II. TINJAUAN TEORITIS
2.1. Pendekatan Holistis dalam Manajemen Kota Dalam pengelolaan kota dan wilayah, diperlukan pemecahan masalah secara menyeluruh (holistik). Menurut Sadyohutomo (2008) pendekatan menyeluruh merupakan pendekatan multidimensi kesisteman agar penyelesaian masalah dapat dilakukan secara tuntas sampai pada akar permasalahannya dan bukan pemecahan masalah yang bersifat semu atau pemecahan yang hanya tertuju pada tingkat gejala masalah (simtomatik). Pendekatan holistik mempunyai pilar-pilar sebagai berikut : 1. Secara Ekonomi menguntungkan. Aspek penting yang perlu dipedomani dalam pengelolaan kota dan wilayah antara lain sebagai berikut : a. Pembangunan
ekonomi
berkelanjutan
(berwawasan
jangka
panjang) b. Peningkatan pendapatan masyarakat c. Peningkatan lapangan pekerjaan d. Pemerataan kesempatan berusaha dan pendapatan e. Pembangunan berbasis ekonomi atau sumber daya lokal, tetapi berorientasi ekspor ke tingkat regional, nasional dan global. Pengembangan ekonomi mengintegrasikan antara aktor lokal dengan penggerak dari luar. 2.
Ramah terhadap lingkungan. Aspek penting yang perlu dipedomani dalam pengelolaan kota dan wilayah antara lain sebagai berikut : a. Konservasi dan pengawetan tanah dan lingkungan. b. Efisiensi penggunaan sumberdaya, pergeseran dari penggunaan sumberdaya yang sekali pakai menuju ke penggunaan sumberdaya yang dapat diperbaharui, misalnya daur ulang bahan industri dan pemakaian sumber energi tidak bertumpu pada energi fosil, tetapi ditunjang energi biomasa (pengolahan limbah untuk energi,
8
biodiesel dsb), energi air, energi matahari, energi angin dan energi nuklir. c. Mengurangi dan memanfaatkan limbah. d. Teknologi yang sesuai (tepat guna) dan selalu berkembang. 3.
Secara sosial dan politik diterima masyarakat dan sensitif terhadap budaya. Penggunaan aspek-aspek sosial, politik, dan budaya setempat akan merangsang partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan tata ruang. Dalam menangani permasalahan permukiman kumuh, diperlukan strategi
komprehensif
meliputi pilar-pilar di atas, dengan konteks penekanan kepada
peran serta masyarakat (komunitas) permukiman kumuh. Hal inipun dikemukakan oleh Budihardjo dan Hardjohubojo (1993) bahwa salah satu pertimbangan dalam perencanaan kota adalah dengan menyerap aspirasi masyarakat. Beberapa hal yang akan dibahas secara teoritis dalam kajian upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam penataan permukiman kumuh di Kelurahan Cicadas adalah pengertian tentang permukiman kumuh, partisipasi dalam pembangunan, definisi partisipasi, bentuk partisipasi masyarakat, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat, kelembagaan serta kepemimpinan.
2.2. Permukiman kumuh Adisasmita (2006) mengemukakan istilah permukiman merupakan bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 4/1992 tentang Perumahan dan Permukiman Pasal 1, Butir 1 dinyatakan bahwa Rumah atau Permukiman selain berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian yang digunakan manusia untuk berlindung dari gangguan iklim dan gangguan mahluk hidup lainnya,
merupakan
pula
tempat
untuk
menyelenggarakan
kegiatan
bermasyarakat, maka penataan ruang dan kelengkapan prasarana dan sarana lingkungan dan lainnya, dimaksudkan agar lingkungan tersebut menjadi lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur.
9
Permukiman menurut Sadyohutomo (2008) merupakan suatu kelompok hunian pada suatu areal atau wilayah beserta prasarana yang ada di dalamnya. Permukiman kumuh menunjukkan keadaan permukiman padat yang tidak teratur dan tidak dilengkapi dengan sarana dan prasarana
yang memadai,
terutama jalan dan saluran pembuangan air limbah. Menurut Wikipedia Indonesia, kawasan kumuh adalah sebuah kawasan dengan tingkat kepadatan populasi tinggi di sebuah kota yang umumnya dihuni oleh masyarakat miskin. (www.wikipedia.org , diakses Juli 2008) Menurut
Departemen
Permukiman
Dan
Prasarana
Wilayah
(Depkimpraswil) (www.ciptakarya.pu.go.id, diakses Juli 2008), permukiman kumuh (slum) dapat diklasifikasikan ke dalam dua klasifikasi yaitu : 1.
Fisik : a.
Berpenghuni padat > 500 orang/Ha
b.
Tata letak bangunan kondisinya buruk dan tidak memadai
c.
Konstruksi bangunan kondisinya buruk dan tidak memadai
d.
Ventilasi tidak ada, kalau ada kondisinya buruk dan tidak memadai
e.
Kepadatan bangunan kondisinya buruk dan tidak memadai
f.
Keadaan jalan kondisinya buruk dan tidak memadai
g.
Drainase tidak ada dan kalau ada kondisinya buruk dan tidak memadai
h.
Persediaan air bersih tidak tersedia, kalau tersedia kualitasnya kurang baik dan terbatas, tidak/kurang lancar.
i.
Pembuangan limbah manusia dan sampah tidak tersedia, kalau tersedia kondisinya buruk atau tidak memadai.
2.
Non Fisik : a.
Tingkat kehidupan Sosial ekonomi rendah
b.
Pendidikan didominasi SLTP ke bawah
c.
Mata pencaharian bertumpu pada sektor informal
d.
Disiplin warga rendah
e.
Dll. Menurut Direktur Jendral Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negri
(www.demandiri.or.id, diakses Juli 2008), ciri-ciri permukiman atau daerah
10
perkampungan kumuh dan miskin dipandang dari segi sosial ekonomi adalah sebagai berikut : 1. Sebagian besar penduduknya berpenghasilan dan berpendidikan rendah, serta memiliki sistem sosial yang rentan. 2. Sebagaian besar penduduknya berusaha atau bekerja di sektor informal. Lingkungan permukiman, rumah, fasilitas dan prasarananya di bawah standar minimal sebagai tempat bermukim, misalnya memiliki: a) Kepadatan penduduk yang tinggi > 200 jiwa/km2 b) Kepadatan bangunan > 110 bangunan/Ha. c) Kondisi prasarana buruk (jalan, air bersih, sanitasi, drainase, dan persampahan). Kondisi fasilitas lingkungan terbatas dan buruk, terbangun < 20% dari luas persampahan. d) Kondisi bangunan rumah tidak permanen dan tidak memenuhi syarat minimal untuk tempat tinggal. e) Permukiman rawan terhadap banjir, kebakaran, penyakit dan keamanan. f)
Kawasan permukiman dapat atau berpotensi menimbulkan ancaman (fisik dan non fisik ) bagi manusia dan lingkungannya.
Menurut Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung, karakteristik kawasan kumuh sebagai berikut : 1. Kepadatan bangunan yang tinggi. 2. Kondisi prasarana dan sarana yang buruk secara kuantitatif dan kualitatif. 3. Kondisi lingkungan yang tidak didukung oleh sistem drainase dan pembuangan sampah yang memadai. 4. Tidak memiliki keteraturan struktur permukiman. 5. Permukiman dibantaran sungai. 6. Areal yang terpengaruh secara fisik oleh adanya pengelolaan limbah pabrik disekitarnya. Pemenuhan kebutuhan perumahan pada saat ini sangat sulit untuk dipenuhi oleh sebagian penduduk yang disebabkan rendahnya kemampuan ekonomi dan tingginya biaya pembangunan perumahan. Keterbatasan tersebut mengakibatkan kondisi perumahan yang dibangun kurang memenuhi persyaratan
11
bagi perumahan yang layak huni dan lingkungan yang sehat. Kondisi perumahan yang buruk dapat menimbulkan masalah-masalah seperti padatnya penghuni perumahan, rendahnya tingkat kesehatan, rawan bahaya kebakaran dan sebagainya. Sebagai akibat kurangnya fasilitas lingkungan permukiman seperti air minum, saluran pembuangan air, pembuangan sampah dan lainnya maka timbullah masalah lingkungan permukiman kumuh yang tidak sehat. Penataan lingkungan merupakan faktor sangat penting dalam usaha perbaikan
permukiman.
Sebagus
apapun
perbaikan
permukiman
tanpa
memperhatikan penataan lingkungan akan sia-sia. Sekalipun tempat tinggal, jalan, penerangan dan lain-lain sudah memadai, akan tetapi apabila faktor lingkungan diabaikan, maka permukiman akan terlihat kotor dan berkesan jorok bahkan yang sudah tertata rapi akan menjadi kumuh kembali. Selain itu lingkungan yang buruk menyebabkan timbulnya berbagai penyakit. Penataan lingkungan baik secara individuil seperti sistem sanitasi di rumah-rumah (tersedianya saluran pipa air bersih , MCK), maupun penataan lingkungan dalam skala yang lebih luas seperti penyediaan air bersih, saluran pematusan (drainase), pembuangan air limbah serta pembuangan sampah adalah sangat penting. Oleh karena itu salah satu indikator berhasil atau tidaknya perbaikan permukiman adalah peningkatan kualitas lingkungan yang dapat diukur dengan ada atau tidak serta baik atau buruknya fasilitas-fasilitas sanitasi tersebut di atas. Dari pengertian di atas, permukiman selain terdiri dari rumah tinggal, juga merupakan tempat kegiatan penghuni dalam berinteraksi dengan penghuni lainnya yang membentuk satu komunitas. Menurut Zastrow (2004:29) yang dikutip oleh Nitimihardjo (2007) ada beberapa perspektif teoritis untuk memahami komunitas yaitu : 1. Perspektif struktural menjelaskan bagaimana individu merasa tepat dan nyaman secara keseluruhan berada di dalam organisasi, dan menekankan pada bagaimana seseorang dihubungkan dengan struktur pemerintahan melalui komunitas. 2. Perspektif sosiopsikologis meliputi bagaimana perasaan anggota-anggota komunitas mengenai diri mereka dan bagaimana mereka berinteraksi.
12
3. Perspektif ekologi manusia dengan
lingkungannya.
memusatkan pada hubungan penduduk
Pendekatan
ekologi
mempertimbangkan
bagaimana lingkungan mempengaruhi perkembangan manusia, interaksi dan kualitas hidup. 4. Teori sistem sosial berisikan konsep-konsep yang menekankan pada interaksi dan hubungan diantara berbagai sistem, termasuk individu, keluarga, kelompok, organisasi atau komunitas. Teori sistem digabungkan dengan perspektif ekologi melahirkan teori ekosistem yang menjelaskan bahwa manusia secara konstan berada dalam interaksi dengan berbagai sistem dalam suatu lingkungan. Permasalahan yang dihadapi dalam program penataan permukiman kumuh adalah terbatasnya ruang gerak pelaksanaan yang disebabkan oleh kondisi fisik tata bangunan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Bangunan-bangunan fisik yang sudah ada dan cukup padat menyebabkan penataan perumahan tidak mudah. Oleh karena itu program penataan permukiman kumuh harus didukung oleh masyarakat setempat dengan prinsip partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Caranya dengan melibatkan masyarakat secara langsung sejak dari tahap perencanaan sampai tahap pelaksanaan.
2.3. Partisipasi dalam Pembangunan Salah satu tujuan pembangunan adalah meningkatkan kemampuan partisipasi masyarakat. Menurut Gunardi, Agung S , Purnaningsih dan Lubis (2007, 43), partisipasi merupakan konsep yang sulit untuk dilaksanakan terutama pada masyarakat perkotaan yang lebih bersifat individualistis dan bersikap skeptis terhadap pembangunan. Masalah ini terutama muncul dikalangan masyarakat yang sering dikecewakan oleh program-program pembangunan sebelumnya, sehingga mereka cenderung curiga terhadap program-program yang hanya menguntungkan sekelompok orang saja. Penegakan prinsip partisipasi masyarakat merupakan upaya yang tidak mudah dan memerlukan waktu yang panjang. Pengalaman program-program pembangunan sebelumnya, yang merepresentasikan peran yang dominan ditangan aparat pemerintah, banyak berpengaruh terhadap melemahnya daya prakarsa
13
masyarakat. Sementara itu ditingkat pemerintahanpun secara umum terdapat kecenderungan kuat untuk bersikap menunggu dan meneruskan keputusan dari tingkat yang lebih tinggi, daripada mengambil inisiatif untuk merespons tuntutan dari bawah (Jurnal Analisis Sosial, 2002). Menurut Siagian (1999), keberhasilan kegiatan pembangunan akan lebih terjamin apabila seluruh warga masyarakat membuat komitmen untuk turut berperan sebagai pelaku pembangunan dengan para anggota elite masyarakat sebagai panutan, pengarah, pembimbing dan motivator. Dengan perkataan lain, partisipasi masyarakat luas mutlak diperlukan oleh karena mereka itulah yang pada akhirnya melaksanakan berbagai kegiatan pembangunan tersebut. Agar masyarakat mau dan tertarik untuk berpartisipasi, perlu kiranya menciptakan kondisi agar pembangunan yang dilaksanakan memenuhi kriteria : 1. Menguntungkan masyarakat. 2. Harus dipahami maksudnya oleh masyarakat. 3. Dilaksanakan sesuai maksudnya secara jujur, terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. 4. Harus melibatkan masyarakat dalam pelaksanaannya. Pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan dikemukakan juga oleh Sudriamunawar (2006) : 1. Dengan peranserta masyarakat akan lebih banyak hasil kerja yang dicapai. 2. Dengan peranserta masyarakat pelayanan atau servis dapat diberikan dengan biaya murah. 3. Peranserta masyarakat memiliki nilai dasar yang sangat berarti dalam menjalin persatuan dan kebersamaan dalam masyarakat. 4. Peranserta masyarakat
merupakan
katalisator untuk kelangsungan
pembangunan selanjutnya. 5. Peranserta masyarakat dapat menghimpun dan memanfaatkan berbagai pengetahuan di masyarakat. 6. Peranserta masyarakat lebih menyadarkan masyarakat itu sendiri terhadap penyebab dan kemiskinan sehingga menimbulkan kesadaran untuk mengatasinya.
14
2.3.1. Definisi Partisipasi Partisipasi mempunyai beberapa pengertian seperti yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Menurut Safi’i (2007), kata partisipasi berasal dari bahasa latin partisipare yang mempunyai arti dalam bahasa Indonesia mengambil bagian atau turut serta. Selanjutnya partisipasi menurut Sastrodipoetra dalam Safi’i (2007) adalah “keterlibatan yang bersifat spontan yang disertai kesadaran dan tanggung jawab terhadap kepentingan kelompok untuk mencapai tujuan bersama”. Menurut Adisasmita (2006) partisipasi anggota masyarakat adalah keterlibatan dan pelibatan anggota masyarakat dalam pembangunan, meliputi kegiatan dalam perencanaan dan pelaksanaan (implementasi) program/proyek pembangunan yang dikerjakan di masyarakat lokal. Partisipasi atau peran serta masyarakat dalam pembangunan merupakan aktualisasi dari ketersediaan dan kemauan anggota masyarakat untuk berkorban dan berkontribusi dalam implementasi program/proyek yang dilaksanakan. Syahyuti (2006) mengemukakan istilah partisipasi sebagai proses dimana seluruh pihak dapat membentuk dan terlibat dalam seluruh inisiatif pembangunan. Pembangunan yang partisipatif (participatory development) adalah proses yang melibatkan masyarakat secara aktif dalam seluruh keputusan substansial yang berkenaan dengan kehidupan mereka. Sudriamunawar (2006) mengutip istilah partisipasi menurut Direktur Jendral Pengembangan Masyarakat Desa Departemen Dalam Negri,
partisipasi
masyarakat sebagai keikutsertaan masyarakat dengan sadar dalam suatu program atau kegiatan untuk mencapai hasil yang telah ditetapkan. Kesadaran timbul karena adanya kepentingan yang dapat dicapai melalui kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama. Dilihat dari pengertian partisipasi di atas, bahwa seseorang atau sekelompok orang akan terlibat dalam partisipasi tergantung kepada kesadaran, kemauan dan dorongan (motif) dalam dirinya untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Faisal (tanpa tahun) kemauan dapat diartikan sebagai perbuatan psikis yang mengandung usaha aktif berhubungan langsung dengan pelaksanaan suatu tujuan. Kemauan dilihat dari proses tumbuhnya kebutuhan pribadi individu,
15
adanya kesadaran akan tujuan, adanya pelaksanaan tujuan yang disertai tingkah laku. Menurut Panjaitan, Nitimihardjo dan Fachrudin (2007), motif adalah sesuatu yang ada dalam diri seseorang yang mendorong orang tersebut untuk melakukan sesuatu. Pada dasarnya motif terbentuk karena adanya kebutuhan pada diri manusia (biological need dan psychological need). Harapan cenderung mempengaruhi motif atau kebutuhan. As’ad (1981) mengemukakan istilah motif sebagai dorongan atau tenaga yang merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk berbuat, sehingga motif tersebut merupakan suatu driving force yang menggerakkan manusia untuk bertingkah laku dan di dalam perbuatannya itu mempunyai tujuan tertentu. Menurut Walgito (1983), tingkah laku manusia dipengaruhi oleh tiga kemampuan kejiwaan yang merupakan satu kesatuan dan tidak bisa terlepas satu dengan yang lain, yaitu : 1. Kognisi, yang berhubungan dengan pengenalan. Menurut Irwanto (1994), dalam kognisi ada proses evaluatif, membandingkan, menganalisis atau mendayagunakan pengetahuan yang ada untuk memeriksa suatu rangsang. 2. Emosi (Afeksi), yang berhubungan dengan perasaan. Menurut Irwanto (1994), dalam emosi ada perasaan senang dan tidak senang serta perasaan emosional lain sebagai akibat/hasil dari proses evaluatif yang dilakukan. Perasaan ini berpengaruh kuat terhadap prilaku seseorang. 3. Konasi, yang berhubungan dengan kemauan, yaitu kecenderungan untuk bertingkah laku tertentu. Menurut Direktorat Penyuluhan dan Bimbingan Sosial (1980), untuk menggerakkan setiap orang supaya mau berpartisipasi maka perlu diciptakan perasaan kepentingan bersama, saling ikut memiliki dan bertanggung jawab dan berusaha menghilangkan jarak sosial serta prasangka sosial. Di dalam menciptakan perasaan adanya kepentingan bersama dan saling ikut memiliki serta tanggung jawab maka perlu dicari motivasi dalam kebutuhan hidup manusia. Menurut Irwanto, Elia, Hadisoepadma, Priyani, Wismanto dan Fernandes (1994) motivasi adalah penentu (determinan) perilaku. Terdapat tiga determinan penyebab terjadinya perilaku, yaitu :
16
1. Determinan yang berasal dari lingkungan (kegaduhan, bahaya dari lingkungan, desakan guru dan lain-lain) 2. Determinan dari dalam diri individu (harapan/cita-cita, emosi, keinginan dan lain-lain) 3. Tujuan/insentif/nilai dari suatu objek. Faktor-faktor ini berasal dari dalam diri individu (kepuasan kerja, tanggung jawab dan lain-lain) atau dari luar individu (status, uang dan lain-lain). Dalam memandang perilaku manusia yang merupakan hasil interaksi dengan sistem lingkungan sosialnya, terdapat tiga sistem yang mendasar seperti yang dikemukakan oleh Nitimihardjo (2007), yaitu : 1. Sistem mikro, yaitu berkenaan dengan individu yang terdiri atas sistem biologis, psikologis dan sosial,
dimana ketiga sistem tersebut saling
berinteraksi dan saling berpengaruh. 2. Sistem mezo, yaitu berkenaan dengan kelompok kecil, seperti keluarga, kelompok kerja dan kelompok-kelompok sosial lainnya. 3. Sistem makro, yaitu berkenaan dengan sistem yang lebih besar dari kelompok kecil. Orientasi makro memusatkan pada kondisi dan kebijakan sosial, politik dan ekonomi yang mempengaruhi kualitas hidup manusia. Dalam partisipasi konsep yang penting diperhatikan dalam diri individu adalah konsep kebutuhan manusia, kesadaran dan kemauan akan motif serta kesempatan yang diberikan oleh lingkungan yang merupakan pendorong utama dibalik tingkah laku manusia dalam konteks komunitas. Dari penjelasan tentang motif dan tingkah laku di atas maka motif akan merangsang seseorang bertingkah laku untuk pencapaian tujuan. Selain tingkah laku disebabkan oleh rangsangan motif, harapan dan kebutuhan juga disebabkan oleh rangsangan situasi yang berlaku pada saat itu. Oppenheim (1966) mengemukakan formula untuk menganalisis tingkah laku yaitu B = f (P,E) : “behavior is a function of the interaction between P (all the person’s inner determinats, such as temperament, attitude, or character traits) and E (all the environmental factors, as perceived by the individual). Tingkah laku adalah interaksi antara manusia (seperti temperamen, sikap atau karakter) dan lingkungannya (semua faktor-faktor dari lingkungan yang diterima oleh individu).
17
Menurut Sumardjo dan Saharudin (2007) terdapat dua hal yang dapat mendukung partisipasi dalam masyarakat yaitu : (1) ada unsur yang mendukung untuk berprilaku tertentu pada diri seseorang (person inner determinant) dan (2) terdapat iklim atau lingkungan (environtmental factors) yang memungkinkan terjadinya prilaku tertentu itu. Untuk mengembangkan partisipasi perlu kiranya memperhatikan kedua aspek tersebut. Faktor-faktor atau prasyarat yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah : 1. Adanya kesempatan yaitu adanya kesadaran
dari seseorang tentang
suasana atau kondisi lingkungan yang memberikan peluang berpartisipasi. 2. Adanya kemauan yaitu adanya dorongan yang menumbuhkan minat dan sikap untuk berpartisipasi, misalnya adanya manfaat yang dapat dirasakan atas partisipasi tersebut. 3. Adanya kemampuan, yaitu adanya kesadaran dan keyakinan bahwa dia mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi baik itu berupa pikiran, waktu, tenaga, atau sarana dan material lain. Sudriamunawar (2006) mengemukakan tentang persyaratan partisipasi sebagai berikut : 1. Aspek partisipasi yang paling mendasar adalah luasnya pengetahuan dan latar belakang yang memungkinkan seseorang untuk mengidentifikasikan sebagai prioritas dan melihat berbagai masalah dalam konteksnya yang tepat. 2. Adanya kemampuan untuk belajar secara lebih cepat tentang berbagai masalah sosial dalam pengambilan keputusan. 3. Kemauan untuk bertindak secara lebih efektif. Seseorang akan berpartisipasi apabila terpenuhi faktor-faktor atau prasayarat diatas. Jika salah satu faktor dari ketiga faktor tersebut tidak terpenuhi, maka hampir dapat dipastikan bahwa partisipasi tidak akan pernah terjadi.
2.3.2. Tipologi Partisipasi Menurut Sumardjo (2007), Hobley membagi tipe partisipasi sebagai berikut :
18
Partisipasi Manipulatif yaitu partisipasi semu dimana masyarakat menerima pemberitahuan apa yang sedang dan telah terjadi. Pengumuman sepihak oleh pelaksana proyek tanpa memperhatikan tanggapan masyarakat. Informasi yang dipertukarkan terbatas pada kalangan profesional di luar kelompok sasaran. Menurut Gunardi, et al (2007, 45), pada partisipasi ini ada wakil-wakil masyarakat dalam kepanitiaan atau kepengurusan tetapi tidak mempunyai kekuasaan atau terpilih. Partisipasi Informatif yaitu masyarakat hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian untuk proyek, masyarakat tidak mendapat kesempatan untuk terlibat dan mempengaruhi proses penelitian. Akurasi penelitian tidak dibatasi bersama masyarakat. Orang berpartisipasi setelah diberitahu hasil keputusan, tanpa menghiraukan respon masyarakat. Informasi dimiliki oleh profesional dari luar. Partisipasi
Konsultatif
yaitu
masyarakat
berpartisipasi
dengan
cara
berkonsultasi, dimana orang luar mendengarkan, menganalisa masalah dan pemecahannya. Tidak ada peluang untuk pembuatan keputusan bersama, para profesional tidak berkewajiban untuk mengajukan pandangan masyarakat (sebagai masukan) untuk ditindaklanjuti. Partisipasi Insentif yaitu masyarakat memberikan korbanan/jasanya untuk memperoleh imbalan berupa insentif/upah. Masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pembelajaran atau eksperimen-eksperimen yang dilakukan. Masyarakat tidak memiliki andil untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan setelah insentif dihentikan. Partisipasi Fungsional yaitu masyarakat membentuk kelompok untuk mencapai tujuan proyek, pembentukan kelompok biasanya setelah ada keputusan-keputusan utama yang disepakati. Pada tahap awal, masyarakat tergantung kepada pihak luar, tetapi secara bertahap menunjukkan kemandiriannya. Partisipasi Interaktif yaitu masyarakat berperan dalam analisis untuk perencanaan kegiatan dan pembentukan atau penguatan kelembagaan. Partisipasi ini cenderung melibatkan metode interdisipliner yang mencari keragaman perspektif dalam proses belajar yang terstruktur dan sistematis. Masyarakat memiliki peran untuk mengontrol atas pelaksanaan keputusan-keputusan mereka, sehingga memiliki andil dalam keseluruhan proses kegiatan.
19
Partisipasi Mandiri yaitu masyarakat mengambil inisiatif sendiri secara bebas (tidak dipengaruhi pihak luar) untuk mengubah sistem atau nilai-nilai yang mereka junjung. Masyarakat mengembangkan kontak dengan lembaga-lembaga lain
untuk mendapatkan bantuan-bantuan/dukungan-dukungan
teknis dan
sumberdaya yang diperlukan. Masyarakat memegang kendali atas pemanfaatan sumberdaya yang ada dan atau digunakan.
2.3.3. Bentuk Partisipasi Masyarakat Dalam pelaksanaan partisipasi, seseorang, kelompok, atau masyarakat dapat memberikan kontribusi atau sumbangan dalam berbagai bentuk atau jenis partisipasi yang disesuaikan dengan kemauan dan kemampuan mereka untuk menunjang keberhasilan pembangunan. Bentuk partisipasi yang diperinci dalam jenis-jenis partisipasi menurut rumusan Direktur Jendral Pengembangan Masyarakat Desa Departemen Dalam Negri yang dikutip oleh Sudriamunawar (2006) sebagai berikut : 1. Partisipasi Buah Pikiran Partisipasi disini memiliki arti bahwa seseorang atau kelompok masyarakat itu turut serta menyumbangkan ide-ide bagi pembangunan masyarakat. Contohnya adalah kegiatan anjang sono, rapat desa, musyawarah desa yang dilaksanakan oleh Lembaga Masyarakat Desa. 2. Partisipasi Tenaga dan Fisik Partisipasi yang bersifat aktif yang dilakukan oleh seseorang atau masyarakat
dengan
terjun langsung dalam
pelaksanaan
kegiatan
pembangunan. Dalam kehidupan masyarakat desa perkembangan peran serta tenaga dan fisik ini tampak pada pekerjaan gotong royong dalam perbaikan jalan, jembatan, sarana ibadah, pendidikan dan sebagainya. 3. Partisipasi Ketrampilan dan Kemahiran Partisipasi yang dilakukan oleh seseorang atau masyarakat dalam bentuk kemahiran
dan
ketrampilan
yang
dimilikinya
untuk
keperluan
pembangunan desanya. Misalnya dalam kegiatan peringatan hari Kemerdekaan, warga desa mengerahkan masyarakatnya yang memiliki
20
kemampuan dalam seni untuk menghias dan menata desa dengan sebaik dan seindah mungkin. 4. Partisipasi Harta Benda Partisipasi yang dilakukan warga masyarakat dalam bentuk sumbangan baik berupa barang maupun benda. Hal ini biasanya dilakukan seseorang bila dia tidak mampu untuk berpartisipasi langsung dalam kegiatan pembangunan. Tidak bisanya untuk ikut berperan serta secara aktif dalam kegiatan kemasyarakatan di desa biasanya karena sudah uzur, sedang sakit atau sedang ada kepentingan yang tidak dapat ditinggalkan. Contohnya menyumbang makanan untuk masyarakat yang sedang melakukan kerja bakti/gotong royong, memberikan sumbangan berupa makanan, minuman atau uang. Hamijoyo dan Iskandar yang dikutip oleh Huraerah (2007 : 103) menambahkan bentuk partisipasi selain yang dikemukakan di atas yaitu partisipasi sosial berupa partisipasi yang diberikan orang sebagai tanda keguyuban, misalnya turut arisan, koperasi,
melayad dalam peristiwa kematian, kondangan dalam
peristiwa pernikahan. Dengan memperhatikan pembagian partisipasi masyarakat diatas, dapat terlihat luasnya kemungkinan-kemungkinan yang dapat digunakan orang, kelompok atau masyarakat jika akan berpartisipasi. Dalam pelaksanaan partisipasi sosial tidak hanya keikutsertaan setiap orang saja yang diperlukan tetapi juga peranan aktif apa yang bisa diperbuat serta disumbangkan perlu mendapat perhatian. Soetrisno mengemukakan tentang ukuran tinggi rendahnya partisipasi rakyat dalam pembangunan tidak hanya diukur dengan kemauan rakyat untuk menanggung biaya pembangunan, tetapi juga dengan ada tidaknya hak rakyat untuk ikut menentukan arah dan tujuan proyek yang akan dibangun di wilayah mereka. Tinggi rendahnya partisipasi rakyat adalah ada tidaknya kemauan rakyat untuk secara mandiri melestarikan dan mengembangkan hasil proyek itu (Huraerah, 2007:97).
21
Partisipasi atau peran serta masyarakat yang tumbuh dan berkembang dengan baik dalam suatu aktivitas masyarakat dalam pembangunan, dapat diukur dengan kriteria-kriteria sebagai berikut (Sudriamunawar, 2006) : 1. Adanya pemimpin yang mampu menggerakkan masyarakat secara aktif dan dinamis. 2. Adanya objek pembangunan sehingga peran serta masyarakat akan terlihat aktif dan dinamis. 3. Ketertarikan dan keeratan hubungan yang harmonis baik antara sesama anggota masyarakat maupun masyarakat itu sendiri dengan pemimpinnya. 4. Adanya tujuan hidup dan kebutuhan yang sama dimana hal ini merupakan kekuatan dan modal yang besar untuk melakukan kegiatan bersama dalam kehidupan bermasyarakat. 5. Adanya kemampuan masyarakat itu sendiri dalam menyesuaikan dirinya dengan alam dan lingkungan sekitarnya. 6. Adanya iklim yang memungkinkan timbulnya peran serta masyarakat. Menurut Najib yang dikutip oleh Huraerah (2007), keberhasilan partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh : 1. Siapa penggagas partisipasi; apakah pemerintah pusat, pemerintah daerah atau LSM 2. Untuk kepentingan siapa partisipasi itu dilaksanakan: apakah untuk kepentingan pemerintah atau untuk masyarakat. Jika untuk kepentingan warga maka program kemiskinan dengan pendekatan partisipasi masyarakat akan lebih berlanjut. 3. Siapa yang memegang kendali: apakah pemerintah pusat, pemerintah daerah atau lembaga donor. Jika pemerintah daerah atau LSM yang memegang kendali cenderung lebih berhasil, karena pemerintah daerah atau LSM cenderung lebih mengetahui permasalahan, kondisi dan kebutuhan daserah atau masyarakatnya dibanding pihak luar. 4. Hubungan pemerintah dengan masyarakat: apakah ada kepercayaan dari masyarakat kepada pemerintahnya, jika hubungan ini baik, partisipasi akan lebih mudah dilaksanakan.
22
5. Kultural: daerah yang masyarakatnya memiliki tradisi dalam berpartisipasi (proses pengambilan keputusan melalui musyawarah) cenderung lebih mudah dan berlanjut. 6. Politik: kepemerintahan yang stabil serta menganut sistem yang transparan, menghargai keberagaman dan demokratis. 7. Legalitas: tersedianya (diupayakan) regulasi yang menjamin partisipasi warga dalam pengelolaan pembangunan (terintegrasi dalam sistem kepemerintahan di daerah). 8. Ekonomi : adanya mekanisme yang menyediakan akses bagi warga miskin untuk terlibat atau memastikan bahwa mereka akan memperoleh manfaat (langsung maupun tidak langsung) setelah berpartisipasi. 9. Kepemimpinan: adanya kepemimpinan yang disegani dan memiliki komitmen untuk mendorong serta melaksanakan partisipasi, dapat dari kalangan pemerintah, LSM, masyarakat itu sendiri atau tokoh masyarakat. 10. Waktu: penerapan partisipasi tidak hanya sesaat, tetapi ditempatkan pada kurun waktu yang cukup lama. 11. Tersedianya jaringan yang menghubungkan antara warga masyarakat dan pemerintah (forum warga)
2.3.4. Partisipasi dan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan dan partisipasi merupakan hal yang sangat penting dalam proses pembangunan di masyarakat. Huraerah (2007) mengatakan bahwa konsep pemberdayaan termasuk dalam pengembangan masyarakat dan terkait dengan konsep-konsep: kemandirian (self-help), partisipasi (participation), jaringan kerja (networking) dan pemerataan (equity). Menurut Hikmat (2006) yang mengutip pendapat Paul (1978), pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial dan transformasi budaya. Proses ini, pada akhirnya akan dapat menciptakan pembangunan yang lebih berpusat pada rakyat. Salah satu agen international, Bank Dunia misalnya percaya bahwa partisipasi masyarakat di dunia ketiga merupakan sarana efektif untuk menjangkau
23
masyarakat termiskin melalui upaya pembangkitan semangat hidup untuk dapat menolong diri sendiri. Ife
(2002)
memberikan
defenisi
pemberdayaan
sebagai
berikut:
“empowerment aims to increase the power of the disadvantaged”, pemberdayaan adalah peningkatan kekuasaan kepada masyarakat yang lemah atau tidak beruntung. Menurut Sumodiningrat (2007), pemberdayaan sebagai konsep alternatif pembangunan, dengan demikian menekankan otonomi pengambilan keputusan suatu kelompok masyarakat yang berlandaskan pada sumberdaya pribadi, partisipasi, demokrasi dan pembelajaran sosial melalui pengalaman langsung. Sedangkan menurut Suharto (2005) yang mengutip pendapat Parsons (1994), mengemukakan bahwa pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam berbagi pengontrolan atas dan mempengaruhi
terhadap
kejadian-kejadian
mempengaruhi
kehidupannya.
Pemberdayaan
serta
lembaga-lembaga
menekankan
bahwa
yang orang
memperoleh ketrampilan, pengetahuan dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain
yang menjadi
perhatiannya. Haeruman dan Eriyatno (2001), mengemukakan konsep pemberdayaan sebagai alternatif bagi pembangunan ekonomi wilayah. Pada hakekatnya, konsep ini memuat upaya mengentaskan kemiskinan melalui pembangunan ekonomi wilayah. Ciri pokok konsep pemberdayaan adalah pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan, partisipasi aktif, demokratis dan berdasar pada isu pokok dan sumberdaya lokal. Selanjutnya
Syaroni dalam Jurnal Analisis Sosial (2002) menyatakan
tentang substansi dari pemberdayaan masyarakat adalah terciptanya sebuah kesadaran
kritis dan
konstruktif
pada
segenap
komunitas menghadapi
eksistensinya dan masalah-masalah yang muncul baik pada masa sekarang maupun mendatang. Dari pengertian-pengertian diatas tentang partisipasi dan pemberdayaan merupakan dua konsep yang saling berkaitan dan dapat dikatakan ibarat dua sisi mata uang yang saling terkait dan berhubungan. Untuk menumbuhkan partisipasi
24
masyarakat
diperlukan
upaya
berupa
pemberdayaan.
Dengan
model
pemberdayaan ini diharapkan partisipasi masyarakat akan meningkat. Artinya masyarakat yang berdaya adalah masyarakat yang dinamis dan aktif berpartisipasi di dalam membangun diri mereka sendiri. Tidak mengharapkan bantuan dari orang lain, mampu berfikir kreatif dan inovatif, mempunyai wawasan yang luas dan mampu bekerja sama dengan pihak lain. Hal inipun dikemukakan oleh Suharto (2005) pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan.
2.4. Kelembagaan Salah satu strategi untuk mencapai tujuan pengembangan masyarakat lokal yang partisipatif adalah mengembangkan kelembagaan yang ada di dalam komunitas lokal. Menurut Haeruman dan Eriyatno (2001) pengembangan kelembagaan berarti suatu proses menuju ke arah perbaikan hubungan antara orang atau kelompok orang dalam masyarakat, yang pada gilirannya dapat membentuk kelembagaan yang dikehendaki, dalam proses tersebut melibatkan unsur norma dan tingkah laku. Menurut Nasdian dan Dharmawan (2007), kelembagaan sosial merupakan terjemahan langsung dari istilah social institution. Akan tetapi adapula yang menggunakan istilah pranata sosial untuk istilah social institution tersebut, yang menunjuk
pada
adanya
unsur-unsur
yang
mengatur
prilaku
warga.
Koentjaraningrat (1964) mengatakan pranata sosial adalah “suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam masyarakat”.
25
Tujuan dibentuknya kelembagaan adalah untuk memenuhi kebutuhankebutuhan pokok manusia, maka Koentjaraningrat (1979) yang dikutip oleh Nasdian dan Dharmawan (2007) mengkategorikan kelembagaan sebagai berikut : 1. Kelembagaan kekerabatan/Domestik, memenuhi kebutuhan kekerabatan. Contoh pelamaran, poligami, perceraian dll . 2. Kelembagaan Ekonomi, memenuhi pencaharian hidup, memproduksi, menimbun,
mendistribusikan
harta
benda.
Contohnya
pertanian,
peternakan, industri, koperasi, perdagangan, sambatan dan lain-lain. 3. Kelembagaan
Pendidikan,
memenuhi
kebutuhan
penerangan
dan
pendidikan manusia agar menjadi anggota masyarakat yang berguna. Contoh : pendidikan dasar/menengah/tinggi, pers dan lain-lain. 4. Kelembagaan
Ilmiah, memenuhi kebutuhan
ilmiah manusia
dan
menyelami alam semesta. Contoh : pendidikan ilmiah, penelitian, metode ilmiah. 5. Kelembagaan
Estetika
dan
Rekreasi,
kebutuhan
manusia
untuk
menyatakan rasa keindahannya dan rekreasi. Contoh : senirupa, seni suara, seni gerak, kesusasteraan dan lain-lain. 6. Kelembagaan
keagamaan,
memenuhi
kebutuhan
manusia
untuk
berhubungan dengan Tuhan atau alam gaib. Contoh : upacara, selamatan, pantangan dan lain-lain. 7. Kelembagaan Politik, memenuhi kebutuhan manusia untuk mengatur kehidupan kelompok secara besar-besaran atau kehidupan bernegara. Contoh : pemerintahan, kepartaian, demokrasi, kepolisian, kehakiman dan lain-lain. 8. Kelembagaan
Somatik, memenuhi
kebutuhan jasmaniah manusia.
Contoh: pemeliharaan kesehatan, pemeliharaan kecantikan dan lain-lain. Masih terdapat bentuk-bentuk kelembagaan lain yang ada di komunitas selain pengkategorian di atas. Hal tersebut disesuaikan dengan kebutuhankebutuhan manusia yang tidak pernah ada batasnya. Misalnya kelembagaan berdasarkan kesamaan profesi, kelembagaan berdasarkan kesamaan hobi dan lain sebagainya.
26
Menurut Kolopaking dan Nasdian (2007:26), pengembangan kelembagaan di dalam masyarakat lokal pada dasarnya dirancang untuk mengembangkan komunitas-komunitas dalam sebuah kawasan yang bertujuan untuk : 1. Mendorong pembangunan ekonomi komunitas yang memiliki fokus sesuai kapasitas ruang dan potensi komunitas. 2. Memfasilitasi munculnya pusat-pusat pertumbuhan antar komunitas. 3. Memberdayakan komunitas agar dapat menggali, mendayagunakan dan melestarikan
potensi-potensi
yang
ada
untuk
kemakmuran
dan
kesejahteraan masyarakat komunitas. 4. Mendorong usaha-usaha ekonomi rakyat yang memiliki linkage yang kuat dengan basis dan potensi kawasan perkomunitasan dan memfasilitasi manajemen usaha ekonomi rakyat dan kelembagaan keuangan mikro kawasan perkomunitasan. 5. Memfasilitasi
penguatan
partisipasi
pemerintah
komunitas
dan
kelembagaan masyarakat komunitas serta masyarakat dalam proses kebijakan publik lokal dalam kaitannya dengan pembangunan dan pengembangan kawasan pedesaan. Masih menurut Kolopaking dan Nasdian (2007:30) , diperlukan pedoman umum kebijakan untuk pengembangan kelembagaan pembangunan
yang
berlandaskan pada prinsip-prinsip sebagai berikut : Prinsip pertama adalah “partisipatif”, yakni prosesnya dimulai dengan suatu proses perencanaan partisipatif di aras mikro berupa profil dan program pembangunan komunitas yang dilakukan bersama masyarakat dengan melibatkan pemerintah desa, lembaga-lembaga di desa dan pemangku kepentingan lainnya, yakni lembaga swasta dan lembaga swadaya masyarakat. Kedua, prinsip “keseimbangan” antara pembangunan di aras mikro dan pembangunan di aras makro. Dalam mengimplementasikan kedua aras tersebut perlu melibatkan pemerintah lokal dalam bentuk kebijakan pemerintah, maupun pihak swasta. Partisipasi dari pihak pemerintah lokal dalam hal ini, antara lain memberikan kemudahan dalam mendapatkan akses terhadap sumberdaya yang dimiliki.
27
Ketiga, prinsip “keterkaitan” sosial, ekonomi dan ekologis. Prinsip ini menekankan pentingnya bahwa dalam kelembagaan dan komunitas-komunitas pusat pertumbuhan dan komunitas-komunitas disekitarnya yang mendukung pusat pertumbuhan tersebut memiliki keterkaitan dalam konteks struktur sosial dan kultural; local ecology, yakni secara ekologis diantara kelompok-kelompok masyarakat di dalam komunitas dan antar komunitas memiliki pola adaptasi ekologi dalam menghadapi dinamika dan perubahan sosial ekonomi yang sedang berlangsung; dan collective action yaitu suatu aksi-aksi kolektif dalam bentuk kapital sosial dan kelembagaan sebagai wadah proses kehidupan dan pembangunan di kawasan perkomunitasan. Keempat, dalam pengembangan kelembagaan perlu berlandaskan pada prinsip “sinergis”, artinya perlu dilakukan upaya-upaya yang mensinerjikan lintas stakeholder, sektor publik, swasta dan masyarakat yang dimanifestasikan dalam bentuk rencana pembangunan daerah jangka menengah. Terakhir, prinsip “transparansi”, proses pengembangannya dilaksanakan dengan semangat keterbukaan sehingga seluruh warga komunitas dan pemangku kepentingan lainnya memiliki akses yang sama terhadap informasi tentang rencana dan pengembangan aksi.
2.4.1. Modal Sosial Modal sosial merupakan salah satu faktor penting dalam keberhasilan pembangunan selain modal ekonomi atau modal finansial (financial capital) dan modal manusia (human capital). Menurut pandangan Francis Fukuyama yang dikutip Hasbullah (Huraerah, 2007:57), modal sosial memegang peranan penting dalam memfungsikan dan memperkuat masyarakat modern. Modal sosial yang lemah akan meredupkan semangat gotong royong, memperparah kemiskinan, meningkatkan pengangguran, kriminalitas dan menghalangi setiap upaya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Menurut Colletta dan Cullen yang dikutip oleh Nasdian dan Dharmawan (2007:43), kapital sosial didefenisikan sebagai suatu sistem yang mengacu kepada atau hasil dari organisasi sosial dan ekonomi seperti pandangan umum (wordview), kepercayaan (trust), pertukaran timbal balik (reciprocity), pertukaran
28
ekonomi dan informasi (informational and economic exchange), kelompokkelompok formal dan informal (formal and informal groups), serta asosiasiasosiasi yang melengkapi kapital lainnya (fisik, manusiawi, budaya) sehingga memudahkan
terjadinya
tindakan
kolektif,
pertumbuhan
ekonomi
dan
pembangunan. Kapital sosial memiliki empat dimensi yaitu : 1. Integrasi yaitu ikatan yang kuat antar anggota keluarga dan keluarga dengan tetangga sekitarnya. 2. Pertalian (linkage) yaitu ikatan dengan komunitas lain diluar komunitas asal. 3. Integritas Organisasional yaitu keefektifan dan kemampuan institusi negara untuk menjalankan fungsinya termasuk menciptakan kepastian hukum dan menegakkan peraturan. 4. Sinergi (sinergy) yaitu relasi antara pemimpin dan institusi pemerintahan dengan komunitas. Menurut Huraerah (2007), modal sosial (social capital) dapat dikategorikan dalam dua kelompok. Pertama menekankan jaringan hubungan sosial (social network), sedangkan kelompok kedua lebih memfokuskan karakteristik (traits) yang melekat pada diri individu manusia yang terlibat dalam sebuah interaksi sosial. Pendapat kelompok pertama mengatakan bahwa modal sosial adalah jaringan kerjasama diantara warga masyarakat yang menfasilitasi pencarian solusi dari permasalahan yang dihadapi mereka. Modal sosial adalah kumpulan dari hubungan yang aktif diantara manusia: rasa percaya, saling pengertian, kesamaan nilai dan prilaku yang mengikat anggota dalam sebuah jaringan kerja dan komunitas yang memungkinkan adanya kerjasama. Pandangan kelompok pertama memfokuskan pada aspek jaringan hubungan sosial yang diikat oleh kepemilikan informasi, rasa percaya, saling memahami, kesamaan nilai dan saling mendukung. Modal sosial akan semakin kuat jika sebuah komunitas atau organisasi memiliki jaringan hubungan kerjasama, baik secara internal komunitas/organisasi atau hubungan kerjasama yang bersifat antar komunitas/organisasi. Jaringan kerjasama sinergistik yang merupakan modal sosial akan memberikan banyak manfaat bagi kehidupan bersama. Pendapat
29
pakar dari kelompok kedua, modal sosial adalah serangkaian nilai dan norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka.
2.5. Kepemimpinan Unsur utama dalam pembangunan ditentukan sekali oleh adanya kepemimpinan dan kualitas kepemimpinan. Kepemimpinan menjadi penentu utama
dari
bisa
atau
tidaknya
proses
pembangunan
terselenggara
(Tjokroamidjoyo, 1974). Budiman yang dikutip Tjokroamidjoyo (1974: 226) mengemukakan
bahwa
dalam
menggerakkan
partisipasi
rakyat
untuk
pembangunan diperlukan pemimpin-pemimpin formil yang mempunyai legalitas dan pemimpin-pemimpin informil yang memiliki legitimitas Menurut Syahyuti (2006) keberhasilan suatu usaha pembangunan di pedesaan semata-mata merupakan andil dari seorang tokoh. Banyak kelembagaan di desa, misalnya koperasi atau kelompok tani, mencapai kemajuan yang baik bukan karena mereka berhasil membangun sistem organisasi dengan baik, namun lebih karena peran seorang pengurusnya belaka. Menurut Sudriamunawar (2006) pemimpin adalah seorang yang memiliki kecakapan tertentu yang dapat mempengaruhi para pengikutnya untuk melakukan kerjasama ke arah pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Effendi (1986) memberikan istilah kepemimpinan adalah suatu proses kegiatan seseorang dalam memimpin, membimbing, mempengaruhi atau mengontrol pikiran, perasaan atau tingkah laku orang lain. Menurut Stogdill yang dikutip Sudriamunawar (2006), seorang pemimpin harus memiliki kelebihan-kelebihan yaitu : 1.
Kapasitas, kecerdasan, kemampuan berbicara, kemampuan menganalisis dan kewaspadaan yang menyeluruh.
2.
Prestasi (achievement), memiliki gelar kesarjanaan, ilmu pengetahuan, berprestasi dalam bidang olah raga/seni dan lain-lain.
3.
Tanggung jawab, berinisiatif, mandiri, percaya diri dan bermotivasi untuk maju.
30
4.
Partisipasi; bersosiabilitas yang tinggi, mampu berkomunikasi/bergaul, suka bekerja sama dan mudah menyesuaikan diri serta humoris.
5.
Status, meliputi kedudukan sosial ekonomi yang baik dan dikenal masyarakat luas.
6.
Situasi meliputi mental, status, ketrampilan, kebutuhan, interest,objektif dan sebagainya. Sedangkan Siagian
yang dikutip oleh Sudriamunawar (2006:31)
mengemukakan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah : 1.
Memiliki kondisi fisik yang sehat sesuai dengan tugasnya.
2.
Berpengetahuan yang luas.
3.
Mempunyai keyakinan bahwa organisasi akan berhasil mencapai tujuan yang telah ditentukan melalui dan berkat kepemimpinannya.
4.
Mengetahui dengan jelas sifat hakiki dan kompleksitas dari tujuan yang hendak dicapai.
5.
Memiliki stamina (daya kerja) antusiasme yang besar.
6.
Cepat dan tepat mengambil keputusan.
7.
Objektif dalam arti menguasai emosi dan lebih banyak menggunakan rasio. Syahyuti (2006) mengemukakan dua kunci penting bagi kepemimpinan
yang efektif, yaitu : 1. Kepercayaan (trust) dan keyakinan diri (confidence) 2. Komunikasi yang efektif Davis mengemukakan ada tiga ketrampilan kepemimpinan seperti yang dikutip oleh Effendy (1985:139) yakni “technical skill”, “human skill” dan “conceptual skill”. Meskipun ketiga jenis ketrampilan itu dalam prakteknya terkaitkan satu sama lain, namun dapat juga dibedakan sebagai berikut : Technical Skill (Ketrampilan teknis) Ketrampilan teknis menunjukkan bahwa seseorang memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam setiap jenis proses atau tehnik. Misalnya ketrampilan yang dipelajari oleh akuntan, juru mesin, juru tik dan lain sebagainya.
31
Human Skill (ketrampilan manusiawi) Ketrampilan manusiawi adalah kemampuan untuk bekerja dengan orang lain secara efektif dan untuk membina kerjasama. Pada setiap organisasi apapun tidak mungkinlah seorang pemimpin melepaskan diri dari persyaratan memiliki ketrampilan manusiawi. Conseptual Skill (Ketrampilan konseptual) Ketrampilan konseptual adalah kemampuan untuk berfikir dalam istilah yang berkaitan dengan perencanaan jangka panjang. Misalnya kerangka kerja, model dan sebagainya. Ketrampilan konseptual berkaitan dengan gagasan-gagasan, sedangkan ketrampilan manusiawi menyangkut manusia dan ketrampilan teknis berhubungan dengan sarana.
2.6. Kerangka Pemikiran Oppenheim (1966) mengemukakan bahwa tingkah laku adalah interaksi antara manusia (all person’s inner determinants) dan lingkungannya (all the environtmental factors). Menurut Sumardjo dan Saharudin (2007) terdapat dua hal yang mendukung partisipasi masyarakat yaitu ada unsur yang mendukung untuk berperilaku tertentu dalam diri seseorang (faktor internal) dan terdapat iklim atau lingkungan yang memungkinkan terjadinya perilaku tertentu (faktor lingkungan). Partisipasi adalah salah satu bentuk tingkah laku dimana individu atau masyarakat ikut berperan serta dalam suatu kegiatan pembangunan. Individu atau masyarakat dalam melakukan aktivitas partisipasi, tanpa ada paksaan dari siapapun, jadi partisipasi dilakukan dengan didasari oleh kesadaran individu atau masyarakat. Menurut hipotesa peneliti, faktor penentu internal (internal determinants) yang mempengaruhi seseorang dalam berpartisipasi adalah adanya kemauan yang didasari oleh motif, kebutuhan, harapan dan adanya kemampuan yaitu adanya kesadaran atau keyakinan pada dirinya bahwa dia mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi baik itu partisipasi pikiran, ide, tenaga, materi dan lainnya. Selain faktor internal, seseorang dalam berpartisipasi juga ditentukan oleh faktor lingkungan (environtmental factors) yaitu kesempatan dan dukungan dari lingkungan sekitarnya seperti kesempatan yang diberikan oleh kelembagaan dan
32
kepemimpinan untuk berpartisipasi terhadap program pemerintah yang berkaitan dengan penataan permukiman kumuh. Atas dasar tersebut di atas, maka penulis berupaya untuk mengkaji strategi peningkatan parrtisipasi masyarakat Kelurahan Cicadas dalam penataan permukiman kumuh. Apabila partisipasi masyarakat dalam penataan permukiman kumuh meningkat, diharapkan dapat tercipta lingkungan permukiman yang bersih, sehat dan teratur. Untuk menggerakkan partisipasi masyarakat di komunitas permukiman kumuh diupayakan untuk memberdayakan mereka dengan pendekatan yang bersifat bottom-up yaitu menggali permasalahan dan kebutuhankebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat permukiman kumuh serta membuat perencanaan dan pelaksanaan penataan kawasan kumuh. Adapun kerangka pemikiran dapat dilihat dalam gambar skema sebagai berikut :
Faktor Internal : Kemauan : motif, harapan, kebutuhan. Kemampuan
Faktor Lingkungan : Kesempatan yg diberikan oleh kelembagaan dan kepemimpinan
STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT TINGKAT PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM PENATAAN PERMUKIMAN KUMUH
PROGRAM PEMERINTAH
Dikembangkan dari Oppenheim (1966) dan Sumardjo & Saharudin (2007).
Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran
PENINGKATAN PARTISIPASI MASYARAKAT DLM PROGRAM PENATAAN PERMUKIMAN KUMUH