1
HUBUNGAN PERSEPSI TERHADAP KELUARGA BERENCANA DENGAN MOTIVASI MENJADI AKSEPTOR PADA PRIA
Ika Mira Ariyani Sonny Andrianto, S.Psi., M.Si.
INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan positif antara persepsi terhadap keluarga berencana dengan motivasi menjadi akseptor pda pria. Hipotesis penelitian ini adalah ada hubungan positif antara persepsi terhadap keluarga berencana dengan motivasi menjadi akseptor pada pria. Semakin positif persepsi terhadap keluarga berencana maka semakin tinggi motivasi menjadi akseptor pada pria. Sebaliknya, semakin negatif persepsi terhadap keluarga berencana maka semakin rendah motivasi menjadi akseptor pada pria. Populasi dari penelitian ini adalah pria menikah, di lingkungan warga YPPI Islamic Centre Ar-Rahmah, Lumajang, Jawa Timur. Sampel dari penelitian ini 80 orang pria menikah. Skala yang digunakan adalah Skala Persepsi Terhadap Keluarga Berencana yang berjumlah 30 aitem dan Skala Motivasi Menjadi Akseptor Pada Pria berjumlah 23 aitem. Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan korelasi Product Moment dengan bantuan program SPSS versi 12.0 untuk menguji apakah terdapat hubungan antara persepsi terhadap keluarga berencana dengan motivasi menjadi akseptor pada pria. Korelasi Product Moment menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara persepsi terhadap keluarga berencana dengan motivasi menjadi akseptor pada pria. Hal ini diketahui melalui koefisien korelasi rxy = 0,851 dengan p = 0,000 (p<0,01). Semakin positif persepsi terhadap keluarga berencana maka semakin tinggi motivasi menjadi akseptor pada pria. Sebaliknya semakin negatif persepsi terhadap keluarga berencana maka semakin rendah motivasi menjadi akseptor pada pria. Jadi hipotesis diterima. Kata kunci : Persepsi terhadap Keluarga Berencana, Motivasi Menjadi Akseptor Pada Pria
2
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia telah berhasil memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap penurunan fertilitas dan laju pertumbuhan penduduk, serta peningkatan kualitas hidup masyarakat dan keluarga melalui kesertaan dalam penggunaan alat kontrasepsi. Hal ini ditandai dengan jumlah akseptor Keluarga Berencana dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2000–April 2004) naik 3,9 juta pertahun sehingga total akseptor KB Nasional 25 juta orang. Hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002/2003 menunjukkan pasangan usia subur (PUS) yang menjadi peserta Keluarga Berencana (KB) naik dari 57 persen (1997) menjadi 60,3 persen (2003), jumlah PUS mencapai sekitar 40 juta. Sejalan dengan peningkatan peserta KB, tingkat kelahiran di Indonesia menurut SDKI 2002-2003 cenderung turun. Total Fertility Rate turun terus dari 5,6 (awal tahun 1970-an) menjadi 3 (1991), 2,9 (1994), 2,8 (1997) dan 2,6 (2003) (www. Kompas Online. com). Akan tetapi pria peserta KB dari tahun ke tahun tak kunjung naik. Tahun 2003 peserta KB pria hanya 1,3 persen dari total akseptor baru KB secara nasional. Sebelumnya tahun 2001 akseptor KB pria 1,1 persen. Partisipasi pria dalam program KB secara keseluruhan di tingkat regional dan nasional masih sangat rendah dibandingkan dengan wanita. Menurut data Survei Demografi dan
3
Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003 prevalensi pemakaian kontrasepsi wanita 55,8 persen sedangkan pria hanya 1,3 persen (www. Kompas Online.com). Pemakaian alat kontrasepsi pria di Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri hingga Maret tahun ini baru sekitar 26.706 peserta atau 5,48 persen dari pasangan usia subur sebanyak 486.923 peserta. Dan metode pengguna kontrasepsi kaum pria juga masih rendah yaitu baru sekitar 5,9 persen. Adapun dalam UU no 25 Tahun 2000
tentang Propernas ditargetkan pencapaian partisipasi pria dalam
program KB pada 2004 sebesar 8 persen. Namun, dalam kenyataannya partisipasi pria hanya 4,4 persen (www.Suara Merdeka online.com; www.Kompas Online.com). Secara
umum
program
KB
di
Indonesia
telah
memperlihatkan
keberhasilan, tetapi ditinjau dari aspek kesetaraan gender dan kaitannya dengan tanggung jawab dan peran aktif pria, sebagai bentuk nyata kepedulian dan kesertaan pria dalam program KB dan kesehatan reproduksi, tampaknya perlu dicermati dengan seksama karena pengguna alat kontrasepsi pria hanya sedikit dibandingkan dengan pengguna metode kontrasepsi wanita (Purwanti, 2004). Prinsip utama dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender adalah dengan meningkatkan partisipasi pria, sehingga pria menjadi lebih bertanggung jawab dalam kesehatan reproduksi keluarganya. Hal ini penting karena partisipasi pria dalam pelaksanaan program KB dan kesehatan reproduksi adalah masalah yang strategis dalam meningkatkan cakupan program KB dan kesehatan reproduksi. Dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan hak asasi yang membatasi peran serta pria maupun wanita dalam keluarga berencana (Wahidin, 2001).
4
Menurut Kepala BKKBN Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta melalui surat kabar Kompas 2005 menyebutkan bahwa saat ini program Keluarga Berencana merupakan sebuah program yang bisa menjadi pilihan dari masingmasing Pasangan Usia Subur karena program KB sekarang memperbolehkan sebuah keluarga untuk memiliki jumlah anak sesuai dengan keinginan pasangan dalam keluarga tersebut. Hal ini tentunya dengan alasan dapat terjaminnya kebutuhan dan kesejahteraan anggota keluarga dari semua sisi yakni kesehatan, keharmonisan, kebahagian, dan tercukupinya tingkat pendidikan dari anggota keluarga itu sendiri. Berdasarkan dari hasil wawancara dengan beberapa pria yang sudah menikah peneliti menemukan beberapa persepsi negatif tentang keluarga berencana yang menyebabkan motivasi yang rendah terhadap keluarga berencana. Beberapa persepsi negatif pria terhadap keluarga berencana adalah sebagai berikut: Penyebab rendahnya peserta Keluarga Berencana pria karena rendahnya pengetahuan pria tentang KB, hal ini tentu saja berkaitan dengan masih rendahnya kesadaran pria ber KB dan rendahnya pemahaman tentang hak–hak dan kesehatan reproduksi. Beberapa sebab juga disebutkan yaitu tentang kurangnya pemahaman tentang kontrasepsi pria, rendahnya minat suami dalam mengakses informasi tentang kesehatan reproduksi dan kontrasepsi dan sarana pelayanan kesehatan untuk pria yang masih perlu ditingkatkan (www. kesrepro. info). Selama ini para pria menganggap bahwa Keluarga Berencana selalu identik dengan alat
5
kontrasepsi saja. Padahal pada kenyataanya Keluarga Berencana sangat luas kaitannya tidak hanya sekedar alat kontrasepsi saja tetapi juga kesejahteraan ibu dan anak, kesehatan reproduksi, manfaat dan macam–macam alat kontrasepsi (www. Kesrepro. info). Kurangnya pria dalam mengakses informasi tentang kesehatan reproduksi dan kontrasepsi ditunjukkan dengan kurang tahunya para pria terhadap macam dan jenis-jenis alat kontrasepsi yang ada, baik untuk wanita maupun pria. Persepsi negatif juga muncul ketika sebagian besar suami dan para pria
berpendapat
bahwa Keluarga Berencana hanya untuk perempuan saja dan para suami umumnya menyerahkan semua pilihan terbaik kepada istrinya. Menurut penelitian Arjoso, (1994) pria pada umumnya merasa enggan bila disebut-sebut apalagi diikutsertakan dalam program Keluarga Berencana. Padahal sebenarnya keputusan yang terjadi antara suami istri adalah keputusan bersama karena merupakan tanggung jawab bersama antara suami istri. Tidak dilibatkanya suami sebagai salah satu pihak yang berkepentingan dengan kesehatan reproduksi, menurut Arjoso membuat para suami miskin informasi (www.D-Net.com). Kenyataan di lapangan bahwa para petugas kesehatan jarang melibatkan para pria dalam konsultasi kesehatan terutama dalam perawatan kehamilan dan kelahiran anak. Dalam sebuah penelitian dari Suara Karya (www.D-Net.com) menyebutkan
dari
667
istri
2,4
persen
memilih
kontrasepsi
tanpa
mengikutsertakan suami hanya menyatakan persetujuan atas keputusannya. Hal serupa juga terjadi di daerah Lampung, 47 persen istri memutuskan sendiri tentang kontrasepsi yang akan dipakai. Bahkan banyak peristiwa-peristiwa
6
reproduksi yang dilewatkan pembahasan antara suami istri, berjalan demikian saja mengikuti kelaziman masyarakat sekitar. Hal-hal diatas merupakan timbulnya kecenderungan bagi para pria untuk bersifat pasif (www.D-Net.com). Selama ini pandangan gender menjadi fokus untuk sasaran penggunaan kontrasepsi, dalam hal ini seolah-olah perempuanlah yang harus menggunakannya dan pria tidak. Kebanyakan pria lebih suka menyarankan pasangannya yang menggunakan alat kontrasepsi daripada mereka sendiri. Para pria kurang termotivasi dalam menggunakan alat kontrasepsi karena keterbatasan metode kontrasepsi untuk pengaturan fertilitas yang dapat dipilih pria. Program Keluarga Berencana selama ini masih mengalami ketimpangan dari sisi genderisme. Kaum perempuan masih cenderung dijadikan obyek sasaran dan dituntut lebih banyak berperan ketimbang kaum pria. Diduga ketimpangan antara peserta KB pria dan wanita berhubungan dengan rendahnya pengetahuan dan kecenderungan sikap negatif pria terhadap Keluarga Berencana (Wahidin, 2001). Memang pada kenyataannya tidak dipungkiri hampir semua program Keluarga Berencana dihadirkan untuk para wanita, dari macam dan variasi alat kontrasepsi yang beraneka ragam untuk para wanita, penyiapan tempat pelayanan, tenaga pelayanan, wanita sebagai petugas dan promotor Keluarga Berencana (Wahidin, 2001). Tetapi hal-hal tersebut sebetulnya tidak mengecilkan arti dan peranan pria dalam keluarga. Karena pemakaian kontrasepsi bagi pria dan peran serta pria dalam keluarga berencana merupakan komponen paling penting sebagai wujud rasa tanggungjawab pria dalam mendukung program Keluarga Berencana.
7
Kenyataannya pria dan wanita mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hal kesehatan reproduksi, kesejahteraan ibu dan anak, pengaturan kelahiran ataupun Keluarga Berencana dan alat kontrasepsi. Hal ini berarti dalam keluarga berencana pun yang harus dan wajib tahu tidak hanya pihak wanita tapi juga pria sebagai kepala rumah tangga. Yang berarti pria juga harus bersedia memakai alat kontrasepsi, serta mengerti tentang kesehatan reproduksi wanita. Adanya sifat positif pria terhadap Keluarga Berencana berarti tidak hanya mendukung istrinya tetapi adanya kesepakatan tentang alat kontrasepsi apa yang akan dipakai dan siapa yang menggunakan. Ketika informasi yang jelas dan benar sudah jadi bagian dari persepsi setiap para pria dimungkinkan akan timbul sikap positif dan dukungan para pria terhadap Keluarga Berencana. Proses komunikasi antara suami dan istri tentang Keluarga Berencana sering mengalami pemutusan sepihak oleh pihak istri, sebagai akibat pengkomunikasian yang kurang efektif dalam hal Keluarga Berencana. Temuan sebuah penelitian membuktikan bahwa sebenarnya suami istri bukanlah satu kesatuan yang berpendapat tunggal . Suami istri tetaplah dua orang yang berbeda, yang sangat mungkin memiliki pilihan yang berbeda sehingga proses negoisasi harus dilakukan. Keputusan dalam penggunaan kontrasepsi berkaitan erat dengan komunikasi pasangan suami istri dalam hal reproduksi (Subhan, 2001). Persepsi negatif lainnya tentang rendahnya peserta keluarga berencana dan pengguna alat kontrasepsi pria adalah persepsi negatif terhadap penggunaan kondom pada pria, para pria enggan menggunakan kondom karena menurut
8
mereka kondom dapat mengurangi kepuasan dalam melakukan hubungan seksual. Persepsi negatif juga muncul pada proses vasektomi pada pria, menurut pendapat para pria dengan dilakukannya vasektomi dapat menyebabkan terjadinya impotensi pada pria. Menurut hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) Badan Koordinasi Keluarga Berencana-BPS pada 2003 pengguna kondom pada pasangan usia subur masih sangat rendah, yaitu 0,9 persen. Disamping itu kondom sebagai alat kontrasepsi lebih sering dipromosikan kepada pekerja seks daripada pria pada umumnya. Diperkirakan ada sekitar 7- 10 juta pria pelanggan penjaja seks di Indonesia dan yang mau melindungi diri dari resiko penularan PMS dengan menggunakan kondom pada setiap kegiatan seksnya kurang dari 10 persen. Niat
untuk
mengikuti
program
Keluarga
Berencana
termasuk
menggunakan alat kontrasepsi adalah hal utama yang harus ada pada setiap pria sekaligus memotivasi para pria untuk mengikuti program Keluarga Berencana. Karena dengan niat dan tekad yang kuat akan mempengaruhi kegiatan seseorang dalam hal keluarga Berencana. Niat akan diikuti pemilihan jenis kontrasepsi sekaligus perilaku menjadi akseptor Keluarga Berencana. Dengan mengikuti program Keluarga Berencana diharapkan akan lebih memotivasi para pria untuk lebih memperhatikan tentang kejahteraan keluarga, keharmonisan suami istri, kesehatan ibu dan anak maupun kesehatan reproduksi perempuan yang selama ini lebih banyak dilakukan oleh pihak perempuan.
9
Pada akhirnya peningkatan partisipasi pria diharapkan akan mampu mendorong peningkatan kualitas pelayanan KB dan kesehatan reproduksi, peningkatan keseteraan gender, dan berpengaruh positif dalam mempercepat penurunan TFR, penurunan tingkat kematian ibu dan penurunan kematian bayi. Berdasarkan uraian tentang latar belakang tersebut diatas, penting untuk diketahui apakah ada hubungan antara persepsi terhadap keluarga berencana dengan motivasi menjadi akseptor pada pria. B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara persepsi terhadap Keluarga Berencana dengan motivasi menjadi akseptor pada pria. C. Manfaat Penelitian 1.Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi baru dan memperkaya khasanah pengetahuan psikologi, khususnya psikologi sosial. 2.Manfaat Praktis Hasil penelitian ini dapat membantu masyarakat pada umumnya dan pria pada khususnya memberi persepsi yang benar dan positif tentang Keluarga Berencana dan alat kontrasepsi.
10
TINJAUAN PUSTAKA A.Motivasi Menjadi Akseptor 1.Pengertian Motivasi dan Motif. Setiap tindakan manusia memiliki motif untuk mencapai suatu tujuan. Istilah “motif”dan “motivasi” digunakan secara bergantian karena pengertian diantara keduanya sukar dibedakan secara tegas. Motif adalah keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong individu untuk melakukan aktifitas-aktifitas tertentu guna mencapai suatu tujuan. Setiap aktifitas yang dilakukan oleh seseorang didorong oleh sesuatu kekuatan dari dalam diri seseorang dan kekuatan pendorong inilah yang kita sebut dengan motif (Suryabrata, 1984). Menurut Gerungan (1966) motivasi merupakan suatu pengertian yang melengkapi semua penggerak alasan-alasan atau dorongan-dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu. Sedangkan Lindzey, Hall dan Thompson (1975) mendefinisikan motivasi adalah sesuatu yang menimbulkan tingkah laku. Menurut Ahmadi (1990) motivasi adalah sesuatu yang ada pada diri individu yang menggerakkan atau membangkitkan sehingga individu itu berbuat sesuatu. Berdasarkan beberapa pendapat diatas penulis menyimpulkan bahwa motivasi adalah kekuatan, dorongan, kebutuhan, tekanan, yang menggerakkan seseorang atau kelompok orang dalam bertingkah laku untuk mencapai tujuan tertentu sesuai dengan apa yang dikehendaki.
11
2.Pengertian Motivasi Menjadi Akseptor Pada Pria Berdasarkan Daftar Penyeragaman Istilah KB & Kependudukan dari BKKBN (1978) kata akseptor berarti orang yang mempraktekkan salah satu metode Keluarga Berencana dan memakai alat kontrasepsi untuk pembatasan dan penjarangan kelahiran. 3. Aspek-aspek Motivasi Menjadi Akseptor Pada Pria Motivasi menjadi akseptor dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap, niat dan perilaku. Dimilikinya pengetahuan tentang Keluarga Berencana menyebabkan para pria lebih paham tentang arti Keluarga Berencana dan kontrasepsi yang berakibat pria akan bersikap, positif atau negatif, terhadap Keluarga Berencana. Sikap para pria ini akan mempengaruhi niat mengikuti kegiatan Keluarga Berencana. Niat akan diikuti atau tidak diikuti pemilihan jenis kontrasepsi, sekaligus perilaku menjadi akseptor Keluarga Berencana (Ancok, 2002). Berdasarkan pendapat Ancok (2002) tersebut maka, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek motivasi menjadi akseptor pada pria adalah sebagai berikut : a.Pengetahuan. Dengan dimilikinya pengetahuan tentang keluarga berencana dapat menyebabkan pria lebih paham tentang arti keluarga berencana dan kontrasepsi, yang berakibat pria akan bersikap positif atau negatif dan akan mempengaruhi penerimaan KB dan jenis kontrasepsinya. b. Sikap. Sikap positif atau negatif terhadap keluarga berencana sebelumnya dipengaruhi oleh pengetahuan terhadap keluarga berencana. Pengetahuan yang positif terhadap keluarga berencana akan mengakibatkan sikap yang positif pula terhadap keluarga berencana, begitu pula sebaliknya. Sikap individu terhadap ikut
12
KB atau tidak ditentukan oleh keyakinan individu tentang keuntungan dan kerugian ikut KB. c. Niat. Niat untuk ikut KB atau tidak ikut KB ditentukan oleh dua hal yaitu : pertama apakah seseorang memiliki sikap positif atau negatif terhadap gagasan ikut KB. Kedua yaitu persepsi individu tentang bagaimana sikap orang-orang yang berpengaruh pada dirinya mengenai ikut KB. d. Perilaku. Perilaku menjadi akseptor tentunya tidak hanya setuju dan adanya persepsi positif terhadap keluarga berencana tetapi ditunjukkan dengan memakai salah satu alat kontrasepsi pria. B. Persepsi Terhadap Keluarga Berencana 1. Pengertian Persepsi Persepsi menurut Kartono&Gulo (2000) adalah proses dimana seseorang menjadi sadar akan segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya, pengetahuan lingkungan yang diperoleh melalui interpretasi data indera. Menurut Davidoff (1981) dengan persepsi individu dapat menyadari, dapat mengerti tentang keadaan lingkungan yang ada disekitarnya, dan juga tentang keadaan diri individu yang bersangkutan. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa dalam persepsi stimulus dapat datang dari luar diri individu, tetapi juga dapat datang dari dalam diri individu yang bersangkutan. Crow dan Crow (Priyadi, 2002) menyebutkan bahwa persepsi merupakan suatu proses kognitif yang kompleks, yang meliputi seleksi, pengorganisasian dan interpretasi. Persepsi juga merupakan pandangan, pengamatan, atau tanggapan
13
individu terhadap benda, kejadian, tingkah laku manusia atau hal-hal lain yang ditemuinya sehari-hari. Pada dasarnya, persepsi berkenaan dengan proses perlakuan individu terhadap informasi tentang suatu objek yang masuk dalam dirinya melalui pengamatan dan penggunaan indera-indera yang dimilikinya. Proses perlakuan itu bertalian dengan pemberian arti, gambaran atau interpretasi terhadap objek persepsi. Persepsi ini bersifat subjektif, karena tergantung pada kemampuan dan keadaan diri masing-masing individu. Berdasarkan beberapa pendapat tentang persepsi diatas penulis lebih cenderung pada pendapat Crow dan Crow (Priyadi, 2002), dengan kesimpulan bahwa persepsi merupakan pandangan, pengamatan, atau tanggapan individu terhadap benda, kejadian, tingkah laku manusia atau hal-hal lain yang ditemuinya sehari-hari. 2.Pengertian Persepsi Terhadap Keluarga Berencana Persepsi terhadap keluarga berencana adalah adanya pandangan, tanggapan, pengamatan, seseorang terhadap program Keluarga Berencana yang bertujuan untuk membantu individu untuk menghindari kelahiran yang tidak diinginkan,
mengatur
interval
kehamilan,
mengontrol
waktu
kelahiran,
menentukan jumlah anak dalam keluarga. Berdasarkan teori tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa aspekaspek persepsi terhadap keluarga berencana adalah sebagai berikut : 1. Persepsi terhadap tujuan KB. Tujuan KB merupakan objek yang dipersepsi berupa penundaan kelahiran, pembatasan kelahiran, dan tujuan lebih jauh adalah kesejahteraan / kebahagiaan objek tersebut menimbulkan stimulus yang
14
pada umumnya berasal dari luar stimulus tentang KB biasanya dapat dari teman, tokoh-tokoh dari lingkungan yang memberikan pengaruh. Setelah memperoleh pengaruh maka akan direspon kemudian diperhatikan yang selanjutnya dilaksanakan dalam bentuk perilaku. 2. Persepsi informasi tentang tata cara / alat KB. Objek informasi yang dapat dipersepsi berupa macam-macam tata cara dan alat KB. Stimulus diperoleh dari pergaulan, pengalaman dan pengetahuan sehingga akan direspon, kemudian diperhatikan untuk diwujudkan dalam perilaku sebenarnya. 3. Sumber pengetahuan tentang alat KB. Sumber pengetahuan tentang alat KB adalah objek yang dipersepsi yang berasal dari petugas KB, yang dapat meningkatkan tentang pentingnya kesadaran KB agar individu merespon pentingnya KB, kemudian melaksanakan program KB tersebut. HIPOTESIS Hipotesis dari penelitian ini adalah ada hubungan positif antara persepsi terhadap keluarga berencana dengan motivasi menjadi akseptor pada pria. METODE PENELITIAN Identifikasi Variabel Penelitian Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Variabel tergantung : Motivasi menjadi Akseptor Variabel bebas
: Persepsi terhadap Keluarga Berencana
15
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode skala. 1. Skala Motivasi Menjadi Akseptor a. Penyusunan Skala Penyusunan
pernyataan-pernyataan
pada
Skala
Motivasi
Menjadi
Akseptor ini disusun sendiri oleh penulis berdasarkan pada aspek yang dikemukakan oleh Ancok (2002) yang terdiri dari pengetahuan, sikap, niat dan perilaku. Dari keempat aspek yang ada kemudian dikembangkan menjadi 64 butir yang terdiri dari 32 butir favorable dan 32 butir unfavorable. 2.Skala Persepsi terhadap Keluarga Berencana. a.Penyusunan skala Skala ini dimaksudkan untuk mengungkap persepsi terhadap Keluarga Berencana. Adapun skala tersebut terdiri dari empat aspek yang berdasarkan penelitian Balai Penelitian dan Pelayanan Kesejahteraan Sosial yang tercantum dalam GBHN dan Repelita IV antara lain: Tujuan Keluarga Berencana, Informasi tentang cara atau alat KB, Sumber pengetahuan tentang alat KB. Jumlah aitem pada skala persepsi terhadap keluarga berencana adalah 48. Persiapan Alat Ukur Sebelum alat ukur digunakan untuk keperluan pengambilan data dalam penelitian, maka terlebih dahulu melalui tahap uji coba alat ukur. Uji coba terhadap kedua alat ukur tersebut yaitu skala motivasi menjadi akseptor pada pria dan skala persepsi terhadap keluarga berencana dilakukan pada para pria menikah
16
di daerah Jodag, Gabahan, Mlati Sleman pada tanggal 16 s/d 22 Agustus 2005. Skala yang disebarkan sebanyak 60 eksemplar, skala yang kembali sebanyak 57 eksemplar. Data yang terkumpul kemudian dinilai ke dalam bentuk skor mentah, yang kemudian dianalisis dengan teknik statistik menggunakan fasilitas komputer program SPSS for windows seri 12.0. Pelaksanaan Penelitian Pengambilan data penelitian dilaksanakan pada tanggal 25 sampai dengan 27 September 2005 di YPPI Islamic Centre Ar-Rahmah. Subjek dari penelitian ini adalah para pria menikah dengan jumlah subjek sebanyak 80 orang. Skala disebarkan sebanyak 80 eksemplar dan yang kembali sebanyak 73 eksemplar. Hasil Uji Coba Alat Ukur 1) Skala Motivasi Menjadi Akseptor Hasil analisis uji coba alat ukur terhadap skala motivasi menjadi akseptor pada pria menunjukkan bahwa dari 64 aitem terdapat 34 aitem yang gugur karena memiliki korelasi aitem total < 0,3. Dengan demikian skala motivasi menjadi akseptor pada pria berjumlah 30 aitem yang dinyatakan sahih (valid). Koefisien validitas untuk aitem yang sahih berkisar antara 0,314 sampai dengan 0,708 sedangkan koefisien reliabilitas sebesar 0,917. 2) Skala Persepsi Terhadap Keluarga Berencana Berdasarkan hasil uji coba diketahui bahwa dari 48 aitem yang diuji cobakan dari skala persepsi terhadap keluarga berencana terdapat 25 aitem yang gugur karena memiliki korelasi aitem total < 0,3. Dengan demikian skala persepsi terhadap keluarga berencana berjumlah 23 aitem yang dinyatakan sahih (valid) .
17
Koefisien validitas pada aitem yang sahih berkisar antara 0,307 sampai dengan 0,649 , sedangkan koefisien reliabilitas sebesar 0,862. Pembahasan Hasil analisis data yang dilakukan membuktikan bahwa ada hubungan positif antara persepsi terhadap keluarga berencana dengan motivasi menjadi akseptor (rxy = 0,851). Hubungan positif ini menunjukkan bahwa semakin tinggi atau semakin positif persepsi terhadap keluarga berencana maka motivasi menjadi akseptor juga tinggi. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah atau semakin negatif persepsi terhadap keluarga berencana berakibat motivasi menjadi akseptor juga rendah. Hasil penelitian pada skala motivasi menjadi akseptor didapat mean empirik 84,18 dan mean hipotetik 75. Selain itu presentase subjek yang memiliki motivasi menjadi akseptor sebesar 31,50% (23 orang) pada skor tinggi dan 67,12% (49 orang) pada skor sedang. Hal ini berarti motivasi untuk menjadi akseptor pada penelitian ini hanya pada tingkat sedang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi terhadap keluarga berencana dengan mean empirik 63,79 dan mean hipotetik 57,5. Selain itu prosentase subjek yang memiliki persepsi positif hanya 30,13% (22 orang) pada skor tinggi dan memiliki persepsi sedang sebanyak 65,75% (48 orang). Hal ini berarti bahwa persepsi terhadap keluarga berencana hanya tingkat sedang. Kontribusi variabel persepsi terhadap keluarga berencana terhadap motivasi menjadi akseptor dalam penelitian ini adalah 0,724. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi terhadap
18
keluarga berencana memberikan sumbangan efektif sebesar 72,4% terhadap motivasi menjadi akseptor, sisanya 27,6% merupakan faktor lain. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa ada hubungan positif antara persepsi terhadap keluarga berencana dengan motivasi menjadi akseptor. Hal tersebut menunjukkan bahwa hipotesis penelitian yang mengemukakan bahwa adanya hubungan positif antara persepsi terhadap keluarga berencana dengan motivasi menjadi akseptor, diterima. Semakin positif
persepsi terhadap keluarga berencana
maka semakin tinggi
motivasi menjadi akseptor. Sebaliknya, semakin negatif persepsi terhadap keluarga berencana maka semakin rendah motivasi menjadi akseptor. Sumbangan variabel persepsi terhadap keluarga berencana terhadap motivasi menjadi akseptor adalah 72,4%. Hal ini menunjukkan adanya faktor penentu lainnya selain persepsi terhadap keluarga berencana. Hasil kategorisasi menunjukkan persepsi terhadap keluarga berencana dalam kategorisasi sedang (65,75%) dan tingkat motivasi yang sedang juga (67,12%). B. Saran 1. Bagi pria menikah Program keluarga berencana pada dasarnya hadir bukan saja untuk para wanita tapi untuk para pria juga, ada baiknya untuk para pria menikah untuk mau peduli terhadap pengetahuan dan informasi tentang keluarga berencana. Karena keluarga berencana bukan hanya menyangkut alat kontrasepsi semata tapi juga
19
kesehatan dan kesejahteraan ibu dan anak, merencanakan jumlah anak dan terwujudnya keharmonisan keluarga. Ada baiknya para pria menikah untuk lebih peduli terhadap kesehatan reproduksi dan kesehatan ibu dan anak, dan bersedia menjadi akseptor keluarga berencana. Yang selama ini selalu menjadi urusan kaum wanita saja. 2. Untuk peneliti selanjutnya Mengingat kesadaran pria untuk menggunakan kontrasepsi masih relatif rendah, dan masih sedikitnya variabel yang digali maka disarankan untuk para peneliti selanjutnya untuk meneliti lebih mendalam variabel lain yang belum pernah diteliti sebelumnya. Dan lebih jeli dalam menyusun aitem-aitem setiap variabel yang berhubungan dengan penelitian. Kelemahan peneliti dalam penelitian ini adalah kurang cermatnya peneliti dalam menyusun dan membuat alat ukur, pada pemilihan aspek yang digunakan pada skala motivasi menjadi akseptor dan persepsi terhadap keluarga berencana kurang tepat sehingga aitem-aitem yang dibuatpun kurang menggali motivasi dan persepsi sendiri. Selain itu pemilihan kata dan tata bahasa yang digunakan pada aitem skala motivasi menjadi akseptor dan skala persepsi terhadap keluarga berencana banyak menimbulkan interpretasi. Sebaiknya dalam pembuatan alat ukur penulis lebih kritis dalam pemilihan aspek yang digunakan sehingga dalam operasionalnya aspek tersebut tepat mengungkap apa yang ingin diungkap. Dalam pembuatan aitem juga perlu diperhatikan pemilihan kata-kata yang dapat menimbulkan penafsiran ganda.
20
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, A.1990. Psikologi Sosial. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Ancok, Dj. Effendi, S. 1986. Status Pekerjaan, Niat Untuk Memakai Alat Kontrasepsi, Dan Prilaku Pemakaian Alat Kontrasepsi: Studi Longitudinal Di Kelurahan Triharjo, DIY. Jurnal Psikologi. Tahun Ke XIV, April. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Ancok, Dj. 2002. Teknik Penyusunan Skala Pengukur. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakkan Universitas Gadjah Mada. BKKBN. 1978. Daftar Penyeragaman Istilah KB & Kependudukan. Jakarta: BKKBN. Kartono, K. Gulo, D. 2000. Kamus Psikologi. Bandung: Penerbit Pionir Jaya. Priyadi, A. 2002. Hubungan Antara Persepsi Kualitas Pelayanan Dan Kepuasan Konsumen Dengan Loyalitas konsumen. Skripsi. (Tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UII.
Purwanti, N. S. 2004. Hubungan Antara Persepsi Suami Tentang Alat Kontrasepsi Pria Dengan Penggunaan Alat Kontrasepsi Pria Di kabupaten Bantul. Tesis. (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Umum UGM. Soemitro, B.S. 1992. Latar Belakang Pemilihan Metoda Kontrasepsi Efektif Terpilih Pada Ibu-Ibu di Kotamadya Yogyakarta. Tesis. ( Tidak diterbitkan ). Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Umum UGM. Subhan. 2001. Kesetaraan Pasangan Usia Subur (PUS) dalam Pengambilan Keputusan KB di Kabupaten Gresik. Tesis. (Tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Umum UGM. Suryabrata, S. 1998. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Wahidin. 2001. Pengetahuan Dan Sikap Pria Tentang KB Serta Hubunganya Dengan Penggunaan Kontrasepsi Di Kota Jambi. Tesis. (Tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Umum UGM.
....................., 2004. Kontrasepsi . www. bkkbn .go. id
21
… … … … … ., 2002. Kontrasepsi pria. www. Kompas online. com … … … … … ., 2004. Kontrasepsi pria. www. Suara merdeka online. com … … … … … ., 2002. kontrasepsi pria. www. Kesrepro. info … … … … … ., 2004. Kontrasepsi pria. www D-Net. info