1
In The Name Of Allah The Most Mercious The Most Merciful 2
3
Cerita Kita Penulis : Didew Bahagia Penyunting : Yovie Kyu Penyelaras Akhir : Vee Pendesain Sampul : Budionotri Diterbitkan pertama kali oleh : Kyu Digital Books Q-Writing Consulting Kadumulya No.35 Cihanjuang Kabupaten Bandung Barat 40559 Semesta No +62 857 2356 8011 Email :
[email protected] Cetakan pertama, Juni 2016 ---------------------------Hak Cipta dilindung Undang-Undang
1
L
epas dari bangku Sekolah Dasar, aku mulai mencari arti persahabatan yang sebenarnya. Bermain bersama, tertawa dan menjalani kehidupan bersama-sama. Paling tidak, melewati waktu lebih banyak ketika
orientasi terpenting dalam hidup adalah mengisinya dengan aktivitas bermanfaat di sekolah. Seragam biru putih, aku kenakan untuk pertama kalinya. Saat pengibaran upacara tujuh belas agustus, hari kemerdekaan Indonesia. Dibarisan paling depan aku biasanya diposisikan. Tempat untuk orang-orang yang bertubuh agak tinggi, seperti aku. Teman-teman
yang
lain
masih
menguncir
rambutnya
dua
dengan
menggunakan pita merah putih. Kecuali aku dan beberapa gelintir orang lainnya, kami menggunakan bando kepala berwarna merah putih. Model rambut salah potong menyebabkan aku meminta mamaku untuk menghabiskan sisa potongan lainnya. Sehingga, rambutku tampak seperti lelaki. Memalukan, tapi lebih memalukan lagi bila salah gaya. Sungguh, setelah saat itu aku tidak mau ke salon lagi dalam hidupku. “Aku Dian,” Sahut perempuan yang bertubuh lebih pendek dariku, sambil menjulurkan tangannya. Mengajakku bersalaman. Aku hampir saja kaget, aku pikir aku satu bulan menjalani masa orientasi selalu berada di barisan paling depan, ternyata hari ini ada yang berdiri di depanku.
2
“Oh ya, aku Dinda,” balasku sambil mengguncang genggaman tangan temanku itu naik turun. Aku tersenyum, sambil agak heran, “Murid baru ya Dian?” tanyaku spontan. “Oh, enggak. Aku kemarin salah masuk kelas. Aku di kelas 1-5 selama orientasi. Seharusnya aku di kelas 1-6, sama kamu kan? Aku sudah tanya sama Pak Je Be Tremino. Aku sekarang sekelas sama kamu din!” paparnya menjelaskan. Perkenalan singkat itu hampir menjadi percakapan yang tidak berarti. Selanjutnya, aku penuhi benakku dengan sebanyak-banyaknya ide tentang pergaulan yang luas dengan sebanyak-banyaknya teman. Selanjutnya, aku ingin memasuki ekstrakurikuler yang menyenangkan, sesuai dengan jiwaku.
3
Aku tertarik mengikuti PMR, singkatan dari Palang Merah Remaja. Aku melihat di organisasi ini kita bisa terlibat aktif serta membantu orang lain. Minimal aku dapat membantu diriku sendiri yang seringkali sakit-sakitan sedari aku lahir. Selanjutnya aku ikuti Paduan Suara. Mungkin ini salah satu caraku untuk mengembangkan bakatku. Biasanya orangtuaku menyuruku untuk mengikuti kontes menyanyi atau lomba karoke di event-event tertentu. Siapa tahu, ini adalah salah satu langkah kecil untuk langkah besarku suatu hari nanti. Selanjutnya Basket. Aku berharap tubuhku yang belum tinggi ini akan menjadi tinggi
seperti
ayahku setelah aku berlatih Basket.
Namun,
kertas
pendaftaranku aku urung daftarkan. Setelah kejadian siang tadi, Hanif si pembuat onar di kelas meledekku. Dia katakan badanku yang tidak tinggi tidak pantas untuk menjadi anggota club Basket. Sakit hati sih, tapi aku sudah berjanji pada diriku sendiri. Bahwa apapun yang terjadi aku akan menjadi orang baik. Aku akan mengalah serta berusaha menjadi seseorang yang belajar untuk menjadi dewasa. Walaupun, orang yang mengejekku tubuhnya nyaris sama pendeknya denganku.
..aku sudah berjanji pada diriku sendiri. Bahwa apapun yang terjadi aku akan menjadi orang baik
4
Hari
Minggu,
tepatnya
rutinitas
latihan
PMR
dilaksanakan.
Sangat
menyenangkan bukan hanya teman sekelas yang aku kenal. Banyak teman baru yang aku kenal. Serta, pembinaan tim sangat terasa sekali. Membuatku lebih bersemangat berangkat ke sekolah. Sesi perkenalan berlalu, rupanya ada teman sekelasku yang juga mengikuti organisasi PMR serupa. Diantaranya, Danila, Citra, Chika, Irma, Ratih, Nita dan Dian. Anak pendek berkacamata besar dan bulat serta tebal itu ternyata aku temui lagi. Rambutnya panjang, dikepang agak sedikit kumal, cukup khas membuat ia menjadi sorotan perhatian. Namun, tidak menyita perhatianku. Aku tetap fokus pada seluruh temanku. Diantara teman-temanku, aku paling suka diajak duduk sebangku. Terkadang kami bertukar pasangan. Beberapa teman yang ingin sekali sebangku denganku biasanya berbaik hati dengan memberiku jajanan atau hal baik lainnya. Entahlah, mengapa mereka ingin sebangku denganku. Aku bukan orang yang pilih-pilih. Hanya saja, aku tidak pernah menolak jika ada yang meminta diantar kesuatu tempat olehku. Juga, aku selalu senang mendengarkan pembicaraan teman-temanku yang berbeda-beda latar belakangnya. Salah satu teman yang terobsesi ingin duduk sebangku dengan aku adalah Nita. Ia perempuan cantik dengan tinggi tidak terlalu jauh dariku, berambut panjang.
Selalu senang dipuji, serta membicarakan laki-laki adalah
kesukaannya. Sama seperti beberapa temanku lainnya.
5
Sebenarnya kalau boleh memilih, aku suka dengan Puri. Dia itu senang sekali berbicara, dan omongannya itu tidak selalu tentang Indonesia, karena ayahnya pernah mengajaknya ke Jerman juga Belanda. Namun, ia duduk dengan teman yang berpengalaman sekolah dasar di luar negeri sama dengannya. Namanya Sari, orangtuanya adalah rekan kantor orangtua Puri. Pantas saja mereka langsung akrab. Hari ini Nita sakit. Sehingga aku tidak duduk bersama teman yang lainnya. Aku melihat Puri, sesekali datang ke mejanya untuk berbincang. Namun, tak aku utarakan untuk sesekali duduk sebangku dengannya. Boleh jadi itu hanya keinginanku, sebenarnya tak masalah sebangku dengan siapa saja bagiku. Kecuali seseorang yang dikucilkan di kelas ini, Dian. Dian pagi ini melihatku duduk sendiri, lalu ia menghampiri tempat dudukku. Ia memohon agar dapat duduk bersamaku hari ini. Hampir saja aku mengabaikannya. Namun, aku ingat bahwa di bangku SMP ini aku ingin menjadi seseorang yang dewasa. Sehingga, tidak baik bersikap seperti itu. Dian mengajakku bercerita apapun agar membuatku terkesan. Aku hanya tersenyum, tidak terlalu mendekatinya. Sesekali aku meninggalkannya sendiri di mejaku. Beberapa hari yang lalu, tersebar kabar bahwa kita sekelas tidak boleh mendekatinya, dia menjadi seseorang yang cukup aneh untuk ditemani. Aku hanya takut terbawa suasana kelas dan juga terkucilkan.
6
“Kamu boleh duduk denganku, tapi jangan terlalu dekat-dekat yaa...” bisikku pelan. Aku tidak mau teman-teman sekelas menuduhku bersekongkol lalu aku ikut dikucilkan. Itu akan membuat hari-hariku kelabu bersekolah di tempat ini. Begitulah aku sekolah di tempat banyak anak orang kaya dan berstatus. Sehingga aku berusaha keras untuk menyesuaikan. Namun, seiring aku mengikuti organisasi PMR dengan cukup rutin. Aku menghilangkan ketakutanku itu. Prinsip Kebersamaan, meyakinkan aku untuk mengabaikan perasaan yang muncul akibat kesenjangan sosial diantara teman-teman sekelasku. Dengan amunisi cuek yang cukup banyak. Akhirnya, aku mampu bersosialisasi dengan siapa saja cukup baik. Aku tidak kesulitan menerima kehadiran Dian apa adanya, yang kemudian menjadi temanku untuk pulang sekolah bersama. Untuk tahun-tahun berikutnya. Selanjutnya, di tahun pertama saat-saat remaja kita. Aku banyak mendengar teman-temanku, juga Dian menceritakan tentang laki-laki saat itu, disebut kecengan. Aku pun memiliki lelaki idaman seperti itu, namun aku tidak pernah mengutarakan kepada teman-temanku. Aku terlalu malu untuk jujur. Tahun kedua, kami berpindah kelas serta berganti teman sebangku, juga seisi kelas. Di kelas 2-3, lagi-lagi ada teman baru. Namanya Mustika, cantik, tubuhnya tinggi serta bermata sipit. Tinggi badanku seukuran bawah telinganya.
7
Seperti tidak memiliki teman, aku langsung kasihan melihatnya. Spontan aku mengajaknya duduk sebangku. Selain itu, aku melihat Dian teman pulangku kelas satu dulu. Dian sudah duduk dengan Citra, jadi aku tidak usah terlalu mengkhawatirkan keadaannya. Sebenarnya ia cukup supel. Hanya saja temanteman tidak begitu menerima keganjilan pada dirinya. Menurutku, Dian cantik dan berbeda. Hidungnya mancung, kulitnya bersih. Dia anak yang ramah namun agak galak kepada laki-laki. Keturunan Belanda generasi ketiga. Hanya saja, ibunya terjatuh dari tangga ketika ia sedang dalam kandungan. Itu yang membuat matanya terlihat juling serta mengharuskan ia menggunakan kacamata plus. Lagi-lagi di kelas dua, kini bukan saja teman perempuan yang tidak mau mendekati Dian, teman laki-laki pun menjuluki Dian serta Citra sebagai “Si
8
Tuyul dan Kentung”. Kentung adalah nama jin di Sinetron yang diputar di TV saat itu. Mereka jahat sekali. Kejahilan teman-teman sudah tidak aku hiraukan. Aku sudah menjadi diriku sendiri, aku yang cuek. Apa adanya. Tidak memilih-milih teman. Akhirnya, kedekatan kami terjalin begitu saja. Aku, Mustika, Dian, Dessy serta Sara selalu berada di dalam kelompok tugas yang sama. Akhirnya, membuat kami rutin bertemu. Sara adalah teman Dessy ketika kelas satu. Saking seringnya bersama, kami berfoto serta membuat nama untuk kami berlima, yaitu : D3MS. Singkatan dari kepanjangan nama-nama kami, yaitu : Dessy, Dian, Dinda, Mustika dan Sara. Kami meminta Dian membuat lirik lagu untuk kami nyanyikan di saat kenaikan kelas nanti. Lagu itu berjudul “Cerita Kita” menceritakan tentang pertemuan kita, kebersamaan kita dan bahagianya kita bersama.
Cerita Kita G
Am
Bila kuingat cerita indahku Yang tiada dapat terlupakan Saat kita tertawa bersama Bercanda riang oh indahnya, Ooo... Ooo..
9
G
Am
Tahun-tahun berlalu Begitu cepat begitu mudah Memisahkan kita bersama Akan kuingat untuk selamanya Reff. F
G
Akankah kita bersama lagi? Tertawa bebas lepas lagi.. Seperti dulu waktu yang lalu Mungkinkah kita bersama lagi? Ooo.. Ooo..
10
Saat itu, di rumah Sara kita menyanyikan lagu itu. Aku masih belajar bermain gitar, juga Sara. Kakak lelaki Sara yang mencarikan nada lagu itu untuk kami. Namun, karena satu dan lain hal. Kami tidak jadi tampil untuk kenaikan kelas. Lagu itu, hanya kami rekam di sebuah kaset melalui tape recorder. Saat-saat lainnya, kami bersama berlatih untuk memainkan suling sunda untuk pelajaran kesenian. Antik dan Sara cukup mahir mengajari kami bertiga. Kami pun belajar menari bersama untuk test kenaikan kelas. Selain itu, aku yang belum mahir berenang bersama-sama ikut les berenang di luar jam pelajaran sekolah. Agar kami dapat nilai baik pada pelajaran olah raga. Sara dan aku sama-sama agak tomboi dan cuek. Namun diakhir mendekati kenaikan kelas, ia yang biasanya duduk dengan Dessy tampak lebih akrab dengan Dian. Sebabnya adalah kedekatan kecengan yang mereka sukai. Lelaki kakak kelas dua yang mereka sukai duduk sebangku. Selanjutnya setelah kelas tiga, walaupun kami berpisah kelas. Kami masih sering menyempatkan diri untuk berkumpul. Dan, rupanya ada teman-teman lainnya yang ingin bergabung bersama kita, yaitu : Resmi, Mayane, Citra dan Tika. Mereka juga pernah bergabung di PMR. Sehingga memudahkan kami untuk menerima kehadiran mereka. Aku, Dian dan Dessy mengikuti bimbingan belajar di luar sekolah bersamasama. Pada satu kelas yang sama, sehingga memudahkan kami untuk selalu berinteraksi satu sama lainnya. Walaupun kami berbeda kelas.
11
Sebagai kelompok yang baik di sekolah, kami membuat aturan-aturan sekolah menjadi aturan kelompok kami. Seperti, tidak boleh mengeluarkan baju seragam, tidak menginjak bagian belakang sepatu. Satu orang yang paling dewasa dan mengatur kami agar sesuai dengan aturan sekolah adalah Mustika. Berbeda dengan mustika, Dessy salah satu temanku yang tidak suka mengikuti aturan sekolah. Walaupun pendiam, dia tidak pernah terduga. Seperti diantara kami, dia yang paling sering didekati laki-laki, baju seragam belakangnya sering dikeluarkan, namun disisi lain dia paling suka memasak dan sering sekali membagikan kepada kami secara cuma-cuma. Dessy satu sahabatku yang paling suka mentraktir kita. Dia anak terakhir di keluarganya, ibunya sangat cerewet. Berbalik seratus delapan puluh derajat dengan anaknya yang pendiam drastis di kelas. Hanya di kelompok kami, Dessy menjadi dirinya sendiri. Orangtua Sara seorang pegawai Pemda. Ayah Dessy seorang dosen di kampus terbaik di kotaku, juga di Indonesia, ITB. Ayah Mustika dan ayahku ternyata adalah rekan kerja. Sedangkan ibunya adalah guru di SMA negeri favorit di kotaku, SMA Negeri 3. Sekolah impian kami selepas dari SMP. Ketomboian Sara berubah ketika kami lulus SMP. ia memanjangkan rambutnya yang biasanya pendek selama kami SMP dulu. Aku pun demikian, tinggi badanku dan Mustika ketika SMA menjadi sepantar. Perubahan lainnya, Dian memotong rambutnya ketika SMA, kemudian ia menggunakan softlens. Seperti di telenovela Betty La Fea, Dian menjadi begitu sangat cantiknya.
12
Lepas masa SMP, perpisahan membuat aku sedih dan tidak ingin mengulang hal yang sama. Sehingga di bangku SMA, aku memutuskan untuk tidak memulai membuat gap atau kelompok dalam bergaul. Meskipun begitu, kami masih sering melakukan reuni bergantian di rumah kami masing-masing. Kami memasuki SMA yang berbeda. Tiga diantara kami akhirnya berhasil masuk sekolah negeri terfavorit di kota kami. Namun, dengan sistem loncat. Mustika pernah mengajakku, agar kami bisa sama-sama satu sekolah lagi di SMA 3. Sayangnya ayah melarangku. Sehingga aku tetap bersekolah di sekolah negeri biasa, dekat rumahku. Aku menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas organisasi pada masa SMA. Melupakan persahabatan yang telah kami ikat semasa SMP dulu. Paskibra,
13
Karate dan mengikuti Les Bahasa Inggris. Untuk menghilangkan waktu rinduku bersama sahabat SMP-ku. Mustika kemudian mengikuti kakakknya dengan mengikuti forum organsiasi rohani islam. Seragam SMA membuat ia menjadi berbeda, karena kain yang menempel di kepalanya. Kami pernah berkomitmen bila satu sekolahan SMA, akan bersama-sama menggunakannya. Namun, aku masih merasa belum siap. Selain teman dan sahabat, Mustika lebih seperti kakak bagiku. Dia adalah guru matematika terhebat yang pernah aku temui, ketika aku kesulitan menerima pelajaran angka-angka berpacu dengan rumus, ia dengan sabar mengajarkanku. Dia selalu memperhatikanku, berbeda dengan aku yang terlalu cuek. Bahkan, hari-hari aku tidak sholatpun ia hafal betul. Sedangkan aku, tidak terlalu mempedulikan diriku sendiri. Aku belum menganggap hal itu penting pada usia awal remajaku.
K
14
etika SMA aku menemukan banyak teman-teman yang tidak seberuntung diriku. Banyak kawanku yang pintar, namun ketika lulus hanya bekerja sebagai buruh pabrik. Saat aku SMA, uang itu
mendominasi untuk masuk ke perguruan tinggi. Walau begitu, ada satu dua orang temanku yang masuk ke perguruan tinggi negeri jalur PMDK. Dian dan aku sudah tidak lagi berhubungan. Setelah ia masuk kesekolah terbaik di kota kami, ia mulai tidak pernah menghubungiku sama sekali. Menjadi makhluk misterius yang menyebalkan, menyebalkan karena aku sudah terlalu sayang dengan kehadirannya. Dengan berbagai cerita
yang
terekam di memori. Dia terlalu seru untuk kulupakan sebagai sahabat terbaik. Dian menghilang begitu saja, tidak seperti temanku yang lain. Keberadaannya misterius. Bahkan, kami berlima sama sekali tidak pernah diizinkan untuk datang kerumahnya. Hanya saja, adiknya dulu satu SMP yang sama, serta ayah atau ibunya pernah datang ke sekolah. Satu-satunya kesamaanku dengannya adalah cuek, suka menggambar, suka medengarkan lagu dan menuliskannya di kertas-kertas pesan lipat, hiburan ketika kami sibuk belajar. Dian suka bercerita tentang sejarah, membuatku selalu kagum, karena aku suka mendengarkan ceritanya. Satu yang tidak pernah aku lupakan seumur hidup. Betapa pintarnya dia, walau belum pernah duduk di rangking pertama. Namun, masuk lima besar saja di sekolah unggulan SMP ku saat itu sudah begitu bangganya. Dian, selalu ada di urutan rangking kelas. Bersaing dengan Mustika.
15
“Supergirl Don’t Cry!” Lirik musik alternatif itu mewarnai saat-saat aku menjelang duduk di bangku kuliah. Aku mengikuti pilihan ayahku untuk sekolah di kampus swasta di kotaku. Tidak terlalu terkenal, namun itulah jalanku setelah UMPTN tidak lolos. Sebelumnya di bangku SMA, aku hanya mengenal dekat satu teman yang agak aneh. Itu karena aku dan Permata duduk di tengah-tengah kelas. Dimana dua bangku sebelah kiri didominasi perempuan, sedangkan dua bangku sebelah kanan didominasi laki-laki.
16
Sedangkan aku dan Permata, ada ditengah-tengah. Jajaran bangku laki-laki dan hanya kami perempuan. Sehingga, aku baru tahu laki-laki itu seperti apa ketika banyak berbicara dengan mereka. Salah satunya Purwa, tinggal di daerah Pasar Induk. Bergaul dengan orang pasar, membuat ia kenal cimeng atau ganja. Kata teman-teman, bila matanya merah, ia sedang menggunakannya. Berbeda halnya ketika aku di bangku kuliah. Teman-temanku menjadi sangat banyak. Beragam, dari mulai aktivis kampus, anggota rohani sampai yang hanya nongkrong-nongkrong di kampus. Ketika awal kuliah, aku belum menggunakan jilbab. Aku hanya mengagumi saja teman-temanku yang menggunakannya. Namun, bagiku butuh perjuangan untuk mengenakannya. Terutama uang yang dikeluarkan untuk membeli tambahan kain pada kepala itu. Sangat bersyukur ketika aku mendapatkan beasiswa berupa uang tunai per bulan. Uang itu bisa aku gunakan membeli apapun yang aku mau. Mulai dari kaset, komik, celana jeans, jajanan, sampai kain-kain yang aku sudah impikan untuk kukenakan dikepala sejak aku SMP bersama Mustika dulu. Sebelum menggunakan kerudung, aku membiasakan diri untuk memakai baju tangan panjang. Selain itu, Mustika rajin sekali main kerumahku untuk meyakinkan aku agar segera berjilbab. Selain itu, ia pun rajin mengirimkanku surat, saat itu kami belum bertukar email dan zaman belum secanggih saat ini untuk memudahkan komunikasi satu dengan lainnya.
D
17
i bangku kuliah, kakak kelasku ada yang bersimpati kepadaku. Ia senang sekali meminjamkan aku buku. Ia memang petugas perpustakaan. Namun, ia pun aktivis organisasi islam. Selain itu, aku
memiliki beberapa teman yang sangat ramah, mereka aktivis organisasi katolik. Aku sudah memutuskan, sejak merasakan sedihnya berpisah dengan temanteman D3MS, aku tidak mau terkungkung pada gap dalam pertemanan lagi. Sehingga, setelah itu aku berbaur dan bergaul dengan siapapun. Ternyata, aku baru mengetahui teman sejurusanku ketika kami berpesta itu makan-makan. Beberapa diantara kami, berpesta dengan putaw, cimenk atau ganja. Pura-pura tidak kaget juga tidak ikut-ikutan. Aku hanya diam. Melihat mereka yang menggunakannya di depan mataku sendiri. Saat kuliah, aku berteman dengan dua orang. Dewi dan Setia. Mereka sahabat yang kompak sebelum aku kenal dekat. Kami dekat setelah banyak tugas yang kami lakukan bersama, selain itu kami suka sekali duduk di barisan paling depan. Selain itu, kami bertiga sangat suka sekali bernyanyi.
18
Berbeda dengan Setia, Dewi seorang perempuan yang nampak cuek dengan tubuh gemuknya. Namun, aku menarik garis merah. Ada kesamaan antara Dewi dan Dian sahabatku ketika aku SMP. Mereka sama-sama pintar, cuek serta sering sekali memperhatikan laki-laki. Beberapa kali aku diajak mereka bermain kerumah Dewi. Disana ada foto Dewi bersama orang arab. Terpampang besar di ruang tamu. Dia bilang itu adalah tunangannya. Aku hanya percaya. Aku selalu percaya apapun yang temanku ceritakan padaku. Kemudian, satu tahun berlalu. Persahabatan kami tidak berjalan dengan baik. Diawali tingkah Setia yang tidak seperti biasanya. Akhirnya aku melakukan pendekatan kepada mereka berdua. Kemudian, aku mengambil kesimpulan, mengapa Setia sampai sebenci itu kepada Dewi. Padahal, sebelumnya mereka adalah sahabat yang sangat akrab. Aku masih ingat, Dewi sering mendapat pesan dari orang arab melalui ponsel poliphonic yang jarang dimiliki oleh kami yang masih duduk di bangku kuliah saat itu. Hanya orang kaya atau pengusaha yang memegang barang seperti itu waktu itu. Setelah itu, ia mendapat kabar dan pergi ke bank. Lalu menukarkan uang kemudian mentraktir kita berbagai macam makanan enak. Selanjutnya, lelaki yang diceritakan bukan saja orang arab, tentara, pengusaha juga dosen Akuntansi kami, menjadi salah satu lelaki pujaannya yang sering ia ceritakan kepada kami. Awalnya aku tidak terlalu mengerti, kukira sama
19
seperti teman SMP-ku dulu atau teman lainnya yang membicarakan lelaki, hanya sebatas kecengan. Ternyata Dewi berbeda. Di balik penampilan cueknya, ia menyembunyikan sesuatu. Setia sudah menyadari itu, dan itu yang menimpa keluarganya. Membuat ayahnya terlena oleh seorang perempuan lain seperti Dewi, menggoncang keharmonisan keluarga Setia. Membuat ia sangat membenci Dewi serta wanita setipe dirinya yang telah merusak kebahagiaan keluarganya. Suatu hari, Dewi pernah mampir kerumahku. Ia ikut ganti baju. Untuk bertemu dengan seseorang bernama Gani. Ternyata, setelah itu ia berpakaian seksi dan berdandan rapi. Sangat cantik sekali. Tidak seperti Dewi yang aku kenal di kampus. Sedikit kaget, tapi aku pura-pura biasa saja.
20
Sedan bagus menjemputnya tidak jauh dari rumahku. Aku memperhatikannya diam-diam. Rupanya, itu yang membuat Setia jengah kepada Dewi. Kejadian dosen kami yang terkena perangkap Dewi, ketika istri dari dosen itu sedang mengandung. Hanya agar Dewi mendapatkan nilai A. Begitu rendahnya, dan memprihatinkan. Namun, tidak seorang pun yang mengetahui kecuali kami bertiga. Setia adalah satu-satunya sahabat Dewi selain aku. Sikap dingin Setia terhadapnya membuat Dewi tidak betah berlama-lama di kampus. Ia menangis dan putus asa menghadapi sikap sahabat baiknya itu. Dibujuk apapun juga, Setia sudah tidak mau lagi melihat wajah Dewi ketika berbicara. Akhirnya Dewi memutuskan pindah kuliah. Setelah itu, kabar dari Dewi menghilang begitu saja. Sempat beberapa kali aku main kerumahnya, hanya bertemu ibunya. Ibunya banyak bercerita tentang Dewi yang kehilangan ayah tersayangnya ketika ia masih SD. Sehingga, membuat ia mencari kasih sayang dari seorang laki-laki seumuran ayahnya yang telah meninggal dulu. Terakhir kali aku sengaja menyempatkan diri kerumah Dewi untuk memberikan transkrip nilai, namun ternyata mereka semua sudah pindah. Lewat pesan singkat dari handphone yang baru saja aku beli di pertengahan semester perkuliahanku. Dewi mengabarkan bahwa ia sudah tidak lagi bertunangan dengan orang Arab, kemudian menikah dengan orang luar kota.
21
Syukurlah mendengar kabar terakhir darinya. Sampai detik ini aku menulis tentang
dirinya,
keadaan
tentang
aku
belum
dirinya.
tahu
Diantara
sejumlah masalah yang menimpanya, ia selalu
tersenyum,
lalu
mengajakku
bermain dengan sekawanan temanteman yang menongkrong di kampus, untuk membeli beberapa putaw dan cimeng
dari
mereka.
Aku
hanya
memperhatikannya, tak mengikuti juga tak mencegahnya saat itu. Salah satu dari kawanan teman-teman Dewi mendekatiku, terkadang mentest
kepintaranku.
Salahsatunya,
mengaji. Bukan keahlianku. Namun, dengan mencibir mereka mengatakan, bahwa adiknya saja yang kelas satu SD mahir membaca Al-Qur’an, aku yang duduk dibangku kuliah masa’ kalah sama anak SD.
22
Itu terakhir kali aku mengikuti Dewi bermain bersama mereka. Setelah itu, aku mulai mencari teman yang dapat mengajariku mengaji. Kemudian, takdir membuatku harus menceritakan semua yang ku temui saat aku kuliah kepada Mustika, kakakku, sahabat baikku. Akhirnya, setelah berulang kali ia mengajakku ke pengajian Pak Aam Amirudin, kemudian aku benar-benar mengenakan jilbab. Saat itu Mustika sangat senang sekali dengan perubahanku. Ia banyak sekali memberiku hadiah, juga jilbab. Kakak tingkat kuliahku, yang pernah baik dan mengajariku mengaji, meninggalkan komitmennya untuk berta’aruf denganku. Saat itu, aku sangat terpukul sekali. Kecewa dengan kehidupan ini. Namun, aku masih memiliki sahabat-sahabat baik seperti Mustika dan lainnya di kampusku.
23
Setelah itu, aku memutuskan untuk belajar Islam lebih jauh lagi. Aku khawatir, kakak tingkatku itu menjauh karena aku belum pantas mengaji atau hal lainnya yang kurang dari diriku dalam segi agama. Sekali lagi, Mustika selalu mengingatkanku tentang kehidupan, Tuhan dan persahabatan kita. Dia bilang, bahwa persahabatan yang sejati akan abadi sampai syurga. Mustika menikah selesai kami lulus kuliah sepuluh tahun yang lalu. Mustika yang tidak pernah membicarakan laki-laki ketika kita bersama bercanda ataupun berbagi curahan hati, dia yang terlebih dahulu dipersunting oleh lakilaki. Perjalanan kehidupan mengenalkanku dengan berbagai macam orang. Langkah kehidupan ini membuatku terus mempelajari arti hidup dan berislam. Pertalian sahabat yang terukir bagaikan prasasti, adalah sahabat yang selalu bersama ketika mengingatkan kepada Allah. Akhirnya, Allah menjodokan aku dengan seseorang yang dengannya aku mengingatkan kepada Allah. Seperti kehadiran Mustika dalam hidupku. Membuat aku mengenali Islam, membuat aku tersenyum, dan mengerti berbagi.
24
“D
25
in, kamu pake masker sakura tempat aku kerja lho!” tiba-tiba status di Facebook muncul di bawah foto produk masker sakura yang aku upload. Aku perhatikan nama pembuat status itu, Diaz.
Nama lain Dian. Bukan main bahagianya aku, selanjutnya aku men-stalker melihat foto-fotonya. Satu bulan yang lalu, Dian yang telah hilang itu muncul kembali. Mengemukakan alasannya saat itu mengapa ia tak bisa reunian seperti kami. Ternyata ia sibuk fokus belajar setelah masuk SMA 3 Bandung kemudian melanjutkan ke ITENAS. Padahal ia dan Mustika satu SMA, namun karena fokus seseorang bisa terbelenggu sekian lamanya. Spontan, melalui WhatsApp aku menghubungi Mustika, menceritakan kemunculan Dian kembali sebagai seorang Manager Operasional di perusahaan kosmetik Internasional. Juga mengabarkan kesamaan keadaan mereka yang tengah mengandung calon bayi yang baru saja ditiupkan ruhnya di bulan ke empat dalam rahim mereka. Allahu.. persahabatan ini indah karena-Mu. Akupun terbelenggu kesibukan sehingga melupakan silahturahim kepada sahabat-sahabat manisku itu. Syukurku pada-Mu, semoga Engkau Karuniakan kebaikan dunia sampai Syurga kepada seluruh manusia yang mentalikan silahturahim karena-Mu. Aamiin.
Juni 2016, Didew Bahagia.
26
Didew merupakan nama pena dari Dini Dewanti, lahir di Bandung, 17 Januari 1984. Tulisan “Cerita Kita” ini merupakan tantangan knight Writer, program menulis online yang diikutinya pada Q-Writing Consulting. Tahun 2016, ia merampungkan kuliah di Pascasarjana Manajemen UNSIKA (Universitas Singaperbangsa Karawang). Menulis adalah hobinya sejak duduk di bangku SMP.