” “Tetapi aku bukanlah seorang miniaturis,” ujarnya. “Aku tak membunuhnya karena rasa takut.” “Kau membunuhnya karena kauingin melukis seperti keinginanmu,tanpa rasa takut.” Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, miniaturis yang ingin menjadi pembunuhku itu mengatakan sesuatu yang sangat cerdas, “Aku tahu kau menjelaskan semua ini untuk mengalihkan perhatianku, menipuku, agar dirimu bisa terlepas dari keadaan ini,” dan ia menambahkan, “tetapi yang tadi kaukatakan memang benar. Aku ingin kau mengerti. Dengarkanlah aku.” Aku menatap matanya. Ia telah benarbenar melupakan tata krama dan basa-basi di antara kami ketika ia bicara: Ia telah terbawa oleh pikiran-pikirannya sendiri. Tetapi ke mana? “Jangan takut, aku tak akan menghina kehormatan-mu,” ujarnya. Ia tertawa getir saat memutar untuk menghadap ke arahku. “Bahkan kini,” ujarnya, “saat aku melakukan hal ini, seakanakan ini bukanlah aku. Seakanakan ada sesuatu yang menggeliat kesakitan di dalam diriku memaksaku melakukan perintah jahatnya. Namun, aku memerlukan sesuatu itu. Itu juga yang terjadi dengan melukis.” “Ini adalah dongeng ibu-ibu tua tentang Iblis.” “Kau kira aku berdusta?”
Ia tak cukup berani untuk membunuhku maka ia ingin agar aku membuatnya marah. “Tidak, kau tidak berdusta, tetapi kau juga tak mengetahui apa yang sesungguhnya kaurasakan.” “Aku mengetahui dengan baik apa yang kurasakan. Aku menderita siksa kubur tanpa mati terlebih dahulu. Tanpa sadar, kita telah tenggelam dalam dosa karena dirimu. Dan kau kini berkhotbah agar kita ‘lebih berani.’ Kaulah yang membuatku menjadi seorang pembunuh. Para pengikut Nusret Hoja akan membunuh kita semua.” Semakin berkurang rasa percaya dirinya, ia semakin menaikkan nada suaranya dan kian erat menggenggam wadah tinta itu. Akankah seseorang yang melintasi jalan bersalju mendengar teriakannya dan masuk ke dalam rumah? “Bagaimana kau membunuhnya?” tanyaku, lebih untuk menunda-nunda waktu ketimbang karena rasa ingin tahu. “Bagaimana kau bisa bertemu dengannya di mulut sumur itu?” “Pada malam saat Elok Effendi meninggalkan rumahmu, ia mendatangiku,” ujarnya dengan hasrat untuk mengaku yang tak disangka-sangka. “Katanya ia telah melihat lukisan terakhir itu. Aku mencoba berpanjang kata memintanya dengan sangat agar tidak menyebarkan gunjingan tentang lukisan itu. Aku lalu mengajaknya berjalan ke daerah yang hancur akibat kebakaran. Kukatakan padanya aku memiliki uang emas yang kukubur dekat sumur. Ketika ia mendengar hal itu, ia memercayaiku … Adakah bukti yang lebih baik dari ini bahwa seorang illustrator didorong oleh ketamakannya belaka? Itu alasan lain aku tidak menyesal membunuhnya. Ia adalah seorang seniman medioker. Si tolol yang tamak itu siap menggali ke dalam bumi yang beku dengan kuku-kukunya. Kautahu, jika aku sungguh memiliki keping-keping emas terkubur di samping sumur itu, aku tak akan mengajaknya serta. Ya, kau mempekerjakan seorang payah yang menyedihkan untuk menyepuh. Almarhum tersayang itu memiliki kecakapan, tetapi pilihan warna dan penerapannya biasa-biasa saja, dan iluminasinya tak memberi ilham. Aku tak meninggalkan jejak… Katakan padaku, apakah hakikat ‘gaya’? Kini, orangorang Frank dan Cina membicarakan karakter bakat seorang pelukis yang mereka sebut ‘gaya.’ Apakah gaya membedakan seorang seniman bagus dari yang lainnya atau tidak?” “Jangan takut,” kataku, “sebuah gaya baru tidak berkembang dari hasrat seorang miniaturis. Seorang pangeran mati, seorang shah kalah perang, sebuah zaman yang tampaknya abadi berakhir, sebuah bengkel kerja ditutup dan para anggotanya berpencaran, mencari tempat lain dan para pecinta buku lainnya untuk mereka jadikan junjungan. Suatu hari, seorang sultan yang penuh kasih mengumpulkan para seniman eksil ini, para ahli kaligrafi dan miniaturis pengungsi yang berbakat tetapi kebingungan, di tendanya atau di istananya dan mulai mendirikan bengkel kerja buku seni miliknya. Bahkan jika para seniman ini, yang tak terbiasa satu sama lain, pada mulanya melanjutkan gaya melukis yang mereka anut sepanjang waktu, seperti anakanak yang perlahanlahan menjadi berteman dengan berkeliaran di jalanan, lalu bertengkar, bersatu, berkelahi, dan berkompromi. Lahirnya sebuah gaya baru adalah hasil dari bertahuntahun ketidaksepakatan, kecemburuan, pertentangan, dan studi dalam hal warna dan lukisan. Secara umum, anggota paling berbakat dari bengkel kerja itulah yang akan menjadi cikal bakal bentuk ini. Mari kita sebut bahwa ia jugalah yang paling beruntung. Para miniaturis lainnya terbebani tugas tunggal untuk menyempurnakan dan meperbaiki gaya ini melalui peniruan tanpa henti.” Tak mampu menatap langsung mataku, ia menampilkan perilaku lembut yang tak terduga, dan seraya memohon belas kasih dan kejujuranku, ia bertanya padaku, gemetar seperti seorang perawan, “Apakah aku memiliki gayaku sendiri?” Aku mengira air mata akan menetes dari sepasang mataku. Dengan segala kelembutan, simpati dan kebaikan yang bisa kuterima, aku
bergegas mengatakan padanya apa yang kupercayai sebagai kebenaran, “Kau adalah seniman paling berbakat yang penuh ilham dengan sentuhan dan mata paling memukau untuk detail yang pernah kulihat selama enam puluh tahun hidupku. Jika aku yang telah melihat karya seribu miniaturis ini meletakkan sebuah lukisanmu di depanku, aku masih bisa langsung mengenali keistimewaan yang dianugerahkan Tuhan pada penamu.” “Setuju, tetapi aku tahu kau tak cukup bijak dalam menghargai misteri keterampilanku,” ujarnya, “kau berdusta karena takut padaku. Gambarkan sekali lagi karakter metodeku.” “Penamu memilih garis yang tepat seakanakan atas persetujuan garis itu sendiri, seolah olah tanpa sentuhanmu. Yang digambar oleh penamu bukan sepenuhnya kenyataan, tetapi juga bukan sesuatu yang asal saja! Ketika kau menggambarkan sebuah kerumunan berkumpul, ketegangan muncul dari tatapan antar tokoh, tata letak mereka di atas halaman, dan makna metamorfosis teks ke dalam sebuah bisikan abadi yang elok. Aku kembali lagi pada lukisanmu berkali-kali untuk mendengar bisikan itu, dan setiap kali, aku menyadari dengan tersenyum bahwa maknanya telah berubah, dan aku mulai membaca lukisan itu dengan cara baru. Ketika lapisan-lapisan makna itu disingkap secara bersamaan, sebuah kedalaman muncul melebihi metode perspektif para empu Eropa.” “Bagus. Lupakanlah para empu Eropa. Mulailah dari awal.” “Kau memiliki semacam garis yang kuat dan menakjubkan sehingga pengamat lebih percaya apa yang kaulukis daripada kenyataan itu sendiri. Dan seperti halnya bakatmu bias menciptakan sebuah lukisan yang akan memaksa lelaki paling saleh mencampakkan keimanannya, bakatmu itu juga bisa membawa orang paling putus asa dan orang kafir paling keras kepala sekalipun kembali ke jalan Allah.” “Benar, tapi aku tak yakin pada pujapuji itu. Coba lagi.” “Tak ada miniaturis yang tahu konsistensi lukisan dan rahasianya sebaik dirimu. Kau selalu menyiapkan dan merapikan warnawarna yang paling kemilau, bercahaya, dan asli.” “Ya, dan apa lagi?” “Kautahu kaulah yang paling hebat di antara para pelukis setelah Bihzad dan Mir Seyyid Ali.” “Ya, aku menyadarinya. Jika kau juga menyadarinya, mengapa kau membuat buku dengan Hitam Effendi?” “Pertama, karya yang ia buat tidak membutuhkan keterampilan seorang miniaturis,” ujarku. “Kedua, tidak sepertimu, ia bukanlah seorang pembunuh.” Ia tersenyum manis mendengar gurauanku. Melihat ini, kurasa aku akan bisa lolos dari mimpi buruk ini dengan berterima kasih pada sebuah ekspresi barukata “gaya” ini. Setelah aku mengawali pembicaraan itu, kami memulai sebuah diskusi menyenangkan mengenai wadah tinta Mongol dari perungu yang ia pegang, bukan seperti ayah dan anak, melainkan seperti dua lelaki tua yang penuh rasa ingin tahu dan berpengalaman. Berat perunggu itu, keseimbangan wadah tinta itu, kedalaman lehernya, panjang pena buluh kaligrafi tua dan misteri tinta merah yang ketetapannya bisa ia rasakan saat ia mengayunkan wadah tinta itu di depanku …. Kami setuju bahwa jika orangorang Mongol tidak membawa rahasia tinta merahyang mereka pelajari dari para empu Cinake Khorasan, Bukhara, dan Herat, kami di Istanbul tak akan bisa membuat lukisanlukisan ini sama sekali. Saat kami berbicara, ketetapan waktu, seperti cat itu, seakanakan berubah, mengalir lebih cepat. Di sebuah sudut benakku aku bertanyatanya mengapa tak seorang pun pulang ke rumah. Seandainya saja ia telah
meletakkan kembali benda berat itu. Dengan ketenangan sehari-hari kami, ia bertanya, “Ketika bukumu selesai, apakah mereka yang melihat karyaku akan menghargai keterampilanku?” “Jika kita bisa menyelesaikan buku ini atas kehendak Tuhan, Sultan tentu saja akan melihatnya. Mulamula beliau memeriksa untuk melihat apakah kita menggunakan cukup lempengan emas di tempattempat yang selayaknya. Lalu, seakanakan membaca sebuah gambaran tentang dirinya sendiri, seperti yang akan dilakukan oleh Sultan mana pun, beliau akan memandang potret dirinya, dilanda oleh rasa senangnya bukan oleh kehebatan ilustrasi kita. Setelahnya, jika beliau berlama-lama mengamati tontonan yang kita ciptakan secara teliti dan penuh pengabdian dengan mengorbankan cahaya mata kita, maka makin baiklah. Kautahu, seperti halnya aku, kalau bukan karena keajaiban, beliau akan mengunci buku itu di tempat penyimpanan harta karun, bahkan tanpa bertanya siapakah yang membuat bingkai atau menyepuh iluminasi, siapa yang melukis orang ini atau kuda itudan seperti semua tukang gambar yang terampil, kita akan kembali melukis, berharap suatu hari sebuah keajaiban akan adanya pengakuan menemukan kita.” Kami terdiam sejenak, seakanakan tengah menanti sesuatu dengan sabar. “Kapankah keajaiban itu datang?” tanyanya. “Kapankah semua lukisan yang kita kerjakan sampai penglihatan kita berkurang itu akan sungguhsungguh dihargai? Kapankah mereka akan memberiku, memberi kita, sebuah penghormatan yang layak kita dapatkan?” “Tak akan pernah!” “Mengapa begitu?” “Mereka tak akan pernah memberimu apa yang kauinginkan,” kataku. “Di masa depan kau akan makin kurang dihargai.” “Bukubuku tahan hingga berabadabad,” ujarnya dengan bangga, tetapi tanpa rasa yakin. “Percayalah padaku, tak seorang pun empu Venesia memiliki kepekaan puitismu, keyakinanmu, kemurnian dan kejernihan dalam warna-warnamu, tetapi lukisanlukisan mereka lebih memesona karena mereka lebih mirip dengan kehidupan itu sendiri. Mereka tidak melukis dunia seperti terlihat dari balkon sebuah menara, mengabaikan apa yang mereka sebut perspektif. Mereka menggambarkan apa yang terlihat di batas jalan, atau dari dalam ruangan seorang pangeran, dengan menyertakan ranjangnya, selimutnya, bangkunya, cerminnya, harimau miliknya, putrinya, dan mata uangnya. Mereka menyertakan semua itu, seperti yang kautahu. Aku tidak terbujuk oleh segala yang mereka lakukan. Mencoba meniru dunia secara langsung melalui lukisan terasa tidak terhormat bagiku. Aku tak menyukainya. Tetapi ada daya tarik tak terbantahkan pada lukisanlukisan yang mereka buat dengan metodemetode baru itu. Mereka menggambarkan yang dilihat oleh mata tepat seperti yang dilihat oleh mata. Jelas, mereka melukis apa yang mereka lihat, sementara kita melukis apa yang kita pandang. Memandang karya mereka, orang akan menyadari bahwa satusatunya cara membuat wajah seseorang abadi adalah melalui gaya kaum Frank. Dan bukan hanya para penduduk Venesia saja yang tertarik dengan gagasan ini, melainkan juga semua penjahit, tukang jagal, tentara, pendeta dan pedagang di segenap negeri kaum Frank … Mereka menggambar potret mereka dengan cara seperti ini. Hanya dengan memandang sekilas pada lukisanlukisan itu dan kau pun akan ingin melihat dirimu sendiri dengan cara ini. Kau akan ingin percaya bahwa kau berbeda dari yang lain, sesosok manusia yang unik, istimewa, khusus. Melukis orang bukanlah seperti mereka yang dicerap oleh pikiran, melainkan seperti mereka yang sungguh terlihat oleh mata telanjang, melukis dengan metode baru, membuat hal ini menjadi mungkin. Suatu hari semua orang akan melukis seperti yang mereka
lakukan. Ketika kata ‘lukisan’ disebut, dunia akan memikirkan karya mereka! Bahkan seorang penjahit bodoh yang miskin dan tak paham ilustrasi sekalipun akan menginginkan potret semacam itu sehingga ia akan diyakinkan, dengan melihat keunikan garis hidungnya, bahwa ia bukankah orang kebanyakan, melainkan seorang lelaki istimewa.” “Lalu kenapa? Kita juga bisa membuat lukisan potret semacam itu,” ejek pembunuh licin itu. “Kita tak akan melakukannya!” sahutku. “Tidakkah kau belajar dari korbanmu, almarhum Elok Effendi, betapa takutnya kita dianggap sebagai peniru orangorang Frank? Bahkan jika kita berusaha dengan berani untuk melukis seperti mereka, itu tak akan menghasilkan hal yang sama. Pada akhirnya, tata cara kita akan mati, warnawarna kita akan pudar. Tak seorang pun akan peduli pada bukubuku dan lukisanlukisan kita, dan mereka yang menyatakan ketertarikan akan bertanya dengan senyum mengejek, tanpa pengertian sama sekali, mengapa tak ada perspektifatau kalau tidak mereka tak akan bisa menemukan manuskrip-manuskrip itu sama sekali. Ketakpedulian, waktu, dan bencana akan menghancurkan seni kita. Lem orang Arab yang digunakan untuk menjilid buku mengandung ikan, madu, dan tulang, dan halamanhalaman itu diukur dan dipoles dengan sebuah pelitur yang terbuat dari putih telur dan kanji. Tikustikus tamak tak punya malu akan menggerogoti halamanhalaman ini; rayap, kutu buku, dan seribu jenis serangga lainnya akan mengoyak manuskrip-manuskrip kita hingga lenyap tanpa bekas. Jilid buku akan terlepas dan halaman halaman berserakan. Para perempuan menggunakannya untuk menyalakan kompor, para pencuri, para pelayan yang lalai, dan anakanak akan merobek-robek halamanhalaman dan gambargambar itu tanpa piker panjang. Para pangeran bocah akan menodai ilustrasiilustrasi itu dengan pena mainan. Mereka akan menghitamkan mata orang, menyeka hidung ingusan mereka di atas halamanhalaman itu, mencoreti pinggirpinggirnya dengan tinta hitam. Dan sensor keagamaan akan menghitamkan apa pun yang tersisa. Mereka akan merobek dan memotong-motong lukisan kita, mungkin menggunakannya untuk membuat gambargambar lain, atau untuk permainan dan semacam hiburan. Ketika para ibu menghancurkan ilustrasiilustrasi yang mereka anggap cabul, para ayah dan abang akan menumpahkan air mani ke gambargambar perempuan jelita dan halamanhalaman itu pun akan menjadi lengket, bukan hanya karena perbuatan semacam ini, tapi juga karena lengket oleh lumpur, air, lem yang jelek, ludah, serta segala kotoran dan makanan. Noda-noda kotoran akan mekar seperti bebungaan tempat halamanhalaman itu melengket. Hujan, atap yang bocor, banjir, dan kotoran akan menghancurkan bukubuku kita. Tentu saja, bersamaan dengan halamanhalaman yang koyak, pudar, dan tak terbaca, di mana air, kelembaban, kutu, danketidakpedulian akan membuatnya menjadi bubur kertas, sebuah buku terakhir yang muncul utuh daridasar peti seperti sebuah keajaiban juga akan lenyap suatu hari, ditelan nyala api yang tak kenal belas kasihan. Adakah daerah di Istanbul yang belum pernah terbakar hingga rata dengan tanah setidaknya sekali setiap dua puluh tahun sehingga kita bias berharap sebuah buku semacam itu bisa selamat? Di kota ini, di mana setiap tiga tahun terdapat lebih banyak buku dan perpustakaan yang musnah dibandingkan yang dibakar dan dijarah orangorang Mongol di Baghdad, apakah yang bisa dibayangkan pelukis mungkin terjadi, bahwa adikaryanya akan bias bertahan lebih dari seabad, atau bahwa suatu hari gambargambarnya mungkin dilihat orang dan ia dipuja seperti Bihzad? Bukan hanya karya seni kita, melainkan setiap karya yang dibuat di dunia ini dalam waktu bertahuntahun akan musnah ditelan api, dihancurkan oleh ulat atau hilang karena diabaikan: Shirin dengan bangga memandang Hiisrev dari sebuah jendela; Hiisrev dengan senag hati mengintip Shirin saat dia mandi diterangi cahaya bulan; sepasang kekasih saling melirik dengan keanggunan dan kelembutan; Rustem bergulat dengan sesosok iblis putih hingga mati di dasar sebuah sumur; kegelisahan Majnun yang dimabuk cinta bertemankan seekor harimau putih dan seekor kambing gunung di gurun pasir; penangkapan dan penggantungan seorang gembala curang yang menghadiahkan seekor kambing gembalaannya pada serigala betina yang berteman dengannya pada setiap malam; bunga, bidadari, ranting pohon berdaun, burung dan
tetesan air mata di pingiran iluminasi; para pemain kecapi yang mengiringi puisi-puisi misterius Hafiz; hiasan dinding yang telah meruntuhkan mata ribuan, bahkan puluhan ribu, murid miniaturis; tanda peringatan kecil tergantung di atas pintu dan dinding; baitbait yang ditulis secara rahasia antara batas-batas ilustrasi yang dihiasi; tanda tangan bersahaja yang tersembunyi di dasar dinding, di sudutsudut, di bagian depan hiasan, di bawah alas kaki, di bawah semak belukar dan di antara bebatuan; selimut perca bertutup bunga yang menutupi tubuh sepasang kekasih; kepala-kepala orang kafir yang berat menanti dengan sabar almarhum kakek Sultan saat beliau berbaris dengan penuh kemenangan menuju sebuah benteng musuh; meriam, senapan, dan tenda-tenda yang di masa mudamu kaubantu pembuatan ilustrasinya dan yang muncul di latar belakang sebagai duta para kaum kafir mencium kakekbuyut Sultan; para iblis, yang bertanduk dan tidak bertanduk, yang berekor dan tidak berekor, yang bertaring dan tidak bertaring; ribuan jenis burung termasuk burung hoopoe’ bijak milik Nabi Sulaiman, bangau yang melompat, burung dodo dan burung bulbul yang bernyanyi; kucing-kucing yang tenang dan ŤBurung berjambul yang memiliki suara amat nyaring melengking dengan kepala dan punggung berwarna merah jambu kecokelatan, dan paruh melengkung ke bawah Terdapat di Eropa dan Asia Nama Latinnya adalah Upupaepops. anjinganjing yang gelisah; awan yang berarak cepat; rerumputan mungil indah yang dibuat dalam ribuan gambar; bayanganbayangan ribuan pohon cemara dan delima yang jatuh pada batu dan tenda-tenda yang dedaunannya digambar satu demi satu dengan kesabaran Nabi Ayub; istana-istanadan ratusan ribu batayang mengambil model istana-istana dari masa Timurleng atau Shah Tahmasp, tetapi dipasangkan dengan ceritacerita dari zaman yang jauh lebih awal; puluhan ribu pangeran muram yang tengah mendengarkan musik yang dimainkan oleh para perempuan cantik dan para pemuda yang duduk di atas karpetkarpet menakjubkan di taman bunga dan di bawah pepohonan berbunga; lukisanlukisan keramik dan karpet luar biasa yang berutang kesempurnaan pada ribuan ilustrator magang dari Samarkand hingga Islambol yang terpukul hingga menangis lebih dari seratus lima puluh tahun terakhir; tamantaman indah dan meluncurnya layanglayang hitam yang masih kaugambarkan dengan semangat lamamu, adegan-adegan kematian dan perangmu yang mengagumkan, lukisanmu tentang para sultan yang berburu dengan anggun, dan dengan kecakapan yang sama, kau mengejutkan kijang kijang yang melarikan diri, para shah yang meregang nyawa, para tawanan perang, pasukan kaum kafirmu dan kotakota musuh, malammalam gelapmu yang berkilau seakanakan malam itu sendiri yang mengalir dari penamu, bintang-bintangmu, pohonpohon cemaramu yang seperti hantu, lukisanlukisan tinta merahmu tentang cinta dan maut, karyamu dan karya miniaturis lainnya, semuanya akan musnah Ia mengangkat wadah tinta itu dan menghantamkannya ke kepalaku dengan seluruh kekuatannya. Aku terlempar ke depan karena pengaruh tenaga pukulannya. Kurasakan sakit luar biasa yang bahkan tak akan pernah mampu kulukiskan. Seluruh dunia terbungkus dalam rasa sakitku dan memudar menguning. Sebagian terbesar benakku menduga serangan ini memang disengaja, tetapi, bersama pukulan ituatau karena pukulan itusebagian benakku yang lain, bagian benakku yang bimbang, dalam sebuah pertunjukan niat baik yang sedih, ingin berkata pada orang gila yang hendak membunuhku itu, “Kasihanilah aku, kau telah salah menyerangku.” Ia mengangkat wadah tinta itu lagi dan membenturkannya ke kepalaku. Kali ini, bahkan bagian yang bimbang dari benakku paham bahwa ini bukanlah kesalahan, melainkan kegilaan dan kemarahan yang mungkin bakal berujung pada kematianku, Aku begitu ngeri dengan keadaan itu sehingga aku mulai meninggikan suaraku, melolong dengan seluruh kekuatan dan penderitaanku, Warna lolongan ini hijau kebiruan, dan dalam kelamnya malam di jalan sepi, tak seorang pun akan mampu mendengar warnanya. Aku tahu aku benarbenar sendirian. Ia terkejut oleh ratapanku dan raguragu. Sejenak kami saling berpandangan. Aku bias mengatakan dari bola matanya bahwa, terlepas dari rasa takut dan malunya,
ia telah mundur dari apa yang ia lakukan. Ia bukan lagi empu miniaturis yang kukenal, melainkan sesosok orang asing tak dikenal berniat jahatyang tak berbicara dengan bahasaku, dan sensasi ini memperpanjang isolasi sejenakku selama berabadabad. Aku ingin menggenggam tangannya, seakanakan untuk merengkuh duniaini. Tapi tak ada gunanya. Aku memohon, atau mengira melakukan hal itu, “Anakku, anakku tersayang, kumohon jangan akhiri hidupku,” Bagai dalam mimpi, ia seakanakan tidak mendengarku. Ia kembali melayangkan wadah tinta itu ke kepalaku. Pikiranpikiranku, apa yang kulihat, mataku, segalanya berbaur menjadi rasa takut. Aku tak bisa melihat satu warna pun dan menyadari bahwa semua warna telah menjadi merah. Kupikir darahku adalah tinta merah; kukira tinta di tangannya adalah darahku yang mengucur. Betapa tak adil, kejam, dan tak kenal belas kasih rasanya mati semendadak itu. Namun, inilah akhir di mana kepalaku yang tua dan berlumur darah perlahanlahan menuju. Lalu akumelihatnya. Ingatan-ingatanku memutih, seperti salju di luarsana. Jantungku terasa sakit saat seakanakan berdenyut dalam mulutku. Kini aku akan menggambarkan kematianku. Barangkali kau telah mengerti hal ini sejak lama: kematian bukanlah akhir, ini pasti. Bagimanapun, seperti tertulis dalam berbagai buku, kematian adalah sesuatu yang menyakitkan di luar pemahaman kita. Rasanya seakanakan bukan hanya tengkorak dan otakkuyang terserak, melainkan seluruh bagian diriku berbaur menyatu, terbakar dan tersiksa. Menahan penderitaan tak berbatas ini begitu sulit sehingga sebagian benakku bereaksiseakanakan ini hanyalah sebuah pilihandengan melupakankepedihan dan berusaha tidur nyenyak. Sebelum aku mati, aku teringat legenda Assyria yang kudengar setelah dewasa. Seorang lelaki tua yang hidup sendirian bangkit dari ranjangnya di tengah malam dan minum segelasair. Ia meletakkan gelas itu di ujung meja dan menemukan lilin yang tadinya ada disitu telah lenyap. Ke mana lilin itu? Selarik cahaya merembes dari dalam kamar. Ia mengikuti cahaya itu, kembali ke dalam kamar tidurnya dan menemukan seseorang tengah berbaring di atas ranjangnya memegang lilin. “Siapakah kau?” tanyanya. “Akulah Maut,” ujar orang asing itu. Lelaki tua itu dilanda kesenyapan yang misterius. Lau ia berkata, “Jadi, kau datang juga rupanya.” “Ya,” sahut Maut dengan angkuh. “Tidak,” kata lelaki tua itu dengan tegas, “kau hanyalah mimpiku yang belum berakhir.” Lelaki tua itu tibatiba memadamkan lilin di tangan si orang asing dan semuanya lenyap dalam kegelapan. Lelaki tua itu kembali naik ke ranjangnya yang kosong, tidur,dan hidup selama dua puluh tahun lagi. Aku tahu cerita itu bukanlah suratan nasibku. Ia melayangkan lagi wadah tinta itu kekepalaku. Aku sedang berada dalam keadaan sangat tersiksa sehingga aku hanya bias melihat dengan samar akibatnya. Ia, wadah tinta itu, dan ruangan yang diterangi cahaya temaram lilin telah mulai mengabur. Namun, aku masih hidup. Hasratku untuk merengkuh dunia ini, untuk melarikan diri dan lolos darinya, gerakan tangan dan lenganku sebagai usaha untuk melindungi wajah dan kepalaku yang berlumur darah, caraku menggigit pergelangan tangannya,dan wadah tinta yang membentur wajahku membuatku sadar akan hal ini. Kami bergelut sejenak, jika bisa disebut begitu. Ia amat kuat dan sangat bersemangat. Ia menekanku terlentang. Seraya menekankan lututnya di bahuku, ia menahanku ke lantai, sementara ia berceloteh dengan nada tidak hormat, menghujatku, seoranglelaki tua yang tengah sekarat. Barangkali karena aku tak bias memahami atau mendengarkannya, barangkali karena aku tidak senang melihat matanya yang haus darah, ia kembali memukuli kepalaku.Wajahnya dan seluruh tubuhnya menjadi merah cerahkarena tinta yang muncratkeluar dari wadahnya, dan kukira,karena darah yang mengucur dari kepalaku.
Merasa sedih karena hal terakhir yang kulihat di dunia ini adalah orang yang menjadi musuhku, aku memejamkan mata. Setelah itu, aku melihat secercah cahaya lembut. Cahaya itu semanis dan semenarik tidur yang kukira akan mengobati segala rasa sakitku, Aku melihat sebuah sosok dalam cahaya itu dan seperti seorang bocah lugu aku bertanya, “Siapakah kau?” “Akulah Izrail, Malaikat Maut,” ujarnya. “Akulah yang mengakhiri riwayat orang di dunia ini. Akulah yang memisahkan anakanak dari ibu mereka, para istri dari suami-suami mereka, para kekasih dari kekasih mereka, dan para ayah dari putriputri mereka. Tiada makhluk di dunia ini yang bisa menghindar bertemu denganku.” Ketika aku tahu maut tak bisa kuhindari, aku pun menangis. Air mataku yang bersimbah membuatku merasa sangat kehausan. Di satu sisi ada kepedihan yang membius karena wajah dan mataku bersimbah darah; di sisi lain terdapat tempat di mana kegilaan dan kekejaman berhenti, tetapi tempat itu aneh dan mengerikan. Aku tahu itulah alam yang diterangi, Alam Kubur, ke mana Izrail memberi isyarat padaku, dan aku merasa takut. Aku tahu aku tak bisa lagi tinggal di dunia ini, dan itu membuatku meratap dan melolong pedih. Di dunia yang penuh rasa sakit menakutkan dan siksaan ini tak ada tempat bagiku menemukan pelipur lara. Untuk tetap tinggal di dunia, aku harus pasrah pada siksaan tak tertahankan ini dan semua ini tak mungkin kutanggung dalam keadaan tua renta begini. Tepat sebelum aku mati, aku sungguhsungguh merindukan kematianku, dan pada saat bersamaan, aku mengerti jawaban atas pertanyaan yang telah kurenungkan seumur hidupku, jawaban yang tak bisa kutemukan dalam bukubuku: Bagaimanakah semua orang, tanpa kecuali, bisa berhasil dalam sekaratnya? Itu bias diketahui melalui hasrat sederhana untuk mati. Aku juga mengerti bahwa kematian akan membuatku lebih bijaksana. Namun, aku dilanda kebimbangan seorang lelaki yang hendak melakukan perjalanan jauh dan tak mampu menahan diri untuk melepaskan tatapan terakhir pada kamarnya, harta bendanya, dan rumahnya. Dalam kepanikan aku berharap bisa berjumpa dengan putriku untuk terakhir kalinya. Aku amat menginginkan hal ini sehingga aku bersiap menggertakkan gigi lebih lama lagi dan menahan rasa sakit serta dahaga yang makin memuncak, demi menanti kepulangan Shekure. Karenanya, cahaya lembut dan maut di hadapanku memudar entah bagaimana, dan benakku membuka diri pada suarasuara dan keributan dunia di mana aku terkapar menanti ajal. Aku bisa mendengar pembunuhku mengitari ruangan, membukai laci, mengacak-acak kertas-kertasku, dan mencari lukisan terakhir itu dengan penuh semangat. Ketika ia tak berhasil, kudengar ia membongkar peralatan melukisku dan menendangi petipeti, kotak-kotak, wadah-wadah tinta dan meja kerjaku yang bias dilipat. Aku merasa sesekali aku mengerang dan membuat gerakan-gerakan aneh dengan lengan tuaku dan kakiku yang lelah. Dan aku menunggu. Rasa sakitku tidak mereda pada akhirnya. Aku semakin diam dan tak bisa lagi menggertakkan gigiku, tetapi lagi-lagi aku bertahan, menunggu, Lalu terpikir olehku, jika Shekure pulang, dia mungkin akan bertemu dengan pembunuhku yang kejam itu. Aku bahkan tak ingin memikirkannya. Tibatiba, kurasakan pembunuhku keluar dari kamar itu. Ia mungkin telah menemukan lukisan terakhir itu. Aku menjadi amat kehausan, tetapi masih menunggu. Datanglah sekarang, anakku sayang, Shekureku yang cantik, tunjukkan dirimu. Dia tidak datang juga, Aku tak lagi punya kekuatan untuk menahan penderitaan ini. Aku tahu aku akan
mati tanpa sempat menjumpainya lebih dulu. Ini terasa amat getir sehingga membuatku ingin mati karena rasa sedihnya. Setelahnya, seraut wajah yang tak pernah kutemui sebelumnya muncul di sebelah kiriku dan terus tersenyum. Dengan ramah ia menawariku segelas air. Melupakan segalanya, dengan rakus aku meraih air itu. Ia menarik gelas itu, “Ejeklah Nabi Muhammad sebagai pembohong,” ujarnya. “Ingkari segala yang ia katakan.” Makhluk itu pastilah Iblis. Aku tak menyahut. Aku bahkan tak takut padanya. Karena aku tak pernah percaya satu kalipun bahwa banyak melukis bisa membuatku tertipu olehnya, aku menunggu dengan penuh percaya diri. Aku memimpikan perjalanan tiada akhir yang menungguku dan masa depanku. Sementara itu, saat aku didekati oleh malaikat bersinar yang tadi kulihat, Iblis pun lenyap. Sebagian diriku tahu bahwa malaikat berkilau yang telah menyebabkan Iblis minggat ini adalah Izrail. Namun, sebagian dari pikiranku yang membangkang teringat bahwa dalam Kitab Penyingkapan tertulis bahwa Izrail adalah malaikat bersayap seribu yang membentang antara Timur dan Barat, dan bahwa ia menggenggam seluruh dunia di tangannya. Saat aku semakin bingung, malaikat bermandi cahaya itu mendekatiku, seakan akan hendak membantuku, dan ya, seperti yang dinyatakan Al-Ghazali dalam Mutiara Keajaiban, ia berkata manis, “Bukalah mulutmu agar jiwamu pergi.” “Hanya doa bism/Hah yang bakal keluar dari mulutku,” sahutku. Bagaimanapun ini hanyalah alasan terakhir. Aku tahu aku tak bisa lagi bertahan lebih lama, karena waktuku telah tiba. Sejenak aku merasa malu karena meninggalkan tubuhku yang buruk dan berlumur darah dalam keadaan menyedihkan seperti ini untuk putriku yang tak akan pernah kujumpai lagi. Namun, aku ingin segera meninggalkan dunia ini, menanggalkannya seperti baju kekecilan yang menjepit tubuh. Aku membuka mulutku dan tibatiba saja segala warna menjadi seperti lukisan perjalanan mikraj Nabi Muhammad saat beliau mengunjungi surga. Semuanya membanjir dalam kemilau indah seakanakan dengan murah hati dilukis dengan sapuan emas. Air mata kesakitan mengalir dari sepasang mataku. Embusan napas tertahan melintas dari paru-paruku ke mulutku. Semuanya terbungkus dalam kesenyapan yang menakjubkan. Kini aku bisa melihat jiwaku meninggalkan tubuhku dan bahwa aku berada di tangan Izrail. Jiwaku, seukuran lebah, bermandikan cahaya dan gemetar saat ia meninggalkan tubuhku dan terus gemetar seperti merkuri di telapak tangan Izrail. Namun, pikiranku tidak tertuju pada hal ini, melainkan pada dunia baru yang asing yang baru saja menjadi tempatku dilahirkan kembali. Setelah melalui penderitaan yang amat berat, ketenangan meliputiku. Kematian ternyata tidak sesakit yang kutakutkan, malah sebaliknya, aku merasa santai, dan dengan cepat menyadari bahwa keadaanku sekarang adalah keadaan yang tetap, sementara itu keterbatasan-keterbatasan yang kurasakan dalam kehidupanku di dunia hanyalah sesuatu yang fana, Inilah yang akan terjadi sejak saat ini, abad demi abad, hingga akhir zaman. Ini tidak membuatku sedih atau senang. Peristiwa peristiwa yang pernah kualami dengan cepat dan terpotong-potong, kini terbentang di ruang tak terhingga dan terjadi secara bersamaan, seperti dalam salah satu lukisan halaman ganda yang besar di mana seorang miniaturis cerdas melukis hal hal tak berkaitan di tiap-tiap sudutnyabegitu banyak hal terjadi secara sekaligus.[]
30 SALJU TURUN begitu lebat, sehingga butirannya terkadang berhasil masuk menembus kerudungku, bahkan sampai ke mataku. Aku memilih berjalan melewati taman yang tertutup rerumputan yang telah membusuk, lumpur dan potongan dahan-ahan pohon, lalu aku mempercepat langkahku begitu aku sudah kembali berada di jalan. Aku tahu kalian semua bertanyatanya mengenai apa yang sedang terlintas di benakku, Seberapa besar aku memercayai Hitam? Izinkan aku berterus terang. Aku sendiri tidak tahu apa yang kupikirkan. Kalian paham, bukan? Aku bingung. Yang aku tahu: Seperti biasa aku terperangkap dalam rutinitas makanan, anakanak, ayahku, dan pesuruh, dan tak lama hatiku akan membisikkan kebenaran padaku, tanpa harus ditanya lagi. Besok, menjelang siang, aku akan tahu siapa yang akan kunikahi. Aku ingin berbagi sesuatu denganmu sebelum aku sampai di rumah. Tidak! Ayo, sudahlah, ini bukan tentang ukuran benda besar menakutkan yang dipamerkan Hitam padaku. Jika kau mau, kita bisa membicarakannya nanti. Yang ingin kuperbincangkan adalah kebimbangan Hitam. Sepertinya ia tidak hanya memikirkan hasrat berahinya saja. Sejujurnya, tidak ada bedanya bagiku sekalipun ia melakukannya. Yang mengejutkanku adalah kebodohan AKU, SHEKURE >/*nya! Menurutku, tidak pernah terbersit di dalam pikirannya bahwa ia bisa membuatku takut dan menjauh, mempermainkan kehormatanku dan melepaskannya, atau membuka pintu bagi hasil akhir yang lebih membahayakan. Aku tahu dari raut wajah polosnya betapa ia mencintai dan mendambakanku. Namun, setelah menunggu selama dua belas tahun, mengapa ia tidak bisa mengikuti aturan main dan menunggu selama dua belas hari lagi saja? Tahukah kau, aku memiliki perasaan terpendam karena aku jatuh cinta pada ketidakberdayaannya dan kemurungannya, serta pandangannya yang seperti anak anak? Terkadang, di saat aku lebih pantas marah padanya, aku malah mengasihaninya. “Oh, anakku yang malang,” sebuah suara di dalam diriku berkata, “kau sudah mengalami siksaan hebat dan masih saja terlihat tak berdaya.” Aku merasa amat melindunginya, sehingga aku mungkin saja membuat kesalahan. Aku bisa saja mengorbankan diri pada anak manja itu. Memikirkan anakanakku yang malang, aku segera mempercepat langkahku. Baru kemudian, dalam kegelapan yang turun lebih awal menyertai hujan salju yang membutakan mata, aku mengkhayalkan sosok seorang hantu lakilaki yang mengejarku. Dengan menundukkan kepala, aku melepaskan diri darinya. Ketika masuk melewati gerbang halaman depan, aku tahu Hayriye dan anakanak belum kembali. Baiklah kalau demikian, aku akan kembali tepat pada waktunya, Azan isya belum berkumandang. Aku menaiki tangga, rumah itu meruapkan aroma selain selai jeruk. Ayahku berada di dalam kamar temaram yang berpintu biru.Kedua tungkai kakiku membeku kedinginan. Aku memasuki kamarku si sisi kanan, disamping tangga, sambil memegangi sebuah lampu, dan ketika aku melihat kamarku terbuka, bantal-bantal berserakan dan seisi kamar porakporanda, aku beranggapan semua itu adalah hasil kenakalan Shevket dan Orhan. Ada sebuah keheningan yang ganjil di rumah itu. Aku mengenakan pakaian rumahku dan duduk sendirian di tengah kegelapan, dan ketika aku membiarkan diri melamun sesaat, benakku menangkap keributan kecil di lantai bawah, tepat di bawahku, bukan dari arah dapur, melainkan dari kamar besar di samping kandang kuda yang biasa digunakan sebagai bengkel kerja ilustrasi di musim panas. Apakah ayahku turun ke tempat itu, dalam cuaca sedingin ini? Aku tidak ingat telah melihat cahaya lampu minyak di sana. Tibatiba saja aku mendengar bunyi derit pintu depan, di antara batu pijakan dan halaman, lalu kudengar suara salak nyaring dan menakutkan anjinganjing liar yang gelisah dan
berkeliaran di luar gerbangaku menjadi waspada. “Hayriye?” panggilku. “Shevket, Orhan Aku merasakan seembus hawa dingin. Tungku batu bara ayahku pasti masih menyala. Aku harus duduk bersamanya dan menghangatkan diri. Saat aku melangkah mendekatinya, sambil mengacungkan lampu minyak tinggitinggi, benakku tidak lagi bersama Hitam, melainkan bersama anakanak. Aku melintasi lorong yang lebar, merasa bimbang apakah aku sebaiknya menyiapkan air mendidih di tungku batu bara di bawah untuk membuat sup ikan. Aku memasuki kamar berpintu biru. Semuanya begitu berantakan. Tanpa berpikir aku baru saja akan berkata, “Apakah yang tadi dilakukan ayahku?” Kemudian aku melihatnya terkapar di lantai. Aku menjerit nyaring, dilanda ketakutan. Lalu aku melengking keras sekali lagi. Seraya menatap tubuh ayahku, aku terdiam. Dengar, aku tahu lewat bibirmu yang terkatup rapat dan reaksi dinginmu bahwa kau sudah mengetahui sejak beberapa saat sebelumnya apa yang terjadi di kamar ini. Jika bukan semuanya, setidaknya kautahu cukup banyak. Yang sedang kaupertanyakan adalah reaksiku atas apa yang kulihat, apa yang kurasakan. Sebagaimana yang terkadang dilakukan para pembaca saat mengamati sebuah gambar, kau sedang berusaha memahami luka sang kesatria dan memikirkan kejadian-kejadian di dalam kisah itu yang mengarah pada peristiwa memilukan ini. Dan kemudian, setelah mempertimbangkan reaksiku, kau akan dengan senang hati berusaha membayangkan, bukan luka hatiku, melainkan apa yang kaurasakan jika berada di tempatku, jika ayahmu terbunuh seperti ini. Aku tahu inilah yang sedang dengan susah payah kaulakukan. Ya, aku pulang di malam itu, menemukan seseorang telah membunuh ayahku. Ya, aku menjambak-jambak rambutku. Ya, seperti yang akan kulakukan di saat aku masih kanakkanak, aku menghambur ke tubuhnya dengan semua kekuatanku dan menciumi kulitnya. Ya, aku gemetar dan sulit bernapas. Ya, aku memohon pada Allah untuk membangkitkannya dan mendudukkannya perlahan di sudut ini, di antara bukubukunya, seperti yang selalu dilakukannya. Bangun, Ayah, bangunlah. Jangan mati. Kepalanya yang berlumuran darah telah dihantam hingga hancur. Lebih dari sekadar kertas-kertas dan bukubuku yang koyakkoyak, lebih dari sekadar meja-meja, peralatan melukis dan wadah-wadah tinta yang dilemparkan dan dirusak, lebih dari sekadar pengrusakan bantalan-bantalan kursi, meja-meja kerja dan papan tulis, dan semua yang porakporanda, bahkan lebih dari sekadar kemarahan yang telah membunuh ayahku, aku takut pada kebencian yang telah meluluhlantakkan ruangan itu dan segala isinya. Aku tidak lagi menangis. Beberapa orang melintas di jalan di luar sana, tertawa dan berbincang di tengah kegelapan, sementara aku juga bisa mendengar kesunyian sejati yang melanda duniaku dalam pikiranku. Dengan kedua tanganku aku menyeka hidungku yang berair dan sungai air mata di pipiku. Selama beberapa waktu aku hanya memikirkan anakanakku dan kehidupan kami. Aku memasang kuping dalam kesenyapan itu. Aku berlari, menarik kedua kaki ayahku, dan menyeretnya ke lorong. Untuk alasan tertentu, ia jadi lebih berat di luar sini, tetapi tanpa memedulikan hal itu, aku mulai menariknya menuruni tangga. Setengah jalan, kekuatanku melemah, dan aku pun terduduk di tengah tangga. Aku tengah dilanda hujan air mata lagi ketika kudengar sebuah suara yang kukira adalah Hayriye dan anakanak yang sudah pulang, Aku memegang kuatkuat tumit ayahku, dan menjepitkannya di ketiakku, aku meneruskan menyeretnya turun, kali ini lebih cepat. Kepala ayahku sudah sedemikian hancur dan tergenangi darah sehingga menimbulkan suara seperti kain pel diperas saat mengenai setiap anak tangga. Di anak tangga terbawah, aku membalikkan tubuhnya yang kini terasa lebih ringan, dan dengan sekuat tenaga aku menyeretnya melintasi lantai batu ke bengkel kerja musim panas. Agar bias melihat di tengah kegelapan ruangan itu,
aku segera melangkah kembali ke tungku di dapur. Ketika aku kembali dengan sebatang lilin, kusaksikan betapa ruangan tempat aku membawa tubuh ayahku telah porakporanda. Aku tercekat membisu. Siapakah yang melakukan ini? Ya, Tuhan, siapakah di antara mereka yang melakukannya? Pikiranku begitu kacau. Aku menutup pintu rapat-rapat, dan kutinggalkan ayahku dalam ruangan yang sudah porak poranda itu. Aku menyambar sebuah ember dari dapur dan mengisinya dengan air dari dalam sumur. Kunaiki tangga, dan dengan diterangi cahaya lampu minyak, segera kubersihkan genangan darah di lorong, di atas anakanak tangga, dan di semua tempat lainnya. Aku kembali naik ke kamarku, membuka pakaianku yang berlumuran darah, dan menggantinya dengan pakaian bersih. Dengan menjinjing ember dan kain pel, aku baru saja akan memasuki kamar berpintu biru itu ketika kudengar gerbang halaman depan terbuka. Azan isya sudah berkumandang. Aku mengumpulkan semua kekuatanku, dan dengan memegang lampu minyak di tanganku, aku menunggu mereka di anak tangga teratas. “Ibu, kami pulang,” kata Orhan. “Hayriye! Dari mana saja kau?” ujarku dengan segenap kekuatanku, tetapi yang terdengar hanya serupa bisikan. “Tapi Ibu, kami tidak berada di luar sampai lewat waktu salat isya …” Shevket membela diri. “Diam! Kakekmu sakit, ia sedang tidur.” “Sakit?” tanya Hayriye dari bawah. Dia tahu bahwa aku sedang marah. “Shekure, kami menunggu Kosta. Setelah ikannya tiba, tanpa membuang waktu lagi kami pergi, lalu aku membeli buah kering dan ceri untuk anakanak.” Aku merasa harus segera turun dan membisiki Hayriye, tetapi aku takut saat aku berjalan ke bawah, lampu minyak yang kubawa akan menerangi anakanak tangga yang basah dan ceceran darah yang mungkin terlewat olehku tadi. Anakanak itu dengan ribut menaiki tangga dan kemudian membuka sepatu mereka. “Ah-ah-ah,” seruku. Sambil menuntun mereka menuju kamar tidur kami aku berkata, “Jangan jalan ke sana, kakek kalian sedang tidur. Jangan masuk ke sana.” “Aku akan masuk ke ruangan berpintu biru agar dekat dengan tungku,” sahut Shevket, “bukan ke kamar kakek.” “Kakek kalian ketiduran di kamar itu,” bisikku. Kuperhatikan betapa mereka raguragu sesaat. “Ayo kita pastikan agar jin jahat yang merasuki kakek kalian dan membuatnya sakit, tidak akan merasuki kalian juga,” ujarku. “Pergilah ke kamar kalian, sekarang.” Aku menuntun tangan keduanya dan memasukkan mereka ke dalam kamar tempat kami tidur bersama di dalamnya. “Sekarang ceritakan padaku, apa yang kalian lakukan di jalanan di saat seperti ini?” “Kami melihat beberapa pengemis berkulit hitam,” jawab Shevket. “Di mana?” tanyaku. “Apakah mereka membawa bendera?” “Saat kami mendaki sisi bukit. Mereka memberikan sebutir limau kepada Hayriye. Hayriye memberi mereka uang. Mereka berselimut salju.” “Apa lagi?” “Mereka menembakkan anak panah ke sebuah sasaran di lapangan.” “Di tengah hujan salju begini?” tanyaku. “Ibu, aku kedinginan,” potong Shevket. “Aku akan masuk ke kamar berpintu biru.” “Kalian tidak akan meninggalkan kamar ini,” tegasku. “Kalau tidak kalian akan mati. Aku akan membawakan tungku batu baranya.” “Mengapa ibu berkata kami akan mati?” tanya Shevket. “Aku akan menceritakan sesuatu pada kalian,” ujarku, “tetapi kalian tidak boleh memberi tahu orang lain, paham?” Mereka pun bersumpah tidak akan membocorkannya. “Ketika kalian sedang keluar rumah, seorang lelaki berkulit putih yang mati dan kehilangan
warnanya telah datang dari negeri yang amat jauh dan berbicara pada kakek kalian. Ternyata ia adalah sesosok jin.” Mereka bertanya padaku dari mana asal muasal jin tersebut. “Dari seberang sungai,” jawabku. “Dari tempat ayah kami berada?” tanya Shevket. “Ya, dari sana,” jawabku. “Jin dating untuk melihat gambargambar di dalam buku kakek kalian. Mereka berkata bahwa seorang pendosa yang melihat gambargambar itu akan langsung mati.” Sejenak hening. “Dengarkan, aku akan turun ke bawah dengan Hayriye,” ujarku. “Aku akan membawa tungku batu bara itu kemari, juga baki makan malam kalian. Jangan meninggalkan kamar ini atau kalian akan mati. Jin itu masih ada di rumah ini.” “Ibu, jangan pergi,” rengek Orhan. Aku memberi petunjuk pada Shevket. “Kau akan bertanggung jawab atas adikmu,” tegasku. “Jika kau meninggalkan ruangan ini dan jin itu tidak menangkapmu, aku yang akan membunuhmu.” Aku menunjukkan raut wajah menakutkan yang biasa kuperlihatkan sebelum aku menampar mereka. “Sekarang, berdoalah agar kakekmu yang sedang sakit itu tidak mati. Jika kalian bersikap baik, Tuhan akan mengabulkan doa kalian dan tidak akan ada seorang pun yang bisa mencelakai kalian.” Tanpa berpikir terlalu lama, mereka mulai berdoa. Aku pun turun ke lantai bawah. “Seseorang telah menjatuhkan bejana selai jeruk,” lapor Hayriye. “Mustahil kucing yang melakukannya, kucing tidak cukup kuat. Anjing tidak mungkin bisa masuk kerumah ini….” Tibatiba dia melihat kengerian di wajahku dan terhenti, “Ada apakahsebenarnya?“tanyanya. “Apa yang terjadi? Adakahsesuatu terjadi padaayahmu tercinta?” “Ia tewas.” Dia tersentak dan menjerit. Pisau dan bawang yang dipegangnya jatuh dari tangannya dan menimpa talenan dengan sedemikian kuat, menghunjam pada ikan yang sedang disiapkannya. Dia menjerit lagi, Kami berdua menyaksikan betapa darah mengucur dari tangan kirinya; bukan dari ikan, melainkan dari telunjuk kirinya yang tak sengaja tergores pisau. Aku berlari naik, dan seperti yang selalu terjadi setiap kali aku mencari secarik kain muslin di ruangan yang berseberangan dengan kamar tempat anakanakku berada, aku mendengar keributan dan teriakanteriakan mereka. Sambil menggenggam helaian kain yang sudah kusobek, aku memasuki\ kamar dan menemukan Shevket naik ke atas tubuh adiknya, menahan bahu Orhan dengan kedua lututnya. Ia sedang membuat adiknya tercekik. “Apa yang sedang kalian lakukan!” bentakku sekuatkuatnya. “Orhan akan meninggalkan kamar ini,” sahut Shevket. “Bohong,” tukas Orhan. “Shevket membuka pintu dan kukatakan padanya agar jangan keluar.” Ia mulai terisak. “Kalau kalian tidak duduk tenang di sini, aku akan membunuh kalian berdua.” “Ibu, jangan pergi,” rengek Orhan. Di lantai bawah aku membalut jari Hayriye untuk menghentikan pendarahannya. Ketika kukatakan padanya bahwa ayah ku tidak meninggal secara wajar, dia tampak ketakutan dan memanjatkan doa memohon pertolongan dan perlindungan Allah. Dia memandangi jarinya yang terluka dan mulai menangis. Apakah kasih sayangnya pada ayahku cukup besar untuk menimbulkan tangisan seperti itu? Dia ingin naik ke lantai atas dan melihatnya. “Ia tidak ada di atas,” ujarku, “Ia ada di kamar belakang.”
Dia menyorotkan pandangan curiga ke arahku. Namun, ketika ia sadar aku tak mampu memandangi lagi mayat ayahku, dia jadi terlihat penasaran. Dia menyambar lampu dan berlalu. Hayriye melangkah sejauh empat atau lima langkah melintasi pintu dapur tempat aku sedang berdiri, dan perlahanlahan dia mendorong pintu kamar itu. Dengan diterangi cahaya lampu yang dipegangnya, dia melongok ke dalam. Awalnya dia tak mampu melihat mayat ayahku, lalu diacungkannya lampu itu lebih tinggi, mencoba menerangi sudutsudut ruangan segi empat yang luas itu. “Aaah!” jeritnya. Dia menangkap bayangan jenazah ayahku di tempat ia kutinggalkan di samping pintu. Dengan tubuh mematung, dia menatapnya. Bayangan yang dilihatnya sepanjang lantai itu masih saja membeku. Saat ia memandanginya, aku membayangkan apa yang sedang disaksikannya. Ketika dia kembali, dia tidak menangis lagi, Aku merasa lega melihat dia masih mampu mengendalikan diri. Dia cukup kuat untuk menerima apa yang akan kukatakan padanya. “Kini, dengarkan aku Hayriye,” pintaku. Saat aku berbicara, aku mengayun-ayunkan pisau ikan yang tampaknya telah kuambil tanpa sadar. “Lantai atas juga telah hancur berantakan. Iblis terkutuk itu telah menghancurkan semuanya. Di sanalah tempat ia meremukkan wajah dan tengkorak ayahku. Di sanalah ia membunuh ayahku. Aku membawa tubuhnya ke bawah agar anakanak tidak melihatnya, dan agar aku masih sempat mem beritahumu, Setelah kalian bertiga pergi, tadi aku juga pergi keluar. Ayah berada di rumah sendirian.” “Aku tidak tahu itu,” dia berkata dengan ketus. “Di mana kau saat itu?” Aku ingin dia memerhatikan baik keheninganku. Lalu aku berkata, “Aku bersama Hitam. Aku bertemu dengan Hitam di rumah orang Yahudi yang digantung. Namun, kau tidak boleh mengatakan hal ini pada siapa pun. Untuk saat ini, kau juga tidak akan mengatakan pada siapa pun bahwa ayahku telah terbunuh.” “Siapa yang telah membunuhnya?” Apakah dia benarbenar tolol atau dia sedang berusaha menyudutkanku? “Jika aku tahu, aku tidak akan menyembunyikan kenyataan bahwa ia telah tiada,” sahutku. “Aku tidak tahu. Apakah kautahu?” “Bagaimana aku bisa tahu?” sahutnya. “Apa yang akan kita lakukan sekarang?” “Kau akan bersikap seakanakan tak terjadi apa-apa,” perintahku. Aku merasakan desakan kuat di dalam dadaku untuk menangis. Aku menangis tersedu-sedu, tetapi kemudian aku berhasil mengendalikan diri. Kami berdua diam. Beberapa lama kemudian, aku berkata, “Lupakan sup ikan saat ini, siapkan makanan untuk anakanak.” Dia tampak terpukul dan mulai menangis, aku lalu merengkuhnya, Kami saling berpelukan erat. Aku merasa mencintainya saat itu. Sejenak aku merasa iba, tidakhanya pada diriku dan anakanak, tetapi juga pada kami semua. Namun, saat kami berpelukan seperti itu sekalipun, setitik keraguan masih saja menggelitik— ku.Kautahu di mana aku berada saat ayahku terbunuh. Rencanaku selanjutnya adalah membawa Hayriye dan anakanak keluar dari rumah ini. Kautahu bahwa meninggalkan ayahku sendirian di rumah adalah sebuah kebetulan yang tak terduga sama sekali … tetapi apakah Hayriye tahu? Apakah dia memahami apa yang sudah kujelaskan padanya? Ya, dia akan cepat mengerti dan kemudian kecurigaannya tumbuh. Aku memeluknya lebih erat lagi, tapi aku tahu dalam benaknya dia akan menyimpulkan bahwa aku melakukan ini untuk menutupi ratapanku, dan tak lama aku merasa seolaholah aku telah menipunya. Sementara ayahku dibunuh di tempat ini, aku asyik masyuk bersama Hitam. Kalau saja hanya Hayriye yang mengetahuinya, aku tidak akan merasa sebersalah ini, tetapi menurutku kau juga akan mempermasalahkannya. Jadi, akuilah, kau percaya aku menyembunyikan sesuatu. Duh,
perempuan yang malang! Akankah nasibku menjadi lebih buruk lagi? Aku mulai menangis, lalu Hayriye pun menangis, dan kami berpelukan lagi. Aku berpurapura memuaskan rasa laparku di atas meja makan yang kami tata di lantai atas. Dari waktu ke waktu, dengan alasan “memeriksa keadaan kakek”, aku akan masuk ke kamar lainnya dan menangis habis-habisan. Lalu, karena anakanak ketakutan dan merasa sedih, mereka tidur saling berangkulan di sampingku di atas ranjang. Selama beberapa saat mereka tidak mampu memejamkan mata karena takut jin, dan saat mereka menepukkan telapak tangan satu sama lain dan berbalik arah, mereka masih saja bertanya, “Aku mendengar suarasuara aneh, apakah kau mendengarnya?” Untuk meninabobokan mereka, aku berjanji akan menceritakan pada mereka sebuah dongeng cinta. Kau tentu tahu bagaimana katakata bisamelayang-layang di dalam gelap, “Ibu tidak akan menikah, bukan?” tanya Shevket. “Dengarkan Ibu,” ujarku. “Ada seorang pangeran dari sebuah tempat yang sangat jauh yang jatuh cinta pada seorang dara cantik jelita. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Akan kuceritakan pada kalian. Sebelum melihat si dara jelita, ia pernah melihat lukisannya, begitulah ceritanya.” Seperti yang biasa kulakukan jika sedang sedih dan gelisah, aku bercerita bukan dari ingatanku, melainkan mengarang sendiri sesuai dengan yang kurasakan saat itu. Karena aku mewarnainya dengan paletku sendiri yang berasal dari kenangan dan kecemasan-kecemasanku, maka kisah yang kuceritakan itu akan menjadi ilustrasi muram yang menyertai semua hal yang telah menimpaku. Setelah kedua anak itu terlelap, aku meninggalkan ranjang yang hangat, dan bersama Hayriye, kubersihkan apa yang sudah diporakporandakan iblis jahanam itu. Kami memunguti serpihan peti, bukubuku, pakaian, cangkir keramik, barang tembikar, piring-piring dan wadah-wadah tinta, yang tampaknya terlempar ke segala penjuru dan berserakan. Kami mengeluarkan sebuah meja kerja lipat yang sudah patah, kotak-kotak cat dan kertas yang sudah dikoyak-koyak oleh amukan kebencian, dan sementara kami melakukan semua itu, salah satu dari kami, sesekali akan terhenti dan menangis. Kami seakanakan merasa lebih hancur oleh porak porandanya kamar-kamar itu beserta perabotannya, juga kekejian yang dilakukan atas kehidupan pribadi kami, daripada karena kematian ayahku. Aku bias mengatakan itu dari pengalamanku sendiri, orangorang malang yang kehilangan orang yang mereka cintai akan merasa tenang dengan kehadiran bendabenda di dalam rumah yang tak berubah. Mereka dihanyutkan oleh kesamaan tirai, selimut dan cahaya matahari yang masuk, yang membuat mereka melupakan kenyataan bahwa Izrail telah merenggut kekasih atau anggota keluarga mereka. Rumah yang dirawat dan dijaga ayahku dengan penuh kesabaran dan cinta, yang setiap sudut dan pintunya telah ia dekorasi dengan susah payah, diluluhlantakkan tanpa ampun. Dan itu membuat kami tidak hanya kehilangan kenangan atas kenyamanan dan kesenangan, tetapi juga mengingatkan kami pada jiwa terkutuk penjahat telengas yang membuat kami juga merasa takut padanya. Contohnya, ketika aku bersikukuh turun ke lantai bawah, mengambil air segar dari sumur untuk berwudu dan mengaji surah “Ali Imran”yang amat disukai oleh almarhum ayahku tersayang, karena menceritakan harapan dan kematiandari Alquran yang paling dibanggakannya karena dijilid di Herat, kami terombang-ambing dalam kengerian ini dan sontak waspada saat kami mendengar suara gerbang halaman yang berderit. Tak ada apa-apa. Namun, setelah kami memeriksa gerendelnya yang masih terkunci dan membarikade gerbang itu dengan menyatukan kekuatan kami berdua, dan memindahkan pot-pot pohon kemangi yang biasa disirami ayahku setiap pagi di musim semi dengan air segar yang ditimbanya dari sumur, kami lalu masuk lagi ke dalam rumah di tengah malam bisu, dan tibatiba saja, kami merasa bahwa bayangbayang tubuh kami yang dipanjangkan oleh cahaya lampu minyak tampak seperti bayangan orang lain. Yang paling menakutkan adalah kengerian yang melanda kami seperti tindak pengabdian yang dilakukan dalam diam, ketika kami membasuh wajah ayahku yang berlumuran darah dengan
hikmat dan mengganti pakaiannya agar aku bias menipu diri untuk tidak percaya bahwa ayahku sudah tewas, “Genggamkan lengan bajunya dari bawah tubuhnya,” bisik Hayriye padaku. Ketika kami membuka pakaiannya yang bernoda darah dan pakaian dalamnya, yang membuat kami tercengang bercampur kagum adalah warna putih yang masih tampak hidup dari kulit ayahku yang diterangi cahaya lilin. Karena masih banyak hal lain yang lebih mematikan yang membuat kami takut, tak seorang pun di antara kami yang merasa malu melihat tubuh telanjang ayahkutubuh kaku dipenuhi luka menganga di antara bintik-bintik hitam. Saat Hayriye naik lagi ke lantai atas untuk mengambil pakaian dalam ayah yang bersih dan kemeja sutra hijaunya, aku tak mampu mengendalikan diri. Aku memandang bagian bawah ayahku dan seketika aku merasa malu dengan perbuatanku. Setelah kami mendandani ayahku dengan pakaian bersih dan dengan hatihati membersihkan darah di leher, wajah, dan rambutnya, aku lalu memeluknya dengan sepenuh hati dan menenggelamkan hidungku di janggutnya. Kuhirup bau tubuhnya dan menangis lama sekali. Bagi mereka yang menuduhku tidak berperasaan, atau bahkan menuduhku bersalah, biar kukatakan dua kali kejadian ketika aku menangis lagi: 1. Ketika aku sedang merapikan kamar di lantai atas agar anakanak tidak mengetahui apa yang terjadi, dan menempelkan cangkang kerang yang biasa digunakan ayahku sebagai pengilap kertas ke telingaku seperti yang selalu kulakukan saat masih kanakkanak untuk mencoba mendengar suara laut yang menghilang. 2. Ketika aku melihat bantal beludru merah yang sering diduduki ayahku selama dua belas tahun terakhirbegitu seringnya ia gunakan hingga sudah menjadi bagian dari bokongnyatelah terkoyak. Ketika semua yang ada di rumah itu dikembalikan lagi ke tempatnya, kecuali kerusakan yang sudah tak bisa diperbaiki, dengan tegas kutolak permintaan Hayriye untuk membentangkan kasur gulungnya di kamar kami. “Aku tidak ingin anakanak menjadi curiga besok pagi,” jelasku padanya. Namun, sesungguhnya aku sangat ingin ditinggalkan hanya bersama anakanakku, tidur untuk waktu yang amat lama. Bukan karena aku didera rasa ngeri atas apa yang telah terjadi, melainkan karena aku memikirkan bendabenda yang mungkin belum tersimpan kembali dengan baik.[] Bab 31
AKU ADALAH MERAH –— pjf=^ AKU MUNCUL di Ghazni ketika penyair Kitab Para * ‘ ; Raja, Firdausi, menyelesaikan baris terakhir sebuah V i-f puisi kwatrain dengan rima yang paling rumit, yang HjgEi terbaik di antara para penyair istana Shah Mahmud, yang mengolok-oloknya sebagai seseorang yang tak lebih dari seorang petani. Aku ada di tempat penyimpanan anak anak panah milik tokoh dalam Kitab Para Raja, Rustem, ketika ia mengelana demi mencari kuda jantannya. Aku menjadi darah yang muncrat saat ia membelah monster jahat menjadi dua bagian dengan pedangnya yang menakjubkan. Aku juga ada di lipatan kain penutup ranjang saat Rustem bercinta gila-gilaan di atasnya dengan putri rupawan seorang raja yang menerimanya sebagai tamu. Sesungguhnya dan sejujurnya, aku sudah pernah berada di mana saja. Aku muncul saat Tur mengkhianati Iraj dengan memenggal kepala saudaranya itu. Aku ada saat pasukan pasukan legendaris, dengan sangat spektakuler bagaikan sebuah mimpi, saling berhadapan stepa-stepa, dan aku pun ada saat darah segar Iskandar berkilauan di hidungnya yang indah, setelah ia tersengat sinar matahari terik. Ya, Shah Behram Gur menghabiskan setiap malam dalam seminggu dengan perempuan cantik yang berlainan di bawah kubahkubah beraneka warna dari
negerinegeri yang jauh, mendengarkan kisahkisah yang diceritakan perempuan itu, dan aku ada di permukaan pakaian yang dikenakan perawan memesona yang dikunjunginya pada suatu Selasa, yang lukisan dirinya telah membuat Shah Behram Gur jatuh cinta, seperti saat aku muncul dari mahkota hingga ke jubah Hiisrev yang jatuh cinta pada lukisan diri Shirin. Terus terang, aku juga terlihat di panji panji perang musuh musuh yang mengepung benteng, di atas taplak meja yang menutupi meja-meja hidangan pesta, di atas kain beludru para duta besar yang menciumi kaki sultan, dan di mana pun pedang yang legendanya disukai oleh anakanak dilukiskan. Ya, seorang murid yang matanya berbentuk seperti buah almond, mengoleskanku dengan menggunakan kuas yang elok ke atas kertas tebal dari Hindustan dan Bukhara. Aku menghiasi karpetkarpet Ushak, hiasan dinding, jengger ayam-ayam jantan yang sedang bertarung, buah-buah delima, buah-buahan dari negerinegeri dongeng, mulut Setan, garis halus yang digariskan di dalam pembatas gambar, bordiran lengkung di tenda-tenda, bebungaan yang nyaris tak terlihat jelas oleh mata telanjang yang dibuat hanya untuk kesenangan pribadi sang seniman, baju baju yang digunakan oleh para perempuan menawan yang menjulurkan lehernya untuk melihat ke jalanan dari balik daun jendela yang terbuka, mata boneka burung sewarna buah ceri asam yang terbuat dari gulali, stoking-stoking yang digunakan para gembala, semburat fajar yang diceritakan dalam legenda-legenda, tumpukan mayat, ribuan orang yang terluka, puluhan ribu pasang kekasih, kesatria, dan shah. Aku senang sekali terlibat dalam adegan peperangan, di mana darah bermekaran seperti bunga candu; muncul pada jubah para penyair yang sedang mendengarkan musik di pinggiran desa, saat anakanak lelaki tampan dan para penyair minum anggur; aku senang menghiasi sayap-sayap malaikat, bibir para perawan, lukaluka yang mematikan di tubuh mayat dan kepala-kepala yang terpenggal dengan rongga mata yang digenangi darah. Aku mendengar pertanyaan di permukaan bibirmu: bagaimana rasanya menjadi sebuah warna? Warna adalah sentuhan mata, musik bagi mereka yang tuli, sepatah kata yang dilahirkan kegelapan. Karena aku telah mendengarkan jiwa-jiwa berbisikbagai bisikan angin sepoi-sepoidari buku ke buku, dari satu benda ke benda lain selama puluhan ribu tahun, maka izinkan aku mengatakan bahwa sentuhanku menyerupai sentuhan para bidadari. Sebagian dari diriku yang serius, hadir memenuhi kebutuhan penglihatanmu, sementara sebagian lainnya yang lebih ceria, mengawang-awang di udara bersama pandangan matamu. Betapa beruntungnya aku menjadi warna merah! Aku begitu bergelora. Aku amat kuat. Aku tahu orang memerhatikan aku dan bahwa aku tidak bisa ditolak. Aku tidak menutup diri sama sekali: Bagiku, kelembutan mewujud dengan sendirinya bukan dari kelemahan atau kehalusan, melainkan melalui kesungguhan dan kemauan. Jadi, aku menarik perhatian pada diriku sendiri. Aku tidak takut pada warnawarna lainnya, bayangan, kerumunan, bahkan kesepian sekalipun. Betapa menyenangkannya bisa menutupi permukaan sesuatu yang telah menantiku, dengan keberadaanku yang gilang gemilang! Di mana pun aku menyebar, aku melihat mata yang bersinar, kegairahan yang menguar, alis alis yang terangkat, dan detak-detak jantung yang berpacu. Lihatlah, betapa indahnya hidup! Lihatlah, betapa hebatnya bisa melihat. Camkan: Hidup adalah menyaksikan. Aku ada di mana-mana. Kehidupan dimulai denganku dan kembali padaku. Yakinilah apa yang kukatakan padamu. Diam dan dengarkan betapa aku berkembang menjadi sebuah warna merah yang luar biasa. Seorang empu miniaturis, seorang ahli dalam seni lukis, dengan sekuat tenaga menumbuk kumbang merah kering dari daerah bersuhu terpanas di Hindustan, menjadikannya bubuk warna yang halus, menggunakan alu dan lumpang miliknya. Ia menyiapkan lima drahmať bubuk warna merah, satu drahma soapwortť dan satu drahma lotor. Ia merebus soapwort di dalam sebuah kendi berisi tiga okka air. Kamudian, ia mencampurkan lotor ke dalam air hingga larut. Ia membiarkan campuran itu
mendidih saat ia menikmati secangkir kopi yang nikmat. Saat ia menikmati kopinya, aku menjadi tidak sabar, seperti seorang anak yang akan dilahirkan. Kopinya sudah menjernihkan benak si empu, dan memberinya mata bagaikan sesosok jin. Ia menaburkan bubuk merah itu ke dalam belanga dan dengan cermat mengaduk campuran baru tersebut dengan sebatang tongkat bersih berukuran cukup besar yang memang disiapkan untuk keperluan ini. Aku sudah siap menjadi warna merah yang murni, tetapi kekentalanku sangat penting: cairan itu tidak boleh dibiarkan mendidih hingga menyusut. Ia mengangkat ujung tongkat pengaduk dan menempelkannya ke kuku jempolnya (jemari lainnya sama sekali tidak bisa diterima untuk hal ini). Oh, betapa hebatnya menjadi warna *Satuan ukuran yang digunakan orang Yunani kuno. **Tanaman dengan bunga berwarna merah muda atau putih, di masa lampau daunnya digunakan orang untuk membuat campuran sabun. merah! Dengan anggun aku mewarnai kuku jempol itu, tanpa meluber di sisi-sisinya seperti air. Singkatnya, kekentalanku sudah tepat, tetapi aku masih mengandung ampas. Ia mengangkat belanga itu dari atas tungku dan menyaringku dengan selembar kain tenun yang biasa digunakan untuk membungkus keju untuk lebih memurnikanku, Lalu, ia memanaskanku lagi, mendidihkanku hingga berbusa dua kali lagi. Setelah menambahkan sejumput tawas ke dalamku, ia membiarkanku menjadi dingin. Beberapa hari berlalu dan aku duduk tenang di dalam panic itu. Dengan bersiaga untuk dipulaskan ke halamanhalaman kertas, atau dicoretkan di mana-mana dan di atas apa pun, duduk diam seperti itu membuatku patah hati dan terpuruk. Selama masa diam inilah aku bermeditasi memikirkan apa maknanya menjadi warna merah. Suatu kali, di sebuah kota di Persia, saat aku sedang dioleskan dengan kuas seorang muris magang ke atas bordiran pada kain pelapis pelana seekor kuda yang digambar seorang miniaturis buta dengan sepenuh hati, aku mencuri dengar dua empu buta yang sedang berdebat: “Karena kita telah menghabiskan hidup kita dengan penuh semangat dan keyakinan untuk bekerja sebagai seorang pelukis, sewajarnya kita yang kini menjadi buta ini mengetahui tentang merah, serta mengingat warna seperti apa dan mewakili perasaan macam apakah merah itu,” ujar yang membuat lukisan kuda berdasarkan ingatannya. “Namun, bagaimana jika kita memang terlahir buta? Bagaimana kita akan mampu memahami merah yang digunakan oleh murid kita yang tampan ini?” “Sebuah persoalan menarik,” sahut yang lainnya. “Tetapi, jangan lupa bahwa warna bukanlah diketahui, melainkan dirasakan.” “Ah, cobalah jelaskan warna merah pada seseorang yang tak pernah mengetahui warna merah.” “Jika kita menyentuhnya dengan ujung jari kita, akan terasa seperti sesuatu antara besi dan tembaga. Jika kita meneteskannya ke dalam telapak tangan kita, warna itu akan membakar. Jika kita menjilatnya, akan terasa sangat gurih, seperti daging yang digarami. Jika kita menempelkannya di antara bibir kita, rasanya akan memenuhi rongga mulut kita. Jika kita membauinya, aromanya seperti seekor kuda. Merah itu laksana sekuntum bunga, dengan wangi seharum bunga aster, bukan sekuntum mawar merah.” Seratus sepuluh tahun lalu, kemahiran seniman Venesia belum cukup mengancam sehingga para penguasa kita tidak merasa perlu bersusah payah menyiasatinya, dan para empu legendaries memercayai metode pribadi mereka dengan amat teguh seperti kepercayaan mereka kepada Allah. Oleh karenanya, mereka me nganggap metode Venesia dalam menggunakan beraneka jenis warna merah untuk melukiskan luka tebasan pedang, bahkan untuk pakaian berduka, sebagai suatu penistaan dan kekasaran yang tak layak ditertawakan. Hanya miniaturis yang lemah dan meragu akan menggunakan beraneka jenis warna merah untuk menggambarkan merahnya jubah, kata merekabayangan bukanlah alasan. Lagi pula, kami hanya meyakini satu jenis
warna merah. “Apa artinya merah?” miniaturis buta yang menggambar kuda dari ingatannya itu bertanya lagi. “Arti sebuah warna adalah apa yang ada di depan kita dan kita lihat,” sahut yang satunya. “Merah tidak bisa diterangkan pada yang tidak bisa melihatnya.” “Untuk menyangkal keberadaan Tuhan, korban-korban Iblis memelihara keyakinan bahwa Tuhan tidak bisa dilihat oleh mata kita,” ujar miniaturis buta yang menggambar kuda itu. “Namun, Tuhan muncul pada mereka yang bisa melihatnya,” ujar empu lainnya. “Karen