I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Salah satu kebijakan pembangunan yang dipandang tepat dan strategis dalam rangka pembangunan wilayah di Indonesia sekaligus mengantisipasi dimulainya era perdagangan bebas adalah kebijakan pengembangan ekonomi lokal.
Kebijakan pengembangan ekonomi lokal pada hakekatnya merupakan
kebijakan pembangunan di daerah yang didasarkan pada pengembangan sektorsektor yang menjadi prioritas unggulan yang diusahakan dalam aktivitas ekonomi masyarakat lokal (Wiranto, 2004). Kebijakan pengembangan ekonomi lokal dalam kaitannya dengan era perdagangan bebas ini dinyatakan secara jelas dalam GBHN TAP MPR No. IV/MPR/1999, yang menjelaskan bahwa salah satu arah kebijakan di bidang ekonomi adalah untuk mengembangkan perekonomian yang berorientasi global sesuai dengan kemajuan teknologi dengan membangun keunggulan kompetitif dan produk unggulan di setiap daerah (Wiranto, 2004). Pelaksanaan otonomi daerah pada awal tahun 2001 merupakan momentum bagi dimulainya proses implementasi kebijakan pengembangan ekonomi lokal. Berlakunya otonomi daerah menimbulkan implikasi bagi daerah (kabupaten/kota) untuk mengeluarkan dan mengembangkan kemampuannya dalam memobilisasi serta mengelola produksi, alokasi dan distribusi berbagai sumberdaya
yang
dimilikinya
menjadi
produk
unggulan
yang
memiliki
keunggulan daya saing komparatif maupun kompetitif, baik untuk pasaran lokal, regional, nasional bahkan internasional (Wiranto, 2004). Dengan otonomi daerah, sebagian besar kewenangan pemerintah pusat dilimpahkan kepada daerah. Pelimpahan kewenangan yang besar ini disertai tanggung jawab yang besar berupa kewajiban daerah untuk meningkatkan pelayanan
dan
kesejahteraan
masyarakat,
demokrasi, keadilan dan pemerataan.
pengembangan
kehidupan
Dengan demikian untuk menghadapi
berbagai persoalan seperti kemiskinan, pemerintah daerah tidak bisa lagi menggantungkan penanggulangannya kepada pemerintah pusat.
Di dalam
kewenangan otonomi yang dipunyai daerah, melekat pula tanggung jawab untuk secara aktif dan secara langsung mengupayakan pengentasan kemiskinan di daerah bersangkutan.
Dengan kata lain, pemerintah daerah dituntut untuk
18
memiliki inisiatif kebijakan operasional yang bersifat pro masyarakat miskin (Wiranto, 2004). Konsep pengembangan ekonomi lokal yang dikembangkan oleh Edward J. Blakely pada tahun 1938, merupakan sebuah kritik terhadap konsep-konsep pembangunan ekonomi yang bersifat sektoral yang sempat digunakan sebagai strategi pembangunan di sebagian besar negara berkembang, termasuk Indonesia.
Menurut
Blakely,
konsep
pembangunan
ekonomi
mengabaikan konteks kewilayahan dan partisipasi masyarakat lokal.
tersebut Blakely
mengemukakan bahwa pembangunan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja akan lebih berhasil dan efektif jika disesuaikan dengan kondisi dan potensi masing-masing wilayah atau komunitas. Solusi-solusi yang bersifat umum dan global terhadap semua komunitas tidak akan berhasil karena mengabaikan konteks kewilayahan dan partisipasi masyarakat pada masing-masing komunitas atau wilayah (Boulle et al, 2002). Pengembangan ekonomi lokal pada hakikatnya adalah merupakan pembangunan ekonomi di suatu wilayah kabupaten atau kota, yang merupakan kerjasama antara seluruh pelaku ekonomi di wilayah yang bersangkutan. Pembangunan ekonomi lokal merupakan bagian integral dari pembangunan daerah.
Pendekatan konsep pembangunan ekonomi lokal ini memberikan
peluang kepada suatu komunitas untuk berperan dan berinisiatif menggerakkan sumberdaya-sumberdaya lokal yang ada untuk membangun komunitas tersebut. Dengan adanya pembangunan ekonomi lokal ini memungkinkan kelompok masyarakat miskin
produktif seperti petani dapat masuk dalam mata rantai
perekonomian yang lebih besar (Dendi et al, 2004). Kabupaten Pacitan yang terletak di ujung barat daya Propinsi Jawa Timur, merupakan salah satu daerah tertinggal dari delapan kabupaten di Jawa Timur. Kabupaten Pacitan pada tahun 1996/1997 memiliki 46 desa tertinggal. Kondisi geografis Kabupaten Pacitan tidak menguntungkan untuk pertanian karena hampir 85 persen dari luas wilayahnya merupakan batuan gamping yang bergunung-gunung dan lahan kering.
Dengan kondisi tanah yang gersang
tersebut, maka hanya komoditas tertentu saja yang dapat tumbuh subur di Kabupaten Pacitan (Rini et al., 2001) Walaupun kondisi alam Kabupaten Pacitan tidak bersahabat dengan pertanian, namun sebagian besar penduduknya tetap menggantungkan hidup
19
dari sektor ini. Kegiatan ekonomi terbesar tahun 2000 kabupaten ini terletak pada sektor pertanian yang nilainya Rp 366 milyar (Rini et al., 2001). Tanaman bahan pangan, perkebunan dan peternakan masih menjadi andalan bagi masyarakat Pacitan. Salah satu andalan tersebut yaitu subsektor perkebunan
diharapkan
dapat
memperkuat
perekonomian
masyarakat.
Subsektor ini berperan sebagai penyedia lapangan kerja, pemasok bahan baku industri dan penghasil devisa.
Diharapkan, produk perkebunan dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat. Komoditas perkebunan unggulan yang dikembangkan di kabupaten Pacitan antara lain kelapa, cengkeh, kakao dan kopi (Rini et al., 2001). Lapangan usaha atau sektor yang memiliki kontribusi terbesar terhadap PDRB Kabupaten Pacitan pada tahun 2005 atas harga berlaku adalah : 1) sektor pertanian sekitar 40 – 42 persen; 2) sektor jasa-jasa sekitar 16 – 19 persen; 3) sektor perdagangan sekitar 10 – 11 persen. Sedangkan sektor-sektor lain hanya berperan antara 0 – 9 persen terhadap PDRB Kabupaten Pacitan.
Sektor
pertanian terdiri atas sub sektor tanaman bahan makanan dengan kontribusi PDRB 27.76 persen, sub sektor tanaman perkebunan rakyat dengan kontribusi PDRB 7.20 persen, sub sektor peternakan dengan kontribusi PDRB 5.47 persen, sub sektor kehutanan dengan kontribusi PDRB 0.04 persen, dan sub sektor perikanan dengan kontribusi PDRB 1.47 persen (Bappeda Kab Pacitan, 2006). Kondisi iklim Kabupaten Pacitan ternyata mendukung tumbuhnya komoditas kelapa. Kelapa dapat tumbuh di pantai sampai pegunungan yang berkapur. Tanaman ini tidak membutuhkan kondisi tanah yang spesifik. Pada tahun 2006, luas areal tanaman kelapa di Kabupaten Pacitan mencapai 24,027 hektar dengan total produksi dalam bentuk kelapa butiran sebanyak 18,708 ton dan dalam bentuk gula kelapa sebanyak 10,850 ton.
Komoditas kelapa di
Kabupaten Pacitan menyerap tenaga kerja yang paling besar diantara komoditas lainnya pada sub sektor perkebunan pada tahun 2006 yaitu sebanyak 12,014 orang. Perkebunan kelapa di Kabupaten Pacitan banyak dijumpai di Kecamatan Tulakan, Pacitan dan Kebonagung. Daerah-daerah tersebut merupakan sentra produksi kelapa (Dishutbun Kab. Pacitan, 2007). Industri rumah tangga pengolahan gula kelapa di Kabupaten Pacian ada sekitar 10 ribu unit yang tersebar di Kecamatan Donorejo, Pringkuku, Tulakan, Kebonagung, Ngadirojo, Pacitan dan Sudimoro.
Tenaga kerja yang diserap
industri pengolahan kelapa ini tercatat paling besar yaitu sekitar 4 persen dari
20
jumlah penduduk Pacitan.
Tenaga kerja yang terserap pada industri rumah
tangga pembuatan gula merah atau gula kelapa di Kabupaten Pacitan mencapai sekitar 70 persen dari total tenaga kerja industri kecil. Pengusahaan kelapa membuka tambahan kesempatan kerja dari kegiatan pengolahan produk turunan dan hasil samping yang sangat beragam. Kelapa dapat menjadi ajang bisnis mulai dari pengadaan sarana produksi (bibit, pupuk, pestisida, dll); proses produksi, pengolahan produk kelapa (turunan dari daging, tempurung, sabut, kayu lidi, dan nira), serta aktivitas penunjangnya (keuangan, irigasi, transportasi, perdagangan, dll). Daya saing produk kelapa pada saat ini terletak pada industri hilirnya, tidak lagi pada produk primer, dimana nilai tambah dalam negeri yang dapat tercipta pada produk hilir dapat berlipat ganda daripada produk primernya. Usaha produk hilir saat ini terus berkembang dan memiliki kelayakan yang tinggi baik untuk usaha kecil, menengah maupun besar. Pada gilirannya industri hilir menjadi lokomotif industri hulu (Allorerung et al., 2005). Peluang pengembangan agribisnis kelapa dengan produk bernilai ekonomi tinggi sangat besar. Alternatif produk yang dapat dikembangkan antara lain virgin coconut oil (VCO), oleochemical (OC), desicated coconut (DC), coconut milk/ cream (CM/ CC), coconut charcoal (CCL), activated carbon (AC), brown sugar (BS), coconut fiber (CF) dan coconut wood (CW), yang diusahakan secara parsial maupun terpadu.
Berangkat dari kenyataan luasnya potensi
pengembangan produk, kemajuan ekonomi perkelapaan di tingkat makro (daya saing di pasar global) maupun mikro (pendapatan petani, nilai tambah dalam negeri dan substitusi impor) tampaknya akan semakin menuntut dukungan pengembangan industri kelapa secara kluster sebagai prasyarat (Allorerung et al., 2005). Dengan melihat potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya kelembagaan berbasis masyarakat yang ada di Kabupaten Pacitan, maka pendekatan pengembangan ekonomi lokal dengan basis komoditas kelapa diharapkan bisa menjadi konsep yang dikembangkan dalam pembangunan daerah di Kabupaten Pacitan.
Untuk itu perlu dilakukan sebuah kajian,
“Bagaimana strategi pengembangan ekonomi lokal berbasis komoditas kelapa di Kabupaten Pacitan?”.
1.2 Perumusan Masalah
21
Setiap wilayah perlu melihat sektor atau komoditas apa yang memiliki potensi besar dan dapat dikembangkan dengan cepat. Sektor atau komoditas yang dapat memberikan nilai tambah yang lebih besar dengan kebutuhan modal yang sama, dan juga dapat berproduksi dalam waktu relatif singkat seta volume sumbangan untuk perekonomian yang besar.
Perkembangan sektor atau
komoditas tersebut akan mendorong sektor lain turut berkembang sehingga perekonomian daerah secara keseluruhan akan tumbuh. Kelapa merupakan komoditas utama yang tersebar di hampir seluruh kecamatan di Kabupaten Pacitan sehingga eksistensinya diharapkan dapat menjadi kegiatan basis ekonomi wilayah.
Berdasarkan permasalahan tersebut
maka pertanyaan kajian ini yang pertama adalah “Sampai sejauh mana komoditas kelapa dapat menjadi basis perekonomian di Kabupaten Pacitan?”. Kebijakan pengembangan ekonomi lokal pada hakekatnya merupakan kebijakan pembangunan di daerah yang didasarkan pada pengembangan sektorsektor yang menjadi prioritas unggulan yang diusahakan dalam aktivitas ekonomi masyarakat lokal (local competence). komparatif dapat digunakan
Pengetahuan akan keunggulan
para penentu kebijakan untuk mendorong
perubahan struktur perekonomian daerah ke arah sektor yang mengandung keunggulan komparatif. Keunggulan komparatif suatu komoditas dapat dijadikan pertanda awal bahwa komoditas itu mempunyai prospek untuk juga memiliki keunggulan kompetitif.
Untuk itu perlu diketahui struktur aktifitas dan kemampuan
berkompetisi (competitiveness) komoditas atau sektor tertentu secara dinamis dalam hubungannya dengan pertumbuhan wilayah. Berdasarkan permasalahan tersebut maka pertanyaan kajian yang kedua adalah “Bagaimana kontribusi sub sektor perkebunan pada struktur ekonomi wilayah dan pergeseran komoditas
kelapa
sehingga
dapat
diketahui
keunggulan
kompetitif
komoditas kelapa?”. Dalam kaitannya dengan prinsip pengembangan ekonomi lokal yang propoor, disamping kriteria-kriteria kelayakan teknis, permintaan pasar, serta efek multiplier suatu komoditi/ produk sektoral terhadap sektor usaha lainnya, faktor potensi nilai tambah langsung bagi keluarga miskin juga sebagai kriteria penting. Selain itu kelompok produsen yaitu petani merupakan bagian penting yang menjadi prioritas sasaran kegiatan. Perhatian khusus diberikan pada dampak
22
pertumbuhan ekonomi terhadap rumah tangga miskin dan usaha kecil. Kelompok sasaran produsen menjadi jaminan bahwa basis komoditas yang dipilih akan memberikan dampak bagi kehidupan kaum miskin dan memberikan kesempatan bagi mereka untuk meningkatkan taraf hidup.
Terkait dengan
pengembangan klaster potensial yang berpusat pada komoditas kelapa di Kabupaten Pacitan, maka pertanyaan kajian yang ketiga adalah, “Bagaimana kelayakan finansial komoditas kelapa dan produk turunannya di Kabupaten Pacitan?; Seberapa besar nilai tambah yang diperoleh dari produk turunan tersebut?; Bagaimana sebaran marjin keuntungan diantara masing-masing pelaku usaha? ”. Salah satu cara yang efektif dalam membangun wilayah adalah melalui pengembangan
kawasan,
khususnya
pendekatan
klaster.
Konsep
pengembangan wilayah berdasarkan klaster terfokus pada keterkaitan dan ketergantungan antara pelaku dalam jaringan kerja produksi sampai jasa pelayanan, dan upaya-upaya inovasi pengembangannya.
Strategi kawasan
berbasis klaster menawarkan cara yang lebih efektif dan efisien dalam mengembangkan industri, membangun ekonomi wilayah secara lebih kuat, dan mempercepat pembangunan ekonomi secara keseluruhan.
Strategi klaster
industri membutuhkan komitmen yang berkelanjutan dari pemerintah daerah, kalangan bisnis, dan dunia pendidikan. Strategi ini memerlukan kepeloporan dan kerjasama yang erat, dimana masing-masing pihak harus memberikan komitmen penuh terhadap perannya. Potensi kelapa yang dimiliki Kabupaten Pacitan belum dimanfaatkan secara optimal sebagai produk unggulan dalam pengembangan kawasan berbasis klaster.
Potensi kelapa sebagai produk perkebunan apabila didukung
dengan industri pengolahan dan pengembangan industri hilir lainnya, diharapkan dapat menjadi industri pendorong kegiatan ekonomi di kawasan ini. Berdasarkan permasalahan
tersebut
maka
pertanyaan
kajian
yang
keempat
adalah
”Bagaimana rumusan strategi dan perancangan program pengembangan ekonomi lokal berbasis komoditas kelapa di Kabupaten Pacitan?”.
I.3 Tujuan dan Manfaat
Tujuan
23
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, tujuan utama dari kajian ini adalah merumuskan strategi pengembangan ekonomi lokal berbasis komoditas kelapa di Kabupaten Pacitan. Untuk menjawab tujuan utama tersebut maka tujuan spesifik dari kajian ini adalah : 1. Mengevaluasi keunggulan komparatif komoditas kelapa di Kabupaten Pacitan sehingga dapat berfungsi sebagai basis ekonomi wilayah. 2. Mengevaluasi kontribusi sub sektor perkebunan pada struktur ekonomi dan pergeseran komoditas kelapa di Kabupaten Pacitan untuk mengetahui keunggulan kompetitif komoditas kelapa.
3. Menganalisis peluang pengembangan klaster industri berbasis komoditas kelapa sebagai fokus strategi pengembangan ekonomi lokal dengan : a.
menganalisis kelayakan finansial komoditas kelapa dan produk
turunannya b. menganalisis nilai tambah produk turunan kelapa c. menganalisis sebaran marjin keuntungan diantara masing-masing pelaku usaha.
Manfaat Laporan kajian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Pacitan dan juga pihak-pihak terkait lainnya dalam pengembangan perekonomian lokal.
Selain itu laporan kajian ini
memberikan masukan bagi Tim Manajemen Masyarakat Mandiri - Dompet Dhuafa untuk mendesain program pengembangan ekonomi lokal berbasis komunitas di Kabupaten Pacitan maupun di wilayah sasaran lainnya. Diharapkan laporan kajian ini dapat menjadi bahan/ dasar bagi pengembangan kajian lebih lanjut.
24