I . PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kemasan mempunyai peranan penting untuk menunjang operasional suatu industri manufaktur maupun industri jasa. Produk kemasan disamping berfungsi untuk mewadahi dan melindungi produk yang dihasilkan oleh industri manufaktur atau industri jasa lain, juga berfungsi sebagai alat untuk mengkomunikasikan produk kepada pelanggan. Kemasan yang baik dapat meningkatkan nilai tambah suatu produk. Pertumbuhan industri pangan, farmasi, dan barang barang kebutuhan konsumen yang pesat telah mendorong peningkatan permintaan terhadap industri kemasan. Peningkatan ini juga didorong oleh tumbuhnya sektor ritel berbagai macam produk, sehingga meningkatkan kebutuhan akan produk kemasan. Berdasarkan bahan baku yang digunakan, industri kemasan dapat diklasifikasikan menjadi lima sektor, yaitu : 1) industri kemasan kertas dan karton, 2) industri kemasan plastik kaku, 3) industri kemasan plastik fleksibel, 4) industri kemasan bahan baku kaleng, dan 5) industri kemasan bahan baku kaca (WPO, 2008). Dari berbagai variasi bahan baku kemasan, kemasan yang terbuat dari kertas dan karton merupakan jenis yang banyak diminati dan digunakan oleh konsumen. Di Indonesia, konsumsi kemasan yang terbuat dari kertas dan karton menempati urutan kedua setelah kemasan yang terbuat dari plastik (Gambar 1). Didunia, konsumsi kemasan dari kertas dan karton menempati urutan pertama dengan persentase sebesar 38%, diikuti berturut-turut oleh kemasan plastik kaku 21%, kemasan plastik fleksibel 13%, kemasan kaleng 16%, kemasan dari kaca 6%, dan kemasan lainnya 6% (WPO, 2008). Konsumsi atau penggunaan kemasan yang terbuat dari kertas dan karton terus meningkat.
Pertumbuhan tingkat penggunaan kemasan dari kertas dan
karton terlihat dari pertambahan nilai kotor produk industri kertas dan karton yang dihasilkan pada periode 2003 sampai 2008 (Tabel 1). Pertumbuhan konsumsi kemasan kertas dan karton ini juga terlihat dari pertumbuhan pasar kemasan kertas
2
dan karton di Indonesia berada pada urutan keempat tertinggi di dunia pada periode 2004 sampai 2009, yaitu sebesar 9,5%. (WPO, 2008).
6% 24%
17%
Kertas & karton plastik kaleng (metal) kaca
53% Gambar 1. Perbandingan Konsumsi Berbagai Sektor Kemasan di Indonesia (IPF, 2009).
Pada tahun 2010, nilai penjualan industri kemasan kertas dan karton mencapai US$1,85 milyar (kurang lebih Rp. 16,65 trilyun), yang merupakan 25% dari total penjualan seluruh industri kemasan di Indonesia. Konsumsi kemasan tertinggi terdapat pada jenis kemasan plastik kaku dengan nilai sebesar US$ 1,88 milyar pada tahun 2011 (Bharat Book Bureau, 2012).
Tabel 1 Data industri kemasan kertas dan karton (DIS, 2010) Data Statistik Nilai Produk Industri (gross) Jumlah perusahaan terdaftar
2004
2005
2006
2007
2008 10,995
7,016
6,784
8,560
10,276
110
120
130
130
130
Keterangan Rp.triliun Units
Tingginya konsumsi kemasan kertas dan karton terjadi karena kemasan kertas dan karton merupakan kemasan yang cukup aman untuk digunakan berbagai jenis produk, termasuk bagi produk pangan.
Sektor pangan adalah
pengguna terbesar dari industri kemasan (mencapai sekitar 50 persen). Disamping itu kemasan karton bersifat mudah diuraikan sehingga tidak merusak lingkungan,
3
dapat didaur ulang sebagai bahan baku untuk kemasan berikutnya, dan dapat digunakan sebagai sumber energi atau kompos (Coles, McDowell dan Kirwan, 2003). Di Indonesia terdapat sekitar 130 industri kemasan kertas dan karton di mana sebagian besarnya merupakan usaha kecil dan menengah. Sebagian besar pelaku industri kertas dan karton memproduksi produk yang terbuat dari bahan baku karton solid dan karton gelombang untuk menghasilkan kemasan karton lipat (folding carton) dan kotak karton gelombang (corrugated box).
Banyaknya
pelaku industri menyebabkan tingginya tingkat persaingan dan meningkatnya daya tawar konsumen untuk memperoleh produk kemasan sesuai dengan harga dan spesifikasi yang mereka inginkan.
Hal ini menyebabkan turunnya margin
keuntungan yang diperoleh industri kemasan karton dalam tahun-tahun terakhir. Bagi industri kecil dan menengah tantangan ini ditambah dengan permasalahan sulitnya memperoleh akses bahan baku yang murah, rendahnya kemampuan teknologi produksi dan kurangnya kemampuan untuk melakukan perencanaan dan pengelolaan produksi yang efisien untuk memenuhi tuntutan konsumen. Sebagian besar industri kemasan karton beroperasi berdasarkan pesanan (make-to-order/MTO). Disamping itu banyak produk kemasan yang didesain secara khusus dan diproduksi dalam jumlah besar untuk konsumen tertentu (Mass Customization/MC). Proses operasi yang berdasarkan pesanan menyebabkan produsen tidak mengetahui produk apa yang akan dibuat, seperti apa spesifikasinya dan berapa jumlahnya, hingga pesanan tersebut datang. Di sisi lain karakteristik MC menyebabkan banyaknya variasi desain struktur, desain grafis dan jmlah pesanan produk kemasan karton sehingga menambah kompleksitas proses perencanaan dan pengendalian produksi.
Kompleksitas
proses
perencanaan produksi memberikan kesulitan yang lebih tinggi pada industri MTO dan MC dalam memberikan informasi yang akurat kepada pelanggan mengenai kemampuan perusahaan untuk memproduksi suatu pesanan dan kapan waktu penyelesaian pesanan. Tingkat persaingan yang tinggi dengan margin keuntungan yang semakin berkurang, serta adanya kompleksitas proses perencanaan dan pengendalian produksi menuntut perusahaan kemasan karton memiliki kemampuan untuk
4
memproses pesanan secara lebih efisien. Salah satu cara untuk mengatasi hal ini adalah dengan membuat sistem penerimaan pesanan yang terintegrasi dengan perencanaan produksi sehingga dapat meningkatkan efisiensi dalam proses produksi sekaligus dapat meningkatkan kepuasan pelanggan melalui pemberian informasi yang lebih akurat mengenai status pesanan mereka. Proses perencanaan produksi pada industri MTO dan MC memiliki struktur yang berbeda dengan proses perencanaan produksi pada industri yang berproduksi berdasarkan stock (Make-to-Stock/MTS). Banyaknya variasi produk, adanya kemungkinan penambahan desain produk baru setiap saat, dan proses produksi yang baru bisa dilaksanakan setelah pesanan datang, membuat industri berbasiskan MTO memerlukan suatu tahapan khusus yang dapat menjembatani kebutuhan konsumen dengan tahap perencanaan produksi. Henry dan Kingsman (1989) untuk pertama kalinya menambahkan tahap penerimaan pesanan (order entry stage) di dalam struktur perencanaan produksi pada perusahaan MTO. Tahap penerimaan pesanan pada industri yang bersifat MTO merupakan suatu tahapan yang merupakan irisan dari dua aktivitas atau sistem utama pada suatu perusahaan, yaitu sistem pengelolaan pesanan dan sistem perencanaan dan pengendalian produksi. Stock dan Lambert (2001) menyatakan bahwa sistem pengelolaan pesanan (order processing system) merupakan alat penting yang dapat digunakan untuk memperbaiki komunikasi dengan pelanggan, meningkatkan kinerja fungsi-fungsi logistik dan meningkatkan efisiensi proses. Dengan semakin majunya teknologi informasi,
sistem informasi pemesanan memainkan peran kunci untuk
meningkatkan pelayanan kepada pelanggan dengan biaya yang kompetitif. Krajewski et al (2010) menjelaskan bahwa penggunaan sistem informasi berbasis internet pada proses penerimaan pesanan akan memberikan beberapa manfaat bagi perusahaan, antara lain : 1) menghemat biaya dan waktu pemrosesan pesanan karena mendorong partisipasi pelanggan yang lebih besar dalam pemilihan produk, 2) memungkinkan proses penerimaan pesanan berlangsung 24 jam sehari dengan akses yang lebih luas dan global, dan 3) meningkatkan fleksibilitas harga dan kemampuan untuk mengontrol keuntungan ataupun kerugian dengan lebih cepat.
5
Berbagai penelitian tentang model atau sistem penerimaan pesanan telah dihasilkan. Namun sebagian besar merupakan sistem informasi pemesanan berbetuk DMS (Database Management System) yang dirancang untuk industri dengan karakteristik make-to-stock/MTS atau Assembly to Order (ATO) (Supriyanto dan Kirana,2008). Penelitian yang berisikan pengembangan model proses penerimaan pemesanan pada industri MTO dengan tingkat ketidakpastian lebih tinggi belum banyak dilakukan.
Dua di antaranya adalah yang
dikembangkan oleh Ebadian, et al (2008) dan Kirche, Kadipasaouglu dan Khumawala (2005). Walaupun model ini disusun untuk industri dengan kriteria MTO, namun tidak sesuai untuk industri kemasan karton yang memiliki karakteristik MC dan belum sepenuhnya bisa menjawab efisiensi pemesanan yang dibutuhkan oleh industri yang bersifat MTO.
1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan model proses penerimaan pesanan pada industri kemasan karton.
Model ini mencakup tahapan untuk
menentukan desain struktur dan bahan baku utama kemasan, mengevaluasi proses produksi dan menentukan harga kemasan.
Model diwujudkan dalam bentuk
perangkat lunak Sistem Penunjang Keputusan Cerdas (Intelligent Decision Support System/IDSS) Proses Penerimaan Pesanan pada Industri kemasan karton yang berbasis internet. Model ini diharapkan dapat memberikan kemudahan, meningkatkan efisiensi dan akurasi proses penerimaan pesanan sehingga konsumen dapat memperoleh kepastian mengenai status pesanan, waktu penyelesaian serta harga pesanan tanpa harus berhadapan langsung dengan pihak produsen.
1.3 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup model proses penerimaan pesanan dibatasi pada industri kemasan karton yang memproduksi kotak karton gelombang (corrugated box) dan kemasan karton lipat (folding carton). Jenis-jenis kemasan karton gelombang dan karton lipat merujuk kepada standar desain struktur kemasan yang dikeluarkan oleh FEFCO (The European Federation of Corrugated Board Manufacturers) dan
6
ESBO (The European Solid Board Organization) pada tahun 2007, beseerta kombinasi atau modifikasi desain struktur yang dihasilkan dari model standar yang telah ada. Parameter keputusan yang dipertimbangkan dalam menentukan desain kemasan adalah dimensi, bentuk dan jenis kertas pada desain struktur serta warna pada desain grafis. Tahapan proses produksi mencakup proses pembuatan karton gelombang (corrugating) sampai proses konversi menjadi produk kemasan (converting). Proses converting terdiri dari tahapan pencetakan (printing), pemotongan (die cuting), pengeleman atau penjahitan (finishing) dan perlakuan tambahan (additional treatment).
Tahapan converting dilakukan secara terputus-putus
(sheet fed) dan bukan kontinyu (in line).