HADIS-HADIS TENTANG PRAKTIK-PRAKTIK YANG TERLARANG DALAM JUAL BELI Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.i)
Oleh: Maman Firmansyah NIM: 208034000009
JURUSAN TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011
HADIS-HADIS TENTANG PRAKTIK-PRAKTIK YANG TERLARANG DALAM JUAL BELI Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.i) Oleh: Maman Firmansyah NIM: 208034000009
Di Bawah Bimbingan Pembimbing
Drs. Harun Rasyid, MA NIP: 19600902 1987031 1001
JURUSAN TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul HADIS-HADIS TENTANG PRAKTIK-PRAKTIK YANG TERLARANG DALAM JUAL BELI telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 14 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.) pada program Studi Tafsir Hadis. Jakarta, 14 Juni 2011 Sidang Munaqasyah Ketua Merangkap Anggota
Sekretaris Merangkap Anggota Muslim. S.Th.I
Drs. A. Rifqi Muchtar, MA NIP: 19690822 199703 1002
NIP: Anggota
Penguji I
Penguji II Dr. M. Isa HA Salam, MA NIP: 19531231 198603 1001
Drs. Maulana Ihsan, MA NIP: 19650207 199903 1001 Pembimbing
Drs. Harun Rasyid, MA NIP: 19600902 1987031 1001
ِﻦ اﻟﺮﱠﺣِ ْﯿﻢ ِ َﷲ اﻟﺮﱠﺣْﻤ ِ ﺑِﺴْـﻢِ ا
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puji Syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang telah memberikan segala nikmat Iman Islam karena atas kehendak dan kuasanya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hadis-hadis Tentang Larangan Menipu Dalam Jual-Beli” dengan sebaik-baiknya. Sholawat serta salam tidak lupa penulis panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW, suri tauladan dalam aktivitas kehidupan, serta kepada para keluarga dan sahabatnya. Dengan penuh kesadaran penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan tidak akan selesai tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara moril maupun materil. Karena itu, dari lubuk hati yang paling dalam penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada segenap pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini. Sebagai rasa syukur terima kasih sedalam-dalamnya kepada: 1. Prof. Dr. Zainul Kamaluddin, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Dr. Bustamin, M.Si, selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Bapak Drs. H. Harun Rasyid, MA., Dosen Pembimbing yang dengan penuh kesabaran telah banyak memberi semangat dan dorongan serta
arahan dalam membimbing di tengah kesibukan Beliau, sehingga pada akhirnya skripsi ini menjadi lebih baik dan sempurna. 4. Seluruh Dosen Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah banyak memberikan ilmu dan pembelajaran kepada penulis. 5. Ayahanda H. Syarifudin dan Ibunda Hj. Patimah, terima kasih atas segala kasih sayang, perhatian, pengertian dan motivasinya yang sangat berperan dalam hidup, semoga Ayahanda dan Ibunda selalu diberi kesehatan, kebahagian dan umur panjang sehingga ananda diberi kesempatan untuk menunjukkan besarnya cinta ananda pada kalian. 6. Sahabat-sahabat TH, AMKS Jakarta, KMKM, Heydown dan Duta Lestari V. Terima kasih banyak atas kebersamaannya selama ini.
Mudah-mudahan segala bantuan serta budi baik yang penulis terima selama menjalani pendidikan mendapatkan ridha dari Allah SWT. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif agar lebih baik lagi.
Akhirnya penulis menyerahkan semuanya kepada Allah SWT. Mudah-mudahan dapat balasan yang lebih baik. Harapan penulis agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semoga skripsi ini dapat
memberikan
sumbangan
fikiran
dan
saran
untuk
perkembangan
pendidikan khususnya bidang tafsir dan hadis.
Jakarta, 2 Juni 2011
Maman Firmansyah
DAFTAR ISI
ABSTRAK............................................................................................................... KATA PENGANTAR............................................................................................ DAFTAR ISI........................................................................................................... PEDOMAN TRANSLITERASI........................................................................... BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.............................................................. B. Rumusan Masalah...................................................................................... C. Tujuan dan Manfaat Penulisan........................................................ D. Metodologi Penelitian........................................................................ E. Sistematika Penulisan.......................................................................... BAB II TINJAUAN UMUM JUAL BELI MENURUT HUKUM ISLAM A. Pengertian dan Tujuan Jual Beli....................................................... B. Rukun dan Syarat Sahnya Jual Beli................................................... C. Macam-macam Jual Beli....................................................................... BAB III HADIS-HADIS TENTANG PRAKTIK-PRAKTIK YANG TERLARANG DALAM JUAL-BELI A. Penelusuran Hadis-hadis Tentang Praktik-Praktik yang Terlarang dalam Jual Beli 1. Hadis tentang Larangan Gharar....................................................... 2. Hadis tentang Larangan Monopoli.................................................... 3. Hadis tentang larangan menawar barang yang sudah dibeli............. 4. Hadis tentang Habalul Habalah......................................................... 5. Hadis tentang Muh
adarah, Mula<masah, Muna
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah sistem yang sempurna bagi kehidupan, baik kehidupan pribadi, umat, kehidupan dengan semua seginya seperti pemikiran, jiwa, dan akhlak. Juga pada segi kehidupan ekonomi, sosial maupun politik. Ekonomi adalah bagian dari Islam, ia adalah bagian yang dinamis dan bagian yang sangat penting, tetapi bukan asas dan dasar bagi bangunan Islam, bukan titik
pangkal ajarannya, bukan tujuan risalahnya, bukan ciri peradabannya dan bukan pula cita-cita umatnya. Ekonomi dalam pandangan Islam bukanlah tujuan itu sendiri tetepi merupakan kebutuhan bagi manusia dan sarana yang lazim baginya agar bisa hidup dan bekerja
untuk mencapai tujuannya yang tinggi. Ekonomi
merupakan sarana penunjang baginya dan menjadi pelayan bagi aqidah dan risalahnya.1 Islam sebagai sistem ajaran keagamaan yang lengkap dan sempurna memberi tempat sekaligus menyatukan unsur kehidupan lahir dan bathin dengan memayunginya di bawah prinsip keseimbangan atau dengan bahasa Afzalur Rahmān mengkombinasikan keduanya secara harmonis.2 Jelaslah bahwa Islam bukan ajaran tentang akhirat saja, yang menyuruh manusia hanya agar menyelamatkan jiwa mereka untuk akhirat melalui ritual ibadah belaka, akan tetapi juga kebutuhan fisik harus terpenuhi. Ajaran tentang perlunya keseimbangan ini sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari tujuan Islam itu sendiri, yaitu memberi kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dengan adanya keseimbangan ini pula diharapkan manusia dapat mengambil kerahmatan dari Islam. Sistem ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.
1
Yūsuf al-Qard}a>wi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, alih bahasa. Didin Hafiduddin, Setiawan Budi Utomo, Aunurrafiq, Saleh Tahmid (Jakarta: Rabbani Press, 1997), 28. 2 Afzalur Rahmān, Doktrin Ekonomi Islam, Alih Bahasa Soeroyo dkk (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), I: 14.
adalah sistem yang membawa bahagia bagi seluruh umat manusia dan memimpinnya kepada kesempurnaan.3 Meskipun demikian, suatu kerahmatan pada dasarnya adalah sebuah potensi yang perlu diaktualisasikan. Islam tidak bisa menyebarkan kemaslahatan atau kerahmatan tanpa diaktualisasikan oleh manusia itu sendiri dalam setiap aspek kehidupan. Dalam kaitan ini, akan dikaji salah satu aspek kehidupan manusia, yaitu aspek hubungan dengan manusia yang lain. Tidak bisa dipungkiri bahwa pada dasarnya setiap manusia tidak akan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, tanpa adanya bantuan dari yang lain, hal ini disebabkan karena manusia itu kodratnya sebagai makhluk sosial. Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya yang berjudul Asas-asas Hukum Mu'amalat menjelaskan bahwa manusia sebagai makhluk sosial disadari atau tidak selalu berhubungan satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pergaulan hidup tempat setiap orang melaksanakan pergaulan perbuatan dalam hubungannya dengan orang lain, dalam agama Islam disebut dengan istilah mu'amalat.4 Masalah mu'amalat senantiasa berkembang di dalam kehidupan masyarakat, tetapi dalam perkembangannya perlu sekali adanya perhatian dan pengawasan, sehingga tidak menimbulkan kesulitan (mudharāt), ketidakadilan, dan penindasan atau pemaksaan dari pihak-pihak
3 4
Hamka, Tafsir al-Azhār (Surabaya: Pustaka Islam, 1983), XVII: 149.
Aḥmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Mu'amalat (Hukum Perdata Islam) (Yogyakarta: UII Press, 2000), 11.
tertentu sehingga prinsip-prinsip dalam bermu'amalat dapat dijalankan.5 Salah satu bentuk mu’amalat adalah jual beli. Islam melihat konsep jual beli itu sebagai suatu alat untuk menjadikan manusia itu semakin dewasa dalam berpola pikir dan melakukan berbagai aktivitas, termasuk aktivitas ekonomi. Pasar sebagai tempat aktivitas jual beli harus dijadikan sebagai tempat pelatihan yang tepat bagi manusia sebagai khalifah di muka bumi. Maka sebenarnya jual beli dalam Islam merupakan wadah untuk memproduksi khalifah-khalifah yang tangguh di muka bumi. Abdurrahman bin Auf adalah salah satu contoh sahabat Nabi SAW yang lahir sebagai seorang mukmin yang tangguh berkat hasil pendidikan di pasar. Dia menjadi salah satu orang kaya yang amanah dan juga memiliki kepribadian ihsan. Sejarah telah membuktikan, bahwa lantaran perdagangan, kekayaan dan kemakmuran bangsa Quraisy terus berkembang. Perdagangan merupakan induk keberuntungan. Ia berkedudukan lebih tinggi dibanding pertanian, industri, dan jasa. Perdagangan merupakan pertanda baik dan kesejahteraan yang akan menjadi tulang punggung untuk memperoleh kekayaan. Dunia perdagangan yang lengkap dengan seluk beluk di dalamnya, memungkinkan untuk memperluas wawasan pergaulan dan gerakan geografis menjelajahi dunia serta persaingan ketat sehingga memberikan dorongan untuk tidak menyerah.6
5 Aḥmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Mu'amalat (Hukum Perdata Islam) (Yogyakarta: UII Press, 2000), 17. 6
Buchari Alma, Ajaran Islam dalam Bisnis (Bandung: CV. Alfabeta, 1993), 47.
Perdagangan merupakan jalan yang wajar dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ia adalah jalan penuh liku yang menghendaki keuletan dan kepandaian untuk memperoleh keuntungan bersih dari pokok pembelian. Oleh karena itu ia memberlakukan kepintaran atau ilmu, karenanya ia sama sekali tidak merampas hak-hak milik orang lain, melainkan dilakukan secara timbal balik antara masing-masing pihak.7
!!! !!!!!!! ! !!!! !!! !!!! !!! !!ƒ ! !!!!!!!!! ! !!!ƒ !!!!!!! ! !!!!!! ! !!!! !!!!!!!! ƒ !!!!!!!!!!!!È !!!! !!! !!!!!! !!!!È ! !!8!!! !!! ! !!! ! !!!! !!! !!!!!!!!! !!!! ! ! !!!!!!!!!ƒ !!!!!!! !!! ! !! Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” Seorang penjual berhak mendapatkan keuntungan dari usahanya, sedang seorang pembeli berkewajiban untuk memberikan konpensasi bagi jasa yang telah ia terima dari penjual. Dalam keuntungan yang wajar, tidak saja dimaksudkan untuk kebutuhan konsumtifnya saja tetapi juga ia mampu mengembangkan usahanya (produktif).9
7
Ibnu Khaldun, Ibnu Khaldun tentang Sosial dan Ekonomi, editor Rus'an (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 108. 8
Al-Nisā' (4): 29 Syarifuddin Prawiranegara, Ekonomi dan Keuangan: Makna Ekonomi Islam (Jakarta: Haji Masagung, 1988), 113. 9
Yūsuf al-Qard}a>wi dalam bukunya Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam mengemukakan di antara nilai transaksi yang terpenting adalah kejujuran. Ia merupakan puncak moralitas iman dan karakteristik yang paling menonjol dari orang-orang beriman. Bahkan, kejujuran merupakan karakteristik para nabi. Tanpa kejujuran kehidupan agama tidak akan berdiri tegak dan kehidupan dunia tidak akan berjalan baik. Sebaliknya, kebohongan adalah pangkal kemunafikan dan ciri-ciri orang munafiq.
Cacat pasar
perdagangan di dunia kita ini dan yang paling banyak memperburuk citra perdagangan adalah kebohongan, manipulasi, dan mencampuraduk kebenaran dengan kebatilan, baik secara dusta dalam menerangkan spesifikasi barang dagangan dan mengunggulkannya atas yang lainnya, dalam memberitahu tentang harga belinya atau harga jualnya kepada orang lain maupun tentang banyak pemesanan dan lain sebagainya.
10
Sebagaimana sabda Nabi
Muhammad Saw.
!! !!!!!!!!!! !! !!! !!!! ! ! ! !!!!! !! !!! ! !!! !!! ƒ !!!!! !! !!!!!!!!!!! ! !!! !!!! !!! !!!!!!!!!! !! !! !!! ! !!! !!! ! !! ! !!!! !!!!! !!! !!!!! !!! ! ! !! !!!! ! !!! !!!!!!!!! !! !!! ! !! !!!! !!! ! !!! !!!!!! !!!!!! !!!!! !!!!!!! ! !!! !!! !!!!!ƒ ! !!! !! !! !!!!!!!! !!! !! !! !!!!!!
10 Yūsuf al-Qard}a>wi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, ahli bahasa. Didin Hafiduddin, Setiawan Budi Utomo, Aunurrafiq, Saleh Tahmid (Jakarta: Rabbani Press, 1997), 293.
Artinya : Telah menceritakan Abdullah bin Sabbah, meriwayatkan kepada kami Abu Ali al-Hanafi, dari Abdul Rahman bin Abdullah bin Dinar berkata, meriwayatkan kepadaku Ayahku dari Abdullah bin Umar Ra.: Rasulullah Saw melarang jual beli ha>diru liba>din (transaksi orang kota dengan orang desa untuk menjualkan barangnya dengan harga yang lebih tinggi)
!!!!!! !!!!!!! !!! !!!! !!! !!! !! !! !!! !!! !!!!! !!!!!!!!!! !! !!!!!! ! !!!!!! !! !!!!! !!!!ƒ ! !!!!!!!!!!!! ! !!!!!!!!! !!! !!! ! !!! !!!! !!! !!! !! !!!!!!! ! ! ! ! ! !!! !!!! !! ! !! !!! ! ! !! !!!!!!! ! !!! !!! ! !!!!!!! !!! !! ! !!!!!!!!! !!! ! !! ! !!!! !!!!!!!!!! !! !!!!! ! !!! ! ! È ! !!!! ! !!!!!!! !!!!!!!!! !!! ! ! ! !ƒ !!!!! !!!!! ! ! !!!!!! ! ƒ !!!!! !!!!! ! !! ! !! !
Artinya :
Telah meriwayatkan kepada kami Abu Bakar bin Abi Shaibah, telah meriwayatkan kepada kami Abdullah bin Idris dan Yahya bin Said dan Abu Usamah, dari Ubaidillah. Dan telah meriwayatkan kepada kami Zuhair bin Harb, meriwayatkan
kepada
kami
Yahya
bin
Said
dari
Ubaidillah,meriwayatkan kepadaku Abu al-Zan>ad dari al‘Araj, dari Abi Hurairah berkata: Melarang Rasulullah Saw jual beli al-Has}a>t dan jual beli gharar.
!!! !!!!!! !!!!!! !! !!!!!!!!!! !! !!!!!! ! !!! !! !!!! !!!!!!!!ƒ !!!!! !! !!!!!! ! !!! !!! !!! ! !!!! !!! ! !!!!!!!!! ! !!!!!!! !!!!!!! !!ƒ !!!! !!!! ! ! !!!! ! ! !!! !!! !!! !!!! ! !!! !!!!! !!! ! ! ! ! !!!! ! !!! !!!!! !! ! n!!!!! ! !!! !ƒ ! !!!!! !!!!!!!!! !!~!! !! !! !!!!!!!! !!! !! !! !!! !!!! Artinya :
Telah menceritakan Musa bin Ismail kepada kami, telah menceritakan Abd al-Aziz bin Muslim kepada kami, telah menceritakan Abdullah bin Dinar, Ia berkata aku mendengar dari Ibn Umar (Semoga Allah memberika Keridhoan kepada mereka berdua) berkata, Seorang lelaki melaporkan kepada Rasulullah saw. bahwa ia tertipu dalam jual beli. Maka Rasulullah saw. bersabda: Katakanlah kepada orang yang kamu ajak berjual-beli: Tidak boleh menipu! Sejak itu jika ia bertransaksi jual beli, ia berkata: Tidak boleh menipu
Hadis di atas menjelaskan bahwa seorang pedagang harus berlaku jujur,menjelaskan cacat barang barang dagangan yang ia ketahui, yang tidak terlihat oleh pembeli. Demikian juga kualitas produk harus sesuai dengan apa yang disampaikan produsen baik melalui informasi atau promosi.11 Berdasarkan latar belakang inilah, penulis menganggap bahwa hadishadis tentang transaksi yang dilarang dalam jual beli perlu dikaji untuk
11
Ilfi Nur Diana, M.Si, Hadis-hadis Ekonomi, (Malang, UIN Malang Press,2008) 220.
mendapatkan jawaban tentang bagaimana pemaknaan hadis tersebut dan bagaimana relevansinya pada masa sekarang.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana pemahaman para ulama tentang transaksi yang dilarang dalam jual beli. 2. Bagaimana memahami prinsip-prinsip jual beli yang sah menurut aturan Islam melalui hadis-hadis Rasulullah SAW. tentang praktik-praktik terlarang dalam jual beli.
C. Tujuan Penulisan Penelitian ini mempunyai tujuan: 1. Memahami pengertian hadis tentang larangan menipu dalam jual beli. 2. Untuk memenuhi tugas dan syarat kelulusan gelar sarjana strata satu (S1) pada fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Memperbanyak khazanah tentang kajian hadis dan ilmu keislaman di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah khususnya, dan masyarakat luar pada umumnya.
D. Metodologi Penelitian 1. Metode Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan dan meneliti data dalam skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian dengan cara mengkaji dan menelaah sumber-sumber tertulis seperti buku atau kitab yang berkenaan dengan topik pembahasan, sehingga dapat diperoleh data-data yang jelas Penelitian ini bersifat deskriptif-analisis, yaitu data yang telah terkumpul diolah kemudian diuraikan secara obyektif untuk dianalisis secara konseptual. 2. Teknik Pengumpulan Data Oleh karena jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, maka tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah mengkaji dan menelaah berbagai kitab hadis, kitab syarah hadis, kitab ilmu hadis, buku, artikel dan sumber lainnya yang mempunyai relevansi dengan kajian ini, baik yang bersifat primer maupun yang bersifat sekunder. 3. Tehnik Penulisan Adapun dalam skripsi ini, penulisan berpedoman kepada buku pedoman akademik Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007. E. Sistematika Penulisan Penelitian ini diuraikan dalam empat bab, yaitu:
Bab pertama, berupa pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab kedua, mencakup pemaparan seputar jual beli, makna jual beli, syarat dan sahnya jual beli, macam-macam jual beli, prinsip dan larangan menipu dalam jual beli. Bab ketiga, Hadis-hadis tentang larangan menipu dalam jual beli,dan pemaknaan hadis yang meliputi kata-kata kunci dalam hadis, pemahaman hadis sesuai dengan petunjuk al-Quran, hadis-hadis yang setema, ada dan tidaknya pertentangan dalam hadis, asbab wurud hadis. Bab keempat, analisis pemahaman teks hadis serta hikmah larangan menipu dalam jual beli. Bab kelima, merupakan akhir yang terdiri dari kesimpulan hasil penelitian dan beberapa saran penulis yang perlu disampaikan berkaitan dengan hasil penelitian.
BAB II TINJAUAN UMUM JUAL BELI MENURUT HUKUM ISLAM A. Pengertian dan Tujuan Jual Beli
Jual beli menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer adalah persetujuan saling mengikat antara penjual, yakni pihak yang menyerahkan barang, dan pembeli sebagai pihak yang membayar harga yang dijual.12 Dalam bahasa Arab, jual beli disebut al-Bai’ ( )اﻟﺒﯿﻊyang merupakan bentuk masdar dari ﺑﯿﻌﺎ- ﯾﺒﯿﻊ- ﺑﺎعyang artinya menjual.13 Sedangkan kata beli dalam bahasa Arab dikenal dengan ﺷﺮاءyaitu masdar dari kata – ﺷﺮى – ﯾﺸﺮى ﺷﺮاءartinya membeli.14 Namun pada umumnya kata ﺑﯿﻊitu sudah mencakup keduanya, kata ﺑﯿﻊdiartikan dengan ﻣﻄﻠﻖ اﻟﻤﺒﺎدﻟﺔyang artinya mutlak tukar menukar.15 Di kalangan ulama ada yang mempunyai kesamaan pendapat dalam merumuskan pengertian jual beli menurut bahasa yaitu: ﻣﻘﺎﺑﻠﺔ ﺷﺊ ﺑﺸﺊpendapat ini dikemukakan oleh Muhammad Syarbini 16 dan Syekh Zainuddin. 17 Jadi kesimpulannya jual beli menurut bahasa ialah mengganti atau menukar sesuatu dengan sesuatu.
12
Peter Salim dan Yunny Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer (Yogyakarta: Modern English Press, 1991), 626. 13
A.W. Munawir, Kamus al-Munawir: Arab-Indonesia Terlengkap, cet 14 (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 124. 14
A.W. Munawir, Kamus al-Munawir: Arab-Indonesia Terlengkap, cet 14 (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 716.
66.
15
Al-Sayyid Sābiq, Fiqh al-Sunnah (Kairo: Dār al-Fath Lili'lāmi al-'Arabi, 1990), III: 198.
16
Muhammad Syarbini, al-Iqna’ (Bandung: Shirkah al-Ma’ārif, t.t.), II: 2.
17
Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz, Fath al-Mu'in (Kairo: Dār al-Kutub al-‘Arabi, t.t.),
Sedangkan pengertian jual beli menurut istilah, para ulama berbeda pendapat. Al-Sayyid Sābiq mengemukakan bahwa jual beli menurut istilah ialah: 18
!!!!! !!!!!!!! !!!!! !!!! !!!!! !!!! !!!!!!! ! !!!!!!! !!! !! !!!! !Š!! !!!!!!!!!
Artinya : Tukar menukar harta dengan harta yang dilakukan berdasarkan kerelaan atau memindahkan hak milik dengan (mendapatkan benda lain) sebagai ganti dengan jalan yang diizinkan oleh syara'. Maksudnya bahwa melepaskan harta dengan mendapat harta lain berdasarkan kerelaan, atau memindahkan milik dengan mendapatkan benda lain sebagai gantinya secara rela sama rela. Imam Taqiyudin mengatakan bahwa pengertian jual beli ialah: 8
Artinya :
19
!!!!! !!!!!!!! !!!!! !!!! !!!!!! !Ÿ!!!! ! ! !!!!! !!!!!! !Š!! !!!!!!!!!
Tukar menukar harta dengan harta yang sebanding untuk dimanfaatkan dengan menggunakan ijab dan qabul menurut jalan yang diizinkan oleh syara'.
Maksudnya bahwa tukar menukar harta tersebut harus dapat dimanfaatkan sesuai dengan syara’ dan harus disertai dengan adanya ijab dan qabul. Hasbi al-Shiddieqy mengatakan bahwa jual (menjual sesuatu) adalah memilikkan pada seseorang sesuatu barang dengan menerima dari padanya harta (harga) atas dasar kerelaan dari pihak penjual dan pihak pembeli.20
18
Al-Sayyid Sābiq, Fiqh al-Sunnah,198.
19
Imam Taqiyudin, Kifāyah al-Akhyār (Semarang: Toha Putra, t.t.), 239.
Dari beberapa defenisi di atas, Abdul Mujib merumuskan defenisi “albai'” sebagai pelaksanaan akad untuk penyerahan kepemilikan suatu barang dengan harta atau atas saling ridha, atau ijab dan qabul atas dua jenis harta yang tidak berarti bederma, atau menukarkan harta dengan harta bukan atas dasar tabarru’.21 Dengan memahami beberapa arti di atas, maka dapat disimpulkan bahwa jual beli itu dapat terjadi dengan cara: 1. Pertukaran harta antara dua pihak atas dasar saling rela. 2. Memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan yaitu berupa alat tukar yang sah dalam lalu lintas perdagangan.22 Dalam cara pertama, yaitu pertukaran harta atas dasar saling rela itu dapat dikatakan jual beli dalam bentuk barter (dalam pasar tradisional), sedangkan dalam cara yang kedua, berarti barang tersebut dipertukarkan dengan alat ganti yang dapat dibenarkan. Adapun yang dimaksud dengan ganti rugi yang dapat dibenarkan berarti milik atau harta tersebut diperuntukkan dengan alat pembayaran yang sah dan diakui keberadaannya, misalnya uang rupiah dan lain sebagainya.23 Dengan melaksanakan transaksi jual beli ini, manusia mempunyai tujuan yaitu untuk kelangsungan hidup manusia yang teratur dengan saling 20
Hasbi al-Siddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam (Semarang: Pustaka Rizki Putera,1997),
21
M. Abdul Mujib dkk, Kamus Istilah Fiqh (Jakarta: Pustaka Firdaus, cet 2, 1994), 34.
336.
22
Chairuman Pasaribu dan Sahrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), 33. 23
Chairuman Pasaribu dan Sahrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), 34.
membantu antara sesamanya di dalam hidup bermasyarakat, dimana pihak penjual mencari rizki dan keuntungan, sedangkan pembeli mencari alat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu jual beli juga mempunyai tujuan untuk memperlancar perekonomian pribadi secara langsung dan perekonomian negara secara tidak langsung, serta dapat membuat orang lain lebih produktif dalam menjalankan kehidupan di dunia sehingga hidupnya lebih terjamin. Sebagai umat beragama, tujuan yang terpenting dalam jual beli adalah untuk mendapatkan ridhā Allah agar jual beli tersebut menjadi berkah dan berhasil. Untuk itu hendaklah setiap pedagang (pengusaha) muslim dan pembeli dapat menerapkan syari’at Islam dalam segala usahanya.
B. Rukun dan Syarat Sahnya Jual Beli 1.
Rukun Jual Beli Menurut Jumhur Ulama, rukun jual beli ada empat, yaitu: a. Adanya pihak penjual (al-bāi') b. Adanya pihak pembeli (al-musytari) c. Adanya barang yang diakadkan (ma'qūd 'alaihi) d. Adanya sigat akad (ijāb dan qabūl)24
2.
Syarat Jual Beli a. Pihak yang mengadakan akad 1) Berakal atau Tamyiz 24
Chairuman Pasaribu dan Sahrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), 34.
Beberapa ulama memberikan batasan umur terhadap orang yang dapat dikatakan balig, tetapi menurut Ahmad Azhar Basyir, kecakapan seseorang untuk melakukan akad lebih ditekankan pada pertimbangan akal yang sempurna bukan pada umur, karena ketentuan dewasa itu tidak hanya dibatasi dengan umur tetapi tergantung juga dengan faktor rusyd (kematangan pertimbangan akal).25 2) Atas kehendak sendiri Dalam melakukan perbuatan jual beli tersebut salah satu pihak tidak melakukan suatu tekanan atau paksaan terhadap pihak lain, sehingga apabila terjadi transaksi jual beli bukan atas kehendak sendiri tetapi disebabkan oleh adanya paksaan, maka transaksi jual beli tersebut tidak sah. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah yang berbunyi:
!!! ! !!!! !!! !!!! !!! !!ƒ ! !!!!!!!!! ! !!!ƒ !!!!!!! ! !!!!!! ! !!!! !!!!!!!! ƒ !!!!!!!!!!!!È !!!! !!! !!!!!! !!!!!! 26
!!! !!! ! !!! ! !!!! !!! !!!!!!!!! !!!! ! ! !!!!!!!!!ƒ !!!!!!! !!! ! !!!!! !!!!
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di
25 Chairuman Pasaribu dan Sahrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), 34. 26
Al-Nisā' (4): 29.
antara
kamu.
dan
janganlah
kamu
membunuh
dirimu,
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” 3) Bukan pemboros (mubāżir) Maksudnya adalah bahwa pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian jual beli tersebut bukanlah orang yang pemboros, karena orang yang pemboros dalam hukum dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap bertindak hukum, ia tidak dapat melakukan sendiri suatu perbuatan hukum walaupun hukum itu menyangkut kepentingannya sendiri. Orang pemboros dalam perbuatan hukumnya berada dalam pengawasan walinya. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah SWT:
!!! ! !!! ƒ ! !!! !!!! !!!!!! ! !!!! ! !!! !!!!!!!!!!! ! !!!!!!!!!! !! !! !!!!!! ! !!!! !!!È !!!! !! !!!!!!!! !!!!!! 27
!!!!!!!!!!!!!! !!!! ! !!!!!!!!!!
Artinya : “Dan janganlah kamu serahkan yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” b. Syarat yang berkaitan dengan barang yang diperjualbelikan28 1) ( ﻃﮭﺎرة اﻟﻌﯿﻦsuci barangnya)
27
Al-Nisā' (4): 5.
28
Chairuman Pasaribu dan Sahrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, 37-40.
Artinya barang yang diperjualbelikan bukanlah barang yang dikategorikan barang yang najis atau diharamkan oleh syara’, seperti minuman keras. 2) ( اﻹﻧﺘﻔﺎع ﺑﮫdapat dimanfaatkan) Maksudnya setiap benda yang akan diperjualbelikan sifatnya dibutuhkan untuk kehidupan manusia pada umumnya. Bagi benda yang tidak mempunyai kegunaan dilarang untuk diperjualbelikan atau ditukarkan dengan benda lain, karena termasuk dalam arti perbuatan yang dilarang oleh Allah yaitu menyia-nyiakan harta. Akan tetapi, pengertian barang yang dapat dimanfaatkan ini sangat relatif, sebab pada hakekatnya seluruh barang dapat dimanfaatkan, baik untuk dikonsumsi secara langsung atau tidak. Sejalan dengan perkembangan jaman yang semakin canggih, banyak barang yang semula tidak bermanfaat kemudian dinilai bermanfaat, seperti sampah plastik yang didaur ulang. 3) ( ﻣﻠﻜﯿﺔ اﻟﻌﺎﻗﺪ ﻟﮫmilik orang yang melakukan akad) Maksudnya bahwa orang yang melakukan transaksi jual beli atas suatu barang adalah pemilik sah barang tersebut. Dengan demikian, jual beli barang oleh seseorang yang bukan pemilik sah atau berhak berdasarkan kuasa si pemilik sah dipandang sebagai jual beli yang batal. 4) ( اﻟﻘﺪرة ﻋﻠﻰ ﺗﺴﻠﯿﻤﺔdapat diserahkan)
Maksudnya bahwa barang yang ditransaksikan dapat diserahkan pada waktu akad terjadi, tetapi hal ini tidak berarti harus diserahkan seketika. Maksudnya adalah pada saat yang telah ditentukan obyek akad dapat diserahkan karena memang benarbenar ada di bawah kekuasaan pihak yang bersangkutan. 5) ( اﻟﻌﻠﻢ ﺑﮫdapat diketahui barangnya) Maksudnya keberadaan barang diketahui oleh penjual dan pembeli, yaitu mengenai bentuk, takaran, sifat, dan kualitas barang. 6) ( ﻛﻮن اﻟﻤﺒﯿﻊ ﻣﻘﺒﻮﺿﺎbarang yang ditransaksikan ada di tangan) Maksudnya obyek akad harus telah wujud pada waktu akad diadakan. Penjualan atas barang yang tidak berada dalam penguasaan penjual adalah dilarang, karena ada kemungkinan kualitas barang sudah rusak atau tidak dapat diserahkan sebagaimana diperjanjikan.
c. Syarat sah akad (Ijab dan Qabul) Akad adalah suatu perkataan antara ijab dan qabul dengan cara yang dibenarkan syara' yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada obyeknya. 29 Akad yang dilakukan antara penjual dan pembeli dengan jalan suka sama suka dapat menimbulkan suatu kewajiban di antara
29
masing-masing
pihak
yang
berakad.
Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalah, 65.
Pihak
penjual
berkewajiban untuk menyerahkan barangnya dan bagi pembeli berhak menerima barang yang telah dibelinya. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan adanya kerelaan antara kedua belah pihak yang bertransaksi. Ahmad Azhar Baasyir telah menetapkan kriteria yang terdapat dalam ijab dan qabul, yaitu: 1) Ijab dan qabul harus dinyatakan oleh orang yang sekurangkurangnya telah mencapai umur tamyiz, yang menyadari dan mengetahui isi perkataan yang diucapkan, sehingga ucapannya itu benar-benar marupakan pernyataan isi hatinya. Dengan kata lain, ijab dan qabul harus keluar dari orang yang cakap melakukan tindakan hukum. 2) Ijab dan qabul harus tertuju pada suatu obyek yang merupakan obyek akad. 3) Ijab dan qabul harus berhubungan langsung dalam suatu majlis apabila kedua belah pihak sama-sama hadir, atau sekurangkurangnya dalam majlis diketahui ada ijab oleh pihak yang tidak hadir.30 Ijab qabul (sh{igat akad) dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, yaitu:
30
Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalah, 66-67.
1) Secara lisan, yaitu dengan menggunakan bahasa atau perkataan apapun asalkan dapat dimengerti oleh masing-masing pihak yang berakad. 2) Dengan tulisan, yaitu akad yang dilakukan dengan tulisan oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak yang berakad. Cara yang demikian ini dapat dilakukan apabila orang yang berakad tidak berada dalam satu majlis atau orang yang berakad salah satu dari keduanya tidak dapat berbicara. 3) Dengan isyarat, yaitu suatu akad yang dilakukan dengan bahasa isyarat yang dapat dipahami oleh kedua belah pihak yang berakad. Cara yang demikian ini dapat dilakukan apabila salah satu atau kedua belah pihak yang berakad tidak dapat berbicara dan tidak dapat menulis.31 Mengingat posisi akad demikian pentingnya, maka unsur yang paling asasi dalam akad adalah adanya suka sama suka atau kerelaan, sebagaimana firman Allah SWT:
!!! ! !!!!! !!! !!!! ! !!!! !!! !!!! !!! !!ƒ ! !!!!!!!!! ! !!!ƒ !!!!!!! ! !!!!!! ! !!!! !!!!!!!! ƒ !!!!!!!!!!!!È !!! !!! !!!!!! !!!!!! 32
!!! !!! ! !!! ! !!!! !!! !!!!!!!!! !!!! ! ! !!!!!!!!!ƒ !!!!!!!
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di 31
Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalah, .68-70.
32
Al-Nisā' (4): 29.
antara
kamu.
dan
janganlah
kamu
membunuh
dirimu,
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” Selanjutnya, menurut Ahmad Azhar Basyir, ada beberapa hal yang dipandang dapat merusakkan akad, yaitu adanya paksaan, adanya penipuan atau pemalsuan, adanya kekeliruan dan adanya tipu muslihat.33 Suatu akad jual beli dapat dikatakan mengandung unsur penipuan apabila penjual menyembunyikan aib terhadap barang dagangannya agar tidak tampak seperti sebenarnya, atau dengan maksud untuk memperoleh keuntungan harga yang lebih besar. Penipuan itu dapat terjadi dengan dua macam cara, yaitu penipuan yang dilakukan dalam suatu harga atau disebut dengan penipuan yang bersifat ucapan dan penipuan yang terdapat dalam sifat suatu barang atau disebut dengan penipuan yang bersifat perbuatan. Kejujuran dan kebenaran dalam jual beli merupakan nilai yang terpenting. Sehubungan dengan ini, maka sikap mengeksploitasi orang lain dan menjahili atau membuat pernyataan palsu merupakan perbuatan yang dilarang.34 Hadis Nabi Saw.:
33 34
Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalah, hlm. 101.
Muhammad Nejatullah Siddiqi, Kegiatan Ekonomi dalam Islam, Alih bahasa Anas Sidiq (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 58.
35
! ! !ƒ !!!!! !!!!! ! ! !!!!!! ! ƒ !!!!! !!!!! ! !! ! !! !!!!!!!! !!! !! ! !!!!!!!!! !!! ! !! ! !
Artinya : Melarang Rasulullah Saw jual beli al-Hus}a>t dan jual beli gharar. Jika akad telah berlangsung dan terpenuhi segala rukun dan syaratnya, maka akibat dari adanya akad tersebut adalah pemilik barang (penjual) memindahkan barangnya kepada pihak pembeli dan pembeli menyerahkan uangnya kepada penjual dengan ketentuan harga yang telah disepakati. Dengan demikian kedudukan akad adalah sebagai syarat sahnya jual beli dan berfungsi sebagai pemindahan hak milik dari satu pihak kepada pihak lain.
C. Macam-macam Jual Beli Selagi manusia masih hidup dan bermasyarakat serta masih berhubungan dengan orang lain akan selalu mengadakan transaksi jual beli dalam rangka memenuhi segala kebutuhannya. Seiring dengan kebutuhan manusia yang bermacam-macam, baik kecil maupun besar, bersifat rutin maupun insidental, maka jual beli juga bermacam-macam. 1. Jual beli dilihat dari sifatnya36 a. Jual beli yang sah 35
Al-Tirmiżi, al-Jāmi' al-Ṣaḥiḥ “Kitab al-Buyū’” (Beirut: Dar al-Fikr, t.th) II: 349. Hadis riwayat Abū Kuraib diceritakan oleh Abū Usāmah dari 'Ubaidillah Ibn Umar dari Abi al-Zinād dari al-A'rāj dari Abū Hurairah. 36
120-125.
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, cet. ke-1 (Jakarta: Gaya Media Pramana, 2000), hlm.
Yaitu jual beli yang dibenarkan oleh syara' dan telah memenuhi segala rukun dan syaratnya, baik yang berkaitan dengan orang yang mengadakan transaksi, obyek transaksi serta ijab dan qabul. b. Jual beli yang batal Yaitu jual beli yang seluruh atau salah satu syarat dan rukunnya tidak terpenuhi, atau jual beli yang menurut asalnya tidak dibenarkan oleh syara', seperti transaksi jual beli yang dilakukan oleh orang gila, anak kecil, atau jual beli barang yang haram. Termasuk jual beli yang batal antara lain: 1) Jual beli sesuatu yang tidak ada pada penjual. 2) Menjual belikan sesuatu yang tidak dapat diserahterimakan dari penjual kepada pembeli. 3) Menjual
benda-benda
yang
hilang,
seperti
lepas
dari
pemeliharaan. 4) Jual beli yang mengandung unsur penipuan. 5) Jual beli benda najis, seperti babi, khamr, bangkai, anjing dan lain sebagainya. 6) Jual beli yang menjadi milik umum, seperti air, sungai, danau, laut dan sebagainya. c. Jual beli yang fasid Ulama Hanafiah membedakan antara jual beli yang fasid dan jual beli yang batal. Apabila dalam jual beli tersebut terkait
dengan barang yang diperjual belikan, maka hukumnya batal, seperti jual beli barang-barang yang haram diperjualbelikan. Tetapi jika kerusakan tersebut terkait dengan harga barang dan dapat diperbaiki, maka hukumnya menjadi jual beli fasid. Di samping beberapa bentuk jual beli yang telah tersebut di atas, terdapat juga pembagian jual beli yang lain, yaitu: a. Jual beli yang tidak sah Yaitu jual beli yang tidak diizinkan oleh syari'at Islam karena ada alasan-alasan tertentu, seperti: 1) Menyakiti kepada salah satu pihak atau orang lain yang terlibat dalam jual beli tertentu. 2) Menyempitkan gerakan pasaran. 3) Merusak ketentraman umum.37 b. Jual beli yang sah tapi dilarang, antara lain: 1) Membeli barang dengan harga yang lebih mahal dari harga pasar, padahal si pembeli tidak menginginkan barang tersebut, tetapi sematamata bertujuan supaya orang lain tidak membeli barang tersebut. 2) Membeli barang yang sudah dibeli orang lain atau sudah ditawar orang lain yang masih dalam masa khiyār. 3) Membeli barang dari orang yang datang dari luar kota sebelum sampai di pasar dan mereka belum mengetahui harga yang ada di pasar.
37
Nazar Bakry, Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam, cet. ke-1 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 60-61.
4) Membeli barang untuk ditahan dan dijual kembali pada saat-saat tertentu dengan harga yang lebih mahal, padahal masyarakat umum berhajat terhadap barang tersebut. 5) Jual beli yang sifatnya membohongi, yaitu jual beli yang mengandung unsur kebohongan, baik di pihak penjual maupun pembeli, yang terdapat dalam barang dan ukurannya.38 2. Jual beli dilihat dari segi harganya a. Jual beli musāwamah, yaitu jual beli yang dilakukan dengan cara tawar menawar antara penjual dan pembeli sampai adanya kesepakatan harga di antara keduanya. b. Jual beli murābahah, yaitu jual beli yang dilakukan dengan menyebut barang beserta keuntungannya dengan syarat-syarat tertentu. c. Jual beli tauliyah, yaitu jual beli yang dilakukan dengan menjual harga pembelian tanpa adanya penambahan harga. d. Jual beli al-Wadi'ah, yaitu jual beli yang harga jual lebih rendah dibandingkan dengan harga pembelian barang tersebut.39
3838
Nazar Bakry, Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam, cet. ke-1 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), 62. 39
Ali Fikri, al-Mu'amalah al-Madiyah wa al-Adabiyah (Kairo: Matba'ah al-Bābi al-Halabi wa Aulāduh, 1938), I : 16-17.
BAB III HADIS-HADIS TENTANG PRAKTIK-PRAKTIK YANG TERLARANG DALAM JUAL-BELI
A. Penelusuran
Hadis-hadis
Tentang
Praktik-Praktik
yang
Terlarang dalam Jual-Beli 1.
Hadis tentang Larangan Gharar
!!!!!!!!! !!! !!! ! !!!!!! !!!!!!! !!! !!!! !!! !!! !! !! !!! !!! !!!!! !!!!!!!!!! !! !!!!!! ! !!!!!! !! !!!!! !!!!ƒ ! !!!!!!!!!!!! ! !!! !!!! !!!!!!!!! !!! ! !!!!!!!! !!! !!! ! !!! !!!! !!! !!! !! !!!!!!! ! !! !!!!!!! ƒ !!!!!! !! !!! ! ! !!! !!!! !! ! !! !!! ! ! !! !!! ! ! !!!!!! ! ƒ !!!!! !!!!! ! !! ! !! !!!!!!!! !!! !! ! !!!!!!!!! !!! ! !! ! !!!! !!!!!!! !! ! !! !!!!! ! !!! ! ! È ! !!!! ! 40
Artinya :
! ! !ƒ !!!!! !!
Telah meriwayatkan kepada kami Abu Bakar bin Abi
Shaibah, telah meriwayatkan kepada kami Abdullah bin Idris dan Yahya bin Said 40
Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj ibn Muslim al-Qusyairi Al-Naisaburi, al-Jami‘ al-Sahih, Juz VI (Beirut: Dar al-Fikr, [t.t.), h. 714. Lihat juga di; Amad ibn Shu`ayb ibn Alī ibn Sīnān Abū `Abd ar-Ramān al-Nasā'ī, Sunan al-Kubra al-Nasā'ī, (Riyadh, Dar al-Ma’a>rif) hadis no 4518 , h. 691. Lihat juga di; Abu Abdullah Muhammad bin Yazi{d bin Abdullah bin Majah Al Quzwaini}, Sunan Ibn Majah, Juz III (Beirut: Dar al-Ma’rifat, 1996) hadis no 1797, h. 81.
dan Abu Usamah, dari Ubaidillah. Dan telah meriwayatkan kepada kami Zuhair bin
Harb,
meriwayatkan
kepada
kami
Yahya
bin
Said
dari
Ubaidillah,meriwayatkan kepadaku Abu al-Zan>ad dari al-‘Araj, dari Abi Hurairah berkata: Melarang Rasulullah Saw jual beli al-Has}a>t dan jual beli gharar. Syarah Hadis Sesungguhnya Rasulullah Saw melarang menjual barang melalui alHus}a>t dan gharar adapun jual beli al-Hus}a>t ada tiga pendapat, pertama seperti seorang yang mengatakan aku jual baju ini kepada engkau jika engkau melemparkan batu kecil yang telah dilemparkan dan mengenai baju ini. Kedua, seperti perkataan engkau jual kepadaku barang yang jika aku lempar mengenainya dan engkau mempunyai pilihan untuk menjual atau tidak kepadaku. Dalam posisi ini penjual tidak mempunyai posisi lain selain menjual atau membatalkan dengan harga yang telah ditentukan oleh pembeli. Ketiga, bahwa mereka menjadikan pilihan itu tergantung kepada lemparan batu tersebut, kata si penjual “lemparkan saja batu ini, dan jika mengenai barang dagangan, maka barang tersebut telah terjual kepada pembeli”. Dari ketiga penjelasan ini dapat diberikan kesimpulan bahwa. Transaksi jual beli dengan paksaan dilarang dalam Islam karena hal ini berkaitan dengan ketidak jelasan harga dan barang yang dijual. Karena transaksi ini masuk dalam kategori penipuan dalam harga yang tidak jelas untuk dijual dan harga yang belum ditentukan. Oleh karena itu Rasulullah melarang transaksi melalui undian karena ada unsur tipu-daya. Adapun larangan gharar menurut
konsep Islam, gharar adalah sumber utama dari transaksi yang dilarang. Seperti penjualan yang tidak diketahui bentuknya, penjualan yang belum ada di tempat, penjualan milik orang lain, jual beli yang masih ditangguhkan. Seperti menjual ikan yang masih ada di air sedangkan dalam tempat tersebut terdapat beberapa ikan yang belum diketahui jenisnya, menjual susu yang belum diperah, menjual hewan yang belum lahir yang masih berada di perut induknya, atau menjual barang yang tidak diketahui keadaannya, menjual baju dari beberapa tumpukan pakaian, menjual kambing dari gerombolan induknya, dan masih banyak lagi contoh lainnya yang intinya menjual barang yang belum diketahui jenisnya, bentuknya, tempatnya, bahkan waktunya. Walaupun sudah ada dipredisi keadaannya. Hal ini dilarang oleh Rasulullah Saw karena ada unsur penipuan dalam transaksi jual beli yang barangnya belum diketahui. Akan tetapi ada pendapat yang lemah membolehkan menjual kambing yang masih dalam induknya tetapi sudah diketahui bentuknya. Itupun dikarenakan hal itu kita tidak mungkin melihat barang tersebut akan tetapi melalui prediksi kita sudah melihatnya. Hadis ini menunjukkan bahwa transaksi jual beli dengan melakukan prakter gharar dilarang karena adanya unsur penipuan dan ketidakjelasan barang yang dijual.41
41
Abu Zakaria Yahya bin Sharf bin Mari al-Nawawy} al-Minhaj Syarah Muslim bin alHajaj, Juz X (Beirut: Dar Ihya al-Turats), 157.
2. Hadis tentang Larangan Monopoli
!!! !!!! !!! !!!! !! !!! ! !!! !!!!!!! !!!!!!! ! !! ! ! !!!!!!!!!!!! ! !! ! ! ! ! ƒ !!!! !! !! !!! ! !!!!!!! ! !! ! !! !!!!!!!! !!! !! ! !!! !!!!!!! ! !!!! ! !!! ! !!! !! ! ƒ !!!!! !!!! !!!! !!! ! !!! !!! ! ! !!! !!!! !! !!! !!!! !! !!! ! 42
! !!!ƒ !!!!!! !! ! ƒ !!!! !•!!! !!! ! !!!! !!!! ƒ !!!!!!! !!!
Artinya : Telah menceritakan Nas}r bin ‘Ali} al-Jahd{ami{ kepada kami,dari Abu Ahmad, dari Isra>i}l, dari ‘Ali{ bin Sa>lim, dari ‘Ali bin Zaid bin Jud’a>n, dari Sa‘i}d bin al-Musayyab, dari ‘Umar, dari Rasulullah SAW. bersabda, Orang yang mendatangkan barang akan diberi rizki, dan yang menimbun barang akan dilaknat”.
!!! !!!!!! !!!!!!! ! !!!!!!!!!! !! !!! !!!! ! ! ! !!!!! !! !!! ! !!! !!! ƒ !!!!! !! !!!!!!!!!!! ! !!! !!!! !!! !!!!!!!!!! !! !! !!! ! !!!!!!! !!! !! !! !!!!!!!!! !!! ! !! ! !!!! !!!!! !!! !!!!! !!! ! ! !! !!!! ! !!! !!!!!!!!!! !! !!! ! !! !!!! !!! ! !43!!!!!!!!!!!! !!! !!! !!!!!ƒ ! !!! !! !! !
42
Abu Abdullah Muhammad bin Yazi{d bin Abdullah bin Majah Al Quzwaini}, Sunan Ibn Majah, Juz III (Beirut: Dar al-Ma’rifat, 1996) 13. Lihat juga di; Abd Allah ibn `Abd alRahman al-Da>rimi}, Sunan al-Da>rimi}, (Riyadh, Dar al-Mugni{) hadis no. 2586, h. 1657. 43 Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj ibn Muslim al-Qusyairi Al-Naisaburi, al-Jami‘ alSahih, Juz VI (Beirut: Dar al-Fikr, [t.t.) 180.
Artinya : Telah menceritakan Abdullah bin Sabba>h, meriwayatkan kepada kami Abu Ali al-Hanafi, dari Abdul Rahman bin Abdullah bin Dinar berkata, meriwayatkan kepadaku Ayahku dari Abdullah bin Umar Ra.: Rasulullah Saw melarang jual beli hadiru libadin (transaksi orang kota dengan orang desa untuk menjualkan barangnya dengan harga yg lebih tinggi)
Syarah Hadis Rasulullah Saw melarang membeli barang yang datang dari daerah tertentu untuk dibawa ke kota dengan melakukan penipuan atau manipulasi harga, dan ketika seseorang datang untuk membeli barang yang datang dari daerah tertentu dan ketika belum sampai di kota pembeli mencegat di perjalanan dengan memanipulasi harga. Oleh karena itu penjual pertama terpaksa untuk menjual barang dagangannya kepada penadah dengan menawarkan harga yang lebih murah, hal ini dikarekanan ketidaktahuan penjual pertama terhadap harga di kota. Larangan ini menunjukkan bahwa penipuan terhadap harga jual barang dalam jual beli dilarang dalam Islam. Hadis ini menunjukkan bahwa monopoli dengan tujuan harga yang tinggi termasuk dalam praktek penipuan dalam jual beli. Menurut alSyafi’i yang dimaksud dengan hadir libad adalah barang dagangan yang dibutuhkan oleh orang-orang, di pertengahan jalan kemudian di tengah jalan dipaksa untuk menjual dengan harga yang lebih murah daripada di kota. Hal
tersebut diharamkan karena syarat yang diberikan oleh penjual dan pembeli adalah syarat yang batil.44
3. Hadis tentang larangan menawar barang yang sudah dibeli
!!! !! ! !!! !!!!! !!! ! ! ! ! !!! ! ! !!! !!!!!!!!!! !! !!! ! !!! !!!!!!! ! !!! !!!!!! !!! ! !!! !!!!!! !!! !!! ! !!!!!!! ! 45
Artinya:
!!!! !!!! !!!! !! !!! ! ! !!!!! !!!!!!! !!!! !!!!! !! !! !!!!!! !! !!! !! !! !!!!!!!!! !!! ! Telah
menceritakan
kepada
kami
Ismail,
berkata
meriwayatkan kepadaku Malik dari Nafi’ dari Abdullah bin ‘Umar Ra. Bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: Janganlah sebagian diantara kamu membeli atau menawar barang yang telah dibeli atau ditawar saudaramu.
Syarah Hadis Dalam hadis lain yang diriwayatkan Muslim, dari Tariq ‘Ubaidillah bin ‘Umar, dari Nafi’ lafaz hadis ini !! !!! !!!!! !!!!! ! !! !!!! ! ! !! !!!!! !!! !!!! !! !! ! !!!!! !!!!
!!! ! !!! dan kalimat !!! ! !!!! ! !! ! ! mengandung arti istisna terhadap dua hukum. Yaitu, menunggu akad jual beli selesai sampai dia membeli atau membatalkan
44 Abu Zakaria Yahya bin Sharf bin Mari al-Nawawy} al-Minhaj Syarah Muslim bin alHajaj , Juz IX (Beirut: Dar Ihya al-Turats), 164. 45 Abi Abdillāh Muhammad ibn Ismā'il ibn Ibrāhim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah alBukhāri al-Ja’fiyyi, Sahih Bukhāri, Juz II (Beirut: Dār al-Fikr, 1401 H/ 1981 M), h. 180
transaksi jual beli. Seperti yang ada di dalam kaidah al-Syafi’iah. Adapun riwayat yang kedua lebih khusus untuk pernikahan. Seseorang tidak dibolehkan meminang seseorang perempuan jika telah dipinang oleh orang lain, sampai dia melanjutkan pernikahan atau membatalkannya. Oleh karena itu di kalangan alSyafi’ah terjadi perbedaan terhadap hadis ini. Pertama, ada kemungkinan hadis ini khusus pada bab pernikahan, dan yang kedua, hadis ini ada pada bab muamalah. Akan tetapi dari beberapa perbedaan pendapat tersebut sebenarnya mempunyai satu makna, baik nikah ataupun jual beli, kedua-duanya sama-sama melarang mengambil hak orang lain. Kalimat la yabiu ini seperti seseorang yang berkata, apakah akan engkau teruskan jual beli ini atau tidak. Sedangkan di pihak lain, ada pembeli yang juga ingin membeli barang dagangan tersebut. Maka, si penjual tidak boleh menjual barang dagangannya kepada pihak kedua sebelum masa transaksi pihak pertama selesai. 46
4. Habalil Habalah
46
Badr al-Din al-'Ayni, Umdah al Qari fi Sharh Sahih al Bukhari' , Juz XVII (Beirut: Dar Ihya al-Turats) 455.
!!! !!! !!! !!!!! !!! ! ! !! !! ! ! !!! !!!!!!!!!! !! !!! ! !!! !!!!!!! ! !!! !!!!!!!!! !! !!!! ! !!!!!! !!!!!!!!!! !! !!!!!! ! !!!!!! !!! ƒ !!!!! ! !!!!!!!!!!!!!!!!!!!! !!! ! !•!!!!!! ƒ !!!!! !! !!! !!!!! ! !! ! !!! !!!! !!!!!!!! !!! !! !! !!!!!!!!! !!! ! 47
Artinya :
!!! !ƒ ! !!! !!! !!!!!! !!!!!! !!•!!!!!!!!!!!! !!!!ƒ ! !!! !!!!! !!!! ƒ !!!!! !!!!!!!! ! !!!!!! !!! !• Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf,
Memberitakan kepada kami Malik, dari Nafi’, dari Abdullah bin ‘Umar Ra. Bahwasanya Rasulullah Saw melarang melarang transaksi jual beli yang disebut dengan “habalul habalah”. Itu adalah jenis jual beli yang dilakoni masyarakat jahiliah. “Habalul habalah” adalah transaksi jual beli yang bentuknya adalah: seorang yang membeli barang semisal unta secara tidak tunai. Jatuh tempo pembayarannya adalah ketika cucu dari seekor unta yang dimiliki oleh penjual lahir. Syarah Hadis Abu ‘Ubaid berkata bahwa yang dimaksud dengan habalil habalal ialah khusus untuk hewan yang bisa hamil dan melahirkan. Karena tidak bisa disebut habalil habalah kecuali hewan yang mempunyai janin, dikarenakan transaksi yang dilakukan adalah menjual janin hewan tersebut. Hadis ini termasuk dalam kriteria gharar dikarenakan transaksi yang dilakukan dalam habalil habalah ini mengandung unsur penipuan terhadap barang yang akan dijual. Hal ini dikarenakan janin yang dijual belum ada kejelasan kapan lahirnya, apakah hidup 47
Abi Abdillāh Muhammad ibn Ismā'il ibn Ibrāhim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah alBukhāri al-Ja’fiyyi, Sahih Bukhāri, Juz II (Beirut: Dār al-Fikr, 1401 H/ 1981 M), 83. Lihat juga di; Amad ibn Shu`ayb ibn Alī ibn Sīnān Abū `Abd ar-Ramān al-Nasā'ī, Sunan al-Kubra al-Nasā'ī, (Riyadh, Dar al-Ma’a>rif) hadis no. 4639
atau mati, dan jenis kelaminnya. Oleh karena itu Rasulullah melarang menjual binatang yang masih dalam perut. Diriwayatkan dari Ubaidillah bin Umar, dari Nafi’ ia berkata, Dahulu pada masa jahiliyah, mereka telah melakukan transaksi jual beli daging domba, sapi, dan sebagainya sampai menjual binatang yang masih dalam perut yang belum diketahui jenis dan bentuknya. Kemudian Rasulullah Saw melarang mereka untuk melakukan hal demikian. Adapun
al-Jazur ( ) اﻟْﺠَﺰُورadalah onta jantan ataupun betina, akan
tetapi sebenarnya kalimat al-Jazur ini kalimat mu’annas dan ini berlaku juga untuk mudzakar. Jadi ada kemungkinan penyebutan al-Jazur dalam hadis ini mengandung arti bahwa orang-orang pada masa jahiliyah tidak melakukan transaksi jual beli kecuali pada binatang onta dan dagingnya. Bisa juga itu cuma hanya sekedar contoh dari binatang lain. dan secara hukum fiqih sebenarnya tidak ada perbedaan onta dan lainnya. Yang menjadi permasalah al-Jazur disini bukan hanya untuk onta saja akan tetapi hewan yang bisa hamil dan melahirkan. Kalimat (ُن ﺗُﻨْ َﺘﺞَ اﻟﻨﱠﺎﻗَﺔ ْ ) ِإﻟَﻰ َأdi dalam hadis ini berarti binatang yang bisa hamil dan melahirkan, artinya janin yang ada dalam kandungan sampai lahir dalam keadaan hidup. Imam Malik dan Imam al-Syafi’i berpendapat bahwa penjualan janin ini sama sepeerti harga yang dijual ketika waktu lahir, hal inilah yang menyebabkan larangan terhadap jual beli janin. Konsep pelarangan jual beli janin ini dikarenakan barang yang dijual masih tidak ada dan tidak diketahui
keadaannya dan belum mampu untuk diserahkan saat itu. Maka, transaksi ini termasuk dalam transaksi gharar, karena ada unsur penipuan.48
5. Muhadarah, Mula<masah, Muna
!!! !!!! !!! !! !! !! !!!! !!!!!! !!! ! !!! !!!!! ! !!! !!! !! !!! ! !!! !!!!!! !!!!!! !!! ! !!! !!!!!! !!! !!! !!!! !!!! !!!!!! ! !!! ! !! ! !!! !! !! !!!!!!!! !!! !! !! !!!!!!!!! !!! ! !!! !!!!! !! !!! !!!!!! !!! ! ! !! !!! !!!! !!!!!!!! !!!! !! !!! ! !! ! !! !•!!!!!!!!! ! !!!!! !!•!!!!!!!!ƒ ! !!!! !!!•!!! ! ! !!!! !!!!! !!ƒ !!!!!!!!! !!!! ! ! !!!!! ! ! !!! ! ! !•!!!! !!!!! ƒ !! 49
Artinya :
!!!!!!!! !!!!! !!! ! !!!!!! ! !!!!! !! ! ƒ !!!! !•!!!! !! ! ƒ !!
Telah meriwayatkan kepada kami Said bin ‘Ufair, ia
berkata meriwayatkan kepadaku al-Laits, ia berkata meriwayatkan kepadaku ‘Uqail, dari Ibn Sh}ihab, ia berkata mengkhabarkan kepadaku ‘A<mir bin Sa’ad, bahwasanya Rasulullah Saw melarang munabadzah, yaitu penjual menjajakan pakaian yang dimiliki untuk dijual dan pembeli tidak memegang atau melihat barang tersebut, dan Rasulullah Saw juga melarang mulamasah, yaitu penjual
48
Ibn Hajar al-Asqalani Abu'l-Fadl Ahmad ibn Ali ibn Muhammad, Fath al-Bari Sharh Sahih al-Bukhari, Juz VI (Beirut: Dār al-Fikr) 472. 49 Abi Abdillāh Muhammad ibn Ismā'il ibn Ibrāhim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah alBukhāri al-Ja’fiyyi, Sahih Bukhāri, Juz II (Beirut: Dār al-Fikr, 1401 H/ 1981 M), h. 85. Lihat juga di; Amad ibn Shu`ayb ibn Alī ibn Sīnān Abū `Abd ar-Ramān al-Nasā'ī, Sunan al-Kubra alNasā'ī, (Riyadh, Dar al-Ma’a>rif) hadis no. 4639
dan pembeli menyentuh pakaian yang dijual atau barangnya tanpa perlu memeriksa atau membukanya.
!!!! ƒ !! !! !!!!! !!!! !!! ! !!! !!! ! !!! !!!!! !!!! !!! ! !!! !!!!!! !!!!!!! !!!! ! ! !!!!!! ! !!! ! ! !! !!!! !!! ! !!!!!!! ! !! !! !!!!!!!! !!! !! !! !!!!!!!!! !!! ! !! ! !!!! !!!!!!!!!! !!!!!! !!! ! ! !! !!! !!!!!!! !!!! !!!!! ! !!! ! !!! !È !! 50
Artinya :
!!!!!! ! ƒ !!!! !•!!!! !!!!! ƒ !!!! !•!!!! !! ! ƒ !!!! !•!!!! ! !! ! ƒ !!!! !•!!!!!!!! ! ƒ !!!!! ! !!
Telah meriwayatkan kepada kami Ish
meriwayatkan kepada kami ‘Umar bin Yunus, ia berkata meriwayatkan kepadaku ayahku, ia berkata meriwayatakan kepada Ish
!!! !!! !!! !!!!! !!! ! ! !! !!!! ! !!! !!!!!!!!!! !! !!! ! !!! !!!!!!! ! !!! !!!!!!!!!!! !!!! ! !!!!!! !!!!!!!!!! !! !!!!!! ! !!! !!!!ƒ !!!! ! !!•!!!! ! ! ! !!! ! !!!! !! !!! !!! !!!!!! !!!!! ! !! ! !! ! !! !! !!!!!!!! !!! !! ! ! !!!!!!!!! !!! ! 51
Artinya :
! !!!!! ƒ !!!!
Telah meriwayatkan kepada kami Abdullah bin Yusuf,
mengkhabarkan kepada kami M
Abi Abdillāh Muhammad ibn Ismā'il ibn Ibrāhim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah alBukhāri al-Ja’fiyyi, Sahih Bukhāri, Juz II (Beirut: Dār al-Fikr, 1401 H/ 1981 M), h. 180 51 Abi Abdillāh Muhammad ibn Ismā'il ibn Ibrāhim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah alBukhāri al-Ja’fiyyi, Sahih Bukhāri, Juz II (Beirut: Dār al-Fikr, 1401 H/ 1981 M), h. 159. Lihat juga di; Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj ibn Muslim al-Qusyairi Al-Naisaburi, al-Jami‘ alSahih, Juz II (Beirut: Dar al-Fikr, [t.t.) hadis no. 1534, h. 714
bahwasanya Rasulullah Saw melarang jual beli buah yang belum panen, dan Rasulullah juga melarang orang untuk menjual barang dagangannya tersebut.
!!! ! !!! ! ! È ! !!!! ! !!!!!!! !!!! !!!!! ! ! !!! !!!! !! !!! !! !!!! !!!! ! ! !!!! ! !!! !!!!!! !!! ! !!! !!!!!! !!! !!! ! !!!!!!! ! !!!! !! ! ƒ !!!!! ! !! ! !! ! !! !! !!!!!!!! !!! !! ! ! !!!!!!!!! !!! ! !!! !! ! !!!!!! !!! ! ! ! ! !!!!!! ! !! !! 52
Artinya :
!!! !!!!! ƒ !!!!
Telah meriwayatkan kepada kami Ismail, ia berkata
meriwayatkan kepadaku Malik, dari Muhammad bin Yahya bin Hibban, dan dari Abi al-Zan
Syarah Hadis Kalimat muna>badzah dalam hadis Abi Sa’id tersebut menunjukkan bahwa membeli barang tanpa diketahui barangnya termasuk dalam kategori penipuan. Transaksi jual beli ini juga termasuk dalam kategori spekulasi 52
Abi Abdillāh Muhammad ibn Ismā'il ibn Ibrāhim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah alBukhāri al-Ja’fiyyi, Sahih Bukhāri, Juz II (Beirut: Dār al-Fikr, 1401 H/ 1981 M), 88. Lihat juga di; Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj ibn Muslim al-Qusyairi Al-Naisaburi, al-Jami‘ al-Sahih, Juz VI (Beirut: Dar al-Fikr, [t.t.) hadis no. 3874, h. 702. Lihat juga di; Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Abu `Abd Allah al-Shaybani, Musnad Ahmad ibn Hanbal, (Beirut: Muassasah alRisa>lah) hadis no. 9170. Amad ibn Shu`ayb ibn Alī ibn Sīnān Abū `Abd ar-Ramān al-Nasā'ī, Sunan al-Kubra al-Nasā'ī, (Riyadh, Dar al-Ma’a>rif) hadis no. 4526. Lihat juga di; Abu Abdullah Muhammad bin Yazi{d bin Abdullah bin Majah Al Quzwaini}, Sunan Ibn Majah, Juz III (Beirut: Dar al-Ma’rifat, 1996) hadis no 2254.
dikarenakan pembeli hanya diberikan pilihan untuk membeli barang yang disentuhnya tanpa melihat barang itu cacat atau tidak. Dan dari riwayat Ibnu Majah diriwayatkan dari Sufyan, mengatakan bahwa muna>badzah itu seperti seorang yang mengatakan ‘berikan barang yang ada pada engkau, dan aku akan memberikan barang yang ada padaku’. Jual beli ini termasuk dalam kategori barter barang dagangan, akan tetapi dengan harga yang telah ditentukan tanpa melihat keadaan barang. Ulama berbeda pendapat mengenai pengertian muna>badzah, diantara perbedaan pendapat itu, pertama, menjadikan lemparan sebagai transaksi jual beli. Kedua, menjadikan lemparan sebagai transaksi jual beli tanpa ada tawarmenawar. Ketiga, menjadikan lemparan sebagai tanda berakhirnya khiyar. Sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa muna>badzah adalah jual beli hashah, namun sebenarnya keduanya berbeda. Transaksi mula>masah yaitu penjual dan pembeli menyentuh pakaian yang dijual atau barangnya tanpa perlu memeriksa atau membukanya. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat mengenai pengertian ini, pendapat pertama mengatakan bahwa mula>masah itu ialah penjual membawa pakaian yang hendak dijualnya dalam keadaan terlipat atau di tempat yang gelap lalu si penawar menyentuhnya lalu penjual berkata kepadanya, "Aku jual pakaian ini kepadamu dengan syarat engkau tidak perlu melihatnya cukup menyentuhnya saja (menyentuhnya sama dengan melihatnya). Pendapat kedua mengatakan bahwa mula>masah itu ialah apabila penjual mensyaratkan sentuhan tersebut sebagai batas berakhirnya hak khiyar (pilih) bagi si pembeli.
Semua bentuk jual beli muna>badzah dan mula>masah yang telah dijelaskan di atas hukumnya haram, karena termasuk dalam bab perjudian (untung-untungan). Dan jual beli ini dianggap bathil. Asy-Syaukani berkata dalam kitab Nailul Authaar (V/247), "'Illat (alasan) dilarangnya jual beli mula>masah dan muna>badzah adalah adanya unsur gharar (tipuan), ketidakjelasan dan batalnya hak khiyar bagi si pembeli." Muh
53
Ibn Hajar al-Asqalani Abu'l-Fadl Ahmad ibn Ali ibn Muhammad, Fath al-Bari Sharh Sahih al-Bukhari, Juz VII (Beirut: Dār al-Fikr) 39.
6. Najsy
!! !!! !! !! !!! !!!!!! ! !!!! !!!!! !!! !!!!! !!! ! ! !! !!! ! ! !!! !!!!! ! !!! !!!!!!! ! !!! !!!!!!!!!! ! !!!! !! !!!! !!!!!!!!!! !! !!!!!! ! 54
Artinya :
!!!! ! !!!!!! ! !! !! !! !!!!!!
Telah meriwayatkan kepada kami Abdullah bin Maslamah,
dari Nafi’, dari Ibn ‘Umar Ra bahwasanya Nabi melarang jual beli najsy.
Syarah Hadis Haram hukumnya praktek najasy dalam jual beli, at-Tirmidzi berkata dalam Sunannya, "Hadits inilah yang berlaku di kalangan ahli ilmu, mereka memakruhkan praktek najasy dalam jual beli."55 Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fath al-Bari , "Makruh yang dimaksud adalah makruh tahrim (haram). 56 Bentuk praktek najasy adalah sebagai berikut, seseorang yang telah ditugaskan menawar barang mendatangi penjual lalu menawar barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi dari yang biasa. Hal itu dilakukannya dihadapan pembeli dengan tujuan memperdaya si pembeli. Sementara ia sendiri tidak berniat
54
Abi Abdillāh Muhammad ibn Ismā'il ibn Ibrāhim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah alBukhāri al-Ja’fiyyi, Sahih Bukhāri, Juz II (Beirut: Dār al-Fikr, 1401 H/ 1981 M), h. 81/8 55 Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin Ad-Dahhak As-Sulami AtTirmizi, Sunan at-Tirmizi,Juz III (Beirut: Dar al-Fikr) 597. 56 Ibn Hajar al-Asqalani Abu'l-Fadl Ahmad ibn Ali ibn Muhammad, Fath al-Bari Sharh Sahih al-Bukhari, Juz XXI (Beirut: Dār al-Fikr) 336.
untuk membelinya, namun tujuannya semata-mata ingin memperdaya si pembeli dengan tawarannya tersebut. Ini termasuk bentuk penipuan.57 Al-Baghawi berkata dalam kitab Syarhus Sunnah [VTII/120-121], Najasy adalah seorang laki-laki melihat ada barang yang hendak dijual. Lalu ia datang menawar barang tersebut dengan tawaran yang tinggi sementara ia sendiri tidak berniat membelinya, namun semata-mata bertujuan mendorong para pembeli untuk membelinya dengan harga yang lebih tinggi. At-Tanajusy adalah seseorang melakukan hal tersebut untuk temannya dengan balasan temannya itu melakukan hal yang sama untuknya jika barangnya jadi terjual dengan harga tinggi. Pelakunya dianggap sebagai orang durhaka karena perbuatannya itu, baik ia mengetahui adanya larangan maupun tidak, sebab perbuatan tersebut termasuk penipuan dan penipuan bukanlah akhlak orang Islam. Al-Baghawi berkata dalam Syarhus Sunnah (VIII/121), "Para ulama sepakat bahwa bila seorang mengakui praktek najasy yang dilakukannya lalu si pembeli jadi membelinya, maka jual beli dianggap sah, tidak ada hak khiyar bagi si pembeli, jika oknum pelaku najasy tadi melakukan aksinya tanpa perintah dari si penjual. Namun, bila ia melakukannya atas perintah dari si penjual, maka sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa si pembeli memiliki hak khiyar.
57
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin Ad-Dahhak As-Sulami AtTirmizi, Sunan at-Tirmizi,Juz III (Beirut: Dar al-Fikr) 598.
BAB IV ANALISIS PEMAHAMAN TEKS HADIS DAN HIKMAH LARANGAN MENIPU DALAM JUAL BELI
A. Analisa Pemahaman Teks Hadis 1. Hadis Larangan Gharar Teks Matan hadis:
! !!ƒ !!!!! !!!!! ! ! !!!!!! ! ƒ !!!!! !!!!! ! !! ! !! !!!!!!!! !!! !! ! !!!!!!!!! !!! ! !! ! ! a. Tinjauan Kata pada Matan Hadis Jual beli al-Has}a>t Maksud dari istilah jual beli semacam ini adalah keputusan untuk menjual, atau kadar benda yang dijual berdasarkan peruntungan yang didapat dari lemparan batu. Contoh: Seseorang berkata kepada orang lain, "Aku akan menjual
salah satu dari pakaian yang terkena lemparan batu ini kepadamu." Atau bisa juga dengan perkataan, "Aku akan menjual tanah ini kepadamu dari tempat kita berdiri hingga sejauh lemparan batu ini".58
Jual beli al-Gharar Kata gharar menunjukkan makna suatu kondisi suatu barang apakah akan memberikan kerugian pada pemiliknya tidak diketahui dengan jelas. Dalam hal jual beli, berdasarkan larangan hadis Rasulullah tersebut diatas, unsur gharar juga menjadi salah satu penyebab tidak sahnya suatu akad jual beli. Di mana kemudian istilah jual beli yang bersifat gharar ini dimaknai suatu proses jual beli yang tidak memberikan kepastian tentang bentuk, atau kadar, kondisi, serta harga barang yang dijual. Sedangkan proses jual beli sudah selesai. 59 b. Makna Umum dari Hadis Secara umum hadis ini merupakan salah satu dari prinsip dasar dari sistem aktivitas perekonomian yang dilakukan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Sesuai dengan tujuan dasar adanya syariah yang diantaranya adalah menjaga harta manusia dan hak-hak finansialnya, maka unsur penipuan dan ketidakjelasan dalam setiap transaksi harus dilarang dengan tegas. Jual beli Hashat dan Gharar yang tertera dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. tersebut, merupakan bentuk nyata dari dua unsur interaksi yang merugikan. Dimana sudah semestinya interaksi antara pelaku
58 Muhammad Shadiq Khan, Al-Siraj Al-Wahha>j min Kasyfi Mathalib Shahih Muslim bin al-Hajjaj, Juz IV (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), 122. 59 Ibnu al-Atsîr, An-Nihâyah fi Gharîb al-Hadits wa al-Atsâr, Juz III (Beirut: Dar alKutub al-Ilmiyah) 355.
ekonomi haruslah didasarkan atas prinsip saling memberikan keuntungan. Si penjual memberikan keuntungan manfaat ataupun jasa kepada pembeli dari barang atau produk yang ia jual. Sedangkan si pembeli memberikan keuntungan nilai atau harga dari barang yang berpindah alih kepemilikannya, serta dapat kembali membeli produk lain yang akan ia manfaatkan untuk terus mempertahankan usaha yang ia jalani. Demikianlah Islam sebagai agama yang sangat memperhatikan segala aspek kehidupan para penganutnya. Ini semua bertujuan untuk kemashlahatan umat manusia di muka bumi. c. Faedah yang diambil dari hadis
Hadis ini menjadi salah satu sandaran dalil bagi para fuqaha dalam menetapkan syarat sah dalam jual beli yaitu pembeli dan penjual samasama mengetahui dengan pasti harga dan sesuatu yang dijual sebelum keduanya menyelesaikan transaksi jual beli. Begitu juga dengan syarat bahwa penjual diharuskan mampu untuk menyerahkan barang yang ia jual kepada pembeli.
Hadis ini juga jadi sandaran dalil dari salah satu syarat sah dalam akad sewa menyewa.
Gharar identik dengan ketidaktahuan. Oleh sebab itu, semakin besar unsur ketidaktahuan, maka semakin besar pula lah mudharat ataupun kerugian yang akan menimpa kedua pihak yang bertransaksi. Maka tingkat keharamannya pun secara otomatis akan semakin tinggi.
Seluruh akad atau transaksi ekonomi yang sifatnya memberikan keuntungan kepada kedua belah pihak, dalam aturan-aturannya pasti akan mengacu kepada hadis ini atau kandungannya sebagai prinsip dasar dalam setiap transaksi.
d. Pendapat ulama berkenaan dengan hukum Fiqih dari hadis d.1 Jual beli Hashat Secara umum para ulama dengan jelas sepakat bahwa jual beli Has}a>t hukumnya adalah haram. Berikut ini sikap para ulama yang mereka utarakan dalam kitab yang mereka tulis. Al-Imam Syamsuddin Abi Abdillah bin Ibnu al-Qayyim al-Jauzi mengatakan, "Semua gambaran yang saya utarakan tentang jual beli Has}a>t adalah bentuk transaksi yang fasid (rusak) dan termasuk dalam kasus mengambil hak orang lain dengan cara yang batil." 60 Imam as-Sanady mengatakan, "Jual beli Has}a>t menandakan bahwa barang yang dijual belum diketahui secara tepat. Ada pula yang mengatakan bahwa lemparan batu merupakan bagian dari akad. Padahal seharusnya akad dilakukan dengan ijab dan qabul antara kedua pihak sehingga ini sangat menyalahi dengan aturan syariat."61
d.2 Jual beli Gharar
60
Ibn Qayyim Al-Jauzi, Zâdul Ma'âd, (Beirut: Muasasah al-Risalah) 725. Abu Al-Hasan Al-Hanafi (Imam as-Sanady), Hasyaih as-Sanady 'Ala Ibn Mâjah, hadis no 2194 hal. 18 61
Imam Nawawi berkata, "Larangan jual beli Gharar adalah fondasi dasar dalam aturan jual beli yang mencakup berbagai macam kasus yang berhubungan dengan transaksi jual beli." 62 Imam Khithabi mengatakan, "Segala jenis jual beli yang mengandung unsur ketidaktahuan terhadap dagangannya termasuk dalam hukum gharar. Larangan dari Rasulullah terhadap jual beli gharar ini bertujuan untuk melindungi harta dan menghindarkan perselisihan antara pihak-pihak yang melakukan transaksi jual beli."63
2. Hadis Larangan Monopoli Teks Matan Hadis 1:
!!!!!!!!!!! !!! !!! !!!!!ƒ ! !!! !! !! !!!!!!!! !!! !! !! !!!!!!!!! !!! ! !! ! ! Teks Matan Hadis 2:
! !!!ƒ !!!!!! !! ! ƒ !!!! !•!!! !!! ! !!!! !!!! ƒ !!!!!!! !!!!! ! !! !!!!!!!! !!! !! ! !!! !!!!!!! ! !! a. Tinjauan Kata pada Matan Hadis Jual beli Hâdhir Libâdin Disebutkan dalam kitab 'Aunul Ma'bûd, Imam Nawawi mengatakan bahwa Imam Syafi'I dan kebanyakan para pengikut beliau menggambarkan
62
no 2036.
63
Ibnu Hajar al-'Asqalani, Fathul Bâri Syarah Shahih Bukhari, Bab Ba'ul Gharar hadis
Muhammad Syamsul Hal al-Azhim Âbâdi, 'Aunul Ma'bûd, Dârul Fikr Beirut 1995, Hadis no 3376 Hasyiah no.1 hal. 180
Hâdhir Libâdin yang disebutkan nabi pada hadis diatas adalah, seseorang yang datang dari daerah terpencil atau pedalaman yang menjual barang dagangannya yang merupakan kebutuhan orang banyak dengan harga biasa. Kemudian ada orang lain yang memborong barang tersebut dengan maksud untuk menjualnya secara bertahap dengan harga yang bisa ia atur sendiri, tidak berdasarkan harga pasar yang sudah disepakati.64 Kemudian Imam Nawawi menambahkan, bahwa jual beli ini diharamkan dengan syarat bahwa orang tersebut mengetahui bahwa apa yang ia lakukan memang dilarang. Namun jika ia tidak mengetahuinya, atau barang tersebut bukan merupakan kebutuhan orang banyak, maka hal tersebut tidak diharamkan. Hadis 2
! !!!ƒ !!!!!! !! ! ƒ !!!! !•!!! !!! ! !!!! !!!! ƒ !! Imam al-Auzâ'i berkata, "Al-Jâlib bukanlah Muhtakir, karena orang tersebut tidak menimbulkan kesulitan bagi orang lain. Bahkan ia justru memberikan manfaat kepada orang lain. Karena ia justru memberikan rasa tenang kepada orang lain bahwa stok bahan makanan pokok masih tersedia dan siap diperjualbelikan kepada yang membutuhkannya.65
b. Makna Umum dari Hadis
64 65
Muhammad Syamsul Hal al-Azhim Âbâdi, 'Aunul Ma'bûd, (Beirut: Dar al-Fikr),240 Ibnu Quddamah, Al-Muqhni, (Beirut: Dâr Ikhbâr Turats Arabi), 154.
Sederhananya
dunia
perdagangan
memang
berorientasi
pada
keuntungan materi. Namun ada nilai-nilai tertentu yang menjadi salah satu faktor utama yang mempengaruhi setiap prilaku setiap orang dalam berdagang. Seperti kejujuran, kecermatan, dan hal-hal lainnya. Dalam hal yang sangat erat hubungannya dengan kebutuhan masyarakat, seperti bahan makanan pokok dan keperluan sehari-hari, Islam juga memberikan perhatian yang sangat besar dan serius. Adanya sikap monopoli dalam perdagangan mungkin bisa diakui sebagai suatu hal yang manusiawi. Namun jika hal tersebut sangat berpengaruh pada kestabilan roda kehidupan suatu komunitas, maka Islam sangat tegas untuk menghadangnya. Sebab itulah Rasulullah menyematkan status sebagai orang yang terlaknat bagi siapapun yang melakukan monopoli dan memainkan harga pasaran. Apalagi jika ini menyangkut dengan komoditas bahan pokok. Islam tidak membatasi sebesar apa kuantitas barang dagangan yang bisa kita sediakan bagi para calon pembeli. Namun yang dibatasi disini adalah hasrat untuk mendapatkan keuntungan besar dengan cara menimbulkan penderitaan bagi orang lain. c. Faedah yang diambil dari hadis
Hadis ini merupakan asas yang sangat tepat sebagai prinsip penentuan harga dalam setiap aktivitas perdagangan yang melibatkan banyak pihak dalam persaingan bisnis.
Hadis ini juga mengandung nilai-nilai sosial yang menekankan pada pemerataan pada harga suatu barang yang memiliki tingkat kebutuhan
tinggi dari konsumen. Sehingga dengan adanya kestabilan harga yang dijaga dari aksi penumpukan ataupun monopoli, kehidupan masyarakat akan terjaga dan tingkat kerawanan gejolak sosial akan rendah. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa gejolak sosial juga dipengaruhi oleh adanya faktor ekonomi.
Monopoli merupakan kegiatan mengambil hak orang lain dengan cara yang batil. Ini ditunjukkan oleh mudharat yang ditimbulkan dari aksi tersebut. Tidak salah kiranya Rasulullah mengutuk orang yang melakukan aksi tersebut dengan mengatakannya sebagai makhluk yang dilaknat.
d. Pendapat ulama berkenaan dengan hukum Fiqih dari hadis Di dalam kitab Bada>'i al-S}ana>'i fi Tarti>b al-Shara>'i disebutkan beberapa aturan hukum tentang monopoli sebagai berikut66: 1. Hukum Haram, karena kata laknat yang ditegaskan oleh Rasulullah didalam hadis sudah menunjukkan secara langsung bahwa tindakan yang dilakukan adalah tindakan yang haram, apalagi hal tersebut merupakan salah satu bentuk perbuatan zhalim. 2. Seorang yang melakukan monopoli diharuskan untuk segera menjual barang dagangan yang ia tumpuk setelah terlebih dahulu menyisihkannya sesuai kebutuhan dirinya serta keluarganya. Namun setelah tiga kali ia
66
Abu Bakar Mas'ud bin Ahmad al-Kasâni, Juz V (Beirut: Da>r al Kutub ‘Ilmiyyah)
diberikan peringatan, maka seorang imam harus melakukan tindakan hukum seperti menangkap dan memenjarakannya. 3. Dalam kondisi mendesak seperti kelangkaan bahan pokok, seorang Imam boleh mengambil paksa barang dagangan yang disimpan oleh orang yang melakukan monopoli. Namun hal tersebut juga harus diiringi dengan kewajiban mengembalikan barang tersebut apabila kondisi sudah tidak mendesak lagi.
3. Hadis Larangan Menawar Barang yang Sudah Dibeli Teks Matan Hadis:
!!!! !!!! !!!! !! !!! ! ! !!!!! !!!!!!! !!!! !!!!! !! !! !!!!!!!! !!! !! !! !!!!!!!!! !!! ! !!! !
a. Tinjauan Teks Matan Hadis Kalimat hadis ini tergolong kalimat yang cukup sederhana namun mengandung pesan yang sangat besar. Didalam kitab Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatuk Muqtashid bahwa: "Para ulama banyak yang memberikan pemaparan berbeda dalam merincikan kalimat dari matan hadis yang singkat ini. Namun meskipun demikian pesan utama dari hadis tersebut tetap mereka sepakati bersama.
Imam Malik menjelaskan, bahwa hadis tersebut menunjukkan adanya larangan bagi siapa saja untuk menawar suatu barang yang sudah dibeli oleh orang lain. Pemahaman Imam Malik ini sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Imam Abu Hanifah. Ats-Tsauri menjelaskan, bahwa seseorang dilarang untuk menyela orang lain yang sedang melakukan proses tawar menawar harga barang. Yaitu dengan mengatakan bahwa dirinya mampu untuk membeli barang tersebut dengan harga yang lebih baik dari penawaran orang yang ia sela. Imam Syafi'i mengatakan, maknanya adalah bahwa saat kesepakatan harga sudah tercapai namun barang belum dibawa oleh sipembeli dan uang belum diserahkan masuklah orang lain yang berusaha untuk menawar dengan harga yang lebih tinggi. Gambaran yang diberikan oleh imam Syafii ini hampir sama dengan apa yang dijelaskan oleh Imam Malik. Bedanya Imam Syafii lebih menekankan bahwa kesempurnaan akad jual beli tercapai setelah kedua pihak yang bertransaksi saling berpisah."67
b. Makna Umum dari Hadis Ada banyak jalan bagi setiap orang untuk bisa menyakiti orang lain secara fisik ataupun non fisik, disengaja ataupun tidak disengaja. Sungguh hal yang tidak terpuji jika dalam kehidupan sehari-hari kita tidak bisa menghargai hak dan kehormatan orang lain. Dunia perdagangan juga merupakan bidang yang sangat rawan untuk menyakiti orang lain mengingat 67
Abu Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusydi al-Qurthubi, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Beirut: Dâr Ibn Hazam) 529.
hasrat untuk mendapatkan keuntungan selalu menjadi pendorong yang kuat untuk menyakiti orang lain. Hadis ini bisa dipahami dari dua sisi. Dari sisi penjual, selama ia belum menyelesaikan transaksinya dengan seseorang, baik itu sepakat atau tidak sepakat, sudah menjadi kewajiban bagi dirinya untuk tetap memberikan penghargaan yang besar kepada calon pembelinya dengan memberikan perhatian yang fokus hingga segala sesuatunya jelas. Begitu juga dengan calon pembeli, ia harus bisa menempatkan dirinya sebagai orang yang bijak dan menghormati hak orang lain yang sudah lebih dahulu menawar barang yang ia hendaki. c. Faedah yang diambil dari hadis 1. Setiap muslim diwajibkan untuk menjaga dan meghormati hak-hak muslim lainnya, agar iapun akan mendapatkan timbal balik yang sama dengan terjaganya kehormatan dan hak-haknya. 2. Menjalankan ajaran hadis ini berarti melakukan pencegahan terhadap sikap persaingan yang tidak sehat dimana sikap saling menghargai adalah acuan utama dalam setiap interaksi ekonomi serta tidak menjadikan kemampuan finansial sebagai sumber kemenangan dalam persaingan bisnis. d. Pendapat ulama berkenaan dengan hukum Fiqih dari hadis
1. Disebutkan dalam syarah Fathul Bari bahwa aturan yang ditetapkan dalam hadis tersebut tidak membedakan antara akad yang terjadi antara sesama muslim, ataupun muslim dengan yang bukan muslim.68 2. Dalam riwayat lain, hadis ini juga dihubungkan dengan hukum tentang lamaran terhadap seorang perempuan. Dimana disebutkan bahwa seseorang jangan melamar wanita yang sudah dilamar orang lain kecuali atas persetujuan orang tersebut.69
4. Hadis Larangan Habalil Habalah Teks Matan Hadis:
!!! ! !!!!!!!!!!!!!!!!!!!! !!! ! !•!!!!!! ƒ !!!!! !! !!! !!!!! ! !! ! !!! !! !! !!!!!!!! !!! !! !! !!!!!!!!! !!! ! !!! ! !!! !ƒ ! !!! !!! !!!!!! !!!!!! !!•!!!!!!!!!!!! !!!!ƒ ! !!! !!!!! !!! ! ƒ !!!!! !!!!!!!! ! ! !!!!! !!! !•!!!!!! !!! ƒ !! a. Tinjauan Teks Matan Hadis Dalam kitab Sharah Nawawi Ala Shahih Muslim: Para ulama berbeda pendapat dalam memahami maksud dari larangan Habalil Habalah ini. Sekelompok ulama memahami bahwa itu adalah tehnik jual beli dengan harga yang ditentukan sesuai tempo yang sudah disepakati. Pendapat seperti ini dianut oleh Ibn Umar, Imam Syafii dan Imam Maliki. Atau bisa dipahami dengan jual beli dengan harga yang belum jelas. 68 Ibn Hajar al-'Asqalâni, Abu'l-Fadl Ahmad ibn Ali ibn Muhammad, Fath al-Bari Sharh Sahih al-Bukhari, (Beirut: Dār al-Fikr) , 414. 69 Abu Zakaria Yahya bin Sharf bin Mari al-Nawawy}, al-Minhaj Syarah Muslim bin al-Hajaj, (Beirut: Dar Ihya al-Turats), hadis no 1412
Kelompok lain berpendapat bahwa maksudnya adalah tehnik jual beli yang harganya sudah ditentukan sebelum benda yang ingin dibeli nyata bentuknya. Atau dipahami dengan jual beli yang harganya sudah jelas namun bentuk barang yang dihargai belum bisa diketahui.70
b. Makna Umum dari Hadis Rasulullah diutus kepada umat manusia membawa berbagai macam tugas berat dalam memperbaiki pola hidup manusia dalam berbagai dimensi kehidupan. Ekonomi adalah aspek kehidupan yang sangat penting karena ini menyangkut dengan urusan bagaimana manusia memenuhi kebutuhan lahirianya untuk mempertahankan keberadaan manusia di muka bumi ini. Pola transaksi yang disebutkan oleh Rasul dalam hadis ini adalah pola yang sangat berbahaya. Tujuan utama yang seharusnya dicapai demi kemaslahatan dua pihak tidak akan bisa tercapai dalam pola ini. Didalamnya ada unsur peruntungan yang lebih identik dengan unsur perjudian. Sedangkan perjudian sudah sangat tegas dilarang dalam ajaran Islam. Oleh sebab itulah pola perdagangan seperti ini harus dihapuskan dengan keluarnya larangan resmi tersebut.
c. Faedah yang diambil dari hadis 70
Abu Zakaria Yahya bin Sharf bin Mari al-Nawawy}, al-Minhaj Syarah Muslim bin al-Hajaj, Juz X (Beirut: Dar Ihya al-Turats),122.
1. Hadis ini juga menjadi salah satu sandaran utama dalam menentukan syarat sah akad jual beli menurut fiqih Islam yang menyaratkan bahwa barang dan harga harus jelas dan harus diserahterimakan secara nyata antara kedua pihak (penjual ataupun pembeli) 2. Sudah seharusnya hadis ini menjadi acuan pola pikir bagi setiap pelaku bisnis demi menjaga kelancaran bisnis yang ia jalani dan menghindari dari kerugian yang akan mengganggu usaha bisnis yang ia lakukan.
d. Pendapat ulama berkenaan dengan hukum Fiqih dari hadis 1. Imam Syafii mengatakan bahwa jika telah terjadi akad dengan memakai pola seperti yang dilarang dalam hadis ini, maka akad tersebut harus dibatalkan dengan alasan bahwa segalanya masih belum jelas dan bertentangan dengan syarat sah akad dalam jual beli.71 2. Imam Mawardi mengatakan, pola jual beli yang dilarang dalam hadis tersebut memiliki beberapa pemahaman. Menurut Abu Ubaid yang dilarang adalah jika seseorang menjual hasil dari sesuatu yang belum tentu akan ada. Sedangkan Imam Syafii mengatakan bahwa yang dilarang adalah letak masalahnya adalah waktu penyerahan barang dagangan yang belum bisa ditentukan dengan jelas.72
71 Imam Mawardi, Al-Hawi al-Kabir fi Fiqhi Mazhab Al Imam As-Syafii, (Beirut: Darul Kitub Ilmiyyah) 336. 72 Imam Mawardi, Al-Hawi al-Kabir fi Fiqhi Mazhab Al Imam As-Syafii, (Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah) 336
5. Hadis Larangan Muhâqalah, Mukhâdharah, Mulâmasah, Munâbdzah, dan Muzâbanah Teks Matan Hadis:
!•!!!! !! ! ƒ !!!! !•!!!! ! !!! ! ƒ !!!! !•!!!!!!!! ! ƒ !!!!! ! !! !! !! !!!!!!!! !!! !! !! !!!!!!!!! !!! ! !! ! !!!! !!!!!!!!!! !!!!!! ! ƒ !!!! !•!!!! !!!!! ƒ !!!! a. Tinjauan Teks Matan Hadis Muhâqalah adalah menjual hasil pertanian yang belum jelas berapa kadarnya. Seperti menjual padi atau gandum yang masih dalam tahap pematangan.73 Mukhâdharah adalah menjual hasil tanaman berbuah yang belum jelas hasil dan kualitasnya.74 Mulâmasah adalah pola jual beli yang menjadikan sentuhan sebagai tanda jadi bahwa akad jual beli tersepakati tanpa ada transaksi harga dan tawar menawar terlebih dahulu.75 Munâbadzah adalah pola jual beli yang menjadikan setiap lemparan barang yang dilakukan oleh kedua belah pihak merupakan tanda jadi yang mewajibkan keduanya membeli barang tersebut.76
73
Imam Mawardi, Al-Hawi al-Kabir fi Fiqhi Mazhab Al Imam As-Syafii, Juz V (Darul Kutub Ilmiyyah) 211. 74 Ibn Hajar al-'Asqalâni, Abu'l-Fadl Ahmad ibn Ali ibn Muhammad, Fath al-Bari Sharh Sahih al-Bukhari, (Beirut: Dār al-Fikr) Hadis no 2093 75 Ibnu Quddamah, Al-Muqhni, Juz IV, (Beirut: Dâr Ikhbâr Turats Arabi), hadis no 3089. 76 Ibnu Quddamah, Al-Muqhni, Juz IV, (Beirut: Dâr Ikhbâr Turats Arabi), hadis no 3089.
Muzâbanah adalah pola jual beli secara borongan tanpa harus mengetahui kuantitas atau kadar barang yang diperdagangkan.77
b. Makna Umum dari Hadis Jual beli yang mengandung spekulasi yang tinggi dan segala jual beli yang belum diketahui adalah dilarang dalam Islam karena hal yang demikian dapat mengakibatkan kerugian dan penyesalan salah satu pihak. Esensi jual beli di dalam islam adalah kegiatan saling tolong menolong antara penjual dan pembeli bukan hanya untuk memperoleh keuntungan semata. Tetapi juga harus dilihat kemanfaatan dan kemaslahatan. Adanya larangan yang ditegaskan oleh Rasulullah dalam hadis diatas merupakan sikap kepedulian beliau terhadap kemaslahatan umat manusia. Keanehan demi keanehan dalam pola hidup dan bermasyarakat yang terjadi dan dilakukan secara turun temurun di masa jahililyyah memang sudah menjadi target ajaran Islam untuk diperbaiki dan diarahkan ke sikap-sikap yang membawa pada manfaat pribadi dan umum, bukan malah saling merugikan. c. Faedah yang diambil dari hadis Hadis tersebut diatas memaparkan pola interaksi ekonomi yang sangat aneh dan jauh dari pikiran akal sehat. Pesan yang ingin disampaikan adalah kemaslahatan adalah acuan utama dalam melakukan interaksi ekonomi antara berbagai macam pihak.
77
hadis no 1224
Abdul Rahim Al-Mubakafuri, Tuhfatul Ahwadzy, (Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah),
Oleh sebab itu faedah yang bisa dipetik dari pemaparan hadis diatas adalah, bahwa pola bisnis yang lebih mengutamakan spekulasi dan peruntungan sudah semestinya dihindari dan tidak melakukannya terhadap orang lain. Polapola seperti diatas juga tidak jauh dari tehnik-tehnik perjudian.
d. Pendapat ulama berkenaan dengan hukum Fiqih dari hadis Didalam kitab Al-Hâwi Al-Kabir, disebutkan salah satu pendapat: Pola jual beli Muhâqalah tidak diperbolehkan atas dua dasar yaitu: kemungkinan terjadinya riba dan kualitas barang tidak bisa dipastikan dengan jelas hanya berdasarkan perkiraan semata.78 Dalam kitab Al-Mughni disebutkan bahwa pola jual beli munâbadzah sudah jelas tidak sah dengan alasan ketidakjelasan dan jual beli yang tergantung dengan syarat seperti lemparan kain atau baju ataupun sentuhan.79 6. Hadis Larangan Najasy Teks Matan Hadis:
!!! ! !!!!!! ! !! !! !! !!!!!!!! !!! !! !! !!! !!!!!! ! !!!! !!!!! a. Tinjauan Teks Matan Hadis Disebutkan dalam kitab Hasyiyah As-Sanadi 'Ala Sunan Ibn Majah, bahwa an-Najasy adalah tehnik seorang penjual menggambarkan barang
78 Imam Mawardi, Al-Hawi al-Kabir fi Fiqhi Mazhab Al Imam As-Syafii, Juz V (Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah) 211. 79 Ibnu Quddamah, Al-Mughni, Juz IV (Beirut: Darul Ikhbar Turats Al-Arabi) hadis no 3089
dagangannya agar barang tersebut cepat laku. Begitu juga dengan sebaliknya, yaitu menyebutkan harga yang sangat tinggi agar si pembeli tidak jadi membeli barang tersebut.80
b. Makna Umum dari Hadis Kejujuran adalah sumber kesuksesan dan kebahagiaan. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa banyak kita temui orang-orang yang bisa sukses dengan cara yang tidak jujur. Akan tetapi kesuksesan yang ia raih bukanlah kesuksesan hakiki yang Allah ridhai. Kesuksesan dalam berdagang ataupun berbisnis tidaklah diukur dari hasil capaiannya saja. Akan tetapi bagaimana ia bisa sukses mencapai keridhaan Allah melalui usaha duniawi yang ia lakukan dan ia manfaatkan untuk mencapai kesuksesan di akhirat kelak. Setiap amal manusia akan tetap diperhitungkan di pengadilan hari kiamat kelak. Sebab itulah Rasulullah mengajarkan melalui hadis ini bahwa dalam berdagang sudah seharusnya kita menerangkan kepada calon pembeli keadaan yang sesungguhnya tentang barang dagangan yang ditawarkan.
c. Faedah yang diambil dari hadis Hadis ini mengajarkan kepada kita semua apapun profesi yang ia jalani khususnya lagi kepada para pedagang, bahwa kejujuran dalam menjual barang atau pun jasa merupakan ketentuan yang wajib dijalani. Oleh sebab itu jika seorang pedagang melakukan najasy baik itu sebagai pelaris barang dagangannya
80
Imam As-Sanady, Hasiyah Sanadi Ala Sunan Ibn Majah, hadis no 2173
ataupun agar orang lain tidak jadi membeli karena ada pembeli yang lebih menjanjikan harganya, maka ia dianggap sedang melakukan perbuatan dosa yang kelak akan diperhitungkan di hadapan Allah.
B. Hikmah Dari Larangan Praktik-Praktik Terlarang Dalam Jual Beli Dari pemaparan sederhana diatas, bisa disimpulkan beberapa hikmah atas larangan pola interaksi ekonomi pada kasus-kasus diatas secara umum adalah: 1. Islam melalu ajarannya adalah agama yang mengutamakan kemaslahatan bagi setiap umat manusia. Oleh sebab itu segala hal yang membawa kepada kemudharatan adalah hal yang harus dengan tegas disingkirkan dari pola kehidupan umat manusia dalam berbagai macam dimensinya. 2. Semua contoh kasus yang dipaparkan dalam beberapa hadis diatas adalah jenis usaha yang merugikan orang lain dan termasuk kedalam kasus mengambil hak orang lain dengan cara yang zhalim dan kezhaliman adalah sesuatu yang sangat Allah benci. 3. Tidak bisa dipungkiri bahwa harta adalah sesuatu yang sangat menggiurkan nafsu manusia. Ini merupakan hal yang wajar dan lahiriah. Karena manusia memang diciptakan oleh Allah mencintai harta benda duniawi. Namun perlu disadari bahwa semua itu merupakan cobaan dari Allah apakah manusia tersebut mampu mengelola harta dan akal pikiran yang dikaruniakan kepadanya untuk mencapai keridhaan Allah swt sehingga bisa mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
4. Sudah menjadi kewajiban setiap umat Islam bahwa ia harus menjadi orang yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain yang ada disekitarnya. Apabila ia justru menjadi orang yang selalu merugikan orang lain, maka ia akan jauh dari keridhaan Allah dan RasulNya. 5. Kejujuran dalam setiap interaksi kepada orang lain adalah kunci kesuksesan, tidak hanya kesuksesan dunia saja, melainkan kesuksesan di hari kemudian yang akan membawanya kepada pangkuan keridhaan Allah dan menikmati keindahan dan kenyamanan surga Allah yang kekal. Sebaliknya jika manusia lebih memilih kesuksesan melalui jalan yang tidak Allah ridhai, kesuksesan tersebut adalah semu semata. Karena di kehidupan yang akan datang yaitu kehidupan yang kekal dan hakiki ia justru akan selamanya menjadi orang yang sangat merugi.
BAB V PENUTUP
Sebagai penutup dari skripsi ini, dengan mengharap keridhaan Allah SWT ada baiknya saya akan memaparkan beberapa kesimpulan dan saran-saran yang semoga bisa bermanfaat bagi diri saya pribadi dan orang lain. A. Kesimpulan 1. Bahwa aturan jual beli itu sudah diatur dalam al-Quran dan Hadis, sehingga jual beli yang dianjurkan adalah jual beli yang bermanfaat yang memberikan manfaat dan tidak merugikan atau memberatkan orang lain. 2. Konsep jual beli adalah saling ridha, sehingga jika ada unsur penipuan dalam jual beli maka hilanglah tujuan utama dalam transaksi dalam perdagangan tersebut. 3. Kesuksesan yang diraih dengan cara yang tidak di ridhai oleh Allah SWT. dan merugikan orang lain adalah kesuksesan yang justru akan menjerumuskan pelakunya kepada kenistaan di dunia dan di akhirat
B. Saran-saran 1. Dalam dunia bisnis memang tidak mudah untuk jauh dari kecurangan. Namun dengan selalu menjunjung tinggi asas kemaslahatan dan kejujuran, niscaya segagal apapun kita tetap akan ada nilainya di pandangan Allah. Karena Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan amal baik setiap hambaNya. 2. Kezhaliman adalah sumber kegelapan di dunia dan di akhirat bagi pelakunya. Oleh sebab itu jauhilah sikap zhalim di seluruh aspek kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA Alma, Buchari, Ajaran Islam dalam Bisnis , Bandung: CV. Alfabeta, 1993. Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Fath al-Bari Sharh Sahih al-Bukhari, Juz VI, Beirut, Dār al-Fikr. Al-'Ayni, Badr al-Din, Umdah al Qari fi Sharh Sahih al Bukhari' , Juz XVI, Beirut, Dar Ihya al-Turats Al-Azhim A
Ibnu Quddamah, Abu Muhammad Abdullah Bin Ahmad Bin Muhammad, AlMuqhni, Beirut, Dâr Ikhbâr Turats Arabi. Imam Taqiyudin Muhammad Alhusaini, Kifāyah al-Akhyār , Semarang: Toha Putra. Al-Jauzi, Ibn Qayyim, Zâdul Ma'âd, Beirut, Muasasah al-Risalah Al-Jazri, Ibnu al-Atsîr, An-Nihâyah fi Gharîb al-Hadits wa al-Atsâr, Juz III, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah. Al-Kasâni, Abu Bakar Mas'ud bin Ahmad, Bada>'i al-S}ana>'i fi Tarti>b alShara>'i, H>.M Saeed Company, Karachi.1993. Khaldun, Ibnu, Ibnu Khaldun tentang Sosial dan Ekonomi, editor Rus'an , Jakarta: Bulan Bintang, 1993. Khan, Muhammad Shadiq, Al-Siraj Al-Wahha>j min Kasyfi Mathalib Shahih Muslim bin al-Hajjaj, Juz IV, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah. Al-Mawardi, Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Habib, Al-Hawi al-Kabir fi Fiqhi Mazhab Al Imam As-Syafii, Beirut, Darul Kitub Ilmiyyah. Al-Mubakafuri, Abdul Rahim, Tuhfatul Ahwadzy}, Beirut, Darul Kutub Ilmiyyah. Munawir, A.W., Kamus al-Munawir: Arab-Indonesia Terlengkap, cet 14 , Surabaya: Pustaka Progresif, 1997. Mujib, M. Abdul, Kamus Istilah Fiqh , Jakarta: Pustaka Firdaus, cet 2, 1994. Al-Naisaburi, Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj ibn Muslim al-Qusyairi, alJami‘ al-Sahih, Beirut, Dar al-Fikr. Nasuhi, Hamid, et al., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah , Skripsi, Tesis, dan Disertasi., Cet. Ke-1; Jakarta: CEQDA, 2007 M./1427 H.
Al-Nawawy}}, Abu Zakaria Yahya bin Sharf bin Mari, al-Minhaj Syarah Muslim bin al-Hajaj, Beirut, Dar Ihya al-Turats. Prawiranegara, Syarifuddin, Ekonomi dan Keuangan: Makna Ekonomi Islam , Jakarta: Haji Masagung, 1988. Rahmān, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam, Alih Bahasa Soeroyo dkk , Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995. Sābiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah , Kairo: Dār al-Fath Lili'lāmi al-'Arabi, 1990. Salim, Peter dan Yunny Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer , Yogyakarta: Modern English Press, 1991. Syarbini, Muhammad, al-Iqna’ , Bandung: Shirkah al-Ma’ārif. Siddiqi, Muhammad Nejatullah, Kegiatan Ekonomi dalam Islam, Alih bahasa Anas Sidiq , Jakarta: Bumi Aksara, 1991 Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz, Fath al-Mu'in , Kairo: Dār al-Kutub al-‘Arabi.
Al-Turmiz}i, Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin Ad-Dahhak, Sunan at-Turmiz}i,Juz III, Beirut, Dar al-Fikr. Pasaribu Chairuman dan Sahrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam , Jakarta: Sinar Grafika, 1994., Al-Qurthubi, Abu Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusydi, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Beirut, Dâr Ibn Hazam.