Sinopsis
B
akorpakem yang diketuai oleh Wisnu Subroto akhirnya menjatuhkan vonis dengan merekomendasikan pelarangan kegiatan aliran Ahmadiyah di Indonesia, Senin (16/4/08). Alasannya hasil monitoring atas 12 pernyataan Jemaat Ahmadiyah dinilai Bakorpakem dilanggar oleh kalangan Ahmadiyah. Agar bergigi, rekomendasi Bakorpakem itu diajukan kepada Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama dan Jaksa Agung dan ditetapkan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB). Ternyata hingga waktu yang dijanjikan, Senin (5/5/08), pemerintah belum mengeluarkan SKB dua Menteri dan Kejakgung itu. Padahal rekomendasi Bakorpakem itu muncul akibat desakan dan ancaman dari kelompok-kelompok radikal anti Ahmadiyah yang didukung oleh MUI dan Departemen Agama. Melihat sifat dari gerakangerakan itu, maka bukan tidak mungkin mereka akan meradang dan terjadi eskalasi kekerasan terhadap Ahmadiyah. Untuk kesekian kalinya Ahmadiyah menjadi sorotan utama Monthly Report edisi IX ini. Kami terus memantau perkembangan kasus Ahmadiyah. Menjelang diterbitkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) dua Menteri dan Kejakgung yang hingga laporan ini ditulis masih digodok tim dari Kejaksaan Agung, Departemen Dalam Negeri, dan Departemen Agama, kekerasan terhadap komunitas Ahmadiyah terus terjadi. Aparat pemerintah seolah lumpuh dan tidak mampu menghalau tindak kekerasan itu. Di samping Ahmadiyah, edisi ini juga melaporkan penembakan terhadap Madi, seorang tokoh agama lokal di Palu yang dituduh sesat MUI setempat dan akhirnya ditembak mati oleh polisi. Ada banyak isu dalam kasus Madi, mulai soal keyakinan, isu keamanan, dan juga politik lokal. Apapun, kasus Madi kembali mendemonstrasikan bagaimana pengikut kepercayaan lokal didiskreditkan melalui pemberitaan media massa. Isu lain yang kami laporkan adalah peringataan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terhadap sejumlah acara televisi yang dianggap mengganggu kesucian akidah dan mengganggu waktu shalat. Meski bukan isu baru, namun semprit KPI ini menarik diamati karena manjadikan agama sebagai alasan dalam melarang sebuah program siaran. Vonis empat tahun untuk Mushaddeq, pimpinan al-Qiyadah alIslamiyah, juga kami laporkan. Mushaddeq dinilai hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan secara sah dan meyakinkan telah melanggar pasal 156a KUHP tentang penodaan agama. Demikian juga dengan bentrokan LUIS (Laskar Umat Islam) dengan warga di Surakarta yang menewaskan satu orang juga kami laporkan. Kasus terakhir ini kurang mendapat liputan media, kecuali media lokal. Namun, kasus ini juga menjadi indikasi betapa cara-cara kekerasan seolah telah menjadi bagian dari cara kelompok Islam tertentu untuk menyelesaikan masalah. ■
Susunan Redaksi
Penanggung Jawab: Yenny Zannuba Wahid, Ahmad Suaedy | Pemimpin Redaksi: Rumadi Sidang Redaksi: Ahmad Suaedy, Gamal Ferdhi, Nurul H Ma’arif, Abd Moqsith Ghazali. Staf Redaksi: M. Subhi Azhari Lay out: Widhi Cahya Alamat Redaksi: The Wahid Institute Jln Taman Amir Hamzah 8, Jakarta - 10320 Website: www.wahidinstitute.org Email:
[email protected] Kontributor: Akhdiansyah (NTB), Suhendy (Jawa Barat), Nur Kholik Ridwan (Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta), Alamsyah M. Dja’far (DKI Jakarta), Zainul Hamdi (Jawa Timur), Syamsul Rijal (Sulawesi Selatan) Kerjasama dengan TIFA Foundation
9
ed i s i
Monthly Report on
Religious Issues April 2 008
SKB Pelarangan Ahmadiyah Ditunda, Kaum Radikal-MUI Meradang 1. Bakor Pakem Putuskan Ahmadiyah Menyimpang
H
asil rapat Bakor Pakem, Rabu, 16 April 2008, memutuskan memberi peringatan keras terhadap Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) untuk menghentikan aktifitasnya. Ini lantaran JAI dinilai tidak menjalankan 12 butir penjelasan Pengurus Pusat Jemaah Ahmadiyah Indonesia (PB JAI) secara konsisten dan bertanggung jawab. “Rapat Bakor Pakem Rabu, 16 April 2008 sebagai kelanjutan rapat 15 Januari 2008. Saat itu direkomendasikan apakah 12 butir penjelasan PB JAI dilaksanakan secara konsisten atau tidak,” kata Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) Wisnu Subroto yang juga Ketua Bakor Pakem, di Kejaksaan Agung (16/4/08). Dikatakan Wisnu, pihaknya telah mengawasi JAI melalui tim pemantauan yang diketuai Kepala Litbang dan Diklat Departemen Agama Atho Mudzhar berdasarkan SK Menag No. 6/2008 tentang Tim Pemantau dan Evaluasi Pelaksanaan 12 (Dua Belas) Butir Penjelasan PBJAI. Tim yang dibantu 33 orang ini menyimpulkan, selama 1 hingga 3 bulan pantauan, JAI tidak melaksanakan 12 butir itu. Misalnya, JAI dinilai masih mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah Nabi Muhammad saw. “Dari pemantauan itu, yang tidak sesuai dengan 12 butir pernyataan PB JAI misalnya soal adanya nabi setelah Muhammad. Padahal sudah dinyatakan oleh mereka bahwa Nabi Muhammad
kasus-kasus bulan ini
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi IX, April 2008
adalah nabi penutup,” kata Atho Mudhar Kepala Balitbang Depag RI yang juga sebagai ketua tim pemantau. Menurut Atho, temuan ini setelah dilakukan konfirmasi pada JAI di 33 kabupaten, 55 komunitas serta bertemu dengan 275 warga JAI. “Mereka masih menganggap Mirza seba gai nabi. Mereka tidak mengubah keyakinannya itu,” ujar Atho. Atho mengatakan, JAI juga masih menggunakan Tadzkirah sebagai kitab sucinya. Bahkan ayat-ayat al-Qur’an ditarik supaya membenarkan kenabian Mirza. Berdasarkan temuan ini, Bakor Pakem berpendapat JAI telah melakukan kegiatan atau penafsiran keagamaan menyimpang dari ajaran Islam. “Yang jelas kita berpendapat JAI sudah menyimpang. Tidak ada negosiasi lagi atau diskusi lagi soal akidah,” kata Wisnu. Apa yang dilakukan JAI, sambung Wisnu, telah menimbulkan keresahan dan pertentang an di masyarakat, sehingga mengganggu keter tiban umum. Untuk itu, Bakor Pakem merekomendasikan supaya JAI diberi peringatan keras untuk menghentikan aktifitasnya melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama dan Kejaksaan Agung. “Peringatan harus dilakukan lewat SKB Menteri Agama, Kejagung dan Mendagri sesuai UU No. 1 PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Jika peringatan keras tak diindahkan, Bakor Pakem merekomendasikan pemerintah untuk membubarkan organisasi JAI,” ujar Wisnu. Namun ia buru-buru mengingatkan, supaya pemuka agama dan ormas Islam tetap menjaga ketertiban dan keamanan dengan menghormati proses penyelesaian masalah JAI. Kendati ada himbauan seperti itu, namun rasa takut dan was-was dari JAI tidak lantas hilang. Mereka yang tersebar di berbagai penjuru negeri ini terus dibayangi ketakutan jika sewaktu-waktu mereka diserang dan aset mereka dirusak gerombolan massa dengan melandaskan pada keputusan Bakor Pakem itu. Di Manis Lor Kuningan Cirebon, JAI yang berjumlah 70 persen dari 4.200 jiwa, ketakutan. Rumah-rumah mereka ditutup. Di Tegal, Banyumas, Wonosobo (5.000 orang), Sukabumi dan berbagai wilayah lainnya, JAI juga
merasakan hal sama. Ketakutan mereka kian bertambah seiring derasnya gelombang aksi demo menuntut pembubaran JAI yang terjadi di berbagai wilayah. Misalnya di Tasikmalaya, Jum’at (18/04/08), beberapa organisasi Islam seperti FPI, KAMMI, Brigade Thaliban dan ormas lainnya yang tergabung dalam Forum Umat Islam (FUI) Tasikmalaya berunjuk rasa menuntut pembubaran JAI . Di Ciamis, Minggu (20/04/08), juga menggelar aksi serupa. Di awali tabligh akbar, massa yang berasal dari elemen MMI, HTI, FPUI, Persis, IFKAP, dan Majlis Tablig yang tergabung dalam Forum Umat Islam (FUI) Ciamis menyebar pamflet supaya JAI dibubarkan, karena dinilai menyimpang dari Islam. Pamflet ditandatangani Ketua FUI Ciamis KH. Abdul Hadi, Sekretaris FUI Dina Prasetia, serta Ketua MUI Ciamis KH. Koko Komarudin. Bahkan peristiwa mengerikan terjadi di Sukabumi. Sekitar 500 orang membakar Masjid al-Furqon milik JAI di Parakan Salak, Kec. Parakan Salak, Kab. Sukabumi, Senin (28/04/08) sekitar pukul 00.30 WIB. Masjid berukuran 30 x 30 meter ini pun hangus dilalap si jago merah. “Kami sudah berusaha meredam emosi warga untuk tidak melakukan aksi anarkis. Ini adalah keputusan bersama seluruh warga di wilayah III Kab. Sukabumi, tetapi ternyata warga tidak kuasa menahan emosi dan melakukan pembakaran masjid itu,” kata Ketua Forum Komunikasi Jamaatul Muballighin, Endang Abdul Karim, Senin (28/4/2008). Warga, katanya, juga sudah memberikan peringatan pada JAI untuk menghentikan kegiatan sejak dua hari sebe lumnya. Kapolres Sukabumi AKBP Guntur Gaffar menyatakan, hingga kini pihaknya terus mengumpulkan data-data dari para saksi. “Kami belum bisa mendapatkan tersangka, sebab masih mengumpulkan data, keterangan dan barang bukti,” jelasnya, Senin (28/4/08). Untuk mengantisipasi aksi susulan, pihaknya telah menyiagakan 1 peleton satuan Dalmas di sekitar lokasi. Dua hari berikutnya, Kepolisian Resor Sukabumi menetapkan lima tersangka dalam pembakaran Masjid al-Furqon. Namun tersangka tidak ditahan karena adanya jaminan The Wahid Institute
kasus-kasus bulan ini
Monthly Report on Religious Issues, Edisi IX, April 2008 ■
dari pejabat Kabupaten Sukabumi (Kompas, 30/4/08). Kepolisian Resor Sukabumi akhirnya menetapkan lima orang lagi sebagai tersangka kasus pembakaran Masjid Al-Furqon milik Jemaah Ahmadiyah di Parakansalak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Kamis (1/5). Dengan demikian, ada 10 warga yang menjadi tersangka dalam kasus pembakaran masjid milik Ahmadiyah itu (Koran Tempo, 2/5/08). “Setelah memeriksa 14 orang, kami menetapkan lima orang lagi sebagai tersangka,” kata Kepala Polres Sukabumi Ajun Komisaris Besar Guntor Gaffar di kantornya Kamis (1/5). Meski begitu, mereka tidak ditahan. ”Ketua MUI dan Pak Bupati Sukabumi menjamin mereka tidak akan melarikan diri,” ujarnya. Sebelum terjadi pembakaran masjid dan madrasah milik Ahmadiyah Sukabumi, digelar tabligh akbar, yang isinya penghasutan dan provokasi, bahkan ancaman penghancuran pada JAI. “Setiap ada tablig akbar, pasti akan ada kerusakan. Di mana saja selalu seperti itu,” kata Juru Bicara JAI, Syamsir Ali, saat jumpa pers di Kantor Pusat JAI, Jalan Balikpapan, Jakarta Pusat, Senin (28/4/08). Karena itu, lanjut Syamsir Ali, pihaknya menuntut Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa sesat bagi orang atau lembaga yang membakar masjid.
Penolakan
Banyak kalangan menolak keputusan Bakor Pakem, baik internal maupun eksternal JAI. Bahkan JAI akan mengugat keputusan Bakor Pakem . “Kita akan langsung melakukan perlawanan dengan gugatan. Kita akan layangkan itu, setelah kita menerima suratnya,” kata Kuasa Hukum JAI, Asfinawati, Rabu (16/4/08). Direktur LBH Jakarta ini menyatakan, tindakan Bakor Pakem merupakan pembatasan yang bertentangan dengan konstitusi. “Juga bertentangan dengan Kovenan HAM sosial politik yang telah diratifikasi dalam UU No. 12/2005,” lanjut Asfinawati. Pihak JAI bahkan berniat melapor masalah ini ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Juru bicara JAI, Ahmad Mubarik menyatakan, keyakinan JAI telah dilecehkan dan secara sengaja telah diputarbalikkan dari fakta sebenarnya. “Kami sedih dan malu dengan sikap pemerintah yang seperti ini. Kita sudah punya perangThe Wahid Institute
kat hukum yang cukup jelas, tapi dalam prakteknya kok seperti ini,” ujar Mubarik, Rabu (16/04/08). Koordinator Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), Anick H. Tohari menyatakan, negara wajib melindungi keyakinan warganya berdasarkan UUD 1945. “Tindakan Bakor Pakem jelas bertentangan dengan UUD 1945. Juga UU No. 39/1999 dan UU No. 12/2005, bahwa setiap warga negara berkedudukan sama dan setara di depan hukum dan pemerintahan,” kata Anick, di Jakarta, Rabu (16/04/08). Hal senada dinyatakan Ketua Setara Institute Hendardi. Bakor Pakem, ujarnya, telah melanggar konstitusi dan mengkriminalisasi keyakinan warga. “Tindakan Bakor Pakem menunjukkan ketidakpahaman akan pe ran dan fungsi kenegaraan,” katanya, Selasa (16/04/08). Bakor Pakem tidak berwenang melarang keyakinan. Pelarangan JAI harus melalui putusan pengadilan dengan dasar hukum yang jelas. Bakor Pakem pun dinilainya gebabah karena tidak mendengarkan aspirasi kelompok yang mendukung kebebasan beragama. “DPR harus memanggil semua pihak di Bakor Pakem untuk dimintai keterangan. Ini persoalan konstitusional,” lanjut Hendardi. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Ashiddiqie juga turut berkomentar. Pemerintah sebaiknya jangan turut campur ribut-ribut JAI ini. Untuk itu, ia menyarankan supaya masalah ini diselesaikan melalui internal agama. “Itu kan kasus. Yang paling aman kita serahkan pada masalah internal agama,” katanya, di Gedung MK Jakarta, Rabu (16/4/08). Menurut Jimly, negara wajib turut campur jika terjadi tindak kekerasan yang melanggar HAM. “Negara harus ikut campur melindungi warga negara, misalnya dari serangan pihak lain. Tapi soal aliran berpikirnya, negara jangan ikut campur,” tandasnya. Sejumlah kiai sepuh NU Cirebon, yang tergabung dalam Forum Kiai Peduli Khittah Nahdatul Ulama 26, juga turut menolak keputusan Bakor Pekam itu. Penolakan itu dihasilkan dalam pertemuan di Pondok Pesantren Kempek, Cirebon, Senin (21/04/08). Dalam pertemuan itu, hadir KH. Syarif Usman Yahya (Ponpes Kempek), KH. Ulya Ulumuddin (Ponpes Gebang),Habib Abu Bakar
kasus-kasus bulan ini
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi IX, April 2008
Hasil Rapat Bakor Pakem, Rabu, 16 April 2008 1. Hasil dari pemantauan Bakor Pakem selama 3 bulan, ternyata JAI tidak melaksanakan 12 Butir Penjelasan PB JAI tanggal 14 Januari 2008 secara konsisten dan bertanggung jawab. 2. Bakor Pakem berpendapat, JAI telah melakukan kegiatan dan penafsiran keagamaan menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yang dianut di Indonesia, dan menimbulkan keresahan dan pertentangan di masyarakat sehingga mengganggu ketentraman dan ketertiban umum. 3. Bakor Pakem merekomendasikan agar warga JAI diperintahkan dan diberi peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya di dalam suatu kepu-
tusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri, sesuai dengan UU No. 1 PNPS Tahun 1965. 4. Apabila perintah dan peringatan keras sebagaimana tersebut pada butir 3 di atas tidak diindahkan, maka Bakor Pakem merekomendasikan untuk membubarkan organisasi JAI dengan segala kegiatan dan ajarannya. 5. Bakor Pakem menghimbau kepada para pemuka/ tokoh agama beserta organisasi kemasyarakatan Islam dan semua lapisan masyarakat menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat dengan meng hormati proses penyelesaian masalah JAI.
bin Yahya (Ponpes Babakan Ciwaringin), KH. Taufikur Rahman (Ponpes Gedongan), KH. Ahmad Zahid (Ponpes Kaliwadas) dan seba gainya. Mereka menilai, apa yang diputuskan Bakor Pakem tanpa terlebih dulu mengetahui pengertian sesat menurut agama. “Nanti jang an-jangan semua aliran Islam yang masih ada oleh Bakor Pakem dinyatakan sesat juga,” ujar KH. Syarif Usman Yahya. Kendati demikian, bukan berarti para kiai mendukung ajaran JAI. Mereka hanya menolak rekomendasi Bakor Pakem dan menuntut pemerintah melindungi warga negaranya se suai UUD 1945. Sebagai dukungan moril terhadap JAI, dalam waktu dekat mereka akan mengerahkan 20 ribu santri dan Banser (barisan Anshor Serbaguna) untuk apel akbar. Lain lagi sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam. Ia menilai, pelarangan pada JAI tidak tepat, karena sepanjang sejarah, organisasi ini tak pernah membahayakan pemerintah. “Dari dulu, Ahmadiyah itu gerakan yang sangat loyal pada pemerintah dan tidak berbahaya
pada pemerintah manapun,” ujar Asvi dalam seminar nasional bertema Islam, Nasionalisme, dan Konsolidasi Ideologis Partai Politik, di Perpustakaan Nasional Jakarta (17/04/08). Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Adnan Buyung Nasution bahkan menghendaki eksistensi Bakor Pakem ditinjau ulang. Peninjauan ulang ini penting, kata Buyung, karena pembentukan Bakor Pakem tidak memiliki landasan hukum. Apalagi Bakor Pakem dibentuk pada masa Soeharto untuk tujuan mengkoordinir kehidupan beragama. “Pembentukan Bakor Pakem itu bukan berdasarkan UU, cuma Perpres, lalu dijadikan peraturan yang dijadikan alasan eksistensi bagi Bakor Pakem,” ujarnya. Karena itu, Buyung berencana mencegah pemerintah mengeluarkan SKB yang merupakan rekomendasi Bakor Pakem. Tujuannya untuk menjunjung tinggi demokrasi di negeri ini. Dan hingga kini, SKB yang diributkan itu belum keluar juga. Tampaknya pemerintah masih ragu antara mengeluarkan SKB atau tidak. ■
2. Madi: Dituduh Sesat lalu Ditembak
S
aat umat Islam sedang melaksanakan ibadah puasa Oktober 2005 lalu, di Palu Sulawesi Tengah muncul berita kepolisian mengobrak-abrik markas ajaran Ikat Kepala Putih yang dipimpin Madi. Kelompok itu melakukan perlawanan dan Madi melarikan diri. Tiba-tiba, Sabtu (5/4/2008) pagi, tersiar kabar Madi telah ditemukan operasi
gabungan Polda Sulawesi Tengah. Madi telah ditembak mati saat digerebek di tempat persembunyiannya di Dusun Salena Dua, Kecamatan Palu Barat, Sulawesi Tengah. Penembakan itu, menurut Kapolda Sulawesi Tengah Brigjend (Polisi) Drs. Badrodin Haiti, dilakukan karena Madi dan kawankawannya melakukan perlawanan. ”Madi terThe Wahid Institute
kasus-kasus bulan ini
Monthly Report on Religious Issues, Edisi IX, April 2008 ■
paksa ditembak karena melakukan perlawanan. Dia menyerang aparat dengan parang,” ungkap Badrodin Haiti. Namun Badrodin menolak memberikan rincian informasi lebih lanjut peristiwa itu. Polisi melarang wartawan mengambil gambar dari mayat-mayat tersebut dengan alasan masih mengumpulkan bukti dan keterangan. Madi buron sejak Oktober 2005 setelah dia bersama pengikutnya membunuh 3 personel polisi. Tiga personel yang tewas dalam penggerebekan ajaran yang digolongkan sesat itu adalah Kasat Samapta Polresta Palu AKP Fuad Chalis, Kasat Intelkam Polresta Palu Imam Haryadi dan Briptu Arwasy AH, Kanit Reskrim Polsekta Palu Barat. Kepolisian kemudian menangkap 13 pengikut Madi yang kemudian diadili di Pengadilan Negeri Palu. Masing-masing mereka mendapatkan hukuman antara 2-6 tahun penjara. Tuduhan Madi menyebarkan aliran sesat dikeluarkan Majelis Ulama Islam (MUI) Sulawesi Tengah. Keluarnya fatwa tersebut disusul dengan ramainya publikasi media massa tentang adanya sekelompok penganut ”ajaran sesat”, yang dianggap telah memicu terjadinya tindakan kekerasan dan ancaman terhadap masyarakat di Dusun Salena. Menteri Agama RI juga pernah memvonis Madi sebagai pesakitan, dengan menuduhnya sebagai penyebar ajaran sesat (Kompas, 27/10/05). Kepala Polri menuduh Madi melarang orang puasa dan shalat di masjid (Kompas Cyber Media, 27/10/05). Kedua sikap ini mewakili pandangan resmi pemerintah. Sebagian media massa dan masyarakat mengambil posisi yang kurang lebih sama. Dari pengumpulan informasi lapangan, sebagaimana dikemukakan Arianto Sangaji ketika menjabat Direktur Pelaksana Yayasan Tanah Merdeka Palu, (kompas, 29/10/05) menyatakan persoalan Madi merupakan ekses dari kombinasi antara ketidakadilan, kesalahpahaman, prasangka, stigmatisasi, dan kriminalisasi yang terjadi sistematis. Pertama, adanya stereotyping terhadap komunitas suku-suku tertentu. Berbagai komunitas yang tinggal di kaki dan lereng Gunung Kamalisi kerap dipanggil to lare (orang gunung) dalam konotasi negatif. Sebutan ini bermakna primitif karena pendidikan yang rendah, ketidakmampuan berbahasa Indonesia, masih mempraktikkan The Wahid Institute
ritus-ritus agama suku, berladang dengan pola tebang dan bakar yang berorientasi subsisten, agresi terhadap orang asing, dan sebagainya. Kedua, Madi dan penduduk yang tinggal di Kamalisi adalah potret ketidakadilan dan marginalisasi. Akses terhadap sumber daya alam, yang menjadi sandaran kehidupan, kian sempit sejak Orde Baru. Penetapan kawasan hutan lindung dan masuknya proyek perkebunan dan HPH menyebabkan akses tradisional mereka atas tanah dan hutan kian sempit. Puluhan proyek pemukiman kembali penduduk oleh pemerintah, yang kadang dilakukan secara paksa, menunjukkan bahwa penduduk di sana dipersepsikan sebagai ancaman. Ketiga, tidak adanya pemahaman antropo logis atau sosiologis terhadap ’ajaran’ Madi. Padahal, ajarannya tidak lebih dari cermin ritus yang biasa dilakukan para petani subsisten pra-kapitalis. Itu mencakup perdukunan, penolakan terhadap penyakit (movala ngata, memagari kampung), siklus aktivitas pertanian (pembukaan lahan, penanaman, dan panen), dan latihan bela diri bersandar kekuatan gaib. Di Kamalisi, sebagian ritus itu masih dipraktikkan dengan perbedaan tertentu oleh ber bagai komunitas di sana. Namun dalam kasus Madi, kemudian disimplifikasi sebagai ajaran sesat. Padahal, klaim sebagai ajaran sesat menggunakan kacamata agama resmi yang diakui pemerintah, yakni dengan menempatkan agama resmi itu vis a vis dengan ritus agama suku. Ini kemudian mengundang intervensi negara. Dalam kasus Madi, negara (aparat keamanan) terlampau jauh mengurusi soal kepercayaan. Dimulai dengan prasangka tentang ajaran sesatnya. Tewasnya tiga polisi semakin menjustifikasi bahwa kekerasan adalah bagian dari metode ajarannya. Karenanya, negara pa tut menertibkan. Vonis Menteri Agama, MUI dan Kepala Polri bukan hanya kriminalisasi, tetapi sekaligus menggambarkan sifat intervensionis negara. Arus yang sama juga berlangsung di masyarakat. Pemberitaan media yang bersandar pada argumentasi aparat keamanan dan pemerintah tanpa mengembangkan pemberitaan yang bersumber dari sisi Madi merupakan propaganda untuk mendiskreditkan dirinya. Penjarahan properti dan pembakaran terhadap sebagian rumah pengikut Madi di Dusun
kasus-kasus bulan ini
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi IX, April 2008
Salena oleh warga masyarakat pendatang seolah merupakan tindakan yang benar. Kasus Madi merupakan contoh tentang konflik di tengah masyarakat yang kerap bermuara pada kekerasan. Padahal, fenomena Madi cukup diperhatikan sebagai proses pembentukan kembali sebuah identitas berbasis
3. Empat Tahun Penjara untuk Rasul dari Gunung Bunder
S
kultural, sebagai reaksi terhadap ancaman modernitas. Madi seperti mengembangkan sebuah diskursus ’kembali ke adat’. Ia membentuk simbol-simbol baru adat-istiadat leluhurnya. Sayangnya, reaksi yang penuh prasangka telah mendatangkan kekerasan sehingga memakan korban jiwa tidak perlu. ■
etelah melalui masa persidangan yang cukup panjang, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (23/4/2008) menjatuhkan vonis penjara empat tahun untuk Abdussalam alias Ahmad Mosaddeq atas tutuhan melakukan penodaan terhadap agama Islam. Vonis ini sama dengan tuntutan jaksa penuntut umum. Dalam amar putusannya, Ketua Majelis Hakim Zahrul Rabain menyatakan terdakwa Ahmad Musaddeq telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan perbuatan penodaan agama yang diatur dalam pasal 156a KUHP. Karena itu majelis hakim menjatuhkan pidana penjara selama 4 tahun dikurangi masa tahanan. Putusan ini disambut beragam oleh para pengunjung yang memadati areal pengadilan. Seribuan massa pendukung Mosaddeq melantunkan Shalawat Badar sebagai bentuk penolakan terhadap keputusan hakim. Sementara ratusan massa FPI meneriakkan takbir sebagai tanda suka cita mereka mendengar putusan tersebut. Namun berbeda dengan tanggapan massamya, Ketua Bidang Pertahanan FPI Tubagus Muhammad Siddiq menyatakan tidak puas dengan putusan hakim. Ia menyatakan Mosaddeq seharusnya diberi hukuman yang lebih berat karena dia sudah menistakan agama. “Seharusnya dia dihukum mati, tapi karena kita negara hukum, ya kita hargai“ ujarnya (Detik.com 23/04/08). Sidang pembacaan amar putusan mendapat pengawalan ekstra ketat dari aparat kepolisian. Sedikitnya 191 personil gabungan dari Polda Metro Jaya, Polres Jakarta Selatan dan Polsek Pasar Minggu bersiaga, lengkap deng
an tameng antikerusuhan. ”Pengamanan diperketat karena takut terjadi keributan,” kata Wakapolsek Pasar Minggu AKP Bambang Sugeng. Para pengunjung yang hadir juga harus melewati pemeriksaan ketat petugas. Meski tidak menggunakan metal detektor, petugas melakukan check body kepada seluruh peng unjung yang masuk ke kompleks pengadilan. Halaman parkir juga disterilkan. Seluruh kendaraan diparkir di luar kompleks pengadilan (Okezone.com, 23/4/08). Langkah penga manan ini diambil polisi karena sejak pagi hari ratusan massa baik dari Front Persatuan Nasional (FPN) pendukung Mosaddeq maupun dari PFI telah memenuhi kompleks peng adilan. Di tengah pembacaan putusan, massa FPI tiba-tiba berteriak. Bahkan sempat terlibat aksi saling dorong anatara FPI dengan pendukung Mossadeq. Pendukung Mosaddeq kurang menggubris aksi provokatif dari anggota FPI. Mereka hanya bertahan dari dorongan para anggota FPI itu. Aksi ini sempat memancing hakim untuk menghentikan sementara jalannya sidang dan mengancam tidak akan melanjutkan sidang jika terus terjadi kericuhan. Akhirnya keributan dapat diatasi setelah belasan aparat kepolisian langsung masuk ke ruang sidang dan melerai kedua belah pihak. Vonis empat tahun untuk Rasul yang berasal dari Gunung Bunder Bogor ini bagi majelis hakim setimpal dengan berbagai penyimpangan yang dilakukannya terhadap ajaran Islam. Mosaddeq dianggap telah mengajak para pengikutnya untuk tidak menjalankan salat 5 waktu, puasa dan zakat. Ia juga membuat syahadat yang menyimpang. Meskipun yang bersangkutan telah menyatakan tobat dan The Wahid Institute
kasus-kasus bulan ini
Monthly Report on Religious Issues, Edisi IX, April 2008 ■
menyesal dari perbuatannya namun tidak bisa meringankan hukuman. ”Pertobatan yang dilakukan terdakwa tidak dapat menjadi alasan untuk meringankan hukuman terdakwa,” kata ketua Majelis. Namun tidak demikian menurut kuasa hukum Mosaddeq, M Tubagus. Menurutnya, hanya Tuhan yang boleh nilai pertobatan seseorang. “Memangnya dia itu Tuhan. Yang penting secara zahir, pertobatan itu benar disaksikan dan ditandatangani oleh unsur MUI dan kepolisian. Perkara tobat bagaimana itu urusan Allah bukan majelis hakim,” papar
Tubagus (Detik.com 23/04/08). Karena itu, dia mengaku sangat kecewa dengan putusan hakim, keputusan yang menurutnya mence derai demokrasi yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan setiap orang. Selain itu, pihak Mosaddeq menilai dalam jalannya persidangan kasus ini banyak terjadi ketidakadilan. Karena itu selain mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, mereka berencana mengadukan majelis hakim ke Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA) serta Komisi III DPR. ■
4. Semprit KPI untuk “Ki Joko Bodo” dan “Mamamia”
K
omisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada 10 April 2008, mengeluarkan surat teguran bernomor 174/K/KPI/04/08 kepada stasiun televisi (TV) yang menayangkan iklan paranormal Ki Joko Bodo. Iklan itu berisi layanan pesan pendek (SMS) dengan harga premium seputar supranatural yang diasuh paranormal itu. Bagi lembaga beranggotakan sembilan komisioner itu, iklan Ki Joko Bodo dianggap mengabaikan nilai-nilai agama lantaran menjanjikan dapat mengubah nasib seseorang. “KPI Pusat mengingatkan dalam pasal 36 ayat 6 UU Penyiaran 2002, dicantumkan bahwa isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia, atau merusak hubungan internasional,” demikian Siaran Pers KPI seperti dimuat dalam situs resmi mereka. Selain itu, iklan ini juga dinilai melabrak pasal 46 ayat 3 (d) yang menyebut jika siaran iklan niaga dilarang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dan nilai-nilai agama. Pria yang akrab menge nakan baju berwarna gelap ini mengaku pasrah dan tak akan mengajukan protes atas larangan itu. “Bagi saya dihentikan sama saja, nggak rugi tuh,” kata paranormal Ki Joko Bodo kepada detikcom, Jumat (11/4/2008). Ia juga mengaku jika dirinya memang bukan mahkluk beragama, “...tapi makhluk ber-Tuhan”. “Orang beragama bisa menjelekkan agama orang lain, kalau percaya kepada Tuhan satu tujuan pada The Wahid Institute
hakiki hidup,” katanya beralasan. Dua iklan serupa lain jauh lebih beruntung. KPI hanya meminta iklan layanan Dedi Corbuzier dan Mama Lauren dipindah jam tayang di atas pukul 22.00. Berbekal dua pasal serupa, lima hari setelah itu KPI kembali menerbitkan surat teguran untuk penyelanggara program variety show Mamamia Indosiar dan program-program serupa lain seperti StarDut dan Super Seleb Show lantaran menabrak waktu shalat Magrib. Teguran itu dikeluarkan setelah KPI mendapat masukan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU) dan masyarakat. Berdasarkan pemantauan KPI, programprogram ini dimulai sebelum waktu shalat Maghrib tiba. Indosiar, masih di surat itu, hanya memberi sedikit jeda waktu untuk adzan maghrib dan kemudian dilanjutkan hingga larut malam. “Selain mengganggu penonton di rumah, KPI pusat juga mendapatkan keluhan, di studio Indosiar tidak disediakan tempat shalat untuk penonton acara reality show tersebut,” kata Ketua KPI Pusat Sasa Djuarsa Sendjaja, dalam surat yang dilayangkan ke PBNU, (15/4/08). Kalaupun dipersiapkan tempat shalat, menurut KPI, pihak Indosiar tidak mungkin bisa menampung ratusan penonton yang hadir, sambil menyiapkan tempat berwudhu sekaligus. Pertanyaannya, bagaimana menentukan isi siaran dianggap merendahkan, melecehkan atau mengabaikan nilai-nilai agama? Siapa yang berwenang menetapkan itu? Bagaimana
kasus-kasus bulan ini
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi IX, April 2008
melihat banyaknya ragam perbedaan pandang an keagamaan dalam agama? Apakah sesuatu yang dianggap berbeda dari pandangan kea gamaan mayoritas bisa dianggap melecehkan atau mengabaikan agama dan karenanya dilarang disiarkan? Rentetan pertanyaan ini adalah pekerjaan rumah yang perlu dibenahi
5. Laskar Islam Bentrok dengan Warga
T
segera. Pandangan ini tak berarti menganggap bahwa tayangan supranatural yang kini meruyak itu “tak bermasalah”. Hanya saja untuk mengatasinya diperlukan langkah strategis yang justru tak menimbulkan masalah-masalah baru. ■
erjadi bentrokan berdarah antara anggota LUIS (Laskar Umat Islam) dengan warga di kampung Joyosuran, Semanggi, Pasar Kliwon, Senin (17/3/2008) malam. Bentrokan ini menimbulkan korban di pihak warga. Korban meninggal bernama Heri Yulianto alias Kipli, 35, warga Semanggi RT 5/ VIII sedangkan korban luka parah bernama Tri Joko, 25, warga Kepatihan Wetan, Jebres. Heri menderita luka parah di kepala bagian belakang dan mengeluarkan banyak darah. Bentrokan terjadi Senin (17/3) sekitar pukul 21.00 WIB di pertigaan Jalan Kapten Mulyadi dan Jalan Kahar Muzakir, Joyosuran. Saksi mata di lokasi mengungkapkan, sebelum bentrokan terjadi ada belasan pemuda yang menenggak minuman keras di pertigaan tersebut. Selang beberapa saat, dari arah utara (Jalan Kapten Mulyadi) muncul sekitar 100 orang dari kelompok laskar dengan berjalan kaki. Setiba di TKP, kelompok tersebut lang sung membubarkan belasan pemuda yang berpesta miras. Namun, upaya pembubaran itu mendapat perlawanan dari para pemuda. Mereka melawan dengan menggunakan bambu dan batu. Perkelahian tak seimbang pun tak terelakkan. Belasan pemuda itu terdesak karena kalah jumlah. Beberapa dari mereka menghubungi teman lainnya sehingga puluhan pemuda berdatangan dan ikut terlibat perkelahian dengan anggota laskar (Wawasan, 18/3/08). Pasukan Dalmas Poltabes Solo bersama Samapta dan Satreskrim yang tiba di lokasi berusaha melerai bentrokan. Para anggota laskar digiring masuk ke Masjid Muslimin yang berada di RW X. Warga yang menjadi korban, Heri dan Tri Joko segera dibawa ke RS Kustati. Polisi kemudian menutup jalan Kapten Mulyadi. Hal ini untuk mencegah tawuran
susulan. Para warga di sekitar TKP pun berjaga-jaga di depan rumah mereka. Sekitar pukul 23.30 WIB polisi bernegosiasi dengan para anggota laskar untuk dievakuasi, semula mereka menolak untuk dievakuasi, meski akhirnya bisa dibawa juga ke kepolisian. Kejadian itu adalah yang kedua kali di Kecamatan Pasar Kliwon. Anggota laskar itu juga pernah men-sweeping pemuda di Semanggi. Namun, saat itu tidak ada korban nyawa. Beberapa anggota laskar yang terkepung di tengah jembatan dievakuasi oleh polisi (Wawasan, 18/3/08). Selain mengamankan sedikitnya 117 anggota laskar, polisi juga menyita barang-barang bukti alat yang digunakan dalam tawuran itu. Sedikitnya, 90 pentungan besi dan kayu, 2 bilah pedang, puluhan ketapel, 3 ruyung, ratusan butir kelereng sebagai amunisi ketapel, dan 40 sepeda motor diamankan. Barang bukti ditemukan di sekitar lokasi bentrokan, di dalam masjid, dan perumahan sekitarnya. Pjs Kapoltabes Solo, Kombes Pol Drs A Syukrani SH memimpin langsung proses evakuasi laskar yang digiring ke masjid. Para laskar yang dibawa ke kepolisian kemudian diperiksa secara intensif di Satreskrim Poltabes Solo. Setelah dilakukan penyidikan, Kasat Reskrim Poltabes Solo, Kompol Syarif Rahman SIK, mengatakan sejumlah anggota laskar sudah mengaku turut memukuli korban. ”Sampai sekarang masih dikembangkan.” (Radar Solo, 19/3/08). Penyidik Poltabes Solo pun menetapkan tujuh tersangka yang diduga sebagai pelaku bentrok di Kelurahan Joyosuran, Solo, yang menewaskan Heri alias Kipli. Ketujuh anggota laskar yang ditetapkan sebagai tersangka itu bernama Joko Samiyo (31), Pondra Arief Prasetyo (24), Abdul Syaifullah (30), Heru The Wahid Institute
kasus-kasus bulan ini
Monthly Report on Religious Issues, Edisi IX, April 2008 ■
Supatmo (44), Sudarno (40), Sardiyanto (43), dan Hanung (23). Mereka yang kesemuanya warga Kampung Kusumadilagan itu kini berada dalam tahanan Poltabes Solo, sementara yang lain sudah dilepas dari Poltabes sejak Selasa (18/3/08) tengah malam. Pasca bentrokan berdarah yang menewaskan Heri Yulianto alias Kipli, suasana tegang menghiasi beberapa titik di Kota Solo. Salah satunya di Gedung Umat Islam (GUI) Kartopuran, Serengan, Solo. Puluhan anggota laskar terlihat stand by di gedung itu. Mereka khawatir, lantaran beredar selentingan adanya aksi balas dendam dari teman-teman Kipli kepada laskar. Namun sampai laporan ini dibuat (23/3/08), kekhawatiran laskar Islam itu tidak terbukti. Dari kalangan laskar yang menjadi tersangka peristiwa berdarah di Kusumodilagan itu bakal dibela 40 orang pengacara. Ke-40 pengacara itu berasal dari Jakarta dan Solo. Mereka tergabung dalam Tim Advokat Solo Peduli Damai. Tim itu dimotori oleh Anis Priya Anshari SH dan Ali Facrudin SH, dari Tim Pengacara Muslim (TPM) Jawa Tengah. Sementara dari kalangan warga, dibantu oleh tim advokasi dari FMSSHAK (Forum Masyarakat Solo Sadar Hukum dan Anti Kekerasan), yang di antaranya adalah Windu Winarso, Wahyu Theo, dan Budi Susilo, akan membentuk tim pencari fakta. Hasil kerja tim yang beranggotakan enam orang ini akan diserahkan ke polisi untuk ditindaklanjuti. ’’Kami harapkan kejadian ini merupakan kekerasan yang terakhir di Solo” (Radar Solo, 19/3/08). Ketua MMI Abu Bakar Ba’asyir menyempatkan diri untuk menjenguk anggota laskar yang menjadi tersangka (Radar Solo, 20/3/08). Di saat-saat sebelum Ba’asyir datang, Pjs Kapoltabes Solo Kombespol Ahmad Syukrani memilih pergi meninggalkan kantornya. Para perwira yang menerima kedatangan Ba’asyir adalah Kasat Samapta Kompol Sayid, Kasat Intel Kompol Jaka Wibawa, dan beberapa per wira pertama di Satintelkam. Untuk mendinginkan suasana, MUI Solo mempertemukan keluarga dua pihak yang terlibat bentrokan Rabu siang. Pertemuan itu melibatkan keluarga almarhum Heru Y. alias Kipli -korban tewas-, keluarga Tri Joko -korban terluka-, dan keluarga tujuh aktivis Islam tersangka pengeroyokan (Radar Solo, 3/4/08). The Wahid Institute
Dalam pertemuan itu, selain memberikan nasehat, Prof M. Sholeh Y.A. Ihrom, ketua MUI Solo, juga memberikan sumbangan berupa uang kepada kesepuluh pihak yang dia pertemukan. M. Sholeh menyebut, keputusan menggelar pertemuan itu merupakan bentuk kasih dan kepedulian sebagai sesama umat Islam. Terlebih lagi, kedua belah pihak yang bertikai ternyata sama-sama muslim. Selanjutnya Ketua MUI Solo ini, bersama Abu Bakar Ba’asyir dan tokoh sosial politik di Solo Moedrick Sangidoe diklaim koordinator tim pengacara ke tujuh tersangka Ali Fachrudin mengajukan penangguhan penahanan (Radar Solo, 8/4/08). ”Memang ada rencana mengajukan penangguhan penahanan. Ada beberapa alim ulama yang bersedia menjadi jaminan, terutama yang dari MUI. Selain itu, ada Ustad Abu Bakar Baasyir, Ustad Wahyudin (pengajar di Ponpes Al Mukmin Ngruki), Mudrick Sangidu, dan beberapa orang lainnya,” kata Ali di Pengadilan Negeri (PN) Solo. Mereka menjamin ketujuh tersangka tersangka yang saat ini ditahan polisi tidak bakal melarikan diri, juga tidak bakal mengulangi perbuatannya, jika berada di luar tahanan. Namun Kasat Reskrim Poltabes Solo Kompol Syarif Rahman SIK menyebut pengajuan penangguhan penahanan adalah hak para tersangka. Soal dikabulkan atau tidak, kata dia, itu sepenuhnya wewenang Kapoltabes. Bahkan Syarif mengatakan, tersangka kasus itu bertambah seorang. Dengan demikian ada delapan tersangka. Tujuh orang ditetapkan sejak sehari setelah bentrokan dan seorang lainnya sudah dikirimi surat panggilan. Tersangka baru tersebut yaitu Suprawoto Muhammad Salman Alfarizi warga Kecamatan Pasar Kliwon. Tersangka merupakan orang yang memiliki peran penting yakni sebagai penggerak massa hingga menyulut bentrokan, beberapa pekan lalu. Sepekan kemudian, Suprawoto dipanggil polisi untuk menjalani pemeriksaan di Mapoltabes Solo (14/4/08). Saat datang ke Mapoltabes Solo, Suprawoto yang merupakan Ketua Departemen Asykariyah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Solo didampingi pengurus MMI seperti Adi Basuki dan penasihat hukum Joko Trisnowidodo dan penasihat dari Tim Pengacara Muslim (TPM) (Solo Pos, 17/4/08).
kasus-kasus bulan ini
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi IX, April 2008
Dalam sangkaan polisi, Suprawoto diduga menjadi penggerak laskar sehingga terjadi bentrokan dengan puluhan pemuda. Bahkan, polisi akan menjeratnya dengan Pasal 338 KUHP jo Pasal 351 KUHP jo Pasal 170 KUHP jo Pasal 55 KUHP. ”Ada 35 pertanyaan yang diajukan. Dan kalau mengacu pada pemeriksaan kali ini, sebenarnya terlalu dini menetapkan dia sebagai tersangka,” kata Penasihat Hukum tersangka Joko Trisnowidodo SH (Solo Pos, 17/4/08). Tapi Joko menyanggah jika kliennya disangka menjadi penggerak, karena tidak ada perintah dari tersangka untuk penyerangan. Sedangkan penasihat hukum dari TPM Jawa Tengah, Ali Fahrudin SH mengatakan, tersangka tidak ditahan. ”Namun akan ada
pemeriksaan tambahan,” kata Ali. Dua hari setelah memeriksa Suprawoto, tujuh tersangka kasus bentrokan di Kusumodilagan, Joyosuran, Pasar Kliwon kembali dimintai keterangan penyidik Poltabes Solo, Rabu (16/4). Keterangan tujuh tersangka tersebut untuk dikonfrontasi dengan keterangan Suprawoto yang telah diperiksa Senin (14/3/08). Banyak kalangan menyesalkan terjadinya peristiwa ini. Begitu mudahnya nyawa seseorang dihilangkan akibat aksi kelompok-kelompok yang mengumbar kekerasan. Polisi ditunggu oleh warga di Solo untuk jelas mengungkapkan kasus ini dan berharap itu adalah kejadian terkahir dari kekerasan-kekerasan yang selama ini muncul. ■
6. Tak Shalat Jum’at, Dijemput Keranda Mayat
D
s. Cenggu Kec. Belo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, ditetapkan sebagai proyek percontohan penerapan Jum’at Khusu oleh pemerintah Kec. Belo. Bagi warga yang tidak menjalankan shalat Jum’at beberapa kali, akan dijemput dengan keranda mayat. Camat Belo, Sudirman, SE, mengatakan, sejak ditetapkannya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2002 tentang program Jum’at Khusu’, pemerintah Kec. Belo sudah merespons dengan membuat keputusan setiap desa wajib melaksanakan program itu. Dari delapan desa di Kec. Belo, Cenggu dinilai paling optimal menerapkan program itu. Bahkan, kata Sudirman, setahun setelah Perda ditetapkan, pemerintah Ds. Cenggu membuat peraturan untuk mengamankan Perda dengan mewajibkan setiap warga lakilaki untuk shalat Jum’at. Kesepakatan itu meli batkan semua elemen masyarakat, mulai dari ketua RT, ketua RW, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan Muspika. “Warga sepakat untuk menerapkan hu-
10
kum sosial bagi warga yang kedapatan tidak shalat Jum’at,” katanya di Cenggu, Sabtu (12/4/2008) lalu. Apa bentuk hukuman sosial yang diterapkan bagi laki-laki yang tidak shalat Jum’at? Dijelaskan Sudirman, setiap Jum’at warga didata oleh masing-masing ketua RT untuk diingatkan agar shalat Jum’at. Bagi warga yang tidak shalat, tidak akan dibantu pendanaan ketika mengadakan hajatan atau kegiatan lainnya. Bahkan, katanya, warga yang tidak melaksanakan shalat Jum’at hingga tiga atau empat kali akan dijemput dan diarak keliling desa dengan keranda mayat. Hukuman sosial yang disepakati itu sangat efektif, sehingga tidak ada warga yang abai melaksanakan shalat Jum’at. Meski hukuman sosial tersebut telah lama diterapkan, namun hingga saat ini belum ada warga yang kedapatan tidak shalat Jum’at. “Biasanya, pemerintah desa setempat memanfaatkan kaum perempuan untuk mendata kaum lelaki yang tidak shalat Jum’at,” katanya. (www. sumbawanews.com, Senin, 14 April 08). ■
The Wahid Institute
Monthly Report on Religious Issues, Edisi IX, April 2008 ■
Analisis 1. Keputusan Bakor Pakem yang me rekomendasikan kepada pemerintah untuk mengeluarkan SKB 2 menteri dan kejakgung dan melarang aktivitas Ahmadiyah sebenarnya tidak terlalu mengagetkan. Sejak kasus Ahmadiyah mencuat pada 2005, pemerintah, mulai dari tingkat pusat sampai daerah, tidak pernah terlihat serius untuk melindungi korban. Pola penanganan standar yang selalu dilakukan bila ada kekerasan terhadap komunitas Ahmadiyah di berbagai tempat adalah merelokasi dan mengungsikan warga Ahmadiyah. Sementara pihak-pihak yang melakukan kekerasan, bahkan mengeluarkan ancaman pembunuhan dan menghalalkan darah orang Ahmadiyah, dibiarkan oleh aparat. Nyaris tidak ada tindakan hukum yang berarti bagi mereka yang mengobarkan api kekerasan terhadap Ahmadiyah. Bahkan, warga Ahmadiyah NTB yang hingga kini tinggal di pengungsian karena diusir dari kampung halamannya, tidak pernah menjadi perhatian serius. Sejak awal bisa diduga, pemerintah akan memilih ’mengorbankan’ Ahmadiyah daripada berhadapan dengan sekelompok massa Islam yang terus menerus menekan pemerintah. Memilih langkah ini dipandang mempunyai resiko politik dalam negeri paling kecil, meskipun di dunia internasional Indonesia akan disorot keseriusannya dalam melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan. Hal ini justru menunjukkan kalau pemerintah tidak serius dalam menegakkan konstitusi dan menjamin hak dasar warganya. Jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan begitu jelas dalam konstitusi kita, pasal 28e, 29 (2) UUD 1945. Demikian juga dalam pasal 22 UU No. 39 tahun 1999, pasal 18 UU No. 12 tahun 2005. The Wahid Institute
2. Kasus Madi merupakan cermin dari ketegangan soal kepercayaan di Indonesia. Perdebatan tentang sinkretisme, agama-agama resmi yang diakui peme rintah, hubungan antar-umat beragama, perbedaan penafsiran terhadap ajaranajaran agama tertentu adalah soal-soal yang belum selesai di negeri ini. Masih sering terjadi, di dalam masyarakat, perbedaan penafsiran terhadap agama dan kepercayaan bukan dilihat sebagai konsekuensi masyarakat plural, tetapi justru menjadi sumber kekerasan. Kekerasan etno-religius yang marak terjadi pascareformasi 1998 di berbagai tempat di Indonesia adalah contoh buruk. Di sisi lain, perbedaan penafsiran tentang kepercayaan dimanipulasi atau dieksploitasi menjadi kekerasan bukan karena kepercayaan itu sendiri, tetapi oleh motif-motif di luarnya. Banyak kasus kekerasan atas nama kepercayaan adalah kulitnya saja. Di balik itu, ada perebutan sumber daya politik dan ekonomi. Perspektif ini sebenarnya juga bisa digunakan untuk melihat kasus LUIS di Surakarta. 3. Kasus-kasus penodaan agama agaknya akan semakin banyak. Pasal 156a KUHP yang layak dihapus karena bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28 ayat 1 akan semakin sering digunakan untuk mengadili orang atau kelompok yang dianggap sesat. Pemerintah tampaknya lebih takut terhadap kelompok radikal yang menuntut pelarangan Ahmadiyah ketimbang melindungi warganegara. Karena itu, penggunaan pasal ini secara sewenang-wenang hanya untuk memenuhi selera massa justru akan menjadi ancaman bagi bangsa Indonesia ke depan. ■
11
Rekomendasi Tidak henti-hentinya MRORI ini mengingatkan pemerintah untuk berpegang teguh pada konstitusi yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Siapapun yang melanggar prinsip ini, apalagi deng an kekerasan, pemerintah harus berani tegas menindak mereka. Perlindungan terhadap warga negara adalah ’harga mati’ bagi pemerintah. Mengabaikan hal ini sama artinya pemerintah mengingkari fungsinya. Andai Ahmadiyah dibubarkan, ada beberapa hal yang perlu direnungkan. a. Keputusan ini semakin menunjukkan, dalam penegakan konstitusi dan perlindungan kebebasan beragama pemerintah Indonesia telah disandera oleh kekuatan massa dan kelompok radikal. Pemerintah lebih tunduk pada tekanan massa daripada teguh menegakkan konstitusi. Jika ini terjadi bisa menjadi pintu masuk untuk melakukan impeachment kepada presiden; b. jika Ahmadiyah dibubarkan dan tidak ada jaminan untuk tetap memeluk keyakinannya, warga Ahmadiyah bisa mulai memikirkan kemungkinan mencari suaka politik ke negara lain sebagaimana pernah akan dilakukan beberapa warga Ahmadiyah NTB; c. Sebenarnya ada ancaman yang lebih serius, yaitu ideologi trans-nasional yang nyata-nyata mengancam NKRI dan mendeklarasikan mengharamkan demokrasi yang menjadi fondasi eksistensi Indonesia. Anehnya, kelompok-kelompok ini justru dibiarkan pemerintah dan bahkan dibiayai pemerintah melalui MUI dan tidak dianggap sebagai ancaman. ■
Nur Kholik Ridwan (Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta), Alamsyah M Dja’far, Subhi Azhari, Nurul Huda Maarif, Rumadi (Jakarta)