J. Entomol. Indon., September 2009, Vol. 6, No. 2, 70-76 Perhimpunan Entomologi Indonesia
Evaluasi Produktivitas Kutu Lak, Laccifer lacca Kerr. (Hemiptera: Kerridae) pada Tiga Jenis Tanaman Inang ROSTAMAN1) DAN BAMBANG SUGENG SURYATNA2) 1)
Jurusan HPT Fakultas Pertanian Universitas Jendral Soedirman Jurusan Teknologi Jasa dan Produksi, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Semarang
2)
(diterima Desember 2008, disetujui Mei 2009) ABSTRACT Evaluation of Laccifer lacca Kerr. (Hemiptera: Kerridae) Production From Three Types of Host Plants. Lac insects (Laccifer lacca Kerr) live parasitically on “kosambi” plants, and produce resins that are called lac. Lac are used for electronics, printing, textile, clothing, cosmetics, and food industry. The insects also live on various plants. The goal of this research was to evaluate the population quality of Lac insect that live on three host plants. The best parameter for population quality was biomass or lac production. Three host plants were inoculated by broods. The result showed that “kosambi” was the best host plant for the insect due to higher biomass (i.e lac production) than “kabesak putih” and “kabesak hitam” plants. KEYWORDS: Lac insect, host plant, population quality
PENDAHULUAN Kutu lak (Laccifer lacca Kerr.) adalah jenis serangga yang termasuk famili Kerriidae ordo Hemiptera, hidup secara parasitik pada tanaman kosambi dan tanaman lain yang sesuai. Serangga tersebut menghasilkan resin alami yang kompak dan tebal, serta menempel pada cabang tanaman tempat hidupnya, yang disebut lak. Lak digunakan sebagai bahan baku untuk industri elektronika, percetakan, tekstil, pakaian, kosmetik dan makanan (Metcalf & Flint 1963; Sallata & Widyana 2005; Sharma et al. 2006). Kutu lak yang ada di Indonesia berasal dari India, dan diintroduksi 70
oleh pemerintah Belanda melalui Kota Bogor (Kalshoven 1981). Tidak dapat dipastikan daerah asal serangga tersebut apakah dari daerah tropika atau daerah sedang. Namun dapat dipastikan bahwa serangga tersebut dapat berkembang di kedua daerah tersebut, dan juga di Indonesia yang beriklim tropika. Pembudidayaan kutu lak di Indonesia masih terbatas. Daerah penghasil lak adalah Probolinggo Jawa Timur yang diusahakan oleh Perum Perhutani (Mulyono & Intari 1995) serta di Alor, Sumba dan Rote di Propinsi Nusa Tenggara Timur (Sallata & Widyana 2005). Serangga hidup pada tanaman kosambi dan siklus hidupnya selama
Rostaman dan Bambang Sugeng Suryatna: Evaluasi Kualitas Populasi Kutu Lak
20-22 minggu. Telur terdapat di dalam tubuh induknya yang berkulit keras (lak). Telur menetas menjadi nimfa yang bergerak (crawler). Nimfa bergerak mencari makan, secara aktif dan pasif. Pergerakan aktif terbatas pada cabang tanaman. Pada pergerakan pasif, nimfa berpindah tempat karena terbawa binatang atau hembusan angin, sehingga dapat menyebar jauh. Nimfa yang berhasil menemukan bagian tanaman yang cocok, akan segera menetap secara permanen. Selanjutnya, nimfa tadi berganti kulit dan mereduksi organ antena dan tungkai. Di tempat itu, nimfa terus berganti kulit sampai dewasa, khususnya dewasa betina. Masalah yang utama dalam produksi lak adalah ketersediaan tanaman inang. Luasan dan jumlah tanaman pokok (yaitu kosambi) semakin berkurang karena adanya pemanfaatan tanaman itu untuk bahan bakar. Oleh karena itu, langkah yang harus ditempuh adalah penambahan budidaya tanaman kosambi dan mencari tanaman inang lain yang tumbuh baik (adaptif) pada kondisi lokal. Pemilihan jenis tanaman yang akan dijadikan kandidat tanaman inang harus memenuhi persyaratan di antaranya dapat menyiapkan nutrisi untuk perkembangan serangga dan eksistensi serangga tersebut di alam. Hal ini mengingat bahwa kutu lak merupakan serangga yang hidup menetap sepanjang masa di
tempat yang sama (Metcalf & Flint 1983; Suryatna et al. 2003). Menurut Price (1992, 1997) tanaman inang merupakan sumberdaya makanan yang menentukan dinamika kelimpahan dan kualitas populasi serangga herbivor. Hal ini didukung oleh pernyataan Scriber & Slansky (1981) dan Amwack & Leather (2002) yaitu kualitas nutrisi yang dikonsumsi serangga muda mempengaruhi penampilan serangga dewasa dan jumlah keturunan yang dihasilkannya. Berdasarkan tinjauan pustaka, kutu lak dapat berkembang pada beberapa jenis tanaman. Jenis inang tersebut diantaranya adalah kosambi (Schleichera oleosa), beringin (Ficus spp), kihujan (Samanea saman), kacang gude (Cajanus cajan) dan Acacia spp (Kalshoven 1981; Mulyono & Intari 1995; Sharma et al. 2006; Bahar et al. 2007). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas populasi kutu lak yang hidup pada tiga jenis tanaman inang. Kualitas populasi lak ditunjukkan dengan berat biomasa kutu atau lak yang terbentuk. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Hama Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana Kupang, kebun percobaan Politeknik Pertanian Negeri Kupang, dan kawasan hutan kosambi di kecamatan Kupang Barat, Kupang,
71
J. Entomol. Indon., September 2009, Vol. 6, No.2, 70-76
Nusa Tenggara Timur. Kegiatan penelitian berlangsung pada bulan April – Oktober 2002. Metodologi Bahan dan peralatan yang digunakan adalah pohon tanaman kabesak putih (Acacia leucophloea Willd) dan kabesak hitam (Acacia arabica Willd) (di kebun Politeknik Pertanian Kupang), pohon tanaman kosambi (di kawasan hutan kosambi Kupang Barat), bibit/inokulan kutu lak (dari Pulau Alor NTT), tali rafia, golok dan timbangan serta wadah plastik. Kabesak merupakan jenis tanaman lokal yang beradaptasi dengan kondisi kering (iklim semiarid) pada hutan savana. Percobaan dirancang dengan menggunakan rancangan acak kelompok. Jenis perlakuannya adalah kombinasi tiga jenis tanaman inang (kosambi, kabesak putih dan kabesak hitam) dan dua jenis bibit (bibit tunggal, 100 gram dan bibit ganda, 200 gram). Inokulasi bibit dilakukan pada semua jenis tanaman, menggunakan ulangan 15 kali. Prosedur Penelitian Tanaman kosambi, kabesak putih dan kabesak hitam masing-masing ditulari dengan bibit kutu lak sebanyak 30 tularan. Banyaknya bibit kutu pada cabang tanaman yaitu bibit tunggal (1 kantung) dan bibit ganda (2 kantung), sesuai dengan perlakuan. Bibit dalam kantung kain ditularkan dengan cara
72
ditempelkan pada setiap cabang yang agak tua berdiameter sekitar 2-3 cm, kemudian diikat dengan tali rafia agar tidak lepas. Setelah 2-3 minggu sejak inokulasi, kantung dan tali rafia dilepas. Hal ini dimaksudkan agar parasitoid yang “merugikan” tidak cepat keluar dari bibit kutu lak tersebut. Biasanya parasitoid tersebut akan muncul pada minggu ke-4 sampai ke-8. Setelah itu, cabang-cabang yang telah ditulari dijaga. Menjelang munculnya nimfa yaitu sekitar 22 minggu setelah penularan, lak yang terbentuk pada cabang dari masing-masing tanaman inang segera dipanen. Selanjutnya lak pada cabang (stick lac) ditimbang. Kemudian, lak cabang tersebut dikeruk untuk dijadikan lak butiran (grain lac) dan selanjutnya kotoran dari kulit dibersihkan. Lak butiran yang diperoleh ditimbang untuk mengetahui produksi butiran lak. Lak cabang dan lak butiran disajikan pada Gambar 1. Data produksi lak (cabang dan butiran) diolah untuk memperolah nilai ratarata. Selanjutnya data hasil olahan disajikan dalam grafik histogram. HASIL DAN PEMBAHASAN Tanaman yang diinokulasi dengan bibit kutu lak dapat mendukung kehidupan kutu lak tersebut. Hal ini diketahui dengan dihasilkannya resin lak yang merupakan wujud dari pertumbuhan kutu muda menjadi dewasa. Berdasarkan penampilan visualnya,
Rostaman dan Bambang Sugeng Suryatna: Evaluasi Kualitas Populasi Kutu Lak
A.
B.
Gambar 1. Lak, hasil sekresi kutu lak pada tanaman inangnya. A. Lak batang; B. Lak butiran lak pada kosambi lebih tebal dibandingkan pada dua jenis tanaman lainnya. Berdasarkan hasil penimbangan lak menunjukkan bahwa jenis tanaman inang dan jenis bibit berpengaruh terhadap produksi lak cabang dan lak butiran. Produksi lak tersebut Nampak terlihat jelas pada Gambar 2 dan 3. Produksi lak pada tanaman kosambi sekitar dua kali lebih tinggi dibandingkan pada dua jenis tanaman kabesak. Hal ini diduga karena kualitas nutrisi dan habitat tanaman kosambi cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan kutu lak. Tanaman kosambi tumbuh hijau sepanjang musim
karena mempunyai daya adaptasi yang tinggi pada kondisi tanah dan iklim lokal. Kondisi ini memungkinkan produksi fotosintat yang ditranslokasikan ke semua bagian tanaman termasuk ke cabang-cabang yang ditempati kutu relatif stabil. Kondisi menghijau juga memberikan proteksi diri dari pencahayaan dan hujan yang tinggi, memungkinkan pertumbuhan individu kutu dan populasinya tidak banyak terganggu. Kutu lak mempunyai ukuran yang kecil sekali itu peka terhadap intensitas cahaya matahari yang tinggi yang dapat menyebabkan kehilangan air dari tubuhnya (dehidrasi).
73
J. Entomol. Indon., September 2009, Vol. 6, No.2, 70-76
,
1092,0 ,
, , ,
, ,
512,0 ,
,
, ,
, ,
Gambar 2. Berat rata-rata lak cabang yang dihasilkan oleh kutu lak pada tiga jenis tanaman inang yang diinokulasi dengan bibit tunggal dan ganda ,
,
, , , , ,
, ,
,
, ,
, ,
Gambar 3. Berat rata-rata lak butiran yang dihasilkan oleh kutu lak pada tiga jenis tanaman inang yang diinokulasi dengan bibit tunggal dan ganda Kondisi yang berbeda terjadi pada tanaman kabesak hitam dan kabesak putih. Kedua jenis tanaman kabesak ini tidak serimbun kosambi, karena mempunyai cabang/ranting juga sedikit, jumlah daun yang mendukung aktivitas fotosintesis relatif rendah, terutama pada musim kering karena banyak
74
berguguran. Habitat tanaman inang ini boleh jadi kurang sesuai bagi kutu lak, karena tidak memberikan cukup nutrisi untuk perkembangan kutu dan tidak memberikan perlindungan diri dari lingkungan fisik. Cabang yang ditempati kutu banyak yang lemah, dan sebagian mati. Ini boleh jadi disebab-
Rostaman dan Bambang Sugeng Suryatna: Evaluasi Kualitas Populasi Kutu Lak
kan karena produksi fotosintat sedikit dan fotosintat yang ditranslokasikan ke bagian batang juga sedikit sehingga tidak mampu membantu penyembuhan luka (recovery) pada bagian itu akibat aktivitas pemakanan. Moran (2004) menyitir beberapa pustaka dan menyebutkan bahwa kualitas tanaman inang berpengaruh terhadap penampilan serangga yaitu kemampuan serangga untuk berkembang dan bereproduksi. Faktor biokimia terutama kadar protein dalam tanaman merupakan faktor kunci bagi pertumbuhan herbivor. Kondisi tanaman yang tertekan dapat mengubah nutrisi tanaman dan berpengaruh terhadap aktivitas pemakanan oleh herbivora. Ditinjau dari segi produksi, maka kosambi merupakan tanaman inang pilihan utama dalam produksi lak. Ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan Mulyono & Intari (1995). Oleh karena itu, pembudidayaan kosambi merupakan hal yang mutlak harus dilakukan. Keberadaannya pada hutan perlu dilestarikan untuk menjamin produksi yang berkesinambungan (sustainable production). Kelemahan tanaman kabesak yaitu berduri; seringkali menyulitkan pemanenan. Namun, ditinjau dari sudut pandang ekologi, tanaman kabesak merupakan inang alternatif yang dapat menjamin kelangsungan hidup spesies kutu lak di alam dan merupakan sumber daya
yang dapat dimanfaatkan untuk produksi bibit dan juga lak. KESIMPULAN Tanaman inang mempengaruhi kualitas populasi kutu lak. Kualitas populasi ini ditunjukkan dengan produksi lak. Kosambi merupakan inang yang terbaik untuk perkembangan kutu lak karena menghasilkan lak yang paling banyak. Tanaman kabesak yang banyak tumbuh di daerah kering dapat dijadikan inang alternatif bagi kelangsungan hidup kutu lak. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Direktur DP2M Dikti Jakarta yang telah memberikan dana penelitian melalui Hibah Bersaing pada tahun 2003-2004. DAFTAR PUSTAKA Amwack CS, Leather SR. 2002. Host plant quality and fecundity in herbivorous insects. Annu. Rev. Entomol 74 : 817-844. Bahar H, Islam T. & Islam M. 2007. Evaluation of lac cultivation in two Southwestern Districts in Bangladesh. In “Utilisation of diversity in land use systems: Sustainable and organic approaches to meet human needs”. Tropentag, October 9-11, 2007, Witzenhausen (abstract). Kalshoven LGE. 1981. Pests of Crops in Indonesia. PT Ichtiar Baru-van Hoeve, Jakarta. 710 p.
75
J. Entomol. Indon., September 2009, Vol. 6, No.2, 70-76
Price PW. 1997. Insect Ecology. Third Edition. John Wiley and Sons, Inc, New York. 847 p. Scriber JM, Slansky F. 1981. The nutriational ecology of immature insects. Annu rev. Entomol 26: 183-211. Sallata K, Widyana IM. 2005. Growing lac insects for resin in an agroforestry system in Indonesia. APANews 26 : 9, 11. Sharma KK, Jaiswal AK, Kumar KK. 2006. Role of lac culture in biodiversity conservation: issues at stake and conservation strategy. Current Science 91 (7) : 894-898. Suryatna BS, Rostaman, Cunha T. 2003. Studi biologi kutu lak (Laccifer Lacca Kerr.), budidaya dan penanganan pascapanen lak di Pulau Alor dan Kupang. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Dikti. Universitas Nusa Cendana Kupang. _____________________
Metcalf CL, Flint WP. 1983. Destructive and Useful Insects; their habits and control. McGraw Hill, New Delhi. 1087 pp. Moran JP. 2004. Feeding by waterhyacinth weevils (Neochetina spp.) (Coleoptera: Curculionidae) in relation to site, plant biomass, and biochemical factors. Environ. Entomol. 33(2): 346-355. Mulyono AD, Intari SE. 1995. Jenis pohon inang kutu lak di BKPH Taman dan Sukapura KPH Probolinggo Jawa Timur. Duta Rimba 185-186/XX : 15-20. Price PW. 1992. Plant resources as the mechanistic basis for insect herbivore population dynamics. In: M.D. Hunter, T. Ohgushi & P.W. Price (eds), Effect of Resource Distribution in Animal-Plant Interaction. Academic Press, New York. pp: 139-173.
76