EFISIENSI ENERGI DAN UJI KINERJA PROTOTIPE ALAT PENYULINGAN MINYAK NILAM
Oleh:
IVON WIDIAHTUTI F 34104028
2008 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
IVON WIDIAHTUTI. F 34104028. Efisiensi Energi dan Uji Kinerja Prototipe Alat-alat Penyulingan Minyak Nilam. Dibawah bimbingan : Meika Syahbana Rusli dan Ade Iskandar. 2008. RINGKASAN Minyak atsiri merupakan salah satu komoditas pertanian yang potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Salah satu minyak atsiri Indonesia yang paling penting adalah minyak nilam. Nilai ekspor minyak nilam selalu meningkat, tahun 2001 mencapai US $ 52,97 juta atau 4,4 % nilai ekspor minyak atsiri Indonesia. Indonesia pemasok utama minyak nilam dunia (90 %). Sementara kebutuhan minyak nilam dunia berkisar 1.500 ton/tahun dengan pertumbuhan 5 %. Kualitas terna nilam tidak cukup untuk menghasilkan minyak nilam dengan mutu tinggi dan ekonomis. Sebagian minyak nilam masih diproduksi dengan alat sederhana sehingga mutu dan efisiensi serta produktifitasnya belum optimal. Oleh karena itu, perlu adanya modernisasi alat produksi seperti prototipe. Penyulingan minyak nilam ada dua cara yaitu penyulingan uap dan air dan penyulingan dengan uap langsung. Proses penyulingan minyak atsiri dapat dipercepat dengan menaikkan suhu dan tekanan. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan metode penyulingan dengan peningkatan tekanan secara bertahap 0,5 bar; 1 bar; dan 1,5 bar. Proses penyulingan dilakukan selama 6 jam. Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar peralatan penyulingan skala IKM terutama boiler, ketel suling, dan separator, masih memiliki kinerja yang rendah. Kinerja boiler skala IKM (Industri Kecil Menengah) serta prototipe boiler didasarkan atas beberapa parameter seperti luas permukaan pindah panas, fenomena penyalaan api, kestabilan nyala api, kesempurnaan proses pembakaran kayu, dan jumlah bahan bakar. Jumlah nilam yang disuling 154,5 kg untuk penyulingan IKM dan 120 kg untuk penyulingan prototipe. Jumlah kayu bakar yang digunakan pada penyulingan skala IKM sebanyak 173,49 kg dan 98,38 kg dalam penyulingan prototipe. Luas permukaan pindah panas di boiler skala IKM lebih kecil yaitu sebesar 1,63 m² sedangkan pada prototipe boiler sebesar 14,40 m². Energi masukan (energi kayu) pada boiler skala IKM sebesar 3.365,98 MJ dan energi keluarannya (energi uap air) sebesar 1.141,66 MJ. Energi masukan pada prototipe boiler sebesar 1.908,66 MJ dan energi keluarannya sebesar 1.480,93 MJ. Berdasarkan data-data tersebut, prototipe boiler dapat menghasilkan uap air dengan optimal. Selain itu, penggunaan bahan bakar dan lama waktu penyulingan semakin efisien pada sistem penyulingan prototipe. Kinerja ketel suling dapat dinilai dari beberapa parameter seperti : kerapatan nilam di dalam ketel, fenomena penetrasi uap, kemampuan ketel mempertahankan panas, dan ada atau tidaknya kebocoran pada ketel suling. Kerapatan nilam pada skala IKM lebih tinggi daripada kerapatan nilam prototipe (0,074 kg/liter) yaitu sebesar 0,154 kg/liter. Total kehilangan panas pada ketel skala IKM sebesar 59,02 MJ sedangkan pada prototipe ketel kehilangan panasnya hanya sebesar 39,41 MJ. Kehilangan panas yang besar pada ketel skala IKM disebabkan luas permukaan dinding ketel yang tidak terlindungi penahan panas
sangat besar dan adanya kebocoran. Kerapatan bahan yang terlalu tinggi juga menyebabkan uap dalam ketel skala IKM tidak dapat berpenetrasi secara optimal. Kinerja kondensor dinilai berdasarkan beberapa parameter seperti : luas penampang pindah panas kondensor, banyaknya air pendingin yang digunakan, suhu destilat dan laju destilat. Air pendingin yang digunakan dalam penyulingan prototipe sama seperti pada skala IKM sebesar 6.163,2 liter. Laju destilat yang dicapai skala IKM sebesar 0,26 liter/kg bahan jam jauh lebih kecil dari penyulingan prototipe sebesar 0,63 liter/kg bahan jam. Energi yang dilepas kondensor skala IKM sebesar 801,06 MJ sedangkan pada prototipe sebesar 1.336,27 MJ. Suhu akhir destilat yang dihasilkan dari penyulingan skala IKM sebesar 35,91 °C dan suhu destilat penyulingan prototipe sebesar 31,17 °C. Efisiensi boiler skala IKM sebesar 33,92 % sedangkan efisiensi boiler 77,59 %. Efisiensi ketel suling skala IKM sebesar 94,75 % sedangkan efisiensi prototipe ketel suling memiliki efisiensi 97,20 %. Efisiensi kondensor skala IKM sebesar 75,62 % sedangkan efisiensi prototipe kondensor sebesar 98,57 %. Efisiensi separator kedua sistem penyulingan tersebut tidak dibuat secara persentase, melainkan dinilai dari banyaknya jumlah alat bantu pemisahan minyak selain separator. Kualitas minyak yang diperoleh baik dari sistem penyulingan skala IKM dan sistem penyulingan prototipe hampir sama. Namun waktu untuk perolehannya lebih singkat yaitu selama 6 jam. Dengan demikian, penggunaan peralatan prototipe dapat meningkatkan produktivitas penyulingan minyak nilam tanpa mengubah komponen di dalam minyak secara signifikan kecuali pada perlakuan tekanan 1,5 bar. Pada tekanan tersebut, mutu minyak nilam tidak memenuhi SNI. Oleh karena itu, perlakuan tekanan yang diterapkan pada proses peyulingan sebaiknya < 1,5 bar. Kadar Patchouli alcohol hasil penyulingan skala IKM dengan prototipe hampir sama yaitu sebesar 35,54 % dan 34,45 %.
IVON WIDIAHTUTI. F 34104028. Energy Efficiency and Performance Test of Distillation Equipments Prototype of Patchouli Oil. Supervised by : Meika Syahbana Rusli and Ade Iskandar. 2008. SUMMARY
Essential oil is potential export commodity for Indonesia. Patchouli oil is the most important essential oil exported from Indonesia. The good quality of Patchouli oil is produced from the highest quality of Pogostemon plants (Pogostemon cablin Benth). The quality leaves are not enough to produce high quality of Patchouli oil economically. Distillation equipments must be able to produce high quality and yield of oil with reasonable production cost. Because of that, the distillation equipment prototypes must have optimum performances, so that the efficiencies of production can be increased. There are two methods for Patchouli oil distillation namely, water and steam distillation and direct steam distillation. Essential oils distillation process is influenced by using pressure vessel. Therefore, three stages increased distillation pressure of 0,5 bar; 1 bar; and 1,5 bar (pressure gauge) were applied in this experiment. This distillation process conducted for 6 hours. Based on the result of research, most of distillation equipments in IKM (Small Medium Industries) have low performance. IKM distillation equipments consist of furnace and boiler, retort, condenser, and separator. Performances of both furnace and boiler in IKM or prototypes distillation system were based on some parameters like the surface area of heat transfer, flame stability, the burning process, and the usage of fuels (fire woods). Patchouli leaves were 154,5 kg for IKM distillation and 120 kg for prototypes distillation. IKM distillation process used fire woods 173,49 kg and 98,38 kg for prototypes distillation process. The surface area of heat transfer on boiler of IKM is lower than boiler prototype. The surface area of heat transfer on boiler of IKM is 1,63 m². The wide surface of heat transfer on boiler prototype is 14,40 m². Input energy (fire wood energy) of boiler in IKM scale was 3.365,98 MJ and its output energy (steam energy) was 1.141,66 MJ. Input energy of boiler prototype was 1.908,66 MJ and its output energy was 1.480,93 MJ. According to the data, furnace and boiler prototype can produce steam optimally. Besides of that, the consumption of fuels and the duration of prototype distillation process were more efficient. Retort performance was based on several parameters like density in the retort, steam distribution, retort capability for heat saving, and leakage factor in retort. Patchouli density in IKM retort is higher than prototype retort. Patchouli density for IKM retort is 0,154 kg/liter. Patchouli density for prototype retort is 0,074 kg/liter. Accumulation of heat losses for IKM retort is 59,02 MJ. Accumulation of heat losses for retort prototype is 39,41 MJ. The high heat losses in IKM retort due to the fact that. The retort wall does not have any insulator and the steam leakage in retort through seal system. The high density result in the steam can not penetrate optimally.
Condenser performance based on several parameters like the wide surface of heat transfer, the quantities of cooling water, distillate temperature, and the rate of distillate. The amount of cooling water for prototype distillation process was the same as cooling water for IKM distillation process 6.163,2 liter. The distillation rate per hour in IKM distillation system can reach 0,26 liter/kg raw material. It was lower than for prototype distillation process 0,63 liter/kg raw material. Condenser in IKM can transfer of heat 801,06 MJ. While condenser prototype transfers 1.336,27 MJ of heat. Average distillate temperature from IKM distillation system was 35,91 °C and average distillate temperature from prototypes distillation system was 31,17 °C. Efficiency of boiler in IKM was 33,92 % and efficiency of boiler prototype was 77,59 %. Efficiency of IKM retort was 94,75 % and efficiency of retort prototype was 97,20 %. Efficiency of IKM condenser was 75,62 % and efficiency of condenser prototype was 98,57 %. The oil quality both of IKM distillation system and prototypes distillation system were almost the same. However, prototypes distillation system need shorter time than IKM distillation system to accomplish the process. Thus, the usage of prototype equipments can increase the productivities of Patchouli oil distillation without component decompositions except in 1,5 bar treatment. In 1,5 bar treatment, the qualities of Patchouli oil was not compliance with SNI value. Because of improper qualities Patchouli oil with SNI, the treatment was much better if it was used not more than 1,5 bar in distillation process. Patchouli alcohol content from IKM distillation system is 35,54 % and patchouli alcohol content from prototype distillation system is 34,45 %. Both of them have almost the same patchouli alcohol content.
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
EFISIENSI ENERGI DAN UJI KINERJA PROTOTIPE ALAT-ALAT PENYULINGAN MINYAK NILAM
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh IVON WIDIAHTUTI F 34104028
Dilahirkan pada tanggal 29 November 1985 di Jakarta
Tanggal lulus : 12 Desember 2008
Menyetujui, Bogor,
Dosen Pembimbing I,
Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli, M. Sc NIP. 131 841 750
Januari 2009
Dosen Pembimbing II,
Ir. Ade Iskandar, M. Si NIP. 131 788 584
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul : ”Efisiensi Energi dan Uji Kinerja Prototipe Alat Penyulingan Minyak Nilam” adalah karya asli saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang jelas ditunjukkan rujukannya.
Bogor, 12 Desember 2008 Yang memberi pernyataan
Ivon Widiahtuti F 34104028
BIODATA
Penulis bernama lengkap Ivon Widiahtuti. Penulis lahir pada tanggal 29 November 1985 di Jakarta. Penulis adalah putri sulung dari ayah bernama Achmad Amin dan ibu bernama Dyah Bandiah. Pendidikan formal penulis dimulai di Taman Kanak-kanak Barunawati, Jakarta Utara pada tahun 1990. Pendidikan Sekolah Dasar penulis dimulai tahun 1992 di SD Negeri Pamulang I, Tangerang, Banten. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasarnya pada tahun 1998 dan melanjutkan ke SLTP Negeri I Pamulang. Pada tahun 2001, penulis menyelesaikan studinya di SLTP Negeri I Pamulang. Kemudian penulis melanjutkan studinya di SMU Negeri 47 Jakarta, Jakarta Selatan dari tahun 2001 sampai 2004. Tahun 2004 penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih program studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Pada tahun 2006/2007 penulis aktif di Organisasi HIMALOGIN sebagai staff sekretariat dan administrasi. Selama mengikuti perkuliahan di semester delapan tahun 2008, penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah Teknologi Minyak Atsiri dan Fitofarmaka, Teknologi Pati dan Gula, dan Peralatan Industri. Penulis pernah melakukan kegiatan praktek lapang di PT Teh Tambi, Wonosobo dalam rangka menyelesaikan Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Berdasarkan praktek lapang yang telah dilakukan, penulis menyusun laporan praktek lapang dengan judul Mempelajari Teknologi Proses Produksi dan Penyediaan Bahan Baku dan Bahan Bakar dalam Produksi Teh Hitam di Tambi. Kemudian penulis menulis skripsi dengan judul “Efisiensi Energi dan Uji Kinerja Prototipe Alat Penyulingan Minyak Nilam” di bawah bimbingan Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli, MSc dan Ir. Ade Iskandar, Msi dan dinyatakan lulus pada tanggal 12 Desember 2008.
KATA PENGANTAR
Pertama-tama penulis memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan kelancaran dan kemudahan dalam penelitian serta penulisan skripsi ini. Tema penelitian penulis terkait dengan penyulingan minyak atsiri, dengan judul “Efisiensi Energi dan Uji Kinerja Prototipe Alat Penyulingan Minyak Nilam”. Penelitian dilakukan di laboratorium METATRON, IPB. Penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ibu, ayah, adik, dan seluruh keluarga besar penulis, atas dukungan, doa, dan kasih sayang. 2. Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli, M. Sc. selaku dosen pembimbing akademik ke-1 yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan dukungan selama masa perkuliahan hingga akhir penyelesaian tugas akhir. 3. Dr. Ade Iskandar, M. Si. selaku dosen pembimbing akademik ke-2 yang telah memberi arahan, bimbingan, dan dukungan selama pelaksanaan penelitian. 4. Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS, atas masukan dan kesediaannya sebagai dosen penguji skripsi ini. 5. Tim prototipe yaitu Danar, Fina, Kak Hari, Bu Ros, Mbak Tutik, dan Mbak Yus atas segala bantuan yang telah diberikan selama ini. 6. Para Laboran dan Teknisi, “Terima kasih atas kerja sama serta berbagi ilmu yang terkait dengan penelitian ini”. 7. Akhiku, yang selalu mengajarkan untuk bersabar. 8. Sahabat-sahabatku Novi, Jo, Ira, Irawan, Asif, Wahyu, Yuyun, Darto, Nova, yang memberi ini motivasi dan semangat. 9. Seluruh teman-teman TIN 41 yang tidak dapat penulis sebutkan, “Terima kasih atas kebersamaannya selama ini”. Penulisan skripsi ini mungkin belum sempurna. Penulis mengharapkan kritik dan saran untuk lebih menyempurnakan penulisan skripsi penulis. Penulisan skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat dan menjadi penambah wawasan bagi pembacanya. Bogor, Desember 2008
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR .................................................................................... i DAFTAR TABEL .......................................................................................... v DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. viii
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG........................................................................... 1 B. TUJUAN ............................................................................................... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA A. TANAMAN NILAM ............................................................................ B. MINYAK NILAM ................................................................................ C. PROSES PENYULINGAN ................................................................... 1. Sifat Termal Uap ............................................................................... 2. Pindah Panas ..................................................................................... D. PERALATAN PENYULINGAN ......................................................... 1. Ketel Uap (Boiler) ............................................................................. 2. Ketel Suling....................................................................................... 3. Kondensor ......................................................................................... 4. Pemisah Minyak (Separator) ............................................................. 5. Bahan Peralatan Penyulingan ............................................................ III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT ........................................................................... 1. Bahan dan Alat Uji Kinerja serta Efisiensi Sistem Penyulingan ...... a. Bahan ............................................................................................. b. Alat ................................................................................................ 2. Bahan dan Alat Uji Mutu Minyak Hasil Penyulingan ...................... a. Bahan ............................................................................................. b. Alat ................................................................................................ B. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN .............................................. C. METODE PENELITIAN ...................................................................... 1. Penelitian Pendahuluan ..................................................................... a. Studi Kinerja Penyulingan Minyak Nilam IKM ........................... b. Uji Kosong Prototipe Alat Penyulingan ........................................ 2. Penelitian Utama ............................................................................... a. Analisa Kadar Air dan Kadar Minyak Nilam ................................ b. Proses Penyulingan Minyak Nilam ............................................... c. Pembandingan Efisiensi Peralatan Penyulingan Skala IKM dengan Prototipe............................................................................
3 3 6 8 9 10 10 12 12 13 14
15 15 15 15 17 17 17 18 18 18 18 22 22 23 24 28
ii
d. Pemurnian Minyak Hasil Penyulingan.......................................... 28 e. Analisa Mutu Minyak Hasil Penyulingan IKM dengan Prototipe 29 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. STUDI KINERJA PENYULINGAN MINYAK NILAM IKM ........... 30 1. Kondisi Proses dan Disain Alat Penyulingan IKM Secara Umum ... 30 2. Kinerja dan Efisiensi Disain Alat Penyulingan IKM ........................ 30 a. Boiler Skala IKM .......................................................................... 30 b. Ketel Suling Skala IKM ................................................................ 35 c. Kondensor Skala IKM ................................................................... 39 d. Separator Skala IKM ..................................................................... 41 3. Kinerja dan Efisiensi Alat Penyulingan Berdasarkan Proses ............ 42 a. Boiler Skala IKM .......................................................................... 42 b. Ketel Suling Skala IKM ................................................................ 43 c. Kondensor Skala IKM ................................................................... 47 B. UJI KOSONG PROTOTIPE ALAT PENYULINGAN ........................ 49 C. PENELITIAN UTAMA ........................................................................ 50 1. Analisa Kadar Air dan Kadar Minyak .............................................. 50 2. Proses Penyulingan Minyak Nilam ................................................... 51 a. Kinerja Prototipe Alat Penyulingan Berdasarkan Disain .............. 51 b. Kinerja Prototipe Alat Penyulingan Berdasarkan Proses .............. 62 c. Efisiensi Energi Prototipe Alat Penyulingan ................................. 68 3. Pembandingan Efisiensi Peralatan Penyulingan Skala IKM dengan Prototipe ............................................................................................ 72 a. Pembandingan Efisiensi Boiler Skala IKM dengan Prototipe ...... 72 b. Pembandingan Efisiensi Ketel Suling Skala IKM dengan Prototipe ........................................................................................ 74 c. Pembandingan Efisiensi Kondensor Skala IKM dengan Prototipe ........................................................................................ 76 d. Pembandingan Efisiensi Separator Skala IKM dengan Prototipe . 77 e. Pembandingan Efisiensi Proses Penyulingan Secara Keseluruhan................................................................................... 78 4. Pemurnian Minyak Hasil Penyulingan.............................................. 82 5. Pembandingan Mutu Minyak Hasil Penyulingan IKM dengan Prototipe ............................................................................................ 82 a. Pembandingan Rendemen Minyak Hasil Penyulingan Berdasarkan Tekanan dalam Ketel Suling ......................................................... 84 b. Pembandingan Warna Minyak Nilam ........................................... 86 c. Pembandingan Indeks Bias ........................................................... 88 d. Pembandingan Bobot Jenis ........................................................... 89 e. Pembandingan Putaran Optik ........................................................ 91 f. Pembandingan Bilangan Asam ..................................................... 92 g. Pembandingan Kelarutan Alkohol 90 % ....................................... 94 h. Pembandingan Bilangan Ester ...................................................... 94 i. Pembandingan Kadar Patchouly Alcohol ..................................... 95 j. Analisa α-copaene dan Besi (Fe) ................................................... 96
iii
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ........................................................................................... 98 B. Saran ...................................................................................................... 99 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 101 LAMPIRAN .................................................................................................... 104
iv
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Komponen-komponen terpen-O dalam minyak nilam ............................ 5 2. Persyaratan mutu minyak atsiri ............................................................... 6 3. Data luas permukaan pindah panas dan uap air yang dihasilkan penyulingan IKM ................................................................................... 33 4. Keterkaitan luas permukaan pindah panas dengan kehilangan panas ketel ........................................................................................................ 37 5. Kebutuhan kayu bakar terhadap jumlah uap air yang terbentuk ............ 43 6. Keterkaitan tingkat kerapatan bahan dengan laju destilat ...................... 45 7. Kehilangan energi di ketel suling skala IKM ......................................... 46 8. Data luas permukaan pindah panas boiler dan uap air yang dihasilkan dalam prototipe penyulingan .................................................................. 52 9. Pengaruh penggunaan glasswool terhadap total kehilangan panas ........ 58 10. Keterkaitan jumlah kehilangan panas dengan luas permukaan pindah panas ketel .............................................................................................. 58 11. Data efisiensi energi dalam prototipe boiler .......................................... 63 12. Pengaruh penggunaan glasswool terhadap efisiensi prototipe ketel ...... 70 13. Perbedaan penggunaan boiler skala IKM dengan prototipe boiler........ 73 14. Perbandingan efisiensi ketel skala IKM dengan prototipe ..................... 75 15. Perbandingan efisiensi kondensor skala IKM dengan prototipe ............ 76 16. Perbedaan mutu minyak hasil skala IKM dengan prototipe .................. 84
v
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Tanaman nilam ........................................................................................... 3 2. Skema peralatan penyulingan .................................................................... 15 3. Alur kegiatan penelitian utama .................................................................. 23 4. Skema pemurnian minyak nilam................................................................ 29 5. Sketsa disain boiler skala IKM (tampak depan) ........................................ 31 6. Fenomena pemasakan air dalam boiler IKM (tampak depan) ................... 32 7. Sirkulasi oksigen dalam tungku skala IKM (tampak atas) ........................ 34 8. Fluktuasi jumlah destilat terhadap waktu ................................................... 35 9. Ketel suling skala IKM .............................................................................. 36 10. Fluktuasi kehilangan panas pada ketel suling skala IKM .......................... 38 11. Fenomena arah penetrasi uap dalam ketel IKM ......................................... 39 12. Separator skala IKM .................................................................................. 41 13. Fenomena jalur uap dalam ketel skala IKM .............................................. 44 14. Efisiensi energi kondensor IKM ................................................................ 48 15. Akumulasi destilat terhadap lama waktu proses penyulingan skala IKM . 49 16. Sketsa boiler prototipe (tampak depan) ..................................................... 51 17. Sirkulasi udara dalam tungku dengan blower (tampak samping) .............. 53 18. Kestabilan tekanan uap air dalam prototipe boiler .................................... 54 19. Fenomena aliran uap prototipe ketel suling ............................................... 56 20. Perbandingan kehilangan panas di dinding ketel prototipe dengan IKM .. 57 21. Pengaruh penggunaan glasswool terhadap kehilangan panas dinding ketel prototipe ..................................................................................................... 58 22. Perbandingan kehilangan panas di tutup dan bodem ketel ........................ 60 23. Disain prototipe separator .......................................................................... 61 24. Fenomena penetrasi uap tanpa rat hole ...................................................... 63 25. Pengaruh peningkatan tekanan terhadap total kehilangan panas ketel ...... 65 26. Hubungan peningkatan tekanan terhadap kehilangan panas di tiap bagian ketel ............................................................................................................ 66 27. Suhu air pendingin di prototipe bak pendingin .......................................... 67
vi
28. Hubungan akumulasi destilat terhadap peningkatan tekanan ketel............ 68 29. Efisiensi prototipe boiler ............................................................................ 69 30. Efisiensi prototipe ketel.............................................................................. 71 31. Efisiensi prototipe kondensor..................................................................... 72 32. Neraca energi proses penyulingan IKM ..................................................... 80 33. Neraca energi proses penyulingan prototipe .............................................. 81 34. Daun dan batang nilam kering ................................................................... 83 35. Pengaruh peningkatan tekanan terhadap jumlah minyak ........................... 86 36. Perbandingan minyak hasil penyulingan skala IKM dengan prototipe ..... 87 37. Perbandingan minyak nilam per tahapan tekanan ...................................... 87 38. Hubungan peningkatan tekanan terhadap nilai indeks bias minyak nilam 89 39. Hubungan peningkatan tekanan terhadap nilai bobot jenis minyak nilam 90 40. Hubungan peningkatan tekanan terhadap nilai putaran optik .................... 92 41. Hubungan peningkatan tekanan terhadap bilangan asam .......................... 93 42. Hubungan peningkatan tekanan terhadap bilangan ester ........................... 95 43. Pengaruh tekanan bertahap terhadap kadar Patchouly alcohol.................. 96
vii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Data-data yang diukur di penyulingan IKM ....................................... 104 2. Form data-data di penyulingan Prototipe ............................................. 110 3. Perhitungan efisiensi dan kehilangan energi ........................................ 117 4. Prosedur analisis karakterisasi minyak atsiri ....................................... 128 5. Analisa kadar air dan kadar minyak ..................................................... 134 6. Hasil analisa mutu minyak nilam skala IKM dengan prototipe ........... 135 7. Gambar peralatan penyulingan ............................................................ 137 8. Hasil uji gas chromatography .............................................................. 139
viii
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki kekayaan alam berupa flora dan fauna yang sangat beragam. Diantara keragaman flora tersebut terdapat tanaman-tanaman yang mengandung minyak atsiri dan tanaman yang menjadi bahan baku dalam pembuatan produk di berbagai industri. Berdasarkan perkembangan industri minyak atsiri di dunia, tanaman yang sangat potensial sebagai tanaman penghasil minyak atsiri adalah tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth). Kebutuhan minyak nilam di pasar dunia semakin meningkat sesuai dengan peningkatan penggunaannya di industri kosmetik, obatan-obatan, dan antibiotik. Penggunaan minyak nilam di industri kosmetik dipusatkan sebagai bahan fiksatif dalam pembuatan parfum. Nilai ekspor minyak nilam selalu meningkat, tahun 2001 mencapai US $ 52,97 juta atau 4,4 % nilai ekspor minyak atsiri Indonesia. Indonesia pemasok utama minyak nilam dunia (90 %). Sementara kebutuhan minyak nilam dunia berkisar 1.500 ton/tahun dengan pertumbuhan 5 % (Ferry dan Emmyzar, 2004). Oleh karena itu, peluang pasar minyak nilam bagi Indonesia masih cukup besar. Hal tersebut merupakan salah satu peluang Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya para petani dan penyuling nilam serta meningkatkan devisa negara. Pada umumnya minyak nilam yang dihasilkan para petani dan penyuling di Indonesia masih perlu ditingkatkan baik dari segi kualitas maupun produktivitas serta efisiensi produksi. Peningkatan produktivitas minyak nilam dapat dilakukan dengan memperhatikan kinerja sistem penyulingan dalam proses produksi minyak nilam yang terkait dengan disain alat-alat penyulingan. Peningkatan kualitas minyak nilam dapat dilakukan dengan pengendalian dan pengontrolan selama proses produksi minyak nilam. Proses produksi yang efisien tentunya dapat meningkatkan keuntungan dan mengurangi biaya produksi. Pengefisienan dalam produksi minyak nilam dapat dilakukan dengan penggunaan bahan bakar (kayu bakar) dan air pendingin yang hemat serta waktu penyulingan singkat. Penelitian mengenai
1
efisiensi waktu penyulingan telah dilakukan oleh Lesmayanti (2004). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, proses penyulingan dengan tekanan bertahap terbukti dapat mengefisienkan waktu penyulingan.
B. Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini yaitu meningkatkan kinerja dan efisiensi sistem penyulingan minyak nilam agar mendapatkan rendemen yang tinggi dengan kualitas yang cukup baik. Tujuan khusus dari penelitian ini yaitu : 1. Menentukan faktor-faktor penentu kinerja dan efisiensi proses pada prototipe minyak penyulingan. 2. Menentukan keterkaitan disain alat dan disain proses dengan kinerja dan efisiensinya pada suatu prototipe sistem penyulingan.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA A. TANAMAN NILAM Nilam (Pogostemon sp) termasuk famili Labiateae. Indonesia memiliki tiga jenis nilam yaitu nilam Aceh (P. cablin BENTH), nilam Jawa (P. heyneanus), dan P. hortensis. Namun, kebanyakan nilam yang dibudidayakan adalah nilam Aceh. Hal ini dikarenakan nilam Aceh memiliki kadar minyak dan kualitas yang lebih tinggi (Nuryani dan Sutjihno, 1994). Tanaman nilam merupakan tumbuhan semak dengan tinggi 0,3 sampai dengan 3,0 meter, pada daerah yang memiliki curah hujan 2.300 – 3.000 mm/tahun (Ketaren, 1985). Menurut Santoso (1990), tanaman nilam dapat tumbuh subur pada jenis tanah regosol, latosol, dan aluvial. Tanah-tanah tersebut memiliki tekstur lempung berpasir, pH 6-7, dan tidak tergenang air. Berikut ini gambar tanaman nilam.
Gambar 1. Tanaman Nilam Panen pertama dilakukan terhadap tanaman nilam yang telah berumur 4 – 5 bulan. Panen berikutnya dilakukan berturut-turut dengan jarak waktu 2 – 3 bulan, sampai tanaman berumur 2 tahun dan harus diremajakan (Harris, 1993). B. MINYAK NILAM Minyak atsiri adalah zat cair yang mudah menguap bercampur dengan persenyawaan padat yang berbeda dalam hal komposisi dan titik cairnya, larut
3
dalam pelarut organik, dan tidak larut dalam air. Berdasarkan sifat tersebut, maka minyak atsiri dapat diekstrak dengan 4 cara, yaitu penyulingan (distillation), pengepresan (expression), ekstraksi dengan pelarut menguap (solvent extraction), dan absorbsi oleh lemak padat (enfleurasi atau maserasi) (Ketaren, 1985). Menurut Dowthwaite dan Rajani (2007), metode yang digunakan untuk memproduksi minyak atsiri yaitu : ekstraksi, pengepresan, dan distilasi. Umumnya metode yang digunakan yaitu penyulingan. Minyak nilam adalah minyak yang diperoleh dari penyulingan daun dan ranting tanaman nilam. Minyak nilam memiliki wangi yang khas, sehingga banyak digunakan sebagai pewangi parfum dan zat fiksatif (pengikat). Selain sebagai fiksatif dalam parfum, daun nilam dapat digunakan sebagai pelembab kulit, untuk pewangi (aroma) masakan atau kue dengan proses oksidasi dan dihidrolisis dengan isogeunolasetat, dan untuk obat anti infeksi (Santoso, 1990). Semua bagian tanaman nilam yaitu akar, batang, dan tangkai daunnya mengandung minyak nilam. Minyak nilam yang berasal dari akar dan batang memiliki nilai berat jenis yang tinggi, mutu, dan rendemen yang rendah bila dibandingkan dengan minyak dan daun, sehingga tidak dapat disuling (Ketaren, 1985). Kandungan minyak nilam terdapat pada waktu tunas mengeluarkan tiga daun pertama. Minyak nilam mengandung komponen-komponen seperti : patchouly alcohol, patchouly camphor, eugenol, benzaldehyde, cinnamic aldehyde, dan cadinene (Santoso, 1990). Kandungan ini tidak bertambah, meskipun daun bertambah lebar. Oleh karena itu, panen pertama dapat dilakukan setelah tumbuh lima pasang daun (Harris, 1993). Berdasarkan komponen kimianya minyak nilam dibagi menjadi dua golongan utama, yaitu golongan terpen dan terpen-O. Komponen-komponen golongan terpen diantaranya α-bulnesen, seychellen, α-patchoulen, dan δkadinen. Komponen-komponen yang termasuk dalam golongan terpen-O disebut juga sebagai komponen-komponen berat diantaranya norpatchoulol, patchouli alkohol, dan pogostol (Manitto, 1981). Komponen-komponen minyak nilam lebih jelas dapat dilihat dalam Tabel 1.
4
Tabel 1. Komponen-komponen terpen dan terpen-O dalam minyak nilam
Komponen
Formula
Persen-
Putaran
tase(%)
Optik
Titik Didih
BM
(°C)
Patchouli alcohol
C15H26O
30
-97,42
280,37
222,4
α-bulnesen
C14H22
17
8,28
242,26
190,3
α-gualen
C14H22O
16
-64,5
242,25
190,3
Seychellen
C16H26
9
-72
259,09
218,4
α-patchoulen
C15H24
5
-
245,23
204,4
β-kariofilen
C15H24
2,8
-
110-119
204,4
β-patchoulen
C15H24
2
-
248,83
204,4
Pogostol
C14H24O
2
-20,2
274,43
208,3
δ-kadinen
C14H22
2
-
246,84
190,3
Norpatchoulenol
C15H26O
1
-
268,88
208,3
Caryophylen
C13H20O
1
-
243,18
192,3
C15H24
0,7
-
117-124
204,4
0,001
-
268,88
208,3
oxide β-elemen
Nortetrapatchoule C14H24O nol Eugenol
C10H12O2
-
-
253
164,3
Benzaldehid
C7H6O6
-
-
178
106,1
Sinnamaldehid
C6H5CH=
-
-
68-80
132,2
CHCHO Sumber : Ardiana (2006)
Menurut Santoso (1990), penyinaran matahari pada daun nilam dapat mempengaruhi warna daun dan kadar minyaknya. Nilam yang terkena sinar matahari langsung maka daunnya berwarna merah kekuningan dan kadar minyaknya tinggi. Nilam yang tidak terkena sinar matahari secara langsung daunnya berwarna hijau dan kadar minyaknya rendah.
5
Mutu minyak nilam tergantung pada kondisi prapanen, saat panen, dan pasca panen. Pasca panen menyangkut masalah warna, bobot jenis, zat asing, dan sebagainya (Santoso, 1990). Minyak nilam hasil sulingan dapat digolongkan menjadi empat jenis mutu yang dibedakan menurut aroma yaitu : 1. Jenis ordinary dan medium, merupakan hasil penyulingan dari Indonesia dan Singapura. 2. Jenis special dan extra special, merupakan hasil penyulingan dari Perancis dan Inggris, di mana penyulingan dilakukan secara tidak langsung dan daun dipilih dahulu (Harris, 1993). Berdasarkan SNI 06-2385-2006 persyaratan mutu minyak nilam ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Persyaratan mutu minyak nilam No. 1. 2. 3. 4.
Karakterisasi Warna
Satuan -
Bobot jenis 25°C/25°C Indeks bias (nD20) Kelarutan dalam etanol 90 % pada suhu 20 °C ± 3 °C
-
Bilangan asam Bilangan ester Putaran optik Patchouli alcohol (C15H26O) 9. Alpha copaene (C15H24) 10. Kandungan besi (Fe) Sumber : SNI 2006
-
5. 6. 7. 8.
-
% % mg/kg
Standar muda –
Kuning coklat kemerahan 0,950 - 0,975 1,507 – 1,515 Larutan jernih atau opalensi ringan dengan perbandingan volume 1 : 10 Maksimal 8 Maksimal 20 (-)48° - (-)65° Minimal 30 Maksimal 0,5 Maksimal 25
C. PROSES PENYULINGAN Penyulingan adalah proses pemisahan komponen yang berupa cairan atau padatan dari dua macam campuran atau lebih, berdasarkan perbedaan titik uapnya. Proses ini dilakukan terhadap minyak atsiri yang tidak larut dalam air (Ketaren, 1985). Menurut Santoso (1990), penyulingan adalah salah satu cara untuk mendapatkan minyak atsiri dengan cara mendidihkan bahan baku yang dimasukkan ke dalam ketel hingga terdapat uap yang diperlukan. Atau dengan
6
cara mengalirkan uap jenuh (saturated or supersaturated) dari ketel pendidih air ke dalam ketel penyulingan. Jumlah minyak yang menguap bersama-sama dengan uap air selama penyulingan ditentukan oleh tiga faktor yaitu : •
Besarnya tekanan uap yang digunakan
•
Berat molekul masing-masing komponen dalam minyak
•
Kecepatan minyak yang keluar dari bahan (Ketaren, 1985) Berdasarkan hasil penelitian Racharto (1992), air merupakan sumber uap
panas pada metode penyulingan dengan uap langsung. Uap panas yang dihasilkan terdapat di dalam ketel uap (boiler) yang letaknya terpisah dari ketel suling. Uap yang dihasilkan adalah uap jenuh atau uap lewat panas (superheated steam) pada tekanan lebih dari 101,304 kPa. Uap dialirkan melalui pipa uap melingkar yang berpori, terletak di bawah bahan dan uap bergerak ke atas melewati bahan yang diletakkan di atas saringan. Pada penyulingan uap, diameter ketel suling lebih kecil dari tingginya. Hal tersebut dimaksudkan untuk memperpanjang waktu kontak bahan dengan uap sehingga akan mempercepat proses penyulingan. Proses penyulingan minyak atsiri dapat dipercepat dengan menaikkan suhu dan tekanan atau dengan menggunakan superheated steam. Namun demikian, hal ini hanya dapat dilakukan terhadap minyak atsiri yang sukar mengalami dekomposisi pada suhu yang lebih tinggi. Minyak atsiri dengan mutu tinggi akan diperoleh dengan proses penyulingan pada suhu rendah atau suhu tinggi dengan waktu yang singkat (Ketaren, 1985). Metode penyulingan yang tepat dan proses yang sesuai diharapkan dapat menghasilkan minyak atsiri yang bermutu tinggi dan rendemen yang tinggi pula. Menurut Guenther dalam Racharto (1992), faktor penting pada proses penyulingan adalah pengaruh suhu (panas). Tekanan pada penyulingan dapat diatasi, akan tetapi suhu uap atau campuran yang menerobos bahan dalam ketel suling dapat berfluktuasi. Pada umumnya minyak atsiri bersifat labil pada suhu tinggi. Minyak bermutu tinggi dapat diperoleh dengan cara penyulingan pada suhu rendah, kemudian perlahan-lahan suhu ditingkatkan.
7
Menurut Guenther dalam Racharto (1992), penyulingan dengan uap langsung sebaiknya dimulai dari tekanan uap yang rendah (sekitar 1 atm), kemudian secara bertahap dinaikkan menjadi kurang lebih 3 atm. Jika permulaan penyulingan dilakukan pada tekanan tinggi, maka komponen kimia dalam minyak akan mengalami dekomposisi. Apabila minyak dalam bahan diperkirakan telah habis tersuling, maka tekanan uap ditingkatkan lagi. Peningkatan tekanan uap tersebut dimaksudkan untuk menyuling komponen minyak yang bertitik didih lebih tinggi. Menurut Dowthwaite dan Rajani (2007), penyulingan terdiri atas : penyulingan air, penyulingan air dan uap, dan penyulingan uap. Penyulingan air yaitu proses penyulingan di mana bahan yang mengandung minyak atsiri mengalami kontak langsung dengan air selama proses penyulingan. Penyulingan air dan uap yaitu proses penyulingan dimana bahan yang mengandung minyak atsiri tidak kontak langsung dengan air selama proses penyulingan. Penyulingan uap yaitu proses penyulingan di mana bahan yang mengandung minyak atsiri tidak kontak langsung dengan air dan uap yang dihasilkan tidak berada satu tempat dengan bahan. Laju penyulingan adalah nilai perbandingan antara jumlah air suling yang dihasilkan dengan waktu (kg destilat/m2 jam). Laju penyulingan harus diatur sesuai dengan diameter ketel dan volume antar ruang bahan. Jika laju penyulingan terlalu rendah, maka uap akan terhenti pada bagian bahan yang padat, sehingga proses ekstraksi minyak tidak dapat berlangsung sempurna. Jika laju penyulingan terlalu cepat maka uap dalam ketel akan keluar melalui bahan dengan membentuk jalur uap (rat hole), serta mengangkut partikel bahan ke dalam kondensor. Laju penyulingan dapat diukur dengan menampung dan menimbang kondensat yang dihasilkan per satuan waktu (Ketaren, 1985).
1. Sifat Termal Uap Menurut Kulshrestha (1989), uap merupakan bagian cairan yang diuapkan dan terdiri dari gas sejati yang masih mengandung partikelpartikel cairan di dalamnya. Partikel-partikel cairan akan teruapkan dengan pemanasan. Uap super panas atau uap panas lanjutan (superheated steam)
8
memiliki sifat-sifat seperti suatu gas di bawah suhu kritisnya. Beberapa metode pemanasan dan ekspansi dari uap adalah sebagai berikut : a. Volume konstan. b. Tekanan dan suhu konstan. c. pv konstan atau hiperbolik. d. pvn konstan. e. Entropi konstan. f. Ekspansi bebas.
2. Pindah Panas Energi dikenal dalam berbagai bentuk, beberapa diantaranya yang dijumpai dalam bidang teknik kimia adalah : energi dalam, energi kinetik, energi potensial, energi mekanis, dan panas. Pengetahuan tentang mekanisme perpindahan panas mutlak diperlukan untuk dapat memahami peristiwa-peristiwa yang berlangsung dalam pemanasan, pendinginan, pendidihan, pengeringan, distilasi, evaporasi, kondensasi, dan lainnya (Utomo, 1984). Menurut Utomo (1984), ada tiga cara perpindahan panas yaitu : •
Secara molekular, disebut konduksi.
•
Secara aliran, disebut konveksi.
•
Secara gelombang, disebut radiasi. Zat yang tidak bergerak, contohnya padatan, panas pindah hanya
secara konduksi. Panas berpindah karena getaran molekul dari satu molekul ke molekul lainnya. Pada fluida terjadi juga konduksi panas, akan tetapi di samping itu panas lebih banyak dipindahkan secara konveksi. Panas di dalam fluida berpindah karena terbawa massa fluida yang bergerak sebagai aliran. Berdasarkan gerakan fluida ada dua cara konveksi, yaitu konveksi alami dan konveksi paksa. Konveksi alami pada fluida disebabkan oleh adanya perbedaan densitas antara beberapa tempat, terkait dengan adanya selisih temperatur antara tempat-tempat itu. Konveksi paksa disebabkan adanya usaha dari luar terhadap fluida, contohnya oleh pompa atau kompresor (Utomo, 1984).
9
Menurut McCabe (2005), perpindahan kalor terjadi apabila dua benda yang memiliki suhu berbeda mengalami kontak, maka kalor akan mengalir dari benda yang bersuhu tinggi ke benda yang bersuhu rendah. Aliran kalor tersebut akan selalu mengarah kepada penurunan suhu. Pengaliran kalor tersebut dapat dibedakan menjadi tiga mekanisme yaitu : konduksi, konveksi, dan radiasi. Perhitungan perpindahan kalor didasarkan atas luas penukaran pemanasan. Bila fluida dipanaskan atau didinginkan, suhu fluida di dalam penampang arus itu akan berbeda-beda. Jika fluida itu sedang mengalami pemanasan, suhu maksimum terdapat pada dinding permukaan pemanas, dan berangsur-angsur ke arah pusat arus. Oleh karena itu diperlukan suhu rata-rata (McCabe, 2005). Perpindahan kalor ke zat cair mendidih merupakan suatu langkah yang perlu dilakukan dalam satuan operasi evaporasi (penguapan) dan distilasi (penyulingan). Kondensasi (pengembunan) uap di atas permukaan tabung yang lebih dingin dari suhu kondensasi uap sangat penting dalam pengolahan uap seperti air, hidrokarbon, atau zat atsiri (mudah menguap) lainnya (McCabe, 2005). D. PERALATAN PENYULINGAN Menurut Ketaren (1985), peralatan yang biasanya digunakan dalam penyulingan terdiri atas : ketel uap (steam boiler), ketel suling, bak pendingin (kondensor), dan labu pemisah minyak (florentine flask). Peralatan-peralatan inilah yang menjadi salah satu faktor penentu rendemen minyak atsiri.
1. Ketel Uap (Boiler) Uap boiler umumnya digunakan untuk keperluan proses pengolahan dan keperluan sanitasi pabrik serta pembersihan alat-alat pengolahan (Wiraatmadja, 1989). Menurut Guenther (1947), boiler diperlukan pada penyulingan dengan uap langsung. Namun terkadang diperlukan sejumlah superheated steam, dan ini hanya dapat dihasilkan dari ketel uap (boiler) yang letaknya terpisah.
10
Menurut Ketaren (1985), ketel uap (boiler) dapat dibedakan berdasarkan tekanannya yaitu boiler tekanan tinggi dan boiler tekanan rendah. Boiler bertekanan tinggi akan menghasilkan uap dengan tekanan dan suhu tinggi. Pada tekanan dan suhu tinggi, uap mudah berpenetrasi ke dalam bahan yang mengandung minyak atsiri. Bila uap mudah berpenetrasi maka peristiwa kondensasi dalam boiler berkurang sehingga proses penyulingan akan semakin efisien. Boiler bertekanan rendah akan menghasilkan volume uap yang cukup besar. Pada proses penyulingan dalam hal-hal tertentu, tekanan uap yang rendah diinginkan karena menghasilkan minyak yang lebih mudah larut dalam alkohol dan tidak mengandung resin. Boiler yang ada umumnya dapat menggunakan bahan bakar kayu, gas alam, minyak, dan batu bara. Berdasarkan konfigurasinya, boiler dapat dibedakan menjadi boiler Haycock, boiler pipa air, boiler pipa api, dan boiler tipe pipa api dan pipa air (www. boiler\Boiler - Wikipedia, the free encyclopedia.htm). Boiler Haycock atau Pot boiler merupakan boiler kuno yang dibuat pada abad 18. Ukuran boiler Haycock sangat besar tapi hanya dapat menghasilkan uap dengan tekanan rendah. Boiler pipa air merupakan boiler di mana air berada di dalam pipa dan lingkungan di sekitar pipa adalah gas panas. Boiler pipa api merupakan boiler di mana air berada di luar pipa sedangkan di dalam pipa berupa gas panas. Boiler pipa air dan pipa api merupakan boiler yang sistemnya merupakan gabungan dari sistem boiler pipa air dengan pipa api (www. boiler\Boiler - Wikipedia, the free encyclopedia.htm). Menurut Wiraatmadja (1989), boiler yang paling aman digunakan adalah boiler pipa air. Boiler pipa air dianggap aman karena resiko penggunaan yang ditimbulkan tidak tinggi bila dibandingkan penggunaan pipa api. Hal tersebut terkait dengan jumlah air yang relatif lebih sedikit pada boiler pipa air sehingga uap yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan dengan boiler pipa api. Tekanan operasi pada boiler pipa api biasanya tidak lebih dari 200 psig, sedangkan tekanan pada boiler pipa air,
11
pada instalasi besar mencapai 2.000 psig. Hal ini berarti bahwa boiler pipa air dapat dioperasikan pada tekanan 10 kali tekanan boiler pipa api.
2. Ketel Suling Menurut Ketaren (1985), ketel suling adalah tempat bahan yang akan disuling, di mana bahan dapat berhubungan langsung dengan air atau dengan uap. Ketel suling umumnya berbentuk silinder dan terbuat dari seng tebal (galvanized sheet metal), dilengkapi dengan penutup yang dapat ditutup rapat. Prinsip kerja penyulingan dengan uap langsung adalah bahan baku diletakkan di atas saringan di dalam ketel dan dialirkan uap dari tempat yang berbeda (dari boiler) (Santoso, 1990). Konstruksi ketel suling dengan metode uap langsung memiliki kapasitas yang lebih besar dibandingkan dengan ketel suling pada metode kukus. Perbandingan diameter ketel suling pada metode uap langsung dengan tingginya sebaiknya 1 : 1,5 (Rusli, 2003). Hal ini dimaksudkan agar uap dapat kontak lebih lama dengan bahan yang disuling. Hubungan antara tinggi dan diameter ketel yang digunakan tergantung dari sifat porositas bahan yang diolah. Ketel yang berukuran tinggi, baik digunakan untuk menyuling bahan yang bersifat kamba. Ketel berukuran kecil lebih cocok untuk menyuling bahan yang bersifat kompak. Pengisian ketel pun sebaiknya tidak terlalu penuh atau sekitar 2/3 dari kapasitas ketel (Ketaren, 1985). Ketel suling ini dilengkapi pula dengan saringan yang berfungsi untuk menahan daun dan ranting nilam yang akan disuling. Uap air dialirkan ke dalam ketel suling melalui pipa di bawah saringan penahan bahan yang akan disuling. Pipa yang digunakan dapat berbentuk “+” atau lingkaran dan diberi lubang-lubang kecil pada bagian atasnya (Rusli, 2003).
3. Pendingin (Kondensor) Menurut Ketaren (1985), kondensor adalah alat yang berupa bak atau tabung silinder dan di dalamnya terdapat pipa lurus atau berbentuk spiral yang berfungsi untuk mengembunkan uap menjadi bentuk cair.
12
Kondensor terdiri atas beberapa tipe yaitu : lingkaran (coil), segi empat, zigzag, dan banyak pipa (multitubular) (Rusli, 2003). Perubahan fase uap menjadi fase cair disebut kondensasi. Saat kondensasi terjadi perpindahan (pengeluaran) sejumlah panas dari fase uap. Panas yang dikeluarkan untuk mengubah fase uap menjadi fase cair dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut ini : Q = U x A x ∆T Keterangan : Q = panas yang dikeluarkan per satuan waktu (Btu/jam) U = overall heat transfer coefficient (Btu/ft² jam °F) A = luas permukaan pipa yang dilalui uap (ft²) ∆T = beda antara suhu uap dan suhu air pendingin (°F) Harga U tergantung dari bentuk pipa. Jika pipa berbentuk coil maka nilai U-nya = 40 Btu/ft² jam °F. Bila berbentuk tubular maka nilai U-nya = 200 Btu/ft² jam °F (Ketaren, 1985). Pada sistem kondensor, suhu udara di sekeliling kondensor sangat mempengaruhi suhu air dan panjang pipa dibuat antara 10 sampai 30 meter. Cara pencairan uap yang paling sempurna adalah dengan mengalirkan air pendingin berlawanan arah dengan aliran uap minyak (Harris, 1993).
4. Pemisah Minyak (Separator) Menurut Lutony dan Rahmawati (1994), penampung hasil kondensasi adalah alat untuk menampung distilat yang keluar dari kondensor lalu memisahkan minyak dari air suling. Pada saat di dalam separator
penguapan
dan
kehilangan
minyak
dicegah
dengan
mempertahankan suhu destilat dalam separator berkisar antara 20 ºC sampai dengan 25 ºC (Ketaren, 1985). Namun demikian, menurut Santoso (1990), suhu destilat hasil penyulingan diperbolehkan mencapai 40 – 45 °C. Hal tersebut dikarenakan minyak nilam tidak terlalu volatil dibandingkan minyak atsiri lainnya.
13
Separator pada sistem penyulingan dengan metode uap langsung biasanya terdiri atas tiga ruangan. Hal tersebut dimaksudkan agar pemisahan minyak dapat dilakukan dengan sempurna (Rusli, 2003). 5. Bahan Peralatan Penyulingan Cara penyulingan dan penanganan bahan baku tentunya dapat mempengaruhi rendemen minyak nilam hasil sulingan. Namun demikian bahan yang digunakan dalam pembuatan peralatan-peralatan penyulingan juga mempunyai peranan dalam mempengaruhi mutu minyak hasil sulingan. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan peralatan penyulingan adalah logam yang digunakan untuk tempat bahan dan pipa pendingin coil (Harris, 1993). Logam yang digunakan untuk bahan peralatan penyulingan harus tidak bereaksi dengan uap air dan uap minyak. Bila bereaksi atau bersenyawa, hasil minyak akan rusak dan tidak laku dijual. Logam yang terbukti tidak bereaksi atau bersenyawa dengan minyak atsiri adalah baja tahan karat (stainless steel) dan kaca tahan panas. Logam-logam lainnya seperti : alumunium, tembaga, timah putih, besi (Fe), dan seng ada yang bereaksi dengan minyak atsiri tertentu, ada yang tidak, bergantung pada jenis minyak yang disuling (Harris, 1993).
14
III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan dan Alat Uji Kinerja serta Efisiensi Sistem Penyulingan a. Bahan Bahan yang digunakan untuk meneliti uji kinerja dan efisiensi sistem penyulingan adalah : •
Nilam kering dari Kuningan, Jawa Barat dengan umur simpan ≤ 7 hari sebagai bahan baku uji coba pada penelitian utama. Nilam tersebut dipanen saat usia 4-6 bulan.
•
Air pendingin digunakan untuk mengubah fase uap campuran minyak dan air menjadi fase cair campuran minyak dan air.
•
Kayu bakar digunakan sebagai bahan bakar di boiler.
b. Alat Peralatan yang digunakan untuk meneliti uji kinerja dan efisiensi sistem penyulingan terdiri dari peralatan proses penyulingan dan peralatan pengukuran dalam proses penyulingan. Berikut ini skema peralatan penyulingan :
Separator
Gambar 2. Skema peralatan penyulingan
15
Peralatan pengukuran selama proses penyulingan di skala IKM terdiri dari : •
Termometer alkohol dan raksa digunakan untuk mengukur suhu destilat.
•
Termometer digital digunakan untuk mengukur suhu air pendingin.
•
Termometer infra red digunakan untuk mengukur suhu permukaan alat-alat dalam sistem penyulingan.
•
Timbangan digunakan untuk menimbang bobot nilam kering.
•
Pompa air digunakan untuk mengalirkan air ke boiler dan bak kondensor.
•
Meteran digunakan untuk mengukur dimensi alat.
•
Jangka sorong digunakan untuk mengukur diameter pipa.
•
Pencatat waktu (Stopwatch).
•
Gelas ukur 50 ml digunakan untuk menghitung laju destilat per 10 menit. Peralatan pengukuran selama proses penyulingan menggunakan
alat penyulingan prototipe terdiri dari : •
Manometer/pressure gauge boiler digunakan untuk mengukur dan mengontrol tekanan di boiler dengan kapasitas 5 bar gauge.
•
Manometer/pressure gauge di ketel suling digunakan untuk mengukur dan mengatur tekanan yang masuk ke dalam ketel suling dengan kapasitas 2,5 bar gauge.
•
Termometer alkohol dan raksa digunakan untuk mengukur suhu destilat.
•
Termometer digital digunakan untuk mengukur suhu air pendingin.
•
Termometer infra red digunakan untuk mengukur suhu permukaan alat-alat dalam sistem penyulingan.
•
Timbangan digunakan untuk menimbang bobot nilam kering.
•
Pompa air digunakan untuk mengalirkan air ke boiler dan bak kondensor.
•
Meteran digunakan untuk mengukur dimensi alat.
•
Jangka sorong digunakan untuk mengukur diameter pipa.
16
•
Pencatat waktu (Stopwatch).
•
Labu pemisah digunakan untuk memisahkan minyak dengan air pada saat setelah proses penyulingan.
•
Gelas ukur 50 ml digunakan untuk menghitung laju destilat per 10 menit.
2. Bahan dan Alat Uji Mutu Minyak Nilam Hasil Penyulingan a. Bahan Bahan yang digunakan untuk menguji mutu minyak nilam hasil penyulingan antara lain : Na-sulfat anhidrat, etanol 90%, etanol 95 %, indikator PP, larutan KOH 0.1 N, larutan KOH 0.5 N, dan larutan HCl 0.5 N.
b. Alat Peralatan yang akan digunakan dalam analisa mutu minyak nilam terdiri dari : •
Timbangan analitik digunakan untuk menimbang sampel baik minyak nilam, kayu bakar, dan nilam kering dengan ketelitian empat angka di belakang koma.
•
Clavenger digunakan untuk membaca volume minyak yang tersuling dalam uji kadar minyak nilam kering.
•
Aufhauser digunakan untuk membaca volume air yang tersuling dalam pengujian kadar air nilam kering.
•
Oven digunakan dalam pengujian kadar air kayu bakar.
•
Heating Mantel digunakan sebagai pengganti penangas dalam pengujian kadar minyak nilam kering.
•
Penangas air digunakan sebagai pemanas dalam pengujian kadar air dan bilangan ester.
•
Sirkulator digunakan untuk menyirkulasikan air pendingin yang digunakan dalam pengujian kadar air dan kadar minyak nilam kering serta pengujian bilangan ester minyak nilam.
17
•
Kondensor digunakan sebagai pendingin pada pengujian kadar air dan kadar minyak nilam kering serta pengujian bilangan ester.
•
Sudip digunakan untuk menuangkan Na-sulfat anhidrat.
•
Alumunium foil digunakan sebagai pengganti cawan alumunium dalam uji kadar air kayu bakar.
•
Kain monel digunakan untuk menyaring minyak yang telah dimurnikan dengan Na-sulfat anhidrat.
•
Polarimeter digunakan dalam pengukuran putaran optik minyak nilam.
•
Refraktometer digunakan dalam pengukuran indeks bias minyak nilam.
•
Piknometer digunakan untuk mengukur bobot jenis minyak nilam.
•
Peralatan analisis gelas minyak atsiri terdiri dari : termometer alkohol, buret, gelas ukur 10 ml, gelas ukur 25 ml, gelas ukur 50 ml, gelas ukur 250 ml, gelas piala 250 ml, labu erlenmeyer 300 ml, labu erlenmeyer 500 ml, pipet tetes, botol penampung, corong, labu distilasi 1000 ml, dan pipet tetes.
B. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Lokasi penelitian dilakukan di dua tempat yaitu penyulingan rakyat skala IKM (Industri Kecil Menengah) di Cibeureum, Kuningan dan Laboratorium Teknologi Industri Pertanian Leuwikopo, Bogor. Penelitian ini dilaksanakan mulai 8 Maret 2008 sampai dengan 10 Juli 2008.
C. METODE PENELITIAN Penelitian ini terdiri dari dua tahapan yaitu : 1. Penelitian Pendahuluan a. Studi Kinerja Penyulingan Minyak Nilam IKM Kegiatan studi kinerja penyulingan dilakukan untuk mengamati proses penyulingan yang dilakukan di masyarakat. Studi kinerja dilakukan di tempat penyulingan minyak nilam skala IKM (Industri
18
Kecil Menengah) di desa Sumur Wiru, Cibeureum, Kuningan. Kegiatan studi kinerja juga meliputi : 1. Pengamatan kondisi proses dan disain alat penyulingan IKM secara keseluruhan. Hal ini ditinjau dari parameter tekanan proses penyulingan, waktu penyulingan, dan disain alat-alat penyulingan yang digunakan. 2. Pengambilan data selama proses penyulingan di IKM. Data yang diperlukan berupa bobot kayu bakar yang digunakan, bobot nilam yang disuling, suhu-suhu permukaan alat-alat penyulingan, dimensi alat, laju penyulingan/destilat, lama waktu penyulingan, jumlah minyak yang diperoleh, dan suhu destilat. 3. Pengamatan dan penghitungan kinerja serta efisiensi alat-alat penyulingan berdasarkan disain dan proses. Persamaan-persamaan yang digunakan dalam menghitung kehilangan panas dan efisiensi alat-alat penyulingan sebagai berikut : •
Persamaan Energi yang Disuplai Kayu Bakar :
Qin (MJ) = massa kayu (K.a = 20 %) (kg) x nilai kalor kayu bakar (MJ/kg) Keterangan : Nilai kalor kayu bakar (K.a = 20 %) = 19,40 MJ/kg (Abdurahim, et al., 1989) •
Persamaan Energi Uap yang Dihasilkan (Zemansky, 1982): Qout = ma x cpa x (Td – Tin) + ma x La Keterangan : Qout = Energi uap yang dihasilkan (Joule) ma = Massa air yang diuapkan (kg) cpa = Kapasitas kalor jenis air (4.190 joule/kg K) Tin = Suhu air awal (K) Td = Suhu air berubah menjadi uap (K) La = Panas laten air (2.256.000 joule/kg)
19
•
Persamaan Kehilangan Panas di Pipa Penghubung Boiler - Ketel (Zemansky, 1982) : Q = (Tpa – Tu) x Apa x c((Tpa – Tu)/dpa)0,25 Keterangan : Tpa = Suhu yang terukur di permukaan pipa menuju ke ketel (K) Tu = Suhu udara (K) Apa = Luas permukaan pipa menuju ke ketel (m²) dpa = Rata-rata diameter pipa menuju ke ketel (m) c = Koefisien konveksi alamiah udara pipa boiler-ketel (kal/s m² K) Q = Energi yang hilang di pipa menuju ketel (joule)
•
Persamaan Kehilangan Panas di Tutup Ketel (Zemansky, 1982) : Q = (Tt - Tu) x At x a(Tt - Tu)0,25 Keterangan : Tt = Suhu yang terukur di permukaan tutup ketel (K) Tu = Suhu udara (K) At = Luas permukaan tutup ketel (m²) a = Koefisien konveksi alamiah udara pelat hadap atas (kal/s m² K) Q = Energi yang hilang di tutup ketel (joule)
•
Persamaan Kehilangan Panas di Dinding Ketel (Zemansky, 1982) : Q = (Td – Tu) x Ad x b((Td – Tu)/dk)0,25 Keterangan : Td = Suhu yang terukur di permukaan dinding ketel (K) Tu = Suhu udara (K) Ad = Luas permukaan dinding ketel (m²) dk = Diameter ketel suling (m²) b = Koefisien konveksi alamiah udara vertikal (kal/s m² K) Q = Energi yang hilang di dinding ketel (joule)
20
•
Persamaan Kehilangan Panas di Pipa Penghubung Ketel – Kondensor (Zemansky, 1982) : Q = (Tpb – Tu) x Apb x e((Tpb – Tu)/dpb)0,25 Keterangan : Tpb = Suhu yang terukur di permukaan pipa menuju kondensor (K) Tu = Suhu udara (K) Apb = Luas permukaan pipa menuju kondensor (m²) dpb = Rata-rata diameter pipa menuju kondensor (m) e = Koefisien konveksi alamiah udara pipa ketel-kondensor (kal/s m² K) Q = Energi yang hilang di pipa menuju kondensor (joule)
•
Persamaan Energi yang Diserap Air Pendingin (Ketaren, 1985): Q = U x A x ∆T Keterangan : Q = Energi yang diserap air pendingin (joule) U = Overall heat transfer coefficient (817.653,39 joule/m² jam K) A = Luas permukaan pindah panas kondensor (m²) ∆T = Selisih suhu uap dengan suhu air pendingin (K)
•
Persamaan Efisiensi Boiler : ξ=
Qout x 100 % Qin
Keterangan : Qout = Energi uap yang dihasilkan (MJ) Qin = Energi yang disuplai kayu bakar (MJ) •
Persamaan Efisiensi Ketel : ξ=
Qout x 100 % Qin
Di mana, Qin = Qb - QL Qout = Qin - Qk
21
Keterangan : Qb = Q dari boiler (MJ) QL= Loss energi di pipa boiler-ketel (MJ) Qk = Loss energi di keseluruhan ketel (MJ) •
Persamaan Efisiensi Kondensor : ξ=
Qout x 100 % Qin
Di mana, Qin = Qok - Qkk Qout = Q yang diserap air pendingin Keterangan : Qok = Q keluar ketel (MJ) Qkk = Loss energi di pipa ketel-kondensor (MJ) •
Persamaan Total Efisiensi Proses Penyulingan : ξ=
Qout x 100 % Qin
Qout = Energi yang diserap air pendingin (MJ) Qin = Energi yang disuplai kayu bakar (MJ)
b. Uji Kosong Prototipe Alat-alat Penyulingan Uji kosong dilakukan dengan dua cara yaitu uji kosong tanpa bahan dan uji kosong dengan bahan (ampas). Masing-masing uji kosong tersebut memiliki tujuan tertentu. Uji kosong tanpa bahan dimaksudkan untuk memeriksa ada atau tidaknya kebocoran pada alat. Uji kosong dengan bahan (ampas) dimaksudkan untuk mendapatkan kondisi penyulingan sesuai dengan yang diinginkan.
2. Penelitian Utama Penelitian utama ini dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu tahapan analisa kadar air dan kadar minyak nilam, proses penyulingan, pembandingan efisiensi energi peralatan penyulingan skala IKM dengan
22
prototipe pemurnian minyak hasil penyulingan, dan analisa mutu minyak hasil penyulingan. Kegiatan penelitian utama secara umum dapat dilihat pada Gambar 3.
Nilam basah
Pengeringan
Analisa kadar air dan kadar minyak
Nilam kering
Perajangan (± 5 cm)
Proses Penyulingan dengan P = 0,5 bar; 1 bar; 1,5 bar gauge T = 6 jam
Ampas nilam
Minyak nilam
Analisa kadar air dan kadar minyak
Pemurnian minyak dari air dengan Na-sulfat anhidrat Analisa mutu minyak
Gambar 3. Alur kegiatan penelitian utama
a. Analisa Kadar Air dan Kadar Minyak Nilam Analisa kadar air digunakan untuk memeriksa kadar air nilam kering pada saat sebelum dan sesudah proses penyulingan. Pengujian kadar air digunakan untuk menentukan perhitungan kadar minyak nilam basis kering. Menurut Santoso (1990) kadar air nilam kering yang
23
diharapkan untuk proses penyulingan 12-15 % (wb). Bila kadar air nilam telah sesuai maka proses penyulingan dapat dilaksanakan. Gambar alat analisa kadar air nilam yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 5 dan perhitungan serta prosedur analisa kadar air nilam terdapat dalam Lampiran 4. Analisa kadar minyak sebelum dan sesudah proses penyulingan ditujukan untuk mengetahui jumlah kandungan minyak yang terdapat dalam nilam. Gambar alat analisa kadar minyak nilam yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 5 dan perhitungan serta prosedur analisa kadar minyak nilam terdapat dalam Lampiran 4.
b. Proses Penyulingan Minyak Nilam Proses penyulingan minyak nilam dalam penelitian ini dilakukan selama 6 jam. Pada saat proses penyulingan dilakukan tiga tahapan perlakuan yang berdasarkan tekanan dalam ketel suling yaitu : 1. Menit ke-0 sampai menit ke-60, tekanan dalam ketel suling 0,5 bar. 2. Menit ke-61 sampai menit ke-180, tekanan dalam ketel suling 1 bar. 3. Menit ke-181 sampai menit ke-360, tekanan dalam ketel suling 1,5 bar. Selama proses penyulingan dilakukan pengamatan beberapa parameter seperti : 1. Pengamatan kinerja prototipe alat-alat penyulingan berdasarkan disain. 2. Pengamatan kinerja prototipe alat-alat penyulingan berdasarkan proses. 3. Pengambilan data proses penyulingan dengan perlatan prototipe per 30 menit. Data yang diperlukan berupa bobot kayu bakar yang digunakan, bobot nilam yang disuling, dimensi alat, suhu-suhu permukaan alat penyulingan, laju penyulingan atau destilat, suhu destilat, tekanan yang diterapkan, lama waktu penyulingan, dan jumlah minyak yang diperoleh. 4. Penghitungan efisiensi prototipe alat-alat penyulingan.
24
Persamaan-persamaan yang digunakan dalam menghitung kehilangan panas dan efisiensi alat-alat penyulingan sebagai berikut : •
Persamaan Energi yang Disuplai Kayu Bakar :
Qin (MJ) = massa kayu (K.a = 20 %) (kg) x nilai kalor kayu bakar (MJ/kg) Keterangan : Nilai kalor kayu bakar (K.a = 20 %) = 19,40 MJ/kg (Abdurahim, et al., 1989) •
Persamaan Energi Uap yang Dihasilkan (Zemansky, 1982): Qout = ma x cpa x (Td – Tin) + ma x La + mu x cpu x (Tu – Td) Keterangan : Qout = Energi uap yang dihasilkan (Joule) ma = Massa air yang diuapkan (kg) mu = Massa uap (kg) cpa = Kapasitas kalor jenis air (4.190 joule/kg K) cpu = Kapasitsa kalor jenis uap (2.010 joule/kg K) Tin = Suhu air awal (K) Td = Suhu air berubah menjadi uap (K) Tu = Suhu uap (K) La = Panas laten air (2.256.000 joule/kg)
•
Persamaan Kehilangan Panas di Pipa Penghubung Boiler - Ketel (Zemansky, 1982) : Q = (Tpa – Tu) x Apa x c((Tpa – Tu)/dpa)0,25 Keterangan : Tpa = Suhu yang terukur di permukaan pipa menuju ke ketel (K) Tu = Suhu udara (K) Apa = Luas permukaan pipa menuju ke ketel (m²) dpa = Rata-rata diameter pipa menuju ke ketel (m) c = Koefisien konveksi alamiah udara pipa boiler-ketel (kal/s m² K) Q = Energi yang hilang di pipa menuju ketel (joule)
25
•
Persamaan Kehilangan Panas di Tutup Ketel (Zemansky, 1982) : Q = (Tt - Tu) x At x a(Tt - Tu)0,25 Keterangan : Tt = Suhu yang terukur di permukaan tutup ketel (K) Tu = Suhu udara (K) At = Luas permukaan tutup ketel (m²) a = Koefisien konveksi alamiah udara pelat hadap atas (kal/s m² K) Q = Energi yang hilang di tutup ketel (joule)
•
Persamaan Kehilangan Panas di Dinding Ketel (Zemansky, 1982) : Q = (Td – Tu) x Ad x b((Td – Tu)/dk)0,25 Keterangan : Td = Suhu yang terukur di permukaan dinding ketel (K) Tu = Suhu udara (K) Ad = Luas permukaan dinding ketel (m²) dk = Diameter ketel suling (m²) b = Koefisien konveksi alamiah udara vertikal (kal/s m² K) Q = Energi yang hilang di dinding ketel (joule)
•
Persamaan Kehilangan Panas di Glasswool (Zemansky, 1982) : Q = (Tg – Tu) x Ag x c((Tg – Tu)/dg)0,25 Keterangan : Tg = Suhu yang terukur di permukaan glasswool (K) Tu = Suhu udara (K) Ag = Luas permukaan glasswool (m²) dg = Diameter glasswool (m²) c = Koefisien konveksi alamiah udara vertikal (kal/sm² °C) Q = Energi yang hilang di glasswool (joule)
•
Persamaan Kehilangan Panas di Bodem Ketel (Zemansky, 1982) : Q = (Tm - Tu) x Am x e(Tm - Tu)0,25
26
Keterangan : Tm = Suhu yang terukur di bodem (K) Tu = Suhu udara (K) Am = Luas permukaan bodem (m²) e = Koefisien konveksi alamiah udara hadap bawah (kal/sm² ºC) Q = Energi yang hilang di bodem (joule) •
Persamaan Kehilangan Panas di Pipa Penghubung Ketel – Kondensor (Zemansky, 1982) : Q = (Tpb – Tu) x Apb x e((Tpb – Tu)/dpb)0,25 Keterangan : Tpb = Suhu yang terukur di permukaan pipa menuju kondensor (K) Tu = Suhu udara (K) Apb = Luas permukaan pipa menuju kondensor (m²) dpb = Rata-rata diameter pipa menuju kondensor (m) e = Koefisien konveksi alamiah udara pipa ketel-kondensor (kal/s m² K) Q = Energi yang hilang di pipa menuju kondensor (joule)
•
Persamaan Energi yang Diserap Air Pendingin (Ketaren, 1985): Q = U x A x ∆T Keterangan : Q = Energi yang diserap air pendingin (joule) U = Overall heat transfer coefficient (817.653,39 joule/m² jam K) A = Luas permukaan pindah panas kondensor (m²) ∆T = Selisih suhu uap dengan suhu air pendingin (K)
•
Persamaan Efisiensi Boiler : ξ=
Qout x 100 % Qin
Keterangan : Qout = Energi uap yang dihasilkan (MJ)
27
Qin = Energi yang disuplai kayu bakar (MJ) •
Persamaan Efisiensi Ketel : ξ=
Qout x 100 % Qin
Di mana, Qin = Qb - QL Qout = Qin - Qk Keterangan : Qb = Q dari boiler (MJ) QL= Loss energi di pipa boiler-ketel (MJ) Qk = Loss energi di keseluruhan ketel (MJ) •
Persamaan Efisiensi Kondensor : ξ=
Qout x 100 % Qin
Di mana, Qin = Qok - Qkk Qout = Q yang diserap air pendingin Keterangan : Qok = Q keluar ketel (MJ) Qkk = Loss energi di pipa ketel-kondensor (MJ) •
Persamaan Total Efisiensi Proses Penyulingan : ξ=
Qout x 100 % Qin
Qout = Energi yang diserap air pendingin (MJ) Qin = Energi yang disuplai kayu bakar (MJ)
c. Pembandingan Efisiensi Peralatan Penyulingan Skala IKM dengan Prototipe Pembandingan efisiensi peralatan penyulingan skala IKM dapat dilakukan bila penghitungan masing-masing alat baik di IKM maupun prototipe telah diselesaikan. Dengan demikian, dapat diketahui sistem penyulingan yang lebih efisien baik dari segi disain maupun prosesnya.
28
d. Pemurnian Minyak Hasil Penyulingan Minyak nilam yang diperoleh dari hasil penyulingan masih mengandung air. Oleh karena itu, sebelum dilakukan analisa mutu minyak nilam, maka diperlukan proses pemurnian minyak dari air. Pemurnian minyak ini ditujukan agar selama proses pengujian mutu minyak, minyak tidak rusak karena pengaruh hidrolisis air. Pemurnian minyak nilam dari air menggunakan bahan kimia Nasulfat anhidrat sebagai berikut : Minyak nilam (masih terdapat air) + Na-sulfat anhidrat
Minyak nilam (tanpa air) Gambar 4. Skema pemurnian minyak nilam Na-sulfat anhidrat ditambahkan sedikit demi sedikit ke dalam minyak nilam sambil dikocok. Minyak nilam yang telah murni dari air akan tampak jernih.
e. Analisa Mutu Minyak Hasil Penyulingan IKM dan Prototipe Analisa mutu minyak hasil penyulingan dilakukan setelah minyak murni dari air. Hal tersebut ditandai dengan penampakan minyak yang jernih. Analisa mutu minyak yang dilakukan mengacu pada SNI 062385-2006. Analisa mutu minyak hasil penyulingan meliputi pengujian warna, rendemen, kelarutan dalam alkohol 90 %, bilangan asam, bilangan ester, indeks bias, putaran optik, dan bobot jenis. Prosedur analisa mutu minyak hasil penyulingan ini terdapat pada Lampiran 4.
29
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. STUDI KINERJA PENYULINGAN MNYAK NILAM IKM 1. Kondisi Proses dan Disain Alat Penyulingan IKM Secara Umum Kondisi proses dan disain alat yang digunakan pada penyulingan skala IKM masih sederhana secara umum. Kesederhanaan tersebut menjadikan proses penyulingan kurang efisien. Peralatan penyulingan yang digunakan dalam sistem penyulingan skala IKM terdiri dari boiler, ketel suling, kondensor, dan separator. Selain itu, pada ketel suling IKM tidak terdapat bahan penyekat panas yang keluar dari ketel suling. Proses penyulingan di skala IKM dilakukan selama 8 jam. Satu kali proses penyulingan rata-rata membutuhkan kayu bakar sebagai bahan bakar sebanyak 369,3 kg (wb). Kapasitas maksimal ketel suling skala IKM sedikit lebih kecil daripada prototipe yaitu sebesar 100 kg. Namun, pada pelaksanaan penyulingan pengisian daun dan ranting nilam sering melebihi kapasitas maksimal dari ketel suling. Suhu destilat yang dihasilkan lebih tinggi daripada prototipe sebesar 35,91 °C. Suhu destilat pada skala IKM tersebut masih diperbolehkan menurut Santoso (1990). Pada boiler IKM tidak terdapat katup pengatur keluarnya uap air sehingga uap air yang terbentuk langsung mengalir ke ketel suling. Dengan demikian, tekanan uap air dalam boiler relatif rendah. Selain itu, pada pipa penghubung antara ketel suling dengan kondensor tidak terdapat katup pengatur keluarnya uap dari ketel suling sehingga laju destilat tidak dapat diatur dan fluktuatif. Rata-rata laju destilat pada penyulingan skala IKM sebesar 0,26 liter/kg jam. Menurut Suryani et al. (2007), laju destilat yang optimal untuk proses penyulingan sebesar 0,6 liter/kg jam.
2. Kinerja dan Efisiensi Disain Alat Penyulingan IKM a. Boiler Skala IKM Boiler pada sistem penyulingan minyak nilam skala IKM, digunakan sebagai sumber energi panas berupa steam dari air yang
30
berada dalam boiler. Tungku yang digunakan terbuat dari batu bata sedangkan boiler terbuat dari drum seng. Boiler yang digunakan berbentuk silinder berdiameter 80 cm dan panjangnya 130 cm. Pengisian boiler sebelum penyulingan sebanyak 367,5 liter atau setara dengan 56,27 % dari 653,12 liter kapasitas maksimal boiler. Jumlah rata-rata air yang diuapkan di boiler selama proses penyulingan sebesar 446 liter. Sketsa disain boiler skala IKM dapat dilihat pada Gambar 5.
d
950 mm
a
300 mm
150 mm
1100 mm 800 mm
b
1390 mm
c
1240 mm
800 mm
Gambar 5. Sketsa disain boiler skala IKM (tampak depan) : (a) Boiler, (b) Tungku, (c) Ruang pembakaran, (d) cerobong Prinsip kerja boiler skala IKM yaitu, api hasil pembakaran dalam tungku memanaskan air dalam boiler yang berada tepat di atas tungku. Pemanasan tersebut menghasilkan uap air (Santoso, 1990).
31
Berdasarkan sketsa disain tampak depan tungku dan boiler skala IKM di atas, api dalam tungku hanya mengenai bagian bawah boiler. Rata-rata suhu tertinggi pada permukaan boiler sebesar 178,5 °C. Ratarata suhu tertinggi pada permukaan tungku pembakarannya sebesar 59,94 °C. Pindah panas paling besar pada saat pemasakan air menjadi uap air, terjadi hanya di bagian bawah boiler. Api menghantarkan panas ke air dalam boiler melalui dinding bawah boiler secara konduksi. Perpindahan panas secara konduksi tersebut dikarenakan adanya penghantar berupa padatan yaitu dinding boiler (McCabe, 2005). Kemudian air bagian bawah boiler menghantarkan panas secara konveksi ke air bagian atas dalam boiler. Menurut Kulshresta (1989), perpindahan panas pada fluida terjadi secara konveksi. Fenomena ini akan diperjelas dalam Gambar 6. Pada Gambar 6, luas permukaan pindah panas separuh bagian dari boiler. Data-data luas permukaan pindah panas, jumlah air yang diuapkan, dan rata-rata penggunaan air setiap jam pada boiler dapat dilihat dalam Tabel 3.
a
c
d b
e API
Gambar 6. Fenomena pemasakan air dalam boiler IKM (tampak depan) : (a) air dalam boiler, (b) aliran panas api, (c) luas permukaan pindah panas boiler, (d) tungku, (e) ruang pembakaran di tungku
32
Tabel 3. Data luas permukaan pindah panas dan uap air yang dihasilkan penyulingan IKM No.
Keterangan
Satuan
1.
Luas permukaan pindah panas boiler
1,63 m²
2.
Jumlah air yang diuapkan dalam proses
446 liter
3.
Lama waktu penyulingan
4.
Uap air yang dihasilkan per jam
8 jam 34,2 liter/m²
Luas permukaan pindah panas boiler sebesar 1,63 m² dapat menguapkan 446 liter air dalam waktu 8 jam. Oleh karena itu, dalam waktu satu jam rata-rata air yang dapat diuapkan dengan menggunakan boiler IKM sebesar 34,2 liter untuk satu m². Namun demikian, uap air yang diuapkan berfluktuasi setiap jamnya. Hal ini dikarenakan jumlah panas dari api dalam tungku fluktuatif, tergantung dari kestabilan api. Uap air yang dihasilkan bisa lebih besar dari 34,2 liter/m²/jam, bila nyala api sangat besar. Nyala api yang sangat besar dapat diperoleh saat jumlah kayu bakar dalam tungku masih banyak dan cukup kering. Kayu bakar yang digunakan memiliki kadar air rata-rata 62,4 % sedangkan rata-rata kadar air maksimal kayu bakar sebesar 85 % (Abdurahim, et al., 1989). Bila jumlah kayu dalam tungku pembakaran semakin sedikit, maka nyala api akan semakin mengecil. Bila api mengecil maka energi panasnya berkurang dan uap air yang dihasilkan bisa menurun, kurang dari 34,2 liter/m²/jam. Kestabilan api dalam tungku terkait dengan sirkulasi oksigen di dalam tungku. Adanya oksigen dapat membantu pembakaran kayu sebagai bahan bakar dalam tungku skala IKM. Oksigen dalam tungku skala IKM diperoleh dari satu arah yaitu pintu pemasukan kayu. Sirkulasi oksigen dalam tungku dapat dilihat dalam Gambar 7.
33
A
B
Gambar 7. Sirkulasi oksigen dalam tungku skala IKM (tampak atas) : (a) ruang pembakaran, (b) pintu pemasukan kayu bakar (pintu tungku) Sirkulasi oksigen dimulai dari pintu tungku, kemudian oksigen mengalir ke arah belakang ruang tungku (Gambar 7). Oksigen dapat mencapai bagian belakang tungku bila tidak terhalang kayu bakar yang diletakkan setelah pintu tungku. Bila aliran oksigen ke arah belakang tungku terhalang, maka api akan sulit menjalar ke kayu bakar yang diletakkan di bagian belakang. Penjalaran api akan semakin sulit jika kadar air dalam kayu cukup tinggi. Oleh karena itu, bagian belakang tungku terkadang terdapat sisa-sisa pembakaran berupa arang. Ketidakstabilan
nyala
api
dalam
tungku
tentunya
akan
mempengaruhi fluktuasi jumlah uap air yang terbentuk di dalam boiler. Kestabilan nyala api dalam tungku dapat dilihat dari fluktuasi suhu yang terukur pada dinding tungku di Lampiran 1. Selain itu, ketidakstabilan nyala api yang berakibat terhadap fluktuasi jumlah uap air dapat dilihat berdasarkan fluktuasi jumlah destilat yang dihasilkan. Fluktuasi jumlah destilat tersebut dapat dilihat dalam Gambar 8 dan Lampiran 1.
34
60
55.84 52.27
51.97 50
43.79
40
34.07
31.91
Laju destilat 30 (liter/jam)
29.16
16.88
20 10 0 1
2
3
4
5
6
7
8
Jam ke-
Gambar 8. Fluktuasi jumlah destilat terhadap waktu Jumlah destilat pada awal proses penyulingan yaitu jam pertama sebesar 34,07 liter, lebih kecil dari jumlah destilat pada jam kedua yaitu sebesar 55,84 liter. Hal ini dikarenakan panas yang digunakan dari api dalam tungku, belum dapat digunakan secara keseluruhan untuk memproduksi uap air. Panas dari api tungku pada jam pertama, selain digunakan untuk memproduksi uap air juga digunakan untuk memanaskan dinding boiler atau menaikkan suhu lingkungan di sekitar (dinding-dinding boiler). Kestabilan nyala api dalam tungku tidak dijaga sehingga jumlah destilat setelah jam kedua menurun. Hal ini dikarenakan nyala api semakin mengecil. Penurunan signifikan jumlah destilat terjadi dari jam keempat menuju jam kelima. Hal tersebut dikarenakan adanya pengisian air ke dalam boiler. Dengan demikian suhu dalam boiler menurun dan produksi steam ikut menurun. Hal tersebut dapat dilihat dalam Lampiran 1, di mana suhu bagian atas tungku juga menurun secara signifikan pada menit ke-270.
b. Ketel Suling Skala IKM Ketel suling yang digunakan pada skala IKM memiliki model yang hampir sama dengan prototipe ketel suling. Ketel suling skala IKM
35
memiliki diameter 98 cm, tinggi keseluruhan 153 cm, dan tinggi saringan dari bibir ketel 133 cm. Perbandingan diameter dengan tinggi ketel suling dari atas saringan yaitu 1 : 1,36. Kapasitas maksimal ketel suling tersebut 1.002,7 liter. Baut pengunci tutup ketel sebanyak 10 baut. Pada tutup ketel tidak terdapat penyekat dan tidak terdapat glasswool atau penahan panas lainnya di dinding ketel suling. Namun pada bagian bawah ketel dipendam dalam lapisan semen. Hal tersebut tentunya dapat mengurangi energi panas yang hilang dari bagian bodem (bawah) ketel. Sketsa ketel suling skala IKM dapat dilihat pada Gambar 9. Prinsip kerja dari ketel suling ini yaitu uap air yang berasal dari boiler masuk ke dalam ketel melalui pipa di bawah saringan (Santoso, 1990). Pipa di bawah saringan yang digunakan untuk memasukkan uap air berbentuk melingkar agar uap air yang dialirkan dapat merata (Rusli, 2003). Uap air tersebut berpenetrasi ke dalam nilam kering dan membantu keluarnya minyak dari kantung-kantung minyak pada jaringan terna nilam. Minyak yang keluar berbentuk campuran uap air dengan minyak (Ketaren, 1987). a 150 mm
980 mm
1330 mm
b
c
200 mm 1280 mm
Gambar 9. Ketel suling skala IKM : (a) tutup ketel, (b) dinding ketel, (c) bagian bawah ketel yang tertanam dalam lapisan semen.
36
Berdasarkan disain ketel suling skala IKM di atas, kinerja ketel dari segi disain dapat diukur dari kemampuan disain ketel tersebut mempertahankan panas dan mempenetrasikan uap di dalam ketel. Kemampuan disain ketel suling skala IKM dalam mempertahankan panas masih cukup rendah. Hal ini dikarenakan adanya kebocoran pada disain ketel suling tersebut (Fatahna, 2005). Kebocoran terjadi di sela-sela tutup ketel dengan bibir ketel. Selain itu, tidak adanya penggunaan penahan panas pada dinding ketel, tentunya akan memperbesar kehilangan energi panas dari ketel suling. Kehilangan panas dalam ketel dapat mengakibatkan uap di dalam ketel lebih cepat terkondensasi, sehingga kemungkinan terjadinya kehilangan uap air semakin besar. Indikator kehilangan panas dapat diukur dari fluktuasi suhu yang terukur di permukaan bagian luar ketel. Hal tersebut dapat dilihat dalam Lampiran 1. Semakin besar suhu yang terukur, maka kehilangan panas pada permukaan bagian tersebut semakin besar. Hal ini disebabkan panas berpindah dari suhu yang tinggi ke suhu yang lebih rendah (McCabe, 2005). Namun demikian, jumlah kehilangan panas pada suatu bagian ketel tidak hanya ditentukan oleh suhu yang terukur saja, tetapi juga luas permukaan pindah panas bagian ketel tersebut (Zemansky, 1982). Hal ini akan diperjelas dengan Tabel 4. Tabel 4. Keterkaitan luas permukaan pindah panas dengan kehilangan panas ketel No. 1.
Keterangan Luas permukaan pindah panas ketel
2.
Total kehilangan panas selama 8 jam
3.
Rata-rata kehilangan panas/jam
Tutup Ketel
Dinding ketel
1,05 m²
4,71 m²
10,23 MJ
48,79 MJ
1,28 MJ
6,10 MJ
Tabel 4 menunjukkan bahwa luas permukaan pindah panas dinding ketel lebih besar 4,49 kali dari luas permukaan pindah panas
37
tutup ketel. Begitu pula dengan perbedaan total kehilangan panas di dinding ketel lebih besar 4,77 kali dari tutup ketel yaitu sebesar 48,79 MJ. Kehilangan panas per 30 menit dapat lihat dalam Gambar 10 serta Lampiran 3. Tutup ketel memiliki suhu yang lebih tinggi daripada dinding ketel. Namun kehilangan panas pada tutup ketel lebih kecil daripada dinding ketel seperti terlihat dalam Gambar 10 dan Lampiran 3. Hal ini disebabkan luas permukaan pindah panas pada tutup ketel hanya sebesar 1,05 m², sedangkan luas permukaan pindah panas pada dinding ketel sebesar 4,71 m². Dengan demikian, kehilangan energi panas pada bagian ketel skala IKM sangat dipengaruhi luas permukaan pindah panas tiap bagian ketel bukan pada suhu yang terukur pada setiap bagian ketel.
9 7 6 Kehilangan panas (MJ/jam)
7.80
7.76
8 6.29 5.39
6.36
6.40
7.65 6.25
7.77
7.43 6.11
6.85 5.84
6.36
7.46 6.07
5
Tutup
4
Dinding Tutup dan Dinding
3 2 1
0.90
1.39
1.41
1.40
1.33
1.01
1.41
1.39
0 1
2
3
4
5
6
7
8
Jam ke-
Gambar 10. Fluktuasi kehilangan panas pada ketel suling skala IKM Suhu tutup ketel yang terukur lebih tinggi daripada suhu dinding ketel. Data lebih rinci terkait dapat dilihat dalam Lampiran 1. Hal ini terkait dengan pola aliran penetrasi uap di dalam ketel, di mana uap akan mengalir dari bagian bawah ketel ke bagian atas ketel, tepatnya menuju tutup ketel. Pola aliran penetrasi uap dapat dilihat pada Gambar 11.
38
b
a c
Gambar 11. Fenomena arah penetrasi uap dalam ketel IKM : (a) masuknya uap dari boiler, (b) uap yang keluar dari ketel, (c) pipa penyalur uap Uap dari bagian bawah saringan ketel akan mengalir dan berpenetrasi ke dalam nilam kering yang berada di atas saringan ketel. Suhu tutup ketel menjadi lebih tinggi daripada dinding ketel karena steam akan terakumulasi di bagian atas yaitu tutup ketel.
c. Kondensor Skala IKM Kondensor pada penyulingan skala IKM di Kuningan memiliki bentuk serupa dengan prototipe kondensor di Leuwikopo yaitu berbentuk coil. Namun dimensi kondensor yang digunakan tidak dapat diketahui dengan pasti karena kondensor ditempatkan pada bak pendingin permanen yang tertutup. Luas permukaan pindah panas kondensor IKM sebesar 2,29 m². Perhitungan luas permukaan pindah panas kondensor IKM diperoleh dari rumus : Q = U x A x ∆T Q yang digunakan sebesar 1.059,27 MJ. Nilai energi tersebut diperoleh dari energi uap yang masuk ke dalam ketel dikurangi dengan kehilangan panas yang terjadi pada pipa-pipa penghubung dan pada bagian ketel itu sendiri. Nilai ∆T diperoleh dari rata-rata selisih suhu uap
39
dengan air pendingin. Nilai ∆T yang digunakan sebesar 53,48 °C. Nilai U yang digunakan untuk menghitung luas permukaan pindah panas kondensor (A) sebesar 40 Btu/ft² hour °F atau setara dengan 817.653,4 joule/m² jam °C (Ketaren, 1985). Bak pendingin yang digunakan memiliki panjang 2,5 meter, lebar 2,5 meter, dan tinggi 1,7 meter. Diameter kondensor di dalam bak kondensor 1,8 meter, sedangkan diameter pipa kondensor 1 inchi dan 1,5 inchi dengan panjang masing-masing 2,03 meter. Kondensor ini berfungsi untuk mengubah campuran uap air dan uap minyak (Ketaren, 1987). Menurut Santoso (1990), kinerja kondensor dari segi disain ditentukan oleh : luas penampang pindah panas kondensor. Luas penampang pindah panas kondensor ini terkait dengan panjang dan diameter pipa kondensor. Kapasitas
bak
pendingin
yang
digunakan
dalam
sistem
penyulingan skala IKM lebih besar dari prototipe bak pendingin yaitu sebesar 10.625 liter. Walaupun kapasitas bak pendingin cukup besar, namun pengisiannya tidak sampai batas kapasitas maksimalnya. Pengisian air pendingin hanya sebesar 6.163,2 liter. Penggunaan air pendingin sebanyak 6.163,2 liter menghasilkan suhu rata-rata destilat sebesar 35,91 °C. Suhu rata-rata destilat pada skala IKM sudah memadai. Dengan demikian, pindah panas pada kondensor skala IKM dapat dianggap telah memadai. Bila air pendingin yang digunakan jumlahnya terlalu besar dan luas permukaan pindah panas pipa kondensor kecil, maka energi panas yang diserap air pendingin dari pipa kondensor semakin kecil. Dengan demikian, efisiensi kondensor akan semakin kecil. Hal tersebut didukung dengan persamaan : Q =U x A
x
∆T
Dimana, Q = panas yang dibebaskan (joule) U = overall heat transfer coefficient (joule/m² jam K) A = luas penampang pindah panas kondensor (m²)
40
∆T = perbedaan suhu antara uap panas dan medium pendingin (K) Berdasarkan persamaan tersebut, luas permukaan pindah panas dan perbedaan suhu uap dengan air pendingin berpengaruh terhadap energi yang dilepaskan kondensor (Ketaren, 1985).
d. Separator Skala IKM Separator merupakan alat yang digunakan untuk memisahkan air dengan minyak. Prinsip kerja pemisahan air dengan minyak dalam separator ini berdasarkan perbedaan bobot jenis minyak dengan air (Santoso, 1990). Perbedaan bobot jenis ini menyebabkan butiran minyak berada di lapisan atas sedangkan air di bawah. Separator dalam sistem penyulingan skala IKM memiliki diameter 30 cm, diameter tabung bagian dalamnya 20 cm, dan tinggi 50 cm. Kapasitas maksimal separator dalam menampung jumlah destilat sebesar 35,33 liter. Sketsa separator yang digunakan dalam skala IKM dapat dilihat dalam Gambar 12. 150 mm
b 200 mm 30 mm
a 500 mm
Gambar 12. Separator skala IKM : (a) kran minyak keluar, (b) pipa keluaran air sisa penyulingan. Berdasarkan disain separator IKM di atas, kinerja separator skala IKM belum optimal. Minyak yang keluar dari kran pipa keluaran minyak masih mengandung air. Oleh karena itu, diperlukan pemisahan lebih
41
lanjut yaitu pemisahan minyak dan air dengan penyaringan menggunakan kain monel sebanyak 3 kali penyaringan. Pemisahan minyak yang kurang optimal pada separator IKM dikarenakan diameter tabung bagian dalam separator terlalu lebar. Oleh karena itu, lapisan minyak sulit terbentuk di bagian atas tabung dalam separator. Bila diameter tabung bagian dalam separator lebih sempit, mungkin minyak akan terpisah lebih sempurna. Selain itu, dengan kapasitas maksimal separator sebesar 35,33 liter dan rata-rata jumlah destilat yang dihasilkan per satu jam sebesar 39,49 liter, maka waktu tinggal minyak dalam separator kurang dari satu jam.
3. Kinerja dan Efisiensi Alat Penyulingan IKM Berdasarkan Proses a. Boiler Skala IKM Boiler skala IKM tidak memiliki katup pengatur, baik panas yang masuk ke boiler maupun pengatur tekanan dalam boiler. Ketiadaan katup pengatur pada boiler membuat uap air yang terbentuk di boiler masuk ke dalam ketel, tidak dapat diatur. Uap air yang dihasilkan di boiler langsung dialirkan ke dalam ketel suling. Laju uap yang masuk ke dalam ketel suling dari boiler tidak dapat diatur. Dengan demikian, tekanan uap yang dihasilkan di boiler tidak terlalu besar untuk mengekstrak minyak nilam. Tekanan uap yang dihasilkan diperkirakan tidak lebih dari 1 bar gauge. Tekanan uap yang rendah tentunya akan sulit untuk mengekstrak komponen-komponen bertitik didih tinggi dalam minyak nilam. Oleh karena itu, penyulingan di skala IKM ini memerlukan waktu yang lama yaitu 8 jam. Penyulingan yang memerlukan waktu lama, tentunya akan membutuhkan bahan bakar yang lebih banyak pula. Namun banyaknya jumlah bahan bakar belum tentu dapat memaksimalkan proses pembentukan uap air di boiler. Kebutuhan bahan bakar dan jumlah uap air yang terbentuk dapat dilihat dalam Tabel 5.
42
Tabel 5. Kebutuhan kayu bakar terhadap jumlah uap air yang terbentuk No. 1.
Keterangan Jumlah total kayu yang digunakan
Total energi yang dihasilkan kayu
3.
Jumlah total air yang diuapkan
4.
Total energi uap yang dihasilkan
5.
Lama waktu penyulingan
7. 8.
173,49 kg
(K.A = 20 %)
2.
6.
Jumlah
3.365,98 MJ 446 liter 1.141,66 MJ
Rata-rata energi yang dihasilkan kayu bakar/jam Rata-rata energi uap yang dihasilkan/jam Efisiensi energi dalam boiler
8 jam 420,75 MJ
142,71 MJ 33,92 %
Berdasarkan data dalam Tabel 5, maka energi dari kayu bakar sebesar 420,75 MJ/jam dari kayu sebanyak 28,92 kg. Namun energi yang dihasilkan kayu bakar tidak seluruhnya digunakan untuk memproduksi uap. Energi dari kayu yang digunakan untuk membentuk uap hanya sebesar 142,71 MJ/jam sedangkan sisanya loss ke udara atau lingkungan sekitar. Dengan demikian, efisiensi penggunaan energi dalam boiler hanya sebesar 33,92 %.
b. Ketel Suling Skala IKM Kinerja dan efisiensi ketel suling skala IKM berdasarkan kondisi proses, dapat dilihat dari kerapatan pengisian bahan ke dalam ketel dan peristiwa penetrasian uap dalam ketel. Bila dilihat dari ukuran ketel suling skala IKM, jumlah nilam kering yang dapat dimasukkan dalam satu kali proses penyulingan sebanyak 100 kg. Namun dalam pelaksanaannya, pengisian nilam kering ke dalam ketel dapat mencapai 160 kg. Bobot rata-rata nilam kering yang dimasukkan ke dalam ketel untuk satu kali proses penyulingan sebanyak 154,5 kg.
43
Kerapatan bahan (nilam kering) yang dimasukkan ke dalam ketel suling akan mempengaruhi kemampuan uap berpenetrasi ke dalam bahan (Anggraeni, 2003). Rata-rata kepadatan bahan yang digunakan pada skala IKM dalam proses penyulingan nilam sebesar 0,154 kg/liter. Pengisian bahan ke ketel yang melebihi kapasitas dapat menurunkan kinerja ketel suling. Kerapatan bahan yang tidak optimal dapat menyebabkan uap tidak dapat berpenetrasi dengan baik ke dalam bahan. Kerapatan pengisian bahan yang tidak merata menyebabkan terjadinya jalur uap (rat hole). Jalur uap tersebut dapat menyebabkan kehilangan uap sehingga uap air tidak dapat mengikat minyak dari jaringan-jaringan kantung minyak tanaman nilam. Fenomena jalur uap terjadi karena uap akan cenderung mencari celah di antara ruang antar bahan yang mudah ditembus (Ketaren, 1985). Jalur uap yang terjadi dalam ketel suling skala IKM dapat dilihat seperti pada Gambar 13.
Gambar 13. Fenomena jalur uap dalam ketel skala IKM Pada proses penyulingan skala IKM tidak diterapkan kondisi proses tertentu seperti kondisi tekanan yang digunakan di dalam ketel suling. Dengan demikian, tekanan di dalam ketel selama proses penyulingan skala IKM dianggap konstan. Hal tersebut dikarenakan ketel suling tidak dilengkapi dengan katup pengatur tekanan dalam ketel, katup
44
pengatur laju uap yang keluar dari ketel, dan pengukur tekanan dalam ketel (manometer gauge). Tidak adanya penggunaan katup pengatur tekanan uap yang masuk ke dalam ketel, membuat uap yang masuk ke dalam ketel fluktuatif, tergantung dari jumlah uap yang dihasilkan dari boiler. Laju uap yang keluar dari ketel juga fluktuatif karena tidak adanya katup pengatur laju uap yang keluar dari ketel. Dengan demikian, laju uap yang keluar menjadi destilat tidak dapat dipertahankan pada laju tertentu. Berdasarkan tingkat kerapatan bahan, semakin tinggi kerapatan bahan, semakin tinggi laju rata-rata destilatnya (Anggraeni, 2003). Namun demikian, laju rata-rata destilat dalam proses penyulingan skala IKM masih tergolong rendah sehingga tidak sesuai dengan tingkat kerapatan bahan dalam ketel. Hal tersebut disebabkan pengisian yang terlalu padat sehingga uap tertahan dan sulit untuk menembus bahan. Uap yang telah melewati bahan dalam ketel umumnya mengandung minyak. Bila jalan uap yang mengandung minyak tersebut terhambat maka rendemen yang diperoleh akan menurun akibat uap terkondensasi lebih awal (Guenther, 1947). Keterkaitan laju destilat dengan tingkat kerapatan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Keterkaitan tingkat kerapatan bahan dengan laju destilat No.
1.
2.
3.
4.
Keterangan Bobot nilam yang disuling Kerapatan nilam Laju destilat yang terhitung Laju destilat optimal
Penyulingan
Penyulingan Penyulingan
1
2
3
159 kg
160 kg
161 kg
0,159
0,160
0,161
kg/liter
kg/liter
kg/liter
37,99
40,98
69
liter/jam
liter/jam
liter/jam
95,4
96
96,6
liter/jam
liter/jam
liter/jam
45
Data pada Tabel 6 menunjukkan bahwa dari tiga penyulingan, peningkatan kerapatan pengisian nilam dalam ketel berbanding lurus dengan peningkatan laju destilatnya. Peningkatan laju destilat terjadi secara signifikan pada penyulingan ketiga. Hal ini disebabkan api yang digunakan lebih besar daripada penyulingan pertama dan kedua. Oleh karena itu, kemungkinan terbentuknya tekanan uap yang besar. Namun demikian, dari tiga data penyulingan tersebut, tidak ada satu pun proses penyulingan skala IKM yang mencapai batas optimal laju destilat yang sesuai dengan bobot nilam yang disuling dalam ketel. Nyala api yang besar pada penyulingan ketiga belum dapat menghasilkan laju destilat optimal sebesar 96,6 liter/jam. Hal ini disebabkan tekanan di boiler dan ketel yang dihasilkan belum cukup tinggi. Ketiadaan kondisi proses tertentu yang diterapkan dalam ketel suling skala IKM, menjadikan kehilangan panas yang terjadi di ketel selama proses penyulingan fluktuatif. Hal ini terlihat dari grafik kehilangan panas dalam Gambar 10. Pada kondisi proses ketel suling skala IKM, total kehilangan panas (energi) di ketel sebesar 59,02 MJ. Sebagian besar kehilangan energi terjadi di dinding ketel sebesar 48,79 MJ. Jumlah kehilangan energi dalam sistem ketel secara rinci dapat dilihat dalam Tabel 7.
Tabel 7. Kehilangan energi di ketel suling skala IKM No.
Keterangan
Jumlah (joule)
1.
Energi dari pipa penghubung boiler-ketel
1.123,50 MJ
2.
Kehilangan energi di tutup ketel
10,23 MJ
3.
Kehilangan energi di dinding ketel
48,79 MJ
4.
Energi keluar dari ketel
5.
Efisiensi ketel
1.064,48 MJ 94,75 %
Berdasarkan data Tabel 7, energi yang masih dapat dipertahankan ketel sebesar 1.064,48 MJ. Rata-rata kehilangan energi pada bagian tutup ketel tiap jamnya sebesar 1,28 MJ. Rata-rata kehilangan energi pada
46
bagian dinding ketel tiap jamnya sebesar 6,10 MJ. Dengan demikian efisiensi energi dari ketel suling skala IKM yang diperoleh sebesar 94,75 %.
c. Kondensor Skala IKM Kinerja kondensor skala IKM berdasarkan kondisi proses dilihat dari perlakuan yang diberikan pada air pendinginnya. Air pendingin yang digunakan dalam bak pendingin skala IKM bersistem batch. Sistem batch ini berarti tidak ada penambahan air pendingin ataupun pengeluaran air pendingin dari bak pendingin selama proses penyulingan berlangsung. Dengan demikian akan terjadi akumulasi panas pada lapisan bagian atas air pendingin. Semakin bawah lapisan air pendingin maka suhu air pendingin menurun menuju suhu air pendingin yang masuk di awal penyulingan sesuai dengan prinsip pindah panas (McCabe, 2005), sebelum terjadi pindah panas dari pipa kondensor. Selain itu, semakin lama waktu penyulingan, suhu air pendingin bagian lapisan atas akan semakin panas. Peningkatan suhu air pendingin tersebut disebabkan oleh akumulasi panas pada lapisan bagian atas air pendingin (McCabe, 2005). Hal ini dapat terlihat pada Lampiran 1. Bermula dari hubungan kenaikan suhu destilat dan air pendingin terhadap waktu, maka diperoleh data rata-rata pada kondensor sebagai berikut : 1. Jumlah rata-rata air pendingin dalam setiap proses penyulingan skala IKM sama yaitu sebesar 6.163,2 liter. 2. Rata-rata laju destilat yang digunakan 0,26 liter/kg bahan/jam. 3. Rata-rata laju destilat tersebut menghasilkan rata-rata suhu destilat 35,91 °C. 4. Rata-rata selisih suhu air pendingin 53,48 °C. Rata-rata selisih suhu air pendingin diperoleh berdasarkan rumus : ∆T
=
(T steam – Ta in) – (T steam – Ta out) Ln (T steam – Ta in) (T steam – Ta out)
(Ketaren, 1985).
47
Berdasarkan data-data tersebut maka rata-rata total keseluruhan kalor yang dilepaskan dari kondensor dalam sekali proses penyulingan sebesar 1.059,27 MJ. Efisiensi energi pada kondensor dapat dilihat dalam Gambar 14.
Energi steam (uap) 1.059,27 MJ
Kondensor dan Air pendingin (Efisiensi = 75,62 %) ∆T = 53,48 °C
Energi keluar (cair) 801,06 MJ
Gambar 14. Efisiensi energi kondensor IKM
Berdasarkan data dari Gambar 14 seluruh energi yang masuk ke dalam kondensor tidak dapat diserap seluruhnya oleh air pendingin. Penyerapan energi sebesar 75,62 % yang terjadi di kondensor mengakibatkan uap yang masuk ke dalam kondensor dapat diubah menjadi cairan, dalam hal ini berubah menjadi minyak nilam. Laju destilat dalam sistem penyulingan skala IKM masih tergolong rendah karena tidak sesuai dengan jumlah nilam yang disuling di dalam ketel. Laju destilat yang rendah di skala IKM terkait dengan pengisian nilam dalam ketel yang terlalu padat. Kemungkinan besar uap tertahan dalam nilam di ketel dan terkondensasi kembali sebelum mengalir ke kondensor. Menurut Suryani et al., (2007), laju destilat optimal penyulingan nilam sebesar 0,6 liter/kg jam. Bila menggunakan standar laju destilat tersebut maka laju destilat yang optimal digunakan pada skala IKM seharusnya sebesar 92,7 liter/kg jam. Berdasarkan hal tersebut, laju destilat dalam proses penyulingan nilam skala IKM belum mencapai optimal. Laju destilat yang terlalu lambat tidak menyebabkan efisiensi kondensor rendah. Laju destilat tersebut akan berpengaruh
48
langsung terhadap lama penyulingan. Laju destilat yang terlalu rendah akan memperpanjang waktu penyulingan. Pada penyulingan skala IKM tidak terdapat pengaturan tekanan uap dalam ketel dan tidak ada pengaturan laju destilat. Dengan demikian, tekanan uap dalam ketel dianggap konstan. Hal tersebut ditandai dengan akumulasi jumlah destilat berbanding lurus dengan lama waktu penyulingan pada Gambar 15. 350 315.89
300
286.73
250
234.46
Jumlah 200 destilat (liter) 150
202.55
185.67 141.88
100
89.91
50
34.07
0 1
2
3
4
5
6
7
8
Jam ke-
Gambar 15. Akumulasi destilat terhadap lama waktu proses penyulingan skala IKM B. UJI KOSONG PROTOTIPE ALAT PENYULINGAN Uji kosong pada prototipe peralatan penyulingan dimaksudkan untuk mengetahui kesiapan alat-alat tersebut dalam proses penyulingan. Kesiapan alat yang dimaksud yaitu ada atau tidaknya kebocoran dalam sistem peralatan penyulingan (Fatahna, 2005). Kebocoran pada sistem peralatan penyulingan menyebabkan kehilangan energi dan rendemen. Hal tersebut tentunya akan terkait dengan keefektifan dan keefisienan peralatan penyulingan yang digunakan (Yuhono dan Shinta, 2006). Pada uji kosong yang dilakukan terhadap prototipe peralatan penyulingan tidak terdapat kebocoran. Pemeriksaan ada atau tidaknya kebocoran tersebut dilakukan dengan udara bertekanan dan uap air yang dihasilkan boiler. pemeriksaan kebocoran tidak hanya dilakukan pada prototipe peralatan
49
penyulingan tetapi juga pada pipa-pipa penghubung prototipe peralatan penyulingan.
C. PENELITIAN UTAMA 1. Analisa Kadar Air dan Kadar Minyak Nilam Analisa kadar air nilam dilakukan untuk mengetahui tingkat kekeringan daun dan ranting nilam yang akan dan sudah disuling. Analisa kadar minyak dilakukan untuk mengetahui kadar minyak yang terkandung dalam daun dan ranting nilam yang akan dan sudah disuling. Selain itu, analisa kadar minyak setelah penyulingan ditujukan untuk mengetahui kemungkinan adanya minyak yang belum tersuling dalam daun dan ranting nilam. Menurut Santoso (1990), kadar air daun dan ranting nilam yang siap proses sebesar 12-15 %. Pada penyulingan prototipe rata-rata kadar air daun dan ranting nilam sebelum penyulingan sebesar 14,49 %. Bobot daun dan ranting nilam sebelum proses penyulingan sebesar 120 kg. Hal tersebut menunjukkan daun dan ranting nilam telah siap untuk disuling. Rata-rata kadar air daun dan ranting nilam setelah proses penyulingan sebesar 34,32 %. Rata-rata kadar air daun dan ranting nilam setelah proses penyulingan lebih
tinggi
daripada
sebelum
proses
penyulingan.
Hal
tersebut
menunjukkan seluruh bagian daun dan ranting nilam telah dilalui uap air. Prosedur penghitungan kadar air daun dan ranting nilam dapat dilihat pada Lampiran 4. Menurut Santoso (1990), kadar minyak dalam daun dan ranting nilam dapat mencapai 3 % (db). Berdasarkan analisa kadar minyak daun dan ranting nilam yang dilakukan sebelum penyulingan sebesar 2,61 % (db) sedangkan kadar minyak daun dan ranting nilam setelah proses penyulingan sebesar 0,097 % (db). Persentase minyak yang tersuling sebesar 2,50 %. Dengan demikian, prototipe peralatan penyulingan dapat dikatakan telah efektif digunakan dalam proses penyulingan minyak nilam. Peralatan analisa kadar minyak dapat dilihat pada Lampiran 5 sedangkan prosedur analisa beserta penghitungan kadar minyak dapat dilihat pada Lampiran 4.
50
2. Proses Penyulingan Minyak Nilam a. Kinerja Prototipe Alat Penyulingan Berdasarkan Disain 1) Prototipe Boiler Boiler merupakan alat penghasil uap air. Bahan bakar prototipe boiler yang digunakan pada penyulingan nilam adalah kayu bakar. Boiler ini terdiri dari pipa-pipa silinder berisi udara panas dan bagian bawahnya terdapat tungku untuk pembakaran kayu. Bagian dalam tungku terdapat pipa-pipa silinder berisi air yang digunakan untuk menghantarkan panas yang dihasilkan api pembakaran pada tungku. Berdasarkan pembagian pipa-pipa tersebut maka boiler yang digunakan dapat dikatakan sebagai jenis boiler gabungan pipa api dengan pipa air. Kapasitas air maksimal di dalam boiler sebesar 770 liter. Pada saat pembakaran kayu, boiler memerlukan alat pendukung untuk memperbesar api yaitu dengan menggunakan blower. Sketsa prototipe boiler dapat dilihat pada Gambar 16.
a
d
c b
e API
Gambar 16. Sketsa prototipe boiler (tampak depan) : (a) boiler, (b) tungku, (c) pipa air, (d) pipa api, (e) pintu tungku
51
Pada Gambar 16 terlihat pula fenomena aliran panas yang terjadi di dalam prototipe boiler. Panas dari api dihantarkan secara konveksi dan konduksi ke pipa-pipa air di sisi samping tungku. Panas dari pipa air ini menghasilkan uap air yang dialirkan dalam pipa api. Kemudian uap air tersebut yang nantinya akan dialirkan ke dalam ketel suling. Prinsip kerja dari prototipe boiler ini yaitu mengubah air dalam boiler menjadi uap air. Permukaan pindah panas pada prototipe boiler ini lebih luas daripada boiler skala IKM. Hal ini disebabkan permukaan pindah panas yang digunakan cukup banyak yaitu melalui pipa-pipa air, pipa-pipa api, dan dinding boiler. Luas permukaan pindah panas dalam boiler dan pipa air serta pipa api sebesar 14,40 m². Rata-rata suhu tertinggi yang terukur pada permukaan boiler sebesar 158,83 °C. Rata-rata suhu tertinggi pada permukaan tungku pembakaran sebesar 138,03 °C. Rata-rata jumlah air yang diuapkan dalam boiler sebesar 556,95 liter dalam satu kali proses penyulingan. Penyulingan dalam sistem prototipe dilakukan selama 6 jam. Dengan demikian, rata-rata air yang dapat diuapkan dalam boiler setiap jamnya sebesar 6,45 liter/m². Data-data luas permukaan pindah panas di boiler serta jumlah air yang dapat diuapkan dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Data luas permukaan pindah panas boiler dan uap air yang dihasilkan dalam prototipe penyulingan. No. 1.
Keterangan Luas permukaan pindah panas boiler serta pipa air dan pipa api
Besaran 14,40 m²
2.
Jumlah air yang diuapkan
556,95 liter
3.
Lama waktu penyulingan
6 jam
4.
Uap air yang dihasilkan/jam
6,45 liter/m²
Rata-rata air yang diuapkan per satuan luas dalam setiap jamnya pada prototipe sistem penyulingan jauh lebih kecil daripada sistem penyulingan skala IKM yaitu sebesar 6,45 liter/m²jam. Uap air yang
52
dihasilkan pada skala IKM sebesar 34,2 liter/m²jam. Semakin kecil jumlah air yang diuapkan per satuan luasnya, maka proses pembentukan uap air dan pendidihan air akan lebih cepat dan optimal (Guenther, 1947), serta waktu penyulingan dapat dipercepat. Dengan demikian, disain prototipe boiler lebih menguntungkan terkait dengan luas permukaan pindah panasnya dalam menghasilkan uap air. Disain prototipe boiler dilengkapi dengan blower dan katup pengatur keluarnya uap air dari boiler. Blower digunakan untuk membantu penyalaan api dan menjaga kestabilan nyala api dalam tungku pembakaran. Sistem kerja blower dibuat secara otomatis dengan indikator tekanan uap yang terukur dalam boiler. Indikator tekanan terendah yaitu sebesar 2,5 bar gauge dan tekanan tertingginya 3,5 bar gauge. Bila tekanan dalam boiler mencapai indikator tekanan terendah, maka blower akan menyala secara otomatis. Bila tekanan dalam boiler mencapai indikator tekanan tertinggi, maka blower akan mati secara otomatis. Cara kerja blower yang digunakan dalam prototipe sistem penyulingan digambarkan pada Gambar 17.
b a
Gambar 17. Sirkulasi udara dalam tungku dengan blower (tampak samping) : (a) pintu pemasukan kayu, (b) blower Blower yang digunakan merupakan tipe blower yang menghisap udara dari dalam tungku dan mengeluarkannya. Dengan demikian, udara yang masuk dari pintu pemasukan kayu dihisap oleh blower hingga mencapai bagian belakang tungku, maka sirkulasi udara (oksigen) lebih
53
merata dari bagian depan tungku hingga belakang. Sirkulasi udara yang telah digambarkan tersebut, dapat membantu penjalaran nyala api kayu yang diletakkan dari bagian depan tungku hingga belakang. Oleh karena itu, kemungkinan terbentuk bongkahan arang dalam tungku semakin kecil. Berdasarkan sistem kerja blower, kestabilan nyala api dalam tungku dapat dilihat dari indikator kestabilan tekanan uap dalam boiler. Kestabilan tekanan uap air dalam boiler dapat dilihat pada Gambar 18. Kestabilan uap air menunjukkan stabilnya energi yang dihasilkan dari boiler. Dengan stabilnya suplai tekanan uap dalam boiler, maka suplai uap ke ketel pun dapat diatur dan stabil. Bila tekanan dalam ketel stabil, laju destilat yang dihasilkan dapat diatur dan stabil pula.
4 3.5
3.7 3.3
3.7
3.45 3.2
3.05
2.85
3
3.35
3.3 2.8
2.7
2.65
2.5 Tekanan 2 (bar gauge) 1.5 1 0.5 0 30
60
90
120
150
180
210
240
270
300
330
360
Menit ke-
Gambar 18. Kestabilan tekanan uap air dalam prototipe boiler
Berdasarkan Gambar 18, terlihat peningkatan tekanan dan penurunan tekanan uap dalam boiler tidak lebih dari 1 bar gauge dalam 1 jam. Tekanan uap pada awal proses penyulingan hingga menit ke-90 meningkat karena suplai energi dari kayu masih banyak dan nyala api cenderung lebih besar. Tekanan uap akan menurun bila suplai energi dari kayu menurun dan nyala api mengecil. Bila tekanan uap menurun hingga
54
mencapai 2,5 bar gauge, maka blower akan menyala. Dengan demikian, tekanan uap dalam boiler tidak pernah di bawah 2,5 bar gauge. Lama waktu penggunaan blower ditentukan oleh lamanya waktu yang dibutuhkan untuk meningkatkan tekanan uap dalam boiler agar tetap berada pada kisaran 2,5 bar hingga 3,5 bar gauge. Adanya katup pengatur tekanan yang digunakan pada disain prototipe boiler, membuat kestabilan nyala api dalam tungku tidak dapat diindikasikan berdasarkan laju destilatnya. Katup ini berfungsi untuk mengatur jumlah uap yang masuk ke dalam ketel. Dengan demikian, tekanan uap dalam ketel dapat stabil. Tekanan uap dalam ketel akan lebih stabil, bila terdapat stok uap dalam boiler. Pengaturan stok uap dalam boiler merupakan salah satu fungsi dari katup pengatur tekanan uap air dalam boiler.
2) Prototipe Ketel Suling Prototipe ketel suling memiliki cukup banyak perbedaan dengan ketel suling skala IKM. Prototipe ketel suling dilengkapi dengan glasswool, manometer, penyekat karet antara bibir ketel dengan tutup ketel, jumlah baut pengunci yang lebih banyak yaitu 14 baut, dan bagian bawah ketel (bodem) tidak diisolasi. Dimensi prototipe ketel suling ini lebih besar daripada ketel suling skala IKM. Prototipe ketel suling memiliki tinggi 1,54 meter dari atas saringan dan diameter 1,16 meter. Perbandingan diameter dan tinggi ketel dalam prototipe sistem penyulingan sebesar 1 : 1,33. Perbandingan diameter dan tinggi ketel suling ini penting terkait dengan lama kontak uap dengan nilam kering dalam ketel selama proses penyulingan. Perbandingan tinggi ketel yang lebih besar daripada diameter sangat cocok digunakan dalam penyulingan bahan yang bersifat kamba seperti nilam (Rusli, 2003). Prinsip kerja prototipe ketel suling sama dengan ketel suling skala IKM. Prinsip kerja dan sketsa disain prototipe ketel suling dapat dilihat pada Gambar 19.
55
a e c
b
d Gambar 19. Fenomena aliran uap prototipe ketel suling : (a) tutup ketel, (b) glasswool, (c) pipa keluar uap, (d) pipa masuk uap, (e) dinding ketel
Pada disain prototipe ketel suling ini, tidak terdapat kebocoran sehingga dapat mengurangi resiko kehilangan panas yang disebabkan adanya kebocoran. Selain itu, penggunaan glasswool dapat mengurangi kehilangan panas yang terjadi pada dinding ketel. Pengaruh penggunaan glasswool dapat terlihat dengan membandingkan jumlah kehilangan panas ketel suling pada skala IKM dengan prototipe ketel suling. Perbandingan jumlah kehilangan panas pada kedua ketel tersebut dapat dilihat pada Gambar 20.
56
7 6
6.40 5.39
4.83
5
6.47
6.36
5.16
6.40 5.21
6.25
4.79
4.02 Kehilangan panas (MJ)
4
Dinding prototipe ketel
3.13
Dinding ketel skala IKM
3 2 1 0 1
2
3
4
5
6
Jam ke-
Gambar 20. Perbandingan kehilangan panas di dinding prototipe ketel denganIKM Penggunaan glasswool pada dinding prototipe ketel suling dapat mengurangi kehilangan panas (Santoso, 1990) (Gambar 20), bila dibandingkan dengan ketel suling skala IKM. Rata-rata pengurangan kehilangan panas oleh glasswool sebesar 1,69 MJ/jam. Walaupun glasswool dapat mengurangi kehilangan panas pada dinding prototipe ketel suling, namun pada permukaan glasswool tetap saja terdapat kehilangan panas. Jumlah kehilangan panas di bagian-bagian ketel suling baik skala IKM maupun prototipe dapat dilihat pada Lampiran 3. Gambar 20 menunjukkan perbedaan kehilangan panas antara dinding prototipe ketel suling dengan dinding ketel suling skala IKM. Perbedaan kehilangan panas dari Gambar 20 belum dapat mewakili secara keseluruhan pengaruh penggunaan glasswool pada dinding ketel suling. Hal ini dikarenakan dimensi dan disain kedua ketel tersebut sedikit berbeda. Pengaruh penggunaan glasswool terhadap kehilangan panas pada dinding prototipe ketel dapat dilihat pengaruhnya secara signifikan pada Gambar 21.
57
18
16.09
16 14
14.37
16.48 15.39
14.48
12.54
12 Kehilangan 10 panas (MJ) 8
Dengan Glasswool Tanpa Glasswool
6 4
4.38
4.83
5.16
5.21
4.79
2
3
4
5
6
3.13
2 0 1
Jam ke-
Gambar 21. Pengaruh penggunaan glasswool terhadap kehilangan panas dinding prototipe ketel Penggunaan glasswool sangat berpengaruh terhadap kehilangan panas pada dinding prototipe ketel suling (Gambar 21). Bila dinding prototipe ketel suling tidak menggunakan glasswool, maka rata-rata kehilangan panas dari dinding ketel sebesar 14,89 MJ/jam. Bila dinding prototipe ketel suling menggunakan glasswool, maka rata-rata kehilangan panas pada dinding ketel hanya sebesar 4,58 MJ/jam. Dengan demikian penggunaan glasswool pada dinding prototipe ketel dapat mengurangi kehilangan panas hingga 69,23 %. Pengaruh penggunaan glasswool terhadap total kehilangan panas dapat dilihat dalam Tabel 9.
Tabel 9. Pengaruh penggunaan glasswool terhadap total kehilangan panas Keterangan Total kehilangan panas keseluruhan dinding nonglasswool Total kehilangan panas dinding dengan glasswool
Kehilangan Panas (6 jam) 89,35 MJ
27,49 MJ
58
Kehilangan Panas
Keterangan
(6 jam)
Selisih kehilangan panas keseluruhan dinding nonglasswool dengan glasswool Persentase pengurangan kehilangan panas
61,86 MJ 69,23 %
Luas permukaan pindah panas pada setiap bagian ketel dapat mempengaruhi besarnya jumlah kehilangan panas (Zemansky, 1982). Semakin luas permukaan pindah panas pada bagian tertentu ketel, maka semakin tinggi kehilangan panasnya. Namun kehilangan panas pada bagian ketel juga ditentukan oleh perbedaan suhu yang terukur di permukaan bagian ketel. Keterkaitan jumlah kehilangan panas dengan luas permukaan bagian prototipe ketel suling dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Keterkaitan jumlah kehilangan panas dengan luas permukaan pindah panas ketel Luas permukaan No.
Bagian ketel
pindah panas (m²)
1. 2.
Tutup Dinding nonglasswool
Total kehilangan panas (MJ)
1,16
8,86
0,69
9,23
3.
Glasswool
6,29
18,27
4.
Bodem
1,16
3,06
Tabel 10 menunjukkan bahwa peningkatan jumlah kehilangan panas pada bagian ketel berbanding lurus dengan luas permukaan pindah panasnya (Zemansky, 1982). Namun demikian, luas permukaan pindah panas pada bagian tutup dan bodem sama besarnya tetapi jumlah kehilangan panasnya berbeda. Hal ini disebabkan perbedaan suhu yang terukur di permukaan kedua bagian tersebut.
59
Bagian bodem kehilangan panasnya lebih kecil karena suhu yang terukur pun lebih rendah dari bagian tutup. Perbedaan suhu tersebut terkait dengan fenomena arah aliran uap dalam ketel yang digambarkan dalam Gambar 19. Arah aliran uap menuju ke tutup ketel sehingga panas lebih terakumulasi di bagian tutup ketel daripada bodem ketel. Perbandingan kehilangan panas bagian bodem dengan tutup pada ketel suling prototipe dapat dilihat pada Gambar 22 dan Lampiran 3.
1.8
1.61
1.6
1.44
1.56
1.66
1.43
1.4 1.2
1.16
Kehilangan 1 Panas (MJ) 0.8 0.6
Tutup Ketel Bodem Ketel 0.42
0.50
0.52
2
3
0.57
0.54
0.52
4
5
6
0.4 0.2 0 1
Jam ke-
Gambar 22. Perbandingan kehilangan panas di tutup dan bodem ketel 3) Prototipe Kondensor Prototipe kondensor yang digunakan memiliki dua diameter yaitu 1,5 inchi sepanjang 19,79 meter dan 1 inchi sepanjang 25,45 meter. Luas penampang keseluruhan kondensor sebesar 4,40 m². Namun tidak seluruh luas permukaan kondensor digunakan sebagai media pindah panas, yang digunakan sebagai media pindah panas hanya seluas 3,72 m². Prototipe kondensor ini berbentuk koil. Bentuk koil ini berguna untuk mengurangi kebutuhan ruang penempatannya dalam bak pendingin. Oleh karena bentuknya yang koil, maka nilai koefisien pindah panas kondensor sebesar 40 Btu/ft² jam °C atau setara dengan 817.653,39 joule/m² jam °F (Ketaren, 1985). Bak pendingin yang digunakan memiliki panjang 2,4 meter, lebar 2,4 meter, dan tinggi 1,2 meter. Kapasitas maksimal air
60
pendingin yang dapat ditampung dalam bak pendingin sebesar 6.912 liter. Jumlah air pendingin yang digunakan dalam prototipe bak pendingin sebesar 6.163,2 liter. Jumlah air pendingin ini sama dengan yang digunakan pada sistem penyulingan skala IKM. Namun suhu destilat yang dihasilkan berbeda. Suhu rata-rata destilat yang dihasilkan dari sistem penyulingan prototipe sebesar 31,17 °C. Rata-rata suhu destilat hasil penyulingan prototipe lebih kecil daripada hasil penyulingan skala IKM. Hal ini disebabkan panjang pipa kondensor di sistem penyulingan prototipe lebih panjang dibandingkan skala IKM. Gambar bak pendingin dan kondensor yang digunakan dalam sistem penyulingan prototipe dapat dilihat dalam Lampiran 7.
4) Prototipe Separator Prototipe separator yang digunakan memiliki prinsip kerja yang sama dengan separator skala IKM. Walaupun memiliki prinsip kerja yang sama, bentuk prototipe separator dengan separator skala IKM berbeda. Prototipe separator memiliki diameter 50 cm, diameter tabung bagian dalam 15 cm, dan tinggi 45 cm. Kapasitas maksimal volume prototipe separator sebesar 90 liter. Bagian atas prototipe separator dibuat agak mengerucut. Hal ini dimaksudkan agar minyak dapat terpisah secara sempurna berdasarkan perbedaan bobot jenisnya dengan bobot jenis air. Semakin sempit luas permukaan bagian atas separator (Santoso, 1990), maka butiran minyak akan lebih mudah terkumpul. Disain prototipe separator yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 23.
61
c
a b
d 500 mm
450 mm
Gambar 23. Disain prototipe separator: (a) kaca pengamatan, (b) pipa pengeluaran air, (c) corong masuk destilat, (d) kran keluaran minyak. Disain separator di atas ternyata belum mampu memisahkan minyak dengan air secara sempurna. Pemisahan lebih lanjut dilakukan menggunakan labu pemisah berukuran 500 ml.
b. Kinerja Prototipe Alat Penyulingan Berdasarkan Proses 1) Prototipe Boiler Pada sistem penyulingan prototipe, kondisi tekanan uap yang diterapkan berkisar antara 2,5 bar gauge hingga 3,5 bar gauge. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjaga kestabilan tekanan uap air yang masuk ke dalam ketel. Walaupun tekanan uap air dalam boiler fluktuatif pada kisaran 2,5 bar hingga 3,5 bar, namun tekanan uap yang ada di dalam ketel suling tetap berkisar 0,5 bar pada satu jam pertama, 1 bar pada dua jam kedua, dan 1,5 bar pada tiga jam berikutnya. Dengan demikian fluktuasi laju destilat tidak berpengaruh terhadap tekanan uap di boiler. Hal ini berlawanan dengan yang terjadi di sistem penyulingan skala IKM. Tekanan uap boiler yang cenderung stabil menghasilkan data efisiensi energi seperti pada Tabel 11.
62
Tabel 11. Data efisiensi energi dalam prototipe boiler No.
Keterangan Jumlah kayu yang digunakan (K.A = 20
1.
%)
Jumlah 98,38 kg
2.
Energi total yang dihasilkan kayu
1.908,66 MJ
3.
Jumlah air yang diuapkan
556,95 liter
4.
Energi total uap air yang dihasilkan
1.480,93 MJ
5.
Lama waktu penyulingan Efisiensi energi dalam tungku dan
6.
boiler
6 jam 77,59 %
Berdasarkan data dalam Tabel 11, maka kebutuhan energi dari kayu bakar sebesar 318,11 MJ/jam dari kayu sebanyak 16,40 kg. Namun energi dari kayu tersebut tidak digunakan untuk membentuk uap air seluruhnya karena efisiensi energi dari boiler sebesar 77,59 %. Energi kayu yang digunakan untuk pembentukan uap air hanya sebesar 246,82 MJ/jam.
2) Prototipe Ketel Suling Kinerja dan efisiensi prototipe ketel suling berdasarkan kondisi proses, dapat dilihat dari kerapatan pengisian bahan ke dalam ketel dan kehilangan panas berdasarkan peningkatan tekanan uap dalam ketel. Bila dilihat dari ukuran prototipe ketel suling, jumlah maksimal nilam kering yang dapat dimasukkan dalam satu kali proses penyulingan sebanyak 160 kg. Namun pada pelaksanaannya pengisian nilam ke dalam ketel hanya sebanyak 120 kg. Dengan demikian kerapatan nilam dalam ketel sebesar 0,074 kg/liter. Penggunaan kerapatan pengisian nilam sebesar 0,074 kg/liter atau setara dengan 74,1 % (b/v) dari kapasitas maksimal volume ketel, tidak menimbulkan jalur uap (rat hole) selama proses penyulingan. Tidak
63
adanya jalur uap ditandai dengan setiap bagian daun dan ranting nilam basah setelah proses penyulingan. Dengan demikian, kepadatan pengisian bahan sebesar 0,074 kg/liter pada prototipe ketel suling dapat dianggap optimal. Jalur uap tidak terbentuk pada sistem penyulingan prototipe, dipengaruhi pula dengan adanya pemadatan daun dan ranting nilam sebelum disuling. Pemadatan daun dan ranting nilam sebelum disuling dapat membantu meratakan tingkat kerapatan bahan pada setiap bagian ketel. Dengan tingkat kerapatan bahan yang merata dapat memperkecil kemungkinan terjadinya jalur uap. Hal ini dikarenakan semakin kompak pengisian bahan, maka semakin kecil celah-celah antar bahan (Anggraeni, 2003). Fenomena penetrasi uap tanpa adanya jalur uap dapat dilihat pada Gambar 24.
b
a
Gambar 24. Fenomena penetrasi uap tanpa rat hole : (a) uap masuk, (b) uap keluar Sistem penyulingan prototipe menggunakan tekanan bertahap dalam ketel selama proses penyulingan minyak nilam. Besarnya tekanan uap dalam ketel dapat mempengaruhi jumlah kehilangan panas pada tiap bagian ketel yang terdiri dari tutup ketel, dinding ketel, glasswool, dan bodem ketel. Keterkaitan modifikasi tekanan bertahap terhadap pengaruh kehilangan panas pada keseluruhan bagian ketel dapat dilihat pada
64
Gambar 25. Kehilangan panas lebih spesifik pada tiap bagian ketel dapat dilihat dalam Gambar 26. Selain peningkatan tekanan dalam ketel, titik kritis dari penyulingan yaitu pengisian bahannya dalam ketel harus sesuai dengan kapasitas ketel, agar kinerja ketel dapat optimal terkait dengan proses penetrasi uap dalam ketel.
25
y = 15.041Ln(x) 21.62 + 4.1528 R2 = 0.9762
20 15
13.09
Total Kehilangan Panas (MJ)
10 4.70 5 0 0.5
1
1.5
Tekanan (bar gauge)
Gambar 25. Pengaruh peningkatan tekanan terhadap total kehilangan panas ketel Gambar 25 menunjukkan bahwa peningkatan tekanan uap dalam ketel akan meningkatkan jumlah total kehilangan panas pada permukaan ketel. Data lebih rinci mengenai Gambar 25 dapat dilihat pada Lampiran 3. Dengan demikian, peningkatan perlakuan tekanan dalam suatu sistem penyulingan merupakan salah satu titik kritis dalam menentukan jumlah kehilangan panas yang terjadi pada ketel selama proses penyulingan. Total kehilangan panas tertinggi di ketel terjadi pada saat tekanan 1,5 bar sebesar 21,62 MJ yang diterapkan selama 3 jam. Pada tekanan 1 bar kehilangan panas tiap jamnya sebesar 6,54 MJ. Dengan demikian kehilangan panas untuk tiap jam pada tekanan 1,5 bar sebesar 7,21 MJ. Total kehilangan panas terendah di ketel terjadi pada tekanan 0,5 bar
65
sebesar 4,70 MJ selama 1 jam. Kenaikan kehilangan panas dari tekanan 0,5 bar menjadi 1 bar tiap jamnya sebesar 1,84 MJ. Kenaikan kehilangan panas dari tekanan 1 bar menjadi 1,5 bar tiap jamnya sebesar 0,67 MJ. 8
7.21 6.54
7 6
Dinding
Kehilangan panas 4 (MJ/jam)
3.40
3.11 1.83
3 2
Tutup
4.70
5
1.29 1.16
1
Bodem
1.65 1.61
1.49 1.43
Keseluruhan bagian 0.54
0.51
0.42
Glasswool
0 0.5
1
1.5
Tekanan (bar gauge)
Gambar 26. Hubungan peningkatan tekanan terhadap kehilangan panas di tiap bagian ketel Bila dilihat dari Gambar 26, kehilangan panas pada tiap bagian ketel bervariasi. Hal tersebut dikarenakan luas permukaan pindah panasnya berbeda antar tiap bagian ketel. Kehilangan panas akan terus meningkat seiring dengan peningkatan tekanan. Namun demikian, peningkatan kehilangan panas pada tiap bagian ketel pada akhirnya akan mencapai titik tertentu, di mana kehilangan panasnya akan konstan bila tekanannya terus ditingkatkan. Hal ini terlihat dari Gambar 25 yang menunjukkan hubungan logaritmik antara peningkatan tekanan terhadap kehilangan panas.
3) Prototipe Kondensor Kinerja prototipe kondensor dari segi kondisi prosesnya ini diindikasikan
berdasarkan
perlakuan
yang
diterapkan
pada
air
pendinginnya. Sistem air pendingin yang digunakan selama proses yaitu batch, di mana tidak ada penggantian air pendingin selama proses penyulingan
berlangsung.
Sistem
air
pendingin
yang
batch,
menyebabkan akumulasi panas dimulai dari lapisan air pendingin paling
66
atas hingga bawah. Dengan demikian suhu air pendingin meningkat dari lapisan bagian atas. Peningkatan suhu air pendingin dan selisih perubahan suhu pada air pendingin dapat dilihat pada Gambar 27 berikut dan keterangan lebih rinci pada Lampiran 2.
450 400 350 300
T steam
Suhu 250 (K) 200
T air keluar T air masuk T
150 100 50 0 30
60
90 120 150 180 210 240 270 300 330 360 Menit ke-
Gambar 27. Suhu air pendingin di prototipe bak pendingin
Proses penyulingan prototipe menggunakan kondisi proses peningkatan tekanan bertahap pada ketel, namun laju destilatnya tidak dikondisikan mengikuti peningkatan tekanan uap pada ketel, melainkan laju destilatnya dipertahankan sebesar 0,63 liter/kg jam atau setara dengan 75,6 liter/kg jam. Dengan demikian, akumulasi jumlah destilat akan berbanding lurus dengan peningkatan tekanan uap dalam ketel seperti terlihat pada Gambar 28. Data lebih rinci terkait dengan Gambar 28 dapat dilihat pada Lampiran 2.
67
y = 79.059x - 6.8252
250 228.64
R2 = 0.9986
200 154.71
150
Akumulasi destilat (liter)
Jumlah destilat (liter)
Linear (Akumulasi destilat (liter))
100 70.52 50 0 0.5
1
1.5
Bar gauge
Gambar 28. Hubungan akumulasi destilat terhadap peningkatan tekanan ketel
c. Efisiensi Energi Prototipe Alat Penyulingan 1) Prototipe Boiler Prototipe boiler memiliki luas permukaan pindah panas yang lebih besar dari boiler skala IKM. Luas permukaan pindah panas ini akan menjadi lebih optimal, bila luas permukaan pindah panas itu dapat digunakan seluruhnya untuk memanaskan dan menguapkan air. Oleh karena itu, diperlukan panas yang merata pada permukaan pindah panas di boiler. Dengan luas permukaan pindah panas prototipe boiler sebesar 14,40 m², dapat menghasilkan uap air rata-rata sebesar 6,45 liter/m² jam. Rata-rata uap air
yang dihasilkan sebesar 6,45 liter/m² jam,
membutuhkan energi kalor kayu sebesar 318,11 MJ/jam, sehingga diperoleh efisiensi prototipe boiler sebesar 77,59 %. Gambaran efisiensi prototipe boiler dapat dilihat dalam Gambar 29.
68
Energi kayu bakar 1.908,66 MJ
Energi uap air (gas) 1.480,93 MJ
Boiler ξ = 77,59 % Tair awal = 25,5 °C Tsteam = 145,20 °C
Loss energi 427,73 MJ
Gambar 29. Efisiensi prototipe boiler Selain keunggulan disain prototipe boiler pada luas permukaan pindah panasnya, keunggulan dari disain prototipe boiler lainnya yaitu adanya penggunaan katup pengatur tekanan uap air dalam boiler dan blower. Sumber panas berasal dari api pembakaran kayu di tungku. Adanya penggunaan blower dapat membantu meratakan panas api dari bagian depan boiler sampai dengan bagian belakang boiler. Selain itu, penggunaan blower dapat mempertahankan nyala api dalam tungku stabil. Hal tersebut diindikasikan dengan stabilnya tekanan uap dalam boiler. Penggunaan katup pengatur tekanan uap di boiler, dapat digunakan untuk menghasilkan tekanan uap yang tinggi. Dengan pasokan tekanan uap air yang tinggi di boiler, maka kestabilan tekanan uap yang masuk ke dalam ketel suling dapat diatur dan laju penyulingan juga konstan. Indikasi kestabilan laju penyulingan ini dilihat dari laju destilat yang dihasilkan, di mana rata-rata laju destilatnya sebesar 0,63 liter/kg jam. Dengan penambahan disain pada tungku dan boiler prototipe, kinerja tungku dan boiler dapat ditingkatkan sehingga produktivitas uap air pun dapat meningkat. Berdasarkan
kinerja
dari
segi
disain
boiler,
sehingga
menghasilkan kondisi tekanan uap air yang stabil dalam boiler, maka efisiensi energi yang dihasilkan pada prototipe boiler sebesar 77,59 %.
69
2) Prototipe Ketel Suling Efisiensi prototipe ketel suling dikatakan efisien penggunaan energinya, bila ketel tersebut dapat meminimalkan energi (panas) yang hilang dari ketel selama proses penyulingan. Kehilangan energi (panas) pada prototipe ketel suling paling besar terdapat di dinding ketel. Selain itu, kondisi proses yang berupa peningkatan tekanan uap dalam ketel, juga akan meningkatkan kehilangan panas di permukaan ketel. Dengan demikian, titik kritis kehilangan panas pada ketel terdapat pada permukaan luas pindah panas di ketel dan kondisi proses peningkatan tekanan uap. Penggunaan glasswool dan katup pengatur tekanan uap di ketel dapat meningkatkan efisiensi kinerja ketel suling dari segi disain dan proses. Penggunaan kondisi proses peningkatan tekanan uap bertahap dapat mengefisienkan lama waktu penyulingan, tanpa harus mengalami kehilangan panas yang besar. Peningkatan tekanan uap secara bertahap dapat dilakukan karena adanya penggunaan katup pengatur tekanan uap di ketel. Dengan demikian, penggunaan glasswool menyokong kondisi proses yang diterapkan dalam ketel suling. Bila kinerja ketel suling dari segi disain dan proses meningkat, maka efisiensi dari ketel suling tersebut tinggi (Yuhono dan Shinta, 2006). Efisiensi prototipe ketel suling yang diperoleh sebesar 97,20 %. Pengaruh penggunaan glasswool terhadap efisiensi ketel dapat dilihat dalam Tabel 12. Tabel 12. Pengaruh penggunaan glasswool terhadap efisiensi prototipe ketel Keterangan Energi yang masuk ke ketel
Jumlah 1.406,39 MJ
Loss energi di ketel : 1. Tutup ketel
8,86 MJ
2. Dinding ketel nonglasswool
9,23 MJ
3. Dinding ketel glasswool
18,27 MJ
4. Bodem ketel
3,06 MJ
70
Keterangan
Jumlah
Total kehilangan panas ketel
39,41 MJ
Total kehilangan panas dinding nonglasswool keseluruhan Total kehilangan panas dinding glasswool keseluruhan Pengurangan kehilangan panas
89,35 MJ
27,49 MJ
61,86 MJ
dengan glasswool Persentase pengurangan kehilangan panas oleh glasswool Efisiensi ketel
69,23 % 97,20 %
Gambaran efisiensi prototipe ketel secara umum dapat dilihat pada Gambar 30 berikut ini. Energi masuk (gas/uap) 1.406,39 MJ
Ketel Suling ξ = (97,20 %) P = 0,5;1;1,5 bar T = 111,61;120,42;127,62 °C
Energi keluar (gas/uap) 1.366,98 MJ
Energi hilang (gas/uap) 39,41 MJ Gambar 30. Efisiensi prototipe ketel
3) Prototipe Kondensor Efisiensi prototipe kondensor sangat tinggi yaitu hanya sebesar 98,57 %. Hal ini disebabkan panjang pipa kondensornya terlalu panjang. Total panjang kondensor secara keseluruhan sebesar 45,24 meter. Namun pada uji coba penyulingan prototipe kondensor, panjang kondensor yang mengalami kontak dengan air (tenggelam) sebesar 39,58 meter. Air pendingin yang digunakan dapat menyerap panas dari pipa kondensor secara optimal sehingga kinerja pipa kondensor menjadi tinggi dan
71
efisiensinya pun meningkat. Efisiensi energi yang tinggi pada kondensor menyebabkan suhu rata-rata destilat yang dihasilkan sudah cukup optimal dan cenderung lebih dingin yaitu sebesar 31,17 °C. Efisiensi energi kondensor ini dapat dilihat lebih jelas perhitungannya pada Lampiran 3 dan dalam Gambar 31 berikut ini.
Energi masuk (gas) 1.355,63 MJ
Kondensor ξ = (98,57 %) Tsteam = 111,61;120,42;127,62 °C Tdestilat = 31,17 °C
Energi keluar (cairan) 1.336,29 MJ
Gambar 31. Efisiensi Prototipe Kondensor
3. Pembandingan Efisiensi Peralatan Penyulingan Skala IKM dengan Prototipe a. Pembandingan Efisiensi Boiler Skala IKM dengan Prototipe Alat penghasil uap air yang digunakan dalam penyulingan skala IKM berupa gabungan tungku dan boiler. Boiler skala IKM yang digunakan berupa drum yang berisi air. Kapasitas air dalam boiler skala IKM lebih kecil daripada prototipe boiler. Bila kapasitas air dalam boiler skala IKM kecil maka jumlah uap air yang dihasilkan juga lebih kecil. Namun bila jumlah uap air yang dihasilkan memerlukan energi kayu bakar yang sedikit, maka kinerja dan efisiensi alat tersebut semakin baik. Kinerja boiler skala IKM serta prototipe boiler telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya. Oleh karena itu, pada pembahasan kali ini, yang menjadi sorotan utamanya yaitu efisiensi kedua peralatan penyulingan tersebut. Perbedaan penggunaan boiler skala IKM dengan prototipe boiler dapat dilihat pada Tabel 13.
72
Tabel 13. Perbedaan penggunaan boiler skala IKM dengan prototipe boiler No.
1.
2.
3.
4.
Keterangan
Boiler Skala IKM
Rata-rata penggunaan total air/jam Rata-rata konsumsi kayu bakar/jam Total energi uap air yang dihasilkan Total energi yang disuplai kayu
55,75 liter/jam
Prototipe Boiler 92,83 liter/jam
21,69 kg/jam
16,40 kg/jam
1.141,66 MJ
1.480,93 MJ
3.365,98 MJ
1.908,66 MJ
5.
Konsumsi uap air/jam
142,71 MJ
246,82 MJ
6.
Konsumsi energi kayu/jam
420,75 MJ
318,11 MJ
7.
Rata-rata kadar air kayu
62,4 %
75,25 %
8.
Lama penyulingan
8 jam
6 jam
9.
Efisiensi
33,92 %
77,59 %
Berdasarkan data-data Tabel 13, penggunaan air pada prototipe boiler lebih besar daripada boiler skala IKM. Walaupun kebutuhan penggunaan air pada prototipe boiler lebih besar, namun energi uap air yang dihasilkan pun lebih besar. Jumlah uap air yang kecil membuat proses penyulingan berjalan lebih lama. Energi uap yang dihasilkan prototipe boiler lebih besar 339,27 MJ dari boiler skala IKM. Jumlah energi uap yang lebih besar tersebut, dapat mempercepat proses penyulingan selama ± 2 jam dalam sistem penyulingan prototipe. Oleh karena itu, bila ditinjau dari segi lama waktu proses penyulingan, maka sistem penyulingan prototipe lebih efisien (Lesmayanti, 2004). Jika industri penyulingan dilakukan selama 24 jam nonstop, maka dengan menggunakan alat prototipe, penyulingan dapat dilakukan
73
sebanyak 4 kali. Namun bila menggunakan alat skala IKM, proses penyulingan hanya dapat dilakukan 3 kali. Oleh karena itu, produktivitas para penyuling minyak nilam dapat ditingkatkan dengan menggunakan alat prototipe penyulingan (Yuhono dan Shinta, 2006). Penggunaan kayu bakar dalam sistem penyulingan skala IKM lebih besar. Hal tersebut dapat dilihat dari energi yang disuplai kayu bakar dalam sistem penyulingan skala IKM lebih besar. Bila ditinjau dari penggunaan kayu bakar, sistem penyulingan menggunakan prototipe boiler lebih ekonomis dibandingkan boiler skala IKM. Berdasarkan pertimbangan keekonomisan, dengan menggunakan prototipe boiler, para penyuling minyak nilam dapat menghemat biaya bahan bakar (Yuhono dan Shinta, 2006). Energi yang disuplai kayu dalam sistem penyulingan skala IKM sebesar 3.365,98 MJ, tidak dapat dimanfaatkan secara optimal dalam pembentukan energi uap air. Energi yang disuplai kayu tersebut hilang (loss) begitu saja. Adanya kehilangan energi tersebut membuat efisiensi boiler skala IKM menjadi rendah. Kehilangan energi pada boiler IKM lebih besar dengan ditandai suhu yang terukur pada permukaan boiler IKM lebih besar daripada prototipe, yaitu sebesar 178,5 °C sedangkan pada prototipe boiler sebesar 158,83 °C. Pada prototipe boiler, efisiensinya mencapai 77,59 %. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar energi yang disuplai kayu digunakan untuk menghasilkan energi uap air. Energi dari suplai kayu yang hilang pada prototipe boiler hanya sebesar 427,73 MJ setara dengan 22,41 % dari total uap air yang dihasilkan.
b. Pembandingan Efisiensi Ketel Suling Skala IKM dengan Prototipe Efisiensi
ketel
suling
dalam
sistem
penyulingan
perlu
diperhatikan. Efisiensi ketel ditinjau dari kehilangan panas yang mungkin terjadi pada ketel selama proses penyulingan dan kinerjanya. Kinerja ketel suling skala IKM dan prototipe ketel suling telah dibahas sebelumnya. Oleh karena itu, pada bagian pembahasan ini, yang akan dibahas lebih jauh yaitu mengenai kehilangan panas terhadap efisiensi
74
ketel. Kehilangan panas pada ketel suling sama dengan salah satu kehilangan energi dalam proses penyulingan. Efisiensi prototipe ketel suling sebesar 97,20 % sedangkan efisiensi ketel suling skala IKM sebesar 94,75 %. Efisiensi dari kedua alat tersebut hampir sama, hanya saja efisiensi ketel suling skala IKM lebih rendah 2,45 %. Pada prototipe ketel suling kehilangan panas total sebesar 39,41 MJ sedangkan kehilangan panas di ketel suling skala IKM sebesar 59,02 MJ. Berdasarkan kehilangan panas total di kedua ketel tersebut, terlihat bahwa kehilangan panas pada ketel suling skala IKM lebih besar maka sudah tentu efisiensinya lebih rendah. Oleh sebab itu, semakin besar kehilangan panas di ketel suling, maka semakin rendah efisiensinya. Data-data tersebut dapat dilihat dalam Tabel 14.
Tabel 14. Perbandingan efisiensi ketel skala IKM dengan prototipe Keterangan
Skala IKM
Prototipe
1.123,50 MJ
1.406,39 MJ
1. Tutup ketel
10,23 MJ
8,86 MJ
2. Dinding ketel non-
48,79 MJ
9,23 MJ
-
18,27 MJ
Energi yang masuk ke ketel Kehilangan energi di ketel :
glasswool 3. Dinding ketel glasswool
-
4. Bodem ketel Pengurangan
kehilangan
3,06 MJ
-
61,86 MJ
Total kehilangan panas ketel
59,02 MJ
39,41 MJ
Efisiensi ketel
94,75 %
97,20 %
panas dengan glasswool
Kehilangan terbesar panas di ketel suling skala IKM terdapat di bagian dinding ketel yaitu sebesar 48,79 MJ. Hal ini disebabkan tidak adanya penahan panas (glasswool) pada dinding ketel. Pada dinding prototipe ketel suling kehilangan panas tidak terlalu besar yaitu sebesar 9,23 MJ karena sebagian besar dinding diselimuti glasswool. Kehilangan
75
panas pada dinding prototipe ketel jauh lebih kecil dari ketel suling skala IKM. Hal ini tidak terlepas dari peran glasswool yang meminimalkan panas yang keluar dari dinding ketel. Glasswool memang dapat mengurangi kehilangan panas pada dinding ketel. Namun demikian kehilangan panas tidak dapat dicegah 100 % dengan glasswool. Hal ini terbukti dengan pengukuran suhu pada glasswool yang digunakan untuk menghitung kehilangan kalornya. Suhu yang terukur pada permukaan glasswool ternyata masih cukup tinggi. Oleh karena itu, kehilangan panas terjadi pula di glasswool ketel suling prototipe. Kehilangan panas di glasswool pada dinding prototipe ketel suling sebesar 18,27 MJ. Total kehilangan panas di dinding dan glasswool prototipe ketel suling sebesar 39,41 MJ. Kehilangan panas total pada dinding prototipe ketel jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan kehilangan panas total pada dinding ketel suling skala IKM. Perbandingan kehilangan panas pada ketel suling skala IKM dengan prototipe dapat dibandingkan dengan melihat Lampiran 3.
c. Pembandingan Efisiensi Kondensor Skala IKM dengan Prototipe Kondensor skala IKM memiliki ukuran lebih kecil dari prototipe kondensor. Keduanya memiliki bentuk yang sama yaitu koil. Luas permukaan pindah panas kondensor skala IKM ditentukan dengan rumus yang telah diterangkan pada sub bab sebelumnya. Perbandingan efisiensi kondensor skala IKM dengan prototipe dapat dilihat dalam Tabel 15.
Tabel 15. Perbandingan efisiensi kondensor skala IKM dengan prototipe Keterangan Energi yang masuk ke kondensor Energi yang diserap air pendingin
Skala IKM
Prototipe
1.059,27 MJ
1.355,63 MJ
801,06 MJ
1.336,29 MJ
76
Keterangan Efisiensi kondensor
Skala IKM
Prototipe
75,62 %
98,57 %
Efisiensi kondensor skala IKM yang terukur sebesar 75,62 % sedangkan efisiensi prototipe kondensor sebesar 98,57 %. Nilai efisiensi prototipe kondensor sangat tinggi sebesar 98,57 %. Persentase efisiensi kondensor yang tinggi disebabkan oleh air pendingin yang dapat menyerap panas dari pipa kondensor secara optimal. Suhu destilat yang dihasilkan pada penyulingan IKM lebih tinggi dari prototipe yaitu sebesar 35,91 °C sedangkan suhu destilat pada penyulingan prototipe sebesar 31,17 °C. Berdasarkan keterkaitan efisiensi dan suhu destilat yang keluar dari kondensor, maka kondensor skala IKM lebih pendek daripada prototipe kondensor. Selain berdasarkan, keterkaitan efisiensi dan suhu destilat, panjang kondensor skala IKM dapat diperkirakan berdasarkan fenomena laju destilatnya. Laju destilat yang tinggi seharusnya menghasilkan suhu destilat yang tinggi pula sedangkan laju destilat yang rendah akan menghasilkan suhu destilat yang rendah pula. Hal itu terkait dengan lamanya kontak panas kondensor dengan air pendingin (berhubungan dengan dimensi kondensor). Laju destilat pada skala IKM lebih kecil daripada prototipe, namun suhu destilatnya lebih tinggi. Fenomena ini menandakan waktu kontak panas kondensor dengan air pendingin cukup singkat walaupun laju destilatnya rendah. Hal ini membuktikan pipa kondensor skala IKM pendek serta luas penampang pindah panasnya lebih pendek. Laju destilat pada prototipe kondensor cukup tinggi tetapi suhu destilatnya cenderung rendah. Fenomena tersebut menandakan waktu kontak panas prototipe kondensor dengan air pendingin lebih lama (Santoso, 1990). Hal ini membuktikan pipa prototipe kondensornya panjang.
77
d. Pembandingan Efisiensi Separator Skala IKM dengan Prototipe Separator merupakan salah satu alat yang penting dalam sistem penyulingan. Campuran minyak dengan air akan dipisahkan di dalam alat ini. Prinsip pemisahan minyak dengan air yang berlaku di separator skala IKM sama dengan prototipe separator walaupun bentuknya berbeda. Separator dikatakan efisien penggunaannya bila minyak dapat langsung terpisah sempurna dengan air setelah keluar dari separator. Indikator minyak terpisah sempurna dengan air yaitu penampakan minyak yang jernih setelah keluar dari separator. Selain itu air sisa penyulingan tidak mengandung butir-butir minyak. Separator skala IKM masih belum efisien bila ditinjau dari segi disain. Disain tabung dalam separator skala IKM diameternya lebih besar daripada diameter tabung dalam prototipe separator. Diameter tabung dalam separator yang terlalu luas sulit untuk menyatukan butiran-butiran minyak yang terdapat di air lapisan atas dalam tabung bagian dalam separator. Diameter tabung bagian dalam prototipe separator juga belum optimal untuk menyatukan butiran-butiran minyak pada lapisan atas permukaan air pada tabung bagian dalam prototipe separator. Diameter tabung bagian dalam untuk tiap separator telah dijelaskan pada sub bab pembahasan sebelumnya.
e. Pembandingan Efisiensi Proses Penyulingan Secara Keseluruhan Efisiensi
proses
penyulingan
secara
keseluruhan
sangat
ditentukan dari tiap sub sistem yang menyusunnya. Efisiensi proses penyulingan secara keseluruhan pada penyulingan IKM dan prototipe dapat dilihat dalam Gambar 32 dan 33. Gambar 32 memperlihatkan efisiensi pada setiap sub sistem penyulingan IKM dan efisiensi proses penyulingan secara keseluruhan sebesar 23,80 %. Nilai efisiensi tersebut masih sangat rendah. Bila dilihat berdasarkan efisiensi sub sistemnya, nilai efisiensi proses penyulingan keseluruhan yang rendah, disebabkan rendahnya nilai efisiensi pada boiler yang digunakan yaitu sebesar 33,92 %. Pada proses penyulingan skala IKM, energi banyak terbuang di
78
boiler. Selain efisiensi boilernya yang rendah, rendahnya efisiensi proses penyulingan keseluruhan juga disebabkan oleh rendahnya efisiensi kondensor. Air pendingin di dalam bak kondensor belum terlalu optimal dalam menyerap panas dari kondensor. Hal ini terlihat dari suhu destilat yang dihasilkan masih lebih tinggi dari suhu destilat hasil penyulingan prototipe yaitu sebesar 35,91 °C. Berdasarkan
Gambar
33,
efisiensi
proses
penyulingan
keseluruhan prototipe jauh lebih baik daripada skala IKM yaitu sebesar 70,01 %. Hal tersebut tidak terlepas dari efisiensi tiap sub sistemnya. Misalnya saja efisiensi prototipe boiler dan kondensor jauh lebih baik daripada IKM. Dengan demikian, efisiensi proses secara keseluruhannya pun akan lebih meningkat.
79
Energi kayu bakar (padatan) 3.365,98 MJ
Loss energi di boiler 2.224,32 MJ
Boiler ξ = 33,92 % Tair awal = 27,5 °C Tsteam = 100 °C
Energi steam yang keluar (uap), Tsteam = 100 °C 1.141,66 MJ
Loss energi di pipa boilerketel 18,16 MJ ξ = 98,41 %
Energi uap air yang masuk ke ketel (uap) 1.123,50 MJ
Ketel P = < 1 bar gauge ξ = 94,75 %
Energi uap air yang masuk ke kondensor (uap) T = 100 °C 1.059,27 MJ
Kondensor (uapcairan) 801,06 MJ ξ = 75,62 %
Loss energi di seluruh permukaan bagian ketel 59,02 MJ
Loss energi di pipa ketelkondensor ξ = 99,51 % 5,20 MJ
Destilat (Minyak dan Air) T = 35,91 °C, ξtotal = 23,80 %
Gambar 32. Neraca energi proses penyulingan IKM
80
Energi kayu bakar (padatan) 1.908,66 MJ
Boiler ξ = 77,59 % Tair awal = 25,5°C Tsteam = 145,2 °C
Energi uap air yang keluar (uap), Tsteam = 145,2 °C 1.480,93 MJ
Loss energi di boiler 427,73 MJ
Loss energi di pipa boilerketel 74,54 MJ ξ = 94,97 %
Energi uap air yang masuk ke ketel (uap) 1.406,39 MJ
Ketel P = 0,5;1;1,5 bar gauge ξ = 97,20 %
Energi uap air yang masuk ke kondensor (uap) T= 111,61;120,42;127,62 °C 1.355,63 MJ
Kondensor (uapcairan) 1.336,29 MJ ξ = 98,57 %
Loss energi di seluruh permukaan bagian ketel 39,41 MJ
Loss energi di pipa ketelkondensor ξ = 99,17 % 11,34 MJ
Destilat (Minyak dan Air) T = 31,17 °C, ξtotal = 70,01 %
Gambar 33. Neraca energi proses penyulingan prototipe
81
4. Pemurnian Minyak Hasil Penyulingan Kerusakan mutu minyak selama penyimpanan dapat terjadi karena reaksi oksidasi atau hidrolisis oleh air. Hal tersebut tentunya menyebabkan bilangan asam meningkat dan mutu minyak turun. Oleh karena itu, agar tidak terjadi kerusakan pada minyak selama masa penyimpanan, dilakukan pemurnian minyak nilam dari air menggunakan natrium sulfat anhidrat (Guenther, 1947). Natrium sulfat anhidrat yang ditambahkan dikocok sehingga air dapat diserap sempurna. Bila minyak telah berwarna jernih, maka minyak dipisahkan dari endapan natrium sulfat anhidrat. Natrium sulfat anhidrat tidak bereaksi dengan minyak nilam sehingga tidak akan berpengaruh terhadap mutu minyak nilam. Penggunaan natrium sulfat anhidrat yang berlebihan dapat menyebabkan berkurangnya rendemen minyak (Guenther, 1947).
5. Pembandingan Mutu Minyak Nilam Hasil Penyulingan IKM dengan Prototipe Mutu dan rendemen minyak nilam hasil proses penyulingan ditentukan oleh beberapa hal mulai dari varietas nilam yang digunakan, penanganan bahan pasca panen, proses penyulingan, dan penyimpanan. Varietas daun nilam menentukan jumlah rendemen dan aroma. Varietas yang dianggap unggul yaitu varietas nilam Aceh. Varietas nilam Aceh ini memiliki rendemen yang tinggi dan aroma yang lebih kuat dibandingkan dengan varietas lainnya. Kandungan Patchouly Alcohol (PA) nilam Aceh lebih tinggi. Penanganan pasca panen daun nilam yang tepat juga dapat meningkatkan rendemen dan mutu minyak nilam (Guenther, 1947). Penanganan pasca panen yang dimaksud yaitu pengeringan dan perajangan yang dilakukan sebelum proses penyulingan. Pengeringan dimaksudkan untuk mengurangi kadar air dalam bahan, sehingga minyak akan lebih mudah disuling. Selain untuk mempermudah penyulingan, pengeringan juga bertujuan untuk menghindari tumbuhnya jamur pada nilam kering yang
82
belum akan disuling (Santoso, 1990). Begitu pula dengan perajangan yang ditujukan untuk membuka kantung minyak dalam batang dan daun nilam agar minyak lebih cepat keluar saat disuling (Ketaren, 1985). Berikut ini contoh nilam kering yang siap suling.
Gambar 34. Daun dan batang nilam kering Kondisi proses penyulingan juga memiliki peranan penting dalam menghasilkan kualitas minyak nilam baik dari segi warna, bau, tingkat keasaman, dan kandungan Patchouly Alcohol (PA). Bagian proses penyulingan yang dapat mempengaruhi kualitas minyak nilam hasil sulingan yaitu penerapan tekanan bertahap dalam ketel suling (Lesmayanti, 2004). Titik kritis dari penetapan tekanan dalam ketel adalah pengendalian uap air yang masuk ke dalam ketel dari boiler dan pengendalian laju destilat. Penyulingan
minyak
nilam
skala
IKM
umumnya
tidaknya
menggunakan perlakuan tertentu. Tekanan uap air yang diberikan dalam ketel suling skala IKM sesuai dengan kemampuan boiler skala IKM dalam menghasilkan uap air. Kemampuan boiler skala IKM tersebut tidak terlepas dari besar kecilnya nyala api dalam tungku. Penyulingan minyak nilam dengan peralatan prototipe menerapkan perlakuan tekanan bertahap dalam proses
penyulingannya.
Adanya
perbedaan
kondisi
penyulingan
memungkinkan adanya perbedaan mutu minyak nilam yang dihasilkan. Perbedaan mutu minyak secara keseluruhan hasil penyulingan skala IKM
83
dengan minyak hasil penyulingan hasil peralatan prototipe dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Perbedaan mutu minyak hasil skala IKM dengan prototipe No.
1.
2. 3.
Parameter
Penampakan warna minyak nilam Indeks bias (nD20) Bobot jenis (t = 20 °C)
Skala IKM Kuning agak kecokelatan
Prototipe
Kuning kecokelatan
SNI 06-23852006 Kuning muda-cokelat kemerahan
1,488
1,414
1,507-1,515
0,973
0,953
0,950 – 0,975
4.
Putaran optik
-53,6
5.
Bilangan asam
1,51
8,21
1 : 8,5
1 : 3,5
5,57
35,58
Maksimal 20
35,54
34,45
Minimal 30
6. 7. 8.
Kelarutan dalam etanol 90 % Bilangan ester Kadar Patchouly Alcohol (% PA)
-63,8
(-)48° - (-)65° Maksimal 8 Maksimal 1 : 10
a. Pembandingan Rendemen Minyak Hasil Penyulingan Berdasarkan Tekanan dalam Ketel Suling Efisiensi peralatan penyulingan tentunya akan berpengaruh terhadap rendemen karena rendemen merupakan output dari proses yang dilakukan peralatan penyulingan (Yuhono dan Shinta, 2006). Semakin tinggi efisiensi suatu alat maka semakin tinggi pula output yang dihasilkan dengan energi yang seminimal mungkin. Efisiensi yang tinggi pada proses penyulingan minyak nilam ditandai dengan tingginya minyak yang dapat tersuling dari nilam kering, sehingga mencapai batas maksimal minyak yang terkandung dalam nilam kering. Efisiensi dan kehilangan panas pada prototipe peralatan penyulingan tidak terlalu dipengaruhi oleh perlakuan tekanan yang dimaksudkan untuk
84
mempercepat proses penyulingan. Namun perlakuan tekanan dalam ketel selama proses penyulingan akan membawa dampak pada kualitas dan jumlah rendemen minyak nilam yang dihasilkan. Menurut Yuhono dan Shinta (2006), minyak atsiri yang bermutu tinggi dengan harga pokok relatif rendah (rendemen ≥ 2 %) dapat diperoleh dengan menggunakan peralatan penyulingan yang efisien dan efektif. Rendemen minyak nilam hasil penyulingan skala IKM mencapai 2,30 % (db) dari 2,46 % (db) minyak yang terkandung di dalam nilam kering. Rendemen minyak nilam hasil penyulingan alat prototipe mencapai 2,5 % (db) dari 2,61 % (db). Kehilangan rendemen pada penyulingan skala IKM sebesar 0,16 % (db) sedangkan kehilangan rendemen hasil penyulingan dengan alat prototipe sebesar 0,11 % (db). Berdasarkan data kehilangan rendemen tersebut, penyulingan dengan alat prototipe lebih efisien dalam menghasilkan rendemen yang optimal. Selain itu, penyulingan dengan alat prototipe dapat menghasilkan rendemen yang optimal dengan waktu yang relatif lebih singkat dibandingkan dengan peralatan penyulingan skala IKM. Pada Gambar 35 menunjukkan adanya penambahan minyak yang tersuling
seiring
dengan
peningkatan
tekanan.
Namun
demikian,
penambahan minyak tersebut akan mencapai batas tertentu dan tidak mengalami penambahan. Hal tersebut dikarenakan minyak dalam bahan telah habis tersuling. Berdasarkan Gambar 35, peningkatan tekanan dari 0,5 bar menjadi 1 bar akan menambah perolehan minyak sebanyak 305,6 gram. Peningkatan tekanan dari 1 bar menjadi 1,5 bar akan menambah perolehan minyak sebanyak 524,8 gram. Pada tekanan 0,5 dan 1 bar gauge minyak yang tersuling cukup banyak. Hal ini dikarenakan jumlah komponen minyak yang diekstrak dengan titik didih lebih rendah dari 120,42 °C lebih banyak daripada jumlah komponen minyak yang bertitik didih di atas 120,42 °C. Selain itu, peningkatan tekanan menjadi 1,5 bar atau lebih, tidak dapat menyuling lebih banyak minyak. Hal tersebut dikarenakan kandungan minyak dalam daun dan ranting nilam sudah semakin sedikit.
85
1400
1,261.0
1200 1000 Jumlah minyak nilam (gram)
955.4
800 524.8
600 400 200 0 0.5
1
1.5
Tekanan (bar gauge)
Gambar 35. Pengaruh peningkatan tekanan terhadap jumlah minyak b. Pembandingan Warna Minyak Nilam Warna minyak nilam merupakan salah satu daya tarik dari minyak nilam selain baunya yang khas. Warna minyak nilam dapat rusak bila proses penyulingan dilakukan terlalu lama. Selain waktu proses penyulingan yang terlalu lama, warna minyak nilam dapat rusak karena penggunaan suhu penyulingan yang terlalu tinggi. Suhu yang terlalu tinggi menyebabkan terjadinya kegosongan (burnt) (Lesmayanti, 2004). Minyak nilam hasil penyulingan skala IKM memiliki warna yang lebih terang dibandingkan dengan minyak nilam hasil penyulingan dengan menggunakan alat prototipe. Perbandingan warna kedua minyak nilam tersebut dapat dilihat pada Gambar 37. Minyak nilam hasil penyulingan skala IKM memiliki warna yang lebih cerah karena suhu uap yang digunakan tidak terlalu tinggi. Suhu uap yang tidak tinggi dikarenakan tekanan yang diterapkan dalam proses penyulingan tidak lebih dari 1 bar. Oleh karena itu, tekanan juga dapat mempengaruhi perubahan warna minyak (Lesmayanti, 2004).
86
(b)
(a)
Gambar 36. Perbandingan minyak hasil penyulingan skala IKM dengan prototipe : (a) minyak nilam hasil penyulingan skala IKM, (b) minyak nilam hasil penyulingan alat prototipe Warna minyak nilam hasil penyulingan dengan alat prototipe berubah seiring dengan peningkatan tekanan dapat dilihat pada Gambar 37. Pada gambar tersebut, minyak nilam akan cenderung semakin berwarna gelap seiring dengan peningkatan tekanan. Hal tersebut dikarenakan adanya kenaikan suhu yang cenderung membuat minyak menjadi gosong. Warna yang gosong pada minyak nilam sangat dihindari karena dapat menurunkan kualitas bau dari minyak tersebut (Ketaren, 1985).
(a)
(b)
(c)
Gambar 37. Perbandingan minyak nilam per tahapan tekanan : (a) minyak hasil tekanan 0,5 bar, (b) minyak hasil tekanan 1 bar, (c) minyak hasil tekanan 1,5 bar.
87
Gambar 37 menunjukkan penerapan tekanan 1,5 bar gauge pada proses penyulingan prototipe akan merusak warna minyak nilam. Pada tekanan tersebut, warna minyak nilam menjadi gelap atau mengalami kegosongan. Dengan demikian, proses penyulingan sebaiknya dilakukan pada tekanan di bawah 1,5 bar gauge agar tidak merusak warna minyak nilam. Kelemahan warna minyak yang dihasilkan pada tekanan 1,5 bar gauge dapat diatasi dengan mencampurkan minyak hasil penyulingan dengan tekanan 0,5 bar, 1 bar, dan 1,5 bar dengan perbandingan yang sesuai dengan perolehan minyak tiap tahapannya. Selain itu, agar tidak terjadi kegosongan pada warna minyak nilam yang dihasilkan sebaiknya batas tertinggi penerapan tekanan dalam proses penyulingan kurang dari 1,5 bar gauge.
c. Pembandingan Indeks Bias Nilai indeks bias dipengaruhi oleh kekentalan dan kerapatan minyak, semakin tinggi kerapatan minyak maka nilai indeks biasnya semakin tinggi. Kerapatan minyak yang tinggi disebabkan banyaknya komponen minyak yang merupakan fraksi berat yaitu seskuiterpen (Nurjannah, et al., 1991). Menurut Deguerry, et al. (2006), komponen seskuiterpen minyak nilam mayoritas berupa patchoulol. Berdasarkan data Tabel 16, fraksi berat hasil penyulingan skala IKM lebih besar daripada hasil penyulingan dengan alat prototipe. Hal ini dapat disebabkan oleh waktu penyulingan pada skala IKM yang lebih lama daripada penyulingan dengan alat prototipe. Peningkatan tekanan pada kondisi proses penyulingan prototipe menyebabkan nilai indeks biasnya meningkat. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya jumlah fraksi berat dalam minyak sehingga kerapatan molekul minyak semakin tinggi. Keterkaitan peningkatan tekanan terhadap nilai indeks bias dapat dilihat pada Gambar 38.
88
1.418
1.417
1.417 1.416 1.415 Nilai indeks 1.414 bias 1.413
1.415
1.414
1.413
1.412 1.411
1.410 1.41 0.5
1
1.5
Campuran
Tekanan (bar gauge)
Gambar 38. Hubungan peningkatan tekanan terhadap nilai indeks bias minyak nilam Pada Gambar 38 terlihat nilai indeks bias terendah dihasilkan dari kondisi proses penyulingan dengan tekanan 0,5 bar yaitu sebesar 1,413. Nilai indeks bias tertinggi diperoleh dari penyulingan dengan tekanan 1,5 bar sebesar 1,417. Hal tersebut menunjukkan pada tekanan 1,5 bar, komponen yang tersuling merupakan komponen berat yang menyebabkan nilai indeks biasnya tinggi. Selain itu, semakin lama waktu penyulingan maka nilai indeks bias akan semakin meningkat (Guenther, 1947). Pencampuran pada minyak hasil penyulingan prototipe dimaksudkan untuk memperoleh nilai indeks bias minyak secara keseluruhan dalam satu kali proses penyulingan dengan peralatan prototipe.
d. Pembandingan Bobot Jenis Tinggi rendahnya nilai bobot jenis minyak bergantung pada komponen yang dominan di dalam minyak tersebut. Semakin tinggi bobot jenis minyak nilam maka semakin tinggi kandungan komponen fraksi beratnya. Fraksi-fraksi berat tersebut tentunya memiliki angka bobot molekul yang tinggi (Nurjanah, et al., 1991). Berdasarkan data Tabel 16, bobot jenis minyak hasil penyulingan skala IKM sebesar 0,973 sedangkan bobot jenis minyak hasil penyulingan dengan alat prototipe sebesar 0,953. Bobot jenis minyak nilam hasil
89
penyulingan dengan alat prototipe lebih rendah dari skala IKM. Hal ini membuktikan komponen fraksi berat dalam minyak hasil penyulingan dengan alat prototipe lebih sedikit. Hal tersebut juga didukung dari pengujian indeks biasnya. Peningkatan tekanan dalam kondisi proses penyulingan prototipe dapat mengekstrak komponen fraksi berat. Fraksi berat dalam proses sistem penyulingan prototipe dapat terekstrak dengan menggunakan tekanan 1,5 bar gauge. Semakin tinggi tekanan yang diterapkan dalam kondisi proses penyulingan prototipe maka semakin tinggi bobot jenisnya. Selain itu, semakin lama proses penyulingan maka bobot jenis minyak yang dihasilkan akan semakin tinggi (Guenther, 1947). Hal ini terkait dengan semakin banyaknya komponen fraksi berat yang dapat terekstrak.
1
0.987 0.975
0.98
0.953
0.96 Nilai bobot jenis
0.94 0.92
0.914
0.9 0.88 0.86 0.5
1
1.5
Campuran
Tekanan (bar gauge)
Gambar 39. Hubungan peningkatan tekanan terhadap nilai bobot jenis minyak nilam Berdasarkan Gambar 39 bobot jenis minyak terendah diperoleh dari hasil penyulingan dengan tekanan 0,5 bar sebesar 0,914. Hal tersebut dikarenakan pada kondisi tekanan penyulingan 0,5 bar, komponen yang tersuling merupakan komponen ringan. Nilai bobot jenis tertinggi diperoleh dari proses penyulingan dengan 1,5 bar sebesar 0,967. Bobot jenis minyak secara keseluruhan sebesar 0,953. Bobot jenis minyak keseluruhan tersebut
90
diperoleh dengan menguji minyak nilam campuran dari hasil proses penyulingan dengan tekanan 0,5 bar, 1 bar, dan 1,5 bar. Dengan demikian, bobot jenis minyak keseluruhan dalam satu kali proses penyulingan dengan peralatan prototipe dapat diketahui.
e. Pembandingan Putaran Optik Nilai putaran optik dapat dipengaruhi oleh komponen dalam minyak nilam dan lama waktu penyulingan saat proses penyulingan. Bila nilai negatif putaran optik semakin tinggi maka komponen yang memutar bidang polarisasi ke arah kiri lebih banyak. Demikian pula sebaliknya, bila nilai positif putaran optik semakin tinggi maka komponen yang memutar bidang polarisasi ke arah kanan lebih dominan (Ketaren, 1985). Minyak hasil penyulingan skala IKM memiliki nilai putaran optik yang lebih tinggi daripada minyak hasil penyulingan dengan alat prototipe. Nilai putaran optik minyak nilam hasil penyulingan skala IKM sebesar -53,6 sedangkan minyak hasil penyulingan dengan alat prototipe sebesar -63,8. Dengan demikian, komponen minyak skala IKM lebih bersifat memutar bidang polarisasi ke arah kanan. Peningkatan tekanan dalam sistem penyulingan prototipe akan mengekstrak lebih banyak komponen yang bersifat memutar ke kiri. Dengan demikian, semakin tinggi tekanan yang diterapkan dalam kondisi proses penyulingan, maka semakin rendah nilai putaran optiknya. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 40.
91
0 -10
0.5
1
1.5
Campuran
-20 -30 Nilai putaran -40 optik -50 -60
-56.3
-70
-63.8
-66.5 -72.5
-80
Tekanan (bar gauge)
Gambar 40. Hubungan peningkatan tekanan terhadap nilai putaran optik minyak nilam Berdasarkan Gambar 40, nilai putaran optik tertinggi diperoleh dari proses penyulingan dengan tekanan 0,5 yaitu sebesar -56,3. Nilai putaran optik terendah diperoleh dari proses penyulingan dengan tekanan 1,5 bar sebesar -72,5. Komponen berat pada minyak nilam bersifat memutar ke kiri. Dengan demikian, dapat terlihat bahwa minyak nilam yang diperoleh pada tekanan 1,5 bar didominasi dengan komponen berat. Uji nilai putaran optik pada minyak hasil penyulingan dengan tekanan 0,5 bar, 1 bar, dan 1,5 bar dimaksudkan untuk mendapatkan nilai putaran optik dari minyak yang dihasilkan pada satu kali proses penyulingan.
f. Pembandingan Bilangan Asam Sebagian besar komponen minyak nilam terdiri dari komponenkomponen bersifat asam. Komponen-komponen bersifat asam ini terdapat pada komponen-komponen dengan bobot molekul tinggi (Zainuddin, Dadan, dan Yanyan, 2004). Komponen-komponen dengan bobot molekul yang tinggi tidak mudah diekstrak. Oleh karena itu diperlukan tekanan bertahap dalam proses penyulingan ini. Namun bila nilai bilangan asam
92
terlalu tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada minyak yang berupa perubahan bau minyak (Guenther, 1947). Bilangan asam pada minyak hasil penyulingan skala IKM hanya sebesar 1,51 sedangkan minyak hasil penyulingan dengan alat prototipe bilangan asamnya mencapai 8,21. Tingginya bilangan asam minyak hasil penyulingan dengan alat prototipe disebabkan tingginya suhu penyulingan. Hal tersebut dikarenakan adanya perlakuan tekanan bertahap. Semakin tinggi tekanan yang digunakan selama penyulingan, maka suhu juga akan meningkat. Semakin tinggi tekanan yang digunakan, semakin tinggi bilangan asam minyak nilam (Ketaren, 1985). Fenomena ini dapat dilihat dalam data analisa minyak pada Lampiran 6 dan pada Gambar 41.
23.69
25 20 15 Bilangan asam 10
8.21 6.34
5 1.15 0 0.5
1
1.5
Campuran
Tekanan (bar gauge)
Gambar 41. Hubungan peningkatan tekanan terhadap bilangan asam Pada Gambar 41 terlihat bahwa minyak nilam hasil penyulingan dengan tekanan 0,5 bar memiliki nilai bilangan asam yang terendah yaitu sebesar 1,15. Pada minyak nilam hasil penyulingan dengan tekanan 1,5 bar bilangan asamnya sangat tinggi. Hal tersebut dikarenakan komponen fraksi berat yang tersuling pada tekanan 1,5 bar bersifat asam (Zainuddin, Dadan, dan Yanyan, 2004). Oleh karena itu, agar nilai bilangan asam minyak nilam hasil penyulingan dengan alat prototipe tidak terlalu tinggi, maka diperlukan pencampuran minyak hasil dari ketiga proses penyulingan tersebut. Dengan
93
pencampuran tersebut, bilangan asam yang dihasilkan tidak terlalu tinggi yaitu sebesar 8,21. Selain itu, untuk mendapatkan minyak nilam dengan bilangan asam yang rendah dapat dilakukan dengan menurunkan tekanan kurang dari 1,5 bar gauge.
g. Pembandingan Kelarutan Alkohol 90 % Minyak nilam hasil penyulingan skala IKM lebih sukar larut dalam etanol 90 %. Hal ini ditandai dengan tingginya nilai perbandingan kelarutannya yaitu 1 : 8,5. Fenomena sebaliknya terjadi pada minyak hasil penyulingan menggunakan peralatan prototipe. Minyak hasil penyulingan dengan alat prototipe lebih mudah larut dalam alkohol dengan perbandingan 1 : 3. Kelarutan minyak nilam dalam etanol juga dipengaruhi komponen yang ada di dalamnya. Bila komponen yang lebih dominan di dalam minyak nilam adalah seskuiterpen dan terpen-Onya cenderung sedikit, maka minyak akan sukar larut dalam alkohol. Dengan demikian, komponen yang dominan dalam minyak hasil skala IKM seskuiterpen dan kandungan terpen-Onya kecil. Hal ini seiring dengan hasil pengujian bobot jenis dan indeks biasnya yang cenderung tinggi. Pada minyak nilam hasil penyulingan dengan peralatan prototipe, peningkatan tekanan menghasilkan minyak nilam yang makin mudah larut dengan alkohol. Hal tersebut dikarenakan kadar patchouly alcohol makin meningkat seiring dengan perlakuan tekanan. Bila kadar patchouly alcohol dalam minyak nilam meningkat maka kelarutan dalam alkoholnya pun meningkat. Hal ini dikarenakan patchouly alcohol termasuk ke dalam golongan seskuiterpen alkohol (Zainuddin, Dadan, dan Yanyan, 2004).
h. Pembandingan Bilangan Ester Bilangan ester dapat menurun karena adanya hidrolisa ester menjadi asam dan alkohol. Komponen ester dalam minyak nilam merupakan salah satu komponen yang membentuk bau khas pada minyak. Komponen ester dalam minyak hasil penyulingan dengan peralatan prototipe lebih tinggi
94
sehingga bau khas minyak nilam lebih terasa daripada minyak hasil penyulingan skala IKM. Bilangan ester akan menurun bila terjadi hidrolisa ester dengan air dan suhu yang terlalu tinggi. Hidrolisa ester akan meningkatkan bilangan asam. Hal tersebut dikarenakan hidrolisa ester akan menghasilkan asam dan alkohol. Semakin tinggi tekanan yang diterapkan dalam kondisi proses, maka semakin tinggi pula suhu yang digunakan. Dengan demikian, semakin tinggi tekanan, semakin tinggi pula bilangan esternya (Guenther, 1947). Hal ini dapat dilihat pada Gambar 42. Pada tekanan 1,5 bar bilangan ester dari minyak nilam sebesar 57,62. Dengan demikian, kandungan minyak tersebut sebagian besar didominasi oleh komponen ester. Bau khas nilam lebih menyengat pada minyak hasil penyulingan dengan tekanan 1,5 bar. Hal ini dikarenakan komponen ester yang membentuk aroma khas dari minyak (Ketaren, 1985). 70 57.62
60 50 Bilangan 40 ester 30 20
35.58 22.54 17.5
10 0 0.5
1
1.5
Campuran
Tekanan (bar gauge)
Gambar 42. Hubungan peningkatan tekanan terhadap bilangan ester i. Pembandingan Kadar Patchouly Alcohol (PA) Patchouly alcohol (PA) merupakan komponen yang paling penting dalam minyak nilam. Semakin tinggi kadar PA minyak nilam, maka semakin tinggi harga jualnya. Kadar PA ditentukan dari kualitas jenis nilam yang disuling. Kadar PA minyak nilam hasil penyulingan skala IKM
95
hampir sama dengan kadar PA minyak nilam hasil penyulingan dengan peralatan prototipe. Hal ini disebabkan kesamaan penggunaan jenis nilam. Patchouly alcohol merupakan senyawa seskuiterpen alkohol tersier. Tidak larut dalam air, larut dalam alkohol, eter atau pelarut organik yang lain. Mempunyai titik didih 280,37 °C dan kristal yang terbentuk memiliki titik leleh 56 °C (Zainuddin, Dadan, dan Yanyan, 2004). Komponen patchouly alcohol dapat tersuling pada suhu yang agak tinggi. Oleh karena itu, tingginya kadar PA dalam minyak nilam hasil penyulingan dengan peralatan prototipe terdapat pada perlakuan tekanan 1 bar dan 1,5 bar. Pada tekanan tersebut suhu menjadi lebih tinggi, sehingga PA dapat tersuling (Ketaren, 1985). Suhu yang tinggi dikarenakan tekanan yang semakin tinggi dalam ketel. Kadar PA ini dapat dianalisa melalui uji Gas Chromatography. Hasil uji GC dari minyak hasil penyulingan skala IKM dan minyak hasil penyulingan dengan peralatan prototipe dapat dilihat pada Lampiran 8 dan Gambar 43. 60 49.31
50
50.86
40
34.45
Kadar Patchouly 30 Alcohol (%) 20 10
8.57
0 0.5
1
1.5
Campuran
Tekanan (bar gauge)
Gambar 43. Pengaruh tekanan bertahap terhadap kadar Patchouly Alcohol j. Analisa α-copaene dan Besi (Fe) Analisa α-copaene dan Fe tidak dilakukan dalam penelitian ini. Namun bila terdapat kandungan α-copaene dan Fe yang melebihi batas maksimum berdasarkan SNI 2006, maka minyak nilam akan mengalami penurunan. Berdasarkan gugus fungsinya α-copaene termasuk ke dalam
96
golongan terpen yang dapat teroksidasi. Kadar α-copaene yang terlalu tinggi dapat menyebabkan bilangan asam dalam minyak meningkat. Kandungan Fe dalam minyak hasil penyulingan dengan peralatan prototipe diasumsikan sangat kecil. Hal tersebut dikarenakan penggunaan bahan stainless steel pada peralatan prototipe. Kontaminasi Fe pada minyak nilam dapat menyebabkan perubahan mutu warna minyak nilam (Guenther, 1947).
97
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Peningkatan efisiensi dan efektifitas proses produksi minyak atsiri khususnya minyak nilam masih dapat dilakukan. Peningkatan efisiensi dan efektifitas proses produksi minyak nilam ini dapat dilakukan dengan meningkatkan kinerja peralatan yang digunakan dalam proses penyulingan. Kinerja peralatan dalam sistem penyulingan minyak nilam dapat ditingkatkan dengan mengurangi kehilangan panas pada tiap bagian rangkaian sistem penyulingan. Hal tersebut berlaku bagi ketel suling, pipa penghubung boiler ke ketel suling, dan pipa penghubung ketel suling ke kondensor. Pengurangan kehilangan panas dalam ketel dapat dilakukan dengan cara penggunaan glasswool pada dinding ketel. Penggunaan glasswool dapat mengurangi kehilangan panas dari 89,35 MJ menjadi 27,49 MJ. Dengan demikian efisiensi energi di prototipe ketel sebesar 97,20 % sedangkan efisiensi ketel skala IKM sebesar 94,75 %. Kehilangan panas di pipa penghubung antar peralatan penyulingan ditentukan pula oleh panjang pipa penghubung tersebut. Dalam sistem penyulingan skala IKM kehilangan panas di pipa penghubung sebesar 23,36 MJ sedangkan pada penyulingan prototipe sebesar 85,88 MJ. Hal tersebut dikarenakan panjang pipa-pipa penghubung dalam sistem penyulingan prototipe lebih panjang daripada skala IKM sehingga luas permukaan pindah panasnya lebih besar. Kinerja dan efisiensi prototipe boiler sudah dapat dikatakan baik karena tidak ada sisa pembakaran dalam tungku. Oleh sebab itu, penggunaan kayu sebagai bahan bakar dapat dioptimalkan. Hal tersebut tidak terlepas dari penggunaan blower dalam pembakaran kayu bakar di ruang pembakaran prototipe boiler. Selain itu, dengan adanya katup pengatur tekanan pada prototipe boiler, tekanan uap air yang dihasilkan prototipe boiler lebih besar daripada boiler IKM. Dengan demikian efisiensi prototipe boiler lebih besar yaitu 77,59 % dan efisiensi boiler skala IKM hanya sebesar 33,92 %.
98
Kinerja dan efisiensi prototipe kondensor tidak begitu baik karena pipa kondensor yang digunakan terlalu panjang. Efisiensi prototipe kondensor sebesar 98,57 % sedangkan efisiensi kondensor skala IKM sebesar 75,62 %. Kinerja
dan
efisiensi
prototipe
peralatan
penyulingan
secara
keseluruhan dapat dikatakan lebih baik daripada peralatan penyulingan skala IKM. Penggunaan tekanan bertahap (0,5 bar selama 1 jam, 1 bar selama 2 jam, dan 1,5 bar selama 3 jam) pada penyulingan prototipe menjadikan kehilangan panas selama proses penyulingannya lebih kecil daripada penyulingan skala IKM. Selain itu, rendemen yang diperoleh pada penyulingan prototipe mendekati kadar minyak dalam bahan sebelum suling dan kehilangan minyak yang terjadi sangat kecil. Perolehan rendemen yang optimum pada penyulingan prototipe didapat dengan proses penyulingan selama 6 jam sedangkan pada penyulingan skala IKM selama 8 jam. Hal tersebut dikarenakan penyulingan prototipe menggunakan perlakuan tekanan bertahap selama proses penyulingan sehingga waktu penyulingan lebih singkat dibandingkan
dengan
penggunaan
tekanan
konstan
yang
diterapkan
penyulingan skala IKM. B. Saran Pada sistem penyulingan prototipe sudah cukup baik. Namun, masih terdapat beberapa kekurangan dalam kinerja separator. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai disain separator untuk mengoptimalkan fungsi separator sebagai pemisah minyak dan air. Pengefisienan energi dalam proses penyulingan dengan alat prototipe masih dapat dilakukan dengan penggunaan kembali air pendingin dalam kondensor. Air pendingin yang telah menyerap panas dari kondensor hingga suhu tertentu dapat dialirkan ke boiler. Pengaliran tersebut diharapkan dapat mengefisienkan waktu pembentukan uap air di boiler serta penghematan penggunaan air. Pemasangan instalasi peralatan penyulingan sebaik tidak terlalu berjauhan agar penggunaan pipa penghubung tidak terlalu panjang.
99
Penggunaan pipa penghubung yang terlalu panjang dapat menyebabkan kehilangan panas pada pipa-pipa tersebut menjadi lebih besar. Sebaiknya tekanan yang digunakan dalam proses penyulingan prototipe kurang dari 1,5 bar gauge agar tidak merusak mutu minyak yang dihasilkan. Selain itu, perlu dilakukan pencampuran minyak hasil penyulingan dengan tekanan 0,5 bar, 1 bar, dan 1,5 bar agar diperoleh rendemen yang tinggi dengan mutu yang baik sesuai SNI 2006.
100
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahim, dan Martawijaya. 1989. Atlas Kayu Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan – Departemen Kehutanan. Bogor. Anggraeni, D. 2003. Kinerja Proses Penyulingan Minyak Nilam Pada Tekanan Uap dan Kepadatan Bahan yang Berbeda. Skripsi. FATETA. Institut Pertanian Bogor. Ardiana, I. 2006. Kajian Proses Pemucatan Minyak Nilam Menggunakan Asam Sitrat Pada Skala Pilot Plant. Skripsi. FATETA IPB, Bogor. Dowthwaite, S V. dan Samjamjaras R. 2007. Vertiver : Perfumers’ Liquid Gold. Thai-Cina Flavours and Fragrances Co. Ltd. Bangkok. Emmyzar, dan Yulius F. 2004. Pola Budidaya untuk Peningkatan Produktifitas dan Mutu Minyak Nilam (Pogostemon cablin Benth). Vol. XVI, No.2. Perkembangan Teknologi TRO. Fatahna, I. 2005. Disain dan Uji Kinerja Kondensor dan Analisis Efisiensi Energi Prototipe Sistem Penyulingan Minyak Atsiri. Skripsi. FATETA. Institut Pertanian Bogor. Guenther, E. 1947. Minyak Atsiri. Diterjemahkan oleh Semangat Ketaren. 1988. Direktorat Jenderal Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Guenther, E. 1947. Minyak Atsiri. Diterjemahkan oleh Semangat Ketaren. 1988. Di dalam Racharto, Aris. 1992. Model Matematik dan Karakteristik Penyulingan Sereh Wangi Menggunakan Metode Uap Langsung. Skripsi. FATETA IPB, Bogor. Harris, R. 1993. Tanaman Minyak Atsiri. Penebar Swadaya. Jakarta. Ketaren, S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Balai Pustaka. Jakarta. Ketaren, S. 1987. Minyak Atsiri. UI-PRESS. Jakarta. Ketaren, S. dan Rina. 1991. Mempelajari Cara Pemucatan dan Pengaruh Bahan Pemucat Terhadap Warna Serta Sifat Fisiko Kimia Minyak Kenanga (Canangium odoratum Baill). Vol. 4(3), 59-68. Teknologi Industri Pertanian. Kulshrestha, S. K. 1989. Buku Teks Termodinamika Terpakai, Teknik Uap dan Panas. UI-Press. Jakarta.
Lesmayanti, S. 2004. Modifikasi Proses Penyulingan Minyak Nilam dengan Peningkatan Tekanan Secara Bertahap. Skripsi. FATETA. Institut Pertanian Bogor. Lutony, T. L dan Y. Rahmayanti 1994. Produksi dan Perdagangan Minyak Atsiri. Penebar Swadaya. Jakarta. Manitto. 1981. dalam Ardiana, I. 2006. Kajian Proses Pemucatan Minyak Nilam Menggunakan Asam Sitrat Pada Skala Pilot Plant. Skripsi. FATETA IPB, Bogor. McCabe, W. L., Julian C. S., Peter H. 2005. Unit Operations of Chemical Engineering. Seventh Edition. McGraw-Hill International. Nurjannah, N., S. Ketaren, dan Desiyarni. 1991. Percobaan Penyulingan Minyak Lada Menir. Buletin Littri. Maret. No.2. Nuryani, Y. dan Sutjihno. 1994. Hubungan Berbagai Karakter Morfologi dengan Produksi dan Kadar Minyak Nilam. Vol. IX, No. 2. Balitro. Racharto, A. 1992. Model Matematik dan Karakteristik Penyulingan Sereh Wangi Menggunakan Metode Uap Langsung. Skripsi. FATETA IPB. Bogor. Rusli, S. 2003. Nilam, Teknologi Penyulingan dan Penanganan Minyak Bermutu Tinggi. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. Santoso, H. B. 1990. Bertanam Nilam Bahan Industri Wewangian. Kanisius. Yogyakarta. Suryani, A., Suprihatin, Semangat K., Meika S. R., Muhammad R., Hermawan, dan Angga Y. 2007. Panduan Cara Produksi yang Baik Minyak Nilam (GMP). Direktorat Jenderal Industri Kecil dan Menengah. Departemen Perindustrian. Jakarta. Utomo, T. 1984. Teori Dasar Fenomena Transpor. IKAPI. Bandung. Wiraatmadja, S. 1989. Peralatan Industri. FATETA-IPB. Bogor. Yuhono J. T. dan Shinta S. 2006. Status Pengusahaan Minyak Atsiri dan Faktorfaktor Teknologi Pasca Panen yang Menyebabkan Rendahnya Rendemen Minyak. Vol. XVII, No. 2. Bul. Littro. Zainuddin A., Dadan S., dan Yanyan F. N. 2004. Peningkatan Kadar Patchouli Alkohol dalam Minyak Nilam (Patchouli Oil) dan Usaha Derivatisasi Komponen Minornya. Vol. XVI. No. 2. Perkembangan Teknologi TRO. Zemansky, S. 1982. Fisika untuk Universitas 1 Mekanik, Panas, Bunyi. Bina Cipta. Jakarta.
www. boiler\Boiler - Wikipedia, the free encyclopedia.htm. (Tanggal akses 30 Juli 2008).
Lampiran 1. Data-data yang diukur di penyulingan IKM No.
Keterangan
Jumlah
1.
Bobot kayu bakar basah (kg)
2.
Kadar air kayu bakar (%)
62,4
3.
Bobot daun dan ranting nilam kering (kg)
154,5
4.
Kadar air nilam sebelum penyulingan (%)
35
5.
Kadar air nilam sesudah penyulingan (%)
35
6.
Kadar minyak nilam sebelum penyulingan (%)
2,46
7.
Kadar minyak nilam sesudah penyulingan (%)
0,06
8.
Jumlah air yang diuapkan selama proses penyulingan (liter)
369,25
446
9.
Suhu air awal (°C)
27,5
10.
Suhu udara sekitar (°C)
28
11.
Lama waktu penyulingan (jam)
8
Data dimensi : a) Tempat penyimpanan air : • Diameter :................................................57.....................................cm. • Tinggi :..............................................87,5....................................cm. b) Boiler : • Diameter :..............................................80.......................................cm. • Panjang :..............................................130.....................................cm. c) Pipa dari boiler ke ketel suling : • Diameter :....................................95, 84.........................................mm. • Panjang :................................65, 180.............................................cm. d) Ketel suling : • Tinggi keseluruhan ketel :.........................153.....................cm. • Tinggi bibir ketel ke saringan :.........................133.....................cm. • Diameter :..........................98......................cm. e) Pipa dari ketel ke kondensor : • Diameter :.......................................................47,5.........................mm. • Panjang :........................................................138...........................cm. f) Bak kondensor : • Panjang :....................................................250..............................cm. • Lebar :....................................................250..............................cm. • Tinggi :....................................................170..............................cm. g) Kondensor : • Panjang :....................................................250..............................cm.
104
• •
Diameter :....................................................250..............................cm. Tinggi :....................................................170..............................cm.
Data Suhu Boiler Menit ke-
Suhu (°C)
Suhu (K)
Tengah
Kiri
Kanan
Tengah
Kiri
Kanan
30
125
155
120
398
428
393
60
144
167
154
417
440
427
90
139
144
131
412
417
404
120
271
247
281
544
520
554
150
167
185
139
440
458
412
180
194
191
163
467
464
436
210
158
216
139
431
489
412
240
166
154
137
439
427
410
270
209
184
160
482
457
433
300
161
146
113
434
419
386
330
251
173
140
524
446
413
360
165
157
152
438
430
425
390
236
143
125
509
416
398
420
166
142
121
439
415
394
450
145
141
140
418
414
413
480
159
154
115
432
427
388
178,5
168,69
145,63
451,5
441,69
418,63
Rata-rata
Data Suhu di Tungku Pembakaran Menit ke-
Suhu (°C)
Suhu (K)
Depan
Tengah
Atas
Depan
Tengah
Atas
30
41
40
46
314
313
319
60
43
43
50
316
316
323
90
41
42
52
314
315
325
120
49
41
54
322
314
327
105
Menit ke-
Suhu (°C)
Suhu (K)
Depan
Tengah
Atas
Depan
Tengah
Atas
150
44
43
61
317
316
334
180
54
43
64
327
316
337
210
48
42
62
321
315
335
240
45
42
63
318
315
336
270
46
42
52
319
315
325
300
48
44
58
321
317
331
330
47
42
66
320
315
339
360
46
40
65
319
313
338
390
48
42
68
321
315
341
420
43
42
64
316
315
337
450
45
43
68
318
316
341
480
45
43
66
318
316
339
45,81
42,13
59,94
318,81
315,13
332,94
Rata-rata
Data Suhu Ketel Suling Menit ke-
Suhu (°C)
Suhu (K)
Tutup
Dinding
Tutup
Dinding
30
48,33
53,33
321,33
326,33
60
82,67
66
355,67
339
90
83
63
356
336
120
82,33
65,67
355,33
338,67
150
83
64
356
337
180
83
65
356
338
210
83
62,67
356
335,67
240
82,67
65
355,67
338
270
81,33
64,33
354,33
337,33
300
79,67
62
352,67
335
330
59
57
332
330
360
80,67
66,67
353,67
339,67
106
Suhu (°C)
Menit ke-
Suhu (K)
Tutup
Dinding
Tutup
Dinding
390
83
66
356
339
420
83
62,67
356
335,67
450
82
64,33
355
337,33
480
83
61,67
356
334,67
Data Suhu Uap dan Air Pendingin di Kondensor Menit ke-
Suhu (°C)
Suhu (K)
T steam
Ta in
Ta out
T steam
Ta in
Ta out
30
100
27,5
45
373
300,5
318
60
100
27,5
55
373
300,5
328
90
100
27,5
57
373
300,5
330
120
100
27,5
59
373
300,5
332
150
100
27,5
60
373
300,5
333
180
100
27,5
62
373
300,5
335
210
100
27,5
63
373
300,5
336
240
100
27,5
64
373
300,5
337
270
100
27,5
65
373
300,5
338
300
100
27,5
64
373
300,5
337
330
100
27,5
63
373
300,5
336
360
100
27,5
64
373
300,5
337
390
100
27,5
65
373
300,5
338
420
100
27,5
67
373
300,5
340
450
100
27,5
67
373
300,5
340
480
100
27,5
68
373
300,5
341
107
Data Suhu Pipa-pipa Penghubung Suhu (°C) Menit ke-
Boiler-Ketel
Suhu (K)
KondensorKetel
Boiler-Ketel
KondensorKetel
30
73,33
33,33
346,33
306,33
60
73
70,67
346
343,67
90
78
71,67
351
344,67
120
76,67
72
349,67
345
150
78
72
351
345
180
75,67
72,33
348,67
345,33
210
73
68,67
346
341,67
240
78
69,67
351
342,67
270
82,67
71
355,67
344
300
70,67
69,67
343,67
342,67
330
72
43,67
345
316,67
360
74
68,67
347
341,67
390
73,33
70,33
346,33
343,33
420
75
72
348
345
450
72,33
70,33
345,33
343,33
480
74,67
70,33
347,67
343,33
Data Suhu dan Laju Destilat
Menit ke-
Suhu
Suhu
Laju
Destilat
Destilat
Destilat
(°C)
(K)
(liter/jam)
30
30
303
7,44
60
34
307
60,70
90
36
309
60,67
120
35
308
51
Akumulasi Jumlah Destilat
Jumlah
Tiap Jam (liter)
Destilat (liter)
34,07
34,07
55,84
89,91
108
Menit ke-
Suhu
Suhu
Laju
Destilat
Destilat
Destilat
(°C)
(K)
(liter/jam)
150
36
309
54,08
180
40
313
49,85
210
38
311
39,82
240
36
309
47,76
270
37
310
26,78
300
37
310
6,98
330
27,5
300,5
16,84
360
36
309
46,99
390
37
310
53,08
420
40
313
51,46
450
38
311
35,47
480
37
310
35,91
308,91
Rata-rata
Akumulasi Jumlah Destilat
Jumlah
Tiap Jam (liter)
Destilat (liter)
51,97
141,88
43,79
185,67
16,88
202,55
31,91
234,46
52,27
286,73
22,86
29,16
315,89
39,49
39,49
109
Lampiran 2. Form data-data di penyulingan Prototipe No.
Keterangan
Jumlah
1.
Bobot kayu bakar basah (kg)
319,55
2.
Kadar air kayu bakar (%)
75,25
3.
Bobot daun dan ranting nilam kering (kg)
120
4.
Kadar air nilam sebelum penyulingan (%)
14,49
5.
Kadar air nilam sesudah penyulingan (%)
34,32
6.
Kadar minyak nilam sebelum penyulingan (%)
2,61
7.
Kadar minyak nilam setelah penyulingan (%)
0,09
8.
Jumlah air yang diuapkan selama proses penyulingan (liter)
556,95
9.
Suhu air awal (°C)
25,5
10.
Suhu udara sekitar (°C)
25,5
11.
Lama waktu penyulingan (jam)
6
Data dimensi : a) Boiler : Pipa api • Diameter :..........................................3,75........................................cm. • Panjang :..........................................152.........................................cm. • Jumlah :............................................36.........................................cm. Pipa air • Diameter :...............................................5........................................cm. • Panjang :............................................83.........................................cm. • Jumlah :............................................34.........................................cm. Silinder boiler • Diameter :.............................................74........................................cm. • Panjang :...........................................152........................................cm. Luas permukaan pindah panas : ........................14,40..............................m². b) Pipa dari boiler ke ketel suling : Pipa Vertikal 1 • Diameter :.........................................4,78....................................... cm. • Panjang :............................................85........................................cm. Pipa Horizontal 1 • Diameter :..........................................4,78........................................cm. • Panjang :...........................................200........................................cm. Pipa Horizontal 2 • Diameter :..........................................4,78........................................cm. • Panjang :...........................................110........................................cm.
110
c)
d)
e)
f)
Pipa Horizontal 3 • Diameter :.........................................4,78.........................................cm. • Panjang :..........................................300.........................................cm. Pipa Vertikal 2 • Diameter :...........................................5............................................cm. • Panjang :.........................................182..........................................cm. Pipa Lekukan • Diameter :..........................................5.............................................cm. • Panjang :......................................1,21............................................cm. Ketel suling : • Tinggi keseluruhan ketel :.........................184......................cm. • Tinggi bibir ketel ke saringan :.......................145,5.....................cm. • Diameter :........................116.......................cm. • Tinggi Glasswool :........................165.......................cm. • Diameter Glasswool :.......................121,5.....................cm. • Tinggi Dinding tanpa Glasswool :...........................19......................cm. • Luas Permukaan Tutup Ketel :..........................1,15....................m². • Luas Permukaan Bodem :..........................1,15....................m². Pipa dari ketel ke kondensor : Pipa Horizontal 1 • Diameter :............................................5...........................................cm. • Panjang :........................................68,5..........................................cm. Pipa Vertikal 1 • Diameter :...........................................5............................................cm. • Panjang :.........................................96,5.........................................cm. Pipa Horizontal 2 • Diameter :..........................................3,81........................................cm. • Panjang :......................................384,5..........................................cm. Bak kondensor : • Panjang :..........................................240.........................................cm. • Lebar :...........................................240........................................cm. • Tinggi :...........................................120........................................cm. Kondensor Pipa 1 • Panjang :..........................................2.545......................................cm. • Diameter :.............................................2,5.......................................cm. Pipa 2 • Panjang :...........................................1.979.....................................cm. • Diameter :.............................................3,8.......................................cm. Luas Permukaan yang Tenggelam :.....................4,4...........................m². Luas Permukaan Tak Tenggelam :......................3,72........................m².
111
Data Suhu Boiler Menit
Suhu (°C)
Suhu (K)
ke-
Depan
30
155,33 51,17 43,5
121,17
428,33 324,17 316,5
394,17
60
143
58,67 92
74
416
331,67 365
347
90
142
47,5
137,5
415
320,5
120
149
56,17 47,84
127,84
422
329,17 320,84 400,84
150
165,33 52,5
46,67
134
438,33 325,5
180
170
55,84 47,67
135
443
210
139,67 59,5
122
412,67 332,5
240
156,5
54,84 47,5
132,67
429,5
327,84 320,5
270
179
54,84 46,33
143,67
452
327,84 319,33 416,67
300
172
103
136,84
445
376
330
172,84 52,67 41,84
136,84
445,84 325,67 314,84 409,33
360
161,33 55,5
44,33
130
434,33 328,5
158,83 58,51
50,07
Ratarata
Kiri
Kanan Belakang Depan
48,17
49
46
127,58
Kiri
Kanan
Belakang
321,17 410,5
319,67 407
328,84 320,67 408 322
319
395 405,67
409,84
317,33 403
431,83 331,51 323,07
400,58
Data Suhu di Tungku Pembakaran Menit
Suhu (°C)
ke-
Depan
Kiri
30
156
39,67 41,5
60
145,17 43,5
90
147
120
141,17 43,5
150
Suhu (K)
Kanan Belakang Depan
Kiri
Kanan
44
429
46
418,17 316,5
47,33
420
48,33
414,17 316,5
155,17 43,83 47
49,33
428,17 316,83 320
322,33
180
125,67 43,67 47
49,67
398,67 316,67 320
322,67
210
135,33 45,17 46,33
48
408,33 318,17 319,33 321
240
128,84 44,84 44,67
48,84
401,84 317,84 317,67 321,84
270
140
44,33 45
48,5
413
317,33 318
321,5
300
129,5
44
48,17
402,5
317
321,17
44,5
43,67 45,17 46,67
43,5
312,67 314,5
Belakang
317,5
317 319
316,67 318,17 320,33 319,67 321,33
316,5
112
Menit
Suhu (°C)
ke-
Depan
330
124,33 42
360
128,17 43,33 41
Ratarata
Kiri
138,03 43,46
Suhu (K)
Kanan Belakang Depan 42,84
44,60
Kiri
Kanan
45,33
397,33 315
46,17
401,17 316,33 314
47,47
Belakang
315,84 318,33
411,03 316,46 317,60
319,17 320,47
113
Data Suhu Uap dan Air Pendingin di Kondensor Tekanan
0,5
1
1,5
Suhu (°C)
Menit
Suhu (K)
ke-
T steam
Ta in
Ta out
T steam
Ta in
Ta out
30
111,61
25,5
37
384,61
298,5
310
60
111,61
25,5
57
384,61
298,5
330
90
120,42
25,5
66
393,42
298,5
339
120
120,42
25,5
70,5
393,42
298,5
343,5
150
120,42
25,5
71
393,42
298,5
344
180
120,42
25,5
73
393,42
298,5
346
210
127,62
25,5
73
400,62
298,5
346
240
127,62
25,5
74
400,62
298,5
347
270
127,62
25,5
75
400,62
298,5
348
300
127,62
25,5
75,5
400,62
298,5
348,5
330
127,62
25,5
76,5
400,62
298,5
349,5
360
127,62
25,5
75,5
400,62
298,5
348,5
Data Suhu Pipa-pipa Penghubung Tekanan (bar gauge)
0,5
1
1,5
Suhu (°C) Menit ke-
Suhu (K)
Boiler-
Ketel-
Boiler-
Ketel-
Ketel
Kondensor
Ketel
Kondensor
30
113,39
66,67
386,39
339,67
60
112,17
58,58
385,17
331,58
90
103,95
59,25
376,95
332,25
120
108,83
58,83
381,83
331,83
150
111,78
56,5
384,78
329,5
180
109,11
57,25
382,11
330,25
210
108,06
58,75
381,06
331,75
240
312,22
59,08
385,22
332,08
270
110,05
56,42
383,05
329,42
300
105,11
55,42
378,11
328,42
330
112,05
54,25
385,05
327,25
114
Tekanan (bar gauge)
Suhu (°C) Menit ke-
1,5
360
Suhu (K)
Boiler-
Ketel-
Boiler-
Ketel-
Ketel
Kondensor
Ketel
Kondensor
108,33
54,5
381,33
327,5
Data Suhu dan Laju Destilat Tekanan (bar gauge)
0,5
1
1,5
Rata-rata
Menit ke-
Suhu
Suhu
Laju
Destilat
Destilat
Destilat
(°C)
(K)
(liter/jam)
30
27
300
67,72
60
28
301
73,33
90
29,5
302,5
79,58
120
30,5
303,5
81,40
150
31,4
304,5
76,07
180
32
305
72,37
210
31,5
304,5
76,26
240
32,5
305,5
75,63
270
32,5
305,5
78,60
300
33
306
78,03
330
33
306
75,12
360
33
306
31,17
304,17
Jumlah
Akumulasi
Destilat
Jumlah
Tiap Jam
Destilat
(liter)
(liter)
70,53
70,53
80,49
151,02
74,22
225,24
75,95
301,19
78,32
379,51
73,64
74,38
453,89
75,65
75,65
115
Lampiran 2. Form data-data yang diukur di penyulingan Prototipe Data Suhu Ketel Suling Tekanan (bar gauge) 0,5
1
1,5
116
Menit ke-
Suhu (°C)
Suhu (K)
Tutup
Dinding
Glasswool
Bodem
Tutup
Dinding
Glasswool
Bodem
30
67,17
73
33
58,33
340,17
346
306
331,33
60
70,5
75,5
39,92
57
343,5
348,5
312,92
330
90
76,67
81,08
40,33
62,5
349,67
354,08
313,33
335,5
120
77,33
78,67
42,67
62,83
350,33
351,67
315,67
335,83
150
76
79,92
43,25
62
349
352,92
316,25
335
180
77,67
80,5
43,59
64,67
350,67
353,5
316,59
337,67
210
83,17
86,33
43,84
67,83
356,17
359,33
316,84
340,83
240
80,83
83,67
44,42
64,83
353,83
356,67
317,42
337,83
270
80,33
84,83
44,59
66
353,33
357,83
317,59
339
300
81
87,5
43,75
63,17
354
360,5
316,75
336,17
330
82
81,17
42,67
65
355
354,17
315,67
338
360
84,67
84,67
43,08
61,83
357,67
357,67
316,08
334,83
Lampiran 3. Perhitungan Efisiensi dan Kehilangan Energi Data di Boiler •
Luas Permukaan Pindah Panas di Boiler IKM Luas permukaaan = 3,14 x (½ x diameter)² x panjang = 3,14 x (½ x 0,4 m) x 1,3 m = 1,63 m²
•
Luas Permukaan Pindah Panas di Boiler Luas permukaan pipa api = 3,14 x (½ x diameter)² x panjang x jumlah pipa = 3,14 x (½ x 0,0375 m)² x 1,52 m x 36 = 6,44 m² Luas permukaan pipa air = 3,14 x (½ x diameter)² x panjang x jumlah pipa = 3,14 x (½ x 0,05 m)² x 0,83 m x 34 = 4,43 m² Luas silinder boiler
= 3,14 x (½ x diameter)² x panjang = 3,14 x (½ x 0,37 m)² x 1,52 m = 3,53 m²
Luas keseluruhan
= luas permukaan pipa air + luas permukaan pipa api + luas permukaan silinder boiler = 6,44 m² + 4,43 m² + 3,53 m² = 14,40 m².
117
Keterangan Bobot kayu bakar (kg) Jumlah air yang diuapkan (kg) Energi yang dihasilkan kayu (Qin) (joule) Energi uap yang dihasilkan (Qout) (joule) Efisiensi boiler (%)
IKM Ulangan 172,62 174,36 446 446 3.349.036.822 3.382.916.920 1.141.659.650 1.141.659.650 34,09 33,75 Contoh
Perhitungan bobot kayu bakar yang digunakan di penyulingan IKM : Bk (K.a = 20 %)
= Ba – (K.a1 x Ba) = 369, 25 kg – (62,4 % x 369,25 kg) = 138,79 kg
Bobot kayu penghasil energi (K.a = 20 %)
= (20 % x Bk) + Bk 100 % - 20 % = (20 % x 138,79 kg) + 138,79 kg 100% - 80 % = 173,49 kg
118
Rata-rata 173,49 446 3.365.976.871 1.141.659.650 33,92
Prototipe Rata-rata Ulangan 99,28 97,47 98,38 550,1 563,8 556,95 1.926.281.253 1.891.040.615 1.908.660.934 1.759.987.465 1.803.819.183 1.480.933.949 91,37 95,39 77,59 Contoh
Perhitungan bobot kayu bakar yang digunakan di penyulingan Prototipe : Bk (K.a = 20 %)
= Ba – (K.a2 x Ba) = 319,55 kg – (75,25 % x 319,55 kg) = 78,70 kg
Bobot kayu penghasil energi (K.a = 20 %)
= (20 % x Bk) + Bk 100 % - 20 % = (20 % x 78,70 kg) + 78,70 kg 100 % - 20 % = 98,38 %
Perhitungan Efisiensi dan Kehilangan Energi Boiler IKM
Perhitungan Efisiensi dan Kehilangan Energi Prototipe Boiler
Diketahui :
Diketahui :
Nilai kalor kayu bakar (kadar air 20%) = 19.401.631,2 joule/kg
Nilai kalor kayu bakar (kadar air 20%) = 19.401.631,2 joule/kg = 19,40 MJ/kg
= 19,40 MJ/kg Suhu rata-rata air yang masuk ke boiler (Tin) = 27,5 °C = 300,5 K
Suhu rata-rata air yang masuk ke boiler (Tin) = 25,5 °C = 298,5 K
Suhu air berubah menjadi uap (Td) = 100 °C = 373 K
Suhu air berubah menjadi uap (Td)= 100 °C = 373 K
C air = 4.190 joule/kg K
Suhu uap pada tekanan 3,17 bar gauge (Tu) = 145,20 °C = 418,20 K
Panas laten air (L air) = 2.256.000 joule/kg
C air = 4.190 joule/kg K
119
Jumlah air yang digunakan (ma) = 446 kg
C uap = 2.010 joule/kg K
Jumlah kayu bakar yang digunakan = 173,49 kg
Panas laten air (L air) = 2.256.000 joule/kg Jumlah air yang digunakan (ma = mu) = 556,95 kg Jumlah kayu bakar yang digunakan = 98,38 kg
Perhitungan Qout :
Perhitungan Qout :
Qout = ma x C air x (Td – Tin) + ma x L air
Qout = ma x C air x (Td – Tin) + ma x L air + mu x C uap x (Tu – Td)
= 446 x 4.190 x (373 – 300,5) + 446 x 2.256.000 = 135.483.650 joule + 1.006.176.000 joule = 1.141.659.650 joule = 1.141,66 MJ Perhitungan Qin : Q in = massa kayu bakar x nilai kalor kayu bakar = 173,49 x 19.401.631,2 = 3.365.988.997 joule = 3.365,99 MJ Perhitungan Loss : Loss = Qin - Qout = 3.365.988.997 - 1.141.659.650 = 2.224.329.347 joule = 2.224,33 MJ Efisiensi Boiler :
120
= 556,95 x 4.190 x (373-298,5) + 556,95 x 2.256.000 + 556,95 x 2.010 x (418,20-373) = 173.854.727,3 joule+ 1.256.479.200 joule+50.600.021,4 joule = 1.480.933.949 joule = 1.480,93 MJ Perhitungan Qin : Q in = massa kayu bakar x nilai kalor kayu bakar = 98,38 x 19.401.631,2 = 1.908.732.477 joule = 1.908,73 MJ Perhitungan Loss : Loss = Qin - Qout = 1.908.732.477 - 1.480.933.949 = 427.798.528 joule = 427,80 MJ
ξ= =
Qout x 100 % Qin
Efisiensi Boiler : Maka ξ =
1.141.659.650 joule x 100 % = 33,92 % 3.365.988.997 joule
Qout x 100 % Qin
= 1.480.933.949 joule x 100 % = 77,59 % 1.908.732.477 joule
Data di Ketel Suling IKM Diketahui : Suhu udara rata-rata (K)
301
Luas permukaan tutup (m²)
1,05
Luas permukaan dinding (m²)
4,71
Koefisien konveksi alamiah udara hadap atas (kal/sm² ºC) Koefisien konveksi alamiah udara vertikal (kal/sm² ºC) Diameter ketel (m)
1 0,98
Menit ke30 60 90 120
121
0,595
Suhu rata-rata (K) Kehilangan panas (kalori/s) Tutup Dinding Tutup Dinding Total 321,33 326,33 26,89 268,94 295,82 355,67 339 92,53 446,45 538,98 356 336 93,24 402,83 496,07 355,33 338,67 91,83 441,56 533,39
Menit ke-
Suhu rata-rata (K) Tutup Dinding 356 337 356 338 356 335,67 355,67 338 354,33 337,33 352,67 335 332 330 353,67 339,67 356 339 356 335,67 355 337,33 356 334,67
150 180 210 240 270 300 330 360 390 420 450 480 Total kehilangan panas (joule) Kehilangan panas seluruh bagian (joule)
Kehilangan panas (kalori/s) Tutup Dinding Total 93,24 417,27 510,51 93,24 431,81 525,05 93,24 398,04 491,28 92,53 431,81 524,34 89,72 422,11 511,83 86,23 388,50 474,73 45,53 318,45 363,98 88,32 456,26 544,58 93,24 446,45 539,69 93,24 398,04 491,28 91,13 422,11 513,23 93,24 383,74 476,98 10.229.697 48.792.382 59.022.079
Data di Prototipe Ketel Suling Diketahui : Suhu udara rata-rata (K)
298,5
Luas permukaan dinding non glasswool (m²)
0,69
Luas permukaan tutup (m²)
1,16
Luas permukaan bodem (m²)
1,16
Luas permukaan glasswool (m²)
6,29
122
Diameter ketel (m)
1,16
Diameter glasswool (m)
1,21
Tinggi glasswool (m)
1,65
Tinggi non glasswool (m)
0,19
Koefisien konveksi alamiah udara hadap atas (kal/sm² ºC) Koefisien konveksi alamiah udara vertikal (kal/sm² ºC) Koefisien konveksi alamiah udara hadap bawah (kal/sm² ºC)
Menit ke-
123
0,595 1 0,314
Suhu rata-rata (K) Kehilangan panas (kalori/s) Tutup Dinding Glasswool Bodem Tutup Dinding Glasswool Bodem 30 340,17 346 306 331,33 73,07 83,16 74,42 28,63 60 343,5 348,5 312,92 330 80,44 88,66 168,44 27,18 90 349,67 354,08 313,33 335,5 94,45 101,21 174,53 33,24 120 350,33 351,67 315,66 335,83 95,99 95,74 209,48 33,61 150 349 352,92 316,25 335 92,92 98,56 218,44 32,68 180 350,67 353,5 316,58 337,67 96,76 99,88 223,61 35,69 210 356,17 359,33 316,84 340,83 109,68 113,29 227,48 39,33 240 353,83 356,67 317,42 337,83 104,16 107,12 236,59 35,88 270 353,33 357,83 317,58 339 102,99 109,81 239,17 37,21 300 354 360,5 316,75 336,17 104,55 116,01 226,20 33,99 330 355 354,17 315,66 338 106,91 101,40 209,48 36,07 360 357,67 357,67 316,08 334,83 113,26 109,43 215,91 32,49 Total kehilangan panas (joule) 8.856.507 9.226.335 18.266.135 3.059.719 Kehilangan panas keseluruhan (joule) 39.408.696
Catatan : Koefisien konveksi alamiah udara didapat dari tabel koefisien konveksi alamiah udara (Zemansky, 1982). Halaman : 397.
Perhitungan Efisiensi di Ketel Suling IKM
Perhitungan Efisiensi di Prototipe Ketel Suling
Diketahui :
Diketahui :
Q dari boiler (Qb) = 1.141.659.650 joule
Q dari boiler (Qb) = 1.480.933.949 joule
Loss energi di pipa boiler-ketel (QL) = 18.161.486 joule
Loss energi di pipa boiler-ketel (QL) = 74.544.148 joule
Loss energi di keseluruhan ketel (Qk) = 59.022.079 joule
Loss energi di keseluruhan ketel (Qk) = 39.408.696 joule
Perhitungan Qin ketel :
Perhitungan Qin ketel :
Qin = Qb - QL
Qin = Qb - QL
= 1.141.659.650 joule - 18.161.486 joule
= 1.480.933.949 joule - 74.544.148 joule
= 1.123.498.164 joule
= 1.406.389.801 joule
Perhitungan Qout ketel :
Perhitungan Qout ketel :
Qout = Qin - Qk
Qout = Qin - Qk
= 1.123.498.164 joule - 59.022.079 joule
= 1.406.389.801 joule - 39.408.696 joule
= 1.064.476.085 joule
= 1.366.981.105 joule
Perhitungan efisiensi ketel :
Perhitungan efisiensi ketel :
ξ=
ξ=
Qout x 100 % Qin
= 1.064.476.085 joule x 100 % = 94,75 % 1.123.498.164 joule
124
=
Qout x 100 % Qin 1.366.981.105 joule x 100 % = 97,20 % 1.406.389.801 joule
Data Kondensor
Perhitungan Efisiensi dan Pindah Panas Kondensor IKM
Perhitungan Efisiensi dan Pindah Panas Prototipe Kondensor
Diketahui :
Diketahui :
U = 817.653,39 joule/m² jam °C
U = 817.653,39 joule/m² jam °C
A = 2,29 m²
A = 3,72 m²
∆T LMTD = 53,48 °C
∆T LMTD = 73,22 °C
Jumlah destilat = 315,84 liter = 315,84 kg
Jumlah destilat = 453,96 liter = 453,96 kg
Jumlah air pendingin = 6.163,2 kg
Jumlah air pendingin = 6.163,2 kg
Suhu air pendingin yang masuk = 27,5 °C = 300,5 K
Suhu air pendingin yang masuk = 25,5 °C = 298,5 K
Suhu air pendingin keluar = 61,75 °C = 334,75 K
Suhu air pendingin keluar = 68,67 °C = 341,67 K
Suhu uap berubah menjadi cair (Tu) = 100 °C = 373 K
Suhu uap berubah menjadi cair (Tu) = 122,55 °C = 395,55 K
C air = 4.190 joule/kg K
C air = 4.190 joule/kg K
Panas laten air (L air) = 2.256.000 joule/kg
C uap = 2.010 joule/kg K
Rata-rata suhu destilat yang dihasilkan = 35,19 °C = 308,19 K
Panas laten air (L air) = 2.256.000 joule/kg
Q keluar ketel (Qok) = 1.064.476.085 joule
Rata-rata suhu destilat yang dihasilkan = 31,17 °C = 304,17 K
Loss energi di pipa ketel-kondensor (Qkk) = 5.203.608 joule
Q keluar ketel (Qok) = 1.366.981.105 joule
125
Loss energi di pipa ketel-kondensor (Qkk) = 11.345.411 joule Perhitungan Qin :
Perhitungan Qin :
Qin = Qok - Qkk
Qin = Qok - Qkk
= 1.064.476.085 joule - 5.203.608 joule
= 1.366.981.105 joule - 11.345.411 joule
= 1.059.272.477 joule
= 1.355.635.694 joule
Perhitungan Qout dengan rumus U x A x ∆TLMTD :
Perhitungan Qout dengan rumus U x A x ∆TLMTD :
Qout = 817.653,39 x 2,29 x 53,48 x 8
Qout = 817.653,39 x 3,72 x 73,22 x 6
= 801.057.369 joule
= 1.336.266.733 joule
Perhitungan efisiensi kondensor :
Perhitungan efisiensi kondensor :
ξ=
ξ=
Qout x 100 % Qin
= 801.057.369 joule x 100 % = 75,62 % 1.059.272.477 joule
=
Qout x 100 % Qin 1.336.266.733 joule x 100 % = 98,57 % 1.355.635.694 joule
Data Efisiensi Keseluruhan Sistem Penyulingan Perhitungan Efisiensi Keseluruhan Sistem
Perhitungan Efisiensi Keseluruhan Sistem
Diketahui :
Diketahui :
Qin = 3.365.976.871 joule
Qin = 1.908.732.477 joule
126
Qout kondensor dengan rumus = 1.059.969.224 joule
Qout kondensor dengan rumus = 1.336.266.733 joule
Perhitungan Efisiensi dengan Qout (a) :
Perhitungan Efisiensi Qin dengan Qout (a) :
ξ=
ξ=
Qout x 100 % Qin
= 801.057.369 joule x 100 % = 23,80 % 3.365.976.871 joule
127
Qout x 100 % Qin
= 1.336.266.733 joule x 100 % = 70,01 % 1.908.660.934 joule
Lampiran 4. Prosedur Analisis Karakterisasi Minyak Atsiri
1. Penentuan Warna Minyak Nilam Metode ini didasarkan pada pengamatan visual dengan menggunakan indra penglihatan (mata) langsung, terhadap contoh minyak nilam. Prosedur : Contoh minyak nilam dipipet sebanyak 10 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi serta hindari adanya gelembung. Tabung reaksi berisi contoh minyak nilam disandarkan pada kertas berwarna putih. Kemudian diamati warnanya dengan mata langsung. Jarak pengamatan 30 cm antara mata dengan contoh.
2. Kadar Air Nilam Kering Metode pengukuran kadar air yang digunakan adalah Bidwell-Sterling. Sebanyak 10 gram bahan dimasukkan ke dalam labu berukuran 500 ml, dan ditambahkan 200 ml toluen. Lalu labu dipasangkan pada aufhauser yang dilengkapi dengan pendingin tegak (kondensor) dan dididihkan selama 1 jam. Jika jumlah air tidak bertambah lagi, maka penyulingan dihentikan. Volume air yang tersuling dapat dibaca pada skala yang terdapat pada aufhauser. Perhitungan untuk mencari kadar air adalah sebagai berikut : Kadar air (% wb) =
Volume air (ml)
x 100 %
Bobot contoh (gr)
3. Kadar Air Kayu Bakar berdasarkan ASTM (American Society for Testing and Material ) D2016 Sampel kayu bakar diiris kecil-kecil dan tipis sebanyak 5 gram. Kemudian dimasukkan ke dalam wadah alumunium foil yang telah ditimbang sebagai pengganti cawan alumunium. Lalu bobot sampel kayu bakar dan wadah alumunium foil ditimbang dan dicatat. Setelah dilakukan penimbangan awal, sampel kayu bakar beserta wadahnya dimasukkan ke dalam oven selama 4 jam pada suhu 103 °C ± 2 °C. Lalu didinginkan selama 15 menit di dalam desikator. Kemudian ditimbang
128
bobot akhir secara keseluruhan. Pemanasan sampel dan wadahnya dilakukan di dalam oven lagi selama 30 menit dan didinginkan kembali dalam desikator. Setelah itu bobot sampel dan wadah ditimbang kembali. Prosedur tersebut dilakukan berulang kali sampai bobot sampel dan wadah konstan. Perhitungan kadar air kayu bakar ini dapat menggunakan rumus : Kadar air (% b/b) = m1 - m2 x 100% m1 Keterangan : m1 = bobot awal sampel + bobot wadah m2 = bobot akhir sampel + bobot wadah Perhitungan bobot kayu bakar yang menghasilkan energi : Bk (K.a = 0 %) = Ba – (K.a1 x Ba) Bobot kayu penghasil energi (K.a = 20 %) = (20 % x Bk) + Bk 100 % - 20 % Keterangan : Bk = bobot kayu bakar kering tanpa air Ba = bobot kayu bakar basah
4. Rendemen (SNI 06-3735-1995) Rendemen minyak ditentukan berdasarkan perbandingan antara volume minyak yang dihasilkan dengan berat bahan awal yang disuling. Rendemen minyak dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut : Rendemen minyak (% wb) = Volume minyak (ml) Berat bahan (g)
5. Bobot Jenis (SNI 06-1312-1998) Bobot jenis adalah perbandingan antara bobot minyak terhadap bobot air pada volume dan suhu yang sama. Prosedur : Piknometer dicuci dan dibersihkan, kemudian dibilas dengan etanol. Bagian dalam piknometer dikeringkan dengan arus udara kering dan tutupnya disisipkan. Piknometer diletakkan di dalam lemari timbangan selama 30 menit dan ditimbang (m). Piknometer diisi dengan air suling terlebih dahulu, lalu
129
didinginkan sampai suhu 25 ºC, sambil menghindari adanya gelembunggelembung. Piknometer dicelupkan ke dalam termostat pada suhu 25 ºC ± 0,2 ºC selama 30 menit dan atur permukaan air suling sampai garis tanda. Lalu piknometer dibiarkan di dalam timbangan selama 30 menit, kemudian ditimbang beratnya (m1). Setelah itu, piknometer dikosongkan dan dicuci dengan etanol, lalu dikeringkan dengan arus udara kering. Piknometer diisi dengan contoh minyak dan hindari adanya gelembung-gelembung udara. Piknometer dicelupkan kembali ke dalam penangas air pada suhu 25 ºC ± 0,2 ºC selama 30 menit dan permukaan minyak diatur sampai garis tanda. Piknometer dikeringkan dan tutupnya disisipkan. Piknometer dibiarkan di dalam lemari timbangan selama 30 menit dan ditimbang (m2). Perhitungannya sebagai berikut : Bobot Jenis d
25
25
= m2 – m m1 – m
Keterangan : m adalah bobot piknometer kosong m1 adalah bobot piknometer berisi air pada suhu 25 ºC m2 adalah bobot piknometer berisi minyak atsiri pada suhu 25 ºC
6. Indeks Bias Metode ini didasarkan pada pengukuran langsung sudut bias minyak yang dipertahankan pada kondisi suhu yang tetap. Prosedur : Air dialirkan melalui refraktometer agar alat ini berada pada suhu pembacaan yang dilakukan. Suhu tidak boleh lebih dari ± 2 ºC dari suhu referensi dan harus dipertahankan dengan toleransi ± 0,2 ºC. Suhu minyak harus sama dengan suhu dimana pengukuran dilakukan. Pemanasan dilakukan bila suhu telah stabil. Perhitungannya sebagai berikut : Indeks bias ntD = nt1D + 0,0004 (t1 - t) Keterangan : t1 adalah pembacaan yang dilakukan pada suhu pengerjaan t1. t adalah pembacaan yang dilakukan pada suhu pengerjaan t.
130
0,0004 adalah faktor koreksi untuk indeks bias minyak nilam setiap derajat.
7. Putaran Optik Metode putaran optik didasarkan pada pengukuran sudut bidang dimana sinar terpolarisasi yang diputar oleh lapisan minyak yang tebalnya 10 cm pada suhu tertentu. Prosedur : Sumber cahaya dinyalakan dan ditunggu sampai diperoleh kilauan maksimum sebelum alat digunakan. Tabung polarimeter diisi dengan contoh minyak pada suhu tertentu dan diusahakan tidak ada gelembung udara dalam tabung. Selanjutnya, tabung diletakkan di dalam polarimeter dan dibaca putaran optik dekstro (+) atau levo (-) dari minyak pada skala yang terdapat di alat. Hasil rata-rata dari tiga kali pembacaan dicatat, masing-masing pembacaan harus sesuai sekitar 0,08 ° (5”). Penyajiannya : putaran optik harus dinyatakan dalam derajat lingkar sampai mendekati 0,01 °. Putaran optik dekstro harus diberi tanda (+) dan putaran optik levo harus diberi tanda negatif (-).
8. Bilangan Asam Jumlah miligram kalium hidroksida (KOH) yang diperlukan untuk menetralkan asam-asam bebas yang terdapat dalam 1 gram minyak nilam. Prosedur : Contoh minyak sebanyak 4 ± 0,05 gram dilarutkan dalam 5 ml etanol dalam labu penyabunan. Indikator PP ditambahkan sebanyak 5 tetes. Kemudian dititrasi dengan larutan KOH 0,1 N sampai cairan merah muda. Perhitungan : Bilangan Asam =
56,1 x V x N m
56,1 adalah bobot setara KOH V adalah volume (ml) larutan KOH yang diperlukan
131
N adalah normalitas larutan KOH m adalah massa dalam gram bobot minyak yang diuji.
9. Bilangan Ester Penyabunan ester-ester dengan larutan alkali standar dan menitrasi kembali kelebihan alkali tersebut. Prosedur : Blangko : Etanol sebanyak 5 ml dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer dan ditambahkan 25 ml larutan KOH 0,5 N. Kemudian direfluks selama 1 jam setelah mendidih di atas penangas air. Lalu campuran larutan tersebut didiamkan hingga dingin. Selanjutnya kondensor refluks dilepaskan dan ditambah 5 tetes larutan indikator PP dan dititrasi dengan HCl 0,5 N sampai diperoleh perubahan warna.
Contoh : Contoh minyak sebanyak 4 gram ± 0,05 gram dimasukkan ke dalam labu dan ditambahkan KOH 0,5 N sebanyak 25 ml. Lalu campuran larutan tersebut direfluks selama 1 jam setelah mendidih. Kemudian larutan didinginkan dan dilepaskan dari kondensor refluks. Setelah itu larutan ditetesi indikator PP sebanyak 5 tetes dan dilanjutkan dengan titrasi menggunakan HCl 0,5 N sampai terjadi perubahan warna. Perhitungan : Bilangan Ester :
(V2-V1) x N x 56,1 m
Keterangan : V2 adalah volume (ml) larutan HCl 0,5 N yang diperlukan untuk blangko V1 adalah volume (ml) larutan HCl 0,5 N yang diperlukan untuk contoh m adalah massa (g) contoh uji N adalah normalitas HCl. 56,1 adalah bobot setara KOH
132
10. Kelarutan dalam Etanol 90 % Prinsip : Kelarutan minyak nilam dalam etanol absolut atau etanol 90 % membentuk larutan yang bening dan cerah dalam perbandingan-perbandingan seperti yang dinyatakan. Prosedur : Sebanyak 1 ml contoh minyak dimasukkan ke dalam gelas ukur 10 ml. Kemudian ditambahkan etanol 90 % dari buret setetes demi setetes. Setiap penambahan 1 ml etanol 90 % dari buret dikocok sejernih mungkin. Setiap penambahan etanol 90 % diamati sifat kelarutannya apakah larut jernih atau keruh. Batas jumlah penambahan etanol sampai 10 ml. Cara menyatakan hasil uji : Contoh minyak akan membentuk larutan jernih atau opalensi ringan, apabila ditambahkan etanol sebanyak maksimum sepuluh kali volume contoh.
11. Kadar Minyak Sebanyak 50 gram bahan dimasukkan ke dalam labu berukuran 2 liter, kemudian ditambahkan air sebanyak 1000 ml (sampai seluruh contoh terendam). Selanjutnya labu dipasangkan pada clavenger yang dilengkapi dengan pendingin (kondensor). Labu dipanaskan dengan heat mantel dengan panas maksimum. Penyulingan dilakukan selama 4 sampai 5 jam hingga tidak terdapat tetesan minyak lagi. Setelah penyulingan selesai, dibiarkan beberapa saat supaya air dan minyak terpisah, lalu dilakukan pengukuran volume minyak yang tersuling sesuai yang terbaca pada skala clavenger. Perhitungan kadar minyak adalah sebagai berikut : Kadar minyak (% db) =
v x 100% bk
Keterangan : v = volume minyak atsiri (ml) bk = bobot contoh (1 – kadar air (% wb))
133
Lampiran 5. Analisa kadar air dan kadar minyak
Analisa kadar air
Analisa kadar minyak
134
Lampiran 6. Hasil Analisa Mutu Minyak Nilam Skala IKM dengan Prototipe No. 1 2 3 4 5
6
7
8
9
135
Indikator mutu Kadar air sebelum suling Kadar air sesudah suling Kadar minyak sebelum suling Kadar minyak sesudah suling Rendemen Indeks bias : a) 0,5 bar b) 1 bar c) 1,5 bar d) Blending Bobot jenis : a) 0,5 bar b) 1 bar c) 1,5 bar d) Blending Putaran optik : a) 0,5 bar b) 1 bar c) 1,5 bar d) Blending Bilangan asam : a) 0,5 bar b) 1 bar c) 1,5 bar d) Blending
IKM ke- 1 49,77% 60,33% 5,57% 1,12% 1,59%
IKM ke- 2 35% 35% 1,6% 0,04% 1,5%
Prototipe ke-1 16% 32,36% 2,1% 0,2% 1,78%
1,488
1,416
1,505
1,016
0,940
0,941
-10,73
-80
-31,63
1,5
3,84
1,49
Prototipe ke-2 14,25% 34,32% 2,23% 0,07% 2,14% 1,413 1,414 1,417 1,418 0,914 0,975 0,987 0,953 -56,3 -66,5 -72,5 -63,8 1,15 6,34 23,69 8,21
SNI
1,507-1,515
0,950 – 0,975
(-) 48° - (-) 65°
Max. 8
No.
10
11
136
Indikator mutu Kelarutan dalam etanol 90% : a) 0,5 bar b) 1 bar c) 1,5 bar d) Blending Bilangan ester : a) 0,5 bar b) 1 bar c) 1,5 bar d) Blending
IKM ke-1
IKM ke-2
Prototipe ke-1
1 : 8,5
1:1
1:6
5,57
17,18
3,59
Prototipe ke- 2 1 : 6,5 1:1 1:1 1 : 3,5 17,5 22,54 57,62 35,58
SNI 1 : 1 sampai 1 : 10
Max. 20
Lampiran 7. Gambar-gambar Peralatan Penyulingan •
Peralatan-peralatan Penyulingan Skala IKM Tungku dan Boiler Skala IKM
Ketel Suling Skala IKM
Separator Skala IKM
137
•
Peralatan-peralatan Penyulingan Prototipe Tungku dan Prototipe Boiler
Ketel Suling Prototipe
Kondensor Prototipe
Separator Prototipe
138
Lampiran 8. Analisa Kadar Patchouly Alcohol
0,5 bar prototipe
Kadar PA
139
Lampiran 8. Analisa Kadar Patchouly Alcohol
0,5 bar prototipe
140
Lampiran 8. Analisa Kadar Patchouly Alcohol
1 bar prototipe
141
Lampiran 8. Analisa Kadar Patchouly Alcohol
Kadar PA
1 bar prototipe
142
Lampiran 8. Analisa Kadar Patchouly Alcohol
1,5 bar prototipe
Kadar PA
143
Lampiran 8. Analisa Kadar Patchouly Alcohol
1,5 bar prototipe
144
Lampiran 8. Analisa Kadar Patchouly Alcohol
Penyulingan IKM
145
Lampiran 8. Analisa Kadar Patchouly Alcohol
Penyulingan IKM Kadar PA
146
Lampiran 8. Analisa Kadar Patchouly Alcohol
Penyulingan Prototipe (campuran)
147
Lampiran 8. Analisa Kadar Patchouly Alcohol
Penyulingan Prototipe (campuran) Kadar PA
148