I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan konservasi (KHK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun1999 terdiri dari kawasan suaka alam (KSA), kawasan pelestarian alam (KPA) dan Taman Buru. KHK merupakan sebagian dari kawasan konservasi di Indonesia. Penunjukan dan penetapan kawasan konservasi di Indonesia saat ini telah mencapai 521 unit dengan luas + 27,206 juta hektar. Menurut UndangUndang Nomor 5 Tahun 1990, Taman Nasional (TN) merupakan KPA yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Taman Nasional di Indonesia yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan sebanyak 50 unit dengan luas total + 16,327 juta hektar yang terdiri dari 43 TN darat dan tujuh TN laut (Kemenhut 2010). Kawasan konservasi memainkan peranan penting dalam pola keseluruhan penggunaan lahan dan pembangunan ekonomi (McNeely 1995). Fungsi pokok kawasan konservasi adalah sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Potensi ekonomi kawasan konservasi diantaranya adalah berupa jasa wisata alam, jasa penyimpanan/penyerapan karbon, air, panas bumi serta sumber plasma nutfah yang berguna bagi pemuliaan tumbuhan/hewan dan industri kesehatan. Potensi TN dari sisi bio-ekologis sudah banyak diteliti, sementara dari sisi ekonomi belum banyak diungkap. Keseluruhan potensi kawasan konservasi sampai saat ini belum dikembangkan dan dimanfaatkan secara optimal (Kemenhut 2011a). Perubahan paradigma pembangunan TN dicoba digagas dalam Road Map Pembangunan Kehutanan Berbasis Taman Nasional dari berbasis perlindungan dan pengawetan menjadi berbasis pemanfaatan lestari bagi penguatan fungsi perlindungan dan pengawetan melalui pembangunan TN Mandiri. Berbagai program dan kegiatan pembangunan
direncanakan untuk mencapai TN Mandiri
salah satunya adalah melalui penguatan kapasitas kelembagaan dengan membentuk Badan Layanan Umum (BLU) (Kemenhut 2011a).
2
Kementerian Kehutanan merencanakan program pengembangan kawasan konservasi dalam bentuk BLU sebanyak 12 unit melalui Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor
:
P.08/Menhut-LL/2010
tentang
Rencana
Strategis
(RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014. Kementerian Kehutanan juga mengeluarkan kebijakan penguatan pemanfaatan sumberdaya alam untuk tujuan perlindungan dan pelestarian alam dengan strategi percepatan pembentukan BLU pada TN yang mempunyai potensi tinggi dan tantangan rendah melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : 49/Menhut-II/2011 tentang Rencana Kehutanan Tingkat Nasional Tahun 2010-2030. Selanjutnya, Kementerian Kehutanan merencanakan program dan kegiatan peningkatan usaha kehutanan, salah satunya yaitu terbangunnya persiapan sistem pengelolaan BLU di 1 Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.57/Menhut-II/20011 tentang Rencana Kerja Kementerian Kehutanan 2012. Rencana pembangunan BLU pada UPT Ditjen PHKA tidak terlepas dari pertimbangan potensi ekonomi yang besar dari kawasan konservasi yang jika dikelola dengan baik dan legal maka kawasan konservasi secara finansial dapat membiayai
secara
mandiri
pelaksanaan
tugas-tugas
pokok
pengelolaan
kawasannya sehingga anggaran pemerintah yang terbatas dapat digunakan secara lebih efisien (Hartono 2008a). 1.2. Kerangka Pemikiran Taman Nasional merupakan sumberdaya milik bersama (common-pool resources) (Schlager & Ostrom 1992). Sumberdaya ini menghasilkan manfaat produk
yang
tidak
eksklusif,
tetapi
memerlukan
persaingan
untuk
mendapatkannya. Pengelolaan TN dilakukan secara sistematis melalui kegiatankegiatan perencanaan, perlindungan, pengawetan, pemanfaatan, dan evaluasi kesesuaian fungsi (Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011). Pengelolaan kawasan TN diatur dengan sistem zonasi yang bertujuan untuk mewujudkan sistem pengelolaan TN yang efektif dan optimal sesuai dengan fungsinya (Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 56 tahun 2006). Kawasan TN ditetapkan dan ditunjuk oleh Negara. Oleh karena itu hak kepemilikan TN termasuk ke dalam rezim kepemilikan oleh Negara (state
3
property regime) yaitu hak kepemilikan dan aturan-aturannya ditetapkan oleh Negara, individu tidak boleh memilikinya serta hak pengelolaannya diserahkan kepada pemerintah (Governance by government) (Hanna et al. 1996). Hak-hak tersebut memberikan konsekuensi kewajiban untuk menjaga tujuan dan manfaat sosial dari TN sehingga alokasi anggaran dalam pengelolaan TN menjadi tanggung jawab Negara melalui pemerintah. Menurut Basuni (2009) semakin besar manfaat kawasan hutan konservasi maka semakin besar dukungan dari pemerintah (dalam bentuk alokasi anggaran), dari masyarakat dan dari sektor lain, atau semakin besar biaya manajemen kawasan konservasi semakin rendah dukungan yang didapat. Salah satu agenda reformasi keuangan negara adalah adanya pergeseran dari pengganggaran tradisional menjadi pengganggaran berbasis kinerja yaitu arah penggunaan dana pemerintah tidak lagi berorientasi pada input, tetapi pada output. Perubahan ini penting dalam rangka proses pembelajaran untuk menggunakan sumber daya pemerintah yang makin terbatas, tetapi tetap dapat memenuhi kebutuhan dana yang makin tinggi (Kemenkeu 2012). Penganggaran yang berorientasi pada output merupakan praktik yang telah dianut luas oleh pemerintahan modern di berbagai negara. Pendekatan penganggaran yang demikian sangat diperlukan bagi satuan kerja instansi pemerintah yang memberikan pelayanan kepada publik. Salah satu alternatif untuk mendorong peningkatan pelayanan publik adalah dengan mewiraswastakan pemerintah. Mewiraswastakan pemerintah (reinventing government) adalah paradigma yang memberi arah yang tepat bagi sektor keuangan publik. Ketentuan tentang penganggaran tersebut telah dituangkan dalam UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara (Kemenkeu 2012). Kegiatan TN berpotensi untuk dikelola secara lebih efisien dan efektif melalui Pola Pengelolaan Keuangan BLU (PPK-BLU) terutama terkait dengan tugas pokok dan fungsinya yang layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU. Hal ini merupakan upaya peng-agenan aktivitas yang tidak harus dilakukan oleh lembaga birokrasi murni, tetapi oleh instansi pemerintah dengan pengelolaan ala bisnis, sehingga pemberian layanan kepada masyarakat menjadi lebih efisien dan efektif. Penerapan BLU pada pengelolaan TN memungkinkan
4
manajemen TN melaksanakan bisnis (wirausaha) dan mempunyai pola tata kelola (organisasi) tersendiri. Penerapan BLU TN juga memungkinkan penetapkan tarif tersendiri sesuai perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan, dan memungkinkan TN untuk menerima hibah dari masyarakat atau badan lain serta menggunakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk pengelolaan menuju TN Mandiri. 1.3. Perumusan Masalah Pengelolaan kawasan konservasi menghadapi berbagai kendala, di samping berbagai peran dan manfaat yang dimilikinya.
Menurut McNeely (1995)
permasalahan kawasan konservasi berbeda-beda pada setiap negara, namun secara umum permasalahan penting pengelolaan kawasan konservasi adalah lemahnya dukungan nasional, konflik dengan masyarakat lokal, konflik dengan institusi pemerintah lainnya, manajemen yang lemah dan pendanaan yang lemah dan tidak terjamin. Kawasan konservasi memiliki sumber pendanaan dari anggaran negara namun anggaran yang dialokasikan untuk kawasan konservasi relatif sangat sedikit. Pada tahun 2010 realisasi anggaran konservasi adalah kurang dari 1 trilyun rupiah sedangkan realisasi APBN 1.289,6 trilyun atau hanya sekitar 0,07% dari total realisasi APBN (Kemenhut 2011b). Bahkan, walaupun suatu kawasan konservasi mampu memberikan kontribusi yang nyata bagi keuangan negara, tetapi hanya sebagian kecil saja dari dana tersebut yang dikembalikan untuk keperluan pengelolaan kawasan konservasi (McNeely 1995). Kecukupan pendanaan, kestabilan pendanaan dan pengelolaan keuangan memiliki korelasi cukup tinggi terhadap efektivitas pengelolaan (Leverington et al. 2010). Manfaat langsung TN ditinjau dari sisi ekonomi sungguh sangat memprihatinkan. Pada tahun 2010 jumlah PNBP yang diperoleh seluruh TN di Indonesia hanya 16 milyar rupiah, hanya setara dengan PNBP yang dihasilkan kebun raya di Indonesia yang luasnya kurang dari 1 juta ha (Kemenhut 2011a). Pemerintah telah melakukan berbagai rencana kebijakan dalam upaya mengoptimalkan potensi kawasan konservasi pada umumnya dan TN pada khususnya dalam mengatasi permasalahan pembiayaan keuangannya.
Upaya
tersebut diantaranya dengan Penunjukan 20 Taman Nasional Model dengan target
5
menjadi Taman Nasional Mandiri melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Nomor : SK.69/IVSet/HO/2006 tanggl 3 Mei 2006 sebagai tindak lanjut dari Rencana Strategis Departemen Kehutanan 2005-2009.
Namun, pada perkembangannya, Taman
Nasional Model dan Taman Nasional Mandiri belum dapat direalisasikan karena belum adanya arahan, pedoman, kriteria, indikator, monitoring dan penilaian kinerja lebih lanjut untuk operasionalisasinya (Hartono 2008b). Kegiatan TN berpotensi untuk dikelola secara lebih efisien dan efektif melalui BLU terutama terkait dengan tugas pokok dan fungsinya yang layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU. Melalui BLU, TN diharapkan mampu melaksanakan tugas-tugas pokok pengelolaan dengan baik yang berimplikasi pada kelestarian kawasan, di sisi lain kesejahteraan masyarakat dan kemandirian dapat tercapai serta pembangunan ekonomi terlaksana. Hal ini sesuai dengan prinsip pembanguan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan pada masa sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri (WCED 1987). Rencana program pengembangan kawasan konservasi dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU) sebanyak 12 unit melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.08/Menhut-LL/2010 tanggal 27 Januari 2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014, perlu didukung oleh data dan informasi yang penting bagi pelaksanaannya. Menurut Hartono (2008a) pembentukan TN Mandiri secara finansial dengan status BLU perlu didahului dengan kajian yang mendalam terutama terkait dengan peran TN dalam memproduksi barang atau jasa apakah sebagai operator atau sebatas regulator, penentuan jenis kegiatan yang sekaligus menghasilkan barang/jasa dan menghasilkan PNBP serta standar barang/jasa pelayanan, jenis dan tarif penerimaan, mekanisme penerimaan dan penggunaan dan lingkup penggunaan penerimaan. 1.4. Tujuan Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Mengidentifikasi penjabaran tugas pokok dan fungsi TN.
6
2.
Menganalisis ketepatan penerapan model BLU dalam pengelolaan menuju TN Mandiri.
3.
Merumuskan implikasi penerapan BLU menuju pengelolaan TN Mandiri yang berkelanjutan.
1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan strategis bagi Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) dalam upaya mewujudkan penerapan BLU pada pengelolaan TN Mandiri sehingga tujuan program dapat dicapai secara optimal serta menjamin pemanfaatan TN yang berkelanjutan.