HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Identifikasi Kapang dan Khamir Ragi Tape Berdasarkan hasil pengumpulan sampel ragi tape, terlihat bahwa masingmasing daerah memiliki produk ragi tape tersendiri, kecuali ragi tape NKL yang dapat ditemukan di tiga wilayah di pulau Jawa yaitu Semarang, Yogyakarta dan Madiun.
Sebanyak 13 sampel ragi tape telah berhasil diisolasi kandungan
mikroorganismenya dan diperoleh sebanyak 24 isolat kapang dan 13 isolat khamir yang dapat dikelompokkan menjadi 5 Genus yaitu Mucor/Chlamydomucor, Rhizopus, Aspergillus, Saccharomycopsis dan Saccharomyces. Selanjutnya dilakukan identifikasi kapang lebih lanjut sampai ke tingkat spesies kecuali Genus Aspergillus, sedangkan identifikasi khamir hanya sampai tingkatan Genus mengingat keterbatasan uji-uji fisiologis yang dilakukan.
Hasil isolasi dan
identifikasi kapang dan khamir dari ragi tape secara lengkap terangkum dalam Tabel 4. Sedangkan karakteristik dan hasil pengamatan secara makroskopis dari isolat kapang dan khamir dapat dilihat pada Tabel 5 dan 6 serta Gambar 5 dan 6. Tabel 4. Hasil isolasi dan identifikasi kapang dan khamir ragi tape Asal Daerah DKI Jakarta
Bandung
Nama Ragi
Isolat Kapang dan Khamir
Kereta Kencana
Chlamydomucor oryzae., Mucor rouxii, Saccharomycopsis sp 2. Chlamydomucor oryzae., Rhizopus nigricans. Chlamydomucor oryzae., Mucor rouxii, Rhizopus arrhizus. Rhizopus oryzae., Saccharomycopsis sp 1. Chlamydomucor oryzae., Rhizopus oryzae, Saccharomycopsis sp 1. Chlamydomucor oryzae., Saccharomycopsis sp 1. Chlamydomucor oryzae., Mucor rouxii, Saccharomycopsis sp 2. Chlamydomucor oryzae., Saccharomycopsis sp. 1, Saccharomyces sp. Chlamydomucor oryzae, grup Aspergillus niger, Aspergillus sp, Saccharomycopsis sp 1. Chlamydomucor oryzae., Mucor rouxii Chlamydomucor oryzae., Mucor rouxii, Saccharomycopsis sp 1., Saccharomyces sp. Chlamydomucor oryzae., Saccharomycopsis sp 2., Saccharomyces sp. Mucor rouxii, Rhizopus nigricans, Saccharomycopsis sp 1.
Gunung Tanpa Merek Cakra Matahari Berlian
Semarang
Sae Super Gedang
Rembang
Na Kok Liong (NKL) Sidojoyo
Yogyakarta
MK Kalasan NKL
Madiun
NKL Tanpa Merek
32
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Gambar 5. Foto mikrograf isolat kapang dengan perbesaran 400x (1) Mucor rouxii (2) Chlamydomucor oryzae (3) Rhizopus nigricans (4) R. oryzae (5) R. arrhizus (6) grup Aspergillus niger Tabel 5. Karakteristik isolat kapang ragi tape Karakteristik isolat kapang
Hasil identifikasi kapang
Diameter sporangium < 100µm, berwarna putih Mucor rouxii sampai coklat keemasan, tumbuh pada suhu 37o C, spora berukuran 4-5µm Miselium berwarna putih, tidak membentuk spora Chlamydomucor oryzae atau konidia, klamidospora terdapat dalam jumlah banyak yang dibentuk di dalam hifa miselium terisolasi atau terletak dalam larikannya dengan ukuran yang berbeda-beda Rhizoid berkembang dengan baik, spora Rhizopus nigricans berukuran 9-12 x 7,5-8µm
33
Karakteristik isolat kapang Hasil identifikasi kapang Rhizoid berkembang dengan baik, spora Rhizopus oryzae berukuran 7-9 x 4,5-6µm Rhizopus jarang ditemukan dan pendek, Rhizopus arrhizus sporangiofora tidak membengkak dan panjangnya lebih dari 150µm Kepala konidia berwarna hitam atau coklat tua, Grup Aspergillus niger berbetuk bulat, tumbuh baik dan bersporulasi pada medium Czapeks agar
(1)
(2)
(3)
Gambar 6. Foto mikrograf isolat khamir perbesaran 400x (1) Saccharomycopsis sp. 1 (2) Saccharomycopsis sp. 2 (3) Saccharomyces sp.
34
Tabel 6. Karakteristik isolat khamir ragi tape Karakteristik isolat khamir
Hasil identifikasi khamir
Koloni berwarna putih krem, sel tumbuh Saccharomycopsis sp1. membentuk miselium sejati, berseptat dan bercabang, dapat tumbuh pada suhu 37o C, tidak dapat membentuk pati ekstraseluler, dapat melakukan fermentasi (lemah) dekstrosa, sukrosa dan maltosa, dan rafinosa, dapat melakukan asimilas i dekstrosa, sukrosa, maltosa, dan rafinosa Koloni berwarna putih krem, sel tumbuh Saccharomycopsis sp.2 membentuk miselium sejati, berseptat dan bercabang, dapat tumbuh pada suhu 37o C, tidak dapat membentuk pati ekstraseluler, dapat melakukan fermentasi (lemah) dekstrosa, sukrosa dan maltosa, dan rafinosa, dapat melakukan asimilasi dekstrosa, sukrosa, maltosa, rafinosa dan trehalosa Koloni berwarna putih krem, licin, sel berbentuk Saccharomyces sp. oval atau bulat berukuran (6,75-13,5µm) x (6,7527µm), sel tunggal atau bergerombol, tidak membentuk pseudomiselium, dapat tumbuh pada suhu 37o C, tidak dapat membentuk pati ekstraseluler, dapat melakukan fermentasi) dekstrosa, galaktosa, sukrosa, maltosa dan rafinosa, dapat melakukan asimilasi dekstrosa, galaktosa, sukrosa, maltosa, rafinosa dan trehalosa
Pada Tabel 4 terlihat bahwa kapang yang sering ditemukan pada sampel ragi tape adalah Chlamydomucor oryzae dan Mucor rouxii, selain itu juga ditemukan Rhizopus nigricans, R. oryzae, R. arrhizus dan grup Aspergillus niger. Sedangkan khamir yang sering dijumpai adalah Saccharomycopsis sp1., selain itu juga ditemukan Saccharomyces sp. pada semua sampel ragi tape NKL. Khamir Saccharomycopsis sp merupakan nama baru dari Endomycopsis. Saono (1982) telah melakukan penelitian isolasi mikroorganisme dari 25 sampel ragi tape yang berasal dari daerah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Hasil penelitian menunjukkan kandungan mikroorganisme ragi tape
sangat bervariasi karena terdapat keragaman bahan-bahan pembuatan ragi tape khususnya bumbu rempah-rempah yang digunakan. Jenis mikroorganisme yang berhasil
diisolasi
adalah Amylomyces,
Mucor,
Rhizopus,
Endomycopsis
(Saccharomycopsis), Saccharomyces, Hansenula, Candida, Pediococcus dan Bacillus
35
Dwijoseputro (1976) menemukan kapang Aspergillus oryzae, khamir Candida parapsilosis, C. melinii, Hansenula subpelliculosa, H. anomala dan H. malanga nov. sp pada ragi tape asal Malang.
Sedangkan ragi tape asal
Surakarta dapat dijumpa i adanya kapang Chlamydomucor oryzae (Amylomyces rouxii) dan khamir C. laktosa. Isolasi dan identifikasi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa masingmasing ragi tape mengandung lebih dari satu jenis mikroorganisme dan di antara sampel ragi tape tidak terdapat kesamaan kandungan mikroorganisme. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Saono (1982) bahwa jenis kapang dan khamir yang terdapat dalam ragi tape bermacam-macam tergantung asal dan cara ragi dibuat. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Saono (1982) dan Dwijoseputro (1976), jenis isolat yang diperoleh secara umum hampir sama yaitu Genus Mucor, Chlamydomucor/Amylomyces, Rhizopus, Aspergillus, Saccharomycopsis dan Saccharomyces, namun ada beberapa isolat khamir yang tidak ditemukan dalam penelitian ini yaitu Candida dan Hansenula.
Hal ini menunjukkan bahwa
kandungan mikroorganisme yang terdapat di dalam ragi secara umum tidak berubah banyak walaupun sudah diproduksi sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu, walaupun demikian variasi kandungan mikroorganisme di antara ragi tape masih cukup tinggi. Kapang Chlamydomucor oryzae (Amylomyces rouxii) dan khamir Saccharomycopsis
sering dijumpai karena mikroorganisme tersebut bersifat
amilolitik yang sangat berperan dalam proses pembuatan tape. mikroorganisme dalam ragi tape terangkum dalam Tabel 7.
Peranan
Rahayu dan
Suliantari (1990) menyebutkan proses fermentasi tape dibagi menjadi dua tahap yaitu pembuatan pati menjadi gula sederhana oleh kerja kapang dan perubahan gula menjadi alkohol oleh kerja khamir. Mikroba yang diduga paling berperan dalam
fermentasi
tape
adalah
Amylomyces
rouxii,
(Saccharomycopsis) burtonii dan Saccharomyces cereviseae.
Endomycosis
36
Tabel 7. Peranan mikroorganisme dalam ragi tape *) Grup mikroorganisme Kapang amilolitik
Genus Amylomyces Mucor Rhizopus
Khamir amilolitik
Endomycopsis / Saccharomycopsis Saccharomyces Hansenula Endomycopsis / Saccharomycopsis Candida Pediococcus Bacillus
Khamir non amilolitik
Bakteri asam laktat Bakteri amilolitik *) Saono (1982)
Peranan Sakarifikasi dan likuifier Sakarifikasi dan likuifier Likuifier (lemah) dan penghasil alkohol Sakarifikasi dan penghasil aroma (lemah) Penghasil alkohol Penghasil aroma yang sedap Penghasil aroma spesifik Penghasil aroma spesifik Penghasil asam laktat Sakarifikasi
Kemampuan Isolat Kapang dan Khamir dalam Mereduksi Kandungan Aflatoksin Isolat kapang dan khamir yang diisolasi dari ragi tape memiliki kemampuan yang bervariasi dalam mereduksi aflatoksin (Tabel 8, Lampiran 8). Kapang Chlamydomucor oryzae asal Ragi Gedang memiliki kemampuan terendah dalam mereduksi aflatoksin total yaitu sebesar 39,5%, sedangkan kapang M. rouxii asal Ragi Gedang memberikan persentase reduksi aflatoksin tertinggi pada semua jenis aflatoksin yang diproduksi A. parasiticus yakni 99,4% untuk AFB1 dan AFB2 ; 99,9% untuk AFG1 dan AFG2, dan aflatoksin total sebesar 99,7%. Persentase reduksi total aflatoksin oleh khamir ragi tape berkisar antara 72,4-98,1% dengan isolat Saccharomyces sp. asal Ragi NKL memiliki kemampuan tertinggi dalam mereduksi aflatoksin dibandingkan jenis khamir lainnya yakni sebesar 95,9% AFB1 ; 97,1% AFB2; 89,4% AFG1; 99,1% AFG2 dan 98,1% aflatoksin total. Kapang M. rouxii, Chlamydomucor oryzae dan Saccharomycopsis sp. yang berasal dari ragi tape yang berbeda memiliki kemampuan yang berbeda dalam mereduksi aflatoksin. Menurut Suzzi et al (1995), aktivitas biokontrol tidak sepenuhnya tergantung pada spesies atau genus karena setiap galur memiliki karakteristik yang spesifik. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang
37
menunjukkan dari 12 galur S. cereviseae yang diuji aktivitas penghambatannya, ternyata masing-masing galur memiliki aktivitas penghambatan yang bervariasi, di mana S. cerevisiae galur N 826 dan N 831 mampu menghambat 9 jenis kapang patogen yang diuji sementara galur lainnya hanya sekitar 6-8 jenis kapang patogen. Tabel 8 Reduksi aflatoksin oleh isolat kapang dan khamir ragi tape Isolat kapang/khamir 1 Mucor rouxii 2 Mucor rouxii 3 Chlamydomucor oryzae. 4 Chlamydomucor oryzae. 5 Grup Aspergillus niger 6 Rhizopus nigricans 7 Rhizopus oryzae. 8 Saccharomycopsis sp. 9 Saccharomycopsis sp. 10 Saccharomyces sp.
Persentase reduksi aflatoksin
Ragi Tanpa Merek Gedang MK Kalasan Gedang Sidojoyo Tanpa Merek Cakra Matahari Berlian Gedang NKL
AFB1 45,8 99,4 98,3
AFB2 20 99,4 99,1
AFG1 82,6 99,9 99,7
AFG2 25 99,9 99,6
Total 61,4 99,7 99,3
55
54
15,8
76,6
39,5
99,2 48,7 66,7 71,6 77,1 95,9
99,2 62,5 53,3 85,9 77,5 97,1
99,5 80,2 55,6 89,4 68,7 89,4
99,5 81,3 33,3 89,7 64,3 99,1
99,4 73,1 54,7 86,2 72,4 98,1
Menurut Horn dan Wicklow (1983) A. niger dapat menghambat produksi aflatoksin B1 oleh A. flavus pada biji jagung sebesar 70-96%. Fusarium moniliforme,
Trichoderma
viride
dan
R. nigricans
dapat
menghambat
pertumbuhan A. flavus dan produksi aflatoksin sebesar 73,2 % ; 80,9 %; dan 45,4% (Choundary 1992). Hasil penelitian Faraj et al (1993) menunjukkan A. niger, R. oryzae dan M. racemosus yang ditumbuhkan bersama -sama dengan A. flavus mampu mereduksi aflatoksin yang dihasilkan sebesar 47,3 % ; 44,4 % dan 39,5 %. Jika dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian yang telah dilaporkan di atas, terlihat bahwa beberapa isolat kapang ragi tape memiliki kemampuan mereduksi aflatoksin cenderung lebih baik, misalnya R. nigricans mampu mereduksi aflatoksin 73,1% sementara hasil penelitian Horn dan Wicklow (1983) menunjukkan penghambatan pertumbuhan dan produksi aflatoksin sebesar 45,4%. Perbedaan hasil reduksi aflatoksin di atas dapat disebabkan oleh perbedaan galur kapang antagonis yang digunakan serta metode pengujian yang digunakan di dalam penelitian.
38
Kemampuan Penghambatan Kapang dan Khamir terhadap Pertumbuhan A. parasiticus
Pada penelitian selanjutnya dipilih satu jenis isolat kapang dan satu jenis isolat khamir yang memiliki kemampuan tertinggi dalam mereduksi aflatoksin yaitu M. rouxii dan Saccharomyces sp. Dasar pertimbangan pemilihan kedua isolat ini adalah selain memiliki persentase reduksi aflatoksin yang tinggi, kedua isolat sering digunakan dalam proses pengolahan pangan sehingga relatif lebih aman untuk diaplikasi.
Kapang M. rouxii sering digunakan pada proses
sakarifikasi pati (Rahman 1990), di samping itu Genus Mucor dikenal juga sebagai kapang the first saprophytic colonizer (Botha dan du Preez
2000).
Sedangkan khamir Saccharomyces sp. diketahui banyak berperan dalam proses fermentasi produk pangan dan juga di bidang peternakan sebagai sumber nutrisi. Pada
uji
reduksi
aflatoksin
sebelumnya
terlihat
bahwa
kapang
Chlamydomucor oryzae asal Ragi MK Kalasan dan Grup Aspergillus niger asal Ragi Sidojoyo juga memiliki persentase reduksi aflatoksin yang tidak jauh berbeda dengan M. rouxii asal ragi Gedang yaitu sekitar 99%.
Namun ada beberapa pertimbangan
sehingga kedua isolat tersebut tidak terpilih yaitu kapang C. oryzae diketahui tidak membentuk spora atau konidia tetapi hanya klamidospora, sehingga dikhawatirkan secara teknis akan berpengaruh pada saat proses perbanyakan kapang. Sedangkan kapang grup A. niger
tidak
(Aspergillosis)
terpilih pada
karena
hewan
A. niger berindikasi menyebabkan mikosis setelah
A.
fumigatus
dan
A.
flavus
http://www.myology.adelaide.edu.au/Fungal_Des riptions/Hyphomyetes_(hyaline)/Asper gillus /niger.html).
Penghambatan
pertumbuhan
kapang
oleh
mikroorganisme
dapat
disebabkan oleh adanya kompetisi nutrisi dan ruang, senyawa filtrat yang dihasilkan oleh mikroorganisme atau perbedaan waktu generasi kedua mikroorganisme. Berdasarkan uji penghambatan pertumbuhan A. parasiticus terlihat bahwa kedua isolat M. rouxii dan Saccharomyces sp. mampu menghambat pertumbuhan A. parasiticus. Kapang M. rouxii dapat menghambat pertumbuhan A. parasiticus sampai hari ke -6 waktu inkubasi, kemudian terjadi pertumbuhan walaupun jumlahnya lebih rendah dibandingkan kontrol (Gambar 7, Lampiran 9).
39
Penghambatan pertumbuhan A. parasiticus oleh M. rouxii diduga terjadi akibat adanya kompetisi nutrisi di antara kedua kapang.
Sepe rti yang telah
disebutkan sebelumnya bahwa Genus Mucor bersifat the first saprophytic colonizer (Botha dan du Preez 2000) sehingga diduga kapang M. rouxii memiliki kemampuan untuk tumbuh lebih cepat dibandingkan A. parasiticus. Menurut Dharmaputra et al. (2003), kapang yang mampu memperbanyak diri lebih cepat dibandingkan A. flavus berpotensi untuk mengendalikan pertumbuhan A. flavus sehingga dapat mencegah serangan A. flavus pada biji kacang tanah. Pada Gambar 9 terlihat bahwa pertumbuhan kapang M. rouxii yang diinokulasi bersama A. parasiticus maupun kontrol M. rouxii menunjukkan pola pertumbuhan yang yang hampir sama. Hal ini menunjukkan bahwa kompetisi nutrisi antara kedua kapang tidak berpengaruh terhadap M. rouxii. 7 Log CFU/ml)
6 5
A
4
B C
3
D
2 1 0 0
3 6 Waktu (hari ke-)
9
Gambar 7. Penghambatan pertumbuhan A. parasiticus oleh M. rouxii, A, A. parasiticus yang ditumbuhkan secara tunggal ; B, Jumlah A. parasiticus di dalam campuran A. parasiticus dan M. rouxii ; C, Jumlah M. rouxii di dalam campuran A. parasiticus dan M. rouxii ; D, M. rouxii yang ditumbuhkan secara tunggal Selain akibat kompetisi nutrisi, penghambatan pertumbuhan A. parasiticus diduga disebabkan juga oleh senyawa filtrat yang dihasilkan oleh M. rouxii. Menurut Faraj et al. (1993) kapang Rhizopus sp menghasilkan filtrat yang dapat menghambat pertumbuhan A. flavus dan atau produksi aflatoksin. Saccharomyces sp. mampu menghambat pertumbuhan A. parasiticus sebesar 3 satuan log dalam waktu 3 hari inkubasi (Gambar 8, Lampiran 10). Aktivitas penghambatan Saccharomyces sp. dapat disebabkan oleh pertumbuhan
40
Saccharomyces sp lebih cepat dibandingkan A. parasiticus sehingga terjadi kompetisi nutrisi di antara kedua mikroba tersebut. Hasil penelitian Suzzi et al. (1995) menunjukkan S. cerevisiae N 826 dan N 831 dari buah beri anggur dapat menghambat pertumbuhan kapang patogen pada buah dan tanah seperti Cladosporium variable, Rhizoctonia fragariae, Phomopsis longicolla, Aspergillus niger, Sclerotinia sclerotiorum, Penicillium digitatum, Macrophomina phseolina, Trichoderma viride dan Botrytis squamosa. Pertumbuhan Saccharomyces sp. dengan atau tanpa A. parasiticus menunjukkan pola yang serupa (Gambar 8, Lampiran 10).
Seperti halnya
M. rouxii, kompetisi nutrisi antara A. parasiticus dan Saccharomyces sp. tidak
Log CFU/ml
berpengaruh terhadap pertumbuhan Saccharomyces sp. 9 8 7 6
A
5 4
B C
3 2 1
D
0 0
2
4 6 Waktu (hari ke-)
8
10
Gambar 8. Penghambatan pertumbuhan A. parasiticus oleh Saccharomyces sp., A, A. parasiticus yang ditumbuhkan secara tunggal ; B, Jumlah A. parasiticus di dalam campuran A. parasiticus dan Saccharomyces sp. ; C, Jumlah Saccharomyces sp. di dalam campuran A. parasiticus dan Saccharomyces sp. ; D, Saccharomyces sp. yang ditumbuhkan secara tunggal Pada hari terakhir inkubasi, terhadap campuran antara A. parasiticus dan M. rouxii serta campuran A. parasiticus dan Saccharomyces sp. dilakukan pengamatan secara morfologi menggunakan kultur slide.
Berdasarkan
pengamatan secara visual, A. parasiticus yang ditumbuhkan bersama-sama dengan M. rouxii ataupun Saccharomyces sp. mengalami perubahan morfologi di
41
antaranya ukuran vesikel menjadi lebih kecil dan jumlah phialid yang terbentuk menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan kontrol (Gambar 9).
(1)
(2)
(3) Gambar 9.
Pengaruh M. rouxii dan Saccharomyces sp. terhadap morfologi A. parasiticus setelah inkubasi bersama selama 9 hari (1) Kontrol A. parasiticus (2) A. parasiticus yang ditumbuhkan bersama -sama dengan M. rouxii (3) A. parasiticus yang ditumbuhkan bersamasama dengan Saccharomyces sp (perbesaran 1000x)
Vesikel merupakan bagian dari struktur Aspergillus yang terbentuk dari konidiofora yang mengalami pembengkakan.
Vesikel lalu akan membentuk
phialid, dan selanjutnya phialid merupakan bagian untuk memproduksi konidia (Bhatnagar et al. 2000). Apabila bentuk dan ukuran vesikel berubah serta jumlah phialid yang terbentuk menjadi lebih sedikit, hal ini diduga akan berpengaruh
42
terhadap proses perbanyakan
A. parasiticus karena berkaitan dengan jumlah
konidia yang terbentuk. Hasil penelitian Razzaghi-Abyaneh et al. (2005) menunjukkan bahwa berdasarkan pengamatan visual pada miselium A. parasiticus yang diiris melintang setelah diberi perlakuan ekstrak daun neem sebesar 1,56% akan terjadi pembentukan vakuola pada sitoplasma miselium, sementara bila konsentrasi ekstrak dinaikkan menjadi 50% akan terjadi gangguan pembentukan dinding sel miselium. Zohri et al. (1997) melaporkan bahwa A. parasiticus var. globosus IMI 120920 yang ditumbuhkan pada medium yang mengandung natrium selenit 0,5 % menyebabkan perubahan bentuk pada sterigmata dan ujung konidia telah bergerminasi walaupun masih di dalam rantai konidia, sedangkan bila ditumbuhkan pada medium yang mengandung kalium telurit 0,5% akan menyebabkan sterigmata dan konidia membesar serta konidiofor menjadi lebih ramping dan membentuk cabang seperti bentuk Penicillium. Selain itu hasil pengamatan morfologi pada kultur slide juga menunjukkan bahwa ukuran sel Saccharomyces sp. mengalami perubahan menjadi lebih kecil. Sel Saccharomyces sp. yang ditumbuhkan secara tunggal memiliki ukuran (6,75-13,5µm) x (6,75-27µm), sedangkan yang ditumbuhkan bersamaan dengan A. parasiticus, ukuran sel menjadi (4-12µm) x (4-21µm) (Gambar 9). Hasil penelitian Xu et al. (2003) menunjukkan bahwa spora A. flavus subsp parasiticus yang ditumbuhkan bersama-sama dengan L. plantarum ATCC 8014 akan mengalami pembengkakan, sementara L. plantarum ATCC 8014 sendiri juga mengalami perubahan ukuran sel menjadi lebih besar dengan adanya A. flavus subsp. parasiticus. Kemampuan Saccharomyces sp. menghambat pertumbuhan A. parasiticus selain disebabkan oleh kompetisi nutrisi di antara kedua mikroba, diduga juga disebabkan oleh
Saccharomyces sp. menghasilkan enzim β-glukonase yang
dapat melisis dinding sel kapang A. parasiticus. Menurut Ray (2001) sel khamir dapat menempel dengan kuat pada miselia kapang dan memproduksi β-glukonase
yang
dapat
melisis
dinding
sel
kapang.
enzim
Kemampuan
Saccharomyces sp. dalam melisis miselia kapang A. parasiticus dapat diketahui melalui uji interaksi langsung khamir dengan kapang secara in vitro menurut
43
modifikasi metode Chan dan Tian (2005). Pada Gambar 10 terlihat bahwa sel Saccharomyces sp. dapat menempel pada hifa A. parasiticus dan hal ini diduga karena aktivitas enzim β-glukonase yang diproduksi Saccharomyces sp.
Gambar 10. Interaksi Langsung Saccharomyces sp. dengan A. parasiticus (perbesaran 400x) Hasil penelitian Chan dan Tian (2005) menunjukkan aktivitas enzim β-1,3-glukonase dan ekso-kitinase khamir Pichia membranefaciens lebih tinggi dibandingkan Cryptococcus albidus.
Kondisi ini menyebabkan kemampuan
khamir P. membranefaciens menempel pada kapang patogen Monilinia fructicola, Penicillium expansum dan Rhizopus stolonifer menjadi lebih tinggi dibanding khamir C. albidus. Pengaruh Filtrat M. rouxii dan Saccharomyces sp. terhadap Pertumbuhan A. parasiticus dan Biosintesis Aflatoksin
Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik filtrat M. rouxii
maupun
Saccharomyces sp dapat menghambat pertumbuhan A. parasiticus (Gambar 11 dan 12 .
Berat kering miselium A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium
mengandung filtrat M. rouxii pada hari ke -3,6, 9, dan 12 berturut-turut 1,04 ; 1,42 ; 1,91 ; 1,57 mg/ml. Sedangkan A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium MEB memiliki berat kering miselium sebagai berikut 1,88 ; 2,24 ; 1,83 ; dan 1,62 mg/ml pada hari ke-3, 6, 9 dan 12 (Lampiran 11).
berat kering miselia (mg/ml)
44
2.5 2 1.5 1 0.5 0 0
3
6 9 waktu (hari) A
12
B
Gambar 11 Pengaruh filtrat M. rouxii terhadap berat kering miselia A. parasiticus, A, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium MEB, B, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat M. rouxii
Fenomena serupa juga terlihat pada pertumbuhan A. parasiticus pada medium yang mengandung filtrat Saccharomyces sp. A. parasiticus dapat tumbuh pada medium yang hanya mengandung filtrat Saccharomyces sp. walaupun pertumbuhannya lebih rendah dibandingkan kontrol (Gambar 12). 2.5
2
1.5
1
0.5
0 0
3
6
9
12
waktu (hari) A
B
Gambar 12 Pengaruh filtrat Saccharomyces sp. terhadap berat kering miselia A. parasiticus A, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium MEB, B, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat Saccharomyces sp.
Berat kering miselium A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat Saccharomyces sp. pada hari ke-3,6, 9, dan 12 berturut-turut 0,89 ; 0,79 ; 1,34 ; 0,92 mg/ml.
Sedangkan
kontrol A. parasiticus yang
ditumbuhkan pada medium MEB menghasilkan berat kering miselium sebagai
45
berikut 1,88 ; 2,24 ; 1,83 ; dan 1,62 mg/ml pada hari ke-3, 6, 9 dan 12 (Lampiran 12). Menurut Rahman (1990), kapang genus Mucor dapat memproduksi asam fumarat, suksinat, sitrat ataupun laktat. Sedangkan Saccharomyces sp. dapat menghasilkan filtrat seperti etanol, gliserol, asam asetat, asam piruvat, asam suksinat, asam á-ketoglutarat, dan asam fumarat pada medium yang mengandung amonium (Albers et al. 1996).
Filtrat-filtrat tersebut di atas diduga dapat
menghambat pertumbuhan A. parasiticus.
Hasil penelitian Davis dan Diener
(1968) menyebutkan bahwa asam suksinat 6% dan asam sitrat 8% dapat menghambat pertumbuhan A. parasiticus sedangkan etil alkohol 3%, asam α-ketoglutarat 4% dan asam piruvat 5%
dapat menjadi sumber karbon bagi
pertumbuhan A. parasiticus namun berat kering miselium yang terukur masih lebih rendah dibandingkan bila menggunakan glukosa sebagai sumber karbon. 20
3
(1)
18 16
(2)
2.5
14
2
12 10
1.5
8 6
1
4
0.5
2 0
0 0
3
6
9
12
0
3
waktu (hari) A
6
9
12
waktu (hari)
B
A
B
3.5
kadar AFG2 (ppb)
18
(3)
16 14 12 10 8 6 4 2
(4)
3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
0 0
3
6
9
12
0
waktu (hari) A
B
3
6
9
12
waktu (hari) A
B
Gambar 13 Pengaruh filtrat M. rouxii terhadap kadar aflatoksin (1)B1, (2)B2, (3)G1, (4) G2 dari A. parasiticus, A, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium MEB, B, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat M. rouxii
Penghambatan pertumbuhan A. parasiticus oleh filtrat M. rouxii berpengaruh juga terhadap biosintesis aflatoksin.
Filtrat M. rouxii mampu
46
menghambat biosintesis keempat jenis aflatoksin yang dihasilkan A. parasiticus yaitu Aflatokain B1, B2, G1 dan G2 (Gambar 13, Lampiran 15 dan 16). Penurunan kemampuan biosintesis aflatoksin diduga disebabkan oleh filtrat M. rouxii yang dapat menghambat biosintesis aflatoksin. Menurut Choundary (1992), metabolit sekunder yang dihasilkan oleh kapang dapat menyebabkan perubahan
lingkungan
biokimia
dari
substrat,
yang
selanjutnya
akan
mempengaruhi biosintesis aflatoksin. Biosintesis aflatoksin B1, B2, G1 dan G2 oleh A. parasiticus juga dapat dihambat pada saat kapang tersebut ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat Saccharomyces sp. sehingga kadar aflatoksin yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan dengan A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium MEB (Gambar 14, Lampiran 19 dan 20). Terhambatnya pertumbuhan A. parasiticus oleh adanya filtrat Saccharomyces sp. diduga menjadi penyebab biosintesis aflatoksin juga menurun. 20
3
(1)
(2)
2.5
15
2 10
1.5 1
5
0.5 0 0
3
6
9
0
12
0
3
waktu (hari)
6 waktu (hari) A
A
12
9
12
B
B
18
3.5
(3)
16
9
(4)
3
14
2.5
12 10
2
8
1.5
6
1
4 2
0.5
0 0
3
6
9
12
0 0
waktu (hari) A
B
3
6 waktu (hari) A
B
Gambar 14 Pengaruh filtrat Saccharomyces sp. terhadap biosintesis aflatoksin (1)B1, (2)B2, (3)G1, (4)G2 dari A. parasiticus, A, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium MEB, B, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat Saccharomyces sp.
47
Hasil penelitian Purwijantiningsih (2005) menunjukkan bahwa medium yang mengandung filtrat Candida sp. dapat menghambat pertumbuhan A. flavus sekaligus biosintesis aflatoksin. Hua et al. (1999) menyatakan bahwa khamir Pichia anomala WRL-076 dapat menghambat biosintesis aflatoksin. Pada Gambar 13 dan 14 terlihat bahwa biosintesis aflatoksin mencapai titik tertinggi pada hari ke-9 inkubasi dan pada hari ke-12 mengalami penurunan. Menurut Marth dan Doyle (1979), produksi aflatoksin maksimal terjadi setelah inkubasi 5-9 hari. Inkubasi selanjutnya produksi aflatoksin menurun. Penurunan tersebut diduga disebabkan oleh aktivitas enzim P450 monooksigenase yang berperan dalam mendegradasi aflatoksin secara endogen (Hamid et al. 1987). Pengaruh Filtrat M. rouxii dan Saccharomyces sp. yang Disuplementasi MEB (1:1) terhadap Pertumbuhan A. parasiticus dan Biosintesis Aflatoksin Pertumbuhan A. parasiticus di dalam medium yang mengandung filtrat M. rouxii dan MEB (1:1) ternyata lebih cepat dibandingkan dengan kontrol A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium MEB (Gambar 15). Berat kering miselium A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium yang diperkaya yang mengandung filtrat M. rouxii pada hari ke-3,6, 9, dan 12 berturut-turut 3,66 ; 5,04 ; 4,38 ; 3,43 mg/ml. Sedangkan kontrol A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium normal menghasilkan berat kering miselium sebagai berikut 2,54 ; 3,67 ; 3,00 ; dan 2,34mg/ml pada hari ke-3, 6, 9 dan 12 (Lampiran 13). 6 5 4 3 2 1 0 0
3
6 9 waktu (hari) A
12
B
Gambar 15. Pengaruh filtrat M. rouxii yang disuplementasi MEB (1:1) terhadap pertumbuhan A. parasiticus, A, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium MEB, B, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat M. rouxii dan MEB (1:1)
48
Demikian halnya dengan A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium yang mengandung filtrat Saccharomyces sp. dan MEB (1:1) juga mengalami peningkatan pertumbuhan yang ditunjukkan dengan berat kering miselium (Gambar 16). Nilai berat kering miselium A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium yang diperkaya pada hari ke-3,6, 9, dan 12 berturut-turut 3,28 ; 2,84 ; 2,56 ; 2,30 mg/ml. Sedangkan A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium MEB memiliki berat kering miselium sebagai berikut 2,52 ; 2,55 ; 2,35 dan 2,02 mg/ml pada hari ke-3, 6, 9 dan 12 (Lampiran 14). 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 0
3
6
9
12
waktu (hari) A
B
Gambar 16. Pengaruh filtrat Saccharomyces sp. yang disuplementasi MEB (1:1) terhadap pertumbuhan A. parasiticus, A, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium MEB, B, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat Saccharomyces sp. dan MEB (1:1)
Peningkatan pertumbuhan A. parasiticus yang ditumbuhkan pada kedua medium di atas diduga disebabkan oleh pengkayaan nutrisi yang berasal dari penambahan MEB sebanyak 50%.
MEB (Malt Extract Broth) merupakan
medium pertumbuhan kapang yang mengandung malt extract, maltosa, dekstrosa dan yeast extract.
Selain itu konsentrasi filtrat kedua mikroba yang menjadi
separuhnya dibandingkan penggunaan filtrat 100% seperti pada penelitian sebelumnya diduga sebagai promotor pertumbuhan kapang.
Hasil penelitian
Graham dan Graham (1987) menunjukkan penggunaan konsentrasi bawang putih 0,3% pada medium YES dapat menghambat pertumbuhan A. parasiticus, namun pada konsentrasi bawang putih 0,1-0,2% ternyata menstimulir pertumbuhan A. parasiticus.
49
Selain dapat menstimulir pertumbuhan A. parasiticus, filtrat M. rouxii dan Saccharomyces sp. yang disuplementasi MEB (1:1) juga menyebabkan biosintesis aflatoksin menjadi lebih tinggi dibandingkan kontrol . Pada Gambar 17 terlihat bahwa kadar aflatoksin B1, B2, G1, G2 yang dihasilkan oleh A. parasiticus lebih tinggi pada saat A. parasiticus ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat M. rouxii dan MEB (1:1) 45
7
40
(1)
35
(2)
6
30
5
25
4
20
3
15 2
10 5
1
0 0
3
6
9
12
0
0
3
waktu (hari) A
6
9
12
waktu (hari) A
B
14
B
2
(3)
12
(4)
1.6
10 1.2
8 6
0.8
4 0.4
2 0
0
0
3
6
9
12
waktu (hari) A
B
0
3
6
9
12
waktu (hari) A
B
Gambar 17 Pengaruh filtrat M. rouxii yang disuplementasi MEB (1:1) terhadap biosintesis aflatoksin (1)B1, (2)B2, (3)G1, (4)G2 A, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium MEB, B, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat M. rouxii dan MEB (1:1)
Biosintesis aflatoksin oleh A. parasiticus pada medium yang diperkaya dan mengandung filtrat M. rouxii mencapai produksi maksimal pada hari ke -9, hal ini sesuai dengan pernyataan Marth dan Doyle (1979) bahwa produksi aflatoksin maksimum terjadi setelah inkubasi 5-9 hari. A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat Saccharomyces sp. dan MEB (1:1) mampu melakukan biosintesis aflatoksin B1, B2, G1 dan G2 lebih tinggi dibandingkan bila hanya ditumbuhkan pada medium
50
MEB.
Biosintesis keempat jenis aflatoksin maksimum terjadi pada hari ke-3,
bahkan produksi aflatoksin B1 bisa mencapai 10 kali lipat jika dibandingkan kontrol (Gambar 18). Hal ini diduga disebabkan oleh adanya senyawa gula-gula seperti maltosa, dekstrosa ya ng terkandung di dalam medium setelah suplementasi dengan MEB (1:1) menyebabkan terjadinya peningkatan biosintesis aflatoksin. Hasil penelitian Buchanan dan Lewis (1984) menunjukkan bahwa miselium kapang A. parasiticus yang semula ditumbuhkan pada medium pepton-mineral salts tidak memproduksi aflatoksin, kemudian setelah dipindahkan ke dalam medium glucose -mineral salts, terjadi kenaikan berat miselium sebesar 50% antara 22-53 jam waktu inkubasi. Produksi aflatoksin juga terjadi setelah 23 jam waktu inkubasi dengan produksi maksimum terjadi antara 47-70 jam kemudian menurun. 10000
350
(1)
8000
(2)
300 250
6000
200 150
4000
100
2000
50
0
0
0
3
6
9
12
0
3
waktu (hari)
A
6
9
12
waktu (hari) A
B
B
160
1600
(3)
1400
(4)
140
1200
120
1000
100
800
80
600
60
400
40
200
20 0
0 0
3
6
9
waktu (hari) A
B
12
0
3
6
9
12
waktu (hari) A
B
Gambar 18 Pengaruh filtrat Saccharomyces sp yang disuplementasi MEB (1:1) terhadap biosintesis aflatoksin (1)B1, (2)B2, (3)G1, (4)G2, A, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium MEB, B, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat Saccharomyces sp. dan MEB (1:1)
51
Secara umum, terjadinya peningkatan aktivitas biosintesis aflatoksin diduga disebabkan oleh adanya suplementasi MEB sebesar 50% dari total campuran medium.
Penambahan medium MEB tersebut ditujukan sebagai
sumber nutrisi bagi kapang A. parasiticus dalam biosintesis aflatoksin selain pengaruh dari filtrat kapang dan khamir kompetitor. MEB (Malt Extract Broth) merupakan medium pertumbuhan kapang yang berisi
malt extract,
maltosa,
dekstrosa dan yeast extract yang dapat digunakan sebagai sumber nutrisi untuk pertumbuhan dan biosintesis aflatoksin. Dutton (1988) melaporkan jenis gula sukrosa yang disuplementasi dengan yeast extract akan menstimulir produksi aflatoksin. Lebih lanjut Abdollahi dan Buchanan (1981a) menyebutkan bahwa glukosa atau produk hasil metabolitnya merupakan inducer bagi satu atau lebih enzim yang dibutuhkan dalam biosintesis aflatoksin. Selain pengaruh dari sumber nutrisi pada medium MEB, filtrat yang dihasilkan oleh M. rouxii dan Saccharomyces sp. diduga menyebabkan peningkatan aktivitas biosintesis. Hasil penelitian Shantha dan Murthy (1981) menunjukkan bahwa asam asetat secara tunggal atau dikombinasi dengan asam fumarat dapat mendukung sintesis aflatoksin oleh A. flavus, namun pada saat dikombinasi dengan asam piruvat terjadi penghambatan sintesis toksin. Hal ini diduga disebabkan oleh terbentuknya asam oksaloasetat akibat reaksi antara asam asetat dengan asam piruvat menjadi aktif.
dan kondisi tersebut menyebabkan siklus TCA
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa asam asetat
merupakan senyawa yang terkandung di dalam filtrat M. rouxii dan Saccharomyces sp., sedangkan asam fumarat terkandung di dalam filtrat M. rouxii. Gliserol yang terkandung di dalam filtrat Saccharomyces sp. diduga juga dapat menstimulir biosintesis aflatoksin.
Hasil penelitian Davis dan Diener
(1968) menunjukkan bahwa gliserol 15% merupakan sumber kar bon yang baik untuk pertumbuhan A. parasiticus dan biosintesis aflatoksin, lebih lanjut Abdollahi dan Buchanan (1981b) mengemukakan bahwa gliserol merupakan senyawa yang dapat menginduksi biosintesis aflatoksin. Gareis et al. (1984)
melaporkan bahwa asam sorbat 0,025% dapat
menstimulir produksi aflatoksin B1 oleh A. flavus. Stimulasi produksi aflatoksin
52
diduga disebabkan kerja senyawa antimikroba dari asam sorbat yang mengganggu kerja siklus TCA (tricarboxylic acid) dan menghambat kerja enzim pada sel seperti suksinat dehidrogenase dan malat dehidrogenase. Siklus TCA diketahui sangat berperan dalam proses katabolisme dan anabolisme kapang.
Apabila
siklus TCA terganggu maka akan terjadi akumulasi asetil-KoA yang merupakan senyawa intermediat dalam biosintesis aflatoksin melalui jalur poliketida.
Kemampuan M. rouxii dan Saccharomyces sp dalam Mendegradasi Aflatoksin Degradasi aflatoksin secara biologi melibatkan transformasi dari molekul aflatoksin menjadi derivat yang kurang toksisitasnya ataupun menjadi tidak toksik. Menurut Mishra dan Das (2003), perlakuan detoksifikasi aflatoksin B1 diharapkan mampu memindahkan ikatan rangkap pada ujung cincin furan atau membuka cincin lakton sehingga toksisitas senyawa aflatoksin B1 menjadi berkurang. 16
5
(1)
14 12
(2)
4
10
3
8 2
6 4
1
2 0
0 0
3
6
9
12
0
3
waktu (hari)
A
B
9
A
14
kadar AFG1 (ppb)
6
12
waktu (hari) B
3.0
(3)
12 10
(4)
2.5 2.0
8
1.5
6
1.0
4
0.5
2
0.0
0 0
3
6
9
waktu (hari) A
B
12
0
3
6
9
12
waktu (hari) A
B
Gambar 19. Degradasi aflatoksin (1)B1, (2)B2, (3)G1, (4)G2 oleh M. rouxii
53
M. rouxii dan Saccharomyces sp. dapat mendegradasi aflatoksin yang dihasilkan oleh A. parasiticus. Degradasi aflatoksin B1, B2, G1, G2 oleh M. rouxii berturut -turut sebesar 76,9 % ; 83,3 %; 77,8 % ; dan 81,8 %, sedangkan Saccharomyces sp. mampu mendegradasi aflatoksin B1, B2, G1, G2 sebesar 36,4 % ; 55,6 %; 37,8 %; dan 46,7% (Gambar 19 dan 20). Degradasi aflatoksin oleh M. rouxii diduga disebabkan ole h enzim yang dihasilkan oleh kapang tersebut.
Hasil penelitian Cole dan Kirksey (1971)
menunjukkan bahwa R. oryzae dapat memetabolisme aflatoksin G1 menghasilkan AF-1. AF-1 tersebut mulai terdeteksi di dalam kultur R. oryzae pada minggu pertama inokulas i dan proses biodegradasi lengkap terjadi pada minggu ke -4 setelah inokulasi. Proses biodegradasi tersebut dapat disebabkan oleh enzim yang diproduksi selama pertumbuhan kapang R. oryzae. Kapang Rhizopus sp. dan A. flavus non-aflatoksigenik diketahui dapat mengubah aflatoksin B1 menjadi aflatoksikol. Proses degradasi tersebut diduga disebabkan oleh enzim intraseluler yang dihasilkan oleh kedua mikroorganisme (Nakazato et al. 1991)
kadar AFB1 (ppb)
12
4
(2)
(1)
10
3
8 6
2
4 1
2 0
0 0
3
6
9
12
0
3
waktu (hari) A
6
9
12
waktu (hari)
B
A
14
B
3.0
(3)
12 10
(4)
2.5 2.0
8
1.5
6 4
1.0
2
0.5
0 0
3
6 waktu (hari) A
9
B
12
0.0 0
3
6 waktu (hari) A
9
B
Gambar 20. Degradasi aflatoksin (1)B1, (2)B2, (3)G1, (4)G2 oleh Saccharomyces sp.
12
54
Hasil penelitian Cole et al. (1972) menunjukkan bahwa R. arrhizus dapat mendegradasi aflatoksin B1 sebesar 50-60%, sedangkan Marth dan Doyle (1979) menyatakan bahwa Mucor alternans NRRL 3358 dapat mengubah AFB1 menjadi aflatoksikol dalam waktu 3-4 hari.
Hasil penelitian Purwijantiningsih (2005)
menunjukkan bahwa Rhizomucor pusillus dan Candida sp. mampu mendegradasi aflatoksin B1 sebesar 27,3% dan 50%, sedangkan degradasi aflatoksin B2 oleh kedua mikroba tersebut sebesar 22,7% dan 27,3%. Selain itu degradasi aflatoksin dapat juga disebabkan karena pengikatan aflatoksin oleh mikroorganisme ataupun komponen dari mikroorganisme tersebut. Mannan dan glukan yang terdapat dalam dinding sel S. cerevisiae dapat mengikat aflatoksin B1 95%, zearalenon 77%, fumonisin 59% dan deoksinivalenol 12% (Galvano et al 2001). Pada Gambar 19 dan 20 terlihat bahwa kadar aflatoksin total yang tidak diinokulasi dengan M. rouxii dan Saccharomyces sp. mengalami penurunan sebesar 60,77%. Hal ini menunjukkan selama waktu inkubasi 12 hari pada suhu 30o C terjadi perubahan sebagian struktur aflatoksin di dalam campuran medium MEB dengan aflatoksin (1:1). Medium MEB merupakan medium pertumbuhan kapang memiliki nilai pH 4,7 ± 0,2. Kondisi medium MEB yang cenderung asam diduga menjadi penyebab terjadinya degradasi aflatoksin pada campuran medium MEB dengan aflatoksin (1:1) yang tidak diinokulasi dengan kapang/khamir. Marth dan Doyle (1979) menyebutkan bahwa aflatoksin dapat terdegradasi oleh larutan asam dan basa kuat. Tabata et al. (1994) melaporkan bahwa larutan asam klorida dan asam sulfat dengan konsentrasi 1% dapat mendegradasi aflatoksin B1 dan G1.
Hasil penelitian Mendez-Albores et al. (2005)
menunjukkan bahwa larutan asam sitrat 1N dapat mendegradasi aflatoksin B1 (93 ng/g)
sebesar 96,7% pada jagung membentuk senyawa yang kurang
mutagenik dibandingkan aflatoksin B1 yakni aflatoksin D1.
Pembentukan
senyawa ini disebabkan oleh medium asam dapat mengkatalisis pembentukan struktur β-keto acid
yang dilanjutkan dengan proses hidrolisis cincin lakton
menghasilkan aflatoksin D1 (senyawa turunan dari dekarboksilasi cincin lakton yang terbuka dari aflatoksin B1).
55
Lebih lanjut Hafez dan Megalla (1982) melaporkan bahwa larutan asam laktat 2% dari silage dapat mendetoksifikasi aflatoksin B1 menjadi senyawa yang kurang toksik yaitu aflatoksin B2a (hidroksidihidro-aflatoksin B1). Selain faktor kondisi asam, degradasi aflatoksin dapat disebabkan oleh adanya kontaminan karena senyawa-senyawa lain yang mungkin terekstrak yang dapat mengganggu kestabilan larutan aflatoksin. Maggon et al. (1977) melaporkan bahwa selain keempat jenis aflatoksin, A. parasiticus dapat menghasilkan senyawa
lain
seperti
sterigmatosistin
dan
senyawa
turunannya
seperti
O-metilsterigmatosistin, aspertoxin serta versikolor C dan A. Senyawa-senyawa tersebut di atas merupakan prekursor-prekursor di dalam biosintesis aflatoksin.