STULOS 12/1 (April 2013) 121-144
FORMASI SPIRITUAL HOLISTIK DI SEKOLAH TEOLOGI INJILI
Grace Emilia
Abstrak: Tulisan ini bermaksud untuk mengangkat problema fragmentasi dalam pendidikan teologi di sekolah teologi yang berpotensi menghasilkan lulusan yang mengalami fragmentasi pribadi dan akhirnya merugikan gereja-Nya. Dilakukan penelusuran historis untuk mengetahui penyebab fragmentasi ini di level makro, selain juga meninjaunya secara mikro pada kehidupan individual para pendidik di dalam konteks sekolah teologi. Menerapkan formasi spiritual holistik merupakan solusi untuk mengatasi fragmentasi ini. Kata Kunci: Fragmentasi, formasi spiritual, holistik, pendidikan teologi, sekolah teologi.
PROBLEMADI TENGAH GEREJA Sekolah teologi sebagai institusi pendidikan teologi memiliki peran yang sangat penting dalam kekristenan karena membentuk dan menelurkan para pemimpin gereja di masa depan. Namun realitas menunjukkan, banyak dari para pemimpin ini yang kemudian mengalami kegagalan (disfungsi) pribadi. Ada banyak alasan yang menyebabkan kegagalan ini, Gary L. McIntosh dan Samuel D. Rima dari Talbot School of Theology meyakini adanya ‘sisi gelap’ dalam kehidupan para pelayan Tuhan ini, seperti “rasa tidak aman, perasaan inferior, dan kebutuhan akan persetujuan orang tua yang mendorong orang-orang ini untuk bisa sukses… Namun hal-hal ini pulalah yang menyebabkan kegagalan mereka.” 1 Para pemimpin ini 1
Gary L. McIntosh dan Samuel D. Rima, Sr., Overcoming the Dark Side of Leadership: the Paradox of Personal Dysfunction (Grand Rapids: Baker Books, 2004), 11-12.
122
FORMASI SPIRITUAL HOLISTIK
kerap melakukan hal-hal yang berbeda dari apa yang mereka yakini. Dengan kata lain, terdapat problema integritas atau fragmentasi dalam kehidupan pribadi mereka sehingga kerap kali, hidup mereka didorong oleh apa yang ada di luar (outside-in). Padahal dalam Matius 15, Yesus menekankan pentingnya hidup yang utuh, yang didorong oleh apa yang ada di dalam (inside-out). Dampak dari fragmentasi pribadi ini akan merugikan gereja-Nya, mengingat bahwa para lulusan sekolah teologi ini akan melayani di institusi-institusi gereja dan atau di pelayanan Kristen lainnya. Karena itu penulis meyakini bahwa restorasi gereja-Nya perlu dimulai dengan restorasi dalam pendidikan teologi di sekolah teologi. Pendidikan teologi yang terfragmentasi akan menghasilkan lulusan yang juga terfragmentasi. Tesis penulis adalah bahwa formasi spiritual secara holistik di sekolah teologi merupakan solusi untuk mengatasi fragmentasi dalam pendidikan teologi. Mengingat bahwa “spiritualitas yang otentik melibatkan integrasi dari seluruh aspek hidup sebagai sebuah kesatuan yang menyeluruh, 2 penulis akan mengeksplorasi permasalahan fragmentasi ini dari perspektif makro dan mikro. Dari perspektif makro, penulis akan menelusuri proses historis yang menyebabkan terjadinya fragmentasi dalam pendidikan teologi. Sementara secara mikro, penulis akan membahas mengenai fragmentasi ini pada kehidupan individual para pendidik di dalam konteks sekolah teologi. PROSES FRAGMENTASI DALAM PENDIDIKAN TEOLOGI: PENELUSURAN HISTORIS PergeseranMaknaTeologi Isu fragmentasi dalam pendidikan teologi mulai mendapat perhatian luas di Amerika Utara tahun 1980-an, dan kemudian menjalar ke berbagai penjuru dunia termasuk di Asia. Penyulut dari isu ini adalah Edward Farley, dosen teologi dari Vanderbilt University. Melalui bukunya Theologia: 2
David B. Perrin, Studying Christian Spirituality (New York, Rouledge, 2007), 18.
JURNAL TEOLOGI STULOS
123
The Fragmentation and Unity of Theological Education (1983) dan kelanjutannya The Fragility of Knowledge: Theological Education in the Church and the University (1988). Farley menjelaskan bahwa problema dari inkoherensi dalam pendidikan teologi dimulai dari pergeseran makna mengenai definisi dan peran dari istilah ‘teologi’. Pergeseran makna ini akhirnya membentuk pendidikan teologi menjadi seperti yang terjadi di masa kini. Farley menunjukkan bahwa di masa pra-modern, ada dua makna dari ‘teologi’ sebagai berikut: Pertama, teologi adalah istilah yang merujuk padacognition (=proses mental yang menyertakan atensi, memori, pemahaman bahasa, pembelajaran, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan) pribadi yang bersifat aktual dan individual akan Tuhan dan hal-hal yang berhubungan dengan Tuhan; yang berhubungan dengan iman dan yang melihat kebahagiaan kekal sebagai tujuan utamanya. Kedua, teologi adalah istilah yang merujuk pada dislipin atau usaha sadar untuk memahami yang memiliki kualitas keilmuan. Menurut makna yang pertama, teologi adalah kebiasaan (habitus) dari jiwa manusia. Sementara menurut makna kedua, teologi adalah disiplin yang biasanya terjadi dalam setting pedagogis.3
Pengaruh Pencerahan Makna original teologi sebagai ‘hikmat’ dan sebagai ‘disiplin’ ini kemudian mengalami transformasi radikal pada periode Pencerahan di abad ke-18. Pada periode ini, terjadi kegerakan intelektual secara luas, khususnya di Inggris, Perancis, dan Jerman, yang menolak superstisi dan misteri, dan lebih berfokus pada kuasa dari rasio manusia serta usaha-usaha ilmiah.4 Hal ideal yang ingin dicapai dalam periode ini adalah masyarakat progresif yang hidup secara harmonis dan adil,yang dipimpin oleh para pemimpin yang tidak mudah dipengaruhi oleh superstisi dan prasangka, serta yang berusaha untuk menggunakan rasio 3
Edward Farley, Theologia: The Fragmentation and Unity of Theological Education (Philadelphia: Fortress Press, 1983), 31. 4 Nicholas Bunnin and Eric P. Tsui-James (ed), The Blackwell Companion to Philosophy, Second Edition (Oxford: Blackwell Publishing, 2003), 880.
124
FORMASI SPIRITUAL HOLISTIK
sebagai kompasnya.5 Dengan kata lain, ilmu pengetahuan menggantikan pewahyuan sebagai standar hidup dan para filsuf pun mendapat tempat terhormat. Dampaknya adalah, makna teologi sebagai kualitas pribadi dari hikmat terus berlanjut, tapi tidak berhubungan dengan keselamatan pribadi, melainkan lebih sebagai pengetahuan praktis untuk melakukan pekerjaan pelayanan. Sementara makna teologi sebagai disiplin terus berlanjut, tidak lagi sebagai usaha integral dari studi teologi, tapi sebagai usaha keilmuwan yang bersifat teknis dan spesifik, yaitu sebagai teologi sistematis.6 Ini berarti, teologi sebagai hikmat yang memimpin seseorang pada cara hidup Kristen telah digantikan oleh pemahaman terfragmentasi yang merujuk pada sekumpulan informasi dan pengetahuan akan Tuhan. Sementara itu, teologi sebagai disiplin kini menjadi sekumpulan ‘ilmu pengetahuan’ (sciences) yang merujuk pada sebuah tujuan baru, yaitu mendidik mereka yang menjadi klergi (clergy) atau pelayan di gereja. Farley lalu menyajikan perkembangan historis dari fragmentasinatur pendidikan ke dalam tiga periode: Periode pertama adalah periode pembelajaran hal-hal yang bersifat ilahi (divinitas). Ini adalah periode kesatuan dalam teologi, ketika teologi masih dilihat sebagai pengetahuan yang berdasarkan wahyu dari Allah yang memimpin pada hikmat dan merupakan jalan untuk hidup dengan setia, atau habitus. Pendidikan teologi yang semacam ini terbuka bagi setiap orang, tapi tujuannya adalah mencapai hikmat dan menghidupi habitus. Di periode yang kedua, terdapat pendidikan yang bersifat ministerial di sekolah tinggi dan juga praktik untuk melakukan studi akan hal-hal yang bersifat keilahian (divinitas). Saat itu, divinitas masih dilihat sebagai sebuah topik yang menyatu, tapi menjadi area yang terpisah dari 5
Edward Farley, the Fragility of Knowledge (Philadelphia; Fortress Press, 1988), 4. Ibid., 39.
6
JURNAL TEOLOGI STULOS
125
bidang-bidang studi lainnya. Ini adalah era spesialisasi yang menandai pendekatan baru dari pendidikan, khususnya dengan pendirian Andover (1808) sebagai sebuah institusi yang terpisah dari pendidikan teologi. Periode ketiga berhubungan dengan pendidikan profesional. Pada periode ini, teologi sebagai sebuah subjek yang menyatu tidak lagi eksis, karena telah digantikan dengan fokus pada pelatihan para calon klergi. Pada saat ini, pendidikan teologi hanya dibutuhkan oleh mereka yang akan masuk ke dalam dunia ‘pelayanan’ profesional. Penekanannya pun bergeser dari teologi sebagai pemahaman yang menyatu menjadi pembelajaran keahlian yang berhubungan dengan pelayanan profesional. PengaruhPietisme Pergeseran makna dari istilah ‘teologi’ dan pengaruhnya pada pendidikan teologi dipengaruhi pula oleh Pietisme, yang dimulai sebagai kegerakan dalam gereja Lutheran di Jerman pada abad ke-17. Kegerakan ini menekankan iman pribadi pada Tuhan sebagai usaha untuk mengatasi kondisi iman yang begitu ‘steril’ di gereja Lutheran pada masa itu yang mulai terseret arus rasionalisme. Karakterisasi dari Pietisme adalah kehidupan devosional yang didasarkan oleh perasaan religius dan juga praktek religius yang ketat. Kehidupan religius yang hangat dianggap jauh lebih penting dari dogma-dogma intelektual yang kering. Dengan kata lain, pietisme muncul sebagai “protes terhadap ortodoksi dingin yang bersebelahan dengan skolastisisme, yang sangat menekankan rasionalitas dan intelektualitas.”7 Pietisme berusaha memperbaiki pendekatan skolastik-ilmiah dalam studi teologi yang lebih mementingkan pembelajaran kognitif yang serba rasional daripada pembentukan iman pribadi. Akibatnya, pietisme sangat menekankan persiapan dan pelatihan untuk melakukan tugas-tugas 7
Randall Balmer, Encyclopedia of Evangelism (Waco: Baylor University Press, 2004), 543.
126
FORMASI SPIRITUAL HOLISTIK
ministerial (pelayanan) secara spesifik, yang akhirnya menghasilkan tujuan (telos) kedua dari studi teologi, yaitu mempersiapkan para klergi untuk melakukan tugas-tugas pelayanan.8 Friedrich Schleiermacher (1768-1834) bertanggung jawab pada pengkategorian dari studi teologi di kampus-kampus modern. Ia lah yang pertama menelurkan ‘paradigma klergi’ (clerical paradigm) dalam usahanya merekonsiliasi perbedaan yang terjadi antara kalangan pietis dan kalangan rasionalis. Ia mendefinisikan ulang teologi sebagai ilmu pengetahuan dengan disiplin riset kritis di area riset di satu sisi dan sebagai pendidikan profesional bagi para klergi di sisi lainnya. Dalam usahanya untuk menerapkan paradigma klergi ini, Schleiermacher mengusulkan adanya tiga tingkatan dalam studi teologi: teologi historis, teologi filosofis dan teologi praktis. Teologi historis terdiri dari studi biblika, sejarah gereja dan teologi sistematis. Teologi filosofis berusaha untuk mengembangkan pertanyaan mengenai apa yang menjadi esensi dari kekristenan. Jawaban dari hal ini ditarik dari analisis filosofis dari studi historis mengenai kekristenan. Sementara itu, tujuan dari teologi praktika adalah menentukan aturan-aturan normatif untuk memenuhi tugas dari pelayanan Kristen. Scheiermacher percaya bahwa setiap aspek ini berkontribusi pada tugas keseluruhan dari pendidikan teologia dan membentuk ‘kesatuan organis’ yang digambarkan dalam bentuk sebuah pohon: 1) Filosofis –akar, 2) Historis – batang 3) Praktika – mahkota. Ringkasnya visi Schleiermacher untuk mengintegrasikan teologia praktika dengan teologi filosofis dan teologi historis sebagai kesatuan yang menyeluruh tidak pernah terealisasi. Teologi praktika terfragmentasi ke dalam berbagai area yang berbeda, yang masing-masing berfokus pada fungsi khususnya (contoh: khotbah, pastoral, dsb.). Pasca Schleiermacher, teologi praktika cenderung menjadi pelatihan bagi mereka yang akan melakukan fungsi-fungsi pelayanan. 8
Farley, Theologia: The Fragmentation and Unity of Theological Education, 41.
JURNAL TEOLOGI STULOS
127
Dalam realitasnya, hal yang kemudian terjadi adalah subordinasi dari teologi praktika terhadap teologi historis dan filosofis. Terpecahnya kesederajatan (equality) dari tiga aspek teologi ala Schleiermacher ini berimplikasi negatif pada dikotomi antara teori dan praktek serta subordinasi teologia praktika pada teologi sistematik dan historis.
Pengaruh Modernisasi Di periode modern pada awal abad ke-20, fragmentasi ini diperparah oleh modernisasi yang sangat menekankan spesialisasi. Nicholas Wolterstorff menggambarkan dua faktor utama yang menurut Max Weber merupakan esensi dari modernisasi: (1) dibebaskannya berbagai aktivitas, termasuk wissenschaft atau riset ilmiah dari kontrol eksternal gereja dan negara, serta (2) kemandirian setiap area untuk memiliki dan menggunakan alur logikanya masing-masing.9 Sementara itu, Mark Schwehn mengidentifikasi kuliah terbuka Weber di Munich University tahun 1918 sebagai kunci yang memengaruhi perkembangan pengetahuan rasional dari universitas-universitas di Jerman dan di Amerika Utara: Weber mendefinisikan vokasi akademis sebagai aktivitas yang rasional dan berjarak dimana para akademisi berusaha memajukan pengetahuan dengan riset dan studi di berbagai disiplin yang terspesialisasi. Harga dari usaha untuk mempertahankan spesialisasi yang kaku ini adalah tidak bisa diterapkannya penyelidikan akan hal-hal yang bersifat menyeluruh dan juga dalam mengetahui makna dari hidup manusia. Weber berargumentasi bahwa koherensi dari disiplin-disiplin yang bersifat spesialisasi merupakan hal yang mungkin, karena vokasi yang terpisah dan bersifat spesialisasi akan dapat dirancang sesuai dengan tujuan Allah. Karena itu manusia dapat menemukan makna dari vokasi individual mereka, mempercayai Allah yang mengetahui kerangka menyeluruhnya dan mengatur dunia sesuai dengan hal tersebut. 10
9
Ibid., 177. Ibid., 178.
10
128
FORMASI SPIRITUAL HOLISTIK
Pandangan ini sesuai dengan teori Weber yang meyakini bahwa organisasi dapat dipersatukan oleh pemimpin yang karismatik, kepercayaan umum, dan hubungan yang hierarkis, dimana setiap bagian dapat melakukan tugasnya tanpa harus mengetahui gambaran menyeluruhnya dan tanpa mengetahui sumber dari tujuan. “Ini adalah teori yang sangat cocok dengan era industri, suatu era yang berusaha mencari hasil-hasil yang identik dalam melakukan operasinya dari waktu ke waktu, tanpa peduli siapa yang melakukannya.”11
Dampaknya di Masa Kini Warisan dari proses sejarah ini kini berpengaruh terhadap bagaimana pendidikan teologi diterapkan di sekolah-sekolah teologi. Di kalangan sekolah-sekolah teologi ekumenikal, hal ini sudah menjadi kekuatiran tersendiri sejak tahun 1980-an. Di bulan Juni 1989, disponsori oleh World Council of Churches, sekitar 75 pendidik teologia (ekumenikal) dari seluruh dunia berkumpul dalam sebuah konsultasi di Yogyakarta-Indonesia. Tujuan dari konsultasi itu adalah mendorong diterapkannya formasi spiritual dalam pendidikan teologi sebagai cara untuk mengatasi dikotomi yang terjadi disekolah-sekolah teologi. Jacques Nicole, Director Programme for Theological Education dari Ecumenical Institute of Bosey menjelaskan dampak dari dikotomi ini: Sejak Abad Pertengahan yang diwarnai oleh pendekatan skolastis dalam berteologi, pertanyaan mengenai spiritualitas telah menimbulkan rasa tidak enak di kalangan para pendidik teologi. Mereka kuatir hal ini akan menghancurkan usaha dalam mengembangkan karakter ilmiah dari teologi di tengah berbagai disiplin ilmiah dari universitas. Dengan beberapa pengecualian, seperti misalnya di kalangan Jesuit atau Pietis dari Halle, kebanyakan dari sekolah-sekolah teologi ini memiliki pedagogi yang berkonsentrasi pada memperlengkapi mahasiswa dengan teknik-teknik dan metodologi intelektual, dan meninggalkan formasi spiritual di tangan para pendeta atau pastur di gereja. Tak heran banyak fakultas dan sekolah-sekolah teologi yang 11
Ibid., 177.
JURNAL TEOLOGI STULOS
129
akhirnya menghasilkan para ‘ateis fungsional’ ...”12
Elsa Tamez, seorang presenter di konsultasi tersebut, menyatakan bahwa kebanyakan dari sekolah teologia di masa kini tanpa sadar telah lebih mementingkan kualitas akademik dibandingkan praktek hidup pribadi. Tamez membuktikan poinnya dengan menunjukkan bahwa di kebanyakan institusi akademis, nilai yang diberikan pada seorang mahasiswa berhubungan dengan performa intelektual. “Praktek pastoral, liturgi, dan kegiatan sosial komunitas biasanya diletakkan di tempat kedua. Sebagai dampaknya, kita berpikir bahwa aktivitas intelektual bersifat anti-spiritual dan spiritualitas sebagai anti-intelektual.”13 Situasi ini tidak hanya terjadi di sekolah-sekolah teologi yang ekumenis. Richard Herring dan Fritz Deininger menyatakan bahwa jika kita meneliti katalog dari institusi-institusi teologi Injili di berbagai penjuru dunia, terlihat bahwa “tujuan dari pendidikan mereka biasanya berfokus pada tiga area utama: pengetahuan biblika, pelatihan melayani, dan pembentukan karakter untuk menjadi seperti Kristus. Namun dalam realitanya, pengetahuan biblika (yang bersifat kognitif) dan pengetahuan melayani selalu mendapatkan penekanan utama. Herring dan Deininger menyatakan bahwa institusi gereja turut bertanggung-jawab terhadap situasi ini karena mereka menyebabkan terjadinya ‘diploma disease’ dimana label akademis lebih dipentingkan dari kedewasaan spiritual. Namun pada saat bersamaan, terjadi ironi karena “gereja-gereja, lembaga-lembaga Kristen serta masyarakat Kristen pada umumnya mengharapkan para lulusan dari institusi-institusi teologis
12
Samuel Amirtham dan Robid Pryor (ed), Resources for Spiritual Formation in Theological Education (World Council of Churches – Programme on Theological Education, 1989), v. 13 Elsa Tamez, “Spiritual Formation and Critical Study: A Case Study,” Resources for Spiritual Formation in Theological Education (World Council of Churches: Programme on Theological Education, 1989), 18.
130
FORMASI SPIRITUAL HOLISTIK
ini menjadi model dari spiritualitas.”14 Alex Tang, Director of Kairos Spiritual Formation di Johor Baru – Malaysia, melakukan sebuah survei sederhana pada situs-situs dari beberapa STT injili di Singapura dan Malaysia tahun 2010. Dari survei ini, Tang menemukan fakta bahwa kurikulum dari berbagai STT injili ini juga memiliki fokus yang sangat kuat pada pengembangkan keahlian kognitif tapi sangat lemah dalam mengembangkan pribadi mahasiswa dan juga dalam mengembangkan relevansi bagi gereja-gereja lokal. Kurikulumnya lebih berfokus pada isi (content-based) daripada hasil (outcome-based). 15 Para mahasiswa yang ‘terlatih’ untuk lebih mementingkan keahlian kognitif akan mulai melihat hidupnya terkotak-kotak dalam domain akademik dan domain pribadi, sehingga kehilangan interpretasi yang begitu kaya dari berbagai dimensi dalam kehidupan Kristen.
FRAGMENTASI INDIVIDUAL DI SEKOLAH TEOLOGI: PERSPEKTIF PENDIDIKAN Berdasarkan warisan historis dalam pendidikan teologi, diketahui adanya ketidakseimbangan dalam formasi pendidikan mahasiswa. Terdapat fokus yang kuat pada pengetahuan kognitif dan keterampilan melayani dibandingkan formasi karakter. Ketidakseimbangan ini dapat bersifat destruktif pada usaha untuk mengembangkan para pemimpin Kristen yang utuh di masa depan, karena pendidikan semacam ini menyebabkan terjadinya fragmentasi di level pribadi. Thomas Merton menyebut fragmentasi ini sebagai ‘keutuhan yang terselubung’ (hidden wholeness), sementara Parker J. Palmer menyebutnya 14
Richard Herring & Fritz Deininger, “The Challenges and Blessings of Spiritual Formation in Theological Education,“ Educating for Tomorrow: Theological Leadership for the Asian Context (Bangalore: India: SAIACS Press, 2007), 126. 15 Alex Tang, “Surfing the Tsunami of Change: Problem-based Learning in Theological Education in Asia”, Tending the Seedbeds: Educational Perspectives on Theological Education in Asia (Quezon City: Asia Theological Association, 2010), 240.
JURNAL TEOLOGI STULOS
131
sebagai ‘hidup yang terbagi’ (divided life). Ironisnya, di antara ketiga area tadi, area yang paling diabaikan yaitu formasi karakter (disiplin hati) adalah justru yang paling penting. Hal ini disebabkan karena: 1. Hati, atau kehendak atau roh adalah pusat eksekutif dari kehidupan manusia 2. Hati adalah sumber dari segala yang kotor, termasuk pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat (Mat. 15:19). 3. Hati adalah tempat berkuasanya dosa dalam hidup seseorang (Maz. 19:12-13). 4. Hati penuh dengan tipu muslihat (Yer. 17:9). 5. Hati yang berdosa telah membuat manusia berdosa sejak lahir (Kej. 6:5, 8:21). 6. Hati yang tidak dikontrol oleh Roh akan dikontrol oleh natur keberdosaannya dan menghasilkan tindakan-tindakan yang berdosa (Gal. 5:19-21a). 7. Hati yang gelap oleh dosa akan merusak pikiran seseorang (Markus 17:21-23). Dengan kata lain, apa yang ada di hati sangat menentukan siapa kita dan bagaimana kita akan menjadi. Hati yang kotor akan memengaruhi akal budi (head) serta karya (hands) dari para mahasiswa di sekolah teologi; sebab hidup yang terfragmentasi akan menyebabkan seseorang hidup dalam kemunafikan. Tak beda dengan orang-orang Farisi yang memiliki status sebagai pemimpin religius, tapi gaya hidupnya yang moralistis nan legalistis dikutuk oleh Yesus karena mereka mengajar orang lain tanpa terlebih dulu melakukannya sendiri. Dalam konteks pendidikan teologi di sekolah teologi, dosen adalah elemen krusial yang justru mendorong terjadinya fragmentasi ini atau sebaliknya, memfasilitasi seorang peserta didik pada hidup yang utuh. Karena itu Cornel West menyatakan, jika menginginkan terjadinya perubahan di pendidikan teologi, maka “tempat terbaik untuk memulai
132
FORMASI SPIRITUAL HOLISTIK
adalah di area yang paling rapuh tapi juga paling sulit, yaitu: gambar diri dan identitas diri dari para dosen di sekolah teologi.”16 Seorang pendidik yang hatinya belum direnovasi akan menempatkan identitas dan keberhargaan dirinya di berbagai hal (jabatan, intelektualitas, dsb), kecuali hubungan pribadi dengan Tuhan. Para pendidik semacam ini tidak mau disentuh secara terbuka oleh Tuhan dan karena itu juga sulit untuk bisa menyentuh orang lain. Akibatnya, mengajar akan menjadi beban berat, karena seperti yang dikatakan oleh Parker J. Palmer, “mengajar adalah latihan harian di area kerapuhan... dan tidak seperti profesi lainnya, mengajar selalu dilakukan di persimpangan yang berbahaya antara kehidupan pribadi dan kehidupan publik.” Palmer menjelaskan lebih lanjut: Saya tidak perlu menyingkapkan rahasia pribadi saya untuk merasa telanjang di depan kelas. Saya hanya perlu menyatakan sebuah kalimat atau menuliskannya di papan sementara para murid tertidur atau saling bertukar catatan. Tak peduli apa pun bidang yang saya tangani, bidang yang saya ajarkan adalah hal-hal yang paling saya pedulikan – dan apa yang saya pedulikan menentukan keberadaan diri (selfhood) saya.17
Ketakutan pribadi yang dialami seorang pendidik yang rapuh untuk terhubung dengan orang lain akan menyebabkan mereka memisahkan diri dari keterhubungan dengan mahasiswa untuk mengurangi bahaya dari menjadi terluka. Mereka juga akan membangun tembok antara apa yang terdapat di dalam hati dengan kinerja yang tampak. Dalam situasi sepertiitu, apa yang dikatakan oleh seorang pendidik belum tentu keluar dari hati yang terdalam. Budaya akademis yang tidak mempercayai kesubjektifan dari pengetahuan pribadi menjadi tempat yang aman untuk bersembunyi dari ketakutan ini. Palmer menjelaskan, Institusi akademis menawarkan berbagai cara untuk melindungi diri dari ancaman untuk harus berjumpa (live encounter). Untuk menghindari perjumpaan dengan guru, murid bersembunyi di balik buku-buku dan 16
C.West, Prophetic Fragments (Grand Rapids: Eerdmans, 1988), 276. Parker J. Palmer, The Courage to Teach: Exploring the Inner Landscape of A Teacher’s Life (San Francisco: Joseey-Bass, 1998), 17. 17
JURNAL TEOLOGI STULOS
133
keheningan. Untuk menghindari keharusan untuk berjumpa dengan mahasiswa, dosen bersembunyi di balik podium, kredensial, atau kuasa. Untuk menghindari keharusan untuk berjumpa dengan rekan lainnya, para guru bersembunyi di balik spesialisasi akademis masing-masing. Untuk menghindari keharusan berjumpa dengan subjek studi, makabaik guru maupun murid dapat sama-sama bersembunyi di balik kepura-puraan objektivitas... Sementara itu, untuk menghindari keharusan berhadapan dengan diri kita sendiri, kita dapat belajar seni mengasingkan diri atau seni untuk hidup secara terbagi.18
Selain rasa takut, ketidaktahuan (ignorance) juga dapat menyebabkan seorang dosen bersembunyi di balik topeng objektivitas. John Coe, Ph.D. (Associate Professor of Philosophy and Theology di Biola University) mengakui bahwa setelah mengajar selama 17 tahun di universitas dan seminari, ia merasa dirinya kering, kosong dan bingung. Sebagai akibatnya, ia mengakui telah melakukan kekerasan spiritual terhadap para mahasiswa di kelasnya. Coe menulis, “Di satu sisi saya meningkatkan pengetahuan mereka, namun secara simultan saya juga membuat jiwa mereka menjadi kosong dan kering dari kehidupan doa, menanti Tuhan, hening, mengasihi dan mendengar suara-Nya.”19 Bersembunyi dari orang lain karena rasa takut atau ketidaktahuan adalah satu hal. Namun akan jadi berbahaya jika tanpa sengaja kita menjadi manipulator yang berkuasa akibat dari kehidupan pribadi yang tidak diuji. Sisi gelap seorang pendidik dapat membuatnya menggunakan posisinya untuk mendominasi orang lain atau sekedar untuk memuaskan dorongan kompulsifnya sebagai pribadi. Dalam “Pedagogy of the Distressed”, edukator Jane Tomplins mengakui bahwa obsesinya sebagai guru tidak menolong para muridnya untuk mempelajari apa yang mereka ingin atau butuhkan untuk pelajari, karena ia telah: (a) Menunjukkan kepada para muridnya betapa hebat dirinya.
18
Ibid, 37-38. John Coe, “Intentional Spiritual Formation in the Classroom: Making Space for the Spirit in the University,”Christian Education Journal 4 (2000): 13. 19
134
FORMASI SPIRITUAL HOLISTIK
(b) Menunjukkan kepada mereka betapa dirinya sangat berpengetahuan, dan (c) Menunjukkan kepada mereka betapa ia sangat siap di kelas.Saya telah mengajar tapi tujuannya bukan untuk menolong murid-murid saya belajar, tapi agar mereka berpikir betapa hebatnya saya.20
Contoh-contoh di atas tentu saja tidak sehat, khususnya dalam konteks sekolah teologi dimana pendidik dan mahasiswa saling berinteraksi dengan intensif dalam kesehariannya. Apalagi mengingat fakta bahwa perubahan dalam hidup seseorang, khususnya para mahasiswa, tidak akan terjadi hanya dengan kata-kata saja, tapi melalui keteladanan hidup seperti yang dinyatakan oleh Paulus kepada jemaat Tesalonika di 1 Tes. 1:5-6. Dengan kata lain, jika para pendidik hidup secara terfragmentasi, akan sulit bagi mahasiswa untuk menemukan teladan hidup dan mentor spiritual di kampus. Fokus pada keberhasilan akademis akan membuat para pendidik sibuk dengan persiapan materi dan para mahasiswa pun akan mendapat pesan yang jelas bahwa pencapaian tertinggi yang harus mereka raih selama kuliah adalah nilai akademis yang baik. Karena itu, belajar untuk mendapatkan nilai yang baik akan menghabiskan sebagian besar waktu mereka, sehingga hal-hal lain, khususnya yang berhubungan dengan disiplin rohani, tidak dapat diterapkan dengan maksimal. Satu aspek lainnya yang akan terabaikan dalam situasi yang terfragmentasi adalah hubungan pribadi antara dosen dan mahasiswa. Sebagai pribadi, seorang mahasiswa memiliki kerinduan yang dalam terhadap sesuatu yang pribadi di dalam hubungan manusiawinya – tidak hanya dengan teman-teman sesama mahasiswa, tapi juga dengan orang-orang yang mereka hormati, yaitu para dosen. Dari hubungan dosen-mahasiswa ini, mereka diam-diam berharap dapat diberdayakan 20
Palmer, The Courage to Teach, 28.
JURNAL TEOLOGI STULOS
135
secara maksimal agar bertumbuh seperti yang Tuhan inginkan dalam hidup mereka – selain juga belajar seni untuk bisa akuntabel sebagai seorang pribadi yang berintegritas. Tahun 1987, Gordon MacDonald, seorang teolog dan penulis terkenal, secara terbuka mengakui di Christianity Today edisi 10 Juli 1987 tentang hatinya yang terbelah akibat dari kurangnya hubungan pribadi dan akuntabilitas. Ia menyatakan: Kemampuan si iblis untuk merusak hati dan pikiran benar-benar tidak terbayangkan. Saya bertanggung-jawab atas apa yang terjadi dan saya membuat keputusan-keputusan tersebut dari hati yang kotor. Selain itu saya juga sadar bahwa saya tidak memiliki teman-teman dimana saya bisa mempertanggung-jawabkan akuntabilitas diri saya. Kita butuh pertemanan dimana seseorang bisa melihat ke mata yang lainnya dan bertanya pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan moral kita, nafsu kita, ambisi kita, serta ego kita. 21
Kebiasaan untuk akuntabel ini harus dimulai sedini mungkin, sejak para pemimpin masa depan ini masih berada di sekolah-sekolah teologi. Dibutuhkan disiplin hati baik dari dosen maupun mahasiswa untuk bisa melakukan hal tersebut. Hal ini tidak mungkin dilakukan jika para dosen sebagai pendidik tidak siap untuk hal ini. Penulis akan menutup bagian ini dengan merangkum fragmentasi yang terjadi di level individual ini dengan menggunakan poin-poin fragmentasi dari Parker J. Palmer, yang disebutnya sebagai ‘paradoks yang terbelah’ berikut ini: -
-
Kita memisahkan rasio (head) dari hati (heart). Hasilnya adalah pikiran yang tidak tahu bagaimana cara merasa dan hati yang tidak tahu bagaimana cara berpikir. Kita memisahkan fakta dari perasaan. Hasilnya adalah fakta yang ‘dingin’ yang membuat dunia terasa jauh dan berjarak,
21 Gordon MacDonald, “Leader’s Insight: When Leaders Implode,” Evangelism Today; http://evangelismtoday.blogspot.com/2006/11/leaders-insight-when-leaders-implode.html (diakses 5 September 2012).
136
FORMASI SPIRITUAL HOLISTIK
-
-
serta emosi tak peduli yang mereduksi kebenaran menjadi bagaimana seseorang merasa pada hari ini. Kita memisahkan teori dari praktek. Hasilnya adalah teori ayng tidak berhubungan dengan kehidupan dan praktek yang tidak didasarkan pada pemahaman. Kita memisahkan pengajaran dari pembelajaran. Hasilnya adalah dosen yang bicara tapi tidak mendengarkan dan mahasiswa yang mendengarkan tapi tidak bicara.22 FORMASI SPIRITUAL HOLISTIK DALAM SUATU PENDIDIKAN TEOLOGI INJILI
Setelah mengeksplorasi problema fragmentasi dalam pendidikan teologi dari perspektif historis dan perspektif individual, maka penulis meyakini bahwa formasi spiritual holistik dalam pendidikan teologi injili merupakan solusi dari problema fragmentasi ini. Formasi spiritual adalah “respon kita secara berkelanjutan pada realita dari anugerah Allah yang terus membentuk kita untuk menjadi seperti Kristus, melalui karya Roh Kudus di dalam komunitas iman, bagi kepentingan dunia ini.”23 Istilah ‘formasi’ berasal dari akar kata ‘morphe’ (Roma 12:12, 2 Kor 3:18) yang dari padanya muncul istilah ‘metamorfosis’. Dalam proses formasi spiritual ini akan terjadi transformasi spirit (atau hati atau kehendak) yang akan memengaruhi semua aspek dari seorang individu, tanpa terkecuali, termasuk pikiran (gambaran, konsep, penilaian, pemikiran), perasaan (sensasi, emosi), pilihan (kehendak, keputusan, karakter), tubuh (tindakan, interaksi dengan dunia fisik), dan sosial konteks (hubungan pribadi dengan orang lain). 22
Palmer, The Courage to Teach, 66. Jeffrey P. Greenman, “Spiritual Formation in Theological Perspective: Classic Issues, Contemporary Challenges,” Life in the Spirit: Spiritual Formation in Theological Perspective (Downers Grove: IVP Academic, 2010), 24. 23
JURNAL TEOLOGI STULOS
137
Disebut ‘respon’ karena proses untuk menjadi seperti Kristus ini tidak pasif; sebab walaupun hal ini merupakan inisiatif Allah, tetapi dibutuhkan respon manusia untuk “mengenakan manusia baru yang terus-menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya.” (Kolose 3:10). Sementara itu, istilah ‘holistik’ dalam ‘formasi spiritual holistik’ berasal dari kata halos yang merupakan istilah bahasa Yunani untuk ‘menyeluruh’ (whole). Di ranah pendidikan, ini berarti bahwa bagian-bagian dari keseluruhan tidak dapat berdiri sendiri dan hanya dapat dipahami dalam hubungannya dengan keseluruhan yang lain.24 Dalam konteks pendidikan teologi di sekolah teologi, formasi spiritual holistik inibukan berarti menghabiskan lebih banyak waktu di kapel kampus dan mengurangi waktu belajar di kelas. Paradigma semacam ini merupakan “pandangan yang sangat miskin tentang spiritualitas yang membatasi formasi spiritual pada sesi-sesi ibadah formal bersama di kapel kampus, meskipun hal tersebut merupakan hal yang esensial.”25 Formasi spiritual holistik haruslah mencakup seluruh proses pendidikan yang menyertakan pula proses formal di dalam kelas, tapi juga proses non formal di luar kelas. Marcus Throup secara menarik menggunakan istilah ‘paradigma penyembahan’ dalam usahanya meredefinisi kembali formasi spiritual holistik di dalam pendidikan teologi. Ia menyatakan bahwa menerapkan penyembahan sebagai motif utama yang mendasari pendidikan teologi adalah berarti “mengklaim bahwa mengetahui, mengasihi, dan mengikuti Kristus adalah esensi dan tujuan dari studi teologi dan juga proses pembelajaran hidup yang terdapat di sekolah teologi atau seminari.”26 24
Ken Gnanakan, “Integrating Real Life Issues Into Theological Education in Asia,” The Church in a Changing World: An Asian Response (Quezon City: Asia Theological Association, 2010), 272. 25 Marcus Throup, “Toward Integration: Re-envisioning Theological Education as Worship.” (2001), 3. 26 Ibid., 4-5.
138
FORMASI SPIRITUAL HOLISTIK
Dengan demikian, formasi intelektual dalam teologi dan formasi dalam kehidupan spiritual sebetulnya saling berhubungan dan bahkan terintegrasi; karena yang satu tidak akan menghilangkan yang lainnya. Riset yang berkualitas tidak akan menghilangkan keintiman dalam kehidupan doa, tapi justru saling menguatkan. Susanne Johnson, edukator Kristen kontemporer, menyatakan bahwa kunci utama dari pendidikan Kristen dan formasi spiritual adalah bahwa “formasi spiritual bukanlah hal yang terpisah, tapi justru merupakan dinamika kunci dari menjadi seorang Kristen.” Solusi di Level Historis: Kembali ke Awal Integrasidari formasi intelektual dan formasi kehidupan spiritual sebagai suatu kesatuan ini merupakan solusi dari fragmentasi yang telah terjadi dalam proses historis. Edward Farley mengatakan bahwa pendidikan teologi “harus memperbaiki (recover) makna dari teologi”27 seperti maknanya semula sebelum terfragmentasi, yaitu sebagai hikmat yang menuntun pada pengenalan akan Allah dan sebagai disiplin. Kevin J. Vanhoozer, berpendapat teologi bertujuan pada tercapainya pengetahuan akan Allah dan bersifat kontekstual. Ia meyakini bahwa baik theoria (pengetahuan akan proposisi yang benar) maupun techem (pengetahuan atau keterampilan fungsional) tidak cukup bagi sebuah interpretasi teologis. Karena itu ia mengusulkan cara ketiga yang disebutnya sebagai phronesis, yaitu “kemampuan untuk menerapkan penilaian yang baik dalam konteks yang spesifik. Dengan kata lain, teologi adalah hikmat atau kemampuan untuk mengatakan atau melakukan hal yang tepat dalam situasi yang spesifik.28 Hikmat ini dicapai tidak hanya dengan mengetahui secara kognitif karena secara epistemologis, “mengetahui” (knowing) dalam kekristenan, 27
Farley, Theologia: The Fragmentation and Unity of Theological Education, 156. Linda Cannell, Theological Education Matters: Leadership Education for the Church (Newburgh, IN: EDCOT Press, 2006), 41. 28
JURNAL TEOLOGI STULOS
139
telah didefinisikan oleh Agustinus sebagai ‘percaya untuk mengerti’. Dengan kata lain, iman adalah presuposisi yang memimpin pada pemahaman yang rasional. Tanpa panggilan Tuhan yang didasarkan pada iman dan anugerah, tidak akan ada seorang pun yang memahami Tuhan dan kebenaran-Nya. Sementara itu dari definisi klasik oleh Anselmus, ‘teologi adalah iman yang berusaha memahami.’ Ini adalah iman yang menyelidiki dan mengajukan berbagai pertanyaan. Sebagai objek iman, Tuhan tidak berhenti untuk menjadi subjek. Iman adalah hubungan dengan Allah yang hidup dan bukan dengan berhala yang dapat dengan mudahnya dimanipulasi. Rasul Paulus juga membedakan istilah ‘pengetahuan’ antara pengetahuan kognitif dengan pengetahuan yang berdasarkan pengalaman. Perbedaan ini sangat signifikan karena mengetahui tentang Tuhan secara kognitif sangat berbeda dengan mengenal Tuhan dalam suatu hubungan pribadi yang dalam dan intim. Paulus biasanya menggunakan istilah “gnosis”untuk pengetahuan kognitif seperti yang terdapat di 1 Korintus 8:1, dan istilah “epignosis” untuk pengetahuan yang berdasarkan pengalaman seperti yang tertulis di Efesus 4:13. Karena itu, teologi Kristen berdasarkan pada spiritualitas Kristen yang berakar pada iman, yang meyakini bahwa hidup yang penuh dari seorang manusia hanya dapat dicapai melalui hubungan yang dalam dengan Tuhan. 29 Ini mengimplikasikan bahwa semua dimensi hidup adalah milik Tuhan dan dapat digunakan untuk mengenal-Nya secara intim – dan bukan sekedar tahu secara kognitif tentang-Nya. Calvin pun menyatakan, “mengenal Tuhan adalah diubahkan oleh Tuhan; pengetahuan sejati akan Tuhan memimpin pada penyembahan, sementara seorang pemercaya berada dalam perjumpaan yang mentransformasi dan memperbarui dengan Allah yang hidup.”30 29 Alister McGrath, Christian Spirituality: An Introduction (Oxford: Blackwell Publishing, 1999), 29. 30 Ibid., 28.
140
FORMASI SPIRITUAL HOLISTIK
Dalam konteks sekolah teologi, cara terbaik untuk menerapkan pemahaman yang integratif dari ‘teologi’ ini adalah melalui kurikulum yang integratif. Donald Senior dan Timothy Weber yang menulis tentang karakter dari formasi kurikulum mengatakan bahwakurikulum bersifat formatif sebab kurikulum tidak hanya mengakomodasi berbagai mata kuliah, tapi merupakan sebuah proses refleksi kritis dan integratif. Melalui kurikulum kita dapat mengakomodasi tidak hanya pemberian pengetahuan, tapi juga mentransformasi pemahaman mahasiswa yang akan mempengaruhi mereka secara personal maupun vokasional.31 Marcus Throup, yang melihat integrasi dalam pendidikan teologi sebagai penyembahan, menunjukkan bahwa hal mendasar yang dapat dilakukan untuk mengatasi fragmentasi yang telah terjadi adalah dengan menguji dan lalu meredefinisi formasi akademis dalam pendidikan teologi. Dengan melakukan hal itu, sekolah teologi dapat menemukan dan meredefinisi inti dari permasalahan spiritual dan tujuannya, sehingga formasi spiritual dapat diaplikasikan tidak hanya diluar, tapi juga di dalam kelas.32 Herring dan Deininger menamai proses formasi spiritual di dalam formasi akademis sebagai ‘metoda-metoda formasi spiritual di dalam kelas’, yang merujuk pada proses untuk menjadi seperti Kristus melalui proses pengajaran dan pembelajaran formal. Mereka telah melakukan riset dan observasi di enam sekolah teologi Injili di Thailand dan menemukan bahwa beberapa mata kuliah memiliki potensi formasi spiritual yang tinggi, yaitu mata kuliah teologi, kehidupan Kristen, penginjilan, khotbah, sejarah gereja dan kelas-kelas praktek Alkitabiah. Namun mereka mengakui bahwa riset lebih lanjut perlu dilakukan untuk melihat adanya mata-mata kuliah lain yang juga potensial bagi tujuan integrasi ini. Selain itu, talenta mengajar dosen juga dapat mempengaruhi aplikasi dari formasi spiritual di mata-mata kuliah tersebut. 31 Robert Banks, Reenvisioning Theological Education: Exploring a Missional Alternative to Current Models (Grand Rapids: Wm.b. Eerdmans Publishing, 1999), 223. 32 Throup, 3.
JURNAL TEOLOGI STULOS
141
Namun tidak dapat disangkali, bahwa formasi spiritual di luar kelas dapat lebih berpengaruh pada kehidupan mahasiswa. Melalui riset yang sama di Thailand, Herring dan Deininger menyajikan metoda-metoda utama dari formasi spiritual non formal yang telah diidentifikasi memiliki nilai formasi spiritual yang tinggi, yaitu: kehidupan di kampus, ibadah penyembahan, hubungan pribadi antara dosen-mahasiswa, praktek lapangan, hubungan antar mahasiswa, seminar/camp, serta proses pembelajaran dalam senat mahasiswa.33 Walaupun metoda-metoda di luar ruang kelas ini tidak disebutkan secara eksplisit dalam kurikulum, namun semuanya ini harus dipertimbangkan sebagai bagian dari kurikulum yang integratif. Edukator Elizabeth Vallance menyebutnya ‘kurikulum tersembunyi’ (hidden curriculum) yang diidentifikasikan sebagai “dampak sistematik dan non non akademis dari pendidikan yang nyata, tapi tidak dirujuk secara cukup dan eksplisit di dalam kurikulum.”34 Lawrence Richards menyatakan bahwa kurikulum tersembunyi ini jauh lebih efektif dalam proses pendidikan Kristen. Hal ini disebabkan karena di dalamnya ada penekanan yang kuat pada mentoring melalui keteladanan. Dengan kata lain, ada elemen-elemen interaksi yang mendukung proses transformasi yang merupakan inti dari pendidikan Kristen. Hal ini esensial karena mengkomunikasikan iman Kristen sebagai sesuatu yang hidup.35 Karena itu, sekolah-sekolah tinggi teologi harus melatih para dosennya agar mengerti paradigma dari kurikulum yang integratif ini; termasuk pula kurikulum non formal yang sangat penting dalam proses formasi spiritual holistik. Termasuk di dalamnya adalah dengan menciptakan sistem yang akan mendorong para dosen untuk menerapkan hal ini, tapi juga menolong para mahasiswa untuk belajar sebanyak mungkin dari 33
Herring & Deininger, 132-134. Robert W. Pazmino, Foundation Issues in Christian Education: An Introduction in Evangelical Perspective (Grand Rapids: Baker Books, 1997), 236. 35 Ibid., 238. 34
142
FORMASI SPIRITUAL HOLISTIK
berbagai sumber yang berbeda.
Solusi di Level Individual: Renovasi Hati Pendidik Pada level individual, ketidakseimbangan antara head, heart, hands ini perlu diatasi melalui renovasi hati para pendidik. Karena itu, pertama-tama, sekolah teologi harus mencari dosen yang tidak hanya berkualitas secara akademis, tapi juga memiliki rekam jejak yang baik dalam pelayanan, khususnya dalam hubungan panggilannya sebagai pendidik. Hal ini penting karena menjadi pendidik bukan hanya sekedar talenta, tapi juga tanggung jawab seperti yang terdapat di Yakobus 3:1, Saudara-saudaraku, janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru; sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat.” Kedua, pekerjaan yang bukan panggilan merupakan kekerasan yang kita lakukan pada diri sendiri. Parker Palmer secara jujur menyatakan hal ini: “Ketika saya melakukan kekerasan pada diri saya, pada akhirnya saya melakukan kekerasan juga pada orang-orang yang bekerja bersama saya. Berapa banyak pendidik yang telah membagikan luka pribadinya pada para muridnya? Luka karena melakukan pekerjaan yang tidak pernah atau tidak lagi merupakan pekerjaan sejati mereka?”36 Ketiga, keseluruhan hidup seorang pendidik akan diimpartasikan kepada para anak didiknya, karena seorang pendidik akan secara otomatis menjadi teladan hidup. Sebagai guru, Yesus Kristus tidak hanya mengajarkan suatu pengajaran. Ia juga identik dengan pesan-Nya itu. Ia tidak hanya menawarkan roti hidup, tapi Ia sendiri menjadi roti hidup. Karena itu, jika seorang pendidik ingin menjalankan perannya secara efektif, maka ia sendiri harus menjadi seorang yang utuh secara pribadi. Seorang pendidik yang baik akan memiliki identitas pribadi yang berakar pada hubungan pribadi dengan Allah yang hidup.
36
Palmer, The Courage to Teach, 30.
JURNAL TEOLOGI STULOS
143
Pendidik yang semacam itu secara otomatis akan memiliki kapasitas bagi keterhubungan, dan karena itu, para muridnya yang berinteraksi dengan mereka akan belajar untuk membangun kapasitas yang sama juga. Palmer mengatakan bahwa metodanya bisa bervariasi, tetapi “koneksi yang dibuat oleh guru yang baik bukan terletak pada metodenya, tapi pada hati-nya.”37 Karena itu, persiapan hati bersama Tuhan – dan bukan sekedar materi pengajaran, sangat penting untuk dilakukan oleh seorang pendidik. KESIMPULAN Terjadi ketidakseimbangan dalam formasi mahasiswa dimana terdapat fokus yang kuat pada formasi kognitif (head) dan karya (hands) dibanding formasi karakter (heart). Dampaknya, mahasiswa terlatih untuk lebih berfokus pada pencapaian akademik dan keterampilan melayani, namun berpotensi untuk mengalami fragmentasi dalam kehidupan pribadinya, karena kehidupannya di ranah pribadi berbeda dengan kehidupannya di ranah publik. Formasi spiritual holistik merupakan solusi untuk mengatasi fragmentasi ini. Dalam konteks sekolah teologi, cara terbaik untuk menerapkan pemahaman yang integratif ini adalah melalui kurikulum yang integratif, baik yang bersifat formal (di dalam kelas) maupun non-formal (di luar kelas). Sementara itu di level individual, penting sekali terjadinya renovasi hati para pendidik yang merupakan fasilitator untuk menolong mahasiswa agar memiliki hidup yang utuh.
37
Ibid., 11.
144
FORMASI SPIRITUAL HOLISTIK
DAFTAR PUSTAKA TERPILIH Banks, Robert. Reenvisioning Theological Education: Exploring a Missional Alternatif to Current Models. Grand Rapids:Wm.B. Eerdmans Publishing, 1999. Bunnin, Nicholas and Eric .P. Tsui-James (ed). The Blackwell Companionto Philosophy. Second Edition. Oxford: Blackwell Publishing, 2003. Cannell, Linda. Theological Education Matters: Leadership EducationFor the Church. Newburgh: EDCOT Press, 2006. Farley, Edward. The Fragility of Knowledge. Philadelphia: Fortress Press,1988. Farley, Edward. Theologia: The Fragmentation and Unity of Theological Education. Philadelphia: Fortress Press, 1983. McGrath, Alister E. Christian Spirituality: An Introduction. Oxford: Blackwell Publishing, 1999. McIntosh, Gary L. & Samuel D. Rima, Sr. Overcoming the Dark Side ofLeadership: the Paradox of Personal Dysfunction. Grand Rapids: Baker Books, 2004. Palmer, Parker J. The Courage to Teach: Exploring the Inner Landscapeof A Teacher’s Life. San Francisco: Jossey-Baass, 1998. Pazmino, Robert W. Foundation Issues in Christian Education: An Introduction in Evangelical Perspective. Grand Rapids: Baker, 1997. Perrin, David B. Studying Christian Spirituality. New York: Rouledge, 2007. Programme on Theological Education, Resources forSpiritual Formation in Theological Education. World Council of Churches, 1989. Tang, Alex. (ed.). Tending the Seedbeds:EducationalPerspectives on Theological Education in Asia. Quezon City: Asia Theological Association, 2010.