FILSAFAT ILMU I.
LANDASAN KEFILSAFATAN 1. Ciri – Ciri Ilmu Ilmu – ilmu timbul dari dunia mitikal yang pra – ilmiah, ilmu dan mitos dua – duanya memberikan penjelasan – penjelasan atas kejadian – kejadian biasa dan kejadian – kejadian yang tidak biasa. Selain itu, mitos melakukan lebih banyak lagi; ia memberikan aturan – aturan untuk masyarakat, kultus (keagamaan) dan perilaku manusia. Mitos mencakup suatu keseluruhan cerita – cerita, lambang – lambang dan ritus – ritus yang memberikan pemahaman tentang kekuatan – kekuatan asing yang menguasai manusia dan kosmos; di dalamnya mereka menyajikan “penjelasan – penjelasan ” perkenaan dengan dengan hidup dan mati, terjadinya dunia. Pengalaman mitikal atas dunia juga mengenal sesuatu seperti hukum-hukum, sama kaidah-kaidah itu memiliki sesuatu dari hukum-hukum alam yang kemudian, tetapi sekaligus berfungsi sebagai sejenis kaidahkaidah kesusilaan dalam hubungan kosmik. Demikianlah Heraklitus (abad keenam sebelum Masehi), seorang filsuf Yunani, menulis bahwa Matahari menurut hakikatnya menempuh suatu jalur (orbit) tertentu, namun menambahkan padanya bahwa jika Matahari menyimpang dari jalurnya, maka hal itu akan dihukum oleh kekuatan-kekuatan supranatural (dewadewa). "Hukum" dalam arti "hukum alam" dan dalam arti "kaidah" di sini masih saling bercampur. Ciri khas dari ilmu modern justru memisahkan hal itu secara tajam yang satu dari yang lainnya. Ilmu menyajikan hukum dalam arti penjelasan, tetapi tidak dalam arti aturan (perintah); untuk itu ada Etika. Sebagaimana berikutnya akan dijelaskan, dalam zaman modem muncul
1
pertanyaan apakah pemisahan secara tajam ini antara "penjelasan" (verklaring) dan "peraturan" (voorschrift), antara teori dan etika. Penjelasan mitikal atas kejadian-kejadian itu terjadi terutama lewat cerita-cerita dan pengungkapannya dalam tarian, ritus dan lambang-lambang yang dilukiskan atau diukir. Penjelasan ilmiah menjelaskan tidak dengan cerita-cerita, melainkan dengan pengamatan-pengamatan dan eksperimeneksperimen yang dalam asasnya terbuka bagi tiap orang, yang dapat dikontrol, yang berfungsi dalam suatu kerangka atau jaringan (jejaring, network) teori-teori. Ilmu tidak memiliki karakter ritual. Ilmu membedakan diri tidak hanya dari suatu gambaran dunia prailmiah, melainkan juga dari pengalaman hidup non-ilmiah atau pengalaman hidup luar-ilmu atau luar-ilmiah (buiten-wetenschappelijke levenservaring). Yang disebut terakhir, sebagai common sense atau akal sehat manusia, seringkali dapat memberikan pemaparan-pemaparan yang tepat-sasaran dan penjelasan-penjelasan yang tepat. Seorang ibu menjelaskan perilaku dari anaknya kadang-kadang lebih baik ketimbang psikolog anak. Namun semuanva itu tidak meniadakan pembedaan, dan jarak, antara pengetahuan praktikal sehari-hari dan pengetahuan dari ilmu. Pengetahuan
dalam
kehidupan
sehari-hari
menengarai
atau
mengkarakterisasi diri dengan keterlibatan dari pribadinya pada tindakantindakannya sendiri. Sedangkan seorang ilmuwan, jika awalnya baik, juga sangat terlibat pada apa yang ia lakukan dan teliti. Kekuatan dari pengetahuan ilmiah justru terletak dalam kemampuan untuk mengabstraksi. Atau dirumuskan secara agak menyederhanakan (simplistik): kekuatan dari akal sehat manusia sehari-hari justru terletak dalam mengenali dan dapat merasakan pribadi-pribadi, urusan-urusan dan peristiwa-peristiwa yang konkret; dan kekuatan dari mengetahui secara ilmiah terletak dalam kemampuan untuk mengabstraksi, untuk baru dari sana menempatkan gejala-gejala yang konkret.
2
2. METODE ILMIAH DAN KENYATAAN Ilmu adalah penguasaan keahlian dan/atau kemahiran khusus dalam bidang tertentu (vakmanschap): orang harus mempelajari bagaimana caranya ia harus bekerja atau mengerjakan sesuatu, jalan apa yang harus ditempuh. Perkataan "metode" adalah sebuah perkataan yang berkaitan dengan perkataan "jalan". Hal itu berlaku untuk banyak bidang; Metode tersebut, butir yang pertama, mengenal seperangkat "aturan main" yang berlaku ajeg yang menyandang sifat tertutup: tidak boleh mengandung pertentangan-pertentangan atau penyimpangan-penyimpangan prinsip!. Jadi, aturan-aturan main ini lebih bersifat rasional atau teoretikal ketimbang bersifat praktikal. Melainkan merupakan suatu kaidah logikal dan formal. Ilmu-ilmu Formal ini sebenamya adalah metode murni dan mereka juga memang bekerja sebagai kerangka metodikal dalam banyak ilmu, baik dalam Ilmuilmu Alam maupun dalam Ilmu-ilmu Sosial. Terutama bagi Ilmu Alam, tampak Matematika banyak kecocokannya. Butir kedua yang menengarai (menjadi ciri khas bagi) metode, adalah transformasi (pengubahan) secara sistematikal bahasa biasa dan pengamatan sehari-hari. Kata-kata yang dalam bahasa sehari-hari digunakan dengan cara yang berbeda-beda, di dalam suatu ilmu memperoleh satu arti yang diletakkan (dirumuskan) dalam sebuah definisi yang dipaparkan secara cermat. Butir ketiga adalah alat-alat kerja dan instrumen-instrumen: laboratorium dengan instrumentariumnya, formulir-formulir yang sudah cercetak untuk angket, komputer, layar radar, termometer untuk mengukur panas badan. Butir keempat adalah pengaruh dari sebuah teori. demikianlah terdapat suatu peningkatan derajat penguasaan secara rasional dalam teori
3
ilmiah: dari observasi ke pembentukan pengertian, yang dalam hal ini definisi-definisi memainkan peranan, dan dengan itu sampai pada perumusan hukum-hukum yang meletakkan hubungan-hubungan di antara pengertian-pengertian (peredaran atau orbit planet-planet, massa, daya-tarik, saling berkaitan dalam hukum gravitasi). Ini kemudian sampai pada teori umum yang memberikan penjelasan-penjelasan untuk suatu keseluruhan bidang dari kenyataan itu Ilmu ternyata melalui jalan ini (metode) telah menimbulkan pengaruh yang besar terhadap kenyataan. Hal itu terutama terjadi melalui abstraksi. Pertama-tama karena sebuah ilmu terbawa oleh hakikatnya mendekati satu aspek tertentu dari kenyataan konkret: aspek materi yang tidak hidup (antara lain Fisika, Kimia Anorganik), yang biotik atau yang hidup (Biologi, Kimia-biologi), aspek psikis, aspek sosial, dan sebagainya. Bagaimana
terjadinya
penguasaan
intelektual
(pemahaman),
kekuasaan rasional ini, atas kenyataan konkret, tentang hal itu pandanganpandangan berbeda-beda (terdapat perbedaan pendapat). Pandangan yang paling langsung dan sederhana adalah bahwa ilmu menggambarkan kenyataan, pada akhirnya, persis sebagaimana keadaannya. Wama-warna secara faktual hanyalah getaran-getaran elektromagnetik. Tiap
ilmu
dengan
demikian
memiliki
suatu
gambaran
"obyektivistik" sendiri tentang dunia dan jika hal ini (petabumi-nya) dipandang sebagai kenyataan. Pandangan ini disebut "scientisme". Scientisme membiarkan dunia konkret seluruhnya terhisap ke dalam penjelasan-penjelasan dari ilmu-ilmu. Pandangan kedua memandang ilmu tidak sebagai sebuah pengungkapan (pencerminan dari) "kenyataan sesungguhnya", melainkan lebih sebagai sebuah pendekatan terhadap dunia konkret. Karena itu, orang juga berbicara tentang teori-teori ilmiah sebagai model-model yang berupaya untuk memetakan kenyataan (menggambarkan kenyataan dalam peta).
4
Aliran ketiga memandang teori-teori ilmiah dan kebenarankebenaran ilmiah sebagai alat-alat atau instrumen-instrumen untuk sampai pada penemuan keterberian-keterberian (data tersaji) dan penerapanpenerapan baru ilmu bukan sebagai penggambaran sesungguhnya atau sebagai model-model pendekatan, mamkan sebagai instrumen. Itu sebabnya timbul istilah "instrumentalisme". Kelompok pandangan-pandangan keempat menolak pikiran bahwa ilmu adalah penggambaran yang benar, atau suatu pendekatan yang baik, atau instrumen yang tepat. Metode dari sebuah ilmu mengabdi (memiliki komitmen) pada kebenaran, dalam teori pengetahuan kefilsafatan (Epsitomologi), realisme berhadap – hadapan dengan idealisme. Idealisme mau meningkatkan bahwa bukan kenyataan yang menentukan apa yang menjadi metode, melainkan metode menentukan apa yang menjadi kenyataan. Realisme meletakkan titik berat (Aksen) pada kenyataan.
Beberapa Aliran Kefilsafatan Modern a. Positivisme Yang dimaksud dengan ilmu-ilmu "positif' adalah ilmu-ilmu yang hanya bertolak semata-mata dan fakta-fakta yang dapat dikonstatasi dan dari situ dapat sampai pada keajegan-keajegan yang dapat dikontrol secara logikal. Pada abad yang lalu (abad 19), pemikir Perancis August Comte merancang sebuah sistem akbar filsafat "positif. Di dalamnya, ilmu-ilmu, khususnya yang bekerja berdasarkan metodemetode ilmu alam. mewujudkan titik tertinggi dalam perkembangan kultur manusia.
5
b. Filsafat Hermeneutik. Jika aliran-aliran positivistik mengacu terutama pada Ilmu Alam, maka Filsafat Hermeneutik sebaliknya lebih terarah pada Ilmu Kerokhanian (Geisteswissenschaft). Ilmu-ilmu ini tidak pertama-tama akan mengobservasi dan merumuskan keajegan-keajegan pada gejalagejala lahiriah, melainkan mencoba untuk menunjukkan makna dari peristiwa-peristiwa (antara lain dalam Ilmu Sejarah) dan untuk menginterpretasi teks-teks (Ilmu Sastera).
c. Strukturalisme Orang dapat menggambarkan sebuah struktur sebagai sejenis cetak-biru (blue-print), atau sebagai sebuah jaringan kotak-kotak (vakjes) yang ke dalamnya gejala-gejala tidak hanya cocok, melainkan mereka juga dengan itu dapat dijelaskan. Demikianlah pada suku-suku bangsa tertentu terdapat (berlaku) aturan-aturan untuk mengawinkan keluar (uithuwelijken): seorang gadis misalnya tidak boleh kawin dengan jejakajejaka yang dalam derajat pertama mempunyai hubungan darah dengan saudara-saudara laki-laki dari pihak ibu. Jika orang menggambarkan hubungan-hubungan yang rumit demikian itu pada sehelai kertas, maka orang akan memperoleh percabangan-percabangan dari hubunganhubungan yang diizinkan dan yang tidak diizinkan. Atas dasar itu maka seorang peneliti dapat meramalkan perkawinan-perkawinan mana akan dilangsungkan dan mana yang tidak akan dilangsungkan. Contoh ini diambil dari Antropologi Budaya, yang dalam lingkungan disiplin ini Cl. Levi-Strauss berupaya untuk menjelaskan keseluruhan kultur dari sudut struktur-struktur dalam, mulai dari hubungan-hubungan perkawinan sampai pada buku-buku resep makan.
6
d. Holisme dan Teori Sistem Menunjuk
pada
Holisme,
perkataam
“Keseluruhan”
“keseluruhan adalah lebih ketimbang jumlah dari bagian – bagian.” Para empirisis (seperti Locke) rnengajarkan bahwa semua pengetahuan berlandaskan pengamatan inderawi (empiri). Para rasionalis (seperti Descartes, Leibniz) mengajarkan bahwa tidak mungkin ada pengetahuan tanpa bekerjanya pengertian-pengertian akal-budi (verstandsbegrippen) yang sudah ada terlebih dahulu. Dalam Filsafat Ilmu dewasa ini, akalbudi dan indera, atau teori dan keterberian pengalaman, dua-duanya saling berjalin. Butir kesesuaian ketiga adalah wawasan dinamik atas ilmu yang terdapat pada semua aliran termaksud. Ilmu adalah bukan kebenaran bebas-waktu (jadi kebenaran ilmu itu terikat pada waktu), dan bahkan Popper, yang masih termasuk paling dekat pada pandangan tradisional Kebanyakan berpendapat bahwa sejarah memainkan peranan sangat penting: gambaran-gambaran dunia secara ilmiah, paradigmaparadigma, cakrawala-cakrawala saling mengikuti yang satu dari yang lainnya. Justru relativisasi ini membuat menjadi jelas bahwa ilmu tidak memiliki kebenaran yang berlaku untuk selamanya, melainkan tiap kali ilmu harus memperbaharui dan tiap kali harus merumuskan dengan cara lain. Justru karena pengetahuan manusia sendiri berubah dan kenyataan tidak dapat dipaparkan di luar pengetahuan ini - bukankah terdapat. Orang tidak dapat bertolak secara sepihak dari pengalaman inderawi (empirisisme) dan juga tidak dapat hanya semata-mata dari konstruksi akal-budi (rasionalisme). Di dalam ilmu dua-duanya saling terjalin. Hal itu juga terjadi karena ilmu tidak mempelajari obyek-obyek atau keadaan yang terisolasi, melainkan gejala-gejala hanya dapat diketahui dari sudut perkaitan.
7
II. METODOLOGI Berabad – abad orang telah memimpikan atau bermimpi tentang satu metode ilmiah yang universal. Suatu metode ilmiah yang demikian itu, sering dipandang sebagai jenis ilmu pasti atau matematika (yang disebut mathesis universalis). Pada abad tujuh belas dan delapan belas banyak pakar atau ilmuan berupaya untuk menciptakan suatu “Ensiklopedia” dari ilmu – ilmu yang mencakup semua ilmu, sebuah atlas. Pada zaman yang lebih baru para Penganut Positivisme Logika memprogandakan suatu unified science (ilmu yang dipersatukan, ilmu tunggal). Penggolongan (klasifikasi) ilmu-ilmu yang paling terkenal adalah yang membedakan antara Ilmu-ilmu Alam (Naturwissenschaften) dan Ilmu-ilmu Kerokhanian (Ilmu-ilmu Manusia, Geisteswissenschaften). Ilmu dengan satu metode universal adalah mustahil karena di dalam kenyataan itu sendiri terdapat suatu perbedaan yang jelas antara mated dan roh, antara badan dan jiwa. Ilmuilmu Alam dapat dengan sangat baik memaparkan sisi materiil (fisikal, fisik) dari dunia, tetapi tidak memadai untuk memahami kehidupan kerohanian (roh manusia, kultur immaterial). Apakah metode dari Ilmu-ilmu Alam itu? gejala-gejala (misalnya perilaku zat-zat kimiawi) berdasarkan sebab-sebab dari mereka. Hal "menjelaskan" ini (penulis-penulis Jerman memberikan relasi-relasi kausal (sebab-musabab) untuk menjelaskan suatu peristiwa. Kekuatan dari penjelasanpenjelasan yang demikian itu terletak dalam keajegan-keajegan yang orang dapat temukan. Air, pada tekanan udara biasa, mendidih pada 100 derajat Celcius; itu selalu berlaku. Air itu sendiri terbangun oleh zat air (hidrogen, waterstof) dan zat asam (oksigen, zuurstof); itu juga adalah suatu klaim umum. Ilmu-ilmu Kerokhanian harus bekerja dengan cara lain. Teori gaya-berat memberikan penjelasan umum tentang gejala-gejala dan berlaku di semua
8
bagian dunia. Namun orang tidak pernah dapat menderivasi suatu kaidah kesusilaan dari dalamnya; pedoman-pedoman kesusilaan kadang-kadang bahkan melawan atau bertentangan dengan tendensi kemasyarakatan umum tuntutan untuk melindungi orang-orang yang iemah adalah tidak sejalan dengan aturan biologikal yang lebih materiil dari hukum (hak) dari orang yang terkuat atau survival of the fittest. Penjelasannya tidak terletak dalam hukum-hukum kausal umum, melainkan dalam hal mengerti (begrijpeti) motivasi-motivasi, ideal-ideal atau cita-cita yang hidup dalam manusia, perasaan keadilan atau perasaan hukum, cinta, rasa kasihan atau iba. Ilmu sejarah sebagai ilmu kerokhanian akan harus cukup menjelaskan, meniliti keajegan- keajegan dan menata relasi – relasi kasual. Jika orang mau menjelaskan tindakan – tindakan dari seorang negarawan, maka tidaklah cukup hanya dengan menghayati perilakunya. Itu bahwkan hanya akan mendapat suatu penilaian yang cukup subyektif. Orang harus memulai dengan meneliti sebab – sebab yang mungkin, seperti situasi – situasi ekonomi yang menentukan tindakan – tindakannya atau setidaknya telah mempermudah tindakan – tindakannya. Juga suatu analisis atas keajegan – keajegan yang letaknya lebih dalam yang menyangkut keadaan – keadaan. Juga suatu analisis atas keajegan – keajegan yang letaknya lebih dalam yang menyangkut keadaan – keadaan fisikal dan klimatologikal, pengenalan perubahan – peruabahan sosial dan ideologi – ideologi yang berpengaruh. Ilmu – ilmu alam maupun ilmu – ilmu kerohanian terbagi ke dalam berbagai cabang. Dalam paragraf – paragraf berikut hal ini akan dipaparkan dan pada pemaparan itu tampak lagi hubungan antara pengetahuan ilmiah dan dunia konkret dipersoalkan. Matematika adalah sebuah Ilmu Formal dan ia tidak memaparkan kenyataan. llmu-ilmu Formal, seperti Matematika dan Logika, lebih banyak merancang jaringan-jaringan kerja (jejaring, networks) tertutup yang baik ("konsisten") yang diperlukan jika orang membuat petabumi dari dunia. Ilmu
9
Alam adalah salah satu dari peta-peta bumi itu, namun demikian juga halnya dengan Psikologi, Arkeologi, Ilmu Sejarah. Dalam asasnya orang dapat menerapkan Matematika pada semua bidang-bidang itu. Dalam Mekanika Kuantum, suatu apparatus matematikal yang sangat spesifik mutlak diperlukan mengingat kemajemukan dari cara yang dengannya gejala-gejala mikrofisikal menampilkan diri di hadapan pengamat. Sekali lagi, untuk merangkumkan, Matematika tidak terikat pada satu ilmu tertentu, melainkan dapat memainkan peranan dalam tiap disiplin ilmiah. Matematika dan Logika adalah bukan ilmu-ilmu Empirikal: mereka menjalin jaringan-jaringan kerja (networks), tetapi tidak memfabrikasi (membuat) peta-peta bumi. Dalam llmu-ilmu Empirikal, hasil-hasil (resultat) dari penelitian yang saling berkonflik adalah hal yang dapat terjadi; pertentangan-pertentangan yang demikian itu disebut antinomi-antinomi. Yang paling terkenal adalah hal menarik sebuah kesimpulan dalam bentuk penalaran tertutup (sluitrede) atau silogisme berikut: "Semua M adalah F, S adalah M; jadi S adalah P." Kerangka kerja (raamwerk) yang abstrak ini dapat diperjelas dengan mengisi kerangka tersebut dengan contoh-contoh empirikal: "Semua manusia adalah fana; Sokrates adalah seorang manusia. Logika memberikan bentuk-bentuk untuk penalaran-penalaran yang tepat dan dengan mengacu padanya orang juga dapat melihat bila sebuah penalaran adalah tidak valid atau tidak sah. Sebuah contoh dari Logika Proposisional. Kadang-kadang Ilmu-ilmu Formal dipandang juga sebagai semata-mata konvensi-konvensi (kesepakatan-kesepakatan). Ilmu-ilmu Formal itu memang tidak empirikal, mereka tidak memberikan pemaparan tentang kenyataan. Namun demikian halnya adalah mencolok bahaya Ilmu-ilmu Formal itu ternyata cocok pada (untuk) dunia empirikal sesungguhnya (yang dapat diamati secara inderawi). Dalam Fisika Modem orang bahkan telah menerapkan sistem-sistem matematikal yang dahulu sekali "begitu saja" dibayangkan atau dikhayalkan: Ilmu Ukur dari sebuah ruang yang melengkung, disusun oleh
10
Riemann, ternyata dalam abad dua puluh dapat diterapkan pada struktur yang diberikan oleh Einstein pada medan-medan gaya-berat. Di Perancis, Matematika pernah digolongkan ke dalam Ilmu-ilmu Kerokhanian ketimbang ke dalam Ilmu-ilmu Alam! Dan roh manusia itu memang dapat mengkhayalkan dirinya memainkan sembarang permainanpermainan dengan angka-angka dan lambang-lambang logikal. Namun dalam kenyataan roh tersebut tidak lepas dari dunia yang dari dalamnya ia sendiri berasal. Karena itu, J. Piaget memandang hukum-hukum dari Matematika dan Logika juga tidak sebagai semata-mata rekaan, melainkan sebagai jejaring (networks) atau cetak- cetak biru (blueprints) yang di dalamnya orang memang benar tidak mengungkapkan kenyataan empirikal, melainkan rnenunjukkan bagaimana orang dapat beroperasi dengan kenyataan tersebut. Sebuah formula seperti "a + b = b + a" memang benar tidak mengatakan sesuatu apapun tentang kenyataan, setidaknya secara substansial tidak, namun memberikan bagaimana misalnya orang dapat beroperasi dengan obyek-obyek: meletakkan dua blok pada tiga blok lainnya adalah operasi yang berbeda ketimbang menambahkan tiga pada dua, tetapi hasilnya adalah sama. Roh kita oleh suatu evolusi yang panjang telah menjalankan pengaruh terhadap dunia sehari-hari kita. Demikianlah kita dapat memegang dan mengendalikan kenyataan sehari-hari. Ilmu-ilmu Formal adalah salah satu hasil (resultat) dari hal menjalankan pengaruh ini terhadap kenyataan ini. Struktur dari jaringan-jaringan kerja logikal mereka haras dilihat sebagai suatu resultat dari suatu perkembangan (genese, timbulnya) yang terus menerus memunculkan jaringan-jaringan kerja yang semakin abstrak. Ilmu-ilmu Empirikal memberikan peta-peta bumi dari dunia konkret. Mereka adalah tidak formal dan karena itu memberikan kesan (impresi) yang jauh lebih konkret, juga meskipun mereka memang banyak menggunakan pengertian-pengertian yang abstrak dan aturan-aturan. Sebuah Ilmu Formal secara tidak langsung mempunyai juga kontak dengan suatu dunia konkret,
11
demikian sudah kita lihat. la adalah sebuah ilmu tentang struktur-struktur yang mumi yang menyajikan skema dari hubungan saling mempengaruhi antara manusia dan dunia; ia berkenaan dengan sesuatu yang lebih ketimbang sekedar sebuah permainan secara acak. Berkenaan dengan Ilmu-ilmu Empirikal, hal ikut mempengaruhi ini, hal membangun jembatan-jembatan ini antara ilmu dan kenyataan adalah lebih mencolok lagi. Dalam Ilmu-ilmu Empirikal, baik aturan-aturan logikal (argumentasi-argumentasi yang baik, teori-teori yang konsisten, aturan-aturan penderivasian atau penarikan kesimpulan misalnya dalam bentuk formulaformula
matematikal)
maupun
material
empirikal
(inderawi,
faktual)
memainkan peranan. Metode yang umum meletakkan suatu perkaitan antara fakta-fakta (landasannya, basisnya) sebagaimana yang dibahas dalam 3.3, dengan demikian adalah perlu). Namun dalam sebuah Ilmu Empirikal ihwalnya tidak hanya sekedar berurusan dengan keabsahan (validitas), melainkan juga berkenaan dengan kebenaran dari sebuah penderivasian (afleiding, penarikan kesimpulan). Bam kemudian muncul syarat-syarat empirikal. Pertama-tama aturannya (hukum atau juga hipotesis) yang menjadi titik beranjak orang harus meletakkan suatu perkaitan yang niscaya (noodzakelijk verband) di antara datadata tersaji. Keharusan (noodzaak) tersebut adalah bukan suatu relasi logikal, melainkan suatu relasi empirikal dalam arti dari suatu relasi kausal (kadangkadang relasi kemungkinan atau probabilitas). Jika orang secara teratur (regelmatig). Dalam hal itu orang bertolak dari sebuah hipotesis (misalnya dengan bentuk: p → q), dari dalamnya menderivasi pemyataan-pernyataan (deduksi) tentang kejadian-kejadian khusus yang dapat dikonstatasi di dalam kenyataan, dan kemudian pertanyaan-pertanyaan tersebut diuji; ini namanya Metode Deduktif Hipotetikal. Beberapa penulis mengkombinasi induksi dan deduksi: mulai pada fakta-fakta, lewat induksi naik ke hipotesis-hipotesis umum, memverifikasi
12
hipotesis-hipotesis ini, pada resultat yang positif menderivasi kejadian-kejadian (fakta-fakta) Semuanya ini juga menunjuk pada betapa pembagian-dua dalam Ilmuilmu Alam dan Ilmu-ilmu Kerokhanian adalah tidak memadai. Bukankah dalam dunia kita yang biasa terdapat lebih banyak aspek-aspek yang jelas berbedabeda ketimbang hanya dua ini saja. Sangat penting untuk mempertahankan keberadaan dari yang hidup atau kehidupan adalah proses – proses Umpan – balik (terukoppelingsprosesses), yang juga disebut “proses siberntika” (cybernetische processen) atau proses – proses pengendalian. Metode deduktif-hipotetikal digunakan dalam Ilmu-ilmu Alam dan juga dalam berbagai Ilmu-ilmu Kerokhanian dan Ilmu-ilmu Sosial. Tetapi di sana metode ini tampil dalam suatu metodologi yang lain, jika orang misalnya membuat (mengupayakan) agar suatu struktur-dalam (depth-structure) dalam Ilmu Bahasa atau Antropologi Budaya dapat diterima dengan menunjukkan bahwa bahan-bahan terberi faktual (sebuah bahasa seperti Bahasa Belanda; kebiasaan suku berkenaan dengan makanan mentah atau dimasak) secara logikal dapat diderivasi dari struktur tersebut. Kesimpulannya
adalah
pertama-tama
bahwa
terdapat
banyak
metodologi, yang tidak saling mengecualikan yang satu terhadap yang lainnya, melainkan saling melengkapi. Orang tidak dapat berbicara tentang satu metodologi yang seragam, tetapi dapat tentang metode ilmiah yang universal yang bagi semua ilmuwan harus dapat dikenali. Metode ilmiah sebagai demikian - obyektivitas, hal dapat dikontrol (dikaji), penjelasan-penjelasan, abstraksi; ternyata dalam praktek ilmu-ilmu memperoleh bentuk dalam berbagai metodologi. Kedua, ternyata bahwa ihwalnya berkenaan dengan praktek dari ilmu. Berdasarkan itu dengan berjalannya waktu akhirnya orang melihat ada berapa
banyak
ilmu-ilmu
itu
dan
metodologi-metodologi
apa
yang
dimanfaatkan. Dengan demikian maka dapat timbul ilmu-ilmu baru, seperti
13
Ilmu-ilmu Komunikasi, dan juga metodologi-metodologi baru, seperti studi tentang proses-proses sibernika. Dalam Ilmu-ilmu Praktikal tentang hal ini keadaannya sedikit berbeda. Sebagai ilmu mereka tidak memberikan kaidah-kaidah kesusilaan, tetapi dalam Ilmu Kedokteran (geneeskunde), etika medik memainkan suatu peran yang semakin berpengaruh. Tentu saja bidang studi (matakuliah-matakuliah, vakken) seperti Radioterapi - yang penting antara lain untuk melawan kanker - , Farmakologi - sebagai teori tentang peracikan obat-obatan - , Fisiologi dan Ilmu-ilmu Teoretikal sejenis itu, masih tetap ada. Tetapi tempat mereka dalam keseluruhan Ilmu Kedokteran, batas-batas yang diizinkan untuk penelitian, Ilmu-ilmu Praktikal. Itu adalah ilmu-ilmu yang mengalami pengaruh dari nilai-nilai non-ilmiah dan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih kuat ketimbang Ilmu-ilmu Teoretikal. Adalah penting bahwa ekonomi juga memberikan bentuk pada masyarakat. Di Belanda pengaruh dari pemikiran ekonomi adalah besar dalam Dewan Ekonomi-Sosial (de Sociaal-Ekonomische Raad, disingkat SER), yang pada gilirannya mempengaruhi politik dan penataan ketenagakerjaan. Istilah "etika" sesungguhnya mempunyai dua arti. Pertama-tama ia menunjuk pada nilai-nilai, misalnya cinta atau kasih sayang kepada sesama manusia, dan kaidah-kaidah
yang diturunkan dari dalamnya, seperti
menghormati kehidupan dan barang orang lain. Itu berkenaan dengan aspek kesusilaan sehari-hari dari kehidupan manusia. Dengan itu maka Etika berada di luar ilmu-ilmu, karena ia memberikan nilai-nilai dan kaidah-kaidah (perintahperintah),
dan
bukan
penjelasan-penjelasan
dan
pemaparan-pemaparan
teoretikal. Tetapi ada juga sesuatu sebagai suatu pokok telaah yang bernama "etika" yang dapat diajarkan. Itu sesungguhnya adalah sejenis meta-etika, apakah dalam arti sempit sebagai analisis bahasa dari etika, atau dalam arti luas sebagai suatu pemaparan dan klasifikasi tatanan-tatanan internal dari kaidahkaidah kesusilaan dan filsafat-filsafat yang ditemukan di luar ilmu. Memang di
14
situ ciri khas yang sesungguhnya dari etika, berupa seperangkat kaidah-kaidah untuk kehidupan sehari-hari, tetap terpelihara. Itu sebabnya, pada tataran keilmuan, Etika itu adalah suatu Ilmu Praktikal. Teologi selalu dipandang sebagai ilmu, atau pada zaman Yunani Kuno sebagai bagian dari filsafat. Seringkali Teologi dipahami sebagai suatu pokok telaah spekulatif. Sesuatu yang dewasa ini kita tidak akan menyebutnya "ilmu", tetapi akan lebih menyebutnya bagian dari Metafisika (ajaran tentang suatu kenyataan non-indera\vi). Ia lebih banyak bertujuan untuk secara ilmiah meneliti bagaimana berita-berita (kabar gembira), cerita-cerita dan pesan-pesan tertentu tentang Keberadaan Yang Ilahi disampaikan (diwartakan) dan pada masa modern ini bagaimana pewartaan itu seyogianya harus dilakukan. Singkatnya, ia sama sekali tidak ingin (menjadi suatu) spekulasi, dan dengan begitu bukan Ilmu Teoretikal murni, melainkan harus digolongkan ke dalam kelompok Ilmu-ilmu Praktikal. Idealnya adalah bahwa tiap ilmuwan memperlihatkan perilaku yang sama sebagai peneliti, suatu perilaku yang dapat disebut "intersubyektif'. Ini berarti bahwa dalam prinsipnya tiap peneliti, jika ia terdidik dengan cara yang sama, dapat diganti oleh orang (peneliti) yang lain. Hal subyeknya dapat diganti ini berkorespondensi dengan obyektivitas yang "strikt" (kaku, lugas) dari bidangnya sebagaimana hal itu oleh ilmu dipaparkan secara tertata (dipetakan). Pandangan yang pertama kita temui terutama pada para penganut Positivisme Logikal, R. Carnap, yang bekerja di Amerika Serikat, dan A.J. Ayer, di Inggeris, dua-duanya menyatakan bahwa ilmu harus membatasi diri pada upaya membangun teori-teori yang secara logikal tertutup dan pada pengujian pada fakta-fakta. Juga Popper menganggap penentuan garis-batas wilayah atau ranah atau "demarkasi" dari ilmu adalah suatu urusan yang
15
prinsipiil. la mengakui nilai dari pandangan-pandangan pada bidang-bidang Etika, Pandangan Dunia dan Metafisika (teori-teori kefilsafatan tentang suatu Berhadapan secara langsung dengan ini adalah pandangan J. Habermas, seorang pemikir Jerman kontemporer, yang berasal dari lingkungan neomarxistik. Dahulu ia sudah menunjukkan bahwa ilmu tidak begitu saja terlepas dari suasana kepentingan dari dunia sehari-hari. Di belakang pengetahuan ilmiah terdapat, kebanyakan tidak eksplisit, kepentingan-kepentingan yang memberikan arah pada pengetahuan ini. Pada Ilmu-ilmu Alam kepentingan itu pada akhirnya adalah perwujudan teknikal dari pengetahuan itu. Sebuah contoh dapat menjelaskan apa yang secara konkret dimaksudkan dengan pragamatika itu. Seorang yang datang ketugas cukur rambut – hari itu cuaca terang benderang – dan ia (tukang gunting rambut itu) membuka percakapannya dengan mengatakan “cuaca cerah hari ini” bila orang menganggap kalimat yang demikian itu hanya semata – semata secara semantikal, maka mungkin saja orang akan mengatakan “itu saya sendiri sudah melihatnya”. Pertama – tama informasi apa yang ingin diperoleh orang. Pada pertanyaan ini sudah ikut bermain hipotesis dan/ atau teori, tetapi juga metodologi dari bidang, ilmu yang bersangkutan selanjutnya timbul pertanyaan. Demikian pengamatan dari suatu jarak, tetapi juga ada observasi pastisifasif. Dalam kejadian yang terakhir ini penelitiannya hidup di “lapangan”, ia bertempat tinggal di suatu desa, berbicara dalam bahasa dari penduduk setempat dan dengan cara demikian ia memperoleh informasi yang dicarinya. Juga ada yang disebut action – research, artinya penelitian yang dilakukan dengan jalan penelitianya ikut serta melakukan perbuatan – perbuatan yang dijalankan oleh kelompok yang mau diteliti. Orang ikut melakukan misalnya tindakan mogok
16
atau berdermontrasi untuk dapat mengetahui (memahami) motif dan metode – metode yang digunakan. Metodologikal hanya
untuk
kepentingan-kepentingan
ilmiah,
bukan
kepentingan psikologikal, tentang cara yang berdasarkannya orang
dalam ilmu berupaya mencari penyelesaian-penyelesaian baru.
Hal mencari
ini disebut juga "heuristika" dan ia mencakup aturan-aturan yang berlaku dalam suatu context of discovery. Pedoman-pedoman heuristikal yang tersirat dalam contoh historikal yang dikemukakan di atas adalah yang berikut ini. 1. Orang harus menguasai pengetahuan mendasar tentang teori-teori yang ada. 2. Orang harus dapat menempatkan tandatanya-tandatanya (mampu mengajukan pertanyaan-pertanyaan)
terhadap
penyelesaian-penyelesaian
yang
sudah
dianggap sebagai hal-hal yang sudah dengan sendirinya begitu. 3. Lapisanlapisan rasionalitas yang lebih dalam harus diaktifkan: perasaan tentang orientasi atau arah mengenai di mana letaknya dalam teori-teori yang ada. membuat hal-hal yang secara implisit bekerja terus dalam pengertian-pengertian dan metode-metode ilmiah dibawa ke tingkat memandang
tiap
bahan
terberi
tersendiri
4. tfengupayakan untuk dalam
konteks
mereka
mengintegrasikan mereka ke dalam suatu sistem yang lebih besar. 5. Menemukan alasan-alasan, analogi-analogi, contoh-contoh dan model-model dalam dunia non-ilmiah yang dapat menstimulasi proses berpikir heuristikal (dalam hal ini apel itu). Demikianlah orang memulai dengan atau beranjak dari satu bahan terberi faktual yang masih harus dijelaskan, namun menempatkan hal tersebut dalam suatu kerangka heuristikal yang luas untuk dengan cara demikian menghasilkan sebuah hipotesis. Titik tolak pada "resultat" ini oleh C.S. Peirce, pada akhir abad 19, disebut "abduksi"; suatu metode menemukan, yang secara logikal tidak tertutup, yang berhadapan dengan metode pembuktian dengan pretensi-pretensi yang logikal: induksi dan deduksi.
17
III. Ilmu dan Etika Ilmu tidak mengharuskan yang baik, juga tidak mengagumi yang indah, melainkan berupaya mencapai kebenaran. Pengetahuan ilmiah pengetahuan ilmiah berupaya untuk membangun pernyataan-pernyataan pendirian (dalildalil, pemaparan-pemaparan, teori-teori) seobyektif dan seuniversal rnungkin. Namun tentang apa yang baik dan indah maka pendapat-pendapat dapat sangat berbeda-beda. Karena itu ilmu mencoba untuk mengubah putusan-putusan tentang yang baik (etika dalam arti normatif) dan yang indah (estetika sebagai putusan-putusan nilai) ke dalam aturan-aturan ilmiah yang lebih murni. Etika Profesi (beroepsethieK). Ini mencakup kaidah-kaidah lama dan dapat dipercaya yang timbul dari tradisi profesi, terjalin dengan kesadaran tanggung-jawab yang umum. Tetapi juga dari ilmu disodorkan aturan-aturan untuk suatu etika profesi yang demikian. Demikianlah ruang waktu yang di dalamnya suatu etika profesi medika tertentu (tidak sebagai perenungan ilmiah, sebagaimana yang disebut dalam 3.7, tetapi sebagai etika normatif) mau mengizinkan tindakan abortus, maka hal itu akan harus ditentukan oleh ilmu. Ilmu mewakili fakta-fakta dan pemaparan-pemaparan, etika mewakili nilai-nilai dan kaidah-kaidah (perintah-perintah). Meskipun demikian ternyata bidang-bidang non-ilmiah yang di dalamnya putusan-putusan nilai bekerja, tiap kali mengembangkan penalaran-penalaran, bahkan tatanan-tatanan yang relatif tertutup untuk memberikan keberlakuan universal pada nilai-nilai spesifik mereka, suatu keberlakuan yang menurut pandangan dari pihak terkait juga harus dipandang secara obyektif. Demikianlah telah dikembangkan tatanantatanan keagamaan, etikal, politikal, dunia seni (tatanan nilai seni, kunstzinnige stelsel). Dalam zaman yang lebih baru sejauh ini sudah terjadi lebih banyak upaya saling mendekatkan, bahwa orang beranjak dari ilmu menganalisis
18
taianan-tatanan
yang demikian itu, kadang-kadang juga untuk dapat
memberikan suatu penilaian positif terhadapnya (putusan ilmiah, bukan putusan nilai): Ilmu Perbandingan Agama, analisis kefilsafatan terhadap tatanan-tatanan kesusilaan, penelitian sejarah seni, studi perbandingan dalam Hukum Internasional. Kita sudah mengenal Etika Mikro: jangan mengatakan ketidak benaran (jangan berbohong), jangan mencuri dan seterusnya. Sedangkan Etika Makro masih belum dikenal, sebab apa arti "jangan berbohong" sebagai kaidah dalam masyarakat-informasi yang modem, dan "jangan mencuri" berkenaan dengan urusan-urusan seperti pajak-pajak, harga-harga bahan dasar, dan sejenisnya Ilmu harus menampilkan kebenaran ke permukaan. Jika orang mengajukan suatu hipotesis, maka harus ditelusuri apakah hipotesis ini benar. Orang berbicara juga tentang suatu hipotesis yang menjadi lebih benar, jadi lebih mungkin, sejauh ia setiap kali oleh lebih banyak fakta semakin diiyakan atau dibenarkan (konfirmasi) atau setiap kali semakin jelas mampu bertahan terhadap pengujian (koroborasi, penguatan). Kebenaran terutama dipandang, sebagai kesesuaian dari teori dengan kenyataan. Ajaran ini disebut Teori Korespondensi tentang kebenaran. Yang lain memandang kebenaran lebih dalam kekuatan metodologikal dari suatu ilmu, jadi dalam argumentasinya yang baik, dalam konsistensinya. Dengan demikian kebenaran tidak sebagai pencerminan, melainkan oleh perkaitan dari argumen-argumennya (Teori Perkaitan atau Teori Konsistensi). Filsafat ilmu bukan merupakan ilmu disamping ilmu-ilmu lainnya. Namun persamaan dengan ilmu-ilmu itu memang ada, sebab filsafat ilmu juga menganalisis, mengabstraksi, berupaya untuk menjelaskan dan memberikan argumen-argumen yang baik. Sama seperti bagian-bagian yang lain dari filsafat seperti ajaran pengetahuan (Epistemologi), filsafat kebudayaan, antropologi
19
filsafat juga filsafat ilmu ingin mengintegrasikan berbagai ilmu-ilmu; mengumpulkan dan membandingkan. Namun demikian filsafat ilmu adalah bukan sebuah ilmu tentang ilmu-ilmu. Sebab filsafat ilmu juga harus berkiprah di luar ilmu, membandingkan pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan seharihari dan meneliti hubungan-hubungan saling mempengaruhi dengan tatanan nilai non ilmiah, misalnya tatanan nilai kesusilaan, keagamaan, sosial. Demikianlah ia berdiri dengan satu kaki di dalam ilmu-ilmu dan dengan satu kaki diluar ilmu-ilmu. Ia menganalisis bagaimana ilmu itu bekerja; abstraksiabstraksi, peta bumi suatu wilayah, membatasi secara metodikal terhadap pengamatan menjadi observasi-observasi, terhadap bahasa lewat devinisidevinisi, menjadi pengertian-pengertian ilmiah, mencapai obtektifitas antara lain dengan melepaskan subyektifitas dan dengan intersubyektifitas. Bersamaan itu juga pandangan harus difokuskan pada pandangan dunia, keyakinankeyakinan kesusilaan, pengakuan atas nilai-nilai.
20