Renjaya Siahaan: Gorga Singa-Singa …
GORGA SINGA-SINGA SEBAGAI SUMBER IDE PENCIPTAAN KARYA SENI LUKIS Renjaya Siahaan dan Mangatas Pasaribu ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengekspresikan motif gorga singa-singa ke dalam sebuah lukisan, mengungkapkan teknik dalam karya lukis, mengungkapkan bagaimana pengayaan yang menjadi ciri khas pelukis dalam berkarya pada seni lukis dan menjelaskan bagaimana perubahan bentuk gorga singa-singa pada lukisan.Dalam pemilihan material dan alat perlu diperhitungkan oleh perupa sebagai pendukung dalam proses pembuatan karya. Dengan perkembangan jaman yang semakin meningkat, para seniman pun mencari dan melakukan percobaan terhadap alat dan bahan untuk mendapatkan kecocokan efek-efek visual maupun hal-hal baru yang diyakini bisa sebagai media untuk meluangkan ide-ide yang telah didapatkan. Seniman biasanya bebas menggunakan teknik yang diikutinya dari seniman-seniman yang terdahulu, maupun teknik-teknik yang dikembangkan dari teknik sebelumnya oleh perupa itu sendiri dalam melukiskan ide-idenya.Pada penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa Pemaknaan filosofi gorga singa-singa yang yang diterapkan pada karya lukis berdasarkan pemaknaan yang terdapat pada masyarakat Batak Toba yang dilukiskan dengan kombinasi bentuk-bentuk binatang, manusia, pola sulur-suluran, tali-temali, akar pohon, stalagntit-stalagtit pada gua. Penambahan ataupun pengurangan yang dilakukan penulis dalam karya lukis menimbulkan efek berbeda dari gorga singa-singa dengan tujuan pengayaan dan pengembangan gorga singa-singa ke dalam bentuk karya lukis yang menurut penulis dapat menambah nilai keindahan pada hasil karya lukis. Warna yang digunakan penulis dalam hasil karya lukis yaitu warna kuning, orange, coklat, biru, merah maron yang menghasilkan monokrom orange, warna hitam merah dan putih mewakili warna yang ada pada gorga singa-singa. Teknik yang digunakan dalam pembuatan karya lukis ini menggunakan beberapa campuran teknik dalam melukis yang tujuannya untuk memperoleh efek-efek yang dapat mendukung bentuk visualisaisi dalam lukisan Kata kunci : Gorga Singa-Singa, Seni Lukis PENDAHULUAN Batak merupakan salah satu suku yang ada di Provinsi Sumatra Utara. Kebudayaan Batak adalah hasil pembauran kebudayaan pra Hindu lama dan pengaruh dari India, yaitu agama Buddha dan Hindu, yang muncul pada abad ke-5. Kebudayaan praHindu disebut juga dengan kebudayaan megalitik kuno yang menjadi ciri khas seni dan budaya Batak sekarang (Jamaludin, 1985:239). Kebudayaan megalitik merupakan zaman batu besar yang ditandai dengan adanya kuburan batu ataupun sarkopagus. Salah satu peninggalan kebudayaan megalitik yang saat ini masih
1
Renjaya Siahaan: Gorga Singa-Singa …
kelihatan yaitu kuburan-kuburan batu yang terdapat di Samosir, pada bagian depan kuburan batu dihiasi kepala singa (gorga singa-singa). Singa adalah unsur kebudayaan Batak Toba yang penting, penggambarannya paling sering hanya mengambil bagian mukanya dan rupanya beraneka ragam penggambarannya. Pada masyarakat Batak Toba singa dimasukkan kedalam bentuk gorga yaitu gorga singa-singa berbentuk tiga dimensi. Penulis sebagai seorang yang berasal dari suku Batak Toba sudah sering melihat gorga singa-singa terpajang dirumah tradisional Batak Toba yang ada di Balige yang merupakan tempat tinggal peneliti. Pada pusat perdagangan atau disebut dengan pasar di Balige yang berbentuk rumah tradisional yang sangat besar dan dirumah adat Batak Toba banyak ditemui gorga, tetapi yang paling menonjol adalah gorga singa-singa.Peneliti beranggapan seperti itu didasarkan pada bentuk gorga singa-singa yang khusus yaitu berbentuk tiga dimensional dan ukurannya yang besar. Jika dilihat dari asal katanya gorga singa-singa berasal dari kata singa yang berarti hewan buas yang menjadi raja hutan. Tetapi bentuk gorga singa-singa tidak seperti bentuk hewan singa yang sebenarnya. Gorga singa-singa lebih mempunyai kemiripan kepada manusia. Wajah gorga singa-singa seperti wajah manusia dengan sikap jongkok. Kepala dibuat besar dan kaki yang kecil dan mata yang membelalak. Singa-singa juga dianggap sebagai topeng, Ketut Wiradnyana (2011) mengatakan bahwa singa-singa adalah hiasan topeng manusia yang distilir dengan penggambaran mata yang melotot, hidung distilir dengan garis hidung bersatu dengan garis alis, mulut terbuka, dan biasanya digambarkan dengan menjulurkan lidah sampai menutupi dagu. Dalam hal ini gorga singa-singa yang merupakan kombinasi dari cat dan pahat akan dibuat menjadi sebuah karya lukis dengan melakukan perubahan bentuk dan dimensi singa-singa atau melakukan deformasi tanpa menghilangkan ciri khas dari gorga singa-singa. Faktor lain yang membuat gorga singa-singa lebih menonjol dari gorga Batak Toba yang lain adalah gorga singa singa dipajang di depan rumah tradisional Batak Toba sebanyak dua buah. Kedua gorga singa singa ditempatkan di sisi kiri dan kanan rumah tradisional Batak Toba. Gorga singa singa dibuat dengan motif khayalan/ raksasa, disebut juga motif ideoplastis. Dalam gorga singa-singa juga dijumpai gorga gorga lain yang dibuat dengan teknik ukir berbentuk dua dimensi. Pada saat peneliti petama kali melihat gorga singa-singa, peneliti menganggap bahwa gorga singa-singa hanya sebagai hiasan pada rumah. Tetapi sesungguhnya gorga singa-singa adalah simbol kekuatan bermanfaat sebagai perlindungan atau penjaga bagi penghuni rumah atau kampung. Seperti halnya dengan sahala atau tondi dalam budaya masyarakat Batak Toba, singa-singa tidak mempunyai kekuatan yang mutlak. Dalam masyarakat Batak Toba sahala dapat bertambah dan berkurang, tondi dapat meninggalkan tubuh manusia . Bila tondi meninggalkan tubuh untuk sementara maka orang tersebut sakit, bila seterusnya demikian maka manusia itu mati (Bungaran Simanjuntak, 2004). Dalam hal ini singa-singa tidak selamanya dapat menjadi pelindung atau penjaga bagi penghuni rumah ataupun kampung. Singa-singa dalam istilah lainnya disebut juga dengan naga padoha, paduka naga. Dalam kehidupan spiritual pada suku Batak Toba selain singa-singa, naga padoha adalah mahluk yang sangat berperan dalam kehidupan spiritual suku tersebut. Hal
2
Renjaya Siahaan: Gorga Singa-Singa …
ini terlihat pada bangunan rumah tradisional Batak Toba pada dingdingnya. Secara umum Bungaran Simajuntak mengemukakan “Bagi masyarakat Batak Toba tempat yang ideal untuk mendirikan pemuki man adalah di kaki gunung, baik di sisi kiri maupun di sisi kanan. Posisi tempat seperti ini dinamakan menghadap gunung (mandompakkon dolok) atau dipangku gunung (diabing dolok). Pada tempat yang demikian penghuninya diyakini akan sehat-sehat, akan ramai dan berkembang cepat karena akan banyak anak yang lahir”. Tetapi dalam tahapan pembuatan rumah tradisional, pada dinding rumah tradisional Batak Toba terdapat balok yang melengkung dan memanjang dari belakang ke depan yang diukir menurut gambar naga padoha dan kepala diukir dibagian depan dengan gambar singa. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Achim Sibeth dan Bruce W. Carpenter dalam bukunya Batak sculpture bahwa : the singa were thus merged with another supranatural animal, naga padoha, the primeval dragon (singa juga digabungkan dengan hewan supranatural lain, naga padoha, naga purba). S.A. Niessen mengemukakan bahwa :“The two snake encircling the central bindu matoga are the mythical pane or naga padoha, the underworld creature whose regular journeys define the passage of cyclical yearly time. It encircles the earth created by si boru deak parujar depicted here as the bindu matoga. interpretation of the illustration link it now with the batak house”. “Kedua naga yang mengelilingi pusat bindu matoga adalah panel mitos atau naga padoha, mahluk bawah tanah yang menentukan perjalanan siklus waktu tahunan. Kedua naga mengelilingi bumi yang diciptakan oleh siboru deak parujar yang disini sebagai bindu matoga. Illustrasi ini juga diterapkan di rumah batak”. Dalam kutipan S.A. Niessen di atas dapat diketahui bahwa naga padoha adalah hewan supranatural yang digunakan untuk melindungi bindu matoga. Hal ini juga diterapkan kedalam pembuatan rumah tradisional Batak Toba, bahwa untuk melindungi rumah dan penghuni rumah digunakan naga padoha yang dalam bentuknya di rumah tradisonal Batak Toba pada ujung bagian depan dibuat berupa kepala singa. Selain dirumah tradisional Batak Toba keberadaan gorga singa-singa juga dijumpai pada hombung. Hombung adalah peti yang dibuat dari kayu bulat yang dikorek. Hombung merupakan tempat untuk menyimpan benda pusaka, pakaian, ulos dan lain-lain yang diberi penutup dengan palang kayu yang disebut dengan sordak. Pada hombung gorga singa-singa ada 2 buah yang ditempatkan pada bagian depan pada ujung setiap sisi, sisi kiri maupun kanan. Makna simbolik dari gorga singa-singa pada hombung menyimbolkan pelindung atau penjaga. Gorga singa-singa juga ada pada bentuk sahan. Sahan merupakan suatu wadah atau tempat untuk penyimpanan pupuk atau pagar. Pupuk adalah ramuan tradisional yang berfungsi sebagai obat multiguna. Badan sahan terbuat dari tanduk kerbau yang dipakai sebagai wadah dan diberi penutup dari kayu yang ukirannya berbentuk singa- singa. Penempatan gorga singa-singa pada sahan yaitu pada bagian depan. Makna simbolik dari gorga singa-singa pada sahan menyi mbolkan pelindung atau penjaga. Karena pentingnya pengetahuan akan konsep dan nilai budaya Batak Toba, sehingga peneliti mencoba untuk konsisten mencipta gorga singa-singa yang mempunyai makna simbolik pada masyarakat Batak Toba. Hal ini dilatar belakangi karena ketertarikan peneliti terhadap bentuk, makna dan penempatan gorga singasinga pada peninggalan kebudayaan tradisional Batak Toba.
3
Renjaya Siahaan: Gorga Singa-Singa …
Tidak hanya dalam budaya Batak Toba istilah singa dipakai dalam bentuk gorga. Tetapi istilah ini juga dipakai pada orang yang handal berpidato yaitu singa podium yang berarti orang yang cakap dan berwibawa dalam berpidato, istilah ini diberikan pada Bung Karno dan Bung Tomo. Menurut Hasibuan (1985) Bagaimanapun juga gorga singa-singa adalah tema hias utama orang Batak, khususnya di Toba. Simbol ini terlihat sebagai motif hias rumah, perabotan rumah tangga, peti mati dari kayu, batu makam, perhiasan dari kuningan dan tanduk tabung peluru. Karena ini terdapat dimana-mana, simbol ini kiranya mempunyai peranan pelindung dan kekuatan. Pemakaian singa sebagai simbol juga banyak terdapat pada lambang-lambang Negara seperti India. Lambang negara India adalah adaptasi dari Hulu Tiang Singa Ashoka dari Sarnath. Dalam lambang negara India terdapat empat Singa asia berdiri saling membelakangi. Keempat singa ini (satu singa terhalang dari pandangan) melambangkan kekuatan, keberanian, harga diri, dan keyakinan. Negara Singapura juga memakai lambang Singa yang berasal dari kata Singa dan Pura yang melambangkan kekuatan, keberanian dan energi. Singapura dulunya bernama Pulau Tumasik (Temasek) Singa adalah nama binatang yang dilihat Husein seorang pangeran Johor dan Thomas S. Rafles sebelum membangun kota disana. Sedangkan Pura berarti kota (bahasa Sanskerta). Peneliti sebagai orang Batak Toba, tumbuh besar di tanah Batak desa Paindoan Balige, Kabupaten Toba Samosir dan keturunan asli dari suku Batak Toba dengan marga Siahaan keturunan dari Si Bagot Ni Pohan yang berasal dari turunan Raja Isombaon putra kedua dari Si Raja Batak. Tertarik pada gorga singa-singa dan menjadikan gorga singa-singa sebagai sumber ide dalam melukis, disamping untuk melestarikan kebudayaan Batak Toba juga untuk mengembangkan gorga Batak Toba khsusnya singa-singa baik dalam bentuk pola, teknik maupun makna ke dalam bentuk lukisan. Identifikasi dan Batasan Masalah Identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Gorga singa-singa merupakan kreasi tradisional masyarakat Batak yang dapat dijadikan sumber insipirasi seni lukis modern bercorak surealis. 2. Gagasan apa yang dapat direfleksikan dari keberadaan gorga singa-singa yang terdapat di kiri dan kanan rumah adat atau hombung. 3. Analogi apa yang dapat dikembangkan dari susunan kombinasi gorga singasinga yang dapat mendorong daya imajinasi untuk memvisualisasikan kombinasi bentuk baru dalam lukisan 4. Simbolisasi dari gorga singa-singa saat ini dapat ditransformasikan dalam bentuk lukisan dengan media cat minyak. Rumusan Masalah Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah diatas, dapat dirumuskan masalah yaitu bagaimana teknik pelukisan dan perubahan bentuk Gorga singa-singa yang berbentuk tiga dimensi, menyerupai kepala dari mahluk khayalan/raksasa menjadi inspirasi lukisan
4
Renjaya Siahaan: Gorga Singa-Singa …
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengekspresikan motif gorga singa-singa ke dalam sebuah lukisan. 2. Mengungkapkan teknik pelukisan gorga singa-singa dalam karya lukis. 3. Penggayaan kreasi seni tradisi ke seni lukis modern. 4. Menjelaskan bagaimana perubahan bentuk gorga singa-singa pada lukisan. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah: 1. Dapat menciptakan karya seni khusunya lukis yang sumber idenya dari ornamen tradisional Batak Toba (gorga). 2. Menunjukkan kembali ornamen tradisional Batak Toba (gorga) dengan bentuk dan representasi yang berbeda. 3. Dapat mengembangkan pola dalam ornamen tradisional Batak Toba (gorga) dengan bentuk-bentuk lain. 4. Mengetahui dan mampu mempertanggung jawabkan karya yang dilukis atau dihasilkan kepada masyarakat. LANDASAN TEORI Orientasi Teoritis Gorga singa-singa Dalam budaya Batak Toba banyak ditemukan ornamen yang menjadi suatu ciri dalam budaya Batak Toba. Ditinjau dari etimologinya, ornamen berasal dari bahasa Latin ornare yang berarti menghiasi, sesuatu yang mulanya kosong menjadi terisi hiasan sehingga menjadi tidak kosong. Hoeve (1982:245) dalam Ensiklopedia Indonesia dijelaskan tentang ornament “Ornament pada hakekatnya adalah gambaran irama dan garis atau bidang ornamentik, yang berarti menghiasi. Semua ornament berupa garis lurus, garis patah, garis miring, garis sejajar, garis lengkung, garis lingkaran dan sebagainya” Dalam suku Batak Toba ornamen disebut dengan istilah gorga. Marbun (1979:49) mengatakan gorga adalah ragam hias. Menurut kamus Batak Toba-Indonesia : Gorga adalah ragam ukir, pewarnaan dinding rumah dengan tiga warna dasar misalnya putih, merah, dan hitam (Warneck, 2001: 108). Ornamen atau gorga mempunyai bentuk atau pola dasar yakni : a. Gorga Motif Manusia contohnya tarus (susu-susu) atau adop-adop. b. Gorga Motif Hewan contohnya gorga hoda-hoda, dan gorga boraspati. c. Gorga Motif Hayalan atau Raksasa contohnya gorga jenggar, gorga gaja dompak, gorga singa-singa, dan gorga ulu paung. d. Gorga Motif Tumbuh-tumbuhan contohnya Gorga Sitompi, Dalihan Natolu, Simeol-eol, Simarogung-ogung, Sitagan, dan Hariara Sundung Di Langit. e. Gorga Motif Geometris contohnya ipon-ipon dan iran-iran. f. Gorga Motif Kosmos atau Alam contohnya : gorga simataniari, gorga desa na ualu. Dari sekian banyak gorga yang ada dalam budaya Batak Toba, yang menjadi ide penciptaan dalam penelitian ini adalah gorga singa-singa. Dalam suku Batak Toba
5
Renjaya Siahaan: Gorga Singa-Singa …
singa-singa tidak mewujudkan secara utuh binatang nyata yang ada. Penggambaran gorga singa-singa yang bermotif ideoplastis menyerupai kepala yang berbentuk khayalan/raksasa yang dibuat dengan teknik pahat dan ukir. Beberapa singa-singa memperlihatkan dengan jelas kaki yang berdampingan dengan kepala dan semua macam pembauran antara singa dan manusia dapat ditemukan. Ketidak miripan gorga singa-singa dengan hewan singa singa yang sebenarnya mungkin terjadi karena wilayah geografis masyarakat Batak, bahkan Asia bukanlah habitat singa. Masuknya pola singa dalam karya ke Asia pertama kali karena India kuno terpengaruh kepada budaya helenistik (Yunani). Letaknya di Ghandarawilayah yang sekarang terletak di Pakistan dan Afganistan. Tempat inilah yang menjadi pusat seni keagamaan yang teknik serta gayanya bersifat halenistik dan yang membuat perwujudan Budha dalam bentuk manusia. Seni Yunani ini mempengaruhi kesenian seluruh asia barat dan meninggalkan corak khas yang bertahan dalam aliran Ghandara di india (C.M. Bowra). Kemungkinan kesenian ini lah yang terbawa sampai ke Indonesia, khususnya kesenian Batak. Kata Singa- singa berasal dari bahasa Sansekerta (India) yang berbunyi Singha. Hal ini memungkinkan bahwa bentuk singa-singa pada Batak Toba berasal dari budaya Hindu-Budha. Achim Sibeth dan Bruce W. Carpenter mengemukakan: “the singa mask found above the door can be compared to the kala heads found above the main entrance of Hindu-Buddhist temple gates in India and Southeasth Asia. Like the singa, kala heads also represent a protective demon, with bulging eyes, outstretched tongues and three horns. They, too are often surrounded by elaborate carving”. “Topeng singa yang ditemukan di atas pintu dapat disamakan dengan kepala kala yang ditemukan di atas gerbang pintu masuk utama candi Hindu-Budha di India dan Asia Tenggara. Seperti singa, kepala kala juga mewakili perlindungan dari setan, mata membelalak, lidah yang menjulur, dan mempunyai tiga tanduk. Singa dan kepala kala juga dikelilingi ole ukiran yang terperinci”. Bentuk kepala singa bebagai ragam, tetapi ciri-ciri yang tetap ada adalah simetris pada kedua bagian, muka panjang dan mata membelalak, alis mata yang tebal menyerupai tanduk. Hal ini senada dengan Achim Sibeth dan Bruce W. Carpenter yang mengatakan: “To begin, we must clarify that the singa motif is not monolithic. There are multiple variation found not only in architecture but also every other form of batak sculpture. Here we confine our discussion to two forms found on Batak houses. The first of these is a mask found above the main door of the main façade. These are certainly the most mask-like of the singa and tend to be carved in lower relief than other form. The second are those that flank the sides of the main entrances. Both of these form usually share certain similarities including bulging eyes, snub noses, three horns, long outstretched tongues, swirling carving and sometimes feet. The flanking singa, however, are three-side, with two sides dominated by swirling motifs”. “Untuk memulai kita harus mengklarifikasi bahwa motif singa tidak monolitik. Ada beberapa variasi yang ditemukan, tidak hanya pada arsitektur tetapi juga pada bentuk lain dari patung Batak. Disini kita membatasai diskusi kita pada dua bentuk yang ditemukan di rumah Batak. Yang pertama adalah topeng yang ditemukan di
6
Renjaya Siahaan: Gorga Singa-Singa …
atas pintu utama pada depan rumah. Tentunya ada banyak topeng-seperti singa dan cenderung di relief paling bawah dari bentuk yang lain. Yang kedua adalah yang ada disamping pintu masuk utama”. Pernah ada singa yang digambarkan mirip kepala gajah yang disebut gaja dompak, walaupun kemiripannya tidak selalu jelas. Achim Sibeth dan Bruce W. Carpenter: “In literature on the Batak architecture, singa heads are also called gaja dompak, which literally means ‘elephant facing forward’ (in the sense that it is aware and standing guard). We should also remember that the extended tongue of the singa resembles an elephant’s trunk”. “Dalam literatur pada arsitektur Batak, kepala Singa juga disebut Gaja dompak, yang secara harfiah berarti 'gajah menghadap ke depan' (dalam arti bahwa itu adalah penjaga yang sadar dan berdiri). Kita juga harus ingat bahwa lidah panjang dari Singa menyerupai belalai gajah”. Jamaluddin S. Hasibuan dalam buku primitive art of the ancient batak in Sumatra menjelaskan: “Singa-singa generally had a symetrycal form with similar features on both sides. Some have beautiful carving and are usually colored dark with the common tricolor of batak : black, white and red. They were usually carved with bulging eyes colored red, producing a depressing effect on lookers. In certain areas of the batak-land they were called the gaja dompak (dompak elephant), because their resemblance to an elephant head”. “Secara umum singa-singa mempunyai bentuk yang simetris dengan fitur sama pada kedua sisi. Singa –singa mempunyai ukiran indah dan biasanya berwarna gelap dengan tiga warna yang umum pada Batak : hitam, putih dan merah. Singasinga biasanya diukir dengan mata yang membelalak berwana merah, menggambarkan efek muram pada pengelihatan. Di daerah tertentu di tanah Batak singa-singa disebut dengan gaja dompak (gajah dompak), karena kemiripannya dengan kepala gajah”. Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa bentuk singa-singa sangat beragam. Sesuai dengan kampong di wilayah Batak Toba ada singa-singa yang mempunyai tanduk yang ditemukan di desa Lumban Lobu, sedangkan di daerah lain di Batak Toba singa-singa tidak mempunyai tanduk. Tetapi ciri-ciri yang tetap adalah simetri pada kedua bagian, muka panjang, mata membelalak, alis mata yang tebal menyerupai tanduk. Singa-singa juga disebut dengan gaja dompak karena pernah ada singa yang digambarkan mirip kepala gajah. Ide Ide merupakan sesuatu yang sangat penting dalam proses kehidupan manusia. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), ide adalah rancangan yang tersusun di pikiran. Ide juga sama artinya dengan gagasan atau cita-cita. Selama ide belum dituangkan menjadi suatu konsep dengan tulisan maupun gambar, maka ide masih dalam pikiran. Ide yang sudah dinyatakan menjadi suatu perbuatan adalah karya cipta. Untuk mengubah ide menjadi karya cipta dilakukan serangkaian proses berpikir yang logis dan seringkali realisasinya memerlukan usaha yang terus menerus sehingga
7
Renjaya Siahaan: Gorga Singa-Singa …
antara ide awal yang muncul dipikiran dan karya cipta satu sama lain saling bersesuaian sehingga ide yang awalnya berbentuk abstrak menjadi nyata dalam bentuk karya. Penciptaan Pengadaan karya seni dari tidak ada sampai wujud yang nyata hingga dapat dinikmati keindahannya oleh orang disebut dengan penciptaan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia penciptaan berasal dari kata cipta yang berarti pemusatan pikiran, angan-angan. Penciptaan berarti perbuatan menciptakan yaitu suatu peristiwa yang merupakan proses bertahap, diawali dengan timbulnya suatu dorongan yang dialami oleh seorang seniman. Seni Lukis Seni lukis yang dalam bahasa inggris disebut painting, adalah karya seni rupa dua dimensional yang menampilkan unsur warna, bidang, garis, bentuk dan tekstur. Secara umum, seni lukis dikenal melalui sapuan kuas dengan cat berbasis minyak dan berbasisi air yang disapukan pada permukaan bidang datar. Medium yang lain adalah pewarna alami yang didapat dari tumbuh-tumbuhan dan tanah. Susanto (2002) dalam bukunya Diksi Rupa menguraikan pengertian seni lukis sebagai berikut: Seni lukis adalah ungkapan dari pengalaman artistic maupun ideologis yang menggunakan warna dan garis, guna mengungkapkan perasaan, mengekspresikan emosi, gerak,ilusi maupun ilustrasi dari kondisi subjektif seseorang. Humar sahman dalam bukunya mengenali dunia seni rupa mengutip: Technically,painting is the art of spreading pigments, or liquid color,on a flat surface (canvas ,panel, wall, paper) to produce the sentation or illusion of space , movement,texture,and form,as well as the tensions resulting from combinations,of these elements. It is understood ,of course ,that throught these technical devices are expressed the intelektual, emotive, symbolic,religious,and other subjective values presented else where in this book . sometimes it is difficult to mark the line between oainting and drawing , because both art apply colored materials to a surface of the different color ; but painting usually involves the use of a brush and of fluid color (Myers,1958:156”). “Secara teknis, lukisan adalah seni dari warna yang menyebar, atau warna yang mencair, pada permukaan yang datar (kanvas, panel, dinding, kertas) untuk menghasilkan sensasi atau ilusi ruang, gerakan, tekstur, dan bentuk, serta ketegangan yang dihasilkan dari kombinasi dari unsur. Itu dipahami, tentu saja, bahwa teknik ini mengungkapkan, intelektual, emosional, nilai-nilai subjektif, simbolik, religius, dan juga disajikan di tempat lain dalam buku ini. Kadangkadang sulit untuk menandai batas antara melukis dan menggambar, karena diantara kedua seni tersebut menerapkan bahan berwarna ke permukaan dengan warna yang berbeda, tetapi lukisan biasanya melibatkan penggunaan kuas dan warna yang cair (Myers, 1958:156)”. Dari bebrapa pendapat mengenai pengertian seni lukis, dapat disimpulkan bahwa seni lukis adalah bagian dari seni rupa dua dimensional yang merupakan ungkapan
8
Renjaya Siahaan: Gorga Singa-Singa …
dari ekspresi atau pengalaman artistic seorang berupa yang di tumpahkan pada media dua dimensi. Dibawah ini diuraikan beberapa aliran dalam seni lukis, antara lain: Dadaisme Dada atau Dadaisme merupakann gerakan budaya yang lahir di wilayah netral, yaitu Zurich, Switzerland, selama masa Perang DuniaI Perang (1916-1920). Gerakan ini meliputi seni visual, sastra (puisi, pertunjukan seni, teori seni), teater dan desain grafis. Gerakan ini berfokus pada politik anti perangnya melalui penolakan pada aturan seni yang berlaku melalui karya budaya anti seni. Kegiatan gerakan ini antara lain pertemuan umum, demonstrasi dan publikasi jurnal seni/sastra. Seni, politik, dan budaya menjadi topik utama dalam publikasi mereka. Gerakan ini mengilhami kemunculan gerakan-gerakan sesudahnya: Avant-garde, gerakan musik kota, serta kelompok lain seperti Surrealisme, Nouveau Réalisme, Pop Art dan Fluxus. Dadaisme merupakan aliran pemberontak di antara seni man dan penulis. Dan memiliki semangat yaitu menolak frame berpikir “seni adalah sesuatu yang tinggi, yang mahal, yang serius, complicated, dan eksklusif“. Mereka membenci frame berpikir “seni tinggi” karena seni semacam itu adalah milik kaum menengah ke atas yang memiliki estetika semu (http://id.wikipedia.org/wiki/Dadaisme_(seni_rupa). Surrealisme Pada dasarnya surrealisme merupakan gerakan dalam sastra. Istilah itu ditemukan ole Apollinaire untuk menamaijudul dramanya pada tahun 1917. Dua tahun kemudian (1919) Andre Breton mengambilnya untuk eksperimen dalam metode penulisannya yang spontan. Dikatakan oleh Breton, bahwa surrealisme adalah otomatis psikis murni, dengan proses pemikiran yang sebenarnya untuk di ekspresikan secara verbal,tertulis ataupun cara lain. Surreakisme bersandar pada keyakinan realitas yang superior dari kebebasan asosiasi, keserbabisaan mimpi, pemikiran kita yang otomatis tanpa control dari kesadaran. Surrealime dicetuskan di Italia oleh Carlo Carra dan Giorgio de Chirico, melalui karya metafisis yang aneh, sepi dan melankonis. Selanjutnya manifesto kaum surrealis dikabarkan pada tahun 1924 yang diawali dengan pameran pertama tahun 1925 dengan seniman antara lain: Jean Arp, Max Ernest, Paul Klee, Chirico, Andre Masson, Joan Miro, Marc Chagall, Salvador Dali (Kartika, 2004:92). Teknik dalam melukis Setiap perupa menggunakan berbagai teknik yang dikuasai dalam melukis. Dalam perkembangan zaman yang semakin meningkat, dan berkembangnya dunia kesenian khususnya seni lukis, yang memunculkan teknik-teknik baru dalam melukis. Kadang para perupa pada saat ini tidak lagi mengikuti teknik yang sudah ada, melainkan para perupa cenderung mencari dan mengembangkan teknik-teknik yang baru. Ada beberapa teknik yang dipergunakan dalam melukis, antara lain: Anamorfisme berarti penyajian perspetif atau proyeksi yang terdistorsi. Lebih khusus istilah ini mengacu kepada imaji yang terdistorsi sedemikian rupa hingga hanya akan terlihat normal jika dilihat dari sudut tertentu. Selama abad 17.
9
Renjaya Siahaan: Gorga Singa-Singa …
Mural trompe l'oeil pada masa Barok sering menggunakan teknik ini untuk mendapatkan kombinasi arsitektural yang sempurna dengan ilusi visual. Saat pengunjung melihat bangunan dari sudut yang tepat, maka bangunan tersebut akan menyatu dengan lukisan dekoratif yang ada. Salah satu contoh pengguna trik anamorfisme dalam karyanya adalah Julian Beveer. Sotto in su, berarti terlihat dari bawah (atau populer pula dengan sebutan di sotto in su), adalah teknik lukisan ilusionistis yang biasanya digunakan untuk lukisan langit-langit untuk memberikan persepsi perspektif. Setiap elemen yang dilihat oleh pemirsa disusun agar memberikan ilusi yang tepat. Teknik ini banyak digunakan pada masa barok untuk lukisan Fresko. Diperkirakan teknik ini pertama kali digunakan Andrea Mantega. Selain itu juga terdapat nama-nama Antonio Da Corregio dalam Duomo Parma, Pietro Da Cortona dengan karyanya Allegory Of Divine Providence dan Power di Palazzo, dan Andrea Pozzo dengan karyanya Apotheosis of St. Ignatius. Contoh gambar adalah hasil pengaplikasian teknik Sotto insu. Arsiran (Hatching) (hachure dalam Bahasa Perancis) dan juga crosshatching adalah teknik dalam lukisan dan karya grafis yang digunakan untuk memberikan efek warna maupun bayangan dengan membuat garis-garis paralel. Jika garis-garis paralel ini ditimpa dengan garis-garis paralel lain yang saling berpotongan, maka teknik ini menjadi cross hatching. Perupa menggunakan teknik ini dengan memvariasikan jarak, sudut, panjang, dan jenis-jenis garis sehingga dihasilkan gradasi bayangan tertentu. Teknik ini sangat populer pada masa Renaisans Awal. Konsep utama dari hatching adalah bahwa kepadatan, jumlah, dan ketebalan garis akan sangat memengaruhi efek bayangan yang dihasilkan. Dengan meningkatkan kepadatan, jumlah, dan jarak antar garis, maka bayangan yang dihasilkan semakin gelap, begitu pula sebaliknya. Kontras bayangan bisa pula dicapai dengan mendekatkan dua jenis hatching yang berbeda sudut garisnya. Sebagai hasilnya, variasi garis ini akan memberikan ilusi warna, yang bila digunakan secara konsisten akan mengasilkan imaji yang realistis. Impasto adalah teknik lukisan di mana cat dilapiskan dengan sangat tebal di atas kanvas sehingga arah goresan sangat mudah terlihat. Cat yang digunakan bisa pula tercampur di atas kanvas. Saat kering, teknik impasto akan menghasilkan tekstur yang jelas, sehingga kesan kehadiran objek lebih terasa. Cat minyak sangat cocok dengan teknik ini, sebab ketebalannya yang tepat, proses pengeringan yang lama, dan sifat opacitynya yang buruk. Sifat ini bahkan bisa diperkuat dengan penggunaan linseed oil. Akrilik bisa diolah dengan teknik impasto, meskipun sangat jarang karena cat jenis ini mengering dalam waktu singkat. Sementara pemakaian teknik impasto pada cat airmaupun tempera hampir mustahil tanpa medium pengental seperti Aquapasto. Impasto memberikan dua efek. Pertama memberikan kesan pantulan cahaya berbeda dibandingkan dengan goresan kuas biasa. Yang kedua memberikan kesan ekspresi yang lebih kuat. Pemirsa lukisan bisa menyadari seberapa kuat kuas atau pisau palet digoreskan, serta kecepatan goresannya. Tujuan pertama lebih sering dipakai oleh pelukis klasik seperti Rembrandt, seperti untuk memperlihatkan lipatan kain atau pantulan cahaya dari perhiasan. Sementara tujuan kedua sering digunakan oleh pelukis pada era modern seperti Vincent van Gogh. Frank Auerbach menggunakan teknik impasto secara berlebihan untuk menampilkan kesan trimatra yang benar-benar kuat.
10
Renjaya Siahaan: Gorga Singa-Singa …
Trompe-l'œil berasal dari frasa Perancis yang berarti "menipu mata", dengan asal kata tromper - menipu dan l'œil - mata. Secara istilah Trompe-l'œil berarti teknik lukisan yang melibatkan teknik dan perhitungan tinggi untuk menyajikan objekobjek di dalam lukisan yang mampu menghasilkan ilusi optis untuk menipu persepsi otak terhadap imaji. Meskipun kata ini baru muncul pada periode Barok, penggunaan teknik Trompe-loeil sebenarnya telah terjadi jauh sebelumnya. Biasanya teknik ini dipakai pada mural, sebagai contohnya di reruntuhan kota Pompei. Teknik ini diperkenalkan kembali di Amerika Serikat pada abad 19 oleh pelukis William Harnet. Pada abad 20, Richart Hans membuat mural dengan pemanfaatan teknik Trompe-l’oeil di kota-kota Amerika. Sfumato adalah istilah yang digunakan dan dipopulerkan Leonardo da Vinci untuk merujuk pada lukisannya yang melapiskan warna-warna yang berdekatan untuk menciptkan ilusi kedalaman, volume, dan bentuk. Sebagai hasil akhir, perpindahan warna tersebut tidak lagi terlihat jelas. Dalam bahasa Italia, sfumato berarti berasap, tetapi dibedakan dengan istilah fumo yang berarti asap. Leonardo sendiri mendeskripsikan sfumato sebagai "tanpa outline", dalam pengertian berkabut atau detail yang tidak dihasilkan oleh penggunaan garis secara disengaja Cyclorama adalah lukisan yang didesain dalam media silinder dengan maksud pemirsa akan berada di tengah silinder tersebut, dan bisa menikmati pemandangan selebar 360°. Biasanya teknik ini dipakai untuk menampilkan pemandangan alam yang mengagumkan. Cycloramas pertama kali ditemukan seorang bangsa Irlandia, Robert Barker yang ingin membuat panorama dari bukit sekitar Edinburgh, Skotlandia. Ia kemudian membuat karya Cyclorama Edinburgh pada tahun 1787. Karya Cyclorama sangat populer di akhir abad 19. Yang paling populer adalah yang menampilkan perjalanan dari kota ke kota, seperti sebuah film modern. Saat pemirsa berdiri ditengah siilinder, music dan narasi akan mengiringi pandangannya. Kadang efek diorama ditambahkan sebagai latar depan untuk memberikan kesan realistik. Chiaroscuro berasal dari kata Italia yang berarti gelap-terang yang bisa juga diartikan menjadi kontras yang sangat kuat antara cahaya dan bayangan di dalam suatu karya seni. Hal yang menjadi ciri khas chiaroscuro adalah pengaplikasian cahaya pada objek lukisan yang memberikan kesan trimatra sangat jelas akibat pengaplikasian highlight dan bayangan. Teknik ini membutuhkan pemahaman mendalam tentang perspektif, reaksi permukaan benda terhadap pantulan cahaya, dan proses pembentukan bayangan. Berbeda dengan gambar dari zaman modern, kesan trimatra tidak dihasilkan oleh kontur goresan kuas, tetapi hanya dari gradasi warna terang ke gelap. Teknik ini diperkenalkan pada abad 15 oleh pelukis Italia dan Flander (Belgia Utara). Tetapi pemanfaatanya secara luas baru terjadi pada abad 16, pada periode Mannerisme dan Barok. Objek yang cenderung berwarna gelap diberikan pencahayaan secara dramatis oleh cahaya dan terkadang tidak terlihat di dalam lukisan itu sendiri. Teknik bravura (perusakan warna) merupakan karakter pada karya sebagai fungsi variasi teknik serta pengolahan pola siram, sekaligus pencapain bentuk dari kanvas yang diangkat sebagai objek yang memiliki kesan artistik. Jhon Edwin Canaday (1980) mengemukakan bahwasanya bravura yaitu tentang penegasan dan perusakan
11
Renjaya Siahaan: Gorga Singa-Singa …
teknik sebelumnya, yakni sebagai penolakan di kanvas yang merupakan skill artistik. Cat air dengan campuran air berlebih menghasilkan warna yang terang dan segar. Warna ini dihasilkan oleh cahaya yang mampu menembus lapisan cat yang transparan. Warna putih biasanya dihasilkan dari bagian-bagian yang tidak diberi lapisan cat. Sangat jarang lukisan yang sengaja memberikan lapisan putih dari cat air. Teknik yang umum digunakan biasanya dihasilkan dari lapisan-lapisan yang saling ditimpakan setelah lapisan sebelumnya telah kering sehingga menghasilkan gradasi warna. Namun teknik ini wet-on-wet yang menimpakan warna di atas lapisan yang masih basah juga membutuhkan ketelitian tinggi untuk mendapatkan hasil maksimal. Resiko lainnya adalah kertas menjadi melengkung atau robek jika terlalu banyak air digunakan. Cat air memiliki kelebihan tidak berbau, mudah dibersihkan, dan mudah kering.
Landasan penciptaan Gorga merupakan peninggalan suku batak toba yang digambarkan di dinding rumah Batak adat Batak Toba seperti gorga singa-singa, simeol eol, boras pati dan yang lainnya. Dari sekian banyak gorga yang ada di masyarakat Batak Toba gorga singa-singa merupakan ide bagi penulis untuk membuat karya lukis. Dipilihnya gorga singa-singa ini sebagai ide pada pembuatan karya karena keunikan dari bentuk gorga singa-singa dan adanya keinginan penulis untuk melestarikan kebudayaan Batak Toba karena penulis berasal dari suku Batak Toba. Pada saat sekarang ini juga sudah banyak seniman yang sumber idenya dalam melukis yang tak terlepas dari kebudayaan yang khas pada suatu daerah. Seperti Made Suka Dana, seorang seniman yang membuat karya lukis yang sumber idenya dari adat, religi dan tokoh-tokoh dalam pewayangan Bali. Dari uraian di atas peneliti membuat karya lukis dengan menggabungkan beberapa teknik lukis yaitu teknik bravura dan teknik grattage. Teknik Bravura adalah pengerusakan terhadap teknik yang diterapkan sebelumnya yang didalamnya juga terkandung teknik lain seperti diskrap/dikorek, ditoreh, dan teknik lainnya. Sedangkan teknik garatte yaitu teknik menggores cat yang masih basah dengan menggunakan alat seperti sisir, garpu, dan lainnya. METODE PENCIPTAAN Pemilihan Material, Alat dan Bahan Dalam pemilihan material dan alat perlu diperhitungkan oleh perupa sebagai pendukung dalam proses pembuatan karya. Dengan perkembangan jaman yang semakin meningkat, para seniman pun mencari dan melakukan percobaan terhadap alat dan bahan untuk mendapatkan kecocokan efek-efek visual maupun hal-hal baru yang diyakini bisa sebagai media untuk meluangkan ide-ide yang telah didapatkan. Seniman biasanya bebas menggunakan teknik yang diikutinya dari senimanseniman yang terdahulu, maupun teknik-teknik yang dikembangkan dari teknik sebelumnya oleh perupa itu sendiri dalam melukiskan ide-idenya.
12
Renjaya Siahaan: Gorga Singa-Singa …
Material Dalam pemilihan material, peneliti memilih kanvas jenis vinyl dan terval. Bensin digunakan sebagai bahan pengencer cat dan air digunakan sebagai pembuat efek lelehan, bercak, transparan pada kanvas. Cat yang dipergunakan penulis adalah cat minyak (oil paint). Alat Alat yang dipakai peneliti dalam melukis adalah palet sebagai tempat mencampur cat, kuas cat minyak, yang berukuran besar, sedang dan kuas kecil dan memiliki sifat bulu yang kasar dan halus. Selain kuas penulis juga menggunakan semprotan air, busa dan kertas koran dengan tujuan untuk mendapatkan efek yang berbeda dari efek yang ditimbulkan oleh kuas. Teknik Teknik yang dipergunakan peneliti dikategorikan dalam teknik bravura (campuran teknik) pada kanvas. Canaday (1980:367) menguraikan bahwa teknik bravura menitik beratkan kemahiran mengolah bahan pada permukaan kanvas (proses disply), dan juga berarti pengerusakan terhadap teknik yang diterapkan sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa bravura bukan sekedar hanya penumpukan perbendaharaan teknik yang telah ada sebelumnya, tetapi didalmnya juga terkandung teknik yang lainnya seperti diskrap atau dikorek, ditoreh, dan masih banyak kemungkinan yang lainnya. Muara keseluruhan teknik tersebut diorientasikan pada kemampuan teknik gastural. Artinya kebebasan prinsip ini beranjak dari serapan teknik melukis yang ada sebelumnya yang memberikan kemungkinan menentukan hal yang baru dalam melukis. Teknik lain yang digunakan adalah grattage yaitu teknik menggores cat yang masih basah dengan beberapa alat seperti sisir, garpu, pecahan kaca dan yang lainnya. Teknik ini memanfaatkan sifat plastis cat yang masih basah yang sudah ditumpukkan diatas kanvas (Susanto, 2002:47). Tahapan Penciptaan Dalam tahapan penciptaan atau proses penciptaan, terlebih dahulu pencipta memiiliki ide dan konsep, disusun menjadi sebuah tampilan visual. Dalam pembuatan karya lukis, perupa melakukannya dalam beberapa tahapan. Pengamatan dan sket Dalam tahapan ini peneliti melakkukan pengamatan terhadap bentuk gorga singasinga yang ingin dilukis dengan tujuan untuk mencari bentuk-bentuk yang menarik, yang selanjutnya dipindahkan kedalam sket. Dalam pembuatan sket, penulis manambah atau mengurangi bentuk gorga singa-singa untuk mendapatkan bentuk yang menarik.
13
3
Renjaya Siahaan: Gorga Singa-Singa …
1. Mempersiapkan alat dan bahan Dalam tahapan ini peneliti melakukan persiapan alat dan bahan antara lain: cat minyak, minyak cat, kuas, kanvas, air, bensin, koran, dan wadah pencampuran linsed oil dengan terpentin. Pelukisan Tahap I Pembuatan Efek Pada Kanvas, Pemindahan Sket Pada proses melukis, peneliti terlebih dahulu mewarnai background atau latar belakang objek lukisan. Dalam tahapan ini penulis mencampurkan cat dengan bensin dan terpentin, dengan tujuan mengencerkan cat, lalu melakukan penyiraman atau penyemprotan cat yang sudah encer ke bidang kanvas. Diberi efek bercakbercak dengan penggabungan cat, minyak bensin, dan air, lalu dituangkan pada bidang kanvas dan memiringkan kanvas sehingga menghasilkan efek yang diinginkan. Berikut ini ditampilkan proses pembuatan efek pada kanvas tahapan penciptaan lukisan pada karya yang berjudul “Singa-singa”, yang dilukiskan pada tahun 2008, dengan media cat minyak diatas kanvas, dengan ukuran 70 x 90 cm. Pelukisan Tahap II Dalam tahap ini,peneliti melakukan pembentukan global yang sudah ada, atau membuat terang gelap pada bentuk global yang sudah ada, dan di biarkan mengering kembali. Dengan tujuan agar pada pelukisan tahapan berikutnya bentuk global dari lukisan tetap terlihat. Pelukisan Tahap III Atau Tahap Akhir Dalam pelukisan tahap yang terakhir ini juga sering terjadi secara tidak sengaja atau tidak disadari, lahir bentuk-bentuk yang tidak ada pada sket, dan keseluruhan lukisan dimantapkan baik bentuk maupun maknanya. ANALISIS KARYA Ruang estetik dalam penciptaan karya seni memberikan ruang untuk mengapresiasikan individualitas dalam keharmonian bentuk dan ruang. Dan warna dalam getaran jiwa yang memiliki maksud dan tujuan membangun ruang estetis yang berdasarkan etika, keindahan dan kebenaran merupakan suatu landasan yang sempurna. Kepuasan terhadap sajian karya seni tidak hanya menjadikan kepuasan jasmani hanya nyaman untuk dipandang mata tetapi kepuasan mendalam yang mampu menyentuh kesadaran manusia untuk menemukann keindahan yang dapat diseentuh dengan hati, semua dapat dilihat dalam analisis seluruh karya yang telah dibuat. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
14
Renjaya Siahaan: Gorga Singa-Singa …
Berdasarkan hasil analisis karya yang dilakukan, maka kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah 1. Pemaknaan filosofi gorga singa-singa yang yang diterapkan pada karya lukis berdasarkan pemaknaan yang terdapat pada masyarakat Batak Toba yang dilukiskan dengan kombinasi bentuk-bentuk binatang, manusia, pola sulursuluran, tali-temali, akar pohon, stalagntit-stalagtit pada gua. 2. Penambahan ataupun pengurangan yang dilakukan peneliti dalam karya lukis menimbulkan efek berbeda dari gorga singa-singa dengan tujuan pengayaan dan pengembangan gorga singa-singa ke dalam bentuk karya lukis yang menurut penulis dapat menambah nilai keindahan pada hasil karya lukis. 3. Warna yang digunakan peneliti dalam hasil karya lukis yaitu warna kuning, orange, coklat, biru, merah maron yang menghasilkan monokrom orange, warna hitam merah dan putih mewakili warna yang ada pada gorga singasinga. 4. Teknik yang digunakan dalam pembuatan karya lukis ini menggunakan beberapa campuran teknik dalam melukis yang tujuannya untuk memperoleh efek-efek yang dapat mendukung bentuk visualisaisi dalam lukisan Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti mengajukan beberapa saran sebagai berikut : 1. Kepada mahasiswa khususnya mahasisiwa seni rupa mengharapkan munculnya keinginan untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang gorga singa-singa sebagai sumber ide dalam membuat karya rupa, karena disamping penuangan ide kreatif dalam berkarya, juga sebagai salah satu sarana pelestarian hasil kebudayaan nenek moyang. 2. Kepada mahasiswa seni rupa agar dalam pengolahan bentuk maupun dalam pemilihan media ataupun teknik, agar mencari media, bahan, dan teknik yang lebih kreatif dalam pengembangan ide berkarya rupa. 3. Kepada jurusan seni rupa, kkiranya hasil penelitian ini berguna untuk menambah kepustakaan penelitian tentang gorga singa-singa yang diangkat menjadi sumber dalam berkarya rup. 4. Kepada masyarakat Batak Toba khususnya, agar melestarikan hasil kebudayaan tradisional yang menjadi aset penting untuk masa yang akan dating. 5. Kepada pemerintah kabupaten di daerah Toba, diharapkan memberikan perhatian yang khusus dalam pelestarian hasil kebudayaan Batak Toba, mendukung seniman-seniman dalam berkarya dengan ukiran Batak maupun pengembangan dari hasil kebudayaan Batak. Tentang Penulis : Renjaya Siaahan, Alumni Jurusan Pendidikan Seni Rupa Unimed Tahun 2006 Daftar Pustaka Achim Sibeth dan Bruce W. Carpenter, Batak Sculpture Bahari, Nooryan, 2004, Kritik Seni Wacana Apresiasi dan Kreasi, Pustaka Pelajar Jakarta. Bowra. C.M. , Sejarah Kebudayaan Dunia Yunani Klasik: Tira Pustaka Jakarta
15
Renjaya Siahaan: Gorga Singa-Singa …
Dacosta, Garet.1992, Perjalanan Seni Rupa Indonesia Depdikbud. 1989. Kamus besar bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka Humar Shaman, 1993, Mengenali Dunia Seni Rupa, IKIP Semarang Press Jamaluddin, 1982. Primitive Art Of Ancient Batak in Sumatera, Medan: Yayasan K. J. Mahoni Kartika, 2004, Seni Rupa Modern ; Rekayasa Sains Bandung Marbun, 1979, Kamus Budaya batak Toba, Jakarta : Balai Pustaka Manurung P. 2007, Metode Penelitian, Medan Unimed Niessen, S.A, Motifs Of Life in Toba Batak Texts and Textiles Simanjuntak Bungaran. 2004, Arti Dan Fungsi Tanah Masyarakat Batak ; KSPPM Medan S.P. Gustami. 1980. Seni Ornamen Indonesia, Yogyakarta: Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia ASRI Sembiring, Dermawan. 2004. Wawasan Seni. Diktat: Universitas Negeri Medan. Siahaan, E. K. 1997. Ragam Hias Batak, Depdikbud: Medan Susanto, Miekke. 2002, Diksi Rupa. Kanisius, Yogyakarta Wiradnyana Ketut. 2011, Pra Sejarah Sumatera Bagian Utara, Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta http://www.metmuseum.org/collections/search-the-collections/50007718) http://wikipedia.org/wiki/Naturalisme_(seni_rupa) http://id.wikipedia.org/wiki/Dadaisme_(seni_rupa)
16