IMPLIKATUR PERCAKAPAN PADA NOVEL 99 CAHAYA DI LANGIT EROPA KARYA HANUM SALSABIELA RAIS DAN RANGGA ALMAHENDRA SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Disusun oleh: RIZA HERNITA NIM 1110013000040
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
ABSTRAK
Riza Hernita, 1110013000040, 2014, Implikatur Percakapan pada Novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Pembimbing Nuryani, M.A. Bahasa merupakan jembatan dalam berkomunikasi yang sangat dibutuhkan oleh setiap individu. Setiap individu memiliki caranya tersendiri dalam menyampaikan informasi. Dalam situasi atau konteks tertentu, penutur atau orang yang menyampaikan tuturan memberikan informasi yang lebih dari apa yang dikatakannya. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Mendeskripsikan implikatur percakapan pada novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra, dan (2) Mengetahui implikatur percakapan pada novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra serta implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini dilakukan dengan cara mendata penggalan percakapan yang mengandung implikatur percakapan pada novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra, setelah itu menganalisisnya. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal, (1) Implikatur percakapan: a) implikatur percakapan pada novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra menggunakan teori Grice mengenai prinsip kerjasama percakapan dan teori relevansi oleh Sperber dan Wilson; b) 15 sampel penggalan percakapan yang memiliki implikatur percakapan pada novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra; c) data 1 penggalan percakapan melanggar maksim cara, data 2-15 melanggar maksim kuantitas dan maksim cara; dan d) novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra setiap temuan penggalan percakapan mentaati teori relevansi dan maksim relevansi dari prinsip kerjasama. (2) Implikasi dari novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa diharapkan menjadi salah satu pertimbangan dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah, khususnya Sekolah Menengah Atas (SMA), semester ganjil, kelas XII, sebagai sarana komunikasi dalam mengolah, menalar, dan menyajikan informasi lisan dan tulis melalui teks cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan novel. Kata Kunci: Implikatur percakapan, prinsip kerjasama percakapan, teori relevansi, implikasi pembelajaran bahasa Indonesia. i
ABSTRACT
Riza Hernita, 1110013000040, 2014, Conversational Implicature in Novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa by Hanum Salsabiela Rais and Rangga Almahendra also the Implications in Learning Indonesian Language and Literature. Department of Indonesian Language and Literature, Faculty of Tarbiyah and Teacher’s Training of Islamic State University Syarif Hidayatullah Jakarta. Under the supervisor Nuryani, M.A. Language is a bridge of communication that is needed by each individual. Each individual has their own way in conveying information. In a particular situation or context, speakers or utterances that convey more information than what he says. The aim of this study is: (1) to describe the conversational Implicature in Novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa by Hanum Salsabiela Rais and Rangga Almahendra, and (2) to determine the, conversational Implicature in Novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa by Hanum Salsabiela Rais and Rangga Almahendra also the Implications in Learning Indonesian Language and Literature. The method used in this research is descriptive qualitative research method. The research completed by record conversations contained conversational Implicature in Novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa by Hanum Salsabiela Rais and Rangga Almahendra, afterwards it is analyzed. This research is concluded, such as: (1) conversational implicatures: a) conversational Implicature in Novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa by Hanum Salsabiela Rais and Rangga Almahendra using the principle of cooperation Grice’s theory of conversation and relevance theory stated by Sperber and Wilson; b) 15 samples fragment of a conversation that have conversational Implicature in Novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa by Hanum Salsabiela Rais and Rangga Almahendra; c) 15 samples fragment of a conversation that has a conversational implicature on the novel Light in the Sky 99 Europe; Retracing the trip Traces of Islam in Europe works Hanum Salsabiela Rais and Rangga Almahendra; c) Data 1 fragment of conversation violated maxim of manner, the data 2-15 violated maxim of quantity and manner; and d) novel 99 Cahaya di Langit Eropa Works Hanum Salsabiela Rais every fragment of conversation findings obey the relevance theory and the maxim of relevance of the principle of cooperation.(2) Implications of a novel 99 Cahaya di Langit Eropa is expected to be one of the considerations in the Indonesian language learning in schools, especially high schools, the first semester, the class XII, as a means of communication in the process, reasoning, present oral and written information through of the text stories, news, advertising, editorial/opinion, and novels. Key words: Conversational implicature, conversational cooperation principle, relevance theory, the implications of learning Indonesian.
ii
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur hanya bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya. Shalawat beserta salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga dan para sahabatnya serta seluruh muslimin dan muslimah. Alhamdulillahi rabbil ‘alamiin, senantiasa penulis haturkan kepada-Nya. karena atas ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan seluruh kewajibannya dalam menyusun skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dirinya adalah makhluk sosial yang tidak mungkin hidup mandiri. Begitu pula dengan proses pelaksanaan penyusunan skripsi ini, penulis membutuhkan bantuan, dukungan, dan doa dari berbagai pihak sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan ini dengan baik. Untuk itu sebagai ungkapan rasa hormat, penulis megucapka terimakasih kepada: 1. Dra. Nurlena Rifai, M.A. Ph.D. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta; 2. Dra. Mahmudah Fitriyah Z.A., M.Pd. Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, sebagai dosen pembimbing akademik, dan dewan penguji pada saat Ujian Munaqasah yang telah memberikan bimbingan kepada penulis sehingga berakhirnya penulisan skripsi ini. Semoga ibu dan keluarga selalu berada dalam lindungan Allah SWT, amin; 3. Dr. Nuryani, S.pd, M.A. sebagai dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, arahan, dan saransaran saat menyusun skripsi ini. Semoga ibu dan keluarga selalu berada dalam lindungan Allah SWT, amin; 4. Dr. Darsita, S, M. Hum. Sebagai dewan penguji pada saat Ujian Munaqasah yang telah memberikan nasehat, petunjuk, serta bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga ibu dan keluarga selalu berada dalam lindungan Allah SWT, amin; 5. Dra. Hindun, M.Pd sebagai dosen matakuliah pragmatik dan dosem pembimbing proposal skripsi yang telah memberikan banyak saran,
iii
iv
motivasi, semangat selama menyelesaikan skripsi ini. Semoga ibu dan keluarga selalu berada dalam lindungan Allah SWT, amin; 6. Rosida Erowati, M.Hum sebagai dosen pembimbing proposal skripsi yang telah memberikan saran-saran, motivasi, dan semangat kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini. Semoga ibu dan keluarga selalu berada dalam lindungan Allah SWT, amin; 7. Segenap dewan Dosen dan Pegawai Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, atas saran-saran, pengetahuan, motivasi, dan dukungan yang diberikan. Semoga bapak-bapak, ibu- ibu dan keluarga selalu berada dalam lindungan Allah SWT, amin; 8. Teristimewa untuk orangtua penulis yaitu Bapak Herizal dan Ibu Epina Darmita. Kepada paman-paman serta sanak-keluarga penulis lainnya yang telah banyak berjasa dan memberikan motivasi serta dukungan dalam menyelesaikan pembuatan skripsi ini, semoga Allah SWT melindungi dan memberikan rodho-Nya kepada kita semua, amin; 9. Hj. Bustamam dan Hj. Fatimah yang telah berjasa dan banyak memberikan motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini, Semoga bapak, ibu dan keluarga selalu berada dalam lindungan Allah SWT, amin; 10. Srikanth Sainam Damarla atas dukungan, semangat, motivasi, dan kesabaran kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini. Semoga diberikan kesehatan dan lindungan oleh Allah SWT, amin; 11. Teman-teman Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2010, khususnya kelas A. Dan teman-teman lainnya: Dhea, Tiwi, Ika, kak Indah, kak septi, kak ani, kak didi, wulan, suci, dan teman-teman yang belum disebutkan namanya. Terimakasih atas kesabaran, saran-saran, serta dukungan selama menyelesaikan skripsi ini. Semoga kita semua mendapatkan rido-Nya, amin; dan 12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, baik secara langsung maupun tidak langsung yang turut memberikan dukungan dan doa dalam proses penyusunan skripsi ini.
v
Penulis haturkan doa dan rasa syukur kepada Allah SWT, semoga jasa yang telah mereka berikan menjadi amal soleh dan mendapatkan balasan yang jauh lebih baik dari Allah SWT, amin. Akhirul kalam, penulis mohon maaf atas kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini, dan dengan kerendahan hati penulis menerima kritik dan saran yang membangun. Besar harapan penulis, semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Jakarta, 3 Mei 2014 Penulis
Riza Hernita
DAFTAR ISI
ABSTRAK.............................................................................................................. i ABSTRACT............................................................................................................ii KATA PENGANTAR...........................................................................................iii DAFTAR ISI.........................................................................................................Vi DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................Viii
BAB I: PENDAHULUAN A. B. C. D. E. F. G. H. I. J. K. L. M. N.
Latar Belakang Masalah..............................................................................1 Identifikasi Masalah....................................................................................3 Batasan Masalah..........................................................................................4 Rumusan Masalah........................................................................................4 Tujuan Penelitian.........................................................................................4 Manfaat Penelitian.......................................................................................5 Metode Penelitian........................................................................................5 Fokus Penelitian...........................................................................................6 Objek Penelitian...........................................................................................6 Populasi dan Sampel....................................................................................6 Teknik Pengumpulan Data..........................................................................7 Instrumen Penelitian....................................................................................7 Teknik Analisis Data...................................................................................7 Triangulasi Data..........................................................................................8
BAB II: LANDASAN TEORETIS A. Pragmatik.....................................................................................................9 B. Konteks......................................................................................................10 Pengertian Konteks dan Ciri-ciri Konteks.................................................10 C. Implikatur...................................................................................................12 1. Pengertian Implikatur..........................................................................12 2. Ciri-ciri Implikatur..............................................................................25 3. Macam-macam Implikatur..................................................................29 D. Prinsip Kerjasama Percakapan...................................................................33 E. Novel..........................................................................................................39 1. Pengertian Novel..................................................................................39 2. Jenis Novel...........................................................................................40 vi
vii
F. Penelitian yang Relevan.............................................................................41 BAB III: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian..........................................................................................44 1. Biografi Pengarang..............................................................................44 2. Sinopsis Novel 99 Cahaya di Langit Eropa........................................44 B. Analisis Data.............................................................................................46 C. Pembahasan...............................................................................................72 D. Implikasi dalam Pendidikan......................................................................97 BAB IV: PENUTUP A. Simpulan...................................................................................................98 B. Saran.........................................................................................................99 DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................100 UJI REFERENSI LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Lembar Uji Referensi Lampiran 2: Lembar Surat Bimbingan Skripsi Lampiran 3: Gambar Nampak Depan dan Nampak Belakang Novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa Lampiran 4: RPP Kelas XII Semester Ganjil Mengenai Analisis Unsur Intrinsik Novel Lampiran 5: Lembar email Persetujuan Penulis Novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa
viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa
merupakan
jembatan
dalam
berkomunikasi
yang
sangat
dibutuhkan oleh setiap individu. Komunikasi yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari tidak selalu diwujudkan dalam bentuk lisan, tetapi juga diterapkan dalam
bentuk
tulisan.
Setiap
melakukan
tindakan
komunikasi,
penutur
mengharapkan pendengar atau petutur mengerti dan mampu menangkap apa yang ingin diinformasikan sehingga tidak terjadi kesalahpahaman. Agar tidak terjadi kesalapahaman,
seseorang
harus
mengetahui
dan
memahami
bagaimana
pemakaian kata dalam komunikasi yang sesuai dengan situasi dan kepada siapa berbicara. Salah satu yang harus dikuasai adalah diksi atau pilihan kata Setiap informasi.
individu
memiliki
caranya
tersendiri
Dalam situasi atau konteks tertentu,
menyampaikan
tuturan
memberikan
informasi
dalam
menyampaikan
penutur atau orang yang
yang
lebih
dari apa
yang
dikatakannya. Maksud atau informasi yang disampaikan lebih banyak secara tidak langsung kepada petutur. Untuk menangkap informasi tersebut petutur harus mengerti konteks pembicaraan dan bekerja keras dalam memahami tanda-tanda yang diberikan oleh penutur. Informasi yang berlebih dari yang dimaksud dalam hal ini melanggar prinsip kerjasama percakapan. Pelanggaran terhadap prinsip kerjasama percakapan terkadang sangat diperlukan dalam konteks tertentu. Hal tersebut bisa disebut sebagai implikatur percakapan dalam berkomunikasi. Keberagaman dalam cara menyampaikan informasi disebabkan karena salah satu dari hakikat bahasa adalah kemanasukaan. Masing-masing daerah atau tempat di Indonesia memiliki berbagai macam definisi mengenai satu barang yang sama. Kemajemukan yang dimiliki oleh Indonesia mengakibatkan munculnya berbagai dialek yang terkadang menjadi salah satu alasan tidak terjadinya komunikasi yang
efektif.
Masing-masing
mengenai bahasa yang mereka pakai.
1
daerah
memiliki aturan
tersendiri
2
Masyarakat Indonesia yang multikultural sangat menjunjung tinggi sopan santun
dalam
percakapan
pada
situasi
komunikasi tertentu.
Berdasarkan
pengalaman peneliti, salah satu daerah di Indonesia yaitu daerah Minangkabau sangat mengutamakan kesopanan dalam percakapan. Masyarakat Minangkabau menganal kato nan ampek. Kato nan ampek merupakan aturan bagaimana berkomunikasi dalam masyarakat. Seringkali dalam tindak percakapan di Minang melanggar prinsip
kerja sama Grice.
Masyarakat Minang misalnya dalam
menyuruh seseorang menggunakan kalimat pertanyaan atau pernyataan dengan tujuan orang yang disuruh tidak merasa tersinggung. Segala suatu dalam percakapan ditentukan diksi mana yang akan di pakai sehingga orang yang di ajak berkomunikasi tidak merasa tersinggung dan maksud yang ingin disampaikan tercapai. Masyarakat seringkali
tidak
mempengaruhi
terlepas dalam
dari budayanya cara
masing-masing
berkomunikasi.
Bagi
sehingga
siswa
cara
berkomunikasi yang baik dan sopan juga dapat dipelajari di sekolah, lingkungan, dan dari apa yang mereka baca. Berdasarkan silabus mata pelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas (SMA), semester ganjil, kelas XII, terdapat Standar Kompetensi poin 1.3 yang menyatakan, Mensyukuri anugerah Tuhan akan
keberadaan
bahasa
Indonesia
dan
menggunakannya
sebagai sarana
komunikasi dalam mengolah, menalar, dan menyajikan informasi lisan dan tulis melalui teks cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan novel. Misalnya saja dalam berkomunikasi, siswa dapat mencontoh cara tokoh-tokoh di dalam novel berkomunikasi. Siswa dapat melihat akibat atau respon yang ditimbulkan saat tokoh bertutur kepada tokoh lain dengan menggunakan diksi yang tepat dan sesuai dengan konteks pembicaraan. Dalam novel, pengarang membangun dunia baru yang penuh dengan percakapan dan kejadian. Percakapan dalam novel, tidak terlepas dari daya imajinasi yang dibangun oleh penulis. Pembaca seolah-olah diajak ke dalam dunia yang disajikan pengarang.
Pemaparan dalam novel seringkali digambarkan
melalui tema, latar, alur, dan penceritaan sudut pandang dalam bentuk dialog atau monolog. Diksi yang dipakai dalam dialog atau monolog tidak kalah pentingnya untuk membangun serta menghidupkan cerita dalam karya. Saat tokoh-tokoh di
3
dalam novel melakukan percakapan sama persis dengan cara berkomunikasi dikehidupan nyata. Dalam berkomunikasi, penutur terkadang melanggar prinsip kerjasama demi kesopanan dan berbagai hal yang melatarbelakanginya. Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk menulis “Implikatur Percakapan pada Novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”. Hanum Salsabiela Rais adalah putri Amien Rais, lahir dan menempuh pendidikan dasar Muhammadiyah di Yogyakarta hingga mendapat gelar Dokter Gigi dari FKG UGM. Ia mengawali karirnya menjadi seorang jurnalis dan presenter di Trans TV. Hanum memulai petualangan di Eropa selama tinggal di Austria bersama suaminya, Rangga Almahendra, dan bekerja untuk proyek video podcast Executive Academy di WU Vienna selama 2 tahun. Ia juga tercatat sebagai koresponden detik.com bagi kawasan Eropa dan sekitarnya. Hanum Salsabiela Rais dan suaminya menulis novel 99 Cahaya di Langit Eropa berdasarkan pengalaman mereka selama di Eropa. Peneliti memilih novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa ini dikarenakan sebagai berikut: (1) diksi dan struktur kalimat yang digunakan sederhana dan mudah dipahami; (2) novel ini tidak hanya bercerita tentang perjalanan Hanum dan suaminya, tetapi juga menceritakan sejarah perkembangan Islam di Eropa; (3) penyajian yang sederhana dan mudah dipahami mempunyai daya tarik tersendiri bagi pembaca untuk ikut langsung dalam perjalanan yang mereka tempuh serta menimbulkan perasaan cinta dan bangga terhadap agama Islam; dan (4) pemaparan dialog antartokoh pada novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa Hanum menambah nilai estetika dengan pemilihan diksi dan respon yang ditimbulkan oleh petutur. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, masalah yang diidentifikasikan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
4
1. Implikatur percakapan pada novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra 2. Pelanggaran terhadap prinsip kerjasama dalam komunikasi pada novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra 3. Siswa mempelajari sikap berkomunikasi dengan diksi dan situasi yang relevan berdasarkan contoh dari novel
99 Cahaya di Langit Eropa;
Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa karya Hanum Salsabiela Rais Rangga Almahendra. C. Batasan Masalah Penelitian ini akan memberikan penjelasan secara deskriptif tentang implikatur Percakapan pada novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. D. Rumusan Masalah Permasalahan penelitian ini akan menjawab beberapa pertanyaan berikut: 1. Bagaimanakah implikatur percakapan pada novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra? 2. Bagaimanakah implikasi implikatur percakapan dalam novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia? E. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mendeskripsikan implikatur percakapan yang terdapat pada 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra.
5
2. Mengetahui implikasi implikatur percakapan dalam novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. F. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam dua aspek yaitu: 1. Teoretis a. Secara teoretis hasil penelitian ini bermanfaat untuk rujukan bahan ajar di kelas b. Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai pendalaman materi c. Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai tambahan ilmu diluar yang mereka pelajari.
2. Praktis Secara praktis hasil penelitian ini bermanfaat: a. Bagi guru, penelitian ini dipakai sebagai bahan pembelajaran b. Bagi peneliti, penelitian ini digunakan sebagai salah satu persyaratan akademik
dalam menempuh
perkuliahan
dan
kelulusan
sebagai
mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia c. Bagi siswa, dari penelitian ini siswa mendapatkan ilmu di luar ilmu yang dipelajari dan untuk bekal mengajar jikalau siswa menjadi guru. G. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini dilakukan dengan cara mendata penggalan percakapan yang mengandung implikatur percakapan dalam 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra, setelah itu menganalisisnya. Berdasarkan
Bogdan
dan
Tylor
dalam Moleong
dalam Margono,
penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
6
diamati.1 Qualitative researchers are interested in understanding how people interpret their experiences, how they construct their worlds, and what meaning they attribute to their experiences. 2 (penelitian kualitatif tertarik untuk memahami bagaimana
orang
menafsirkan
pengalaman
mereka,
bagaimana
mereka
membangun dunia mereka, dan apa hubungan mereka pada pengalaman). Berdasarkan pernyataan tersebut, penelitian kualitatif adalah penelitian dengan mendeskripsikan data yang dapat diamati. Peneliti terjun langsung atau menjadi kunci utama dalam melakukan penelitian. Penelitian kualitatif juga memahami bagaimana menafsirkan pengalaman, dunia yang mereka hasilkan, dan hubungan mereka dengan pengalaman atau kejadian yang mereka teliti. H. Fokus Penelitian Fokus dalam Penelitian ini adalah implikatur percakapan dalam novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra. Peneliti tidak menganalisa monolog yang ada pada novel ini. Peneliti menggunakan teori sebagai berikut: 1. Prinsip Relevansi yang dikembangkan oleh Sperber dan Wilson 2. Pelanggaran terhadap maksim percakapan yang disampaikan oleh Grice. I.
Objek Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah novel 99 Cahaya di Langit Eropa;
Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra. Novel ini diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, tahun 2012. J. Populasi dan Sampel Yang menjadi populasi dalam penelitian ini yaitu percakapan atau dialog yang memiliki implikatur. Adapun sampel penelitian terdiri atas lima belas (15) penggalan percakapan yang memiliki implikatur. Metode penarikan sampel yang digunakan yaitu dengan cara acak (Random Sampling), berarti setiap populasi 1
S. Margono, Metodologi penelitian pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 36 Sharan B. Merriam, Qualitative Research; A guide to Design and Implementation, (United States of America: Jossey-Bass, 2009), h. 5 2
7
mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi sampel sehingga sampel tersebut dianggap dapat mewakili populasi yang ada. K. Teknik Pengumpulan Data Langkah-langkah yang ditempuh dalam menganalisis data adalah sebagai berikut: 1. memilah-milah percakapan dalam novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra; 2. memilih konteks-konteks tertentu sebagai sample dengan teknik purposif, yakni memilih sampel tertentu dengan pertimbangan dan penilaian
sample
dan
mengindikasikan
adanya
implikatur
percakapan; 3. memenggal konteks-konteks percakapan terpilih dalam penggalan pasangan percakapan; 4. menganalisis implikatur percakapan berdasarkan prinsip relevansi dan meneliti pelanggaran prinsip kerjasama dalam setiap penggalan percakapan; dan 5. menyimpulkan
dan
mencari
implikasinya
bagi
pembelajaran
bahasa Indonesia di sekolah. L. Instrumen Penelitian Instrumen
dalam
penelitian ini menggunakan akan
melakukan
penelitian
ini
adalah
penelitian deskriptif
pengamatan
implikatur
peneliti sendiri dikarenakan kualitatif. Peneliti sendiri yang
percakapan
dengan
menggunakan
analisis konteks menurut Dell Hymes. M. Teknik Analisis Data Data yang diambil dari teks bacaan akan dianalisis menggunakan SPEAKING menurut Dell Hymes. Setelah dianalisis data dibahas berdasarkan hasil analisis, teori prinsip percakapan yang dikemukakan oleh Grice, dan prinsip relevansi yang dikemukakan oleh Sperber dan Wilson.
8
N. Triangulasi Data Triangulasi, yaitu data atau informasi dari suatu pihak harus di cek kebenarannya dengan cara memperoleh data itu dari sumber lain. Tujuannya ialah membandingkan informasi tentang hal yang sama yang diperoleh dari berbagai pihak, agar ada jaminan tentang tingkat kepercayaan data. 3 Triangulasi dilakukan dengan cara (1) data penelitian ini sudah peneliti periksa ke buku teks asli; dan (2) peneliti sudah meminta izin pada penulis melalui email dan telah di setujui.
3
S. Nasution, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, (Bandung: Tarsito, 2003), h. 10
BAB II LANDASAN TEORETIS Pada bab ini peneliti menguraikan beberapa landasan teori yang akan diperlukan untuk menganalisis data sesuai dengan topik pembahasan skripsi ini. Adapun landasan teoretis yang dibahas yaitu pragmatik, konteks, implikatur, prinsip kerjasama, dan novel. A. Pragmatik Pragmatik
merupakan
cabang
linguistik
yang
mempelajari
bahasa.
Pragmatik digunakan untuk berkomunikasi dalam situasi tertentu. 1 Pragmatik mengkaji makna yang dipengaruhi oleh hal-hal di luar bahasa.2 Pragmatik adalah cabang ilmu linguistik yang membahas tentang apa yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan pendengar, dan sebagai pengacuan tanda-tanda pragmatik
bahasa merupakan
pada
hal-hal
cabang
“ekstralingual” yang
ilmu
linguistik
yang
dibicarakan.3 mempelajari
Jadi, hal-hal
ekstralingual dan digunakan dalam percakapan. Pragmatik
mengkaji
prilaku
yang
dimotivasi
oleh
tujuan-tujuan
percakapan.4 Istilah pragmatik lahir dari filsuf Charles Morris yang mengolah kembali pemikir-pemikir filsuf-filsuf pendahulunya mengenai ilmu tanda dan lambang yang disebut semiotika. Dalam pragmatik, makna ujaran dikaji menurut makna yang dikendaki oleh penutur dan menurut konteksnya. Disamping itu, dalam pragmatik juga dilakukan kajian tentang deiksis, praanggapan, implikatur, tindak bahasa, dan aspek-aspek struktur wacana.5
Pragmatics is the sistematic study of meaning by virtue of, or dependent on, the use of language. The central topics of inquiry of pragmatics include implicature, presuposition, speech acts, and deixis.6 (Pragmatik adalah studi sistematis
1
F.X. Nadar, Pragmatik dan Penelitian Pragmatik, (Yogyakarta: GRAHA ILMU, 2009), h. 2 Kushartanti, dkk., Pesona Bahasa: Langkah awal Memahami Linguistik, (Jakarta: Gramedia Pusta, 2005), h. 104 3 Verhaar, Asas-asas Linguistik Umum, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006), h. 14 4 Geoffrey Leech (penerjemah: Oka), Prinsip-Orinsip Pragmatik (Jakarta: Universitas Indonesia, 1993) h. 45 5 Bambang Yudi Cahyono, Kristal-kristal Ilmu Bahasa, (Surabaya: Airlangga University Press, 1995), h. 214 6 Yan Huang, pragmatics, (New York: Oxford University Press Inc., 2007), h. 2 2
9
10
berdasarkan makna, atau tergantung pada, penggunaan bahasa. Topik-topik utama kajian pragmatik memuat implikatur, presuposition, tindak tutur, dan deiksis). Dapat disimpulkan, pragmatik adalah salah satu cabang dari ilmu linguistik yang mengkaji unsur eksternal aspek kebahasaan. Pragmatik studi sistematis yang memuat salah satu topik kajiannya, yaitu implikatur. pragmatik di motivasi oleh tujuan-tujuan tertentu dalam berkomunikasi. Pragmatik mengkaji makna yang dipengaruhi oleh hal-hal dari luar bahasa, pada hakikatnya mempunyai konteks situasi tertentu. B. Konteks Pengertian Konteks dan ciri-ciri konteks Konteks adalah hal-hal yang gayut dengan lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan ataupun latar belakang pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan lawan tutur dan yang membantu lawan tutur menafsirkan makna tuturan.7 Konteks, yaitu unsur yang di luar bahasa, dikaji dalam pragmatik.8 Konteks merupakan latar belakang pengetahuan mengenai situasi fisik dan sosial sebuah percakapan yang berlangsung. Konteks dipelajari dalam ilmu pragmatik yang terdiri dari hal-hal di luar bahasa. We have already noted that we can understand a sentence even if we are unable to tell whether it is true or false. Often we do know the truth value of a sentence, and the knowledge we use to decide is knowledge about the world (assuming of course that the sentence is neither analytic nor contradictory). Knowledge of the world is part of context, and so pragmatics includes how language users apply knowledge of the world to interpret utterances.9
(Kita telah mencatat bahwa kita dapat memahami kalimat bahkan kita tidak dapat mengatakan apakah itu benar atau salah. Seringkali kita tahu nilai kebenaran kalimat
dan
pengetahuan
yang
kita
gunakan
untuk
memutuskan
adalah
pengetahuan tentang dunia (tentu saja dengan asumsi bahwa kalimat tersebut tidak analitik
atau bertentangan).
Pengetahuan tentang dunia adalah bagian dari
konteks, dan pragmatik mencakup bagaimana pengguna bahasa menerapkan pengetahuan dunia untuk menafsirkan ucapan-ucapan). Dari kutipan tersebut kita 7
F.X. Nadar, op. cit., h.6-7 Kushartanti, dkk., loc. cit. 9 Victoria Fromkin dan Robert Rodman, An Introduction to Language; Third Edition, (New York: CBS College Publishing, 1983), h. 189 8
11
dapat menyimpulkan bahwa untuk memutuskan apakah kalimat salah atau benar kita menggunakan pengetahuan tentang dunia. Pengetahuan tentang dunia yaitu bagian dari konteks. Konteks inilah yang kita gunakan untuk menganalisis sebuah percakapan. Konteks berhubungan dengan situasi bahasa (speech situation),situasi sosial, dan saluran. Pengucapan ujaran pada umumnya disertai dengan tingkah laku non-verbal yang disebut para bahasa, yang mencakup gerak anggota tubuh, modulasi suara, raut muka, sentuhan, dan jarak. 10 Salah satu fungsi situasi dan konteks itu ialah membuat pembaca tahu apa sebuah kata, frasa atau kalimat dipakai dengan makna harfiah atau makna kiasan atau retorik. 11 Konteks ialah halhal seperti siapa yang diajak berbicara, dalam situasi yang bagaimana kalimat yang bersangkutan diucapkan.12 Konteks berkaitan dengan situasi sosial, fisik dan saluran percakapan, seperti intonasi, bahasa tubuh, dan mimik wajah. Petutur harus bisa menafsirkan apa yang tersirat dalam percakapan yang disampaikan oleh penutur. Percakapan juga disesuaikan dengan konteks kepada siapa berbicara, di mana, dan dalam hal apa berbicara. Berdasarkan
pengertian
yang telah dipaparkan sebelumnya mengenai
konteks, dapat disimpulkan bahwa konteks adalah unsur di luar bahasa terkait dengan latar belakang pengetahuan yang dimiliki oleh penutur dan lawan tutur. Konteks berhubungan dengan situasi bahasa, situasi sosial, dan saluran, seperti tingkah laku non-verbal. Dell Hymes dalam Wahab menciri unsur konteks sebagai berikut: penyampai, yaitu penutur atau penulis yang mengeluarkan ujaran; penerima, yaitu pendengar atau pembaca yang menerima pesan dalam ujaran; topik, yaitu apa yang sedang dibicarakan oleh penyampai dan penerima. Pengetahuan analisis tentang topik sangat membantu mempertajam analisis wacana yang sedang dihadapinya; setting, yang meliputi waktu, tempat, dan peristiwa. Unsur lainnya adalah saluran, yaitu bagaimana kontak antara penyampai dan penerima dilakukan-lisan atau tulisan. Kemudian ada unsur kontek yang bernama kode, yaitu bahasa atau dialek yang dipakai dalam interaksi. Ada unsur kontek
10
Bambang Yudi Cahyono, op. cit., h. 214-217. Bambang Kaswanti Purwo, Bulir-bulir Sastra dan Bahasa: Pembaharuan Pengajaran, (Yogyakarta: KANISIUS, 1991), h. 82 12 Bambang Kaswanti Purwo, Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurikulum 1984, h. 23
11
12
yang disebut tujuan, artinya hasil akhir dalam komunikasi antara penyampai dan penerima.13
Jadi, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang terdapat di dalam konteks yaitu penutur, petutur, topik yang dibicarakan, setting, cara berkomunikasi, bahsa yang digunakan, dan tujuan dalam berkomunikasi. Menurut cf. Syafi‟ie dalam Rani, konteks pemakaian bahasa dapat dibedakan menjadi empat macam yaitu: a) konteks fisik meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa dalam berkomunikasi; b) konteks epitemis atau latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh penutur dan petutur; c) konteks linguistik
yang terdiri dari kalimat atau ujaran yang
mendahului dan mengikuti ujaran tertentu dalam suatu peristiwa komunikasi; konteks linguistik disebut juga dengan istilah konteks; dan d) konteks sosial yaitu relasi sosial dan latar yang melengkapi hubungan antara penutur dan petutur. 14 Semua konteks pemakaian bahasa tersebut semuanya tentang penutur, petutur, dan ujaran. Ketiga hal tersebut harus sejalan dan konteks yang sama-sama mereka pahami pada saat terjadinya percakapan, hal tersebut merupakan hal yang sangat membentu dalam memaknai sebuah ujaran. C. Implikatur 1. Pengertian Implikatur Implikatur merupakan salah satu kajian utama dalam pragmatik. Pragmatik mengkaji
prilaku
yang
dimotivasi oleh
tujuan-tujuan
percakapan.15
Aliran
pragmatik adalah tindakan aliran struktural yang melucuti kalimat yang pada hakikatnya berkonteks, dan yang pada hakikatnya ada karena digunakan di dalam
13
Abdul Wahab, Butir-butir Linguistik, (Surabaya: Airlangga University Press, 1990), h. 56-57 Abdul Rani, dkk., Analisis Wacana: Sebuah Kajian Bahasa dalam Pemakai an, (Malang: Bayumedia, 2006), h. 190 15 Geoffrey Leech (penerjemah: Oka). Loc. cit. 14
13
komunikasi.16 Berdasarkan pengertian pragmatik yang telah dijabarkan, dapat dilihat bahwa implikatur merupakan topik utama kajian pragmatik. Implikatur merupakan komunikasi yang ditimbulkan karena adanya tujuan-tujuan percakapan yang berkonteks. Grice suggested that a conversational implicature roughly, a set of non-logical inferences which contains conveyed messages which are meant without being part of what is said in the strict sence, can arise from either strictly observing or ostentatiously flouting the maxims. 17
(Grice mengemukakan bahwa implikatur percakapan kurang lebih seperangkat kesimpulan tidak logis yang mengandung penyampaian pesan yang dimaksudkan tanpa menjadi bagian dari apa yang dikatakan dalam arti yang tepat, dapat timbul baik dari penelitian yang tepat atau terang-terangan melanggar maksim). jadi, implikatur adalah penyimpulan informasi atau pesan yang disampaikan di luar dari apa yang dikatakan dalam arti sebenarnya dan melanggar maksim dalam prinsip kerjasama. Pernyataan Grice dalam artikelnya yang berjudul Logic and conversation mengemukakan bahwa sebuah tuturan dapat melibatkan preposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan yang bersangkutan. Preposisi tersebut disebut implikatur (Implicature). Hubungan kedua preposisi itu bukan merupakan akibat mutlak (necessary consequence).”18 Grice mengatakan dalam percakapan
yang
seorang pembicara mempunyai maksud tertentu ketika mengujarkan sesuatu. Maksud yang terkandung di dalam ujaran itu disebut implikatur. 19 Dapat dikatakan bahwa implikatur merupakan tujuan yang terkandung dalam percakapan yang bukan bagian dari tuturan, karena mereka tidak memiliki hubungan yang mutlak. Jika ada dua orang yang bercakap-cakap, percakapan itu dapat berlangsung dengan lancar berkat adanya semacam “kesepakatan bersama”. Kesepakatan itu, antara lain, berupa kontrak tak tertulis bahwa ihwal yang dibicarakan itu harus saling berhubungan atau berkaitan. Hubungan atau keterkaitan itu sendiri tidak terdapat pada masing -masing kalimat secara lepas; maksudnya, makna keterkaitan itu tidak terungkapkan secara “literal” pada kalimat itu sendiri, ini yang disebut implikatur percakapan.20
16
Bambang kaswanti Purwo, op. cit., h. 16 Yan Huang, pragmatics, op. cit., h. 27 18 I Dewa Putu Wijana dan Muhammad Rohmadi, Analisis Wacana Pragmatik; Kajian Teori dan Analisis, (Surakarta: Yuma Pustaka, 2010), h. 37-38 19 Kushartanti, dkk., op. cit., h. 106 20 Bambang kaswanti Purwo, op. cit., h. 20 17
14
Implikatur percakapan juga dapat dikatakan sebagai makna yang tidak terungkap secara harfiah atau langsung di dalam kalimat itu sendiri. Hubungan atau keterkaitan antara tuturan dengan makna yang ingin disampaikan itu saling lepas, tidak mematuhi prinsip kerjasama dalam percakapan. Ungkapan bahwa implikatur ialah ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Sesuatu “yang berbeda” tersebut adalah maksud pembicara yang tidak dikemukakan secara eksplisit. Dengan kata lain, implikatur adalah maksud, keinginan, atau ungkapan-ungkapan hati yang tersembunyi.21
Dapat
disebut
juga
bahwa
implikatur
bukanlah apa yang
sebenarnya diucapkan, penutur menyembunyikan maksud dan keinginan yang sebenarnya. Oleh sebab itu, penutur dan petutur harus memiliki konteks yang sama atas percakapan yang terjadi. ..... Implicatures are pragmatic aspects of meaning and have certain identifiable characteristics. They are partially derived from the conventional or literal meaning of an utterance, produced in a specific context which is share by the speaker and the hearer, and depend on a recognition by the speaker and the hearer of the Cooperative Principle and it‟s maxims. For the analyst, as well as the hearer, conversational implicatures must be treated as inherently indeterminate since they derive from a supposition that the speaker has the intention of conveying meaning and of obeying the Cooperative Principle.22
(..... Implikatur merupakan aspek pragmatik dari makna dan memiliki karakteristik tertentu yang dapat diidentifikasi. Makna dan karakteristik sebagian berasal dari arti konvensional atau harfiah dari ucapan, dihasilkan dalam konteks tertentu yang diberikan oleh pembicara dan pendengar, dan tergantung pada pengakuan pembicara dan pendengar terhadap prinsip kerjasama dan maksimmaksim itu.
Untuk
analis,
serta
pendengar,
implikatur percakapan harus
diperlakukan sebagai sifat tak tentu karena mereka berasal dari anggapan bahwa pembicara Kerjasama).
memiliki
niat
Berdasarkan
menyampaikan penjelasan
makna
mengenai
dan implikatur
mematuhi tersebut
Prinsip dapat
dikatakan bahwa implikatur merupakan bagian dari pragmatik yang memiliki karakteristik sebagian berasal dari konvensional ucapan yang dihasilkan oleh
21
Alek dan Achmad, Linguistik Umum; Sebuah ncangan Awal Memahami Ilmu Bahasa, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h. 152 22 Gillian Brown dan George Yule, Discourse Analysis, (New York: Cambridge University press, 1983), h. 33
15
penutur dan petutur dalam konteks tertentu dan sikapnya terhadap maksimmaksim prinsip kerjasama. Implikatur dapat juga diartikan mengacu ke yang dikomunikasikan petutur tetapi tidak dikatakan oleh penutur.23 Menduga guessing tergantung pada konteks, yang mencakup permasalahan, peserta petuturan dan latar belakang penutur dan lawan tuturnya. Semakin dalam suatu konteks dipahami, semakin kuat dasar dugaan tersebut.24 Dari penjelasan implikatur sebelumnya dapat ditarik bahwa implikatur merupakan tuturan yang tidak secara langsung dan memberikan informasi lebih serta terkadang menuntut petutur untuk menebak apa yang dimaksud oleh penutur. Tebakan atau dugaan itu tergantung kepada konteks tuturan dan yang melatarbelakangi tuturan. Implikatur sebuah ujaran dapat dipahami antara lain dengan menganalisis konteks pemakaian ujaran. Pengetahuan dan kemampuan menganalisis konteks pada waktu menggunakan bahasa sangat menentukan ketepatan menangkap implikatur.
Konteks sangat menentukan makna sebuah ujaran. 25 Implikatur
bergantung kepada pemahaman latar belakang konteks dan situasi kedua pembicara.26
Jadi,
implikatur
melatarbelakangi ujaran pembicara untuk
sangat
peserta
menangkap
dipengaruhi
pembicara.
oleh
konteks
yang
Konteks tersebut memudahkan
makna implikatur. Berikut ini adalah contoh
implikatur percakapan: Konteks: seorang istri menelepon suaminya untuk menanyakan kapan akan sampai di rumah Maika: “Kapan kamu akan sampai di rumah?” Braka: “Seharusnya aku sampai jam delapan, tapi kamu juga tahu bagaimana macet dalam perjalanan ke rumah.”
Jawaban dari Braka terhadap istrinya mengandung setidaknya dua implikatur: pertama, Braka tidak akan sampai di rumah tepat pada jam delapan karena kata seharusnya memiliki arti sesuatu yang tidak akan terjadi sesuai dengan yang 23
Asim Gunarwan, PELBBA 18 Pertemuan Linguistik Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Atma Jaya ke Delapan Belas (Jakarta: Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Unika Atma Jaya, 2007) h. 86 24 F.X. Nadar, op. cit., h. 61 25 Abdul Rani, dkk., op. cit.,h. 181 26 Diemroh Ihsan, Pragmatik, Analisis Wacana, dan Guru Bahasa: Pragmatics, Discourse Analysis, and Language Teachers, (Palembang: Universitas Sriwijaya, 2011) h. 108
16
diharapkan. Hal ini dapat dipahami oleh istrinya. Kedua, keadaan macet dalam perjalanan tidak bisa dipastikan sehingga ketepatan sampai di rumah juga tidak bisa dipastikan. Saat Braka ditanya kapan dia akan sampai di rumah, dia tidak dapat berjanji secara pasti untuk dapat sampai di rumah pukul delapan dengan alasan macet. Peneliti ditimbulkan
menyimpulkan
karena
adanya
bahwa
implikatur
tujuan-tujuan
adalah
percakapan
komunikasi yang
yang
berkonteks.
Penyimpulan informasi atau pesan yang disampaikan di luar dari apa yang dikatakan dalam arti sebenarnya dan melanggar maksim dalam prinsip kerjasama. Informasi yang disampaikan terkadang menuntut petutur untuk menebak apa yang dimaksud oleh penutur. Ada empat manfaat konsep implikatur menurut Levinson dalam Rani yaitu: 1. memberikan penjelasan makna dan fakta kebahasaan yag tidak terjangkau oleh teori linguistik; 2. memberikan penjelasan yang jelas tentang perbedaan lahiriah dari yang dimaksud pemakai bahasa; 3. memberikan pemerian semantik yang sederhana mengenai hubungan klausa yang dihubungkan dengan kata peghubung yang sama; dan 4. memberikan fakta yang secara lahiriah terlihat tidak berkaitan, akan tetapi berlawanan (metafora).27 Berdasarkan uraian tersebut, implikatur sangat bermanfaat dalam menjelaskan mengenai fakta kebahasaan yang tidak dapat di jangkau oleh teori-teori linguistik. Implikatur juga bermanfaat untuk menjelaskan makna yang berbeda dan terlihat tidak berhubungan dari apa yang dituturkan. Berikut adalah beberapa teori yang membahas tentang implikatur. Akan tetapi, peneliti lebih fokus menggunakan teori yang disampaikan oleh Grice dan Sperber dan Wilson. Grice menjelaskan teori mengenai prinsip kerjasama percakapan dan pelanggaran terhadap prinsip kerjasama percakapan. Sementara 27
Abdul Rani, dkk., op.cit., h. 173
17
itu, Sperber dan Wilson menjelaskan teori relevansi.
Adapun teorinya, yaitu
sebagai berikut: Teori Grice Istilah implikatur sering kali dikaitkan dengan Grice, yang mengasumsikan di dalam komunikasi orang hendaklah bekerjasama dengan mitra wicaranya (petutur) agar komunikasi efisien dan efektif. Partisipan komunikasi harus mematuhi PKS (prinsip kerjasama) yang dapat dijabarkan menjadi empat maksim, yaitu
maksim keinformatifan,
kebenaran,
relevansi,
dan maksim kejelasan.
Namun, partisipan komunikasi pada umumnya tidak mematuhi PKS (prinsip kerjasama) Grice. Salah satu sebabnya adalah bahwa komunikasi itu tidak selalu berupa penyampaian pesan atau informasi saja.28 Grice memostulatkan bahwa peserta
dalam
komunikasi
seharusnya
memenuhi
prinsip
kerjasama
agar
komunikasi efektif dan efisien. Namun, komunikasi yang dilakukan tidaklah hanya sekedar memberikan pesan sehingga peserta komunikasi sering melanggar prinsip kerjasama Grice. The point of the Co-operative principle and the maxims is not to tell people how to behave, of course. The point is that speakers are permitted to flout the maxims in order to convey something over and above the literal meaning of the utterance. .... it is useful to have some way of referring to the kind of preposition that a speaker intends to convey in this implicit fashion, and the standard term for this is conversational implicature. The implicature is conversational because it only arises in an appropriate conversational context.29
(Maksud dari prinsip kerjasama dan maksim tidak memberitahu orang bagaimana berperilaku, tentu saja. Intinya adalah bahwa pembicara diizinkan untuk melanggar maksim dalam rangka untuk menyampaikan sesuatu atas dan di atas arti harfiah dari ucapan. .... hal ini berguna untuk memiliki beberapa cara mengacu pada jenis preposisi bahwa pembicara bermaksud untuk menyampaikan dengan cara implisit, dan istilah standar untuk ini adalah implikatur percakapan. Implikatur percakapan ini karena hanya muncul dalam konteks percakapan yang tepat). Jadi, peneliti menyimpulkan kutipan tersebut bahwasasnya prinsip kerjasama bukanlah prinsip yang mendiktekan bagaimana cara seseorang melakukan percakapan. Maksim yang ada pada prinsip kerja sama dapat dilanggar untuk menyampaikan informasi sesuai dengan tuturan atau di luar tuturan.
28
Ibid., h. 87 Andrew Radford, dkk., Linguistics An Introduction; Second Edition, (New York: Cambridge University Press, 2009), h. 397 29
18
Grice berpendapat bahwa untuk menggali kandungan eksplisit dari sebuah ujaran adalah sama dengan menggali apa yang kita sebut dengan proposisional dan mood yang diekspresikannya; sementara semua bentuk asumsi lain yang dikomunikasikan oleh ujaran, baik yang dikodekan maupun yang disimpulkan, adalah implikatur. Implikatur yang dikodekan adalah apa yang ia sebut “implikatur konvensional” sementara implikatur yang disimpulkan adalah “non-konvensional”, dimana salah satu dari bentuk implikatur non-konvensional yang paling kita kenal adalah “implikatur percakapan”. 30
Implikatur adalah segala yang disimpulkan dan dikodekan dalam sebuah ujaran yang
dikomunikasikan.
Implikatur
yang
dikodekan
dikenal
juga
dengan
implikatur konvensional. Implikatur percakapan adalah salah satu dari implikatur non-konvensional. “By providing a description of the norms speakers operate with in conversation, Grice makes it possible to describe what types of meaning a speaker can convey by „flouting‟ one of this maxims. This flouthing of a maxim results in the speaker conveying, in addition to the literal meaning of his utterance, an additional meaning, which is conversational implicature.”31
(Dengan memberikan gambaran tentang norma-norma tindakan pembicara dalam percakapan, Grice memungkinkan untuk menggambarkan jenis makna apakah seorang pembicara dapat sampaikan dengan 'melanggar' salah satu dari maksimmaksim ini.
Pelanggaran maksim-maksim ini hasil dari yang disampaikan
pembicara, di samping arti harfiah dari ucapannya, arti tambahan, yaitu implikatur percakapan). Jadi, implikatur percakapan adalah hasil dari pelanggaran maksim yang dilakukan oleh penutur disamping arti secara konvensional. “Menurut Leech dalam Rani mengomentari prinsip percakapan Grice tersebut sebagai kendala dalam berbahasa. Prinsip itu berlaku secara berbeda dalam konteks penggunaan yang berbeda. Maksim berlaku dalam tingkatan berbeda dan tidak ada prinsip yang berlaku secara mutlak atau sebaliknya tidak berlaku sama sekali.”32 Jadi, sanggahan Leech tersebut menyatakan bahwa prinsip kerjasama Grige memiliki kedala dalam berbahasa. Kendala tersebut terdapat pada prinsip yang menyesuaikan terhadap konteks dan maksim bukanlah suatu hal yang mutlak. Grice argues that these maxims can account for the gap between linguistic semantic meanings and coveyed meanings, because they serve as a basis for generating implicit meanings, particularized conversational implicatures (henceforth implicatures throughout). Surprisingly perhaps, these maxims are responsible for our generating 30
Dan Sperber dan Deirdre Wilson (penerjemah: Suwarna, dkk.), Teori Relevensi; Komunikasi dan Kognisi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 266 31 Gillian Brown dan George Yule, op. cit., h. 32 32 Abdul Rani, dkk., op.cit., h. 172
19
implicatures both when we observe the maxims, and when the flout them. The reasons for the generation of implicatures under these different circumstances are di fferent, of course in the first type of case, an implicature is generated because of the assumption that the speaker is following the cooperative principle (CP). Obeying the CP creates expectations that the maxims are being adhered to as well. If so, the speaker is seen as generating as implicatures whatever assumptions are needed in order to view the speaker as obeying the maxims.33
(Grice berpendapat bahwa maksim ini dapat menjelaskan kesenjangan antara makna semantik linguistik dan makna kelompok, karena mereka berfungsi sebagai dasar
untuk
menghasilkan
(selanjutnya bertanggung
seluruh jawab
makna
implikatur). untuk
implisit,
terutama implikatur percakapan
Mungkin
menghasilkan
mengherankan,
implikatur
kita
baik
maksim
ini
ketika
kita
mengamati prinsip-prinsip, dan ketika melanggar mereka. Alasan untuk generasi implikatur dalam keadaan yang berbeda, tentu saja dalam jenis kasus pertama, implikatur yang dihasilkan karena asumsi bahwa pembicara mengikuti prinsip koperasi (CP). Mematuhi CP menciptakan harapan bahwa maksim sedang dipatuhi
juga.
Jika
demikian,
pembicara
dipandang
sebagai menghasilkan
implikatur apapun asumsi yang diperlukan dalam rangka untuk melihat pembicara mematuhi maksim). Peneliti menyimpulkan bahwa maksim yang ada di prinsip kooperatif atau prinsip kerjasama menurut Grice merupakan landasan dari terjadinya implikatur dalam percakapan. Terlepas dari melanggar atau tidaknya pembicara terhadap prinsip kerjasama. Akan tetapi, kepatuhan akan maksim merupakan asumsi yang pertama penyebab terjadinya implikatur. Teori Sperber dan Wilson “Sperber dan Wilson mengkritik PKS yang diutarakan Grice. Sperber dan Wilson berpendapat bahwa yang terpenting dari bidal-bidal yang disampaikan Grice adalah bidal relevansi. Bidal relevansi menjadi titik tolak dari teori relevansi. Relevan berarti berhubungan atau berkaitan dengan hal yang sedang dibicarakan.”34
Teori
relevansi
bertujuan
menerangkan
komunikasi
secara
keseluruhan, baik yang eksplisit maupun yang implisit. Teori Grice bertujuan menerangkan komunikasi yang dayanya dapat ditarik secara eksplisit. 35 Relevance 33
Mira Ariel, Reaserch Surveys in Linguistics; Difining Pragmatics, (New York: Cambridge University Press, 2010), h. 121-122 34 Ibid., h. 91 35 Ibid., h. 95
20
Theory maintains that speakers comply with a Communicative Principle of Relevance, which states that when someone communicates in some way, that communicative act brings with it a guarantee of its own optimal relevance.36 (Teori Relevansi menyatakan bahwa pembicara mematuhi Prinsip Komunikatif dari Relevansi,
menyatakan bahwa ketika seseorang berkomunikasi dalam
beberapa
tindakan
cara,
komunikatif
membawa
serta
jaminan
relevansi
optimalnya sendiri). Jadi, Sperber dan Wilson lebih mementingkan bidal relevansi yang menjadi dasar dari teori relevansi. Teori ini bertujuan untuk menerangkan komunikasi baik secara langsung maupun tidak langsung. Tindakan komunikasi membawa jaminan relevansi sendiri dengan mematuhi prinsip komunikatif dari relevansi. Eksplikatur
menentukan
dampak
kontekstual
dari
ujaran
sehingga
menentukan sebagian besar dari relevansinya. ..... Prinsip relevansi menuntun proses penggalian implikatur. .... Implikatur dari sebuah ujaran digali dengan merujuk
pada pengharapan yang diekspresikan penutur tentang bagaimana
ucapannya harus mencapai relevansi optimal.37 Jadi, tercapainya suatu relevansi yang optimal terjadi karena ekspresi dari harapan penutur terhadap implikatur yang merujuk kepada konteks. Prinsip relevansi lah yang menuntun untuk menggali makna implikatur yang didasari oleh konteks tuturan. “Intuitively, an input (a sight, a sound, an utterance, a memory) is relevant to an individual when it connects with background information he has available to yield conclusions that matter to him: say, by answering a question he had in mind, improving his knowledge on a certain topic, settling a doubt, confirming a suspicion, or correcting a mistaken impression.”38
(Secara intuitif, masukan (pandangan, suara, ucapan, memori) relevan dengan individu ketika terhubung dengan latar belakang informasi yang dia sediakan untuk
menghasilkan
kesimpulan
yang
penting
baginya: katakanlah,
dengan
menjawab pertanyaan yang ada dalam pikirannya, meningkatkan pengetahuan tentang topik tertentu, menetap keraguan, mengkonfirmasikan kecurigaan, atau mengoreksi kesan keliru). Kesimpulan dari peneliti yaitu segala pengetahuan, pandangan,dan ucapan yang dimiliki oleh pembicara relevan dengan konteks yang 36
Andrew Radford, dkk., op. cit., h. 399 Dan Sperber dan Deirdre Wilson (penerjemah: Suwarna, dkk.), op. cit., h. 283-284 38 Charles F. Meyer, Introducing English Linguistics, (New York: Cambridge University Press, 2009), h. 61
37
21
melatarbelakangi tuturan, tersimpan di dalam memori
untuk merespon dan
menjawab segala informasi yang disediakan. Jawaban itu bisa berupa konfirmasi mengenai dugaan, keraguan, dan meningkatkan pengetahuan mengenai topik tertentu. The principle of Relevance requires that the speaker balances informativeness (or rather, contextual effects) on the one hand, and processing cost on the other. The ideal situation would be to produce maximal cognitive effects for a minimal processing cost. However, there is an asymmetry between the requirements of processing cost and contextual effects. 39
(Prinsip Relevansi membutuhkan keseimbangan keinformatifan pembicara (atau lebih tepatnya, efek kontekstual) di satu sisi, dan juga nilai proses di sisi lain. Situasi yang ideal akan menghasilkan efek kognitif maksimal untuk nilai proses minimal.
Bagaimanapun,
adanya
ketidakseimbangan
antara
kebutuhan
nilai
proses dan efek kontekstual). Jadi, semakin sedikit nilai proses suatu komunikasi, maka semakin maksimal efek kognitif yang dihasilkan. Dalam prinsip relevansi keseimbangan antara kontekstual dan nilai dalam proses komunikasi haruslah seimbang. Sperber dan Wilson menyatakan bahwa dari prinsip relevansi itu dapat dikatakan bahwa surplus informasi yang diberikan dalam jawaban tak langsung tentu dalam mencapai relevansi lain tertentunya sendiri. 40 Contohnya, Konteks: Si A ingin mengajak Si B makan bersama A: “Maukah kau makan malam bersamaku?” B: “Aku akan pergi menemani ibu ke supermarket.”
Setiap kontribusi percakapan dalam kerangka teoritis relevansi, jawaban yang diberikan B mengomunikasikan sebuah anggapan relevansi sendiri. A mengetahui anggapan ini dan memproses jawaban B bukan hanya sebagai penolakan tak langasung terhadap tawaran A, tetapi juga sebagai upaya untuk mencegah pertanyaan tentang alasan bagi penolakan ini dengan memberikan alasan semacam sebelumnya. Jaminan relevansi yang tersirat dalam penegasan ujaran petutur dalam kerangka teoritis relevansi sekali lagi dalam hal ini sudah berperan memengaruhi bagaimana A memproses jawaban tak langsung B. 41 Pada contoh 39
Mira Ariel, op. cit., h. 139 Louise Cummings (Eti Setiawati, dkk.), Pragmatik, Sebuah Perspektif Multidisiplin (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 30 41 Ibid 40
22
tersebut, B menemukan relevansi dari jawaban A berdasarkan pengetahuannya sendiri berdasarkan konteks yang dimiliki bersama. B mengetahui jikalau A menolak ajakannya dan A memberikan jawaban seperti di contoh karena dia mengantisipasi supaya tidak terjadi lagi pertanyaan berikutnya. Berikut adalah salah satu contoh yang membuktikan teori implikatur Sperber dan Willson lebih kuat dari teori implikatur Greice. Konteks: dua orang teman sedang membicarakan film yang mereka sukai Penutur A: “Saya suka film perang, kamu?” Petutur B: “Drama musikal akan lebih menyenangkan.”
Jawaban B merupakan tindak tutur tidak langsung yang memiliki implikatur percakapan. Yang langsung akan berbunyi saya tidak suka film perang atau elipsisnya Tidak. Percakapan tersebut telah melanggar PKS Grice, dengan teori Sperber dan Wilson, implikatur yang dimaksudkan B itu tidak suka menonton film perang. Bisa juga terdapat implikatur yang lain bahwa B pada saat itu lebih senang menonton drama musikal terlebih dahulu. Jawaban dari B bisa di pahami oleh A karena mereka memahami konteks yang ada. Implikatur percakapan melanggar PKS Grice, misalnya meniadakan bidal atau maksim kuantitas karena penutur tidak mengetahui dengan pasti jawaban dari pertanyaan penutur yang membutuhkan jawaban dengan maksim kuantitas. Petutur menjawab pertanyaan dengan maksim kualitas agar percakapan dapat berjalan dan penutur mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. Pelanggaran terhadap satu maksim bertujuan untuk menutupi maksim yang lainnya. Sperber and Wilson‟s Relevance Theory argues for a single Principle of Relevance to replace all of Grice‟s maxims. This principle operates to ensure that speakers‟s utterances an Optimally Relevances namely, that they provide an adequate number of contextual effects for the most minimal processing effort.42
(Teori Relevansi Sperber dan Wilson berpendapat Prinsip tunggal Relevansi untuk mengganti semua maksim Grice. Prinsip ini beroperasi untuk memastikan bahwa ucapan-ucapan pembicara itu sebuah Relevansi
Optimal yakni, bahwa
mereka menyediakan jumlah efek kontekstual yang memadai untuk usaha pengolahan yang paling minimal). Jadi, prinsip relevansi dapat menggantikan 42
Mira Ariel, op. cit., h. 143
23
prinsip-prinsip Grice. Prinsip relevansi ini untuk mengetahui apakah tuturan yang dilontarkan memiliki relevansi yang optimal yaitu efek kontekstual sepadan dengan usaha yang dibutuhkan dalam proses berkomunikasi. Penutur
tidak
hanya
bermaksud
menyebabkan
efek
tertentu
pada
pendengarannya melalui penggunaan ujarannya; malahan, efek ini hanya dapat dicapai dengan tepat apabila maksud untuk menghasilkan efek ini diketahui oleh pendengar. Oleh karena itu, dia tidak merupakan bagian dari maksud komunikasi penutur.43 Jadi, maksud yang ingin disampaikan oleh penutur tidak merupakan bagian dari tuturan secara literal. Tuturan dapat dipahami oleh petutur apabila petutur menyadari konteks dan maksud yang ingin disampaikan. A central idea of Relevance Theory is that an utterance is relevant to a hearer when the hearer can gain positive cognitive effects from that utterance, that is some useful information. There are two aspects to this. Firstly, the most relevant interpretation of an utterance must lead to inferences that the hearer would not otherwise have been able to make. Secondly, these inferences must be accessible to the hearer in the sense that it must be possible to draw those inferences in a short space of time with relative little effort. If the inferential process requires too much effort, then the inferences cannot be drawn. 44
(Ide sentral Teori Relevansi adalah bahwa ucapan relevan dengan pendengar ketika pendengar dapat memperoleh efek kognitif positif dari ucapan, itu merupakan beberapa informasi yang berguna. Ada dua aspek. Pertama, penafsiran yang paling berkaitan dengan tuturan harus didahului dengan kesimpulan bahwa pendengar tidak akan bisa menafsirkan kesimpulan. Kedua, kesimpulan ini harus dapat diakses oleh pendengar dalam arti bahwa harus memungkinkan untuk menarik kesimpulan mereka dalam waktu singkat dengan relatif sedikit usaha. Jika proses inferensial memerlukan terlalu banyak usaha, maka kesimpulan tidak dapat ditarik). Berdasarkan kutipan tersebut peneliti menyimpulkan bahwa pendengar akan memperoleh efek positif dari sebuah ujaran apabila ujaran tersebut relevan dengan konteks yang melatarbelakanginya. Ada dua aspek positif, pertama yaitu penutur harus menyimpulkan terlebih dahulu bahwa pendengar tidak mampu menafsirkan kesimpulan. Kedua, kesimpulan harus dapat diakses oleh pendengar, menarik kesimpulan dalam waktu yang singkat dan sedikit usaha. Relevant information, emphasize Sperber and Wilson, must n ot involve an unjustifiably high processing cost to the adderssee. A maximal degree to the Relevance then means that the speaker is conveying the most informative message (enabling a maximal number of contextual effects), but imposing on the addressee only a relatively low processing effort. Other things being equal, extracting more contextual implications comes with a higher processing cost to the addressee: first, speakers would have to say 43 44
Ibid., h. 13 Andrew Radford, dkk., op. cit., h. 399
24
more, imposing on the addressee more interpretative processing, a nd second addressees might have to access less and less accessible contexts, in order to drive more and more contextual implications. This does not constitute a reasonable mechanism for everyday communication, argue Sperber and Wilson. 45
(Informasi yang relevan, yang ditekankan Sperber dan Wilson, tidak harus melibatkan nilai proses paling tinggi dalam penyampaian suatu maksud. Tingkat maksimal kerelevansian berarti bahwa pembicara dapat menyampaikan pesan yang paling informatif (memungkinkan jumlah maksimal dari efek kontekstual), tapi memaksakan pada penerima hanya proses usaha yang relatif rendah. Hal lain dianggap sama, penggalian implikasi yang lebih kontekstual datang dengan nilai proses yang lebih penting dalam penyampaian suatu maksud: pertama, pembicara harus mengatakan lebih, memaksakan pada penerima proses lebih interpretatif, dan kedua petutur mungkin harus kurang mengakses dan konteks kurang dapat diakses, dalam mendorong semakin banyak implikasi kontekstual. Hal ini bukan merupakan mekanisme yang wajar untuk komunikasi sehari-hari, pendapat Sperber dan Wilson). Jadi, untuk menyampaikan suatu maksud tidak harus melibatkan nilai proses yang tinggi untuk menyimpulkannya. Tuturan akan memiliki relevansi yang
maksimal apabila memiliki nilai kontekstual yang
maksimal dan meminimalkan usaha pendengar dalam menyimpulkan tuturan atau pesan yang dimaksud. Penafsiran informasi yang lebih kontekstual ada dua cara, yang pertama yaitu penutur harus menyampaikan informasi yang lebih. Kedua, penutur tidak memberikan informasi yang lebih dan tidak sesuai dengan konteks, dalam mendorong implikasi kontekstual. Relevant information need to be new, then. What is crucial, however, is that it modifies assumptions entertained by the addreses. This means th at Relevant information necessarily interacts with assumptions already available to the addresses. Indeed, the third, and most common way in which an utterance achieves Relevance is by combining with currently accessible contextual assumptions to yield further contextual implications. Contextual implications are conclusions drawn from premises derived from both contextual assumptions and the information conveyed by the speaker. 46
(Informasi yang relevan harus baru. Apa yang penting, bagaimanapun, bahwa memodifikasi anggapan dilakukan oleh sialamat. Ini berarti bahwa informasi yang relevan harus berinteraksi dengan anggapan yang sudah tersedia ke sialamat. Memang, cara ketiga, dan yang paling umum di mana ucapan mencapai Relevansi 45 46
Mira Ariel, op. cit., h. 138 Mira Ariel, op. cit., h. 137
25
adalah menggabungkan dengan anggapan kontekstual saat ini diakses untuk menghasilkan implikasi kontekstual lebih lanjut. Implikasi kontekstual adalah kesimpulan yang diambil dari tempat yang berasal dari kedua anggapan kontekstual
dan
informasi
yang
disampaikan
oleh
pembicara).
implikasi
kontekstual adalah informasi yang sesuai dengan konteks pembicaraan dan yang melatarbelakangi pembicaraan tersebut. Informasi yang relevan adalah informasi yang baru. Pendengar harus mampu memodifikasi informasi yang di peroleh dengan informasi yang ada pada memorinya. Mencapai suatu relevansi apabila menggabungkan kontekstual saat ini untuk menghasilkan kontekstual selanjutnya. 2. ciri-ciri implikatur Ciri-ciri implikatur ada lima yaitu dapat terbatalkan, tak terlekatkan dari apa yang sedang dikatakan, bukan bagian dari makna ungkapannya, tidak dibawakan oleh apa yang dikatakannya, dan tak terbatas.
47
a) dapat terbatalkan maksudnya pernyataan yang diberikan oleh penutur dapat dibatalkan dengan memilih keluar dari prinsip kooperatif percakapan. Contoh: kita dapat saja menambahkan Saya tidak bermaksud untuk menyiratkan; b) tak terelakkan dari apa yang sedang dikatakannya yaitu hal yang sama dikatakan dengan cara yang berbeda, maka implikatur yang sama akan melekat pada kedua sikap ungkapan tersebut. Implikatur yang sama „telah gagal mencapai sesuatu‟ melekat pada ungkapan-unkapannya. Contoh, „Aku mencoba untuk melakukannya‟ dan „Aku berusaha untuk melakukannya‟ ujaran-ujaran ini
melekat pada parafrase-
parafrase; c) bukan bagian dari makna ungkapannya. Maksud dari pernyataan tersebut yaitu makna yang tersimpan dari tuturan bukan bagian dari ungkapannya. Contohnya dalam kata „agaknya‟ itu dapat mengandung dua makna yang tergantung pada pengetahuan sebelumnya terhadap makna kata tersebut;
47
Hindun, Pragmatik untuk Perguruan Tinggi, (Depok: Nufa Citra Mandiri, 2012), h. 46-47
26
d) tidak
dibawakan dari apa
yang dikatakan yaitu makna yang
disampaikan bukan bawaan dari proposisionalnya; dan e) tak terbatas. Maksudnya makna yang dihasilkan oleh tuturan tak terbatas karena tidak terikat secara harfiah. Berdasarkan ciri-ciri yang telah dijelaskan tersebut, implikatur bukanlah sesuatu yang kaku. Pelanggaran terhadap prinsip kerjasama dapat membatalkan pernyataan yang dituturkan oleh penutur. Tuturan yang disampaikan tidak membawakan makna yang yang dimaksud oleh penutur. Grice characterizes a potential interpretation as an implicature if it fulfills certain conditions. (1) Implicatures are not part of the conventional, semantic meaning; (2) implicatures are nondetachable, namely, they would be generated from the same content of utterance in the same context even if the utterance was to be differently phrased (with the exclusion of manner implicatures); (3) implicatures must be computable, that is, we should be able to reconstruct all the assumed steps required in generating them; (4) implicatures are not fully determinate (they are open ended to some extent), since there may be more than one way to explain the speaker‟s adherence to the cooperative principles while flouting some maxim: (5) implicatures are cancelable, which means that we can explicitly deny our commitment to them without creating a contradiction. 48
(Ciri interpretasi potensi Grice sebagai implikatur bila memenuhi kondisi tertentu. (1) Implikatur bukan bagian dari konvensional, makna semantik, (2) implikatur yang tidak dapat dilepaskan, yaitu mereka akan dihasilkan dari konten yang sama dari ucapan dalam konteks yang sama bahkan jika ucapan itu harus berbeda diutarakan (dengan pengecualian implikatur cara), (3) implikatur harus diperhitungkan, yaitu kita harus mampu merekonstruksi semua langkah yang diperlukan
diasumsikan
dalam menghasilkan
mereka,
(4)
implikatur
tidak
sepenuhnya sudah tentu (mereka terbuka berakhir sampai batas tertentu), karena mungkin ada lebih dari satu cara untuk menjelaskan kepatuhan pembicara dengan prinsip-prinsip kerjasama sambil melanggar beberapa maksim: (5) implikatur dapat dibatalkan, yang berarti bahwa kita dapat secara eksplisit menyangkal komitmen kita kepada mereka tanpa membuat kontradiksi). Jadi, implikatur harus memenuhi beberapa persyaratan, pertama, bukanlah makna sebenarnya atau makana dari apa yang disampaikan atau konvensional. kedua, implikatur merupakan hasil dari konteks yang sama dan saling terkait. Ketiga, implikatur
48
Mira Ariel, op. cit., h. 124-125
27
harus direncanakan dan diperkirakan. Keempat, implikatur bukanlah hal yang kaku. Kelima, implikatur dapat sangkal dan dibatalkan. Implikatur memiliki dua sifat yang menurut para ahli pragmatik. a) semuanya bersifat tertentu atau tegas. Premis dan kesimpulan secara tegas mengandung kandungan yang logis; b) bertanggung
jawab
sepenuhnya
bagi kebenaran
premis
dan
kesimpulan. ..., ada kecendrungan dalam pragmatika modern untuk melakukan implikatur dengan cara ini: yaitu sebagai asumsiasumsi yang tegas dimana penuturnya bertanggung jawab atas isinya seolah dia telah menyatakan secara langsung.49 Jadi, implikatur harus memiliki sifat yang tegas dan bertanggungjawab terhadap premis dan kesimpulan yang dilakukan. Setiap penutur harus memiliki sifat yang tegas terhadap asumsi-asumsi yang disampaikannya
dan
bertanggung
jawab
terhadap
isi
yang
disampaikan dengan menganggap bahwa itu merupakan tuturan secara langsung dan harus memiliki kelogisan. Aneka Tindak Tutur dalam Pengungkapan Implikatur Pengungkapan di dalam berkomunikasi menurut kerangka teori Parker (1986) sekurang-kurangnya dapat dibedakan menjadi empat yaitu tindak tutur langsung, tindak tutur tidak langsung, tindak tutur literal, tindak tutur tidak literal. Literal dan tidak leteral sama saja dengan langsung dan tidak langsung maka oleh karena itu akan dipaparkan pengungkapan dengan tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsunng. Dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Pengungkapan dengan Tindak Tutur Langsung Tindak tutur langsung adalah tindak tutur yang maksud pertuturannya diungkapkan dengan kalimat-kalimat yang sesuai dengan modusnya, yakni kalimat berita untuk memberitakan, kalimat tanya untuk bertanya, dan kalimat memerintah untuk memerintah. 49
Dan Sperber dan DeirdreWilson (penerjemah: Suwarna, dkk.), op. cit., h. 286
28
2) Pengungkapan dengan Tindak Tutur Tidak Langsung Tindak
tutur tidak
langsung adalah tindak tutur yang situasi atau
pertuturannya diutarakan dengan modus kalimat yang tidak bersesuaian. Misalnya
maksud
sebagainya.
50
memerintah
diutarakan
dengan
kalimat
tanya,
dan
Jadi, Pengungkapan tindak tutur langsung dan tidak langsung dalam berkomunikasi sama saja dengan literal dan tidak literal. Tindak tutur langsung,
tuturannya
diungkapkan
sesuai dengan
maksud
pembicaraan.
Tindak tutur tidak langsung, tuturan yang diutarakan tidak bersesuaian dengan maksud yang diinginkan penutur. Contoh, kalimat berita dimaksudkan untuk memerintah. Levinson
dalam
PWJ
Nababan
dalam
Alek
mengemukakan
Keberadaan Implikatur dalam suatu percakapan (wacana dialog) diperlukan antara lain untuk: 1. Memberikan penjelasan fungsional atas fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau oleh teori-teori linguistik struktural; 2. Menjembatani proses komunikasi antarpenutur; 3. Memberikan penjelasan yang tegas dan eksplisit tentang bagaimana kemungkinan pemakai bahasa dapat menangkap pesan, walaupun hal yang diucapkan secara lahiriah berbeda dari hal yang dimaksud; 4. Dapat menyederhanakan pemerian semantik dari perbedaan hubungan antarklausa, meskipun klausa-klausa itu dihubungkan dengan kata dan struktur yang sama; dan 5. Dapat menerangkan berbagai macam fakta dan gejala kebahasaan yang secara lahiria tidak berkaitan.51 Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa implikatur diperlukan untuk memberikan penjelasan fungsional atas fakta kebahasan yang tidak tercapai oleh linguistik struktural. Selain itu implikatur juga diperlukan untuk menjembatani 50 51
I Dewa Putu Wijana dan Muhammad Rohmadi, op. cit., h. 126-127 Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Pragmatik, (Bandung: Angkasa, 2009), h. 154-155
29
proses komunikasi, memberipenjelasan yang tegas, menyederhanakan pemerian semantik, dan dapat menerangkan fakta kebahasaan yang secara harfiah tidak terkait. 3. Macam-macam Implikatur Menurut Gazdar dalam PELBA 18, keempat maksim prinsip kerjasama Grice perlu dirumuskan kembali sebagai landasan penarikan implikatur. Menurut Gazdar, implikatur dapat dibedakan menjadi dua, yakni implikatur khusus dan implikatur umum. Berikut adalah contoh implikatur khusus yang ada di contoh pertama dan contoh kedua merupakan implikatur umum. 1. A: apakah Saudara mengundang Ali dan Ahmad? B: saya mengundang Ali Implikatur yang terdapat dalam dialog tersebut bahwa B tidak mengundang Ahmad, Ia hanya mengundang Ali. 2. Saya sedang duduk-duduk disebuah taman. Tiba-tiba seorang anak muncul menloncati pagar. Implikatur dalam kalimat tersebut yaitu anak yang melompati pagar bukanlah
anak
si
penutur.
Hal
tersebut
karena
penutur
menggunakan kata “seorang”.52 Berdasarkan contoh tersebut, contoh pada nomor satu (1) mengharuskan lawan bicara (A) memiliki pengetahuan yang khusus. Jawaban yang diberikan oleh B mengisyaratkan bahwa dia tidak mengundang Ahmad, hanya mengundang Ali. Pada contoh nomor dua (2) setiap orang yang mendengar atau membaca contoh tersebut, mereka akan langsung mengetahui kalau si penutur menyebut “seorang” secara langsung menandakan anak itu bukanlah anaknya. tidak memerlukan latar belakang pengetahuan khusus untuk itu. Adapun pendapat lain mengenai implikatur umum dan implikatur khusus yaitu sebagai berikut: a) Implikatur percakapan umum 52
Asim Gunarwan, op. cit., h. 88-89
30
Dalam kasus contoh, tidak ada latar belakang pengetahuan khusus dan konteks tuturan yang diminta untuk membuat kesimpulan yang diperlukan. Konteks, Doobie menanyakan Mary tentang undangannya ke sebuah pesta kepada temannya Bella dan Cathy. Doobie: Did you invite Bella and Cathy? (Apakah Anda mengundang Bella dan Cathy?) Mary: I invited Bella. (Saya mengundang Bella).
Pengetahuan
khusus
tidak
dipersyaratkan
untuk
memperhitungkan
makna
tambahan yang disampaikan. b) Implikatur percakapan khusus Sering kali percakapan terjadi dalam konteks yang sangat khusus dimana kita mengasumsikan informasi yang kita ketahui secara lokal. Inferensi-inferensi yang sedemikian dipersyaratkan untuk menentukan maksud yang disampaikan menghasilkan implikatur percakapan khusus. Sebagai ilustrasi, dimana jawaban Tom tidak tampak pada awalnya untuk mengikuti relevansi . (Sebuah jawaban relevan yang sederhana adalah „YA‟ atau „TIDAK‟). Rick : Hey, coming to the wild party tonight? (Hei, apakah kau akan menghadiri pasta yang meriah nanti malam?) Tom : My parents are visiting. (orang tuaku akan mengunjungiku)
Untuk membuat jawaban Tom menjadi relevan, Rick harus memiliki persediaan sedikit pengetahuan yang diasumsikan bahwa salah satu mahasiswa dalam adegan ini mengharapkan sesuatu yang lain yang akan dikerjakan. Implikatur khusus hanya disebut implikatur.53 Jadi, implikatur umum tidak ada persyaratan menuntut
khusus adanya
yang
melatarbelakangi
persyaratan
khusus
percakapan.
dalam percakapan,
Implikatur
khusus
seperti memiliki
pengetahuan yang sama mengenai konteks percakapan dan relevansi percakapan yang sedang dilakukan. Menurut Grice dalam Rani dkk., dalam pemakaian bahasa terdapat implikatur yang disebut implikatur konvensional dan implikatur percakapan. Implikatur
konvensional ditentukan
oleh „arti konvensional kata-kata yang
dipakai‟. Implikatur percakapan mengutip prinsip kerjasama, yakni kesepakatan 53
George Yule, Pragmatik , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 70-74
31
bahwa hal yang dibicarakan oleh partisipan harus berkait. 54 Jadi, implikatur konvensional berdasarkan arti dari kata-kata yang dituturkan dan sesuai dengan aturan konvensionalnya. Implikatur percakapan harus memiliki keterkaitan dalam tuturan walaupun tidak mentaati keseluruhan dari aturan konvensional. Contoh dari implikatur konvensional terdapat dalam kalimat berikut. Dia orang Minang karena itu dia suka pedas. Contoh kalimat tersebut memiliki implikasi bahwa hubungan seperti itu ada. Kalau ada orang Minang yang tidak suka pedas, implikaturnya yang keliru, tapi ujarannya tidak salah. Unlike the conversational implicatures, conventional implicatures do not require any reference to the context, nor the Grecian maxims: they are not calculable, they are also detachable, quite determinate, and they are noncancelable. With respect to all the se features, conversational implicatures are rather like semantic meanings. 55
(Berbeda
dengan
implikatur
percakapan,
implikatur
konvensional
tidak
memerlukan referensi ke konteks , maupun maksim Grice: mereka tidak dapat dihitung, mereka juga dilepas, cukup menentukan, dan mereka tidak dapat dibatalkan. Sehubungan dengan semua fitur ini, implikatur percakapan agak seperti makna semantik). Segerdahl in Cummings stated that articularised conversational implicatures are the type of implicature that is most often investigated in clinical pragmatic studies. However, Grice proposed another main category of implicature called generalised conversational implicature, one type of which scalar implicature, has also been examined by clinical investigator. For the example in which the sentence in A may be take implicate B: A: There will be eight of us on the committee. B: There won‟t be more than eight of us on the committee. Sacalar implicatures are so-called because linguistic features are arranged along a scale according to their information content. The affirmation of one feature on the scale (in the example above, number eight)implicates that all the informatively stronger features on scale (e.g. nine, ten, eleven, etc.) do not hold. 56
(Segerdahl
dalam
Cummings
menyatakan
bahwa
secara
jelas
implikatur
percakapan adalah jenis implikatur yang paling sering diteliti dalam studi klinis pragmatik. Namun, Grice mengusulkan kategori pokok lain implikatur umum
54
Abdul Rani, dkk., op. cit., h. 171 Mira Ariel, op. cit., h. 127-128 56 Louise Cummings, Clinical Pragmatics, (New York: Cambridge University Press, 2009), h. 1516 55
32
disebut implikatur percakapan,
salah satunya skalar implikatur, juga telah
diperiksa oleh peneliti. Misalnya di mana kalimat di A dapat melibatkan B: A: Akan ada delapan dari kita panitianya B: Tidak akan ada lebih dari delapan dari kita di komite
Disebut Implikatur Sacalar karena ciri-ciri linguistik yang diatur sepanjang skala sesuai dengan isi informasi mereka. Penegasan dari satu segi pada skala (dalam contoh di atas, nomor delapan) mengimplikasikan bahwa keseluruhan informasi yang kuat pada skala (misalnya sembilan, sepuluh, sebelas, dll) tidak terbatas). Dapat
disimpulkan
bahwa
selain
implikatur
skalar
atau
implikatur
skala
merupakan bagian dari implikatur percakapan. Implikatur skala menyampaikan informasinya dengan skala seperti pada contoh tersebut. Yang ditegaskan dalam tuturan adalah pada skalanya. Implikatur juga dapat dibedakan menjadi beberapa macam berdasarkan bentuk eksplikaturnya. Pertama, implikatur berupa makna tersirat dari sebuah ujaran (between the line). Kedua, implikatur berupa makna yang tersorot dari sebuah ujaran (beyond the line). Berdasarkan bentuk eksplikatur, implikatur ada yang tersirat diantara ujaran dan juga ada yang tersorot di luar ujaran. 57 Contoh, A: “Tenggorokanku kering, butuh yang segar-segar nih.” B: “Hmm, kita ke warung jus dan es buah saja.”
Implikatur A mengajak, meminta, mengambilkan, atau membelikan minuman yang segar untuk menghilangkan dahaga. Implikatur B merupakan implikatur yang tersorot dan maknanya sebagai lanjutan dari makna yang tersirat. Implikatur yang tersirat dari A menyatakan bahwa dia kehausan. Oleh sebab itu A mengajak atau meminta sesuatu kepada B untuk menghilangkan rasa haus dan dahaga. Ujaran dan reaksi yang diberikan oleh B cukup mengena sehingga terlihat sebagai wacana yang padu. Menurut Dan Sperber dan Deirdre, implikatur ada dua jenis yaitu: 1) premis
yang
diimplikasikan.
Premis
ini
harus
disediakan
oleh
pendengar, dimana pendengar harus mengambil dari memori. Premis57
Abdul Rani, dkk. op. cit., h. 178
33
premis itu dapat dikenali sebagai implikatur karena menimbulkan sebuah interpretasi yang konsisten dengan prinsip relevansi; dan 2) kesimpulan yang diimplikasikan. Kesimpulan yang diimplikasikan di deduksi dari eksplikatur ujaran dan dari konteks. Kesimpulan dapat dikenali sebagai implikatur karena penutur mengharapkan pendengar bisa menyimpulkan sendiri.58 Pemikiran dasar yang dimiliki oleh pendengar merupakan sebuah implikatur karena memiliki relevansi dengan ujaran yang di dengar dan konteks yang melatarbelakangi
percakapan.
Selain
itu,
kesimpulan
yang
dilakukan
oleh
pendengar yang disimpulkan dari eksplikatur ujaran dan konteks juga merupakan sebuah implikatur. Contoh dari implikatur yang disampaikan oleh Sperber dan Wilson yaitu sebagai berikut: Peter: “Maukah kamu mengendarai Lamborghini?” Risa: “Aku tak mau mengendarai mobile mewah manapun.
Jawaban Risa bukanlah jawaban langsung dari pertanyaan Peter. Akan tetapi, Peter melalui pengetahuannya dapat menyimpulkan bahwa Lamborghini adalah mobil mewah. Pemahaman Peter inilah yang disebut implicated premises. Peter melanjutkan
proses
menggabungkan
berpikirnya,
dengan
mengapa
pengetahuannya
jawaban
bahwa
Risa
seperti itu
Lamborghini adalah
dan mobil
mewah. Proses ini melahirkan kesimpulan bahwa Risa tidak mau mengendarai Lamborghini, yang disebut sebagai implicated conclusion. D. Prinsip Kerjasama Percakapan Agar pesan yang dinyatakan dapat sampai dengan baik pada peserta tutur, maka perlu mempertimbangkan prinsip kejelasan, prinsip kepadatan, dan prinsip kelangsungan. Prinsp-prinsip tersebut secara lengkap dituangkan kedalam prinsip kerjasama oleh Grice (1975).59 Prinsip kerjasama menyatakan bahwa penutur atau petutur harus memberikan kontribusi percakapan seperti apa yang diinginkan, 58
Dan Sperber dan DeirdreWilson (penerjemah: Suwarna, dkk.), op. cit., h. 285 Kunjana Rahardi, Sosiopragmatik: Kajian Imperatif dalam Wadah Konteks Sosiokultural dan Konteks Situasional, (Jakarta: Erlangga, 2009) h. 23 59
34
pada tahap dimana kontribusi itu diminta, dan sesuai dengan tujuan dan arah yang sudah diterima dari pembicaraan yang dilakukan.60 Jadi, tindak tutur haruslah jelas, padat, dan langsung agar bisa dimengerti oleh petutur atau lawan berbicara. Kepadatan, kejelasan, dan kelangsungan dalam tuturan dituangkan oleh Grice dalam prinsip kerjasama. Prinsip kerjasama ini dilengkapi dengan empat maksim (aturan), yang menjelaskan bagaimana cara kerja prinsip kerjasama. Maksim yang dimaksud adalah sebagai berikut: Maksim kuantitas a) Buatlah ungkapan seinformatif mungkin sesuai dengan yang diminta; dan b) Jangan buat ungkapan lebih informatif dari yang dibutuhkan.61 Contoh maksim kuantitas yaitu sebagai berikut: 1) Saya mengajar bahasa Indonesia dua kali seminggu pada hari senin dan kamis, mulai dari jam 10 sampai 12.30 di kampus Andalas. Si saya memberikan informasi yang lengkap tentang jadwal mengajar mata kuliah, hari, jam, dan tempat. 2) I don‟t eat pork (Saya tidak makan babi). Si saya memberikan informasi yang cukup jelas tetapi tidak berlebihan. Maksim kualitas a) jangan mengatakan sesuatu yang diyakini kalau itu salah b) jangan mengatakan sesuatu kalau tidak ada bukti. 62 Contoh maksim kualitas yaitu sebagai berikut: 1) merokok berbahaya bagi kesehatan. Semua orang sudah percaya karena telah menjadi pengetahuan umum bahwa merokok berbahaya bagi kesehatan. 60
Elizabeth Black (penerjemah: Ardianto, dkk.), Stilistika Pragmatis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 50 61 Diemroh Ihsan, op. cit., h. 110 62 Elizabeth Black (penerjemah: Ardianto, dkk.), loc. cit.
35
2) Saya seorang mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Saya memberikan informasi apa adanya sesuai dengan fakta yang jika diperlukan dapat diperlihatkan bukti yang mendukung. Salah satu buktinya bisa dengan memperlihatkan Kartu Mahasiswa. Maksim Relasi (Hubungan) Di dalam maksim relevansi dengan tegas dinyatakan agar dapat terjalin kerjasama yang sungguh-sungguh baik antara penutur dan petutur dalam praktik bertutur
sapa
yang
sesungguhnya
masing-masing
hendaknya
memberikan
kontribusi yang benar-benar relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan. 63 Contoh maksim relasi yaitu sebagai berikut: Tanggal 22 Desember jangan lupa membuat kejutan untuk ibu kita karena hari itu adalah hari ibu. Suatu asumsi adalah relevan dalam suatu konteks jika dan hanya jika ia memiliki dampak
kontekstual dalam konteks tersebut. Definisi menganggap
intuisi bahwa agar relevan dalam suatu konteks, suatu asumsi harus berhubungan dengan konteks itu.64 Jadi, tuturan dikatakan relevan apabila memiliki dampak kontekstual dalam konteks tuturan. Asumsi yang dituturkan haruslah berhubungan dengan konteks yang melatarbelakangi tuturan. Maksim cara atau prilaku a) hindari ekspresi yang tidak jelas b) hindari ambiguitas c) sampaikan dengan ringkas d) sampaikan secara tertata.65 Contoh dari maksim cara atau prilaku yaitu sebagai berikut: 1) hindari eksprisi yang tidak jelas. Contohnya, Saya tidak tahu, apakah saya suka model baju itu atau tidak 63
Kunjana Rahardi, op. cit., h. 24 Dan Sperber dan DeirdreWilson (penerjemah: Suwarna, dkk.), op. cit., h. 181 65 Elizabeth Black (penerjemah: Ardianto, dkk.), op. cit., h. 50-51
64
36
2) hindari ambiguitas. Contohnya, Saya cinta ibu kamu 3) sampaikan dengan ringkas. Contohnya, Tolong matikan lampu 4) sampaikan secara tertata. Contohnya, Ada dua cara untuk manusia berkomunikasi. Pertama kita bisa berkomunikasi secara lisan dan yang kedua berkomunikasi melalui tulisan. Berdasarkan
penjelasan mengenai maksim yang berhubungan dengan
prinsip kerjasama Grice, ada empat maksim yang mendukung prinsip kerjasama. a) maksim kuantitas memberikan kontribusi yang sesuai dengan informasi yang dibutuhkan dan tidak berlebih-lebihan; b) Maksim kualitas, mengatakan sesuatu yang sesuai dengan fakta dan diyakini benar terjadi; c) Maksim relasi memiliki kaitan dengan konteks apa yang sedang dibicarakan; dan d) Maksim cara atau prilaku, menyampaikan yang jelas, ringkas, dan tertata. Lets try to clarify this by examining one of Grice one of Grice‟s examples: 1) A: Smith dosen‟t seem to have a girlfriend 2) B: He‟s been paying lots of visits to New York Lately 66 The Gricean reasoning goes roughly as follows: Assummes that B is relation and cooperative, and in particular is following the maxim of relation (be relevant); but B‟s response would be violating this maxim. (Mari kita mencoba untuk menjelaskan hal ini dengan melihat salah satu dari contoh Grice: 1.
A: Smith tampaknya tidak punya pacar B: Dia sudah membayar banyak kunjungan ke New York Akhir-akhir ini
Penalaran Grice kira-kira sebagai berikut: berpendapat bahwa B berhubungan dan kooperatif, dan implikatur mengikuti maksim relasi; tetapi respon dari B melanggar maksim ini). “Grice argues that the co-operative principle is stated in the following way; mak e your contribution to the conversation such as is required, at the stage at which it occurs, by the accepted purpose or direction of the talk exchange in which you are engaged. For supporting this principle are four maxims, often called the „Gricean Maxims‟”.67
("Grice berpendapat bahwa prinsip kooperatif dinyatakan dengan cara sebagai berikut; memberikan kontribusi percakapan sesuai yang dibutuhkan, pada tahap 66
Nicholas Asher dan Alex Lascarides, Logic Of Conversation, (New York: Cambridge University Press, 2003), h. 29 67 George Yule, The Study of Language, (New York: Cambridge University press, 2006), h. 129
37
dimana itu terjadi, dengan tujuan diterima atau arah pertukaran percakapan dimana Anda terlibat . Untuk mendukung prinsip ini ada empat maksim, sering disebut 'Gricean Maxims'”). Prinsip kerjasama Grice yaitu memberikan informasi sesuai dengan yang dibutuhkan pada saat dimana percakapan itu berlangsung. Grice memiliki empat maksim sebagai pendukung prinsip kerjasamanya yang disebut dengan Grecian Maxims. Dari contoh yang diberikan oleh Crice pada contoh nomor satu (1), jawaban yang diberikan oleh B melanggar prinsip kerjasama Grice dan hanya mengikuti salah satu dari maksim pendukung yaitu maksim relasi. “Grice notes that a maxim such a Be polite is also normally observed, nor that equal weight should be attached to each of the stated maxims. The maxim of manner, for example, does obviously apply to primarily interactional conversation. We might obse rve that the instruction Be relevant seems to cover all the other instructions.”68
(Grice mencatat bahwa kaidah seperti Maksim kesopanan biasanya juga diamati, atau bahwa bobot yang sama harus terkait
untuk masing-masing maksim.
Maksim cara, misalnya, tidak berlaku jelas untuk iteraksi percakapan. Kita bisa mengamati bahwa instruksi jadi relevan tampaknya mencakup semua instruksi lain). Jadi, tidak hanya maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim relasi, dan maksim cara yang diamati, akan tetapi maksim kesopanan juga diamati. Semua maksim
saling
berkaitan
dan
cakupan
semua
intruksi membuat
intruksi
percakapan menjadi relevan. Different cultures differ widely in what they consider to be direct speech, or the degree to which they insist upon indirect speech and the social settings in which each is used. Grice maxims apply only to direct speech which is intended to communicate facts.69
(Perbedaan budaya dan perbedaan yang luas terhadap apa yang mereka anggap sebagai tuturan langsung, atau sejauh mana mereka bersikeras atas ucapan tidak langsung dan pengaturan sosial dimana digunakan. Maksim Grice hanya berlaku untuk tuturan langsung yang dimaksudkan untuk mengkomunikasikan faktafakta). Grice‟s maxims seem to be accurate descriptions of what is required in scholarly writing, and even there they are often flouted, not always to produce
68
Gillian Brown dan George Yule, loc. cit. Elaine Chaika, Linguistics, Pragmatics, and Pshycotherapy, (London: Whurr Publishers, 2000), h. 36 69
38
implicatures.70 (Maksim Grice tampaknya menjadi gambaran yang akurat tentang apa yang diperlukan dalam penulisan ilmiah, melanggar,
tidak
selalu
menghasilkan
dan bahkan mereka sering
implikatur).
Cooperative
principle:
speaker‟s meaning can be calculate on the basis of semantics meaning and the assumption that speakers are behaving relationally and cooperatively.71 (Prinsip kerjasama: makna pembicara dapat diperhitungkan atas dasar makna semantik dan asumsi bahwa pembicara berperilaku terkait dan bekerjasama). Berdasarkan penjabaran tersebut, Prinsip kerjasama dapat memperhitungkan makna pembicara atas dasar makna semantik dan hanya bisa berlangsung dalam menyampaikan fakta-fakta. Maksim Grice lebih cocok dalam penuliasan ilmiah. Grice broke the general principle into four conversational maxims to explain what rationality and cooperativeness are: 1) The maxim of Quality: make your contribution one that is true rather than false; 2) The maxim of Quality: provide the information that is required for the purposes of the conversation, but no more; dan 3) The maxim of Relevance: make contributions relevant The maxim of Manner: be clear and orderly in your talk.72
(Grice
memecah
prinsipnya
menjadi
empat
maksim
percakapan
untuk
menjelaskan apa rasionalitas dan kerjasama adalah: 1) Maksim Kualitas: membuat kontribusi Anda yang benar bukannya salah; 2) Maksim Kuantitas: memberikan informasi yang diperlukan untuk keperluan percakapan, tapi tidak lebih; 3) Maksim Relevansi: membuat kontribusi yang relevan; dan 4) Maksim manner: harus jelas dan tertib dalam pembicaraan Anda). Jadi, Grice membagi prinsipnya dalam empat
maksim,
yaitu
maksim kualitas,
maksim kuantitas,
maksim
relevansi, dan maksim manner. Because the Gricean maxims are not rigid rules, like the rules of law, but are rather flexible assumptions about how speakers behave, they can be broken, or flouted, to implicate further meanings.73 (Karena maksim Gricean bukan aturan yang kaku, seperti aturan hukum, tetapi pendapat yang agak fleksibel mengenai bagaimana pembicara berperilaku, mereka dapat melanggar, atau dilanggar, untuk
70
Ibid Ralph W. Fasold, An Introduction to Language and Linguistics, (New York: Cambridge University Press, 2006), h. 160 72 Ibid 73 Ibid, h. 161
71
39
melibatkan makna selanjutnya). Maksim Grice merupakan prinsip yang fleksibel dan dapat dilanggar. Maksim Grice bukanlah sebuah aturan yang kaku. Jadi, prinsip kerjasama atau kooperatif dipecahkan berdasarkan empat maksim. Prinsip kerjasama percakapan memerlukan kerjasama antara penutur dan petutur dengan mengikuti empat maksim. Maksim yang dimaksud Grice tersebut adalah maksim kuantitas, kualitas, relasi, dan maksim cara. Maksim Grice mengatakan fakta-fakta tetapi tidak memiliki aturan yang kaku sehingga maksim tersebut dapat dilanggardan melibatkan makna selanjutnya. E. Novel 1. Pengertian Novel Novel adalah jenis prosa yang mengandung unsur tokoh, alur, latar rekaan, yang menggelarkan kehidupan manusia atas dasar sudut pandang pengarang dan mengandung nilai hidup, diolah dengan teknik lisan dan ragaan yang menjadi dasar konvensi penulisan.74 Novel dalam bahasa Inggris merupakan fiksi naratif yang utama. Clara Reeve menyatakan dalam Wellek, novel adalah gambaran dari kehidupan dan prilaku yang nyata, dari zaman pada saaat novel itu ditulis dan bersifat realistis.75 Jadi, novel mengandung unsur kehidupan manusia berdasarkan sudut pandang penulis yang berdasarkan kepada kenyataan pada masanya. Novel
adalah
karya
imajinatif
yang
mengisahkan
problematika kehidupan seseorang atau beberapa orang tokoh.
sisi 76
utuh
atas
Novel dianggap
sebagai dokumen atau kasus sejarah, sebagai pengakuan (karena ditulis sangat meyakinkan), sebagai cerita kejadian sebenarnya, sebagai sejarah hidup seseorang dan zamannya.77 Selain menggambarkan kehidupan sebenarnya, novel juga merupakan gambaran problematika beberapa orang tokoh. Karya tersebut bisa dianggap sebagai sebuah dokumen sejarah karena sifatnya meyakinkan pembaca akan kejadian yang diceritakan di dalam novel.
74
A Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra; Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), h. 136 Rene Wellek dan Austin Warren (penerjemah: Melani Budianta), Teori Kesustraan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 282 76 E. Kosasih, Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, (Bandung: Y rama Widya, 2012), h. 60 77 Rene Wellek dan Austin Warren (penerjemah: Melani Budianta), op. cit., h. 276
75
40
Penjelasan tentang novel yang telah dipaparkan tersebut dapat dikatakan bahwa novel adalah jenis prosa baru setelah puisi dan drama yang menyajikan peristiwa kehidupan pada saat novel itu diciptakan. Novel mengandung unsur tokoh, alur, rekaan, yang biasanya disebut dengan unsur intrinsik. Novel mengandung sejarah dan dokumen kehidupan yang diperankan oleh tokoh di dalam novel. Adapun unsur di luar karangan, yaitu berupa faktor sosial, agama, politik, dan ekonomi, disebut dengan unsur ekstrinsik. Unsur ekstrinsik hadir untuk memperkuat sisi kehidupan yang nyata dalam novel. 2. Jenis Novel Jenis novel menurut waluyo dalam Adji, novel dibagi menjadi dua yaitu novel serius dan novel populer. Novel serius adalah novel yang dipandang bernilai sastra tinggi sedangkan novel populer adalah novel yang nilai sastranya rendah karena berpotensi sebagi hiburan semata. Novel populer cenderung mengikuti kemauan pasar.78 Menurut Sumardjo dalam Adji, novel populer memiliki daya tarik lika-liku jalan ceritanya yang penuh suspense. Selalu menyuguhkan cerita yang mengasyikkan, penuh aksi, dan penuh warna. 79 Berdasarkan pendapat dua ahli tersebut, novel terbagi dalam dua jenis yaitu novel serius dan novel populer. Novel serius memiliki karya sastra yang tinggi sedangkan novel populer hanya sebagai iburan akan tetapi memiliki daya tarik tersendiri bagi penimat novel. Adapun ciri-ciri novel populer dan novel serius menurut Yudiono dalam Adjib yaitu sebagai berikut: (1) novel serius; a) untuk penyempurnaan diri; b) berfungsi sosial; c) bisa dibaca berkali-kali; d) isinya dapat menentang sikap hidup dan kepercayaan pembaca; e) semua novel baik; dan
78
Muhammad Adji, dkk., Novel Popular Indonesia; Karya , Pengarang, dan Realitas, (Bandung: Sastra UNPAD Press) h, 22 79 Ibid, h. 21
41
f) diperhatikan oleh para kritikus dan biasanya direkomendasikan untuk dibaca oleh masyarakat (2) novel populer; a) dibaca untuk kepentingan hiburan semata; b) berfungsi untuk hiburan seja; c) dibaca sekali saja; d) isinya hanya fantasi pengarang; e) isinya bermacam-macam dan menurut tipenya; dan f) tidak diulas oleh para kritikus sastra.
80
Jadi, novel serius lebih kepada fungsi sosial dan memiliki nilai sastra yang tinggi. Novel serius diperhatikan oleh para kritikus sastra banyak mengandung hal-hal yang baru. Novel populer hanya mengikuti kemauan pembaca dan berfungsi untuk hiburan saja. Kebanyakan topik yang digunakan sama dengan novel yang lainnya. Novel populer memiliki tingkat sastra yang rendah dan tidak dikaji oleh pengamat sastra. F. Penelitian yang Relevan Penelitian relevan yang pertama mengenai implikatur pernah dilakukan oleh Agus Sulistio, Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta, 1999. Skripsinya berjudul “Analisis Implikatur Pecakapan dalam Novel Saman Karya Ayu Utami Serta Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMU”. Fokus penelitian skripsi ini adalah anutan atau pemakaian prinsip kerjasama atas empat maksim percakapan. Maksim tersebut yaitu maksim kuantitas,
maksim kualitas,
maksim hubungan,
dan
maksim cara,
dalam
penggalan pasangan percakapan yang diturunkan dari konteks-konteks percakapan terpilih yang terdapat dalam novel Saman karya Ayu Utami. Peneliti sendiri menulis Skripsi yang berjudul “Implikatur Percakapan pada Novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”. Fokus utama penelitian ini 80
Ibid, h. 23
42
yaitu masalah implikatur percakapan dalam novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra. Penelitian relevan yang kedua berjudul “Implikatur Percakapan dalam Novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy”. Penulis yaitu mahasiswa dari Program Studi Pendidikan dan Bahasa Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Bina Darma, Palembang, angkatan 2012. Peneliti bernama Aidil Sutarnas. Penelian yang dilakukan oleh peneliti memiliki beberapa tujuan. Pertama, mendeskripsikan implikatur percakapan yang terdapat dalam novel Ketika Cinta Bertasbih. Kedua, mendeskripsikan berbagai fungsi tindak tutur yang digunakan dalam novel Ketika Cinta Bertasbih. Ketiga, mendeskripsikan penyimpangan-penyimpangan terhadap prinsip kerjasama dalam penggunaan implikatur dalam novel Ketika Cinta Bertasbih. Peneliti dalam penelitian yang berjudul “Implikatur Percakapan pada Novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”, memiliki beberapa tujuan. Pertama, Mendeskripsikan implikatur percakapan yang terdapat pada novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra. Kedua, Mengetahui implikasi implikatur percakapan dalam novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Persamaan antara penelitian relevan yang kedua dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti yaitu pada tujuan yang pertama.
Kedua penelitia ini sama-sama
mendeskripsikan implikatur percakapan yang terdapat dalam novel yang diteliti. Namun, peneliti dalam tujuannya tidak mendeskripsikan mengenai fungsi tindak tutur dalam novel dan penyimpangan terhadap prinsip kerjasama. Penelitian
relevan
yang
ketiga
berjudul
“Analisis
Persetujuan
dan
Penolakan pada Tokoh Franziska Ditinjau Dari Implikatur Percakapan dalam Novel Das Superweib Karya Hera Lind”. Penelitian ini dilakukan oleh Wisma
43
Kurniawati pada tahun 2014, Pendidikan Bahasa Jerman dan Sastra Jerman, Fakultas
Bahasa
menggunakan sebanyak
dan
Seni,
teori Grice.
dua
Universitas
Hasil analisis
Negeri
Surabaya.
implikatur
buah yang menyalahi prinsip
Penelitian
percakapan
ini
ditemukan
kerjasama dalam pernyataan
persetujuan pada tokoh Franziska. Kedua percakapan yang berupa persetujuan ini semuanya telah melanggar maksim kuantitas dan hanya satu percakapan yang melanggar pelanggaran
maksim prinsip
relasi.
Implikatur
kerjasama
percakapan
dalam menyatakan
yang
ditimbulkan
penolakan
pada
oleh tokoh
Franziska adalah sebanyak empat buah, dan keempat percakapan berupa penolakan
ini semua
telah
melanggar maksim kuantitas,
tiga percakapan
melanggar maksim relasi, dan dua percakapan melanggar maksim cara. Persamaan
penelitian
relevan
yang
ketiga
dengan
penelitian
yang
dilakukan peneliti sendiri yaitu penelitian relevan menggunakan teori Grice. Wisma
Kurniawati
lebih
fokus
kepada
implikatur
percakapan
mengenai
persetujuan dan penolakan pada tokoh Franziska. Peneliti sendiri menggunakan teori Grice untuk menentukan penyimpangan terhadap maksim prinsip kerjasama. Akan tetapi, peneliti juga menggunakan teori relevansi Sperber dan Wilson karena di dalam novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa mentaati maksim relevansi Grice yang sesuai dengan teori Relevansi. Perbedaan antara penelitian yang relevan dengan peneliti sendiri yaitu peneliti tidak fokus hanya kepada satu tokoh saja.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 1. Biografi Pengarang Hanum Salsabiela Rais, adalah putri Amien Rais, lahir dan menempuh pendidikan dasar Muhammadiyah di Yogyakarta hingga mendapat gelar Dokter Gigi dari FKG UGM. Mengawali karir menjadi jurnalis danpresenter di TRANS TV. Hanum memulai petualangannya di Eropa selama tinggal di Austria bersama suaminya Rangga Almahendra dan bekerja untuk proyek video podcast Executive Academy di WU Vienna selama 2 tahun. Ia juga tercatat sebagai koresponden detik.com bagi kawasan Eropa dan sekitarnya.Tahun 2010, Hanum menerbitkan buku pertamanya, Menapak Jejak Amien Rais: Persembahan Seorang Putri untuk Ayah Tercinta. Sebuah novel biografi tentang kepemimpinan, keluarga dan mutiara hidup. 2. Sinopsis Novel 99 Cahaya di Langit Eropa Buku ini adalah catatan perjalanan atas sebuah pencarian. Pencarian cahaya Islam di Eropa yang kini sedang tertutup awan saling curiga dan kesalahpahaman. Untuk pertama kalinya dalam 26 tahun, aku merasakan hidup di suatu
negara
dimana
Islam
menjadi
minoritas.
Pengalaman
yang
makin
memperkaya spiritualku untuk lebih mengenal Islam dengan cara yang berbeda. Tinggal di Eropa selama 3 tahun adalah arena menjelajah Eropa dan segala isinya. Hingga akhirnya aku menemukan banyak hal lain yang jauh lebih menarik dari sekedar Menara Eiffel, Tembok Berlin, Konser Mozart, Stadion Sepakbola San Siro, Colloseum Roma, atau gondola gondola di Venezia. Pencarianku telah mengantarkanku pada daftar tempat-tempat ziarah baru di Eropa. Aku tak menyangka Eropa sesungguhnya juga menyimpan sejuta misteri tentang Islam. Eropa dan Islam. Mereka pernah menjadi pasangan serasi. Kini hubungan keduanya penuh pasang surut prasangka dengan berbagai dinamikanya. Aku merasakan ada manusia-manusia dari kedua pihak yang terus bekerja untuk memperburuk hubungan keduanya. Pertemuanku dengan perempuan muslim di 44
45
Austria, Fatma Pasha telah mengajarkanku untuk menjadi bulir-bulir yang bekerja sebaliknya. Menunjukkan pada Eropa bulir cinta dan luasnya kedamaian Islam. Sebagai Turki di Austria, Ia mencoba menebus kesalahan kakek moyangnya yang gagal meluluhkan Eropa dengan menghunus pedang dan meriam. Kini ini ia mencoba lagi dengan cara yang lebih elegan, yaitu dengan lebarnya senyum dan dalamnya samudra kerendahan hati. Aku dan Fatma mengatur rencana. Kami akan mengarungi jejak-jejak Islam dari barat hingga ke timur Eropa. Dari Andalusia Spanyol hingga ke Istanbul Turki. Dan entah mengapa perjalanan pertamaku justru
mengantarkanku
ke
Kota
Paris,
pusat
ibukota
peradaban Eropa.
Di Paris aku bertemu dengan seorang mualaf, Marion Latimer yang bekerja sebagai ilmuwan di Arab World Institute Paris. Marion menunjukkan kepadaku bahwa Eropa juga adalah pantulan cahaya kebesaran Islam. Eropa menyimpan harta karun sejarah Islam yang luar biasa berharganya. Marion membukakan mata hatiku. Membuatku jatuh cinta lagi dengan agamaku, Islam. Islam sebagai sumber pengetahuan yang penuh damai dan kasih. Museum Louvre, Pantheon, Gereja Notre Dame hingga Les Invalides semakin membuatku yakin dengan agamaku. Islam dulu pernah menjadi sumber cahaya terang benderang ketika Eropa diliputi abad kegelapan. Islam pernah bersinar sebagai peradaban paling maju di dunia, ketika dakwah bisa bersatu dengan pengetahuan dan kedamaian,
bukan dengan teror atau kekerasan
Perjalananku menjelajah Eropa adalah sebuah pencarian 99 cahaya kesempurnaan yang pernah dipancarkan oleh Islam di benua ini. Cordoba, Granada, Toledo, Sicilia dan Istanbul masuk dalam manifest perjalanan spiritualku selanjutnya. Saat memandang matahari tenggelam di Katedral Mezquita Cordoba, Istana Al Hambra Granada, atau Hagia Sophia Istanbul, aku bersimpuh. Matahari tenggelam yang aku lihat adalah jelas matahari yang sama, yang juga dilihat oleh orang-orang di benua ini 1000 tahun lalu. Matahari itu menjadi saksi bisu bahwa Islam pernah menjamah Eropa, menyuburkannya dengan menyebar benih-benih ilmu pengetahuan, dan menyianginya dengan kasih sayang dan toleransi antar umat beragama. Akhir dari perjalananku selama 3 tahun di Eropa justru
46
mengantarkanku pada titik awal pencarian makna dan tujuan hidup. Makin mendekatkanku pada sumber kebenaran abadi yang Maha Sempurna.
B. Analisis Data Data dalam penelitian ini berupa penggalan konteks-konteks percakapan di dalam novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra. Penggalan kontekskonteks percakapan terpilih kemudian dipenggal lagi menjadi penggalan pasangan percakapan, selanjutnya dianalisis berdasarkan prinsip kerjasama percakapan yang dikemukakan oleh Grice dan teori relevansi yang dinyatakan oleh Sperber dan Wilson serta dianalisis dengan menggunakan analisis konteks cf. Syafie‟ie. Disetiap sub judul terdapat kode halaman novel yang berisi penggalan konteks percakapan. Misalkan (h. 34), menandakan bahwa penggalan konteks percakapan tersebut terdapat pada halaman ke-34 dalam novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa. Berikut ini adalah deskripsi data penggalan konteks percakapan dan analisis nya. 1) Data 1 Penasihat:
...Mmm...Panglima...apakah Panglima juga berkenan mendengar berita lainnya? Hanya saja berita ini sedikit kurang baik..., (diam, menunduk penuh ketakutan) Panglima: (Mata Panglima tiba-tiba melotot. Dia seperti tak percaya karena ini adalah detik-detik yang menentukan dan seharusnya tidak ada berita buruk). Katakan! (dengan suara yang berat) Penasihat: Mereka tidak menyerang, Panglima. Tetapi anak buah kita melihat tembakan api terus-menerus dilontarkan ke udara di dalam benteng, (Menjawab dengan satu tarikan napas) (Sumber, Rais, 2012 : 13) P1: Penasihat P2: Panglima Berdasarkan data 1 mengetahui bahwa ada 2 orang pembicara yaitu penasihat dan Panglima untuk mendapatkan 4 maksim dalam prinsip kerja sama Grice digunakan alat ukur atau pisau analisis yaitu: P1: Penasihat P2: Panglima
47
Topik: Berita kurang baik Latar waktu: Malam hari di musim panas Latar tempat: Di Eropa Barat dalam sebuah barak untuk persiapan ekspansi Latar Peristiwa: P1 menyampaikan berita buruk Saluran: Bahasa lisan dengan terbatah-batah dan ekspresi wajah dengan mata melotot Kode: Bahasa Indonesia Tujuan: P1 ingin menyampaikan berita pada P2 Bertumpu pada analisa di atas, diperoleh beberapa maksim yang dilanggar dan maksim yang terpenuhi, yaitu sebagai berikut: 1. Maksim yang dilanggar yaitu maksim cara. Maksim cara dilanggar pada percakapan penasihat yang terbatah-batah, terdapat pada kutipan berikut: “...Mmm...Panglima...apakah Panglima juga berkenan mendengar berita lainnya? Hanya saja berita ini sedikit kurang baik..., (diam, menunduk penuh ketakutan)” Maksim cara yang selanjutnya dilanggar karena jawaban dari Panglima mengandung
ambiguitas,
terdapat
pada
penggalan
percakapan
sebagai
berikut: “(Mata Panglima tiba-tiba melotot. Dia seperti tak percaya karena ini adalah detik-detik yang menentukan dan seharusnya tidak ada berita buruk). Katakan! (dengan suara yang berat)” 2. Maksim yang terpenuhi yaitu sebagai berikut: a) Maksim kuantitas. Maksim kuantitas terpenuhi karena jawaban Panglima sesuai dengan informasi yang dibutuhkan penasihat, terdapat pada kutipan berikut: “Katakan!” b) Maksim
kualitas.
Maksim
kualitas
terpenuhi
karena
penasihat
memberikan informasi yang sesuai dengan kejadian yang sebenarnya terjadi, terdapat pada kutipan penggalan percakapan berikut: “Mereka tidak menyerang, Panglima. Tetapi anak buah kita melihat tembakan api terus-menerus dilontarkan ke udara di dalam benteng,” c) Maksim relevansi. Maksim ini terpenuhi karena data yang diberikan oleh penasihat dengan kejadian yang melatar belakangi percakapan saling berhubungan. Terdapat pada kutipan berkut:
48
“Mereka tidak menyerang, Panglima. Tetapi anak buah kita melihat tembakan api terus-menerus dilontarkan ke udara di dalam benteng,” Implikatur: P2 melototkan matanya karena terkejut dan tidak mengharapkan ada berita buruk. 2) Data 2 Fatma: Karena ini, Hanum, (sambil mengarahkan telunjuknya ke kepala). Mungkin..., (berhenti berbicara seolah mencari ide di kepalanya). Karena aku berjilbab. Aku tidak pernah mendapatkan balasan balasan dari perusahaan tempat aku melayangkan lamaran pekerjaan. Jika harus bersekolah aku tidak mampu mengeluarkan biaya, (ucapnya lirih). Hanum: Fatma, maaf jika aku menyinggungmu. Kenapa kau tak berpikir, mungkin mmm...kualifikasimu kurang sesuai, atau pengalaman kerjamu kurang sehingga perusahaan di sini tidak menerimamu? (dengan ucapan yang terbata-bata). Fatma: Ah, tadinya kupikir juga demikian, Hanum. Sampai kuturunkan pilihanku. Katakan padaku, apakah profesionalitas dan kompetensi sangat dibutuhkan sekadar untuk menjadi portir dalam dapur? (Sumber, Rais, 2012 : 23) P1: Fatma P2: Hanum Berdasarkan data 2 mengetahui bahwa ada 2 orang pembicara yaitu Hanum dan Fatma untuk mendapatkan 4 maksim dalam prinsip kerja sama Grice digunakan alat ukur atau pisau analisis yaitu: P1: Fatma P2: Hanum Topik: Berjilbab mengakibatkan sulit mendapatkan pekerjaan Latar waktu: Siang hari Latar tempat: dalam bus, kota Wina Latar peristiwa: P2 tidak setuju dengan pernyataan P1 Saluran: Bahasa lisan dan akrab Kode: Bahasa Indonesia Tujuan: P1 meyampaikan alasannya sulit untuk mendapatkan pekerjaan
49
Bertumpu pada analisa di atas, diperoleh beberapa maksim yang dilanggar dan maksim yang terpenuhi, yaitu sebagai berikut: 1. Maksim yang dilanggar yaitu sebagai berikut: a) Maksim kuantitas. Maksim kuantitas dilanggar karena jawaban Fatma lebih dari informasi yang dibutuhkan Hanum, hal tersebut terdapat pada kutipan berikut: “Ah, tadinya kupikir juga demikian, Hanum. Sampai kuturunkan pilihanku. Katakan padaku, apakah profesionalitas dan kompetensi sangat dibutuhkan sekadar untuk menjadi portir dalam dapur?” b) Maksim cara. Maksim cara dilanggar karena jawaban Fatma tidak ringkas. Bukti bahwa jawaban Fatma kurang ringkas terdapat pada kutipan penggalan percakapan saat melanggar maksim kuantitas. 2. Maksim yang terpenuhi yaitu sebagai berikut: a) Maksim kualitas. Maksim ini terpenuhi karena pernyataan P1 berdasarkan dari pengalaman pribadi P1. Terpenuhinya maksim kualitas dapat dilihat pada kutipan penggalan percakapan berikut: “Ah, tadinya kupikir juga demikian, Hanum. Sampai kuturunkan pilihanku. Katakan padaku, apakah profesionalitas dan kompetensi sangat dibutuhkan sekadar untuk menjadi portir dalam dapur?” b) Maksim relevansi. Maksim relevansi terpenuhi karena pertanyaan P2 terhadap P1 dapat di jawab dengan baik. Mereka sama-sama mengetahui konteks yang melatarbelakangi percakapan, yaitu P1 merasa susah mendapatkan pekerjaan karena berjilbab. Implikatur: P1 memperkuat pernyataannya dengan melontarkan pertanyaan balik kepada P2 3) Data 3 Hanum: Hai, nama aku Hanum. Namamu siapa? Senang berkenalan denganmu. Magst du Schokolade. Maukah kau coklat ini? Fatma: Ah, Milka! Ich mag Milka gern. Aber...danke, Ich faste. Saya sangat suka coklat Milka. Tapi...terimakasih, saya sedang berpuasa Hanum: Ambillah untuk berbuka puasa nanti. Kau berpuasa Senin-Kamis ya? Fatma: (Fatma terlihat senang dengan respon Hanum yang paham dengan puasa yang sedang dilakoninya)
50
(Sumber, Rais, 2012 : 26-27) P1: Hanum P2: Fatma Berdasarkan data 3 mengetahui bahwa ada 2 orang pembicara yaitu Hanum dan Fatma untuk mendapatkan 4 maksim dalam prinsip kerja sama Grice digunakan alat ukur atau pisau analisis yaitu: P1: Hanum P2: Fatma Topik: Coklat Milka Latar waktu: Pagi hari saat kelas bahasa Jerman baru di mulai Latar tempat: Kelas bahasa Jerman Latar peristiwa: Fatma puasa Senin-Kamis Saluran: Bahasa lisan dan akrab Kode: Bahasa Indonesia campur bahasa Jerman Tujuan: P1 ingin memberi kesan baik dalam perkenalan awal Bertumpu pada analisa di atas, diperoleh beberapa maksim yang dilanggar dan maksim yang terpenuhi, yaitu sebagai berikut: 1. Maksim yang dilanggar yaitu sebagai berikut: a) Maksim
kuantitas.
Maksim
kuantitas
dilanggar
karena
P2
tidak
memberikan informasi yang dibutuhkan P1. Pelanggaran tersebut terdapat pada kutipan penggalan percakapan berikut: “Hanum: Hai, nama aku Hanum. Namamu siapa? Senang berkenalan denganmu. Magst du Schokolade. Maukah kau coklat ini? Fatma: Ah, Milka! Ich mag Milka gern. Aber...danke, Ich faste. Saya sangat suka coklat Milka. Tapi...terimakasih, saya sedang berpuasa” b) Maksim cara. Maksim cara dilanggar karena P2 tidak menjawab pertanyaan dari P1 secara tertata dan ringkas. Pelanggaran terhadap maksim cara dapat dilihat pada penggalan percakapan yang sama dengan kutipan pelanggaran maksim kuantitas. 2. Maksim yang terpenuhi yaitu sebagai berikut: a) Maksim kualitas. Maksim ini terpenuhi karena alasan dari P2 untuk menolak pemberian P1 berdasarkan fakta. Terpenuhinya maksim kualitas dapat dilihat pada penggalan percakapan pada kutipan berikut:
51
“Ah, Milka! Ich mag Milka gern. Aber...danke, Ich faste. Saya sangat suka coklat Milka. Tapi...terimakasih, saya sedang berpuasa” b) Maksim relevansi. Maksim ini terpenuhi karena alasan yang diberikan oleh P2 menolak pemberian P1 dapat dipahami oleh P1. Hal tersebut terjadi karena mereka memiliki pengetahuan yang sama atas konteks yang melatarbelakangi
percakapan.
Bukti
terpenuhinya
maksim
relevansi
terlihat dalam kutipan berikut: “Ambillah untuk berbuka puasa nanti. Kau berpuasa Senin-Kamis ya?” Implikatur: P2 menolak pemberian P1 karena melakukan ibadah puasa 4) Data 4 Hanum: Fatma, kurasa...mmm...sebaiknya kita menghangatkan diri di kafe. Fatma: Kenapa? Sudah terlanjur berlari kemari. Sebaiknya kita masuk dulu ke gereja. Di dalam banyak patung reilief yang artistik. Kau perlu mengabadikan dengan kameramu. Setelah itu, baru kita bersantai di kafe. Lekas masuk! Aku tahu cara menghangatkan badan yang paling efektif dalam gereja, (Fatma seperti bisa membaca kegelisahan Hanum). (Sumber, Rais, 2012 : 34) P1: Hanum P2: Fatma Berdasarkan data 4 mengetahui bahwa ada 2 orang pembicara yaitu Hanum dan Fatma untuk mendapatkan 4 maksim dalam prinsip kerja sama Grice digunakan alat ukur atau pisau analisis yaitu: P1: Hanum P2: Fatma Topik: Menghangatkan badan Latar Waktu: Sore menjelang malam Latar tempat: Gereja Saint Joseph Latar Peristiwa: P1 menduga P2 tidak nyaman menghangatkan diri di Gereja Saint Joseph Saluran: Bahasa lisan dan akrab Kode: Bahasa Indonesia
52
Tujuan: P1 mengajak P2 menghangatkan badan di kafe karena P1 menduga bahwa P2 tidak nyaman berada di Gereja Bertumpu pada analisa di atas, diperoleh beberapa maksim yang dilanggar dan maksim yang terpenuhi, yaitu sebagai berikut: 1. Maksim yang dilanggar yaitu sebagai berikut: a) Maksim
kuantitas.
Maksim
ini
dilanggar
karena
P2
memberikan
informasi yang lebih dari yang dibutuhkan P1. Pelanggaran terhadap maksim kuantitas dapat dilihat melalui kutipan penggalan percakapan berikut: “Kenapa? Sudah terlanjur berlari kemari. Sebaiknya kita masuk dulu ke gereja. Di dalam banyak patung reilief yang artistik. Kau perlu mengabadikan dengan kameramu. Setelah itu, baru kita bersantai di kafe. Lekas masuk! Aku tahu cara menghangatkan badan yang paling efektif dalam gereja, (Fatma seperti bisa membaca kegelisahan Hanum).” b) Maksim cara. Maksim ini dilanggar karena jawaban P2 memberikan informasi yang tidak singkat kepada P1. Pelanggaran terhadap maksim cara dapat dilihat pada kutipan penggalan percakapan pelanggaran maksim kuantitas. 2. Maksim yang terpenuhi yaitu sebagai berikut: a) Maksim kualitas. Maksim ini terpenuhi karena P2 memberikan jawaban yang sesuai dengan kenyataan mengenai Gereja Saint Joseph dan dapat di buktikan kebenarannya. Terpenuhinya maksim kualitas dapat dilihat pada kutipan penggalan percakapan berikut: “Kenapa? Sudah terlanjur berlari kemari. Sebaiknya kita masuk dulu ke gereja. Di dalam banyak patung reilief yang artistik. Kau perlu mengabadikan dengan kameramu. Setelah itu, baru kita bersantai di kafe. Lekas masuk! Aku tahu cara menghangatkan badan yang paling efektif dalam gereja, (Fatma seperti bisa membaca kegelisahan Hanum).” b) Maksim relevansi. Maksim ini terpenuhi karena jawaban yang diberikan P2 kepada P1 memiliki hubungan sehiingga P1 dapat mengerti maksud dari P2. Hubungan tersebut terjadi karena mereka sama-sama memahami konteks yang melatarbelakangi terjadinya percakapan. Implikatur: P2 menolak ajakan P1 untuk menghangatkan badan di kafe
53
5) Data 5 Hanum: Psst...psst, Fatma...diamlah sebentar..., Fatma: Ada apa? Kau tak suka kita membicarakan gereja? Hanum: Kurasa tamu di balik tembok ini sedang menjelek-jelakan Islam. Mereka menyebut croissant melambangkan bendera Turki yang bisa dimakan. Kau makan croissant artinya makan Islam! Pokoknya menyebalkan! (Sumber, Rais, 2012 : 39) P1: Hanum P2: Fatma Berdasarkan data 5 mengetahui bahwa ada 2 orang pembicara yaitu Hanum dan Fatma untuk mendapatkan 4 maksim dalam prinsip kerja sama Grice digunakan alat ukur atau pisau analisis yaitu: P1: Hanum P2: Fatma Topik: Beberapa turis menjelek-jelekan Islam dengan memakan roti croissant Latar waktu: Sore hari Latar tempat: Kafe Latar peristiwa: P1 menguping beberapa turis yang sedang menjelek-jelekan Islam Saluran: Bahasa lisan dan akrab Kode: Bahasa Indonesia Tujuan: P1 memberitahukan kepada P2 bahwa ada beberapa turis sedang menjelek-jelekan Islam dengan memakan roti croissant Bertumpu pada analisa di atas, diperoleh beberapa maksim yang dilanggar dan maksim yang terpenuhi, yaitu sebagai berikut: 1. Maksim yang dilanggar yaitu sebagai berikut: a) Maksim kuantitas. Maksim ini dilanggar karena jawaban yang diberikan oleh P1 memberikan informasi lebih dari yang dibutuhkan oleh P2. Pelanggaran terhadap
maksim kuantitas dapat dilihat pada kutipan
penggalan percakapan berikut: “Kurasa tamu di balik tembok ini sedang menjelek-jelakan Islam. Mereka menyebut croissant melambangkan bendera Turki yang bisa
54
dimakan. Kau makan croissant artinya makan Islam! Pokoknya menyebalkan!” b) Maksim cara. Maksim ini dilanggar karena P1 menjawab pertanyaan P2 tidak tertata dan tidak ringkas. Pelanggaran terhadap maksim ini dapat dilihat pada penggalan kutipan percakapan berikut: “Fatma: Ada apa? Kau tak suka kita membicarakan gereja? Hanum: Kurasa tamu di balik tembok ini sedang menjelek -jelakan Islam. Mereka menyebut croissant melambangkan bendera Turki yang bisa dimakan. Kau makan croissant artinya makan Islam! Pokoknya menyebalkan!” 2. Maksim yang terpenuhi yaitu sebagai berikut: a) Maksim kualitas. Maksim ini terpenuhi karena alasan yang diberikan oleh P1 kepada P2 benar-benar terjadi pada saat percakapan berlangsung. Terpenuhinya maksim kualitas dapat dilihat melalui kutipan penggalan percakapan berikut: “Kurasa tamu di balik tembok ini sedang menjelek-jelakan Islam. Mereka menyebut croissant melambangkan bendera Turki yang bisa dimakan. Kau makan croissant artinya makan Islam! Pokoknya menyebalkan!” b) Maksim relevansi. Maksim ini terpenuhi karena diantara P1 dan P2 terjadi percakapan yang saling berkesinabungan. P2 dapat memahami jawaban dari P1 kerena mereka berada pada tempat yang sama dalam konteks yang melatarbelakangi percakapan. Implikatur: P1 tidak keberatan membicarakan mengenai gereja. P1 menjelaskan alasan kenapa menyuruh P2 untuk diam tiba-tiba. 6) Data 6 Hanum: Bapak ingin belajar sejarah Islam atau musik di Wina? Muhammad Djam’an: Wina-lah kota terakhir tempat ekspansi Islam berhenti (Sumber, Rais, 2012 : 44) P1: Hanum P2: Muhammad Djam‟an
55
Berdasarkan data 6 mengetahui bahwa ada 2 orang pembicara yaitu Hanum dan Muhammad Djam‟an untuk mendapatkan 4 maksim dalam prinsip kerja sama Grice digunakan alat ukur atau pisau analisis yaitu: P1: Hanum P2: Muhammad Djam‟an Topik: Kota Wina Latar waktu: Siang hari Latar tempat: Ruang kelas Saluran: Bahasa lisan Kode: Bahasa Indonesia Tujuan: P1 ingin mengetahui tujuan P2 ke Wina Bertumpu pada analisa di atas, diperoleh beberapa maksim yang dilanggar dan maksim yang terpenuhi, yaitu sebagai berikut: 1. Maksim yang dilanggar yaitu sebagai berikut: a) Maksim kuantitas. Maksim ini dilanggar karena P2 tidak menjawab dan memberikan
informasi yang
Pelanggaran terhadap
dibutuhkan
oleh
P1
secara
semantis.
maksim kuantitas dapat dilihat pada kutipan
penggalan percakapan berikut: “Hanum: Bapak ingin belajar sejarah Islam atau musik di Wina? Muhammad Djam‟an: Wina-lah kota terakhir tempat ekspansi Islam berhenti” b) Maksim cara. Maksim cara dilanggar karena P2 tidak menjawab pertanyaan P1 secara tertata. Pelanggaran terhadap maksim ini dapat dilihat pada kutipan yang sama dengan kutipan penggalan percakapan pelanggaran maksim kuantitas. 2. Maksim yang terpenuhi yaitu sebagai berikut: a) Maksim kualitas. Maksim ini terpenuhi karena jawaban yang diberikan P2 sesuai dengan fakta dan dapat dibuktikan kebenarannya. Terpenuhinya maksim kualitas dapat dilihat pada kutipan penggalan percakapan berikut: “Wina-lah kota terakhir tempat ekspansi Islam berhenti”
56
b) Maksim relevansi. Maksim ini terpenuhi karena P2 memberikan jawaban yang relevan dengan konteks yang melatarbelakangi percakapan, yaitu keinginan P2 mengunjugi kota memiliki sejarah Islam di Eropa. Implikatur: P2 ingin ke Wina untuk mempelajari sejarah Islam. 7) Data 7 (1) Hanum: Bagaimana kau bisa tak marah sedikit pun, Fatma? Fatma: Tentu saja aku tersinggung, Hanum. Dulu aku juga jadi emosi jika mendengar hal yang tak cocok di negeri ini. Apalagi masalah etnis dan agama. Tapi seperti kau dan dinginnya hawa di Eropa ini, suhu tubuhmu akan menyesuaikan. Kau perlu penyesuaian, Hanum. Hanya satu yang harus kita ingat. Misi kita adalah menjadi agen Islam yang damai, teduh, indah, yang membawa keberkahan di komunitas non-muslim. Dan itu tidak akan pernah mudah. (2) Hanum: Tapi, bukankah itu menunjukkan kita begitu lemah dan terinjak-injak? Fatma: Suatu saat kau akan banyak belajar bagaimana bersikap di negeri tempat kau harus menjadi minoritas. Tapi menurut pengalamanku selama ini, aku tak harus mengumbar nafsu dan emosiku jika ada hal yang tak berkenan di hatiku. (Sumber, Rais, 2012 : 47) P1: Hanum P2: Fatma Berdasarkan data 7 mengetahui bahwa ada 2 orang pembicara yaitu Hanum dan Fatma untuk mendapatkan 4 maksim dalam prinsip kerja sama Grice digunakan alat ukur atau pisau analisis yaitu: P1: Hanum P2: Fatma Topik: Menyesuaikan diri di negeri minoritas Islam Latar waktu: Sore hari Latar tempat: Kafe Latar peristiwa: P2 tidak merasa marah Saluran: Bahasa lisan dan akrab Kode: Bahasa Indonesia Tujuan: P2
membagi pengalamannya dalam menyesuaikan diri di negeri
minoritas Islam
57
Bertumpu pada analisa di atas, diperoleh beberapa maksim yang dilanggar dan maksim yang terpenuhi, yaitu sebagai berikut: 1. Maksim yang dilanggar yaitu sebagai berikut: a) Maksim kuantitas. Maksim ini dilanggar karena P2 memberikan jawaban melebihi informasi yang dibutuhkan oleh P1. Pelanggaran terhadap maksim kuantitas dapat dilihat pada kutipan penggalan percakapan berikut: “Tentu saja aku tersinggung, Hanum. Dulu aku juga jadi emosi jika mendengar hal yang tak cocok di negeri ini. Apalagi masalah etnis dan agama. Tapi seperti kau dan dinginnya hawa di Eropa ini, suhu tubuhmu akan menyesuaikan. Kau perlu penyesuaian, Hanum. Hanya satu yang harus kita ingat. Misi kita adalah menjadi agen Islam yang damai, teduh, indah, yang membawa keberkahan di komunitas nonmuslim. Dan itu tidak akan pernah mudah.” b) Maksim cara. Maksim ini dilanggar karena jawaban dari P2 tidak singkat dan tidang tertata. Jawaban yang tidak singkat dapat dilihat pada kutipan penggalan percakapan yang sama pada pelanggaran maksim kuantitas. Pelanggaran maksim cara karena jawaban P2 tidak tertata terlihat pada kutipan penggalan percakapan berikut: “Hanum: Tapi, bukankah itu menunjukkan kita begitu lemah dan terinjak-injak? Fatma: Suatu saat kau akan banyak belajar bagaimana bersikap di negeri tempat kau harus menjadi minoritas. Tapi menurut pengalamanku selama ini, aku tak harus mengumbar nafsu dan emosiku jika ada hal yang tak berkenan di hatiku.” 2. Maksim yang terpenuhi yaitu sebagai berikut: a) Maksim kualitas. Maksim ini terpenuhi karena P2 memberikan jawaban yang
sesuai
dengan
pengalamannya
sendiri.
Terpenuhinya
maksim
kualitas dapat dilihat pada kutipan penggalan percakapan berikut: “Tentu saja aku tersinggung, Hanum. Dulu aku juga jadi emosi jika mendengar hal yang tak cocok di negeri ini. Apalagi masalah etnis dan agama. Tapi seperti kau dan dinginnya hawa di Eropa ini, suhu tubuhmu akan menyesuaikan. Kau perlu penyesuaian, Hanum. Hanya satu yang harus kita ingat. Misi kita adalah menjadi agen Islam yang damai, teduh, indah, yang membawa keberkahan di komunitas nonmuslim. Dan itu tidak akan pernah mudah.”
58
b) Maksim relevansi. Maksim ini terpenuhi karena percakapan yang terjadi antara P1 dan P2 relevan dengan konteks yang melatarbelakangi percakapan. Pertanyaan P1 direspon dengan baik oleh P2 dan dijelaskan dengan rinci agar P1 memahami alasan yang diberikan P2. Terpenuhinya maksim relevansi ini dapat dilihat pada kutipan penggalan percakapan terpenuhinya maksim kualitas. Implikatur: P2 tidak sepaham dengan P1. 8) Data 8 Konteks: Hanum dan Fatma turun dari bus, jam menunjukan pukul 20.05. udara semakin dingin. Hanum: Ngopi dulu yuk. Gantian aku yang mentraktir cappucino Fatma: Terimakasih. Asye agaknya sedikit demam. Aku harus segera membawanya pulang. Hanum: Anakmu mimisan, Fatma. dongakkan kepalanya dan cepat kau usap,.... (Sumber, Rais, 2012 : 49) P1: Hanum P2: Fatma Berdasarkan data 8 mengetahui bahwa ada 2 orang pembicara yaitu Hanum dan Fatma untuk mendapatkan 4 maksim dalam prinsip kerja sama Grice digunakan alat ukur atau pisau analisis yaitu: P1: Hanum P2: Fatma Topik: Mentraktir cappucino Latar waktu: Malam hari 20.05 Latar tempat: Halte bus Latar peristiwa: Ayse demam Saluran: Bahasa lisan dan akrab Kode: Bahasa Indonesia Tujuan: P1 ingin mentraktir P2 cappucino Bertumpu pada analisa di atas, diperoleh beberapa maksim yang dilanggar dan maksim yang terpenuhi, yaitu sebagai berikut:
59
1. Maksim yang dilanggar yaitu sebagai berikut: a) Maksim kuantitas. Maksim ini dilanggar karena jawaban P2 melebihi dari informasi yang dibutuhkan P1. Pelanggaran terhadap maksim kuantitas dapat dilihat dalam kutipan penggalan percakapan berikut: “Terimakasih. Asye agaknya sedikit demam. Aku harus segera membawanya pulang.” b) Maksim cara. Maksim ini dilanggar karena jawaban P2 tidak singkat. Pelanggaran terhadap maksim cara dapat dilihat dalam penggalan kutipan yang sama saat melanggar maksim kuantitas. 2. Maksim yang terpenuhi yaitu sebagai berikut: a) Maksim kualitas.
Maksim ini terpenuhi karena jawaban dari P2
berdasarkan kenyataan dan dapat dibuktikan kebenarannya. Terpenuhinya maksim kualitas dapat dilihat pada kutipan penggalan percakapan berikut: “Fatma: Terimakasih. Asye agaknya sedikit demam. Aku harus segera membawanya pulang. Hanum: Anakmu mimisan, Fatma. dongakkan kepalanya dan cepat kau usap,....” b) Maksim relevansi. Maksim ini terpenuhi karena jawaban P2 dan respon P1 relevan dengan konteks yang melatarbelakangi percakapan mereka. Terpenuhinya
maksim relevansi dapat
dibuktikan melalui penggalan
kutipan percakapan yang sama dengan maksim kualitas. Implikatur: P2 menolak tawaran P1 9) Data 9 Fatma: Aku selalu memperingatkan kawan-kawan Turkiku. Jangan kita yang berkerudung dan pendatang ini suka mengemplang koran. Malu dengan orang lokal. (Fatma berbisik kepada Hanum) Hanum: Kalau semua orang mengambil koran tanpa membayar, pasti Oesterreich akan merugi, ya, (kata Hanum menyindir dirinya sendiri) Fatma: Di Eropa model bisnis seperti itu sudah biasa. Mungkin orang Austria sudah terdidik untuk selalu berbuat jujur (Sumber, Rais, 2012 : 54) P1: Fatma P2: Hanum
60
Berdasarkan data 9 mengetahui bahwa ada 2 orang pembicara yaitu Hanum dan Fatma untuk mendapatkan 4 maksim dalam prinsip kerja sama Grice digunakan alat ukur atau pisau analisis yaitu: P1: Fatma P2: Hanum Topik: Mengambil koran tanpa membayar Latar waktu: Siang hari Latar tempat: Halte bus Latar peristiwa: P1 menjawab pertanyaan P2 tidak sesuai dengan yang ditanyakan Saluran: Bahasa lisan dan akrab Kode: Bahasa Indonesia Tujuan: P2 menyindir dirinya sendiri Bertumpu pada analisa di atas, diperoleh beberapa maksim yang dilanggar dan maksim yang terpenuhi, yaitu sebagai berikut: 1. Maksim yang dilanggar yaitu sebagai berikut: a) Maksim kuantitas. Maksim ini dilanggar karena jawaban P1 atas respon P2 melebihi dari informasi yang dibutuhkan P2. Pelanggaran atas maksim kuantitas ini terlihat pada kutipan penggalan percakapan berikut: “Hanum: Kalau semua orang mengambil koran tanpa membayar, pasti Oesterreich akan merugi, ya, (kata Hanum menyindir dirinya sendiri) Fatma: Di Eropa model bisnis seperti itu sudah biasa. Mungkin orang Austria sudah terdidik untuk selalu berbuat jujur” b) Maksim cara. Maksim ini dilanggar karena jawaban P1 atas pernyataan P2 tidak tertata. Pelanggaran terhadap maksim cara dapat dilihat pada kutipan yang sama dengan pelanggaran maksim kuantitas. c) Maksim kualitas. Maksim ini dilanggar karena P2 tidak meyakini apa yang
dikatakannya
benar.
menunjukan keraguannya.
P2
menggunakan kata “mungkin” yang
Pelanggaran terhadap
maksim kualitas ini
dapat terlihat pada kutipan penggalan percakapan berikut: “Di Eropa model bisnis seperti itu sudah biasa. Mungkin orang Austria sudah terdidik untuk selalu berbuat jujur”
61
2. Maksim yang terpenuhi yaitu maksim relevansi. Maksim ini terpenuhi karena P2 memberikan jawaban yang relevan dengan konteks yang melatarbelakangi percakapan.
Terpenuhinya
maksim
ini
dapat
dilihat
dari
penggalan
percakapan yang ada pada teks percakapan antara P1 dan P2. Implikatur: P2 menyetujui pernyataan P1 10) Data 10 Fatma: Hanum, kau tahu bangunan apa saja ini? (hiasan magnet di dinding dapur yang bertuliskan Istanbul, Granada, Cordova, Vienna, Paris, Cairo, Roma, Mecca, dan Madina) Hanum: Aku ingin sekali berjalan-jalan keliling Eropa sepertimu, Fatma, mengunjungi tempat-tempat bersejarah yang meninggalkan jejak kebesaran islam. Kapan ya aku bisa. Fatma: Hanum, ternyata kita memiliki angan-angan yang sama. Aku baru saja ingin mengajakmu melakukan hal yang sama. magnetmagnet itu hanya pemberian Latife dan Ezra yang sering berjalanjalan ke luar negeri. Sekarang aku harus mengumpulkan uang dulu..., (Sumber, Rais, 2012 : 97) P1: Fatma P2: Hanum Berdasarkan data 10 mengetahui bahwa ada 2 orang pembicara yaitu Hanum dan Fatma untuk mendapatkan 4 maksim dalam prinsip kerja sama Grice digunakan alat ukur atau pisau analisis yaitu: P1: Fatma P2: Hanum Topik: Jalan-jalan keliling Eropa Latar waktu: Siang hari Latar tempat: Dapur Fatma Latar peristiwa: P2 tidak menebak magnet icon kota-kota di Eropa yang tertempel di kulkas P1 Saluran: Bahasa lisan dan akrab Kode: Bahasa Indonesia
62
Tujuan: P1 ingin menunjukan koleksi magnet icon kota-kota di Eropa Bertumpu pada analisa di atas, diperoleh beberapa maksim yang dilanggar dan maksim yang terpenuhi, yaitu sebagai berikut: 1. Maksim yang dilanggar adalah sebagai berikut: a) Maksim kuantitas. Maksim ini dilanggar karena P2 menjawab pertanyaan P1 lebih dari informasi yang dibutuhkan P1. Pelanggaran terhadap maksim kuantitas terlihat pada kutipan penggalan percakapan berikut: “Fatma: Hanum, kau tahu bangunan apa saja ini? (hiasan magnet di dinding dapur yang bertuliskan Istanbul, Granada, Cordova, Vienna, Paris, Cairo, Roma, Mecca, dan Madina) Hanum: Aku ingin sekali berjalan-jalan keliling Eropa sepertimu, Fatma, mengunjungi tempat-tempat bersejarah yang meninggalkan jejak kebesaran islam. Kapan ya aku bisa.” b) Maksim cara. Maksim cara dilanggar karena P2 tidak menjawab pertanyaan P1 secara tertata. Pelanggaran pada maksim cara dapat dilihat pada kutipan yang sama pada maksim kuantitas. 2. Maksim yang terpenuhi yaitu sebagai berikut: a) Maksim kualitas. Maksim ini terpenuhi karena P2 memberikan jawaban berdasarkan fakta dan keinginannya. Terpenuhinya maksim kualitas ini dapat dilihat pada penggalan percakapan berikut: “Aku ingin sekali berjalan-jalan keliling Eropa sepertimu, Fatma, mengunjungi tempat-tempat bersejarah yang meninggalkan jejak kebesaran islam. Kapan ya aku bisa.” b) Maksim relevansi. Maksim ini terpenuhi karena jawaban P2 dan apa yang ditunjukan P1 saling relevan. Jawaban P2 direspon baik oleh P1 karena mereka
memiliki pengetahuan
melatarbelakangi
percakapan.
yang
sama
mengenai konteks yang
Terpenuhinya
maksim relevansi dapat
dilihat pada kutipan penggalan percakapan berikut: “Hanum: Aku ingin sekali berjalan-jalan keliling Eropa sepertimu, Fatma, mengunjungi tempat-tempat bersejarah yang meninggalkan jejak kebesaran islam. Kapan ya aku bisa. Fatma: Hanum, ternyata kita memiliki angan-angan yang sama. Aku baru saja ingin mengajakmu melakukan hal yang sama. magnet-magnet itu hanya pemberian Latife dan Ezra yang sering berjalan-jalan ke luar negeri. Sekarang aku harus mengumpulkan uang dulu...,”
63
Implikatur: P2 mengetahui icon kota-kota Eropa pada magnet kulkas P1 11) Data 11 Hanum: Bagaimana jika yang pertama Turki? Istanbul? Aku penasaran melihat seperti apa Hagia Sophia yang terkenal itu. Gereja yang berubah menjadi masjid, kan? Sekaligus melihat kota kelahiranmu. Fatma: (Menggeleng) Aduh, jangan kau memintaku pulang kampung secepat itu. Enam bulan yang lalu aku baru saja pulang dari Istanbul. Bagaimana jika kita ke Spanyol? Ke Cordoba dan Granada? Di sana ada bangunan yang unik. Kebalikan Hagia Sophia. Sebuah masjid diubah menjadi Katedral Katolik. (Sumber, Rais, 2012 : 98) P1: Hanum P2: Fatma Berdasarkan data 11 mengetahui bahwa ada 2 orang pembicara yaitu Hanum dan Fatma untuk mendapatkan 4 maksim dalam prinsip kerja sama Grice digunakan alat ukur atau pisau analisis yaitu: P1: Hanum P2: Fatma Topik: Keliling Eropa Latar waktu: Siang hari Latar tempat: Dapur P2 Latar peristiwa: P2 menolakide P1 Saluran: Bahasa lisan dan akrab Kode: Bahasa Indonesia Tujuan: P1 mengajak P2 memulai perjalanan keliling Eropa dari Istanbul Bertumpu pada analisa di atas, diperoleh beberapa maksim yang dilanggar dan maksim yang terpenuhi, yaitu sebagai berikut: 1. Maksim yang dilanggar yaitu sebagai berikut: a) Maksim
kuantitas.
Maksim
ini
dilanggar
karena
P2
memberikan
informasi yang lebih dari yang dibutuhkan P1. Pelanggaran terhadap maksim kuantitas dapat dilihat pada kutipan penggalan percakapan berikut:
64
“(Menggeleng) Aduh, jangan kau memintaku pulang kampung secepat itu. Enam bulan yang lalu aku baru saja pulang dari Istanbul. Bagaimana jika kita ke Spanyol? Ke Cordoba dan Granada? Di sana ada bangunan yang unik. Kebalikan Hagia Sophia. Sebuah masjid diubah menjadi Katedral Katolik.” b) Maksim cara. Maksim ini dilanggar karena jawaban P2 tidak singkat dan tidak tertata. Pelanggaran terhadap maksim cara dapat dilihat pada kutipan penggalan percakapan berikut: “Hanum: Bagaimana jika yang pertama Turki? Istanbul? Aku penasaran melihat seperti apa Hagia Sophia yang terkenal itu. Gereja yang berubah menjadi masjid, kan? Sekaligus melihat kota kelahiranmu. Fatma: (Menggeleng) Aduh, jangan kau memintaku pulang kampung secepat itu. Enam bulan yang lalu aku baru saja pulang dari Istanbul. Bagaimana jika kita ke Spanyol? Ke Cordoba dan Granada? Di sana ada bangunan yang unik. Kebalikan Hagia Sophia. Sebuah masjid diubah menjadi Katedral Katolik.” 2. Maksim yang terpenuhi yaitu sebagai berikut: a) Maksim kualitas.
Maksim kualitas terpenuhi karena P2 menjawab
berdasarkan fakta dan pengalaman pribadi. terpenuhinya maksim ini dapat dilihat pada kutipan penggalan percakapan berikut: “(Menggeleng) Aduh, jangan kau memintaku pulang kampung secepat itu. Enam bulan yang lalu aku baru saja pulang dari Istanbul. Bagaimana jika kita ke Spanyol? Ke Cordoba dan Granada? Di sana ada bangunan yang unik. Kebalikan Hagia Sophia. Sebuah masjid diubah menjadi Katedral Katolik.” b) Maksim relevansi. Maksim relevansi terpenuhi karena P2 dan P1memiliki pengetahuan
yang
sama
mengenai
konteks
yang
melatarbelakangi
percakapan. Dapat dilihat dari konteks percakapan di atas antara P1 dan P2 terjalin percakapan yang baik. Implikatur: P1 tidak setuju dengan ide P2 12) Data 12 (1) Hanum: .... Ini pertama kali saya ke sini. Masjid paling besar, ya.... Tapi
mengapa
harus
dekat
dengan
semua
itu?
(Hanum
menghamparkan tangannya karena bingung mencari perbandingan kata yang lebih halus daripada „tempat yang menggoda syahwat‟)
65
Imam Hashim: (Imam Hashim tersenyum simpul) Mari saya antar putarputar masjid. Apakah anda membawa kerudung? Sebetulnya tidak apa-apa jika tidak memakai kerudung, tapi sebaiknya pakai. Akan sangat bagus dengan busana Anda yang sudah terhormat.... Oh ya, tentang pertanyaan Anda tadi. Mengapa harus di Sungai Danube..., Dulu kami sempat berpikir untuk memindahkan lokasi Islamic Center ke tempat yang lebih „pantas‟. Sekali memang ironis, apalagi saat musim panas begini. Saya tahu, orang-orang sering membuat lelucon. Setelah berdoa di masjid, kita semua berbuat dosa lagi karena tak bisa menjauhkan pandangan dari manusia-manusia yang telanjang di sana. Seolah-olah masjid ini simbol yang tak berbunyi. Hanya formalitas. .... Itulah...itu penerimaan orang luar seperti Anda yang melihat ke dalam. Namun untuk saya, orang dalam yang melihat ke luar, masjid yang berada di dekat Danube justru merupakan berkah. .... Marilah masuk ke kantor saya. .... Inilah berkah itu, (mengeluarkan catatan the newcomers to Islam) (2) Rangga: orang-orang yang baru saja masuk Islam? Mualaf? Imam Hashim: Ini adalah daftar nama orang yang masuk Islam. Di antara mereka adalah yang tadinya senang berjemur dan menikmati suasana panas di tepi Danube. (Sumber, Rais, 2012 : 114-117) P1: Hanum P2: Imam Hashim P3: Rangga Berdasarkan data 12 mengetahui bahwa ada 3 orang pembicara yaitu Hanum, Imam Hashim, dan Rangga untuk mendapatkan 4 maksim dalam prinsip kerja sama Grice digunakan alat ukur atau pisau analisis yaitu: P1: Hanum P2: Imam Hashim P3: Rangga Topik: Masjid Wina di depan Sungai Danube Latar waktu: Siang hari setelah solat Jumat Latar tempat: Masjid Wina Latar peristiwa: P2 tidak menjawab pertanyaan P1 dengan langsung Saluran: Bahasa lisan dan menghormati P2 Kode: Bahasa Indonesia Tujuan: P1 menanyakan kenapa Masjid Wina berada di depan Sungai Danube
66
Bertumpu pada analisa di atas, diperoleh beberapa maksim yang dilanggar dan maksim yang terpenuhi, yaitu sebagai berikut: 1. Maksim yang dilanggar yaitu sebagai berikut: a) Maksim kuantitas. Maksim ini dilanggar karena jawaban yang diberikan oleh P2 kepada P1 dan P3 melebihi dari informasi yang dibutuhkan mereka. Pelanggaran terhadap maksim kuantitas dapat dibuktikan pada kutipan penggalan percakapan berikut: “(Imam Hashim tersenyum simpul) Mari saya antar putar-putar masjid. Apakah anda membawa kerudung? Sebetulnya tidak apa-apa jika tidak memakai kerudung, tapi sebaiknya pakai. Akan sangat bagus dengan busana Anda yang sudah terhormat.... Oh ya, tentang pertanyaan Anda tadi. Mengapa harus di Sungai Danube..., Dulu kami sempat berpikir untuk memindahkan lokasi Islamic Center ke tempat yang lebih „pantas‟. Sekali memang ironis, apalagi saat musim panas begini. Saya tahu, orang-orang sering membuat lelucon. Setelah berdoa di masjid, kita semua berbuat dosa lagi karena tak bisa menjauhkan pandangan dari manusia-manusia yang telanjang di sana. Seolah-olah masjid ini simbol yang tak berbunyi. Hanya formalitas. .... Itulah...itu penerimaan orang luar seperti Anda yang melihat ke dalam. Namun untuk saya, orang dalam yang melihat ke luar, masjid yang berada di dekat Danube justru merupakan berkah. .... Marilah masuk ke kantor saya. .... Inilah berkah itu, (mengeluarkan catatan the newcomers to Islam)” “Ini adalah daftar nama orang yang masuk Islam. Di antara mereka adalah yang tadinya senang berjemur dan menikmati suasana panas di tepi Danube.” b) Maksim cara. Maksim ini dilanggar karena P2 tidak menjawab pertanyaan dari P1 dan P3 dengan tertata secara semantik. Pelanggaran terhadap maksim cara dapat dilihat pada kutipan penggalan percakapan yang sama dengan pelanggaran maksim kuantitas. 2. Maksim yang terpenuhi yaitu sebagai berikut: a) Maksim kualitas. Maksim ini terpenuhi karena jawaban dari P2 terhadap pertanyaan P1 dan P3 berdasarkan kepada kejadian yang sebenarnya. P2 menjawab
berdasarkan
fakta
yang
terjadi
dan
dapat
dibuktikan
kebenarannya. Terpenuhinya maksim kualitas dapat dibuktikan pada kutipan penggalan percakapan berikut: “(Imam Hashim tersenyum simpul) Mari saya antar putar-putar masjid. Apakah anda membawa kerudung? Sebetulnya tidak apa-apa jika tidak memakai kerudung, tapi sebaiknya pakai. Akan sangat bagus dengan
67
busana Anda yang sudah terhormat.... Oh ya, tentang pertanyaan Anda tadi. Mengapa harus di Sungai Danube..., Dulu kami sempat berpikir untuk memindahkan lokasi Islamic Center ke tempat yang lebih „pantas‟. Sekali memang ironis, apalagi saat musim panas begini. Saya tahu, orang-orang sering membuat lelucon. Setelah berdoa di masjid, kita semua berbuat dosa lagi karena tak bisa menjauhkan pandangan dari manusia-manusia yang telanjang di sana. Seolah-olah masjid ini simbol yang tak berbunyi. Hanya formalitas. .... Itulah...itu penerimaan orang luar seperti Anda yang melihat ke dalam. Namun untuk saya, orang dalam yang melihat ke luar, masjid yang berada di dekat Danube justru merupakan berkah. .... Marilah masuk ke kantor saya. .... Inilah berkah itu, (mengeluarkan catatan the newcomers to Islam)” “Ini adalah daftar nama orang yang masuk Islam. Di antara mereka adalah yang tadinya senang berjemur dan menikmati suasana panas di tepi Danube.” b) Maksim relevansi. Maksim ini terpenuhi karena percakapan P1, P2, dan P3
yang
saling
relevan
dengan
konteks
yang
melatarbelakangi
percakapan, yaitu mengenai Masjid Wina di dekat Sungai Danube. P2 berusaha untuk menerangkan jawabannya secara rinci dan kronologis kepada P1 dan P3. Terpenuhinya maksim relevansi dapat dilihat pada konteks percakapan antara P1, P2, dan P3 di atas. Implikatur: P2
menjelaskan secara kronologi alasan Masjid Wina masih
dipertahankan di dekat Sungai Danube. 13) Data 13 Hanum: Waalaikumsalam, Sister Marion, (menjawab telpon dari Marion). Jadi, dimanakah Saint Michel itu? Marion: Jangan Khawatir Sister, aku akan memandumu. Bandara Charles de Gaulle terletak 25 km dari pusat kota Paris. Suamimu ikut juga, kan? Kalian bisa naik kereta dari bandara ini dan nanti aku akan menjemput kalian di stasiun pusat kota, a bientot. Sampai nanti. (Sumber, Rais, 2012 : 128) P1: Hanum P2: Marion Berdasarkan data 13 mengetahui bahwa ada 2 orang pembicara yaitu Hanum dan Marion untuk mendapatkan 4 maksim dalam prinsip kerja sama Grice digunakan alat ukur atau pisau analisis yaitu: P1: Hanum
68
P2: Marion Topik: Letak Saint Michel Latar waktu: Siang hari Latar tempat: Gardarata pesawat, Paris Latar peristiwa: P2 tidak menjawab pertanyaan P1 sesuai dengan yang diinginkan secara semantis Saluran: Bahasa lisan dan akrab Kode: Bahasa Indonesia campur bahasa Inggris dan bahasa Prancis Tujuan: P1 menanyakan letak Saint Michel Bertumpu pada analisa di atas, diperoleh beberapa maksim yang dilanggar dan maksim yang terpenuhi, yaitu sebagai berikut: 1. Maksim yang dilanggar yaitu sebagai berikut: a) Maksim kuantitas. Maksim kuantitas dilanggar karena P2 memberikan informasi melebihi dari yang dibutuhkan P1. Pelanggaran terhadap maksim ini dapat dilihat pada kutipan penggalan percakapan berikut: “Jangan Khawatir Sister, aku akan memandumu. Bandara Charles de Gaulle terletak 25 km dari pusat kota Paris. Suamimu ikut juga, kan? Kalian bisa naik kereta dari bandara ini dan nanti aku akan menjemput kalian di stasiun pusat kota, a bientot. Sampai nanti.” b) Maksim cara. Maksim ini dilanggar karena jawaban dari P2 tidak tertata secara semantis dengan apa yang dipertanyakan oleh P1. Pelanggaran terhadap maksim cara dapat dilihat pada kutipan berikut: “Hanum: Waalaikumsalam, Sister Marion, (menjawab telpon dari Marion). Jadi, dimanakah Saint Michel itu? Marion: Jangan Khawatir Sister, aku akan memandumu. Bandara Charles de Gaulle terletak 25 km dari pusat kota Paris. Suamimu ikut juga, kan? Kalian bisa naik kereta dari bandara ini dan nanti aku akan menjemput kalian di stasiun pusat kota, a bientot. Sampai nanti.” 2. Maksim yang terpenuhi yaitu sebagai berikut: a) Maksim kualitas.
Maksim ini terpenuhi karena jawaban dari P2
berdasarkan fakta dan dapat dibuktikan kebenarannya. Terpenuhinya maksim kualitas dapat dilihat pada kutipan penggalan percakapan berikut: “Jangan Khawatir Sister, aku akan memandumu. Bandara Charles de Gaulle terletak 25 km dari pusat kota Paris. Suamimu ikut juga, kan?
69
Kalian bisa naik kereta dari bandara ini dan nanti aku akan menjemput kalian di stasiun pusat kota, a bientot. Sampai nanti.” b) Maksim relevansi. Maksim ini ditaati karena jawaban dari P2 relevan dengan
konteks
yang
melatarbelakangi
percakapan.
Terpenuhinya
maksim relevansi dapat dilihat dalam kutipan yang sama dengan kutipan pelanggaran percakapan pada maksim cara. Implikatur: P2 mejelaskan cara ke Saint Michel secara rinci 14) Data 14 Marion: Hanum Indonesia! Marion: Tu dois etre Hanum at tu dois etre Rangga Hanum: Nice veil, Marion: Merci. Buatku rukun Islam itu ada 6. Yang keenam adalah menjaga kehormatanku dengan jilbab Hanum: Aku ingin tahu, apa yang membuatmu tertarik pada Islam. Mungkin aku bisa belajar banyak darimu. (Sumber, Rais, 2012 : 131-132) P1: Marion P2: Hanum Berdasarkan data 14 mengetahui bahwa ada 2 orang pembicara yaitu Marion dan Hanum untuk mendapatkan 4 maksim dalam prinsip kerja sama Grice digunakan alat ukur atau pisau analisis yaitu: P1: Marion P2: Hanum Topik: Perkenalan diri Latar waktu: Siang hari Latar tempat: Saint Michel Latar peristiwa: P1 merespon pujian P2 Saluran: Bahasa lisan dan akrab Kode: Bahasa Indonesia campur bahasa Inggris dan bahasa Prancis Tujuan: P2 memuji P1
70
Bertumpu pada analisa di atas, diperoleh beberapa maksim yang dilanggar dan maksim yang terpenuhi, yaitu sebagai berikut: 1. Maksim yang dilanggar yaitu sebagai berikut: a) Maksim kuantitas. Maksim ini dilanggar karena P2 merespon pernyataan P1 dengan berlebihan secara berlebihan secara konvensional. Pelanggaran terhadap
maksim
kuantitas
dapat
dilihat
pada
kutipan
penggalan
percakapan berikut: “Merci. Buatku rukun Islam itu ada 6. Yang keenam adalah menjaga kehormatanku dengan jilbab” b) Maksim cara. Maksim cara dilanggar karena P2 merespon pujian P1 tidak dengan singkat. Pelanggaran terhadap maksim cara dapat dilihat dalam kutipan yang sama dengan pelanggaran maksim kuantitas. 2. Maksim yang terpenuhi yaitu sebagai berikut: a) Maksim kualitas. Maksim kualitas terpenuhi karena P2 memberikan jawaban berdasarkan pengalaman pribadi dan tidak ada keraguan dalam penyampaiannya. Terpenuhinya maksim ini dapat dilihat pada kutipan penggalan percakapan berikut: “Merci. Buatku rukun Islam itu ada 6. Yang keenam adalah menjaga kehormatanku dengan jilbab” b) Maksim relevansi. Maksim ini terpenuhi karena P1 dan P2 sama-sama memiliki
pengetahuan
mengenai
konteks
yang
melatarbelakangi
percakapan, yaitu mengenai jilbab bagi wanita muslim. Terpenuhinya maksim ini dapat dilihat pada kutipan penggalan percakapan berikut: “Hanum: Nice veil, Marion: Merci. Buatku rukun Islam itu ada 6. Yang keenam adalah menjaga kehormatanku dengan jilbab” Implikatur: P1 merespon pujian P2 dan menjelaskan alasannya dengan rinci 15) Data 15 Marion: Jadi mana tujuan utama mu? Eiffel? Lafayette? Champ Elysees? Moulin Rouge? Hanum: Aku ingin mengeksplorasi tempat bersejarah yang ada kaitannya dengan keahlianmu, Marion.
71
Marion: Kalau kau tertarik menelusuri peninggalan-peninggalan sejarah, kita bisa mulai dari Museum Louvre.... (Sumber, Rais, 2012 : 140-141) P1: Marion P2: Hanum Berdasarkan data 15 mengetahui bahwa ada 2 orang pembicara yaitu Marion dan Hanum untuk mendapatkan 4 maksim dalam prinsip kerja sama Grice digunakan alat ukur atau pisau analisis yaitu: P1: Marion P2: Hanum Topik: Tempat yang dituju untuk jalan-jalan di kota Paris Latar waktu: 09.00 pagi Latar tempat: Lobi hotel Latar peristiwa: P2 menyerahkan pilihan kepada P1 Saluran: Bahasa Lisan dan akrab Kode: Bahasa Indonesia Tujuan: P1 menanyakan tempat pertama yang menjadi tujuan P2 jalan-jalan di Paris Bertumpu pada analisa di atas, diperoleh beberapa maksim yang dilanggar dan maksim yang terpenuhi, yaitu sebagai berikut: 1. Maksim yang dilanggar yaitu sebagai berikut: a) Maksim kuantitas. Maksim ini dilanggar karena P2 menjawab pertanyaan P1
melebihi dari informasi yang diinginkan.
Pelanggaran terhadap
maksim kuantitas dapat dilihat pada kutipan penggalan percakapan berikut: “Marion: Jadi mana tujuan utama mu? Eiffel? Lafayette? Champ Elysees? Moulin Rouge? Hanum: Aku ingin mengeksplorasi tempat bersejarah yang ada kaitannya dengan keahlianmu, Marion.” b) Maksim cara. Maksim cara dilanggar karena P2 menjawab pertanyaan P1 tidak singkat dan tidak tertata. Pelanggaran terhadap maksim ini dapat dilihat
pada
kutipan
penggalan
pelanggaran maksim kuantitas.
percakapan
yang
sama
dengan
72
2. Maksim yang terpenuhi yaitu sebagai berikut: a) Maksim
kualitas.
Maksim kualitas
terpenuhi karena
jawaban
P2
berdasarkan keinginannya dan disampaikan dengan tidak ada keraguan. Terpenuhinya maksim ini dapat dilihat pada kutipan berikut: “Aku ingin mengeksplorasi tempat bersejarah yang ada kaitannya dengan keahlianmu, Marion.” b) Maksim relevansi. Maksim ini terpenuhi karena P1 dan P2 memiliki pengetahuan
yang
sama
mengenai
konteks
yang
melatarbelakangi
percakapan. Respon P1 relevan dengan jawaban dari P2. Terpenuhinya maksim relevansi dapat dilihat dalam kutipan penggalan percakapan berikut: “Hanum: Aku ingin mengeksplorasi tempat bersejarah yang ada kaitannya dengan keahlianmu, Marion. Marion: Kalau kau tertarik menelusuri peninggalan-peninggalan sejarah, kita bisa mulai dari Museum Louvre....” Implikatur: P2 menyerahkan pilihan kepada P1
C. Pembahasan 1. Data 1 Memahami implikatur dalam sebuah ujaran salah satu caranya yaitu dengan menganalisis konteks pemakaian ujaran. Ujaran biasanya dilengkapi dengan tingkah laku non-verbal, misalnya gerak anggota tubuh (kepala tunduk, mata melotot),
modulasi suara, dan raut muka. Terkadang penggunaan non-verbal
disebabkan kata-kata atau respon yang ingin disampaikan oleh peserta komunikasi tidak cukup terwakilkan oleh ucapan verbal. Konteks juga terkait dengan latar belakang yang dimiliki oleh peserta ujaran, situasi sosial, situasi bahsa yang digunakan, dan saluran. Berdasarkan analisis pada data 1, diketahui bahwa topik yang melatar belakangi percakapan antara P1 dan P2 adalah berita kurang baik yang akan disampaikan oleh P1. Konteks fisik dalam percakapan tersebut yaitu pada suatu kota di Eropa Barat. Pada 11 September 1683 terjadilah ekspansi kedua Panglima Turki yaitu Kara Mustafa ke Wina. Dalam percakapan antara P1 dan P2 terjadi situasi yang menegangkan. P1 memberikan informasi mengenai ekspansi yang akan mereka lakukan ke Wina. P1sangat hormat dan takut kepada P2, hal tersebut
73
ditandai dengan cara menyampaikan pesan yang terbata-bata. Dapat terlihat pada kutipan percakapan sebagai berikut, “...mmm....Panglima....Apakah Panglima juga
berkenan
mendengarkan
““...mmm....Panglima....”
berit
menunjukan
yang bahwa
lainnya?” P1
dengan
kalimat
merasa ketakutan untuk
menyampaikan berita buruk tersebut. P1 dengan cara menunduk dan terbatahbatah dalam menyampaikan pesan dapat menunjukan bahasa non-verbal melalui gerak-gerik tubuhnya bahwa dia sedang ketakutan. Ekspresi P2 dengan mata yang melotot setelah mendengarkan berita tersebut menunjukan betapa terkejutnya dia terhadap berita yang tidak diharapkan itu. Cara lain dalam meganalisis implikatur yaitu dengan adanya pelanggaran terhadap maksim pada prinsip kerjasama yang disampaikan oleh Grice. Maksimmaksim tersebut adalah maksim kuantitas, kualitas, relevansi, dan maksim cara. Untuk mencapai komunikasi yang baik, menurut Grice penutur dan petutur harus mentaati prinsip kerjasama dalam percakapan. Akan tetapi, menurut Sperber dan Wilson suatu percakapan tidak harus mentaati semua maksim dalam prinsip kerjasama Grice, menurut mereka yang terpenting adanya relevansi antara yang diujarkan dengan konteks yang melatarbelakangi percakapan. Berdasarkan analisis data 1, teks percakapan antara P1 dan P2 melanggar maksim cara. Adapun penjelasannya yaitu sebagai berikut: Penyampaian yang dilakukan P1 dengan cara terbata-bata dan tidak disampaikan secara ringkas. P1 mempertanyakan kesediaan P2 untuk mendengarkan berita buruk yang dia bawa. Berdasarkan maksim cara, P1 seharusnya menyampaikan pesan tersebut secara langsung tanpa mempertanyakan kesediaan P2. Selain itu, jawaban dari P2 mengandung ambiguitas, hal tersebut dapat terlihat pada kalimat “Katakan” disertai ekspresi wajah dengan mata melotot. Mata melotot menandakan bahwa P2 terkejut dan tidak menginginkan berita buruk tersebut, tapi karena berita buruk tersebut sangat dibutuhkan maka P2 memerintahkan P1 untuk menyampaikannya. Pelanggaran terhadap maksim-maksim Grice akan mengakibatkan implikatur. implikatur pada teks percakapan data 1 yaitu P2 melototkan matanya karena terkejut dan tidak mengharapkan ada berita buruk. Berdasarkan analisis data 1. Percakapan antara P1 dan P2 mentaati maksim berikut:
74
1. Maksim kuantitas. Maksim kuantitas ditaati karena P2 memberikan jawaban yang diinginkan oleh P1 dan tidak berlebih-lebihan. P2 hanya mengatakan “Katakan” sebagai jawabannya. 2. Maksim kualitas. Maksim ini terpenuhi dikarenakan P1 menyampaikan berita yang benar berdasarkan apa yang sedang terjadi yaitu berita buruk berdasarkan kejadian yang dilihat oleh anak buah Panglima dan benarbenar terjadi. Hal tersebut dapat dilihat pada penggalan kalimat “Mereka tidak menyerang, Panglima. Tetapi anak buah kita melihat tembakan api terus-menerus dilontarkan ke udara di dalam benteng”. 3. Maksim relevansi. Berdasarkan kutipan pada maksim kualitas dapat dilihat
bahwa
apa
yang
disampaikan
dengan
situasi yang
terjadi saling
berhubungan. Ekspresi dari P2 dan jawaban dari P1 menunjukan bahwa adanya persamaan pengetahuan mengenai ekspansi ke Wina. Maksim relevansi dari Grice dapat mewakilkan teori relevansi dari Sperber dan Wilson. 2. Data 2 Berdasarkan
analisis data 2
diketahui bahwa yang menjadi topik
pembicaraan antara P1 dan P2 yaitu Jilbab mengakibatkan P1 sulit mendapatkan pekerjaan. Kesadaran akan konteks dalam suatu percakapan sangat dibutuhkan agar yang dibicarakan relevan. Konteks fisik atau tempat terjadinya peristiwa ujaran yaitu di dalam bus di kota Wina. P1dan P2 merupakan teman baik, oleh karena itu percakapan terjadi dengan akrab. P1 memberitahukan kepada P2 bahwa memakai jilbab membuat dia susah untuk mendapatkan pekerjaan di negara yang kaum muslimnya menjadi minoritas. P2 beranggapan bahwa P1 sulit mendapatkan pekerjaan karena klasifikasinya yang kurang sesuai. P1 memiliki pengetahuan yang lebih mengenai cara orang melakukan muslim di negara minoritas Islam. Prinsip percakapan Grice memiliki empat maksim yaitu maksim kuantitas, kualitas, relevansi dan maksim cara. Maksim yang dilanggar menutupi maksim yang lainnya. Misalnya melanggar maksim kuantitas untuk tercapainya maksim kualitas. Maksim relevansi dari Grice sama dengan teori relevansi yang dimiliki Sperber dan Wilson. Menurut mereka yang terpenting dalam suatu percakapan adalah relevansi antara konteks dan percakapan yang dilakukan.
75
Maksim-maksim yang ada pada prinsip kerjasama dapat di langgar untuk tujuan tertentu. Misalnya dengan cara memberikan informasi yang lebih dari pada yang
dibutuhkan
menyampaikan
oleh
petutur.
informasi yang
Hal lebih
tersebut
dikarenakan
detail sehingga
penutur
pentutur
ingin
dapat lebih
mengerti. Informasi yang di luar makna semantis serng disebut implikatur. Berdasarkan analisis pada data 2, implikatur dari konteks percakapan antara P1 dan P2 yaitu P1 memperkuat pernyataannya dengan melontarkan pertanyaan balik kepada P2. Dalam teks percakapan data 2 ada beberapa maksim dari prinsip kerjasama yang dilanggar yaitu: 1. Melanggar maksim kuantitas. Maksim kuantitas dilanggar karena jawaban dari P1 memiliki informasi yang lebih atau tidak sesuai dengan yang ditanyakan secara semantis. P2 menanyakan kepada P1 bahwa sulitnya mendapaatkan pekerjaan mungkin karena kualifikasi atau pengalaman P1 yang
kurang
dalam
pekerjaan
sehingga
menyebabkan
dia
susah
mendapatkan pekarjaan. Secara semantis seharusnya P1 menjawab dengan “iya” atau “tidak”. Akan tetapi, P1 memberikan informasi yang lebih dengan menjelaskan alasan dari jawabannya. Hal tersebut dapat terlihat kutipan berikut “Ah, tadinya kupikir juga demikian, Hanum. Sampai kuturunkan pilihanku. Katakan padaku, apakah profesionalitas dan kompetensi sangat dibutuhkan sekadar untuk menjadi portir dalam dapur?” 2. Maksim cara. Pelanggaran pada maksim ini disebabkan karena jawabam P1 tidak disampaikan dengan ringkas kepada P2. Selain itu, P1 menjawab pertanyaan
dari P2
dengan memberikan pertanyaan kembali untuk
memperkuat alasan yang disampaikannya. Secara konvensional jawaban dari pertanyaan P2 hanya membutuhkan benar atau salah dari perkiraan yang dilontarkan P2. Berdasarkan analisis data 2, konteks percakapan antara P1 dan P2 memenuhi maksim-maksim berikut: 1. Maksim kualitas. Percakapan yang dilakukan oleh P1 dan P2 mentaati maksim
kualitas
karena
pernyataan
P1
berdasarkan
kepada
76
pengalamannya.
P1
menguatkan
pendapatnya
dengan
mengatakan
pekerjaan yang dia lamar seharusnya tidak memerlukan profesionalitas dan kompetensi yang dinyatakan oleh P2. P1 melamar sebagai tukang portir di dapur dan masih tidak di terima. Peristiwa tersebut dapat dibuktikan melalui kutipan berikut, “...apakah profesionalitas dan kompetensi sangat dibutuhkan sekadar untuk menjadi portir dalam dapur?” 2. Maksim relevansi. Maksim ini terpenuhi karena percakapan antara P1 dan P2 sesuai dengan topik yang melatarbelakangi pembicaraan mereka. Berdasarkan mengakibatkan
analisis sulit
data
2,
topik
mendapatkan
percakapan pekerjaan.
yaitu P2
berjilbab
memberikan
sanggahannya kepada P1 atas pernyataan dan topik yang sedang mereka bicarakan. Sanggahan dari P2 dapat dilihat pada kutipan berikut, “Kenapa kau tak berpikir, mungkin mmm...kualifikasimu kurang sesuai, atau pengalaman kerjamu kurang sehingga perusahaan di sini tidak menerimamu?” P2 tidak sepaham dengan P1 jikalau jilbab dapat menjadi salah
satu faktor sulitnya mendapatkan pekerjaan.
Sanggahan atau
pernyataan dari P2 di respon baik oleh P1 dengan memberikan contoh pengalaman pribadinya. 3. Data 3 Berdasarkan analisis data 3, percakapan antara P1 dan P2 dilatarbelakangi oleh topik coklat Milka. P1 menawarkan coklat Milka kepada P2 untuk memberi kesan yang baik sewaktu perkenalan. P2 menolak pemberian P1 karena dia sedang berpuasa. Percakapan terjadi di kelas bahasa Jerman, karena itu P1 mencampur bahasanya dengan bahasa Jerman dan dengan nada yang akrab. Percakapan antara P1 dan P2 menyimpan sebuah implikatur. implikatur adalah sesuatu informasi yang disampaikan diluar ujaran secara konvensional. Implikatur pecakapan juga terjadi karena adanya pelanggaran terhadap maksim dalam prinsip kerjasama yang dinyatakan oleh Grice. Implikatur percakapan antara P1 dan P2 yaitu P2 menolak pemberian P1 karena melakukan ibadah puasa. Maksim Grice yaitu berupa berupa maksim: 1) kuantitas yang berkaitan dengan keinformatifan suatu ujaran; 2) maksim kualitas yang berhubungan dengan kebenaran; 3) maksim relevansi yang menuntut kerelevalan antara ujaran
77
dan konteks; 4) dan maksim cara berkaitan dengan cara dan informasi yang disampaikan bisa di mengerti atau tidak. Pelanggaran terhadap maksim-maksim Grice berdasarkan pada analisis data 3 yaitu sebagai berikut: 1. Maksim kuantitas. Pelanggaran terhadap maksim ini terjadi pada saat jawaban P2 atas tawaran P1 untuk menerima cokelat pemberiannya. Hal tersebut dapat terlihat pada kutipan yang terdapat dalam analisis data 3. P2 melanggar maksim kuantitas karena tidak memberikan informasi yang dibutuhkan oleh P1.
P2
tidak menyebutkan namanya, akan tetapi
memberikan pernyataan sukanya terhadap coklat yang ditawarkan P1. P2 tidak menerima coklat itu meskipun dia suka. 2. Maksim cara. Pelanggaran terjadi karena P2 tidak menjawab pertanyaan P1secara tertata dan singkat. P2 tidak menjawab siapa namanya dan menjelaskan kenapa dia menolak pemberian P1. Alasan penolakan itu tidak dipertanyakan oleh P1, akan tetapi P2 menjelaskan alasannya sehingga P1 tidak merasa tersinggung. Maksim yang terpenuhi dalam percakapan antara P1 dan P2 berdasarkan analisis data 3, yaitu sebagai berikut: 1. Maksim kualitas. Maksim ini terpenuhi karena jawaban P2 tidak bisa mernerima pemberian dari P1 dikarenakan dia memang sedang berpuasa. Ada alasan yang dapat di pertanggungjawabkan kebenarannya dikarenakan yang menyampaikan alasan tersebut adalah orang yang mengalaminya. 2. Maksim relevansi. Maksim relevansi berhubungan dengan teori relevansi yang
dinyatakan
oleh
Sperber
dan
wilson.
Sperber
dan
Wilson
menyanggah prinsip kerjasama Grice. Menurut mereka dengan adanya relevansi, komunikasi akan berjalan dengan lancar. Teori relevansi ditepati karena P1 dan P2 memiliki pengetahuan yang sama mengenai puasa pada hari senin-kamis. Selain itu, P1 dan P2 sama-sama mengetahui coklat Milka sehingga percakapan mereka menjadi relevan. 4. Data 4 Implikatur sering kali dikaitkan dengan Grice, yang mengasumsikan di dalam komunikasi
hendaklah bekerjasama dengan petutur agar komunikasi
efisien dan efektif. Partisipan komunikasi harus mematuhi prinsip kerjasama yang
78
dapat dijabarkan menjadi empat maksim, yaitu maksim kuantitas, kualitas, relevansi, dan maksim cara. Namun, partisipan komunikasi pada umumnya tidak mematuhi prinsip kerjasama. Salah satu sebabnya adalah komunikasi itu tidak selalu berupa penyampaian pesan atau informasi saja. Informasi yang ingin disampaikan oleh penutur di luar makna semantis suatu ujaran haruslah memiliki kesesuain konteks antara penutur dan petutur. Konteks tersebut berupa konteks dimana peristiwa itu terjadi, situasi apa, konteks sosial seperti apa, dan pengetahuan mengenai konteks pada saat berlangsungnya percakapan. Implikatur dalam percakapan antara P1 dan P2 berdasarkan analisis data 4 yaitu P2 menolak ajakan P1 untuk menghangatkan badan di kafe. Penggalan percakapan pada data 4 terlihat bahwa peristiwa komunikasi terjadi di Bukit Kahlenberg karena cuaca dingin mereka pindah ke Gereja Saint Joseph. Berdasarkan pengetahuan yang dimiliki P1 bahwa wanita yang berjilbab akan merasa tidak nyaman masuk ke dalam gereja.
Akan tetapi, berdasarkan
jawaban P2 pada konteks percakapan data 4 terlihat bahwa P2 tidak merasa keberatan mengeni hal tersebut. Dalam penggalan percakapan berdasarkan analisis data 4, antara P1 dan P2 terdapat beberapa pelanggaran maksim dalam prinsip kerjasama Grice, yaitu sebagai berikut: 1. Maksim kuantitas. Maksim ini dilanggar karena tanggapan atau jawaban P2 memberikan informasi lebih banyak dari pada yang diperlukan oleh P1. Jawaban yang diberikan P2 secara tak langsung tidak hanya menolak saran yang diberikan oleh Hanum, tetapi juga memberikan sebuah alasan. Alasannya
yaitu
gereja
memiliki relief
yang
artistik
sehingga
P1
mengurungkan niatnya mengajak P2 menghangatkan badan di kafe. Dalam prinsip kerjasama Grice, maksim kuantitas ditaati apabila informasi yang diberikan seinformatifmungkin dan tidak lebih dari yang diinginkan oleh petutur atau lawan bicara. 2. Maksim cara.
Maksim ini dilanggar karena cara P2
menanggapi
pertanyaan P1 disampaikan berlebihan dari informasi yang dibutuhkan dan tidak singkat. Berdasarkan analisis data 4, secara literal seharusnya P2
79
menjawab pertanyaan atau ajakan P1 dengan ikut atau menolak ajakan P1 tanpa memberikan alasan. Maksim cara menuntut agar informasi yang disampaikan jelas, singkat, dan tertata. Adapun maksim yang terpenuhi dalam percakapan pada penggalan percakapan berdasarkan analisis data 4, yaitu sebagai berikut: 1. Maksim kualitas. Maksim ini dalam prinsip kerjasama Grice ditaati apabila mengatakan sesuatu yang benar dan dapat dibuktikan kebenarannya. Berkaitan dengan hal tersebut, tanggapan P2 bahwa mereka sudah terlanjur berlari ke gereja dan di dalam banyak patung reilief yang artistik, benar secara faktual dan dapat dibuktikan. Dengan demikian maksim kualitas dapat ditaati. 2. Maksim relevansi. Selain dari teori Grice mengenai prinsip kerjasama,
teori Sperber dan Wilson terpenuhi dalam penggalan percakapan yang dilakukan oleh P1 dan P2. Sperber dan Wilson berpendapat bahwa yang terpenting dari prinsip
kerjasama adalah adanya relevansi. Maksim
relevansi atau relevan secara semantis merujuk kepada komunikasi yang saling berhubungan atau berkaitan dengan hal yang sedang dibicarakan. Atas dasar konsep tersebut, pertanyaan yang dilontarkan P2 kenapa harus pindah dan alasannya kenapa harus melanjutkan untuk menghangatkan diri di gereja mentaati maksim relevansi. P1 dan
P2 memiliki pengetahuan
yang sama mengenai wanita berjilbab tidak seharusnya di gereja. Akan tetapi karena mereka memiliki alasan untuk menghangatkan diri, P2 tidak merasa keberatan berada di gereja. P2 sudah pernah berkunjung ke gereja tersebut sebelumnya. 5. Data 5 Implikatur terjadi apabila ada pelanggaran terhadap beberapa maksim dari prinsip kerjasama Grice. Ia mengatakan dalam percakapan seorang pembicara mempunyai maksud tertentu ketika mengujarkan sesuatu. Maksud yang ingin disampaikan haruslah memiliki kesesuaian dengan konteks dalam proses ujaran. Implikatur pada konteks percakapan antara P1 dan P2 berdasarkan analisis data 5 yaitu P1 tidak keberatan membicarakan mengenai gereja. P1 menjelaskan alasan
80
kenapa menyuruh P2 untuk diam tiba-tiba. Ketidakberatan P1 dinyatakan melalui alasan dia menyuruh P2 diam sejenak yaitu dengan mengungkapkan kekesalannya terhadap turis yang sedang mengolok-olok Islam. Dalam penggalan percakapan pada analisis data 5 percakapan terjadi di sebuah kafe dalam situasi yang santai. Selain dari konteks peristiwa percakapan terjadi,
konteks
pengetahuan
dari
ujaran
yang
dilontarkan
juga
sangat
mempengaruhi proses memahami ujaran. Berdasarkan analisis data 5, P1 dan P2 sama-sama mengetahui bahwa croissant menyerupai bulan salah satu lambang dari bendera Turki. Roti Croissant dibuat untuk merayakan kekalahan Turki saat melakukan ekspansi ke Wina pada abad ke-17 M. Turis-turis yang di kafe memanfaatkan hal tersebut untuk mengolok-olok Islam sehinnga memicu emisi Hanum. Komunikasi yang dilakukan tidaklah hanya sekedar memberikan pesan sehingga peserta komunikasi sering melanggar prinsip kerjasama Grice. Adapun maksim-maksim yang dilanggar dalam penggalan percakapan analisis data 5 yaitu sebagai berikut: 1. Maksim kuantitas.
Jawaban yang diberikan oleh P1 melebihi dari
informasi yang dibutuhkan oleh P2 sehingga jawaban P1 melanggar maksim kuantitas dari prinsip kerjasama Grice. P1 mengetahui maksud dari pertanyaan P2, P1 menjawab pertanyaan tersebut dengan menjabarkan alasannya, terlihat dalam kutipan berikut, “Kurasa tamu di balik tembok ini
sedang
menjelek-jelakan
Islam.
Mereka
menyebut
croissant
melambangkan bendera Turki yang bisa dimakan. Kau makan croissant artinya makan Islam! Pokoknya menyebalkan!” 2. Maksim cara. Pelanggaran terhadap maksim ini karena P1 memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan pertanyaan yang lontarkan P2. Jawaban P1 tidak disampaikan dengan tertata dan tidak singkat. Cara P1 menyuruh P2 untuk diam sejenak memberikan ekspresi yang tidak jelas sehingga P2 tidak mengerti kenapa dia diminta untuk diam.
81
Maksim yang terpenuhi dalam penggalan percakapan pada analisis data 5 yaitu sebagai berikut: 1. Maksim kualitas. Jawaban P1 mengenai turis yang mengolok-olok Islam dengan roti croissant memang terjadi pada saat proses pengupingan yang dia lakukan. Dengan demikian, jawaban P1 mentaati hukum maksim kualitas
karena
maksim kualitas berkaitan dengan kebenaran yang
terkandung dalam ujaran atau informasi yang disampaikan. 2. Maksim
Relevansi.
Maksim ini terpenuhi
dikarenakan
hal yang
dibicarakan memiliki keterkaitan dengan konteks yang melatar belakangi pembicaraan. maksim
Teori relevansi Sperber dan Wilson sama halnya dengan
relevansi
yang
ada
pada
prinsip
kerjasama
Grice.
P1
menyampaikan informasi yang sesuai dengan konteks dan kejadian sebenarnya yaitu mengenai beberapa turis yang menjelek-jelekkan Islam. 6. Data 6 Berdasarkan analisis data 6 konteks percakapan terjadi di ruang kelas pada saat pelajaran tarikh Islam. P2 memotivasi murid-muridnya dengan mimpinya mengunjungi Eropa untuk menapak jejak perjalanan Islam. P2 dalam menjawab pertanyaan yang diajukan oleh P1 tidak mematuhi prinsip kerjasama yang dicetuskan oleh Grice. Kerjasama tersebut dilihat dari kepatuhan untuk mentaati maksim-maksim yang ada.
Maksim tersebut yaitu maksim kuantitas yang
berkaitan dengan informasi yang disampaikan, maksim kualitas berkaitan dengan kebenaran informasi, maksim relevansi berkaitan dengan relevan atau tidaknya ujaran terhadap konteks percakapan, dan maksim cara yang berkaitan dengan cara dalam penyampaian informasi. Pelanggaran terhadap maksim-maksim tersebut akan menimbulkan implikatur. implikatur pada data 6 berdasarkan analisis data 6 yaitu P2 ingin ke Wina untuk mempelajari sejarah Islam. Selain dari teori Grice, peneliti juga menganalisa berdasarkan teori relevansi yang di cetuskan oleh Sperber
dan
Wilson.
Maksim relevansi menjadi fokus
utamanya
dalam
menentukan komunikasi antara penutur dan petutur berjalan dengan baik. Penggalan percakapan pada analisis data 6 melanggar beberapa maksim dari prinsip kerjasama Grice. Maksim-maksim yang dilanggar yaitu:
82
1. Maksim kuantitas. Maksim kuantitas dilanggar oleh pak P2 karena dia tidak menjawab pertanyaan yang diucapkan oleh P1. Secara tidak langsung pak P2 ingin mengatakan bahwa dia ingin pergi ke Wina untuk belajar mengenai sejarah Islam. Akan tetapi, informasi yang diberikan oleh P2 lebih dari yang dibutuhkan oleh P1. Pertanyaan P1 secara semantis telah mengandung
pilihan
jawaban
untuk
P2.
Dia seharusnya menjawab
berdasarkan pilihan tersebut, yaitu pergi ke Wina untuk
belajar sejarah
Islam atau untuk musik. Akan tetapi, P2 memberikan pernyataan seperti dalam kutipan berikut, “Wina-lah kota terakhir tempat ekspansi Islam berhenti”
pernyataan
tersebut
meminta
P1
menyimpulkan
sendiri
jawabannya. 2. Maksim cara. P2 melanggar maksim cara karena dia menyampaikan jawaban dari pertanyaan P1 tidak tertata dan memiliki ambiguitas. Jawaban dari pak P2 tidak menegaskan apakah dia ingin ke Wina untuk belajar sejarah Islam atau musik. P2 memberikan pernyataan yang mengiginkan P1 untuk menyimpulkannya sendiri.
Berdasarkan kepada
konteks percakapan bahwa P2 mengutarakan keinginannya mempelajari sejarah Islam di Eropa maka P1 dapat menyimpulkan bahwa P2 ingin mempelajari sejarah Islam ke Wina. Wina terletak di Eropa bagian barat. Pernyataan dari P2 akan menjadi ambigu apabila P1 tidak mengetahui atau tidak bisa menebak maksud dari pernyataan P2. P1 akan menganggap peryataan P2 sebagai bagian pelajaran pada saat itu. Berdasarkan analisis data 6, percakapan antara P1 dan P2 memenuhi maksim-maksim berikut: 1. Maksim kualitas. Maksim kualitas ditaati oleh P2 karena apa yang dikatakannya benar. Wina merupakan ekspansi terakhir Turki untuk menyebarkan Islam di Eropa karena di Wina Turki mengalami ke kalahan. Wiina memiliki sejarah Islam yang pentung di Eropa, karena itu P2 mengiginkan pergi ke Wina. 2. Maksim relevansi. Jika maksim relevansi ditaati secara otomatis teori relevansi dari Sperber dan Wilson terpenuhi.
Maksim relevansi terpenuhi
karena jawaban dari P2 sesuai dengan konteks yang melatar belakanginya
83
yaitu keinginan dia untuk mengunjungi Eropa khususnya Wina untuk tapak tilas sejarah Islam. 7. Data 7 P1 dan P2 berdasarkan analisis data 7 melakukan percakapan mengenai menyesuaikan diri di negeri minoritas Islam. P1 melakukan percakapan dengan P2 di kafe dengan situasi yang santai. Mereka membicarakan cara bersikap menjadi seorang muslim yang tidak emosian di negara dimana muslim menjadi kaum minoritas. P2 memiliki banyak pengalaman mengenai hal tersebut. P2 sebagai teman P1 memberikan nasehat untuk menyikapi cemooh atau perlakuan tidak menyenangkan yang disebabkan alasan agama ataupun etnis. Percakapan antara P1 dan P2 menggar beberapa prinsip kerjasama Grice. Prinsip kerjasama bukanlah suatu aturan yang mutlak dipenuhi oleh penutur atau petutur. Prinsip kerjasama Grice memiliki empat maksim yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara. Suatu percakapan tidak selalu memiliki makna sesuai dengan makna konvensionalnya, ada maksud tertentu di luar makna harfiah yang ingin disampaikan oleh penutur. Maksud tertentu tersebut dinamakan implikatur. implikatur dalam percakapan antara P1 dan P2 berdasarkan analisis data 7 yaitu P2 tidak sepaham dengan P1. Ahli lainnya yaitu Sperber dan Wilson dalam teori relevansinya hanya menyetujui bahwa yang dapat mewakilkan setiap maksim dalam prinsip kerjasama Grice adalah maksim relevansi. Pelanggaran terhadap maksim relevansi yang dilakukan dalam percakapan P1 dan P1 dalam penggalan percakapan pada analisis data 7 yaitu: 1. Maksim kuantitas.
Maksim kuantitas menuntut agar informasi yang
diberikan kepada lawan bicara sesuai dengan apa yang dibutuhkannya. Dari pertanyaan P1, dia membutuhkan bagaimana cara P2 tidak marah menghadapi orang-orang yang bercanda mengenai Islam. Jawaban yang diberikan oleh P2 memiliki informasi yang lebih dari yang dibutuhkan oleh P1. P2 menjelaskan pengalamannya terlebih dahulu, pengalaman P2 sebenarnya
bukan
merupakan
informasi
yang
diinginkan
oleh
P1
berdasarkan dari pertanyaannya secara semantis. P2 memberikan informasi
84
yang lebih dengan tujuan P1 agar lebih memahami apa yang dia sampaikan. 2. Maksim cara. Maksim cara dilanggar karena P2 memberikan informasi yang tidak singkat. Pelanggaran tersebut terjadi pada bagian kedua dalam penggalan percakapan pada analisis data 7. Jawaban yang diberikan P1 tidak tertata karena tidak mendahulukan informasi yang diinginkan oleh P2.
Dia menjelaskan pengalamannya dalam menyikapi orang-orang yang
menjelek-jelekkan Islam atau dirinya. P2 tidak mejawab secara langsung pertanyaan P1. Berdasarkan analisis data 7, maksim-maksim yang terpenuhi dalam percakapan P1 dan P2 yaitu sebagai berikut: 1. Maksim Kualitas. Maksim ini terpenuhi karena P2 memberikan jawaban berdasarkan kepada pengalamannya selama dia berada di negara minoritas Islam. P2 tidak memberikan jawaban yang tidak diyakini kebenarannya. P2 memberikan contoh bagaimana cara menjadi agen Islam yang baik dengan tidak mengumbar nafsu dan amarah. 2. Maksim relevansi. Pendapat Sperber dan Wilson mengenai teori relevansi
secara langsung juga terpenuhi dalam penggalan percakapan pada analisis data 7. Maksim relevansi menuntut adanya hubungan yang relevan antara ujaran dan konteks dalam percakapan. Teori relevansi dan maksim relevansi terpenuhi karena mereka memiliki pengetahuan yang sama yaitu bersikap kepada orang yang mencemoohkan Islam sehingga terjadilah komunikasi yang baik. Jawaban-jawaban yang diberikan oleh P2 meskipun melanggar maksim kuantitas, tapi hal itu memberikan penguatan kepada maksim
relevansi
dan
pemahaman
P1
mengenai
masalah
yang
dipertanyakan. 8. Data 8 Grice berpendapat bahwa maksim-maksim dalam prinsip kerjasama dapat menjelaskan kesenjangan antara makna semantik linguistik dan makna kelompok, karena mereka berfungsi sebagai dasar untuk menghasilkan makna implisit, terutama implikatur percakapan. Implikatur muncul disaat terjadinya pelanggaran terhadap maksim-maksim dalam prinsip kerjasama. Sementara Sperber dan
85
Wilson berpendapat Prinsip tunggal relevansi untuk mengganti semua maksim Grice. Prinsip ini beroperasi untuk memastikan bahwa ucapan-ucapan pembicara itu
sebuah
relevansi
atau
sesuai dengan
konteks
yang
melatarbelakangi
percakapan. Implikatur pada anaisis data 8 yaitu P2 menolak tawaran P1. Berdasarkan analisis data 8, peristiwa percakapan terjadi pada saat malam hari 20.05. setelah mereka turun dari bus. Cuaca yang dingin pada malam terjadinya percakapan membuat P2 tidak bisa menerima ajakan P1 untuk menikmati cappucino. Ayse anak P2 juga mengalami demam dan mimisan. Hal tersebut makin memperkuat bahwa P2 benar-benar tidak bisa menerima tawaran baik dari P1. Penjelasan dari penggalan percakapan analisis data 8 melanggar maksim dari prinsip kerjasama Grice sebagai berikut: 1. Maksim kuantitas. Maksim ini memberikan informasi yang seinformatif mungkin dan memberikan informasi sesuai dengan apa yang dinginkan oleh lawan bicara. Penggalan percakapan antara P1 dan P2 melanggar maksim kuantitas dalam prinsip kerjasama karena jawaban P2 memberikan informasi yang lebih. P2 menolak tawaran P1 secara tidak langsung dan menjelaskan bahwa anaknya sedikit demam dan udara yang tidak memungkinkan. 2. Maksim Cara. Maksim cara menginginkan penutur menghindari ekspresi yang tidak jelas, mengandung ambigutitas, disampaikan dengan ringkas, dan tertata. Dalam penggalan percakapan antara P1 dan P2, jawaban P2 atas ajakan P1 memberikan informasi yang lebih dari apa yang diinginkan P1. Jawaban P2 tersebut melanggar maksim cara dari prinsip kerjasama Grice. P2 tidak memberikan jawaban yang singkat, dapat kita lihat pada kutipan, “Terimakasih. Asye agaknya sedikit demam. Aku harus segera membawanya pulang.” Seharusnya P2 bisa menjawab dengan “Saya tidak bisa” jawaban yang langsung tersebut tidaklah sopan. P2 menjelaskan secara rinci dan dengan alasan yang kuat, yaitu dengan hidung Ayse yang mimisan.
86
Adapun maksim-maksim yang terpenuhi berdasarkan analisis data 8 yaitu sebagai berikut: 1) Maksim kualitas. Maksim kualitas terpenuhi apabila informasi yang disampaikan oleh penutur memiliki kebenaran dan dapat dibuktikan kebenaran tersebut. Percakapan antara P1 dan P2 mematuhi maksim kualitas. Jawaban dari P2 memberikan alasan yang logis dan faktual, oleh sebab itu jawaban tersebut mentaati maksim kualitas. Jawaban P2 mengenai
keadaan
anaknya
yang
sedang
demam
dikuatkan
oleh
pernyataan P1 dalam kutipan berikut ini, “Anakmu mimisan, Fatma. dongakkan kepalanya dan cepat kau usap,....” P1 membuktikan bahwa pernyataan
P2
mengenai keadaan anaknya yang demam bukanlah
kebohongan. 2) Maksim relevansi.
Maksim ini diaangap paling penting oleh Sperber dan
Wilson. Dalam penggalan percakapan tersebut maksim relevansi terpenuhi karena jawaban P2 dapat dimengerti oleh P1. P2 memberikan jawaban yang memiliki hubungan dengan konteks pembicaraan yaitu tawaran P1 untuk mentraktir Cappucino. Dapat kita lihat dari pernyataan P1 terhadap jawaban P2, dalam kutipan berikut “Anakmu mimisan, Fatma. dongakkan kepalanya dan cepat kau usap,....” Pernyataan P1 atas jawaban P2 membuktikan bahwa penolakan dari P2 bukanlah hal yang di buat-buat. 9. Data 9 Berdasarkan
analisis
pemberhentian bus.
P1
data
dan P2
9,
percakapan
terjadi di sebuah halte
memperhatikan seorang perempuan yang
menganbil koran di stand tiang listrik tanpa membayar. P1 dan P2 sama-sama mengetahui bahwa hal yang dilakukan oleh perempuan tersebut tidaklah terdidik. P1 mengetahui bahwa stan koran tidak di jaga dikarenakan mereka disiplin untuk dan dilatih untuk jujur. Prinsip kerjasama percakapan pada analisis data 9 tidak semuanya terpenuhi. Adapun yang melanggar dari prinsip kerjasma percakan yang akan menghasil makna secara non-konvensional atau implikatur dalam percakapan. Implikatur percakapan pada data 9 yaitu P2 menyetujui pernyataan P1. Pelanggaran terhadap maksim- maksim yaitu sebagai berikut:
87
1. Maksim kuantitas.
Reaksi P1
atas
perkataan yang lontarkan P2
memberikan info lebih dari yang dibutuhkan. Seharusnya tanggapan P1 atas pertanyaan P2 pada analisis data 9 ditanggapi sesuai dengan apa yang diinginkan
oleh
lawan
bicara.
P2
memberikan
pertanyaan
yang
mengandung sindiran mengenai kerugiaan yang akan dialami oleh pemilik koran apa bila ada orang yang sering tidak membayar. P1 secara konvensional seharusnya menjawab dengan kata “Iya” atau “Tidak”. Akan tetapi, P1 memberikan
pendapatnya mengenai bisnis yang menjual
sesuatu dan pembayarannya berdasarkan kejujuran pembeli. 2. Maksim cara. Maksim ini membutuhkan partisipasi aktif dari penutur dan petutur dalam melakukan suatu ujaran. Ujaran haruslah singkat dan tidak
mengandung
ambiguitas.
Tanggapan
P1
atas kalimat yang
dilontarkan P2 tidak singkat. P2 secara semantis tidak membutuhkan tanggapan P1 mengenai bisnis yang mereka bicarakan. 3. Maksim kualitas. Maksim ini membutuhkan jawaban yang diyakini kebenarannya. Jawaban P1 melanggar maksim kualitas dikarenakan dia meragukan pendapatnya. Keraguan itu dapat dilihat dalam kutipan berikut, “...Mungkin orang Austria sudah terdidik untuk selalu berbuat jujur” Kata “Mungkin” menandakan P2 tidak meyakini pendapat yang dia sampaikan. Maksim yang terpenuhi berdasarkan prinsip kerjasama Grice yaitu maksim relevansi. Maksim relevansi dari Grice sama dengan teori relevansi yang dinyatakan oleh Sperber dan Wilson. Teori relevansi dapan menentukan apakah ujaran yang dilakukan oleh penutur dan petutur memiliki relevansi yang optimal. Maksim relevansi terpenuhi karena respon dari P1 memberikan informasi yang baru dan bermanfaat untuk P2. Respon dari P1 sesuai dengan konteks pembicaraan mengenai koran tanpa penjual dan bisnis yang serupa untuk menguji kejujuran dari pembeli. 10. Data 10 Prinsip kerjasama Grice terpecah ke dalam empat maksim yaitu 1) maksim kuantitas, mengharuskan informasi yang disampaikan seinformatif mungkin dan tidak boleh berlebih-lebihan; 2) maksim kualitas, mengharuskan informasi yang
88
disampaikan benar dan dapat dibuktikan kebenarannya; 3) maksim relevansi, mengharuskan adanya hubungan yang relevan antara konteks dan ujaran; dan 4) maksim
cara,
ambiguitas.
mengharuskan
ketepatan
informasi
dan
tidak
mengandung
Pelanggaran terhadap maksim-maksim ini akan menimbulkan sebuah
implikatur. Berdasarkan teori relevansi, Konteks yang terjadi pada percakapan kali ini yaitu P1 bertanya kepada P2 mengenai magnet icon kota-kota di Eropa yang tertempel di kulkasnya. Implikatur percakapan antara P1 dan P2 yaitu P2 mengetahui icon kota-kota Eropa pada magnet kulkas P1 dengan cara menyatakan keinginannya untuk menjadi agen Islam seperti P1. Dapat kita lihat pada kutipan berikut, “Aku ingin sekali berjalan-jalan keliling Eropa sepertimu, Fatma, mengunjungi tempat-tempat bersejarah yang meninggalkan jejak kebesaran islam. Kapan ya aku bisa.” Berdasarkan analisis data 10, percakapan antara P1 dan P2 melanggar maksim-maksim pada prinsip kerjasama Grice, yaitu sebagai berikut: 1.
Maksim
kuantitas.
Pelanggaran
terhadap
maksim
ini
karena
P2
memberikan informasi yang lebih dari apa yang dibutuhkan oleh P1. Pelanggaran terhadap maksim tersebut dapat dilihat pada penggalan kutipan percakapan berikut, “Aku ingin sekali berjalan-jalan keliling Eropa sepertimu, Fatma, mengunjungi tempat-tempat bersejarah yang meninggalkan jejak kebesaran islam. Kapan ya aku bisa.” P1 hanya menanyakan apakah P1 mengetahui magnet icon kota-kota di Eropa yang tertempel di kulkasnya. Akan tetapi, Jawaban P2 menjawab dengan menyatakan keinginannya untuk mengelilingi Eropa. Seharusnya P2 secara semantis mengatakan bahwa dia mengetahui atau tidak mengetahui. 2. Maksim cara. Maksim cara dilanggar karena P2 memberikan jawaban
yang berlebihan dari yang dibutuhkan P1. P2 juga menjawab pertanyaan P1 dengan tidak tertata. P2 seharusnya secara semantis memberitahukan apakah dia mengetahui atau tidak mengenai icon magnet yang tertempel di kulkas.
P2
tidak
memerlukan
mengutarakan
keinginannya
untuk
89
menjelajahi Eropa seperti icon kota-kota di Eropa yang tertempel di kulkas P1. Berdasarkan analisis data 10, percakapan antara P1 dan P2 memenuhi maksim-maksim seperti berikut: 1. Maksim kualitas. Maksim kualitas menginginkan jawaban berdasarkan kepada kebenaran. Jawaban dari P2 memenuhi maksim ini karena memiliki kebenaran. P2 memberikan jawaban berdasarkan keinginannya untuk mengelilingi Eropa. 2. Maksim relevansi.
Jawaban
P2
mentaati maksim relevansi karena
jawabannya dapat dipahami oleh P1 dan memiliki hubungan dengan konteks pembicaraan. Kutipan yang menandakan bahwa P1 memahami jawaban P2 yaitu pada kutipan berikut, “Hanum, ternyata kita memiliki angan-angan yang sama. Aku baru saja ingin mengajakmu melakukan hal yang sama. magnet-magnet itu hanya pemberian Latife dan Ezra yang sering berjalan-jalan ke luar negeri. Sekarang aku harus mengumpulkan uang dulu...,” 11. Data 11 Penggalan percakapan pada analisis data 11, memiliki konteks percakapan fisik atau tempat terjadinya peristiwa percakapan di dapur P2. P1 dan P2 samasama
memiliki keinginan
untuk
mengelilingi Eropa
yang
memiliki sejarah
mengenai Islam. P1 menginginkan memulai perjalanannya mengelilingi Eropa dengan mengunjungi Hagia Shopia yang berada di Istanbul, Turki. Namun, P2 tidak setuju dengan usulan P1 dikarenakan dia baru saja pulang dari Istanbul enam bulan yang lalu. P2 menyarankan P1 untuk mengunjungi Cordoba karena di sana ada kebalikan dari Hagia Sophia. Selain dari prinsip kerjasama Grice, peneliti akan melakukan penelitian berdasarkan teori relevansi yang diutarakan oleh Sperber dan Wilson. Proses percakapan P1 dan P2 yang terdapat dalam penggalan percakapan pada analisis data 11 melanggar beberapa maksim dari prinsip kerjasama Grice, yaitu sebagai berikut:
90
1. Maksim kuantitas. Pelanggaran terhadap Maksim ini dikarenakan jawaban dari P2 berlebihan dari informasi yang diinginkan P1. Secara literal P1 menginginkan keputusan P2 mengenai perjalanan mereka dimulai dengan mengunjungi
Hagia
Sophia.
Akan
tetapi,
P2
memberikan
alasan
penolakannya untuk pergi ke Istanbul dan memberikan alternatif untuk berkunjung ke Cordoba. 2. Maksim cara. Maksim cara mensyaratkan agar informasi yang diberikan dengan singkat, tertata, dan tidak mengandung ambiguitas. Penggalan percakapan
analisis
data
11
melanggar
maksim cara
karena
P2
memberikan informasi yang tidak singkat. P1 menginginkan persetujuan dari P2 untuk memulai perjalanan mereka dari Istanbul. Secara semantis P2 tidak seharusnya memberikan saran atau tempat alternatif lain untuk memulai perjalanan tersebut. Ada beberapa maksim dari prinsip kerjasama yang terpenuhi dalam penggalan percakapan analisis data 11, yaitu sebagai berikut: 1. Maksim kualitas. Maksim ini ditaati karena jawaban dari P2 berdasarkan kenyataan dan berdasarkan pengalamannya. Kenyataan yang disampaikan berupa P2 baru pulang dari Istanbul dan di Cordoba ada bangunan unik kebalikan dari Hagia Sophia. Maksim kualitas mengharuskan informasi yang disampaikan berdasarkan kepada fakta. 2. Maksim relevansi ataupun teori relevensi terpenuhi karena percakapan antara P1 dan P2 berjalan dengan baik dan mereka saling memahami ujaran masing-masing. Jawaban P2 berdasarkan kepada pengetahuannya tentang
konteks
yang
melatarbelakangi
percakapan
yaitu
tentang
perjalanan mengelilingi tempat bersejarah Islam yang ada di Eropa. Karena itu P2 mengajukan tempat kunjungan lain ke Cordoba. Disana ada tempat kebalikan dari Hagia Shopia yang sama-sama memiliki sejarah Islam. 12. Data 12 Berdasarkan penggalan percakapan pada analisis data 12, P1, P1, dan P3 berada di dalam Masjid Wina. Masjid tersebut berada di dekat Sungai Danube. Sungai yang disekitarnya banyak orang-orang berjemur memakai bikini dan
91
melakukan kegiatan lainnya yang menggoda sahwat. Percakapan pada analisis data 12 tidak terlepas dari prinsip kerjasama Grice dan teori relevansi Sperber dan Wilson. Pelanggaran terhadap maksim-maksim dalam prinsip kerjasama Grice akan menimbulkan implikatur. Berdasarkan pada analisis data 12, percakapan antara P1, P2, dan P3 memiliki implikatur
bahwa P2 menjelaskan secara
kronologi alasan Masjid Wina masih dipertahankan di dekat Sungai Danube. Pelanggaran maksim-maksim percakapan pada analisis data 12 yaitu sebagai berikut: 1. Maksim kuantitas. Maksim kuantitas mensyaratkan agar informasi yang disampaikan haruslah sesuai dengan yang dibutuhkan oleh lawan bicara. Dalam penggalan percakapan pada analisis data 12, percakapan yang pertama antara P1 dan P2 melanggar maksim kuantitas. Hal tersebut dikarenakan P2 tidak langsung menjawab apa yang ditanyakan oleh P1 dan memberikan informasi yang lebih dari yang dibutuhkan. P2 menyarankan P1 untuk memakai kerudung dan menjelaskan beberapa hal yang lain sebelum dia benar-benar menjawab apa yang diinginkan oleh P1 yaitu alasan Masjid Wina di bangun di dekat Sungai Danube. Percakapan kedua antara P3 dan P2 melanggar maksim kuantitas karena P2 memberikan informasi yang lebih kepada P3. Secara semantis, P3 hanya membutuhkan jawaban “Iya” atau “Tidak”. P2 menjawab pertanyaan P3 dengan menunjukan buku orang-orang yang baru masuk Islam dan menjelaskan bahwa sebagian dari nama dalam buku tersebut adalah orang-orang yang berjemur di Sungai Danube dan mendapatkan hidayah untuk menjadi mualaf. 2. Maksim cara. Maksim cara dilanggar karena informasi yang disampaikan haruslah singkat dan sesuai dengan apa yang dipertanyakan atau tertata. Jawaban yang diberikan oleh P2 saat percakapan yang pertama pada analisis data 12, P2 memberikan penjelasan yang panjang dan memberikan informasi yang lain, misalnya boleh atau tidak memakai kerudung bagi pengunjung ke dalam masjid dan menjelaskan secara rinci alasan mengapa Masjid Wina tidak dialihkan ke tempat lain. Percakapan kedua antara P3 dan P2 juga melanggar maksim cara. P2 tidak memberikan jawaban yang
92
singkat dari apa yang diinginkan oleh P3. P2 menjelaskan siapa yang menjadi mualaf dan menunjukan bahwa itu merupakan berkah masjid di dekat Sungai Danube. Penggalan percakapan pada analisis data 12 memenuhi beberapa maksim dari prinsip kerjasama Grice, yaitu sebagai berikut: 1. Maksim kualitas. Maksim ini ditaati karena jawaban dari P2 baik di percakapan pertama dengan P1 mapun percakapan kedua dengan P3, semuanya berdasarkan pada pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh P2. Jadi, kebenaran dari informasi yang diberikan oleh P2 dapat dibuktikan. 2. Maksim
relevansi.
berdasarkan
pada
Maksim konteks
ini yang
terpenuhi
karena
mereka
berbica
melatarbelakangi percakapan yaitu
mengenai Masjid Wina yang di bangun di dekat Sungai Danube dan berkah apa yang di maksud oleh P2. 13. Data 13 Konteks percakapan secara fisik pada penggalan percakapan analisis data 13 berada di gardarata pesawat di bandara Charles de Gaulle. P1 dan suaminya baru samapai di Paris dan mendapatkan telepon dari P2. P2 adalah seorang mualaf yang diperkenalkan oleh Imam Hashim kepada P1. P2 akan menjadi teman dan guide selama berada di Paris. Konteks yang melatarbelakangi pembicaraan sangat mempengaruhi bagaimana penutur atau petutur menangkap informasi apa yang disampaikan oleh masing-masing. Penggalan percakapan pada analisis data 13 tidak terlepas dari prinsip kerjasama Grice dan teori relevansi yang disampaikan oleh Sperber dan Wilson. Tidak setiap maksim dalam prinsip kerjasama Grice harus dipatuhi dalam sebuah percakapan karena ujaran bukanlah sesuatu yang kaku dan harus memiliki arti secara konvensional. Ada informasi yang tersembunyi yang ingin disampaikan oleh penutur kepada petutur dan hal itu harus dapat di tangkap oleh petutur. Infomasi
yang
tersembunyi
tersebut
dinamakan
dengan
implikatur
dalam
percakapan. Percakapan antara P1 dan P2 memiliki implikatur bahwa P2 mejelaskan cara ke Saint Michel secara rinci.
93
Percakapan yang dilakukan oleh P1 dan P2 pada analisis data 13 melanggar beberapa maksim dari prinsip percakapan, yaitu sebagai berikut: 1. Maksim kuantitas. Maksim kuantitas mengharapkan ujaran dan informasi yang disampaikan sesuai dengan apa yang diharapkan atau diinginkan oleh lawan bicara. Berdasarkan percakapan antara P1 dan P2 pada danalisis data 13 melanggar maksim kuantitas. P1 menanyakan letak Saint Michel kepada P2. P2 memberikan petunjuk cara menuju Saint Michel kepada P1 dengan menjelaskan rute yang akan ditempu oleh P1 dan pertanyaan P2 apakah suami P1 bersama dengannya atau tidak. Secara konvensional, pertanyaan P1
hanya membutuhkan jawaban mengenai lokasi Saint
Michel. 2. Maksim cara. Maksim ini menutut penutur menyampaikan ujaran dengan singkat, jelas, tertata, dan tidak mengandung ambiguitas. Jawaban dari P2 mengenai pertanyaan P1 bukanlah merupakan jawaban yang singkat. Pada jawaban P2 terdapat unsur basa-basi untuk membuat situasi diantara mereka lebih akrap. P2 menanyakan apakah suami P1 bersamanya sehingga P2 bisa menjamin keselamatan P pada saat naik kereta dari Bandara. Makasim yang ditaati oleh P1 dan P2 berdasarkan analisis data 13 yaitu sebagai berikut: 1. Maksim kualitas. Maksim ini mengharuskan ujaran yang disampaikan benar dan bisa dibuktikan kebenarannya. Percakapan antara P1 dan P2 mentaati maksim kualitas dikarenakan P2 memberikan jawaban dan penjelasan menuju Saint Michel berdasarkan fakta dan dapat dibuktikan kebenarannya. P2 memberikan rute yang dia ketahui untuk menuju ke Saint Michel. 2. Maksim relevansi. Maksim ini terpenuhi karena P2 menjawab sesuai dengan konteks yang melatarbelakangi percakapan analisis data 13. Konteksnya yaitu letak Saint Michel. P1 memiliki janji dengan P2 bertemu di Saint Michel. P2 menelpon P1 untuk memberitahukan cara ke Saint Michel, tempat mereka akan bertemu. Teori relevansi dengan maksim relevansi sama-sama memiliki tujuan dan pengertian yang sama.
94
14. Data 14 Grice mengatakan dalam percakapan seorang pembicara mempunyai maksud tertentu ketika mengujarkan sesuatu. Maksud yang terkandung di dalam ujaran itu disebut implikatur. Implikatur adalah penyimpulan informasi atau pesan yang disampaikan di luar dari apa yang dikatakan dalam arti sebenarnya dan melanggar maksim dalam prinsip kerjasama. Maksim tersebut adalah maksim kuantitas, kualitas, relevansi, dan maksim cara. Berdasarkan analisis data 14, implikatur percakapan antara P1 dan P2 yaitu P1 merespon pujian P2 dan menjelaskan alasannya dengan rinci. P1 ingin mengatakan bahwa menjaga kehormatan dengan jilbab untuk perempuan sama wajibnya dengan menjalankan rukun Islam. Implikatur tersebut terdapat pada kutipan, “Merci. Buatku rukun Islam itu ada 6. Yang keenam adalah menjaga kehormatanku dengan jilbab”. Penggalan percakapan pada analisis data 14 melanggar beberapa maksim dalam prinsip kerjasama, yaitu sebagai berikut: 1. Maksim kuantitas. Maksim kuantitas menuntut peserta komunikasi untuk menyampaikan informasi yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan petutur dan tidak melebihi dari apa yang dibutuhkan. Jawaban P2 atas pujian P2 melanggar maksim kuantitas dikarenakan P2 memberikan penjelasan yang lebih dari yang dibutuhkan oleh P2. P1 menjelaskan bahwa mengenakan jilbab
merupakan
kehormatan
baginya.
Pujian
P2
secara semantis
memerlukan ucapan terimakasih. 2. Maksim cara. Maksim cara mensyaratkan penutur menghindari ekspresi yang tidak jelas, mengandung ambigutitas, disampaikan dengan ringkas, dan tertata. Tanggapan P1 atas pujian P2 juga melanggar maksim cara karena P1 tidak memberikan respon dengan ringkas atas pujian P2. P1 menjelaskan kepada P2 alasannya menggunakan jilbab dan dia merasa terhormat dengan menggunakan jilbab. Prinsip kerjasama Grice yang terpenuhi dalam penggalan percakapan pada analisis data 14, yaitu sebagai berikut:
95
1. Maksim
kualitas.
Maksim
ini
terpenuhi
apabila
informasi
yang
disampaikan oleh penutur memiliki kebenaran dan dapat dibuktikan kebenaran tersebut. Tanggapan P1 dalam penggalan percakapan tersebut mentaati maksim kualitas karena dia memberikan alasan yang masuk akal, dan dapat dipahami oleh P2. P1 menyampaikan pandangannya mengenai memakai jilbab bagi wanita yang beragama Islam. 2. Maksim relevansi. Selain menggunakan teori Grice juga menggunakan teori Relevansi dinyatakan oleh Sperber dan Wilson. Mereka berpendapat maksim relevansi untuk mengganti semua maksim Grice. Prinsip ini mengharuskan
informasi yang disampaikan pembicara sesuai dengan
konteks yang melatarbelakangi percakapan. Tanggapan dari P1 mentaati maksim relevansi sehingga P2 memahami apa yang P1 maksud memalui alasan yang dia berikan. Alasan Marion berhubungan dengan konteks yang melatarbelakangi pembicaraan. Bukti bahwa P2 mengerti atas alasan yang diberikan P1 terdapat pada penggalan kutipan berikut, “Aku ingin tahu, apa yang membuatmu tertarik pada Islam. Mungkin aku bisa belajar banyak darimu”. 15. Data 15 Sama dengan pembahasan dalam penggalan percakapan sebelumnya. Penggalan percakapan analisis data 15 juga menggunakan prinsip kejasama dan prinsip relevansi. Prinsip kerjasama dan prinsip relevansi memerlukan konteks untuk melatarbelakangi tindak komunikasi. Percakapan antara P1 dan P2 terjadi di lobi hotel tempat P2 menginap, pada 09.00 hari. P1 dan P2 ingin melakukan perjalanan di kota Paris. Jawaban P2 atas pertanyaan P1 melanggar beberapa maksim dari prinsip
kerjasama percakapan. Pelanggaran terhadap maksim-
maksim dari prinsip kerjasama Grice menghasilkan sebuah implikatur. Implikatur percakapan antara P1 dan P2 yaitu P2 menyerahkan pilihan kepada P1. Hal tersebut dikarenakan Hanum ingin pergi ke tempat bersejarah yang menjadi keahlian Marion. Berdasarkan analisis data 15, percakapan P1 dan P2 melanggar beberapa maksim dari prinsip kerjasama Grice, yaitu sebagai berikut:
96
1. Maksim kuantitas. Pelanggaran terhadap maksim kuantitas dikarenakan jawaban P2 tidak memberikan informasi yang diminta oleh P1. P1 memberikan beberapa pilihan tempat untuk dikunjungi, akan tetapi P2 tidak memberikan jawaban yang sesuai dengan pilihan yang ditawarkan oleh
P1.
Jawaban
Hanum
memiliki
implikatur
bahwa
Hanum
menyerahkan pilihannya kepada Marion. 2. Maksim cara. Maksimini dilanggar karena P2 tidak memberikan jawaban secara singkat dan tidak menjawab pilihan yang diberikan oleh P1. Hal tersebut dapat kita lihat pada penggalan percakapan berikut, Marion “Jadi mana tujuan utama mu? Eiffel? Lafayette? Champ Elysees? Moulin Rouge?” Hanum “Aku ingin mengeksplorasi tempat bersejarah yang ada kaitannya dengan keahlianmu, Marion.” Berdasarkan analisis data 15, P1 dan P2 memenuhi beberapa maksim dari prinsip kerjasama Grice, yaitu sebagai berikut: 1. Maksim
kualitas.
memberikan
Ketaatan
jawaban
terhadap
sesuai dengan
maksim
ini
dikarenakan
P2
kebenaran bahwa dia ingin
mengetahui tempat bersejarah yag menjadi keahlian P1. Maksim kualitas mengharuskan
peserta
komunikasi
memberikan
informasi
yang
berdasarkan kepada fakta. 2. Maksim relevani. Dikatakan mentaati maksim relevansi karena jawaban P2 sesuai dengan konteks pembicaraan yaitu tempat yang akan di tuju untuk jalan-jalan di kota Paris sehingga P1 mengerti dengan yang dimaksud oleh P2. Bukti bahwa P2 mengerti dengan maksud yang disampaikan oleh Hanum terdapat pada kutipan berikut, “Kalau kau tertarik menelusuri peninggalan-peninggalan sejarah, kita bisa mulai dari Museum Louvre....” saran yang diberikan oleh P1 untuk pergi ke Museum Louvre menandakan bahwa dia menangkap apa yang dimaksud oleh P2. Ketaatan terhadap maksim relevansi merujuk kepada teori relevansi yang dinyatakan oleh Sperber dan Wilson. Mereka berpendapat bahwa Prinsip tunggal relevansi untuk mengganti semua maksim Grice.
97
D. Implikasi dalam Pendidikan Hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu pertimbangan dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah, khususnya Sekolah Menengah Atas (SMA), semester ganjil, kelas XII, sebagai sarana komunikasi dalam mengolah, menalar, dan menyajikan informasi lisan dan tulis melalui teks cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan novel. Penelitian ini juga diharapkan pula dapat menjadi pertimbangan dalam meningkatkan apresiasi sastra siswa, terutama dalam hal pemahaman terhadap novel Indonesia. Pertimbangan-pertimbangan dalam pengimplikasikan hasil penelitian ini diperlukan mengingat objek penelitian ini adalah sebuah novel yang relatif banyak disukai oleh para remaja dan telah dibuatkan filmnya. Percakapan dan kisah dalam novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa banyak memberikan inspirasi sebagai agen Islam yang baik.
BAB IV PENUTUP A. Simpulan Populasi dalam penelitian ini yaitu percakapan atau dialog yang memiliki implikatur. Adapun sampel penelitian terdiri atas lima belas (15) penggalan percakapan yang memiliki implikatur Percakapan pada novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra yang telah dianalisis. Implikatur yang terdapat pada novel
tersebut
merupakan
implikasi
dari
dilanggarnya
beberapa
maksim
percakapan oleh penutur dan petutur. Data 1 melanggar maksim cara, data 2 – data 15 melanggar maksim kuantitas dan maksim cara. Data 1 memenuhi maksim kuantitas, kualitas, dan maksim relevansi, data 2 – data 15 memenuhi maksim kualitas dan relevansi. Maksim kuantitas mengatur agar penutur memberikan informasi sesuai dengan yang dibutuhkan dan seinformatif mungkin. Maksim kualitas mengatur
informasi yang disampaikan oleh penutur itu secara fakta dan
masuk akal. Maksim cara mengatur agar pembicara berbicara jelas, tidak menggunakan ungkapan yang kabur, menghindari ambiguitas. Sperber dan Wilson berpendapat bahwa yang terpenting dari bidal-bidal yang disampaikan Grice adalah bidal hubungan dan relevansi. Bidal relevansi menjadi titik tolak dari teori relevansi. Relevan berarti berhubungan atau berkaitan dengan hal yang sedang dibicarakan. Maksim relevansi mengatur agar dapat terjalin kerjasama yang sungguh-sungguh baik antara penutur dan petutur dalam tindak percakapan. Setiap peserta percakapan hendaknya memberikan kontribusi yang benar-benar relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan. Prinsip relevansi ini terpenuhi pada setiap data penggalan percakapan. Hasil penelitian dari novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa diharapkan menjadi salah satu pertimbangan dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah, khususnya Sekolah Menengah Atas (SMA), semester ganjil, kelas XII, sebagai sarana komunikasi dalam mengolah, menalar, dan menyajikan informasi lisan dan tulis melalui teks cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan novel. Penelitian ini juga diharapkan
98
99
pula dapat menjadi pertimbangan dalam meningkatkan apresiasi sastra siswa, terutama dalam hal pemahaman terhadap novel Indonesia. B. Saran Berdasarkan simpulan dan implikasi yang telah disampaikan, dapat ditemukan saran-saran sebagai berikut: 1. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia mengenai sarana komunikasi yang menjadikan novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa sebagai medianya, diharapkan guru dapat memberikan penjelesan yang lebih dalam mengenai makna-makna secara implisit yang terkandung di dalam novel tersebut. Dengan penjelasan yang dalam dan memadai, siswa diharapkan memiliki pengertian yang baik yang sesuai dengan tujuan pembelajaran dan siswa dapat mencontoh bagaimana diksi yang baik dalam tindak percakapan pada novel tersebut. 2. Dalam peranannya sebagai fasilitator, guru hendaknya mengacu pada tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sehingga tidak terbawa oleh keinginan siswa untuk membahas hal-hal yang tidak ada relevansinya dengan tujuan pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Adji, Muhammad, dkk.. Novel Popular Indonesia; Karya , Pengarang, dan Realitas. Bandung: Sastra UNPAD Press. Alek dan Achmad. Linguistik Umum; Sebuah ncangan Awal Memahami Ilmu Bahasa. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta. 2009 Ariel, Mira. Reaserch Surveys in Linguistics; Difining Pragmatics. New York: Cambridge University Press. 2010 Asher, Nicholas dan Alex Lascarides. Logic Of Conversation. New York: Cambridge University Press. 2003 Black, Elizabeth (penerjemah: Ardianto, dkk.). Stilistika Pragmatis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011 Brown, Gillian dan George Yule. Discourse Analysis. New York: Cambridge University press. 1983 Cahyono, Bambang Yudi. Kristal-kristal Ilmu Bahasa. Surabaya: Airlangga University Press. 1995 Chaika, Elaine. Linguistics, Pragmatics, and Pshycotherapy. London: Whurr Publishers. 2000 Cummings, Louise (Eti Setiawati, dkk.). Pragmatik, Multidisiplin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007
Sebuah
Perspektif
_________, Louise. Clinical Pragmatics. New York: Cambridge University Press. 2009 Fasold, Ralph W.. An Introduction to Language and Linguistics. New York: Cambridge University Press. 2006 Fromkin, Victoria dan Robert Rodman. An Introduction to Language; Third Edition. New York: CBS College Publishing. 1983 Gunarwan, Asim. PELBBA 18 Pertemuan Linguistik Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Atma Jaya ke Delapan Belas. Jakarta: Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Unika Atma Jaya. 2007 Hindun. Pragmatik untuk Perguruan Tinggi. Depok: Media Citra Mandiri. 2012 Huang, Yan. Pragmatics. New York: Oxford University Press Inc. 2007
Ihsan, Diemroh. Pragmatik, Analisis Wacana, dan Guru Bahasa: Pragmatics, Discourse Analysis, and Language Teachers. Palembang: Universitas Sriwijaya. 2011 Kosasih, E. Dasar-dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: Y rama Widya. 2011 Kushartanti, dkk.. Pesona Bahasa: Langkah awal Memahami Linguistik. Jakarta: Gramedia Pusta. 2005 Leech, Geoffrey (penerjemah: Oka). Universitas Indonesia. 1993
Prinsip-Orinsip
Pragmatik.
Jakarta:
Margono, S.. Metodologi penelitian pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. 2007 Merriam, Sharan B. Qualitative Research; A guide to Design and Implementation. United States of America: Jossey-Bass. 2009 Meyer, Charles F.. Introducing English Linguistics. New York: Cambridge University Press. 2009 Nadar, F.X.. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: GRAHA ILMU. 2009 Nasution, S.. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. 2003 Purwo, Bambang Kaswanti. Bulir-bulir Sastra dan Bahasa: Pembaharuan Pengajaran. Yogyakarta: KANISIUS. 1991 _____. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurikulum 1984. Yogyakarta: KANISIUS. 1990 Radford, Andrew, dkk.. Linguistics An Introduction; Second Edition. New York: Cambridge University Press. 2009 Rahardi, Kunjana. Sosiopragmatik: Kajian Imperatif dalam Wadah Konteks Sosiokultural dan Konteks Situasional. Jakarta: Erlangga. 2009 Rais, Hanum Salsabiela dan Rangga Almahendr. 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2012 Rani, Abdul, dkk.. Analisis Wacana: Sebuah Kajian Bahasa dalam Pemakaian. Malang: Bayumedia. 2006 Sperber, Dan dan Deirdre Wilson (penerjemah: Suwarna, dkk.). Teori Relevensi; Komunikasi dan Kognisi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009 Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa. 2009
Teeuw, A. Sastra dan Ilmu Sastra; Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. 1984 Verhaar. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2006 Wahab, Abdul. Butir-butir Linguistik. Surabaya: Airlangga University Press. 1990 Wellek, Rene dan Austin Warren (penerjemah: Melani Budianta). Kesustraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1993
Teori
Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. Analisis Wacana Pragmatik; Kajian Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka. 2010 Yule, George. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006 ____, George. The Study of Language. New York: Cambridge University press. 2006
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)
Satuan Pendidikan
: SMP KHARISMA BANGSA
Kelas/Semester
: VIII/2
Mata Pelajaran
: Bahasa Indonesia
Hari, Tanggal
: Kamis-sabtu, 6-8 Maret
Alokasi Waktu
: 4x 40 Menit (4 x Pertemuan)
A. Kompetensi Inti 1. Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab,
peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan proaktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia. 2. Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual,
prosedural berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kemanusiaan, kebangsaan, kenegaran, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan mintanya untuk memecahkan masalah. 3. Mengolah, menalar dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak
terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu menggunakan metode sesuai kaidah keilmuan. B. Standar Kompetensi Membaca 1.3 Mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan bahasa Indonesia dan menggunakannya sebagai sarana komunikasih dalam mengelolah, menalar, dan menyajikan informasi lisan dan tulis melalui teks cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan novel.
C. Kompetensi Dasar 3.3 Menganalisis teks novel baik melalui lisan maupun tulisan D. Indikator Pencapaian Kompetensi 1. Siswa mampu menganalisis unsur intrinsik novel remaja 2. Siswa mampu menganalisis diksi yang digunakan oleh tokoh dalam berkomunikasi 3. Siswa mampu megapresiasikan melalui diskusi mengenai unsur instrinsik novel E. Tujuan Pembelajaran Setelah proses pembelajaran siswa diharapkan mampu menganalisis unsur intrinsik novel dan mendiskusikannya secara berkelompok di depan kelas. F. Materi Pembelajaran (Terlampir) G. Alokasi waktu 4x 40 Menit H. Metode Pembelajaran Metode: ceramah, diskusi, dan praktik I.
Kegiatan Pembelajaran
KEGIATAN
DESKRIPSI KEGIATAN
ALOKASI WAKTU
Pendahuluan
1. Siswa merespon salam dan
2 menit
pertanyaan dari guru berhubungan dengan kondisi dan pembelajaran sebelumnya. 2. Siswa menerima informasi tentang keterkaitan pembelajaran sebelumnya dengan pembelajaran yang akan dilaksanakan. 3. Siswa
menerima
kompetensi, langkah
materi,
pembelajaran
dilaksanakan.
informasi tujuan,
dan
yang
akan
Inti
36 menit 1. Guru dan siswa melakukan tanya jawab mengenai novel remaja 2. Guru
menjelaskan
unsur
intrinsik
novel remaja 3. Siswa
dan
guru
mengidentifikasi
unsur intrinsik kutipan novel remaja 4. Siswa
megapresiasikan
unsur
intrinsik remaja Kegiatan Penutup
1. Siswa bersama guru menyimpulkan
2 menit
pembelajaran 2. Siswa melakukan refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilakukan. 3. Siswa dan guru merencanakan tindak lanjut pembelajaran untuk pertemuan selanjutnya. Seperti pemberian tugas individu yaitu membaca novel remaja di rumah dan mencari unsur instrinsiknya.
J. SUMBER/MEDIA PEMBELAJARAN a. Sumber: 1. Bahasa_Dan_Sastra_Indonesia_3_IPA_Kelas_12_Muhammad_Rohmadi _Yuli_Kusumawati_2008. (BSE) pdf 2. Membaca Sastra, Melani Budianta b. Media: 1. Novel 99 Cahaya di Langit Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra 2. Powerpoint
c. Penilaian Proses dan Hasil Belajar Tes Lisan
TEKNIK DAN BENTUK
V
Tes Tertulis
V
Observasi Kinerja/Demontrasi
V
Tagihan Hasil Karya/Produk: tugas, projek, portofolio
V
Pengukuran Sikap Penilaian
INSTRUMEN/SOAL
Tugas untuk menganalisis dan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik penggalan novel melalui diskusi. Tugas mempresentasikan hasil diskusi kelompok. Daftar pertanyaan kuis uji teori untuk mengukur pemahaman siswa atau konsepkonsep yang telah dipelajari
RUBRIK/KRITERIA PENILAIAN/BLANGKO OBSERVASI
Lembaran Penilaian Sikap pada Saat Diskusi Kelompok: Bubuhkan tanda V pada kolom-kolom sesuai hasil pengamatan. No.
Nama
Kreatif
Siswa
4
3
2
Komunikatif 1
4
3
2
1. 2. 3 4 5
Keterangan 1
= kurang
3 = baik
2
= sedang
4 = sangat baik
Nilai akhir :
Skor yang diperoleh X 100 Skor maksimal
Kerja keras 1
4
3
2
1
Mengetahui,
Tangerang Selatan, 13 Februari 2014
Guru Pamong
Guru PPKT Mapel Bahasa Indonesia.
(Mustofa, S. Hum)
(Riza Hernita)
BIOGRAFI PENULIS Riza Hernita, lahir di Lb. Jantan, Lintau Buo, Batusangkar. Anak tunggal dari pasangan Herizal dan Epina Darmita. Penulis memulai Pendidikan di Taman Kanak-Kanak Kamboja, Lintau dan melanjutkan ke SD Negri 37 Saribu Labiah, Lintau Buo. Kemudian penulis melanjutkan ke SMP Negri 1 Lintau Buo dan melanjutkan ke SMA Negri 1 Lintau Buo. Setelah lulus dari SMA penulis mendaftarkan diri untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Pada tahun 2010, penulis melanjutkan ke Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI). Bahasa
merupakan
jembatan
dalam
berkomunikasi
yang
sangat
dibutuhkan oleh setiap individu. Komunikasi yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari tidak selalu diwujudkan dalam bentuk lisan, tetapi juga diterapkan dalam
bentuk
tulisan.
Setiap
melakukan
tindakan
komunikasi,
penutur
mengharapkan pendengar atau petutur mengerti dan mampu menangkap apa yang ingin diinformasikan sehingga tidak terjadi kesalahpahaman. Agar tidak terjadi kesalapahaman,
seseorang
harus
mengetahui
dan
memahami
bagaimana
pemakaian kata dalam komunikasi yang sesuai dengan situasi dan kepada siapa berbicara. Salah satu yang harus dikuasai adalah diksi atau pilihan kata Setiap informasi.
individu
memiliki
caranya
tersendiri
Dalam situasi atau konteks tertentu,
menyampaikan
tuturan
memberikan
informasi
dalam
menyampaikan
penutur atau orang yang
yang
lebih
dari apa
yang
dikatakannya. Maksud atau informasi yang disampaikan lebih banyak secara tidak langsung kepada petutur. Untuk menangkap informasi tersebut petutur harus mengerti konteks pembicaraan dan bekerja keras dalam memahami tanda-tanda yang diberikan oleh penutur. Informasi yang berlebih dari yang dimaksud dalam hal ini melanggar prinsip kerjasama percakapan. Pelanggaran terhadap prinsip kerjasama percakapan terkadang sangat diperlukan dalam konteks tertentu. Hal tersebut bisa disebut sebagai implikatur percakapan dalam berkomunikasi.