II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Kemiri Tanaman kemiri (Aleurites moluccana, Willd) termasuk ke dalam divisio Spermatophyta,
sub
divisio
Angiospermae,
kelas
Dicotyledoneae,
ordo
Euphorbiales, famili Euphorbiaceae, genus Aleurites. Beberapa nama lain untuk tanaman dan buah kemiri adalah buah besar (Malaysia), muncang (Sunda), dama (Minangkabau), kembiri (Batak karo), komere (Madura), derekan (Bali), feno (Timor), dan keminting (Dayak) (Purseglove, 1981). Di dalam perdagangan internasional kemiri dikenal dengan nama candle nut. Kemiri adalah jenis pohon asli di Malaysia tetapi sekarang sudah tersebar luas di daerah-daerah tropik, baik ditanam maupun secara alami (Burkill, 1935). Tanaman kemiri sejak lama telah dikembangkan dalam pelaksanaan program hutan kemasyarakatan dan hutan rakyat, hal ini didasarkan bahwa jenis tersebut dapat merehabilitasi lahan kritis karena dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah disamping itu mempunyai banyak manfaat untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat (Upe et al. 1999). Di Indonesia tanaman kemiri tersebar hampir di seluruh Nusantara, akan tetapi pada tahun 2003 terdapat lima propinsi sebagai penghasil terbesar kemiri, yaitu Sulawesi Selatan 28.236 ton, Nangroe Aceh Darussalam 16.268 ton, Sumatera Utara 15.555 ton, Nusa Tenggara Timur 14.785 ton dan Sumatera Barat 4.293 ton (Departemen Pertanian dalam Darmawan, 2004). Buah kemiri berkulit tebal, bentuknya bulat dengan diameter sekitar 5 cm. Di dalam buah terdapat satu atau dua biji. Biji kemiri terdiri dari kulit biji (tempurung) dan daging biji (karnel) dengan perbandingan 3 : 7 (Heyne, 1987). Ketebalan tempurung kemiri berkisar antara 3-5 mm, sifatnya keras dan memiliki nilai kalor sebesar 4164 kal/g, sehingga dapat digunakan sebagai bahan bakar dalam pengeringan biji kemiri (Setiawan dan Yang, 1992). Disamping itu, tempurung kemiri juga dapat diolah untuk menghasilkan arang.
2.2 Tanaman Melina Gmelina arborea Roxb tergolong dalam famili Verbenaceae (Lauridsen, 1986). Di Indonesia jenis ini dikenal dengan nama melina. Nama lain jenis ini
6 adalah gamari, gumadi (India), gamar (Bangladesh), dan yamane (Burma). Melina tergolong jenis pohon yang cepat tumbuh, dan menurut sejarah penyebaran jenis ini berasal dari India dan sekitarnya. G. arborea tumbuh secara alami dengan daerah penyebaran mulai dari Pakistan di sebelah barat, India, ke selatan sampai Srilangka dan ke timur sampai Bangladesh dan Burma. Jenis ini ditanam secara luas di Asia Tenggara, Afrika dan Brazil (Soerianegara dan Lemmens, 1993). Melina dapat tumbuh pada beberapa tipe hutan mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi (0 – 1000 m dpl.), pertumbuhan yang baik pada ketinggian 0 – 800 m dpl. Rata-rata curah hujan yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi pertumbuhan yang optimal berkisar antara 1778 mm – 2286 mm per tahun dengan bulan kering maksimum 6 – 7 bulan /tahun dan terbaik 2 – 4 bulan/tahun. Ratarata suhu udara yang dikehendaki berkisar antara 21º C - 28º C (Alrasjid, 1991). Melina kurang sesuai pertumbuhannya pada tanah-tanah berpasir kering dan gambut yang dipengaruhi pasang surut (Asniaty, 1995). Selain itu, kurang subur pada tanah-tanah kedap dengan lapisan solum tanah yang dangkal oleh karena perakaran pohon ini cukup dalam. Melina tumbuh baik pada tanah bersarang dan berdrainase baik (tidak tergenang), dengan toleransi pH tanah masam sampai netral serta kondisi tanah yang cukup lembab. Melina sudah banyak ditanam secara luas sejak puluhan tahun yang lalu karena gampang tumbuh dan pertumbuhannya cepat (Kasmudjo, 1990). Pengadaan bibit melina dapat dilakukan melalui biji, stek dan stump (Lauridsen, 1986). Pada umumnya melina dikembangkan melalui biji karena jenis ini berbunga dan berbuah setiap tahun serta menghasilkan buah dan biji yang melimpah dan biji tersebut dapat disimpan dalam waktu yang cukup lama (Rachmawati et al. 2002). Benih melina yang disemaikan mulai berkecambah setelah 9-16 hari atau kadang-kadang lebih, dan benih yang berkualitas baik dapat tumbuh 80% (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999). Tanaman melina tergolong salah satu jenis cepat tumbuh (fast growing species). Pada tempat tumbuh optimum, tinggi pohon mencapai 30 m, dengan diameter lebih dari 60 cm; umumnya tingginya 20 m dengan tinggi bebas cabang 6 – 9 m (Kasmudjo, 1990). Produksi atau riap pohon melina bervariasi dari 8,4 m3/ha/tahun untuk tanaman yang berumur 12 tahun yang tumbuh pada tanah yang jelek dengan iklim kering
7 sampai 45,0 m3/ha/tahun pada pohon umur 8 – 10 tahun pada tanah yang subur (Alrasjid dan Widiarti, 1992; Martawijaya dan Barly, 1995). Selain cepat tumbuh, tanaman melina juga mudah bertunas dan memiliki toleransi yang luas terhadap faktor lingkungan, sehingga tanaman ini sangat cocok untuk merehabilitasi lahan kritis yang terbuka, ditumbuhi rumput/alang-alang atau semak ((Alrasjid dan Widiarti, 1992). Kayu melina berwarna pucat, bervariasi dari kuning jerami sampai putih krem, serat agak berpadu, tekstur kayu agak kasar, permukaan kayu agak kesat dan agak keras (Rulliaty, 2002). Lempang dan Ginoga (1997) melaporkan bahwa kayu melina umur 5 tahun memiliki berat jenis kering udara 0,53 dan tergolong dalam kelas kayu kuat IV-III. Kayu melina mudah digergaji, diserut, dibor dan dibubut dengan hasil licin dan mengkilap, serta dapat dipolitur dengan baik (Martawijaya dan Barly, 1995). Kayu melina dapat dibuat lembaran pulp dengan kualitas sedang (Kasmujo, 1990). Di beberapa negara kayu melina telah ditanam dengan daur 8 – 12 tahun dan kayunya digunakan untuk pembuatan pulp dan kertas serta kayu pertukangan (Alrasjid, 1991). Kayu melina dapat dikupas menjadi vinir untuk kayu lapis dan kotak serta batang korek api (Martawijaya dan Barly, 1995). Oleh karena kekuatannya yang tidak begitu tinggi (kelas kuat IV – III)), kayu ini hanya memungkinkan untuk konstruksi ringan atau dipakai sebagai bagian non-struktural seperti dinding, sekat ruangan dan bingkai jendela. Karena memiliki sifat pemesinan yang baik, yaitu mudah digergaji, diserut, dibor dan dibubut dengan hasil licin dan mengkilap, kayu melina tentu dapat dibuat moulding dengan hasil baik dan halus (Sumitro, 1989). Di Burma kayu melina banyak dipakai untuk papan, mebel, panel pintu, gerobak, dek kapal, mainan, boneka, kotak, sandal, meja, ukiran, alat musik, klotok (bel ternak), dan kelom, sedangkan di Assam kayu melina dipakai untuk peti teh dan korek api, selain itu dapat dipakai untuk membuat piring, baki, dan peti pembungkus (Martawijaya dan Barly, 1995). Di Malawi, Siera Leone dan Nigeria semula melina digunakan untuk kayu energi karena menghasilkan arang yang berkualitas baik, yakni kurang berasap, dengan nilai kalor 4.800 kcal/kg, sedangkan di Gambia pohon melina digunakan sebagai pohon madu, karena bunganya menghasilkan madu berkualitas baik (Alrasjid dan Widiarti, 1992).
8 2.3 Pertumbuhan dan Komponen Kimia Tanaman 2.3.1 Pertumbuhan tanaman Pertumbuhan berarti pertambahan ukuran. Karena organisme multisel tumbuh dari zigot, pertambahan itu bukan hanya dalam volume, tetapi juga dalam bobot, jumlah sel, banyaknya protoplasma dan tingkat kerumitan (Salisbury & Ross, 1992). Semua ciri pertumbuhan yang disebutkan tadi bisa diukur, tetapi ada dua macam pengukuran yang lazim digunakan yaitu mengukur pertambahan volume dan massa. Gardner et al. (1991) menyebutkan bahwa pertumbuhan merupakan akibat adanya interaksi antara berbagai faktor internal perangsang pertumbuhan (yaitu dalam kendali genetik) dan unsur-unsur iklim, tanah, dan biologis dari lingkungan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa letak pertumbuhan adalah dalam meristem ujung, lateral dan interkalar. Pertumbuhan ujung cenderung menghasilkan
pertambahan
panjang,
pertumbuhan
lateral
menghasilkan
pertambahan lebar, sedangkan pemanjangan batang dan daun terutama terjadi dalam meristem interkalar.
Pertambahan volume (ukuran) tanaman sering
ditentukan dengan cara mengukur pembesaran ke satu atau dua arah, seperti panjang (misalnya tinggi batang), atau luas (misalnya luas daun) (Salisbury & Ross, 1992). Pertambahan biomassa dapat diukur dengan cara memanen seluruh tumbuhan atau bagian yang diinginkan, dan menimbangnya cepat-cepat sebelum air terlalu banyak menguap dari bahan tersebut. Ini adalah biomassa segar yang nilainya agak beragam, bergantung pada keadaan air tumbuhan. Karena berbagai masalah yang timbul dari kandungan air yang beragam tersebut, maka lebih sering digunakan pertambahan biomassa kering tumbuhan atau bagian tumbuhan sebagai ukuran bagi pertumbuhannya. Biomassa kering lazim diperoleh dengan cara mengeringkan bahan tumbuhan yang baru saja dipanen selama 48 jam pada suhu 70 0C (Salisbury & Ross, 1995).
2.3.2 Komponen kimia tanaman Bagian tanaman (akar, batang, daun, kulit) tersusun dari sel-sel yang membentuk jaringan dan susunan jaringan membentuk bagian (organ) tanaman. Sel tanaman disusun oleh komponen makromolekul (selulosa, hemiselulosa dan lignin) dan komponen minor dengan berat molekul kecil (ekstraktif dan zat-zat
9 mineral) (Fengel dan Wegener, 1995). Total polisakarida (selulosa dan hemiselulosa) di dalam bagian sel dikenal sebagai holoselulosa. Senyawa ini menyusun sekitar setengah dari tanaman keras dan sekitar sepertiga dari tanaman setahun (Achmadi, 1990). Kadar holoselulosa pada tanaman bervariasi antara jenis dan antara bagian di dalam tanaman. Kayu misalnya mengandung holoselulosa yang besarnya antara 65 – 75 % (Fengel dan Wegener, 1995). Selulosa merupakan struktur dasar sel-sel tanaman, oleh karena itu merupakan bahan alam yang paling penting yang yang dibuat oleh organisme hidup. Kadar selulosa yang tinggi terdapat dalam rambut biji dan serabut kulit. Kadar selulosa pada kayu sekitar 40 – 50% (Fengel dan Wegener, 1995). Hemiselulosa merupakan karbohidrat amorf yang berasosiasi dengan selulosa dan lignin. Seperti halnya selulosa, hemiselulosa ialah sebagian bahan pendukung dinding sel. Kadar hemiselulosa dalam kayu kering berkisar 20 -30% (Fengel dan Wegener). Hemiselulosa kayu tersusun dari lima jenis gula : 3 heksosa (glukosa, manosa dan galaktosa), dan 2 pentosa (xilosa dan arabinosa) (Achmadi, 1990). Lignin merupakan komponen kimia dalam bagian tanaman yang selalu bergabung dengan selulosa dan bukan merupakan karbohidrat, melainkan didominasi oleh gugus aromatis berupa fenilpropana. Di dalam struktur jaringan kayu lignin terutama terdapat di dalam lamela tengah dan dinding sel primer (Fengel dan Wegener, 1995). Achmadi (1990) menyatakan bahwa dari viskositasnya yang rendah, diketahui bahwa molekul lignin bersifat kompak. Selanjutnya dikemukakan bahwa kayu terbakar karena polimer dinding sel mengalami reaksi hidrolisis, oksidasi, dehidrasi, dan pirolisis jika suhu ditingkatkan. Komponen lignin lebih berperan dalam pembentukan arang dibanding selulosa, dan lapisan arang membantu mengisolasi polimer dinding sel terhadap degradasi termal selanjutnya. Zat ekstraktif merupakan komponen kimia non struktural pada kayu, kulit batang dan kulit biji, terutama berupa bahan organik yang terdapat pada lumen dan sebagian pada dinding sel. Jumlah bahan ekstraktif yang terdapat dalam tanaman tergantung pada letaknya dan jenis tanaman. Komponen utama yang larut air terdiri dari karbohidrat, protein dan garam-garam anorganik (Achmadi, 1990). Dalam proses ekstraksi dengan air panas, maka yang akan terlarut antara lain
10 tanin, getah, gula, bahan pewarna dan pati (Fengel dan Wegener, 1995; ASTM, 1996). Zat ekstraktif yang dapat terlarut dalam pelarut organik seperti larutan alkohol-benzena antara lain lilin, lemak, resin, minyak dan tanin serta komponen tertentu yang tidak larut dalam eter (ASTM, 1996). Pelarutan dalam NaOH 1 % yang dilakukan pada suhu 100 0C dapat mengekstraksi zat ekstraktif, sebagian lignin, hemiselulosa berbobot molekul rendah, dan selulosa yang terdegradasi (Achmadi, 1990). Besarnya bahan yang larut dalam NaOH dapat digunakan sebagai indikator tingkat kerusakan pada bahan yang dianalisa akibat pelapuk (decay), panas, cahaya dan oksidasi (Wardhani et al. 2005). Abu merupakan komponen anorganik penyusun sel tumbuhan yang tidak dapat larut dalam air atau pelarut organik. Fengel dan Wegener (1995) menyatakan bahwa kadar abu dari beberapa jenis kayu tropis besarnya antara 0,4 – 3,4%. Komponen abu utama kayu adalah kalsium, kalium dan magnesium. Dalam banyak kayu jumlah Ca hingga 50% dan lebih dari unsur total dalam abu kayu. K dan Mg masing-masing menduduki tempat kedua dan ketiga, diikuti Mn, Na, P dan Cl. Selanjutnya disebutkan bahwa kulit pada umumnya lebih kaya akan mineral daripada kayu. Hasil analisa unsur dalam kulit dan kayu pohon daun lebar menunjukkan kandungan abu dalam kulit biasanya lebih dari 10% dan sepuluh kali lebih tinggi daripada dalam kayu.
2.4 Unsur Hara dan Mikrobia Tanah 2.4.1 Serapan hara tanaman Komponen bahan kering tumbuhan adalah polisakarida dan lignin pada dinding sel, ditambah komponen sitoplasma seperti protein, lipid, asam amino, asam organik, serta unsur tertentu, seperti kalium yang berbentuk ion, yang menjadi bagian tak penting dari senyawa organik (Salisbury & Ross,1995). Dari analisa jaringan tumbuhan dijumpai lebih dari 50 unsur yang diserap, dan sekitar 70% unsur-unsur ini bukan hara tanaman (Hanafiah, 2007). Hanya ada 17 unsur hara yang diperkirakan esensial bagi tumbuhan, yang terdiri dari sembilan makrohara (yang dibutuhkan pada konsentrasi lebih dari 1000 mg/kg bahan kering) dan delapan unsur kelumit atau mikrohara (dibutuhkan dalam jaringan kurang dari 100 mg/kg bahan kering) (Salisbury & Ross,1992). Karbon (C),
11 oksigen (O) dan hidrogen (H) yang masing-masing menyusun rerata 45%, 45% dan 6% tumbuhan, unsur-unsur lainnya hanya 4%. Nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K), belerang (S), kalsium (Ca) dan magnesium (Mg) masing-masing menyusun lebih dari 0,1 %, sedangkan unsur boron (Bo), besi (Fe), mangan (Mn) tembaga (Cu), seng (Zn), molibdenum (Mo), (nikel Ni) dan khlorin (Cl) menyusun tanaman kurang dari 0,1% (Hanafiah, 2007). Nilai konsentrasi unsur esensial dalam jaringan tumbuhan menjadi pedoman yang berguna dan lebih dapat dipercaya dari pada analisa tanah untuk menunjukkan apakah tumbuhan akan tumbuh lebih cepat jika unsur tertentu diberikan lebih banyak (Salisbury & Ross, 1992). Variasi dalam kuantitas macammacam hara esensial yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman itu sangat besar. Kebutuhan kuantitatif tergantung pada jenis tanaman, tingkat hasil panen, dan hara tertentu tersebut. Status hara dalam jaringan tumbuhan dan pertumbuhan tanaman dapat dideskripsikan sebagai (1) defisiensi, (2) peralihan, (3) cukup, dan (4) beracun (Gardner et al. 1991). Apabila penambahan unsur hara menyebabkan penurunan pertumbuhan, maka status hara berada pada zona beracun atau menghambat (Salisbury & Ross, 1992). Di zona defisiensi penambahan riap (increment) hara berakibat meningkatnya produksi berat kering, di zona peralihan penambahan riap hara meningkatkan hasil panen dan konsentrasi hara, sedangkan di zona cukup, penambahan riap hara berakibat meningkatnya kandungan unsur tadi di dalam jaringan tanaman, tetapi sedikit atau tidak ada peningkatan hasil panen (Gardner et al. 1991).
2.4.2 Unsur hara tanah Ketika tanaman berkecambah dan mulai membentuk perakaran, semua hara yang dibutuhkan untuk aktivitasnya diperoleh dari biji, kemudian begitu akar mulai berpenetrasi ke dalam tanah, maka sebagian hara tersedia diserap dari tanah sekeliling akar (rhizofer), yang persentasenya makin meningkat selaras dengan habisnya cadangan hara biji, yang berarti ketergantungan tanaman terhadap hara tanah melalui mekanisme aliran massa, diffusi, dan itersepsi akar/pertukaran ion juga makin meningkat dan mutlak begitu habisnya cadangan hara tersebut (Hanafiah, 2007).
12 Dengan ke-17 unsur esensial dan sinar matahari, sebagian besar tumbuhan dapat membuat senyawa yang dibutuhkan (Salisbury & Ross, 1992). Hanafiah (2007) mengemukakan bahwa suatu unsur kimiawi dianggap esensial sebagai unsur hara tumbuhan jika memenuhi tiga kriteria, yaitu (1) harus ada agar tumbuhan dapat melengkapi daur hidupnya, (2) jika tumbuhan
mengalami
defisiensi hanya dapat diperbaiki dengan unsur tersebut, dan (3) unsur ini harus terlibat langsung dalam penyediaan nutrisi tanaman. Selanjutnya dijelaskan bahwa suatu unsur disebut makrohara esesnsial jika dibutuhkan dalam jumlah besar, biasanya di atas 500 ppm dan disebut mikrohara esensial jika dibutuhkan dalam jumlah sedikit, biasanya kurang dari 50 ppm. Para pakar lain membagi keduanya menjadi limit minimal 0,1% disebut makrohara dan apabila lebih kecil 0,1% disebut mikrohara. Unsur makrohara esensial dibagi dalam dua golongan, yaitu (1) unsur makrohara esensial melimpah (C, O dan H), dan (2) unsur makrohara esensial terbatas (N, P, K, S, Ca dan Mg). Unsur mikrohara esensial meliputi B, Fe, Mn, Cu, Zn, Mo, Ni dan Cl. Menurut (Hanafiah, 2007) penyerapan hara oleh tanaman dipengaruhi oleh laju respirasi, jumlah dan ketersediaan hara dalam tanah, serta intensitas dan ekstensitas sistem perakaran tanaman yang terkait dengan taraf dan laju pertumbuhan tanaman. Demikian juga dengan intensitas dan ekstensitas interaksi akar-mikroorganime
tanah.
Faktor
ketersediaan
substrat
untuk
respirasi,
temperatur dan oksigen yang mempengaruhi proses respirasi secara tidak langsung juga mempengaruhi proses penyerapan hara. Selanjutnya dikemukakan bahwa adanya simbiosis fungi ekto-dan/atau endo-mikoriza-akar, lewat pembentukan hipa eksternal yang berfungsi sebagai bulu-bulu akar dan enzim ekstraseluler fosfatase, sangat membantu tanaman dalam penyerapan unsur hara terutama unsur P. Demikian juga jika ada fiksasi N-simbiotik (seperti rhizobium-legum) atau fiksasi N-nonsimbiotik (seperti Azospirillium brasiliense) terhadap penyerapan N.
2.4.3 Mikrobia tanah Tanah dihuni oleh bermacam-macam mikrobia. Jumlah tiap mikrobia sangat bervariasi, ada yang hanya terdiri atas beberapa individu, akan tetapi ada pula yang jumlahnya mencapai jutaan per gram tanah. Anas (1989) menyatakan
13 bahwa mikrobia tanah bertanggung jawab atas pelapukan bahan organik dan pendauran unsur hara, mempunyai pengaruh terhadap sifat kimia dan fisik tanah, sehingga mikrobia dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebagian mikrobia dapat memfiksasi nitrogen (N) dari udara yang selanjutnya dapat diserap oleh tanaman untuk meningkatkan pertumbuhan. Di samping itu, mikrobia tanah menghasilkan bermacam-macam substansi yang secara langsung mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Rao (2007) menyebutkan bahwa banyak jenis bakteri dan fungi menghasilkan asam indol asetat (IAA) dalam jumlah sedikit, dimana IAA ini mempunyai beberapa pengaruh morfogenetik yang penting terhadap pertumbuhan pemanjangan batang dan pembentukan bintil akar tanaman. Lebih lanjut disebutkan bahwa Giberelin yang dihasilkan oleh fungi jenis Gibberella fujikuroi antara lain berperan (1) menanggulangi dormansi dan kekerdilan pada tanaman, dan (2) merangsang pertumbuhan batang dan pada saat yang sama menekan pertumbuhan cabang lateral. Kesuburan tanah tidak hanya bergantung pada komposisi kimiawinya melainkan juga pada ciri alami mikrobia yang menghuninya. Mikrobia yang menghuni tanah terdiri dari kelompok bakteri, fungi, aktinomisetes, alga dan protozoa (Rao, 2007). Bakteri berperan penting dalam pendaur-ulangan unsur hara seperti karbon, nitrogen, dan fosfor (Anas, 1989). Bila bakteri terhalang kegiatannya dapat dikatakan bahwa pendaur-ulangan unsur hara terganggu. Beberapa genus bakteri yang penting untuk pertumbuhan tanaman, antara lain Rhizobium, Azotobacter, Pseudomonas,
Azospirillum, Nitrosomonas dan
Nitrobacter (Anas, 1989). Faktor pH mempengaruhi populasi dan aktivitas mikrobia di dalam tanah. Azotobacter misalnya sangat sensitif terhadap pH rendah, sehingga bakteri ini jarang dijumpai pada tanah yang masam (pH < 6,0) (Anas, 1989). Pertumbuhan yang baik bagi bakteri penambat nitrogen (N) adalah pada kisaran pH 6,0 – 7,5 (Susanto, 2002). Pada pH sekitar 6,0 – 7,0 mikrobia tanah paling aktif menguraikan bahan organik dan membantu cepatnya ketersediaan unsur hara di dalam tanah. Di samping pH, suhu juga merupakan faktor yang sangat menentukan populasi bakteri di dalam tanah. Rao (2007) menyatakan
14 bahwa bakteri mesofilik yang hidup pada suhu 15 sampai 45 0C merupakan sebagian besar bakteri tanah. Fungi ditemukan di dalam tanah yang berperan aktif pada tahap pertama proses dekomposisi bahan organik dan berperan penting dalam proses agregasi tanah (Anas, 1989). Menurut Rao (2007) fungsi utama dari fungi berbenang dalam tanah adalah untuk menguraikan bahan organik dan membantu membentuk bongkah tanah. Selanjutnya disebutkan bahwa beberapa fungi mampu membentuk asosiasi ektotrofik dalam sistem perakaran pohon-pohon seperti pinus, yang termasuk genus Boletus dan Lactarius, dapat membantu memindahkan fosfor dan nitrogen dalam tanah ke tubuh tanaman. Fungi dominan pada tanah yang masam karena lingkungan yang masam tidak baik untuk bakteri dan aktinomisetes (Rao, 2007). Beberapa gas seperti CO2, N2 , NH3, H2 dan gas-gas lainnya yang berasal baik dari proses dekomposisi bahan organik maupun respirasi akar apabila berkadar relatif tinggi dapat menjadi racun bagi akar tumbuhan dan mikroba tanah (Hanafiah, 2007). Adanya sirkulasi udara yang baik akan memungkinkan pertukaran gas-gas ini dengan O2 dari atmosfer, sehingga aktivitas mikroba autotrofik yang berperan penting dalam penyediaan unsur-unsur hara menjadi terjamin dan toksisitas gas-gas tersebut ternetralisir. 2.5 Arang Arang adalah suatu bahan padat berpori-pori yang dihasilkan melalui proses pirolisis dari bahan-bahan yang mengandung karbon (Kinoshita, 2001). Arang dapat dibuat dari bahan-bahan yang mengandung karbon (C) baik organik maupun anorganik yang berasal dari tumbuhan, hewan atau bahan tambang. Pirolisis merupakan proses pembakaran tidak sempurna suatu bahan yang mengandung senyawa karbon kompleks tidak teroksidasi menjadi karbon dioksida. Sebagian dari pori-pori arang masih tertutup dengan hidrokarbon, ter dan senyawa organik lain. Komponennya terdiri dari karbon terikat (fixed carbon), abu, air, nitrogen dan sulfur (Djatmiko et al. 1985). Demirbas (2005) menyatakan bahwa pada saat pirolisis, energi panas mendorong terjadinya oksidasi sehingga senyawa karbon yang kompleks sebagian besar terurai menjadi karbon atau arang. Proses pirolisis terdiri dari dua tingkat yaitu pirolisis primer dan pirolisis sekunder. Pirolisis mulai terjadi pada suhu
15 150-300 °C yang berlangsung secara lambat (pirolisis primer lambat) dan pada suhu 300-400 °C berlangsung lebih cepat (pirolisis primer cepat). Hasil proses pirolisis lambat adalah arang, H2O, CO, dan CO2, sedangkan hasil pirolisis primer cepat adalah arang, gas-gas hidrokarbon, H2 dan H2O. Pirolisis pada suhu di atas 600 °C disebut pirolisis sekunder, dan hasilnya adalah gas CO, H2, dan gas-gas hidrokarbon. Proses pirolisis sekunder umumnya digunakan untuk gasifikasi (Paris et al. 2005). Arang yang merupakan residu dari peruraian bahan yang mengandung karbon sebagian besar komponennya adalah karbon dan terjadi akibat peruraian panas. Proses pemanasan ini dapat dilakukan dengan jalan memanasi bahan langsung atau tidak langsung di dalam timbunan, kiln, retort dan tanur (Djatmiko et al. 1985). Sebagai bahan bakar, arang lebih menguntungkan dibanding kayu bakar. Arang memberi kalor pembakaran yang lebih tinggi, dan asap yang lebih sedikit. Arang pada umumnya memiliki struktur karbon yang amorf dan sebagian besar terdiri atas karbon bebas (Manocha, 2003). Arang tersusun dari atom-atom karbon bebas yang berikatan secara kovalen membentuk struktur heksagonal datar. Sebagian besar pori-pori arang masih tertutup oleh hidrokarbon, ter, dan komponen lain, seperti abu, air, nitrogen, dan sulfur (Puziy et al. 2003). Penguapan, penguraian atau dekomposisi komponen kimia kayu pada proses pirolisis terdiri atas empat tahap (Byrne & Nagle, 1997), yaitu: 1. Pada suhu 100-150 °C terjadi penguapan air; 2. Pada suhu 200-240 °C, terjadi penguraian hemiselulosa dan selulosa menjadi larutan pirolignat (asam organik dengan titik didih rendah, seperti asam asetat, formiat, dan metanol), gas kayu (CO dan CO2), dan sedikit ter; 3. Pada suhu 240 - 400 °C, tejadi proses depolimerisasi dan pemutusan ikatan C-O dan C-C. Pada kisaran suhu ini selulosa sudah terdegradasi, lignin mulai terurai menghasilkan ter, larutan pirolignat dan gas CO2 menurun, sedangkan gas CO, CH4, dan H2 meningkat; 4. Pada suhu lebih dari 400 °C, terjadi pembentukan lapisan aromatik dan lignin masih terurai sampai suhu 500 °C. Di atas suhu 600 °C mulai terjadi proses pembesaran luas permukaan karbon.
16 Menurut Djatmiko et al. (1985), standar mutu arang, yaitu kadar air 6%, kadar abu 4%, kadar zat mudah menguap 30% dengan titik bakar 300 °C menghasilkan ukuran partikel 95%, dan sifat kekerasan 90%. Arang yang baik mutunya adalah arang yang mempunyai kadar karbon tinggi dan kadar abu yang rendah. Manfaat dari arang antara lain untuk adsorpsi bahan asing pada pemurnian pelarut, minyak jelantah (goreng), bahan katalis dalam proses gasifikasi, dan pemupukan tanaman.
2.6 Arang Aktif Arang aktif adalah suatu karbon yang mampu mengadsorpsi anion, kation, dan molekul dalam bentuk senyawa organik dan anorganik, baik berupa larutan maupun dalam bentuk gas (Pari, 1996). Menurut Surtamtomo et al. (1997) arang aktif merupakan suatu bahan yang berupa karbon amorf yang sebagian besar terdiri atas atom karbon bebas dan mempunyai permukaan dalam (internal surface) sehingga mempunyai kemampuan daya serap (adsorption) yang baik. Arang aktif tergolong bahan yang mempunyai pori-pori terbuka, dan luas permukaannya besar. Arang aktif mengandung kadar karbon dan keaktifan yang bervariasi, tergantung pada suhu dan lamanya waktu aktivasi yang diberikan pada bahan baku arang. Arang aktif dapat dibedakan dari arang berdasarkan sifat pada permukaannya. Permukaan pada arang masih ditutupi oleh deposit hidrokarbon yang menghambat keaktifannya, sedangkan pada arang aktif permukaannya relatif telah bebas dari deposit dan mampu mengadsorpsi karena permukaannya luas dan pori-porinya telah terbuka (Gomez-Serrano et al. 2003).
2.6.1 Pembuatan arang aktif Arang aktif yang biasa beredar di pasaran umumnya dibuat dari tempurung kelapa, kayu dan batubara. Beberapa bahan yang mengandung banyak karbon seperti kayu, serbuk gergajian kayu, kulit biji, tempurung, gambut, batu bara, petroleum coke dan lignit dapat dibuat arang aktif, akan tetapi sifat dari hasil arang aktif tidak hanya dipengaruhi oleh bahan baku, tetapi juga dipengaruhi oleh cara aktivasi yang digunakan (Austin, 1984). Perbedaan bahan baku dapat
17 menyebabkan sifat dan mutu arang aktif yang berbeda pula. Industri arang aktif di Indonesia mulai berkembang sejak tahun 1980 dengan bahan baku utamanya tempurung kelapa. Arang aktif tempurung kelapa memiliki struktur yang sebagian besar mikropori, sehingga kurang efektif digunakan untuk menyerap senyawa yang berdiameter makropori (Actech, 2002 dalam Pari, 2004). Pembuatan arang aktif dilakukan dalam dua tahap (Guerrero et al. 1970). Tahap pertama adalah pembentukan arang bersifat amorf porous pada suhu rendah. Tahap kedua adalah proses pengaktifan arang untuk menghilangkan hidrokarbon yang melapisi permukaan arang sehingga meningkatkan porositas arang. Menurut Clieremisinoff dan Eilerbusch (1978) dalam Pari (1995), pada kedua proses tersebut terjadi tahap-tahap sebagai berikut: 1. Dehidrasi yaitu proses menghilangkan air 2. Karbonisasi yaitu proses penguraian selulosa organik menjadi unsur karbon, serta mengeluarkan senyawa-senyawa non karbon 3. Aktivasi yaitu proses pembentukan dan penyusunan karbon sehingga pori- pori menjadi lebih besar Pada prinsipnya arang aktif dapat dibuat dengan dua cara, yaitu cara kimia dan cara fisika. Pada pembuatan arang aktif, mutu yang dihasilkan sangat tergantung dari bahan baku yang digunakan, bahan pengaktif, suhu dan cara pengaktifannya (Hartoyo et al. 1990). 1. Aktivasi cara kimia Aktivasi cara kimia pada prinsipnya adalah perendaman arang dengan senyawa kimia sebelum dipanaskan. Pada proses pengaktifan secara kimia, arang direndam dalam larutan pengaktifasi selama 24 jam lalu ditiriskan dan dipanaskan pada suhu 600- 900°C selama 1 - 2 jam. Pada suhu tinggi ini bahan pengaktif akan masuk di antara sela-sela lapisan heksagonal dan selanjutnya membuka permukaan yang tertutup.Bahan kimia yang dapat digunakan yaitu H3PO4, NH4Cl, AlCl3, HNO3, KOH, NaOH, KMnO4, SO3, H2SO4 dan K2S (Kienle, 1986). Pemakaian bahan kimia sebagai bahan pengaktif sering mengakibatkan pengotoran pada arang aktif yang dihasilkan. Umumnya aktivator meninggalkan sisa-sisa berupa oksida yang tidak larut dalam air pada waktu pencucian, oleh
18 karena itu dalam beberapa proses sering dilakukan pelarutan dengan HCl untuk mengikat kembali sisa-sisa bahan kimia yang menempel pada permukaan arang dan kandungan abu yang terdapat dalam arang aktif. Hasil penelitian Botha (1992) dalam Pari (2004) yang membuat arang aktif dari batubara, lalu mengekstrak arang aktif tersebut dengan HCl 0,5 M menghasilkan arang aktif yang struktur mikroporinya lebih besar. 2. Aktivasi cara fisika Aktivasi arang secara fisika menggunakan oksidator lemah, misalnya gas CO2. uap air, nitrogen, dan lain-lain. Oleh karena itu, pada proses ini tidak terjadi oksidasi terhadap atom-atom karbon penyusun arang, akan tetapi oksidator tersebut hanya mengoksidasi komponen yang menutupi permukaan pori arang. Prinsip aktivasi ini dimulai dengan mengaliri gas-gas ringan, seperti uap air, CO2, atau udara ke dalam retort yang berisi arang dan dipanaskan pada suhu 800-1000 °C. Pada suhu di bawah 800 °C, proses aktivasi dengan uap air atau gas CO2 berlangsung sangat lambat, sedangkan pada suhu di atas 1000 °C akan menyebabkan kerusakan struktur kisi-kisi heksagonal arang. Oleh karena itu, proses gasifikasi terhadap material yang diarangkan dengan uap dan CO2 akan berlangsung melalui reaksi endoterm (Manocha 2003). Reaksi-reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut: C(s) + H2O(g)
→ CO(g) + H2(g)
∆H = + 29 kkal
C(s) + CO2(g)
→ 2CO(g)
∆H = + 39 kkal
CO(g) + H2O(g)
→ CO2(g) + H2(g)
∆H = + 10 kkal
Molekul H2O lebih kecil dibandingkan molekul CO2, sehingga ia lebih cepat berdifusi ke dalam pori karbon. Akibatnya reaksi dengan uap lebih cepat dibanding dengan CO2. Aktivasi dengan CO2 meningkatkan oksidasi eksternal dan mengembangkan perluasan pori arang sebanding dengan aktivasi uap, sehingga aktivasi yang terjadi menjadi kurang efektif, akibat panas yang terbentuk menjadi berkurang. Salah satu cara menangani kasus ini, ialah dengan membakar gas-gas yang terbentuk (Kienle, 1986; Manocha, 2003), seperti reaksi berikut ini :
19
CO(g) + l/2O2(g) → CO2(g)
∆H = - 1192,44 kkal
H2(g) + l/2O2(g)
∆H = - 995,792 kkal
→ H2O(g)
Akan tetapi kehadiran gas O2 dalam retort aktivasi akan menimbulkan masalah terutama karena sangat sulit dikontrol, sehingga menyebabkan terjadi reaksi eksoterm terhadap karbon. C(s)
+ O2(g) → CO2(g)
2C(s) + O2(g)
→ 2CO(g)
∆H = - 92,4 kkal ∆H = - 53,96 kkal
Beberapa gas pengoksidasi yang dapat digunakan untuk aktivasi arang secara fisika, antara lain uap air (H2O), gas CO2 atau N2, H2, Br2, O3, argon, atau CH4 (Basumatary et al. 2005). Selama pengaktifan dengan gas-gas pengoksidasi, lapisan-lapisan karbon kristalit yang tidak teratur akan mengalami pergeseran yang menyebabkan permukaan kristalit atau celah menjadi terbuka sehingga gas-gas pengaktif yang lembam dapat mendorong residu-residu hidrokarbon seperti senyawa ter, fenol, metanol dan senyawa lain yang menempel pada permukaan arang. Cara yang sangat efektif untuk mendesak residu-residu tersebut adalah dengan mengalirkan gas pengoksidasi pada permukaan materi karbon (Pari, 1996). 2.6.2 Sifat-sifat arang aktif 1. Sifat-sifat kimia Arang aktif tidak hanya mengandung atom karbon saja, tetapi juga mengandung sejumlah kecil oksigen dan hidrogen yang terikat secara kimia dalam bentuk gugus-gugus fungsi yang bervariasi, misalnya gugus karbonil (CO), karboksil (COO-), fenol, lakton, dan beberapa gugus eter. Oksigen pada permukaan arang, kadang-kadang berasal dari bahan baku atau dapat juga terjadi pada proses aktivasi dengan uap (H2O) atau udara. Keadaan ini biasanya dapat menyebabkan arang bersifat asam atau basa (Brennan et al. 2001). Pada umumnya bahan baku arang aktif mengandung komponen mineral. Komponen ini menjadi lebih pekat selama proses aktivasi arang. Di samping itu, bahan-bahan kimia yang digunakan pada proses aktivasi sering kali menyebabkan perubahan sifat kimia arang yang dihasilkan.
20 2. Sifat-sifat fisika Berdasarkan sifat fisika, arang aktif mempunyai beberapa karakteristik, antara lain berupa padatan yang berwarna hitam, tidak berasa, tidak berbau, bersifat higroskopis, tidak larut dalam air, asam, basa ataupun pelarut-pelarut organik (Hassler, 1974). Di samping itu, arang aktif juga tidak rusak akibat pengaruh suhu maupun penambahan pH selama proses aktivasi. Selanjutnya Hartoyo (1974) mengemukakan bahwa sifat fisik arang aktif dibagi dua macam : 1. Sifatnya keras dan bobot jenis tinggi, sesuai untuk bahan adsorpsi gas 2. Sifatnya lunak dan bobot jenis rendah, sesuai untuk bahan adsorpsi cairan
2.6.3 Struktur arang aktif Arang aktif mempunyai struktur berupa jaringan berpilin dari lapisanlapisan karbon yang tidak sempurna, yang dihubungsilangkan oleh suatu jembatan alifatik. Menurut Kyotani (2000), luas permukaan, dimensi dan distribusi atomatom karbon penyusun struktur arang aktif sangat tergantung pada bahan baku, kondisi karbonasi dan proses aktivasinya. Susunan atom-atom karbon pada arang aktif mirip susunan atom-atom karbon dalam grafit, yang terdiri atas pelat-pelat datar. Atom-atom karbon penyusun struktur grafit terikat secara kovalen di dalam suatu kisi heksagonal dengan susunan paralel (Hirose et al. 2002). Penelitian dengan sinar X memperlihatkan bahwa cincin-cincin enam atom karbon dengan susunan karbon yang teratur dan membentuk pelat-pelat. Pelatpelat karbon heksagonal dalam struktur grafit terorientasi tegak lurus terhadap sumbunya. Sedangkan struktur arang aktif berbeda dengan struktur grafit, karena pelat-pelat karbon heksagonal dalam struktur arang aktif tidak terorientasi sempurna terhadap sumbunya (Sokjvyov et al. 2002 dalam Gani, 2007). Perbedaan ini berpengaruh pada besar kecilnya derajat kristalinitas, sehingga pelat-pelat tersebut bertumpuk satu sama lain secara tidak beraturan membentuk kristalit (Wigman 1986 dalam Pari, 2004). Besar kecilnya ukuran pori dari kristalit-kristalit arang aktif selain tergantung pada suhu karbonisasi juga bahan baku yang digunakan. Ukuran porinya dapat berkisar antara 10 Å sampai lebih besar dari 250 Å. Buekens et al.
21 (1985) dalam Rumidatul (2006) membagi besarnya ukuran pori ke dalam tiga katagori yaitu : 1. Makropori yang berukuran diameter lebih besar dari 250 Å dengan volume sebanyak 0,8 ml/g dan permukaan spesifik antara 0,5 - 2 m2/g. 2. Mesopori yang berukuran diameter berkisar antara 50 - 250 Å dengan volume 0,1 ml/g dan permukaan spesifik antara 20 - 70 m2/g. 3. Mikropori yang berukuran diameter lebih kecil dari 50 Å dan terbagi atas tiga bagian yaitu : a. Maksi mikropori (diameter antara 25 - 50 Å), dapat digunakan untuk menyerap pigmen tanaman dan sangat baik untuk adsorpsi molase. b. Mesi mikropori (diameter antara 15 - 25 Å) yang sangat baik untuk menyerap zat warna terutama metilen biru. c. Mini mikropori (diameter lebih kecil dari 15 Å) yang dapat digunakan dengan baik untuk penyerapan yodium dan fenol. Distribusi ukuran pori merupakan parameter yang penting dalam hal kemampuan daya serap arang aktif terhadap molekul yang ukurannya bervariasi. Disamping distribusi pori, bentuk pori merupakan parameter yang khusus untuk daya serap arang aktif yang terjadi. Pori-pori dengan bentuk silinder lebih mudah tertutup yang menyebabkan tidak aktifnya bagian permukaan dari arang aktif tersebut. Bila arang aktif digunakan untuk penjernihan air, lebih banyak dibutuhkan pori-pori yang terbuka karena air sebagian besar mengandung macammacam partikel. 2.6.4 Daya serap arang aktif Daya serap arang aktif merupakan suatu akumulasi atau terkonsentrasinya komponen di permukaan/antar muka dalam dua fasa. Bila ke dua fasa saling berinteraksi, maka akan terbentuk suatu fasa baru yang berbeda dengan masingmasing fasa sebelumnya. Hal ini disebabkan karena adanya gaya tarik-menarik antar molekul, ion atau atom dalam ke dua fasa tersebut. Gaya tarik-menarik ini dikenal sebagai gaya Van der Walls. Pada kondisi tertentu, atom, ion atau molekul dalam daerah antar muka mengalami ketidak seimbangan gaya, sehingga mampu menarik molekul lain sampai keseimbangan gaya tercapai (Manocha 2003).
22 Menurut Agustina (2004), ada beberapa faktor yang mempengaruhi daya serap arang aktif, yaitu: 1) sifat arang aktif; 2) sifat komponen yang diserapnya: 3) sifat larutan; dan 4) sistem kontak. Daya serap arang aktif terhadap komponenkomponen yang berada dalam larutan atau gas disebabkan oleh kondisi permukaan dan struktur porinya (Guo et al. 2007). Beberapa literatur lain melaporkan bahwa pada umumnya penyerapan oleh arang aktif tergolong penyerapan secara fisik. Hal ini disebabkan oleh pori yang banyak dan permukaannya luas. Faktor lain yang mempengaruhi daya serap arang, yaitu sifat polaritas dari permukaan arang. Sifat ini sangat bervariasi untuk setiap jenis arang aktif, karena hal ini sangat bergantung pada bahan baku, cara pembuatan arang dan bahan pengaktif yang digunakannya (Lee dan Radovic, 2003).
2.6.5 Jenis arang aktif Menurut Setyaningsih (1995) ada dua jenis arang aktif yang dibedakan menurut fungsinya, yaitu : 1. Arang penyerap gas (gas adsorbent carbon) Jenis arang ini digunakan untuk menyerap material dalam bentuk uap atau gas. Pori-pori yang terdapat pada arang jenis ini adalah mikropori yang menyebabkan molekul gas akan mampu melewatinya, tapi molekul dari cairan tidak bisa melewatinya. Karbon jenis ini dapat ditemui pada karbon tempurung kelapa. 2. Arang fasa cair (liquid-phase carbon) Arang jenis ini digunakan untuk menyerap kotoran/zat yang tidak diinginkan dari cairan atau larutan. Jenis pori-pori dari karbon ini adalah makropori yang memungkinkan molekul besar untuk masuk. Arang jenis ini biasanya berasal dari batubara dan selulosa. 2.6.6 Kegunaaa arang aktif Penggunaan utama dari arang aktif adalah untuk pemurnian larutan, seperti pembersihan larutan gula, dan untuk menghilangkan bau dan rasa pada air, sayuran, lemak, minyak, minuman alkohol, bahan kimia dan obat-obatan,
23 penyerap gas beracun pada masker, penghilang bau pada sistem alat pendingin, penyerap emisi uap bahan bakar pada otomotif serta sebagai filter rokok (Austin, 1984). Penggunaan arang aktif terus berkembang hingga digunakan untuk penjerap gas beracun pada industri pengolahan cat dan perekat (Asano et al. 1999). Umumnya arang aktif digunakan sebagai bahan penyerap dan pemurni, dalam jumlah kecil juga digunakan sebagai katalis. Arang
aktif
dapat
memurnikan produk yang dihasilkan industri dan juga berguna untuk mendapatkan kembali zat-zat berharga dari campurannya serta sebagai obat (Sudrajat dan Soleh, 1994). Di dalam bidang kesehatan, arang aktif digunakan dalam penanganan keracunan eksternal dan terapi diare sekretonik (Muthschler, 1986). Pada keracunan secara oral, untuk menghindari penyerapan
sejumlah
racun yang masih ada dalam saluran cerna dapat dilakukan dengan pemberian adsorben. Adsorben yang paling berkasiat dan kurang berbahaya sehingga paling banyak digunakan adalah arang aktif. Toksin Kolera, Salmonella dan Shigella serta galur Coli patogen menyebabkan meningkatnya sekresi elektrolit dan air kedalam lumen usus (diare sekretonik). Terapi diare sekretonik dapat dilakukan dengan penggunaan adsorben (misalnya arang aktif), zat pengembang (misalnya pektin) atau astrigen (preparat yang mengandung tanin) (Muthschler, 1986). Kemampuan arang aktif sebagai bahan penyerap tidak sama antara satu dengan yang lainnya, karena suatu penyerapan belum tentu baik untuk proses penyerapan lainnya. Perbedaan ukuran partikel pori dan tingkat aktivasi dapat mempengaruhi optimalisasi penggunaan arang aktif (Bikerman, 1958 dalam Pari, 2004). Kegunaan arang aktif sebagai adsorben sangat luas. Arang aktif dapat digunakan untuk menyerap senyawa organik non polar seperti mineral minyak, fenol poliaromatik hidrokarbon, menyerap substansi halogenasi, bau, rasa, produk-produk fermentasi dan substansi non polar yang tidak larut dalam air (Lenntech, 2004). Kadirvelu et al. (2001) telah membuktikan kemampuan arang aktif sebagai adsorben terhadap logam Hg, Pb, Cd, Ni, Cu dalam limbah cair industri radiator, pelapisan nikel dan pelapisan tembaga. Kemampuan arang aktif sebagai penghilang logam tersebut dipengaruhi oleh pH dan konsentrasi karbon. Kenaikan
24 kadar karbon menaikkan persen adsorpsi ion logam. Dalam proses penjernihan air, arang aktif selain mengadsorpsi logam-logam seperti besi, tembaga. nikel, juga dapat menghilangkan bau, warna dan rasa yang terdapat dalam larutan atau buangan air. Produk arang aktif lebih 70% digunakan di sektor industri, seperti industri gula, sirop, minyak, air minum, kimia dan farmasi. Harris (1999) menyatakan arang aktif sangat penting dalam penjernihan air dan udara. Arang aktif dapat mendeaktivasi kontaminan pestisida yang terdapat di dalam tanah dengan dosis antara 100-400 kg/ha (Miller & McCarty, 2002). Manfaat lain pada penambahan arang aktif ke dalam tanah adalah dapat meningkatkan total organik karbon dan mengurangi biomassa mikroba, respirasi, dan agregasi serta pengaruh pembekuan cahaya pada tanah, karena arang aktif dapat menyerap dan menyimpan panas (Weil et al. 2003). Di beberapa negara arang aktif dilaporkan telah digunakan sebagai penyerap residu pestisida pada proses penjernihan air untuk mendapatkan air minum yang bebas pestisida (Gerard dan Barthelemy, 2003 dalam Gani, 2007). Gusmailina et al. (2000) melaporkan bahwa penambahan arang dan arang aktif bambu pada media tumbuh dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi anakan Eucalyptus urophylla lebih baik dibandingkan kontrol, namun pertumbuhannya akan lebih baik lagi, bila pada waktu penanaman arang dicampur dengan kompos. Selanjutnya hasil penelitian Gusmailina et al. (2001) dan Gusmailina et al. (2002), menunjukkan bahwa pemberian arang dan arang aktif pada tanah dapat membangun kembali kesuburan lahan kritis yang miskin hara. Keuntungan pemberian arang, antara lain memperbaiki sirkulasi air dan udara di dalam tanah, sehingga dapat merangsang pertumbuhan akar dan memberikan habitat untuk pertumbuhan semai tanaman. Di samping itu, arang dapat merangsang aktivitas dan merupakan tempat berkembang biak mikroorganisme (Komarayati & Indrawati 2003). Penggunaan arang aktif juga menunjukkan pengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan akar dan bobot biomassa tanaman pule landak, serta pengembangan stek tanaman Capsicum omnium (Ciner & Tipirdamaz, 2002), juga mencegah pembusukan akar pada tanaman melon (Nischwitz et al. 2002). Arang aktif selain digunakan sebagai komponen tambahan pada media tanah, juga dapat digunakan pada media kultur in vitro. Hasil penelitian pemberian arang aktif pada
25 media kultur invitro yang dilakukan Widiastuty dan Martowo (2004) menunjukkan bahwa pemberian arang aktif proanalisis 2g/l ke dalam media kultur anggrek Oncidium dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi plantlet, luas daun, jumlah tunas anakan dan jumlah akar.