HUBUNGAN KONSEP DIRI DENGAN KECENDERUNGAN BERPERILAKU BULLYING SISWA SMAN 70 JAKARTA
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Syarat Dalam Meraih Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)
Disusun Oleh : Farisa Handini 105070002232
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H / 2010 M
HUBUNGAN KONSEP DIRI DENGAN KECENDERUNGAN BERPERILAKU BULLYING SISWA SMAN 70 JAKARTA
Skripsi Ditujukan Kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Oleh : Farisa Handini NIM : 105070002232 Di Bawah bimbingan
Pembimbing I
Pembimbing II
Dra. Zahrotun Nihayah, M.Si NIP. 196 207 241 989 020 01
Yufi Adriani, M.Psi, Psi NIP. 1982 0918 2009 01 2006
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H / 2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul HUBUNGAN KONSEP DIRI DENGAN KECENDERUNGAN BERPERILAKU BULLYING SISWA SMA NEGERI 70 JAKARTA telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulllah Jakarta Pada Tanggal 10 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi.
Jakarta,10 Juni 2010
Sidang Munaqasyah
Jahja Umar, Ph.D NIP. 130 885 522
Dra.FadhilahSuralaga,M.Si NIP. 1956 12319 8303 2001
Anggota
Penguji I
Dra.FadhilahSuralaga,M.Si NIP. 1956 123 1983 03 2001 Pembimbing I
Dra. Zahrotun Nihayah, M.Si NIP. 1962 0724 19890 2001
Penguji II
Dra. Zahrotun Nihayah, M.Si NIP. 1962 0724 19890 2001 Pembimbing II
Yufi Adriani, M.Psi, Psi NIP. 1982 0918 2009 01 2006
Sesungguhnya dibalik kesulitan ada kemudahan “Al-Insyirah : 5”
Skripsi yang sederhana ini ku persembahkan untuk : Orang-orang terkasih yaitu keluarga dan sahabat
ABSTRAK
(A) Fakultas Psikologi (B) Mei 2010 (C) Farisa Handini Hubungan Konsep Diri Dengan Kecenderungan Berperilaku Bullying Siswa SMA Negeri 70 Jakarta (D) Hal, 13 tabel, 4 gambar dan 6 lampiran (E) Bullying merupakan perilaku penindasan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang yang dianggap lebih kuat kepada yang lemah dalam bentuk fisik maupun nonfisik. Bullying bentuk fisik misalnya menjambak, memukul, menendang, dan serangan fisik lainnya. Sedangkan nonfisik berupa verbal dengan memfitnah, mempermalukan dan lainnya. Ada beberapa faktor yang mungkin mempengaruhi munculnya perilaku bullying antara lain konsep diri. Konsep diri adalah gambaran yang ada pada diri individu yang berisikan bagaimana individu melihat dirinya sendiri sebagai pribadi yang disebut pengetahuan diri, bagaimana individu merasa atas dirinya yang merupakan penilaian dirinya sendiri serta bagaimana individu menginginkan diri sendiri sebagai manusia yang diharapkan. Konsep diri terbagi menjadi konsep diri negatif dan konsep diri positif. Diduga, siswa yang memiliki konsep diri positif tidak mengarah pada perilaku bullying, sedangkan siswa berkonsep diri negatif memiliki kecenderungan berperilaku bullying. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan konsep diri dengan kecenderungan berperilaku bullying siswa SMAN 70 Jakarta. Jumlah responden 40 siswa yang diambil secara acak dari kelas XI IPA 1. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dimana data yang dihasilkan berupa data yang berbentuk bilangan. Metode yang digunakan adalah metode korelasional yaitu penelitian yang dirancang untuk menemukan hubungan antara variabel-variabel yang berbeda dalam suatu populasi. Teknik statistik yang digunakan adalah Pearson Product Momen dalam SPSS 16 for Windows. Dari hasil uji korelasi didapatkan nilai r hitung -0,058 yang signifikan pada level 0,05 dimana r tabel 0,312 maka diperoleh kesimpulan ada hubungan antara konsep diri dengan kecenderungan berperilaku bullying siswa SMAN 70 Jakarta yang mengarah pada korelasi negatif. Artinya semakin tinggi (positif) konsep diri siswa, maka semakin rendah kecenderungan berperilaku bullyingnya. Begitupun sebaliknya, semakin rendah (negatif) konsep diri siswa, maka semakin tinggi kecenderungan berperilaku bullyingnya. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan mencari faktor lain yang mempengaruhi kecenderungan berperilaku bullying serta mencari faktor yang dominan mempengaruhi konsep diri (F) Bahan bacaan 22
Kata Pengantar
Bismillahirrahmanirrahim Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang senantiasa mencurahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam tidak lupa penulis sampaikan kepada Rasulullah SAW, keluarganya, para sahabat dan pengikutnya. Dengan selesainya penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa banyak pihak yang telah membantu dan berperan serta dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada: 1. Dekan Fakultas Psikologi yaitu Jahja Umar, Ph.D dan juga seluruh staf pengajar dan administrasi Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dra. Zahrotun Nihayah, M.Si dan Yufi Adriani, M.Psi, Psi pembimbing penulisan skripsi ini, yang telah meluangkan waktunya yang padat untuk memberikan bimbingan dan saran dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih telah sabar membantu penulis hingga akhirnya skripsi ini diselesaikan.
3. Kepala Sekolah SMAN 70 Jakarta, Humas SMAN 70 (Bapak Burhan) dan staf-staf lainnya yang senantiasa meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian ini. Semoga kebaikan dibalas oleh Allah SWT.
4. Ayah H. Drs. Nasruddin, M.Pd dan Ibu Hj. Titin Sumarni, yang senantiasa mendukung dan mendoakan penulis baik secara moril dan materiil untuk terus maju dalam menyelesaikan tugas dan selalu menanamkan kepada penulis untuk selalu jujur dalam keadaan apapun dan tak mudah menyerah adik – adikku tersayang Yazir Haq Dasendi “Ajil” dan Derizky Kentadika “Adik” juga kakek dan nenekku tersayang serta semua keluarga yang selalu mendukung penulis.
5. Sahabat-sahabatku Dalla, Alyn, Syifa yang selalu mendukung penulis dalam keadaan suka maupun duka. Berjuang sama-sama. Semoga persahabatan kita tak lekang oleh waktu.
6. Semua teman – teman Psikologi angkatan 2005 terutama kelas A ceria yang selalu memberi dukungan dan semangat serta kerjasamanya selama masa perkuliahan. Buat Ida, Amie, Leli dan teman-teman KKL atas bantuan dan dukungan tak henti-hentinya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Teman – teman irakian community Eva, Nurul, Ita, Tina, Oi, Bili, Amar dan teman – teman MB Bulldozer PU, terimakasih atas dukungan dan masukannya kepada penulis dalam mengerjakan skripsi ini.
8. Untuk sahabat terdalam penulis “bee”, terimakasih atas semua cinta dan kasih sayang yang tulus kepada penulis, serta mengajarkan penulis untuk selalu menghargai orang lain dan tetap sabar mendampingi penulis dalam situasi apapun.
9. Adik-adik responden di SMAN 70 Jakarta yang telah memberikan kontribusi yang tak ternilai sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga kesuksesan selalu menyertai kalian semua.
Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Semoga Allah senantiasa membalas kebaikan semuanya dengan berlipat ganda dan penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak, Amin
Tangerang, 7 Juni 2010
Penulis
DAFTAR TABEL
1. Tabel 2.1
Kerangka berfikir
.................................................................40
2. Tabel 3.1
Dimensi dan indikator konsep diri .........................................44
3. Tabel 3.2
Blue print konsep diri
4. Tabel 3.3
Aspek dan indikator bullying
5. Tabel 3.4
Blue print bullying ……….....................................................47
6. Tabel 3.5
Pedoman skala
7. Tabel 3.6
Blue print try out konsep diri ……………………………….51
8. Tabel 3.7
Blue print try out bullying ……………………………………52
9. Tabel 4.1
Gambaran umum responden ………………………………...55
10. Tabel 4.2
Hasil uji normalitas konsep diri ……………………………..57
11. Tabel 4.3
Hasil uji normalitas bullying …………………………………58
……….........................................46 .........................................47
.................................................................48
12. Tabel 4.4 Descriptive statistics ………………………………………….60 13. Tabel 4.5 Kategori konsep diri ………………………………………….61 14. Tabel 4.6
Kategori bullying ……………………………………………..62
15. Tabel 4.7
Hasil Spearman’s rank correlations …………………………..62
DAFTAR LAMPIRAN 1. Hasil skoring skala konsep diri saat penelitian 2. Hasil skoring skala kecenderungan berperilaku bullying saat penelitian 3. Validitas dan reliabilitas skala konsep diri dan skala kecenderungan berperilaku bullying saat try out 4. Skala konsep diri dan kecenderungan berperilaku bullying saat penelitian 5. Surat izin penelitian 6. Surat keterangan telah melakukan penelitian di SMA Negeri 70 Jakarta Selatan
DAFTAR ISI ABSTRAK.................................................................................................
i
KATA PENGANTAR...............................................................................
ii
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR.........................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN..............................................................................
v
DAFTAR ISI...............................................................................................
vi
BAB I PENDAHULUAN ……..………….……...………………………
1
1.1 Latar Belakang …………………..………….…………………….
1
1.2. Identifikasi Masalah ………….…………….……………………
8
1.3. Rumusan Masalah …………..……..………...…………………
9
1.4. Batasan Masalah ………………………..………………………...
9
1.5. Tujuan dan Manfaat penelitian .......................................................
10
1.6. Sistematika Penulisan ....................................................................
10
BAB II LANDASAN TEORI ....................................................................
12
2.1 Perilaku Bullying .............................................................................
12
2.1.1 Definisi Perilaku Bullying .......................................................
12
2.1.2 Bentuk – bentuk Bullying .........................................................
14
2.1.3 Faktor Penyebab Terjadinya Bullying .....................................
15
2.1.4 Penanggulangan Bullying .........................................................
16
2.1.5 Dampak Perilaku Bullying ......................................................
19
2.2 Konsep Diri …………………………………………..………….
22
2.2.1 Pengertian Konsep Diri ……….…….…………………..…..
22
2.2.2 Jenis – Jenis Konsep Diri ………….…………..…………...
24
2.2.3 Aspek – Aspek Konsep Diri …….………………..………...
30
2.3 Remaja .............................................................................................
32
2.3.1 Definisi Remaja .....................................................................
32
2.3.2 Ciri-ciri Remaja .....................................................................
33
2.4 Hubungan Konsep Diri Dengan Kecenderungan Berperilaku Bullying Siswa SMAN 70 Jakarta ................................................................
37
2.5 Kerangka Berfikir ...........................................................................
38
2.7 Hipotesis .........................................................................................
40
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................
41
3.1 Jenis Penelitian ..................................................................................
41
3.1.1 Pendekatan Penelitian ...............................................................
41
3.1.2 Metode Penelitian ......................................................................
41
3.2 Variabel Penelitian .............................................................................
41
3.2.1 Definisi Konseptual ...................................................................
42
3.2.2 Definisi Operasional Variabel ...................................................
42
3.3 Pengambilan Sampel ..........................................................................
43
3.3.1 Populasi dan Sampel ................................................................
43
3.3.2 Teknik Pengambilan Sampel ......................................................
43
3.4 Teknik Pengumpulan Data ..................................................................
44
3.4.1 Metode Dan Instrumen Penelitian ..............................................
44
3.4.2 Instrumen Penelitian ...................................................................
44
3.4.3 Teknik Uji Instrumen .................................................................
48
3.4.3.1 Uji Validitas ................................................................
48
3.4.3.2 Uji Reliabilitas ............................................................
49
3.5 Hasil Uji Coba Alat Ukur .....................................................................
50
3.6 Teknik Analisis Data ...........................................................................
53
3.7 Prosedur Penelitian ..............................................................................
53
BAB IV PRESENTASI DAN ANALISIS DATA .......................................
55
4.1 Gambaran Umum Responden ..............................................................
55
4.2 Uji Persyaratan .....................................................................................
56
4.2.1 Uji Normalitas .............................................................................
56
4.2.2 Uji Hipotesis ..............................................................................
59
4.3 Deskripsi Hasil Penelitian .................................................................
60
4.3.1 Kategori Skor Konsep Diri .......................................................
60
4.3.2 Kategori Skor Bullying .............................................................
61
4.4 Hasil Penelitian ..................................................................................
62
4.4.1 Hasil Utama Penelitian ..............................................................
63
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN .......................................
64
5.1 Kesimpulan ..........................................................................................
64
5.2 Diskusi ..................................................................................................
64
5.3 Saran ...................................................................................................... 66 5.3.1 Saran Teoritis …………………………………………………... 66 5.3.2 Saran Praktis …………………………………………………… 67
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kekerasan merupakan suatu fenomena krisis moral. Krisis yang didapat dari berbagai macam tekanan hidup. Suatu krisis yang bisa menjadi barometer kegagalan membina “character building” para remaja dan masyarakat. Banyak sekali kasus kekerasan di kalangan remaja. Kekerasan antar sebaya atau yang biasa dikenal dengan bullying merupakan suatu tindak kekerasan fisik dan psikologis yang dilakukan seseorang atau kelompok, yang dimaksudkan untuk melukai, membuat takut atau membuat tertekan seseorang (anak atau siswa) lain yang dianggap lemah, yang biasanya secara fisik lebih lemah, minder dan kurang mempunyai teman, sehingga tidak mampu mempertahankan diri. Alasan bullying seringkali tidak jelas, biasanya menggunakan kedok perpeloncoan, penggemblengan mental, ataupun aksi solidaritas. Terjadinya kekerasan antar sebaya semakin menguat, mengingat adanya faktor pubertas dan krisis identitas yang normal terjadi pada perkembangan remaja. Dalam rangka mencari identitas dan ingin eksis, biasanya remaja gemar membentuk geng. Geng remaja sebenarnya sangat normal dan bisa berdampak positif, namun jika orientasi geng kemudian “menyimpang” hal ini kemudian menimbulkan banyak masalah dan timbullah bullying tersebut. Dari relasi antar sebaya juga ditemukan bahwa beberapa remaja menjadi pelaku bullying karena “balas dendam” atas perlakuan
2
penolakan dan kekerasan yang pernah dialami sebelumnya, misalnya saat SD atau SMP. (www.waingapu.com) Lingkungan secara makro pun turut berpengaruh terhadap munculnya bullying, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara sosiokultural, bullying dipandang sebagai wujud rasa frustrasi akibat tekanan hidup dan hasil imitasi dari lingkungan orang dewasa. Tanpa sadar, lingkungan memberikan referensi kepada remaja bahwa kekerasan bisa menjadi sebuah cara pemecahan masalah. Misalnya saja lingkungan preman yang sehari – hari dapat dilihat di sekitar mereka dan juga aksi kekerasan dari kelompok – kelompok massa. Belum lagi tontonan kekerasan yang disuguhkan melalui media visual. Walaupun tak kasat mata, senioritas pun turut memberikan atmosfer dominansi dan menumbuhkan perilaku menindas. (Neneng Muchlisoh, 2006) Di tahun 2007, beberapa kali kita dikejutkan oleh serangkaian beritaberita tentang kekerasan di sekolah. Diawali dengan berita tentang siswa STPDN, berita tentang geng SMA di Jakarta. Ternyata di tahun 2008 kekerasan di kalangan remaja masih saja terjadi, berita yang terbaru adalah tahun 2009, yaitu kejadian serupa dengan label senioritas dimana senior “mengerjai” junior (adik kelas). Istilah yang digunakan seseorang atau sekelompok orang yang mengintimidasi orang lain disebut sebagai bullying. Kebanyakan pelaku bullying atau biasa disebut bully di sekolah adalah mereka yang berkedudukan sebagai kakak kelas atau senior dan target atau sasaran bullying mereka adalah para siswa baru. Pada dasarnya pelaku bullying tidak memperhitungkan alasan mengapa mereka melakukan bullying tersebut. Terkadang pelaku hanya mencari alasan
3
yang dapat diterima atas tindakan yang ia lakukan, misalnya melakukan bullying untuk mendisiplinkan adik kelas atau korban, tetapi perilaku tersebut berlangsung selama periode yang cukup lama dan membuat korban mengalami luka fisik maupun psikologis. Hasil penelitian Dina Wiyasti (2004) tentang gambaran penyebab terjadinya bullying oleh senior terhadap junior di SMU “Z” menunjukkan bahwa salah satu penyebab terjadinya bullying adalah karena adik kelas bersikap tidak menghargai seniornya. Bullying adalah sebuah situasi di mana terjadinya penyalahgunaan kekuatan/kekuasaan yang dilakukan seorang/sekelompok. Pihak yang kuat disini tidak hanya berarti kuat dalam ukuran fisik atau mental. (Semai Jiwa Amini, SEJIWA 2008). Perilaku bullying didefinisikan sebagai suatu bentuk agresi fisik dan atau psikologis yang dilakukan secara berulang oleh seorang atau kelompok yang lebih kuat kepada seorang atau kelompok yang lebih lemah, dengan tujuan untuk menyakiti. Perilaku ini dilakukan secara berulang dalam frekuensi yang cukup banyak (Fekkes, Pijpers & Vanhorick, 2005) dengan maksud untuk menyakiti korban (Olweus, 1993 ; Berger, 2007 ; Limber & Nation, Brinson, 2005 dalam Deta Armatia, 2008). Penelitian terbaru Deta Armatia dalam Berger (2007) menunjukkan bahwa sebenarnya para bullies tersebut merasa dirinya kuat (powerfull), bukan merasa tidak aman (insecure). Jika anak – anak yang agresif cenderung untuk dijauhi, para bullies remaja memiliki kecenderungan untuk dihormati, ditakuti, atau bahkan disukai. Pada masa remaja, para bullies menikmati memiliki status sosial tingkat tinggi di mana perilaku bullying mendapatkan dukungan dari teman –
4
teman mereka, dengan mereka melihat bahwa teman – temannya ikut menikmati dan menonton saat ia memukul korban, teman – teman sekelas yang menertawakan, komentar – komentar kejam yang ia lontarkan pada korban, dan teman – teman sebayanya yang turut menyebar gosip yang ia buat. (Bukowski & Sippola ; Cillessen & Mayeux ; Estell, Cairns, Farmer, & Cains ; Hawley & Vaughn dalam Berger, 2007 ). Hal ini sesuai dengan perilaku bullying di sekolah yang dilakukan oleh senior kepada junior, dimana perilaku bullying tidak dianggap perilaku yang salah, dan senior sebagai pelaku bullying cenderung dihormati, ditakuti, bahkan juga disukai. Faisal dalam Ahsit (2009) menyatakan bahwa seringkali remaja yang tumbuh dan dibesarkan dalam pola asuh yang keliru dan negatif ataupun lingkungan yang kurang mendukung, cenderung berperilaku negatif. Hal ini dapat disebabkan karena sikap orang tua yang suka memukul, mengabaikan, kurang memperhatikan, melecehkan, menghina, sikap tidak adil, suka marah – marah dan sebagainya. Hal tersebut dianggap oleh remaja (anak) sebagai hukuman, kesalahan, kebodohan dirinya. Jadi remaja akan menilai berdasarkan apa yang ia alami yang didapat dari keluarga dan lingkungannya. Terkait penjelasan di atas, dapat disimpulkan masa remaja merupakan masa perubahan sikap dan perilaku dalam pencarian jati dirinya, di antaranya perubahan dalam kematangan mental, emosional, fisik, dan sosial. (Hurlock, 1980). Pada masa remaja, individu mulai mencari dan menemukan nilai – nilai baru dengan cara menguji informasi yang ada pada dirinya, mengevaluasi kembali
5
informasi yang ada dan menyesuaikan kembali dengan konsep baru (Craig, 1986). Reaksi emosional remaja terhadap perubahan fisiknya sangat penting untuk diperhatikan. Remaja menjadi lebih memperhatikan image tubuh, kemenarikan fisik (physical attraction), tipe tubuh dan ideal concept, yaitu konsep tentang diri sebagaimana yang diinginkan oleh individu. Dalam hal tersebut, dapat dicerna bahwa remaja sedang dalam masa pencarian identitas. Pencarian identitas pada saat sekarang ini suatu kebutuhan yang bahkan lebih nyata lagi dan mendesak bagi kebanyakan individu yang terlibat di dalam zaman teknologi kontemporer yang terus – menerus berubah secara tepat dan tidak pandang bulu ini. Satu cara pendekatan terhadap masalah identitas adalah dengan mencoba berbagai peran dan cara berperilaku. Banyak ahli percaya bahwa masa remaja sebaiknya merupakan masa bereksperimen pada waktu mana anak muda dapat bereksplorasi dengan ideologi dan minat yang berbeda. Para ahli itu khawatir akan adanya kompetisi (persaingan) akademis dan tekanan karier yang merenggut kesempatan para remaja untuk bereksplorasi. Dalam pembentukan identitas, masa remaja sama pentingnya dengan masa kanak – kanak yang sudah terjadi sebelumnya. Dalam masa remaja berbagai peristiwa terjadi dengan begitu cepat. Seringkali timbul suatu perasaan hilang kendali, dan perasaan dimana terkadang sama – sama dirasakan oleh si anak maupun orang tuanya. Dan hampir dapat dipastikan bahwa sampai pada derajat tertentu, pada waktu tertentu dan karena alasan tertentu, pasti timbul kepedihan psikologis, kebingungan, dan rasa tidak bahagia. Terhadap kebingungan dan kegalauannya itu ada sebagian remaja yang memberi reaksi dengan menyatakan
6
perasaannya lewat tindakan. Remaja – remaja seperti ini seringkali berontak dan melawan semua bentuk otorita. Akibatnya, mereka sendiri seringkali menjadi sebab dari berbagai masalah. Secara fisik mereka seringkali bengis terhadap sesamanya atau terhadap siapapun yang mengganggu jalannya. Orang – orang muda ini bertindak sesuka hatinya dan begitu memuja identitas kelompoknya serta penerimaan kelompok terhadap dirinya. Kekerasan yang mereka tujukan keluar, kepada sesamanya dan orang lain kelihatannya adalah refleksi dari kegalauan yang terjadi di dalam diri mereka. (Gordner, Dr. James E. 1988) Pengalaman menunjukkan bahwa remaja yang telah mendapat status sosial yang jelas dalam usia dini, tidak menampakkan gejolak emosi yang terlalu menonjol seperti rekan – rekannya yang lain yang harus menjalani masa transisi dalam tempo yang cukup panjang. Masalahnya adalah jika seorang remaja tidak berhasil mengatasi situasi – situasi kritis dalam rangka konflik peran, itu karena ia terlalu mengikuti gejolak emosinya maka besar kemungkinan ia akan terperangkap ke jalan yang salah. Kasus – kasus kenakalan remaja yang disebutkan di atas, seringkali disebabkan oleh kurang adanya kemampuan remaja untuk mengarahkan emosinya secara positif. Bisa dikarenakan kurangnya dukungan positif dari lingkungan terdekat remaja, termasuk orang tuanya sendiri. (Sarlito, 2002) Menurut Jersild dalam Corey dikutip dari Yulia (2004), konsep diri terdiri dari pikiran dan perasaan individu, dimana pikiran dan perasaan itu bersifat dinamis sehingga sering berubah – ubah. Konsep diri dapat berubah sebagai hasil penghargaan (achievement) dan interaksi dengan teman / lingkungan. Semakin
7
stabil suatu lingkungan individu semakin yakin akan apa yang ia pikir tentang dirinya maka konsep dirinya semakin stabil. Tetapi meskipun konsep diri mengalami perkembangan pada masa remaja akhir dan dewasa konsep diri seseorang sudah relatif menetap. Konsep diri merupakan suatu cara untuk memprediksi tingkah laku individu. Selain itu, masuk ke dalam golongan konsep diri positif atau negatif tergantung pada individu itu sendiri dalam bertingkah laku. Seseorang dikatakan memiliki konsep diri negatif jika dia menyakiti dan memandang dirinya lemah, tidak berdaya, tidak kompeten, tidak menarik, cenderung bersikap pesimistik terhadap kesempatan yang ada seperti perilaku bullying yang sudah dijelaskan di atas. Dengan konsep diri negatif remaja akan mudah menyerah, selalu menyalahkan dirinya maupun orang lain jika mengalami kegagalan. Sedangkan seseorang dengan konsep diri positif akan terlihat lebih penuh percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu bahkan terhadap kegagalan yang ditemuinya akan dianggap sebagai pelajaran berharga untuk melangkah ke arah yang lebih baik. (Jasinta F. Rini, 2002 dalam Fikriyah, Fatimatul, 2009). Tidak dapat disangkal bahwa konsep diri mempunyai peranan yang penting dalam menentukan perilaku individu. Adanya konsep diri pada individu menjadikan manusia sebagai makhluk yang unik, di mana setiap individu mempunyai pemahaman sendiri tentang dirinya yang diyakininya sebagai bagian dari dirinya. Kualitas dan keunikan yang menjadi ciri khas individu dapat dilihat dalam kehidupan mereka sehari – hari sebagai makhluk sosial. Konsep diri mungkin merupakan penuntut yang lebih
8
kuat lagi bagi peranan tersebut yang membedakan manusia dari makhluk hidup yang lainnya. (RB, Burns. 1993). Konsep diri terbentuk dan berkembang dipengaruhi oleh pengalaman atau kontrak eksternal dengan lingkungannya dan juga pengalaman internal tentang dirinya. Pengalaman internal ini akan mempengaruhi respon terhadap pengalaman eksternalnya. Lalu bagaimana dengan konsep diri remaja tersebut, dimana yang ia lakukan tidak lepas dengan ikatan kelompoknya. Konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan dalam perilaku seseorang, karena setiap orang bertingkah laku sesuai dengan konsep dirinya, atau secara sederhana dapat dikatakan bahwa konsep diri merupakan pandangan – pandangan atau penghayatan dan perasaan tentang diri sendiri. Hal inilah yang menarik peneliti membuat penelitian dengan judul HUBUNGAN KONSEP DIRI DENGAN KECENDERUNGAN BERPERILAKU BULLYING SISWA SMAN 70 JAKARTA. Peneliti melakukan penelitian di SMAN 70 Jakarta dengan alasan, yaitu menurut penuturan dan beberapa informasi bahwa sekolah tersebut merupakan salah satu sekolah yang fenomenal dengan kasus tawuran antar pelajar dan tindakan bullying. Atas dasar inilah peneliti kemudian memutuskan untuk melakukan penelitian di SMA tersebut.
1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran perilaku bullying siswa SMAN 70 Jakarta ?
9
2. Bagaimana konsep diri siswa SMAN 70 Jakarta ? 3. Adakah hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan kecenderungan berperilaku bullying siswa kelas XI SMAN 70 Jakarta ?
1.3 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dirumuskan masalah pokok dalam penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan kecenderungan berperilaku bullying siswa SMAN 70 Jakarta ?”
1.4 Batasan Masalah 1. Perilaku Bullying yang dimaksud adalah perilaku penindasan yang dilakukan seseorang atau kelompok yang dianggap lebih kuat kepada yang lemah dalam bentuk fisik maupun nonfisik. Dalam bentuk fisik misalnya menjambak, memukul, menendang serta merusak barang. Sedangkan nonfisik berupa verbal (memfitnah, mempermalukan) dan nonverbal (mengisolasi, meneror, menunjukkan gerak tubuh yang kasar). 2. Konsep diri yang dimaksud adalah persepsi individu mengenai kemampuan dirinya dalam hal akademik, sosial, emosional, dan fisik individu itu sendiri sesuai dengan konstrak yang ada dari teori Shavellson. 3. Siswa yang diteliti yaitu siswa kelas XI SMAN 70 Jakarta, remaja pertengahan (15 – 18 tahun), di mana teman sebaya masih memiliki peran penting, namun individu sudah lebih mampu mengarahkan diri sendiri (self -
10
directed) dan mulai mengembangkan kematangan tingkah laku, membuat keputusan yang akan dicapai.
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah mengungkap adanya hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan kecenderungan berperilaku bullying siswa kelas XI SMAN 70 Jakarta.
1.5.2 Manfaat Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana dalam psikologi perkembangan remaja. Bagi pengembangan keilmuan diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan dan pustaka umtuk mengkaji masalah konsep diri dan kecenderungan berperilaku bullying siswa SMA. Secara praktis diharapkan penelitian ini bermanfaat bagi para pendidik siswa, serta umumnya bagi masyarakat pemerhati masalah remaja.
1.6 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Bab I
Pendahuluan yang meliputi latar belakang, identifikasi masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
11
Bab II
Kajian pustaka yang meliputi teori tentang perilaku bullying yang meliputi definisi perilaku bullying, bentuk – bentuk bullying, faktor penyebab terjadinya bullying, penanggulangan bullying, dampak perilaku bullying. Konsep diri yang meliputi pengertian konsep diri, jenis – jenis konsep diri, aspek – aspek konsep diri. Dan remaja yang di antaranya definisi remaja, ciri-ciri remaja. Serta penjelasan
hubungan
konsep
diri
dengan
kecenderungan
berperilaku bullying siswa SMAN 70 Jakarta. Bab III
Metode Penelitian yang meliputi jenis penelitian, variabel penelitian, pengambilan sampel, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, prosedur penelitian
Bab IV
Presentasi dan analisis data meliputi ; gambaran umum subjek penelitian, presentasi data, hasil penelitian.
Bab V
Kesimpulan meliputi : kesimpulan, diskusi, dan saran.
12
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Perilaku Bullying 2.1.1 Definisi Perilaku Bullying Istilah bullying diilhami dari kata bull (bahasa Inggris) yang berarti ”banteng” yang suka menanduk. Pihak pelaku bullying sering disebut bully. Bullying
adalah
sebuah
situasi
dimana
terjadinya
penyalahgunaan
kekuatan/kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang/sekelompok.(Semai Jiwa Amini, 2008) Menurut Ken Rigby, bullying merupakan sebuah hasrat untuk menyakiti. Hasrat ini diperlihatkan ke dalam aksi, menyebabkan seseorang menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung oleh seseorang atau kelompok yang lebih kuat, tidak bertanggung jawab, biasanya berulang, dan dilakukan dengan perasaan senang. (Ponny Retno Astuti, 2008) Sullivan, 2000 menyatakan bahwa bullying sebagai bentuk kenakalan remaja dikalangan siswa, memerlukan model intervensi yang baik dan terencana untuk sebuah perubahan. Bullying merupakan bagian dari kegagalan membangun kecerdasan yang komprehensif. (pernyataan Mendiknas Bambang Sudibyo dalam seminar ”Bullying ; masalah tersembunyi dalam dunia pendidikan di Indonesia”, Jakarta 29 April 2006 dikutip dari harian Kompas, 1 Mei 2006. dalam buku Meredam Bullying). Selain itu bullying juga dapat berupa perilaku tidak langsung, misalnya dengan mengisolasi atau dengan sengaja menjauhkan seseorang yang
13
dianggap berbeda. Baik bullying langsung maupun tidak langsung pada dasarnya bullying adalah bentuk intimidasi fisik ataupun psikologis yang terjadi berkali-kali dan secara terus-menerus membentuk pola kekerasan. Sedangkan Barbara (2001) dalam Nurbaiti (2009) mendefinisikan bullying (penindasan) adalah tindakan intimidasi yang dilakukan pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah. Sementara menurut Heald (2002) dalam Andy Herlambang (2008) bullying adalah tindak kekerasan disertai keinginan untuk menyakiti, mengancam, menakut – nakuti atau membuatnya dalam keadaan tidak nyaman, berlangsung dalam jangka waktu yang lama, baik fisik maupun psikologis, yang dilakukan oleh seseorang maupun kelompok terhadap orang lain yang tidak mampu mempertahankan dirinya. Teori lain yang menghubungkan antara bullying dan agresi mengemukakan bahwa bullying adalah tingkah laku agresif yang bertujuan untuk mendominasi, menyakiti, atau mengucilkan orang lain Sheras (2002) dalam Andy Herlambang (2008). Dari penjelasan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bullying merupakan perilaku penindasan yang dilakukan seseorang atau kelompok yang dianggap lebih kuat kepada yang lemah dalam bentuk fisik maupun nonfisik. Dalam bentuk fisik misalnya menjambak, memukul, menendang, dan serangan fisik launnya. Sedangkan nonfisik berupa verbal (merusak barang, memfitnah, mempermalukan) dan nonverbal (mengisolasi, meneror, menunjukkan gerak tubuh yang kasar).
14
2.1.2 Bentuk – Bentuk Bullying Bentuk-bentuk bullying, antara lain; 1. Bullying secara fisik: menarik rambut, meninju, memukul, mendorong, menusuk. 2. Bullying secara emosional: menolak, meneror, mengisolasi atau menjauhkan, menekan, memeras, memfitnah, menghina, dan adanya diskriminasi berdasarkan ras, ketidakmampuan, dan etnik. 3. Bullying secara verbal: memberikan nama panggilan, mengejek, dan menggosip. 4.Bullying secara seksual: ekshibisionisme, berbuat cabul, dan adanya pelecehan seksual.
Bullying dapat dilakukan dalam salah satu bentuk di atas atau kombinasi dari beberapa bentuk perilaku bullying. Pada perilaku bullying tidak memperhitungkan alasan pelaku melakukan bullying. Terkadang pelaku hanya mencari alasan yang dapat diterima atas tindakan yang ia lakukan, misalnya melakukan bullying untuk mendisiplinkan adik kelas atau korban, tetapi perilaku tersebut berlangsung selama periode yang cukup lama dan membuat korban mengalami luka baik fisik maupun psikologis. Pada umumnya anak laki – laki lebih sering melakukan bullying. Hal tersebut dikarenakan hubungan pertemanan di antara sesama laki – laki lebih keras, lebih kuat, dan lebih agresif daripada hubungan pertemanan di antara sesama perempuan. Selain itu, laki – laki lebih sering menggunakan perilaku
15
bullying aktif seperti menyerang korban daripada perilaku bullying pasif seperti memperlihatkan mimik muka jahat. Bukan berarti laki – laki tidak pernah melakukan bullying dalam bentuk pasif. (Luthfiah, 2002)
2.1.3 Faktor Penyebab Terjadinya Bullying Kebanyakan
perilaku
bullying
berkembang
dari
berbagai
faktor
lingkungan yang kompleks. Tidak ada faktor tunggal menjadi penyebab munculnya
bullying.
Faktor-faktor
penyebabnya
antara lain:
Faktor keluarga: Anak yang melihat orang tuanya atau saudaranya melakukan bullying sering akan mengembangkan perilaku bullying juga. Ketika anak menerima pesan negatif berupa hukuman fisik di rumah, mereka akan mengembangkan konsep diri dan harapan diri yang negatif, yang kemudian dengan pengalaman tersebut mereka cenderung akan lebih dulu meyerang orang lain sebelum mereka diserang. Bullying dimaknai oleh anak sebagai sebuah kekuatan untuk melindungi diri dari lingkungan yang mengancam. Faktor sekolah: Karena pihak sekolah sering mengabaikan keberadaan bullying ini, anak-anak sebagai pelaku bullying akan mendapatkan penguatan terhadap perilaku mereka untuk melakukan intimidasi anak-anak yang lainnya. Bullying berkembang dengan pesat dalam lingkungan sekolah yang sering memberikan masukan yang negatif pada siswanya misalnya, berupa hukuman yang tidak membangun sehingga tidak mengembangkan rasa menghargai dan menghormati antar
sesama
anggota
sekolah.
Faktor kelompok sebaya: Anak-anak ketika berinteraksi dalam sekolah dan
16
dengan teman sekitar rumah kadang kala terdorong untuk melakukan bullying. Kadang kala beberapa anak melakukan bullying pada anak yang lainnya dalam usaha untuk membuktikan bahwa mereka bisa masuk dalam kelompok tertentu, meskipun mereka sendiri merasa tidak nyaman dengan perilaku tersebut. Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan mengenai penyebab terjadinya bullying, antara lain : 1. Lingkungan sekolah yang kurang baik 2. Senioritas tidak pernah diselesaikan 3. Guru memberikan contoh kurang baik pada siswa 4. Ketidakharmonisan di rumah 5. Karakter anak
2.1.4 Penanggulangan Bullying Untuk mencegah dan menghambat munculnya tindak kekerasan di kalangan remaja, diperlukan peranan dari semua pihak yang terkait dengan lingkungan kehidupan remaja. Sedini mungkin anak – anak memperoleh lingkungan yang tepat. Keluarga semestinya dapat menjadi tempat yang nyaman untuk anak dapat mengungkapkan pengalaman – pengalaman dan perasaannya. Orang tua hendaknya mengevaluasi pola interaksi yang dimiliki selama ini dan menjadi model yang tepat dalam berinteraksi dengan orang lain. Berikan penguatan atau pujian pada perilaku prososial yang ditunjukkan oleh anak. Selanjutnya dorong anak untuk mengembangkan bakat atau minatnya dalam
17
kegiatan mereka dan orang tua tetap harus berkomunikasi dengan guru jika anak menunjukkan adanya masalah yang bersumber dari sekolah. Bullying sudah menjadi masalah global yang kemudian tidak bisa kita abaikan lagi. Banyak hal yang harus bisa kita lakukan untuk meyelamatkan perkembangan psikologis anak-anak dan remaja kita. Kekerasan sejak dini bukan merupakan bagian dari perkembangan psikologis mereka, oleh sebab itu banyak elemen harus ikut terlibat, baik orang tua, pihak sekolah, bahkan pemerintah. Beberapa hal yang bisa dilakukan antara lain: 1. Orang tua membiasakan diri memberikan feedback positif bagi anak sehingga mereka belajar untuk berperilaku sosial yang baik dan mereka mendapatkan model interaksi yang tepat bukan seperti perilaku bullying dan agresi. Kemudian, menggunakan alternatif hukuman bagi anak dengan tidak melibatkan kekerasan fisik maupun psikologis. Selain itu, orang tua mau menjalin relasi dengan sekolah untuk berkonsultasi jika anaknya sebagai pelaku bullying ataupun korban. 2. Pihak sekolah menciptakan lingkungan yang positif misalnya dengan adanya praktik pendisiplinan yang tidak menggunakan kekerasan. Selain itu juga, meningkatkan kesadaran pihak sekolah untuk tidak mengabaikan keberadaan bullying. (www.kabarindonesia.com) 3. Kurikulum sekolah semestinya mengandung unsur pengembangan sikap prososial dan guru – guru memberikan penguatan dan penerapannya dalam kehidupan sehari – hari di sekolah. Sekolah sebaiknya mendukung kelompok kegiatan agar diikuti oleh seluruh siswa. Selanjutnya sekolah menyediakan
18
akses pengaduan atau forum dialog antar siswa dan sekolah, atau orang tua dan sekolah, dan membangun aturan sekolah dan sanksi yang jelas terhadap tindakan bullying. 4. Membangun kesadaran atas buruknya akibat bullying di komunitas sekolah, termasuk siswa, dan orang tua siswa, dan perlunya menyebarluaskan pengawasan dan perilaku bersahabat, bertanggung jawab, jujur, adil, tekun belajar,
dan
takwa
sebagai
insan
manusia.
Bullying sebagai bentuk agressifitas seseorang atau kelompok yang bertujuan menyakiti orang lain, telah menjadi tradisi yang berlangsung hampir di sekolah – sekolah bahkan di dalam masyarakat. Dikutip dari tesis Willem Sopacua, 2006 Pascasarjana psikologi UI, bahwa upaya untuk mengurangi perilaku bullying tersebut merupakan impian indah menyongsong harapan hari esok adalah menjadikan komunitas siswa pada SMA Z sebagai komunitas yang ”Bersahabat”, memiliki nilai – nilai toleransi yang tinggi, memiliki kesadaran untuk menghargai teman, dan memahami pentingnya sebuah komunikasi efektif di antara siswa. Ada satu program yang dinamakan ”Program Sahabat”, adalah program bersama tim intervensi untuk menanggulangi perilaku bullying di sekolah. Program sahabat adalah program yang dibuat dalam rangka menekan angka perilaku bullying supaya semakin berkurang. Dengan melihat bahwa bullying ini bisa teratasi hanya dengan melibatkan semua elemen dalam komunitas sekolah SMA Z yakni ; guru, orangtua, siswa untuk aktif dan berpartisipasi bersama
19
membentuk nilai – nilai etika persahabatan sehingga menjadi nilai yang betul tertanam dalam diri setiap siswa. Program ini untuk membangun komitmen, antara lain Kasih Sayang, Baik Budi, Harmoni dan Tanggung Jawab. 1. Kasih sayang, berkonotasi cinta. Saling berbagi, saling memberi, membuat orang lain merasa nyaman, menghilangkan rasa marah (Diane Tillman dan Diana Hsu, 2004). 2. Baik budi, berkonotasi memberi dengan tulus, berbuat jujur, membantu orang yang sedang dalam kesulitan, rendah hati, menerima apa adanya, adil dan toleransi 3. Harmoni, dikonotasikan sebagai prinsip hidup bersama dengan damai, toleran, tenang, saling menghargai dan saling mengakui adanya perbedaan. 4. Tanggung jawab, berkonotasi melakukan sesuatu dengan sebaik – baiknya, membantu orang lain ketika mereka membutuhkan bantuan, menjaga, merawat barang, diri sendiri, mampu menciptakan dunia yang lebih baik.
2.1.5 Dampak Perilaku Bullying Peristiwa bullying yang dialami korban ternyata menimbulkan dampak negatif pada dirinya, baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Bullying ternyata tidak hanya menimbulkan dampak negatif dalam segi psikologis, namun juga dari segi fisik. Riauskina, Djuwita, dan Soesetio (2005) menyebutkan bahwa salah satu dampak dari bullying yang jelas terlihat adalah kesehatan fisik. Beberapa dampak fisik yang biasanya ditimbulkan bullying adalah sakit kepala,
20
sakit tenggorokan, flu, batuk, bibir pecah-pecah, dan sakit dada. Bagi para korban bullying yang mengalami perilaku agresif langsung juga mungkin mengalami luka-luka pada fisik mereka. Bullying mungkin merupakan bentuk agresivitas antarsiswa yang memiliki akibat paling negatif bagi korbannya. Hal tersebut disebabkan karena dalam peristiwa bullying terjadi ketidakseimbangan kekuasaan dimana para pelaku memiliki kekuasaan yang lebih besar sehingga korban merasa tidak berdaya untuk melawan mereka. Hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa korban bullying akan cenderung mengalami berbagai macam gangguan yang meliputi kesejahteraan psikologis yang rendah (low psychological well-being), penyesuaian sosial yang buruk, gangguan psikologis, dan kesehatan yang memburuk (Rigby, dalam Riauskina, Djuwita, dan Soesetio, 2005). Korban bullying juga bisa mengalami penyesuaian sosial yang buruk sehingga ia terlihat seperti membenci lingkungan sosialnya, enggan ke sekolah, selalu merasa kesepian, dan sering membolos sekolah. Apabila kita melihat lebih jauh lagi maka korban bullying juga dapat memancing timbulnya gangguan psikologis rasa cemas berlebihan, selalu merasa takut, depresi, ingin bunuh diri, dan gejala-gejala gangguan stres pasca-trauma (post-traumatic stress disorder). Seorang psikolog terkemuka bernama Abraham Maslow menyebutkan bahwa manusia
termotivasi
untuk
memenuhi
kebutuhan-kebutuhan
hidupnya.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri). Maslow menjelaskan bahwa seseorang baru dapat melakukan aktualisasi
21
diri, yaitu keinginan untuk mewujudkan dan mengembangkan potensi diri, apabila orang tersebut telah merasa bahwa kebutuhan fisiologis (seperti makan dan minum), rasa aman, kebutuhan sosial, dan kebutuhan akan harga diri telah terpenuhi dengan baik. Seorang yang menjadi korban bullying dapat mengalami kesulitan untuk bersosialisasi dengan lingkungannya, selalu merasa ketakutan dan tidak aman, bahkan merasa bahwa dirinya tidak lagi mempunyai harga diri akibat perilaku bullying yang diterimanya. Memahami teori Maslow maka hal tersebut dapat membuat korban bullying kesulitan untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada di dalam dirinya. Salah satu contohnya adalah sebuah kisah nyata yang penulis dapatkan dari seorang siswa. Ia adalah seorang anak yang mempunyai potensi besar dalam bidang sepakbola sehingga dirinya memutuskan untuk bergabung dalam eskul sepakbola di sekolahnya dengan harapan dapat lebih mengembangkan potensinya. Namun apa yang terjadi? Ternyata sejak bergabung di eskul tersebut, dirinya kerap kali menjadi korban bullying dari kakak-kakak kelas yang juga anggota eskul tersebut. Pada akhirnya, akibat rasa takut dan cemas yang terus menerus oleh perilaku bullying yang diterimanya, membuat dirinya kesulitan untuk mengembangkan potensi yang ada di dalam dirinya. Sayang sekali, padahal siswa tersebut sebenarnya dapat membantu sekolahnya untuk mencetak prestasi dalam bidang sepakbola dengan potensi yang dimilikinya namun karena bullying, hal tersebut tidak dapat terwujud.
22
2.2 Konsep Diri 2.2.1 Pengertian Konsep Diri Sejak kecil individu telah dipengaruhi dan dibentuk oleh berbagai pengalaman yang dijumpai dari hubungannya dengan orang lain, terutama dengan orang – orang terdekat, maupun yang didapatkan dalam peristiwa – peristiwa kehidupan. Sejarah hidup individu dari masa lalu dapat membuat dirinya memandang diri lebih baik atau lebih buruk dari kenyataan yang sebenarnya (Centi, 1993). Charles Horton Cooley, kita melakukan dengan membayangkannya looking-glass self (diri cermin); seakan - akan kita menaruh cermin di depan kita. Dengan mengamati diri kita maka sampailah kita pada gambaran dan penilaian mengenai diri kita. Inilah yang disebut self-concept atau konsep diri adalah pikiran dan keyakinan seseorang mengenai dirinya sendiri. Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, yang dibentuk melalui pengalaman – pengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungan. Konsep diri bukan merupakan faktor bawaan, melainkan berkembang dari pengalaman yang terus – menerus. Dasar dari konsep diri individu ditanamkan pada saat dini kehidupan anak dan menjadi dasar yang mempengaruhi tingkah lakunya di kemudian hari. William D. Brooks : Konsep diri adalah persepsi yang bersifat fisik, sosial & psikologis mengenai diri kita, yang
didapat
dari
pengalaman
&
interaksi
kita
dengan
orang
lain.
Konsep diri adalah pandangan & perasaan tentang diri kita. Persepsi tentang diri ini dapat bersifat psikologis, sosial, & fisis. Konsep diri bukan
23
sekedar gambaran deskriptif tentang diri, tetapi juga penilaian tentang diri kita. (T. Safaria, Msi). Tidak ada seorangpun yang terlahir secara langsung memilki konsep diri, ia berkembang seiring perjalanan hidup seseorang. Umumnya konsep diri muncul dari dorongan dalam diri seseorang & pengaruh dari luar terhadap seseorang. Harry Stack Sullivan, jika kita diterima oleh orang lain, dihormati, & disenangi karena keadaan diri kita, maka kita akan cenderung bersikap menghormati & menerima diri kita. Sebaliknya, bila orang lain selalu meremehkan, menyalahkan, & menolak kita, kita cenderung tidak menyenangi diri sendiri. William H. Fitts (1971) mengemukakan bahwa konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena konsep diri seseorang merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam berinteraksi dalam lingkungan. Ketika individu mempersepsikan dirinya, bereaksi terhadap dirinya, memberikan arti dan penilaian serta membentuk abstraksi tentang dirinya, berarti ia menunjukkan suatu kesadaran diri dan kemampuan untuk keluar dari dirinya sendiri untuk melihat dirinya seperti yang ia lakukan terhadap dunia di luar dirinya. (Hendriati Agustiani, 2006) Konsep diri menurut Rogers adalah kesadaran batin yang tetap, mengenai pengalaman yang berhubungan dengan aku dan membedakan aku dari yang bukan aku. Konsep diri ini terbagi menjadi 2 yaitu konsep diri real dan konsep diri ideal. Untuk menunjukkan apakah kedua konsep diri tersebut sesuai atau tidak, Rogers mengenalkan 2 konsep lagi, yaitu Incongruence dan Congruence. Incongruence
24
adalah ketidakcocokan antara self yang dirasakan dalam pengalaman aktual disertai pertentangan dan kekacauan batin. Sedangkan Congruence berarti situasi di mana pengalaman diri diungkapkan dengan seksama dalam sebuah konsep diri yang utuh, integral, dan sejati. Berdasarkan pendapat ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa konsep diri merupakan satu hal yang sangat penting dalam pengitegrasian kepribadian, memotivasi tingkah laku sehingga pada akhirnya akan tercapainya kesehatan mental. Sehingga konsep diri dapat didefinisikan sebagai gambaran yang ada pada diri individu yang berisikan bagaimana individu melihat dirinya sendiri sebagai pribadi yang disebut pengetahuan diri, bagaimana individu merasa atas dirinya yang merupakan penilaian dirinya sendiri serta bagaimana individu menginginkan diri sendiri sebagai manusia yang diharapkan.
2.2.2 Jenis – Jenis Konsep Diri Menurut Callhoun dan Acocella (1990), dalam perkembangannya konsep diri terbagi dua, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. 1. Konsep Diri Positif Konsep diri positif lebih kepada penerimaan diri bukan sebagai suatu kebanggaan yang besar tentang diri. Konsep diri yang positif bersifat stabil dan bervariasi. Individu yang memiliki konsep diri positif adalah individu yang tahu betul dirinya, dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam – macam tentang dirinya, evaluasi terhadap dirinya sendiri menjadi positif dan dapat menerima keberadaan orang lain. Individu yang
25
memiliki konsep diri positif akan merancang tujuannya secara realitas, yaitu tujuan yang memiliki kemungkinan besar untuk tercapai, mampu menghadapi kehidupan di depannya serta menganggap bahwa hidup adalah sebuah penemuan. Menurut Jalaludin dalam Fitriyanti, orang yang memiliki konsep diri positif ditandai dengan lima hal : a. Kemampuan mengatasi masalah b. Merasa setara dengan orang lain c. Menerima pujian tanpa rasa malu d. Ia menyadari, bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat. e. Ia mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek – aspek kepribadian yang tidak disenangi dan berusaha mengubahnya.
2. Konsep Diri Negatif Calhoun dan Acocella (1993) membagi konsep diri negatif menjadi dua tipe, yaitu; a. Pandangan individu tentang dirinya sendiri tidak teratur, tidak memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri. Individu tersebut benar – benar tidak tahu siapa dirinya, kekuatan atau kelemahannya atau yang dihargai dalam kehidupannya. b. Pandangan individu tentang dirinya sendiri terlalu stabil dan teratur. Hal ini bisa terjadi karena individu dididik terlalu keras, sehingga menciptakan
26
citra diri yang tidak mengizinkan adanya penyimpangan dari seperangkat hukum yang dalam pikirannya merupakan cara hidup yang tepat.
Singkatnya, individu yang memiliki konsep diri negatif terdiri dari dua tipe. Tipe pertama yaitu individu yang tidak tahu dirinya dan tidak mengetahui kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya. Sedangkan tipe kedua adalah individu yang memandang dirinya dengan sangat teratur dan stabil. Menurut William D. Brooks dan Philip Emmert, ada empat tanda orang yang memiliki konsep diri negatif, yaitu : a. Peka terhadap kritikan orang lain, tidak tahan terhadap kritik yang diterimanya, mudah marah, baginya koreksi sering kali dipersepsi sebagai usaha menjatuhkan harga dirinya b. Sangat responsif terhadap pujian, bersifat hiper kritis terhadap orang lain, selalu mengeluh, mencela atau meremehkan apapun atau siapapun, mereka tidak bisa mengungkapkan penghargaan atau kelebihan orang lain c. Merasa tidak disenangi orang lain, merasa tidak diperhatikan, karena itu ia bereaksi kepada orang lain sebagai musuh, tidak pernah mempersalahkan dirinya, tetapi akan menganggap dirinya sebagai korban dari sistem sosial yang tidak beres d. Cenderung bersifat pesimis terhadap kompetisi, seperti terungkap dalam keengganannya untuk bersaing dengan orang lain dalam membuat prestasi.
27
William H. Fitts (1971), mengemukakan bahwa konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena konsep diri seseorang merupakan kerangka acuan dalam berinteraksi dengan lingkungan. Fitts (1971) membagi konsep diri dalam dua dimensi pokok, yang sebagai berikut ; (Hendriati Agustiani, 2006) 1. Dimensi Internal meliputi : identity self (diri sebagai objek), behavioral self (diri sebagai pelaku), judging self (diri sebagai penilai). a. Diri identitas (identity self), kemungkinan merupakan aspek dasar dari konsep diri. Merupakan segi ”siapa saya?” dari konsep diri atau label dan simbol yang dikenakan pada diri oleh seseorang untuk menjelaskan dirinya dan membentuk identitasnya. Kemungkinan sumber utama bagi materi diri identitas adalah diri pelaku ”behavioral self”. b. Diri pelaku (behavioral self), seseorang melakukan sesuatu sesuai dorongan stimuli internal dan eksternal. Konsekuensi perilaku tersebut mempengaruhi kelanjutan atau disudahinya perilaku tersebut juga menentukan apakah suatu perilaku akan diabstraksikan, disimbolisasikan dan digabungkan ke dalam diri identitas. c. Diri penilai (judging self), interaksi antara diri identitas dan diri pelaku serta integrasinya ke dalam konsep diri melibatkan diri penilai. Salah satu kapasitas manusia adalah kamampuan untuk sadar akan dirinya serta mengamati dirinya dalam bertindak dan menilai diri sendiri.
2. Dimensi Eksternal meliputi : physical self (diri fisik), moral / ethical self (diri
28
moral), personal self (diri pribadi), family self (diri keluarga), social self (diri sosial). a. Physical Self, persepsi individu terhadap keadaan dirinya secara fisik, seperti kesehatan, penampilan dan keadaan tubuh. b. Moral – Ethical Self, persepsi individu terhadap keadaan dirinya dilihat dari standar pertimbangan nilai moral dan etika. c. Personal Self, persepsi individu terhadap keadaan pribadinya. d. Family Self, menunjukkan persepsi individu yang berhubungan dengan kedudukannya sebagai anggota keluarga. e. Social Self, persepsi individu terhadap interaksi dirinya dengan orang lain atau lingkungan di sekitarnya. (Hendriati Agustiani, 2006)
Penelitian ini mengarah pada dimensi internal konsep diri yaitu identitas diri. Identitas diri menurut kamus lengkap psikologi J.P Chaplin adalah diri atau aku individual, kepribadian, suatu kondisi kesamaan dalam sifat – sifat karakteristik yang pokok – pokok. Dalam the penguin dictionary of psychology, personal identity the sense or feeling of being the same person, based mainly on common sensibility and continuity of aims, purposes, and memories. Sedangkan dalam kamus Chaplin, personal identity adalah rasa kesinambungan pribadi melewati waktu, kekerasan hati, sekalipun banyak menghadapi perubahan lingkungan dan struktural dengan berlalunya waktu. Identitas diri merupakan faktor dari identitas sosial, dimana seseorang akan mengikuti kelompok sosialnya yang pada akhirnya seseorang tersebut
29
mengidentifikasikan dirinya pada kelompok sosialnya. Identitas sosial merupakan produk dari proses identifikasi sosial. Identitas sosial mencerminkan karakteristik yang khas dimana anggota kelompok sosial melakukan identifikasi. Proses identifikasi sosial ini berlangsung tiga tahapan. Pertama, identifikasi berlangsung secara tidak sadar (secara sendirinya). Kedua, umumnya muncul secara irasional berdasarkan perasaan atau kecenderungan diri yang tidak diperhitungkan secara rasional, dan ketiganya identifikasi mempunyai kegunaan untuk melengkapi sistem norma – norma, cita – cita dan pedoman – pedoman tingkah laku orang yang mengidentifikasi itu. Identifikasi dilakukan orang kepada orang lain yang dianggapnya ideal dalam satu segi untuk memperoleh sistem norma – norma, sikap – sikap dan nilai – nilai yang dianggap ideal. (Gerungan, 1977) Persepsi identitas remaja berkembang secara perlahan – lahan melalui berbagai identifikasi masa kanak – kanak. Nilai dan standard moral anak sebagian besar merupakan nilai dan standard orang tua mereka. Pada waktu para remaja beralih ke dunia sekolah yang lebih luas, nilai – nilai kelompok sebaya menjadi bertambah penting, seperti juga halnya kata – kata pujian dari guru dan orang sekitarnya. Jika pandangan dan nilai orang tua sangat berbeda dengan nilai teman sebaya serta tokoh penting lainnya, kemungkinan akan adanya konflik itu besar dan remaja tersebut mungkin mengalami apa yang disebut kebingungan peran. Remaja mencoba peran yang satu bergantian dengan peran lain dan menghadapi kesulitan mensintesiskan berbagai peran yang berbeda menjadi satu identitas.
30
Shavelson dkk. (Marsh & Hattie, 1996) dalam Dewi Maulina, 2004 mengemukakan konsep diri terbagi dua, yaitu : 1. Konsep diri akademik, terdiri dari kemampuan individu pada mata pelajaran tertentu. 2. Konsep diri non-akademik terdiri dari, komponen social, komponen emosi, dan komponen fisik individu.
2.2.3 Aspek – Aspek Konsep Diri Konsep diri merupakan gambaran mental yang dimiliki seorang individu. Gambaran mental yang dimiliki individu mempunyai tiga aspek yaitu pengetahuan yang memiliki individu mengenai dirinya sendiri, pengharapan yang dimiliki individu untuk dirinya sendiri serta penilaian mengenai diri sendiri. (Calhoun & Acocella, 1990) 1. Pengetahuan Dimensi pertama dari konsep diri adalah pengetahuan. Pengetahuan yang dimiliki individu merupakan apa yang individu ketahui tentang dirinya sendiri. Hal ini mengacu pada istilah – istilah kuantitas seperti usia, jenis kelamin, kebangsaan, pekerjaan, dan sesuatu yang merujuk pada istilah – istilah kualitas seperti individu yang egois, baik hati, tenang dan bertempramen tinggi. Pengetahuan dapat diperoleh dengan membandingkan diri individu dengan kelompok pembandingnya. Pengetahuan yang dimiliki individu tidaklah menetap sepanjang hidupnya, pengetahuan bisa berubah dengan cara
31
merubah tingkah laku individu tersebut atau dengan cara merubah kelompok pembanding. 2. Harapan Dimensi kedua dari konsep diri adalah harapan. Harapan adalah apa yang diinginkan individu untuk dirinya di masa yang akan datang dan harapan bagi setiap orang berbeda – beda. Sedangkan penilaian adalah pengukuran yang dilakukan individu tentang keadaan dirinya saat ini dengan apa yang menurut dirinya dapat dan terjadi. Selain individu mempunyai satu set pandangan tentang siapa dirinya, individu juga memiliki satu set pandangan lain, yaitu tentang kemungkinan menjadi apa di masa mendatang (Rogers dalam Calhoun & Acocella, 1990). Singkatnya setiap individu memiliki pengharapan bagi dirinya sendiri dan pengharapan tersebut berbeda – beda pada setiap individu. 3. Penilaian Dimensi terakhir dari konsep diri adalah penilaian terhadap diri sendiri. Individu berkedudukan sebagai penilai dirinya sendiri setiap hari. Penilaian terhadap dirinya sendiri adalah pengukuran individu tentang keadaannya saat ini dengan apa yang menurutnya dapat dan terjadi pada dirinya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri yang dimiliki individu terdiri dari tiga aspek, yaitu pengetahuan tentang diri sendiri, harapan mengenai diri sendiri, dan penilaian terhadpa diri sendiri. Pengetahuan adalah apa yang diketahui individu tentang dirinya baik dari segi kualitas dan kuantitas, pengetahuan ini bisa diperoleh dengan membandingkan diri dengan
32
kelompok pembanding dan pengetahuan yang dimiliki individu dapat berubah – ubah.
2.3 Remaja 2.3.1 Definisi Remaja Dalam perkembangan kepribadian seseorang, maka remaja mempunyai arti khusus, namun begitu masa remaja mempunyai tempat yang tidak jelas dalam rangkaian proses perkembangan seseorang. Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere, yang berarti ”tumbuh” atau ”tumbuh menjadi dewasa”. Hurlock (1980) menjelaskan istilah adolescence seperti yang dipergunakan saat ini, mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Hal ini sejalan dengan Santrock (2000) yang mengatakan bahwa usia remaja ditandai oleh terjadinya perubahan yang besar dalam aspek fisik yaitu terjadinya pubertas, perubahan kognitif, maupun perubahan psikososial. Sarlito (2004) mengemukakan bahwa seringkali orang mendefinisikan remaja sebagai periode transisi antara masa anak – anak ke masa dewasa, atau masa usia belasan tahun, atau jika seseorang menunjukkan tingkah laku tertentu seperti sudah diatur, mudah terangsang perasaannya dan sebagainya. Menurut Hurlock (1980) masa remaja merupakan suatu periode transisi di mana seseorang berubah secara fisik dan psikologis dari seorang anak menjadi orang yang dewasa. Purwadasmita (1991) dalam kamus umum bahasa indonesia dikutip dari Ahsit Santoso (2009) mengatakan bahwa pengertian remaja adalah mulai dewasa,
33
atau biasa disebut sebagai gerbang menuju kedewasaan. Sedangkan Luthfiah (2002) mengatakan masa remaja merupakan periode perubahan yang sangat pesat baik dalam perubahan fisiknya maupun perubahan sikap dan perilakunya. Ada empat perubahan yang bersifat universal selama masa remaja, yaitu : 1. Meningkatnya emosi, ini tergantung intensitasnya pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi ; perubahan emosi ini banyak terjadi pada awal remaja. 2. Perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial untuk diperankan, menimbulkan masalah baru, sehingga selama masa ini remaja merasa ditimbuni masalah. 3. Dengan berubahnya minat dan perilaku, maka nilai – nilai juga berubah. Apa yang dianggap penting atau bernilai pada masa kanak – kanak sekarang tidak lagi. Bila pada masa kanak – kanak kuantitas yang dipentingkan, sekarang segi kualitaslah yang diutamakan. 4. Sebagian besar remaja bersikap ambivalensi terhadap setiap perubahan. Mereka menginginkan dan menuntut kebebasan, tetapi mereka sering takut bertanggung jawab akan akibatnya dan meragukan kemampuan mereka untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut.
2.3.2 Ciri-ciri Remaja Masa remaja merupakan masa transisi atau masa peralihan dari masa anak menuju masa dewasa. Pada masa ini individu mengalami berbagai perubahan, baik fisik maupun psikis. Perubahan yang tampak jelas adalah perubahan fisik, di
34
mana tubuh berkembang pesat sehingga mencapai bentuk tubuh orang dewasa yang disertai pula dengan berkembangnya kapasitas reproduktif. Selain itu remaja juga berubah secara kognitif dan mulai mampu berfikir abstrak seperti orang dewasa. Pada periode ini pula remaja mulai melepaskan diri secara emosional dari orang tua dalam rangka menjalankan peran sosialnya yang baru sebagai orang dewasa. (Clarke – Stewart & Friedman, 1987 ; Ingersoll, 1989 dalam Hendriati Agustiani, 2006) Secara umum masa remaja dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut ; (Konopka, 1973 dalam Pikunas, 1976 ; Ingersoll, 1989 dalam Hendriatai Agustiani, 2006) 1. Masa remaja awal (12 – 15 tahun), pada masa ini adanya penerimaan terhadap bentuk dan kondisi fisik serta adanya konformitas yang kuat dengan teman sebaya. 2. Masa remaja pertengahan (15 – 18 tahun), teman sebaya masih memiliki peran penting, namun individu sudah lebih mampu mengarahkan diri sendiri (self directed) dan mulai mengembangkan kematangan tingkah laku, membuat keputusan yang akan dicapai. 3. Masa remaja akhir (19 – 22 tahun), masa ini adalah persiapan akhir untuk memasuki peran – peran orang dewasa, keinginan yang kuat untuk menjadi matang dan diterima dalam kelompok teman sebaya dan orang dewasa.
Menurut Erikson (1968), seorang remaja bukan sekedar mempertanyakan siapa dirinya, tapi bagaimana dan dalam konteks apa atau dalam kelompok apa dia
35
bisa menjadi bermakna dan dimaknakan. Dengan kata lain, identitas seseorang tergantung pula pada bagaimana orang lain mempertimbangkan kehadirannya. Pada masa remaja terjadi perubahan yang sangat penting pada identitas diri (Harter, 1990). Pada masa remaja, mereka sangsi akan identitas dirinya dan tidak hanya sangsi akan personal sense dirinya tapi juga untuk pengakuan dari orang lain dan dari lingkungan bahwa dirinya merupakan individu yang unik dan khusus. Berhubung perkembangan tidak hanya berisi pemasakan dan reaksi lingkungan terhadap pemasakan tadi, melainkan juga berisi pengaruh lingkungan terhadap remaja, maka juga dibicarakan mengenai pengaruh teman sebaya sekolah dan keluarga terhadap perkembangan remaja, berhubung dengan itu juga dibicarakan mengenai perkembangan sosial remaja dan pengisian waktu luangnya. (Siti Rahayu, 2004) Dalam kehidupan sosial, remaja sangat tertarik pada kelompok sebayanya sehingga tak jarang orang tua di nomor duakan sedangkan kelompoknya di nomor satukan. Apa – apa yang diperbuatnya ingin sama dengan anggota kelompok lainnya, bila tidak sama ia akan merasa turun harga dirinya dan menjadi rendah diri (Zulkifli, 1995). Remaja memiliki kebutuhan afiliasi yang sangat kuat. Dengan peer affiliation, seseorang mengukuhkan konsep – konsep dirinya, mengitegrasikan individu ke kelompoknya dan memudahkan proses ia mengembangkan diri dari orang tuanya. Dalam kelompok teman sebaya, remaja dapat memenuhi kebutuhannya, misalnya kebutuhan mencari pengalaman baru, kebutuhan berprestasi, kebutuhan diterima statusnya, kebutuhan harga diri, rasa aman yang
36
belum tentu dapat diperoleh di rumah maupun sekolah. Pada masa ini keadaan emosi remaja tidak stabil, mereka mudah marah, sedih ataupun senang. Ketidakstabilan emosi ini juga mempengaruhi tingkah laku mereka yang terkadang menjadi tidak terkendali seperti memunculkan perilakumenyimpang dalam kehidupan sosial. Selain karena emosi yang tidak stabil, terkadang pengaruh dari kelompok mereka yang memprovokatori dirinya untuk ikut terlibat dalam semua perilaku yang dilakukan baik yang positif maupun negatif bagi lingkungannya. Gambaran remaja mengenai dirinya mulai berubah, dari hanya mengacu pada kondisi fisik, tingkah laku, dan atribut eksternal lainnya menjadi mengarah pada kualitas – kualitas yang terdapat
di dalam dirinya, yaitu trait, nilai,
keyakinan, dan ideology (Damon & Hart ; Livesly & Bromley dalam Shaffer, 2002). Pada masa ini remaja mulai mampu untuk berfikir abstrak atau berfikir tentang apa yang akan mereka lakukan di masa mendatang. Remaja menjadi lebih menyadari bahwa mereka bukan merupakan orang yang sama dalam segala situasi, misalnya ketika berhubungan dengan orang tua, teman, pacar, guru, dan sebagainya. Pada perkembangannya, konsep diri pada akhirnya akan mulai menetap dan stabil pada masa remaja akhir. Pada masa remaja awal (11 – 14 tahun) walaupun tampak stabil, konsep diri masih dapat berubah karena pengaruh dari teman sebaya. Konsep diri mulai sulit berubah pada remaja akhir, yaitu usia sekitar 18 – 21 tahun. Pada masa ini, konsep diri seseorang sudah mantap karena konsep mengenai diri yang dibentuknya sudah relatif menetap dan stabil. Remaja akhir pada dasarnya mempunyai konsep diri
37
yang lebih stabil dari pada remaja awal. (Steinberg, 1990, Gunarsa ; Offer & Howard dalam Hapsari, 2001 dalam Dewi Maulina, 2004)
2.4 Hubungan Konsep Diri Dengan Kecenderungan Berperilaku Bullying Siswa SMAN 70 Jakarta Hubungan konsep diri dengan kecenderungan berperilaku bullying terlihat dari apa yang sudah dipaparkan di atas. Konsep diri juga berhubungan dengan komunikasi interpersonal antar individu. Mereka (senior) melakukan itu karena adanya rasa ingin dihargai dan dihormati oleh juniornya. Di sini akan berpengaruh terhadap konsep diri baik dari senior maupun junior. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa bullying dengan perilaku senioritas pada remaja mempunyai hubungan satu sama lain. Bullying merupakan tindak kekerasan yang dilakukan dan biasanya remaja terutama SMA yang sedang dalam masa pencarian jati dirinya, mereka haus akan kehormatan, yang mengharuskan adik kelasnya menghormati kakak kelasnya yang terkadang melalui cara kekerasan yang biasa disebut senioritas. Dan senioritas itu dipengaruhi oleh agresivitas remaja yang berlebihan, yang tidak dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya. Sebenarnya bullying tidak hanya meliputi kekerasan fisik, seperti memukul, menjambak, menampar, memalak, dll. Tetapi juga dapat berbentuk kekerasan verbal, seperti memaki, mengejek, menggosip, dan berbentuk kekerasan psikologis, seperti mengintimidasi, mengucilkan, mendiskriminasikan. Berdasarkan sebuah survei terhadap perlakuan bullying, sebagian besar korban melaporkan bahwa mereka menerima perlakuan pelecehan
38
secara psikologis (diremehkan). Kekerasan secara fisik, seperti didorong, dipukul, dan ditempeleng lebih umum di kalangan remaja pria. Dan itu semua berhubungan dengan konsep diri remaja tersebut. Di mana kebanyakan memiliki konsep diri yang negatif, yaitu tidak dapat mengakui kelemahan yang ada dalam dirinya. Itu juga dipengaruhi oleh keluarga dan lingkungan sekitar yang selalu mendukung mereka melakukan itu semua. Dengan melihat konsep diri seseorang melalui tingkah lakunya, maka kita dapat mengetahui bahwa orang yang memiliki konsep diri yang negatif cenderung memiliki rasa tidak percaya diri, tidak berani mencoba hal – hal yang baru, tidak berani mencoba hal yang menantang, takut gagal, takut sukses, merasa diri bodoh, rendah diri, merasa diri tidak berharga, merasa tidak layak untuk sukses, pesimis, dan masih banyak perilaku lainnya. Sebaliknya orang yang konsep dirinya positif akan selalu optimis, berani mencoba hal – hal baru, berani sukses, berani gagal, percaya diri, antusias, merasa diri berharga, berani menetapkan tujuan hidup, bersikap dan berfikir positif, dan dapat menjadi seorang pemimpin yang handal. (Gunawan, 2005 dalam Siti Homsiah, 2009)
2.5 Kerangka Berfikir Masa remaja adalah tahapan yang penting dalam rentang kehidupan manusia karena pada masa ini dikenal antara lain sebagai masa dimana individu melakukan pencarian identitas diri. Pencarian identitas diri tersebut diambil dari lingkungan sekitarnya. Baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif, akan terlihat pada perilaku kesehariannya.
39
Pengaruh positif berupa pengalaman yang positif contohnya seseorang yang dapat menerima penilaian tentang dirinya dari orang lain, menyadari kekurangan dan kelebihan yang dimiliki dan mampu memperbaiki dirinya saat dinilai kurang baik dari lingkungannya. Pengalaman positif tersebut menghasilkan perilaku yang positif sehingga terbentuklah konsep diri yang positif pula. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki konsep diri positif kecenderungan untuk berperilaku negatifnya rendah. Sedangkan pengaruh negatif berasal dari pengalaman negatif seseorang dimana pandangan dirinya terlalu teratur, hal ini bisa terjadi karena individu dididik terlalu keras oleh keluarganya sehingga membuat individu tertekan dengan keadaan tersebut. Singkatnya, individu yang selalu mengalami keadaan negatif akan timbul dalam dirinya konsep diri yang negatif pula sehingga menghasilkan perilaku yang negatif seperti bullying.
40
Tabel 2.1
Pengalaman : - Keluarga - Teman sebaya - Lingkungan masyarakat Pengaruh positif
Pengaruh negatif
Konsep Diri Positif
Konsep Diri Negatif
Kecenderungan berperilaku Bullying rendah
Kecenderungan berperilaku Bullying tinggi
2.6 Hipotesis Berdasarkan kerangka berfikir di atas, maka peneliti mengajukan hipotesis sebagai berikut : H1 : “Ada hubungan negatif yang signifikan antara konsep diri dengan kecenderungan berperilaku bullying siswa SMAN 70 Jakarta”. Ho : “Tidak ada hubungan negatif yang signifiksan antara konsep diri dengan kecenderungan berperilaku bullying siswa SMAN 70 Jakarta”.
41
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian 3.1.1. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif, yaitu penelitian yang informasinya atau datanya dikelola dengan statistik. Dengan kata lain, data yang didapat dari hasil kuesioner diolah secara statistik dengan menggunakan skala kategori.
3.1.2. Metode Penelitian Metode yang digunakan adalah metode korelasional, yaitu menentukan tingkat hubungan variabel-variabel yang berbeda dalam suatu populasi (Sevilla, 1993). Jadi, metode korelasional mencari hubungan di antara variabel – variabel yang diteliti. (Iqbal Hasan, 2002), dalam hal ini hubungan konsep diri dengan kecenderungan bullying siswa SMAN 70 Jakarta.
3.2 Variabel Penelitian Variabel adalah suatu karakteristik yang mempunyai dua atau lebih nilai atau sifat yang satu sama lain terpisah (Sevilla, 1993). Variabel terbagi dua macam, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Dalam penelitian ini yang menjadi kedua variabel tersebut adalah sebagai berikut : 1. Variabel bebas : konsep diri
42
2. Variabel terikat : kecenderungan berperilaku bullying
3.2.1. Definisi Konseptual 1.
Konsep diri adalah pandangan & perasaan tentang diri individu tentang bagaimana individu melihat dirinya sendiri sebagai pribadi yang disebut pengetahuan diri, bagaimana individu merasa atas dirinya yang merupakan penilaian dirinya sendiri serta bagaimana individu menginginkan diri sendiri sebagai manusia yang diharapkan. Dapat juga dimasukkan ke dalam identitas diri dimana remaja ini mencari jati diri dia yang sebenarnya dengan melakukan identifikasi terhadap lingkungan sekitarnya.
2.
Bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan secara sadar oleh individu atau kelompok yang memiliki kekuatan terhadap orang yang lemah, bertujuan untuk menyakiti korban, dan dilakukan secara berulang – ulang, dalam periode waktu tertentu.
3.2.2. Definisi Operasional Variabel Konsep diri yang dimaksud dalam penelitian ini adalah skor yang diperoleh melalui pengukuran dengan skala persepsi konsep diri dalam bidang akademik, fisik, emosional, dan sosial. Perilaku bulllying yang dimaksud adalah skor yang diperoleh melalui pengukuran dengan skala perilaku bullying dengan aspek bullying fisik dan bullying nonfisik, serta gabungan antara fisik dan nonfisik.
43
3.3 Pengambilan Sampel 3.3.1. Populasi dan sampel Populasi adalah keseluruhan anggota (Kerlinger, 1973). Populasi penelitian ini adalah siswa – siswi kelas XI SMAN 70 Jakarta Selatan, baik laki – laki maupun perempuan. Sampel adalah beberapa bagian kecil atau cuplikan yang ditarik dari populasi (Ferguson, 1976). Sampel pada penelitian ini adalah kelas XI IPA 1 SMAN 70 Jakarta yang terdiri dari 70% perempuan dan 30% laki – laki. Selain itu, Guilford dan Fruchter 1978 menjelaskan bahwa responden yang berjumlah lebih atau sama dengan 30 orang dapat dinyatakan sebagai jumlah yang mendekati kurva normal dari satu populasi dan dapat digunakan sebagai sampel dari suatu penelitian, selama penyebaran distribusi sampel tersebut tidak menyeleweng jauh dari kurva normal.
3.3.2. Teknik Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dalam penelitian ini random sampling yang menggunakan undian. Fox (1969) menyebutnya sebagai teknik fishbowl. Prosedur ini dapat dilakukan melalui, pertama menetapkan nomor-nomor pada anggota populasi yang terkumpul dalam daftar sampling. Kemudian tulis nomor anggota pada potongan kertas kecil, satu nomor untuk setiap anggota populasi. Selanjutnya, menggulung semua kertas kecil tersebut lalu diletakkan dalam kotak untuk dikocok dan kertas yang keluar adalah yang dijadikan sampel. (Sevilla, 1993)
44
3.4 Teknik Pengumpulan Data 3.4.1. Metode Dan Instrumen Penelitian Untuk memperoleh data dalam penelitian, peneliti menggunakan kuesioner yang dibuat dalam bentuk pernyataan. Kuesioner adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan menyertakan atau mengirimkan daftar pernyataan untuk diisi sendiri oleh responden, yaitu orang yang memberikan tanggapan atau menjawab pernyataan – pernyataan yang diajukan.
3.4.2. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dalam bentuk skala, yaitu skala konsep diri dan skala bullying. 1. Dimensi dan indikator Konsep Diri Pembuatan item skala konsep diri, peneliti mengacu pada teori Shavelson dkk yang telah dijelaskan pada kajian teori, meliputi dimensi dan indikator seperti tergambar pada tabel 3.1. Table 3.1 Dimensi dan indikator Konsep Diri
Dimensi
Sub-ranah
Indikator
Konsep Diri Konsep Akademik
Diri
•
Membaca
•
Menulis
•
Persepsi seberapa dirinya menulis
individu baik dalam
mengenai kemampuan
membaca
dan
45
Konsep
Diri
Sosial
•
Teman Sebaya
•
Keluarga
•
Persepsi
individu
dalam
kemampuan menjalin interaksi dengan teman sebaya, keluarga •
Persepsi
individu
mengenai
seberapa besar, individu diterima dan disukai oleh teman sebaya, keluarga Konsep
Diri
•
Diri Pribadi
Emosional
Persepsi individu terhadap keadaan – keadaan emosi yang dialaminya, baik yang
bersifat
sementara
maupun
individu
terhadap
menetap Konsep Fisik
Diri
•
Kemampuan fisik
•
Penampilan fisik
•
Persepsi
kemampuannya untuk terlibat di dalam kegiatan – kegiatan fisik •
Persepsi individu mengenai daya tarik fisiknya
Tabel 3.1 yang dikemukakan oleh Shavelson dkk ini hanya merupakan salah satu kemungkinan representasi organisasi hirarkis dari konsep diri. Model konsep diri yang mereka kemukakan seseungguhya lebih menyangkut pada struktur pengorganisasian dimensi atau komponen itu sendiri. Jadi, pada dasarnya model konsep diri hirarki dari Shavelson dkk, ini bukan komponen konsep diri “harga mati”, sehingga sama sekali tidak menutup kemungkinan untuk membagi konsep diri ke dalam dimensi – dimensi yang berbeda. (Djakababa, 1998 dalam Dewi Maulina, 2004)
46
Table 3.2 Blue Print Konsep Diri
Aspek
Indicator
Fav
Unfav
Jumlah item
Konsep Akademik
Diri Kemampuan
dalam 1, 3, 5, 7, 21,
bidang akademik
23, 19
9, 11, 13, 25,
27,
15, 17, 19 29,
31,
33,
35,
37 Konsep Sosial
Diri Menjalin
interaksi 2, 4, 6, 8, 39,
41, 24
dengan teman, keluarga, 10,
12, 43,
45,
dan lingkungan
14,
16, 47,
49,
18,
20, 51,
53,
22, 24, 26 55,
57,
59 Konsep Emosional
Diri Persepsi individu tentang 28,
30, 54,
56, 11
emosi yang dialaminya
34, 58,
60,
32, 36, 38
Konsep Fisik
Diri Kemampuan
61
dalam 40,
42, 62,
63, 14
dan 44,
46, 64,
65,
mengenai daya tarik fisik 48, 50, 52 66,
67,
kegiatan
fisik
68 Total
36
32
68
2. Aspek dan indikator Bullying Penyusunan item – item pernyataan skala perilaku bullying mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Randall (1997) yang aspek dan indikatornya diambil dari jenis dan bentuk bullying yang meliputi :
47
Tabel 3.3 Aspek dan indikator Bullying
Aspek
Indikator
Bullying bersifat fisik
Menjambak,
memukul,
menendang,
mendorong,
mencakar, meludahi dan berbagai serangan fisik lainnya. Termasuk merusak barang orang lain. Bullying
yang
bersifat
•
nonfisik / psikologis
Verbal, meminta uang atau barang, mengolok – olok, memfitnah, mempermalukan.
•
Nonverbal, mengisolasi, mengirimkan catatan yang menjelekkan, memasang mimik muka yang jahat dan gerak tubuh yang kasar.
Gabungan bullying fisik dan Bersifat fisik dan psikologis (verbal dan nonverbal). nonfisik
Dari aspek tersebut menghasilkan blue print sebagai berikut : Table 3.4 Blue print kecenderungan berperilaku Bullying
Aspek
Indikator
Fav
Unfav
Jumlah item
Bullying bersifat Menjambak, fisik Bullying bersifat
memukul, 1, 2, 5, 39, 40, 42, 9
mendorong. -
Verbal
non fisik
6, 9
44
12,
13, 8, 11, 30, 14
20,
24, 31
36,
41,
43,
45,
46, 49 -
Nonverbal
16,
17, 3, 4, 7, 10, 27
21,
25, 14, 15, 18,
28,
29, 19, 22, 23,
48
32,
33, 26, 27, 34,
37,
38, 35
47,
48,
50 Total
28
22
50
Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala model Likert dengan 4 jenjang pilihan, yaitu ; sangat setuju, setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju. Dengan masing – masing skor sebagai berikut : Tabel 3.5 Pedoman skala
Favorable
Skor
Unfavorable
Skor
Sangat setuju
4
Sangat setuju
1
Setuju
3
Setuju
2
Tidak Setuju
2
Tidak Setuju
3
Sangat Tidak Setuju
1
Sangat Tidak Setuju
4
3.4.3 Teknik Uji Instrumen 3.4.3.1 Uji Validitas Validitas adalah derajat ketepatan suatu alat ukur tentang pokok isi atau arti sebenarnya yang diukur (Sevilla, 1993). Pengujian validitas dilakukan untuk mengetahui apakah skala psikologi mampu menghasilkan data yang akurat sesuai dengan tujuan ukurnya (Azwar, 2005). Dalam uji validitas skala yang digunakan dalam penelitian ini akan dihitung koefisien korelasi di antara skor-skor skala dengan program SPSS 16.0 menggunakan korelasi product-moment, yaitu :
49
r=
n∑XY− (∑X)(∑Y)
(
)
(n ∑X2 − (∑X) ) n∑Y2 − (∑Y) 2
2
Keterangan ;
rxy = angka indeks korelasi “r” Product Moment X = skor skala 1 Y = skor skala 2 N = banyaknya subjek
Item-item yang dapat dikatakan valid adalah item-item yang memiliki koefisien validitas minimal 0,30. Sesuai dengan yang dikatakan oleh Cronbach dalam Azwar (2005), dikatakannya bahwa koefisien yang berkisar antara 0,30 sampai dengan 0,50 telah dapat memberikan kontribusi yang baik terhadap efisiensi lembaga pelatihan.
3.4.3.2 Uji Reliabilitas Reliabilitas adalah derajat ketepatan dan ketelitian atau akurasi yang ditunjukkan oleh instrument pengukuran (Sevilla, 1993). Pada penelitian ini pengukuran reliabilitas akan dihitung dengan cara menghitung koefisien reliabilitas alpha Cronbach, dengan program SPSS 16.0. Setelah dilakukan uji coba diperoleh koefisien alpha untuk skala konsep diri sebesar 0,814 dan untuk skala kecenderungan berperilaku bullying sebesar 0,891. dalam Kuncono (2005) terdapat kaidah reliabilitas (r) menurut Guillford yaitu : Sangat reliable : > 0,9
50
Reliable
: 0,7 – 0,9
Cukup reliable
: 0,4 – 0,7
Kurang reliable
: 0,2 – 0,4
Tidak reliable
: < 0,2
Oleh karena itu dapat ditafsirkan bahwa untuk koefisien reliabilitas skala konsep diri sebesar 0,814 dikatakan reliable. Sedangkan untuk koefisien reliabilitas skala kecenderungan berperilaku bullying sebesar 0,891 dikatakan reliable. Kepada konsistensi atau keterpercayaan hasil ukur, yang mengandung makna kecermatan pengukuran (Azwar, 2007). Pengukuran reliabilitas bertujuan untuk melihat seberapa jauh alat ukur yang digunakan dalam penelitian memberikan hasil pengukuran yang konsisten bila dilakukan pengukuran kembali terhadap hal yang sama. α= 2 [ 1 – s1² + s2² ] __________ S
3.5 Hasil Uji Coba Alat Ukur Untuk menganalisis validitas butir item konsep diri dan kecenderungan berperilaku bullying dengan menggunakan penghitungan SPSS 16.0 dengan memasukkan skor tiap butir item. Butir item dinyatakan valid jika memiliki validitas diantara 0,3 – 0,5 (Azwar 2006). Pada penelitian ini sampel yang digunakan sebanyak 33 orang. Hasil penghitungan uji coba dengan menggunakan teknik pearson product moment dihasilkan 21 item valid dari 68 item skala konsep diri yang diuji cobakan. Hal ini
51
menunjukkan bahwa alat ukur skala konsep diri yang ada memiliki reliabilitas baik sehingga memungkinkan atau layak digunakan dalam penelitian. Table 3.6 Blue Print Konsep Diri
Aspek
Indikator
Fav
Unfav
Jumlah item
Konsep
Diri Kemampuan
Akademik
dalam 1, 3, 5, 7, 21,
bidang akademik
23, 19
9, 11, 13, 25,
27,
15, 17, 19 29,
31,
33,
35,
37 Konsep
Diri Menjalin
Sosial
interaksi 2*,
4*, 39*, 41*, 24
dengan teman, keluarga, 6*, dan lingkungannya
8*, 43*, 45,
10*, 12*, 47*, 49, 14*, 16*, 51*, 53, 18*, 20*, 55,
57,
24*, 59
22, 26 Konsep
Diri Persepsi
Emosional
terhadap
individu 28, emosi
dialaminya Konsep
yang 32,
34, 58,
36, 38
Diri Kemampuan
Fisik
30, 54*, 56, 11
*item yang valid
61
dalam 40*, 42*, 62, 63*, 14
kegiatan
fisik
mengenai
daya
dan 44*,
46, 64,
65,
tarik 48, 50, 52 66,
67,
fisiknya Total
60,
68 36
32
68
52
Sedangkan
hasil
penghitungan
uji
coba
skala
bullying
dengan
menggunakan teknik Pearson’s product moment dihasilkan 23 item valid dari 50 item skala bullying yang diujicobakan. Item yang dinyatakan valid ini karena memiliki nilai r hitung > 0.3. Table 3.7 Blue print kecenderungan berperilaku Bullying
Aspek
Indikator
Bullying bersifat Menjambak, fisik
mendorong,
Fav
Unfav
Jumlah item 40, 9
memukul, 1, 2*, 5*, 39*, serangan 6*, 9
42, 44
fisik lainnya Bullying bersifat
-
Verbal
non fisik
12*, 13, 8*, 20,
11, 14
24, 30*, 31
36*, 41*, 43,
45,
46, 49* -
Nonverbal
16, 17*, 3,
4,
21, 25*, 10*,
7, 27 14,
28*, 29*, 15*, 18*, 32*, 33*, 19, 22, 23, 37*, 38, 26,
27*,
47*, 48, 34, 35 50* Total
28
22
50
*item yang valid
3.6 Teknik Analisis Data Pengolahan data dalam penelitian merupakan suatu langkah penting dan mutlak dilaksanakan agar data yang diperoleh memiliki arti, sehingga penelitian
53
yang dilakukan memberikan kesimpulan yang besar. Analisa data-data yang digunakan adalah analisa statistik sebagai cara untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas yaitu konsep diri dengan variabel terikat yaitu kecenderungan berperilaku bullying.
3.7 Prosedur Penelitian 1. Tahap persiapan penelitian a) Alat penelitian : (a) membuat skala penelitian untuk mengukur konsep diri dan kecenderungan berperilaku bullying (b) melakukan uji coba skala kepada kelompok try out sebanyak 33 responden dan 40 responden untuk field test (c) analisa item yang telah di uji coba (d) menyusun dan merapihkan skala yang telah di uji coba untuk penelitian yang sesungguhnya. b) Subjek penelitian : (a) meminta izin kepada pihak SMAN 70 Jakarta (b) melakukan diskusi dengan guru.
2. Tahap pelaksanaan penelitian Pelaksanaan penelitian diadakan tanggal 1 Maret 2010 untuk uji coba skala dan tanggal 4 Maret 2010 untuk field test skala dengan tahapan pelaksanaan sebagai berikut : (a) mengumpulkan responden dalam satu ruangan yang telah ditentukan oleh guru (b) membagikan skala penelitian kepada responden (c) menjelaskan petunjuk pengisian (d) memberikan kesempatan kepada
54
responden yang ingin bertanya (e) meminta responden untuk memeriksa kembali sebelum mengumpulkan skala penelitian
3. Tahap Pengolahan Data a) Melakukan scoring b) Menghitung hasil c) Membuat tabulasi data
4. Tahap Analisis a) Menganalisis data yang telah diperoleh b) Membuat hasil analisis c) Membuat kesimpulan dan saran
5. Tahap Penyusunan Laporan Penelitian Menulis keseluruhan prosedur penelitian beserta hasil dan analisanya.
55
BAB IV PRESENTASI DAN ANALISIS DATA
4.1 Gambaran Umum Responden Responden penelitian ini adalah 40 siswa kelas XI IPA 1 SMAN 70 Jakarta. Adapun gambaran responden secara umum akan dilihat dalam dua kategori yaitu jenis kelamin dan usia responden. Berikut tabel gambaran responden : Tabel 4.1 Gambaran Umum Responden
Kategori
Jumlah
Persentase
Laki-laki
12
30 %
Perempuan
28
70 %
Jumlah
40
100 %
15 tahun
2
5%
16 tahun
10
25 %
17 tahun
28
70 %
Jumlah
40
100 %
Jenis Kelamin
Usia
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah responden laki-laki sebanyak 12 siswa dan responden perempuan sebanyak 28 siswa. Dalam bentuk presentase, jumlah responden laki-laki sebanyak 30 % sedangkan jumlah responden perempuan sebanyak 70 %. Hal tersebut menggambarkan bahwa jumlah responden perempuan lebih banyak daripada responden laki-laki. Berdasarkan
56
tingka usia, jumlah responden dengan usia 15 tahun sebanyak 2 orang, 16 tahun sebanyak 10 orang, dan usia 17 tahun sebanyak 28 orang. Dalam presentase, jumlah responden usia 15 tahun sebanyak 5 %, usia 16 tahun sebanyak 25 %, dan usia 17 tahun sebanyak 70 %. Dapat dilihat bahwa jumlah terbanyak responden adalah siswa perempuan dan kemudian siswa laki-laki.
4.2 Uji Persyaratan Uji persyaratan adalah syarat untuk melakukan analisis lebih lanjut dalam mengolah data. Uji persyaratan yang digunakan adalah uji normalitas dan uji korelasional dengan menggunakan SPSS 16.0. Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui distribusi data dalam variabel yang akan digunakan dalam penelitian berdistribusi normal atau tidak. Untuk mengetahui kapasitas sebaran data yang diperoleh harus dilakukan uji normalitas terhadap data yang bersangkutan. Dengan demikian, analisis statistik yang pertama kali harus dilakukan dalam rangka analisis data adalah analisis statistik berupa uji normalitas. Data yang terdistribusi normal maka perhitungan datanya menggunakan metode statistik parametrik. Uji korelasional adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara variabel yang satu dengan variabel yang lain.
4.2.1 Uji Normalitas Analisis statistik pertama yang harus digunakan dalam rangkaian analisis data adalah uji statistik berupa uji normalitas. Adapun uji normalitas yang
57
digunakan dalam penelitian ini menggunakan Shapiro Wilk, karena responden pengujian kurang dari 100 (Kuncono, 2004). Adapun hipotesis statistiknya adalah: Ho : Populasi berdistribusi normal. H1 : Populasi tidak berdistribusi normal. Pengambilan keputusan berdasarkan nilai probabilitas dengan α = 0.05, yaitu: Jika probabilitas > 0.05, maka Ho diterima. Jika probabilitas < 0.05, maka Ho ditolak. Berdasarkan uji normalitas konsep diri dengan Shapiro Wilk didapat nilai 0.241 yang lebih besar dari α = 0.05, jadi berdasarkan nilai yang didapat maka Ho diterima. Sehingga dapat disimpulkan bahwa data konsep diri berdistribusi normal. Berikut ini table uji normalitas skala konsep diri. Tabel 4.2 Hasil uji normalitas Konsep Diri Shapiro-Wilk
KONSEP DIRI a. Lilliefors Significance Correction
Statistic
Df
Sig.
.965
40
.241
58
Sedangkan uji normalitas skala bullying dengan Shapiro-wilk dengan nilai 0,675 yang berarti lebih besar daripada nilai α = 0.05, jadi dapat disimpulkan bahwa skala bullying berdistribusi normal. Berikut ini tabel uji normalitas skala bullying. Table 4.3 Hasil uji normalitas Bullying Shapiro-Wilk
BULLYING
Statistic
Df
Sig.
.980
40
.675
a. Lilliefors Significance Correction
59
4.2.2 Uji Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : (Ha): Ada hubungan negatif yang signifikan antara konsep diri dengan kecenderungan berperilaku bullying siswa SMAN 70 Jakarta. (Ho): Tidak ada hubungan negatif yang signifikan antara konsep diri dengan kecenderungan berperilaku bullying siswa SMAN 70 Jakarta.
60
Pengujian hipotesis perlu dilakukan untuk mengetahui apakah koefisien korelasi yang didapatkan signifikan pada taraf signifikansi yang ditentukan atau tidak. Dalam melakukan uji hipotesis, cara yang umum dilakukan adalah dengan membandingkan nilai r tabel dan nilai r hitung yang didapatkan. Ho diterima jika rhitung < rtabel Karena nilai rhitung yang didapat (- 0.058) < rtabel ((Sig. 5% ; N 40 = 0.312), maka hipotesis alternatif (Ha) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan kecenderungan berperilaku bullying diterima. Arah hubungan yang dihasilkan menunjukkan arah yang negatif, yang bermakna bahwa
semakin
tinggi
konsep
diri
akan
diikuti
dengan
menurunnya
kecenderungan berperilaku bullying.
4.3 Deskripsi Hasil Penelitian Tabel 4.4 Descriptive Statistics N
Minimum
Maximum
Mean
Std. Deviation
KONSEP DIRI
40
46.00
73.00
59.9250
6.23632
BULLYING
40
33.00
64.00
49.0500
8.13650
Valid N (listwise)
40
4.3.1 Kategori Skor Konsep Diri Kategorisasi ini bertujuan untuk menempatkan responden ke dalam kategori-kategori atau kelompok yang berjenjang, yaitu: tinggi, sedang, dan rendah. Adapun responden yang masuk pada kategori rendah adalah responden yang memiliki skor di bawah 53, responden yang masuk pada kategori sedang
61
adalah responden yang memiliki skor antara 53 – 66 dan responden yang masuk pada kategori tinggi adalah responden yang memiliki skor diatas 66. Berikut ini tabel hasil kategorisasi skor penyebaran skala konsep diri berdasarkan jumlah skor yang diperoleh responden. Tabel 4.5 Kategori skor skala konsep diri
Kategori
Rentang
Frekuensi
Persen
skor
(%)
Positif
X > M + 1SD
> 66
7
Cukup positif
M - 1SD < X < M + 1SD
53 – 66
30
Negatif
X < M – 1SD
< 53
3
Total
40
17,5 % 75 % 7,5 % 100%
Pada tabel diatas menunjukkan bahwa mayoritas sampel atau sebanyak 30 responden berada dalam kategori konsep diri cukup positif (75 %), sedangkan 3 responden dalam kategori negatif (7,5 %) dan 7 responden termasuk ke dalam kategori positif (17,5 %).
4.3.2 Kategori Skor Bullying Adapun responden yang masuk pada kategori rendah adalah responden yang memiliki skor di bawah 40, responden yang masuk pada kategori sedang adalah responden yang memiliki skor antara 40 – 57 dan responden yang masuk pada kategori tinggi adalah responden yang memiliki skor diatas 57. Berikut ini tabel hasil kategorisasi skor penyebaran skala bullying berdasarkan jumlah skor yang diperoleh responden.
62
Tabel 4.6 Kategori skor skala bullying
Kategori
Rentang
Frekuensi
Persen (%)
skor Tinggi
X > M + 1SD
> 57
6
15 %
Sedang
M - 1SD < X < M + 1SD
40 – 57
30
75 %
Rendah
X < M – 1SD
< 40
4
1%
40
100%
Total
Pada tabel diatas menunjukkan bahwa mayoritas sampel atau sebanyak 30 responden berada dalam kategori sedang (75 %), sedangkan 4 responden dalam kategori rendah (1 %) dan 6 responden termasuk ke dalam kategori tinggi (15 %).
4.4 Hasil Penelitian Seperti yang telah dikemukakan pada bab 1, bahwa tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara konsep diri dengan kecenderungan berperilaku bullying siswa SMAN 70 Jakarta. Berikut hasil penghitungan SPSS 16.0 dengan rumus Spearmen’s Rank Corelation : Tabel 4.7 Hasil Spearman’s Rank Correlations Correlations
Spearman's rho
KONSEP DIRI
BULLYING
1.000
-.058
Sig. (2-tailed)
.
.720
N
40
40
Correlation Coefficient
-.058
1.000
Sig. (2-tailed)
.720
.
N
40
40
KONSEP DIRI Correlation Coefficient
BULLYING
63
Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan dengan teknik spearman’s rank correlations, maka diperoleh korelasi (r) hitung sebesar – 0,058. Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa nilai koefisien korelasi antara konsep diri dengan kecenderungan berperilaku bullying adalah bernilai – 0,058 dan bernilai negatif.
4.5 Hasil Utama Penelitian Hasil penelitian ini adalah terdapat hubungan negatif yang signifikan antara konsep diri dengan kecenderungan berperilaku bullying siswa SMAN 70 Jakarta, sehingga semakin positif konsep diri maka akan diikuti dengan menurunnya kecenderungan berperilaku bullying.
64
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisa data serta pengujian hipotesis, maka dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara konsep diri dengan kecenderungan berperilaku bullying. Dengan kata lain, semakin tinggi (positif) konsep diri seseorang maka semakin rendah kecenderungan seseorang untuk berperilaku bullying atau sebaliknya semakin rendah (negatif) konsep diri maka semakin tinggi kecenderungan berperilaku bullying.
5.2 Diskusi Berdasarkan kesimpulan di atas, hubungan konsep diri dengan kecenderungan berperilaku bullying siswa SMAN 70 Jakarta dapat dijelaskan sebagai berikut. Siswa yang memiliki konsep diri positif semakin rendah kecenderungan berperilaku bullying. Hal ini dapat dijadikan tolak ukur bahwa seseorang yang memiliki konsep diri positif menimbulkan perilaku yang positif pula, dan sebaliknya seseorang yang memiliki konsep diri negatif maka cenderung untuk menghasilkan perilaku yang negatif pula. Rendahnya konsep diri memberi pengaruh besar terhadap perilaku negatif, sebagai akibat dari rendahnya etika serta ketidakpeduliannya terhadap orang lain maupun norma-norma sosial yang berlaku, yang pembentukannya berawal dari
65
pembelajaran aturan yang tidak jelas, tidak tegas, dan tidak konsisten dari keluarganya. (Umar Yusuf, 2009) Menurut Roger, konsep diri berada dalam kesadaran seseorang, kesadaran individu ini merupakan data mengenai individu yang bersangkutan yang dievaluasi oleh individu tersebut. Dengan demikian individu mempertahankan konsistensi dan kongruensi antara diri dan pengalaman – pengalaman, sehingga kebanyakan cara bertingkah laku individu merupakan hal – hal yang konsisten dengan konsep dirinya. Menurut Ken Rigby, bullying merupakan sebuah hasrat untuk menyakiti. Hasrat ini diperlihatkan ke dalam aksi, menyebabkan seseorang menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung oleh seseorang atau kelompok yang lebih kuat, tidak bertanggung jawab, biasanya berulang, dan dilakukan dengan perasaan senang. Seseorang yang memiliki konsep diri positif dapat menciptakan situasi komunikasi antarpribadi yang baik dan sehat. Konsep diri positif akan mendorong seseorang untuk berperilaku positif, begitu juga sebaliknya. (Ainul Hildah, 2001). Dari penelitian yang sudah dijelaskan di atas tentang konsep diri menyimpulkan bahwa konsep diri dipengaruhi oleh lingkungan baik keluarga maupun masyarakat, karena konsep diri merupakan produk sosial yang dibentuk melalui proses internalisasi dan organisasi pengalaman–pengalaman psikologis (perasaan yang terluka), yang merupakan hasil eksplorasi individu terhadap lingkungan fisik dan refleksi dari dirinya yang diterima dari orang penting (significant other) di sekitarnya. Dengan kata lain, seseorang dapat memahami
66
dirinya sendiri melalui orang lain, yaitu orang lain yang dianggap penting oleh individu yang bersangkutan. Dalam Luthfiah, 2002 menyatakan semakin tinggi self-esteem maka semakin rendah kecenderungan berperilaku bullying, sebaliknya semakin rendah self-esteem maka semakin tinggi kecenderungan untuk berperilaku bullying. Penelitian sebelumnya, yang telah disebutkan di atas sejalan dengan penelitian ini yaitu hubungan konsep diri dengan kecenderungan berperilaku bullying siswa SMAN 70 Jakarta. Bahwa konsep diri yang positif akan menghasilkan perilaku yang positif pula sehingga kecenderungan berperilaku bullying mengarah pada tingkat yang rendah. Apabila konsep dirinya negatif, maka menghasilkan perilaku yang negatif pula dan kecenderungan berperilaku bullying mengarah ke tingkat yang tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden (75%) memiliki konsep diri cukup positif.
5.3 Saran 5.3.1. Saran Teoritis 1. Menelaah lebih lanjut secara teliti dan menghindari abiguitas pada tiap item. Hal ini dapat validitas dan reliabilitas pada penelitian lebih lanjut dan dalam pembuatan item tidak terlalu banyak namun mewakili setiap indikator sehingga tidak membuat responden jenuh dan tetap reliabel. 2. Untuk
penelitian
selanjutnya
mencari
faktor
yang
mempengaruhi
kecenderungan berperilaku bullying, seperti lingkungan keluarga dan masyarakat yang cukup berpengaruh atas perilaku yang ditampilkan.
67
5.3.2. Saran Praktis 1. Orang tua agar bekerja sama dengan pihak sekolah dengan mengadakan pertemuan dalam kegiatan konseling antara orang tua dan guru untuk terus memperhatikan peningkatan atau penurunan siswa dalam hal tingkah laku maupun pelajaran. 2. Dari pihak sekolah sebaiknya kegiatan BK atau bimbingan konseling lebih diefektifkan untuk lebih mengetahui apa saja yang terjadi di lingkungan sekolah misalnya, interaksi siswa dengan siswa, ataupun siswa dengan guru.