28
HASIL DAN PEMBAHASAN Dipilihnya desa Tanjung, Jati, Pada Mulya, Parigi Mulya dan Wanasari di Kecamatan Cipunegara pada penelitian ini karena daerah ini memiliki banyak peternakan unggas sektor 1 dan 2 yang dikelilingi oleh pemukiman penduduk yang memelihara unggas.
Dikelima desa tersebut
terdapat berbagai tipe
pemeliharaan unggas yaitu unggas backyard (sektor 4), ayam ras pedaging komersial skala kecil (sektor 3), tempat penampungan unggas/ tempat pemotongan unggas serta penggembalaan bebek berpindah (Eko 2003 & Syafrison 2011). Tingkat biosecurity pada peternakan sektor 3 dan sektor 4 masih sangat rendah. Sistem biosecurity yang rendah merupakan sistem yang tidak melakukan kontrol terhadap lalu lintas orang, vaksinasi, pencatatan riwayat flock, pencucian kandang, pakan, air, limbah (sisa-sisa) produksi dan ayam mati. Semakin buruk kondisi lingkungan dan manajemen kandang maka periode inkubasi Mycoplasma akan berlangsung lebih cepat (Poultry Disease Network 2011). Menurut Bradbury (2006) Mycoplasma gallisepticum dapat bertahan dengan sangat baik pada bulu unggas, rambut manusia dan pakaian berbahan katun. Dengan sistem biosecurity yang sangat rendah pada sektor 3 dan 4 memungkinkan terjadinya interaksi penyakit antar kelompok unggas dengan sangat cepat. Selain itu, jika penyakit benar-benar telah berada di lingkungan peternakan sektor 4, unggas yang terinfeksi dikhawatirkan akan menjadi sumber penularan bagi unggas lain di peternakan sektor 4 maupun unggas di peternakan sektor lainnya. Hasil pengujian terhadap sampel serum yang diperoleh menunjukkan bahwa prevalensi serologis Mycoplasma gallisepticum pada bebek di Kabupaten Subang cukup rendah, yaitu hanya 2 sampel yang menunjukkan positif mengandung antibodi terhadap Mycoplasma gallisepticum dari 145 sampel yang diperoleh. Berdasarkan sebaran nilai prevalensinya hanya 2 desa yang menunjukan adanya sampel positif yaitu desa Pada Mulya (1 sampel) dan Parigi Mulya (1 sampel). Berdasarkan data tersebut maka prevalensi Mycoplasma gallisepticum pada bebek adalah 1.4%. (Tabel 1).
29
Tabel 1 Hasil pengujian prevalensi serologis Mycoplasma gallisepticum Nama Desa
Positif
Negatif
Tanjung Jati Pada Mulya Parigi Mulya Wanasari
Jumlah Sampel 59 29 7 28 22
59 29 6 27 22
Persentase Positif (%) 0 0 14.3 3.6 0
Persentase Negatif(%) 100 100 85.7 96.4 100
0 0 1 1 0
Total
145
2
143
1.4
98.6
Jumlah sampel yang diambil dari tiap desa berbeda-beda tergantung dari populasi bebek yang ada di masing-masing desa. Desa yang memiliki tingkat prevalensi paling tinggi yaitu desa Parigi Mulya yaitu sebesar 14.3% dan diikuti oleh desa Pada Mulya yaitu sebesar 3.6%. Desa Tanjung, Jati dan Wanasari memiliki tingkat prevalensi yang sangat rendah karena tidak ditemukan adanya sampel positif di desa tersebut (prevalensi 0%). Prevalensi serologis Mycoplasma gallisepticum pada bebek jauh lebih rendah dibandingkan ayam kampung. Hasil penelitian Juniwati (2011) tentang mikoplasmosis di Kecamatan Cipunegara pada ayam kampung menunjukan nilai seroprevalensi sebesar 28.52% atau 83 sampel dari 291 sampel yang diperiksa yang didapat dari desa Tanjung, Jati, Pada Mulya, Parigi Mulya dan Wanasari.
Gambar 3. Peta kecamatan Cipunegara (Syafrison 2011)
30
Rendahnya prevalensi mycoplasmosis pada bebek dibandingkan ayam kampung tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti genetik, cara pemeliharaan dan keberadaan agen dilingkungan. Secara genetik, inang alami Mycoplasma gallisepticum adalah ayam dan kalkun, meskipun Mycoplasma gallisepticum pernah dilaporkan dapat juga diisolasi dari bebek, namun hal itu jarang terjadi.
Adanya perbedaan struktur silia mukosa ayam dengan bebek
menyebabkan adanya perbedaan reseptor yang merupakan tempat penempelan Mycoplasma pada saat menginfeksi inangnya.
Bebek memiliki reseptor
Mycoplasma pada mukosa dengan jumlah yang sedikit dibandingkan ayam (Rottem 2003). Hal ini menyebabkan bebek jarang terkena infeksi Mycoplasma, sehingga prevalensi yang di dapat dalam penelitian ini rendah. Cara pemeliharaan bebek gembalaan berbeda dengan ayam kampung maupun ayam komersial. Pemeliharaan pada ayam komersial sangat berpotensi sekali untuk mengalami stres. Kondisi ini rentan terhadap infeksi Mycoplasma, menurut Ensminger (1992) hewan yang mengalami stres akan memperlihatkan gejala klinis yang lebih jelas pada penderita mikoplasmosis. Cara pemeliharaan ayam komersial dilakukan pemberian pakan secara intensif. Pemberian pakan pada peternakan komersial yang telah bertransportasi memungkinkan pakan terkontaminasi Mycoplasma sehingga memungkinkan mengalami mikoplasmosis. Bebek gembalaan dipelihara pada kondisi kandang yang tidak permanen sehingga dapat bebas mengekspresikan behavior selama proses angon maka tingkat stress bebek lebih rendah. Rendahnya tingkat stres menyebabkan bebek tidak terlalu rentan terinfeksi Mycoplasma dibandingkan unggas komersial. Pola beternak bebek dengan sistem penggembalaan berpindah-pindah, yang mengikuti musim panen padi memungkinkan terjadinya penularan antara ayam kampung dengan bebek yang ada di Kecamatan Cipunegara. Pada saat musim hujan dan suhu yang lembab serta didukung dengan pemeliharaan yang tidak intensif dapat mempercepat penularan dari Mycoplasma gallisepticum (Rasyaf 1983). Bebek di Kecamatan Cipunegara tidak pernah mendapatkan vaksinasi Mycoplasma gallisepticum artinya antibodi Mycoplasma gallisepticum yang terdeteksi merupakan akibat paparan patogen yang ada di lingkungan. Adanya
31
antibodi terhadap Mycoplasma gallisepticum pada bebek dipengaruhi oleh beberapa faktor baik secara horizontal maupun vertikal.
Penyebaran secara
horizontal dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Unggas yang terinfeksi dapat menjadi sumber penyebaran penyakit dalam suatu kelompok melalui kontak langsung, hasil dari exhalasi, batuk, atau bersin.
Tingkat
penyebaran juga tergantung dari beberapa faktor seperti kepadatan kandang, jumlah mikroba, dan kepekaan individu terhadap strain Mycoplasma tersebut. Bakteri ini tidak selalu menyerang unggas yang berdekatan kandang, bahkan dinding kandang kemungkinan dapat bertindak sebagai barier pertahanan terhadap transmisi (Jordan 2006). Penyebaran tidak langsung dapat terjadi melalui pekerja dan peralatan kandang yang terkontaminasi dan memungkinkan terjadinya penyebaran dari satu kelompok unggas ke kelompok unggas lainnya (CFSPH 2007). Penggunaan vaksin aktif Mycoplasma gallisepticum di Belanda memiliki pengaruh terhadap unggas-unggas lain disekitarnya. Berdasarkan hasil penelitian Feberwee (2006) penggunaan vaksin aktif Mycoplasma gallisepticum pada 20 ekor ayam petelur dapat berdampak pada 19 ekor ayam petelur yang tidak divaksin terinfeksi oleh Mycoplasma gallisepticum.
Faktor lain yang
menyebabkan adanya antibodi terhadap Mycoplasma gallisepticum pada bebek di Kecamatan Cipunegara adalah lingkungan.
Tingginya kadar ammonia,
banyaknya debu, rendahnya kadar nutrisi, immunosuppressive dan tingkat stres yang tinggi berperan penting dalam penyebaran penyakit mikoplasmosis (Bradbury 2006). Antibodi yang muncul akibat paparan Mycoplasma gallisepticum pada bebek merupakan protein-protein yang terbentuk sebagai respon terhadap antigen yang masuk ke tubuh, yang bereaksi secara spesifik dengan antigen Mycoplasma gallisepticum.
Konfigurasi yang terjadi antar molekul antigen-antibodi yang
muncul sebagai respon terhadap suatu antigen tertentu saja yang cocok dengan permukaan antigen itu sekaligus bereaksi dengannya. Penelitian ini menunjukan bahwa bebek di Kecamatan Cipunegara lebih resisten dibandingkan ayam kampung hal ini ditunjukkan dengan prevalensi yang rendah. Kemungkinan lain adalah bahwa bebek telah membiasakan hidup di dalam kondisi sanitasi yang
32
buruk dalam jangka waktu yang lama sehingga membentuk sistem kekebalan alamiah dengan sendirinya. Sistem kekebalan alami sudah ada sejak hewan lahir dan terdiri atas berbagai macam pertahanan non-spesifik. Sistem kekebalan alami pada bebek terbentuk setelah hewan terpapar oleh penyakit mikoplasmosis yang merangsang sitem kerja dari sel limfosit B memori untuk mengingat agar pertahanan tubuh lebih kuat.
Proses seperti ini biasa disebut dengan proses
adaptasi (Ensminger et al. 2004). Bebek dapat hidup dengan berbagai macam kondisi alam yang ekstrim, sehingga bebek terbebas dari penyakit-penyakit unggas seperti leukosis, Marek dan Infectious bronchitis (Ensminger et al. 2004). Infeksi Mycoplasma gallisepticum pada bebek di daerah Subang memiliki pathogenisitas yang rendah.
Penelitian ini memiliki hasil yang sama dengan
penelitian yang pernah dilakukan oleh Soeripto (1988). Pada penelitian tersebut telah diuji sebanyak 117 serum bebek Tegal dari 4 daerah di Jawa Barat dan 2 daerah di Jawa Tengah, hasil pengujian menunjukkan bahwa dideteksi keberadaan antibodi terhadap Mycoplasma gallisepticum dari Indramayu sebanyak 17.4% sampel serum, Sumedang 7.7% sampel serum dan 4.1 % sampel serum dari Cirebon.
Serum bebek dari
Karawang, Tegal
dan Semarang tidak
memperlihatkan aglutinasi terhadap antigen Mycoplasma gallisepticum.
Pada
penelitian tersebut Soeripto juga berhasil mengisolasi bakteri Mycoplasma tersebut adalah galur Mycoplasma gallisepticum dari sampel organ seekor bebek Tegal yang mati akibat pasteurellosis. Menurut Soeripto (1988) isolasi galur Mycoplasma
gallisepticum
dan
adanya
antibodi
terhadap
Mycoplasma
gallisepticum pada bebek Tegal secara alami belum pernah dilaporkan di Indonesia. Penelitian lain tentang mikoplasmosis di Indonesia yaitu survei infeksi bakteri Mycoplasma synoviae pada kalkun, angsa, entok dan bebek di kabupaten Sleman dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian yang dilakukan oleh Amanu & Sunuwihadi (2005) menunjukan bahwa sebanyak 40 sampel sera bebek dari kabupaten Sleman yang diambil pada periode tahun 2003, 13 sampel diantaranya memberikan reaksi positif terinfeksi Mycoplasma synoviae atau sebesar 32.50%. Sedangkan pada kalkun sebesar 56,52% atau 26 sampel positif terinfeksi Mycoplasma synoviae dari 72 sampel yang diperiksa. Hal ini menunjukan bahwa
33
unggas air relatif lebih resisten terhadap Mycoplasma dibandingkan dengan unggas lain (Amanu & Sunuwihadi 2005). Sato (1996) menyatakan bahwa prevalensi mikoplasmosis pada ayam di Indonesia pada rentan 0% sampai 74%, berdasarkan sampel yang berasal dari 7 breeding farm yang terindikasi positif terinfeksi mikoplasmosis.
Infeksi
Mycoplasma gallisepticum pada peternakan unggas komersial pernah dilaporkan juga di Sao Paulo, Brazil. Sebanyak 1.046 sampel usapan trakhea dan embrio yang dikoleksi dari 33 farm ayam petelur dan pedaging ditemukan prevalensi Mycoplasma gallisepticum sebesar 72.7% (Buim 2009).
Seroprevalensi
Mycoplasma gallisepticum pernah dilaporkan pada ayam kampung di Belgia yaitu sebesar 62% (Chrysostome et al. 1995). Penelitian mengenai adanya Mycoplasma gallisepticum pada peternakan ayam komersial di Peninsula, Malaysia sebesar 18.68% (Faisal et al. 2011).
Di Turki diamati kebaradaan Mycoplasma
gallisepticum pada burung puyuh, hasil pengamatan menunjukkan dari 20 sampel serum yang diuji menggunakan ELISA diperoleh sebanyak 85% atau 17 sampel adalah positif terdapat antibodi terhadap Mycoplasma gallisepticum (Turkyilmaz et al. 2007).