Hubungan Buruh, Modal, dan Negara By: Dini Aprilia, Eko Galih, Istiarni INDUSTRIALISASI DAN PERUBAHAN SOSIAL
Industrialisasi menjadi salah satu strategi pembangunan ekonomi nasional yang dipilih sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat selain pertanian dan jasa. Pola perkembangan ini mengikuti kecenderungan global tatkala negara-negara sedang berkembang meletakkan prioritas pembangunan ekonominya melalui strategi industrialisasi tersebut guna mengejar ketertinggalannya dari negara-negara industri maju. Daya dorong perekonomian industrial semakin kuat pada awal tahun 1980-an, ketika pemerintahan Soeharto mengalihkan kebijakan pembangunan industri dari model ISI kepada Industri Orientasi Ekspor (IOE). Dengan kebijakan ini industrialisasi lebih dipercepat dengan membuka sebanyak mungkin peluang bagi penanaman modal asing. Dalam pola kebijakan ekonomi yang demikian, peran negara yang semula sangat dominan secara perlahan mulai bergeser kepada aktor-aktor pemodal sebagai pemain utama. Hubungan negara-pemodal juga berpengaruh terhadap buruh sebagai suatu kategori sosial dan kelas sosial yang mengambil peranannya dalam dinamika masyarakat maupun dinamika hubungan industrial. Sebagaimana sebuah hubungan produksi, kehadiran buruh sebagai suatu kolektif sangat krusial untuk menjalankan fungsi produksi. Pengertian buruh pada dasarnya merujuk pada orang yang bekerja untuk orang lain atau suatu kolektif dan menerima upah karena pekerjaannya itu. Secara
horizontal,
konsep
buruh
dapat
menjadi
begitu
beragam
sejalan dengan keragaman jenis pekerjaan yang ada dalam masyarakat. Sebaliknya secara vertikal, konsep buruh juga membuka kemungkinan variasi yang lebar. Secars horisontal, kelompok pekerja dan kelompok pengusaha berada dalam struktur sosial yang memberikan keduanya ruang untuk menjalankan fungsi secara timbal balik. Secara vertikal, hubungan antar buruh dengan majikan digambarkan sebagai dominasi majikan terhadap buruh; majikan dalam posisi superordinat dan buruh berada pada subordinate. Secara normatif, dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan ditetapkan bahwa perusahaan yang
mempekerjakan buruh lebih dari 25 orang sudah harus memiliki serikat pekerja di tingkat unit kerja serta Perjanjian Kerja Bersama (PKB) atau Collective Labor Agreement (CLA). PKB merupakan pegangan bersama tentang batasan-batasan mengenai hak dan kewajiban baik pihak buruh maupun pihak majikan.
KONDISI BURUH DI INDONESIA Waktu kerja Sebagai perbandingan, jumlah jam kerja di negara-negara maju rata-rata hanya 35 jam per minggu, namun di Indonesia bisa lebih dari 35 jam perminggu
Upah Standar upah di Indonesia (Upah Minimum), disusun oleh pemerintah berdasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Upah minimum dimaksudkan untuk penciptaan safety net dalam mempertahankan secara minimal tingkat kesejahteraan pekerja. Pada masa Orde Baru, upaya menghitung upah minimun dilakukan berdasarkn KFM (Kebutuhan Fisik Minimum) dan KHM (Kebutuhan Hidup Minimum). KHM adalah standar basis upah yang telah direvisi. Berbagai
cara
dilakukan
pengusaha
untuk
menekan
upah
pekerja
demi
mengurangi beban perusahaan, misalnya dengan menganggap Upah Minimum Regional sebagai gaji pokok tanpa ada tunjangan apapun. Cara lain yang digunakan adalah penggolongan kerja, seperti pekerja tetap dan tidak tetap, pekerja bulanan dan pekerja harian tetap.
Lembur Pembayaran lembur yang sesuai juga merupakan salah satu aspek yang diperjuangkan oleh buruh selain upah dan jam kerja. Lembur telah menjadi pekerjaan setengah wajib.
Jaminan sosial Jaminan sosial ini dirasakan sangat penting artinya dan harus memadai untuk memberikan rasa tentram dalam kehidupan sehari-hari serta masa depan buruh dan keluarganya.
Cuti
Namun, masih banyak perusahaan yang melakukan pemotongan gaji buruh yang mengambil cuti, padahal buruh harus mendapatkan gajinya secara penuh. Hal ini terjadi karena rendahnya pendidikan buruh sehingga tidak mengetahui hak-haknya; dan yang selalu disampaikan kepada mereka hanyalah kewajibannya sebagai pekerja.
PERBURUHAN DI INDONESIA : SUATU TINJAUAN SEJARAH
Kolonialisme Belanda (1619-1942) Selama masa penjajahan Belanda, orientasi ekonomi agraris menciptakan dan membutuhkan
demikian
banyak
tenaga
kerja
buruh
bagi
kepentingan-kepentingan
perkebunannya. Beberapa Gubernur Jendral Belanda meninggalkan kesan mendalam yang teramat pahit dalam dunia perburuhan Indonesia. Contohnya adalah Deandles yang membangun jalan utama (trunk road) dari ujung timur hingga ujung barat Pulau Jawa dengan mengarahkan buruh dalam skala besar, yg memakan banyak korban para pekerja pembangunan jalan tersebut. Pada masa Inggris memerintah Indonesia, Gubernur Jendral Raffles memperkenalkan praktek sistem penyewaan tanah. Gubernur Jendral Van De Bosch menerapkan sistem baru yang dinamakan culture system/cultuurstelsel. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa hubungan perburuhan pada masa kolonial Belanda dibentuk atas dasar paksaan. Konflik-konflik perburuhan selalu ditangani melalui cara-cara koersif. Penjajahan Jepang Kegiatan buruh pada masa kekuasaan Jepang diselenggarakan melalui kesatuan masyarakat terkecil (tinariguni) dan dengan cara serupa itu juga dikerahkan romusha (prajurit ekonomi). Berlainan dengan masa penjajahan Jepang, kepentingan perang Jepang membutuhkan lebih banyak buruh untuk mendukung kemampuannya berperang, sehingga pengerahan buruh pada masa ini sangat eksploitatif. Orde Lama Hubungan perburuhan diwarnai dengan pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda oleh pemerintah Indonesia. Gambaran tentang posisi buruh, pemodal, dan pemerintah di dalam masa transisi, memperlihatkan konflik-konflik industrial yang cukup berarti. Hal ini sejalan dengan perbedaan/konflik yang tumbuh dalam konteks hubungan sipil-militer.
Gerakan Buruh dan Politik pada masa Orde Lama Gerakan buruh pada masa ini dapat dikatakan kuat, karena terdapat munculnya gerakangerakan buruh seperti BBI (Barisan Buruh Indonesia), membentuk partai buruh dan yang sebagian membentuk SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Indonesia). Gerakan buruh mendapat artikulasi politik yang berlebihan sehingga isu-isu hubungan kerja dan kesejahteraan buruh menjadi tersingkir. Periode politisasi perburuhan pada masa ini mendapat respon berupa depolitisasi gerakan buruh yang akhirnya berpengaruh besar pada pola hubungan industrial. Orde Baru Pada masa ini kontrol perburuhan tidak lagi sekedar menjadi bagian dari kontrol politik koersif tetapi juga menjadi bagian dari instrumen proses integrasi tsb. Kebijakan kontrol dan upah murah ditetapkan untuk meningkatkan comparative advantage dari perekonomian Indonesia (dalam investasi dan ekspor) di pasar internasional. Pada masa ini juga aspek-aspek penting dari hubungan buruh dan majikan yang menjamin terus berlangsungnya usaha dan terpenuhinya kepentingan kedua pihak diatur dalam Hubungan Industrial Pancasila (HIP) yang dicanangkan pada tahun 1976 yang secara terselubung dimaksudkan untuk meredam konflik antara pemodal dan buruh. Sifat hubungan antar buruh dan majikan masih dilandasi oleh saling ketergantungan secara tidak tertulis dan lebih dipengaruhi oleh budaya patron-client. Dimensi Politik Gerakan Buruh pada era Orde Baru Peristiwa tahun 1965 merupakan puncak berakhirnya konflik antara militer dengan PKI. Gerakan buruh dapat dibungkam dengan mudah, SOBSI hancur lebur bersama PKI, dan serikat buruh lainnya terpaksa mengikuti pola penataan kembali organisasi buruh oleh pemerintah. Pada periode ini, gerakan perburuhan bangkit kembali mulai dari skala yg kecil. Isu-isu HAM yg berkembang serta dukungan yang berasal dari LSM, gerakan mahasiswa, serta kantung2 komunitas industrial menjadi embrio gerakan buruh dari gerakan kecil. Sejak 1990, dinamika konflik antar buruh, modal dan negara mulai meningkat, yg antara lain dapat dilihat dari meningkatnya jumlah pemogokan buruh.
Pasca Orde Baru Isu globalisasi dan otonomi sangat mewarnai dunia ketenagakerjaan di Indonesia pascaruntuhnya Orde Baru. Kebijakan-kebijakan ketenagakerjaan dan perburuhan umumnya lebih menekankan pada pengurangan peran negara dan penguatan peran pasar. Peralihan kondisi politik pasca pemerintahan Soeharto merupakan fase penting dalam sejarah perburuhan Indonesia. Peralihan ini telah membuka peluang yg lebih besar bagi arus gerakan demokratisasi yg bergaung kuat ditingkat masyarakat. Dalam dunia perburuhan, peluang semacam ini dibuka dengan sejumlah peristiwa kunci penting. Pertama, pemerintahan baru Habibie meratifikasi konvensi ILO mengenai kebebasan berserikat dan perlindungan hak berorganisasi, yang hasilnya ialah tingkat pertumbuhan organisasi buruh berlangsung dengan sangat pesat. Kedua, kelompok2 pekerja yg semula mempunyai jarak dg bentuk2 gerakan perburuhan selanjutnya mulai mengakomodasi signifikansi gerakan tsb.dan mengambil posisi untuk lebih kritis trhdp modal dan negara. Ketiga, peluang berorganisasi yg lebih besar memungkinkan pekerja untuk lebih terbuka dalam melakukan aksi kolektifnya. Keempat, peralihan politik menandai peluang terbukanya suatu pola hubungan antara gerakan buruh dan gerakan non pemerintah, yg dimana buruh mempunyai peluang untuk mengorganisir dirinya dan memberdayakan kekuatannya secara lebih independen dalam menghadapi permasalahan2 hubungan industrial.
