31
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Selama periode tahun 2006 sampai dengan tahun 2010, terdapat 16 perusahaan yang terdaftar pada sektor agrikultur di Bursa Efek Indonesia. Dari seluruh 16 perusahaan tersebut, terdapat 2 perusahaan yang delisting pada tahun 2009, 1 perusahaan yang go public pada tahun 2007, dan 1 perusahaan yang go public pada tahun 2009. Keempat perusahaan ini tidak digunakan dalam penelitian karena penelitian melakukan analisis terhadap balanced panel data, sehingga kurangnya data perusahaan tidak dapat digunakan. Dari 12 perusahaan yang tersisa, hanya digunakan data dari 10 perusahaan karena adanya nilai ekstrim dari rasio keuangan kedua perusahaan tersebut. Tabel 3. Perusahaan sektor agrikultur di Indonesia No.
Kode Perusahaan
Nama Perusahaan
Sub Sektor
1.
AALI
PT Astra Agro Lestari Tbk
Plantations
2.
BISI
PT BISI Internasional Tbk
Crops
3.
CPRO
PT Central Proteina Prima Tbk
Fishery
4.
DSFI
PT Dharma Samudera Fishing Fishery Industries Tbk
5.
LSIP
PT
Perusahaan
Perkebunan Plantations
London Sumatera Indonesia Tbk (LSIP) 6.
MBAI
PT
Multibreeder
Adirama Husbandry
Indonesia Tbk 7.
SGRO
PT Sampoerna Agro Tbk
Plantations
8.
SMAR
PT Sinar Mas Agro Resources Plantations And Technology
9.
TBLA
PT Tunas Baru Lampung Tbk
Plantations
10.
UNSP
PT Bakrie Sumatera Plantations
Plantations
32
4.1. Kondisi Financial Distress Perusahaan Sektor Agrikultur di Indonesia Kondisi keuangan perusahaan sektor agrikultur dapat dilihat melalui perhitungan DSCR yang menunjukkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajibannya kepada pihak ke tiga. DSCR, secara lebih lanjut, menunjukkan kondisi financial distress perusahaan. Suatu perusahaan dinyatakan berada dalam kondisi financial distress ketika perusahaan tersebut memiliki nilai DSCR ≤ 1,20. Sebaliknya, perusahaan dinyatakan berada dalam kondisi non-financial distress ketika perusahaan tersebut memiliki nilai DSCR > 1,20 (Ruster, 1996). DSCR dihitung menggunakan persamaan (1). Tabel 4. Kondisi financial distress sektor agrikultur di Indonesia No.
Kode
Tahun
DSCR
Perusahaan
1.
2.
3.
4.
5.
AALI
BISI
CPRO
DSFI
LSIP
Kondisi
No.
Perusahaan
FD
Kode
Tahun
DSCR
Kondisi
2006
1,0077
FD
Perusahaan
1,069
2007
1,2213
NFD
2007
0,6618
FD
2008
1,4529
NFD
2008
0,1016
FD
2009
1,1851
FD
2009
0,7435
FD
2010
1,2445
NFD
2010
1,0757
FD
2006
0,0988
FD
2006
0,4072
FD
2007
0,3883
FD
2007
0,6008
FD
2008
0,4223
FD
2008
0,9432
FD
2009
0,2887
FD
2009
0,9404
FD
2010
1,1377
FD
2006
0,1909
FD
2007
0,1494
2008 2009
6.
7.
MBAI
Perusahaan
2006
SGRO
2010
0,8177
FD
2006
0,7185
FD
FD
2007
0,2554
FD
0,1993
FD
2008
0,5072
FD
0,2915
FD
2009
0,3225
FD
2010
0,2305
FD
2006
0,0724
FD
2007
0,1890
2008 2009
8.
SMAR
2010
0,3119
FD
2006
0,2952
FD
FD
2007
0,2526
FD
0,5341
FD
2008
0,2201
FD
0,1787
FD
2009
0,3567
FD
2010
0,0934
FD
2010
0,2434
FD
2006
0,3257
FD
2006
0,3737
FD
2007
0,4582
FD
2007
0,3858
FD
2008
0,7057
FD
2008
0,3989
FD
2009
0,8834
FD
2009
0,5488
FD
2010
1,2789
NFD
2010
0,2568
FD
9.
10.
TBLA
UNSP
Berdasarkan perhitungan DSCR, dapat dikatakan bahwa hampir seluruh perusahaan sektor agrikultur yang terdaftar di Indonesia mengalami masalah financial distress. PT. Astra Agro Lestari Tbk merupakan satu-satunya
33
perusahaan di sektor agrikultur di Indonesia yang mengalami fluktuasi kondisi financial distress. Sedangkan PT Perusahaan Perkebunan London Sumatera Indonesia Tbk memasuki status emergence financial distress pada tahun 2010, dimana perusahaan tersebut berhasil keluar dari keadaan financial distress menjadi non-financial distress. Selain kedua perusahaan tersebut, yaitu sebanyak delapan perusahaan agrikultur mengalami masalah financial distress selama periode waktu 2006 sampai dengan 2010. 1.6 AALI
1.4
BISI
1.2
CPRO
1
DSFI
0.8
LSIP
0.6
MBAI SGRO
0.4
SMAR
0.2
TBLA
0 2006
2007
2008
2009
2010
UNSP
Gambar 4. DSCR sektor agrikultur 2006-2010 Pada tahun 2006, AALI memiliki nilai DSCR yang tertinggi, diikuti dengan MBAI, SMAR, SGRO, UNSP, LSIP, TBLA, CPRO, BISI, dan DSFI dengan nilai DSCR yang paling rendah. Meskipun seluruh perusahaan sektor agrikultur berada pada kondisi financial distress, subsektor plantations memiliki nilai teratas. Baik AALI, SMAR, SGRO, UNSP, LSIP, dan TBLA terdaftar dalam subsektor plantations. Subsektor husbandry juga menunjukkan angka DSCR yang relatif baik pada tahun tersebut. Dimana, MBAI memiliki nilai tertinggi kedua, meskipun masih dalam kondisi financial distress sebagaimana perusahaan agrikultur lainnya. Dua subsektor yang tersisa, yaitu crops dan fishery, memiliki nilai DSCR yang sangat rendah. Subsektor crops, yaitu BISI, memiliki nilai DSCR sebesar 0,0988 yang masih sangat jauh dari kondisi non-financial distress dengan nilai DSCR minimal sebesar 1,2. Subsektor fishery terdiri atas CPRO dan
34
DSFI yang juga memiliki nilai DSCR terendah pada tahun 2006, dengan masingmasing bernilai sebesar 0,1909 dan 0,0724. Tahun 2007 tetap diungguli oleh AALI yang mengalami peningkatan nilai DSCR hingga mencapai 1,2213 sehingga AALI mengalami emergence financial distress. Lain halnya dengan AALI, nilai DSCR MBAI menurun drastis dari 1,0077 menjadi 0,6618. Hal ini mencerminkan terjadinya penurunan kemampuan pelunasan hutang pada subsektor husbandry pada tahun 2007. Subsektor plantations tidak terlalu berbeda jauh dari tahun sebelumnya. Selain AALI, peningkatan terjadi pada LSIP, SGRO, dan UNSP. Penurunan terjadi pada SMAR dan TBLA, dimana TBLA tidak mengalami penurunan drastis sebagaimana dialami oleh SMAR, yang menurun dari 0,7185 menjadi 0,2554. Subsektor crops mengalami peningkatan dimana nilai DSCR BISI meningkat dari 0,0988 menjadi 0,3883. Kondisi subsektor fishery tidak mengalami perbedaan yang terlalu signifikan, meskipun CPRO mengalami penurunan dan DSFI mengalami peningkatan kemampuan membayar hutang, perbedaan tersebut tidak terlalu besar. Pada tahun 2008, yaitu tahun dimana krisis Subprime Mortgage memuncak dan dirasakan oleh seluruh dunia, hampir seluruh perusahaan sektor agrikultur mengalami peningkatan nilai DSCR. Peningkatan nilai DSCR yang tajam terjadi pada AALI, dimana perusahaan tersebut masuk pada kondisi nonfinancial distress. Peningkatan tajam ini terjadi karena adanya peningkatan net income sebesar 75%. Penurunan yang sangat tajam dirasakan oleh MBAI pada tahun 2008. Hal ini terjadi karena terjunnya nilai net income yang hanya mencapai 35,53% dari tahun sebelumnya serta besarnya jumlah pinjaman pokok jangka panjang yang dilunasi pada tahun 2008, sehingga meningkatkan pengeluaran MBAI berupa pembayaran pokok hutang dan beban bunga hutang jangka panjang. Kinerja MBAI pada tahun 2008 sebenarnya lebih baik dari tahun sebelumnya, yaitu tahun 2007. Hal ini dinyatakan demikian karena adanya peningkatan jumlah produksi dan volume penjualan perusahaan. Namun, net income MBAI menurun drastis akibat adanya kerugian selisih kurs yang terjadi akibat penurunan nilai Rupiah yang signifikan terhadap US$ yang mencapai 16% pada akhir tahun 2008.
35
Selain MBAI, hanya TBLA yang mengalami penurunan nilai DSCR dari 0,2526 menjadi 0,2201. Selain itu, seluruh perusahaan agrikultur mengalami peningkatan nilai DSCR. Secara keseluruhan, dapat dinyatakan bahwa kondisi sektor agrikultur membaik. Seluruh subsektor, kecuali subsektor husbandry didominasi dengan peningkatan kemampuan untuk membayar hutang pada tahun 2008. Dapat dilihat bahwa pada tahun terjadinya krisis Subprime Mortgage, sektor agrikultur tidak mengalami penurunan. Tabel 5. Fluktuasi nilai DSCR perusahaan Indonesia 2007-2009 Perusahaan
2007
2008
2009
AALI
Meningkat
Meningkat
Menurun
BISI
Meningkat
Meningkat
Menurun
CPRO
Menurun
Meningkat
Meningkat
DSFI
Meningkat
Meningkat
Menurun
LSIP
Meningkat
Meningkat
Meningkat
MBAI
Menurun
Menurun
Meningkat
SGRO
Meningkat
Meningkat
Meningkat
SMAR
Menurun
Meningkat
Menurun
TBLA
Menurun
Menurun
Menurun
UNSP
Meningkat
Meningkat
Meningkat
Pada pasca krisis Subprime Mortgage, AALI, SGRO, SMAR, BISI, dan DSFI mengalami penurunan nilai DSCR. Sedangkan TBLA, LSIP, MBAI, TBLA, dan CPRO mengalami peningkatan nilai DSCR. Pada tahun 2010, terdapat gap yang sangat besar antara AALI, LSIP, BISI, MBAI, dan SGRO, dengan SMAR, UNSP, TBLA, CPRO, dan DSFI. Kelima perusahaan pertama memiliki nilai DSCR yang sangat tinggi, sedangkan yang lainnya memiliki DSCR yang sangat rendah, berkisar antara 0,1 dan 0,3. Kelima perusahaan yang mengalami peningkatan tersebut berasal dari subsektor plantations, crops, dan husbandry. Penurunan terjadi pada subsektor plantations dan fishery. Dapat disimpulkan pada tahun 2009, subsektor plantations berfluktuatif, subsektor crops dan husbandry mengalami peningkatan, dan subsektor fishery mengalami penurunan kemampuan pelunasan kewajiban. Fluktuasi nilai DSCR perusahaan pada sektor Agrikultur Indonesia, pada pra krisis Subprime Mortgage (2007) sampai pasca krisis Subprime Mortgage (2009) secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 5.
36
Tahun 2010 diisi dengan peningkatan nilai DSCR secara drastis oleh LSIP, MBAI, dan BISI. Peningkatan juga terjadi pada AALI, dimana AALI dan LSIP berhasil keluar dari kondisi emergence financial distress. SGRO mengalami penurunan, namun masih memiliki nilai DSCR yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan perusahaan lainnya. SMAR, UNSP, TBLA, CPRO, dan DSFI mengalami penurunan DSCR dan berada sangat jauh dari kelima perusahaan lainnya. Secara umum dapat dinyatakan bahwa subsektor crops dan husbandry mengalami peningkatan, subsektor plantations berfluktuatif, dan subsektor fishery mengalami penurunan kemampuan pelunasan hutang. 4.2. Hasil Uji Hausman Test Data Panel Uji Hausman Test dilakukan dengan menggunakan alat analisis Eviews adalah 0,0046 yang
5.1. sebagaimana dilihat pada Lampiran 1. Nilai p-value lebih kecil dari nilai α, serta nilai
lebih besar dari nilai
( ,
,) sehingga dapat
disimpulkan bahwa model yang digunakan adalah fixed effect model (FEM). Pada
model ini, diasumsikan bahwa koefisien slope konstan antar waktu dan anggota panel dengan intersep bervariasi antar anggota panel (time invariant). Penggunaan model FEM harus menggunakan penaksiran model OLS (Ordinary Least Square), dimana variabel penelitian yang digunakan bersifat BLUE (Best Linear Unbiased Estimator). Asumsi yang harus dipenuhi dalam penaksiran metode OLS adalah sampel penelitian terdistribusi normal, tidak terjadi masalah autokorelasi, syarat homoskedastisitas, dan tidak terjadi masalah multikolinieritas. 4.3. Hasil Uji Asumsi Klasik Otokorelasi Pada Lampiran 3 dapat dilihat hasil uji otokolerasi dengan metode Breusch Godfrey. Nilai R2 yang diperoleh sebesar 0,064, sehingga nilai chi-square dapat diperoleh dengan mengalikan nilai R2 dengan hasil pengurangan jumlah sampel, yaitu 50, dengan banyaknya lag residual yang digunakan, yaitu 2. Diperoleh nilai chi-square sebesar 3,072 yang lebih kecil dari nilai chi-square tabel yaitu 5,991. Maka dapat disimpulkan model persamaan regresi tidak memiliki masalah otokorelasi.
37
4.4. Hasil Uji Asumsi Klasik Multikolinieritas Pada Lampiran 4 terdapat hasil uji asumsi klasik multikolinieritas yang dilakukan dengan menggunakan SPSS 16. Penggunaan alat analisis yang berbeda ditujukan untuk mempermudah penelitian dalam melakukan uji asumsi klasik multikolinieritas dengan menggunakan data panel yang sama. Hasil uji klasik menunjukkan nilai VIF seluruh variabel kurang dari 10, maka dapat disimpulkan bahwa model tidak memiliki masalah multikolinieritas. 4.5. Hasil Uji Asumsi Klasik Heteroskedastisitas Dapat dilihat hasil uji heteroskedastisitas pada Lampiran 5 membuktikan bahwa
model
tidak
mengandung
masalah
heteroskedastisitas.
Dengan
menggunakan metode Glejser, diperoleh p-value seluruh variabel independen terhadap nilai absolut residualnya lebih besar dari nilai α 0,05. Maka dapat dinyatakan bahwa model bebas dari gejala heteroskedastisitas, atau mengalami homoskedastisitas. 4.6.
Prediksi Financial Distress Sektor Agrikultur Indonesia Setelah diketahui kondisi financial distress dari masing-masing perusahaan
pada sektor agrikultur di Indonesia, maka perhitungan rasio keuangan dilakukan dengan menggunakan data-data keuangan yang diperoleh dari laporan keuangan berupa laporan laba rugi dan neraca yang dipublikasikan di Bursa Efek Indonesia. Rasio keuangan yang digunakan adalah NPM, CR, ROE, EBITDA/TA, dan ROA. Rasio dihitung dengan rumus keuangan sederhana. NPM diperoleh dengan membandingkan pendapatan bersih (net income) dengan penjualan (total sales). CR diperoleh dengan membandingkan aset lancar (current assets) dengan kewajiban lancar (current liabilities). ROE diperoleh dengan membandingkan pendapatan bersih (net income) dengan total ekuitas (total equity). EBITDA/TA membandingkan pendapatan sebelum dikurangi beban bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi dengan total aset. ROA diperoleh dengan membandingkan net income dengan total aset.
38
Tabel 6. Perhitungan rasio keuangan Net Profit Margin Current Ratio Return on Equity EBITDA to Total Assets
+
+
Return on Asset
+
+
Sumber: Warren (2006), Ruster (1996) Penelitian menggunakan data time-series dan data cross-section, sehingga metode yang digunakan untuk menganalisis data ini tidak bisa menggunakan metode regresi biasa, tetapi harus menggunakan metode regresi panel data. Bentuk model regresi penelitian “Analisis Kondisi Financial Distress Pada Sektor Agrikultur Indonesia” adalah sebagai berikut: =
+
+
+
+
+
+
+
……………………………… (9)
Dari hasil analisis regresi panel data pada Lampiran 2 dapat dilihat bahwa nilai F-statistik sebesar 11,0195 dengan p-value sebesar 0,000. Karena nilai Fstatistik lebih besar dari F-tabel 2,422 dan nilai p-value lebih kecil dari nilai α sebesar 0,05, maka dapat dinyatakan bahwa model sesuai (fit). Model penelitian memiliki nilai Adjusted R2, yaitu koefisien determinasi yang telah dikoreksi dengan jumlah variabel dan ukuran sampel, sebesar 75,41%. Hal ini berarti nilai DSCR dapat dijelaskan oleh ke lima variabel independen tersebut sebesar 75,41%. Variabel independen NPM memiliki nilai t-statistik sebesar 2,056209 dan p-value sebesar 0,0475. Karena p-value lebih besar dari nilai α (0,05) dan tstatistik lebih kecil dari nilai t-tabel (2,009), maka dapat dinyatakan bahwa NPM memiliki pengaruh yang signifikan terhadap DSCR. Koefisien variabel ini sebesar 1,228274, yang berarti bahwa variabel ini memiliki pengaruh positif terhadap nilai debt service coverage dan apabila variabel independen lainnya diasumsikan tetap,
39
maka peningkatan satu satuan variabel NPM akan meningkatkan DSCR sebesar 1,228274. CR memiliki nilai t-statistik sebesar 4,097702 dengan nilai p-value sebesar 0,00002. Karena nilai t-statistik lebih besar dari nilai t-tabel dan nilai p-value lebih kecil dari nilai α, maka dapat dinyatakan bahwa CR memiliki pengaruh yang signifikan terhadap DSCR. Koefisien CR sebesar 0,114502 menunjukkan bahwa apabila variabel independen lain dianggap tetap dan CR bertambah satu satuan, maka nilai DSCR
akan meningkat sebesar 0,114502. Dengan kata lain, CR
memiliki pengaruh positif terhadap DSCR, meskipun nilai pengaruhnya kecil. Sehingga dengan meningkatnya nilai CR, maka perusahaan cenderung mendekati kondisi non-financial distress. Variabel independen ketiga, yaitu ROE, memiliki nilai t-hitung sebesar 2,563921 yang lebih kecil dari nilai t-tabel (-2,009), dan nilai p-value sebesar 0,0149 yang lebih kecil dari nilai α. ROE juga memiliki koefisien sebesar 0,184734. P-value yang lebih kecil dari α dan t-hitung yang lebih besar dari t-tabel menunjukkan bahwa ROE memiliki pengaruh yang signifikan terhadap DSCR. Namun pengaruh yang dimiliki adalah pengaruh negatif, yaitu semakin besar nilai ROE maka semakin kecil nilai DSCR. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan nilai ROE menyebabkan perusahaan lebih mendekat kepada kondisi financial distress. Rasio perbandingan antara EBITDA (earning before interest, tax, depretiation, and amortization) dengan TA (total assets) memiliki nilai t-hitung sebesar 0,475212 dan nilai p-value sebesar 0,6393. Nilai t-hitung yang lebih kecil dari nilai t-tabel dan nilai p-value yang lebih besar dari α menyimpulkan bahwa rasio perbandingan EBITDA dengan TA tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap nilai DSCR, sehingga rasio ini tidak mempengaruhi kondisi financial distress perusahaan. ROA juga tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap nilai DSCR. Hal ini dapat dilihat dari nilai t-hitung yang lebih kecil dari t-tabel, yaitu sebesar 0,505816, serta dilihat dari nilai p-value yang lebih besar dari nilai α, yaitu sebesar 0,6162. Sehingga ROA tidak memiliki pengaruh terhadap kondisi financial distress suatu perusahaan.
40
Variabel dummy SM mewakili kondisi krisis subprime mortgage yang terjadi pada tahun 2007 dan 2008. Variabel ini memiliki nilai t-statistik sebesar 1,544092 dan memiliki nilai p-value sebesar 0,1318. Nilai t-statistik yang lebih kecil dari t-tabel dan p-value yang lebih besar dari nilai α, membuktikan bahwa krisis global subprime mortgage tidak berpengaruh terhadap kondisi financial distress perusahaan sektor agrikultur di Indonesia. Hasil analisis model panel data di atas dapat memberikan kesimpulan terhadap hipotesis dari penelitian ini. Hipotesis 1 melihat ada atau tidaknya hubungan yang signifikan antara NPM dengan DSCR. Dari hasil analisis dapat dinyatakan bahwa NPM memberikan pengaruh positif terhadap DSCR sehingga hipotesis 1 tidak terbukti, tolak H10 (terima H11). Hipotesis 2 menguji hubungan yang signifikan antara CR dengan DSCR. Telah terbukti bahwa CR memiliki pengaruh positif terhadap DSCR, sehingga hipotesis 2 terbukti, tolak H20 (terima H21). Sama halnya dengan Hipotesis 3 yang melihat hubungan antara ROE dengan DSCR, juga terbukti ada hubungan pengaruh, namun pengaruh yang diberikan ROE berupa pengaruh negatif, tolak H30 (terima H31). Hipotesis 4 menguji hubungan yang signifikan antara rasio EBITDA/TA dengan DSCR
dan terbukti rasio EBITDA/TA tidak memiliki pengaruh
terhadap DSCR, sehingga hipotesis 4 tidak terbukti, tolak H41 (terima H40). Hipotesis 5 melihat hubungan antara ROA dengan DSCR. Telah dibuktikan bahwa tidak ada pengaruh yang diberikan oleh ROA terhadap DSCR. Sehingga dapat disimpulkan, tolak H51 (terima H50). Hipotesis yang terakhir, yaitu Hipotesis 6 menguji hubungan antara krisis global subprime mortgage yang berdampak pada kondisi perekonomian dunia, terhadap kondisi financial distress pada perusahaan sektor agrikultur di Indonesia. Telah dibuktikan bahwa krisis tersebut tidak berdampak pada kondisi financial distress perusahaan sektor agrikultur Indonesia. Sehingga dapat disimpulkan, tolak H61 (terima H60). Dari analisis yang dilakukan dengan metode regresi panel data diperoleh persamaan penelitian sebagai berikut:
41
= ,
,
0,091838
+ +
,
+ 0,298679
+
,
+ 0,114222
−
−
................................................................(10)
Persamaan tersebut memberikan arti bahwa DSCR dapat dipengaruhi oleh rasio NPM, CR, dan ROE, dimana NPM dan CR berpengaruh secara positif dan ROE berpengaruh secara negatif. Apabila NPM, CR, dan ROE dianggap sama dengan 0, yang terjadi ketika net income dan current assets bernilai 0, maka DSCR bernilai sebesar 0,144532. Ketika NPM meningkat sebesar satu satuan, dan variabel lain dianggap konstan, maka DSCR akan mengalami peningkatan sebesar 1,228274. Ketika CR meningkat sebesar satu satuan, dan variabel lain dianggap konstan, maka DSCR akan mengalami peningkatan sebesar 0,184734. Ketika ROE meningkat sebesar satu satuan, dan variabel lain dianggap konstan, maka DSCR akan mengalami penurunan sebesar 0,184734. Dari ketiga variabel pengaruh, terlihat bahwa NPM memiliki pengaruh yang paling besar karena nilai koefisien yang besar yaitu 1,228274. Berarti dengan peningkatan NPM sebesar satu satuan, atau sebesar 100%, maka suatu perusahaan di sektor agrikultur secara pasti akan berada pada posisi non-financial distress, tanpa dipengaruhi kondisi sebelumnya. NPM yang dihitung dengan menggunakan cash basis, bukan accrued basis, memperlihatkan kas yang tersedia di perusahaan pada saat tertentu. Kas tersebut tentunya sangat berguna untuk membayar kewajiban kepada pihak ketiga, yaitu semakin tinggi nilai kas yang tersedia maka semakin besar kemampuan perusahaan untuk melunasi hutangnya. 4.7. Emergence Financial Distress Analisis emergence financial distress dimaksudkan untuk mengetahui faktor apa saja yang dapat membantu perusahaan untuk keluar dari kondisi financial distress sehingga perusahaan berada pada kondisi non financial distress. Status perusahaan berupa financial distress atau non-financial distress ditentukan oleh nilai DSCR. Ketika nilai DSCR ≤ 1,2 maka perusahaan berada dalam kondisi financial distress. Sebaliknya apabila perusahaan memiliki nilai DSCR > 1,2 maka perusahaan berada dalam kondisi non-financial distress.
42
Selama periode waktu lima tahun dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2010, hanya terjadi tiga kasus emergence financial distress. Dua dari tiga kasus emergence financial distress tersebut terjadi pada PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) pada tahun 2007 dan tahun 2010, dan satu di antaranya terjadi pada PT Perusahaan Perkebunan London Sumatera Indonesia Tbk (LSIP) pada tahun 2010. Penelitian ini akan membahas terjadinya emergence financial distress pada tahun 2010 di AALI dan LSIP dan tidak membahas terjadinya emergence financial distress pada tahun 2007 di AALI. Hal ini dilakukan agar hasil analisis yang terjadi murni disebabkan oleh faktor internal perusahaan tanpa mempedulikan perbedaan kondisi perekonomian pada tahun 2007 dan 2010. AALI melakukan program intensifikasi untuk memperoleh kuantitas dan produksi tandan buah segar (TBS) yang maksimal dengan menggunakan kompos dan pupuk yang lebih efektif. Sistem kompos dilakukan dengan menggunakan bahan organik dan limbah dari pabrik pengolahan kelapa sawit.
Program
intensifikasi merupakan bagian dari arahan strategis yang meliputi mekanisasi, composing, tata kelola air, pengelolaan tanah, dan penyerbukan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas TBS. Penerapan program intensifikasi tersebut merupakan alasan utama keberhasilan AALI dalam meningkatkan produksi minyak sawit. Program intensifikasi yang dilakukan oleh AALI ini merupakan bagian daripada
pengembangan
arahan
strategis
(strategic
directions)
dengan
memperkuat peranan R&D guna meningkatkan kualitas produk, dalam kasus AALI yaitu kelapa sawit. AALI melakukan investasi yang besar pada R&D di tahun 2010 karena R&D dianggap sebagai faktor kunci program intensifikasi. R&D telah berhasil melaksanakan program peremajaan tanaman dalam jangka panjang, memperluas areal perkebunan dan melanjutkan pengembangan infrastruktur logistik. Selain melakukan penelitian dan pengembangan secara internal, AALI juga melakukan kerjasama dengan pihak eksternal untuk mengembangkan produknya. Kerjasama dilakukan oleh AALI dengan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPks) di Medan, Sumut untuk mengembangkan kebun bibit milik sendiri di Kumai, Kalteng. Selain itu, sejak 2008 AALI juga sudah bekerjasama dengan
43
Institute of Agricultural Research for Development (IRAD) di Kamerun dalam bentuk program pemuliaan benih. Pada tahun 2010, AALI memberikan pelatihan pada karyawan yang berada di level manajerial senior untuk Coaching for Corporate Performance untuk meningkatkan produktivitas perseroan. Di tahun yang sama, perseroan tersebut menerapkan sistem penghargaan yang diwujudkan dalam Excellence Award dan Incentives to Outstanding Performers yang diberikan kepada karyawan berprestasi sehingga karyawan dapat termotivasi untuk meningkatkan kinerjanya. Dilihat dari segi finansial, AALI berhasil menghasilkan peningkatan laba sebesar 21,4% pada tahun 2010 bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Laba bersih per saham pada tahun juga meningkat dari Rp. 1.055 per saham pada tahun 2009 menjadi Rp. 1.281 per saham pada tahun 2010. Peningkatan laba yang diperoleh AALI ini terutama didasari oleh peningkatan harga minyak sawit dan peningkatan produksi minyak sebesar 2,8%, yaitu dari 1.082,95 ribu ton pada tahun 2009 menjadi 1.113,28 ribu ton pada tahun 2010. Perseroan LSIP pada tahun 2010 telah menyelesaikan proses audit tahunan Roundtable of Sustainable Palm Oil (RSPO). RSPO merupakan standar kelestarian pertama di dunia untuk tanaman pangan dengan delapan prinsip, 39 kriteria dan 139 indikator, yang mencakup berbagai aspek operasional perseroan yang langsung terkait dengan tata kelola perusahaan, termasuk transparansi, kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan, pemeliharaan lingkungan, serta tanggung jawab pada karyawan dan masyarakat. Secara besar-besaran, LSIP melakukan pengembangan infrastruktur yang terbukti menjadikan perusahaan lebih efektif dan efisien dalam menjalankan operasinya. Pengembangan infrastruktur ini berhasil membuat LSIP berhasil meskipun banyak masalah cuaca buruk yang terjadi pada tahun 2010. Sebelumnya, pada tahun 2009, LSIP membangun kemampuan transportasi internal, sehingga pada tahun 2010 peningkatan produktivitas dan kontrol manajemen logistik yang lebih baik berhasil diterapkan. Selain itu, di bidang Sumber Daya Manusia, LSIP memberikan pendidikan berupa beasiswa S3 kepada bagian R&D sehingga dapat memperkuat kemampuannya di bidang penelitian.
44
Dilihat dari segi finansial, pada tahun 2010 LSIP mengalami peningkatan laba bersih sebesar 46,1% dan mencapai Rp. 1,03 triliun, meskipun volume penjualan CPO dan karet turun masing-masing sebesar 5,8% dan 17,2%. Pada bulan november di tahun yang sama, LSIP melunasi hutang sebesar US$32,7 juta, sehingga LSIP dapat mengalami peningkatan kondisi keuangan pada tahun 2011. Secara garis besar, kebijakan yang dilakukan oleh AALI dan LSIP yang mengakibatkan kedua perusahaan tersebut tidak lagi berada dalam kondisi financial distress adalah: 1. Investasi pada bidang R&D sebagaimana dilakukan oleh Astra, yaitu berupa pengembangan arahan strategis dalam bentuk program intensifikasi yang selama beberapa tahun telah diterapkan oleh Astra dan memperlihatkan hasil pada tahun 2010. 2. Penggunaan
suatu
sustainability
development
standard
untuk
menjalankan usahanya, sebagaimana dilakukan oleh Lonsum (LSIP) yang berhasil menerapkan audit standar RSPO pada tahun 2010. Terbukti bahwa standar tersebut memberikan peningkatan yang sangat signifikan pada kinerja Lonsum. 3. Pengembangan infrastruktur. Lonsum membangun transportasi internal pada tahun 2009, dan dampaknya dirasakan pada tahun 2010, dimana perusahaan berhasil mengurangi biaya transportasi, dan meningkatkan produktivitas serta kontrol manajemen logistik. 4.8. Implikasi Manajerial Sektor agrikultur Indonesia tidak memiliki kondisi yang baik, karena hampir seluruhnya berada dalam kondisi financial distress. Pada tahun 2010, delapan dari sepuluh perusahaan berada dalam kondisi financial distress, sehingga delapan perusahaan tersebut harus melakukan tindakan perbaikan dengan mempertimbangkan kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh dua perusahaan lainnya. Sedangkan kedua perusahaan yang tidak berada dalam kondisi ini harus tetap menjaga kondisinya dengan melakukan tindakan pencegahan, yaitu dengan memprediksikan bagaimana kondisi perusahaannya di masa yang akan datang.
45
Fokus utama yang dilakukan oleh kedua perusahaan yang berhasil keluar dari kondisi financial distress, yaitu AALI dan LSIP, terletak pada bidang R&D dan SDM. Penelitian yang dilakukan oleh perseroan terbuka tersebut berguna untuk mengetahui apa saja yang harus dilakukan oleh perusahaan untuk memperbaiki keadaannya, sehingga dapat diterapkan oleh perusahaan agar dapat berkembang. Penelitian dan pengembangan ini sebaiknya tidak hanya dilakukan oleh internal perusahaan melainkan juga dengan melakukan kerjasama dengan badan-badan penelitian di luar perusahaan atau dengan perguruan tinggi yang melakukan penelitian yang berhubungan dengan perseroan. Selain itu, bidang SDM dapat meningkatkan kinerja karyawan dengan memberikan edukasi pada karyawan melalui pelatihan dan beasiswa untuk mendapat pendidikan non-formal dan formal. Program intensif juga perlu dilakukan agar perusahaan termotivasi untuk bersaing meningkatkan kinerjanya. Secara umum, penggunaan sustainability development standards dapat membawa perusahaan menjauh dari kondisi financial distress, sebagaimana dilakukan oleh LSIP yang berhasil menerapkan standar RSPO. RSPO merupakan standar kelestarian tanaman pangan yang meliputi aspek operasional perusahaan. Standar ini membahas tata kelola perusahaan yang termasuk di dalamnya transparansi, kepatuhan perundang-undangan, pemeliharaan lingkungan, serta tanggung jawab perusahaan terhadap karyawan dan masyarakat. Perusahaan selain sub-sektor plantation dapat juga menerapkan standar prosedur operasional serupa. Beban biaya merupakan salah satu aspek yang harus diperhatikan oleh perusahaan untuk bisa segera keluar dari kondisi financial distress. Seluruh biaya harus dikelola secara efektif dan efisien agar tidak menghasilkan kerugian bagi perusahaan. Salah satu beban biaya utama bagi perusahaan agrikultur adalah biaya yang menyangkut aspek infrastruktur, yaitu seperti transportasi, logistik, pergudangan, kondisi lapangan, kondisi mesin, dan sebagainya yang secara langsung sangat mempengaruhi aspek penjualan dan produktivitas perusahaan. Bagi kedua perusahaan yang tidak berada dalam kondisi financial distress harus tetap berhati-hati dengan meramalkan kemungkinan terjadinya kondisi tersebut. Prediksi dapat dilakukan dengan melihat nilai CR, NPM dan ROE tahun
46
berjalan
lalu
membandingkannya
dengan
tahun
sebelumnya.
Dengan
meningkatnya NPM dan CR, serta menurunnya ROE, maka perusahaan akan terhindar dari kondisi financial distress. Namun sebaliknya, apabila NPM dan CR menurun, serta ROE meningkat, alangkah baiknya perusahaan segera melakukan kebijakan yang dapat menghindari perusahaan tersebut dari kondisi financial distress. Perlu bagi AALI untuk mengikuti jejak LSIP, dengan membayar hutangnya secara besar-besaran sehingga akan memiliki kedudukan keuangan yang lebih kuat di masa mendatang.