HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Gen GH exon 3 pada kambing PE, Saanen, dan PESA (Persilangan PE dan Saanen) berhasil diamplifikasi menggunakan metode PCR (Polymerase Chain Reaction). Panjang fragmen gen GH berukuran 2544 bp (GenBank Kode Akses D00476). Hasil amplifikasi gen GH exon 3 pada kambing adalah berukuran 157 bp. Proses amplifikasi gen GH exon 3 menggunakan pasangan primer Malveiro et al. (2001). Proses amplifikasi sangat dipengaruhi kondisi penempelan primer pada DNA target, bahan pereaksi PCR dan kondisi mesin thermal cycler. Gambar 5 memperlihatkan hasil amplifikasi gen GH exon 3 kambing. M 300 bp
1
2
3
4
5
6
7
8
9 (-)
200 bp 157 bp 100 bp (+) Gambar 6. Hasil Amplifikasi Gen GH Exon 3 Melalui Teknik PCR pada Gel Poliakrilamida 6% (M : marker 100 bp DNA) Keberhasilan amplifikasi gen GH exon 3 dapat ditentukan oleh penempelan primer. Suhu yang digunakan agar primer dapat menempel pada fragment DNA target 60 0C. Suhu penempelan primer (annealing) sesuai dengan suhu yang digunakan dalam penelitian Malveiro et al. (2001). Suhu annealing menjadi penting dalam proses amplifikasi, hal ini dikarenakan proses penggandaan DNA baru dimulai dari primer. Suhu annealing adalah suhu yang membuat pasangan primer menempel dengan pasangan (komplemen) pada fragmen DNA target pada saat proses PCR dilakukan. Keberhasilan amplifikasi gen GH sebesar 98,29 % atau sebanyak 230 sampel yang berhasil diamplifikasi dari total 234 sampel. Kegagalan amplifikasi DNA dapat dikarenakan penempelan primer tidak secara tepat sehingga perbanyakan secara in vitro tidak terjadi dan metode ekstraksi yang digunakan tidak optimal sehingga masih ditemukan materi pengotor (Agung, 2009). Tingkat keberhasilan amplifikasi DNA 17
ditentukan oleh konsentrasi sampel DNA, taq polymerase, dinukleotida, ion Mg, bufer dan primer (Muladno, 2002). Pendeteksian Keragaman Gen GH Hasil pendeteksian keragaman GH exon 3 kambing melalui teknik PCRSSCP dan gambaran dari diagram elektroforesis (zymogram) dari masing-masing genotipe kambing dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8. 1
2
3
4
5
6
7
8 (-)
pita target
(+) AB
BC
AA
AB
AB
AA
AB
AC
Gambar 7. Hasil Visualisasi Pita Gen GH Exon 3 Kambing Melalui Teknik PCRSSCP pada Gel Poliakrilamida 12 %.
AA
CC
BB
AB
AC
BC
Gambar 8. Diagram Elektroforesis (Zymogram) Pita Gen GH Exon 3 Pendeteksian keragaman gen GH exon 3 dilakukan menggunakan teknik polymerase chain reaction single-strand conformation polymorphism (PCR-SSCP). Asumsi yang mendasari teknik SSCP adalah bahwa perubahan yang terjadi pada 18
nukleotida akan mempengaruhi bentuk (conformation) dari fragmen DNA untai tunggal (Bastos et al., 2001). Hasil pendekteksian ditemukan empat macam genotipe yaitu genotipe AA, AB, AC dan BC. Munculnya empat macam genotipe dibedakan berdasarkan jumlah pita yang muncul pada gel poliakrilamida 12%. Penentuan keempat macam genotipe didasarkan pada Malveiro et al. (2001). Genotipe AA merupakan genotipe homozigot yang muncul dua pita. Genotipe AB terbentuk karena dua genotipe homozigot (genotipe AA dan BB) bergabung menjadi heterozigot (muncul empat pita). Genotipe AC terbentuk karena dua genotipe homozigot (genotipe AA dan CC) yang bergabung menjadi heterozigot (muncul tiga pita). Genotipe CC tidak muncul dalam gel poliakrilamida 12% tetapi diasumsikan berdasarkan Malveiro et al. (2001) bahwa genotipe CC adalah satu pita. Genotipe BC terbentuk karena dua genotipe homozigot (genotipe BB dan CC) bergabung menjadi heterozigot (muncul tiga pita). Genotipe BB tidak muncul dalam gel sehingga genotipe ini diasumsikan dua pita sesuai dengan Malveiro et al. (2001). Menurut Bastos et al. (2001) jumlah maksimum pita yang muncul dari satu individu diploid adalah empat pita. Hasil visualisasi pada semua sampel DNA menunjukkan jumlah pita yang muncul yaitu dua, tiga dan empat pita. Penemuan empat macam genotipe dapat dihasilkan tiga macam alel yaitu alel A, B dan C. Pendeteksian keragaman gen GH exon 3 yang ditemukan, didukung oleh Malveiro et al. (2001) yang menemukan dua macam genotipe homozigot (AA dan BB) dan dua pola genotipe heterozigot (AB dan BC) pada gen GH exon 3 dari 108 kambing Algarvia. Hasil pendeteksian yang dilakukan pada penelitian, ditemukan genotipe AC yang bersifat heterozigot dimana genotipe ini tidak ditemukan pada penelitian Malveiro et al. (2001). Genotipe AC diduga dapat mempengaruhi produksi susu kambing. Frekuensi Genotipe dan Alel Hasil analisis frekuensi genotipe pada fragmen gen GH exon 3 pada kambing PE, Saanen dan PESA disajikan pada Tabel 2. Kambing PE, Saanen dan PESA memiliki frekuensi genotipe AB tinggi di tiga lokasi yaitu Ciapus, Sukabumi dan Cariu.
19
Tabel 2. Frekuensi Genotipe Gen GH Exon 3 pada Kambing PE, Saanen dan PESA Bangsa Kambing
PE
Lokasi
AA
AB
AC
BC
Ciapus (n= 20)
0,000
0,900
0,000
0,100
Cariu (n= 28)
0,107
0,821
0,036
0,036
Sukajaya (n= 50)
0,061
0,857
0,082
0,000
0,062
0,856
0,052
0,031
Cijeruk (n= 21)
0,190
0,762
0,000
0,048
Cariu (n=31)
0,194
0,613
0,161
0,032
Sukabumi (n= 40)
0,054
0,784
0,108
0,054
0,135
0,719
0,101
0,045
Cariu (n= 25)
0,360
0,560
0,080
0,000
Balitnak (n= 19) Total (n= 44)
0,000
0,789
0,211
0,000
0,205
0,659
0,136
0,000
Total (n= 98)
Saanen
Total (n= 92) PESA
Genotipe
Keterangan : n = jumlah individu Hasil frekuensi genotipe pada bangsa kambing PE memiliki genotipe AB (0,856) tinggi, sedangkan genotipe AA (0,062), AC (0,052), dan BC (0,031) rendah. Pada bangsa kambing Saanen frekuensi AB (0,719) tinggi juga, kemudian AA (0,135), AC (0,101) dan BC (0,045) rendah. Hal yang sama terjadi pada kambing PESA, frekuensi genotipe AB (0,659) tinggi sedangkan genotipe AA (0,205), AC (0,136) rendah dan genotipe BC (0,000) tidak ditemukan. Hasil frekuensi genotipe pada ketiga bangsa kambing memiliki genotipe tertinggi yaitu AB. Hal ini dikarenakan genotipe AB merupakan pola pita yang dominan muncul pada gel poliakrilamida. Hasil penelitian ini berbeda dengan yang didapatkan oleh Malveiro et al. (2001) yang melaporkan frekuensi genotipe tertinggi pada genotipe BC (0,398), BB (0,333), AB (0,185) dan AA (0,083 ). Perbedaan frekuensi genotipe fragmen GH exon 3 antara kambing PE, Saanen, dan PESA disebabkan oleh perbedaan bangsa ternak. Frekuensi alel adalah frekuensi relatif dari suatu alel dalam populasi atau jumlah suatu alel terhadap total alel yang terdapat dalam suatu populasi (Nei dan Kumar, 2000). Hasil frekuensi alel gen GH dapat dilihat pada Tabel 3.
20
Tabel 3. Frekuensi Alel Gen GH Exon 3 pada Kambing PE, Saanen dan PESA Bangsa Kambing
PE
Lokasi
A
B
C
Ciapus (n= 20)
0,450
0,500
0,050
Cariu (n= 28)
0,536
0,429
0,036
Sukajaya (n= 50)
0,531
0,429
0,041
0,515
0,443
0,041
Cijeruk (n= 21)
0,571
0,405
0,024
Cariu (n=31)
0,581
0,323
0,097
Sukabumi (n= 40)
0,500
0,419
0,081
0,545
0,382
0,073
0,680
0,280
0,040
0,500
0,395
0,105
0,602
0,330
0,068
Total (n= 98)
Saanen
Total (n= 92) PESA
Alel
Cariu (n= 25) Balitnak (n= 19) Total (n= 44)
Keterangan : n = jumlah individu Pada kambing PE adalah alel A dan B tinggi. Frekuensi alel A sebesar 0,531 dan alel B sebesar 0,443. Frekuensi alel pada bangsa kambing Saanen memiliki alel A dan B tinggi. Frekuensi alel A dan B sebesar 0,545 dan 0,382. Frekuensi alel pada kambing PESA yaitu alel A dan B tinggi sebesar 0,602 dan 0,330. Sedangkan frekuensi alel C pada ketiga bangsa kambing dihasilkan alel yang rendah. Perbedaan frekeunsi alel dan genotipe disebabkan oleh bangsa ternak. Hasil frekuensi genotipe (Tabel 2) dan alel (Tabel 3) fragmen gen GH exon 3. Frekuensi genotipe pada ketiga bangsa kambing menunjukkan bahwa genotipe AB lebih tinggi dibandingkan genotipe yang lain. Sedangkan frekuensi alel ketiga bangsa kambing yang menunjukkan bahwa alel A dan B memberikan distribusi yang sama. Sehingga hasil frekuensi genotipe dan alel ketiga bangsa kambing pada lokasi berbeda memberikan keragaman (polimorfisme) yang tinggi. Polimorfisme tinggi jika dalam suatu populasi ditemukannya dua atau lebih alel (frekuensi alel atau lebih dari 0,01) (Nei dan Kumar, 2000). Hal ini didukung oleh Falconer and Mackay (1996) menyatakan bahwa sebuah lokus polimorfik ditandai dengan salah satu frekuensi alel kurang dari 0,99.
21
Nilai Heterozigositas Derajat heterozigositas merupakan rataan persentase lokus heterozigositas tiap individu atau rataan persentase individu heterozigot dalam populasi. Nilai heterozigositas merupakan cara yang paling tepat untuk mengukur keragaman genetik suatu populasi (Nei, 1987). Nilai heterozigositas pengamatan pada fragmen gen GH exon 3 kambing PE, Saanen dan PESA disajikan pada Tabel 4. Hasil analisis menunjukkan nilai heterozigositas pengamatan tertinggi pada kambing PE di lokasi Ciapus, Cariu dan Sukajaya merupakan nilai heterozigositas yang tinggi sebesar 1,000; 0,893; 0,939. Lokasi Cariu memiliki nilai heterozigositas tertinggi sebesar 1,000. Artinya di populasi sebanyak 20 individu memiliki genotipe heterozigot 100%. Nilai heterozigotas pada kambing Saanen di lokasi Cijeruk, Cariu dan Sukabumi memiliki nilai yang tinggi sebesar 0,810; 0,806; 0,946. Nilai heterozigotas pada kambing PESA di populasi Cariu dan Balitnak memiliki nilai sebesar 0,640 dan 1,000. Nilai heterozigositas sebesar 1,000 pada populasi Sukabumi artinya dalam populasi sebanyak 19 sampel memiliki genotipe heterozigot 100%. Nilai heterozigositas dipengaruhi oleh jumlah sampel yang terbatas, jumlah alel, dan frekuensi alel. Nilai Heterozigositas yang tinggi (1,000) menandakan bahwa genotipe AB dominan terhadap genotipe yang lain pada suatu lokasi. Tabel 4. Nilai Heterozigositas Pengamatan pada Fragmen Gen GH Bangsa Kambing
PE
Lokasi Ciapus (n= 20)
1,000
Cariu (n= 28)
0,893
Sukajaya (n= 50)
0,939
Total (n= 98)
Saanen
0,938
Cijeruk (n= 21)
0,810
Cariu (n= 31)
0,806
Sukabumi (n= 37)
0,946
Total (n= 92) PESA
Heterozigositas
0,865
Cariu (n= 25)
0,640
Balitnak (n= 19)
1,000
Total (n= 44)
0,795 22
Hasil analisis nilai heterosigositas pengamatan (Tabel 4) menunjukkan bahwa ketiga bangsa kambing memiliki keragaman yang tinggi. Hal ini ditandai dengan nilai heterozigositas yang tinggi pada kambing PE (0,938), kambing Saanen (0,865) dan kambing PESA (0,795). Semakin tinggi derajat heterozigositas suatu populasi maka daya tahan hidup populasi tersebut akan semakin tinggi seiring dengan menurunnya derajat heterozigositas akibat silang dalam dan fragmentasi populasi maka sebagian besar alel resesif yang bersifat letal akan semakin meningkat frekuensi (Avise, 1994). Nilai heterozigositas pengamatan dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menduga nilai koefisien biak dalam (inbreeding) pada suatu kelompok ternak (Hartl dan Clark, 1997). Nilai heterozigositas memiliki peranan penting untuk mengetahui tingkat polimorfisme suatu alel serta prospek populasi di masa yang akan datang (Falconer and Mackay, 1996). Keragaman gen ternak kambing perah dapat dimanfaatkan untuk sifat produksi. Pemanfaatan dengan menghubungkan keragaman gen GH dengan sifat produksi susu dan pertumbuhan bobot badan ternak kambing pada lingkungan yang sama. Marques et al. (2003) melaporkan bahwa sampel DNA kambing Serrana yang dianalisis dengan teknik PCR-SSCP memiliki perbandingan yang tinggi pada polimorfisme genetik terutama gen GH. Dua bentuk konformasi dideteksi pada exon 1 dan 2, enam pola pada exon 3, sepuluh pola pada exon 4 dan lima pola pada exon 5. Genotipe AB pada exon 2 dan 4 memiliki potensi produksi susu tinggi. Genotipe AB pada exon 1 dan genotipe BB pada exon 2 memiliki persentase protein susu yang tinggi sehingga gen GH digunakan sebagai Marker Assisted Selection (MAS). Hua (2009) melaporkan keragaman haploid gen GH│HaeIII pada kambing Boer berpengaruh terhadap bobot lahir, bobot sapih, pertambahan bobot badan per hari sebelum sapih dan bobot pada umur 11 bulan. Menurut Malveiro et al. (2001) melaporkan bahwa ada keragaman gen GH kambing Algarvia melalui polimorfisme SSCP didapatkan dua bentuk konformasi pada exon 1 dan 2, empat pola pada exon 3, enam pola pada exon 4 dan lima pola pada exon 5. Genotipe FF pada exon 4 dan genotipe AA pada exon 5 gen GH ternak kambing Algarvia memiliki produksi susu tertinggi.
23