-0-
FISKALISME MILITER DI INDONESIA: DARI OTORIANISME KE NEOLIBERALISME Don K. Marut INFID
[email protected];
[email protected]
Pengantar Dalam dunia modern istilah “masyarakat” sulit dipahami tanpa “negara”. Formasi negara menciptakan dan menghidupkan masyarakat. 1 Jika masyarakat menjadi batas di mana orang mengidentifikasikan dirinya, maka negara yang menetapkan ujung atau batas-batas sosialnya. Ini hubungan yang ideal antara negara dan masyarakat, di mana negara dan masyarakat saling mentransformasikan diri. Bagaimana dengan masyarakat yang dikontrol sepenuhnya oleh negara sehingga rakyat pun terbelenggu untuk tidak mengidentifikasikan dirinya dengan masyarakatnya tetapi kepada negara yang lebih sebagai kekuatan penindas dan predatoris daripada kekuatan yang bersama-sama masyarakat saling mentransformasikan diri? Ini merupakan pertanyaan yang mungkin tidak akan pernah selesai dijawab mengenai hubungan antara negara dan masyarakat (state and society) sejak Indonesia merdeka, dan secara tiba-tiba rejim yang berkuasa dewasa ini keluar dengan jawaban bahwa negara sudah terlalu dibebani oleh subsidi untuk rakyat (masyarakat). Negara seolah-olah muncul sebagai suatu kekuatan di luar masyarakatnya dan secara tiba-tiba memanifestasikan diri untuk tidak menjadi kekuatan dermawan di dalam negara-bangsa Indonesia ini. Formasi negara Indonesia masih belum menjadi, tetapi rejim yang berkuasa sudah seolah-olah menetapkan bahwa negara keluar dari masyarakatnya. Peranan negara dan aparatur negara untuk membangun masyarakat atau untuk mendorong transformasi masyarakat sebenarnya merupakan mandat konstitusi yang dirumuskan pertama kali ketika para founding fathers negeri ini merancang negarabangsa yang merdeka dan berdaulat. Tetapi sebagian orang telah melihat bahwa negara telah gagal membangun negara-bangsa di mana masyarakat atau rakyatnya hidup sejahtera. Salah satu aktor utama dalam proses statecraft dan state-nation building negeri ini adalah TNI atau aparatur pertahanan negara. TNI telah memberi warna tersendiri bagi fondasi statecraft seperti yang sekarang ini terjadi dan sekaligus memberi warna tersendiri pada kegagalan transformasi masyarakat. Mengapa hal itu terjadi? 1
Joel S. Migdal, “The state in society: an approach to struggles for domination”, dalam Joel S. Migdal, Atul Kohli dan Vivien Shue, eds. (1994), State Power and Social Forces (Cambridge: Cambridge University), hal. 23.
-1-
Tulisan ini mau melihat historical trajectory dari pertemuan antara kekuasaan, militer dan bisnis, yang “kemungkinan” mempengaruhi keseluruhan bangunan ekonomi, politik, kenegaraan dan pembangunan bangsa. Tulisan ini tidak memberikan alternatif terhadap pemikiran yang ada tentang hubungan sipil-militer, bisnis militer dan reformasi sektor pertahanan, keamanan manusia tetapi lebih untuk mendorong refleksi untuk melihat fungsi aparatur negara, khususnya aparatur pertahanan dan keamanan, dalam menghadapi tantangan bersama masyarakat. Tulisan ini lebih memfokus pada kaitan antara anggaran negara, anggaran militer dan anggaran perusahaan, yang disingkat sebagai fiskalisme militer (military fiscalism).
A. Fiskalisme Militer I: Simbiosis mutualisma antara Penguasa dan Kapitalis Pada abad ke-19 kerajaan Moghul di India memiliki tentara terbesar di dunia, yang direkrut dari berbagai etnik dan kasta. Tentara dalam jumlah besar ini dibangun untuk melindungi kekuasaan kolonial Inggris untuk mengamankan perbatasan dan meredam pemberontakan. Jumlah perwira militer bahkan melebih jumlah pejabat sipil, sehingga keseluruhan kolonisasi dan ekonomi tanah jajahan India lebih dibangun di atas apa yang disebut sebagai “military fiscalism”. Keuangan negara yang dihasilkan dari pajak dipakai terutama untuk membiayai kebutuhan tentara. Di satu pihak Raja Moghul mendapatkan keamanan berkuasa, sementara penjajah Inggris mendapatkan keleluasaan untuk menguasai ekonomi India dari sektor komoditas primer. 2 Hal yang sama terjadi juga di Imperium Ottoman pada abad yang sama, terutama di bawah pemerintahan Sultan Mahmud II. Pada abad ke-19 ekonomi Imperium Ottoman menggabungkan perusahaan-perusahaan investasi dan perdagangan modern dan sektorsektor agraria dan artisanal. Yang menarik adalah bahwa meskipun perdagangan dan investasi besar, pendapatan utama negara terutama berasal dari sektor tradisional dan artisanal (pertanian dan pedagang kecil pedalaman), yang dipakai untuk membiayai perang dan menjaga perbatasan termasuk menjaga keamanan perdagangan dan investasi. Hal ini terutama karena investasi dan perdagangan dibiayai oleh kreditor Barat dan dikuasai oleh kelompok minoritas Ottoman. Secara tidak langsung perang dan mobilisasi tentara dalam jumlah besar untuk mengamankan jalur perdagangan dan ekonomi Mediterania dinikmati oleh Barat dan kaum minoritas, atas beban pajak yang ditanggung oleh petani dan sektor-sektor artisanal dalam negeri (pengrajin dan pedagang kecil). 3
2
Dina Rizk Khoury dan Dane Kennedy, “Comparing Empires: The Ottoman Domains and the British Raj in the Long Nineteenth Century”, Comparative Studies of South Asia, Africa and the Middle East, Vol. 27, No.2., 2007, hal. 27. 3 Ibid., hal. 28 -29. Bandingkan dengan Indonesia pada masa Orde Baru, dimana kreditor dan perusahaan Transnasional dari Utara, dan konglomerasi nasional yang dikuasai kelompok minoritas, sementara rakyat dan perusahaan Negara menanggung semua beban utang dan penyingkiran dari tanah yang dikuasai untuk kepentingan investor transnasional.
-2-
Fiskalisme militer didorong untuk melayani kepentingan penguasa terjajah dan kepentingan kapitalisme kolonial, dan untuk menjaga kekuatan tentara yang solid agar tidak berbalik menjadi pemberontak melawan tuannya. Anggaran negara dipakai lebih untuk membiayai tentara (India) yang mengamankan kekuasaan raja di satu pihak, dan untuk mengamankan kepentingan-kepentingan ekonomi penjajah di pihak lain. Demikian pun dalam kasus Imperium Ottoman, anggaran negara untuk membiayai tentara yang dipakai untuk mengamankan perdagangan dan investasi yang memberi keuntungan langsung pada penguasa dan bukan untuk kesejahteraan seluruh rakyat di dalam imperium. Di Eropa sejak abad pertengahan, persaingan antar-kerajaan terutama untuk merebut kekuasaan atau pengakuan atas kekuasaan lebih tinggi, mendorong mobilisasi tentara yang besar. Tetapi apakah perang dan mobilisasi tentara ini membantu mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri, tidak ada bukti yang cukup. Tetapi untuk membiayai perang diperlukan pendapatan negara yang cukup dan pendapatan tersebut diperoleh dari pajak. Perubahan politik menuju pemerintahan yang representatif (sistem perwakilan) dan pengakuan atas individual property rights merupakan imbalan pajak yang meningkat untuk membiayai perang. 4 Ekspansi ke Dunia Baru yang menancapkan penjajahan turut menyumbang kepada inovasi dalam bidang pengembangan perusahaan sebagai badan usaha di mana masyarakat luas bisa menanamkan sahamnya dan mendapatkan keuntungan dari kenaikan nilai saham sesuai keuntungan misi penjajahan. Perluasan kapabilitas persenjataan dan kekuatan militer untuk perang dan pengamanan supply komoditas perdagangan di negeri jajahan turut memicu akumulasi kapital. Para pemegang saham di Belanda pada masa itu marah kalau perang berakhir karena akan merugikan investasi mereka, karena perang merupakan tempat yang aman dan berprestise untuk investasi. Baik negara maupun perusahaan swasta (seperti VOC) sama-sama menggunakan logika fiskalisme militer (military fiscalism): negara untuk menjaga kekuasaannya, dan perusahaan untuk menarik investor dan akumulasi kapital. 5 Fiskalisme militer (yang menjadi fondasi anggaran negara dan anggaran perusahaan) mempunyai kaitan dengan perluasan perdagangan, perluasan jajahan melalui kekuatan persenjataan dan akumulasi kapital dalam negeri negara penjajah. Penting untuk memahami trajektori sejarah dari perkembangan mobilisasi tentara dan ekspansi kolonial seta kemajuan ekonomi negara-negara maju, serta perubahan sistem kenegaraan dari monarkhi absolut kepada monarkhi parlementer. Di Inggris pajak dari pemilik tanah yang begitu besar mendorong perubahan ke arah representasi politik, dan pengakuan atas individual property rights melalui land enclosure. Di samping itu perubahan ke arah politik representatif juga didorong oleh desentralisasi kepemilikan saham di dalam korporasi yang menguasai komoditas perdagangan dari negeri jajahan yang juga harus membayar pajak kepada negara. 6 4
Kenneth Pomeranz, “Two Worlds of Trade, Two Worlds of Empire: European State-making and Industrialization in a Chinese Mirror”, dalam David A. Smith, Dorothy J. Solinger dan Steven C. Topik, eds. (1999), States and Sovereignty in the Global Economy (London: Routledge), hal. 79 – 80. 5 Ibid. hal. 81. 6 Douglass C. North dan Barry R. Weingast, “Constitutions and Commitment: the evolution of institutions governing public choice in seventeenth century England”, dalam Lee Alston, Thrainn Eggertsson dan
-3-
Pada masa penjajahan dan sebelum perang dan tentara modern, fiskalisme militer didorong sekurang-kurangnya oleh dua hal. Pertama, pendapatan negara dipakai untuk meningkatkan jumlah tentara untuk berperang dalam kompetisi kekuasaan dengan negara lain atau untuk mengamankan kekuasaan dalam negeri terhadap ancaman pemberontakan. Pajak dipungut dalam jumlah besar oleh negara untuk membiayai operasi militer atau untuk meningkatkan kapabilitas militer untuk bersaing dengan negara lain atau untuk menindas pemberontakan dan perlawanan internal. Apakah ini mempunyai efek untuk pertumbuhan ekonomi? Mungkin saja tidak, dan bahkan sebaliknya merugikan karena kehancuran akibat perang. Kedua, ekspansi jajahan untuk mengamankan sumber-sumber suplai komiditas perdagangan utama untuk konsumsi di negara-negara penjajah di Eropa. Peningkatan kapabilitas militer yang beroperasi di daerah jajahan turut meningkatkan korporatisasi usaha bisnis atau berkembangnya perusahaan yang kepemilikannya terdesentralisasi melalui penjualan saham. Keberhasilan operasi VOC di Nusantara pertama-tama karena didorong untuk mempertanggungjawabkan keuntungan kepada pemegang saham di negeri Belanda, dan kedua, untuk menarik lebih banyak investor di negeri jajahan Hindia Belanda. Militer dikembangkan untuk mengamankan supply komoditas perdagangan dari negeri jajahan, atau militer diperkuat di negeri jajahan demi pembangunan ekonomi di dalam negeri penjajah. Apa yang terjadi yang tejadi pada masa kolonial, praktek yang sama masih dijalankan setelah negeri-negeri jajahan tersebut mendapatkan kemerdekaannya. Military fiscalism dari industri pertahanan dan negara-negara maju juga mendukung military fiscalism di negara-negara sedang berkembang atau baru merdeka. Kerangka pembangunan di negara-negara sedang berkembang yang dikuasai rejim-rejim otorite militeristik dan didukung sepenuhnya oleh negara-negara maju berkaitan erat dengan military-industrial complex dan pertumbuhan ekonomi negara-negara maju.
B. Fiskalisme Militer II: Bisnis dan Militer di Negara Maju dan Otoritarianisme di Negara Sedang Berkembang Militer dan bisnis di Amerika sebelum Perang Dunia II merupakan dua kutub yang sulit dipertemukan. Kapitalis tidak suka dengan militer yang dianggap menghamburhamburkan uang negara yang dipungut dari pajak atas warga negara dan perusahaan, sementara perwira-perwira militer menganggap pebisnis hanya mencari keuntungan untuk dirinya sendiri tanpa memperhitungkan kepentingan negara. 7 Setelah Perang Dunia Kedua banyak perwira militer yang ditarik perusahaan-perusahaan besar untuk menempati posisi-posisi strategis di dalam perusahaan. Hal ini didorong sekurangkurangnya tiga hal: pertama, untuk memanfaatkan pengelaman dan keahlian strategi Douglass C. North, eds. (1996), Empirical Studies in Institutional Change (Cambridge: Cambridge University Press), hal. 134 – 165. 7 Samuel P. Huntington (1957), The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-Military Relations (Cambridge, Mass.: The Belknap Press of Harvard University Press), hal 361.
-4-
militer dari para perwira tersebut di dalam strategi bisnisl; kedua, untuk menangkap peluang produksi persenjataan yang dipesan oleh negara; ketiga, memanfaatkan nama besar para perwira tersebut untuk lobby bisnis baik dalam negeri maupun luar negeri. Persekutuan antara pensiunan perwira militer dan bisnis ini turut membantu meningkatkan dominasi miltary-industrial complex di Amerika secara khusus dan di negara-negara maju secara keseluruhan. Industri militer menjadi salah satu faktor untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Hal ini seiring dengan perkembangan politik global yang diwarnai oleh persaingan antara Blok Barat dan Blok Timur untuk merebut pengaruh di negara-negara sedang berkembang. Pasar utama dari persenjataan yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan besar di Amerika, Eropa Barat dan Uni Soviet adalah negara-negara sedang berkembang. Di sinilah letak kaitan antara munculnya rejim-rejim otoritarian-militeristik di negara-negara sedang berkembang dan produksi persenjataan di negara-negara maju, baik Blok Barat maupun Blok Timur. Negara-negara otoriter-militeristik menjadi pasar utama persenjataan yang diproduksi negara-negara maju, termasuk skema pendidikan keahlian kemiliteran. Berkembangnya sistem pertahanan Pakistan yang didukung Amerika dan sistem pertahanan India yang didukung Uni Soviet merupakan salah satu contoh bagaimana persaingan dua negara adidaya turut serta mewarnai persaingan persenjataan dua negara bertetangga yang saling bersaing di Asia Selatan. 8 Sistem persenjataan dan pendidikan militer lanjutan di Indonesia pada masa Orde Baru lebih banyak didukung oleh utang dari negara-negara Blok Barat, terutama Amerika dan Inggris. Bantuan luar negeri dari Blok Barat ini selain bertujuan untuk membendung komunisme di Asia Tenggara (containment policy dari AS), terutama juga untuk menghadapi ancaman dalam negeri yang potensial resisten terhadap pencaplokan sumberdaya alam dan kekayaan Indonesia oleh perusahaan-perusahaan transnasional. Samuel Huntington mencatat bahwa kudeta atau pemerintahan militer tidak mempunyai kaitan dengan struktur organisasi militer dan juga tidak mempunyai hubungan dengan bantuan dan pendidikan militer yang didukung Amerika. Semuanya lebih karena dorongan egoistik dari individu perwira militer dan ketidak-sabaran perwira militer untuk meningkatkan kinerja publik pemerintahan. 9 Namun data mengenai kebanyakan pemerintahan otoriter-militeristik yang berkiblat ke Blok Barat menunjukkan bahwa kudeta atau berlangsungnya pemerintahan otoritarian-militeristik tersebut didukung sepenuhnya oleh negara-negara Barat. Ketika kudeta berhasil negara-negara Barat membantu membangun kerangka institusional untuk membangun legitimacy by law bagi rejim otoriter yang bersangkutan sambil mengucurkan utang untuk membantu pembangunan yang kapitalistik untuk mendapatkan legitimacy by results untuk rejimrejim otoritarian-militeristik tersebut. 8
Emrys Chew, “Globalization and Military-Industrial Transformasion in South Asia: An Historical Perspective”, Institute of Defence and Strategic Studies, Singapore, No. 110, April 2006. 9 Samuel P. Huntington (1968), Political Order in Changing Societies (adaptation version) (New Haven, Conn.: Yale University Press), hal. 108 – 116.
-5-
Pemerintahan negara-negara sedang berkembang yang membangun demokrasi dan pembangunan yang berorientasi nasionalistik diganti melalui kudeta atau kekerasan oleh pemerintahan otoriter yang militeristik. Presiden Mohammad Mossadegh yang dipilihsecara demokratis di Iran tahun 1953 digulingkan dan digantikan oleh diktator Reza Pahlevi (Shah Iran) yang sepenuhnya didukung Amerika dan kekuatan perusahaanperusahaan transnasional. 10 Miles Copeland dalam bukunya yang berjudul The Games of Nations (1969), menulis bahwa kudeta yang dilakukan oleh Jenderal Husni el Zaim, Panglima Angkatan Darat, di Syria, terjadi dengan dukungan penuh dari sebuah tim yang disebut “political action team” dari departemen luar negeri sebuah Negara adikuasa. Political action team, yang oleh Miles Copeland disebut sebagai cryptodiplomats, ini memberi petunjuk kepada jenderal Husni El Zaim tentang bagaimana melakukan kudeta, persiapannya dan apa saja yang harus dilakukan untuk menjaga kestabilan pemerintah baru hasil kudeta itu. Miles Copeland juga menuliskan bagaimana Jenderal Gamal Abdul Nasser di Mesir melakukan kudeta. Seorang diplomat yang ditugaskan khusus oleh Departemen Luar Negeri Negara adikuasa tersebut, yang bernama James Eichelberger, mencatat semua perkiraan situasi dan membuat rekomendasi untuk tindakan-tindakan yang diambil oleh Gamal Abdul Nasser. Eichelberger menulis salah satu paper penting yang menjadi panduan kudeta di Mesir, berjudul “Power Problems of a Revolutionary Government”. Paper ini ditulis secara cermat dalam bahasa Inggris terus diterjemahkan ke dalam bahasa Arab untuk diberi komentar oleh para staff Gamal Abdul Nasser, kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Inggris dan seterusnya sampai menjadi final paper. Paper final ini kemudian dipublikasikan sebagai karya dari Zakaria Mohieddin, pakar dan tangan kanan dari Jenderal Gamal Abdul Nasser. Nama diplomat yang menjadi penulis asli dari paper itu dianggap tidak pernah ada. 11 Pemerintahan Sukarno yang sedang merancang pembangunan ekonomi yang nasionalistik pada awal 1960-an harus dihentikan. Demikian pun pemerintahan Allende yang dipilih secara demokratis di Chili digulingkan melalui kudeta militer oleh Pinochet yang didukung sepenuhnya oleh kekuatan financial and intelektual dari Amerika. Hampir semua negara besar di Selatan pada masa Perang Dingin dikuasai oleh pemerintahan otoritarian-militeristik yang berorientasi kapitalistik dan didukung oleh bantuan militer dari negara-negara maju dan kekuatan financial dan kebijakan dari lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan IMF (International Monetary Fund). Kekuatan otoritarian-militeristik dalam negeri bekerjasama dengan teknokrat yang menjadi bagian dari tim lembaga keuangan internasional menyerahkan seluruh negara kepada kekuasaan capital global. Negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, menjadi captive market untuk produk persenjataan negara-negara maju, menjadi pasar untuk utang dan sekaligus menjadi lahan utama eksploitasi
10
David Harvey, The New Imperialism (Oxford: Oxford University Press, 2003), hal. 9. Vincent Ostrom, “Cryptoimperialism, Predatory State, and Self-Governance”, dalam Michael D. McGinnis, ed., Polycentric Governance and Development: Readings from the Workshop in Political Theory and Policy Analysis (Ann Arbor: The University of Michigan Press, 1999), hal. 166 – 185. 11
-6-
sumberdaya alam tanpa hambatan resistensi dari para pemilik tradisional dari sumberdaya alam tersebut.
C. Fiskalisme Militer III: Neoliberalisme dan Krisis di Negaranegara Sedang Berkembang Menjelang akhir tahun 2000 Perusahaan Sony kesulitan memproduksi Playstation-2 padahal pesanan dari seluruh dunia meningkat tajam. Produsen laptop dan cellular phone pun mengalami hal serupa, padahal model baru sudah disebarluaskan. Pada awal milenium baru berbagai perusahaan perangkat keras informatika dan telekomunikasi global telah mempersiapkan model-model produk baru, tetapi produksinya terhambat. Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya adalah supply bahan dasar pembuatan produk informatika dan telekomunikasi tersebut, yakni coltan (columbite-tantalite), mengalami penurunan drastis. Hal ini terjadi karena kekacauan dan konflik politik yang terjadi di Congo (dulunya bernama Zaire), sebagai negara penghasil 80% coltan dunia. 12 Karena itu Congo mempunyai arti yang strategis bagi perusahaan-perusahaan tambang dunia, termasuk militer AS, sama strategisnya dengan Teluk Persia (dimana Irak berada). Congo juga kaya akan emas, tembaga, diamond, alumunium, uranium, cobalt, cadmium dan produk hutan. Negara-negara tetangga Congo seperti Uganda, Rwanda dan Burundi yang miskin kekayaan alam juga tertarik masuk Congo dan telah berulang-ulang kali mencari celah untuk mengambil-alih kekayaan di negara tersebut. Kekacauan, konflik dan pembunuhan massal di Congo sudah memakan korban lebih dari 4 juta jiwa sejak 1996. Tentara Rwanda (Tutsi) dan Uganda yang menyerbu masuk Congo didukung sepenuhnya (baik langsung maupun tidak langsung) oleh negara-negara maju seperti Amerika, Jepang dan Canada. Perusahaan-perusahaan tambang besar seperti AMF (American Mineral Fields), Bechtel Corporation, Haliburton dan Barrick Gold Canada menjadi pemain utama dalam mengeruk kekayaan di Congo tersebut, yang juga melibatkan tokoh-tokoh politik tingkat tinggi di Washington seperti Mantan Menlu AS George Schultz dan mantan Menteri Pertahanan Casper Weinberger. Yang menarik dan aneh adalah Bank Dunia dan IMF dalam laporannya tahun 2002 memuji keberhasilan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di Uganda dan Rwanda seolah-olah pertumbuhan ekonomi di kedua negara tersebut naik karena mengikuti resepresep kebijakan dari kedua lembaga tersebut, tanpa melihat fakta bahwa sejak tahun 1996 kedua negara tersebut sudah terlibat perampokan Coltan, emas, diamonds dan berbagai sumberdaya alam lain di Congo, dan mendapatkan pendapatan dari ekspor hasil curian tersebut karena kedua negara tersebut tidak memiliki coltan, emas dan diamond. Laporan 12
Kathleen Kern, “The Human Cost of Cheap Cell Phone”, dalam Steven Hiatt (ed.), A Game as Old as Empire: The Secret World of Economic Hit Men and the Web of Global Corruption (San Fransisco: Berrett-Koehler Publishers, Inc., 2006), hal. 94.
-7-
kedua lembaga tersebut seolah-olah menjustifikasi tindakan perampokan yang dilakukan Uganda dan Rwanda di Congo, yang didukung oleh negara-negara maju dan perusahaanperusahaan global. Perang dan konflik horisontal antar-warga merupakan bencana kemanusiaan yang tidak putus-putusnya. Sementara bencana dipandang membawa risiko dan membuat masyarakat rentan terhadap kelangsungan hidupnya, pihak tertentu bahkan melihat bencana (entah bencana kemanusiaan ataupun bencana alam) sebagai peluang tidak hanya untuk mendapatkan keuntungan sesaat, tetapi juga untuk membangun fondasi ideologis untuk keuntungan jangka panjang. Itulah salah satu fondasi dasar ideology neoliberalisme: krisis atau bencana. Bencana Katrina di Louissiana, Amerika Serikat, adalah salah satu contoh terburuk dari proses recovery yang tidak selesai-selesai, padahal dibandingkan dengan dana yang mengucur di daerah-daerah yang terkena tsunami tahun 2004, dana yang telah dikucurkan di Louissiana tersebut jauh lebih besar. Penanganan bencana Katrina merupakan salah satu wujud nyata dari bagaimana bencana dipakai sebagai moment untuk mengurangi peranan negara dan membiarkan kekuatan pasar yang menjadi pemain utama, dan sekaligus moment untuk mengubah landscape sosial-ekonomi dari sistem sosial-ekonomi berbasis komunitas dan dikendalikan secara publik (negara) menjadi sistem sosialekonomi pasar bebas. Seorang walikota di Louissiana, ketika mengikuti pertemuan di Washington, berkampanye bahwa “ini saatnya bagi anda sekalian untuk menjadi bagian dari rekonstruksi Louissiana. Hotel yang ada, tingkat huniannya di bawah lima puluh persen, dan tidak akan bertahan. Ini saatnya untuk membeli property yang murah, dan dengan perbaikan sedikit nilainya akan membubung”. Kampanyenya ini dengan jelas menunjukkan bahwa bencana alam telah menurunkan harga property, dan itu menjadi saat yang tepat untuk para pebisnis untuk mengambil alih bisnis lokal untuk keuntungan jangka panjang. Setelah menguasasi Iraq, langkah pertama yang dilakukan oleh pemerintah baru Iraq yang didampingi para penasihat ahli Amerika Serikat adalah memprivatisasi listrik dan pertambangan minyak. Ada ratusan pembangkit listrik yang semula dikuasasi negara dijual ke swasta. Demikian pun usaha pertambangan minyak yang semula dikuasai negara, segera berubah menjadi milik perusahaan-perusahaan transnasional yang kebanyakan berasal dari Amerika Serikat. Rakyat Iraq sedang hidup dalam kepanikan dan berusaha untuk bertahan hidup dan tidak sedikitpun memberikan perhatian kepada apa yang dikerjakan oleh pemerintahnya bersama konsultan-konsultan internasional. Di dalam situasi krisis seperti itu harga pembangkit listrik dan sumber-sumber minyak sangat murah, dan menjadi kesempatan yang tepat bagi perusahaan-perusahaan transnasional untuk mengambil alih kepemilikan dan meraup keuntungan. Di Sri Lanka, penduduk kawasan pesisir yang terkena tsunami tidak diizinkan untuk menempati kembali lahan-lahan lamanya di sekitar pesisir, dengan alasan resmi untuk menghindari bencana tsunami berikutnya. Kawasan pantai pun dipagari. Tetapi
-8-
bersamaan dengan itu, kawasan pantai yang sama telah diubah menjadi kawasan perhotelan dan resort untuk pariwisata milik swasta nasional dan internasional, yang mendapatkan lahan tanpa harus membeli dari penduduk lokal yang sudah dipindahkan ke tempat lain yang jauh dari pantai tersebut. Setelah kebakaran besar bulan Agustus 2007 lalu di Yunani, kawasan hutan yang terbakar yang sebelumnya menjadi kawansan lindung, hendak diubah menjadi kawasan pariwisata dan resort dan golf. 13 Kawasan ini sudah lama diincar para developer besar nasional dan internasional, dan bencana kebakaran menjadi saat yang tepat untuk mengambil alih kawasan lindung tersebut menjadi kawasan ekonomi untuk meraup keuntungan. Di Nigeria dan Brazil, penduduk lokal disingkirkan oleh perusahaan-perusahaan transnasional untuk mengambil alih tanah untuk tambang atau untuk corporate farming dengan mengunakan bibit GMO. 14 Di Brazil seorang tokoh Via Campesina dibunuh oleh pasukan pengamanan perusahaan transnasional sebagai tindakan intimidasi terhadap petani-petani yang mengganggu operasi perusahaan tersebut. Di Nigeria konflik antaragama dan antar-etnis dipicu untuk menggusur masyarakat adat minoritas lokal dari tempat tinggalnya, dan setelah itu Royal Dutch Shell dan Exxon Mobil mengambil alih tanah kelompok minoritas ini tanpa ganti rugi untuk pertambangan minyak. Bagaimana dengan bencana-bencana kemanusiaan dan bencana alam di Indonesia? Setiap konflik yang terjadi selalu diikuti oleh masuknya investor transnasional untuk mengambil alih usaha pertambangan atau untuk mengembangkan perkebunan dengan bibit GMO. Setelah pembunuhan tokoh agama dan tokoh masyarakat di Jawa Timur, mulai Tuban sampai Banyuwangi tahun 1998 – 1999 (sekitar 248 orang), sebuah perusahaan transnasional yang bergerak dalam bidang pertanian dengan mudah mendapat konsesi 100 ribu hektar untuk penanaman kedelai dan jagung hibrida untuk jangka waktu 25 tahun. 15 Exxon, Santa Fe dan Santos mendapatkan konsesi eksplorasi minyak dan gas bumi mulai Tuban sampai Pasuruan. Kawasan pesisir utara Jawa Timur sudah mulai berubah dari kawasan tambak menjadi kawasan perhotelan berbintang. Penembakan petani Pasuruan oleh Marinir tahun 2007 yang lalu terjadi di Grati, yang merupakan tempat pemboran minyak dan gas bumi kedua setelah Sidorarjo (Lapindo) yang sudah dikuasai Santos, Ltd., mitra bisnis Lapindo dan Keluarga Bakrie. Peta eksplorasi tambang Santos, Ltd. berikut memperlihatkan dengan jelas rencana eksploitasi minyak dan gas bumi di segitiga emas Jawa Timur, Bali dan Madura.
13
Elinda Labropoulou, “Outrage in Greece over street plan to develop land in the region ravaged by fires”, The Independent, Minggu, 19 September 2007. 14 Isabella Kenfield dan Roger Burbach, “Corporate Murder in Brazil”, Counterpunch, October 29, 2007. 15 Don K. Marut, “Globalization and Conflicts among the Poor in Indonesia”, Keynote Speech Paper di Konferensi Partai Groen Links, Groningen, Belanda, Oktober 2003.
-9-
Setelah konflik antar-agama di Poso dan di Sulawesi Tengah secara keseluruhan, perusahaan-perusahaan tambang transnasional dengan leluasa membagi wilayah tambang gas, nikel, minyak dan emas antara: Exxon Mobil, INCO, Newmont, Freeport, bersama rekanan-rekanan konglomerasi nasional yang sering disingkat BBM dan TWA. Ketika konflik sedang berlangsung di Maluku, proyek yang dibangun pertama adalah lapangan terbang Ambon yang berskala internasional, lapangan terbang Menado yang berskala internasional dan Pelabuhan Ngadi di Pulau Kei yang juga berskala ekspor impor. Apa hubungannya konflik antar-agama dengan airport dan pelabuhan internasional ini? Apakah pemerintah mau mengungsikan korban ke luar negeri? Setelah bom Bali pertama, ekonomi Bali lumpuh. Para pebisnis lokal dalam bidang perhotelan dan retailing hampir tidak mampu membayar kembali kredit di bank, karena tidak adanya pendapatan. Tetapi tidak lama berselang terjadi turn-over kepemilikan hotel, resort dan berbagai property lainnya. Dan tidak lama kemudian muncul berbagai hotel, resort mewah dan kondominium yang tidak dimiliki lagi oleh pebisnis lama dan terutama tidak lagi oleh orang Bali. Bisnis Bali sekarang sudah berkembang lagi, tetapi orang Bali sendiri hidup dalam kecemasan akan ancaman bom baru. (Tetapi, saya menduga, jika terjadi lagi bom sekarang di Bali, tidak akan dikategorikan sebagai serangan teroris lagi, karena para pemilik bisnis baru di Bali ingin menciptakan citra Bali yang damai demi kepentingan bisnis mereka sendiri). Maraknya Perda Syariah dan resistensi terhadap Perda-perda Syariah di berbagai daerah diindikasi menjadi salah satu cara untuk menghancurkan solidaritas sosial lokal dan membuat masyarakat lokal sibuk dengan konflik-konflik tersebut dan melupakan kebijakan-kebijakan strategis yang sedang dipengaruhi kekuatan bisnis dan kekuatan- 10 -
kekuatan keuangan multilateral, yang dibiayai utang program dari lembaga-lembaga keuangan internasional. Pada bulan-bulan awal setelah tsunami di Aceh tahun 2004 dan awal 2005, salah satu usulan Bank Dunia sebagai hasil assessmentnya dalam bidang pertanian di Aceh adalah bahwa pertanian di Aceh harus dialihkan ke tanaman perdagangan (cash crop) dengan alasan bahwa tanaman pangan sudah tidak cukup produktif untuk memulihkan pendapatan petani Aceh. Usul ini jelas ingin mendorong petani Aceh untuk masuk dalam ekonomi pasar global, apalagi usul yang diajukan jelas mengarah kepada konversi sawah ke kelapa sawit dengan pasar ekspor. Demikian pun pada bulan Januari 2005, perdebatan yang menyita banyak perhatian adalah mengenai proposal sebuah konglomerat nasional untuk membangun kota Meulaboh yang dirancang untuk menjadi seperti kota Shanghai. Konglomerat tersebut dengan didukung sejumlah perwira TNI dan bank-bank internasional begitu cepat melihat bencana di Aceh sebagai sebuah peluang besar untuk mengembangkan bisnis. Demikian pula kelompok televisi berita nasional yang berhasil meraup dana sumbangan pemirsa, telah mendirikan sekolah-sekolah swasta unggulan di Aceh sebagai pasar pendidikan bagi masyarakat Aceh yang akan segera pulih ekonominya. Konsorsium donor multilateral dan bilateral yang memberi bantuan untuk rekonstruksi Jogyakarta, yakni JRF (Jogya Recovery Fund) membiarkan terjadinya korupsi yang sistematis mulai dari tingkat RT. Di Bantul, misalnya, sudah terjadi konflik karena korupsi ini. Konflik antar-warga dan antara warga dan aparat pemerintah dan bencana itu sendiri telah mengalihkan perhatian seluruh warga dari upaya-upaya lembaga-lembaga multilateral ini untuk mendorong swastanisasi pelayanan-pelayanan publik di Jogyakarta. Di samping itu konflik akan menghancurkan solidaritas komunitas yang menjadi icon recovery Jogyakarta pada awal bencana. Hancurnya solidaritas komunitas ini akan menjadi modal utama untuk penggusuran masyarakat lokal (land dispossession) untuk proyek-proyek besar di kemudian hari 16 . Protes terhadap SUTET jalur selatan, misalnya, sudah tidak terdengar lagi. Bencana (entah bencana kemanusiaan seperti konflik dan krisis ekonomi atau pun bencana alam) merupakan arena baru ekonomi yang mampu membawa keuntungan yang jauh lebih besar. Perang, serangan teroris, bencana alam, kemiskinan, sangsi perdagangan (embargo perdagangan yang membuat sebuah negara kelaparan, seperti Korea Utara), kekacauan pasar dan semua jenis bencana ejonomi, keuangan dan politik lainnya sudah dipandang sebagai wilayah baru bisnis besar dan menjadi pintu baru untuk meletakkan fondasi untuk penguatan ekonomi kapitalisme atau neoliberalisme di wilayah bencana tersebut. Naomi Klein dengan rinci memaparkan operasi kekuatan ekonomi global beserta ekonomi kapitalisme bencana yang semakin berkembang ini dalam bukunya The Schock
16
Literatur tentang gerakan sosial, terutama tentang gerakan masyarakat adat, untuk melawan proses dispossession ini semakin meningkat akhir-akhir ini, dan hampir terjadi di semua belahan dunia.
- 11 -
Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism. 17 Kapitalisme bencana ini mempunyai landasan politik dan teoretisnya tersendiri yang sudah diperkenalkan oleh para pemimpin politik dan ekonom terkenal dunia. Presiden Dwight D. Eisenhower telah melihat peran “military-industrial complex” sebagai kekuatan pemicu pertumbuhan ekonomi yang stabil. Produksi dan produktivitas industri militer mampu memicu pertumbuhan ekonomi karena memiliki multiple linkage dengan berbagai industri lain yang mampu menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan warga negara. Persoalannya adalah jika produk militer tersebut memiliki konsumsi yang jenuh, bagaimana mengatasinya? Menjawab hal ini, maka perang atau eskalasi ketegangan harus diciptakan (deadly logic). Meredanya Perang Dingin membuat military-industrial complex lesu dan itu juga berpengaruh pada ekonomi secara keseluruhan karena Perang Dingin telah menyerap berbagai industri untuk link dengan industri militer. 18 Bagaimana jalan keluarnya? Perang, konflik dan terorisme harus dimunculkan sebagai pasar penggunaan peralatan militer tersebut. 19 Ekonom Jerman, Joseph Schumpeter, mengatakan bahwa kehancuran merupakan suatu proses yang normal dan sehat untuk menemukan dan menghasilkan teknologi baru menggantikan teknologi lama yang tidak ekonomis. Schumpeter menamakan ini sebagai “creative destruction” – penghancuran yang memberi peluang terciptanya teknologi dan ilmu pengetahuan baru. Ini sejalan dengan pendapat Eisenhower tentang industri persenjataan yang berskala menghancurkan. Milton Friedman, seorang ekonom monetaris dan penerima hadiah Nobel dalam bidang ekonomi, merupakan pemikir yang tidak henti-hentinya mempropagandakan idenya tentang kapitalisme dan tidak diperlukannya campur tangan pemerintah dalam bidang wilayah individu, termasuk dalam ekonomi 20 . Milton Friedman juga percaya bahwa krisis adalah moment yang tepat untuk membangun cara baru dalam bidang ekonomi dan politik, di mana pemerintah harus melepaskan campur tangannya dalam bidang ekonomi. Pasar harus bebas sebebas-bebasnya. Campur tangan pemerintah hanya akan mendistorsi tidak hanya pada nilai, tetapi juga pada keseluruhan proses ekonomi sehingga ekonomi tidak bisa berkembang secara berkelanjutan. Friedman mengatakakan bahwa perubahan ekonomi tidak pernah terjadi tanpa krisis yang menggoncang suatu sistem, apakah itu krisis alam atau pun krisis yang diciptakan seperti 17
Naomi Klein, The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism (London: Penguin Books, 2007). Ketika Bom Bali pertama terjadi, bukan hanya ekonomi Bali yang lesu tetapi seluruh mata rantai komoditi yang berakhir pada pasar Bali juga terkena dampak yang hebat. Contoh: industri kerajinan batik Pekalongan, Solo dan Yogya, industri kerajinan Yogya dan daerah-daerah lain. Produk-produk pertanian yang mempunyai pasar tetap Bali juga mengalami dampak yang dalam. 19 Lockheed-Martin dan Bechtel merupakan dua raksasa dunia kontraktor persenjataan hampir mengalami kegoncangan karena jatuhnya pasar senjata setelah Perang Dingin. Dua Perusahaan ini pula yang kemudian mendapatkan pasar baru di Congo, Iraq dan Afghanistan. Perusahaan-perusahaan minyak raksasa dunia seperti Exxon Mobil, Caltex, Halliburton, Royal Dutch Shell, Chevron, dsbnya merupakan pemain utama dalam kapitalisme bencana (terutama konflik dan crisis ekonomi). 20 Milton and Rose Friedman, Freedom to Choose: A Personal Statement (San Diego: Harcourt Brace & Company, 1990). 18
- 12 -
menciptakan kecemasan dan ketakutan pada publik tentang bahaya perang dan ancaman teror. Ketika bencana Katrina terjadi di Louisiana dan Mississippi, Milton Friedman menulis sebuah artikel yang provokatif di Wall Street Journal, berjudul: “The Promise of Vouchers”. 21 Friedman mengatakan bahwa bencana yang terjadi itu merupakan tragedy, tetapi juga merupakan kesempatan untuk melakukan perubahan secara radikal dalam system pendidikan. Sistem pendidikan yang dimonopoli oleh Negara dan serikat guru telah membuat mutu pendidikan di Negara bagian itu jatuh di bawah standar. Karena itu dia mengusulkan adanya system pendidikan yang kompetitif, dan system yang kompetitif hanya ada dalam mekanisme pasar: pasar pendidikan. Negara hanya menyiapkan kupon untuk pembiayaan bagi anak-anak yang tidak mampu, tetapi Negara tidak boleh ikut campur dalam mengelola sekolah dan system pendidikan. Biarkan pasar yang menentukan pengelolaan sekolah. Gagasan Friedman ini disambut gembira kalangan bisnis, mulai dari bisnis perumahan, property, hotel, dan pendidikan sampai kepada bisnis kesehatan. Pasar mulai menguasai semua sector untuk rekonstruksi daerah bencana. Apa yang terjadi? Setelah dua tahun rekonstruksi, masih ada ribuan penduduk tinggal di rumah-rumah sementara, sementara pembangunan resort, hotel, casino dan kondominium yang hanya bisa dijangkau orang kaya berkembang pesat. Segregasi social antara yang kaya dan miskin menjadi semakin tajam. Sistem voucher yang dikemukakan oleh Friedman ini adalah asal usul dari sistem BLT (Bantuan Langsung Tunai). Prinsipnya adalah bahwa pasar dibiarkan bebas beroperasi dan ketika pasar terganggu karena daya beli konsumen rendah maka negara mempunyai kewajiban untuk menyantuni konsumen untuk meningkatkan daya belinya secara langsung sehingga pasar bisa berjalan normal. BLT pada dasarnya bukan untuk membantu orang miskin, tetapi untuk mengamankan pasar. Kapitalisme bencana menjadi ekonomi baru dewasa ini. Bencana bisa dalam berbagai bentuk: persenjataan yang menghancurkan pusat tenaga listrik dan rumah sakit, alam yang menghancurkan infrastruktur, badai yang menyapu bersih kota dan desa, konflik ideologis, tsunami, gempa, Lumpur lapindo, dan sebagainya. Naomi Klein mengatakan bahwa “dewasa ini ketidakstabilan global tidak hanya menguntungkan pedagang senjata; juga membawa keuntungan yang luar biasa besarnya bagi sector keamanan yang menggunakan high technology, perusahaan konstruksi besar, perusahaan rumah sakit swasta, perusahaan minyak dan gas, perusahaan produksi pangan, dan tentu saja para kontraktor industri pertahanan. Rekonstruksi bencana alam dan bencana perang atau konflik dewasa ini menjadi bisnis yang sangat besar dan sangat menguntungkan. Perusahaan-perusahaan besar merasa gembira jika ada bencana (perang atau bencana alam), dan jika tidak ada bencana mereka akan memicu terjadinya bencana. Untuk rekonstruksi Iraq, dana yang digelontorkan sebesar $ 30 milyard, untuk rekonstruksi tsunami di Asia sebesar $ 13 milyar, dan untuk New Orleans dan Gulf Coast sebesar $ 110 milyar. Pendapatan perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam rekonstruksi cukup untuk memicu boom ekonomi. Perusahaan-perusahaan gas dan minyak sangat dekat dengan 21
Wall Street Journal, December 5, 2005
- 13 -
ekonomi bencana, baik sebagai penyebab utama bencana maupun sebagai penerima manfaat utama dari bencana tersebut. Saking besarnya pengaruh perusahaan minyak dan gas dan besarnya keuntungan yang diperoleh dari bencana, Naomi Klein menyebut perusahaan-perusahaan minyak dan gas ini sebagai “honorary adjunct of the disastercapitalism complex”.
D. Fiskalisme Militer IV: Anggaran Negara dalam Cengkeraman Neoliberalisme Kekuatan pasar dan efisiensi ekonomi adalah inti dari ekonomi neoliberal, yang dewasa ini hampir dijadikan sebagai doktrin ideologis bagi lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan IMF dan para teknokrat negara-negara sedang berkembang yang sangat patuh kepada Bank Dunia dan IMF. Kekuatan pasar, bukan kekuatan pemerintah (termasuk birokrasi dan tentara nasional), merupakan faktor utama pertumbuhan ekonomi. Efisiensi ekonomi hanya bisa dicapai dan dijalankan oleh kekuatan-kekuatan pasar, bukan oleh kekuatan-kekuatan aparatur negara. 22 Dalam pandangan neoliberalisme birokrasi (termasuk juga tentara nasional) hanya menghambur-hamburkan resources karena bukan merupakan kekuatan produktif dan karena itu peran dan kekuatannya harus diperkecil. Birokrasi pemerintah hanya dibatasi pada perancangan regulasi dan menjaga agar regulasi diimplementasikan. Demikian pun dengan tentara nasional, karena peran negara diperkecil maka peran tentara nasional pun diperkecil dan bahkan tentara nasional tidak tercakup di dalam konsep ekonomi neoliberal. Tentara hanya dibutuhkan untuk melawan kekuatan-kekuatan yang merongrong operasi bisnis korporasi multinasional, di luar wilayah kekuasaan negara; seperti yang dilakukan oleh AS di Irak. Alokasi anggaran untuk militer dianggap sebagai penghamburan keuangan negara, jika militer tidak berperan dalam mengamankan operasi aktor pasar Ekonomi neoliberal percaya bahwa kekuatan-kekuatan pasar harus menentukan produksi, distribusi dan konsumsi untuk hampir semua barang dan jasa, dan bahwa kebebasan pasar tidak boleh didistorsi oleh campur tangan negara. Dalam pandangan neoliberalisme, semua kekuatan di dalam sebuah negara yang tidak mempunyai fungsi produktif (menghasilkan barang dan jasa yang dapat diperdagangkan di pasar) hanya menghamburhamburkan sumberdaya dan menjadi free-riders.. Manajemen keuangan Negara secara luas berkaitan erat dengan hak-hak rakyat, lewajiban-kewajiban rakyat dan harapan-harapan rakyat akan manfaat dan pemanfaatan sumberdaya kolektif yang dikuasai dan dikelola Negara. 23 Secara sempit bisa dikatakan bahwa manajemen keuangan Negara merupakan jantung dari kebijakan fiscal dan 22
Caroline Thomas, Global Governance, Development and Human Security (London: Pluto Press, 2000), hal. 39 – 42. 23 Arigapunti Premchand, “Public Finance Management: Getting the Basics Right” dalam Salvatore Schiavo-Campo, ed. Governance, Corruption and Public Financial Management (Manila: Asian Development Bank, 1999).
- 14 -
bekerjanya sebuah pemerintahan. Pengelolaan keuangan Negara bisa menjadi cermin apakah uang Negara dipakai untuk kesejahteraan seluruh rakyat, atau hanya kesejahteraan pengelolanya, atau hanya untuk memberi insentif kepada segelintir sector swasta (yang di Indonesia berarti sekelompok kecil keluarga), atau hanya untuk memberi wewenang atau otoritas kepada apparatur Negara untuk menjinakkan rakyat atau klien baik di dalam system aparatur Negara sendiri maupun di luar lingkaran system tersebut. Dalam teori tentang kapitalisme monopoli Negara, belanja Negara merupakan anggaran untuk modal swasta dan proyeksi-proyeksi publiknya. Negara bertindak sebagai kekuatan politik dan ekonomi pada pusat proses sirkulasi modal dengan fungsi-fungsinya yang esensial. Jika Negara memegang pusat ekonomi dan politik tersebut, maka belanja public sebenarnya sama dengan belanja upah untuk Negara. Karena itu perjuangan atas anggaran public seharusnya dilihat sebagai suatu wilayah konflik yang fundamental. 24 Jika Negara hanya melayani kepentingan para pemilik modal, maka anggaran untuk belanja Negara sama dengan anggaran untuk upah aparatur Negara. Karena Negara yang menguasai politik termasuk politik anggaran, maka Negara memiliki otoritas strategis untuk menentukan berapa upah yang harus dibayar oleh pemilik modal kepada Negara dan aparatur Negara. Kekuasaan Negara untuk menentukan anggaran ini tidak sepenuhnya otonom di dalam masa globalisasi yang dikontrol dan diorkestrasi oleh kekuatan-kekuatan keuangan global. Dengan fiscal austerity yang menjadi kondisionalitas kebijakan ekonomi Indonesia sejak menerima utang dan program Structural Adjustments dari Bank Dunia pada awal 1980-an, APBN hampir tidak pernah bisa berfungsi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Demikian pun, APBN tidak memberi ruang kepada Negara untuk meningkatkan pendapatan (atau upah dalam cara pandangan kapitalisme monopoli Negara). Alokasi anggaran yang lebih dititik-beratkan pada pembangunan infrastruktur untuk pertumbuhan ekonomi makro dan lebih melayani kepentingan konglomerasi nasional dan korporasi global, hampir tidak bisa menjadi instrument yang dapat diandalkan untuk membangun bangsa. Pertahanan dan anggaran pertahanan merupakan salah satu korban dari fiscal austerity dan kepatuhan pemerintah Indonesia kepada resep-resep dari Bank Dunia dan IMF. Dorongan kepada Indonesia untuk menggunakan kredit ekspor untuk pengadaan persenjataan tidak lain untuk mengikat Indonesia pada mekanisme pasar yang tidak adil untuk Indonesia sendiri. Kredit ekspor untuk pengadaan persenjataan jelas melampaui kapasitas pembayaran kembali oleh bangsa Indonesia. Kreditor mengetahui bahwa persenjataan tidak menghasilkan returns untuk pembayaran utang sehingga penumpukan utang pertahanan akan menjadi alat untuk kondisionalitas baru atau alat politik untuk menekan system pertahanan Indonesia. Kredit ekspor yang menggunakan mekanisme pasar dan surat utangnya bisa diperdagangkan di pasar bebas, dan karena itu tidak mungkin bisa dihapus, membawa Indonesia pada posisi sulit untuk membangun otonomi system pertahanannya.
24
Michael Hardt dan Antonio Negri, Labor of Dionysus: A Critique of the State-Form (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1994), hal. 182 – 183.
- 15 -
Di dalam Negara otoriter atau birokratik-otoriter, anggaran pendapatan dan belanja Negara menjadi arena bagi para penguasa dan birokrasi untuk aktivitas self-seeking. Baik sisi pendapatan maupun sisi belanja, sama-sama menjadi arena untuk memperkaya diri para penguasa dan birokrat. Di dalam Negara-negara transisi demokrasi, arena yang sama menjadi ajang perebutan partai politik, lembaga-lembaga akademik, lembaga-lembaga think-tank, kelompok-kelompok di dalam masyarakat dan tentu saja para birokrat sendiri, tetapi dengan metode dan mekanisme yang berbeda-beda. Setiap aktor berjuang untuk mendapatkan bagian dari alokasi anggaran tersebut. Ini yang sering disebut sebagai rentseeking activities. Rente (rents) di sini lebih luas dari pengertian awal yang mengacu kepada sewa tanah atau sewa properti seperti dalam literatur teori ekonomi klasik. Rente mengacu kepada pendapatan melebihi jumlah yang seharusnya didapatkan karena pengaturan institusional atau hak-hak yang berbeda 25 . Rente juda diasumsikan sebagai the next best income. Orang mengeluarkan biaya dengan ekspektasi untuk mendapatkan rente yang lebih besar pada masa berikutnya. Sebagai salah satu contoh, sekelompok orang di desa melakukan pengorganisasian komunitas untuk mempertahankan hutan adatnya. Diasumsikan bahwa hutan adat ini akan memberikan pendapatan kepada desa di kemudian hari. Orang mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk pendidikan, dengan harapan bahwa setelah menyelesaikan pendidikan orang tersebut bisa menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi dan kesejahteraan yang lebih tinggi pula. Pendapatannya belum tentu teraktualisasi, tetapi umumnya rente memberi tambahan pendapatan. Contoh lain adalah sebuah lembaga di dalam suatu negara berusaha merebut posisi-posisi politik penting untuk mendapatkan hak istimewa dalam alokasi anggaran negara, atau untuk mendapatkan hak istimewa dalam mengambil manfaat dari sumberdaya negara. Dalam literatur ekonomi politik, rente dikaitkan dengan beberapa hal. Pertama, kegiatan untuk mendapatkan rente (rent-seeking activities) dilihat sebagai suatu kegiatan yang tidak produktif (directly unproductive economic activities – DUP activities). Rentseeking digambarkan sebagai aktivitas pemborosan sumberdaya oleh individu-individu atau kelompok dalam mendapatkan aliran kekayaan melalui perlindungan atau hak khusus dari negara. 26 James M. Buchanan dalam buku yang sama mengatakan kegiatan mencari rente merupakan perilaku dalam setting institusional tertentu dimana upayaupaya individu-individu atau kelompok-kelompok tertentu untuk memaksimisasi nilai justru menghasilkan pemborosan sosial daripada surplus sosial. Rent-seeking juga dipandang sebagai upaya-upaya individu atau kelompok yang melakukan investasi pada sesuatu yang pada dasarnya tidak meningkatkan produktivitas atau sebaliknya menurunkan tingkat produktivitas, tetapi kegiatan tersebut meningkatkan pendapatannya sendiri karena posisi tertentu yang memberinya hak isitimewa atau monopoli.
25
Warren J. Samuel and Nicholas Mercuro, “A Critique of Rent-Seeking Theory”, dalam David C. Colander ed.), Neoclassical Political Economy: The Analysis of Rent-Seeking and DUP Activities (Cambridge, Mass.: Ballinger Publishing Company, 1984), hal. 55. 26 James M. Buchanan, R.D. Tollison and Gordon Tullock (eds.), Toward the Theory of Rent-Seeking Society (College Station: Texas A&M University Press, 1980), hal. ix).
- 16 -
Keterlibatan anggota TNI di dalam bisnis, yang didapatkannya karena posisi TNI sendiri dalam politik, bisa dikategorikan sebagai rent-seeking atau lebih tepat DUP activities. Kegitan-kegiatan bisnis tersebut menjadi monopoli TNI, dan tidak memberikan pendapatan (revenues) kepada negara, karena seringkali bebas pajak, dan juga tidak memberi kontribusi pada anggaran militer untuk peningkatan kapabilitas militer. Kegiatan DUP membawa kerugian kepada negara atau menjadi waste bagi negara dan pada gilirannya tidak memberi kontribusi pada kesejahteraan masyarakat. Karena manajemen bisnis tersebut juga tidak dijalankan secara profesional, maka bisnis tersebut pada gilirannya tidak membawa manfaat untuk institusi TNI sendiri, tetapi hanya khusus individu di dalam institusi TNI. 27 Kegiatan rent-seeking seperti ini secara ekonomis membawa welfare loss bagi negara dan masyarakat. Berapa welfare loss yang disebabkan oleh kegiatan rent-seeking seperti ini? Perhitungannya mungkin berbeda dari perhitungan biasa dalam ekonomi tentang rentseeking, karena pada dasarnya TNI tidak mengeluarkan biaya untuk mendapatkan monopoli atau hak istimewa dalam bisnis tertentu. Welfare loss terjadi karena penghasilan dari bisnis tersebut tidak memberi pendapatan kepada negara (bebas pajak) dan tidak menghasilkan produktivitas yang memberi kontribusi kepada Produk Domestik Bruto (PDB). Kedua, rente bertaitan dengan property rights atau aturan yang menciptakan nilai rente pada kegiatan atau property tertentu. Orang melakukan aksi kolektif untuk mendapatkan rente (sebagai contoh: natural resources rent), atau orang me-lobby ke Parlemen untuk membuat undang-undang yang melindungi intellectual property rights untuk memberi rewards kepada para innovator (Schumpeterian rents), atau untuk mendapatkan income cuma-uma berupa subsidi. Orang membiayai perjuangan politik seseorang atau sekelompok orang (seperti partai politik) untuk mendapatkan konsesi monopoli. Yang terakhir ini sering dipakai oleh para konglomerat Orde Baru dan partai penguasa pada waktu itu. Para konglomerat mendukung penguasa dan partai yang berkuasa untuk mendapatkan hak monopoli dalam berbagai bidang. Aktivitas mencari atau mengakumulasi rente sebenarnya tidak menimbulkan masalah kalau proses dan hasilnya tidak melanggar undang-undang dan untuk meningkatkan kesejahteraan bersama, baik dalam kolektivitas kecil maupun masyarakat luas. Rentseeking bermakna negatif dan hampir disamakan dengan korupsi atau perampokan ketika melibatkan politik dan otoritas yang tidak semestinya atau bertentangan dengan hukum. Orang membayar untuk merebut posisi politik, dengan tujuan mendapatkan rente termasuk kekuasaan untuk menentukan alokasi anggaran yang akan menguntungkan dirinya atau kelompoknya. Pengelolaan pendapatan dan belanja negara menentukan prediktabilitas kelangsungan sebuah negara, atau prediktabilitas peningkatan kesejahteraan warga negaranya, apakah sebuah bangsa memiliki masa depan yang cerah atau tidak. Pengelolaan anggaran militer 27
Andrew MacIntyre, “Funny Money: Fiscal Policy, Rent-seeking ad Economic Performance in Indonesia”, dalam Mushtaq H. Khan dan Jomo K.S. (eds), Rents, Rent-seeking and Economic Development: Theory and Evidence in Asia (Cambridge: Cambridge University Press, 2000).
- 17 -
seharusnya tidak sama seperti itu. Militer menjadi bagian dari kelengkapan sebuah negara dan karena itu dalam situasi apapun militer tetap mendapatkan alokasi anggaran tertentu. Persoalannya adalah apakah anggaran tersebut tinggi atau rendah, mencukupi atau tidak untuk peningkatan kapabilitas, kesiapan dan pengadaan operasi, tergantung pada tingkat pertumbuhan ekonomi secara khusus dan Produk Domestik Bruto secara keseluruhan. Sejak dikeluarkannya UU TNI No. 34/2004 yang membatasi anggaran pendapatan dan belanja TNI hanya dari APBN (anggaran dari pemerintah pusat), peluang TNI untuk meningkatkan kapabilitas dan kesejahteraan prajuritnya sangat tergantung pada besaran dana APBN yang dialokasikan pada sektor pertahanan. Dalam tiga tahun terakhir anggaran pertahanan dari APBN tidak mencapai 3% dari APBN, sementara dibandingkan dengan kebutuhan kapabilitas persenjataan yang ada yang seharusnya diganti atau ditingkatkan, anggaran tersebut sangatlah tidak mencukupi. Tetapi ketidakcukupan anggaran tersebut tidak berarti bahwa TNI memiliki justifikasi untuk mencari sumber pendanaan lain di luar APBN. Sumber di luar APBN itu melanggar UU TNI sendiri, melanggar UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, dan UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Termasuk dalam sumber di luar APBN adalah sumber dari APBD. APBD Papua adalah salah satu contoh dari fiskalisme militer yang masih berlangsung dewasa ini. Rakyat Papua sampai sekarang tidak tahu dengan persis berapa jumlah APBD Papua. Ketika rakyat Papua memprotes kepada pemerintah daerah, kelompok yang protes tersebut dituduh sebagai anggota OPM (Organisasi Papua Merdeka) untuk membungkam suara rakyat yang ingin mengetahui jumlah APBD dan bagaimana Anggaran Belanja Daerah dimanfaatkan oleh pemerintah daerah. Mutualisma antara TNI & Polri di satu pihak dan pemerintah daerah Papua di pihak yang lain merupakan manifestasi dari fiskalisme militer di tingkat sub-nasional.
E. Pembenahan Institusi secara keseluruhan: Epilog Pertahanan dan keamanan Indonesia sejak berada di bawah kendali kekuatan eksternal (internasional) sebenarnya tidak lagi berperan mengamankan kedaulatan negara, melindungi rakyat dan tidak juga membantu meningkatkan kesejahteraan dan keamanan manusia Indonesia. Sebaliknya pertahanan dan keamanan Indonesia sudah dijadikan sebagai alat untuk mengamankan kepentingan segelintir kelompok kapitalis dalam negeri dan transnasional, dan telah membangun diri di dalam sistem yang korup dan menjaga kestabilan sistem yang korup. Simbiosis mutualisme antara TNI & Polri di satu pihak dan bisnis swasta dan kekuatan birokrasi di pihak yang lain sudah menjadi begitu kuat sehingga diperlukan perombakan struktural yang sistematis baik di dalam tubuh TNI & Polri maupun pada kekuatan yang memberi kontribusi pada pembusukan sistem TNI & Polri, yakni birokrasi dan bisnis swasta (baik nasional maupun transnasional). Kegagalan TNI & Polri untuk memberi kontribusi pada penciptaan keamanan manusia Indonesia sebenarnya dipicu oleh kegagalan institusional negara pada tingkat makro dan kegagalan institusional di dalam tubuh TNI & Polri itu sendiri secara mikro. Secara
- 18 -
makro pemerintah yang menjadi pemegang mandat kedaulatan negara gagal menciptakan institusi yang tepat untuk membangun lingkungan yang aman bagi warga negara sehingga mampu meningkatkan kesejahteraannya. Dengan kata lain negara gagal memainkan peran untuk mentransformasi masyarakat dari kondisi yang dikendalikan oleh kekuasaan penjajahan dan kekuatan modal domestik dan transnasional kepada masyarakat yang terbuka, demokratis dan sejahtera. Kerangka institusional kenegaraan menyeleweng dari kerangka fondasi konstitusional dan membangun fondasinya sendiri yang lebih menggantungkan diri pada kekuatan modal dan kekuatan persenjataan eksternal dibandingkan bertumpu pada kekuatan di dalam negeri, termasuk bagaimana memanfaatkan setiap sumberdaya yang tersedia untuk kesejahteraan rakyat. Kerangka birokrasi dan aparatur negara dibangun lebih untuk melayani dan melindungi kepentingan segelintir kapitalis dan self-seeking actors di dalam negeri dan kapitalis transnasional. Lebih buruk dari itu adalah birokrasi dan aparatur pertahanan dan keamanan negara dibangun di atas kerangka untuk mengintimidasi rakyatnya sendiri. Negara telah gagal membangun masyarakatnya sendiri karena negara dipertahankan untuk melayani kepentingan kapitalis transnasional dan domestik dan melayani kepentingan birokrat sendiri. Institusi pertahanan dan keamanan sendiri menghadapi kegagalan institutionalnya sendiri, yakni baik kegagalan dalam mengembangkan kebijakan internal yang binding dan kegagalan membangun organisasi yang tangguh. Hal ini terutama disebabkan oleh beberapa faktor: (1) Institusi pertahanan dan keamanan gagal menciptakan doktrin militer dan kepolisian yang mempunyai landasan yang kuat, baik yang berdasarkan historical trajectory maupun doktrin yang visioner-idealistik. (2) Institusi pertahanan dan keamanan gagal membangun kerangka postur militer dan polri yang sesuai dengan tuntutan zaman (berbasis teknologi canggih dan masyarakat demokratis). (3) Institusi pertahanan dan keamanan gagal membangun organisasi dan struktur sesuai kebutuhan pertahanan dan keamanan kontemporer. Apakah masih dibutuhkan komando teritorial ketika institusi pertahanan seharusnya menghadapi ancaman dari luar bukan ancaman dari rakyatnya sendiri? Apakah masih relevan Polri yang mempertahankan struktur hirarkhis sesuai struktur pemerintahan sipil, padahal kejahatan dan keamanan tidak hirarkhis? (4) Kegagalan manajemen dalam tubuh TNI dan Polri. Sistem procurement yang tidak transparan dan tertutup dari audit publik hanya akan membuat TNI dan Polri sebagai liability di dalam keseluruhan institusi kenegaraan. Jika menjadi liability, bagaimana bisa TNI dan Polri diharapkan untuk memberi kontribusi pada keamanan manusia? Institusi pertahanan dan keamanan sesuai fungsinya diharapkan bisa membantu meningkatkan keamanan manusia Indonesia, tetapi tentu dengan syarat bahwa institusi pertahanan dan keamanan ini terlebih dahulu ikut menegakkan penataan institusi dan penguatan institusi internalnya dan memutuskan matarantai historis yang membelenggu sistem pertahanan dan keamanan. Di pihak lain institusi pertahanan dan keamanan perlu memaknai matarantai sejarah sebagai cermin untuk membangun kemandirian sistem
- 19 -
pertahanan dan keamanan, dan turut serta membangun kemandirian negara-bangsa. Termasuk di dalam membangun kemandirian institusional ini adalah membangun kapasitas untuk menganalisis situasi sosial, ekonomi dan politik serta pertahanan dan keamanan secara lebih cermat dan kritis, sehingga tidak menjebak diri menjadi alat dari kekuatan kapitalis domestik dan transnasional dan mengorbankan rakyat yang harus dilindunginya.
==***==
- 20 -