17
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Kredit dan Usaha Kecil
2.1.1. Pengertian dan Peranan Kredit Di beberapa literatur disebutkan istilah kredit berasal dari bahasa Latin credo atau credere, yang berarti kepercayaan atau trust. Kredit mengandung pengertian adanya suatu kepercayaan dari pihak pemberi pinjaman kepada penerima pinjaman, bahwa di masa datang akan mampu memenuhi segala kewajiban yang telah diperjanjikan (Rivai dan Veithzal, 2007). Beberapa pengertian tentang kredit secara luas, antara lain: 1. Kredit adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu pembelian atau mengadakan suatu pinjaman dengan suatu janji pembayarannya akan dilakukan pada suatu jangka waktu yang disepakati (Kohler, 1964). 2. Kredit adalah pertukaran sesuatu yang berharga dengan barang lainnya baik itu berupa uang, barang maupun jasa dengan keyakinan bahwa yang bersangkutan akan bersedia dan mampu untuk membayar dengan harga yang sama dimasa yang akan datang (Firdaus, 2004). 3. Kredit adalah kemampuan pinjaman dan merupakan sebagian dari sumber penting bagi likuiditas, serta merupakan suatu asset yang dapat dikelola bagi usaha produksi suatu perusahaan (Baker, 1968 dalam Kuntjoro,1983). 4. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga (Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan).
18 Fungsi kredit pada dasarnya ialah pemenuhan jasa untuk melayani kebutuhan masyarakat dalam rangka mendorong dan melancarkan produksi, perdagangan dan konsumsi, sehingga pada akhirnya akan menaikkan pendapatan masyarakat (Firdaus, 2004). Fungsi-fungsi kredit secara spesifik meliputi: (1) mendorong tukar menukar barang dan jasa, (2) mengaktifkan alat pembayaran yang idle, (3) menciptakan alat pembayaran baru, (4) sebagai alat pengendalian harga, dan (5) meningkatkan kegunaan (utility) potensi-potensi ekonomi yang ada. Adapun jenis-jenis kredit menurut tujuan penggunannya terdiri dari: 1. Kredit Konsumtif yaitu kredit untuk membiayai pembelian barang dan jasa yang dapat memberikan kepuasan langsung terhadap kebutuhan individu. 2. Kredit Produktif yaitu kredit untuk tujuan-tujuan produktif dalam arti dapat meningkatkan kegunaan (utility). Kredit produktif ini terdiri: a. Kredit Investasi : untuk membiayai pembelian barang modal tetap, umumnya berjangka waktu menengah dan panjang. b. Kredit Modal Kerja: untuk membiayai modal lancar bagi proses produksi, umumnya berjangka waktu pendek atau menengah. Fasilitas yang bisa diberikan untuk kredit ini adalah revolving, yaitu dapat diperpanjang setiap periodenya tanpa permohonan kredit baru, dan einmaleg yaitu, harus mengajukan permohonan baru bila menghendaki kredit ini pada periode selanjutnya (Triandaru dan Budisantoso, 2007). 3. Kredit Likuiditas : tidak secara langsung mempunyai tujuan konsumtif dan produktif, tetapi bertujuan untuk membantu perusahaan yang sedang dalam kesulitan likuiditas dalam rangka menjaga kebutuhan minimalnya. Tujuan kredit ini untuk membiayai motif berjaga-jaga (precautionary motive).
19 Tipe atau jenis kredit lainnya menurut jangka waktu terdiri dari, (1) kredit jangka pendek (short-term credit), adalah kredit dengan jangka waktu sampai dengan satu tahun, (2) kredit jangka menengah (intermediate credit), umumnya adalah kredit dengan jangka waktu satu hingga lima tahun, dan (3) kredit jangka panjang (long term credit), merupakan kredit dengan jangka waktu lebih dari lima tahun (Kamerschen, 1984). Kredit dalam perekonomian memegang peranan penting bagi pertumbuhan ekonomi. Kredit konsumtif awalnya bersifat konsumtif, namun melalui efek multiplier dengan keterkaitan ke depan secara tidak langsung akan bersifat produktif yaitu meningkatkan produksi barang dan jasa yang dibeli konsumen. Sedangkan kredit produktif mendorong pertumbuhan ekonomi, karena kredit ini ditujukan untuk pendirian, modernisasi, rehabilitasi dan ekspansi usaha. Unsur kepercayaan dan jaminan bahwa kredit yang diberikan akan kembali merupakan unsur yang mutlak. Pada lembaga pemberi kredit formal, unsur kepercayaan dinyatakan dalam persyaratan yang diminta dalam menyalurkan kredit kepada nasabah. Persyaratan pemberian kredit secara umum dinyatakan dalam Prinsip 6 C (Rose,1999) untuk mengetahui kelayakan calon peminjam untuk mendapatkan kredit (creditworthiness), dengan rincian sebagai berikut: 1. Character menunjukkan karakter calon peminjam, apakah mempunyai tanggung jawab, kejujuran, kesungguhan dalam mencapai tujuan, dan kesungguhan untuk mengembalikan kredit yang diterima. 2. Capacity menunjukkan persyaratan yang wajib dimiliki oleh kegiatan usaha calon peminjam yang akan diberi kredit. Dilakukan dengan melihat data
20 historis usaha, legalitas, kepemilikan usaha, sifat kegiatan usaha dan produk, konsumen dan pemasok. 3. Cash menunjukkan kemampuan calon peminjam untuk menghasilkan uang tunai dari hasil usahanya. Aspek yang dilihat adalah laporan dan proyeksi arus tunai usaha, ketersediaan aktiva yang likuid, perputaran usaha, dan kualitas manajemen usaha. 4. Collateral menunjukkan bagian modal calon peminjam yang wajib dijadikan sebagai agunan. Agunan dilihat dari aspek kepemilikan, kerentanan terhadap keusangan,
tingkat
kegunaan,
hak
gadai,
tingkat
penguasaan
atau
pengambilalihan. 5. Conditions merupakan persyaratan kelayakan usaha dilihat dari posisi industri atau usaha, prakiraan pangsa pasar, kinerja usaha sejenis, permintaan pasar, serta regulasi, lingkungan usaha dan kondisi politik yang mungkin berpengaruh terhadap peminjam, usaha atau industri tersebut. 6. Control faktor terakhir ini untuk melihat kemampuan dalam hal pengawasan terhadap calon peminjam, sehingga tidak menimbulkan kejadian yang mempunyai efek merugikan. Bila hal ini tidak diperhatikan, bisa menyebabkan terjadinya persengketaan perdata. Faktor pengawasan ini pula dapat menghindarkan dari kemungkinan terjadinya salah pilih. Aspek penting yang diperhatikan adalah bukti dokumen administrasi dan legal. Apabila persyaratan tersebut dianggap telah terpenuhi oleh calon peminjam, maka usaha dan colan peminjam tersebut dianggap bankable, artinya kredit yang akan dibiayai telah memenuhi kriteria safety, yaitu dapat diyakini kepastian pembayaran kembali kredit sesuai jadwal dan jangka waktu kredit, dan
21 kriteria effectiveness, yaitu kredit yang diberikan benar-benar digunakan untuk pembiayaan sebagaimana dicantumkan dalam rencana pengajuan kreditnya (Hasibuan, 2008). Seberapa besar intensitas, penekanan dan kelengkapan persyaratan tersebut, akan bervariasi antar lembaga dan jenis skim kredit yang diberikan. Bagi kredit-kredit program, beberapa persyaratan tertentu bahkan dihilangkan. Contohnya persyaratan Collateral atau agunan untuk kredit usaha kecil yang bisa dalam bentuk lebih ringan.
2.1.2. Kredit Mikro dan Lembaga Keuangan Mikro Istilah kredit mikro (microcredit) erat kaitannya dengan kredit bagi usaha skala mikro dan kecil. Kredit mikro ini merupakan kredit dengan plafon pinjaman kurang dari Rp.50 juta dan terdiri dari kredit modal kerja, kredit investasi dan kredit konsumsi (Bank Indonesia, 2006). Kredit mikro menjadi populer karena “metode kontroversial” dikembangkan di negara-negara miskin dan juga di negara kaya, karena bank komersial sulit untuk memenuhi permintaan kredit dari rakyat miskin yang tidak memiliki agunan fisik (physical collateral) tetapi layak mendapat kredit (creditworthy) (Hollis dan Sweetman, 1998). Konsep kredit mikro merupakan inovasi dari Grameen bank, yaitu pinjaman dalam jumlah minimal tanpa agunan kepada rakyat miskin untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan pendapatan keluarga. Sejak dikembangkan tahun 1976 sistem penyaluran kredit ini telah membuat Grameen bank menjadi lembaga penyalur kredit mikro terbesar di Bangladesh. Di tahun 1980-an skim kredit mikro yang diperuntukan bagi kelompok perempuan miskin ini telah berkembang dan populer di seluruh dunia (Rahman, 1999).
22 Pengalaman dari Grameen bank memperlihatkan bahwa pinjaman bagi orang miskin dapat menciptakan wirausaha dan memberi pendapatan. Kemampuan wirausaha itu ternyata universal, hampir setiap orang punya bakat mengenali peluang disekitarnya. Realitas di perdesaan menunjukkan rumahtangga merupakan unit produksi dan wirausaha sebagai cara bagi orang untuk mencari nafkah. Dari pengamatan langsung terhadap perilaku orang yang dipinjami uang, segera diketahui bahwa meminjamkan uang kepada perempuan jauh memberikan manfaat bagi seluruh keluarga. Dengan begitu, meminjamkan kepada perempuan menciptakan efek air terjun (cascading effect) yang bermanfaat bagi seluruh keluarga dan akhirnya kepada seluruh komunitas (Yunus dan Weber, 2008). Penambahan modal dari luar juga akan memberikan pertumbuhan yang tinggi kepada kelompok yang menerima pinjaman dengan adanya snowball effect, sehingga dalam jangka panjang mampu memberi harapan
pada masyarakat
berpenghasilan rendah (Raynor, 2003). Ada tiga karakteristik kredit mikro ini sehingga dapat berkembang dan terus berkelanjutan hingga saat ini, yaitu: (1) ditujukan bagi rakyat miskin dalam rangka meningkatkan aktivitas usaha mikro (produksi dan konsumsi), (2) fokus pada kelompok perempuan yang merupakan kontributor utama dalam keluarga, dan (3) memakai tehnik penyaluran kelompok dan pertemuan kelompok, yang potensial membangun modal sosial ( Anderson et al., 2002 ). Lembaga Keuangan Mikro (microfinance institutionals atau MFIs) adalah institusi yang menyediakan jasa-jasa keuangan kepada penduduk yang berpendapatan rendah dan termasuk dalam kelompok miskin. Lembaga keuangan
23 mikro (LKM) ini bersifat spesifik karena mempertemukan permintaan dana penduduk miskin atas ketersediaan dana. LKM dapat dibedakan tiga jenis, yakni : 1. LKM formal bank : terdiri dari BPR, BRI Unit, dan BKD 2. LKM formal non bank : antara lain Koperasi, LDKP, Pegadaian, dan BKK 3. LKM informal non bank : antara lain BMT, Kelompok Arisan, SimpanPinjam, Pelepas Uang, dll, termasuk lembaga-lembaga yang didirikan atas dasar program pemerintah di departemen teknis (Bintoro, 2003). Ada beberapa pengertian tentang keuangan mikro ( microfinance): 1.
Keuangan mikro merupakan aktifitas yang mengacu pada jasa keuangan skala kecil baik kredit atau simpanan yang ditujukan untuk masyarakat petani atau nelayan atau peternak yang melakukan usaha mikro atau kecil dan yang menghasilkan suatu produk, mendaur-ulang produk, memperbaiki produk; atau berdagang; jasa-jasa; berkerja untuk mendapat upah atau komisi; menyewakan tanah, hewan beban, kendaraan, atau peralatan dan mesin; dan yang dilakukan oleh individu atau kelompok di negara-negara berkembang, baik di perdesaan maupun perkotaan (Robinson, 2001).
2.
Keuangan mikro didefinisikan sebagai penyediaan sejumlah jasa keuangan seperti: simpanan, kredit, jasa pembayaran, transfer uang dan asuransi untuk rumahtangga miskin atau berpenghasilan rendah dan usaha mikro (Asian Development Bank, 2010).
3.
Keuangan mikro secara luas didefinisikan sebagai penyedia jasa keuangan bagi pengusaha mikro dan kecil, serta berfungsi sebagai alat pembangunan bagi masyarakat perdesaan yang mencakup aspek intermediasi finansial dan intermediasi sosial (Ledgerwood, 1999).
24 Pengertian tentang keuangan mikro (microfinance) menurut definisi Robinson (2001), lebih menggambarkan perkembangan dari lembaga keuangan mikro di Indonesia, yang terdiri dari lembaga formal baik bank (BRI Unit dan BPR) maupun non bank (Koperasi, Pegadaian, BKK) dan lembaga informal (BMT, Kelompok Simpan Pinjam, Kelompok Arisan, dll) yang tersebar luas di wilayah perdesaan dan perkotaan di Indonesia dan melayani hampir semua sektor ekonomi, baik pertanian maupun non pertanian. Ada beberapa karakteristik dari lembaga keuangan mikro, yang sebenarnya juga menggambarkan suatu fenomena yang kompleks berdimensi ekonomi dan sosio-kultural, seperti dikatakan Arsyad (2008), yang meliputi: (1) merupakan sebuah kesatuan dari tata-kelola yang dinamis, inovatif, dan lentur (adaptif) yang dibuat sesuai kondisi lingkungan sosial dan ekonomi lokal, kelenturan ini dicapai karena jumlah aturan yang tidak terlalu banyak, ukurannya kecil, beroperasi di wilayah yang relatif terbatas (market niche) sehingga mengenal peminjam secara pribadi, (2) jenis transaksi kecil dan jangka pendek yang didasarkan pada hubungan pribadi atau pengetahuan tentang peminjam secara pribadi, dan (3) biaya transaksi yang relatif rendah karena memiliki: informasi yang cukup tentang peminjam, biaya administrasi yang relatif rendah, tingkat bunga yang fleksibel, dan tidak memiliki kewajiban pencadangan modal (reserve requirement). Menurut Otero (1999) microfinance dapat menjadi strategi pembangunan yang berhasil apabila mampu menjaga: hubungan dengan nasabahnya, kepercayaan pada kelembagaannya, dan kaitan dengan sistem keuangan negaranya. Selain itu microfinance juga perlu untuk tetap menjaga keseimbangan antara aspek jangkauan pelayanan (depth of outreach) kepada
25 masyarakat bawah dan kepentingan komersialisasi yang semata-mata hanya demi menjaga aspek keberlanjutan (sustainability) lembaga (Olivares-Polanco, 2005).
2.1.3. Klasifikasi Kredit Mikro dan Kecil Kredit mikro dan kredit kecil, yang digunakan oleh Bank Indonesia berdasarkan kesepakatan bersama Menko Kesra Tahun 2002 (SK, No.11/KEP /MENKO/KESRA/IV/2002 dan No.4/2/KEP.GBI/2002 tanggal 22 April 2002) yang memberikan batasan kredit mikro dan kredit kecil sebagai berikut: 1. Kredit Mikro adalah kredit yang diberikan kepada nasabah usaha mikro, baik langsung maupun tidak langsung, yang dimiliki dan dijalankan oleh penduduk miskin dengan kriteria penduduk miskin menurut Badan Pusat Statistik, dengan plafon kredit maksimal Rp 50 juta. 2. Kredit Kecil adalah kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil yang memiliki kekayaan bersih maksimal Rp 200 juta di luar tanah dan bangunan tempat usaha atau yang memiliki hasil penjualan maksimal Rp 1 miliar per tahun, dengan plafon kredit maksimum sebesar Rp 500 juta. Berdasarkan batasan kredit mikro dan kredit kecil ini, terlihat ada kaitan yang erat mengelompokkan usaha mikro dan kecil dengan penentuan kriteria kredit mikro dan kecil, yang ditetapkan oleh pemerintah selaku regulator dan Bank Indonesia selaku otoritas moneter dalam menggerakkan sektor riil.
2.1.4. Pengertian dan Klasifikasi Usaha Kecil Usaha kecil didefinisikan sebagai usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh perorangan atau badan usaha, dan tidak terkait dengan secara kepemilikan dengan usaha menengah atau usaha besar (UU No.20 Th 2008
26 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah). Dalam analisis teori mikroekonomi, usaha kecil sebagai suatu badan yang melakukan kegiatan usaha melalui proses produksi dengan mengubah masukan (input) yang disebut juga faktor produksi termasuk segala sesuatu yang harus digunakannya, menjadi keluaran yang sering disebut produk (output) (Pindyck dan Rubinfeld, 2001). Sebagai contoh sebuah usaha makanan olahan menggunakan masukan yang mencakup tenaga kerja, bahan baku (tepung, gula, bumbu-bumbu lainnya), dan modal yang digunakan (pemanggang, mixer, peralatan lainnya) untuk memproduksi keluaran, berupa keripik, getuk, kerupuk, dan makanan kecil lainnya. Ada beberapa fungsi pengelolaan usaha yang saling terkait, meliputi kegiatan pada: (1) proses produksi, (2) tenaga kerja, (3) pengadaan bahan baku, (4) pemasaran produk, (5) finansial, dan (6) koordinasi dan kepemimpinan (Krause, 1969). Pada usaha kecil, peran kewirausahaan dan fungsi pengelolaan usaha ini seringkali dilakukan oleh satu individu sekaligus sebagai pemilik usaha, karena itu perlu pemahaman terhadap jenis-jenis usaha. Batasan dan kriteria umum tentang usaha kecil biasanya digunakan untuk mengelompokan usaha untuk tujuan pembangunan sesuai dengan program pemerintah untuk menggerakkan sektor riil. Batasan dan kriteria dari pemerintah ini belum tentu sesuai dengan kebutuhan, namun masih dapat digunakan sebagai salah satu pedoman dalam menyiapkan produk dan jasa layanan lembaga pemberi kredit kepada masing-masing kelompok usaha tersebut (Nuridin, 2007). Berkaitan dengan pemberlakukan UU No.20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, maka batasan usaha di definisikan sebagai berikut:
27 1. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagai mana diatur dalam Undang-Undang. Yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50 juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300 juta. 2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian, baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar. Yang memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50 juta sampai dengan paling banyak Rp 500 juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300 juta sampai dengan paling banyak Rp 2.5 miliar. Berdasarkan
pendekatan
umum
yang
banyak
digunakan
secara
internasional, pengertian tentang usaha mikro dan kecil adalah sebagai berikut (Nuridin, 2007) : 1. Usaha Mikro umumnya adalah usaha informal dan tidak memiliki status legal yang formal, dilakukan oleh orang dari kelompok miskin, khusunya wanita, tidak memiliki perencanaan usaha yang formal, tidak ada atau minim entrybarrier, lini usahanya tetap, pertumbuhan tidak cepat, catatan keuangan jarang dilakukan, bahkan biasanya dilakukan oleh orang yang buta huruf. 2. Usaha Kecil umumnya terdaftar dan dijalankan oleh keluarga atau kelompok, pemilik dan pengelola dilakukan oleh orang yang sama, biasanya belum
28 memiliki catatan keuangan dan catatan usaha yang akurat, dan belum memiliki auditor, dalam beberapa hal telah memiliki legalitas hukum. Sedangkan batasan dan kriteria usaha kecil dari aspek penggunaan tenaga kerja, dapat dibedakan berdasarkan kriteria (Tambunan, 2009) dari: 1. Bank Dunia: usaha mikro adalah usaha yang mempekerjakan tenaga kerja kurang dari 10 orang, usaha kecil adalah usaha yang memperkerjakan tenaga kerja antara 10 sampai dengan 49 orang. 2. Badan Pusat Statistik: usaha mikro adalah usaha dengan jumlah tenaga kerja kurang dari 5 orang, sedangkan usaha kecil adalah usaha dengan jumlah tenaga kerja antara 5 sampai dengan 19 orang. Sementara itu yang termasuk usaha menengah adalah bila memiliki jumlah tenaga kerja antara 20 sampai dengan 99 orang. Dari kriteria tersebut, penggunaan tenaga kerja tetap dalam jenis usaha tidak sama jumlahnya, di Indonesia usaha kecil adalah usaha dengan jumlah tenaga kerja kurang dari 20 orang, sedangkan di China kurang dari 300 orang masih dianggap usaha kecil. Namun demikian sebagai indikator kinerja usaha umumnya digunakan penggunaan kriteria hasil penjualan (omset usaha).
2.2.
Pertumbuhan Ekonomi Dalam kaitannya dengan perekonomian Jawa Tengah, pertumbuhan
ekonomi adalah merupakan kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang merupakan pula kenaikan nilai riil output agregat. Berdasarkan pendekatan produksi komponen output agregat ini mencakup 9 (sembilan) sektor, yaitu: pertanian, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, listrik gas dan air, konstruksi, angkutan dan telekomunikasi, hotel dan restoran, keuangan dan
29 persewaan, dan jasa-jasa. Sedangkan menurut pendekatan pengeluaran, output agregat mencakup konsumsi, investasi, belanja pemerintah, dan net ekspor.
2.2.1. Pengertian Pertumbuhan Ekonomi Tujuan dari pengamatan terhadap angka pertumbuhan ekonomi antara lain untuk mengukur kinerja ekonomi suatu wilayah dan memperkirakan dampaknya terhadap kesempatan kerja, tingkat inflasi, dan lainnya. Laju pertumbuhan ekonomi dihitung dari perubahan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu tahun dengan 1 tahun atau beberapa tahun sebelumnya (Yusianto, 2001). Definisi PDB adalah nilai seluruh barang akhir dan jasa yang diproduksi di suatu negara dalam periode waktu tertentu, yang meringkas aktivitas ekonomi dalam nilai uang tunggal selama periode waktu tertentu (Mankiw, 2003). Perhitungan PDB dilakukan dengan menghitung nilai PDB riil berdasarkan nilai tahun dasar tertentu. Secara sederhana apabila diketahui ada PDBt (PDB tahun t) dan PDBt-1 (PDB tahun t-1), maka laju pertumbuhan ekonominya (PDB riil) adalah:
PDBt − PDBt −1 PDBt −1
x 100 persen
Secara konseptual ada tiga pendekatan dalam menentukan PDB, yaitu: 1.
Pendekatan produksi (production approach) : atau pendekatan nilai tambah dimana PDB adalah jumlah nilai seluruh barang akhir dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara dalam satu periode. Misalnya PDB merupakan nilai tambah pertanian + industri + jasa.
2.
Pendekatan penerimaan (income approach) : PDB adalah jumlah pendapatan yang diperoleh produsen yang tinggal di suatu Negara. Contoh perhitungannya: (upah, dll) + sewa + laba + tingkat bunga + (pajak–subsidi).
30 3.
Pendekatan pengeluaran ( expenditure approach ) : menurut pendekatan ini PDB adalah jumlah pengeluaran oleh negara seperti: pengeluaran konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, serta ekspor neto (ekspor – impor).
Perhitungan PDB di Indonesia oleh Badan Pusat Statistik (BPS) hanya dikenal dua pendekatan yaitu: 1.
Pendekatan Produksi atau nilai tambah: PDB ini terdiri dari 9 lapangan usaha yaitu: pertanian; pertambangan dan penggalian; industri pengolahan; listrik, gas dan air bersih; bangunan; perdagangan, hotel dan restoran; pengangkutan dan komunikasi; keuangan, jasa perusahaan; dan jasa-jasa.
2.
Pendekatan
pengeluaran:
BPS
mengistilahkan
“penggunaan”
yaitu:
pengeluaran konsumsi rumahtangga; pengeluaran konsumsi pemerintah; Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTDB); perubahan stok; ekspor; dan impor. Menurut pendekatan ini
komponen investasi pada
dasarnya merupakan dari PMTDB dan perubahan stok. Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi dipengaruhi antara lain oleh investasi swasta (private investment), konsumsi swasta (private consumption), pengeluaran
pemerintah
(government
expenditure).
Sedangkan
dari
sisi
penawaran, terdapat empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, yaitu: jumlah penduduk, jumlah stok barang modal, luas tanah dan kekayaan alam, dan tingkat teknologi yang digunakan (Sukirno, 2004). Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan apabila tingkat kegiatan ekonomi di suatu wilayah atau negara lebih tinggi dari apa yang dicapai pada periode sebelumnya. Menurut Boediono (1996) pertumbuhan ekonomi adalah merupakan proses kenaikan produksi (output) per kapita dalam jangka panjang.
31 2.2.2. Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Dari aspek ekonomi pengertian wilayah adalah ekonomi ruang suatu daerah administratif yang berada di bawah administrasi pemerintahan tertentu seperti propinsi, dan kabupaten. Jadi wilayah disini didasarkan pada pembagian administratif suatu negara. Pengertian ini paling banyak digunakan dalam perencanaan pembangunan ekonomi wilayah karena daerah yang batasannya ditentukan secara wilayah administratif lebih mudah dianalisis. Salah satu keunggulan dari wilayah atas dasar administarsi pemerintahan adalah dapat ditetapkannya batas wilayah secara jelas (Arsyad, 1999; Tarigan, 2003). Pertumbuhan ekonomi wilayah pada dasarnya terkait dengan proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam suatu perekonomian. Pertumbuhan ini menyangkut perkembangan ekonomi berdimensi tunggal dan diukur dengan meningkatnya hasil produksi (output) dan pendapatan. Perekonomian mengalami pertumbuhan jika jumlah barang barang dan jasa yang dihasilkan perekonomian tersebut bertambah besar pada tahun-tahun berikutnya (Setiawan, 2006). Konsep yang paling sering digunakan untuk menggambarkan pendapatan wilayah di suatu daerah adminitrasi (kabupaten atau provinsi) adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yaitu nilai tambah bruto atau gross value
added (output dikurangi intermediate cost) dari seluruh sektor perekonomian yang ada di suatu daerah adimintasi tersebut. Dengan menghitung nilai tambah bruto dari masing-masing sektor dan kemudian menjumlahkannya, maka akan menghasilkan perhitungan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Adapun perhitungan nilai PDRB adalah merupakan nilai PDRB riil yang dihitung berdasarkan nilai dasar tahun tertentu.
32 Secara sederhana apabila diketahui ada PDRBt dan PDRBt-1, maka laju pertumbuhan ekonomi daerah (PDRB riil) adalah:
PDRBt − PDRBt −1 PDRBt −1
x
100 persen
Perhitungan pendapatan daerah per kapita dapat diperoleh dengan cara membagi pendapatan daerah dengan jumlah penduduk daerah pada tahun yang sama.
2.3.
Studi Pustaka Terdahulu Dari
hanya kegiatan kecil nonprofit pada periode tahun 1970-an dan
1980-an, keuangan mikro telah berkembang menjadi kekuatan global dengan peningkatan kegiatan operasional di berbagai sektor keuangan. Lembaga keuangan mikro ini telah berusaha memberikan jasa keuangan kepada kelompok masyarakat miskin dan usaha mikro dalam jumlah sangat besar, yang termasuk dalam pasar jasa keuangan kelompok terbawah dalam piramida masyarakat (the
bottom of the pyramid) (Rhyne, 2009). Indonesia memiliki reputasi yang baik sebagai negara yang telah mengembangkan berbagai jasa keuangan mikro, dengan berbagai bentuk kredit atau pinjaman. Selain itu juga dikenal sebagai
laboratorium pasar keuangan mikro terbesar, yaitu tempat dimana berbgai lembaga keuangan rakyat telah melalui uji coba, dengan menghasilkan pemahaman bahwa lembaga-lembaga tersebut tumbuh dan berkembang mengikuti kebutuhan masyarakat setempat (Chaves dan Gonzales-Vega, 1996). Beberapa penelitian yang membahas tentang kredit mikro dan kecil diantaranya adalah: Penelitian tentang permintaaan kredit pada industri kecil oleh Rachmina (1994), menganalisis permintaan kredit dan mempelajari hubungan pemberian kredit dengan pembentukan modal pada industri kecil di Jawa Barat dan Jawa
33 Timur, menunjukkan bahwa tingkat bunga kredit, omzet usaha, dan jenis bank berpengaruh nyata terhadap permintaan kredit. Masing-masing dengan elastisitas tingkat bunga dan omset usaha terhadap permintaan kredit sebesar -2.2250 dan 0.4307, serta elastisitas variabel dummy jenis bank yang positif, dimana permintaan kredit pada industri kecil nasabah bank pemerintah lebih besar dibandingkan industri kecil nasabah bank swasta. Kredit juga mampu mendorong pembentukan modal usaha (modal sendiri), aset perusahaan, dan aset keluarga. Sedangkan
penelitian
Kusnadi
(1990),
tentang
penyediaan
dan
penggunaan kredit pada usahatani dampak “model farm” menunjukkan hasil bahwa disamping digunakan untuk usahatani, kredit usahatani yang diperoleh juga digunakan untuk kegiatan usaha di luar usahatani dan keperluan konsumtif. Sedangkan kredit yang disalurkan ke sektor non pertanian, penggunaannya relatif lebih mengenai sasaran yaitu untuk membiayai kegiatan usaha dagang. Dari sisi besar pinjaman, ada indikasi bahwa rendahnya efektifitas penggunaan kredit oleh nasabah disebabkan jumlah kredit yang dipinjam belum disesuaikan dengan besar modal kerja usahatani yang dibutuhkan, sebaliknya pemberian kredit yang terlalu kecil menjadi kurang menarik digunakan sebagai tambahan modal kerja sehingga banyak penggunaan kredit untuk digunakan tujuan konsumtif. Penyediaan kredit juga mampu menambah pembentukan modal kerja usahatani. Penelitian di wilayah Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah dan kabupaten Boalemo Gorontalo menunjukkan bahwa pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir melalui perbankan mikro akan lebih efektif bila implementasinya menerapkan efisiensi biaya, pelayanan nasabah, dan fokus pada target pasar tertentu, sehingga pendapatan riil masyarakat pesisir dapat meningkat. Agar
34 pelaksanaan micro banking berjalan efektif, disarankan tingkat bunga untuk skim kredit kelompok nelayan maksimum 15 persen per tahun, serta adanya dukungan iklim bisnis dari pemerintah yang mengedepankan komitmen dan keberpihakan kepada kelompok nelayan tanpa mengesampingkan aspek prudential. Selain itu diperlukan pendekatan mitra bisnis dan program pendampingan kepada kelompok nelayan agar pelaksanaan micro banking berjalan baik (Edy, 2004). Penelitian tentang marine banking atau sistem perbankan yang spesifik bagi masyarakat nelayan di wilayah pesisir (Ritonga, 2004), menunjukkan adanya manfaat bagi kesejahteraan nelayan. Hal ini dikarenakan: (1) akan merubah pola hidup konsumtif menjadi pola hidup menabung, (2) meningkatkan kemampuan modal nelayan, dan (3) memperbesar peran Tempat Pelelangan Ikan (TPI) sebagai pasar tempat menjual hasil tangkapan nelayan. Selain itu didapatkan kesimpulan bahwa bank sebagai lembaga keuangan formal belum berperan dalam menunjang usaha nelayan, sementara lembaga keuangan informal seperti tengkulak dan rentenir sangat berperan dan populer bagi masyarakat nelayan dalam pembiayaan usaha mereka. Operasionalisasi lembaga keuangan yang melayani kelompok nelayan sebaiknya menganut sistem unit banking. Simanjuntak (1993), melakukan penelitian terhadap 173 BPR di wilayah Bogor, Tangerang, dan Bekasi mendapatkan hasil bahwa Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di wilayah tersebut telah melakukan aktivitasnya sebagai lembaga intermediasi di bidang keuangan dan di dalam pasar keuangan perdesaan. Namun demikian BPR ternyata masih beroperasi dalam skala usaha yang increasing
returns to scale, ini menunjukkan bahwa BPR masih kurang responsif terhadap bekerjanya mekanisme pasar lembaga keuangan di daerah perdesaan dan
35 pinggiran perkotaan. Salah satu penyebab kurang responsifnya BPR di dalam merespon bekerjanya sistem pasar diperkirakan karena derajat monetisasi di perdesaan masih rendah. Penelitian tentang kredit Karya Usaha Mandiri (KUM) yang merupakan replika Grameen Bank oleh Syukur (2002) di wilayah Bogor menunjukkan bahwa peserta skim kredit yang semuanya wanita dari rumahtangga miskin memperoleh dampak positif terhadap ekonomi dan kualitas hidup rumahtangganya. Hal ini karena penyaluran kredit KUM berdampak pada peningkatan pendapatan pendapatan, simpanan, modal, dan pengeluaran untuk pendidikan peserta skim kredit. Skim KUM telah membuka akses kredit dan pelayanan tabungan bagi rumahtangga miskin, sehingga berpotensi untuk meningkatkan pendapatan dan pemupukan modal. Akhirnya dapat mendorong pengembangan pembiayaan mikro yang berkelanjutan bagi rumahtangga miskin di perdesaan. Selain itu perlu dukungan pemerintah dalam bentuk alokasi dana lumpsum transfer kepada skim kredit KUM dengan pengawasan, agar terbentuk lembaga intermediasi kredit yang transparan, bertanggung jawab dan memiliki akuntabilitas yang tinggi. Penelitian microfinance yang komprehensif dilakukan Robinson (2004) di Indonesia, mengamati evolusi kredit mikro di BRI-Unit periode tahun 1970–1996. Ada dua tahap perkembangan kredit mikro, yaitu: 1. Periode tahun 1970–1984: merupakan periode kredit mikro bersubsidi untuk tingkat suku bungan pinjaman yang dananya berasal dari bank sentral, yang dalam kegiatannya menggunakan pendekatan supply-leading terhadap kredit perdesaan berskala besar dengan lebih 350 program kredit bersubsidi dari pemerintah untuk padi, tanaman pangan, ternak, ikan, unggas dan sejenisnya.
36 Hasil dari pendekatan ini adalah pinjaman sering hanya menjangkau kaum elit perdesaan, munculnya masalah dalam pengembalian pinjaman, dan adanya kerugian yang terus bertambah tinggi bagi BRI dan pemerintah. Pada periode ini BRI-Unit bertindak sebagai channeling agent. 2. Periode tahun 1984–1996: merupakan periode yang mengarah pada pasar dengan kredit mikro komersial dan tingkat suku bunga yang ditetapkan sendiri oleh BRI-Unit. Kegiatan yang dilakukan adalah memperkenalkan Kupedes pada tahun 1984 dan disertai mobilisasi simpanan secara aktif, hasilnya adalah jumlah dan nilai pinjaman meningkat tajam, tunggakan pinjaman berkurang dan keuntungan mulai dihimpun sejak tahun 1986, serta semua pinjaman ke masyarakat didanai dari simpanan yang dihimpun secara lokal. Pada periode ini BRI-Unit bertindak sebagai executing agent. Namun demikian masih ada kelemahannya, karena BRI-Unit mulai beralih dari sistem unit banking menjadi sistem branch banking, kemudian kelompok masyarakat yang belum bankable kesulitan untuk memperoleh pinjaman akibat berkurangnya atau tidak adanya lagi kredit bersubsidi atau skim kredit mikro tanpa agunan. Menurut Llanto (2007), untuk mengatasi kompleksitas dan risiko dalam penyaluran kredit, pihak bank harus melakukan inovasi dari sisi disain skim kredit, teknologi penyaluran kredit, dan manajemen risiko. Sedangkan menurut Ashari (2009b), untuk mendorong pembiayaan di perdesaan adalah dengan meningkatkan akses petani terhadap lembaga keuangan formal, salah satunya dengan program sertifikasi tanah agar mudah dijadikan syarat pinjaman ke bank.