HERMENEUTIKA HUKUM ISLAM DALAM KITAB GHAYAH AL-WUSHUL Khoirul Anwar (Institut Agama Islam Ibrahimy Situbondo, Email:
[email protected])
Abstract: Sheikh Imam Zakariya who is Shafi'i attempts to argue the theories of usul al-fiqh with different arguments as a defense in the book called ghayah al-Wushul. Beside Shaykh Zakariya is an academic, he also works as a legal practitioner. Typology of scholar who is independent and consistent in his ijtihad methodology and the results is quite rare. It can be seen through his interpretation of the law in the Qur'an verses. With the theory of linguistic analysis as well as tafsir and takwil approaches, he is able to solve new problems that arise at the time. At least it can be read from several legal decisions that he gathered in the Fathul Wahhab book. Therefore, Shaykh Zakariya’s hermeneutics in Islamic law is quite important, especially for the scholars of Islamic law. Shaykh Zakariya tries to combine the three interpretation components; revelation, reason and reality. Keywords: Shaykh Zakariya’s hermeneutics, Islamic Law, Interpretation
Pendahuluan Dalam pandangan ilmu ushul Al-fiqh, Al-Quran merupakan sumber hukum Islam yang pertama, dan diakui oleh semua ulama dari golongan madzhab. Selama Al-Qur’an menjelaskan hukum suatu masalah, maka sumber dalil yang lain jika ada hanya berfungsi sebagai penjelasan yang lebih operatif atau sekedar sebagai penguat. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa kehidupan dunia sebagai cerminan kehidupan akhirat harus didasarkan pada petunjuk Allah. Sa-
Khoirul Anwar lah satu petunjuk Allah yang dapat dibaca oleh semua orang dan berwujud nyata adalah Al-Quran. Di sisi lain, dalam beberapa ayat, Al-Qur’an Al-Quran telah menegaskan dan mengikrarkan dirinya sebagai sebagai petunjuk bagi umat manusia. Bahkan Al-Qur’an juga membuat tantangan kepada semua makhluq untuk mengunggulinya dalam hal apapun. Buktinya, tidak ada satupun yang dapat menandingi meskipun satu ayat. Seiring dengan perkembangan dan penyebaran Islam di berbagai wilayah, dan problem kemanusian yang semakin rumit dan komplek, ada sedikit problem ketika akan menafsirkan ayat hukum Al-Qur’an dalam upaya menjadikannya sebagai landasan norma atau sumber dalam memberikan jawaban terhadap problem tersebut. Disatu sisi muncul kaidah:
(yang
diperhatikan adalah sifat universalitas kata, bukan latar belakang tertentu yang mendorong lahirnya lafadz). Akan tetapi disisi lain muncul pula kaidah :
(yang
diperhatikan adalah latar belakang lahirnya ayat, bukan sifat universal lafadz Al-Quran)1. Teori pertama, menandaskan bahwa hukum pada teks atau bahasa Al-Qur’an itu berlaku sepanjang masa, menembus ruang waktu, meskipun pada waktu turunnya ayat terkait dengan permasalahan yang terjadi saat itu. Oleh karena itu pemasalahan baru, harus ditundukan oleh kekuasaan teks bahasa tersebut dengan melakukan penalaran makna teks. Ini biasa disebut nalar hukum deduktif. Sedangkan menurut teori kedua, bahwa teks yang lahir karena suatu permasalah yang sedang terjadi, dan itu hanya berlaku pada saat itu saja. Permasalahan lain, baik yang beda lokasi maupun waktu tidak dapat dijelaskan hukumnya dengan teks tersebut. Dengan demikian, teks tidak dapat dipaksakan untuk menjawab
1
Abd al-Wahhab Khallaf, 1978. ilmu al-Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam), 189191
139 | Volume 5. No. 01. Maret 2013
Hermeneutika Hukum Islam Dalam Kitab Ghayah al-Wushul permasalahan yang sealur dengan makna tektualitas ayat. Karena itu butuh dalil lain untuk menjawabnya. Dalam dinamika perkembangan ilmu penafsiran, teori yang kedua ini mendekati- jika tidak ingin dikatakan menyamai – dengan teori hermeneutika. Walaupun teori hermeneutika sudah dipopulerkan oleh para pemikir Islam semisal Hasan Hanafi, Fazlur Rahman, Nashr Hamid Abu Zaid, Mohammad Sahrur, dan lain sebagainya, teori ini masih kurang mendapat respon dari pengkaji hukum Islam utamanya kalangan pesantren - menurut Ahmad Fanani dikarenakan beberapa sebab. Pertama, adanya resistensi yang besar dari beberapa kalangan terhadap masuknya hermeneutika, yang dianggap produk Barat dalam keilmuan Islam. Kedua, kuatnya cara pandang ushul fiqh yang berpengaruh terhadap ranah kognitif dan afektif umat Islam membuat pilihan-pilihan lain dipandang sebagai sesuatu yang asing atau bahkan kurang Islami. Ketiga, karyakarya yang berbasiskan hermeneutika belum menawarkan sebuah pemecahan praktis terhadap persoalan keagamaan, utamanya di kalangan masyarakat umum2. Merespon dinamika kajian hermeneutika yang semakin marak di dunia perguruan tinggi, kirinya penting kalangan pesantren menelusuri tradisi-tradisi Islam kasik yang menjadi pijakan utama di dunia pesantren terutama pemikiran-pemikiran yang dapat dijadikan basis teori penafsiran yang sealur dengan teori hermeneutika. Ini sangat penting agar keilmuan di dunia pesantren tidak stagnan, dan hanya menjadi tradisi orang pesantren. Lebih dari itu, tradisi pesantren perlu disandingkan dengan trend kontemporer. Untuk itu, mengangkat kembali teori penafsiran yang telah mengakar di pesantren yang disandingkan dengan teori hermeneutik – suatu teori penafsiran yang diperdebatkan publik – menjadi penting.
2
Ahmad Fanani, 2010, Ushul Fiqh Versus Hermeneutika tentang Pengembangan Pemikiran Hukum Islam Kontemporer, Jurnal Islamika, Vol. 4. No.2, 2010: Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 195-196
|
140
Khoirul Anwar Dalam konteks ini, peneliti mengangkat pemikiran Syekh Imam Zakariya3 yang merupakan ulama pengikut madzhab Syafi’i yang telah berupaya membakukan teori-teori ushul al-fiqh golongan mutakallimin dengan berbagai argumentasi sebagai bentuk pembelaan atas pendapat golongan lain dalam bentuk kitab yang bernama Ghayah al-Wushul. Beliau merupakan cendekiawan dalam bidang ilmu fiqh dan ushul fiqh yang memiliki pemikiran cemerlang dan dipandang sebagai representasi ulama madzhab di masanya, bahkan pernah menduduki jabatan sebagai direktur sejumlah madrasah dan qadli. Dengan demikian, Syekh Imam Zakariya disamping sebagai ilmuan atau akademisi, juga berprofesi sebagai praktisi hukum. Tipologi ulama memiliki kemandirian dan konsistensi antara metodologi ijtihad dan hasil ijtihad cukup langka. Hal itu nampak sekali dari cara menggali hukum dari hasil analisa atas ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan teori analisa kebahasaan yang memilih pendekatan takwil dan tafsir, beliau mampu memutuskan permasalahan baru yang muncul pada saat itu. Setidaknya hal itu dapat dibaca dari beberapa putusan hukum yang beliau himpun dalam kitab Fathul Wahhab. Oleh karena itu mengkaji konsep teori takwil dan tafsir teks atau hermeneutika hukum Syekh Zakariya tersebut cukup penting, terutama bagi masyarakat pengkaji hukum Islam. Paparan Data Biografi Singkat Syekh Zakariya al-Anshari memiliki nama lengkap Zakariya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakariya al-Anshari yang lahir pada tahun 823 H di Sunaikah, sebagian riwayat menerangkan beliau lahir
3
Sebutan dari ulama abad pertengahan yang memiliki nama lengka Abi Yahya Zakariya al-Anshari, yang lahir pada tahun 824 dan wafat tahun 926, adalah sosok ulama ensiklopedis seperti lazimnya ulama-ulama besar era itu. Karya-karyanya berbicara mengenai fikih, tafsir, hadist, bahasa, sastra, tasawuf, dan lain-lain. Pada ranah sosial-politik, ia menjabat sebagai direktur sejumlah madarasah, guru tasawuf, dan qadhi. Lebih jelasnya baca Dahlan, Abdul Aziz (et.al),1996. Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van hoeve), Jilid V
141 | Volume 5. No. 01. Maret 2013
Hermeneutika Hukum Islam Dalam Kitab Ghayah al-Wushul tahun 826 H4 sebuah wilayah di daerah Mesir bagian Timur, dan wafat pada tahun 936 H, sebagian riwayat menjelaskan beliau wafat tahun 926 H. Di daerah ini pula beliau memulai pendidikan, dengan menghafal al-Qur’an, mendalami hukum, dan sebagian isi kitab Tabriz. Pada usia 41, beliau pindah studi ke Cairo Mesir (Universitas al-Azhar). Disini beliau berhasil mendalami dan menghafal seperti Minhaj al-Far’i, Alfiyah l-Nahwiyah dalam disiplin ilmu nahwu, dan beberapa kitab Hadits. Dengan bekal kecerdasarannya, beliau dengan mudah dapat menyelesaikan studi dengan mudah. Setalah selesai studi di al-Azhar, beliau kembali ke kampung halaman dan menyibukkan diri dengan aktifitas sosial keagamaan. Meskipun selesai studi, semengatnya untuk mendalami ilmu tidak pernah padam. Bahkan tambah semangat, sehingga karena ketekunanya membaca, kedua mata beliau pada tahun 906 H menjadi buta Kitab Ghayah Al-Wushul Kitab Ghayah al-Wushul ditulis oleh Syekh Zakariya dimaksudkan untuk menjelaskan atau menjabarkan redaksi kitab beliau sendiri yang berjudul Lubbi al-Ushul agar mudah dipahami. Penjelesan atau penjabaran yang dimaksud berisi penjelasan kaidah tata bahasa, argumentasi teori dari madzhab syafi’iyah, perdebatan ulama saat itu, dan contoh-contoh teori-teori yang dibakukan. Sementara itu, kitab Lubb al-Ushul sesungguhnya merupakan ringkasan isi dari ushul fiqh Jam’u al-Jawami yang disusun oleh AlSubki. Kitab Jam’u al-Jawami‘ sendiri disusun oleh Al-Subki dalam upaya mendamaikan kedua pemikiran antara ahl al-hadith dan ahl alra’yu. Kitab ini disyarah sendiri oleh al-Subki dengan judul Man’u alMawani’, yang kemudian dikomentari oleh Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli (ahli ushul fiqh madzhab Syafi’i 791H/ 1389M – 864H/ 1459M) dalam dua jilid dengan judul Sharh al-Jalal Syams alDin al-Mahalli ala Matan Jam’i al-Jawami’, yang kemudian disharah 4
Ibnu ‘imad al-Hambali, Syudzurat al-Dzahab, 134 -136
|
142
Khoirul Anwar lagi oleh al-Bannani, tokoh ushul fiqh madzhab Syafi’i lainnya dengan judul Hashiyah al-Bannani. Sementara itu tujuan Syekh Zakariya menyusun kitab lubb alushul adalah meringkas redaksi isi kitab Jam’u al-Jawami‘. Menurut Syekh Zakaria bahasa atau pilihan kata dalam kitab Jam’u al-Jawami terlalu abstrak, sehingga perlu diuraikan dan diberikan penjelasan. Dengan demikian, mean ideas atau ide dasar pemikiran (kerangka konseptual) teori-teori dalam kitab ghayah al-wushul bersumber dari kitab Jam’u al-Jawami‘5. Teori Takwil Sebelum menggali makna suatu bahasa, maka seorang penafsir perlu mengenali karakteristik suatu kalimat dari aspek implikasi atau kandungan maknanya. Dalam hal ini Syekh Zakariya al-Anshari menjelaskan bahwa karakteristik kalimat dapat dibagi muhkammutashabih, musytarak-mutaradif, ‘am-khas, muthlaq-muqayyad, dhahirmu’awwal, dan mujmal-mubayyan. Teori-teori inilah yang kemudian disebut teori takwil. Teori Penafsiran Setelah memahami makna berdasarkan karakteristik kalimat, maka Syekh Zakariya selanjutnya menjelaskan teori tafsirnya pada kitab Ghayah al-Wushul. Menurut Syekh Zakariya makna suatu kalimat dapat digali maknanya dengan pendekatan manthuq-mafhum. Mantuq adalah memahami makna suatu kata dengan tanpa pikir panjang (yufhamu fi mahal al-nuthq), makna bahasa dari idiom yang terungkap. Metode mantuq dapat berlaku pada kata hal yang terkait dengan hukum, seperti larangan (hukum haram) berkata cis pada kedua orang tua dengan mendasarkan pada firman Allah:
5
ﻓﻼ
Abi Yahya Zakariya al-Anshari, tt, Ghayah al-Washul ‘ala Syarh Lubb al-Ushul, Semarang: Thaha Putra,5
143 | Volume 5. No. 01. Maret 2013
Hermeneutika Hukum Islam Dalam Kitab Ghayah al-Wushul , ataupun tidak terkait dengan hukum. Misalnya kata Ahmad, itu pasti menunjukkan pada orang yang bernama Ahmad. Dilihat dari aspek makna yang dihasilkan, metode mantuq membagi kata dalam dua bagian. Yaitu, lafadh nash dan dhahir. Lafadh nash adalah lafadh yang hanya memberikan penjelasan satu arti, dan tidak dapat diartikan lain. Sedangkan lafadh dhahir ialah kata yang memberikan suatu makna, akan tetapi juga dapat diartikan lain yang lebih populer. Selain kata dhahir, terkadang ada kata yang memiliki arti lebih dari satu dan tidak ada yang lebih populer. Kata seperti ini disebut dengan mujmal. Dilalah (implikasi makna kebahasaan) dari kata yang masuk kategori manthuq ada tiga kemungkinan. Pertama, Muthabaqah, atau biasa disebut dilalah muthabaqah, karena ada kesesuaian antara tanda (kata) dan petanda (arti). Kedua, Tadlammun, yang bisa disebut dengan dilalah tadlammun, karena sebagian unsur petanda (makna) merupakan bagian dari kandungan tanda. Ketiga, Iltizam, atau disebut dengan dilalah iltizam, karena makana yang ada merupakan konsekuensi logis dari sebuah pernyataan. Kategori yang pertama bersifat lafdhi atau makna kata, sedangkan yang kedua dan ketiga bersifat aqli atau berdasarkan penalaran akal. Menurut Ibnu Hajib, sesungguhnya antara dilalah muthabaqah dan tadlammun itu isinya satu, hanya saja diungkapkan berbeda. Jadi ketika menemukan lafadh, terlebih dahulu pembaca memperhatikan makna, dan selanjutnya mengalihkan perhatian pada bagian tertentu dari makna tersebut seraya menganalisannya. Dalalah muthabaqah itu merupakan totalitas makna, sementara tadhammun adalah bagian tertentu. Sedangkan untuk memperoleh makna tersebunyi (maskut) dengan cara manthuq dapat dilakukan dua pendekatan teori ilmplikasi bahasa (dilalah). Pertama, dilalah iqtidla’, yaitu apabila validitas dan keabsahan makna yang diciptakan dari suatu kalimat pernyataan baik menurut akal maupun syara’ , sangat bergantung pada sesuatu makna yang tersimpan (idlmar). Kedua, dilalah Isyarah, yakni lafadh menunjukkan pada suatu yang tidak dimaksudkan, atau
|
144
Khoirul Anwar validitas dan keabsahan makna tidak bergantung pada suatu yang disembunyikan. Sedangkan mafhum adalah makna lafadh yang tidak terdapat pada verbal atau bentuk kata, melainkan akan diperoleh setelah dilakukan perenungan yang mendalam6. Mafhum ada dua macam. Pertama, Pembagian Mafhum Muwafaqah, yakni adanya kesamaan hukum antara makna manthuq dan mafhum. Dilihat dari aspek tingkatan makna yang dikandung, maka mafhum muwafaqah terbagi menjadi dua, yakni Fahwa al-Khithab (makna yang dilahirkan melebihi dari pada makna yang terdapat pada manthuq), dan Lahn al-Khithab (makna yang lahir dari mafhum memiliki tingkatan yang sama persis dengan makna mantuq). Yang kedua, mafhum mukhalafah yaitu makna atau akibat hukum hasil penerungan yang diperoleh dari suatu lafadh berbeda dengan hukum yang ditimbulkan ketika dimaknai dengan pendekatan mantuq. Makna mafhum bisa dilahirkan dari beberapa unsur sifat yang membatasi suatu pernyatan, diantaranya; Illat (makna mafhum yang didasarkan alasan suatu pernyataan), Dharf (makna mafhum yang diperoleh dari dharf atau keterangan baik waktu maupun tempat), Hal (makna mafhum yang diperoleh dari kalimat yang menjelaskan suatu perbuatan atau kejadian), ‘Adad (mengambil makna mafhum dari bilangan yang terdapat dalam suatu pernyataan), dan Syarath (makna mafhum yang diperoleh kalimat syarat yang terdapat dalam pernyataan), serta Ghayah (memenuhi ketentuan batas tertentu). Teori Tafsir Muhammad Sahrur Dalam melakukan pembaruan interpretasi dalam studi alQur’an, Syahrur menggunakan pendekatan hermeneutika dengan penekanan pada aspek filologi (fiqh al-lughah)7. Di mana prinsip yang ia gunakan adalah keyakinannya kepada anti sinonimitas (ketidakYahya Zakariya al-Anshari, tt, Ghayah al-Washul ‘ala Syarh Lubb al-Ushul, Semarang: Thaha Putra,37 Amin Abdullah, Neo Ushul Fiqih Menuju Ijtihad Kontekstual, (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah Press dan Forum Studi Hukum Islam, 2004),150
6Abi 7
145 | Volume 5. No. 01. Maret 2013
Hermeneutika Hukum Islam Dalam Kitab Ghayah al-Wushul samaan) istilah dalam al-Qur’an. Sebagaimana jelas terlihat dalam karyanya Al-Kitab wa Al-Qur’an, ia menggunakan metode klasifikasi istilah yang menjadi bahan awal teori interpretasinya. Al-Kitab terbagi kepada Al-Qur’an dan Umm al-Kitab. Al-Kitab ia gunakan untuk istilah umum yang mencakup pengertian seluruh kandungan teks tertulis (mushaf), yang dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri surat al-Naas. Sementara Al-Qur’an adalah istilah khusus yang hanya mencakup salah satu bagian dari al-Kitab yang terdiri dari ayat-ayat mutasyabihat yang berdimensi al-nubuwwah dan bersifat istiqamah yang berarti garis lurus, tetap, tidak berubah yang di dalamnya terkandung kumpulan informasi dan pengetahuan tentang kealaman dan kesejarahan yang dengan itu dapat dibedakan antara benar dan salah yang terdapat di alam wujud (realitas empiris). Jadi Al-Qur’an yang berdimensi Nubuwwah bersifat objektif di mana ia berisi kumpulan aturan hukum yang berlaku di alam semesta dan berada di luar kesadaran manusia. Sementara Umm al-Kitab merupakan salah satu bagian dari alKitab yang terdiri dari ayat-ayat muhkamat yang berdimensi al-risalah dan bersifat hanifiyyah yang berarti penyimpangan dari garis lurus, tidak tetap, berubah, dan elastis. Di dalamnya terkandung kumpulan ajaran yang wajib dipatuhi manusia berupa ibadah, mu’amalah, akhlak, dan hukum halal haram. Risalah bersifat subjektif yang berarti kumpulan aturan hukum yang harus dijadikan sebagai bagian dari kesadaran dalam diri manusia di dalam berprilaku8. Ia juga melakukan pembedaan terhadap sejumlah pasangan atau kelompok istilah, antara lain antara inzal/tanzil, furqan/qur’an, imam mubin/kitab mubin, ummul kitab/lauh al-mahfuzh, qada/qadar, zaman/waqt, mu’min/muslim, uluhiyyah/rububiyyah, dan manna/salwa. Semuanya didefinisikan secara terpisah9. Maka proyek hermeneutika Sahrur dari klasifikasi istilah tersebut, membuahkan rumusan dalam menginterpretasi ayat-ayat hukum 8 9
Lihat Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa Al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah, (Damaskus: Dar al-Ahali, 1990), 54, 90, dan 103 Andreas Chrismann, Bentuk Teks.., 30
|
146
Khoirul Anwar dengan memaparkan tiga teori filsafat. Pertama, al-kaynunah (kondisi berada, dasein, being). Kedua, al-sayrurah (kondisi berproses, der prozess, the process). Ketiga, al-Shairurah (kondisi menjadi, das warden, becoming). Ia menyatakan, “Ketiga kata kerja (istilah) itu selalu menjadi pusat pembahasan dalam filsafat dan landasan inti bagi semua pembahasan teologis (Tuhan), naturalistik (alam), dan antropologis (manusia), dengan memandang bahwa kaynunah atau being adalah awal dari sesuatu yang ada, sayrurah (proses) adalah gerak perjalanan masa, dan shairurah (menjadi) adalah sesuatu yang menjadi tujuan bagi keberadaan pertama setelah melalui fase berproses10.” Keniscayaan antara tiga kondisi tersebut menunjukan bahwa tidak ada kondisi yang tidak terkait dengan kondisi lainnya. Maka dengan sendirinya, dengan relasi ketiga kondisi ini, dalam hubungannya dengan ayat-ayat hukum, akan melahirkan hukum yang akan terus berubah-ubah mengikuti perkembangan masa ke masa. Dengan kata lain, yang menjadi pijakan hukum adalah kondisi khusus yang terbatasi dalam setting sosial, bukan nash yang ada dalam ayat tersurat dalam Al-Qur’an. Syahrur menyebut kondisi perubahan hukum ini dengan hukum dialektika negatif (qanun al-nafy wa nafy al-nafy; hukum negasi dan penegasian negasi) atau disebut juga dengan dialektika internal11. Ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an, yang dalam bahasa Syahrur sebagai Umm al-Kitab, walaupun sifatnya qath’i dan dipahami secara dzahir dan maknanya dengan jelas akan pula terjadi penegasian hukum melalui proses waktu yang berputar, dan menghasilkan hukum baru sesuai dengan kondisi dan situasi sosial zamannya yang menyebabkan keniscayaan penafsiran yang relatif12. Pandangan Syahrur dalam pengklasifikasian al-Kitab kepada al-Qur’ān bersifat tetap, tidak Muhammad Syahrur, Nahwa Ushul Jadidah, (Damaskus: Al-Ahali, 2000), 27 Muhammad Syahrur, Nahwa Ushul Jadidah, 30 12 Lihat karyanya seperti: Muhammad Shahrur, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah (Kairo dan Damaskus: Sina lil al- Nasr, 1992), 44, 47 dalam Wael B. Hallaq Membaca Teori Batas M. Shahrur dalam M. Shahrur, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah, terjemah Sahiron Syamsuddin Prinsip Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, Jogyakarta: 2007, 3 10 11
147 | Volume 5. No. 01. Maret 2013
Hermeneutika Hukum Islam Dalam Kitab Ghayah al-Wushul bisa berubah teks atau maknanya, dan tidak ada ijtihad dalam ranah tersebut. Tetapi dalam konteks Umm al-Kitāb, ijtihad tersebut terbuka lebar, meskipun kejelasan nash dzahir didapat (qath’i). Pemahaman dan keserasian dengan realitas objektif merupakan tolak ukur seberapa jauh penafsiran atau pembacaan hermeneutika itu benar atau salah. Hasil penelitian yang dilakukan Syahrur telah melahirkan suatu teori yang aplikatif, yakni nazhariyyah al-hudud (limit theory/teori batas). Dengan kerangka teori batasnya yang terdiri dari batas bawah (al-hadd al-adna/minimal) dan batas atas (al-hadd al-a’la/maksimal), Syahrur melakukan tafsir teks Al-Qur’an untuk menemukan suatu kesimpuan hukum. Teori Tafsir Nashr Hamid Abu Zaid Secara sistematis konsep heremeneutika Al-Qur’an Nashr Hamid dapat diurai dar penjelasanya tentang konsep wahyu dan kenabiaan, tekstualitas al-Qur’an, tafsir dan takwil, dan mekanisme pembacaan produktif. Namun demikian, dalam hal ini penulis hanya menguraikan konsepsi tafsir dan takwil Nashr Hamid Abu Zaid. Menurut Nashr, tafsir adalah usaha untuk mengungkap sesuatu yang samar melalui sarana yang kongkrit. Atau dalam bahasa lain proses interpretasi teks Al-Qur’an yang berpedoman pada sarana yang dapat dijadikan untuk mengungkap makna teks Al-Qur’an tersebut. Sarana tersebut sudah tentu segala hal selain Al-Qur’an seperti pengetahuan tentang makki-madani, asbab al-nuzul, nasikh-mansukh, dan lain sebagainya. Selain itu ketika menafsirkan Al-Qur’an seseorang harus mempergunakan segala ilmu yang berkaitan secara integral. Sedangkan takwil menurut Nashr Hamir adalah kembali kepada asal masalah baik tindakan maupun perkataan dengan maksud mengungkap makna dan tujuan masalah tersebut. Selain itu menurut Nashr takwil dapat dimaknai dengan sampai pada tujuan dari suatu tindakan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa takwil mengandung makna gerakan reflfektif dan dinamis. Gerakan tersebut tidak-
|
148
Khoirul Anwar lah berarti material, melainkan gerakan hati dan daya intelektualitas13. Antara tafsir dan takwil memiliki hubungan yang sangat erat. Takwil yang tidak didasarkan pada tafsir, melainkan hanya atas dasar praduga, hal ini harus ditolak dan makruh. Tahapan yang harus dilalui dalam melakukan takwil adalah mencari makna yang terkandung dalam teks dengan cara mengkaji fakta-fakta teks dan data-data kebahasaan. Fakta dan data kebahasaan senantiasa bergerak sesuai dengan dinamika kehidupan manusia. Karena itu, sangat mungkin adanya makna-makna baru. Meskipun demikian, makna-makna baru yang muncul tidaklah dimaksudkan untuk menggurkan maknamakna yang telah diketemukan sebelumnya. Tahap selanjutnya adalah mencari tujuan teks tersebut. Hal ini penting, agar pentakwilan tidak menyimpang dari tujuan teks14. Secara umum, Nashr Hamid menjelaskan tiga tipe pembaca alQur’an. Pertama, pembaca biasa, yaitu pembacaan terhadap AlQur’an secara datar atau memahami makna ayat Al-Qur’an hanya dari makna dhahir (kulit saja) tanpa mempertimbangkan aspekaspek kaidah kebahasaan. Kedua, pembacaa istimewa, yaitu pembacaan Al-Qur’an yang melampui batas makna semantik yang paling dalam (menggunakan analisis kebahasaan). Ketiga, pembaca yang berhasil menemukan makna yang paling dalam dari suatu al-Qur’an. Dalam hal ini, pembaca harus menggunakan ketajaman analisis kebahasaan dan memiliki pemahaman yang luas15. Dari tiga tipe diatas, Nashr menjelaskan bahwa dalam lingkaran teks ada tiga komponen yang tersusun secara sistematis yakni teks, isi (dalalah) teks, dan tujuan teks. Memahami ketiga komponen tersebut sangat penting ketika mengintepreasi teks Al-Qur’an. Memahami isi teks sangat dibutuhkan untuk memahami maksud teks karyanya seperti: Muhammad Shahrur, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah, 258-260. 14 Lihat karyanya seperti: Muhammad Shahrur, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah. 266 15 Lihat karyanya seperti: Muhammad Shahrur, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah. 267 13Lihat
149 | Volume 5. No. 01. Maret 2013
Hermeneutika Hukum Islam Dalam Kitab Ghayah al-Wushul dari aspek historis. Hal ini dapat dikaji dengan pendekatan tasyakkul (produk budaya) yakni memahami makna atau isi teks Al-Qur’an berdasarkan konstruk budaya yang sedang berkembang, dan pendekatan tasykil (pembentuk budaya) yaitu memahami peran vitalitas AlQur’an dalam mewujudkan budaya. Menurut Nashr, hal ini dapat bermanfaat untuk memahami kecondongan ideologis yang terjadi dalam sejarah penafsiran, sehingga tidak mudah terjebak dalam suatu kubangan kepentingan, terutama jika bertentangan dengan tujuan dan prinsip-prinsip syari’ah. Analisa Geneologi Teori Penafsiran Syekh Zakariya Jika metode psikologi yang menyatakan bahwa suatu ide selalu berada dalam konteks16 dapat kita terima, maka mesti diakui bahwa dalam pembakuan metode usul fiqh ada unsur politik di dalamnya, yang oleh beberapa kalangan seringkali dibaca sebagai fenomena agama murni. Ada dua alasan mengapa hal ini dilakukan. Pertama, Islam memiliki ajaran yang menuntut tindakan praktis berkenaan dengan norma perilaku dan aturan peribadatan yang secara lahiriah harus diukur. Untuk itu, maka posisi ilmu fiqh dalam Islam menjadi sangat vital karena secara lahiriyah atribut seorang muslim bisa diukur dengan aturan-aturan fiqh. Kedua, dengan berkembangnya jumlah umat Islam yang begitu cepat dan pada abad pertengahan, dunia Islam merupakan masyarakat paling makmur di dunia, maka lahirlah kebutuhan bagi ulama dan umara untuk membimbing (baca: mengendalikan) umat dalam perilaku sosial-politik mereka.17 Hal ini wajar, karena persepsi seseorang tentang realitas, sebagaimana diilustrasikan oleh Dillard, adalah seperti bercermin. Realitas yang kita tangkap adalah apa yang dipantulkan oleh sebuah cermin, sementara pantulan itu sendiri tergantung pada permukaan cermin. Edger Vinance, The Psyicology of Thinking, (New York, Mc Graw Hill Book. 1952), 100 17 J. Meuleman, Tradisi, Kemoderenan dan Metamodernism, (Yogyakarta, LkiS, 1996), 28 16
|
150
Khoirul Anwar Kerangka ideologis permukaan yang berbeda-beda akan merefleksikan realitas yang berbeda pula.18 Syekh Zakariya hidup 823 – 936 H selisih 63 tahun dengan Syekh al-Subki yang hidup 727 – 756 H. Pada masa itu, kejayaan Islam sudah runtuh, dunia ilmu pengetahuan mengalami stagnasi yang ditandai dengan tradisi penulisan talkhis (ringkasan), syarah (anotasi) dan hasiyah. Agar teori ushul fiqh sunni yang dibakukan oleh Al-Subki mudah dipahami dan dipelajari umat, maka Syekh Zakariya menyusun ringkasan kitab Jam’u al-Jawami‘ sebagai kitab rujukan saat itu dengan nama lub al-ushul, kemudian kitab ringkasan itu diberi uraian seperlunya dengan nama ghayah al-wushul. Dengan begitu, apa yang dilakukan Syekh Zakariya dengan mereproduksi teori dan konsep yang dikembangkan oleh Syekh al-Subki adalah bagian dari usaha untuk membawa umat sesuai dengan yang dikehendaki kelompok sunni, yaitu beragama secara elegan dibawah naungan nash Al-Qur’an dan Sunnah. Jika tesis ini bisa diterima, maka teori penafsiran dalam usul fiqh adalah bagian dari keberagamaan. Pengertian keberagamaan, baik dalam rumusan Joachim Wach ataupun Imam Abu al-Hasan al-Ash’ari19, menunjuk pada kegiatan subyek perbuatan hukum untuk memberi respons terhadap wahyu atau sesuatu yang diyakini sebagai Realitas Mutlak.20 Atas dasar argumentasi bahwa petunjuk yang disampaikan oleh Allah pasti memiliki tujuan, maka respons itu dalam pelaksanaannya juga merupakan tanggapan kepada realitas empiris di sekitarnya. Sebagai sebuah respon empiris, tidak bisa tidak Syekh Zakariya harus membangun relevansi dengan kondisi sosio-politik yang sedang berkembang. Karena konteks kelahiran disiplin ushul alfiqh adalah ‘pertarungan’ sunni-non sunni, maka menjadi logis jika F. Jesse Dillard, “Accounting as a critical social science”,dalam Accounting, Auditing, and Accountability Journal 4 , 1991, 9 19 Abu H{asan al-Ash’ari>, Us{u>l Ahl al-Sunnah wa al-Jama>’ah,(Kairo: Da>r alLiwa>’, tt), 87 20 Joachim Wach, The Comparative Study of Religions, (New York: Columbia University Press, 1925), 28 18
151 | Volume 5. No. 01. Maret 2013
Hermeneutika Hukum Islam Dalam Kitab Ghayah al-Wushul arah dari teori penafsiran yang dikembangkan adalah bagaimana membawa umat tetap dekat dengan apa yang dilakukan oleh Rasul. Cara yang paling mudah dalam konteks ini adalah menafsirkan nash secara tekstual. Sebagaimana dimaklumi bahwa poros utama dalam penafsiran bukanlah realitas, tapi bentuk teks atau nusush itu sendiri. Dengan kata lain, kebenaran penafsiran teks tidak diukur oleh realitas, tapi justru kebenaran realitaslah yang diukur oleh bunyi bahasa atau redaksi kata. Namun demikian, adalah menarik untuk dicermati bahwa teori penafsiran yang yang dijelaskan Syekh Zakariya sudah mencoba untuk menggabungkan tiga komponen; wahyu, akal dan realitas. Dengan demikian, teori penafsiran yang telah diuraikan oleh Syekh Zakariya dapat dijadikan basis-basis teori model penggalian hukum Islam dari paradigma ushul fiqh dari text oriented menuju social oriented. Ini karena teori penafsiran yang diuraikan Syekh alZakariya berusaha memadukan wahyu-akal dan realitas. Bahasa dalam dirinya sendiri (li zatihi) tidak akan menyelesaikan masalah lantaran secara de facto tidak ada dua orang yang menyepakati satu makna dari sebuah bahasa. Bahasa saja tidak bisa menjadi standar bagi pemahaman dan penyatuan beberapa makna. Karena pada dasarnya hanyalah medium kosong yang memerlukan isi. Isi ini adalah berbagai kepentingan sesuai tuntuan situasi yang oleh syari’at sering disebut sebagai al-maqasid al-ammah. Dengan cara ini, ada peluang yang sangat besar untuk menyingkap berbagai kemungkinan yang tak terbatas, memahami makna-makna yang terkandung didalam bahasa atau teks Al-Qur'an, meneliti kembali, dan membangun makna baru tanpa mengabaikan bahasa itu sendiri sebagai kitab suci yang berlaku sepanjang zaman dan tempat manapun. Perspektif Pemikir Islam Kontemporer Jika konsep teori penafsiran yang diuraikan oleh Sykeh Zakariya disandingkan dengan pemikiran hermeneutika maka dapat dipetakan beberapa hal sebagai berikut. Pertama, meskipun kedua pemikiran ini mengakui bahwa Al-Qur’an bersumberkan dari Allah,
|
152
Khoirul Anwar namun dalam memahami isinya ada perbedaan. Sahrur menyebut AlQur’an itu dengan istilah al-kitab. Didalamnya terdapat Al-Qur’an yang berisi sesuatu yang bersifat tetap dan istiqamah, berisi tentang hukum alam berada di luar kesadaran manusia, dan ada um al-kitab yang dapat berubah sesuai perkembangan. Ini tentu berbeda dengan klasikasi para ulama klasik bahwa ayat Al-Qur’an yang berisi hukum-hukum itu secara umum dibagai yaitu berkaitan dengan hukum keyakinan (i’tiqadi), hukum praktis (amali), dan hukum etika (khuluqi). Meskipun mengakomudasi realitas dengan teori hakekat, majaz, dan musytarak, uraian konsep Syekh Zakariya tidak menguraikan adanya proses yang jelas dalam suatu istilah atau makna itu disebut hakekat, maupun majaz. Sementara itu, Sahrur menguraikan tahapan suatu makna bahasa mulai dari proses kainunah, sairurah, dan shairirah. Dengan proses atau tahapan ini maka seseorang dapat memahami proses-proses yang berlangsung dalam pemaknaan suatu bahasa. Dampak dari proses ini adalah tidak ada suatu makna yang abadi, karena itu kebenaran makna itu selalu relatif. Disisi lain, seorang pentafsir dapat mengetahui makna-makna yang pernah muncul sebelumnya, atau memahami realitas bahasa dari awal hingga terwujudnya suatu makna. Agar seorang pentafsir tidak terjebak pada konsep relativisme, maka Sahrur mencetuskan tentang teori limit (batas), mulai dari batas paling atas hingga batas terendah. Produk hukum atau makna selama tidak melampui batas-batas tersebut, maka hal itu menurut Sahrur masih dapat ditoleransi. Disisi lain, dalam melakukan penafsiran, uraian Syekh Zakariya berangkat dari makna bahasa dengan melihat kategorisainya secara kebasaan apakah kata itu am, musytarak, dan seturusnya. Meskipun sudah mengakomodasi realitas dengan melihat aspek hakekat, atau majaz, aspek tektualitas masih sangat mendominasi. Ini berbeda dengan pandangan Nashr, yang mendasarkan penafsiran bertolak dari aspek apakah ayat itu masuk kategori tasykil, ataukah tasyakkul. Bila kehadiran ayat itu karena
153 | Volume 5. No. 01. Maret 2013
Hermeneutika Hukum Islam Dalam Kitab Ghayah al-Wushul faktor dominan suatu realitas yang berkembang saat turunya wahyu, maka ayat itu disebut tasyakkul. Dan apabila kehadiran ayat telah mempengaruhi secara dominan terhadap pembentukan realitas maka ayat ini disebut tasykil. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk mengetahui kepentingan ideologis yang terdapat dibalik teks atau suatu penafsiran. Syekh Zakariya tidak sejauh itu mengkateorisasikan ayat Al-Qur’an. Dia meyakini bahwa semua ayat itu dari Allah dan kehadirannya adalah rahmat. Menurut Nashr, pemaknaan atas ayat tidak dapat dicukupkan hanya memahami makna tekstualitas secara semantik, akan tetapi suatu ayat harus dilihat hubungan sistemik antara teks, dalalah teks, dan tujuan teks. Teks dapat dipahami dengan teori kaidah semantika bahasa, dalalah teks dapat dipahami dengan semua disiplin ilmu atau pendekatan inter-konekstitas teks, sedangkan tujuan teks dapat dimengerti dengan memahami prinsip-prinsip syariah. Ini tentu beda sekali dengan uraian Syekh Zakariya menjelaskan bahwa pemaknaan teks dapat dilakukan dengan memahami karakteristik teks dengan teori mahfum dan manthuq.
Penutup Geneologi teori penafsiran yang dijelaskan oleh Syekh Zakariya dalam Kitab Ghayah al-Wushul berakar dari pemikiran teori ushul fiqh yang telah dibakukan oleh Syekh Al-Subki dalam kitab Jam’u alJawami’. Uraian Syekh Zakariya dipandang penting, agar teori-teori penafsiran yang berkembang dalam tradisi sunni dapat dengan mudah dipamahi oleh umat. Dalam pandangan pemikir Islam yang mengembangkan teori hermeneutika, meskipun teori Syekh Zakariya dapat dijadikan basisbasik pengembangan istinath hukum Islam dari paradigm teks oriented menuju social oriented, teori ini masih belum melepaskan diri dari bentuk-bentuk penafsiran masa lalu yang dipaksakan sesuai dengan kondisi sekarang. Ini tentu berbeda dengan tawaran pemikir Islam kontemporer yang getol mengkampanyekan hermeneutika se-
|
154
Khoirul Anwar misal Sahrur dan Nashr Hamid Abu Zaid. Kedua pemikiran ini menawarkan suatu konsep penafsiran yang dimulai dari konsepsi tentang Al-Qur’an, ada yang hukum-hukum tetap, dan ada pula yang dapat berubah sesuai dengan gerak atau horizon zaman. Nashr juga menawarkan kajian ayat secara tasykil dan tasyakkul. Teori ini bermanfaat untuk memahami realitas masa lalu yang mengitari ayat AlQur’an dan mengetahui ideologi dari realitas yang dapat mengokohkan teks maupun pemahaman saat itu. Untuk memahami dalam konteks sekarang diperlukan kajian secara integral dengan berbagai disiplin ilmu. Jadi dalam menafsirkan teks termasuk Al-Qur’an menurut kemuda pemikir ini ada tiga wilayah yang harus dipahami, yakni wilayah teks, realitas saat itu (author), dan realitas penafsir (sekarang). Inilah yang disebut dengan horizon hermeneutika.
Daftar Pustaka Abdullah, Amin,2004.Neo Ushul Fiqih Menuju Ijtihad Kontekstual. Yogyakarta: Fakultas Syari’ah Press dan Forum Studi Hukum Islam Abu Zaid, Nashr Hamid, 1993.Mafhum an-Nash: Dirasah fi ulum alQur’an. Hai’ah al-‘alamah al-mishriyah al-‘ammah li al-kitab Al-Anshari, Abi Yahya Zakariya, Ghayah al-Washul ‘ala Syarh Lubb alUshul, Semarang: Thaha Putra, tt Al-Asy’ari, Abu Hasan,2000. Ushul Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah,Kairo: Dar al-Liwa Anwar, Rosihon, 2008. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Setia Ardiwisastra, Yudha Bhakti.Penafsiran Bandung: Alumni
dan
Konstruksi
Hukum,
Chrismann, Andreas, 2008. Bentuk Teks (Wahyu) Tetap, Tetapi Kandungannya (Selalu) Berubah: Tekstualitas dan Penafsirannya Dalam al-Kitab wa al-Qur’an” dalam Pengantar Muhammad
155 | Volume 5. No. 01. Maret 2013
Hermeneutika Hukum Islam Dalam Kitab Ghayah al-Wushul Syahrur, Dirasah Islamiyyah: Nahw Ushul Jadidah Li al-Fiqh alIslami, terjemah Sahiron Syamsuddin, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, Yogyakarta: eLSAQ Press Dahlan, Abdul Aziz (et.al), 1996. Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve Esha , M. In’am, 2003.Muhammad Syahrur: Teori Batas” dalam Khudori Soleh dkk, Pemikiran Islam Kontemporer. Yogyakarta: Jendela Fanani, Ahmad, 2010. Ushul Fiqh Versus Hermeneutika tentang Pengembangan Pemikiran Hukum Islam Kontemporer, Jurnal Islamika, Vol. 4. No.2, 2010: Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya Hamidi, Jazim, 2005. Hermeneutika Hukum, Yogyakarta: UII Press Ikhwan, Muhammad Nur, 2003. Meretas Kesarjanaan Kritik al-Qur’an: Teori Hermeneutik Nasr Hamid Abu Zaid. Jakarta : Teraju, Jesse Dillard, F. “Accounting as a critical social science”,dalam Accounting, Auditing, and Accountability Journal 4, 1991. Khallaf, Abd al-Wahhab, 1978. Imu al-Usul al-Fiqh.Kuwait: Dar alQalam Latif, Hilman , 2003. Nasr Hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan. Yogyakarta: Elsad Press Maliki, Zainudin,2004. Agama Priyayi, Yogyakarta: Pustaka Marwa Mertokusumo, Sudikno dan A.Pitlo, 1993. Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Bandung: PT.Citra Aditya Bhakti Meuleman, J , 1996.Tradisi, Kemoderenan dan Metamodernism, Yogyakarta, LKiS Sahrur, M, 2007.al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah, terjemah Sahiron Syamsuddin. Prinsip Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, Jogyakarta Shihab, M. Quraish, 1994. Membumikan al-Qur’an. Jakarta: Mizan
|
156