II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Peranan Sektor Pertanian Pentingnya peranan sektor pertanian tergambar dari besarnya penduduk dunia yang menggantungkan hidupnya di sektor pertanian. Hasil penelitian World Development Report (2008), Tahun 2002 tiga perempat dari penduduk negara berkembang setara dengan 833 juta orang hidup di perdesaan, sebagian mata pencaharian mereka secara langsung atau tidak langsung bergantung pada sektor pertanian. Menurut Byerlee, et.al. (2005), peranan sektor pertanian di dalam transformasi stuktural telah ditunjukkan melalui revolusi hijau dibanyak negara terutama di Asia. Lebih lanjut Mashury (2006), mengemukakan bahwa sektor pertanian di Indonesia sangat penting artinya karena peranannya sebagai penghasil pangan utama, lapangan kerja sebagian besar penduduk, pemasok bahan untuk industri, penghasil devisa negara, mempunyai efek multiplier yang tinggi, kegiatannya yang ramah lingkungan, penghasil energi alternatif biofuel.
Sektor pertanian
sebagai penghasil pangan utama tidak tergantikan, karena sektor tersebut menjadi sektor utama dalam rangka menjaga ketahanan pangan. Pendapat yang sama dikemukakan Nainggolan (2006) bahwa peranan sektor pertanian menjadi penting dalam kemampuan menyediakan pangan yang berasal dari dalam negeri sendiri sehingga tidak tergantung pada impor. Sektor pertanian yang berasal dari dalam negeri
diperlukan
peranan
pemerintah
dalam
pengembangannya
(Sastrosoenarto, 2006). Bagi negara-negara sedang berkembang, sektor pertanian memegang peranan yang penting dalam menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) atau
16
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu wilayah.
Dilihat dari
kontribusinya terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi,
sektor
pertanian merupakan sektor ekonomi yang sangat potensial karena, pertama, kontribusi produknya, eskpansi dari sektor-sektor ekonomi non pertanian sangat tergantung
pada produk-produk dari sektor
pertanian, bukan saja untuk
kelangsungan pertumbuhan suplay makanan, tetapi juga untuk penyediaan bahan baku untuk keperluan kegiatan produksi di sektor-sektor non pertanian tersebut, terutama industri pengolahan makanan dan minuman, tekstil, dan pakaian jadi, barang-barang dari kulit dan farmasi. Kedua, kontribusinya terhadap faktor-faktor produksi, karena pentingnya sektor pertanian (dilihat dari sumbangan outputnya terhadap PDB atau PDRB dan andilnya dalam penyerapan tenaga kerja). Ketiga, kontribusi terhadap pasar, karena kuatnya pengaruh pertanian pada perekonomian selama tahap awal pembangunan, maka populasi di sektor pertanian (daerah perdesaan) membentuk suatu bagian yang sangat besar dari pasar (permintaan) domestik terhadap
produk-produk dari industri dan sektor-
sektor lain di dalam negeri, baik untuk barang produsen maupun barang-barang konsumen, dan keempat, kontribusinya terhadap devisa, sektor pertanian mampu berperan sebagai salah satu sumber penting bagi surplus neraca perdagangan atau neraca pembayaran (sumber devisa), baik lewat ekspor hasil-hasil pertanian atau peningkatan produksi komoditi-komoditi pertanian menggantikan komoditi impor (Tambunan, 2003). Lebih lanjut menurut Jhingan (2000) peran sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi terletak pada, Pertama, menyediakan surplus pangan yang semakin besar kepada penduduk yang terus bertambah.
Kedua,
meningkatkan permintaan akan produk industri dan dengan demikian mendorong
17
keharusan diperluasnya sektor sekunder dan tersier. tambahan
penghasilan
devisa
untuk
impor
Ketiga, menyediakan
barang-barang
modal
bagi
pembangunan melalui ekspor hasil pertanian secara terus-menerus . Keempat, memperbaiki kesejahteraan rakyat di pedesaan. Tambunan (2003) mengemukakan bahwa secara teori peranan sektor pertanian terhadap pertumbuhan output dapat diilustrasikan dengan sebuah
Ekspor pertanian
diagram, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2.
T
D B x’ x y
C
A f’
Output Pertanian
f
0
m
m’
Impor
i
F
Output Industri
i’
M
Sumber : Tambunan (2003) Gambar 2. Peranan Sektor Pertanian : Suatu Ilustrasi Teoritis Gambar 2 menunjukkan bahwa jumlah output di sektor pertanian adalah sebesar 0A, sedangkan 0f adalah makanan yang dikonsumsi di pasar domestik dan 0x bahan baku atau komoditi pertanian yang di ekspor. Dengan adanya ekspor tersebut memungkinkan negara bersangkutan untuk impor sebesar 0m,
18
dengan dasar tukar internasional (ToT) OT. Dengan adanya impor (0m) dan makanan (0f) memungkinkan sektor industri untuk menghasilkan output sebesar 0i. Di misalkan volume produksi di sektor industri meningkat sebesar 0i’. Untuk itu dibutuhkan lebih banyak input yang harus di impor, yakni sebesar 0m’. Produksi meningkat berarti juga kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat meningkat, yang selanjutnya berarti permintaan terhadap makanan juga bertambah ke 0f ’. Jika output di sektor pertanian tidak naik, ekspor dari sektor tersebut akan berkurang ke 0y, dan ini berarti kebutuhan akan impor sebesar 0m’ tidak dapat dipenuhi.
Oleh sebab itu, dalam usaha meningkatkan volume
produksi di industri (ke 0i’), output di pertanian juga harus dinaikkan ke 0C. Ini akan menambah konsumsi makanan ke 0f’, dan berarti juga output di sektor industri dapat meningkat ke 0i’. Ilustrasi ini menunjukkan bahwa tanpa suatu peningkatan output atau produktivitas di sektor pertanian, sektor industri tidak dapat meningkatkan outputnya (atau pertumbuhan yang tinggi akan sulit tercapai). Oleh karena itu pertanian memainkan peranan penting dalam pertumbuhan output di sektor industri. Penjelasan yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa seharusnya tidak ada dikotomi antara sektor pertanian dan sektor industri pertanian dan yang paling penting menjaga keterkaitan antara sektor ekonomi. Sektor pertanian juga masih survive meskipun sektor-sektor industri memberikan kontribusi yang besar terhadap pembangunan ekonomi, terutama di Indonesia ketika terjadi krisis ekonomi pada tahun 1998, sektor pertanian masih mampu bertahan dan menjadi penyelamat bagi perekonomian. Menurut Simatupang dan Dermoredjo (2001), peranan sektor pertanian sebagai penyelamat disebabkan oleh (1) proses produksi pada sektor pertanian berbasis pada sumberdaya alam domestik sehingga lebih
19
tahan dalam menghadapi gejolak eksternal dan perekonomian makro, (2) penyerapan tenaga kerja sektor pertanian sangat fleksibel, pekerja di sektor pertanian tidak memerlukan kualifikasi keahlian yang khusus dan berat sehingga dapat menampung pekerja dengan keahlian yang luas, dan (3) pertumbuhan sektor pertanian berfungsi sebagai penghambat meningkatnya harga pangan yang berarti mencegah peningkatan jumlah penduduk miskin.
2.2. Industri Pengolahan Hasil Pertanian Pemikiran tentang pembangunan ekonomi berbasis pertanian (agricultural led development strategy) telah diperdebatkan sejak awal perencanaan pembangunan nasional.
Pemikiran ini didasarkan pada argumen tahap-tahap
pembangunan ekonomi yang dikaitkan dengan produktivitas tenaga kerja. Pada tahap awal, pembangunan industri harus terkait erat (backward and forward lingkages) dengan sektor pertanian.
Keterkaitan ini akan menjadi amat kuat
apabila sektor industri mempunyai keterkaitan ke belakang yang tinggi (Byerlee dalam Kuncoro, 2000). Kaitan yang paling sesuai diperoleh melalui pembangunan industri pengolahan hasil pertanian atau agroindustri. Industri agroindustri.
pengolahan
hasil
pertanian
Austin (1992) mendefinisikan
dapat
didefinisikan
sebagai
agroindustri sebagai perusahaan
yang memproses bahan mentah asal pertanian termasuk didalamnya tanaman dan ternak dengan berbagai variasi tingkatan pengolahan mulai dari pembersihan dan pengelompokan (grading) sampai dengan penggilingan dan pemasakan. Simposium Nasional Agroindustri II (1987) merumuskan agroindustri sebagai suatu kegiatan lintas disiplin yang memanfaatkan sumberdaya alam (pertanian) untuk industri dengan kegiatan mencakup : (1) industri peralatan dan mesin-mesin
20
pertanian, (2) industri pengolahan hasil-hasil pertanian, (3) industri jasa sektor pertanian, dan (4) industri agrokimia. Merujuk dari definisi tersebut maka semua industri yang menggunakan bahan baku hasil pertanian seperti industri textil, sepatu dan asesoris yang menggunakan bahan sutera, kapas, kulit hewan, industri meubel dengan bahan baku kayu, karet, industri pangan, industri farmasi dengan bahan baku tanaman obat dan hasil perkebunan, industri minyak wangi, kosmetik, keseluruhan industri tersebut menjadi bagian dari agroindustri. Kontribusi industri pengolahan hasil pertanian (agroindustri) menjadi sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi negara berkembang.
Menurut
Brown (1994) lebih setengah dari keseluruhan aktivitas manufaktur di negara berkembang adalah agroindustri. Menjelang akhir abad XX sekitar 37 persen manufaktur di wilayah Asia dan Pasifik adalah pada sektor agroindustri. Secara empiris, peran industri pengolahan hasil pertanian (agroindustri) terhadap pembangunan pertanian dan perdesaan dapat dilihat dari pengalaman India dalam menetapkan program yang mengintegrasikan pembangunan pertanian dan perdesaan (integrated agricultural and rural development) melalui pembangunan agroindustri di perdesaan.
Program tersebut dapat memberikan hasil yang
memuaskan, berupa : (1) kenaikan pendapatan petani, (2) penciptaan lapangan kerja baru, (3) membuka lapangan usaha baru, (4) mendorong tumbuhnya kegiatan sosial kemasyarakatan, dan (5) membuka wawasan masyarakat perdesaan terhadap teknologi dan sistem manajemen industri (Gaikwad, 1989). Lebih
lanjut
menurut
Alagh
(1989)
dasar
pertimbangan
untuk
pengembangan agroindustri di perdesaan adalah : (1) meningkatkan produktivitas pertanian, (2) meningkatkan pendapatan petani, (3) menciptakan lapangan kerja di luar sektor pertanian, (4) merangsang lembaga ekonomi diperdesaan, (5) menjadi
21
motor penggerak pembangunan perdesaan dan wilayah, dan (6) menumbuhkan jiwa kewirausahaan (enterpreneurship) masyarakat setempat. Pengalaman empiris beberapa negara berkembang di kawasan Asia dan Pasifik menunjukkan bahwa pembangunan agroindustri di perdesaan yang diikuti oleh proses difusi teknologi dapat meningkatkan akses petani terhadap teknologi produksi. Keadaan ini akan mengkatalis laju produksi pertanian dan meningkatkan produktivitas pertanian (Polman, 2000). Di samping itu, peningkatan laju produksi pertanian juga terjadi karena peningkatan permintaan bahan baku (backward lingkage) sebagai akibat berdirinya agroindustri (demand effect) (Saptari, 1993; Polman, 2000). Peningkatan permintaan ini sekaligus akan menggeser kurva permintaan dan menyebabkan terjadinya peningkatan harga sebagai akibat dari terjadinya excess demand (Gittinger, 1986; Gasperz, 2000). Peningkatan harga produk pertanian akan meningkatkan pendapatan petani. Pembangunan agroindustri di perdesaan dapat menyerap tenaga kerja yang ada di perdesaan. Hal ini dimungkinkan karena agroindustri pada umumnya tidak memerlukan kualifikasi keahlian tenaga kerja yang tinggi (Saragih, 2007). Pembangunan agroindustri di perdesaan juga dapat menciptakan lapangan kerja turunan sebagai akibat dari meningkatnya permintaan bahan baku produk pertanian (Erwidodo, 1996). Peningkatan ketersediaan lapangan kerja dan lahirnya lapangan usaha baru di perdesaan sebagai akibat dibangunnya agroindustri dapat mencegah terjadinya urbanisasi, karena faktor-faktor yang mendorong penduduk perdesaan melakukan migrasi ke wilayah perkotaan (urbanisasi) adalah karena kelangkaan kesempatan kerja di perdesaan. Dengan demikian proses industrialiasi pertanian di perdesaaan dapat berperan dalam
22
mengurangi tekanan terhadap perekonomian di wilayah perkotaan. Peran lain industrialisasi pertanian terhadap pembangunan sektor perkotaan dapat dilihat dari fungsinya sebagai penyedia bahan baku untuk industri di perkotaan, disamping itu sebagai penyedia bahan pangan bagi pekerja di sektor perkotaan. 2.3. Penelitian Terdahulu tentang Sektor Pertanian dan Kemiskinan Penelitian tentang sektor pertanian
dengan
menggunakan
model
Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SAM) telah banyak dilakukan. Priyarsono et al. (2008), melakukan studi eksplorasi berbagai sektor pertanian dalam pembangunan perekonomian Indonesia.
Hasil studi ini memberi kesimpulan bahwa
pembangunan sektor pertanian bukan saja bertujuan meningkatkan pendapatan rumahtangga, namun juga lebih berpihak pada kaum miskin, terutama yang berada di perdesaan, bila dibandingkan dengan pembangunan sektor industri non pertanian. Dengan menggunakan pendekatan SAM Thailand, Thaiprasert (2006), mengkaji tentang peranan sektor pertanian dan sektor industri di dalam pembangunan ekonomi negara Thailand.
Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa analisis terhadap sektor unggulan terutama sektor pertanian memiliki peran penting
terhadap sektor lainnya dibandingkan dengan sektor non pertanian.
Investasi sektor pertanian memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang (backward and forward lingkage), ini membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi Thailand terletak pada sektor pertanian dan sektor yang terkait dengan sektor pertanian yaitu agroindustri. Nokalla (2002), mengemukakan bahwa injeksi pengeluaran aktual pada program investasi sektor pertanian (ASIP) di negara Zambia dengan
23
menggunakan kerangka SAM 1995 menyimpulkan bahwa Agricultural Sector Investment Program akan mendorong produksi pertanian komersial tumbuh lebih besar daripada pertanian non komersial. Ditinjau dari aspek pendapatan program ASIP dapat meningkatkan pendapatan rumahtangga perdesaan tidak berkeahlian lebih besar daripada rumahtangga perkotaan tidak berkeahlian dan berkeahlian. Penelitian ini memberi pandangan bahwa investasi di sektor pertanian menguntungkan penduduk perdesaan terutama bagi kelompok berpendapatan rendah. Arndt et. al. (1998), melakukan penelitian dengan fokus utama di sektor pertanian yang menggunakan data SAM Mozambique 1995 dengan MOZAM. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa : (1) pengembangan pertanian dapat mengurangi (2)
kesenjangan
pengembangan
pendapatan
pertanian
antara
sangatlah
perkotaan
bersesuaian
dan
dalam
perdesaan. membangun
keseluruhan kegiatan produksi, nilai tambah dan pendapatan rumahtangga, dan (3) strategi pertumbuhan yang ditujukkan untuk mengurangi kemiskinan harus memfokuskan diri pada sektor pertanian. Strategi tersebut didasarkan pada nilai multiplier melalui aliran perekonomian masyarakat perdesaan. Penelitian yang dilakukan oleh Suwandee (1996), yang melihat hubungan jangka pendek dan jangka panjang antara pertumbuhan sektor pertanian dan industri. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa kemajuan sektor pertanian dan pertumbuhan industri memberikan kontribusi satu sama lain dalam proses pembangunan.
Data yang digunakan dengan dua kategori yakni data
Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan yang cenderung memberlakukan derajat proteksi yang
tinggi terhadap sektor pertanian,
sedangkan data Indonesia,
Malasyia dan Thailand yang cenderung tidak berpihak terhadap sektor pertanian.
24
Hasil analisis dengan metode error correction ditemukan bahwa ada hubungan dua arah (bi-directional) antara sektor pertanian dan pertumbuhan industri pada semua negara kecuali pada kasus negara Malasyia. Sipayung (2000) melakukan penelitian tentang pengaruh kebijakan makroekonomi terhadap sektor pertanian di Indonesia.
Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa peningkatan alokasi investasi pemerintah dan perbankan pada sektor pertanian akan meningkatkan minat investasi swasta pada sektor pertanian.
Peningkatan pangsa alokasi investasi swasta asing pada sektor
pertanian sebesar 14 persen dan pangsa alokasi investasi swasta domestik pada sektor pertanian sebesar 9.46 persen. Dampaknya terhadap kapital stok pada total sektor pertanian meningkat sebesar 8.87 persen, sementara kapital stok sektor non pertanian turun sebesar 2 persen dan mempengaruhi produksi pada sektor pertanian dan sektor non pertanian. Dengan
menggunakan
model
Sistem
Neraca
Sosial
Ekonomi
Downey (1984), mencoba menganalisis ketimpangan pendapatan yang terjadi di Indonesia, untuk melihat siapa mendapat apa (Who gets What).
Untuk
menggambarkan kondisi ini, Downey melakukan disagregasi terhadap institusi rumahtangga berdasarkan buruh tani, buruh non-pertanian, desa-kota, dan lain sebagainya. Kemudian baru dianalisis distribusi pendapatan yang diterima oleh masing-masing klasifikasi rumahtangga tersebut. Pendapatan terendah diterima oleh rumahtangga buruh tani sedangkan yang tertinggi diterima oleh tenaga kerja perkotaan dan diikuti oleh pemilik tanah di atas lima hektar. Thorbecke (1985) menggunakan kerangka SNSE untuk menganalisis dampak langsung dan tidak langsung pilihan teknologi terhadap distribusi pendapatan, jumlah pendapatan, komposisi output dan kesempatan kerja
25
di Indonesia. Dalam enam sektor yang spesifik dampak dari substitusi teknologi dilihat dengan menggunakan SNSE secara terpisah. Dengan menggunakan analisa fixed price multiplier diperoleh gambaran tentang pola distribusi pendapatan dan kesempatan kerja yang lebih sensitif dalam mengadopsi teknologi baru. Dengan menggunakan analisis multiplier SAM Bautista (2000), mengkaji pengaruh pertumbuhan produktivitas terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan dan dampaknya terhadap pemerataan pendapatan rumah tangga di Vietnam Tengah.
Dalam kajian tersebut Bautista mengelompokkan unsur
perekonomian ke dalam 25 aktivitas atau sektor produksi, 5 kelompok faktor produksi tenaga kerja serta mengelompokkan institusi ke dalam 4 golongan rumahtangga desa-kota berdasarkan kelompok pendapatan, 2 kelompok perusahaan (BUMN dan non BUMN), pemerintah dan neraca kapital serta Rest of the World (ROW).
Hasil analisis multiplier tersebut menunjukkan bahwa
multiplier GDP sektor pertanian lebih besar dibandingkan dengan
sektor
pertambangan dan industri serta jasa. Komoditas ubikayu, ubi jalar dan ternak, yang sebagian besar ditujukan untuk pasar lokal justru memiliki multiplier terbesar, sebaliknya beras dan komoditas lain yang berorientasi ekspor memiliki multiplier terkecil. Sektor industri, khususnya industri-industri skala besar yang padat modal dan kandungan impor tinggi memiliki multiplier yang relatif kecil dan sebaliknya untuk sektor industri pengolahan hasil pertanian. Dengan
menggunakan
model
Sistem
Neraca
Sosial
Ekonomi,
Manaf (2000) meneliti pengaruh subsidi harga pupuk terhadap pendapatan petani melalui analisis jalur struktural atau Structural Path Analysis (SPA). SPA ini digunakan untuk mengidentifikasi jalur-jalur asal pengaruh yang dipancarkan dari satu sektor asal ke sektor-sektor tujuan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
26
pengaruh yang terbesar dari adanya subsidi harga pupuk diterima oleh sektor perkebunan, sedangkan pengaruh paling kecil justru diterima oleh rumahtangga petani pemilik luas lahan 0.5-1.0 hektar, itupun setelah melalui faktor produksi modal. Penelitian yang dilakukan oleh Ravallion dan Datt (1999) yang mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi pengurangan kemiskinan di India.
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa rata-rata hasil pertanian yang lebih tinggi, pengeluaran pembangunan wilayah yang lebih tinggi, output non pertanian (baik di perdesaan maupun di perkotaan) dan inflasi yang rendah. Elastisitas penurunan kemiskinan terhadap variabel-variabel tersebut hampir sama untuk seluruh wilayah, kecuali untuk variabel peningkatan output non pertanian. Kajian Ravallion dan Datt (1999) diperoleh hasil bahwa penurunan kemiskinan absolut di perdesaan berhubungan negatif terhadap upah riil di perdesaan dan terhadap rata-rata hasil pertanian, tetapi berhubungan positif terhadap harga bahan pangan. Dengan demikian harga pangan yang rendah akan menurunkan tingkat kemiskinan karena sebagian besar penduduk miskin di perdesaan India tidak memiliki lahan sehingga mereka adalah pembeli pangan. Dengan menggunakan data Amerika Latin, De Janvry dan Sadoulet (2000), mengkaji hubungan antara elastisitas distribusi (pendapatan dan aset) terhadap penurunan kemiskinan dengan pertumbuhan agregat. Elastisitas kemiskinan di perkotaan terhadap pertumbuhan pendapatan secara agregat sebesar -0.95 dan hasil kajian tersebut juga menunjukkan bahwa variabel-variabel pertanian tidak berpengaruh terhadap kemiskinan di kota. Di sisi lain, hasil kajian juga menunjukkan bahwa tingkat ketidakmerataan pendapatan berpengaruh
27
terhadap
elastisitas
kemiskinan,
dimana
ketidakmerataan
yang
rendah
meningkatkan nilai absolut elastisitas tersebut yang bertanda negatif. Decaluwe et al. (1999) mengkaji ulang penelitian sebelumnya (Decaluwe et al., 1998) dengan menggabungkan kerangka Social Accounting Matrix (SAM) pada model CGE untuk mengetahui
dampak liberalisasi perdagangan dan
reformasi tarif terhadap kemiskinan. Kerangka Social Accounting Matrix (SAM) yang diadopsi untuk model CGE adalah pengelompokan rumahtangga. Hasil kajian menunjukkan bahwa dampak penurunan harga ekspor tanaman pangan terhadap kemiskinan rumahtangga yaitu menurunkan head-count ratio untuk seluruh kelompok rumahtangga kecuali rumahtangga di perdesaan. Rumahtangga perdesaan menunjukkan head-count ratio tertinggi yaitu sebesar 92.9 persen populasi berada di bawah garis kemiskinan. Dibandingkan dengan nilai tahun dasar, nilai head-count ratio mengalami perbaikan hanya sebesar 0.4 persen, yang berarti bahwa hanya sedikit sekali rumahtangga yang mengalami penurunan kemiskinan. Kelompok rumahtangga
perkotaan, khususnya untuk kelompok
rumahtangga yang berpendidikan tinggi, peningkatan harga ekspor tanaman pangan menyebabkan peningkatan head-count ratio (P 0 ) yang tertinggi yaitu sebesar 0.5 persen sampai 0.8 persen, yang berarti terjadi peningkatan kemiskinan pada
kelompok
menyebabkan
rumahtangga
ukuran
poverty
tersebut. gap
Dampak
menurun
reformasi
untuk
tarif
seluruh
impor
kelompok
rumahtangga. Tetapi perbaikan kemiskinan tersebut kurang begitu berarti bagi kelompok
rumahtangga
perdesaan
dan
rumahtangga
perkotaan
yang
berpendapatan tinggi. Thorbecke dan Jung (1996) menggunakan analisis multiplier untuk mengkaji dampak shock atau goncangan terhadap kemiskinan. Hasil analisis
28
diperoleh bahwa elastisitas kemiskinan terhadap rata-rata pendapatan, nilainya berhubungan
positif dengan
perbedaan rata-rata pendapatan dengan garis
kemiskinan. Selanjutnya nilai elastisitas tersebut digunakan untuk menghitung indeks kemiskinan FGT Penelitian yang mengkaji peran sektor pertanian terhadap pengurangan kemiskinan, distribusi pendapatan dan pembangunan ekonomi di Chile dilakukan oleh O’Ryan dan Sebastian (2003) dengan menggunakan model CGE. Model CGE digunakan untuk melihat dampak dari dua goncangan, yaitu : (1) peningkatan produktivitas tenaga kerja dan kapital di masing-masing sektor sebesar 2 persen, dan (2) pemberian subsidi harga untuk masing-masing sektor, yaitu sektor pertanian, agroindustri dan industri. Para peneliti tersebut menyadari bahwa memberikan shock dalam bentuk persentase seperti dilakukan adalah tidak fair, karena besaran shock tidak sama dikarenakan masing-masing sektor memiliki ukuran yang berbeda sehingga rasio tenaga kerja dan kapital pun juga berbeda. Namun ide dasarnya adalah untuk mengetahui dampak shock tersebut terhadap penurunan kemiskinan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak peningkatan produktivitas tenaga kerja atau kapital di sektor industri terhadap kinerja makroekonomi lebih besar dibandingkan dengan
di sektor pertanian,
tetapi dampaknya terhadap distribusi pendapatan sangat berbeda, dimana peningkatan produktivitas kapital di sektor industri menurunkan tingkat pemerataan, namun sebaliknya untuk sektor pertanian. Pola yang sama juga terjadi untuk peningkatan produktivitas tenaga kerja. Bagaimana dampak terhadap pengurangan kemiskinan? Meskipun sektor industri memberikan dampak yang lebih baik terhadap kinerja ekonomi, namun dampak yang ditimbulkan terhadap pengurangan kemiskinan justru 25 persen lebih rendah dibanding sektor pertanian.
29
Hasil kajian lainnya tentang kemiskinan yang dilakukan di Indonesia diantaranya adalah Sutomo (1995) dengan model Sistem Neraca Sosial Ekonomi mencoba membandingkan kemiskinan dan pembangunan ekonomi yang terjadi pada dua wilayah, yaitu Provinsi Riau dan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), diperoleh hasil bahwa dalam pembangunan ekonomi yang dilakukan selama ini telah terjadi ketimpangan pendapatan antar dua wilayah dan ketimpangan juga terjadi antar kelompok rumahtangga dikedua wilayah.
Masyarakat miskin
(dengan pendapatan terendah) diterima oleh rumahtangga buruh non-pertanian dan tertinggi pada kelompok rumahtangga bukan buruh non-pertanian (terjadi pada kedua Provinsi). Ketimpangan pendapatan ini ditunjukkan oleh indeks gini kedua Provinsi tersebut melebihi 0.5, sedangkan dengan menggunakan analisis distribusi pendapatan faktorial, menunjukkan Provinsi NTT intensif tenaga kerja sedangkan di Provinsi Riau terjadi sebaliknya yaitu intensif modal. Ini berarti pada kedua Provinsi, bila terjadi peningkatan penggunaan tenaga kerja dan modal memiliki peranan penting dalam meningkatkan nilai tambah bruto wilayah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Simatupang dan Darmorejo (2003) menunjukkan bahwa PDB sektor pertanian memiliki dampak terhadap insiden kemiskinan di perdesaan yang lebih besar dibanding sektor lainnya, sedangkan kemiskinan di perkotaan terutama dipengaruhi oleh PDB sektor industri. Namun demikian PDB sektor lain, yaitu industri dan non pertanian lainnya juga berpengaruh terhadap insiden kemiskinan. Kajian ini lebih menarik karena insiden kemiskinan juga dipengaruhi oleh harga beras, dengan demikian strategi pembangunan yang efektif untuk pengentasan kemiskinan adalah strategi pembangunan yang lebih menitikberatkan pada pembangunan yang berbasis pertanian (Agricultural Led-Development), khususnya subsektor tanaman pangan.
30
Pyatt dan Round (2004) dengan menggunakan model SAM atau SNSE Indonesia Tahun 1980 untuk mengkaji efek pengganda harga tetap terhadap penurunan kemiskinan di Indonesia. Hasil kajian menunjukkan proporsi penduduk miskin
perubahan
dipengaruhi oleh perubahan pendapatan dan
perubahan harga. Namun perubahan harga tersebut hanya akan berarti jika garis kemiskinan berbeda.
untuk masing-masing kelompok rumahtangga bergerak secara
Pada model pengganda harga tetap efek perubahan harga tersebut
diabaikan. Booth (2000), melihat bahwa masalah kemiskinan dan pemerataan selama era Presiden Soeharto dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa head-count ratio di Indonesia pada akhir Tahun 1980-an dibawah Philipina, tetapi di atas Malaysia dan Thailand. Diantara Tahun 1987 – 1996 , kemiskinan relatif secara agregat
menurun
lambat,
namun
untuk
wilayah
perkotaan
mengalami
peningkatan. Booth mendukung bahwa pembangunan pertanian dan perdesaan merupakan hal penting untuk mengurangi kemiskinan di Indonesia. Namun menurut Booth program-program pembangunan perdesaan hendaknya tidak lagi difokuskan pada tanaman pangan seperti yang telah dilakukan di masa lalu, melainkan lebih difokuskan pada kebutuhan-kebutuhan spesifik untuk penduduk miskin di daerah-daerah miskin. 2.4. Teori Basis Ekonomi Teori basis ekonomi (Economic base models theory) memfokuskan pada keterkaitan antar sektor dengan menkarakteristikan suatu wilayah (region) yakni membedakan industrial kelompok sektor yaitu sebagai sektor basis dan sektor non basis. Sektor basis adalah sektor yang kinerjanya terutama tergantung pada kondisi
31
ekonomi eksternal terhadap ekonomi lokal, sementara sektor non basis kinerjanya tergantung pada kondisi ekonomi internal terhadap ekonomi lokal. Definisi eksternal dan internal tergantung kepada lokasi pasar sektor output. Industri yang cakupan pasarnya bersifat nasional ataupun global, cenderung menjual hampir semua outputnya di luar daerah atau region. Industri ini dikelompokkan sebagai basic industries atau export-base industries (McCann, 2001). Richardson (1997); Sambodo (2002), mengemukakan bahwa model teori ini menjelaskan struktur perekonomian daerah terdiri atas 2 sektor. Pertama, Sektor unggulan yaitu sektor atau kegiatan ekonomi yang melayani baik pasar domestik maupun pasar luar daerah. Ini berarti secara tidak langsung mempunyai kemampuan untuk menjual barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor tersebut ke daerah lain. Kedua, Sektor non unggulan yaitu sektor atau kegiatan yang hanya mampu melayani pasar di daerah itu sendiri. Dalam teori basis ekonomi, pertumbuhan wilayah jangka panjang bergantung
pada
kegiatan
industri
ekspornya.
Kekuatan
utama
dalam
pertumbuhan wilayah adalah permintaan eksternal akan barang dan jasa yang dihasilkan dan diekspor oleh wilayah itu. Permintaan eksternal ini mempengaruhi penggunaan modal, tenaga kerja, dan teknologi untuk menghasilkan komoditas ekspor. Dengan kata lain, permintaan komoditas ekspor akan membentuk keterkaitan ekonomi, baik ke belakang (kegiatan produksi) maupun ke depan (sektor pelayanan). Teori basis ekonomi mengandung daya tarik intensif dan kesederhanaan dan dianggap sebagai dasar teori. Berdasarkan konsep beberapa sektor ekonomi lokal mengantarkan kekuatan ekonomi eksternal kedalam wilayah untuk menstimulasi perubahan secara cepat. Perubahan pendapatan wilayah tergantung pada perubahan permintaan ekspor.
32
Menurut Arsyad (1999) bahwa pada akhirnya teori ini menyatakan bahwa karena sektor unggulan menghasilkan barang dan jasa untuk dipasarkan diluar daerah yang bersangkutan, maka penjualan keluar daerah akan menghasilkan pendapatan bagi daerah tersebut. Terjadinya arus pendapatan dari luar daerah ini menyebabkan terjadinya kenaikan konsumsi dan investasi didaerah tersebut dan pada gilirannya akan menaikkan pendapatan dan menciptakan kesempatan kerja baru.
Peningkatan pendapatan tersebut tidak hanya menaikkan permintaan
terhadap sektor unggulan, tetapi juga menaikkan permintaan akan sektor non unggulan. Berdasarkan teori ini, sektor unggulanlah yang harus dikembangkan untuk memacu pertumbuhan ekonomi suatu wilayah.
Sektor unggulan salah
satunya dipengaruhi oleh keberadaan faktor anugerah (endowment factors), kriteria sektor unggulan akan sangat bervariasi. Hal ini didasarkan atas seberapa besar peranan sektor tersebut dalam perekonomian daerah, yaitu : 1. Sektor unggulan tersebut memiliki laju pertumbuhan yang tinggi. 2. Sektor tersebut memiliki angka penyerapan tenaga kerja yang relatif besar. 3. Sektor tersebut memiliki keterkaitan antar sektor yang tinggi, pengembangan sektor unggulan ini sangat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan pemerintah daerah (Sambodo, 2002). Untuk mempercepat perkembangan pembangunan wilayah harus diberikan penekanan pada sektor-sektor unggulan yang dapat memberikan dampak lebih luas terhadap kesejahteraan serta memberikan efek pengganda (multiflier effect) pada sektor lain. Dengan memberikan penekanan pada sektor-sektor tertentu secara simultan dapat dicapai peningkatan kesejahteraan dan pengembangan wilayah secara lebih luas. Hal ini juga berkaitan dengan perencanaan ke depan yaitu adanya kecenderungan terjadinya proses transformasi struktur perekonomian
33
pada suatu wilayah, sehingga dituntut kesiapan wilayah untuk menfasilitasi dengan upaya pemberdayaan untuk mengejar ketertinggalan sekaligus upaya antisipasi perubahan intensitas pembangunan sektoral (Widayanto, 2000). Untuk memahami model basis ekonomi, misalkan kita berada dalam suatu wilayah dimana kita dengan mudah bisa mensfesifikasi industri lokal yang merupakan sektor basis dan non-basis. Bentuk yang paling lazim dari model ekonomi basis yakni memperlakukan tenaga kerja sebagai proksi tingkat output. Pada kasus semacam ini, struktur tenaga kerja pada ekonomi lokal didefinisikan sebagai : T = B + N ,...............................................................................................(1)
dimana : T = Total tenaga kerja regional B = Tenaga kerja basis N = Tenaga kerja non basis Pada pendekatan basis ekonomi, kita asumsikan bahwa output sektor non basis ditentukan oleh kinerja ekonomi lokal secara keseluruhan, sedangkan kinerja sektor basis ditentukan oleh faktor-faktor eksogen terhadap ekonomi lokal. Dengan demikian kita dapat menulis N= nT, dimana n adalah suatu koefesien antara 0 dan 1 yang menunjukkan tingkat sensitifitas tenaga kerja di sektor basis terhadap total tingkat tenaga kerja yang di kembangkan di wilayah itu. Dengan demikian dapat ditulis,
T = B + N ,....................................................................................................(2) dan dimodifikasi menjadi :
T 1 = ,...................................................................................................(3) B 1− n Rasio T/B disebut economic base multiplier, dan menunjukkan hubungan antara tenaga kerja di sektor basis dan tenaga kerja di keseluruhan ekonomi. Makin
34
tinggi rasio T/B, makin besar economic base multiplier.
∆T =
1 ∆B,................................................................................(4) 1− n
Oleh karena itu, untuk setiap perubahan ∆B pada level tenaga kerja di sektor basis, total tenaga kerja regional akan meningkat sebesar ∆T . Secara implisit pada argumen ini diasumsikan bahwa total tenaga kerja di wilayah ini merupakan suatu fungsi tenaga kerja yang di kembangkan oleh sektor basis. Kuat tidaknya keterkaitan antara total tenaga kerja regional dan tenaga kerja sektor basis diindikasikan oleh 1/ (1–n), dimana n menunjukkan kekuatan atau sensitifitas keterkaitan antara ekonomi lokal dan aktivitas yang terorientasi secara lokal. Dengan demikian bisa dimengerti mengapa asumsi kinerja ekonomi lokal secara keseluruhan tergantung pada kinerja sektor basis. Pada saat yang bersamaan, tenaga kerja yang dikembangkan oleh sektor basis akan memerlukan input yang ditawarkan (supply) oleh sektor non basis. Koefisien n dapat dianggap sebagai suatu parameter keterkaitan pengeluaran (expenditure lingkage), yang menggambarkan kekuatan permintaan (demand) oleh sektor basis untuk sektor input lokal non basis. Makin tinggi nilai n, makin kecil nilai (1 – n) dan makin besar economic base multiplier T/B = 1/(1 – n). Keterkaitan permintaan antara perusahaan yang berlokasi di wilayah yang sama cenderung akan lebih tinggi. Hubungan ekonomi basis mungkin lebih kompeks dibanding dengan penjelasan sederhana pada persamaaan (3). Dalam hal ini, model ekonomi basis dapat ditunjukkan sebagai berikut :
T = B + ( N 0 + n1T ),............................................................................(5) dimana No menunjukkan level aktivitas tenaga kerja non basis yang merupakan daerah dari sektor basis. Dengan demikian menjadi :
35
T=
N0 B + ,............................................................................(6) 1 − n1 1 − n1
dengan demikian kita mempunyai persamaan : ∆T =
1 ∆B,.....................................................................................(7) 1 − n1
Hasil persamaan (7) sama dengan persamaan (4). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun non-basic sector adalah bagian dari daerah sektor basis, dalam keadaan dimana pertumbuhan marjinal dari non sektor basis adalah konstan dibandingkan sektor basis, nilai economic base multiplier akan berubah. Untuk tujuan praktis, model yang dijelaskan mulai dari persamaan (1) sampai persamaan (7) bisa bermanfaat karena persamaan tersebut merupakan estimasi ekonometrika sederhana dalam bentuk, T = α + β B + e,..................................................................................(8)
dimana nilai α yang diestimasi dan β memberikan nilai untuk N0/(1 – n) dan 1/(1 – n) secara berturut-turut, pada persamaan (6). Dalam kasus yang paling sederhana yang ditunjukkan oleh persamaan (1) hingga persamaan (4), nilai No/(1– n) akan nol dan 1/(1– n) akan menjadi positif, sedangkan pada kasus dimana sektor non basis adalah bagian daerah dari sektor basis akan dijelaskan melalui persamaan (9) hingga persamaan (12). Keterkaitan antar sektor terlihat sebagai berikut : n
=
n0
+
n1B
..........................................................................................................(9) dengan demikian diperoleh persamaan (10) : T = B + (n0 + n1 B )T ,......................................................................................(10)
yang dirumuskan kembali hingga menjadi :
36
1 + n1T T = B 1 − n0
,..................................................................................(11)
dan,
1 − n1T ,.....................................................................................(12) ∆T = ∆B 1 − n0 Nilai economic base multiplier akan meningkat sejalan dengan tingkat ukuran total dari tenaga kerja di wilayah itu. Implikasi dari ini semua adalah bahwa pertumbuhan regional akan menjadi lebih sensitif terhadap pertumbuhan di sektor basis karena meningkatnya ukuran wilayah (McCann, 2001). 2.5. Teori Pertumbuhan Ekonomi dan Investasi Perencanaan pembangunan pada umumnya berorientasi pada masalah pertumbuhan (growth) (Widodo, 1990). Lebih lanjut menurut Wijaya (1999) bahwa pertumbuhan ekonomi adalah proses terjadinya kenaikan produk domestik regional bruto riil atau pendapatan nasional riil atau pertumbuhan ekonomi terjadi bila ada kenaikan output perkapita. Sementara itu menurut Boediono (1981), pertumbuhan ekonomi adalah suatu kegiatan yang menjelaskan faktor apa saja yang menentukan output dalam jangka panjang. Faktor-faktor tersebut saling berinteraksi antara satu dengan yang lain dan mengakibatkan terjadinya proses pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi adalah kemampuan jangka panjang suatu perekonomian untuk memproduksi aneka macam barang dan jasa bagi warganya dan menyediakan teknik produksi yang semakin baik dalam proses tersebut. Pembangunan mencakup pertumbuhan ekonomi, tetapi merangkum pula faktorfaktor yang lebih luas seperti perubahan kelembagaan yang memberi peluang terjadinya pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi merujuk pada
37
pertumbuhan ekonomi negara maju, sedangkan secara umum pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang masih tetap tidak berpola sama. Todaro (2000) mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita dalam jangka panjang. Determinan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang adalah akumulasi modal, pertumbuhan penduduk, dan kemajuan teknologi. Menurut teori Solow (Barro, 1993) modal meliputi modal fisik (mesin dan bangunan), dengan melihat akumulasi modal merupakan elemen pertumbuhan namun demikian bekerjanya deminishing return berdampak pada tidak berlanjutnya pertumbuhan hanya dengan menambah stok modal. Dalam model tersebut, masalah teknologi dianggap fungsi dari waktu, oleh sebab itu fungsi produksinya berbentuk :
Yi = f i ( K , L, t )................................................................................(13) Dalam kerangka ekonomi wilayah, Richardson dalam Sihotang (1977), kemudian menderivasikasi rumus di atas menjadi sebagai berikut :
Yi = ai ki + (1 − ai )ni + T ..........................................................................(14) dimana : Yi
= Besarnya output
ki
= Tingkat pertumbuhan modal
ni
= Tingkat pertumbuhan tenaga kerja
Ti
= Kemajuan teknologi
a
= Bagian yang dihasilkan oleh faktor produksi
(1-a) = Bagian yang dihasilkan oleh faktor diluar model Agar faktor produksi selalu berada pada kapasitas penuh perlu mekanisme yang menyamakan investasi dengan tabungan (dalam kondisi full employment). Dengan demikian, pertumbuhan yang tinggi membutuhkan syarat bahwa :
38
MPK i = ai
Yi = p.........................................................................................(15) Ki
dimana : MPK i = Marginal productivity of capital Jika p sudah tertentu dan a tetap konstan maka Y dan K harus tumbuh dengan tingkat yang sama. Syarat keseimbangan bagi keseluruhan sistem adalah
∑I i =1
i
= ∑ S i , walaupun disuatu wilayah (region) tabungan bisa saja tidak sama i =1
dengan investasi. Suatu daerah akan mengimpor modal jika tingkat pertumbuhan modalnya lebih kecil dari rasio tabungan domestik terhadap modal. Dalam pasar persaingan sempurna Produktivitas Marginal tenaga kerja (MP L ) adalah fungsi langsung tapi bersifat terbalik dari Produktivitas Marginal modal (MP K ). Hal ini bisa dilihat dari nilai rasio modal tenaga kerja (K/L) (Tarigan, 2006). Investasi merupakan faktor yang esensial dalam proses pertumbuhan ekonomi. Adanya investasi akan mendorong peningkatan modal per tenaga kerja (per kapita). Output sebagai fungsi dari modal dapat ditulis dalam persamaan yit = akitβ . Adanya kenaikan jumlah modal per kapita akan dapat meningkatkan
output ekonomi.
Pentingnya investasi dalam proses pertumbuhan ekonomi,
khususnya pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang banyak dibahas dalam studi-studi yang dilakukan oleh Romer pada dekade 80-an.
Dengan adanya
peningkatan investasi akan mendorong inovasi yang akan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Sebagai ilustrasi dengan adanya investasi meningkatkan pertumbuhan ekonomi dapat ditunjukkan oleh Gambar 3. Dengan adanya investasi oleh pemerintah daerah maupun swasta di sektor pertanian dan industri pengolahan hasil pertanian, maka produksi barang dan jasa akan meningkat yang ditandai
39
dengan bergesernya kurva agregat supply dari
AS 1 menjadi AS 2 sehingga
harga-harga turun dari P 1 menjadi P 2 . Harga yang relatif rendah sudah tentu lebih mensejahterakan konsumen, yang dalam hal ini adalah masyarakat luas. Secara keseluruhan terjadi pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan meningkatnya output yang ditandai dengan bergesernya output dari Y 1 ke Y 2 . P AS1 AS2
P1 P2
AD
0
Y1
Y2
Y
Sumber : Mankiw (2003) Gambar 3. Pertumbuhan Ekonomi melalui Peningkatan Agregat Supply Jika dimisalkan investasi di sektor pertanian dan industri pengolahan hasil pertanian tidak ditingkatkan maka tidak terjadi peningkatan produksi barang dan jasa yang ditandai kurva agregat supply tidak bergeser ke kanan, seperti terlihat pada Gambar 4. P AS P2 P1 Y AD2 AD1
0
Y1
Y2
Y
40
Sumber : Mankiw (2003) Gambar 4. Pertumbuhan Ekonomi karena Peningkatan Agregat Demand Sementara itu penduduk terus bertambah yang mengakibatkan permintaan agregat meningkat yang ditandai dengan bergesernya kurva agregat demand dari AD 1 menjadi AD 2 . Peningkatan permintaan akan menyebabkan terjadi peningkatan output yang ditandai dengan bertambahnya output dari Y 1 menjadi Y 2 . Pertumbuhan ekonomi yang dipicu oleh peningkatan konsumsi akan diikuti oleh kenaikan harga-harga secara umum (inflasi). Inflasi menyebabkan daya beli masyarakat turun, dan merupakan salah satu variabel makroekonomi yang menjadi perhatian pemerintah karena bila tidak dikendalikan akan menganggu stabilitas perekonomian. Jika agregat permintaan bertambah, dan diikuti pertambahan agregat supply, apalagi jika peningkatan agregat supply lebih tinggi daripada agregat demand, maka akan terjadi pertumbuhan ekonomi (Y meningkat dari Y 1 menjadi Y 2 ) dan harga-harga turun dari P 1 menjadi P 2 .
Kondisi inilah
yang diharapkan terjadi di suatu perekonomian seperti terlihat pada Gambar 5. P AS1 AS2 P2 P1
AD1
0 Sumber : Mankiw (2003)
Y1
Y2
Y
AD2
41
Gambar 5. Pertumbuhan Ekonomi melalui Peningkatan Agregat Demand dan Agregat Supply Pengertian pertumbuhan ekonomi dalam aspek jangka panjang adalah pertumbuhan ekonomi dengan melihat jangka waktu. Mengacu dari aspek tersebut, pertumbuhan ekonomi mengindikasikan bahwa aktivitas perekonomian atau tambahan pendapatan bagi masyarakat yang terjadi disuatu negara atau daerah pada periode tertentu.
Berdasarkan pemikiran tersebut pertumbuhan
ekonomi merupakan indikator yang sangat penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi disuatu negara atau wilayah.
Indikator pertumbuhan
ekonomi dapat dilihat berdasarkan kurun waktu tertentu misalnya selama 5 tahun atau periode tertentu tetapi dapat pula secara tahunan (Widodo, 1997), sehingga pengertian pertumbuhan ekonomi sebagai suatu proses merupakan gambaran tentang bagaimana suatu perekonomian berkembang atau berubah dari waktu ke waktu, tekanannya adalah pada perubahan atau perkembangan, sedangkan pengertian pertumbuhan ekonomi dalam sisi output total (PDB/PDRB) dari sisi jumlah penduduk, karena output perkapita adalah melihat apa yang terjadi dengan output total dan disisi lain juga melihat jumlah penduduk. Terdapat 3 (tiga) faktor atau komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi. Pertama, akumulasi modal (capital accumulation) yang meliputi semua jenis investasi yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik, dan modal sumberdaya. Akumulasi modal terjadi bila sebagian pendapatan di investasikan kembali dengan tujuan memperbesar output atau pendapatan di masa mendatang. Investasi yang bersifat langsung tersebut harus dilengkapi dengan berbagai investasi penunjang seperti infrastruktur ekonomi dan sosial misalnya pembangunan jalan raya, listrik, air bersih, sanitasi.
Kedua, Pertumbuhan
penduduk (growth in population) maksudnya adalah pertumbuhan penduduk
42
diikuti oleh pertumbuhan tenaga kerja sebagai salah satu faktor positif yang memacu pertumbuhan ekonomi, ini berarti pertambahan penduduk yang lebih besar akan menyebabkan pertumbuhan pasar domestik yang lebih besar. Namun positif atau negatifnya pertambahan penduduk dalam pembangunan ekonomi sepenuhnya tergantung pada kemampuan sistem perekonomian tersebut untuk menyerap setiap tambahan angkatan kerja.
Ketiga, Kemajuan teknologi
(technological progress), merupakan sumber ekonomi yang penting karena kemajuan teknologi akan menemukan cara dan teknologi baru yang dapat menggantikan cara lama untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan cepat (Romer, 2001; Todaro, 2000). Perekonomian daerah dapat dikatakan mengalami pertumbuhan apabila tingkat kemajuan ekonomi lebih tinggi dari yang telah dicapai pada periode sebelumnya, maksudnya adalah perkembangan baru akan terjadi bila jumlah output (barang-barang) yang dihasilkan dalam perekonomian tersebut volumenya meningkat pada periode berikutnya. Selain itu pembangunan ekonomi diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan suatu negara untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan taraf hidup masyarakatnya. Dengan adanya batasan tersebut maka pembangunan ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil perkapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang yang disertai perbaikan kelembagaan. Teori yang membicarakan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi regional sebagian dikutip dari teori-teori makro ekonomi dengan mengubah batas wilayah dan disesuaikan dengan lingkungan operasionalnya, seperti dalam teori makro ekonomi istilah ekspor dan impor adalah perdagangan dengan luar negeri, maka dalam ekonomi regional hal itu berarti perdagangan antar wilayah termasuk
43
perdagangan dengan luar negeri (Arsyad, 1999). Untuk mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi daerah perlu ditentukan prioritas pembangunan wilayah. Salah satu kebijakan yang perlu diambil adalah mengusahakan agar pembangunan wilayah disesuaikan dengan potensi daerah yang bersangkutan karena potensi tiap wilayah sangat bervariasi. Apabila prioritas pembangunan daerah tidak sesuai dengan potensi yang dimiliki daerah maka akan mengakibatkan tidak efektifnya sumberdaya
yang
dimiliki
dalam
pembangunan
sehingga
menghambat
peningkatan dan pembangunan wilayah. Pada dasarnya, aktivitas ekonomi yang dilaksanakan suatu wilayah merupakan mata rantai kegiatan yang saling menunjang antara satu sektor dengan sektor yang lain atau adanya keterkaitan satu produk dengan yang lainnya. Menurut Soegijoko (1997) bahwa pengembangan ekonomi wilayah tergantung pada sumberdaya yang dimiliki dan permintaan terhadap komoditas yang dihasilkan oleh sumberdaya alam. Dalam jangka pendek, sumberdaya alam merupakan suatu aset untuk memproduksi kebutuhan barang dan jasa. Untuk membandingkan besarnya nilai pendapatan wilayah, harus diketahui bahwa perubahan nilai pendapatan wilayah yang terjadi dari tahun ke tahun tersebut, dapat disebabkan oleh dua faktor, yakni : pertama, perubahan tingkat kegiatan ekonomi. Kedua, perubahan harga-harga. Oleh karena itu, untuk mengetahui
apakah
suatu
perekonomian
mengalami
pertumbuhan
dan
perkembangan perlu identifikasi penyebab perubahan pada nilai pendapatan wilayah. Suatu perekonomian wilayah mengalami pertumbuhan apabila tingkat kemajuan ekonomi lebih tinggi dari apa yang telah dicapai pada periode sebelumnya, maksudnya perkembangan baru akan terjadi bila output yang
44
dihasilkan dalam perekonomian tersebut volumenya meningkat.
Menurut
Arsyad (1999) ada 3 (tiga) tujuan pembangunan ekonomi daerah yakni : 1. Menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat 2. Mencapai stabilitasi ekonomi wilayah 3. Mengembangkan hasil ekonomi dan kesempatan kerja yang beraneka ragam Untuk mendeflasikan pendapatan regional atau pendapatan wilayah dilakukan dengan cara menggunakan Indeks Harga Konsumen (IHK). Indeks Harga Konsumen (IHK) ini merupakan indeks yang menunjukkan perubahan harga-harga dari berbagai barang yang dikonsumsi masyarakat dari waktu kewaktu, angka indeks pada tahun dasar (base year) selalu dinyatakan dengan angka 100. Dengan menggunakan IHK, pendapatan riil daerah dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan (16), sedangkan untuk melihat laju pertumbuhan ekonomi pada suatu tahun tertentu dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (17). Masing-masing persamaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : Yt =
100 xYbt ........................................................................................(16) IHK t
dimana : Yt
= Pendapatan wilayah riil pada tahun t
Yb t
= Pendapatan wilayah menurut harga yang berlaku pada tahun t
IHK t = Indeks harga konsumen pada tahun t Gt =
Yrt − Yrr −1 x100% ............................................................................(17) Yrt −1
dimana : Gt
= Tingkat
pertumbuhan
dinyatakan dalam persen
ekonomi
suatu
wilayah
yang
45
Yr t
= Pendapatan daerah riil pada tahun t
Yr t-1
= Pendapatan daerah riil pada tahun t-1
Untuk menghitung pendapatan wilayah per kapita harus diketahui dahulu tingkat pendapatan wilayah untuk berbagai tahun, karena pendapatan perkapita itu adalah pendapatan rata-rata penduduk maka dapat dilakukan dengan membagi pendapatan daerah dengan jumlah penduduk daerah tersebut pada tahun yang sama. Untuk memperoleh tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita dari tahun ke tahun ditentukan dengan menggunakan persamaan : gt =
YPt − YPt −1 x100% ............................................................................(18) YPt −1
dimana: = Pertumbuhan pendapatan per kapita pada suatu wilayah tahun
gt t
yang dinyatakan dalam persen YP t
= Pendapatan per kapita pada tahun t
YP t-1 = Pendapatan per kapita pada tahun t-1 2.6. Pendapatan Regional Pendapatan regional adalah tingkat pendapatan masyarakat pada suatu wilayah analisis (Tarigan, 2006). Lebih lanjut Soediyono (1992) mengemukakan bahwa pendapatan regional adalah nilai barang-barang dan jasa-jasa yang diciptakan dalam suatu perekonomian didalam suatu wilayah selama satu tahun. Berdasarkan hal tersebut beberapa istilah yang dapat digunakan untuk menggambarkan pendapatan regional, yakni : (1) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah jumlah nilai tambah bruto (gross value added) yang timbul
46
dari seluruh perekonomian disuatu daerah atau Provinsi. Komponen nilai tambah bruto adalah komponen faktor pendapatan : upah dan gaji, bunga, sewa tanah dan keuntungan; penyusutan dan pajak tidak langsung neto, dan (2) Produk Domestik Regional Neto (PDRN) dapat diperoleh dengan cara mengurangi PDRB dengan penyusutan. Penyusutan disini yakni nilai susut atau pengurangan nilai barangbarang modal (mesin, peralatan, kendaraan dan lain-lainnya) karena barang modal tersebut dipakai dalam proses produksi. Apabila nilai susut barang-barang modal dari seluruh sektor ekonomi dijumlahkan hasilnya merupakan penyusutan keseluruhan, lebih lanjut bila PDRN di atas dikurangi dengan pajak tidak langsung neto, maka diperoleh PDRN atas dasar biaya faktor. Secara garis besar metode perhitungan pendapatan regional dibedakan menjadi 2 metode, yakni metode langsung dan metode tidak langsung. Metode langsung adalah perhitungan dengan menggunakan data daerah atau data asli yang menggambarkan kondisi daerah dan digali dari sumber data yang ada di daerah sedangkan metode tidak langsung menggunakan data yang bersumber dari data nasional yang dialokasikan ke masing-masing daerah. Menurut Soediyono (1992); Tarigan (2006), ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan untuk menghitung pendekatan regional dengan menggunakan metode langsung.
Pertama,
pendekatan pengeluaran, yakni cara penentuan pendapatan dengan cara menjumlahkan seluruh nilai penggunaan akhir dari barang dan jasa yang diproduksi di dalam negeri.
Bila dilihat dari segi penggunaan maka total
penyediaan atau produksi barang dan jasa itu digunakan untuk : konsumsi rumahtangga, konsumsi lembaga swasta yang tidak mencari untung, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap bruto (investasi), perubahan stok, dan ekspor netto. Total barang dan jasa yang tersedia di dalam negeri adalah total
47
barang yang diproduksi di tambah impor dikurangi ekspor, karena yang dihitung hanya nilai barang dan jasa yang diproduksi dalam negeri maka total konsumsi harus dikurangi dengan nilai impor kemudian ditambah dengan nilai ekspor. Penjumlahan ke enam unsur di atas disebut sebagai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Kedua, pendekatan produksi, dilakukan dengan cara menjumlahkan nilai produksi yang diciptakan oleh tiap-tiap sektor yang ada dalam perekonomian. Dalam konteks penyusunan neraca Input-Output (I-O) atau Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE), sektor-sektor produksi bisa dipecah menjadi 11 sektor, 66 sektor, atau 172 sektor, sesuai dengan kebutuhannya. Untuk menghitung pendapatan regional berdasarkan pendekatan produksi maka yang pertama dilakukan adalah menentukan nilai produksi yang dihasilkan oleh tiap-tiap sektor di atas. Pendapatan regional diperoleh dengan cara menjumlahkan nilai produksi yang tercipta dari tiap sektor. Untuk menghitung PDRB dengan cara di atas, yang dijumlahkan hanya nilai tambah produksi atau value added yang diciptakan masing-masing sektor, sehingga dapat menghindari perhitungan double counting. Selain itu cara ini akan menunjukkan sumbangan sebenarnya dari tiap-tiap sektor dalam menciptakan produksi regional. Dalam konteks analisis Input-Output (I-O) perhitungan PDRB dapat dilihat pada kwadran III, dan secara matematika dapat dilihat pada persamaan berikut : PDRB = VA1 + VA2 + VA3 .......................... + VAn , atau n
PDRB = ∑VAi .......................................................................................(19) i =1
dimana : VA
= Nilai tambah sektor produksi regional
48
i
= Jumlah sektor produksi regional
Ketiga, pendekatan penerimaan, dilakukan dengan cara menjumlahkan pendapatan faktor-faktor produksi yang digunakan dalam memproduksi barang-barang dan jasa-jasa , yang dijumlahkan adalah : upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan, dan pajak tidak langsung neto. Perhitungan metode pendapatan
regional
dengan
cara
tidak
langsung
dilakukan
dengan
mengalokasikan pendapatan nasional (produk domestik bruto/PDB) ke masingmasing wilayah, misalnya mengalokasikan PDB Indonesia ke setiap Provinsi dengan menggunakan alokator tertentu. Alokator yang dapat digunakan adalah : nilai produksi bruto atau netto setiap sektor/subsektor, jumlah produksi fisik, tenaga kerja, penduduk, dan alat ukur tidak langsung. 2.7. Ketimpangan Distribusi Pendapatan Pembangunan ekonomi tidak dapat diukur hanya semata-mata dari tingkat pertumbuhan pendapatan atau pendapatan perkapita, namun harus pula dilihat bagaimana pendapatan tersebut didistribusikan kepada penduduk dalam arti siapa yang merasakan hasil pembangunan tersebut (Todaro, 2000).
Bagi negara
berkembang seperti Indonesia, apabila orientasi kebijaksanaan pembangunan hanya menitikberatkan pada tingkat pertumbuhan ekonomi saja dalam pelaksanaannya jelas akan mengorbankan proses pencapaian tujuan sosial lainnya yang antara lain adalah pemerataan pendapatan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi memang mengurangi kemiskinan, tetapi dilain pihak sebagai penduduk miskin bisa menjadi lebih miskin. Melihat kelemahan kebijaksanaan seperti itu serta menyadari pentingnya distribusi pendapatan maka berbagai kebijaksanaan untuk meningkatkan
49
pertumbuhan ekonomi akan lebih berarti jika diikuti pemerataan atas hasil-hasil pembangunan yang akan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas. untuk
memperkecil
ketimpangan
merupakan
strategi
untuk
Usaha
mencapai
keseimbangan dan kestabilan, sehingga semua variabel yang mendukung kemampuan sektor primer seperti penyerapan tenaga kerja, luas lahan garapan, jumlah anggota keluarga, upah tenaga kerja, tingkat pendidikan, serta sarana produksi, semuanya harus dalam tatanan sebagai suatu sistem untuk mempengaruhi atau menentukan produksi daerah (Palampanga, 2001). Menurut Tambunan (2001), terdapat beberapa pendekatan untuk mengukur tingkat ketimpangan dalam distribusi pendapatan, yakni stochastic dominance dan axiomatic approach. Ukuran ketimpangan dapat pula dilihat dari ukuran ordinal atau kardinal (Foldvary, 2000).
Ukuran pokok yang sering
digunakan oleh para ahli ekonomi pada umumnya adalah ketimpangan distribusi pendapatan perorangan atau yang lebih dikenal sebagai ketimpangan distribusi pendapatan antar kelompok (Size distribution of Income). Untuk menentukan ketimpangan distribusi pendapatan ini digunakan beberapa alat ukur. Pertama, penaksiran distribusi pendapatan berdasarkan persentase pendapatan yang diterima masing-masing golongan yang digambarkan oleh sebuah kurva lorenz. Kurva lorenz itu adalah kurva yang memperlihatkan hubungan kuantitatif antara persentase penerima pendapatan dan persentase total pendapatan yang benarbenar diperoleh misalnya selama satu tahun.
Kedua, penaksiran distribusi
pendapatan dengan menggunakan indikator khusus dalam menghitung distribusi pendapatan antara lain : gini ratio; kuznets index; oshima’s. Ketiga, penaksiran melalui generalized entropy measure yang disingkat GEM. Pendekatan ini sering disebut sebagai Theil index, karena ukuran ketimpangan ini pada dasarnya
50
dikembangkan dari model ketimpangan yang diperkenalkan oleh Theil pertama kali pada Tahun 1967. Keempat, penaksiran L
index yang merupakan
pengembangan dari Theil index. Kelima, penaksiran Williamson index. Koefisien gini atau gini ratio digunakan untuk mengetahui distribusi pendapatan. Koefisien gini dapat digambarkan dalam kurva lorenz, seperti yang disajikan pada Gambar 6. F
C 100 90 S
Persen Jumlah Pendapatan
80 70
E
R 60 50
Q
40
D
30
P
20 C
B
10 A
20
40
60
80
G
Persen Jumlah Petani Sumber : Sigit, 1980. Keterangan :
Gambar 6. Kurva Distribusi Pendapatan : Egalitarian line : Kurva Lorenz
Gambar 6 menunjukkan bahwa sumbu AG merupakan persentase jumlah penduduk dalam lima golongan dengan jumlah persentase yang sama sedangkan sumbu vertikal AC menunjukkan persentase jumlah pendapatan dalam lima
51
golongan dengan persentase yang sama. Garis diagonal APQRST merupakan egalitarian line atau garis kesamarataan yang menunjukkan proporsi yang sama antara jumlah penduduk dengan pendapatan sebagai percerminan keadaan distribusi pendapatan yang merata. Garis lengkung yang menghubungkan titiktitik ABCDE dan F menunjukkan kurva lorenz dan bidang yang dibatasi oleh kurva lorenz dengan garis kesamarataan disebut gini ratio atau koefisien gini. Distribusi pendapatan dikatakan merata sempurna apabila jumlah persentase penduduk menerima sejumlah pendapatan dengan porsi yang sama, misalnya PQRS, di titik itu P 20 persen, penduduk menerima 20 persen pendapatan dan seterusnya.
Bila pemerataan ini tercapai maka kurva lorenz
mendekati garis kesamarataan dan koefisien gini bernilai nol. Jika kurva lorenz menjauh dari garis kesamarataan tersebut misalnya menjadi garis lengkung AGF, maka dikatakan distribusi pemerataan tidak merata sempurna, artinya pendapatan hanya diterima oleh satu orang saja dan koefisien gini bernilai satu. Jadi koefisien gini bernilai antara nol dan satu, berdasarkan uraian itu koefisien gini mendekati nol, dikatakan distribusi pendapatan baik dan sebaliknya bila koefisien gini mendekati satu dikatakan pendapatan tidak baik. 2.8.
Kemiskinan Rumahtangga Di Indonesia kemiskinan merupakan persoalan klasik yang hingga kini
belum dapat terselesaikan. Berbagai upaya pengentasan kemiskinan melalui program yang dilakukan sejak dahulu dan sekarang melalui program BLT sebagai bagian dari pengurangan subsisi BBM untuk masyarakat miskin, akan tetapi jumlah masyarakat miskin tidak kunjung berkurang secara signifikan, bahkan jumlah penduduk miskin secara nyata mengalami peningkatan. Secara
52
absolut jumlah penduduk Indonesia yang masih hidup dibawah garis kemiskinan pada tahun 1996 berjumlah 22.6 juta. Dalam kurun waktu 14 tahun, dari tahun 1996 sampai 2010 penduduk Indonesia yang berada dibawah garis miskin berjumlah 31 juta jiwa atau 13.3 persen. Selain itu masih banyak penduduk yang pendapatannya hanya sedikit sekali di atas batas garis kemiskinan. Kelompok nyaris miskin sangat rawan terhadap perubahan-perubahan
keadaan ekonomi
seperti kenaikan harga komoditi utama atau turunnya tingkat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu masalah kemiskinan masih perlu diperhatikan secara serius karena tujuan pembangunan Indonesia adalah pembangunan manusia Indonesia Seutuhnya (Arsyad, 1999). Kemiskinan itu dapat pula bersifat multidimensional, artinya karena kebutuhan manusia itu bermacam-macam, maka kemiskinan pun memiliki banyak aspek. Dilihat dari kebijakan umum, maka kemiskinan meliputi aspek primer yang berupa miskin akan aset, organisasi sosial politik, dan pengetahuan serta keterampilan, aspek sekunder yang berupa miskin akan jaringan sosial, sumbersumber keuangan dan informasi.
Dimensi-dimensi kemiskinan tersebut
termanisfestasikan dalam bentuk kekurangan gizi, air, perumahan yang kurang sehat, perawatan kesehatan yang kurang baik, dan tingkat pendidikan yang rendah. Selain itu, dimensi-dimensi kemiskinan saling berkaitan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Hal ini berarti bahwa kemajuan dan atau
kemunduran pada salah satu aspek dapat mempengaruhi kemajuan atau kemunduran pada aspek lainnya. Dan aspek lainnya dari kemiskinan ini adalah bahwa yang miskin itu manusianya, baik secara individual maupun kolektif.
53
Kemiskinan dapat ditimbulkan oleh faktor-faktor internal, seperti rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan sehingga rendahnya tingkat upah dan gaji, kelemahan fisik dan sikap atau perilaku. Kemiskinan juga ditimbulkan oleh faktor-faktor eksternal, seperti buruknya prasarana dan sarana transportasi sehingga menyulitkan masyarakat dalam melakukan aktivitas ekonomi, rendahnya aksesibilitas terhadap modal dan kualitas sumberdaya alam, penggunaan teknologi yang terbatas, atau sistem kelembagaan yang kurang sesuai dengan kondisi masyarakat. Faktor tersebut secara bersama-sama akan menyebabkan masyarakat menjadi merasa tidak berdaya. Selain faktor internal dan eksternal kemiskinan dapat juga ditimbulkan oleh adanya kegagalan kelembagaan. Masalah kemiskinan bukan saja karena kekurangan ketersediaan bahan makanan tetapi merupakan masalah kegagalan kelembagaan, yaitu karena tidak berjalannya proses dimana seseorang menjual barang yang dapat diproduksinya untuk dapat memperoleh sejumlah barang yang diinginkan. Karena proses tersebut tidak berjalan, maka penduduk tidak dapat memperoleh pendapatan yang cukup untuk dapat membeli semua kebutuhan hidup mereka. Fenomena seperti ini sering ditemukan, dimana petani tetap berada dalam kondisi miskin kendati komoditi pertanian berlimpah di sekitar mereka pada saat panen, karena mereka tidak dapat menjual hasil panen dengan harga yang baik (karena adanya tengkulak, masalah ijon, dsb.). Kemiskinan di Indonesia secara umum dapat juga dikatakan merupakan bentuk fenomena pertanian. Hal ini disebabkan sumber kemiskinan sebagian besar berada di wilayah perdesaan dan sangat berhubungan dengan pola kepemilikan dan produktivitas lahan, struktur kesempatan kerja dan pasar tenaga kerja
54
(Susilowati S., 2007). Thorbecke et al. (1993), menyatakan terdapat korelasi antara standar hidup dengan luas dan kualitas lahan yang dimiliki serta tingkat keahlian dan pendidikan anggota rumahtangga, oleh karena itu rumahtangga yang tidak memiliki akses terhadap lahan dan keahlian serta pendidikan yang terbatas, akan cenderung berada dalam kemiskinan sampai mereka memperoleh bantuan dan transfer dari pihak lain. Lebih Lanjut Ikhsan (2001), mengemukakan bahwa beberapa determinan kemiskinan di daerah pedesaan adalah : Pertama, human capital endowment yang belum memadai sehingga menyulitkan proses transformasi tenaga kerja antar sektor. Kedua, kuantitas dan kualitas infrasruktur. Ketiga, kontribusi pendapatan usahatani padi terhadap pendapatan keluarga petani hanya berkisar 17 – 30 persen, karena luas lahan yang kecil dan curahan jam kerja yang hanya 10 hari dalam satu bulan. Keempat, faktor yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah. Secara sosiologis, kemiskinan juga dapat muncul sebagai akibat proses eksploitasi terhadap penduduk miskin yang pada gilirannya menyebabkan ketergantungan dan kemiskinan. Proses eksploitasi tersebut misalnya pembayaran yang tidak adil atas jasa yang telah diberikan oleh seseorang atau sekelompok orang yang tidak memiliki kekuatan untuk melakukan tawar menawar (Arif, 1990). Apabila keadaan ini berlangsung terus menerus, maka kesenjangan kesejahteraan antara yang kaya dan yang miskin akan semakin melebar. Tidak dapat
dipungkiri,
proses
tersebut
memberikan
andil
bagi
terciptanya
keterbelakangan dan kemiskinan sebagian besar masyarakat miskin di Indonesia, sehingga masalah kemiskinan di Indonesia tidak hanya merupakan fenomena kemelaratan materi, tetapi telah merupakan suatu fenomena sosio cultural yang lebih komplek.
55
Dalam konteks pembangunan wilayah, kemiskinan juga dipengaruhi oleh ketersediaan sumberdaya (resources endowment) di suatu wilayah, yaitu lahan yang subur, tenaga kerja yang terampil dan ketersediaan modal serta kemampuan mengelola sumberdaya
tersebut. Dengan demikian perbedaan intensitas
pembangunan antar wilayah akan memunculkan permasalahan kesenjangan pendapatan (income disparity) atau permasalahan kemiskinan antar wilayah. Menurut Sapuan dan Silitonga (1994), sumber-sumber kemiskinan di daerah perdesaan dapat diidentifikasi diantaranya sebagai berikut: (1) para petani yang memiliki lahan kurang dari 0.25 ha, (2) buruh tani yang pendapatannya kurang atau cukup dikonsumsi hari itu saja, (3) nelayan yang belum terjamah bantuan kredit lunak pemerintah, dan
(4) perambah hutan dan pengangguran. Untuk
daerah perkotaan yaitu: (1) buruh kecil di pabrik-pabrik, (2) pegawai negeri atau swasta golongan rendah, (3) pegawai harian lepas, (4) pembantu rumahtangga, (5) pedagang asongan, (6) pemulung, dan (7) pengangguran.
Lebih lanjut
Prayitno et al. (1987) mengemukakan bahwa penduduk miskin dihadapkan pada kondisi yang saling kait mengkait tak berujung pangkal, yakni pendapatan rendah, luas garapan sempit, teknologi tradisional, dan peralatan terbatas. Kemiskinan dalam satu rumahtangga petani di identikan dengan situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena dikehendaki oleh simiskin, melainkan karena tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada. Kemiskinan antara lain ditandai oleh sikap dan tingkah laku yang menerima keadaan seakan-akan tidak dapat diubah, yang tercermin didalamnya lemahnya kemauan untuk maju, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, lemahnya nilai tukar hasil produksi, rendahnya produktivitas, terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya pendapatan dan terbatasnya kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan.
56
Dilihat dari sisi penawaran, kemiskinan seseorang disebabkan karena penguasaan dari aset-aset produktif yaitu tanah, tenaga kerja, modal dan skill yang kurang baik dalam pengertian kualitas dan kuantitas. Petani yang menguasai aset-aset produktif dan aset produktif tersebut digunakan dalam proses produksi, maka petani akan menerima penghasilan yang berupa sewa, upah/gaji, bunga dan keuntungan, sehingga apabila penguasaan terhadap aset-aset tersebut rendah dan tidak ikut dalam proses produksi maka pendapatan yang diterimanya juga rendah dan akhirnya kemiskinan akan terus berlangsung sampai adanya tindakan yang dapat memotong mata rantai tersebut. Suratiyah (1994) mengemukakan kemiskinan yang dialami oleh petani akan menyebabkan rumahtangga tidak lagi bergantung pada hasil usahataninya. Petani akan berusaha memperoleh double income dari berbagai sumber diluar usahataninya. Semua tenaga kerja keluarga yang ada jika masih berkesempatan dan berkemampuan akan dikerahkan untuk mencari nafkah demi kelangsungan ekonomi rumahtangga. Ukuran
kemiskinan
dapat
dibedakan
menjadi
beberapa
kelas.
Arsyad (1999) menggolongkan kemiskinan menjadi dua kelas, yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Seseorang disebut miskin secara absolut apabila tingkat pendapatannya dibawah garis kemiskinan atau pendapatannya tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup minimum (basic need) seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan. Kemiskinan relatif adalah bila seseorang memiliki penghasilan di atas garis kemiskinan, namun relatif lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat sekitarnya.
Kesulitan utama dalam konsep
kemiskinan absolut adalah menentukan komposisi dan tingkat kebutuhan minimum karena kedua hal tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh adat kebiasaan
57
saja, tetapi juga oleh iklim, tingkat kemajuan suatu negara, dan berbagai faktor ekonomi lainnya.
Walaupun demikian, untuk dapat hidup layak seseorang
membutuhkan barang-barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan fisik dan sosialnya. Badan Pusat Statistik (1992) menggunakan ukuran konsumsi energi minimum sebanyak 2100 kilo kalori per kapita per hari dan pengeluaran minimal untuk perumahan, pendidikan, kesehatan dan transportasi sebagai batas miskin. Besaran tersebut disesuaikan setiap tahun menurut perubahan harga-harga barang atau tingkat inflasi. Seseorang yang memiliki pengeluaran berada di bawah garis kemiskinan tersebut diklasifikasikan sebagai penduduk atau rumahtangga miskin. Tahun 2003, Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat menetapkan batas kemiskinan sebesar Rp. 143 455 per orang untuk rumahtangga di kota dan Rp. 108 725 per orang untuk rumahtangga di desa sedangkan Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2005 Sulawesi Tengah menetapkan batas kemiskinan sebesar Rp. 217 529 per orang untuk rumahtangga di kota dan Rp. 189 653 untuk rumahtangga di desa. Sayogyo menggunakan ukuran ekivalen beras 240 kilogram dan 360 kilogram per kapita per tahun sebagai garis kemiskinan untuk masing-masing daerah perdesaan dan daerah kota (Arsyad, 1999). Standar ukuran kemiskinan seperti disebutkan di atas terkait pengukuran kemiskinan dalam pengertian absolut. Menurut Todaro (2000), pada dasarnya konsep kemiskinan dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang dapat hidup layak. Bila pendapatan tidak dapat memenuhi kebutuhan minimum, maka orang dapat dikatakan miskin, jadi tingkat pendapatan minimum merupakan pembatas antara keadaan miskin dan tidak miskin atau sering disebut sebagai garis kemiskinan. Konsep ini sering
58
disebut dengan kemiskinan absolut yang dimaksudkan untuk menentukan tingkat pendapatan minimum yang cukup untuk memenuhi kebutuhan fisik seperti : makanan, pakaian, dan perumahan guna menjamin kelangsungan hidup. Peran sektor pertanian dalam mengentaskan kemiskinan dapat bersifat tidak langsung dan langsung. Secara tidak langsung melalui kebijakan ekonomi makro dengan berusaha mencapai tingkat pertumbuhan yang memadai dan menekan inflasi (Samuelson dan Nordhaus, 1992).
Hal ini cukup beralasan karena sektor
pertanian sebagai bagian dari perekonomian nasional mempunyai peran yang besar dalam menciptakan kesempatan kerja dan sumber pendapatan (Simatupang et al. 2001; Evenson, 1993; Otsuka, 1993).
Secara
langsung pembangunan
pertanian akan meningkatkan produktivitas pertanian melalui peningkatan produktivitas total faktor. Peningkatan produktivitas pertanian akan meningkatkan pendapatan petani dan lebih lanjut akan menurunkan kemiskinan. Pengentasan kemiskinan petani secara langsung selama ini adalah melalui implementasi program-program yang langsung ditujukan kepada petani miskin. Program-program tersebut bertujuan untuk meningkatkan kemampuan permodalan petani miskin dalam mengelolah usahatani sehingga produktivitas mereka dapat meningkat. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, telah diimplementasikan berbagai program pengentasan kemiskinan dalam bentuk bantuan kepada petani seperti Jaring Pengaman Sosial (JPS), dan Program Pemberdayaan Ekonomi Rakyat Terpadu, tetapi kurang berhasil mengurangi kemiskinan (Yusdja et.al. 1999; Basuno dan Rawung, 2001). Namun peningkatan
apakah
penambahan
produktivitas
pertanian
pendapatan melalui
yang
disebabkan
berbagai
oleh
implementasi
kebijakan pemerintah akan mampu mengurangi kemiskinan, hal ini tergantung
59
dari pola konsumsi dan investasi masyarakat. Jika penambahan pendapatan terjadi pada masyarakat golongan miskin dan dibelanjakan untuk barang-barang domestik, pertumbuhan sektor pertanian akan menjadikan sektor non pertanian di perdesaan mengalami pertumbuhan. Melalui pengganda tenaga kerja hal ini akan
berdampak
pembangunan
pada
pertanian
pengurangan tersebut
kemiskinan.
menghasilkan
Namun
apabila
peningkatan
hasil
pendapatan
bagi masyarakat golongan kaya, faktor penting yang akan mempengaruhi kemiskinan adalah kemana penambahan pendapatan tersebut dibelanjakan. Jika
berupa investasi domestik yang padat tenaga kerja, maka pertumbuhan
akan terjadi dan masyarakat miskin akan memperoleh manfaat dari lapangan kerja yang diciptakan, tetapi jika dibelanjakan untuk barang-barang impor atau diinvestasikan ke luar negeri, maka stimulus terhadap pertumbuhan akan kecil dan tidak akan berdampak positip terhadap pengurangan kemiskinan. Oleh karena itu pola distribusi peningkatan pendapatan dari stimulus awal merupakan faktor penting bagi pertumbuhan selanjutnya dan pengurangan kemiskinan. Beberapa uraian tersebut menunjukkan bahwa kontribusi pembangunan sektor
pertanian
terhadap
pengurangan
kemiskinan
tergantung
dari
struktur pendapatan masyarakat, apakah manfaat pembangunan lebih banyak mengarah ke masyarakat golongan kaya, atau sebaliknya ke masyarakat golongan miskin.
Selain itu juga tergantung dari distribusi alokasi peningkatan
pendapatan.
Pembangunan
pertanian
akan
memiliki
kontribusi
baik
bagi pertumbuhan maupun bagi pengurangan kemiskinan, jika buah dari stimulus produktivitas awal dibelanjakan lagi melalui investasi dan konsumsi domestik
pada
produk-produk
yang
bersifat
rendah ketergantungannya pada impor.
padat
tenaga
kerja
dan
Selain kedua faktor tersebut,
60
kontribusi
pertumbuhan
sektor
pertanian
juga
sangat
dipengaruhi
oleh ketidakmerataan penguasaan lahan (Adam dan He, 1995). Dalam jangka pendek ini besar kemungkinan pemerintah tidak lagi mampu membantu petani miskin berupa program-program secara langsung.
Karena itu, pemecahan
masalah kemiskinan yang dihadapi petani terpulang kepada mereka sendiri, masyarakat, serta pemerintah daerah.