1
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Perekonomian Indonesia dewasa ini makin berkembang. Peran Indonesia
dalam perekonomian global makin besar dimana Indonesia mampu mencapai 17 besar perekonomian dunia sehingga menjadi salah satu anggota G-20 (Kemenko Perekonomian 2011). Produk Domestik Bruto (PDB) nominal Indonesia pada tahun 2011 tercatat sekitar 7.427 triliun rupiah dengan pertumbuhan ekonomi 6,46% (BPS 2012). Visi Indonesia 2025 adalah mengangkat Indonesia menjadi negara maju dan merupakan kekuatan ekonomi 12 besar dunia di tahun 2025 dan 6 besar dunia pada tahun 2050 melalui pertumbuhan ekonomi tinggi yang inklusif, berkeadilan dan berkelanjutan. Berkaitan dengan itu, Kementrian Koordinator Perekonomian dan Bappenas menyatakan bahwa perekonomian Indonesia mampu mencapai visi tersebut dengan asumsi pertumbuhan riil sekitar 7% - 8% per tahun. Lembaga keuangan internasional seperti Goldmann Sachs juga memproyeksikan bahwa pada puncaknya Indonesia akan mencapai 6 besar dunia pada tahun 2050 dengan PDB nominal sebesar US$ 26.670 miliar dan pendapatan perkapita sebesar US$ 78.478 (Kemenko Perekonomian 2011). Dalam rangka mencapai visi Indonesia tersebut diperlukan stabilitas dalam perekonomian. Namun fluktuasi ekonomi, ekspansi dan kontraksi output, senantiasa
mengikuti
perjalanan
perekonomian
suatu
negara.
Kontraksi
perekonomian kadang berlangsung lama, namun tidak berlangsung selamanya. Meski demikian ternyata kontraksi perekonomian menyebabkan penurunan output dan peningkatan pengangguran serta kemiskinan, sehingga diperlukan upaya untuk meredam dampak negatif dari krisis yang terjadi. Indonesia mengalami beberapa periode kontraksi dan ekspansi. Periode emas perekonomian Indonesia terjadi pada tahun 1990 – 1996, hingga Indonesia dijuluki salah satu macan Asia selain Malaysia, Korea Selatan dan Singapura. Perekonomian Indonesia tumbuh pesat rata-rata sekitar 7% per tahun, depresiasi Rupiah terhadap US$ mampu dijaga stabil pada kisaran 3% - 5% serta pertumbuhan ekspor maupun impor yang tinggi. Namun booming ekonomi
2
tersebut tidak ditopang oleh fundamental ekonomi yang kuat. Industrialisasi yang dikembangkan sebagai jembatan transformasi dari sektor primer ke sektor sekunder dan tersier adalah foot loose industry yang banyak menggunakan bahan baku impor. Kolapsnya perekonomian bermula dari krisis mata uang tahun 1997 yang kemudian memicu terjadinya krisis ekonomi. Pada tahun 1998, perekonomian terkontraksi sangat dalam hingga mencapai tingkat terendah yaitu sebesar minus 13%. Setelah itu perekonomian Indonesia berangsur membaik secara perlahan meski belum sepenuhnya pulih dan mencapai kondisi sebelum krisis ekonomi terjadi. Dalam perjalanannya, pemulihan ekonomi Indonesia dapat dikatakan lebih lambat bila dibandingkan dengan negara-negara Asia lain seperti Thailand, Malaysia dan Korea yang juga mengalami krisis serupa. Membaiknya kinerja ekonomimakro Indonesia antara lain diindikasikan dengan terus meningkatnya Produk Domestik Bruto (PDB) dari tahun ke tahun dengan pertumbuhan yang positif, stabilnya kurs rupiah serta terkendalinya inflasi. Namun fluktuasi perekonomian, boom dan bust, bisa terjadi setiap saat dan berbagai peristiwa yang terjadi dapat mengganggu kestabilan perekonomian di jangka pendek. Krisis keuangan global melanda dunia pada tahun 2008 sebagai akibat dari krisis perumahan yang melanda Amerika Serikat dan bangkrutnya lembagalembaga keuangan dunia seperti Lehman Brothers dan Goldmann Sachs. Keruntuhan perekonomian Amerika Serikat bermula dari krisis sub prime mortgage dan segera menjalar ke beberapa negara di dunia termasuk negaranegara di wilayah Asia. Indonesia pun tidak luput dari dampak krisis keuangan global tersebut meski tidak separah seperti krisis di penghujung tahun 1990-an. Dampak krisis keuangan global terhadap perekonomian Indonesia pertama kali dirasakan di pasar saham. Harga saham Bursa Efek Jakarta (BEJ) terkoreksi cukup dalam, dimana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menyentuh level terendah di tahun 2008 pada bulan Oktober yaitu 1.111,39 (Bloomberg 2012). Terlihat dari Gambar 1 bahwa resesi Amerika Serikat mulai direspon pasar saham domestik pada tahun 2008 pada bulan Juni, diindikasikan dengan mulai menurunnya IHSG.
3
4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
Sumber: Bloomberg 2012 Gambar 1 Perkembangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Selain itu juga terjadi penurunan kepemilikan asing pada Surat Utang Negara (SUN) dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Kurs rupiah terdepresiasi hingga Rp 10.650 per US$. Pasar obligasi pemerintah dan swasta tertekan sehingga merugikan perbankan dan institusi pemegang obligasi (BI 2012). Meski dampaknya terasa di pasar saham, krisis keuangan global ternyata tidak begitu besar pengaruhnya ke sektor riil. PDB pada tahun 2009 tetap meningkat secara riil meski pertumbuhannya sempat melambat dari 6,01% di tahun 2008 menjadi 4,63% di tahun 2009. Selanjutnya pertumbuhan ekonomi mampu mencapai angka 6,20% di tahun 2010 (BPS 2012). Disamping menghadapi krisis keuangan global yang sedikit banyak memengaruhi perekonomian domestik, Indonesia juga terpapar oleh berbagai peristiwa eksternal antara lain fenomena kenaikan harga minyak dunia di pasar komoditas
internasional.
Minyak
merupakan
komoditi
strategis
dimana
keberadaannya sampai saat ini masih sangat vital sebagai input dalam proses produksi. Namun sepanjang sejarah, harga minyak dunia mengalami beberapa kali guncangan. Pada era 1970-an, harga minyak bumi meningkat karena penurunan supply akibat berbagai konflik yang terjadi di kawasan Timur Tengah yang saat itu menjadi ladang utama minyak bumi dunia. Diantaranya adalah embargo OPEC tahun 1972-1973, Revolusi Iran di tahun 1978, Perang Irak-Iran pada tahun 1980 dan Perang Teluk Persia di tahun 1990. Berbagai peristiwa ini meningkatkan harga minyak dunia secara tajam dan menyebabkan resesi perekonomian global
4
(Hamilton, 2009). Sehingga pada era 1970-an tersebut, fluktuasi harga minyak sangat berperan dalam fluktuasi perekonomian global. Tabel 1 Perkembangan produksi minyak mentah dunia menurut kawasan Kawasan Amerika Utara
Produksi minyak mentah (juta barel per hari) 1990
1995
2000
2005
2008
2011
14,71 14,93 15,27 15,20 15,05 16,73
Amerika Tengah & Selatan
4,70
6,12
7,31
7,24
7,41
7,80
Eropa
4,82
6,87
7,16
6,11
5,21
4,27
Eurasia
11,30
7,14
8,18 11,76 12,55 13,31
Timur Tengah
17,45 20,42 23,48 25,55 25,84 26,87
Afrika
6,72
7,32
7,99 10,10 10,64
9,36
Asia & Oceania
6,74
7,50
8,31
8,76
Dunia
8,45
8,61
66,44 70,30 77,71 84,42 85,31 87,11
Sumber: US EIA 2012 Tabel 1 menunjukkan perkembangan produksi minyak dunia. Setelah tahun 1990, frekuensi konflik seperti perang semakin berkurang. Hal ini menyebabkan produksi minyak utamanya yang berasal dari kawasan Timur Tengah, kawasan yang berperan dalam menyediakan pasokan sebagian besar minyak mentah dunia, menjadi lebih stabil bila dibandingkan dengan era 1970an. Pada tahun 1990, produksi minyak mentah dari kawasan Timur Tengah mencapai 17,45 juta barel per hari dan memiliki share produksi terbesar dibanding pasokan dari kawasankawasan lainnya. Kawasan Amerika Utara juga berperan penting dalam pasokan minyak mentah dunia dimana pada tahun 1990 mampu memproduksi sekitar 14,71 juta barel per hari. Pada waktu yang sama kawasan Eurasia mampu memproduksi minyak mentah sekitar 11,30 juta barel per hari. Share ketiga kawasan ini bagi total produksi dunia sekitar 65,42%. Secara agregat, produksi minyak mentah dunia mencapai 66,44 juta barel per hari pada tahun 1990. Percepatan produksi terjadi dalam kurun waktu 1995 hingga 2005 dimana produksi minyak mentah meningkat tajam yaitu dari 70,30 juta barel per hari pada tahun 1995 menjadi 77,71 juta barel per hari pada tahun 2000 atau terjadi peningkatan sebesar 7 juta barel per hari dalam kurun waktu tersebut. Kenaikan
5
produksi ini terus berlanjut hingga tahun 2005 yang meningkat menjadi 84,42 juta barel per hari dari tahun 2000. Namun produksi minyak mentah mulai melambat setelah tahun 2005. Meski sebagian besar kawasan terus meningkat produksinya, namun kawasan Amerika Utara dan Eropa mengalami penurunan produksi minyak mentah. Selain membahas sisi penawaran minyak mentah, untuk mendapatkan gambaran mengenai pasar minyak bumi secara lengkap maka perlu diulas sisi permintaan minyak dunia yang didekati oleh konsumsi dunia. Tabel 2 menyajikan perkembangan konsumsi minyak dunia dari periode 1990 hingga 2011. Tabel 2 Perkembangan konsumsi minyak dunia menurut kawasan Konsumsi minyak dunia (juta barel per hari) Kawasan 1990 Amerika Utara Amerika Tengah & Selatan Eropa
1995
2000
2005
2008
2011
20,32 21,33 23,82 25,24 23,90 23,16 3,76
4,46
5,21
5,50
6,10
6,41
14,69 15,38 15,91 16,42 16,14 15,03
Eurasia
8,39
4,60
3,72
4,15
4,21
4,60
Timur Tengah
3,47
4,13
4,79
5,83
6,55
7,38
Afrika
2,07
2,25
2,50
2,97
3,19
3,51
Asia & Oceania
13,82 17,94 20,83 23,97 25,35 27,90
Dunia
66,52 70,10 76,79 84,11 85,46 87,42
Sumber: US EIA 2012 Pada tahun 1990, permintaan dunia mencapai 66,52 juta barel per hari. Tiga kawasan yang memiliki permintaan tertinggi adalah Amerika Utara (20,32 juta barel per hari), Eropa (14,69 juta barel per hari) dan Asia & Oceania (13,82 juta barel per hari). Seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat maka aktivitas perekonomian juga meningkat dan membutuhkan sumber energi lebih banyak. Oleh karena itu, dari tahun ke tahun permintaan minyak juga meningkat. Pada tahun 2000, total konsumsi minyak dunia mencapai 76,79 juta barel per hari atau meningkat sekitar 10 juta barel per hari bila dibandingkan dengan konsumsi dunia pada tahun 1990. Hingga tahun 2005, seluruh kawasan mengalami kenaikan konsumsi minyak.
6
Resesi ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat sebagai konsumen utama minyak serta adanya krisis zona Euro di Eropa menyebabkan perlambatan permintaan minyak dunia secara total pada tahun 2008. Permintaan dunia hanya sedikit meningkat dari 84,11 juta barel per hari pada tahun 2005 menjadi 85,46 juta barel per hari pada tahun 2008. Dominasi konsumsi minyak beralih dari kawasan Amerika Utara ke kawasan Asia & Oceania, disebabkan oleh pesatnya perekonomian China dan India. Hingga tahun 2011, dampak krisis di Amerika Serikat dan Eropa menyebabkan perekonomian di kedua kawasan tersebut masih melambat sehingga permintaan minyak dari kawasan itu masih menurun. Secara agregat, permintaan minyak dunia di tahun 2011 mencapai 87,42 juta barel per hari. 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00
(1.00)
1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
-
(2.00) pertumbuhan supply
pertumbuhan demand
Sumber: US EIA 2012 Gambar 2 Perkembangan pertumbuhan supply dan demand minyak dunia Gambar 2 menunjukkan perkembangan pertumbuhan penawaran dan permintaan dunia atas komoditi minyak. Pertumbuhan permintaan minyak yang tidak mampu diikuti oleh pertumbuhan penawaran jarang terjadi pada era 1990an. Oleh karena itu harga minyak dunia tidak banyak bergejolak pada periode 19902000 dan berada di kisaran 15-40 US$ per barel (Gambar 3). Pada tahun 1991, 1999 dan 2002, terjadi penurunan penawaran ketika permintaan minyak tinggi. Penurunan penawaran pada periode-periode tersebut berkaitan dengan penurunan produksi minyak karena Perang Teluk Persia pada tahun 1990, krisis keuangan di Asia Timur atau Asia Financial Crisis (AFC) pada tahun 1998-1999 serta
7
turunnya produksi minyak dari Venezuela dan invasi Amerika Serikat ke Irak pada tahun 2002 (Hamilton, 2011). Setelah tahun 2002, secara umum pertumbuhan penawaran dan permintaan minyak relatif sama, namun harga minyak mentah mengalami fluktuasi yang tajam. Di tahun 2005, harga minyak mencapai 59,80 US$ per barel. Banyak kalangan memperkirakan bahwa harga minyak dunia akan terus meningkat. Pada tahun 2008, penawaran minyak tumbuh pesat sekitar 1,25%, sedangkan pertumbuhan permintaan minus 0,45%. Pesatnya perekonomian China dan India yang meningkatkan permintaan energi diimbangi oleh melemahnya perekonomian Amerika Serikat dan Eropa sehingga hasil akhir bagi permintaan dunia adalah tidak ada kenaikan yang berarti atas permintaan minyak. Namun jika dilihat dari harganya, pada periode 2008:2 terjadi kenaikan tajam dari harga minyak dunia hingga mencapai level tertinggi sejak tahun 1990 yaitu sekitar 139,96 US$ per barel. 160 140 120 US$/barel
100 80 60 40 20 1990:1 1991:1 1992:1 1993:1 1994:1 1995:1 1996:1 1997:1 1998:1 1999:1 2000:1 2001:1 2002:1 2003:1 2004:1 2005:1 2006:1 2007:1 2008:1 2009:1 2010:1 2011:1 2012:1
0
Sumber: US Department of Energy 2012 Gambar 3 Perkembangan harga minyak dunia Kenaikan harga minyak dunia tersebut ternyata tidak berlangsung lama, segera terjadi penurunan harga minyak dunia hingga mencapai 49,64 US$ per barel pada tahun 2009 triwulan pertama. Dalam perkembangannya, harga minyak dunia kembali meningkat bahkan kembali mencapai diatas 100 US$ per barel pada tahun 2011 triwulan pertama. Dilihat dari perkembangan pertumbuhan
8
penawaran dan permintaan minyak ternyata juga tidak dijumpai indikasi penurunan penawaran atau kenaikan permintaan. Berdasarkan hukum permintaan dan penawaran, kenaikan harga terjadi ketika permintaan meningkat dengan asumsi tidak ada kenaikan penawaran atau terjadi penurunan produksi ketika permintaan tetap atau meningkat. Bila dibandingkan antara pertumbuhan produksi dan konsumsi pada tahun 2008 dan 2011, ternyata tidak ada peningkatan permintaan secara drastis dibandingkan penawaran, yang dapat memicu kenaikan harga minyak dunia secara tajam. Begitu pula dari sisi penawaran, tidak terjadi penurunan produksi. Sisi penawaran minyak relatif memiliki pertumbuhan yang sama dengan sisi permintaan. Namun bila melihat perkembangan harga minyak dunia, ternyata pada tahun 2008 dan 2011 terjadi fluktuasi harga yang tajam. Realita bahwa kenaikan harga minyak tidak menyeimbangkan supply dan demand pada tahun 2008 dan 2011, memunculkan dugaan ada faktor lain yang menggerakkan harga minyak diluar hukum permintaan dan penawaran. Seiring dengan lesunya investasi di pasar saham dan rendahnya suku bunga deposito maka banyak investor ingin menempatkan dananya di pasar yang lebih menguntungkan. Oleh karena itu investor memilih menempatkan dananya di pasar komoditas dimana minyak dunia diperdagangkan tidak secara fisik melainkan melalui transfer hak kepemilikan. Minyak mentah menjadi salah satu objek spekulasi. Ketika banyak investor membeli minyak mentah dengan harga diatas 100 US$ maka harga minyak dunia langsung meningkat, padahal dari basis permintaan dan penawaran tidak ada perubahan yang berarti. Bagi Indonesia, minyak masih menjadi sumber energi utama dalam proses produksi sehingga kenaikan aktivitas ekonomi di Indonesia berarti kenaikan permintaan minyak. Selain mengandalkan produksi minyak sendiri, Indonesia juga mengimpor minyak sekitar 456,7 ribu barel per hari di tahun 2009 untuk memenuhi kebutuhan domestik. Hal ini menjadikan Indonesia merupakan negara pengimpor minyak terbesar di dunia urutan ke-26. Dari sisi konsumsi minyak, Indonesia mengkonsumsi 1.292 ribu barel per hari di tahun 2010 dan menjadi negara yang mengkonsumsi minyak urutan 17 besar dunia. Sebagai negara net importir minyak, kenaikan harga minyak dunia ini akan berdampak negatif
9
terhadap perekonomian domestik yang menggantungkan sumber energi utamanya dari minyak. 1.2
Perumusan Masalah Stabilitas ekonomimakro sangat penting bagi kelancaran pencapaian sasaran
pembangunan nasional. Stabilitas diperlukan untuk dapat meningkatkan standar hidup masyarakat melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas. Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, Indonesia beresiko terkena dampak dari berbagai peristiwa dunia. Berbagai krisis dan kenaikan harga minyak dunia bersifat mengganggu stabilitas. Krisis ekonomi pada penghujung tahun 1990-an yang bermula dari krisis keuangan menyebabkan dampak serius bagi stabilitas perekonomian Indonesia, bahkan credit crunch sempat terjadi sehingga sektor riil kehilangan salah satu sumber pembiayaan. Namun berbeda dengan krisis keuangan global tahun 2008 lalu, ternyata dampaknya bagi perekonomian Indonesia tidak separah dampak krisis 1997-1998. Meskipun begitu, krisis keuangan global yang melumpuhkan sistem keuangan dunia tersebut akan berdampak negatif bagi Indonesia jika terjadi berlarut-larut. Selain peristiwa eksternal yang telah diuraikan sebelumnya, berbagai intervensi pemerintah domestik seperti kebijakan fiskal dan kebijakan moneter serta guncangan yang meningkatkan output juga dapat menyebabkan PDB ekspansi atau terkontraksi. Peran pemerintah dalam perekonomian misalnya menaikkan atau menurunkan pengeluaran pemerintah akan menyebabkan PDB menyimpang dari trend jangka panjangnya. Begitu juga ketika otoritas moneter menambah atau mengurangi jumlah uang beredar maka akan berdampak pada perubahan level PDB. Masyarakat modern berusaha mengendalikan business cycle dengan kebijakan ekonomi yang tepat yaitu bagaimana kebijakan fiskal dan kebijakan moneter memengaruhi business cycle. Namun perilaku harga adalah berbeda menurut horizon waktu. Di jangka pendek, harga adalah kaku, yaitu sulit menyesuaikan berbagai perubahan dalam perekonomian. Di jangka panjang, harga adalah fleksibel, dapat menyesuaikan dengan cepat berbagai perubahan kondisi ekonomi. Oleh karena itu kebijakan ekonomi, baik kebijakan fiskal maupun
10
kebijakan
moneter,
yang
dilakukan
pemerintah
dalam
memengaruhi
perekonomian memiliki dampak yang berbeda menurut horizon waktu yang berbeda. Sehingga ekonom memerlukan model yang berbeda untuk horizon waktu yang berbeda. Selama horizon waktu harga adalah kaku maka variabel nominal mampu memengaruhi variabel riil sehingga perekonomian bisa menyimpang dari keseimbangan yang diprediksi model Klasik (Mankiw, 1993). Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya, maka Indonesia dituntut untuk melakukan upaya lebih keras dalam menjaga stabilitas makroekonominya dan mencegah timbulnya fluktuasi yang berlebihan dalam perekonomian. Berbagai gangguan terhadap stabilitas ekonomi dapat diredam dengan melakukan kebijakan yang tepat. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan diteliti guncanganguncangan apa saja yang berperan besar dalam fluktuasi perekonomian Indonesia melalui kajian business cycle. Model business cycle yang dibangun tersebut harus mempertimbangkan perilaku harga yang kaku di jangka pendek, sehingga kajian business cycle dalam penelitian ini dilakukan dalam kerangka kerja New Keynesian. Studi fluktuasi perekonomian dengan pendekatan business cycle masih sedikit dilakukan di negara berkembang seperti Indonesia meskipun pada level nasional, diantaranya oleh Siregar dan Ward (2000) serta Supriana (2004). Berdasarkan pengetahuan penulis, penelitian business cycle Indonesia terkini dilakukan oleh Supriana pada tahun 2004 dengan menggunakan series data hingga tahun 2001. Selama kurun waktu lebih dari 10 tahun berselang, muncul guncangan-guncangan baru seperti shock harga minyak yang tidak tercakup dalam penelitian business cycle sebelumnya. Berdasarkan uraian diatas maka rumusan permasalahan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana dinamika respon variabel makoekonomi Indonesia terhadap beberapa guncangan? 2. Guncangan apa yang paling berperan dalam business cycle Indonesia? 1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian pada latar belakang dan perumusan masalah, maka
penelitian ini bertujuan untuk:
11
1. Menganalisis dinamika respon variabel makroekonomi akibat guncangan tertentu. 2. Mengkaji guncangan yang paling berperan terhadap business cycle Indonesia. 1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini berguna untuk mengidentifikasi business cycle Indonesia
sehingga dapat diketahui guncangan mana yang paling berperan dalam fluktuasi makroekonomi nasional. Ketika perekonomian Indonesia berada dalam krisis, dapat diketahui variabel kunci untuk memonitor dan memulihkan perekonomian secara cepat, sehingga kebijakan yang tepat dapat diambil untuk meredam fluktuasi ekonomi. Selain itu juga dapat diketahui apakah guncangan eksternal berperan penting dalam fluktuasi perekonomian domestik. 1.5
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah kajian dampak berbagai guncangan
terhadap business cycle nasional. Identifikasi guncangan dilakukan berdasarkan kerangka kerja New Keynesian. Guncangan eksternal yang dicakup dalam penelitian ini adalah guncangan dari sisi penawaran yaitu guncangan harga minyak dunia dan guncangan dari sisi permintaan yaitu guncangan suku bunga Amerika Serikat. Guncangan harga minyak dunia diasumsikan berasal dari guncangan terhadap dirinya sendiri. Guncangan domestik yang dicakup meliputi guncangan dari sisi penawaran dan guncangan dari sisi permintaan. Guncangan penawaran diidentifikasi sebagai guncangan output secara umum, tidak dirinci apakah berasal dari guncangan tenaga kerja, guncangan kapital atau guncangan teknologi. Guncangan permintaan berupa guncangan kurs riil, guncangan permintaan uang serta guncangan kebijakan moneter domestik. Analisis business cycle menggunakan data time series pada periode 1990:1 hingga 2012:2.