II. TINJAUAN PUSTAKA Kerang Darah (Anadara granosa) Kerang darah termasuk Kelas Pelecypoda (Bivalva) yang mempunyai ciriciri: cangkang terdiri dari dua belahan atau katup yang dapat membuka dan menutup dengan sebuah atau dua buah alat penutup. Katup diikat oleh jaringan pengikat elastis di bagian belakang cangkangnya. Umumnya hidup merendam dalam pasir dan lumpur (Soesanto, 1965). Sedangkan menurut Pathansali (dalam Broom, 1985), kerang Anadara spp ditemukan pada substrat pasir bercampur lumpur, namun lebih banyak ditemukan di pantai berlumpur yang berdekatan dengan hutan bakau. Moeljanto dan Heruwati (1975) mengatakan bahwa kerang darah merupakan salah satu jenis kerang yang mempunyai nilai ekonomis penting dan disukai masyarakat. Di samping itu, Ismail (1971) mengatakan bahwa kerang bulu mempunyai rasa yang gurih karena mengandung lemak dan kadar protein yang tinggi. Akan tetapi, menurut Early dan Strout (1982), bagian daging yang dapat dimakan (edible portion) kerang ini hanya sebesar 10-20%, tergantung musim dan daerah penangkapannya. Komposisi kimia proksimat dari daging kerang adalah sebagai berikut: air 80,3%; karbohidrat 3,4%; protein 12,8%; lemak 1,4%; abu 1,7%. Sebagian besar karbohidrat terdiri atas glikogen. Besarnya kandungan karbohidrat ini sangat menentukan pola kemunduran mutunya dibandingkan dengan beberapa produk perikanan laut lainnya (Jay, 1978). Sedangkan menurut Hardiansyah dan Dodik Briawan (dalam Sudarisman dan Elvina, 1996), kandungan gizi kerang per 100 gram berat, terdiri dari: protein 8,0 gr; lemak 1,1 gr; karbohidrat 3,6 gr; air 85 gr;
kalsium 133 mgr; fosfor
170 mgr; besi 3,1 mgr; vitamin A 93 IU, dan
menghasflkan energi sebesar 59 kalori. OJeh Connel (1995), dikatakan bahwa kerang mempunyai bagian yang dapat dimakan (edible portion) 0,47 dan mengandung beberapa vitamin yaitu per 100 gram kerang thiamin 0.05 mg, riboflavin 0.11 mg, niacin 1.2 mg, tryptophan 2.8 mg, vitamin Be 0.04 mg, vitamin 812 47 ug, pantothenate 0.27 mg, biotin 9 fig dan retinol 51 ng. Kerang merupakan makhluk "filter feeder" yang mengakumulasi bahanbahan yang tersaring di dalam insangnya. Selama aktivitas tersebut, bakteri dan mikroorganisme lain yang ada di sekelilingnya dapat terakumulasi dan mencapai jumlah yang membahayakan untuk dikonsumsi (Leslie dan Lee, 1984). Pemanasan atau perebusan dapat menghilangkan resiko bahaya yang serius akibat makan kerang. Namun demikian, potensi bahaya rekontaminasi masih perlu diperhatikan untuk dilakukan pencegahan. Kerang biasanya dimasak pada hari penangkapan itu juga. Pengupasan kulit kerang dapat dengan mudah dilakukan dengan cara merendamnya dalam air mendidih selama 10-15 detik, yang menyebabkan cangkangnya terbuka. Waktu perendaman harus dikontrol agar dagingnya tidak Hat dan berubah warna. Cara lain untuk menghindari kerusakan selama penanganan kerang tersebut adalah dengan cara menyiramnya dengan air panas selama 40-50 detik (Early dan Strout, 1982. Dendeng Prinsip dasar dari pembuatan dendeng adalah substitusi air dari dalam bahan pangan dengan menggunakan bahan pengawet yang didapat dari bahan alam. Untuk menambah daya awet produk, maka sebagian air harus dihilangkan dari bahan pangan tersebut yaitu dengan cara pengeringan (Peranginangin, 1983). Proses pembuatan dendeng belum dibakukan. Tetapi menyangkut pengirisan
daging yang diilcuti dengan perendaman yang terdiri atas garam, gula, ketumbar, laos, asam, bawang putih dan bawang merah selama + 1 - 6 jam. Jumlah bumbu yang dipakai tergantung selera. Irisan irisan yang telah dicampur dengan bumbu kemudian dikeringkan dengan sinar matahari dan kemudian dikemas dalam plastik (Buckle et a/., 1985). Dendeng adalah daging yang dikeringkan dengan menambahkan campuran gula, garam serta bumbu-bumbu lainnya. Produk dendeng dibuat melalui kombinasi proses curing dengan pengeringan (Winarno dan Fardiaz, 1973). Menurut Wibowo (dalam Sukadarisman, 1992), larutan curing terdiri dari garam, gula, ketumbar dan bawang putih. Standard mutu dendeng secara organoleptik, oleh Nurul et al. (1986), dijelaskan bahwa adalah rupa menarik (seperti dendeng sapi). Warna coklat kemerahan, berbau khas dendeng, rasa enak dan gurih serta tekstur kompak, elastis dan cukup kering. Penambahan Bumbu Penambahan bumbu kedalam bahan makanan (ikan) dapat memperpanjang daya awet makanan tersebut. Hal ini disebabkan karena bumbu-bumbu mengandung zat-zat tertentu yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba tertentu disamping ftmgsi utamanya sebagai penambah cita rasa pada bahan pangan (Fardiaz, 1992). Selanjutnya Peranginangin (1992), menyatakan bahwa bumbu dari alam sangat berguna untuk menghasilkan aroma, rasa yang lebih serta daya awet tertentu pada ikan, kekuatan bumbu dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Sebagian bumbu yang telah diketahui dapat berfungsi sebagai pengawet pada dendeng adalah bawang putih (Allium sativum), karena menurut Thomas (dalam Sudini, 1986), bawang putih selain memberikan rasa dan aroma juga dapat
8
menghambat pertumbuhan bakteri dan khamir, karena adanya zat aktif Allicin yang sangat efektif terhadap bakteri gram positip dan gram negatip. Selanjutnya peneliti Semmler dan Welhein (dalam Wibowo, 1987), mengatakan bahwa khasiat yang terdapat didalam bawang putih adalah minyak atsirin allyl, sedangkan Cavallito (dalam Wibowo, 1987), menemukan jenis senyawa yang menentukan bau khas bawang putih yaitu allicin, senyawa ini mempunyai daya anti bakteri yang kuat. Kominato Syiga (dalam Wibowo, 1987), menemukan skordinin dalam bawang putih. Skordinin bekerja seperti enzim oksidoreduktase, yaitu senyawa yang berfungsi sebagai enzim pendorong pertumbuhan yang efektif dalam proses germinasi untuk kekuatan dan pertumbuhan tubuh. Selanjutnya ditambahkan bahwa campuran bawang putih dan cengkih terbukti ampuh membunuh bakteri yang kebal antibiotik. Sejauh ini belum diketahui
mekanisme bumbu dapur
mencegah pembusukan makanan. Sebab tanaman kerap menyimpan unsur aktif atau minyak asiri sehingga tidak dapat diamati proses kerjanya (Anonimus, 2005). Wibowo (1987), menyatakan bahwa dalam umbi bawang merah terdapat suatu senyawa yang mengandung ikatan asam amino yang tidak berbau, dan dapat larut dalam air yang disebut Alliin. Karena sesuatu hal berubah menjadi Allicin. Dengan thiamin (vitamin B) allicin dapat membentuk ikatan kimia yang disebut allithimin yang lebih mudah diserap oleh tubuh daripada vitamin B. Selanjutnya Rahayu et al. (1992) menyatakan bahwa bawang merah mengandung minyak asiri yang merupakan komponen untuk penyedap rasa makanan, bakterisida, fungisida dan berkhasiat untuk obat-obatan. Soeseno (1983), menyatakan bahwa, selain menambah citarasa, pemberian ketumbar yang sudah dihaluskan pada pembuatan dendeng bertujuan untuk menghilangkan bau yang tidak sedap.
Winarno dan Jennie (1983), mengatakan bahwa asam dapat berperan sebagai bahan pencegah pertumbuhan mikroba, karena asam dapat menurunkan pH, disamping daya racun dari asam yang tidak terionisasi. Selanjutnya Peranginangin (1983), menyatakan bahwa asam mempunyai sifat yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri proteolitik disamping sebagai penambah rasa. Garam dapat berfungsi sebagai bahan penghambat pertumbuhan mikroba pembusuk dan patogen karena mempunyai sifat-sifat anti mikroba sebagai berikut : 1). Garam akan mempertinggi tekanan osmotik substrat, 2). Garam akan menyebabkan terjadinya penarikan air dari dalam bahan pangan sehingga aW bahan pangan akan menurun dan mikroba tidak akan tumbuh, 3). Garam akan mengakibatakan terjadinya penarikan air dan sel mikroba sehingga sel mikroba kehilangan air dan mengalami plasmolisis/ pengerutan sel mikroba, 4). lonisasi garam akan menghasilkan ion Chlor yang beracun pada mikroba, 5). Garam dapat menganggu enzim proteolitik karena dapat mengakibatkan terjadinya denaturasi protein (Rahayu et al, 1992). Menurut Buckle et al. (1985), gula dapat berfungsi sebagai bahan pengawet karena gula mempunyai daya larut yang tinggi, mempunyai kemampuan mengurangi kelembaban relatif dan juga bersifat mengikat air di samping memberikan rasa manis pada bahan juga mempengaruhi tesktur bahan pangan. Larutan gula yang pekat dapat mengakibatkan tekanan osmotik pada sel mikroba dengan menyerap air keluar dari sel dan menyebabkan sel kekurangan air dan air menjadi tidak tersedia untuk pertumbuhan mikroorganisme serta aktivitas air dari bahan pangan berkurang. Selanjutnya oleh Fachruddin (2003) dikatakan bahwa se/ai'n berfungsi
mengurangi rasa asm yang ber/ebihan, gula juga dapat
memberikan rasa lembut pada produk. Proses ini terjadi karena gula dapat
10
mengurangi terjadinya efek pengerasan yang disebabkan oleh garam. Di samping itu, gula berpengaruh juga terhadap cita rasa dan warna produk. Pengasapan Pengasapan adalah salah satu teknik dehidrasi (pengeringan) yang dilakukan untuk mempertahankan daya awet ikan dengan mempergunakan bahan bakar kayu sebagai penghasil asap. Dengan pengasapan akan dihasilkan panas yang menyebabkan berkurangnya kadar air ikan dan mengakibatkan terhambatnya aktivitas mikroorganisme (Winarno, et al., 1980). Buckle, et al. (1985) mengatakan bahwa proses pengolahan ikan asap merupakan serangkaian proses mulai dari penggaraman atau penambahan bumbu lainnya, pengeringan, pemanasan dan pengasapan. Adanya reaksi-reaksi kimia oleh senyawa-senyawa dalam asap yaitu formaldehida dengan fenol yang menjadikan lapisan damar tiruan pada permukaan ikan menjadikan ikan asap mengkilat. Selanjutnya Moeljanto (1992) menambahkan bahwa ketebalan asap atau banyaknya asap yang diserap oleh ikan akan menentukan aroma dan cita rasa ikan asap dan perlu disesuaikan dengan selera konsumen. Dengan demikian, ada keseimbangan antara tingkat penerimaan konsumen dan daya simpan (shelf-life)
ikan asap
tersebut. Zaitzev, et al. (1969) membedakan pengasapan atas dua metode, yaitu pengasapan panas dan pengasapan dingin. Menurut Moeljanto (1967), pengasapan panas menggunakan suhu 65 - 80 °C dengan lama pengasapan sampai 8 jam. Pengasapan panas ini juga merupakan pemanggangan secara perlahan sambil menyerap asap sehingga daging ikan menjadi masak, namun kadar airnya masih cukup tinggi. Sedangkan pengasapan dingin mempunyai suhu 30 - 40 °C dengan
11 lama pengasapan sampai dua minggu. Dengan demikian, selain ikan menyerap banyak asap, ikan juga lebih kering oleh penguapan. Moeljanto (1967) menambahkan bahwa untuk mendapatkan hasil ikan asap yang dikehendaki terdapat empat hal yang perlu diatur: (1) kesegaran ikan, (2) volume dan mutu asap, (3) suhu dan kelembaban udara dalam ruang pengasapan, dan (4) kecepatan aliran udara/asap. Afrianto dan Liviawaty (1989) menerangkan bahwa pengasapan akan membentuk warna kuning kecoklatan akibat menempelnya komponen-komponen asap. Warna coklat akan semakin cepat terbentuk pada keadaan suhu tinggi, konsentrasi asap tinggi, namun berkadar air rendah. Senyawa kimia yang terkandung dalam asap adalah sebagai berikut: air, aldehid, asam asetat, keton, alkohol, asam formiat, fenol, dan karbondioksida. Kemunduran Mutu Produk Perikanan Heruwati (1979) menyatakan bahwa produk-produk pangan semi basah mempunyai daya awet yang lebih pendek karena kadar air yang masih tinggi, sedangkan masalah yang sering timbul dari produk semi basah adalah pelendiran dan ketengikan yang terjadi karena terkontaminasi dengan mikroba dan oksigen selama pendistribusian dan pemasaran. Winarno (1986) menjelaskan, bahwa kadar air merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap daya tahan suaru bahan olahan. Makin rendah kadar air maka makin lambat pertumbuhan mikroorganisme, sedangkan bahan pangan tersebut dapat tahan lama, sebaliknya makin tinggi kadar air maka makin cepat mikroorganisme berkembang biak sehingga pembusukan akan berlangsung cepat.
12 Keberadaan mikroorganisme dalam bahan pangan merupakan salah satu indikator untuk menentukan apakah bahan pangan tersebut layak untuk dikonsumsi yaitu dengan menilai atas dasar jenis (kwalitatif) dan jumlah (kwantitatif) bakteri yang terdapat dalam makanan tersebut (Summer dalam Fatmawaty, 1992). Menurut Connel (1980), jumlah mikroorganisme dalam ikan olahan sebaiknya tidak boleh lebih dari 5,5 x 105 sel per gram. Jika jumlah bakteri total melebihi jumlah tersebut maka akan menyebabkan produk menjadi lunak, busuk dan berbau amoniak, sehingga bahan tidak layak lagi dikonsumsi. Parameter lain untuk menentukan tingkat kemunduran ikan yang cepat dan mudah adalah menentukan nilai TVB, dimana batas penolakan mutu ikan untuk kandungan TVB adalah 35 - 40 mg/100 gram daging ikan (Connel, 1980). Parameter jumlah basa menguap (TVB) cukup erat korelasinya dengan mutu organoleptik dan dapat dijadikan indeks mutu ikan (Arifuddin, Murtini dan Nasran, 1984). Basa volatil ini terbentuk akibat denaturasi protein bersama-sama dengan trimetilamin yang berperan dalam proses pembusukan (Clucas dan Sutcliff, 1981). Dalam mengamati pertumbuhan mikroorganisme pH memegang peranan penting. Banwart (1981) mengatakan, bahwa sebagian besar bakteri lebih sensitif terhadap medium di mana mereka tumbuh dan berkembang. Setiap spesies mempunyai pH optimum untuk tumbuh, sebagian besar mikroorganisme tumbuh dengan baik pada pH yang mendekati netral atau mendekati pH 7, karena pH yang disukai bakteri untuk pertumbuhannya adalah 6,5 - 7,5. Faktor lain yang juga akan mempengaruhi daya awet produk perikanan adalah suhu penyimpanan. Menurut Fardiaz (1987), penyimpanan ikan pada suhu kamar dapat menyebabkan deteriorasi yang menjurus ke arah pembusukan. Hal ini
13
disebabkan mikroba mesofilik yang terdapat pada ikan dapat melakukan proses metabolismenya dengan sempurna pada suhu ruangan. Untuk menjaga agar tidak terjadi kemundnran mutu produk maka Afrianto dan Liviawaty (1989) menyarankan, bahwa tempat penyimpanan produk hasil perikanan harus mendapat perhatian pula agar tidak terjadi ha\-ha\ yang tidak merugikan selama penyimpanan. Wadah hasil penyimpanan harus ditutup sebaik mungkin agar tidak terkena debu. Untuk mendapatkan daya awet yang tinggi sebaiknya ikan pindang diletakkan di dalam ruangan yang kering dan bertemperatur lingkungan cukup rendah. Selanjutnya untuk mencegah bahan pangan dari mikroorganisme dan kotoran, serta untuk melindungi produk dari oksigen dan cahaya maka sistem pengemasan harus diperhatikan dalam memberi kondisi sekeliling yang tepat bagi bahan pangan (Ball, dalam Susilawati, 1985).