4
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Buah Salak Buah salak berasal dari tanaman salak (Salacca edulis Reinw.) yang tergolong dalam ordo Spadiciflorae, famili Palmae dan genus Salacca, termasuk tanaman hortikultura asli Indonesia (Setiadiredja 1982). Berikut adalah klasifikasi ilmiah salak: Kingdom
:
Plantae
Divisi
:
Magnoliophyta
Kelas
:
Liliopsida
Ordo
:
Arecales
Famili
:
Arecaceae
Genus
:
Salacca
Spesies
:
S. zalacca
Buah salak mempunyai bentuk bulat atau bulat segitiga, terdiri atas kulit, daging buah dan biji. Kulit salak tersusun atas sisik kulit berwama coklat, coklat kekuningan atau coklat kehitaman, dengan ujung sisik agak tajam. Daging buah salak berwama putih kekuningan atau putih kecoklatan, tidak berserat dan terdiri dari satu, dua atau tiga suku dengan atau tanpa anakan, yang masing-masing dilapisi kulit ari yang sangat tipis, hal ini dapat dilihat pada Gambar 1 berikut:
Gambar 1 Buah salak pondoh Menurut Sabari (1983), nama yang diberikan pada jenis-jenis salak yang ada didasarkan atas beberapa cara, diantaranya dengan nama daerah asalnya, warna daging buah, warna kulit buah dan rasa daging buahnya. Nama salak menurut daerah asalnya inilah yang populer di masyarakat dan disebut kultivar (Suter 1988). Kultivar yang terkenal antara lain adalah salak Bali (Bali), salak
5
Condet
(Jakarta),
salak
Gondanglegi
(Malang)
dan
salak
Manonjaya
(Tasikmalaya). Jenis salak yang dinamakan berdasarkan warna kulit buahnya adalah salak Putih atau salak Gading. Jenis salak yang didasarkan atas rasa daging buahnya adalah salak Madu atau salak Kopyor dan salak Pondoh (Suter 1988). Salak pondoh merupakan jenis salak yang paling terkenal di daerah Sleman, Yogyakarta. Daerah penghasil salak pondoh tersebar pada tiga kecamatan, yaitu Tempel, Turi dan Pakem, khususnya di desa Soka, Turi dan Candi. Keunggulan jenis salak ini dibandingkan dengan salak lain adalah buahnya manis meskipun masih muda dan gurih tanpa rasa sepat (Nuswamarhaeni et al. 1989). Hal ini dipengaruhi oleh komposisi kimianya, yaitu kandungan taninnya yang relatif kecil 0.08% dan kandungan gulanya yang relatif tinggi 23.30% dengan kandungan total asam yang kecil 0.32% (Sabari 1986). Sebagai perbandingan, salak Gula Pasir yang juga ditanam di Daerah Istimewa Yogyakarta, berasa manis dan juga tidak sepat mempunyai kandungan tanin 0.31%, kandungan gula 15.54% dan total asam 0.37% (Suter 1988), sedangkan salak Suwaru pada umur petik optimal mempunyai kandungan tanin 0.27 - 0.45%, kandungan gula 31.14 - 38.10% dan total asam 0.47 - 0.66% (Sulusi et al. 1996). Komposisi kimia daging buah salak berubah dengan makin meningkatnya umur buah dan bervariasi menurut varietasnya. Salak pondoh mempunyai kandungan kimiawi yang relatif konstan pada umur 5 bulan sesudah penyerbukan. Pada saat ini kadar gulanya mencapai nilai tertinggi, sedangkan kadar asam dan taninnya adalah terendah. Oleh sebab itu, umur 5 bulan merupakan saat petik yang baik untuk konsumsi, karena pada saat itu buah rasanya manis dan rasa asamnya hampir tidak ada. Buah salak mengandung kadar air yang cukup tinggi yaitu sebesar 78%, kandungan karbohidrat sebesar 20.9 % dan kandungan kalori 77%. Kandungan ini dalam jumlah yang cukup baik untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan dapat memenuhi kebutuhan kalori bagi tubuh manusia. Kandungan nutrisi buah salak seperti ditunjukkan pada Tabel 1 berikut :
6
Tabel 1 Komposisi kimia daging buah salak (setiap 100 gr daging buah) Komponen Kandungan Gizi Kalori 77.0 kalori Air 78.0 gram Protein 0.4 gram Lemak 0.0 gram Karbohidrat 20.9 gram Kalsium 28.9 miligram Fosfor 18.0 miligram Besi 4.2 miligram Vitamin C 2.0 miligram Vitamin B1 0.04 miligram Sumber : Depkes RI: 2000
Bila dibandingkan dengan tiga varietas yang lain, yaitu salak Sleman, salak Bali dan salak Condet, ternyata salak Pondoh mempunyai rasio gula asam yang tertinggi (72.81), disusul salak Sleman (52.44), salak Bali (41.47) dan yang terendah salak Condet 38.87 (Sabari 1983). Bentuk penampilan salak Pondoh juga agak berbeda dibandingkan buah salak yang lain, yaitu mendekati bundar, ukurannya relatif kecil (30 - 100 gram), teksturnya lebih keras, warna dagingnya lebih putih tetapi warna kulitnya lebih hitam (Hastuti & Ari 1988). Pada saat ini dikenal ada 5 macam salak Pondoh, yaitu salak Pondoh Hitam, salak Pondoh Merah, salak Pondoh Merah Hitam, salak Pondoh Kuning dan salak Pondoh Merah Kuning (Setiadi 1989). Salak Pondoh Hitam mempunyai warna kulit paling gelap, bentuk paling bulat, ukuran relatif kecil namun mempunyai rasa paling manis. Menurut Nuswamarhaeni et al. (1989), salak Pondoh Hitam mempunyai warna yang tidak menarik tetapi mempunyai rasa paling enak. Standar Mutu Salak Berdasarkan standar mutu salak yang tercantum dalam SNI 3167 : 2009 maka salak dibagi atas 2 (dua) kelas mutu, yaitu kelas A dan kelas B, hal ini dapat dlihat pada Tabel 2, dimana pemutuan ini berdasarkan tingkat kandungan didalam buah salak pondoh. Ukuran berat dibagi atas ukuran besar untuk salak yang berbobot 61 gram atau lebih per buah, ukuran sedang berbobot 33 – 60 gram/ buah, dan ukuran kecil berbobot 32 gram atau kurang per buah.
7
Tabel 2 Kelas mutu salak berdasarkan SNI 3167 : 2009 Tingkat kelas A kelas B Ketuaan Seragam tua Kurang seragam Kekerasan Keras Keras Kerusakan Kerusakan kulit buah Utuh Kurang utuh Ukuran Seragam Seragam Busuk (bobot/bobot) 2% 5% Kotoran Bebas Bebas Toleransi Mutu 10% 10% Sumber : SNI 2009
Kandungan gizi jenis salak pondoh super dan salak pondoh hitam berdasarkan hasil analisis laboratorium dapat dilihat pada Tabel 3 berikut:
No 1 2
Tabel 3 Kandungan gizi salak pondoh super dan hitam Jenis Salak Kadar gula Kadar asam Vitamin C Pondoh total (%) (mg/l00g) mg/100g Hitam 16.44 0.707 8.42 Super 15.62 0.781 8.53
Dari tabel diatas terlihat bahwa gula salak pondoh hitam lebih tinggi dari pada salak pondoh super, namun kadar asam dan vitamin C salak pondoh super lebih tinggi. B. Pascapanen Salak 1) Penanganan Panen dan Pasca Panen (Segar) Buah Salak Pondoh Buah salak dipanen dengan cara memotong tangkai tandan dengan menggunakan sabit, pisau yang tajam atau gergaji. Buah salak termasuk buah non klimakterik sehingga hanya dapat dipanen jika benar-benar telah matang di pohon, yang ditandai dengan sisik yang telah jarang, warna kulit buah merah kehitaman atau kuning tua, bulu-bulu di kulit telah hilang, bila dipetik mudah terlepas dari tangkai dan beraroma salak. Panen dilakukan dalam keadaan cuaca kering (tidak hujan) pada pagi hari (pukul 9–10 pagi) saat buah sudah tidak berembun. Jika panen dilakukan pada saat terlalu pagi dan buah masih berembun maka buah akan mudah kotor dan bila luka sangat rentan terserang penyakit. Bila panen dilakukan pada siang hari, buah akan mengalami penguapan sehingga susut lebih banyak, sedangkan bila pada sore hari dapat berakibat lamanya waktu menunggu, kecuali harus bekerja pada malam hari (Sabari 1983).
8
Salak dipanen saat berumur 5–6 bulan setelah berbunga. Untuk salak pondoh, panen raya terjadi pada periode November – Januari, masa panen sedang terjadi pada Mei – Juli, masa panen kecil pada periode Februari – April, dan masa istirahat (kosong) terjadi pada periode Agustus – Oktober. Buah yang masih dapat dipanen pada masa istirahat disebut buah “slandren” (Arief 2003). Buah salak pondoh sebenarnya dapat dipanen sebelum berumur 5 bulan (setelah berbunga) karena rasanya sudah manis dan tidak sepat meski masih muda, namun akan diperoleh buah berukuran kecil dan beraroma lemah karena komponen penyusun aroma buah salak belum terbentuk optimal (Suhardjo et al. 1995). 2) Pengumpulan dan Pembersihan Buah salak yang dipanen dimasukkan ke dalam keranjang bambu atau peti kayu yang diberi alas daun-daunan. Beberapa petani maju menggunakan peti plastik jenis HDPE (high density polyethylene) untuk membawa salak dari kebun ke kios atau toko yang sekaligus sebagai tempat pengumpulan dan pengemasan. Buah salak diletakkan di tempat yang teduh, seperti di bawah pohon atau naungan, untuk melindungi dari sengatan matahari yang dapat meningkatkan suhu buah salak sehingga mempercepat kerusakan (Suhardjo et al. 1995). Kebersihan salak berpengaruh terhadap masa simpan buah salak. Tandan salak sering diletakkan dekat dengan permukaan tanah sehingga kotoran dapat menempel pada buah salak dan menyebabkan binatang-binatang kecil yang menyukai tempat lembab sering bersembunyi di antara buah dalam tandan. Pembersihan buah salak dilakukan dengan menyikat buah menggunakan sikat ijuk atau plastik dengan gerakan searah susunan sisik (Suhardjo et al. 1995) sehingga buah salak bersih dari kotoran dan sisa-sisa duri, bersamaan dengan pembersihan dapat dilakukan sortasi dan pemutuan (grading). 3) Sortasi dan Pemutuan Sortasi bertujuan memilih buah yang baik, tidak cacat, dan dipisahkan dari buah yang busuk, pecah, tergores atau tertusuk. Selain itu berguna untuk membersihkan buah salak dari kotoran, sisa–sisa duri, tangkai dan ranting. Khusus pada salak bali untuk tujuan pasar lokal tidak dilakukan sortasi (Damayanti 1999). Pemutuan bertujuan menyeragamkan ukuran dan mutu buah
9
sehingga mendapatkan harga jual yang lebih tinggi. Sebelum dikemas dalam karung anyaman pandan. Untuk pasar ekspor, persyaratan mutu lebih tinggi dengan mengikuti standar yang ditetapkan pembeli luar negeri. Pasar Eropa menetapkan persyaratan keutuhan buah, kesegaran, kehalusan permukaan kulit buah, bebas dari kerusakan fisik, bahan kima, mikrobiologis ataupun bau asing, derajat ketuaan yang tepat dan keadaan yang baik sampai tujuan (Suhardjo et al. 1995). 4) Penyimpanan Penyimpanan yang dilakukan petani atau pedagang hanya bersifat sementara dan dilakukan di lapangan. Petani dan pedagang belum melakukan kegiatan penyimpanan yang bertujuan untuk memperpanjang masa simpan buah salak sebelum dipasarkan. Buah yang telah disortasi dan digolongkan dikemas ke dalam karung anyaman pandan atau keranjang menunggu dimuat ke sarana pengangkutan. C. Penyakit Pascapanen Penyakit pascapanen selalu menjadi kendala di semua produk hortikultura karena keberadaan penyakit pascapanen sangat menentukan tujuan akhir produk yang disimpan atau dijual. Akibat yang ditimbulkan karena adanya penyakit pascapanen sangat beragam dan menentukan besarnya kehilangan pascapanen, serta dapat menurunkan pendapatan produsen atau petani. Selain itu, adanya penyakit pascapanen pada produk setelah dipanen akan berpengaruh terhadap banyak hal, terutama pada konsumen. Oleh karenanya, perlu diambil tindakan untuk mengendalikan penyakit pascapanen, yaitu berupa pencegahan terhadap munculnya penyakit yang dapat dilakukan sejak dini. Busuk buah merupakan masalah serius didalam penanganan dan proses pascapanen. Busuk buah dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya lentisel, kandungan kalsium, susunan dinding sel, ukuran dan kemasakan buah saat dipanen, senyawa fenol, pengelolaan kebun, dan kondisi ruang simpan. Masingmasing faktor mempunyai peranan tersendiri di dalam menyebabkan buah busuk. Kondisi ruang simpan sangat menentukan daya simpan buah dan terhindarnya dari pembusukan. Kondisi ruang simpan yang baik dan sesuai akan memperkecil
10
tingkat pembusukan buah. Perlakuan pascapanen sangat menentukan daya tahan buah terhadap patogen. Buah atau sayur yang telah dipanen yang tidak diperlakukan dengan perlakuan tertentu, akan memperpendek umur optimum produk tersebut. Maka untuk produk pascapanen dalam skala kecil tidak memerlukan alur panjang sampai ke konsumen, sehingga petani akan langsung menjual produknya di pasar lokal (Soesanto 2006). Berikut ini dikemukakan masing-masing faktor, kaitannya dengan tingkat keparahan penyakit pascapanen. 1) Mikroba Patogen Mikroba patogen mudah ditemukan, baik selama buah berada di tanaman maupun di dalam ruang simpan. Meskipun demikian, hanya beberapa jenis patogen yang mampu tumbuh dan berkembang, serta menimbulkan kerusakan pada produk pascapanen. Pertumbuhan mikroba patogen pascapanen sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, khususnya suhu, pH, nutrisi, dan kandungan air yang harus tersedia. Suhu sangat berperanan dalam pertumbuhan dan perkembangan jamur patogen pascapanen (Soesanto 2006). Adanya lapisan air di permukaan buah akan menyebabkan tingginya kelembapan di sekitar buah dan hal ini mampu menyebabkan konidium atau spora kapang untuk aktif tumbuh dari periode tak bergerak. Status fisiologi inang mempengaruhi serangan patogen, terutama dikaitkan dengan kadar air (Soesanto 2006). Selanjutnya, patogen memerlukan nutrisi untuk pertumbuhannya. Nutrisi tersebut keluar dari sel yang rusak di daerah luka. Sementara, untuk patogen yang menginfeksi melalui lentisel, kebutuhan nutrisinya dipasok dari nutrisi yang keluar dari sel di sekeliling lentisel, khususnya setelah rusak, dalam kondisi anaerob, atau saat penuaan jaringan (Soesanto 2006). Perkembangan penyakit pascapanen tergantung pada kemampuan patogen untuk menghasilkan enzim, yang mengakibatkan hilangnya kekompakan jaringan dan pemisahan sel tunggal. Pektat polisakarida terutama menyusun bahan antarsel yang menyatukan dinding sel tanaman. Oleh karenanya, sel dari jaringan yang terurai tersebut meningkat permeabilitasnya dan mati, dan memungkinkan merembesnya hasil metabolisme inang yang digunakan sebagai substrat untuk pertumbuhan patogen (Soesanto 2006).
11
2) Interaksi Inang Setiap jenis buah dan sayur hanya diserang oleh kelompok jamur parasit dan kemungkinan oleh bakteri, yang unik dan relatif kecil. Kelompok ini memerlukan
persyaratan
nutrisi
dan
kemampuan
enzimatis
untuk
perkembangannya di dalam jaringan inangnya. Kerentanan buah dan sayur sangat dipengaruhi oleh pematangan pada saat panen dan seterusnya oleh perubahan fisiologi yang terjadi. Hasil penelitian Amiarsi et al. (1996) menunjukkan bahwa kerusakan buah salak meningkat dengan bertambahnya umur simpan. Kerusakan tersebut sebagai akibat keaktifan mikroba yang dikenal dengan penyakit busuk lunak karena jamur Thielaviopsis sp. Salak juga menjadi lebih rentan terhadap Botrytis pada suhu 5°C dan meningkat dengan makin lamanya penyimpanan (Soesanto 2006). 3) Lingkungan Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi baik tanaman maupun patogennya. Penanganan pascapanen terbaik yang perlu dilakukan untuk memelihara produk buah dan sayur segar adalah 1) mengelola produk dalam kondisi optimum untuk konsumsi, dan 2) mencegah serangan patogen. Konsep segitiga penyakit, yang secara umum dikenal di dunia penyakit tanaman, berlaku juga dalam penyakit pascapanen karena terkait dengan berat ringannya tingkat keparahan penyakit pascapanen. Faktor penentu tingkat keparahan penyakit pascapanen tersebut berperan penting dalam menentukan timbul dan berkembangnya penyakit pascapanen, baik selama di penyimpanan maupun di pemasaran. Penyakit pascapanen sangat menentukan kelangsungan produk tanaman setelah dipanen, sehingga perlu diketahui macam faktor yang berperan dalam menentukan keparahan penyakit pascapanen tersebut (Soesanto 2006). D. Kerusakan Pascapanen Buah salak pondoh yang telah dipanen dapat mengalami kerusakan. Pengertian rusak menurut Suter (1988), yaitu bila buah menunjukkan adanya penyimpangan yang melewati batas yang dapat diterima secara normal oleh panca indera, seperti buah sudah layu, ditumbuhi jamur yang tampak secara visual,
12
berbau busuk, buah menjadi lunak dan berair serta tidak layak lagi untuk dikonsumsi. Kerusakan pada buah salak dapat terjadi mulai pada saat pemanenan, setelah pemanenan dan pada saat penyimpanannya. 1) Kerusakan Saat Pemanenan Pemanenan salak dilakukan dengan cara memotong tangkai tandan dengan menggunakan sabit. Pada saat pemanenan ini dapat terjadi kerusakan luka pada buah salak. Jenis kerusakan yang terjadi berupa kerusakan mekanis seperti luka terpotong, kerusakan fisiologis berupa pecah kulit dan kerusakan mikrobiologis berupa busuk. Kerusakan mekanis yang terjadi pada saat pemanenan adalah terjadinya luka terpotong pada kulit buah salak. Akibat luka ini sebagian kulit buah akan terkelupas dan daging buahnya akan tampak atau dapat pula sebagian daging buah terpotong oleh sabit. Kerusakan pada saat pemanenan ini sangat jarang terjadi karena petani melakukan pemanenan secara hati-hati dan petani sudah terbiasa melakukan pemanenan. Kerusakan pada buah salak dapat pula terjadi sebelum salak-salak tersebut dipanen, seperti kerusakan fisiologis berupa pecah kulit pada buah salak. Buah salak yang mengalami pecah kulit juga mengakibatkan daging buah tampak dari luar. Bagian daging buah yang tampak memiliki warna yang lebih gelap dibandingkan dengan warna daging buah yang masih tertutup oleh kulit (Suter 1988). Kerusakan buah pecah kulit menurut Suter (1988) kemungkinan disebabkan karena tidak seimbangnya perkembangan daging buah dengan kulit buahnya. Keadaan ini dapat terjadi akibat penundaan saat pemanenan pada buah salak sehingga buah salak sudah terlalu tua. Sebelum buah dipanen juga dapat terjadi kerusakan mikrobiologis akibat serangan jamur. Kerusakan ini dapat terjadi bila buah salak di pohon menempel pada permukaan tanah atau buah salak tertutup oleh tanah. Kerusakan ini mengakibatkan buah busuk ketika masih berada dí pohon karena serangan jamur yang berasal dari tanah. Untuk mencegah kerusakan mikrobiologis ini petani umumnya selalu mernbersihkan dan menjaga buah salak di pohon agar tidak tertutup oleh tanah (Soesanto 2006).
13
2) Kerusakan Setelah Pemanenan Jenis kerusakan yang dapat terjadi setelah pemanenan adalah kerusakan mekanis berupa luka pada kulit buah dan memar pada daging buah. Kerusakan mekanis pada buah salak setelah pemanenan dapat terjadi pada saat penanganannya, yaitu ketika dilakukan pembersihan kotoran pada permukaan kulit buah salak dan ketika meletakkan salak ke dalam wadah penyimpanan berupa keranjang dan peti kayu (Wiyana 2006). Pada kulit buah salak sering terdapat kotoran berupa tanah atau pun dedaunan yang menempel. Keadaan ini disebabkan karena buah salak tumbuh didekat permukaan tanah, yaitu sekitar 5 cm bahkan ada pula buah salak yang letaknya menempel pada permukaan tanah. Ketika dilakukan pembersihan pada permukaan kulit buah salak dan ketika salak dimasukkan dalam kemasannya dapat terjadi pelepasan buah dari tandannya secara tidak disengaja. Pelepasan buah dari tandan ini dapat mengakibatkan terjadinya luka pada bagian pangkal buah berupa terkelupasnya kulit buah salak, sehingga sebagian daging buah salak akan tampak (Wiyana 2006). Selain terjadinya luka pada bagian pangkal buah, juga dapat terjadi kerusakan berupa memar pada buah salak akibat terjatuhnva buah, benturan antara buah salak dengan buah salak dan benturan antara buah salak dengan kemasannya. Kerusakan memar pada buah salak ditandai dengan terbentuknya bagian yang lunak pada daging buah salak. Apabila kulit buah salak yang memar dikupas, maka akan tampak daging buah yang berwarna lebih gelap dibandingkan dengan warna daging buah sekitarnya (Wiyana 2006). 3) Kerusakan Penyimpanan Jenis kerusakan yang terjadi pada saat penyimpanan berupa kerusakan fisiologis seperti pencoklatan serta kerusakan mikrobiologis berupa busuk dan pertumbuhan jamur. Kerusakan penyimpanan salak pondoh tidak terjadi di kalangan petani, tetapi umumnya terjadi di kalangan pedagang (Winarno & Wiranatakusumah 1981). Pelunakan pada daging buah menurut Winarno dan Wiranatakusumah (1981) dan Wills et al. (1981) disebabkan karena protopektin, yaitu pektin yang tidak dapat larut dalam air jumlahnya menurun karena diubah menjadi pektin yang
14
dapat larut dalam air, sehingga ketegaran sel berkurang. Protopektin pada buahbuahan dan sayuran terdapat di dalam lapisan antar sel dan dinding sel pertama dari buah (Winarno & Wiranatakusumah 1981). Pada buah yang sudah lunak ada yang terbentuk warna coklat pada daging buahnya. Pembentukan warna coklat pada daging buah ini dimulai pada bagian pangkal buah. Hal ini kemungkinan disebabkan terjadinya reaksi browning enzimatis pada bagian pangkal buah tersebut. Karena adanya rongga udara yang lebih besar pada bagian pangkal buah dibandingkan dengan bagian buah lainnya, rongga udara ini dapat mengoksidasi senyawa fenolik pada buah secara enzimatis membentuk senyawa ortoquinon, yang selanjutnya akan berpolimerisasi membentuk pigmen coklat atau melanin. Enzim yang mengkatalisa oksidasi ini umumnya dikenal sebagai fenolase, polifenol oksidase. tirosinase atau catecholase. Adanya senyawa fenolik, enzim dan oksigen mutlak diperlukan untuk terjadinya reaksi pencoklatan tersebut dinamakan reaksi browning enzimatis (Muchtadi 1978). 4) Tanda-Tanda Kerusakan Kerusakan yang terjadi pada buah salak saat pemanenan. setelah pemanenan dan selama penyimpanan dapat digunakan sebagai acuan dasar pada penentuan kerusakan salak selama penyimpanan pada penelitian tahap II. Kerusakan yang terjadi pada salak saaat pemanenan dan setelah pemanenan dijadikan dasar untuk memilih salak yang akan disimpan pada penelitian tahap II. Sehingga salak yang digunakan hanyalah salak yang baik, yaitu bentuk buah masih utuh. tidak ada cacat pada kulit buah, daging buah masih keras. beraroma salak dan tidak ditumbuhi jamur. Sedangkan kerusakan penyimpnanan digunakan sebagai dasar penentuan umur simpan salak pondoh. Salak dikatakan rusak selama penyimpanan bila telah terdapat sátu atau lebih dari tanda-tanda salak yang rusak berikut ini, yaitu (1) terbentuknya warna coklat pada daging buah salak. (2) terbentuknya aroma salak yang menyimpang atau berbau alkohol, (3) terdapat pertumbuhan jamur pada kulit buah serta (4) daging buah menjadi lunak dan (5) busuk.
15
5) Mekanisme Terjadinya Busuk Buah Salak Pondoh Kerusakan buah salak pondoh ternyata disebabkan pertama oleh faktor mekanis seperti benturan diantara buah salak itu sendiri, buah dengan wadah, gesekan, tekanan dan buah terjatuh dari tandannya. Bahkan Suter (1988) menyatakan bahwa kerusakan mekanis buah salak terjadi karena kurang hati-hati pada saat pemanenan, pengumpulan buah, pengemasan dan pengangkutan. Kedua, faktor fisiologis seperti respirasi yang secara alami senantiasa berlangsung sejak tandan buah tersebut dipangkas dari pohonnya sampai saat penyimpanan buah salak dilakukan. Ketiga, faktor mikrobiologis seperti lingkungan kebun yang tidak bersih menyebabkan banyak mikrobia khususnya jamur berpeluang untuk mengkontaminasi buah salak terutama dari bagian pangkal buah setelah buah salak tersebut terlepas dari bagian tandannya. Selain ketiga faktor diatas, penyebab kerusakan buah salak adalah faktor biologis seperti serangan serangga atau hama tikus yang menyukai buah salak masak. Penundaan pemanenan dalam upaya untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi justru menyebabkan buah salak kelewat masak dan sebagian kulitnya pecah baik secara melintang atau membujur, dengan demikian kualitas buah salak menjadi turun. Berbagai faktor tersebut diatas terbukti sebagai pemicu timbulnya luka, memar, pecah kulit, berjamur, busuk dengan bau menyengat, terjadi perubahan warna, buah menjadi layu dan kering seperti yang diungkapkan oleh Ryall dan Lipton (1983). Luka dan memar dapat memacu timbulnya kerusakan lain seperti kerusakan fisiologis dan mikrobiologis karena pada bagian yang luka atau memar akan terjadi perubahan warna daging buah menjadi coklat dan invasi mikrobia sehingga
setelah
pencoklatan
daging
buah
berlangsung
segera
diikuti
pembusukan. Berbagai jenis kerusakan buah salak tersebut ternyata berlangsung sejak di kebun atau saat panen, di tingkat pedagang pengepul dan selama penyimpanan 7 hari dalam besek bambu pada suhu 22°C – 26°C. 6) Perubahan Warna Coklat pada Daging Buah Apabila buah salak yang memar atau luka tersebut lolos dari tahapan sortasi dan masuk pada tahap penyimpanan, maka daging buah salak akan berubah warnanya secara cepat dari krem atau kuning susu menjadi coklat.
16
Perubahan warna pada buah salak yang luka terjadi setelah luka berlangsung 1 jam, dan untuk buah salak memar maka pencoklatan daging buah baru berlangsung secara nyata 1 hari setelah peristiwa memar berlangsung. Perubahan warna tersebut sebenarnya lebih disebabkan oleh aktivitas enzim polifenol oksidase yang mengubah senyawa polifenol menjadi melanin yang berwarna coklat (Eskin et al. 1971). Perubahan warna daging buah salak tersebut diperkuat oleh Haard (1985) yang menyatakan bahwa jalur asam suksinat dimulai dari reaksi erithrosa-4-fosfat dengan fosfoenol piruvat melalui beberapa senyawa antara menjadi asam shikinat, quinat, klorogenat, asam amino aromatik, lignin, pigmen flavonoid dan substrat fenolase. Enzim fenolase (polifenoloksidase) dapat mengkatalisis oksidasi senyawa polifenol menjadi quinon dan selanjutnya mengalami polimerisasi menjadi melanoidin berwarna coklat. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan ternyata penundaan pemanenan terlalu lama dapat pula menyebabkan warna coklat pada bagian punggung daging buah salak pondoh. 7) Kisut dan Kering Proses respirasi dan transpirasi yang berlangsung secara alamiah di dalam buah setelah panen dapat menyebabkan perubahan sifat fisiko-kimia selama penyimpanan yang meliputi kenampakan, kadar air, pH, asam organik, vitamin C, gula reduksi, tannin dan tekstur buah. Perubahan tersebut dapat menurunkan kualitas buah salak segar dan secara visual salak tampak layu, keriput dan kering. Hal demikian juga dijumpai pada penelitian yang ditakukan oleh Mahendra et al. (1993) yang menyatakan bahwa makin cepat aliran udara dan makin rendah kelembaban maka proses respirasi dan transpirasi berlangsung lebih cepat sehingga buah cepat menjadi lunak, layu, mengkerut dan pada akhirnya menyebabkan susut berat. 8) Berjamur dan Busuk Kerusakan oleh mikrobia menyebabkan buah salak berjamur, busuk, lunak dan berair disertai bau menyengat, Kontaminasi mikrobia pada buah salak terutama disebabkan oleh jamur yang menyerang kulit buah, pangkal buah atau bagian buah yang luka dan memar. Menurut Kusumo et al. (1995) buah salak
17
dapat diserang jamur Ceratocystis paradosa yang berwarna hitam atau Fusarium sp. yang berwarna putih. Disamping jamur, daging buah salak dapat pula diserang oleh khamir, dan menurut Pitt dan Hocking (1985), khamir yang biasanya merusak buah-buahan segar adalah jenis Klockera apiculata atau jenis Rhodotorula sp, Sementara itu Suter (1988) menduga bahwa khamir yang menyerang buah salak adalah jenis Candida sp. dan Saccharomyces sp, Murtiningsih et al. (1996) mengemukakan bahwa buah salak khususnya jenis Condet, Pondoh dan Suwaru banyak terinfeksi oleh mikrobia patogen Thielaviopsis sp. E. Pelapisan (Coating) Teknik pengawetan buah dan sayuran dengan penggunaan coating sebenarnya sudah dilakukan sejak abad ke-13 di China dimana buah-buahan pada zaman itu dicelupkan kedalam cairan lilin panas dengan tujuan fermentasi. Kini, aplikasi coating digunakan pada buah-buahan dan sayuran untuk mengurangi terjadinya kehilangan kelembaban, memperbaiki penampilan, berperan sebagai barrier yang baik (bersifat selective permeable) untuk pertukaran gas dari produk ke lingkungan atau sebaliknya, serta memiliki fungsi sebagai antifungal dan antimikroba (Krochta et al. 1994). Selain untuk memperpanjang umur simpan, film atau selaput banyak digunakan karena tidak membahayakan kesehatan manusia, dapat dimakan serta mudah diuraikan alam (biodegradable). Beberapa coating komersial yang tersedia umum berbagai warna dan juga diperkaya dengan vitamin serta zat-zat gizi lainnya untuk melakukan perbaikan gizi tanpa merusak keutuhan produk pangan (Rimadianti 2007) Menurut Donhowe dan Fennema (1994), metode untuk aplikasi coating pada buah dan sayuran terdiri dari beberapa cara, yakni metode pencelupan (dipping), pembusaan, penyemprotan (spraying), penuangan (casting), dan aplikasi penetesan terkontrol. Metode dipping merupakan metode yang paling banyak digunakan terutama untuk sayuran, buah, daging, dan ikan, dimana melalui metode ini produk akan dicelupkan kedalam larutan yang digunakan sebagai bahan coating. Menurut Krochta et al. (1994), secara umum ada tiga kelompok materi yang biasa digunakan untuk pembuatan film atau coating, yakni protein, polisakarida, dan lipid (termasuk lilin, emulsifier, serta turunannya).
18
Menurut Andriana (2000) pelapisan menggunakan isolat protein 0.5% dan asam lemak stearat palmitat 0.5% pada buah salak pondoh terolah minimal cenderung memperlambat penurunan kadar air sebesar 0.64% pada suhu 5°C, memperlambat penyusutan bobot sebesar 0.08% pada suhu 5°C, memperlambat penurunan total gula sebesar 0.35% pada suhu 5oC, dan memperlambat pelunakan sebesar 4.01% pada suhu 5°C. Suhu penyimpanan yang terbaik untuk salak pondoh terolah minimal dengan coating adalah pada suhu penyimpanan 5°C dengan kelembaban 65-70%. Pada kondisi ini umur simpan buah salak dapat diperpanjang sampai dengan 10 hari penyimpanan dibandingkan dengan suhu kamar yang tahán hingga 2 hari penyimpanan. Menurut Wrasiati et al. (2001) Pelapisan lilin pada perrnukaan kulit buah salak Bali dapat memperpanjang umur simpan buah salak yang semula 7 hari menjadi 12 hari dan dapat mempertahankan kualitas salak Bali segar karena dapat menghambat susut bobot, kehilangan air dan pembentukan gula reduksi serta mempertahankan pH, total asam organik, vitamin C, dan tanin selama penyimpanan. Pelapisan lilin dengan konsentrasi 10% memberikan hasil terbaik terhadap kualitas salak Bali dengan tingkat kerusakan kurang dari 20%, dan waktu penyimpanan paling lama yaitu 12 hari. Produksi senyawa fenol sangat berkaitan erat dengan perkembangan pembusukan dan juga bertalian dengan perkembangan ketahanan buah. Senyawa fenol di dalam buah akan menurun dengan meningkatnya pemasakan buah dan meningkatnya kerentanan buah. Selain itu, senyawa fenol juga berperan dalam kenampakan dan tekstur buah busuk. Seperti halnya busuk buah pada salak pondoh Menurut Krochta et al. (1994), secara umum ada tiga kelompok materi yang biasa digunakan untuk pembuatan pelapisan atau coating, yakni protein, polisakarida, dan lipid (termasuk lilin, ernulsifier, serta turunannya). Gel Aloe vera berpotensi untuk diaplikasikan dalam teknologi pelapisan (coating), karena gel tersebut terdiri dari polisakarida yang mengandung banyak komponen fungsional yang mampu menghambat kerusakan pasca panen produk pangan segar, seperti acemannan yang memiliki aktivitas antiviral, antidiabetes, antikanker, dan antimikroba, serta meningkatkan proliferasi sel-sel yang terluka.
19
Selain itu, gel Aloe vera juga mampu menjaga kelembaban dengan cara mengontrol kehilangan air dan pertukaran komponen-komponen larut air (Reynolds & Dweck 1999). Struktur gel aloev yang alami sebagai gel sehingga mudah untuk diaplikasikan sebagai pelapis (coating) dengan harga yang murah. Fungsionalitas zat terkandung dalam Aloe vera L. ini juga makin diperkuat dengan adanya penelitian dari Mousa et al. (1999), yang menyatakan bahwa gel tanaman ini bersifat anti-fungal terhadap Penicillium digitatum, Penicillium expansum, Botrytis cinerea, Alternaria alternate, Aspergillus niger, C. herbarum, dan Fusarium monthforme. Komponen bioaktif yang terkandung dalam Aloe vera L. dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Komponen bioaktif yang terkandung pada Aloe vera L. Komponen bioaktif Fungsionalitas Acemannan Anti-inflammatory, wound healing, anti-kanker, anti-virus, UV sunburn Glikoprotein Anti-diabetes, anti-kanker Aloe emodin Anti-kanker, anti-mikroba Lectin Anti-inflammatory, wound healing, anti-kanker Barbaloin dan komponen fenolik Anti-mikroba Alomicin Anti-kanker Sumber : Reynolds dan Dweck (1999).
F. Penyimpanan Suhu Rendah Suhu merupakan salah satu faktor yang berperanan penting dalam proses kerusakan bahan pangan, karena suhu dapat mempengaruhi kelayuan dan laju kehilangan air, laju respirasi dan kecepatan reaksi biokimia serta laju pertumbuhan mikroba. Penyimpanan suhu rendah atau penyimpanan dingin pada umumnya menggunakan suhu di bawah 15°C dan di atas titik beku. Pada suhu tersebut penurunan mutu buah-buahan akan dapat dihambat, karena terhambatnya laju kehilangan air, laju respirasi dan reaksi biokimia serta laju pertumbuhan mikroba pada bahan yang disimpan. Pada suhu rendah, aktivitas metabolisme pascapanen menjadi berkurang dan perubahan kimia berlangsung lambat (Borgstorm 1968). Penyimpanan dingin pada prinsipnya bertujuan menekan laju respirasi dan transpirasi sehingga proses ini berjalan lambat dan sebagai akibatnya daya simpan bahan pangan diperpanjang dengan susut bobot minimal dan mutu masih baik (Sudibyo 1979). Penyimpanan buah salak pondoh pada suhu rendah terbukti dapat memperpanjang
20
masa simpannya. Hastuti dan Ari (1988) melaporkan bahwa penyimpanan salak pondoh dalam bentuk tandanan pada suhu dingin (10-12°C) dalam kantung plastik berlubang seluas 0.5% dan 1% dapat memperpanjang masa simpan salak pondoh masing-masing menjadi 33 hari dan 27 hari. Metabolisme jaringan yang hidup merupakan fungsi dari suhu di sekelilingnya (Dwidjoseputro 1992). Suhu yang lebih rendah sangat menghambat metabolisme, sehingga sangat efektif dalam mengurangi laju respirasi. Muchtadi (1992) mengemukakan penyimpanan pada suhu rendah diperlukan untuk komoditas sayuran yang mudah rusak, karena cara ini dapat mengurangi kegiatan respirasi dan metabolisme, mengurangi laju penuaan akibat adanya pematangan, pelunakan serta tekstur dan warna dapat mengurangi kerusakan karena aktivitas mikroba. Budiastra dan Purwadaria (1993) mengemukakan tujuan penyimpanan dengan suhu rendah adalah untuk memperpanjang masa kesegaran sayuran dan buah-buahan guna menjaga kesinambungan pasokan, menciptakan stabilitas harga dan mempertahankan mutu. Dalam melaksanakan penyimpanan pada suhu dingin perlu dilakukan pada suhu yang tepat karena ada kemungkinan terjadinya kerusakan kommoditi akibat suhu dingin (chilling injury).