0
0
DRAF 2
LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN DAN DISEMINASI DIREKTORI INOVASI ADMINISTRASI NEGARA
PUSAT INOVASI PELAYANAN PUBLIK LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA 2015
Pengembangan dan Diseminasi Direktori Inovasi Administrasi Negara Bibliografi ISBN : Hak Cipta pada © Pusat Inovasi Pelayanan Publik - LAN Diterbitkan Oleh: Pusat Inovasi Pelayanan Publik Kedeputian Inovasi Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran No. 10 Jakarta 10110 CETAKAN PERTAMA, Penyunting : Erfi Muthmainah, Marsono, Witra Apdhi Yohanitas, Harditya Bayu Kusuma, Teguh Henry Prayitno Desain sampul : Vishnu Wicaksono, Witra Apdhi Yohanitas ----- Cet.1.Jakarta,PIPP-LAN,2014 .... hal : ilus : 21x 29,7 cm
Sanksi pelanggaran Pasal 44, UU 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta: 1.
2.
Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
i
TIM PENYUSUN
Anggota Tim (Sesuai SK)
Penulis
Kania Damayanti (Almh)
Witra Apdhi Yohanitas
Menik Noviati
Marsono
Marsono
Harditya Bayu Kusuma
Witra Apdhi Yohanitas
Ria Veriani
Harditya Bayu Kusuma
Teguh Henry Prayitno
Ria Veriani
Isni Kartika Larasati
Teguh Henry Prayitno Isni Kartika Larasati Gunanta Sundari Rachmasari Ramelan
Kontributor
Reviewer
Desi Fernanda
Adi Suryanto
Kementerian Dalam Negeri
Tri Widodo Wahyu Utomo
Kementerian PAN RB
Erfi Muthmainah
Tri Utari (APEKSI) Agus Inarto Suryanto Toni Murdianto Hidayat
ii
KATA PENGANTAR
U
paya percepatan reformasi birokrasi perlu didorong melalui berbagai terobosan, ide dan kreativitas yang dapat dituangkan ke dalam berbagai inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan baik pusat
maupun daerah. Pada dasarnya sudah banyak praktik-praktik inovasi yang telah memberikan kemanfaatan bagi masing-masing instansi pemerintah. Namun demikian, hingga saat ini belum terbangun database inovasi administrasi negara secara nasional yang dapat diakses oleh Kementerian/Lembaga, Pemda, Swasta, NGO (LSM) dan masyarakat sebagai bahan rujukan dalam mendesain dan menginisiasi pengembangan inovasi penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena itu, dalam rangka mendorong tumbuh dan berkembangnya inovasi di bidang administrasi negara tersebut, Pusat Inovasi Pelayanan Publik Kedeputian Bidang Inovasi Administrasi Negara menyusun Direktori Inovasi Administrasi Negara yang dapat digunakan sebagai referensi dan rujukan dalam replikasi inovasi. Atas terlaksananya penyusunan direktori ini kami mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada seluruh tim penyusun dan para narasumber yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu, atas segala kritik dan masukan yang disampaikan dalam proses penyusunan direktori ini. Semoga direktori ini dapat bermanfaat bagi pengembangan inovasi dalam penyelenggaran pemerintahan baik pusat dan daerah.
Kepala Pusat Inovasi Pelayanan Publik
Erfi Muthmainah
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
i iii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Tujuan, Sasaran dan Manfaat C. Ruang Lingkup D. Hasil yang diharapkan E. Metode Pelaksanaan F. Lokus Observasi Inovasi dan Diseminasi G. Teknik Validasi Proyek Perubahan H. Sistematika Penulisan
1 4 5 5 6 8 9 10
BAB II KONSEPSI DAN INSTRUMEN A. Konsepsi Inovasi Administrasi Negara dan Proyek Perubahan B. Konsepsi Inovator dan Pemimpin Perubahan C. Proyek Perubahan Menuju Pemimpin Perubahan yang Inovatif D. Instrumen Desain Direktori Inovasi Administrasi Negara 2015 E. Instrumen Desain Penyaringan/Validasi Data Diklat Kepemimpinan F. Instrumen Desain Direktori Inovasi Administrasi Negara
12 19 22 28 31 34
BAB III ANALISA PENGELOLAAN DATA A. Pengumpulan Data Proyek Perubahan B. Pengelolaan Data Proyek Perubahan
48 50
BAB IV INOVASI ADMINISTRASI NEGARA DALAM PROYEK PERUBAHAN A. Proyek Perubahan Wilayah Jawa Barat B. Proyek Perubahan Wilayah Yogyakarta C. Proyek Perubahan Wilayah Jawa Tengah D. Proyek Perubahan Wilayah Jawa Timur
53 71 88 102
BAB V DISEMINASI DIREKTORI INOVASI ADMINISTRASI NEGARA A. Pedoman Diseminasi Direktori Inovasi Administrasi Negara B. Diseminasi Direktori Inovasi Administrasi Negara Di Provinsi Aceh C. Diseminasi Direktori Inovasi Administrasi Negara Di Makassar
112 113 118
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
P
ercepatan reformasi birokrasi khususnya, dan reformasi administrasi pada umumnya perlu dipacu dengan berbagai inovasi dalam penyelenggaraan
administrasi
negara,
baik
dalam
tata
pemerintahan, kelembagaan dan sumber daya aparatur, maupun pelayanan publik. Dalam konteks publik, inovasi dapat berupa inovasi produk (produk baru), inovasi proses (cara baru dimana proses-proses organisasi didesain), pelayanan (cara baru dimana pelayanan disediakan untuk pengguna), inovasi retorikal (konsep baru), dan lain-lain yang memberikan nilai tambah bagi penyelenggaraan pemerintahan. Upaya pemerintah dalam percepatan pengembangan inovasi tersebut, antara lain dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang
Pemerintahan Daerah, dimana dalam Pasal 386 Ayat (1) disebutkan bahwa Pemerintah Daerah dapat melakukan inovasi dalam rangka peningkatan kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah. Lebih lanjut dalam Pasal 387 disebutkan bahwa dalam merumuskan kebijakan inovasi, Pemerintahan Daerah mengacu pada prinsip: (a) peningkatan efisiensi; (b) perbaikan efektivitas; (c) perbaikan kualitas pelayanan; (d) tidak ada konflik kepentingan; (e) berorientasi kepada kepentingan umum; (f) dilakukan secara terbuka; (g) memenuhi nilai–nilai kepatutan; dan (h) dapat dipertanggung-jawabkan hasilnya tidak untuk kepentingan diri sendiri. Secara lebih spesifik, upaya mendorong percepatan inovasi di bidang pelayanan publik, Pasal 7 Ayat (4) huruf c Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, telah memberikan amanat kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PAN dan RB) untuk memberikan penghargaan kepada penyelenggara pelayanan publik. Sebelum undang-undang tersebut diterbitkan sudah ada upaya yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dalam rangka percepatan pengembangan inovasi. Sejak tahun 2007 telah diberikan penghargaan Innovative Government Award (IGA) kepada 4 (empat) Kepala Daerah yang dinilai telah
2
memberikan kerja nyata dalam mengembangkan inovasi baru kepada masyarakat. Saat itu pengembangan inovasi tersebut mencakup 4 (empat) kategori yaitu kategori tata kelola pemerintahan, pelayanan publik, pemberdayaan masyarakat dan peningkatan daya saing daerah. Indikator yang digunakan IGA dalam penilaian tersebut meliputi 3 (tiga) indikator yaitu inisiatif program inovatif, replikasi program inovatif, dan sumber pembiayaan program inovatif. Dalam rangka mendorong tumbuh dan berkembangnya inovasi di bidang administrasi negara, Lembaga Administrasi Negara telah menyusun Direktori Inovasi Administrasi Negara pada tahun 2014. Pada awal penyusunannya, direktori ini memuat beragam inovasi yang dilakukan oleh Kementerian, Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), Lembaga Non Struktural (LNS), Pemerintah Daerah
(Pemda),
Lembaga-Lembaga
Negara,
atau
Badan
Usaha
Milik
Negara/Daerah (BUMN/BUMD). Pada seri Direktori Inovasi Administrasi Negara 2014 tersebut, inovasi diartikan sebagai ide, gagasan, pemikiran, terobosan dalam rangka melakukan pembaharuan dalam praktik dan proses penyelenggaraan pemerintahan, sehingga memiliki nilai tambah dalam satu atau lebih aspek dan/atau proses administrasi negara. Suatu ide, gagasan, pemikiran, terobosan dapat dikatakan sebagai inovasi jika memiliki unsur kebaruan, manfaat, dapat diadopsi/direplikasi, berkelanjutan serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun inovasi administrasi negara diartikan sebagai proses memikirkan dan mengimplementasikan suatu kebijakan oleh penyelenggara kepentingan publik untuk memenuhi kepentingan publik yang memiliki unsur kebaruan serta kemanfaatan. Penyusunan Direktori Inovasi Administrasi Negara ini adalah kegiatan multiyear (berkelanjutan), yang telah dimulai sejak Tahun 2014 dengan lingkup inovasi yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga/Pemda dan masyarakat. Tahun 2015 ini, Direktori Inovasi Administrasi Negara difokuskan pada Proyek Perubahan Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan (Diklat PIM) Tingkat I dan II Pola Baru. Sedangkan pada tahun 2016 mendatang akan lebih difokuskan pada inovasiinovasi yang dilakukan oleh BUMN/BUMD dan pemda bidang pelayanan publik. Berkaitan dengan inovasi-inovasi yang bersumber dari Proyek Perubahan Diklat PIM Tingkat I dan II pada dasarnya adalah proyek perubahan yang dilakukan
3
oleh para Pemimpin Perubahan dalam Diklat PIM. Hal ini merupakan langkah inovasi yang dilakukan untuk meningkatkan kinerja instansinya masing-masing. Inovasi yang dilakukan tersebut dapat digolongkan menjadi delapan jenis inovasi dalam konsep Direktori Inovasi Administrasi Negara. Oleh karena itu keberadaan direktori inovasi dari Proyek Perubahan Diklat PIM Tingkat I dan II ini dapat dijadikan rujukan bagi Kementerian/Lembaga/Pemda sebelum melakukan benchmark ke suatu daerah yang telah berhasil melakukan inovasi. Selain itu, adanya materi Diklat PIM Tingkat I dan II Pola Baru yang menuntut para pesertanya untuk berinovasi dengan cara menyusun satu perubahan besar yang akan diimplementasikan pada instansinya masing-masing dengan tujuan untuk memperbaiki kinerja instansi, yang diberi nama Proyek Perubahan. Keberadaan inovasi yang berasal dari Proyek Perubahan sangatlah penting sehingga perlu didokumentasikan dalam Direktori Inovasi Administrasi Negara pada tahun 2015. Direktori Inovasi Administrasi Negara ini tentu saja tetap dilakukan penyempurnaan dengan mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak. Direktori Inovasi Administrasi Negara harus dapat menjadi media dalam berbagi pengetahuan (transfer of knowledge) terutama kepada pihak-pihak yang concern terhadap perkembangan inovasi bidang administrasi negara. Saat ini telah terbangun database inovasi administrasi negara yang dapat diakses oleh Kementerian/Lembaga, Pemda, Swasta, NGO (LSM) dan masyarakat sebagai bahan rujukan dalam mendesain dan menginisiasi pengembangan inovasi penyelenggaraan pemerintahan. Namun demikian, jumlah dan jenis inovasi selalu bertambah dari waktu ke waktu, termasuk ide-ide inovasi dari Proyek Perubahan Diklat PIM Tingkat I dan II yang selama ini belum diolah dan didokumentasikan secara lebih baik. Akan tetapi aktivitas perubahan yang dilakukan oleh para Pemimpin Perubahan tersebut belum dilakukan pendokumentasian yang menarik yang dapat menggugah instansi lain untuk melakukan hal serupa. Dengan disusunnya Proyek Perubahan ke dalam instrumen yang ada dalam Direktori Inovasi Administrasi Negara maka kemanfaatan dari perubahan yang telah dilakukan para pemimpin perubahan terlihat jelas dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik.
4
Selain itu perlu dilakukan sosialisasi terhadap hasil kegiatan penyusunan Direktori Inovasi Administrasi Negara kepada stakeholders, dengan harapan stakeholders dapat memanfaatkan Direktori Inovasi Administrasi Negara sebagai rujukan untuk melakukan replikasi praktik-praktik inovasi administrasi negara dari daerah lain. Dari uraian sebagaimana tersebut diatas, Pusat Inovasi Pelayanan Publik Lembaga Administrasi Negara pada tahun 2015 ini melakukan pengembangan dan diseminasi Direktori Inovasi Administrasi Negara yang bersumber dari praktikpraktik penyelenggaraan pemerintahan yang kreatif dan inovatif yang dilakukan oleh Pemimpin Perubahan dalam Diklat PIM Tingkat I dan II. Direktori Inovasi Administrasi Negara berisikan koleksi praktik-praktik inovasi dari para Pemimpin Perubahan yang disesuaikan dengan instrumen Direktori Inovasi Administrasi Negara pada tahun 2015.
B. TUJUAN, SASARAN DAN MANFAAT
T
ujuan dari kegiatan pengembangan dan diseminasi Direktori Inovasi Administrasi Negara adalah: (1) mempermudah pencarian informasi inovasi yang telah dilakukan dalam Proyek Perubahan Diklat
Kepemimpinan Tingkat I dan II; (2) mensosialisasikan praktik-praktik inovasi instansi pemerintah melalui diseminasi dokumen inovasi administrasi negara dalam rangka pelayanan publik; 3) memotivasi Aparatur Sipil Negara dan instansi pemerintah untuk melakukan berbagai inovasi di masing-masing instansinya. Sasaran dari kegiatan pengembangan dan diseminasi Direktori Inovasi Administrasi Negara adalah: (1) Termutakhirkannya bank data inovasi bidang administrasi negara melalui penyusunan direktori inovasi Proyek Perubahan Diklat Kepemimpinan Tingkat I dan II; (2) Tersosialisasikannya praktik-praktik inovasi instansi pemerintah melalui diseminasi secara terpadu dalam rangka pelayanan publik; (3) Tersusunnya bahan replikasi inovasi administrasi negara bagi Aparatur Sipil Negara dan instansi pemerintah. Sedangkan manfaat dan kegunaan yang dapat diperoleh dengan adanya kegiatan ini adalah sebagai berikut:
5
1. Mempermudah Kementerian/Lembaga, Pemda, BUMN/BUMD, Swasta, NGO (LSM) dan masyarakat dalam mencari/memperoleh informasi inovasi dalam Diklat Kepemimpinan Tingkat I dan II; 2. Tersebarkannya informasi inovasi instansi pemerintah melalui diseminasi secara terpadu dalam rangka pelayanan publik; 3. Memicu Kementerian/Lembaga, Pemda, BUMN/BUMD, Swasta, NGO (LSM) dan masyarakat untuk melakukan inovasi.
C. RUANG LINGKUP
R
uang lingkup kegiatan pengembangan Direktori Inovasi Administrasi Negara ini lebih difokuskan pada inovasi yang dilakukan dalam Proyek Perubahan Diklat Kepemimpinan Tingkat I dan II khususnya
yang diselenggarakan pada tahun 2013 – 2014. Adapun ide dan gagasan inovasi Proyek Perubahan yang menjadi prioritas dalam direktori ini adalah predikat 5 (lima) terbaik yang diselenggarakan oleh Lembaga Administrasi Negara yakni Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Aparatur Nasional (Pusdiklat KAN), Pusat Kajian Pendidikan dan Pelatihan Aparatur (PKP2A) I Bandung, PKP2A II Makassar, Badan Diklat Kemendagri, Badan Diklat Daerah Jawa Barat, Badan Diklat Provinsi Jawa Tengah, serta Badan Diklat Provinsi Jawa Timur. Sedangkan terkait dengan diseminasi
Direktori
Inovasi
Administrasi
Negara,
pelaksanaannya
akan
berkolaborasi dengan PKP2A LAN di daerah yaitu Provinsi Aceh dan Provinsi Sulawesi Selatan, agar target kepesertaan maupun cakupan wilayahnya dapat lebih luas. Dengan demikian, efek percepatan inovasinya dapat menjangkau wilayah regional secara lebih luas.
D. HASIL YANG DIHARAPKAN
H
asil yang diharapkan dari kegiatan ini adalah tersusunnya bank data inovasi Proyek Perubahan Diklat Kepemimpinan Tingkat I dan II setelah melalui analisis serta validasi dengan indikator yang telah
ditetapkan berupa Buku Direktori Inovasi Administrasi Negara Jilid 2 Seri Proyek Perubahan. Selanjutnya melalui diseminasi Direktori Inovasi Administrasi Negara diharapkan dapat mempercepat tumbuhnya ide dan gagasan inovasi di lingkungan
6
Pemerintah Daerah secara masif. Selanjutnya hasil konkret pelaksanaan pengembangan
dan
diseminasi
Direktori
Inovasi
Administrasi
Negara
terdokumentasikan dalam sebuah Laporan Akhir Pengembangan dan Diseminasi Direktori Inovasi Administrasi Negara.
E. METODE PELAKSANAAN
M
etode dalam pengembangan Direktori Inovasi Administrasi Negara adalah dengan melakukan stocktaking. Sumber informasi dalam direktori diperoleh dari data primer melalui kunjungan dan
pengamatan terhadap sebuah praktik inovasi (Proyek Perubahan) yang dilakukan oleh para Pemimpin Perubahan dalam Diklat Kepemimpinan Tingkat I dan II tahun 2013 – 2014 Pola Baru atau data sekunder dari Laporan Proyek Perubahan sebagai dokumen bukti bahwa kegiatan itu telah dilakukan dan akan dilakukan secara simultan. Metode deskriptif eksploratif analitis digunakan untuk mendeskripsikan objek studi yaitu inovasi administrasi negara, menggali sebanyak-banyaknya isu-isu inovasi yang selama ini belum teridentifikasi dan terpetakan untuk selanjutnya dianalisa manfaat, keberlanjutan dan kemungkinan replikasinya. Selain itu juga dilakukan diskusi terbatas dengan mengundang narasumber baik dari para ahli, praktisi dan akademisi untuk mendapatkan ide-ide inovatif terkait penyusunan Direktori Inovasi Administrasi Negara sesuai dengan upaya penumbuhkembangan inovasi. Sedangkan dalam rangka mendiseminasikan Direktori Inovasi Administrasi Negara dilakukan seminar/workshop/lokakarya kepada stakeholders terkait. Diseminasi ini dilakukan di beberapa tempat dengan mempertimbangkan pemberdayaan terhadap perwakilan LAN di daerah (PKP2A). Materi yang disajikan pada kegiatan ini adalah Direktori Inovasi Administrasi Negara 2015 yang diharapkan dapat memotivasi instansi pemerintah untuk berinovasi dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan instansi masing-masing. Kegiatan Pengembangan dan Diseminasi Direktori Inovasi Administrasi Negara dengan mengikuti tahapan kegiatan sebagai berikut:
7
1. Penyempurnaan Desain Direktori (Mei) Tahap ini membahas penyempurnaan desain direktori yang telah disusun pada tahun sebelumnya dengan mempertimbangkan masukan dari narasumber pada tahapan finalisasi penyusunan Direktori Inovasi Administrasi Negara tahun 2014. Hasil dari penyempurnaan desain direktori ini akan dijadikan model guna penyusunan direktori tahun-tahun berikutnya. Pada tahapan ini juga dilakukan pendalaman dengan mengundang narasumber pada diskusi terbatas termasuk yang terkait dengan Proyek Perubahan Diklat Kepemimpinan Tingkat I dan II. Pada tahapan ini juga dilakukan rapat dalam kantor dalam rangka penyempurnaan desain. 2. Identifikasi Data dan Informasi Inovasi Administrasi Negara (Juni-Juli) Pada tahapan ini dilakukan stocktaking melalui identifikasi data dan informasi dari inovasi-inovasi bidang administrasi negara yang bersumber dari Proyek Perubahan Diklat Kepemimpinan Tingkat I dan II terutama alumni yang memperoleh peringkat 5 (lima) terbaik. Pengumpulan data-data Proyek Perubahan dilakukan dengan mengidentifikasi status perubahan/inovasi yang telah dilakukan oleh para alumni. Pertimbangan pemilihan fokus ini adalah bahwa perubahan yang dilakukan oleh para alumni tidak lain sebagai suatu langkah inovasi yang sangat membantu dalam peningkatan kinerja di instansinya. Disamping itu dilakukan kunjungan ke instansi alumni yang sebelumnya telah diidentifikasi. Tahapan ini menghasilkan daftar Proyek Perubahan yang akan divalidasi setelah melalui seleksi menggunakan kriteria yang telah ditentukan. Pada tahapan ini juga dilakukan rapat dalam kantor dalam rangka identifikasi data sebelum proses validasi inovasi. 3. Validasi dan Penyempurnaan Draf Direktori (Agustus) Setelah tahapan identifikasi, selanjutnya dilakukan penyusunan draf direktori dan dilanjutkan dengan validasi dengan mengunjungi lokasi dimana Proyek Perubahan tersebut dilaksanakan, sebagai tindak lanjut dari identifikasi awal melalui dokumen yang ada. Setelah dilakukan validasi, tim kemudian melakukan penyempurnaan draf melalui diskusi terbatas dengan mengundang narasumber.
8
4. Finalisasi Direktori Inovasi
Administrasi Negara dan Pencetakan
(September-Oktober) Setelah draf direktori selesai disempurnakan dan mendapatkan masukan dari narasumber, langkah selanjutnya adalah finalisasi direktori, dimana dalam tahapan ini tim mengundang narasumber yang kompeten untuk memberikan masukan terhadap direktori untuk selanjutnya dilakukan pencetakan. Pada tahapan ini juga dilakukan rapat dalam kantor dalam rangka finalisasi Direktori Inovasi Administrasi Negara. 5. Pelaksanaan Diseminasi Direktori Inovasi Pelayanan Publik (OktoberNovember) Kegiatan diseminasi dilakukan untuk mensosialisasikan Direktori Inovasi Pelayanan Publik kepada daerah/stakeholders, sehingga dapat dijadikan rujukan (adopsi dan replikasi) daerah dalam melakukan inovasi. Diseminasi dilakukan pada 2 (dua) daerah, yang meliputi Provinsi Aceh dan Provinsi Sulawesi Selatan. Pemilihan lokus Provinsi Aceh dan Provinsi Sulawesi Selatan mempertimbangkan alasan karena di kedua daerah ini terdapat perwakilan LAN, yaitu PKP2A dengan mekanisme diseminasi yang dilakukan adalah sebagai berikut: a. Tim LAN melakukan koordinasi dengan PKP2A IV Aceh dan PKP2A II Makassar untuk mengundang peserta dari berbagai Kabupaten/Kota yang ada di sekitar wilayah masing-masing. b. Tim LAN mengunjungi PKP2A guna menyampaikan hasil dari kegiatan berupa Direktori Inovasi Administrasi Negara kepada para peserta. 6. Evaluasi dan Penyusunan Laporan Diseminasi (Desember) Tahap ini dilaksanakan guna menyusun laporan pelaksanaan diseminasi. Dalam tahap ini dilakukan diskusi terbatas dengan mengundang narasumber yang kompeten. Setelah itu dilakukan pencetakan laporan diseminasi.
F. LOKUS OBSERVASI INOVASI DAN DISEMINASI
D
alam rangka memperkaya jenis dan bidang inovasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan,
maka
dilakukan
observasi
terhadap beberapa daerah terpilih yaitu instansi para Pemimpin
9
Perubahan. Daerah yang diprioritaskan sebagai lokasi observasi adalah beberapa daerah disekitar Pulau Jawa seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, serta Jawa Timur. Hal ini dilakukan karena beberapa instansi asal para Pemimpin Perubahan ada di daerah Pulau Jawa. Sedangkan lokus diseminasi dilakukan pada 2 (dua) daerah, yang meliputi Provinsi Aceh dan Provinsi Sulawesi Selatan. Pemilihan lokus Provinsi Aceh dan Provinsi Sulawesi Selatan ini dipilih karena pertimbangan adanya perwakilan LAN, yaitu PKP2A seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
G. TEKNIK VALIDASI PROYEK PERUBAHAN
V
alidasi dalam penyusunan Direktori Inovasi Administrasi Negara ini mengarah pada pengukuran dan pembuktian bahwa Proyek Perubahan yang telah dilaksanakan oleh peserta Diklat PIM Tingkat
I dan II Tahun 2013 – 2014 Pola Baru sesuai dengan kriteria inovasi yang telah ditentukan. Kriteria inovasi yang dipakai dalam melakukan validasi adalah seperti yang telah dikemukakan sebelumnya yaitu manfaat, kebaruan, keberlanjutan, dan replikasi. Beragam dan banyaknya data Proyek Perubahan yang ada harus disesuaikan dengan berbagai teknik validasi untuk membuktikan keabsahan Proyek Perubahan sebagai suatu inovasi, berbagai teknik tersebut juga untuk menyiasati tersebarnya Proyek Perubahan di instansi pemerintah berbagai daerah. Berbagai teknik validasi yang akan dipergunakan dalam kegiatan ini adalah sebagai berikut: a. Observasi Langsung Teknik ini dilakukan melalui pengamatan atau peninjauan langsung untuk mencermati pelaksanaan Proyek Perubahan. Observasi dilakukan dengan berkunjung langsung ke instansi pemerintah dimana Proyek Perubahan itu dilaksanakan. Kegiatan ini untuk membuktikan secara langsung setiap proses, kegiatan, sistem ataupun mekanisme sesuai dengan tahapan (milestone) yang telah disusun sebelumnya serta untuk mengukur Proyek Perubahan itu sesuai dengan kriteria inovasi. Observasi langsung ini dilakukan dengan memilih data proyek perubahan di dalam suatu daerah sehingga dalam satu periode pelaksanaan observasi dapat melakukan kunjungan ke beberapa instansi. Data yang didapat dalam observasi ini lebih valid, selain itu dapat diketahui
10
kemanfaatan langsung dari Proyek Perubahan tersebut dengan melakukan wawancara kepada pihak terkait, misalnya pimpinan, pegawai instansi pemerintah maupun masyarakat langsung. b. Focus Group Discussion Kegiatan ini modifikasi dari observasi yang diadakan dengan mengundang tim sukses dan stakeholders serta masyarakat. Hal ini dilakukan untuk menjembatani persoalan tersebarnya Proyek Perubahan yang dilakukan oleh peserta Diklat PIM Tingkat I dan II. Melalui diskusi terbatas yang terarah, diketahui pelaksanaan dan keberlanjutan Proyek Perubahan dari masingmasing peserta Diklat PIM. Pada akhirnya didapatkan data yang valid mengenai kondisi Proyek Perubahan terkini. c. Kuesioner Terbuka Kuesioner ini dikirim ke berbagai peserta Diklat PIM Tingkat I dan II untuk mengetahui perkembangan dan keberlanjutan Proyek Perubahan. Kuesioner ini berisi berbagai pertanyaan mengenai pelaksanaan proyek perubahan yang telah dilaksanakan. Pertanyaan yang disusun akan lebih mengarah pada 4 (empat) kriteria inovasi yang telah ditentukan sehingga diketahui apakah Proyek Perubahan tersebut merupakan suatu inovasi. d. Media Komunikasi Media komunikasi ini dilakukan melalui telepon, sms, email maupun media sosial lainnya. Komunikasi melalui media ini dilakukan untuk menjalin hubungan dengan peserta Diklat PIM Tingkat I dan II untuk mengetahui perkembangan dan keberlanjutan pelaksanaan Proyek Perubahan. Media komunikasi ini juga menjadi media pengumpulan data dan informasi tambahan apabila dalam proses sebelumnya belum didapatkan data yang dikehendaki.
H. SISTEMATIKA PENULISAN
U
ntuk mempermudah pemahaman, buku ini disusun secara sistematis dalam 5 (lima) bab yang berkaitan dan lampiran yang berisikan beberapa inovasi yang telah dilakukan oleh instansi pemerintah baik
pusat maupun daerah.
11
Bab I Pendahuluan. Bab ini berisikan latar belakang pengembangan dan diseminasi Inovasi Administrasi Negara, sasaran, kemanfaatan, metode pelaksanaan, lokasi serta teknik pengolahan data.
Bab II Konsepsi dan Instrumen. Bab ini berisi konsep dasar dari inovasi administrasi negara dan instrumen yang digunakan.
Bab III Analisa Pengelolaan Data. Bab ini berisi data yang dikumpulkan dan dianalisa sesuai dengan instrumen yang telah disusun, berapa data yang diperoleh dan bagaimana teknik validasinya.
Bab IV Inovasi Administrasi Negara Dalam Proyek Perubahan. Bab ini berisi inovasi yang dihasilkan dari Proyek Perubahan Diklat PIM Tingkat I dan II. Inovasi dikelompokkan berdasarkan wilayah validasi datanya.
Bab V Diseminasi Direktori Inovasi Administrasi Negara. Bab ini berisi ringkasan penyelenggaraan Diseminasi Direktori Inovasi Administrasi Negara di Aceh dan Sulawesi Selatan.
Bab V Penutup. Bab ini menjelaskan hal-hal yang dianggap penting dalam menyusun Direktori Inovasi Administrasi Negara.
12
BAB II KONSEPSI DAN INSTRUMEN
A. KONSEPSI INOVASI ADMINISTRASI NEGARA DAN PROYEK PERUBAHAN
K
ata inovasi (innovation dan innovate) mulai dikenal dalam kosakata Bahasa Inggris pada abad ke-16. Namun pada masa itu, istilah inovasi diasosiasikan secara negatif sebagai troublemaker dan lebih
identik dengan nuansa revolusi atau perubahan radikal sehingga cenderung ditolak oleh rezim kekuasaan dan politik serta otoritas keagamaan masa itu. Barulah sekitar 300 (tiga ratus) tahun kemudian, pengertian inovasi perlahan mengalami pergeseran makna menjadi positif yang dipahami sebagai “creating of something new” atau penciptaan sesuatu yang baru. Melirik dari pergeseran pemahaman tentang inovasi dapat terlihat bahwa inovasi dipahami sebagai perubahan dan penciptaan baru/ pengetahuan baru. Agus Dwiyanto (2013)1 menyatakan inovasi adalah “segala sesuatu yang berkenaan dengan gagasan dan pengetahuan baru dan transformasinya kedalam hasil (outcome) yang dapat menciptakan nilai tambah pada praktik dan proses, barang dan jasa, adopsi teknik dan pendekatan baru dalam pengelolaan suatu organisasi.” Dalam bidang administrasi publik, inovasi adalah setiap bentuk transformasi gagasan dan pengetahuan baru yang mampu menciptakan nilai tambah dalam satu atau lebih aspek dan/atau proses administrasi publik. Tri Widodo Wahyu Utomo (2015)2 menyatakan bahwa inovasi merupakan proses memikirkan dan mengimplementasikan suatu gagasan yang memiliki unsur kebaruan (novelty) serta kemanfaatan (expediency). Sedangkan Lembaga Administrasi Negara (2014)3 juga telah menyatakan bahwa inovasi merupakan ide, gagasan, pemikiran, terobosan dalam rangka melakukan pembaharuan dalam praktik dan proses penyelenggaraan pemerintahan, sehingga memiliki nilai tambah dalam satu atau lebih aspek dan atau proses administrasi negara. Melihat kembali
1
Dipaparkan dalam Diskusi Pertemuan Kedeputian Inovasi Administrasi Negara 2015 Dipaparkan dalam Workshop Pengelolaan Laboratorium Inovasi, Jakarta, 4 Mei 2015 dengan judul “Inovasi Administrasi Negara Sebuah Perjalanan Konseptual.” 3 Dalam Direktori Inovasi Administrasi Negara 2014 oleh Lembaga Administrasi Negara qq Pusat Inovasi Pelayanan Publik 2
13
pengertian di atas dapat didefinisikan bahwa inovasi adalah proses memikirkan dan mengimplementasikan gagasan, pengetahuan serta terobosan baru dalam rangka pembaharuan dan penciptaan nilai tambah atau kemanfaatan. Definisi inovasi yang dimaksud tentu saja segala suatu yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan. Berbicara tentang inovasi administrasi negara, memang tidak bisa secara langsung memberikan pengertian berdasarkan pengertian kata perkata. Konsep inovasi administrasi negara telah disusun oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) setelah merujuk dari beberapa pendapat ahli. Jika disamakan dengan inovasi sektor publik, maka Albury pernah mengungkapkan inovasi dalam sektor publik adalah “ide-ide baru yang bekerja”. Jika dikaitkan dengan bidang administrasi publik, Prof. Agus Dwiyanto mengungkapkan bahwa inovasi bidang administrasi publik adalah setiap bentuk transformasi gagasan dan pengetahuan baru yang mampu menciptakan nilai tambah dalam satu atau lebih aspek dan atau proses administrasi publik. Oleh karena itu LAN mendeskripsikan inovasi administrasi negara merupakan proses memikirkan dan mengimplementasikan suatu kebijakan oleh penyelenggara kepentingan publik untuk memenuhi kepentingan publik yang memiliki unsur kebaruan serta kemanfaatan. LAN (2014) telah mengelompokkan 8 (delapan) jenis dari inovasi administrasi negara yang disusun setelah melihat beberapa jenis inovasi yang ada. Jenis inovasi administrasi negara adalah sebagai berikut: 1. Inovasi Proses (Process Innovation) Inovasi yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas proses kerja baik internal maupun eksternal agar lebih sederhana dan lebih efisien. Ruang lingkup dari inovasi proses meliputi Standar Operasional Prosedur (SOP), tata laksana, sistem, dan prosedur. 2. Inovasi Metode (Method Innovation) Inovasi yang ditujukan dalam sebuah penerapan strategi, cara, dan teknik baru untuk mencapai hasil yang lebih baik. Ruang lingkup dari inovasi metode adalah strategi, cara, dan teknik baru. 3. Inovasi Produk (Product Innovation)
14
Inovasi yang ditujukan untuk penciptaan atau modifikasi barang atau jasa untuk meningkatkan kualitas, citra, fungsi dan sebagainya dari barang atau jasa tersebut. Ruang lingkup dari inovasi produk adalah produk yang dapat berupa fisik (barang) maupun non-fisik atau imaterial (jasa). 4. Inovasi Konseptual (Conceptual Innovation) Inovasi yang ditujukan untuk perubahan cara pandang atas masalah yang ada sehingga memunculkan solusi atas masalah. Ruang lingkup dari inovasi konseptual adalah kemunculan paradigma, ide, gagasan, pemikiran, dan terobosan baru yang sebelumnya tak terbayangkan. 5. Inovasi Teknologi (Technology Innovation) Inovasi yang ditujukan untuk penciptaan atau penggunaan teknologi baru yang lebih efektif dan mampu memecahkan masalah. Ruang lingkup dari inovasi teknologi biasanya dilakukan melalui introduksi e-government dan pembaruan peralatan atau perangkat untuk menunjang pekerjaan. 6. Inovasi Struktur Organisasi (Organizational Structure Innovation) Inovasi yang ditujukan untuk pengadopsian model organisasi baru yang menggantikan model lama yang tidak sesuai perkembangan organisasi. Ruang lingkup dari inovasi struktur organisasi adalah pembaruan struktur yang dilakukan melalui berbagai model dan bentuk penggabungan, penghapusan, pengembangan, dan modifikasi struktur. 7. Inovasi Hubungan (Relationship Innovation) Inovasi yang ditujukan untuk bentuk dan mekanisme baru dalam berhubungan dengan pihak lain demi tercapainya tujuan bersama. Ruang lingkup dari inovasi hubungan adalah partnership, partisipasi masyarakat, relationship, dan networking. 8. Inovasi
Pengembangan
Sumber
Daya
Manusia
(Human
Resources
Development Innovation) Inovasi yang ditujukan untuk perubahan kebijakan untuk meningkatkan kualitas tata nilai dan kapasitas dari sumber daya manusia (SDM). Ruang lingkup dari inovasi SDM adalah pembaruan dan peningkatan kualitas atas salah satu atau lebih dari berbagai aspek SDM, mulai tata nilai (budaya, mindset, etika), kepemimpinan, kompetensi, profesionalisme, dan pemberdayaan.
15
Organisasi yang inovatif memiliki kemampuan untuk menyalurkan kreativitas ke dalam hasil yang bermanfaat. Menurut Robbins dan Coulter (2012) dalam buku Management edisi ke-11, organisasi kreatif akan mengembangkan cara-cara kerja yang unik atau solusi baru untuk masalah. Tetapi hanya kreativitas saja tidak akan cukup. Hasil dari proses kreatif juga harus diubah menjadi produk yang berguna atau metode kerja, yang didefinisikan sebagai inovasi. Ketika pemimpin menginginkan organisasi agar lebih kreatif, hal itu berarti pemimpin tersebut ingin merangsang dan memelihara inovasi. Keberhasilan inovasi suatu instansi pemerintah pusat maupun daerah tidak terlepas dari peran pemimpin untuk melakukan perubahan. Perubahan tidak serta merta dapat terjadi jika tidak didukung oleh seluruh pihak yang ada termasuk pimpinan organisasi yang dalam hal ini adalah pimpinan instansi pemerintah. Konsepsi Proyek Perubahan yang dilakukan oleh para Pemimpin Perubahan dalam Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan (Diklat PIM) dapat dikatakan sebagai langkah inovasi yang dilakukan untuk meningkatkan kinerja instansinya masing-masing. Apa itu perubahan? Dan apa pula itu Proyek Perubahan? Bagaimana keterkaitannya dengan inovasi administrasi negara? Hal ini lah yang perlu dijabarkan lebih lanjut. Kata Proyek Perubahan merupakan istilah yang saat ini sangat terkait dengan pelaksanaan Diklat PIM dan bertujuan untuk mendapatkan pemimpin instansi pemerintah yang inovatif dan profesional. Bisa dikatakan bahwa Proyek Perubahan4 merupakan salah satu kegiatan pembelajaran pada Diklat Kepemimpinan Tingkat I, II, III, dan IV Pola Baru untuk mewujudkan kompetensi Kepemimpinan Visioner melalui kemampuan berkolaborasi dengan stakeholders dalam penanganan isu strategis nasional. Kegiatan ini mulai dijalankan pada tahun 2014 yang dimotori oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) selaku instansi pembina diklat aparatur. Apa itu perubahan? Menurut Harigopal (2006)5, perubahan adalah pergerakan dari situasi sekarang ke masa depan, dari keadaan yang dikenal ke keadaan yang relatif tidak dikenal. Menurut Brian Clegg Seperti yang dikutip oleh Fauzi (2013)6 Perubahan merupakan suatu kekuatan yang sangat hebat, yang dapat memotivasi
4
Penjelasan Proyek Perubahan, Diklat Kepemimpinan Tingkat I, Lembaga Administrasi Negara, 2014 Harigopal dalam Management of Organizational Change: Leveraging Transformation, 2nd edition.2006 6 Pengertian Perubahan dan Perkembangan Organisasi. Tersedia Online (http://masfiifauzii02.blogspot.com/2013/05/pengertian-perubahan-dan-perkembangan_3.html) 5
16
atau mendemotivasi. Berdasarkan itu perubahan dapat diartikan sebagai pergerakan menuju ke situasi yang relatif berbeda yang dapat memotivasi maupun mendemotivasi lingkungan. Menurut Suryanto (2015) Perubahan tidak selalu merupakan inovasi (pembaharuan), akan tetapi di dalam inovasi pasti terdapat perubahan. Dengan kata lain, perubahan merupakan bagian dari inovasi7. Hasil dari perubahan itu tergantung dari cara pandang lingkungan terhadap perubahan yang dilakukan. Melihat tipenya, perubahan dapat diartikan sebagai berikut: 1. Happened Change adalah perubahan yang tidak dapat diprediksi, terjadi secara alami karena faktor eksternal. 2. Planned Change adalah perubahan yang direncanakan sebagai respons terhadap tuntutan internal dan eksternal, biasanya terjadi pada aspek matematis seperti pada perhitungan rancangan pembangunan jembatan. 3. Total Change adalah perubahan drastis dari sistem yang telah ada. 4. Reactive Change adalah perubahan yang merupakan respon dari peristiwa atau serangkaian peristiwa 5. Transformational Change adalah perubahan yang melibatkan seluruh atau sebagian besar dari organisasi disebabkan oleh adanya ancaman. 6. Revolutionary Change adalah perubahan yang mendadak dalam strategi dan desain organisasi. 7. Strategic Change adalah perubahan seluruh atau sebagian besar komponen organisasi. 8. Anticipatory Change adalah perubahan yang terjadi sebelum peristiwa sebagai upaya antisipasi. 9. Recreation Change adalah perubahan yang menghancurkan sistem lama kemudian membangun yang baru. Perubahannya tidak hanya menjadi lebih baik, tetapi menjadi berbeda. Dalam melakukan perubahan, pelaku perubahan harus memiliki alasan terhadap usaha perubahan yang dilakukan. Seperti yang diidentifikasi oleh Kurt
7
Bahan paparan FGD Pengembangan dan Diseminasi Direktori Inovasi, dengan judul “Identifikasi Data dan Informasi Direktori Inovasi Administrasi Negara”, LAN 2015
17
Lewin (1951)8 sebagaimana yang dikutip oleh Irmawati (2012) bahwa beberapa hal dan alasan yang harus dilaksanakan oleh seorang manajer dalam merencanakan suatu perubahan, yaitu: 1) Perubahan hanya boleh dilaksanakan untuk alasan yang baik; 2) Perubahan harus secara bertahap; 3) Semua perubahan harus direncanakan dan tidak secara drastis atau mendadak; dan 4) Semua individu yang terkena perubahan harus dilibatkan dalam perencanaan perubahan. Menurutnya perubahan terjadi karena munculnya tekanan-tekanan terhadap organisasi, individu, atau kelompok. Dengan berfokus pada pernyataan “mengapa”, dapat diketahui bagaimana perubahan dapat dikelola dan menghasilkan sesuatu. Lewin berkesimpulan bahwa kekuatan tekanan (driving forces) akan selalu berhadapan dengan keengganan (resistances) untuk berubah. Perubahan itu sendiri dapat terjadi dengan memperkuat “driving forces” itu, atau melemahkan “resistances to change”. Karena itulah akan selalu ada pro dan kontra terhadap perubahan yang terjadi dalam suatu organisasi. Perubahan juga memiliki proses dalam tumbuh kembang sehingga dapat bermanfaat bagi lingkungan. Menurut Robbins dan Coulter (2012) dalam buku Management edisi ke-11, bahwa proses perubahan dapat berlangsung dari luar dan dalam organisasi. Dari luar organisasi proses perubahan terjadi dikarenakan: 1) adanya perubahan kebutuhan dan keinginan konsumen; 2) adanya peraturan/ hukum pemerintah yang baru; 3) adanya perubahan teknologi; 4) adanya perubahan ekonomi. Sedangkan dari dalam dikarenakan: 1) adanya strategi baru organisasi; 2) adanya perubahan komposisi tenaga kerja; 3) adanya peralatan baru; 4) adanya usaha mengubah sikap karyawan. Menurut Lewin (1951) seperti yang dikutip Robbins dan Coulter (2012) menyatakan bahwa perubahan dapat direncanakan dan harus memiliki konsep kesadaran terhadap perubahan atau penolakan pada status quo. Ia berkesimpulan bahwa kekuatan tekanan (driving forces) akan berhadapan dengan penolakan (resistences) untuk berubah. Yang perlu dilakukan organisasi adalah mempersiapkan untuk perubahan yang diperlukan menstabilkan
8
(unfreezing), situasi
baru
mengimplementasikan dengan
memperkuat
Dikutip oleh Irmawati tahun 2012 dalam Teori Perubahan menurut para ahli
perubahan perilaku
(changing), baru
dengan
18
mempertahankannya (refreezing) atau bisa dikatakan ada keberlanjutan dari proses perubahan. Perubahan sekuat apapun yang telah dilakukan tentu memiliki faktor penghambat dan tantangan dalam menjaga keunggulan dari perubahan tersebut. Menurut New dan Couillard (1981) seperti yang dikutip oleh Irmawati (2012), faktor penghambat (restraining force) terjadinya perubahan yaitu: 1) Adanya ancaman terhadap kepentingan pribadi; 2) Adanya persepsi yang kurang tepat; 3) Reaksi psikologis; 4) Toleransi untuk berubah rendah. Seringkali perilaku individu yang menjadi hambatan dalam perubahan. Hal ini terkait dengan ketidakmauan atau ketidakmampuan untuk mengubah sikap dan tingkah laku yang lama menjadi kebiasaan. Individu yang diberi kebebasan cenderung untuk kembali ke pola tingkah laku yang sudah menjadi kebiasaan. Ada beberapa metode yang dapat dilakukan untuk menangani penolakan terhadap perubahan diantaranya sebagai berikut: 1. Pendidikan dan komunikasi, yaitu menjelaskan kebutuhan akan dan logika dari perubahan kepada individu, kelompok dan bahkan seluruh organisasi. Hal ini terkait dengan partisipasi dan penyertaan, dimana pengelola perubahan dapat meminta anggota organisasi untuk membantu mendesain perubahan. 2. Memberi fasilitas dan dukungan, yaitu menawarkan program pelatihan, liburan, dukungan emosional dan memahami orang yang terpengaruh oleh perubahan. Hal ini terkait dengan negosiasi dan persetujuan, dimana pengelola perubahan dapat melakukan negosiasi dengan penolak potensial, bahkan mengusahakan surat pemahaman tertulis. 3. Manipulasi dan pemilihan menjadi anggota, memberikan peran yang diinginkan oleh orang yang berpengaruh dalam mendesain atau mengimplementasikan proses perubahan. Hal ini terkait dengan memaksa secara terang-terangan terselubung, dimana pengelola perubahan dapat menakut-nakuti dengan kehilangan pekerjaan atau pemindahan, tidak dipromosikan. Proyek perubahan merupakan salah satu kegiatan pembelajaran pada Diklat Kepemimpinan Tingkat I, II, III, dan IV Pola Baru. Para peserta dituntut untuk membuat terobosan kebijakan di lingkungan instansinya guna meningkatkan kinerja
19
organisasi. Terobosan tersebut dapat berupa gagasan inovatif maupun gagasan yang lebih menuntut perubahan situasi yang ada di instansi masing masing. Melirik dari hirarki Proyek Perubahan yang telah membagi tingkatan Proyek Perubahan menjadi tiga tingkat yaitu: 1) Perubahan pada tingkat paradigma (jangka panjang); 2) Perubahan pada tingkat kebijakan (jangka menengah); 3) Perubahan pada tingkat manajemen strategis (jangka pendek), terlihat hubungan antara inovasi administrasi negara dengan Proyek Perubahan. Tuntutan awal proyek perubahan berada pada level rendah yaitu tingkat manajemen strategis. yang dituntut berubah disini lebih ke perubahan lingkungan. Tingkatan tertinggi dari Proyek Perubahan adalah perubahan paradigma. Perubahan pada tahap ini tentu sudah melewati banyak tantangan dan hambatan bagi pelaku perubahannya. Untuk menghadapi tantangan dan hambatan dalam perlu memikirkan dan mengimplementasikan terobosan yang baru agar terasa kemanfaatan. Disanalah tindakan inovatif dibutuhkan lebih dari sekedar tindakan normatif. Menurut Kasali (2009) perubahan tidak selalu membawa pembaharuan, hal ini disebabkan oleh: 1) Kepemimpinan yang belum cukup kuat; 2) Salah melihat reformasi; 3) Sabotase di tengah jalan; 4) Komunikasi yang tidak begitu bagus; 5) Masyarakat yang tidak cukup mendukung; 6) Proses “buy in” yang tidak berjalan9. Untuk itulah Proyek Perubahan tersebut perlu dilihat kembali terkait dengan pembaharuan yang dihasilkannya. B. KONSEPSI INOVATOR DAN PEMIMPIN PERUBAHAN
I
novasi administrasi negara tidak terlepas dari pelaku dibalik gagasan suatu inovasi yang pada akhirnya membawa perubahan dalam sektor pelayanan masyarakat. Tidak bisa dipungkiri sosok penggagas inovasi
atau inovator dapat menjadi inspirasi bagi instansi pemerintah yang lain dalam meningkatkan kualitas pelayanannya. Apa itu inovator? Berikut ini akan sedikit dijelaskan mengenai sang penggagas inovasi atau inovator. Menurut Roger (1995) yang dikutip oleh Ginting dan Meiyanto, inovator adalah kelompok orang yang berani dan siap untuk mencoba hal-hal baru. Sedangkan
9
Bahan paparan di Mahkamah Agung yang berjudul Change Management oleh Rhenald Kasali, 2009
20
menurut (Maner, dkk, 2007) mereka yang tergolong inovator adalah orang yang tidak mengalami keraguan setelah membeli karena apapun yang terjadi mereka telah siap dengan risikonya. Berdasarkan kedua pendapat tersebut serta dihubungkan dengan pengertian inovasi administrasi negara dapat ditarik pengertian bahwa inovator adalah individu/kelompok/penyelenggara kepentingan publik yang berani melakukan atau mengimplementasikan gagasan baru dan siap terhadap risiko yang akan dihadapi untuk memenuhi kepentingan publik Seorang inovator dapat dilihat dari berbagai aspek. Seperti yang dijelaskan oleh Rogers (1995) yang dikutip oleh Ginting dan Meiyanto bahwa inovator dapat dilihat dari aspek personality, relative advantage, compatibility, complexity dan triability serta observability. Personality (kepribadian) merupakan pendirian, kemampuan dan potensi yang dimiliki seseorang untuk kreatif dan inovatif. Relative Advantage (keuntungan relatif) adalah tingkat kelebihan suatu inovasi, apakah lebih baik dari inovasi yang ada sebelumnya atau dari hal-hal yang biasa dilakukan. Compatibility atau kompatibilitas (keserasian) adalah tingkat keserasian dari suatu inovasi, apakah dianggap konsisten atau sesuai dengan nilai-nilai, pengalaman dan kebutuhan yang ada. Complexity atau kompleksitas (kerumitan) adalah tingkat kerumitan dari suatu inovasi untuk diadopsi, seberapa sulit memahami dan menggunakan inovasi. Triability atau triabilitas (dapat diuji coba) merupakan tingkat apakah suatu inovasi dapat dicoba terlebih dahulu atau harus terikat untuk menggunakannya. Observability (dapat diobservasi) adalah tingkat bagaimana hasil penggunaan suatu inovasi dapat dilihat oleh orang lain. Dalam penyelenggaraan negara, kepemimpinan (leadership) memegang peranan penting dan merupakan salah satu faktor kunci dalam kehidupan organisasi baik di sektor publik/pemerintahan maupun sektor privat (perusahaan dan lembaga swadaya masyarakat). Keberhasilan seorang pemimpin sangat ditentukan kemampuan mengelola bawahan dan situasi kondisi internal dan eksternal. Dengan pola kepemimpinan yang baik dapat dihasilkan shared vision, terlaksana misi dan program yang selaras dengan visi serta pemberdayaan (empowering). Kepemimpinan juga mengarah pada penciptaan, pengarahan dan akselerasi perubahan-perubahan yang signifikan (transformational leadership).
21
Disamping menjalankan fungsi manajemen, seorang pemimpin yang menduduki
jabatan
sektor
publik
maupun
privat
harus
melaksanakan
kepemimpinan (manager) dan sekaligus menjadi leader. Kenyataan di lapangan seringkali ditemukan kurangnya penguasaan kepemimpinan dibanding manajemen yang mengakibatkan kondisi under and over-managed. Pemimpin Perubahan belakangan ini sering dikaitkan dengan sosok pemimpin instansi sektor publik yang tentu saja terkait dengan Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpian yang harus dilalui sebagai ilmu dasar memimpin instansi masing masing. Menurut Maurer (Yukl, 2001) seperti yang dikutip oleh Ginting dan Meiyanto (2010) mengatakan bahwa sebagai seorang pemimpin tidak selamanya melakukan perubahan menjadi sesuatu yang menyenangkan. Ada risiko yang harus ditanggung ketika mencoba melakukan perubahan. Kondisi ini menyebabkan opini bahwa seorang pemimpin juga memiliki kecemasan ketika mengevaluasi apakah hasil sesuai dengan yang diharapkan atau tidak. Agen perubahan atau Pemimpin Perubahan adalah suatu bagian dari sistem sosial yang berpengaruh terhadap sistem sosialnya. Mereka adalah orang-orang yang mampu memengaruhi sikap orang lain untuk menerima sebuah inovasi. Pemimpin perubahan merupakan orang-orang profesional yang telah mendapatkan pendidikan atau pelatihan tertentu untuk dapat memengaruhi sistem sosialnya. Kemampuan dan keterampilan menjadi agent of change berperan besar terhadap diterima atau ditolaknya inovasi tertentu. Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas dapat terlihat perbedaan dan persamaan antara inovator dengan Pemimpin Perubahan. Jika inovator tersebut merupakan sosok yang inspiratif dalam suatu perubahan yang terjadi pada pelayanan publik yang diterima masyarakat, maka Pemimpin Perubahan merupakan sosok penentu yang mempengaruhi keberhasilan perubahan pelayanan publik. Persamaan yang dapat terlihat adalah kedua sosok ini sudah siap menghadapi risiko yang timbul terhadap apapun gagasan dan pemikirannya dalam memperbaiki kualitas pelayanan publik di instansi masing-masing. Para Pemimpin Perubahan
memang
melakukan
penciptaan,
pengarahan
dan
akselerasi
perubahan-perubahan yang signifikan bagi perbaikan kinerja instansi sehingga pada akhirnya mereka layak disebut sang innovator.
22
C. PROYEK PERUBAHAN MENUJU PEMIMPIN PERUBAHAN YANG INOVATIF
A
paratur Sipil Negara (ASN) mempunyai peranan penting untuk menentukan keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Sosok ASN yang mampu memainkan peranan
tersebut adalah ASN yang mempunyai kompetensi, kapabilitas, dan kemampuan kepemimpinan. Kompetensi tersebut diindikasikan dari sikap dan perilaku yang penuh kesetiaan dan ketaatan kepada bangsa dan negara, bermoral, bermental baik, profesional, sadar akan tanggung jawab sebagai pelayan publik, serta mampu menjadi perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Untuk dapat membentuk sosok ASN tersebut, perlu dilaksanakan pembinaan melalui jalur Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan (Diklat PIM). Diklat PIM merupakan diklat yang sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Dalam Undang-Undang tersebut tertulis dengan jelas bahwa Lembaga Administrasi Negara mempunyai fungsi dan tugas dalam pembinaan diklat. Pasal 43 Undang-Undang ASN mengisyaratkan fungsi LAN sebagai berikut: 1. Pengembangan standar dan kualitas pendidikan dan pelatihan pegawai ASN; 2. Pembinaan pendidikan dan pelatihan kompetensi managerial pegawai ASN; 3. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kompetensi manajerial pegawai ASN baik secara sendiri maupun bersama-sama lembaga pendidikan dan pelatihan lainnya; 4. Pengkajian terkait dengan kebijakan dan manajemen ASN; dan 5. Melakukan akreditasi lembaga pendidikan dan pelatihan pegawai ASN, baik sendiri maupun bersama lembaga diklat lainnya. Lebih lanjut Pasal 44 Undang-Undang ASN mengamanatkan tugas LAN sebagai berikut: 1. Meneliti, mengkaji, dan melakukan inovasi manajemen ASN sesuai dengan kebutuhan kebijakan; 2. Membina dan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan pegawai ASN berbasis kompetensi; 3. Merencanakan dan mengawasi kebutuhan pendidikan dan pelatihan pegawai ASN secara nasional;
23
4. Menyusun standar pedoman penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan, pelatihan teknis fungsional dan penjenjangan tertentu, serta pemberian akreditasi dan sertifikasi di bidangnya dengan melibatkan Kementerian dan Lembaga terkait; 5. Memberikan
sertifikasi
kelulusan
peserta
pendidikan
dan
pelatihan
penjenjangan; 6. Membina dan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan analis kebijakan publik; dan 7. Membina jabatan fungsional di bidang pendidikan dan pelatihan. Sebagai instansi pembina dan sekaligus penyelenggara Diklat, Lembaga Administrasi Negara mempunyai tugas dan fungsi menyelenggarakan Diklat Kepemimpinan, Diklat Prajabatan dan Diklat Teknis Fungsional. Untuk mendukung pencapaian kebijakan nasional World Class Bureaucracy (World Class Civil Servant) Lembaga Administrasi Negara sebagai Instansi Pembina Pendidikan dan Pelatihan Aparatur Sipil Negara telah melakukan Reformasi Diklat Kepemimpinan Tingkat I, II, III, dan IV pada tahun 2013 dan diikuti oleh seluruh penyelenggara Diklat. Dalam reformasi tersebut, selain perubahan terhadap kurikulum dan penyelenggaraan diklat, juga diharuskan adanya keterlibatan instansi asal peserta, dimana hal tersebut adalah bagian dari proses pembelajaran diklat. Pada akhirnya dapat bermunculannya Pemimpin Perubahan yang bisa memperbesar arus perubahan di sektor publik. Lahirnya Peraturan Kepala LAN Nomor 10 Tahun 2013, Peraturan Kepala LAN Nomor 11 Tahun 2013, Peraturan Kepala LAN Nomor 12 Tahun 2013, dan Peraturan Kepala LAN Nomor 13 Tahun 2013, yang telah diperbaharui dengan Peraturan Kepala LAN Nomor 17 Tahun 2015, Peraturan Kepala LAN Nomor 18 Tahun 2015, dan Peraturan Kepala LAN Nomor 19 Tahun 2015 merupakan gebrakan baru dalam penyelenggaraan Diklat PIM. Pola diklat yang sebelumnya hanya bersifat on campus (dalam kampus) menjadi pola diklat yang bersifat on campus
dan
off
campus
(kembali
ke
instansi
untuk
merancang
dan
mengimplementasikan Proyek Perubahan). Sebagai gambaran awal, perbandingan Diklat PIM Pola Lama dan Pola Baru diuraikan dalam tabel berikut:
25
Tabel 1 Perbedaan Diklat PIM Pola Lama dan Pola Baru NO 1
2
DIKLAT PIM POLA LAMA
KETERANGAN PEMBEDA Dasar Hukum
Agenda Pembelajaran
DIKLAT PIM POLA BARU
Diklat PIM Tk.I
Diklat PIM Tk.II
Diklat PIM Tk.III
Diklat PIM Tk.IV
Diklat PIM Tk.I
Diklat PIM Tk.II
Keputusan Kepala
Peraturan Kepala
Keputusan Kepala
Keputusan Kepala
Peraturan Kepala
Peraturan Kepala
Peraturan Kepala
Peraturan Kepala
Lembaga
Lembaga
Lembaga
Lembaga
Lembaga
Lembaga
Lembaga
Lembaga
Administrasi Negara
Administrasi
Administrasi
Administrasi
Administrasi
Administrasi
Administrasi
Administrasi
Nomor
Negara Nomor 6
Negara Nomor
Negara Nomor
Negara Nomor 10
Negara Nomor 11
Negara Nomor 12
Negara Nomor 13
542/XIII/10/6/2001
Tahun 2005
540/XIII/10/6/2001
541/XIII/10/6/2001
Tahun 2013
Tahun 2013
Tahun 2013
Tahun 2013
tentang Pedoman
tentang Pedoman
tentang Pedoman
tentang Pedoman
tentang Pedoman
tentang Pedoman
tentang Pedoman
tentang Pedoman
Penyelenggaraan
Penyelenggaraan
Penyelenggaraan
Penyelenggaraan
Penyelenggaraan
Penyelenggaraan
Penyelenggaraan
Penyelenggaraan
Pendidikan dan
Pendidikan dan
Pendidikan dan
Pendidikan dan
Pendidikan dan
Pendidikan dan
Pendidikan dan
Pendidikan dan
Pelatihan
Pelatihan
Pelatihan
Pelatihan
Pelatihan
Pelatihan
Pelatihan
Pelatihan
Kepemimpinan Tk. I
Kepemimpinan Tk.
Kepemimpinan Tk.
Kepemimpinan Tk.
Kepemimpinan Tk. I
Kepemimpinan Tk.
Kepemimpinan Tk.
Kepemimpinan Tk.
II
III
IV
II
III
IV
a. Kajian
a. Kajian Sikap
a. Kajian Sikap
a. Diagnosa
a. Diagnosa
a. Diagnosa
a. Kajian Falsafah Bangsa, Paradigma Pembangunan, dan Kepemimpinan Nasional b. Kajian Sistem
Paradigma b. Kajian Kebijakan Publik c. Kajian Manajemen Stratejik d. Aktualisasi
dan Perilaku b. Kajian Manajemen
dan Perilaku b. Kajian Manajemen
Publik
Publik
c. Kajian
c. Kajian
Pembangunan d. Aktualisasi
Pembangunan d. Aktualisasi
a. Diagnosa
Diklat PIM Tk.III
Diklat PIM Tk.IV
Kebutuhan
Kebutuhan
Kebutuhan
Kebutuhan
Perubahan
Perubahan
Perubahan
Perubahan
Organisasi
Organisasi
Organisasi
Organisasi
b. Taking Ownership (Breakthrough I) c. Merancang
b. Taking Ownership (Breakthrough I) c. Merancang
b. Taking Ownership (Breakthrough I) c. Merancang
b. Taking Ownership (Breakthrough I) c. Merancang
Manajemen
Perubahan dan
Perubahan dan
Perubahan dan
Perubahan dan
Pemerintahan dan
Membangun Tim
Membangun Tim
Membangun Tim
Membangun Tim
Pembangunan c. Kajian Strategi dan Kebijakan Pembangunan d. Aktualisasi
d. Laboratorium
d. Laboratorium
d. Laboratorium
d. Laboratorium
Kepemimpinan
Kepemimpinan
Kepemimpinan
Kepemimpinan
(Breakthrough II)
(Breakthrough II)
(Breakthrough II)
(Breakthrough II)
e. Evaluasi
e. Evaluasi
e. Evaluasi
e. Evaluasi
26
3
4
Produk
Karya Tulis Prestasi
Karya Tulis
Karya Tulis
Karya Tulis
Proyek Perubahan:
Proyek Perubahan:
Proyek Perubahan:
Proyek Perubahan:
Pembelajaran
Perseorangan
Prestasi
Prestasi
Prestasi
Individu
Individu
Individu
Individu
(KTP2): individu
Perseorangan
Perseorangan
Perseorangan
Policy Brief:
Laporan
Laporan
Laporan
Kertas Kerja
(KTP2): individu
(KTP2): individu
(KTP2): individu
Kelompok
Benchmarking:
Benchmarking:
Benchmarking:
Angkatan (KKA):
Kertas Kerja Tema
Kertas Kerja
Kertas Kerja
Laporan
kelompok
kelompok
kelompok
kelompok
(KKT): kelompok
Angkatan (KKA):
Angkatan (KKA):
Benchmarking:
Laporan Observasi
Laporan Studi
kelompok
kelompok
kelompok
Lapangan:
Lapangan:
Laporan Observasi
Laporan Observasi
kelompok
kelompok
Lapangan:
Lapangan:
kelompok
kelompok
Kompetensi
Kepemimpinan
Kepemimpinan
Kepemimpinan
Kepemimpinan
Pemimpin
Pemimpin
Pemimpin
Pemimpin
Kepemimpinan
Visioner
Strategis
Taktikal
Operasional
Perubahan Visioner
Perubahan
Perubahan Taktikal
Perubahan
Strategis
Sumber: diolah dari berbagai sumber
Operasional
27
Hal yang sangat mendasar dari pelaksanaan Diklat PIM Pola Baru adalah tujuan yang ingin dicapai yaitu terbentuknya Pemimpin Perubahan. Pemimpin Perubahan
diindikasikan
dengan
pemimpin
yang
mampu
mempengaruhi
stakeholders, membangun tim efektif, menginisiasi dan melaksanakan perubahan dengan ketaatan kepada etika birokrasi. Dalam Diklat PIM Pola Baru ini, salah satu evidence dalam implementasi adanya Pemimpin Perubahan adalah dengan membuat/mendesain Proyek Perubahan di instansi asal peserta. Tantangan bagi peserta Diklat PIM saat berada dalam masa Diklat PIM adalah harus mampu merancang Proyek Perubahan pada tahap taking ownership dan mengimplementasikan Proyek Perubahan jangka pendek pada tahap Laboratorium Kepemimpinan. Dengan bimbingan dan persetujuan mentor serta arahan dari coach, Proyek Perubahan diarahkan agar mempunyai 3 (tiga) tahapan atau milestones yaitu jangka pendek (dua bulan selama Laboratorium Kepemimpinan), jangka menengah (3 bulan sampai dengan 1 tahun) dan jangka panjang (lebih dari 1 tahun). Nilai tambah utama dari Proyek Perubahan ini adalah orisinalitas Proyek Perubahan, kebaruan/inovasi apa yang dilakukan, kemampuan memobilisir stakeholders, serta pernyataan dukungan yang dinyatakan secara jelas. Semua unsur tersebut harus dilampirkan dalam dokumen Laporan Proyek Perubahan pada saat seminar laboratorium kepemimpinan. Kedeputian Inovasi Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara melalui Pusat Inovasi Pelayanan Publik mempunyai inisiasi untuk melakukan tracer study bagi alumni peringkat 5 (lima) terbaik Diklat PIM Tk. I dan II Pola Baru tahun 2013-2014 dari penyelenggara Diklat seluruh Indonesia untuk dimasukkan ke dalam Direktori Inovasi Administrasi Negara. Langkah ini diambil sebagai upaya untuk mempublikasikan inovasi yang sudah dibuat dan diimplementasikan oleh para alumni serta sebagai akuntabilitas penggunaan anggaran. Pembuatan direktori dilakukan melalui proses validasi/mencari jejak sejauh mana Proyek Perubahan ini terlaksana atau tidak di milestone jangka menengah dan panjang serta hambatan yang dialami.
28
D. INSTRUMEN DESAIN DIREKTORI INOVASI ADMINISTRASI NEGARA 2015
D
alam rangka mendorong tumbuh dan berkembangnya inovasi di bidang administrasi negara, pada tahun 2014 Lembaga Administrasi Negara memandang perlu untuk menyusun Direktori Inovasi
Administrasi Negara. Pada awal penyusunannya, direktori ini memuat beragam inovasi yang dilakukan oleh Kementerian, LPNK, LNS, Pemda, Lembaga-Lembaga Negara, atau BUMN/ BUMD. Desain Direktori Inovasi Administrasi Negara 2014 memiliki beberapa kriteria dalam menentukan sah atau tidaknya kegiatan dan program untuk digolongkan sebagai sebuah inovasi. Setelah melewati kriteria tersebut barulah data inovasi yang telah didapatkan melalui data sekunder maupun primer disusun kedalam instrumen Direktori Inovasi Administrasi Negara. Selain itu Direktori Inovasi Administrasi Negara disusun pula dalam bentuk database elektronik yang dikenal sebagai e-Direktori Inovasi Administrasi Negara. e-Direktori Inovasi Administrasi Negara telah banyak diakses oleh pengunjung dunia maya yang mencari inspirasi inovasi apa yang bisa dilakukan oleh instansi pemerintah baik pusat maupun daerah. Penetapan kriteria ditujukan untuk memastikan apakah suatu inisiatif memenuhi sebagian atau seluruh kriteria yang ditetapkan untuk tiap kategori. Dalam direktori inovasi ini telah ditetapkan kriteria dari sebuah inovasi administrasi negara. Kriteria tersebut dibagi menjadi subkriteria sehingga lebih mudah lagi dalam penentuan inovasi administrasi negara. Kriteria tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pendekatan/Ide/Terobosan terdiri dari inisiatif baru, dan inisiatif modifikasi. 2. Manfaat terdiri dari hasil yang dicapai, perbaikan kondisi setelah inovasi dan dapat dinilai keberhasilannya. 3. Keberlanjutan terdiri dari kejelasan bahwa inovasi masuk dalam keputusan formal, masuk dalam perencanaan, dilakukan evaluasi berkala, adanya alokasi sumber daya dan anggaran serta tidak bertentangan dengan regulasi. 4. Replikasi terdiri dari kepastian bahwa inovasi tersebut dapat dikembangkan lebih lanjut dan juga dapat terlihat potensi untuk diimplementasikan di tempat lain. Direktori Inovasi Administrasi Negara (Direktori IAN) berisi gambaran untuk menjelaskan inovasi yang telah dilakukan. Desain instrumen direktori tentu saja
29
telah disusun dengan memikirkan bahwa inovasi tersebut dapat menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat (best practice). 1. Pelaksana Inovasi; Pengisian kolom pelaksana inovasi dilakukan dengan memilih salah satu dari lima kelompok yaitu: Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota), BUMN/BUMD, LSM/NGO, atau masyarakat. 2. Nama Instansi; Pengisian kolom Nama Instansi dilakukan dengan mengisi nama instansi induk dimana perubahan/inovasi itu dijalankan. 3. Unit Pelaksana; Pengisian kolom Unit Pelaksana dilakukan dengan mengisi unit yang melaksanakan kegiatan perubahan/inovasi dimana perubahan/ inovasi itu dijalankan. 4. Nama Inovasi; Pengisian kolom Nama Inovasi dilakukan dengan mengisi sesuai nama (kegiatan/program) inovasi. 5. Produk Inovasi; Pengisian kolom produk inovasi dilakukan dengan mengisi hasil (kegiatan/program) inovasi. 6. Jenis Inovasi; Pengisian kolom jenis inovasi diisi dengan memilih salah satu dari jenis inovasi yang terdiri dari Proses, Metode, Produk, Konseptual, Teknologi, Struktur Organisasi, Hubungan, Sumber Daya Manusia. 7. Penggagas; Pengisian kolom penggagas diisi dengan nama instansi/ kelompok/orang yang menggagas munculnya inovasi. 8. Tahun Inisiasi; Pengisian kolom tahun inisiasi diisi dengan tahun inovasi tersebut mulai digagas/diinisiasi. 9. Tahun Implementasi; Pengisian kolom tahun implementasi diisi dengan tahun inovasi tersebut mulai dijalankan/diimplementasikan. 10. Deskripsi; Pengisian kolom deskripsi diisi dengan permasalahan yang melatarbelakangi inovasi, tujuan inovasi, serta strategi inovasi. 11. Faktor Pendorong Inovasi; Pengisian kolom faktor pendorong inovasi diisi dengan hal hal spesifik yang menjadi pendorong keberhasilan inovasi tersebut. 12. Faktor Penghambat Inovasi; Pengisian kolom faktor penghambat inovasi diisi dengan hal-hal spesifik yang menjadi penghambat keberhasilan inovasi tersebut.
30
13. Tahapan Proses Inovasi; Pengisian kolom tahapan proses inovasi diisi mulai dari proses inisiasi (perancangan) sampai dengan implementasi (penerapan) inovasi. 14. Prasyarat Replikasi; Pengisian kolom prasyarat replikasi diisi dengan kemungkinan inovasi tersebut dapat direplikasi dan diimplementasikan di tempat lain dengan memperhatikan karakteristik dan kondisi setempat. 15. Kontak Implementator; Pengisian kolom kontak implementator diisi dengan nama orang atau unit/kelompok yang dapat memberikan informasi terkait inovasi tersebut. 16. Teknik Validasi; Pengisian kolom teknik validasi ini, diisi dengan memilih salah satu dari teknik validasi/teknik pengambilan data inovasi yang disediakan, yaitu: a. Observasi merupakan pengambilan data yang dilakukan melalui visitasi ke pelaku inovasi/perubahan. b. Publikasi/Presentasi merupakan pengambilan data yang dilakukan melalui publikasi yang diungkapkan dan/atau bahan paparan inovasi/perubahan yang disajikan oleh pelaku inovasi/perubahan atau yang mewakili. c. Data Sekunder merupakan pengambilan data yang dilakukan melalui dokumen inovasi yang dipublikasikan melalui buku, koran, artikel, maupun yang bersumber dari media online seperti portal instansi pemerintah, website berita. 17. Sumber; Pengisian kolom sumber ini, diisi dengan asal dokumen inovasi itu diperoleh baik secara observasi, publikasi/presentasi, maupun dari data sekunder.
E. INSTRUMEN
DESAIN
PENYARINGAN/VALIDASI
DATA
DIKLAT
KEPEMIMPINAN
P
endidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Pola Baru memiliki unsur berupa orisinalitas Proyek Perubahan, kebaruan/inovasi apa yang dilakukan, kemampuan memobilisir stakeholders, serta pernyataan
dukungan yang dinyatakan secara jelas. Semua unsur tersebut harus dilampirkan dalam dokumen Proyek Perubahan pada saat seminar laboratorium kepemimpinan.
31
Diklat Kepemimpinan Pola Baru ini menghasilkan dokumen yang dapat merepresentasikan
perubahan
yang
dilakukan
masing-masing
peserta
di
instansinya. Akan tetapi, jika hasil sementara yang diungkapkan dalam sebuah dokumen perubahan itu tidak dilanjutkan oleh instansi yang bersangkutan, maka itu merupakan sebuah kerugian besar bagi instansi dan capaian yang dihasilkan akan menjadi sia-sia. Oleh karena itu dengan merangkum kembali dokumen Proyek Perubahan kedalam Direktori Inovasi Administrasi Negara, maka akan terlihat kelanjutan dari hasil Proyek Perubahan para Pemimpin Perubahan dan tidak hanya sekedar prasyarat kelulusan. Sejak tahun 2013 – 2014 telah banyak bermunculan Pemimpin Perubahan yang berasal dari program Diklat Kepemimpinan Pola Baru. Tentu saja masingmasing Pemimpin Perubahan pada tiap angkatan Diklat memiliki satu Proyek Perubahan yang merupakan cikal bakal inovasi. Dalam penyaringan awal ditentukan bahwa Proyek Perubahan yang dikonversikan ke dalam Direktori Inovasi Administrasi Negara ditetapkan bahwa Proyek Perubahan yang digagas oleh peserta Diklat PIM tingkat I dan II yang diselenggarakan tahun 2014 serta Diklat PIM tingkat I tahun 2013. Selain itu ditetapkan pula hanya berasal dari peringkat 5 (lima) terbaik pada setiap angkatannya. Penyaringan ini menghasilkan 30 (tiga puluh) Proyek Perubahan yang diselenggarakan oleh Lembaga Administrasi Negara Jakarta tahun 2014 dan juga beberapa Proyek Perubahan yang berasal dari badan diklat lain. Tentu saja dengan ketentuan tambahan bahwa dokumen Proyek Perubahan dapat diperoleh untuk selanjutnya divalidasi. Dalam penyaringan data Proyek Perubahan ditentukan desain pengelompokkan dan syarat sebagai berikut: 1. Proyek Perubahan tersebut berasal dari Proyek Perubahan Diklat PIM Tingkat I dan II; 2. Proyek Perubahan yang melalui proses validasi adalah yang mendapatkan peringkat pertama sampai kelima terbaik pada masing-masing angkatan; 3. Proyek Perubahan memenuhi pengelompokan instansi asal yakni terdiri dari Kementerian, LPNK dan Pemerintah Daerah; 4. Dokumen Proyek Perubahan akan terus dikumpulkan sampai batas waktu dua minggu sebelum agenda validasi dimulai;
32
5. Dokumen Proyek Perubahan dapat divalidasi kepada Pemimpin Perubahan yang mengusulkan proyek tersebut dan pelaksanaannya juga masih berlanjut; 6. Tahapan yang diperhitungkan adalah sekurang-kurangnya tahap awal dari tahapan jangka menengah Proyek Perubahan. Dokumen Proyek Perubahan yang telah diperoleh dimasukkan kedalam desain instrumen matriks validasi Proyek Perubahan. Desain instrumen ini dikonversikan kembali ke dalam instrumen Direktori Inovasi Administrasi Negara yang pada akhirnya akan menghasilkan desain Direktori Inovasi Administrasi Negara tahun 2015 seri Proyek Perubahan. Komponen yang menjadi instrumen matriks validasi Proyek Perubahan adalah sebagai berikut. 1. Nama dari Pemimpin Perubahan yang selanjutnya akan menjadi sumber utama dalam memvalidasi Proyek Perubahan; 2. Asal instansi untuk mempermudah akses validasi dan kontak lanjutan; 3. Judul Proyek Perubahan yang disusun oleh para Pemimpin Perubahan; 4. Deskripsi singkat dari Proyek Perubahan untuk mengetahui penjelasan dari proyek perubahan yang telah dibuat; 5. Milestone atau tahapan Proyek Perubahan menurut jangka waktu yaitu jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang; 6. Prasyarat yang diprediksi untuk keberhasilan Proyek Perubahan yang nantinya dapat menjadi sebuah inovasi dari instansi Pemimpin Perubahan; 7. Output/hasil yang dicapai dari Proyek Perubahan. Ringkasan Proyek Perubahan harus memenuhi aspek penilaian inovasi dari para Pemimpin Perubahan. Aspek tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan Roger (1995) yakni personality (kepribadian), relative advantage (keuntungan relatif), kompatibilitas (keserasian), kompleksitas (kerumitan), trilabilitas (dapat diuji coba), observability (dapat diobservasi). Beberapa Pemimpin Perubahan ini pun memenuhi syarat sebagai pemimpin yang melakukan penciptaan, pengarahan dan akselerasi perubahan-perubahan yang signifikan bagi perbaikan kinerja instansi mereka sehingga pada akhirnya layak disebut sang inovator. Perubahan yang dilakukan dalam Proyek Perubahan tersebut akan dilihat juga alasan perubahan, tahapan perubahan, perencanaan perubahan dan keterlibatan lingkungan. Hal ini
33
sesuai dengan alasan seorang pemimpin melakukan perubahan seperti yang dikemukakan oleh Kurt Lewin (1951) seperti yang dikutip Irmawati (2012). Berdasarkan pertimbangan aspek yang dikemukakan penilaian inovasi dan syarat
seseorang
disebut
inovator,
maka
dalam
mendeskripsikan
perlu
mempertimbangkan beberapa hal lain agar dapat melengkapi sebagai data awal. Alasan Pemimpin Perubahan untuk melakukan perubahan terhadap instansinya juga harus menjadi pertimbangan dalam mendeskripsikan data Proyek Perubahan. Selain itu komponen deskripsi yang ada dalam Direktori Inovasi Administrasi Negara menjadi pertimbangan utama dalam menyusun deskripsi awal data proyek perubahan. Perbandingan beberapa pertimbangan tersebut dapat terlihat pada gambar berikut.
Aspek Penilaian Inovasi (Roger)
Alasan Berubah (Lewin)
Personality (Kepribadian),
Alasan kebaikan
Tugas Pemimpin
Komponen Deskripsi DIAN 2014
Melakukan penciptaan
Permasalahan yang melatarbelakangi
Melakukan pengarahan
Adanya tujuan inovasi
Melakukan akselerasi
Adanya strategi inovasi
Relative Advantage (keuntungan relatif), Kompatibilitas (keserasian), Kompleksitas (kerumitan),
Perubahan akan dilakukan bertahap
Perubahan terencana
Trilabilitas (dapat diuji coba), Observability (dapat diobservasi).
Pelibatan lingkungan
Gambar 1. Perbandingan komponen teori dalam penyusunan deskripsi awal Setelah dilakukan perbandingan maka disusunlah instrumen deskripsi awal Direktori Inovasi Proyek Perubahan Diklat PIM menjadi 5 (lima) komponen utama yang dapat terlihat pada gambar dibawah. Komponen–komponen ini dapat menjelaskan secara singkat isi dari data Proyek Perubahan yang selanjutnya dilakukan validasi kepada peserta Diklat PIM.
34
Profil Pemimpin Proyek Perubahan (dalam profil) Permasalahan yang melatarbelakangi digagasnya proyek perubahan/alasan melakukan gagasan perubahan Tujuan dan manfaat gagasan perubahan Strategi dan rencana gagasan perubahan (teknik akselerasi, kerumitan dalam implementasi , keserasian terhadap aturan, milestone singkat) Pihak yang terlibat dalam mengimplementasikan gagasan perubahan
Gambar 2. Komponen Deskripsi awal Direktori inovasi Proyek Perubahan
F. INSTRUMEN DESAIN DIREKTORI INOVASI ADMINISTRASI NEGARA
A
danya perubahan pola diklat yang sebelumnya hanya bersifat on campus (dalam kampus) menjadi pola diklat yang bersifat on campus dan off campus (kembali ke instansi untuk merancang dan
mengimplementasikan Proyek Perubahan) yang dituangkan ke dalam Peraturan Kepala Lembaga Administrasi Negara telah memunculkan ide dan gagasan kreatif yang berasal dari para pimpinan instansi pemerintah. Pemimpin Perubahan merupakan sosok penentu yang mempengaruhi keberhasilan perubahan pelayanan publik sekaligus dapat menjadi sosok inspiratif jika mampu melaksanakan apa yang telah digagas sampai pada tahap tertinggi (paradigma/jangka panjang). Dilihat dari sisi inovasi pada tingkatan perubahan paradigma itulah perubahan yang dilakukan dapat terasa kemanfaatannya dan layak disebut inovasi. Tetapi jika tidak terjadi keberlanjutan dari gagasan perubahan atau hanya baru pada tahap manajemen strategis (jangka pendek), maka itu merupakan kerugian besar bagi instansi pemimpin perubahan itu sendiri. Direktori inovasi kali ini melalui analisa dengan merujuk pada kriteria yang ditetapkan. Pada akhirnya, dokumentasi inovasi terhadap capaian milestones (tahapan) yang diharapkan dalam Proyek Perubahan para Pemimpin Perubahan
35
(inovator) akan mudah ditentukan, apakah kegiatan dan program itu sah disebut sebagai inovasi atau bukan. Penetapan kriteria inovasi berdasarkan dokumen Proyek Perubahan Diklat PIM ditujukan untuk memastikan apakah suatu Proyek Perubahan memenuhi sebagian atau seluruh kriteria yang ditetapkan untuk tiap kategori. Dalam direktori inovasi Proyek Perubahan ini telah ditetapkan kriteria dari sebuah Inovasi Administrasi Negara. Kriteria tersebut dibagi menjadi subkriteria sehingga lebih mudah lagi dalam penentuan inovasi administrasi negara. Penyusunan kriteria ini merupakan pengembangan dari kriteria inovator yang dapat dilihat dari personality (kepribadian), relative advantage (keuntungan relatif), kompatibilitas (keserasian), kompleksitas (kerumitan), trilabilitas (dapat diuji coba), observability (dapat diobservasi). Kriteria tersebut adalah sebagai berikut: 1. Kebaruan, dimaksudkan untuk melihat Proyek Perubahan tersebut terkait dengan seluruh atau sebagian dari program atau kegiatan yang akan dilaksanakan; 2. Manfaat, dimaksudkan untuk melihat Proyek Perubahan mempunyai kegunaan yang berdampak positif dalam suatu perubahan yang sedang diusung; 3. Keberlanjutan, dimaksudkan untuk melihat Proyek Perubahan dapat berjalan terus menerus dan mendapat dukungan dari semua pihak walaupun terjadi mutasi atau pergantian pimpinan; 4. Replikasi, dimaksudkan untuk melihat Proyek perubahan dapat dilakukan di tempat lain dengan penyesuaian yang diperlukan. Keterangan lebih rinci terhadap kriteria penentuan Proyek Perubahan yang akan divalidasi dan disusun kedalam Direktori Inovasi Administrasi Negara dapat terlihat pada tabel dibawah ini. Tabel 2. Kriteria untuk Memvalidasi Inovasi NO 1
KRITERIA Kebaruan
Baru
DESKRIPSI Proyek Perubahan yang ada terkait dengan seluruh atau sebagian dari program atau kegiatan yang akan dilaksanakan Kegiatan Proyek Perubahan tersebut belum pernah ada sebelumnya
36
Modifikasi Implementatif
2
3
4
Kegiatan yang ada di dalam Proyek Perubahan sudah pernah ada tetapi telah dilakukan sesuai dengan kebutuhan atau keinginan Bukan Rutinitas Kegiatan yang dilakukan dalam Proyek Perubahan bukan suatu rutinitas/dilakukan secara spontan Manfaat Proyek Perubahan mempunyai kegunaan yang berdampak positif dalam suatu perubahan yang sedang diusung Output Proyek Perubahan mempunyai hasil yang dapat terlihat dalam tercapainya suatu perubahan Perbaikan kondisi Proyek Perubahan telah memberikan perubahan kondisi menjadi lebih baik setelah dilakukan Terukur Perubahan yang ada dapat ditentukan tingkat atau nilai keberhasilan berdasarkan suatu standar tertentu Keberlanjutan Proyek Perubahan dapat berjalan terus-menerus dan mendapat dukungan dari semua pihak walaupun terjadi mutasi atau pergantian pimpinan Masuk dalam keputusan Proyek Perubahan telah dilakukan pengesahan dalam formal surat keputusan, peraturan, dan/atau perundangundangan Masuk dalam Proyek Perubahan yang dilakukan telah menjadi perencanaan sebuah rencana suatu program maupun kegiatan Evaluasi berkala Proyek Perubahan dilakukan penilaian berulang-ulang pada waktu tertentu dan secara beraturan Alokasi sumber daya dan Proyek Perubahan telah ditentukan sumber daya untuk anggaran mewujudkannya serta dapat ditentukan biaya untuk mewujudkannya Tidak Bertentangan Proyek Perubahan yang dilakukan tidak menyalahi atau dengan Regulasi melanggar peraturan yang berlaku Replikasi Proyek Perubahan dapat dilakukan di tempat lain dengan penyesuaian yang diperlukan Dapat diobservasi Proyek Perubahan dapat dilihat oleh orang lain Dapat dikembangkan Kegiatan dalam Proyek Perubahan dapat lebih lanjut diimplementasikan lebih lanjut dengan modifikasi sesuai kebutuhan Aplikatif Proyek Perubahan dapat mudah untuk diimplementasikan pada instansi yang ditunjuk Potensi untuk diimpleImplementasi suatu Proyek Perubahan dapat dilakukan mentasikan di tempat lain oleh stakeholders lain di tempat lain Desain Direktori Inovasi Administrasi Negara berdasarkan dokumen Proyek
Perubahan Diklat PIM disusun untuk mendeskripsikan inovasi yang dilakukan oleh para alumni Diklat PIM Tingkat I dan Tingkat II Pola Baru peringkat 5 (lima) terbaik tahun 2014. Keterangan awal yang berisi data awal pelaku inovasi dan data inovasi yang berisi gambaran singkat inovasi. Data inovasi didesain sedemikian rupa untuk memudahkan pengguna inovasi lain memahami inovasi yang telah dilakukan
37
selama ini. Direktori Inovasi Administrasi Negara berisi gambaran untuk menjelaskan inovasi yang telah dilakukan para Pemimpin Perubahan dalam tahapan jangka menengah. Berikut ini adalah desain Direktori Inovasi Administrasi Negara Proyek Perubahan yang akan digunakan untuk menjelaskan dan menggambarkan inovasi tersebut. Tabel 3. Desain Direktori Inovasi Administrasi Negara Proyek Perubahan Judul Proyek Perubahan: Produk Proyek Perubahan (produk akhir yang akan dicapai): Nama Instansi: Profil Pemimpin Perubahan (Peserta Diklat): Jenis Inovasi:
Proses Produk Waktu Inisiasi:
Metode
Konseptual
Struktur Org Hubungan
SDM
Teknologi
Waktu Implementasi (minimal Milestone Jangka Menengah): Ringkasan Proyek Perubahan (Deskripsi): Capaian dan Tahapan Proyek Perubahan: Faktor Kunci Keberhasilan (Faktor Pendorong) Proyek Perubahan: Faktor Penghambat Proyek Perubahan: Manfaat Proyek Perubahan: Prasyarat Replikasi: Contact Implementator: Teknik Validasi: Observasi Sumber:
Publikasi
Data Sekunder
Telepon/Email/Fax
Setiap data yang disajikan berisi keterangan tentang inovasi yang dijelaskan. Untuk lebih jelas, berikut ini adalah keterangan dari data yang akan menjelaskan isi inovasi yang ada di dalam Direktori Inovasi Administrasi Negara Proyek Perubahan
38
bagi Peserta Diklat Kepemimpinan Tingkat I dan II Tahun 2014 peringkat 5 (lima) terbaik beserta pengisiannya: 1. Judul Proyek Perubahan Pengisian kolom Judul Proyek Perubahan dilakukan dengan mengisi judul proyek perubahan/inovasi. Misalnya “Pembangunan Satu Peta Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Melalui
Percepatan
Penyusunan
Tatalaksana
Integrasi
Informasi
Geospasial Tematik di Badan Informasi Geospasial” yang dilakukan oleh Dr. Suprajaka, MT. 2. Produk Proyek Perubahan Pengisian kolom Produk Proyek Perubahan dilakukan dengan mengisi produk yang dihasilkan dari proyek perubahan. Misalnya “Pembangunan Satu Peta Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Melalui Percepatan Penyusunan Tatalaksana Integrasi Informasi Geospasial Tematik di Badan Informasi Geospasial” yang dilakukan oleh Dr. Suprajaka, MT, produk nyata yang dihasilkan adalah One Map and One Data Informasi Geospasial Tematik. 3. Nama Instansi Pengisian kolom Nama Instansi dilakukan dengan mengisi Nama Instansi yang melaksanakan
proyek
perubahan/inovasi
dimana
perubahan/inovasi
dijalankan. Misalnya pada proyek perubahan “Pembangunan Satu Peta Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Melalui Percepatan Penyusunan Tatalaksana Integrasi Informasi Geospasial Tematik di Badan Informasi Geospasial” nama instansi induknya adalah Pusat Pemetaan dan Integrasi Tematik – Badan Informasi Geospasial. 4. Profil Pemimpin Perubahan Pengisian kolom Profil Pemimpin Perubahan dilakukan dengan mengisi nama peserta Diklat PIM sebagai pemimpin perubahan yang melakukan inovasi atau pejabat lain yang menggantikan (jika terjadi mutasi atau rotasi). Selain itu sebagai keterangan tambahan diisi juga jabatan, alamat instansi serta nomor telepon dan email dari Pemimpin Perubahan tersebut.
39 Misalnya pada Proyek Perubahan “Pembangunan Satu Peta Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Melalui Percepatan Penyusunan Tatalaksana Integrasi Informasi Geospasial Tematik di Badan Informasi Geospasial” nama pemimpin perubahannya adalah Dr. Suprajaka, MT. Kepala Pusat Standardisasi dan Kelembagaan Informasi Geospasial (Jabatan Sekarang); Kepala Pusat Pemetaan dan Integrasi Tematik (Jabatan Saat Diklat); Badan Informasi Geospasial; Jl. Raya Jakarta Bogor Km 46 Cibinong; Telp: 021-87569481; Email:
[email protected]. 5. Jenis Inovasi Pengisian kolom jenis inovasi diisi dengan memilih salah satu dari jenis inovasi yang disediakan, yaitu: a. Proses: SOP, tata laksana, sistem, dan prosedur b. Metode: strategi, cara, teknik baru c. Produk: barang dan jasa d. Konseptual: paradigma, ide, gagasan, pemikiran, terobosan baru e. Teknologi: e-government, tools (pembaruan peralatan/ perangkat) f. Struktur
Organisasi:
struktur
baru,
penggabungan,
penghapusan,
pengembangan) g. Hubungan: partnership, partisipasi masyarakat, relationship, networking h. Sumber Daya Manusia meliputi tata nilai (culture, mindset, etika), kepemimpinan, kompetensi, profesionalisme, pemberdayaan. Untuk jenis inovasi akan disajikan dengan simbol sesuai dengan yang telah dibuat pada Direktori Inovasi Administrasi Negara tahun 2014. Misalnya produk inovasi proyek “Pembangunan Satu Peta Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Melalui Percepatan Penyusunan Tatalaksana Integrasi Informasi Geospasial Tematik di Badan Informasi Geospasial” karena merupakan perubahan proses pengerjaan dan perubahan pada tata laksananya, maka digolongkan pada jenis inovasi proses. 6. Waktu Inisiasi Pengisian kolom waktu inisiasi diisi dengan waktu pelaksanaan Proyek Perubahan tersebut mulai digagas/diinisiasi.
40 Misalnya pada inovasi “Pembangunan Satu Peta Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Melalui Percepatan Penyusunan Tatalaksana Integrasi Informasi Geospasial Tematik di Badan Informasi Geospasial” mulai diinisiasi pada Oktober 2014. 7. Waktu Implementasi (minimal Milestone jangka menengah) Pengisian kolom Waktu Implementasi (minimal milestone jangka menengah telah berjalan) diisi dengan waktu implementasi proyek perubahan pada jangka menengah (3 bulan sampai dengan ± 1 tahun). Misalnya pada inovasi “Pembangunan Satu Peta Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Melalui Percepatan Penyusunan Tatalaksana Integrasi Informasi Geospasial Tematik di Badan Informasi Geospasial” mulai diimplementasikan pada November 2014 sesuai dengan data yang ada di dalam Proyek Perubahan. 8. Ringkasan Proyek Perubahan/Deskripsi Pengisian kolom Ringkasan Proyek Perubahan diisi dengan permasalahan yang melatarbelakangi digagasnya proyek perubahan/alasan melakukan gagasan perubahan; Tujuan, manfaat gagasan perubahan; Strategi gagasan perubahan yang menyangkut terkait teknis akselerasi, kerumitan dalam implementasi, keserasian terhadap aturan, milestone singkat; Pihak yang terlibat dalam mengimplementasikan gagasan perubahan, serta peranannya bagi keberhasilan. Misalnya pada inovasi “Pembangunan Satu Peta Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Melalui Percepatan Penyusunan Tatalaksana Integrasi Informasi Geospasial Tematik di Badan Informasi Geospasial” adalah sebagai berikut:
Program Pembangunan Satu Peta Sumber Daya Alam Pesisir dan Laut yang diusulkan ini dilandasi oleh adanya sebuah Kebijakan Satu Peta “One Map Policy” yang telah dicanangkan oleh Presiden RI ketika Sidang Kabinet RI tanggal 23 Desember 2010, namun sampai saat itu masih belum berjalan sebagaimana yang harapan oleh semua pihak. Kebijakan satu peta ini tentunya segaris dengan telah berlakunya UU Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial sejak tanggal 11 April 2011, yang memberikan konsekuensi bahwa Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) berubah menjadi Badan Informasi Geospasial (BIG), sehingga tugas dan fungsi BIG di bidang survei dan pemetaan semakin luas. Program ini sangat sulit di realisasi saat itu karena permasalahan utama terkait dengan penyelenggaraan informasi geospasial tematik seperti masih banyaknya UU, PP, Kepmen, Perka atau peraturan perundangan lainnya yang saling tumpang tindih. Sampai saat ini minimal terdapat 171 undang-undang atau peraturan harus menyediakan 94 empat jenis data geospasial. Banyaknya
41
peraturan terkait dengan informasi geospasoal ini mengindikasi bahwa betapa penting informasi untuk pembangunan nasional, namun dari tataran teknis, ternyata sering menimbulkan ketidak sinkronan, tumpang tindih kegiatan, dan masih banyak data serta informasi yang tidak dapat diintegrasikan dalam rangka berbagi pakai informasi antar kementrian dan lembaga penyelenggara informasi geospasial. Upaya dan langkah strategi untuk mewujudkan tugas dan kewenangan yang diamanahkan oleh Badan Informasi Geospasial, sebenarnya telah dilaksanakan yaitu membentuk kelompok kerja (Pojka) Informasi Geospasial Tematik (IGT) bagi para “stakeholders” penyelenggara dan pengguna Informasi Geospasial Tematik antar kementrian dan lembaga (12 Pokja IGT). Berdasarkan Rapat Koordinasi Nasional bidang IG tahun 2013, pembentukan Pokja IGT bertujuan untuk merumuskan kebijakan, strategi dan program dalam penyelenggaraan IGT antar K/ L. Kelompok kerja ini diharapkan dapat membangun sinergi dan kolaborasi antar kementerian dan lembaga dalam bidang pengumpulan, pengelolaan, penyimpanan dan penyebarluasan informasi geospasial tematik, yang sampai saat ini belum berjalan secara efektif. Tujuan Pembangunan Satu Peta adalah Memperbaiki proses integrasi data dan informasi geospasial tematik wilayah pesisir dan laut di Indonesia dapat diselenggarakan oleh para pemangku kepentingan melalui penyediaan Tatalaksana Integrasi Informasi Geospasial Tematik. Untuk mewujukannya maka tatalaksana integrasi harus memiliki landasan hukum yang jelas. Penyelenggaraan IGT sumberdaya pesisir dan laut mulai sejak pengumpulan, pengolahan, pengelolaan dan penyebarlauasan informasi geospasial dalam hal ini untuk tema sumberdaya: 1) terumbu karang, 2) padang lamun dan 3) mangrove yang dapat dipertangungjawabkan dan diintegrasikan dalam kerangka kerja “one map policy”. Dengan menyelesaikan satu dokumen tatalaksana integrasi tersebut, diharapkan dapat menjadi faktor pengungkit dalam menyelesaikan proses integrasi data dan informasi geospasial dari 11 kelompok kerja (Pokja) IGT yang lainnya sesuai dengan rekemendasi Rapat Koordinasi Nasional IG tahun 2013 dan tahun 2014, yaitu: 1) Pemetaan Sumberdaya Air, 2) Pemetaan Sumberdaya Lahan Pertanian dan Gambut, 3) Pemetaan Monitoring Perijinan Sektoral, Penutup Lahan dan Status Lahan, 4) Pemetaan Ekoregion, 5) Neraca Sumberdaya Alam, 6) Transportasi, 7) Tata Ruang, 8) Transportasi, 9) Sosail Budaya dan Atlas, 10) Kebencanaan dan Perubahan Iklim, dan 11) Inteligen Geospasial. Untuk melancarkan proses perubahan tersebut, dilakukan strategi yang tepat seperti 1) Mendorong penyelenggaraan Informasi Geospasial (IG) Tematik dengan menggunakan standar metoda dan prosedur pengumpulan SDA Pesisir dan Laut (mangrove, terumbu karang dan padang lamun); 2) Mendorong penyediaan IG yang mengacu pada satu referensi, satu standar, satu basis data, dan satu geoportal (one map policy) agar dapat dipertanggungjawabkan dan diintegrasikan; 3) Memastikan ketersediaan IG terintegrasi yang merepresentasikan inventarisasi, kondisi/ cadangan, alokasi, dan informasi lainnya terkait SDA oleh K/ L/ Pemda yang berwenang (walidata); 4) Mensosialisasikan tata laksana ini agar dapat direplikasikan ke kelompok kerja yang lain yang dalam IGT; 5) Agar mempunyai kekuatan hukum yang lebih mengikat Perka Tatalaksana Integrasi Tematik ini didorong untuk diangkat menjadi perarturan yang lebih tinggi.Stakeholder yang mendukung Program ini terdiri dari internal BIG yaitu Pusat Pemetaan dan Itegrasi Tematik; Bidang Pemetaan dan Intengrasi Tematik Laut; Sekretariat Kelompok Kerja Pemetaan Sumberdaya Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil; Pusat Pemetaan Rupabumi dan Topoinimi; Pusat Pemetaan dan Lingkungan Pantai; Pusat Standardisasi dan Kelembagaan; Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas; Biro Perencanaan dan Hukum. Sedangkan eksternal terdiri dari Bappenas; Direktorat Pesisir dan PulauPulau Kecil, Kemetrian Kelautan dan Perikanan (KKP); Direktorat Tata Ruang Pesisir dan Laut, Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP); Badan Litbang Kementrian Kelautan dan Perikanan; Direktorat Inventarisasi dan Pemetaan Sumberdaya Hutan, Kementrian Kehutanan; Asdep III Keanekaragaman Hayati dan Pengendalian Lingkungan, Kementrian Lingkungan Hidup; Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia; Wetland International, CI, WWF, DNPI, REDD+.
42
9. Faktor Kunci Keberhasilan Proyek Perubahan Pengisian kolom Faktor Kunci Keberhasilan Proyek Perubahan diisi dengan halhal spesifik yang mendorong keberhasilan Proyek Perubahan dimaksud. Misalnya pada inovasi “Pembangunan Satu Peta Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Melalui Percepatan Penyusunan Tatalaksana Integrasi Informasi Geospasial Tematik di Badan Informasi Geospasial” adalah sebagai berikut: a. Dukungan yang kuat dari pimpinan dan Tim Efektif; b. Adanya keinginan pemenuhan publik terkait dengan 17 jenis data maupun informasi geospasial yang diperlukan oleh Kementrian dan Lembaga untuk keperluan perencanaan pembangunan nasional yang berkelanjutan dan terintegrasi, c. Keinginan untuk pemenuhan kebutuhan layanan publik, dimana terdapat 5 (lima) jenis layanan publik yang harus dipenuhi sesuai dengan standar dan mudah diitegrasikan, d. Keinginan untuk pemenuhan kebutuhan regulasi data dan informasi geospasial, dimana terdapat 2 (dua) regulasi yang harus dipenuhi, meliputi Peraturan perundang-undangan terkait dengan pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, penyebarluasan (distribusi), dan penggunaan IG serta Spesifikasi teknis berupa norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK). e. Semua keinginan ini tentu saja berlandaskan atas tugas pokok dari Badan Informasi Geospasial sebagai integrator dari data dan peta geospasial. 10. Faktor Penghambat Proyek Perubahan Pengisian kolom Faktor Penghambat Proyek Perubahan diisi dengan hal-hal spesifik yang menjadi penghambat keberhasilan proyek perubahan dimaksud. Misalnya pada inovasi “Pembangunan Satu Peta Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Melalui Percepatan Penyusunan Tatalaksana Integrasi Informasi Geospasial Tematik di Badan Informasi Geospasial” adalah sebagai berikut: Faktor penghambat dari pembangunan satu peta melalui percepatan penyusunan tatalaksana integrasi adalah a. Penyamaan persepsi atas konsep Integrasi tematik sumberdaya alam pesisir dan laut antar K/L b. Adanya ego sektoral untuk mempertahankan walidata (mangrove dan terumbu karang) yang telah disusun oleh masing-masing sektor baik dari sisi nomenklatur maupun metode pemetaannya c. Tingkat kehadiran stakeholder pada FGD atau rapat teknis yang akan diselenggarakan untuk mendukung proyek perubahan, hal ini mengingat alokasi waktu untuk melakukan kegiatan ini, yang sering berbenturan dengan kegiatan lain di instansi masing-masing
43
d. Walidata/ Terkait Penanggungjawab Tema (Mangrove, Terumbu Karang dan Padang Lamun) – Telah terjadi perubahan nomenklatur nama Kementrian/ Lembaga Alternatif Solusi yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah a. Harmonisasi antar pemangku kepentingan untuk mengatasi faktor penghambat point (1) dan point (2) agar terjadi kesepahaman terkait setiap Kementrian dan Lembaga bersedia menggunakan Standar metoda dan prosedur pengumpulan SDA Pesisir dan Laut (mangrove, terumbu karang dan padang lamun) sesuai dengan tatalaksana yang telah disepakati bersama. b. Sosialisasi tentang pentingnya program satu data dan satu peta untuk perencanaan dan pembangunan nasional yang dapat dipertanggungjawabkan. c. Menyusun Peraturan yang lebih tinggi sebagai payung hukum agar implementasi tatalaksana ini dapat berjalan dengan baik, salah satunya berusaha diangkat yang lebih tinggi berita perpres. 11. Capaian dan Tahapan Proyek Perubahan Pengisian kolom tahapan proses inovasi diisi mulai dari tahap jangka pendek, menengah sampai dengan jangka panjang. Untuk Direktori Proyek Perubahan ini akan divalidasi dalam tahapan jangka menengah. Selain itu juga disajikan jaminan
keberlanjutan
dari
proyek
perubahan,
tentu
saja
dengan
memperhatikan capaian masing masing jangka waktu yang telah ditetapkan. Misalnya pada inovasi “Pembangunan Satu Peta Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Melalui Percepatan Penyusunan Tatalaksana Integrasi Informasi Geospasial Tematik di Badan Informasi Geospasial” adalah sebagai berikut: Capaian pembangunan satu peta melalui percepatan penyusunan tatalaksana integrasi adalah tersusunnya Dokumen Draf Final tentang Tatakalaksana Integrasi Data SDA Pesisir dan Laut yang menjelaskan proses pelaksanaan integrasi data antar lembaga. Selain itu dihasilkan pula One map dan one data hasil integrasi informasi geospasial tematik SDA pesisir dan laut antar K/L. Peta tersebut merupakan dokumen/ berita acara kesepakatan antar K/L atas hasil Integrasi Informasi Geospasial SDA pesisir dan laut, yang menjelaskan tentang informasi mangrove, terumbu karang dan pandang lamun nasional. Tidak hanya sampai disana, program ini juga menghasilkan One map dan one data hasil integrasi informasi geospasial tematik SDA pesisir dan laut dalam versi online yang beralamat di http:// ppit.big.go.id. Berdasarkan kesepakatan antar kementrian dan lembaga didorong untuk mempercepat terbetuknya tatalaksana yang lebih luas serta payung hukum yang lebih kuat yaitu: a. Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial tentang Tatalaksana Integrasi Tematik (tinggal pengesahan)
44
b. Draf Rancangan Peraturan Presiden tentang One Map Policy tentang Percepatan Pelaksanaan One Map Policy Informasi Geospasial Tematik Pembangunan Seluruh Indonesia Pada Tingkat Ketelitian Peta Minimal Skala 1: 50.000 – per 10 Juni 2015 (tinggal pengesahan) c. Lampiran Ran Perpers OMP tentang Walidata (tinggal pengesahan) Semua capaian ini dapat diperoleh meskipun penggagas sudah berpindah unit kerja sebanyak dua kali. Akan tetapi proyek perubahan masih terus berjalan dan sudah direplikasikan di kedua unit kerja di mana beliau dipindahkan yaitu di Pusat Tata Ruang dan atlas juga Pusat Standardisasi dan Kelembagaan Informasi Geospasial. Pelaksanaan pembangunan satu peta melalui percepatan penyusunan tatalaksana integrasi dilakukan dengan beberapa tahap sebagai berikut: a. Menjalin kesepakatan antar stakeholder dalam menyusun One map integrasi termasuk SDA pesisir dari laut b. Membuat model ujicoba integrasi data SDA pesisir dan laut (mangrove, terumbu karang, padang lamun) c. Mendokumentasikan tatalaksana integrasi tematik SDA pesisir dan laut d. Penyusun Peraturan Kepala Badan Informasi Geosparsial tentang tatalaksana integrasi IGT Pesisir dan laut (RAPERKA, dan PERKA) e. Menjadikan program One map dan One data informasi geospasial tematik SDA pesisir laut sebagai acuan nasional untuk perencanaan dan pembangunan nasional f. Menyusun sistem informasi data dan peta goespasial tematik yang dapat diisi secara bersama dengan para stakeholder. g. Menyusun Rancangan Peraturan Presiden tentang One Map Policy tentang Percepatan Pelaksanaan One Map Policy Informasi Geospasial Tematik Pembangunan Seluruh Indonesia Pada Tingkat Ketelitian Peta Minimal Skala 1: 50.000. Sebagai kelanjutan dari proses integrasi. 12. Manfaat Proyek Perubahan Pengisian kolom Manfaat Proyek Perubahan diisi dengan manfaat dari implementasi proyek perubahan dimaksud setelah berjalan serta data dukung atas kemanfaatannya. Misalnya pada inovasi “Pembangunan Satu Peta Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Melalui Percepatan Penyusunan Tatalaksana Integrasi Informasi Geospasial Tematik di Badan Informasi Geospasial” adalah sebagai berikut: Kemanfaatan dari pembangunan satu peta melalui percepatan penyusunan tatalaksana integrasi ternyata melebihi dari apa yang diharapkan ketika gagasan ini diusulkan. Kemanfaatan implementasi program tersebut adalah a. Munculnya semangat untuk bekerjasama antar lembaga pemilik data dan peta untuk mengintegrasikan data sehingga terjadi persamaan peta;
45
b. Munculnya keinginan untuk mengintegrasikan data dan peta tematik lain yang nanti dapat dipergunakan untuk kepentingan pemberian informasi pada masyarakat, penelitian, dan investasi. c. Munculnya keinginan untuk memperkuat proses integrasi ini dengan semua peraturan presiden terkait peta tematik yang mewadahi seluruh peta tematik yang telah dikelompokkan d. Sistem informasi peta tematik yang merupakan produk sampingan dari proses integrasi data dan peta tematik sangat bermanfaat bagi kepentingan masyarakat terutama untuk pendidikan mengenai mangrove. e. Adanya kepastian hukum terkait tatalaksana penyusunan data dan informasi peta tematik yang pada akhirnya menghasilkan sebuah peta yang valid. 13. Prasyarat Replikasi Pengisian kolom prasyarat replikasi diisi dengan kemungkinan apakah Proyek Perubahan tersebut dapat direplikasi dan diimplementasi di tempat lain dengan memperhatikan karakteristik dan kondisi setempat. Misalnya pada inovasi “Pembangunan Satu Peta Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Melalui Percepatan Penyusunan Tatalaksana Integrasi Informasi Geospasial Tematik di Badan Informasi Geospasial” adalah sebagai berikut: Pembangunan satu peta melalui percepatan penyusunan tatalaksana integrasi informasi dapat direplikasi di wilayah lain dengan cara sebagai berikut a. Adanya dukungan yang kuat dari pimpinan dan Tim Efektif; b. Komitmen yang kuat dari pimpinan dan tim pelaksana untuk menyusun tatalaksana dan produk peta tematik; c. Dukungan anggaran yang memadahi terkait dengan penyelenggaraan di walidata yang menggunakan Tatalaksana yang telah disepakati; d. Komitmen kuat dari masing-masing walidata di kementrian dan lembaga yang telah diberi mandat; e. Proses integrasi dapat dilaksanakan pada 11 kelompok kerja (POKJA) yang telah ada yaitu : 1) Pemetaan Sumberdaya Air dan DAS; 2) Pemetaan Sumberdaya Lahan Pertanian dan Gambut; 3) Pemetaan Neraca SUmberdaya Alam; 4) Pemetaan Perubahan Iklim; 5) Pemetaan EKoregion; 6) Pemetaan Monitoring Perizinan Sektoral, Penutup Lahan dan Status Lahan; 7) Pemetaan Pemetaan Transportasi; 8) Pemetaan Kebencanaan; 9) Pemetaan Tata Ruang; 10) Pemetaan Sosial Budaya dan Atlas; 11) Pemetaan Inteligen.
46
14. Kontak Implementator Pengisian kolom Kontak Implementator diisi dengan nama orang atau unit/ kelompok yang dapat memberikan informasi atau mengimplementasikan Proyek Perubahan. Misalnya pada inovasi “Pembangunan Satu Peta Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Melalui Percepatan Penyusunan Tatalaksana Integrasi Informasi Geospasial Tematik di Badan Informasi Geospasial”, pihak yang dapat dihubungi adalah Pusat Pemetaan dan Integrasi Tematik-Badan Informasi Geospasial; Jl. Raya Jakarta Bogor Km 46 Cibinong; Telp: 021-87569481. 15. Teknik Validasi Pengisian kolom Teknik Validasi diisi dengan memilih salah satu dari teknik validasi/teknik pengambilan data Proyek Perubahan yang disediakan, yaitu: a. Observasi merupakan pengambilan data yang dilakukan melalui visitasi ke pelaku inovasi/perubahan. b. Publikasi/Presentasi merupakan pengambilan data yang dilakukan melalui publikasi yang diungkapkan dan/atau juga bahan paparan inovasi/ perubahan yang disajikan oleh pelaku inovasi/perubahan atau yang mewakili. c. Data Sekunder merupakan pengambilan data yang dilakukan melalui dokumen Proyek Perubahan yang dipublikasikan melalui buku, koran, artikel, maupun yang bersumber dari media online seperti portal instansi pemerintah, website, berita. d. Telepon/Email/Fax merupakan pengambilan data dengan bertanya langsung kepada Pemimpin Perubahan atau atasan dan bawahan Pemimpin Perubahan atas Proyek Perubahan yang dijalankan. Misalnya pada inovasi “Pembangunan Satu Peta Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Melalui Percepatan Penyusunan Tatalaksana Integrasi Informasi Geospasial Tematik di Badan Informasi Geospasial”, teknik validasi yang dilakukan adalah dengan melakukan Observasi Langsung pelaksanaan di Badan Informasi Geospasial dan dokumentasi Proyek Berubahan, artinya teknik yang dipakai adalah observasi, publikasi/presentasi.
47
16. Sumber Pengisian kolom Sumber ini diisi dengan asal dokumen proyek perubahan itu diperoleh baik secara observasi, publikasi/presentasi, data sekunder, maupun dari telepon/email/fax. Misalnya pada inovasi “Pembangunan Satu Peta Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Melalui Percepatan Penyusunan Tatalaksana Integrasi Informasi Geospasial Tematik di Badan Informasi Geospasial”, sumber yang digunakan untuk menyusun direktori proyek perubahan ini adalah Dokumen Proyek Perubahan Diklatpim Dr. Suprajaka, MT & observasi. Setelah semua kolom terisi, maka selesai sudah pengisian data Direktori Inovasi Administrasi Negara Proyek Perubahan Peserta Diklat Kepemimpinan Tingkat I dan II. Yang perlu diperhatikan adalah pengisian data yang sesuai dan dapat dipahami oleh masyarakat. Setelah itu, data direktori ini akan dilakukan penyaringan oleh tim mulai dari memperbaiki penyampaian isi data sampai melakukan validasi terhadap kelayakan dari inovasi proyek perubahan tersebut.
48
BAB III ANALISA PENGELOLAAN DATA
A. PENGUMPULAN DATA PROYEK PERUBAHAN
P
royek perubahan merupakan inovasi yang dicanangkan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) dalam rangka peningkatan mutu pendidikan bagi para pemimpin Aparatur Sipil Negara (ASN).
Selain dilaksanakan untuk Diklat Kepemimpinan Tingkat I dan II, Proyek Perubahan juga diimplementasikan pada Diklat Kepemimpinan Tingkat III dan IV. Bukan hanya itu Diklat Prajabatan juga mengadopsi Proyek Perubahan yang ada pada Diklat Kepemimpinan yang dikenal dengan proyek aktualisasi. Pengumpulan data Proyek Perubahan dalam rangka mendokumentasikannya ke dalam Direktori Inovasi Administrasi Negara dilakukan dengan mempertimbangkan kualitas dari Proyek Perubahan. Dengan menambahkan data Diklat Kepemimpinan Tingkat I yang diselenggarakan oleh Pusdiklat Kepemimpinan Aparatur Nasional (Pusdiklat KAN) yang dilakukan pada tahun 2013. Diklat tersebut merupakan uji coba modul Proyek Perubahan yang dilakukan LAN untuk memperbaiki kualitas lulusan Diklat Kepemimpinan dan menghasilkan pemimpin yang berkualitas dan berkinerja tinggi. Dengan menambahkan diklat yang dilakukan pada tahun 2013 diharapkan dapat terlihat juga perbandingan kualitas produk Proyek Perubahan yang dikemas dalam suatu inovasi administrasi negara. Data Proyek Perubahan yang dikumpulkan tidak hanya yang berasal dari Pusdiklat KAN – LAN saja. Penyelenggara Diklat Kepemimpinan yang lain juga menjadi sumber data yang akan disajikan dala Direktori Inovasi Administrasi Negara. Penyelenggara Diklat Kepemimpinan lain yang dimaksud berasal dari kantor perwakilan LAN dan Badan Diklat Provinsi. Dari kantor perwakilan LAN yang dijadikan sumber data Proyek Perubahan Diklat Kepemimpinan adalah data dari PKP2A I Jatinangor dan PKP2A II Makassar. Sedangkan dari badan diklat lain yang menjadi sumber data Diklat Kepemimpinan adalah Badan Diklat Kementerian Dalam Negeri, Badan Diklat Provinsi Jawa Barat, Badan Diklat Provinsi Jawa Tengah dan Badan Diklat Provinsi Jawa Timur.
49
Pengumpulan data dilakukan sesuai dengan fokus Proyek Perubahan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pengumpulan data tersebut tentu saja menghadapi rintangan yang cukup signifikan. Data yang telah terkumpul tersebut, selanjutnya dimasukkan ke dalam instrumen matriks yang telah disusun untuk mempermudah proses identifikasi inovasi yang dilakukan. Selanjutnya dilakukan uji coba ke dalam instrumen Direktori Inovasi Administrasi Negara khusus Proyek Perubahan. Berikut ini adalah data identifikasi awal proyek perubahan dan data yang terkumpul sampai pada jangka waktu yang telah ditentukan. Tabel 4. Data Proyek Perubahan Berdasarkan Target dan Data Akhir Pengumpulan Nama Penyelenggara Pusdiklat KAN-LAN PKP2A I Jatinangor PKP2A II Makassar Badiklat Jateng Badiklat Jatim Badiklat Jabar Badiklat Kemendagri Total
Tingkat I
Tingkat II
Target Data 15
Data akhir 12
15
12
Target Data 25 10 10 10 15 5 5 80
Data akhir 25 7 8 10 10 5 5 70
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa target data awal yang akan diperoleh tidak sesuai dengan data akhir yang dicapai. Kekurangan data yang tidak mencapai target ini disebabkan oleh beberapa kendala dari pihak penyelenggara. Kendala pengumpulan data tersebut dapat diidentifikasikan sebagai berikut: 1. Belum ada aturan peyimpanan dokumen secara digital untuk mempermudah proses evaluasi keberlanjutan proyek perubahan peserta diklat; 2. Penyelenggara belum melakukan manajemen dokumen proyek perubahan secara digital sehingga sulit mendapatkan dokumen digital; 3. Dokumen cetak yang dimiliki beberapa penyelenggara kurang tersimpan secara baik sehingga sulit dicari bahkan tidak ditemukan; 4. Penyelenggara yang tidak mendokumentasikan profil peserta diklat; 5. Belum ada proses evaluasi terhadap proyek perubahan yang sudah dilaksanakan untuk mempermudah proses identifikasi.
50
Selain dari permasalahan diatas ada juga kendala administrasi yang dihadapi. Kedala administrasi tersebut adalah anggaran yang kurang memadai untuk datang langsung ke instansi penyelenggara, tidak ada dokumen digital, serta informasi peserta 5 (lima) terbaik tiap angkatan yang kurang valid. Dalam proses pengumpulan data telah dilakukan koordinasi kepada setiap penyelenggara Diklat Kepemimpinan Tingkat I dan II untuk memperoleh data yang selanjutnya akan dikelola menjadi Direktori Inovasi Administrasi Negara seri Proyek Perubahan Diklat Kepemimpinan.
B. PENGELOLAAN DATA PROYEK PERUBAHAN
P
engumpulan data yang telah dilakukan merupakan tahapan awal sebelum dilakukan validasi. Tahapan selanjutnya setelah dilakukan pengumpulan data adalah pengelolaan data Proyek Perubahan.
Pengelolaan Proyek Perubahan dilakukan dengan cara mengidentifikasi data Proyek Perubahan sesuai dengan instrumen yang telah ditetapkan dan validasi data kepada penyelenggara dan peserta diklat. 1. Identifikasi Data Proyek Perubahan Proses identifikasi dilakukan dimaksudkan untuk mengumpulkan data sekunder (dokumen proyek perubahan) sebelum dilakukan validasi kepada alumni Diklat PIM. Pada proses ini dilakukan penyisiran terhadap kelengkapan 95 (sembilan puluh lima) data Laporan Proyek Perubahan serta kesesuaian dengan instrumen Direktori Inovasi Administrasi Negara. Identifikasi data diperlukan untuk mengetahui apakah berdasarkan dokumen yang ada, Proyek Perubahan alumni Diklat PIM termasuk dalam kriteria inovasi administrasi negara seperti sisi
kebaruannya,
kemanfaatannya
bagi
instansi pemerintah
maupun
masyarakat, keberlanjutan dari Proyek Perubahan agar menjadi program kerja instansi serta peluang replikasi di instansi lain. Data sekunder yang telah diidentifikasi disusun kedalam kelompok berdasarkan wilayah sehingga mudah dilakukan validasi. Sebelumnya dikelompokkan juga berdasarkan teknik validasi. Berdasarkan teknik validasi, data sekunder disusun menjadi 1) validasi lapangan; 2) validasi online/ telepon; 3) validasi melalui video. Berdasarkan wilayahnya, data sekunder dikelompokkan menjadi
51
1) wilayah Jawa Barat; 2) wilayah Yogyakarta; 3) wilayah Jawa Tengah; 4) wilayah Jawa Timur; 5) wilayah Jabodetabek; 6) wilayah luar Jawa. Berdasarkan pembagian ini, maka proses validasi terhadap data sekunder yang diperoleh dapat berjalan lebih optimal. 2. Validasi Data Proyek Perubahan Proses validasi data dilakukan untuk memastikan data sekunder yang telah dianalisis awal lebih tepat. Proses ini memiliki beberapa teknik seperti mengirimkan data awal via email untuk divalidasi alumni, konfirmasi via telepon dan video serta mendatangi alumni Diklat PIM secara langsung. Dari 95 (sembilan puluh lima) dokumen yang ada, didapatkan 84 (delapan puluh empat) dokumen yang masuk dalam kriteria awal direktori inovasi. Sedangkan sisanya tidak dapat disusun karena data sekunder tidak lengkap. a. Konfirmasi data via email Melalui proses konfirmasi data kepada alumni Diklat PIM diperoleh data tambahan yang sebelumnya tidak diperoleh dalam data sekunder. Proses ini juga bertujuan menyeleksi dokumen Proyek Perubahan yang akan dimasukkan kedalam direktori inovasi. Dari 84 (delapan puluh empat) dokumen yang telah dilakukan identifikasi awal, dilakukan konfirmasi lewat email kepada para alumni berdasarkan data pribadi peserta yang diperoleh sebelumnya. Dari proses ini didapatkan 42 (empat puluh dua) data yang diperoleh validasi dari pihak alumni Diklat PIM. Hal ini mempermudah proses penyusunan direktori inovasi selanjutnya. b. Konfirmasi data via tinjauan lapangan Proses konfirmasi data via lapangan dilakukan untuk melihat langsung program yang telah digagas dan diimplementasikan oleh para alumni diklat (Pemimpin Perubahan). Berdasarkan 84 (delapan puluh empat) data yang telah teridentifikasi dan 42 (empat puluh dua) data yang telah tervalidasi via email maka dilakukan pemantauan dan wawancara langsung untuk melihat hasil implementasi program yang digagas. Tinjauan lapangan dilakukan dengan membagi terlebih dahulu wilayah validasi menjadi 6 (enam) wilayah yaitu 1) wilayah Jawa Barat; 2) wilayah Yogyakarta; 3) wilayah Jawa Tengah; 4) wilayah Jawa Timur; 5) wilayah
52
Jabodetabek; 6) wilayah luar Jawa. Wilayah yang dilakukan tinjauan adalah wilayah yang ada di Pulau Jawa. Ini dilakukan mengingat tersebarnya instansi Pemimpin Perubahan sehingga diprioritaskan untuk wilayah Jawa. Tentu saja program perubahan yang divalidasi adalah program yang telah sesuai dengan kriteria inovasi administrasi negara dan juga telah dilakukan validasi via email terlebih dahulu. Dari proses ini didapatkan data validasi sebanyak 6 (enam) data di wilayah Jawa Barat, 5 (lima) data wilayah Yogyakarta, 5 (lima) data wilayah Jawa Tengah, 4 (empat) data wilayah Jawa Timur, dan 5 (lima) data di wilayah Jabodetabek. c. Konfirmasi data via telepon dan video Proses konfirmasi melalui telepon dilakukan untuk memastikan dokumen yang telah dianalisa mendapat respon untuk diperbaiki dan untuk pemutakhiran data, dengan begitu capaian dari program yang dilakukan Pemimpin Perubahan lebih valid dan mutakhir. Proses konfirmasi data via video dilakukan untuk mengakomodasi validasi dokumen data sekunder yang tidak bisa dilakukan kunjungan lapangan dan dokumen data sekunder luar Pulau Jawa. Hal ini penting dilakukan mengingat keterbatasan dalam proses validasi.
53
BAB IV INOVASI ADMINISTRASI NEGARA DALAM PROYEK PERUBAHAN
I
novasi-inovasi yang bersumber dari Proyek Perubahan Diklat PIM Tingkat I dan II pada dasarnya adalah Proyek Perubahan yang dilakukan oleh para Pemimpin Perubahan dalam Diklat PIM. Hal ini merupakan langkah inovatif
yang dilakukan untuk meningkatkan kinerja instansi masing-masing. Inovasi yang dilakukan meraka pun dapat digolongkan menjadi delapan jenis inovasi dalam konsep Direktori Inovasi Administrasi Negara. Oleh karena itu, keberadaan direktori inovasi dari Proyek Perubahan Diklat PIM Tingkat I dan II ini dapat dijadikan rujukan bagi Kementerian/ Lembaga/Pemda sebelum melakukan benchmark ke suatu daerah yang telah berhasil melakukan inovasi. Dalam rangka memvalidasi dokumen Proyek Perubahan yang telah dilakukan oleh alumni Diklat PIM Tingkat I dan II tersebut, Pusat Inovasi Pelayanan Publik Lembaga Administrasi Negara melakukan observasi ke beberapa instansi alumni diklat yang dalam hal ini difokuskan pada wilayah Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
A. PROYEK PERUBAHAN WILAYAH JAWA BARAT
O
bservasi lapangan terhadap Proyek Perubahan wilayah Jawa Barat terdapat beberapa penguatan dari dokumen yang ada. Berdasarkan data sekunder, dilakukan validasi dan updating serta penggalian
informasi penting lain di wilayah validasi Jawa Barat, dengan tujuan untuk memastikan bahwa gagasan perubahan yang disusun adalah benar adanya, telah dan masih dilaksanakan serta telah memiliki manfaat bagi lingkungan. Disamping itu, juga dalam rangka pembaruan data (updating) data terkait dengan pelaksanaan lanjutan (tahapan menengah/panjang) tersebut baik menyangkut data manfaat bagi masyarakat maupun outcome yang telah dicapai dalam pelaksanaan Proyek Perubahan tersebut. Gagasan perubahan yang dikemas dalam proyek perubahan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Peningkatan Tata Kelola Taman Kota Dengan Melibatkan Peran Serta Swasta dan Masyarakat Setempat Dalam Rangka Akselerasi Gapura Serasi Kabupaten Subang oleh Sumasna, ST, MUM
54
Peningkatan tata kelola taman kota didasari dari kebijakan Bupati Kabupaten Subang tentang corong gapura yang diantaranya Gapura Intan dan Gapura Serasi. Hal ini juga terkait dengan tugas pokok dari Dinas Tata Ruang Permukiman Kebersihan Kabupaten Subang terkait dengan penanganan tata ruang daerah, cipta karya, dan kebersihan termasuk pertamanan. Program gapura ini lebih kearah pembangunan infrastruktur taman kota sehingga tercipta ruang terbuka hijau yang serasi (sehat, rapi, bersih). Produk yang dihasilkan dari program ini adalah model revitalisasi taman kota melalui peran aktif swasta dan masyarakat. Kondisi sebelum program ini dicanangkan adalah taman kota Subang yang ada di 16
lokasi
masih
belum
tertata
rapi
bahkan
beberapa
dalam
kondisi
memprihatinkan. Hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan masyarakat untuk mau menjaga dan merawat taman kota. Permasalahan taman kota juga memperburuk kondisi taman saat itu seperti kondisi taman memprihatinkan karena dijadikan tempat pembuangan sampah warga sekitar, luas taman kota masih di bawah 20% luas kota, taman terbatas pada ruang milik jalan (pulau jalan, teluk jalan, sempadan jalan). Dalam rangka mengatasi permasalahan itu, digagaslah program peningkatan fungsi taman kota yang tujuannya meningkatkan kualitas taman melalui peran serta swasta dan masyarakat. Selain itu diharapkan terjadi pemeliharaan taman kota yang terkelola dengan baik. Dalam jangka pendek diharapkan juga dapat tersedia anggaran revitalisasi taman, dilakukan pelibatan masyarakat dalam memperbaiki dan pengelola taman, dokumen perencanaan tersedia lengkap, konstruksi berjalan setidaknya untuk tiga taman percontohan. Taman yang dijadikan percontohan adalah taman Pujasera, taman Rangga Wulung, dan taman Pulau. Pada program percontohan ini pemerintah daerah mengambil peran sebagai fasilitator saja. Sehingga dalam pelaksanaannya peran CSR, LSM dan masyarakat lebih kental. Manfaat yang diharapkan adalah terciptanya ruang terbuka hijau yang serasi (sehat, rapi, bersih) sehingga akan muncul minat masyarakat untuk berkumpul. Selain itu dapat menambah kadar oksigen yang ada di sekitar taman kota. Strategi yang dilakukan untuk mengimplementasikan program ini adalah 1) menggalang dukungan dari bupati dan SKPD terkait dalam pemanfaatan rupiah non subsidi APBD dengan melakukan penawaran kerjasama
55
dengan CSR dan; 2) mengubah mind set masyarakat agar mau bersama sama memperbaiki dan merawat taman kota yang ada; 3) melakukan pengarahan kepada masyarakat untuk pengelolaan taman dimulai dari perencanaan sampai perawatan taman; 4) Pelibatan SKPD terkait dan LSM (Badan Keswadayaan Masyarakat) dalam memimpin masyarakat untuk pengelolaan taman; 5) Memilih tiga taman untuk proyek percontohan yang didanai oleh CSR (Bank Jabar, PT Aqua); 6) MOU dengan CSR dimana CSR dibebaskan memilih untuk dapat berperan di sisi yang mana. Langkah administrasi dilakukan seperti dokumen kegiatan fasilitasi dan pengarsipan. Selain itu dilakukan monitoring terkait cara komunikasi dengan lembaga donor serta memanfaatkan media lokal dalam mensosialisasikan program pemerintah daerah. Faktor pendukung keberhasilan program ini adalah 1) Adanya dukungan penuh untuk mewujudkan rencana aksi perubahan (kepala daerah dan Dinas pemerintah daerah); 2) koordinasi dengan stakeholder yang komunikatif dan konstruktif; 3) Pembiayaan swasta yang tersedia memadai dan tepat waktu; 4) Efektivitas keterlibatan masyarakat dalam kegiatan persiapan, pelaksanaan, dan monitoring dan evaluasi; 5) Komunikasi dan koordinasi di internal tim efektif; 6) Pelaksanaan implementasi rencana tiap tahapan sesuai jadwal; 7) Adanya komitmen untuk melanjutkan ke taman yang lain serta pemeliharaan taman dari pihak LSM (Badan Keswadayaan Masyarakat) dan CSR (Bank Jabar, PT Aqua) ; 8) Adanya shopping list kebutuhan revitalisasi taman kota yang memudahkan pelibatan stakeholder (CSR); 9) Adanya pedoman tata kelola pelaksanaan program yang masih bisa disesuaikan dengan kebutuhan CSR. Sedangkan faktor penghambatnya adalah: 1) Waktu yang relatif pendek dalam persiapan perubahan tata kelola taman; 2) Perbedaan persepsi stakeholder terhadap perubahan tata kelola taman; 3) Ketersediaan anggaran dan sumber daya yang tidak memadai dan tidak memenuhi kebutuhan pengelolaan taman; 4) Profesionalisme pengelolaan taman yang masih rendah. Permasalahan ini dapat diatasi dengan cara: 1) Melakukan koordinasi dengan stakeholder terkait; 2) Sosialisasi yang berkesinambungan; 3) Pelibatan LSM dan masyarakat serta CSR (Bank Jabar dan PT Aqua). Hasil yang dicapai saat ini adalah terselesaikannya tiga taman (Pujasera, Taman Rangga Wulung, dan Taman Pulau) yang dikerjakan sesuai dengan pedoman tata
56
kelola. Selain itu dilakukan revitalisasi terhadap miniatur lumbung padi serta tugu nanas yang menjadi icon kota Subang. Selain itu terasa juga manfaatnya bagi masyarakat seperti: 1) Pemahaman kepada organisasi masyarakat mengenai penentuan lokasi dan pemeliharaan taman yang baik; 2) Menginformasikan lokasi taman yang efektif sehingga dapat terlihat indah. Program ini dapat direplikasikan ke daerah lain dengan cara meniru seluruh atau sebagian dari strategi yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten Subang. Hal yang dilakukan untuk mereplikasi program ini adalah: 1) Mempersiapkan dokumen perencanaan revitalisasi taman kota; 2) Melakukan fasilitasi untuk menjaring dukungan dan perubahan mindset terkait pengelolaan taman kota; 3) Melakukan penawaran program pendanaan revitalisasi sesuai dengan kesanggupan stakeholder; 4) Melakukan pendampingan terhadap proses revitalisasi taman; 5) Mempersiapkan anggaran untuk memfasilitasi SKPD terkait, stakeholder dan masyarakat; 6) Mempersiapkan
kebutuhan
pelengkap
saat
melakukan
monitori
proses
revitalisasi; 7) Pertanggungjawaban substansi dan administrasi yang jelas; 8) mendapat dukungan dari pimpinan daerah dan unit lain (BAPPEDA). 2. Optimalisasi Kinerja RBM (Resort Based Management) Dalam Rangka Mewujudkan Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi oleh Dr. Ir. Sylvana Ratina, M.Si Optimalisasi Kinerja RBM (Resort Based Management) merupakan gagasan yang dilatarbelakangi oleh perkembangan dan permasalahan yang timbul dari isu ekonomi, isu sosial dan isu lingkungan, sehingga pengelolaan kawasan konservasi di tingkat tapak belum efektif dan belum optimal ditambah kurangnya tenaga pengawas kawasan konservasi yang lebih dari 50 kawasan konservasi. Pengelolaan konservasi berbasis resort yang dimaksudkan untuk meletakkan pondasi yang kuat bagi efektivitas pengelolaan
kawasan
konservasi.
Terobosan secara menyeluruh terkait dengan optimalisasi kinerja RBM untuk mewujudkan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi dilakukan melalui pemberdayaan dan peran serta masyarakat sekitar kawasan konservasi yang juga merupakan unsur penting dalam peningkatan ekonomi masyarakat sekitar kawasan hutan. Pengelolaan kawasan konservasi berbasis resort penting karena merupakan isu strategis yang merupakan leverage mewujudkan efektivitas
57
pengelolaan kawasan konservasi. Resort yang dimaksud disini adalah struktur organisasi terkecil dalam sebuah organisasi. Kelompok pengawas hutan konservasi bersama masyarakat membentuk struktur untuk mengawasi, memanfaatkan, mengelola dan melindungi hutan koservasi. Hal ini sesuai dengan tugas fungsi Dirjen Konservasi dan SDA Kementerian Kehutanan untuk melakukan pengawasan, memanfaat kelola, melindungi kawasan konservasi. Selain itu sebagai tugas fungsi lain seperti pemberdayaan, maka dirangkul masyarakat untuk terlibat. Program optimalisasi kinerja ini bertujuan agar 1) Terpantaunya kawasan konservasi melalui sinergi dengan masyarakat; 2) Munculnya kesadaran untuk melakukan pencegahan dini terhadap kerusakan kawasan konservasi. Manfaat yang diharapkan dari program optimalisasi ini adalah: 1) menumbuhkan kepedulian masyarakat (nilai penting kawasan konservasi dan Sumber Daya Hutan (SDAH) dan Ekosistemnya); 2) tersusunnya kesepakatan antara masyarakat MDK (mewujudkan Efektivitas pengelolaan konservasi); 3) sinergitas optimalisasi implementasi RBM dan MDK (Efektivitas pengelolaan kawasan konservasi); 4) optimalisasi penyelenggaraan kawasan konservasi (keutuhan kawasan konservasi dan kelestarian SDAH dan Ekosistemnya). Optimalisasi kinerja RBM dalam rangka mewujudkan Efektivitas pengelolaan kawasan konservasi melalui pemberdayaan dan peran serta masyarakat sekitar kawasan konservasi, dilaksanakan dengan menggunakan strategi 1) membangun Pondasi RBM; 2) membangun pondasi Pemberdayaan Masyarakat; 3) membangun Pondasi Pengaturan Pemanfaatan Kawasan Konservasi. Tahapan pelaksanaan program ini dilakukan melalui tahapan sebagai berikut 1) Membangun pondasi RBM dengan pemberdayaan dan peran serta masyarakat MDK; 2) Membangun pondasi pengaturan (SOP) pemanfaatan berdasarkan potensi kawasan konservasi untuk menjembatani proses pemberdayaan dan peran serta masyarakat sekitar kawasan konservasi; 3) Membangun pondasi pemberdayaan dan peran serta masyarakat sekitar kawasan konservasi dimana masyarakat dapat melakukan budidaya di kawasan konservasi; 4) Implementasi sinergi pelaksanaan RBM berpadu dengan pemberdayaan dan peran serta masyarakat sekitar kawasan konservasi (MDK); 5) Penyusunan draf peraturan
58
Dirjen PHKA tentang Pedoman Pelaksanaan RBM melalui pemberdayaan dan peran serta masyarakat sekitar kawasan konservasi; 6) Monitoring dan evaluasi pelaksanaan strategi optimalisasi kinerja RBM; 7) melaksanakan monitoring evaluasi
dan
validitas
efektivitas
pengelolaan
kawasan
konservasi;
8)
Diterapkannya strategi optimalisasi kinerja RBM melalui pemberdayaan MDK di luar lokus contoh kawasan konservasi lainnya lingkup BBKSDA Jabar. Faktor keberhasilan pelaksanaan program ini adalah: 1) adanya dukungan keinginan dari pimpinan (Dirjen Kementerian Kehutanan), Lembaga Swadaya Masyarakat serta masyarakat untuk bersinergi dalam memanfaatkan kawasan konservasi; 2) Adanya klausal dalam peraturan tentang kawasan konservasi (PP 48 tahun 2010) bahwa masyarakat dapat mengekstrak/memanfaatkan hutan dan klausal penyelenggaraan dengan pemberdayaan mayarakat (mengembangkan kemandirian); 3) Adanya petunjuk teknis pelaksanaan program tingkat balai yang memudahkan sinergi pelaksanaan; 4) adanya partisipasi dan peran serta masyarakat yang sangat menonjol menjadikan masyarakat menyadari pentingnya fungsi dan manfaat kawasan konservasi, sehingga ikut merasa memiliki (sense of belonging); 5) adanya pemberdayaan peningkatan kapasitas masyakarat sekitar kawasan konservasi; 6) adanya pelatihan untuk meningkatkan kompetisi antar masyarakat sekitar kawasan konservasi MDK agar masyarakat dapat menjadi teladan masyarakat lainnya; 7) Adanya monitoring dan evaluasi secara triwulan terhadap budidaya yang dilakukan masyarakat di kawasan konservasi. Faktor perhambat pelaksanaan program ini adalah 1) Pengawasan terhadap kawasan konservasi berada di level eselon 4, hal ini sangat sulit dari segi anggaran dan koordinasi; 2) Dukungan anggaran yang kurang signifikan; 3) Sebagian masyarakat masih kurang peduli terhadap program ini karena dirasa kurang menjanjikan; 4) Adanya target/crash program lain yang harus segera dicapai oleh BBKSDA; 5) Adanya ketakutan program ini tidak dilanjutkan karena ada pergantian pimpinan Kepala Balai yang tidak mendukung. Alternatif solusi ada didokumen yang telah disampaikan. Program optimalisasi ini ternyata membawa manfaat nyata/ dampak dari sisi masyarakat seperti: 1) Masyarakat menjadi paham apa itu konservasi; 2) Masyarakat dapat mengaplikasikan penanggulangan kebakaran; 3) Masyarakat
59
menjadi pemberi informasi yang aktif terhadap keadaan hutan konservasi; 4) Adanya peningkatan ekonomi karena adanya bantuan ternak domba, bibit jahe, lebah madu yang terus bertambah nilai ekonomisnya; 5) Adanya penambahan kontribusi kedalam kas keuangan kelompok; 6) Masyarakat berperan dalam menjaga kawasan konservasi sehingga menumbuhkan kepercayaan dari kedua belah pihak; 6) Munculnya koordinasi tingkat sektor seperti adanya bantuan dari BPLHD, dinas pernakan dan pertanian. Hal yang dilakukan untuk mereplikasi program ini adalah: 1) perlu adanya dukungan dan kepedulian pimpinan, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat; 2) perlu adanya kejelasan aturan serta petunjuk teknis dalam pelaksanaan program; 3) perlu dukungan anggaran untuk pelaksanaan budidaya dan pelatihan masyarakat; 4) mengalokasikan kegiatan dan anggaran untuk berbagai modul, SOP dan TOR operasional, draf peraturan tentang peningkatan kinerja RBM yang bersinergi dengan MDK 3. Pengembangan Tugas Pokok dan Fungsi Dalam Rangka Peningkatan Kinerja Pada Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat oleh Arief Santosa, SE., M.Sc Peningkatan kinerja pada Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat dilakukan dengan cara menelaah Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) khususnya tentang fungsi pelayanan berupa pelatihan teknis perkebunan. Selama ini
kegiatan
pelatihan teknis perkebunan yang terdapat pada Kegiatan Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat dilaksanakan bekerjasama dengan instansi vertikal atau Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Pertanian yang lokasinya tersebar di seluruh Indonesia. Kurun waktu lima tahun yang lalu (2008-2013), upaya peningkatan kualitas SDM perkebunan dipandang sebagai salah satu faktor terlemah dari upaya pencapaian keberhasilan pembangunan perkebunan di Jawa Barat secara keseluruhan. Sehubungan dengan hal tersebut maka upaya pembenahan peningkatan kinerja pembangunan perkebunan perlu difokuskan pada upaya peningkatan kualitas SDM perkebunan. Upaya peningkatan kualitas SDM perkebunan diantaranya dengan menerapkan GAP (Good Agriculture Practices) dan GMP (Good Manufacturing Product), yang dapat dilakukan melalui pembinaan, pelatihan dan bimbingan teknis secara intensif sesuai kebutuhan
60
lapangan. Namun demikian, ternyata sejauh ini upaya penerapan pembinaan SDM pelaku usaha perkebunan tersebut masih memiliki banyak kendala, antara lain adalah: a). Keterbatasan kewenangan dalam penanganan kegiatan pelatihan/ bimbingan teknis yang tercermin dalam uraian tugas pokok dan fungsi dari unit kerja yang menangani urusan pembinaan SDM Perkebunan; b) Keterbatasan Sarana-prasarana pelatihan/ bimbingan teknis yang memadai, Akibatnya pelaksanaan kegiatan pelatihan/ bimbingan teknis menjadi kurang optimal dan kurang intensif. Pengembangan Tugas Pokok dan Fungsi Dalam Rangka Peningkatan Kinerja Pada Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat bertujuan untuk meningkatkan kinerja organisasi melalui peningkatan layanan dalam bidang pelatihan perkebunan bagi petani perkebunan. Secara umum manfaat yang diharapkan atas perubahan Tupoksi adalah meningkatnya kinerja Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat, sedangkan secara khusus, antara lain 1) meningkatnya kinerja Dinas Perkebunan melalui optimalisasi fungsi fungsi pelayanan pelatihan teknis perkebunan; 2) Meningkatnya kualitas SDM perkebunan khususnya kompetensi dalam mengajar teknis perkebunan; 3) Meningkatnya pengetahuan dan wawasan petani perkebunan baik teknis (on farm) maupun non-teknis (off farm) di bidang perkebunan; 4) Meningkatnya mutu hasil produk perkebunan yang berdaya saing. Strategi yang dilakukan agar proses pengembangan tugas pokok dan fungsi dapat berjalan adalah 1) mendapatkan dukungan dari pimpinan derah dan DPRD terkait dengan perubahan nomenklatur organisasi; 2) perubahan orientasi tugas dari pejabat yang ditambahkan tugas fungsi yang baru; 3) perbaikan peraturan tentang uraian tugas pokok dan fungsi (Pergub No. 38 Tahun 2009 dan Pergub No. 54 Tahun 2010) untuk beberapa unit kerja terkait dalam penanganan SDM pelaku usaha perkebunan dengan merubah fungsi penyelenggaraan pelatihan teknis perkebunan dari Bidang SDM, Kelembagaan dan Permodalan ke UPTD BPTP; 4) mengevaluasi dan melakukan pemanfaatan sarana-prasarana pada unit kerja lingkup Dinas Perkebunan Jawa Barat yang dapat digunakan untuk pelaksanaan pelatihan/ bimbingan teknis secara mandiri (oleh Dinas Perkebunan Jawa Barat sendiri). Tahapan yang dilalui untuk perubahan tusi ini adalah 1) persiapan dan perumusan masalah tentang tupoksi bidang dan balai di Dinas Perkebunan; 2) menjalin
61
dukungan pimpinan dan dewan serta staff dengan cara melakukan sosialisasi pada Gubernur Jawa Barat, Sekretaris Daerah, Sekretaris Badan Pengembangan SDM Pertanian Kementan, Forum OPD Rumpun Pertanian Provinsi Jawa Barat, Kepala Pusat Pelatihan Pertanian Kementan, Kepala Balai Besar Diklat Pertanian Kementan di Lembang; 3) Konsultasi ke Biro Organisasi dan Biro Hukum & HAM, Badan Diklat Daerah Prov. Jabar, Badan SDM Pertanian
Kementan; 4)
Benchmarking ke Best Practice Bapeltan Distan Jabar; 5) Observasi lapangan ke Kelompok Tani dan Gapoktan; 6) Penyusunan rancangan perubahan Tupoksi Dinas Perkebunan melalui pra-rancangan, diskusi, dan sosialisasi; 7) Melakukan ujicoba pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan dengan peserta 30 orang petani. Capaian dan kemanfaatan yang dihasilkan melalui pengembangan tugas pokok dan fungsi dinas perkebunan Provinsi Jawa Barat adalah 1) dihasilkannya peraturan gubernur terkait pengembangan tugas pokok dan fungsi pengganti Peraturan Gubernur 38/2009 (Tusi Dinas) dan Peraturan Gubernur 54/2010 (Tusi Balai); 2) Balai pelatihan pelatihan teknis perkebunan sudah difungsikan sehingga tidak perlu lagi dikerjasamakan pelaksanaannya kepada berbagai pihak (dilaksanakan secara mandiri oleh Dinas Perkebunan melalui UPTD BPTP); 3) pelatihan teknis dan non-teknis perkebunan lebih optimal dan berguna bagi petani perkebunan rakyat; 4) Ujicoba pelatihan sudah dilaksanakan dan sarana prasarana balai pelatihan sudah tersedia. Faktor penghambat proses perubahan tugas dan fungsi ini adalah 1) ada sedikit penolakan (resisten) Instansi vertikal (Unit Pelaksana Teknis) Pusat karena merasakan zona nyaman (comfort zone) yaitu sebagai penyedia layanan pelatihan teknis bidang perkebunan. 2) Dukungan dari anggota dewan yang sering berubah terkait sebelum dan sesudah penyetujuan usulan perubahan tugas dan fungsi dinas; 3) Sarana prasarana yang masih kurang termasuk jalan dan gedung pelatihan. Namun setelah dilakukan komunikasi intensif akhirnya terdapat suatu pemahaman untuk menjalin kerjasama. Selain itu dilakukan pula penataan sarana dan prasarana pelatihan yang meliputi 1) Renovasi mess; 2) Renovasi ruang kelas; 3) Renovasi laboratorium;
4)
Penyusunan
detail
engineering
design
(DED)
untuk
pembangunan guest house. Faktor pendorong keberhasilan terwujudnya perubahan tugas fungsi organisasi Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat adalah
62
1) Komitmen dari seluruh pegawai untuk perubahan dinas perkebunan provinsi Jawa Barat; 2) Terjalinnya komunikasi yang baik dalam inetrnal Tim Efektif serta konsultasi dan koordinasi yang efektif dengan instansi terkait lainnya; 3) Keluaran (hasil) pada setiap tahapan kegiatan sesuai dengan target waktu yang ditetapkan; 4) Tersusunnya rancangan usulan perubahan Tupoksi Disbun yang telah ditelaah oleh Tim Efektif; 5) Terlaksananya simulasi pelatihan teknis perkebunan dengan peserta petani perkebunan rakyat di Jawa Barat. Sangat memungkinkan untuk dilakukan replikasi dan implementasi di tempat lain dengan cara 1) komitmen dari seluruh pegawai untuk perubahan organisasi; 2) mempersiapkan perubahan struktur / SOTK (menambah/ mengurangi); 3) melakukan perubahan pada SOP dan SP organisasi; 4) melakukan perubahan pada Renstra; 5) melakukan penambahan pada sarana fisik. 4. Optimalisasi Penyuluhan Melalui Peningkatan Kapasitas SDM Penyuluh Pertanian, Perikanan dan Kehutanan oleh Ir. H. Kusmayadi Rostaman, MM Optimalisasi Penyuluhan Melalui Peningkatan Kapasitas SDM Penyuluh merupakan gagasan yang dilatarbelakangi keinginan untuk mensejahterakan petani. Selama ini petani sangat handal dalam melakukan kegiatan pertanian, budidaya, sampai pada akhirnya panen. Kegiatan pertanian sampai masa panen (onfarm) tentu saja telah banyak didampingi oleh penyuluh yang ada. Akan tetapi hasil panen yang berlimpah ternyata dinilai tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan petani. Ini disebabkan kegiatan pasca panen (off farm) yakni pemasaran produk pertanian tidak melibatkan petani. Petani hanya dianggap sebagai penyuplai kebutuhan pertanian sehingga perubahan harga selama masa pendistribusian tidak dirasakan oleh mereka. Hal ini tentu disebabkan kurangnya wawasan entrepreneur dikalangan petani. Berbanding lurus dengan wawasan entrepreneur petani, ternyata di kalangan penyuluh pernanian juga kurang disinggung permasalahan jiwa enterplener untuk meningkatkan kesejahteraan. Untuk itu disusunlah kurikulum bagi penyuluh terkait dengan wawasan entrepreneur dan semangat wirausaha untuk dapat melakukan kelanjutan proses distribusi dari produk yang telah dihasilkan petani. Program Optimalisasi Penyuluhan Melalui Peningkatan Kapasitas SDM Penyuluh dilakukan dengan menambahkan muatan kurikulum pendidikan dan pelatihan bagi
63
penyuluh terkait dengan proses off farm pada pertanian. Tujuan program ini dilakukan adalah 1) meningkatkan potensi penyuluh untuk membantu petani; 2) Peningkatan ekonomi melalui pelatihan yang konprehensif. Manfaat yang didapat bagi penyuluh adalah meningkatnya pengetahuan dan kompetensi penyuluh pertanian dalam memberikan ilmu tentang pertanian dan budidaya yang komprehensif. Seangkan manfaatnya bagi kelompok tani adalah adanya peningkatan kesejahteraan karena dapat terhubung langsung dengan konsumen. Strategi yang dilakukan untuk optimalisasi penyuluhan ini adalah sebagai berikut 1) Merubah kurikulum dengan penambahan materi menyuluhan komprehensif budidaya onfarm dan off farm; 2) Menerapkan sistem ajar on / off (kelas/lapangan) yang merupakan adopsi dari Diklat PIM; 3) Melakukan kerjasama dengan Balai pelatihan melalui MOU untuk penyusunan materi ajar bagi penyuluh; 4) Bekerjasama dengan balai pelatihan pertanian (pusat pelatihan kayu ambon dan ciheau dan lainnya) untuk pelatihan penyuluh pertanian; 5) Menjaring stakeholder agar dapat terhubung langsung dengan hasil pertanian kelompok tani binaan. Program ini dinilai berhasil karena mampu meningkatkan kemampuan kelompok tani dalam enterplenership. Secara singkat tahapan yang dilakukan untuk menjalankan program ini adalah sebagai berikut 1) Melakukan sosialisasi kepada kabupaten/ kota terkait penerapan metode ajar baru bagi penyuluh pertanian; 2) Meyakinkan pimpinan (Gubernur, OPD) tentang perlunya kompetensi tambahan bagi penyuluh; 3) Memasukkan perubahan kedalam renstra /evaluasi renstra 2014 dan menyusun renstra 2015; 4) Membuat tim penyusun untuk merubah kurikulum dan menyusunnya sesuai model diklat PIM pola baru; 5) Pendataan penyuluh yang
akan
mengikuti
pelatihan
penyuluh
dengan
kurikulum
baru.
6)
Mempersiapkan kerja sama dengan stakeholder terkait distribusi hasil pertanian kelompok tani binaan. Faktor keberhasilan dari program ini adalah 1) Adanya dukungan dari pimpinan terutama gubernur; 2) Adanya dukungan anggaran dengan melakukan perubahan anggaran untuk kepentingan positif; 3) Koordinasi yang solid dan hangat dengan dinas terkait terutama dinas pertanian, perikanan, peternakan, kehutanan; 4) Adanya stimulus berupa lomba penyuluh berprestasi dengan hadiah berupa umroh dan juga uang 15 juta bagi kelompok binaan yang dianggarkan dari APBD; 5) Adanya kebijakan untuk memberikan kemudahan DP
64
motor bagi fasilitator; 6) Pelibatan Babinsa, peneliti, dosen dan mahasiswa. Faktor penghambat yang terjadi lebih terjadi pada masalah 1) koordinasi kota dan kabupaten, keterbatasan daya tampung, dan tidak adanya balai pelatihan sendiri pada Bakorluh, semua ini dapat diatasi dengan melakukan koordinasi; 2) belum adanya jejaring kerja, informasi dan pasar, dan belum terbangunnya jiwa enterplenership dapat diatasi dengan pelatihan secara komprehensif selain itu dapat memperkuat peran dari Bakorluh; 3) Waktu penyelenggaraan pelatihan yang sangat bergantung pada dinas lain yang punya balai pelatihan. Hasil yang muncul sampai saat ini terkait dengan pelaksanaan program ini adalah 1) Telah sesuainya kurikulum pelatihan penyuluh dengan Peraturan menteri pertanian nomor 82 tahun 2014 terkait kurikulum pelatihan penyuluh yang memuat materi on farm dan off farm untuk peningkatan kemampuan petani; 2) Munculnya peran aktif penyuluh untuk meningkatkan kesejahteraan petani binaan; 3) dari target penyuluh yang dilakukan pelatihan telah tercapai 700 penyuluh target selanjutnya 2000 penyuluh (2015 telah dilatih 300 penyuluh) dan diyakini bahwa kompetensi meningkat dan pengkaderan penyuluh terlaksana; 4) Pengawalan penyuluh lebih komprehensif sehingga monev pasca pertanian menuai hasil yang baik; 5) Kepuasan petani sangat baik terhadap pengetahuan/wawasan penyuluh pertanian. Harapan tambahan dari Bakorluh adalah adanya balai pelatihan sendiri yang dapat memudahkan proses pengembangan kompetensi penyuluh. Program ini dapat direplikasikan di dinas provinsi lain dengan cara 1) Menjaring dukungan dari pimpinan daerah dan pimpinan OPD terkait; 2) Menyediakan anggaran yang memadai untuk proses koordinasi sampai ke proses implementasi dan monitoring evaluasi; 3) Menjaring kerjasama dengan stakeholder baik yang berhubungan dengan unit instansi maupun yang berhubungan dengan masyarakat; 4) Melakukan koordinasi dengan dinas terkait; 5) Menggalang dukungan yang simultan dengan Bapeda dan dewan; 6) Pendataan penyuluh yang akan mendapatkan pelatihan peningkatan kapasitas. 5. Strategi Optimalisasi Pendapatan Asli Daerah Melalui Pajak Daerah oleh Drs. Muhamad Yani
65
Optimalisasi Pendapatan Asli Daerah Melalui Pajak Daerah dilakukan karena Dinas Pendapatan Kota Cimahi masih menghadapi berbagai kendala, khususnya sejak
menerima
Pajak
PBB-P2
pelimpahan dari
Kantor
Pelayanan Pajak Pratama pada 20 Maret 2012. Kendala tersebut antara lain terbatasnya sumber daya
manusia,
terbatasnya
sarana dan prasarana, data base yang belum akurat, kesisteman yang
belum
regulasi
sesuai
yang
disempurnakan,
harapan,
masih serta
harus realisasi
pendapatan yang belum optimal. Kurangnya kesadaran atau kepatuhan wajib pajak terhadap kewajiban membayar pajak, kekurang akuratan data wajib pajak dapat terlihat dari realisasi
pada
penerimaan jenis pajak PBB-P2 Tahun 2013 dimana dari nilai DHKP (Daftar Himpunan Ketetapan Pajak) yang ditetapkan Rp. 35.397.423.905,- hanya terealisasi sebesar Rp. 26.769.896.711 atau 75,63 % dari DHKP. Penyebabnya adalah kurangnya media pelayanan yang tersedia bagi wajib pajak yang mempunyai kesulitan dalam membayar pajak. Pembayaran pajak saat itu difasilitasi oleh satu bank persepsi saja. Bank persepsi yang memfasilitasi pembayaran pajak itu pun sangat sulit dijangkau oleh wajib pajak serta menambah biaya dari segi transportasi ke bank persepsi. Untuk inilah strategi optimalisasi dibutuhkan. Optimalisasi Pendapatan Asli Daerah Melalui Pajak Daerah bertujuan untuk mempermudah masyarakat untuk membayar pajak sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Cimahi meningkat. Manfaat yang diharapkan adalah 1) agar dalam proses penghitungan pajak tidak perlu dilakukan tiap hari; 2) Mengurangi biaya perjalanan dan waktu wajib pajak dalam membajar kewajibannya; 3) Terwujudnya pelayananan terbaik bagi masyarakat. Strategi yang digunakan untuk optimalisasi ini adalah 1) menambah titik pembayaran pajak
66
dengan melakukan kerjasama dengan bank persepsi lain; 2) menambah kemampuan sistem informasi pajak daerah menjadi sistem pendapatan daerah dengan cara mengintegrasikan dengan Sistem informasi lainnya (Sistem Informasi Keuangan Pendapatan daerah, elektronik pendapatan daerah (non PBB), Sistem informasi manajemen objek pajak; 3) sosialisasi dan kerjasama untuk pembayaran pajak; 4) Penyediaan link dari bank persepsi lain ke bank persepsi utama dan e sistem informasi pendapatan daerah. Pelaksanaan strategi optimalisasi ini dilakukan dengan beberapa tahap seperti 1) Identifikasi fenomena dan permasalahan serta perumusan strategi optimalisasi; 2) Melakukan benchmarking (studi banding) dengan Pemerintah Kab/ Kota lainnya; 3) Assesment terhadap eksisting kesisteman, sarpras, SDM dan regulasi yang saat ini tersedia; 4) Melakukan konsultasi dan koordinasi baik itu dengan berbagai pihak terkait sistem pembayaran pajak Online; 5) Mempersiapkan aspek regulasi pendukung (Perwal, SOP, MoU dan lainnya); 6) Melakukan perikatan kerjasama dengan pihak perbankan atau lembaga keuangan lainnya; 7) Melaksanakan uji coba sistem (Trial and error), launching dan sosialisasi kepada masyarakat; 8) Pengembangan secara berkelanjutan (continues improvement) atas sistem pembayaran pajak berbasis Online dengan melakukan penambahan fasilitas pelayanan bagi para Wajib Pajak berdasarkan hasil proses evaluasi; 9) Meningkatkan kapasitas SDM yang mampu mendukung pelayanan pembayaran pajak daerah secara online sistem; 10) Menyusun regulasi (Peraturan Walikota) yang menjadi dasar pelaksanaan pelayanan pembayaran pajak daerah secara online sistem. 11) Pengadaan gerai pembayaran di post giro serta menjajaki kerjasama dengan BPR-KS agar ditiap wilayah ada akses. Faktor pendorong berhasilnya strategi optimalisasi ini adalah 1) adanya keinginan kuat pimpinan untuk meningkatkan potensi pendapatan asli daerah; 2) adanya semangat kebersamaan untuk melakukan pencapaian tujuan; 3) Pemeliharaan sistem yang mendukung perubahan sistem dan beserta anggaran pemeliharaanya; 4) Tawaran kepada bank persepsi bahwa ini merupakan peluang untuk promosi pelayanan perbankan; 5) Adanya perluasan jaringan pembayaran di bank persepsi ; 6) Adanya model trial-error yang signifikan (pemantauan); 7) Adanya sistem peringatan saat pembayaran listrik
untuk wajib pajak dapat melakukan
67
pembayaran pajak; 8) Perjanjian kerjasama yang selalu direvisi (biaya admin). Faktor penghambat dari strategi ini adalah 1) sistem informasi yang masih ada yang belum terhubung; 2) sosialisasi aturan pembayaran pajak daerah yang belum merata; 3) Kesadaran masyarakat yang masih belum signifikan. Solusi untuk menghadapi kendala ini dengan melakukan perawatan dan perbaikan sistem informasi secara berkala serta melakukan sosialisasi terhadap strategi optimalisasi yang tengah dijalankan. Capaian dan kemanfaatan yang dapat dirasakan adalah 1) tersedianya 1 (satu) perangkat sistem pelayanan pajak berbasis Online yang terintegrasi dan komprehensif, yang telah dikembangkan sesuai dengan hasil evaluasi serta identifikasi terhadap kebutuhan konsumen (dalam hal ini Wajib Pajak) dalam jangka waktu hingga akhir tahun 2014; 2) tersedianya regulasi (Peraturan Walikota Cimahi) yang menjadi dasar hukum dan pedoman dalam pelayanan pembayaran pajak daerah secara online;3) tersampaikannya informasi pelayanan pembayaran pajak daerah secara online secara luas ke seluruh masyarakat; 4) Terjadinya peningkatan pendapatan asli daerah dan target perdapatan kota Cimahi; 5) indeks kepuasan masyarakat terhadap pelayanan meningkat karena pemahaman masyarakat soal pajak yang membaik. Optimalisasi Pendapatan Asli Daerah Melalui Pajak Daerah dapat direplikasi di wilayah lain dengan cara sebagai berikut 1) adanya keinginan kuat pimpinan untuk meningkatkan potensi pendapatan asli daerah; 2) adanya semangat kebersamaan untuk melakukan pencapaian tujuan; 3) pemeliharaan sistem yang mendukung perubahan sistem dan beserta anggaran pemeliharaannya; 4) melakukan identifikasi fenomena dan permasalahan yang terjadi di masyarakat; 5) mempersiapkan aspek regulasi pendukung (Perwal, SOP, MoU dan lainnya); 6) melakukan perikatan kerjasama dengan pihak perbankan atau lembaga keuangan lainnya; 7) pengembangan secara berkelanjutan (continues improvement); 8) meningkatkan kapasitas SDM yang mampu mendukung pelayanan. 6. Strategi Pembinaan Perpustakaan dan Pembudayaan Kegemaran Membaca Masyarakat di Jawa Barat oleh DR. Hj. Oom Nurrohmah, M.SI.
68
Pengembangan strategi pembinaan perpustakaan dan pembudayaan kegemaran membaca dilakukan dengan pertimbangan bahwa tugas pokok dari Badan Perpustakaan
dan
Kearsipan
Daerah
(BAPUSIPDA)
adalah
melakukan
pembinaan. Pembinaan ini meliputi pembinaan teknis semua jenis perpustakaan dan
lembaga
kearsipan;
pembinaan kompetensi tenaga perpustakaan dan kearsipan, pembinaan
budaya
baca
masyarakat dan budaya sadar arsip; serta penyelenggaraan layanan
publik
bidang
perpustakaan dan kearsipan di Jawa Barat. Kenyataannya, sebelum program ini dilaksanakan, BAPUSIPDA belum melakukan tugas pokok pembinaan ini secara maksimal,
dikarenakan
tidak
adanya
panduan
yang
jelas
terhadap
pelaksanaannya. Selain itu karena IKU BAPUSIPDA pada saat program ini diusulkan tidak mencerminkan tugas pokoknya maka, melalui program ini BAPUSIPDA memiliki alasan kuat untuk menambahkan IKU pada tahun berjalan. Tugas BAPUSIPDA sebagai Pembina sudah mengikuti aturan perundangan yakni Undang-Undang No 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan; Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang 32 Tahun 2013; Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 2008 tentang Urusan Kewenangan Provinsi; Peraturan Daerah No 17 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Perpustakaan; Peraturan Gubernur No 81 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Perda No 17 Tahun 2011. Program Pembinaan Perpustakaan dan Pembudayaan Kegemaran Membaca Masyarakat dirasa tepat untuk mengefektifkan tugas dari BAPUSIPDA. Pada akhirnya program ini bertujuan untuk 1) menjadikan lembaga perpustakaan yang ada di provinsi Jawa Barat sesuai dengan standar perpustakaan; 2) mengembalikan dan meningkatkan minat baca masyarakat dengan melibatkan peran serta stakeholder seperti sekolah, akademisi, tokoh masyarakat, serta keluarga. Manfaat yang diharapkan dari program ini adalah 1) Penyelenggara perpustakaan memiliki acuan yang jelas terhadap penyelenggaraan dan teknis
69
operasional perpustakaan; 2) Masyarakat memperoleh akses informasi yang mudah, murah, cepat dan akuntabel karena bahan baca yang ada melalui seleksi ketat dari penyelenggara pustaka. Strategi yang dilakukan untuk kemudahan implementasi program ini adalah 1) Melakukan identifikasi target audience dan siapa yang menaunginya (sekolah, pakar, dan lainnya); 2) Melibatkan stakeholder terkait (sekolah, universitas, lembaga pendidikan, masyarakat); 3) Memanfaatkan media komunikasi yang ada diberbagai kesempatan, termasuk media masa dan media sosial; 4) Melibatkan praktisi dan akademisi untuk menyusun pedoman penyelenggaraan pustaka sesuai dengan lembaga yang menaunginya; 5) Melakukan cultural struktural yakni melakukan roadshow “gerakan membaca” seprovinsi Jawa Barat; 6) Tidak melanggar aturan yang berlaku. Keunggulan yang ditawarkan dari program ini adalah 1) perda pertama terkait dengan perpustakaan; 2) indikator pendukung (koleksi yang variatif); 3) Komunitas budaya baca yang banyak; 4) Masyarakat penggiat budaya baca yang aktif. Produk yang dihasilkan dari program ini adalah Pedoman penyelenggaraan perpustakaan komprehensif dan budaya gemar membaca yang ditetapkan melalui keputusan
kepala
BAPUSIPDA
provinsi
Jawa
Barat
Nomor
902/Kep.
140/PPPBB/2014, tanggal 25 Juli 2014, tentang Pedoman Pembudayaan Kegemaran Membaca. Kemanfaatan dari program ini ternyata melebihi dari apa yang diharapkan ketika gagasan ini diusulkan. Kemanfaatan implementasi program tersebut adalah 1) Perpustakaan representatif menjadi syarat dalam MOU penyelenggaraan untuk lembaga pendidikan; 2) Menunjang pendidikan nasional yang ingin peserta didik untuk lebih mandiri; 3) Munculnya budaya baca di rumah yang kemudian menjadi model dalam perpustakaan keluarga. 4) Model perpustakaan representative ini menjadi bahan masukan bagi penetapan budaya baca di provinsi Jawa Barat. Kemanfaatan berikutnya yang diharapkan akan muncul adalah 1) Diberikannya regulasi komunitas dan lembaga tak terstruktur (bukan lembaga pendidikan) terkait penyelenggaraan pustaka representative; 2) Tersusunnya sebuah kajian budaya baca di negara maju dengan metode distance riset (penilitian jarak jauh). Distance riset yang dimaksud ini adalah penelitian yang dilakukan dengan
70
melibatkan masyarakat yang berada di luar negeri. Bentuk pelibatannya adalah pemberian informasi tentang budaya baca dari Negara yang ditinggali. Rencana kedepan yang akan dilakukan adalah tersusunnya pedoman induk yang akan direalisasikan pada tahun 2016 seperti 1) Pedoman operasional dan spesifik bagi penyelenggaraan perpustakaan di perguruan tinggi, sekolah menengah, sekolah dasar, masjid, dan lainnya; 2) Pedoman budaya baca lingkup provinsi Jawa Barat. Faktor keberhasilan yang dapat mensukseskan implementasi program ini adalah 1) Political will dari Gubernur Jawa Barat untuk gerakan “Jawa Barat Membaca”; 2) Dukungan dari pihak horizontal terkait (dinas yang terkait); 3) Munculnya tuntutan dan gerakan masyarakat untuk mensukseskan budaya baca; 4) Dukungan dari stakeholders (Kepala pemerintahan, masyarakat, lembaga pemerintahan, dunia usaha, media sebagai publikasi); 5) Dikeluarkannya aturan dari Kepala BAPUSIPDA untuk melancarkan implementasi program tersebut; 6) Munculnya inisiatif tambahan untuk menyusun pedoman turunan dari pembinaan perpustakaan. Faktor yang menghambat kelancaran implementasi dibagi menjadi internal dan eksternal. Faktor internalnya adalah 1) Penyelenggara perpustakaan yang belum mengetahui tentang tujuan perpustakaan komprehensif; Pikiran yang masih segmentif terkait penyelenggaraan perpustakaan. Faktor eksternalnya adalah 1) Pengembangan budaya baca tidak dapat dilakukan secara langsung dan perlu kesinambungan;
2)
Mindset
yang
belum
sepaham.
Untuk
mengatasi
permasalahan tersebut perlu dilakukan 1) komunikasi yang persuasife; 2) Membuat media yang efektif dalam penyampaian untuk membangun komitmen; 3) koordinasi secara terus menerus; 4) melakukan evaluasi tiap tahap program. Program Pembinaan Perpustakaan dan Pembudayaan Kegemaran Membaca Masyarakat dapat direplikasi di wilayah lain dengan cara 1) Menemukan produk hukum yang dapat menentukan keberlangsugan program seperti Peraturan daerah, keputusan kepala satuan kerja/ instansi; 2) Renstra yang dapat mendukung program; 3) Dukungan dari political maker; 4) Komitmen/ kesungguhan
yang
diwujudkan
dengan
perencanaan
yang
“smart”
5)
71
Mengembangkan potensi lokal yang dapat menjadi unggulan; 6) Mendukung tujuan pembangunan daerah.
B. PROYEK PERUBAHAN WILAYAH YOGYAKARTA Observasi lapangan terhadap proyek perubahan wilayah Yogyakarta terdapat beberapa penguatan dari dokumen yang ada. Berdasarkan data sekunder, dilakukanlah validasi dan updating serta penggalian informasi penting lain di wilayah validasi Yogyakarta, dengan tujuan untuk memastikan bahwa gagasan perubahan yang disusun adalah benar adanya, telah dan masih dilaksanakan serta telah memiliki manfaat bagi lingkungan. Disamping itu, juga dalam rangka pembaruan data (updating) data terkait dengan pelaksanaan lanjutan (tahapan menengah/ panjang) tersebut baik menyangkut data manfaat bagi masyarakat muapun outcome yang telah dicapai dalam pelaksanaan proyek perubahan tersebut. Gagasan perubahan yang dikemas dalam proyek perubahan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan Efektivitas Penyelenggaraan Family Gathering Terpadu dalam Rangka Mewujudkan Pelayanan Kesehatan Jiwa Berkelanjutan di Rumah Sakit Jiwa Grhasia – Daerah Istimewa Yogyakarta
oleh drg. Pembayun
Setyaningastutie, M.Kes (Direktur RSJ Grhasia) Upaya peningkatan efektivitas penyelenggaraan Family Gathering terpadu dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan jiwa berkelanjutan di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Grhasia – Daerah Istimewa Yogyakarta yang digagas oleh drg. Pembajun Setyaningastutie, M.Kes merupakan usaha untuk menjaring kepedulian keluarga pasien yang dirawat di RSJ Grhasia. Sesungguhnya Upaya Kesehatan Jiwa adalah setiap kegiatan untuk mewujudkan derajat kesehatan jiwa yang optimal bagi setiap individu, keluarga, dan masyarakat dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan oleh Pemerintah.
72
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI memperlihatkan bahwa
rata-rata
nasional
gangguan jiwa berat di Indonesia adalah
1,7
gangguan
% mental
dan
untuk
emosional
(cemas dan depresi) di atas usia 15 tahun sebesar 6,0%. Sedangkan prevalensi untuk gangguan jiwa berat di Provinsi DIY sebesar 2,7 % dan untuk angka prevalensi gangguan mental emosional (umur 15+ tahun) juga berada di atas angka nasional. Dampak sosial akibat masalah kesehatan jiwa tersebut antara lain adalah tingginya angka kekerasan baik di rumah tangga tangga maupun di masyarakat, meningkatnya kejadian bunuh diri, penyalahgunaan napza pada remaja, kenakalan remaja, masalah pendidikan, perceraian, pengangguran, kemiskinan, pemasungan, dan lain sebagainya. Upaya rehabilitatif kesehatan jiwa merupakan kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan jiwa yang ditujukan untuk mencegah atau mengendalikan disabilitas, memulihkan fungsi sosial, memulihkan fungsi okupansional, dan mempersiapkan dan memberi kemampuan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) agar mandiri di masyarakat. Upaya meningkatkan keterlibatan dan dukungan keluarga pasien gangguan jiwa perlu diberdayakan dengan cara pemberian informasi dan edukasi yang benar mengenai masalah kesehatan jiwa. Dukungan keluarga dalam bentuk kegiatan secara bersama (family gathering) untuk konseling, latihan perilaku, asuhan keperawatan mutlak diperlukan demi kesembuhan anggota keluarga yang mengalami gangguan kejiwaan. Kondisi ini akan memberi dampak menurunkan tingginya angka relaps (kekambuhan) penderita gangguan jiwa yang sekitar 25% - 50%. Dalam mewujudkan misi Rumah Sakit untuk memberi pelayanan yang berkualitas dan menjamin keselamatan pasien serta pelayanan yang beretika dan mencerminkan budaya masyarakat DIY, maka diperlukan sebuah pedoman atau
73
prosedur yang menjamin program Family Gathering Terpadu dapat berjalan secara berkesinambungan. Tujuan dari program yang digagas ini adalah untuk meningkatkan penyelenggaraan Family Gathering terpadu dalam rangka pelayanan kesehatan berkelanjutan di RSJ Grhasia-DIY. Penyelenggaraan Family Gathering pada dasarnya untuk melakukan pendekatan pelayanan jiwa berbasis komunitas (masyarakat) di mana seluruh potensi yang ada di masyarakat dilibatkan secara aktif. Manfaat yang ingin dicapai oleh drg. Pembajun Setyaningastutie sebagai penggagas adalah 1) Didapatkannya kesepakatan bersama antara RSJ Grhasia dengan stakeholders dalam penyelenggaraan pelayanan berkelanjutan pasca perawatan pasien di Rumah Sakit; 2) Terwujudnya keluarga sadar jiwa secara mandiri dalam mengelola pasien atau orang dengan gangguan kesehatan jiwa; 3) Terbentuknya pelayanan kesehatan jiwa paripurna, mulai dari sistem rujukan pasien di tingkat Puskesmas, RSU tingkat Kabupaten/Kota, sampai RSJ Grhasia DIY. Strategi yang dilakukan untuk menjalankan program tersebut adalah 1) Menyusun kebijakan dan pedoman penyelenggaraan family gathering; 2) Menyelenggarakan pertemuan dalam rangka meningkatkan kerja sama dalam penyelenggaraan Family Gathering terpadu untuk menyusun kesepakatan bersama; 3) Menyusun draf Peraturan Gubernur tentang Tim Pembina/ Pengarah/Pelaksana Kesehatan Jiwa Terpadu Pemda DIY (TP-KJM) dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan jiwa masyarakat yang terpadu dan terintegrasi; 4) Memperbaiki pelayanan kesehatan jiwa paripurna, mulai dari sistem rujukan pasien di tingkat Puskesmas, RSU tingkat kabupaten/kota sampai RSJ Grhasia DIY; 5) Pembentukan jejaring pelayanan kesehatan jiwa dalam Self Help Group yang merupakan pemberdayaan masyarakat secara mandiri dalam penanganan masalah kesehatan jiwa; 6) Mensosialisasikan serta melaksanakan Peraturan Gubernur tentang Tim Pembina/ Pengarah/ Pelaksana Kesehatan Jiwa Terpadu Pemda DIY (TP-KJM) secara berjenjang. RSJ Grhasia memberikan perhatian lebih kepada pasien ODGJ melalui Program Family Gathering. Pengelolaan pasien ini membutuhkan dukungan dan keterlibatan keluarga. Program Family Gathering Terpadu yang telah dijalankan di
74
RSJ Grhasia berkembang menjadi Program Edukasi Keluarga. Program Family Gathering yang sudah dilakukan di RSJ Grhasia sejak tahun 2014. Sampai saat ini, kebijakan, pedoman, dan SOP penyelenggaraan Family Gathering secara terpadu telah berhasil disusun dan disahkan. Implementasinya sebagai berikut: a. Dalam pelaksanaan Family Gathering Terpadu sampai saat ini masih dilakukan dengan menggunakan/berdasar perangkat aturan yang telah ada tersebut. Guna memenuhi kebutuhan keluarga dan masyarakat, maka dilakukan penyempurnaan dan pengembangan dalam pelaksanaannya; b. Sistem rujukan balik telah dilakukan oleh RSJ Grhasia secara manual (dengan surat rujukan balik yang dikirimkan kepada sarana pelayanan kesehatan jejaring melalui keluarga) dan saat ini sedang dikembangkan surat rujukan balik tersebut dikirim melalui email agar lebih cepat mendapatkan tindak lanjut dari jejaring kerja RSJ Grhasia c. Pembentukan TP-KJM (Tim Pembina Kesehatan Jiwa Masyarakat) yang dikuatkan oleh Peraturan Gubernur sampai saat ini masih berproses dan merupakan kewenangan Dinas Kesehatan DIY sebagai pengampu kebijakan bidang kesehatan di wilayah DIY (RSJ Grhasia sudah mengusulkan kembali kepada Dinas Kesehatan DIY untuk kepentingan pembentukan TP-KJM) Program ini dapat berjalan dengan baik disebabkan oleh a) Adanya komitmen dari pihak eksekutif dan legislatif dalam pelayanan kesehatan Jiwa dan NAPZA di DIY; b) Adanya kebijaksanaan Kemenkes tentang Pemberdayaan Keluarga dalam pelayanan kesehatan jiwa; c) RSJ Grhasia memiliki instalasi Keswa dan instalasi rehab mental yang akan mendukung pelaksanaan kegiatan ini; d) SDM RSJ Grhasia yang terlatih dalam kegiatan family gathering; e) menjadi salah satu faktor dalam penilaian akreditasi RS versi terbaru dari KARS; f) Readmission patient sebagai indikator keberhasilan pelayanan kesehatan jiwa paripurna RSJ Grhasia. Kemanfaatan yang dirasakan melalui program tersebut adalah a) bertumbuhnya minat dan semangat bagi sarana pelayanan kesehatan dasar dan terdepan (puskesmas) sebagai lini terdepan untuk memberi pelayanan tahap awal bagi penderita gangguan jiwa dan keluarganya; b) bertumbuhnya minat Lembaga Swadaya Masyarakat (contoh LSM Karinakas) untuk mendukung program
75
kesehatan jiwa di masyarakat dengan membentuk Desa Siaga Sehat Jiwa yang juga telah diinisiasi oleh RSJ Grhasia pada tahun sebelumnya; c) pelaksanaan program Family Gathering Terpadu dinilai lebih efektif menggunakan model program edukasi keluarga, karena pertemuan tidak hanya 1 kali dan ada muatan transfer of knowledge yang lebih detail tentang bagaimana mendampingi ODGJ untuk meningkatkan kapasitas mental, pengetahuan, dan keterampilan keluarga ODGJ;
d)
Penyembuhan
kesehatan
jiwa
terbukti
lebih
cepat
dengan
pendampingan keluarga yang didapatkan dari program Family Gathering. Permasalahan yang dihadapi selama implementasi program ini adalah a) Masih perlu disosialisasikannya kebijakan dan pedoman di tingkat RS secara spesifik tentang kegiatan family gathering; b) Penyelenggaraan Family Gathering masih bersifat parsial; c) Kurangnya promosi pelayanan RSJ Grhasia kepada masyarakat dan stakeholder; d) Tingginya angka kekambuhan pasien (rellaps); e) Peran serta aktif keluarga dalam perawatan pasien di RS masih rendah; f) Belum optimalnya sistem rujukan pasien gangguan jiwa; g) Kurangnya komitmen stakeholders karena bukan menjadi indikator kinerja utama, sehingga anggaran sedikit; h) Keluarga pasien tidak bisa baca tulis Alternatif Solusi untuk mengatasi permasalahan saat implementasi adalah a) Menjalin MoU antar SKPD teknis; b) Pelibatan keluarga secara lebih aktif dalam penanganan gangguan jiwa karena keluarga adalah stakeholders utama penentu kesembuhan pasien. Program ini dapat berjalan dengan prasyarat replikasi sebagai berikut: a. Program ini dapat direkomendasi untuk diterapkan pada daerah yang langka, memiliki tenaga perawat dan tenaga medis kedokteran jiwa ataupun yang jauh jaraknya dengan RSJ b. Pemberdayaan keluarga dan masyarakat dalam penanganan kesehatan jiwa sangat dibutuhkan agar kondisi akut dan berat kelainan jiwa seseorang dapat diminimalisir c. Pemahaman dan keterlibatan keluarga dan masyarakat diawali dengan deteksi dini kesehatan jiwa seseorang, sehingga pengenalan dan penanganan kasus gangguan jiwa ringan bisa disosialisasikan dan dilatih dalam masyarakat dibantu oleh pemangku bidang kesehatan dan lintas sektor terkait
76
2. Membangun Produk Pertanian yang Berdaya Saing dan Berwawasan Lingkungan Guna Mendukung Kedaulatan Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Magelang oleh Ir. Wijayanti, M.Si. (Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Perkebunan dan Kehutanan Kab. Magelang) Pembangunan pertanian konvensional yang berorientasi pada percepatan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan produksi di Kabupaten Magelang telah mengakibatkan dampak negatif pada ketersediaan sumberdaya alam dan kualitas lingkungan. Meskipun saat ini Kabupaten Magelang masih surplus beras, tetapi gejala-gejala tersebut dapat dilihat dari penurunan produksi dari tahun ke tahun. Kurun waktu 2009 – 2011 Kabupaten Magelang memiliki surplus beras sebesar 23.232 ton, namun pada tahun 2013 terjadi penurunan menjadi 3.272 ton. Penurunan produksi tersebut diikuti dengan penurunan kualitas sebagai akibat dari penggunaan bahan-bahan kimia yang kurang bijaksana. Kecenderungan global yang telah mulai bergeser kepada produk yang ramah lingkungan dan aman dikonsumsi merupakan fakta yang harus disikapi secara arif dan bijaksana. Diagnosis oleh
yang
Dinas
Tanaman
dilakukan Pertanian Pangan
Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten ternyata
Magelang dijumpai
adanya
kesenjangan antara kondisi saat ini dengan kondisi yang diharapkan.
Area
permasalahan dalam mencapai tujuan organisasi antara lain : (1) Produksi pertanian di Kabupaten Magelang masih belum optimal; (2) tuntutan pasar terhadap produk pertanian yang berkualitas belum sepenuhnya dapat dipenuhi; (3) Masih luasnya lahan kritis di kabupaten Magelang; dan (4) Masih banyaknya alih fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian.Berdasarkan beberapa permasalahan tersebut diperlukan program kinerja untuk membangun produk pertanian yang aman dikonsumsi bermutu, berdaya saing dan berwawasan lingkungan guna mendukung kedaulatan pangan berkelanjutan. Perubahan
77
tersebut berupa arah dan kebijakan yang tepat dari Pemerintah Kabupaten Magelang di bidang pertanian yaitu: (1) Pengembangan agribisnis yang berdaya saing; (2) Peningkatan peran sumberdaya pertanian tanaman pangan, perkebunan dan kehutanan dalam menerapkan teknologi tepat guna yang berwawasan lingkungan; (3) Peningkatan mutu, produksi dan nilai tambah komersil; dan (4) peningkatan sarana prasarana pertanian. Dalam program ini diambil 8 (delapan) komoditas prioritas yaitu: Sayuran (Baby Buncis, Brokoli dan Wartel), Florikultura (Sedap Malam), Tanaman Buah (Salak), Tanaman Pangan (Padi), Tanaman obat (jahe), dan Tanaman Perkebunan (Kopi).Tujuan jangka panjang yang ingin dicapai dalam program ini adalah : a) Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani b)Terbukanya peluang usaha dan kerja khususnya bidang industrialisasi pengelolaan pasca penen c) Meningkatkan sinergitas program lintas sektoral, dan d) Mewujudkan kedaulatan pangan yang berkelanjutan di Kabupaten Magelang. Program ini sampai tanggal 1 Agustus 2015 dalam proses penyusunan dasar pijakan formal serta penyusunan draf kerangka program secara komprehensif dengan memperhatikan kecenderungan global. Sampai saat ini program yang digagas ini sudah telah menghasilkan capaian sebagai berikut: a. Dokumen Penggunaan Anggaran untuk melaksanakan Penyusunan Raperda tentang Membangun Produk Pertanian Berdaya Saing dan Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Magelang b. Draf
Kawasan
Pengembangan
Agribisnis
Pertanian
dan
Perkebunan
berdasarkan kesesuaian agroekosistem (Zona Agroekosistem/ZAE). c. Adanya sertifikasi organik ke Lembaga Sertifikasi Pangan Organik dalam Kawasan Pengembangan Tanaman Padi (Sawangan seluas 419 ha) dan hortikultura (Kecamatan Pakis seluas 5 ha), Kopi seluas 40 ha Kecamatan Grabag dan Jahe seluas 30 ha di Kecamatan Tempuran. d. Adanya registrasi kebun/lahan usaha ke Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Tengah. e. Adanya sertifikasi prima ke Otoritas Kompetensi Keamanan Daerah/OKKPD terhadap komoditas yang telah memiliki registrasi registrasi kebun/lahan usaha.
78
f. Adanya Indikasi Geografis Beras Mentik Wangi di dalam Kawasan Pengembangan Padi. g. Membangun packing house dan collecting house di Gapoktan Ngudi Luhur desa Kaliurang yang memenuhi persyaratan untuk dapat diajukan registrasi ke OKKPD. h. Membangun collecting house sedap malam dan collecting house cabe di borobudur cabe. i. Menyusun dokumen Standar Sanitasi Operasional prosedur/SSOP untuk persyaratan registrasi packing house/rumah kemas Salak Nglumut di desa Kaliurang Kecamatan Srumbung. j. Menyusun Detail Engineering Design/DED Agrimart dilengkapi dengan Out Let berpendingin dalam rangka memperkenalkan produk pertanian Kabupaten Magelang, sekaligus sebagai pusat informasi agribisnis Kabupaten Magelang. k. Perbaikan sarana prasarana irigasi untuk menjamin ketersediaan air yang berkualitas usaha tani Padi. l. Melengkapi pusat-pusat pengelolaan industri hilir dengan peralatan yang memadai dan berstandar organik. Faktor Kunci Keberhasilan implementasi program ini adalah karena adanya komitmen dari pimpinan (Bupati, Sekretaris Daerah dan DPRD). Selain itu ada juga komitmen para pihak/stakeholder baik dari internal maupun eksternal dalam mendukung program tersebut. Program ini telah terasa kemanfaatannya sampai kontribusi terhadap kemajuan kota. Kemanfaatan yang dapat dirasakan dari implementasi program ini adalah a) Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani; b) Mewujudkan kawasan pengembangan agribisnis pertanian dan perkebunan; c) Tersusunnya pedoman membangun produk pertanian yang berdaya saing dan berwawasan lingkungan guna mendukung kedaulatan pangan berkelanjutan; d) Sinergitas antara rencana strategis (RENSTRA) Dinas Pertanian Tanaman Pangan Perkebunan dan Kehutanan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kabupaten Magelang; e) Menekan pencemaran lingkungan yang diakibatkan penggunaan pupuk dan pestisida anorganik serta menjaga kesuburan tanah; f) Menumbuhkan kepariwisataan sektor pertanian tanaman pangan dan perkebunan; g) Memberikan kepastian hukum bagi
79
konsumen dengan adanya jaminan mutu produk pertanian tanaman pangan dan perkebunan; h) Memberikan kontribusi nyata bagi pencapaian Magelang Sehat 2015. Faktor penghambat keberhasilan program ini adalah a) adanya kesulitan dalam melakukan koordinasi karena melibatkan SKPD di luar Distanbunhut yang cukup besar; b) Jumlah SDM yang dirasa terbatas; c) adanya UU no. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sehingga anggaran belum dapat segera dipergunakan. Untuk mengatasi itu perlu dilakukan a) Koordinasi lebih intens dengan kepala SKPD lain yang terlibat dalam kegiatan ini; b) Menambah jumlah SDM pengelola; c) Percepatan pelaksanaan program dan penyelesaian administratif payung hukum yang belum ada. Program dapat berpeluang untuk di replikasi ke daerah lain dengan syarat adanya pangsa pasar untuk sistem perdagangan yang lebih besar, adanya koordinasi dari SKPD terkait beserta masyarakat Contohnya komoditas Salak di Kecamatan Srumbung. Pada kesempatan ini, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Perkebunan dan Kehutanan juga memberikan kesempatan kepada Tim dari LAN untuk melakukan kunjungan ke kawasan Salak di daerah Srumbung, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang. Disini kita melihat kompleks perkebunan salak nglumut, packaging house untuk salak Nglumut yang akan diekspor ke luar negeri. 3. Percepatan Pencapaian Cakupan Peserta Diklat Melalui Penyelenggaraan Diklat Model Mobile Training Di Pusdiklat Kementerian Dalam Negeri Regional Yogyakarta oleh Dr. Ir. H. Suroyo, M.Si. (Kepala Pusdiklat Kemendagri Regional Yogyakarta) Jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang menjadi bagian Aparatur Sipil Negara (ASN) sampai dengan Januari 2013 tercatat mencapai 4.467.982 orang. Aparat pemerintah desa bisa dilihat dari jumlah KepalaDesa atau nama lain saat ini sebanyak
79.075,
sedangkan
jumlah aparat pemerintah desa kurang lebih 632.600 orang. Kondisi ini tentu menjadi tantangan setiap lembaga diklat baik di tingkat pusat, regional,
provinsi
maupun
80
kabupaten dan kota. Ketersediaan sarana dan prasarana diklat (kelas, asrama dan lainnya) belum sebanding dengan kebutuhan untuk memenuhi hak setiap aparat dalam meningkatkan kompetensi. Demikian juga terkait dengan faktor jarak antara lokasi lembaga diklat dengan tempat tugas setiap aparat pemerintah yang berimplikasi pada besarnya biaya perjalanan dan lamanya waktu meninggalkan tugas. Diklat dengan model pelaksanaan selama ini, dimana peserta didatangkan ke lembaga diklat dan bersifat klasikal, atau konvensional akan segera dianggap kadaluwarsa karena
tidak akan mampu menjawab besarnya cakupan target
jumlah aparat sebagai peserta diklat. Biaya yang harus disediakan oleh negara baik dari APBN maupun APBD tentu menjadi sangat besar dan bisa mengganggu struktur pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Di samping itu, diklat manual tidak mampu memenuhi kebutuhan diklat ASN seluruh Indonesia karena terbatasnya tenaga pengajar (widyaiswara), biaya operasional dan kesediaan sarana prasarana yang memadai. Besarnya cakupan target dan bervariasinya kebutuhan kompetensi aparat, maka berdasar analisis pemilihan prioritas, diklat bagi aparat pemerintah desa merupakan prioritas pertama untuk dicarikan model pelaksanaan diklat yang lebih efisien dan efektif. Diklat model mobile training diyakini dapat menyelesaikan permasalahan tersebut. Diklat model mobile training pada prinsipnya adalah model jemput bola dimana penyelenggara diklat dan widyaiswara mendatangi target group, tempat penyelenggaraan diupayakan sedekat mungkin dengan tempat tugas peserta diklat, sarana prasarana memaksimalkan potensi yang ada di lokasi penyelenggaraan diklat, sedang sarana prasarana pembelajaran yang tidak tersedia dibawa dari instansi penyelenggara diklat. Diklat mobile training diselenggarakan menurut kebutuhan daerah yang diawali dengan proses MoU. Tujuan program ini adalah 1) Mempercepat terpenuhinya target cakupan diklat Aparat Sipil Negara yang sangat besar; 2) Meningkatnya efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan diklat. Dengan diklat model mobile training akan dicapai efisiensi biaya dalam jangka pendek tahun 2014 sebesar 200%, jangka menengah tahun 2015 sebesar 400% dan jangka panjang efisiensi 800%. Penyelenggaraan diklat model mobile training ini diharapkan dapat bermanfaat untuk 1) meningkatkan
81
kompetensi aparat sipil negara sebagaimana amanat undang-undang 2) mengatasi keterbatasan sumber daya diklat (biaya, waktu, sarana prasarana diklat). Stakeholders yang terlibat meliputi unsur widyaiswara, penyelenggara dan peserta. Secara lebih rinci, stakeholders internal yang terlibat terdiri dari Kabid Diklat Teknis Fungsional, Kabag Tata Usaha, Kasubag Administrasi dan Umum, Kasubag Keuangan, Kasubag Program, Kassubag Perpustakaan, Kasi Analisis Kurikulum dan Silabi Diklat Teknis Fungsional, Kasi Pelaksanaan Diklat Teknis Fungsional, Kasi Evaluasi Data dan Alumni Diklat Teknis Fungsional, Kasi Analisis Kurikulum dan Silabi Diklat Struktural, Kasi Pelaksanaan Diklat Struktural, Kasi Evaluasi Data dan Alumni Diklat Struktural, Staf Bidang Diklat Teknis Fungsional, Staf Bidang Diklat Struktural, Staf Bagian Tata Usaha. Sedangkan stakeholders eksternal terdiri dari Kepala Badan Diklat Kemendagri, Pengelola Aparatur Sipil Negara di daerah, Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa tingkat Kabupaten,
Asisten
Sekda
Bidang
Pemerintahan
Kabupaten,
Kabag
Pemerintahan Desa, Kapus Diklat Struktural dan Teknis Badan Diklat Kemendagri, Sekban Diklat Kemendagri, Direktur Pemerintahan Desa dan kelurahan, Camat, Aparat Pemerintahan Desa, Pengelola Diklat Tingkat Kabupaten, Perguruan Tinggi-UGM, Balai Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Yogyakarta. Diklat kepada aparatur desa sangat penting dan mendesak karena munculnya UU nomor 5 tahun 2014 tentang ASN dan UU Nomor 6 tahun 2014 tentang desa. Banyak aparatur desa yang tidak tahu cara melakukan pertanggungjawaban keuangan desa dan imbasnya mereka dapat dipidanakan karena ketidaktahuan mereka terkait penggunaan dana desa. Diklat mobile training pada dasarnya bertujuan untuk percepatan pencapaian target peserta diklat dan memperluas cakupan peserta diklat di beberapa daerah dengan adanya gugus kelompok. Metode diklat ini mengalami hambatan berupa belum terselesaikannya draf Peraturan terkait terselenggaranya diklat mobile training. Hambatan tersebut diakibatkan adanya perubahan nomenklatur di instansi Kemendagri. Perubahan nomenklatur yang terjadi yaitu pergantian dari Pusat diklat menjadi Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM). Pengembangan dari diklat mobile training adalah program warung diklat. Warung diklat adalah sebuah wadah
82
untuk menjaring kebutuhan diklat di setiap daerah dan menangani diklat khusus. Diklat khusus yang pernah dilakukan adalah diklat ajudan bupati dan penanganan lingkungan hidup. Capaian yang diperoleh dari implementasi program ini adalah a) Target peserta diklat mobile training tercapai yaitu aparat desa yang berfokus pada pengelolaan dana desa dan perencanaan desa; b) Lokus diklat mobile training yang sudah terlaksana adalah daerah Klaten, Pacitan, Kutai Kertanegara, Blora dan Timor Tengah Selatan; c) Tenaga pengajar yang menangani diklat masih berasal dari Pusdiklat Kemendagri dan rencana ke depan akan diadakan kelas khusus untuk para fasilitator yang akan mengajar pada daerah tujuan diklat. Faktor Kunci Keberhasilan implementasi program ini adalah a) adanya dukungan stakeholder internal dan eksternal; b) adanya komitmen pimpinan dan pemerintahan desa untuk terus maju; c) adanya kurikulum yang tepat guna dan tepat sasaran. Program ini telah dirasakan manfaatnya bagi peserta pelatihan seperti a) Meningkatnya kompetensi aparat sipil negara hal ini terlihat dari hasil post tes peserta maupun hasil evaluasi terkait dengan perubahan pengaturan Desa, baik UU 6/2014, PP 43/2014, PP 60/2014 maupun Permendagri dan Permendes; b) Mengatasi keterbatasan sumberdaya diklat (dengan menghemat konsumsi, biaya akomodasi, transportasi dan lainnya, penyelenggaraan diklat disesuaikan dengan domisili peserta, mempergunakan ruang kelas berbeda-beda, antara lain: kantor desa, gedung KUD, kecamatan dan gedung sekolah, waktu, sarana prasarana diklat). Faktor penghambat keberhasilan terlihat selama proses implementasi yaitu a) kurang kesiapan widyaiswara dan staf pelaksana untuk tinggal di desa; b) kurang adanya keterpaduan kerja internal; c) padatnya kegiatan di pusdiklat; d) keterbatasan informasi sebagai bahan penyempurnaan kurikulum silabi diklat; e) aturan perundangan desa dalam masa transisi; f) keterpaduan waktu dengan stakeholders; g) belum optimalnya sinergitas internal pusdiklat; h) koordinasi dengan pemerintah daerah dalam proses pelaksanaan mobile training; i) kesulitan memadukan kesepahaman antara pusdiklat dengan stakeholders daerah. Penghambat keberhasilan ini dapat diatasi dengan cara a) melakukan pembinaan
83
spiritualitas; b) melakukan penyadaran tupoksi aparat; c) meningkatkan motivasi untuk berprestasi; d) melakukan pengarahan pada setiap rapat; e) melakukan rescheduling jadwal penugasan pada widyaiswara dan staf pelaksana; f) mengembangkan alternatif-alternatif wawasan dalam materi pembelajaran; g) melakukan sinkronisasi rencana kegiatan melalui komunikasi personal secara intensif; h) melaksanakan pengawasan dan pengendalian secara intensif pada setiap tahap kerja melalui waskat dan sistemik;i) mendistribusikan tugas secara jelas; j) meningkatkan komunikasi; k) melakukan kajian bersama dengan stakeholders daerah tentang peran strategis diklat bagi aparat pemerintahan desa. Program ini pun dapat di lakukan replikasi ke penyelenggara diklat lain dengan prasyarat sebagai berikut a) adanya komitmen pemimpin lembaga diklat yang berorientasi pada tujuan diklat; b) komitmen user (pemerintah daerah) mendukung penuh proses penyelenggaraan diklat; c) penunjukan peserta diklat yang benarbenar membutuhkan peningkatan kompetensi. 4. Pengelolaan RSUD Wates dengan Konsep Tata Kelola Hijau Berdasarkan Kearifan Lokal Menuju Green Hospital oleh dr. Lies Indriyati, Sp.A (Direktur RSUD Wates) Adanya masyarakat bergaya hidup serba instan, emosional, suka keindahan dan kenyamanan serta mendambakan sentuhan perasaan, sehingga layanan Rumah Sakit harus dapat menjawab kebutuhan tersebut menjadi latar belakanng munculnya gagasan program ini. Kondisi ideal tersebut belum sepenuhnya dapat diwujudkan oleh RSUD Wates dimana masih terdapat beberapa masalah seperti jumlah kematian meningkat, indeks kepuasan mayarakat masih dibawah standard nasional, kedisiplinan dan kinerja pegawai belum merata dan pengembangan pelayanan spesialis / subspesialis terhambat. Solusi atas tuntutan kebutuhan pelayanan dari pelanggan rumah sakit dan permasalahan yang ada yaitu pergeseran ke arah pelayanan paripurna serta berbasis kenyamanan dan keamanan lingkungan rumah sakit. Cara yang dilakukan adalah dengan tata kelola hijau berbasis kearifan lokal, yakni konsep yang berwawasan lingkungan yang memadu serasikan secara komprehensif antara pernyataan pengelolaan sanitasi rumah sakit berdasarkan Permenkes 1204 tahun 2004 dengan konsep Green Hospital yang diharapkan akan meningkatkan mutu pelayan kesehatan rumah
84
sakit dari 3 (tiga) dimensi mutu secara komprehensif. Konsep Green Hospital dengan tata kelola hijau berbasis kearifan lokal dapat diwujudkn dengan kondisi : 1. Outdoor (Program Tamanisasi), 2. Indoor (Backdrop Pemandangan alam Objek Wisata yang ada di Kulon progo, Backsound Suara Alam, Instrumen Musik Tradisional dan Musik Klasik serta Aroma Terapi, Backdrop Budaya sadar kesehatan
sebagai
wahana
untuk
pendidikan
masyarakat).
3.
Budaya
(Membudayakan hand Higiene pada seluruh pegawai, pengunjung maupun pasien, Kawasan Tanpa Rokok, Hemat Energi dan Air, Peduli sampah), dan 4. Fisik bangunan (Bangunan berbasis Tata Kelola Hijau atau Green Hospital), Pengelolaan Limbah, Daur Ulang, Higiena dan Sanitasi, CSSD dan Loundry). Adapun milestone/tahapannya adalah meliputi tahap I (bulan April 2014) adalah instalasi sanitasi aktif, tahap 2 (bulan Juni 2014) adalah keluarnya Peraturan Bupati tentang Tata Kelola Hijau RSUD Wates, tahap 3 (bulan Juni 2014) adalah Pelaksanaan tata kelola Hijau Berbasis Kearifan lokal, tahap 4 (Akhir tahun 2014) adalah Masterplan RSUD Wates dengan Konsep TKH, tahap 5 (Tahun 2015) sudah dimulai pembangunan Gedung Medik Center dan bangsal dengan konsep Tata Kelola Hijau (TKH), dan tahap 6 (Tahun 2020) terwujudnya Green Hospital. Faktor keberhasilan untuk terwujudnya Green Hospital adalah beroperasional-nya instalasi sanitasi fokus dan mandiri, tersedianya Perbub tentang Tata Kelola Hijau RS berbasis kearifan lokal, sistem/Pedoman/Program Kerja Tata Kelola Hijau lokal Indoor, Sistem/Pedoman/Program
Kerja Tata
Kelola
Hijau Indoor, dan
Pelaksanaan masterplan melalui pembangunan pengembangan RSUD. Faktor penghambat yang dihadapi adalah kurangnya biaya dan kesadaran masyarakat terkait budaya. Hal ini dapat diatasi dengan menggalang dana dan perubahan anggaran. Capaian saat ini (dengan memperhatikan milestones jangka menengah dan jangka panjang, di bidang budaya, terkait dengan budaya hand hiegene, data pendukung berupa: (a) video lomba hand hiegene bagi seluruh hospitalia termasuk tukang parkir dan pedagang di lingkungan RSUD Wates, (b) Terkait Kawasan Tanpa Rokok sudah keluar peraturan Direktur, contoh komitmen berupa surat pernyataan, sudah terpasang poster, suara alam
(c) terkait dengan
bangunan fisik sudah mulai dibangun gedung medik center (pelaksanaan Master
85
Plan), pengelolaan limbah, hiegene dan sanitasi dengan MoU pengelolaan dengan pihak ketiga, dan SK pembentukan Kepala Instalasi CSSD dan Pembangunan gedung terpadu antara pelayanan gawat darurat, ruang operasi, ruang bersalin, ruang ICU, ruang intensive, dan juga ruang poliklinik. Sehingga master-plan direview kembali. Adapun manfaat program ini adalah 1) meningkatkan kepuasan pelanggan, 2) meningkatkan mutu pelayanan, 3) Manfaat bagi publik adalah memberikan rasa segar, nyaman dan keindahan bagi pelanggan, serta membantu kesembuhan pasien, 4) mendukung program pariwisata dengan promosi dalam backdrop ruang pelayanan, 5) mendukung slogan WHO : Healthy Hospital, Healthy Planet dan Healthy people. Persyaratan bagi pihak yang ingin mereplikasi adalah 1) Komitmen para pemangku kepentingan diantaranya : Pemerintah Daerah, DPRD, Direksi RSUD, civitas hospitalia RSUD Wates dan masyarakat/pelanggan, 2) Ketersediaan anggaran yang cukup, 3) Koordinasi dan komunikasi yang efektif. 5. Kebijakan Pendidikan dan Pelatihan Satu Pintu di Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah Istimewa Yogyakarta oleh Drs. Umar Priyono, M.Pd (Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi DIY) Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai institusi publik yang berada di bawah Pemerintah Daerah DIY pada tataran teoritis dan praktis berkewajiban untuk mengoperasionalkan nilai-nilai yang terkandung dalam keistimewaan Yogyakarta. Sejalan dengan hal itu, maka upaya untuk mewujudkan good governance yang mengarah pada world-class government yang dilandasi dengan semangat “Yogyakarta-Incorporated”, hakekatnya sama dengan semangat bersama membangun Yogyakarta sebagai revitalisasi etos kerja “saiyeg saeka kapti”. Memberikan pemahaman terhadap nilai-nilai tersebut bukan merupakan satu hal yang mudah dan sederhana. Menjadikan nilai-nilai kehidupan yang luhur tersebut dapat terpatri dan menjadi budaya dalam kehidupan sehari-hari setiap anggota masyarakat atau Pegawai Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta memerlukan pendekatan-pendekatan berbasis budaya.
86
Menyadari pentingnya upaya internalisasi nilai-nilai tersebut di kalangan pegawai di lingkungan Pemerintah Daerah DIY, maka Badan Diklat DIY memandang perlu menyelenggarakan kediklatan terutama yang teknis dan fungsional secara terintegrasi dalam standar yang lebih terstruktur melalui kebijakan satu pintu. Di sisi lain, pendekatan budaya dalam metode pembelajaran ini akan mendorong berkembangnya sikap dan perilaku yang berlandaskan budaya di kalangan aparatur pemerintah daerah. Sampai saat ini belum ada kebijakan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan secara terintegrasi sehingga penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan masih tersebar di beberapa SKPD. Dimana setiap SKPD dapat menyelenggarakan kegiatan diklat aparatur tanpa koordinasi dengan Bandiklat DIY sebagai lembaga yang memiliki tupoksi sebagai penyusun dan penyelenggara program diklat aparatur, akibatnya seringkali terjadi duplikasi program Diklat sehingga dapat berpengaruh pada inefesiensi program Diklat. Disamping itu karena SKPD pelaksana bukan institusi khusus yang melaksanakan kediklatan maka ada kekhawatiran output dan outcome kediklatan yang dilakukan tidak tepat sasaran. Tujuan gagasan perubahan dalam jangka panjang yang ingin dicapai: 1) penyelenggaraan diklat aparatur satu pintu; 2) pembangunan/pengadaan kebijakan database informasi kediklatan aparatur yang terintegrasi; dan 3) optimalisasi pemanfaatan/penggunaan database lulusan diklat aparatur DIY yang terintegrasi (dalam SIMPEG).Stakeholder yang terlibat dalam program ini baik secara langsung maupun tidak langsung dibagi menjadi : 1) Internal : Seluruh bidang dan sekretariat di Bandiklat DIY; dan 2) Eksternal : SKPD se Pemda DIY, Biro Hukum, Biro Organisasi, Bappeda, DPPKA, BKD dan tenaga ahli. Sampai saat ini kebijakan satu pintu sudah berjalan. Itu berarti program ini sudah mencapai target yang diharapkan. Bahkan APBD sudah menunjang dalam pelaksanaan diklat satu pintu, kecuali yang dianggarkan melalui APBN. Bimtek yang bersifat teknis masih bisa dilaksanakan oleh SKPD, tetapi begitu bentuknya diklat maka akan dilaksanakan oleh Badan Diklat. Selama ini memang Yogyakarta belum mempunyai Pergub atau SE mengenai diklat satu pintu ini, sebelum adanya perubahan ini memang belum diatur mengenai hal ini. Awalnya ketika diskusi dengan Sekda ada semacam keraguan, dimana diklat yang bermacam-macam
87
telah dilaksanakan sendiri oleh SKPD akan disatukan. Hal tersebut bisa dilakukan jika ada regulasinya. Februari 2015 Pergub terkait program ini selesai dan ditandatangani Gubernur saat seminar terakhir disertai berbagai pembuktian komitmen. Yang menarik sejak itu, TAPD melakukan follow up karena kalau tidak akan menjadi suatu temuan. Saat itu ada persoalan terkait capacity building aparaturnya, sehingga perlu disampaikan adanya model on off . Dukungan Pergub satu pintu dapat memungkinkan penggunaan anggaran secara akuntabel dengan peserta dari kab/kota, itu yang dinamakan diklat intrapreneur spirit, dimana sekarang sudah berjalan 3 angkatan. Diklat ini tidak hanya sekedar on off tetapi produknya bisa langsung dimanfaatkan Pemda dan difollow up dengan anggaran. Diklat ini tidak hanya sekedar mereplikasi model on off tetapi mencoba mengambil celah inisiatif baru. Diklat ini bisa dianggap suatu perubahan karena memang baru dan belum ada sebelumnya, intrapreneur yang dimaksud semacam entrepreneur tapi di sektor publik, karena tantangannya berbeda di company dan sektor publik. Komitmen pimpinan menjadi utama, ketika Gubernur mengeluarkan Pergub maka muncullah diklat baru yang mengadopsi kebijakan yang terdapat dalam Pergub tersebut. Peserta diklat intrapreneur ini merupakan pejabat eselon II dan III. Jenis inovasi menyangkut perubahan di proses dan metode, prosesnya adalah ketika menjadi one gate policy, sedangkan metodenya mencakup replikasi on off dengan spirit intrapreneur yang dilakukan. Faktor keberhasilan berjalannya gagasan pelatihan ini tidak terlepas dari peran pimpinan dan seluruh jajaran pemerintah daerah. Secara rinci keberhasilan ini didukung oleh a) adanya komitmen pimpinan untuk mensinergikan pembangunan termasuk pelaksanaan diklat; b) adanya SE Mendagri tentang Diklat Satu Pintu; c) adanya PerKaLAN tentang Pola Baru Diklatpim yang menjadi inspirasi; d) Dukungan TAPD terhadap Renstra Bandiklat Yang Tinggi; e) adanya perolehan ISO 9001; f) Terakreditasi Diklat dari LAN. Faktor Penghambat implementasi program ini adalah a) diklat masih ada yang dilaksanakan secara parsial di SKPD; b) belum ada kebijakan yang mengatur pelaksanaan diklat secara terintegrasi; c) masih terdapat ego sektoral; d) jumlah Widyaiswara relatif terbatas; d) sarana dan prasarana belum update dengan pola baru; e) pemahaman terhadap isu strategis
88
pengembangan SDM masih bervariasi. Manfaat yang diperoleh dari pelaksanaan program ini adalah a) meningkatnya jaminan kualitas lulusan diklat; b) mengembangkan kebijakan informasi penyelenggaraan diklat yang terintegrasi; c) optimalisasi pengembangan SDM Aparatur dengan tersedianya lulusan diklat secara terintegrasi; d) kontribusi bagi pengembangan SDM Aparatur di seluruh Indonesia
C. PROYEK PERUBAHAN WILAYAH JAWA TENGAH bservasi lapangan terhadap proyek perubahan wilayah Jawa Tengah
O
terdapat beberapa penguatan dari dokumen yang ada. Berdasarkan data sekunder, dilakukanlah validasi dan updating serta penggalian
informasi penting lain di wilayah validasi Jawa Tengah, dengan tujuan untuk memastikan bahwa gagasan perubahan yang disusun adalah benar adanya, telah dan masih dilaksanakan serta telah memiliki manfaat bagi lingkungan. Disamping itu, juga dalam rangka pembaruan data (updating) data terkait dengan pelaksanaan lanjutan (tahapan menengah/ panjang) tersebut baik menyangkut data manfaat bagi masyarakat muapun outcome yang telah dicapai dalam pelaksanaan proyek perubahan tersebut. Gagasan perubahan yang dikemas dalam proyek perubahan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Kebijakan Pengembangan Kelembagaan Jasa Keuangan Badan Kredit Kecamatan (BKK) menjadi Badan Perkreditan Rakyat (BPR) oleh Dadang Somantri, ATD. MT. Badan Kredit Kecamatan (BKK) merupakan lembaga yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan perekonomian dan pembangunan daerah melalui penyediaan pembiayaan bagi pengembangan Usaha Mikro dan Kecil (UMK), dengan harapan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. Gagasan perubahan ini dilatarbelakangi oleh kurang berkembangnya BKK karena status kelembagaannya yang masih berupa Lembaga Keuangan Mikro (LKM), dimana LKM belum diakui oleh Bank Indonesia dan belum diawasi oleh OJK karena bukan merupakan bank maupun koperasi, sehingga berdampak pada terbatasnya skala usaha yang dibiayai. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah-langkah reformasi baik dari aspek kelembagaan maupun SDM-nya, sehingga BKK dapat
89
berkembang lebih baik dan mampu berkontribusi dalam mewujudkan Visi dan Misi pemerintahan di bidang perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Inovasi perubahan status kelembagaan Bank Perkriditan Kecamatan (BKK) dari bentuk LKM menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dilakukan melalui strategi konsolidasi/merger terhadap 29 BKK yang ada di seluruh Kabupaten/Kota di Jawa Tengah untuk dibentuk menjadi Perusahaan Daerah (PD). Bank Perkriditan Rakyat (BPR) Bank Perkriditan Kecamatan (BKK). Proses awal yang dilakukan adalah dengan mendapatkan kesepakatan dari berbagai pihak terutama para pemangku kebijakan dan para pengurus BKK untuk pembentukan PD. BPR BKK ini. Kesepakatan awal tidak serta merta diperoleh, karena adanya resistensi dari pemegang saham di Kabupaten/Kota yang lembaga BKK-nya sudah sehat, merasa khawatir deviden yang diterimanya akan menurun setelah konsolidasi. Namun hal ini dapat teratasi melalui sosialisasi yang intensif dengan mengundang para pakar dari dewan direksi, pemegang saham, dan dewan pengawas sehingga didapatkan keyakinan bahwa setelah konsolidasi, dengan total aset yang akan dimerger sekitar 1,7 – 1,8 triliun, lembaga keuangan ini akan menjadi lebih kuat serta dapat memberikan supply bagi BKK yang kekurangan likuiditas untuk memberikan bantuan usaha mikro. Setelah kesepakatan dan dukungan penuh telah diperoleh, langkah selanjutnya adalah dibentuknya kepengurusan/dewan direksi melalui proses seleksi dari para pengurus BKK yang berkinerja baik. Dewan direksi ini bertugas mempersiapkan kelengkapan persyaratan perizinan usaha PD. BPR BKK ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sejalan dengan proses tersebut, dewan direksi juga mulai menyusun secara mandiri SOP mengenai pelayanan, SDM, dan produk demi mewujudkan lembaga keuangan yang profesional. Program ini sudah masuk menjadi bagian dari program revitalisasi BUMD di Jawa Tengah. Namun sebagai lembaga keuangan yang baru berdiri, hal pertama yang harus dibenahi adalah mengenai rasio kesehatan lembaga yang harus dijaga stabilitasnya. Pemerintah pun tidak menjadikan deviden yang tinggi sebagai tujuan utama, melainkan PD. BPR BKK dituntut untuk menaikkan persentase kredit produktif dibandingkan dengan kredit nonproduktif. Hal ini menunjukkan bahwa
90
pemerintah sangat concern terhadap pemberdayaan dan pengembangan UKM sebagai penopang perekonomian rakyat. Manfaat dari program ini dapat dirasakan langsung oleh masyarakat dengan beragamnya produk yang ditawarkan, dapat disesuaikan dengan kebutuhan serta dengan adanya rasa nyaman mempercayakan keuangannya dikelola PD. BPR BKK karena dijamin oleh LPS. Bagi manajemen PD. BPR BKK, program ini mendorong inovasi dan kreativitas untuk menyediakan produk yang lebih bervariasi sesuai selera pasar sehingga dapat meningkatkan jumlah transaksi. Selain itu juga dapat meningkatkan kapasitas dan kapabilitas kinerja karena diawasi oleh lembaga independen yang kompeten yakni OJK sehingga masyarakat akan mendapatkan pelayanan yang prima (efektif dan efisien). Adapun bagi pemerintah, dengan semakin banyaknya kredit produktif yang diberikan, maka dapat meningkatkan hasil usaha yang pada akhirnya akan dikembalikan lagi kepada masyarakat dalam bentuk pembangunan daerah. Faktor kunci yang mendukung keberhasilan program ini adalah: a) adanya dukungan dari para pemangku kebijakan, yang dalam hal ini adalah para Bupati/Walikota beserta para dewan direksi, pemegang saham serta dewan pengawas BKK, b) lahirnya aturan-aturan baru dari OJK yang mendukung percepatan proses penguatan kelembagaan PD. BPR BKK, c) adanya kesiapan dari para dewan direksi untuk tetap mendukung kemajuan PD. BPR BKK walaupun tidak terpilih menjadi dewan direksi setelah konsolidasi. Program ini sangat memungkinkan untuk direplikasi oleh pemerintah daerah lainnya, dengan prasyarat: a) adanya komitmen dari Kepala Daerah untuk memajukan perekonomian daerah melalui pemberdayaan usaha kecil dan menengah; b) lembaga keuangan yang akan dikonsolidasikan haruslah sejenis; c) adanya kesadaran dan pemahaman bahwa tantangan ekonomi ke depan harus disikapi sama, yakni dengan membentuk lembaga keuangan yang lebih kuat, dengan aset lebih besar, sehingga dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat akan persediaan pembiayaan untuk mencukupi modal pengembangan usahanya. 2. Relokasi Rumah Deret Kampung Keprabon dalam Rangka Penataan Bantaran Kali Pepe sebagai River Tourism Kota Surakarta oleh Ir. Ahyani, MA
91
Perkembangan dan kemajuan pembangunan perkotaan di Indonesia tidak bisa terlepas dari tumbuhnya kawasan-kawasan kumuh, dimana perkembangan kawasan tersebut seiring dengan keberhasilan penataan kawasan protokol di pusat kota. Kawasan kumuh di Kota Surakarta juga menampilkan gambaran serupa, seakan-akan menjadi halaman belakang dari wajah suatu kota, biasanya menempati lahan-lahan pinggiran menempel pusat-pusat jasa/perdagangan, seperti bantaran sungai, tanah-tanah negara dan diatas saluran/pedestarian. Keberadaaannya sangat mengganggu lingkungan kapasitas infrastruktur kota. Dampak ikutannya adalah semakin melebarnya kesenjangan sosial antara masyarakat mapan dengan masyarakat pinggiran di kawasan tersebut. Hal ini akan mengakibatkan tumbuhnya kota yang terbelah dan rawan krisis sosial. Salah satu slum area di kota Surakarta adalah di bantaran Kali Pepe yang melewati kawasan tengah kota sebelum mengalir ke Bengawan Solo. Kondisi Kali Pepe yang merupakan salah satu fasilitas infrastruktur pengendali banjir kota sangat memprihatinkan karena tidak berfungsi secara optimal. Sungai dan bantaran Kali Pepe belum mampu mendukung perannya sebagai salah satu penyangga kualitas lingkungan dan penyediaan ruang publik. Kompleksitas permasalahan dalam penataan bantaran Kali Pepe ini menuntut adanya langkahlangkah strategis, tidak hanya mengedepankan prosedur yang normatif. Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan kawasan kumuh di bantaran Kali Pepe, maka digagaslah program relokasi warga dan penataan bantaran Kali Pepe. Program ini diawali dengan proses pendekatan dan sosialisasi yang dilakukan secara langsung dan intensif kepada warga yang akan direlokasi sehingga mereka memiliki pemahaman yang sama mengenai maksud dan tujuan pelaksanaan program ini. Dalam sosialisasi ini, dilakukan pemetaan terhadap tingkat prioritas permasalahan yang terjadi di permukiman bantaran Kali Pepe baik dari aspek fisik,
92
sosial, dan ekonomi, serta pembahasan langkah-langkah yang dilakukan bersama warga untuk mempercepat proses penataan. Dari proses ini dihasilkan alternatif yang diharapkan warga yakni dengan dibangunnya Rusunawa sebagai tempat relokasi. Proses selanjutnya adalah dilakukannya pemetaan data penduduk secara faktual dan akurat oleh warga sendiri serta penggalian usulan warga mengenai konsep Rusunawa yang akan dibangun. Antusiasme warga dalam memberikan aspirasi menghasilkan konsep Rusunawa dengan penataan yang komprehensif, mengintegrasikan aspek tempat tinggal (rumah deret), lahan usaha, penataan ruang publik dan infrastruktur lingkungan. Dengan demikian, pemenuhan kebutuhan sosial dapat diakomodasi dan diberdayakan potensinya untuk memperkuat kepentingan pengembalian fungsi (revitalisasi) bantaran Kali Pepe sebagai infrastruktur pengendali banjir, selain dapat pula dimanfaatkan untuk memperkuat peran yang lainnya, seperti peningkatan kualitas lingkungan. Rusunawa sebagai tempat relokasi yang diberi nama Griya 3WMP Keprabon ini sudah diresmikan pada tanggal 26 Juli 2015 oleh Walikota Surakarta. Warga yang sebelumnya tinggal di permukiman kumuh bantaran Kali Pepe juga sudah menempati rumah deret dan lahan usaha yang tersedia disana. Dengan demikian, tujuan dari tahapan awal program ini sudah tercapai. Untuk selanjutnya, lahan yang sudah ditinggalkan oleh warga akan dibenahi dan diberdayakan sebagai ruang publik yang berbasis sungai. Pemanfaatan ruang publik berbasis sungai ini diharapkan bisa menjadi pembangkit tumbuhnya ekonomi kreatif sebagai bagian dari upaya pemberdayaan masyarakat bantaran dimana pemerintah akan terus mengawal dan melakukan pendampingan pemberdayaan masyarakat ini agar berjalan berkesinambungan sesuai bussiness plan yang dirancang sendiri oleh masyarakat. Keberhasilan program ini tidak terlepas dari beberapa faktor kunci yang dilakukan, yakni sebagai berikut; a) adanya komunikasi yang terbangun secara intensif dengan warga, dimulai dari sosialisasi sampai dengan kegiatan pemberdayaan masyarakat setelah penataan fisik selesai dilaksanakan; b) adanya persetujuan/ penetapan lahan hak pakai pemerintah dan tanah negara sebagai bahan relokasi; c) proses-proses koordinasi dan sosialisasi yang melibatkan stakeholders berjalan
93
dengan baik; d) tersedianya dukungan anggaran yang memadai untuk kegiatan pembangunan Rusunawa dalam rangka penataan bantaran Kali Pepe. 3. Rumah Pintar Petani mendukung Kedaulatan Pangan oleh Ir. Suryo Banendro, MP. Produktivitas tanaman pangan di Jawa Tengah menunjukkan adanya pelandaian
bahkan
berkecenderungan
menurun.
Petani sebagai pelaku utama usaha tani dalam kondisi yang lemah baik penguasaan
teknologi
budidaya
dan posisi tawarnya. Adanya permasalahan manajemen pertanian dari hulu kehilir menjadi penyebabnya, seperti (1) Menurunnya produktivitas tanaman pangan di Jawa Tengah, (2) Kurang terintegrasinya pelaksanaan program kegiatan antara Bidang-Bidang dan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD), dan (3) Kurang memadainya dukungan sarana prasarana dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang kompeten. Rumah Pintar Petani adalah suatu wadah yang berfungsi sebagai one stop service bagi petani dalam memenuhi semua kebutuhan petani terkait kegiatan budidaya, diantaranya permodalan, sarana produksi, informasi teknologi, kebutuhan akan pengairan, jasa alat mesin, prosesing dan pemasaran, disamping itu rumah pintar juga sebagai tempat musyawarah bagi petani dan stake holder nya. Penggagasan Rumah Pintar Petani ini bertujuan untuk meningkatkan produksi
tanaman
komprehensif
pangan
dalam
satu
yang wadah
berkualitas pengelolaan
melalui yang
penanganan terpadu,
yang
sehingga
memberikan efisiensi dan manfaat bagi banyak pihak. Rumah Pintar Petani ini telah dilandasi dengan diterbitkannya Surat Keputusan Gubernur tentang Rumah Pintar Petani. Manfaat yang diharapkan saat gagasan ini akan dilaksanakan adalah 1) Meningkatnya produksi tanaman pangan; 2) Terjaminnya pasokan dan ketersediaan pangan bagi BKP dan BULOG; 3) Meningkatnya sumber pendapatan usahatani bagi petani. Strategi pelaksanaan program rumah pintar dilaksanakan dengan cara 1) Mencari dukungan pimpinan daerah dengan cara meyakinkan bahwa program ini akan sangat bermanfaat; 2) menjalin kerja sama dengan dinas
94
peternakan, ketahanan pangan (limbah ternak), Bakorluh, serta kolaborasi dengan swasta untuk penyuluhan serta mensubsidi benih, pupuk dan peralatan pertanian; 3) Menerapkan konsep pertanian modern yakni menggunakan mesin panen dan tanam; 4) Menyediakan lahan 100 hektar untuk ujicoba penanaman. Capaian awal pelaksanaan Rumah Pintar Petani (RPP) di dua lokasi, yaitu Kelompok tani (KT) Sejahtera, Desa Kesuben, Kecamatan Lebaksiu, Kabupaten Tegal dan KT Amanah Desa Kluwan, Kecamatan Penawangan, Kabupaten Grobogan. Saat ini kegiatan RPP telah direplikasi ke 6 (enam) kabupaten pada 2 komoditas, yaitu 1) Komoditas Padi (KT Tani Manunggal, Desa Babadan, Kec. Karangdowo, Klaten; KT Dewi Sri, Desa Cimanggu, Kec. Cimanggu, Cilacap; KT Sari Rejeki, Desa Pulosari, Kec. Kebakkramat, Karanganyar; KT Margo Mulyo, Desa Blimbing, Kec. Sambirejo, Sragen);
2) Komoditas Kedelai (KT Tani
Makmur, Desa Dadirejo, Kec. Margorejo, Pati; KT Mekar Tani, Desa Megulung lor, Kec. Pituruh, Purworejo). Capaian lainnya adalah 1) meningkatnya produktivitas antara 0,3 s/d 0,9 ton/ha sedangkan untuk komoditas Kedelai meningkat antara 0,1 s/d 0,15 ton/ha; 2) pemasaran hasil khususnya padi telah dilakukan MoU penjualan gabah (GKP) antara KT Margo Mulyo Sragen dengan PT Tiga Pilar; 3) mulai hidupnya kelembagaan petani yang ada, seperti: Koperasi Tani, Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA), Paguyuban Petani Pemakai Air (P3A); 4) bertumbuh dan menguatnya usaha peternakan, Pengembangan Agensia hayati oleh wanita Tani (KT Sari Rejeki), Penangkaran benih padi (KT Sari Rejeki), Penangkaran benih Kedelai ( KT Tani Makmur, Pati dan KT Mekartani, Purworijo. Manfaat program rumah pintar petani yang dapat dirasakan adalah 1) Meningkatnya produksi tanaman pangan (beras dari target 5,3 ton menjadi 10,6 ton, kedelai dari target 100 ribu ton menjadi 131 ton, Jagung dari target 3 juta ton menjadi 3,3 juta ton); 2) Meningkatnya sinergitas bagi kelembagaan petani (dikoordinasikan dengan dinas peternakan, dinas pertanian dengan badan koordinasi penyuluhan); 3) Meningkatnya sumber pendapatan usaha tani bagi petani (hasil lebih cepat mutu panen membaik, menggunakan pupuk limbah ternak); 4) Meningkatnya pengetahuan dan ketrampilan bagi petani (melalui penyuluhan dan penggunaan mesin tanam dan panen); 5) Terjaminnya pasokan dan ketersediaan pangan bagi BKP dan BULOG; 6) Termanfaatnya limbah
95
biomassa pertanian untuk pakan ternak bagi Dinakkeswan (sebagai bagan pupuk organik); 7) Efisiensi penggunaan air untuk budidaya bagi pengelolaan di Dinas PSDA; 8) Terjaganya lingkungan pertanian yang sehat, utamanya yang terkait dengan emisi gas rumah kaca (GRK) bagi Badan Lingkungan Hidup; 9) Penyuluhan semakin efektif bagi Sekretariat Bakorluh; 10) Meningkatnya penyerapan dana untuk modal usaha di lembaga keuangan. Tahapan pelaksanaan Program Rumah Pintar Petani adalah 1) membangun Tim Efektif untuk pengelolaan rumah pintar petani dengan kelompok tani; 2) penyusunan draf SK Gubernur tentang Rumah Pintar Petani; 3) sosialisasi Gerakan Rumah Pintar Petani; 4) penerapan RPP di Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Tegal; 5) sosialisasi SK Gubernur tentang Rumah Pintar Petani; 6) mereplikasikan kegiatan jangka pendek ke kabupaten lain, sehingga tiga tahun ke depan RPP sudah dilaksanakan di semua Kabupaten se Jawa Tengah; 7) menjadikan model Rumah Pintar Petani di Jawa Tengah sebagai model RPP di Indonesia dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan Nasional. Faktor kunci keberhasilan program Rumah Pintar Petani ini adalah 1) adanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani; 2) diterbitkannya Surat Keputusan Gubernur tentang Rumah Pintar Petani (RPP); 3) adanya komitmen pimpinan dan dukungan stakeholder untuk meningkatkan produksi dan kesejahteraan petani; 4) Adanya dukungan dari organisasi kelompok tani; Adanya bantuan benih dan mesin panen/tanam (traktor/combine machine); 5)
Adanya
pengelolaan
sistem
sewa
terhadap
mesin
panen/tanam
(traktor/combine machine) sehingga kelompok tani lebih peduli dan kreatif terhadap bantuan yang telah diberikan. sedangkan faktor penghambatnya adalah 1) Belum tersedianya anggaran secara khusus, sehingga pelaksanaan kegiatan kurang begitu lancar; 2) Proses pelaksanaan ujicoba Rumah Pintar Petani (RPP) kurang lancar ada yang terkendala Musim Tanam/ Ketersediaan air irigasi. Untuk mereplikasi program ini instansi pemerintah daerah dapat melakukan sebagai berikut 1) adanya dukungan pembiayaan dari pemerintah Pusat maupun Daerah mengingat telah diterbitkanya SK Gubernur Jateng Nomor 520/74 Tahun 2014, tentang Gerakan Rumah Pintar Petani dalam rangka mendukung
96
Kedaulatan Pangan; 2) Adanya komitmen pimpinan dan stakeholder dalam meningkatkan produksi dan kesejahteraan petani; 3) Adanya dukungan dari organisasi Kelompok Tani; 4) pemerintah menempatkan diri sebagai fasilitator sehingga kelompok tani dapat kebih kreatif dalam mengelola RPP. 4. Optimalisasi Kuantitas dan Kualitas Pelayanan Keluarga Berencana Melalui Pengaturan Akses Serta Penyelenggaraan Pelayanan dan Pembiayaan Keluarga Berencana Metode Operasi Pria (MOP) dan Metode Operasi Wanita (MOW) Era Jaminan Kesehatan Nasional oleh Dra. Gati Setiti, M.Hum. Program KB Indonesia di era Jaminan Kesehatan Nasional mempunyai sasaran untuk melaksanakan BPJS Kesehatan dengan indikator peningkatan persentase penduduk yang memiliki jaminan kesehatan mengikuti layanan KB. Harapan akan meningkatnya jumlah penduduk yang mengikuti layanan KB belum berkorelasi positif dengan pelayanan yang diberikan di daerah. Di Kota Salatiga sampai Tahun 2013 kondisi pelayanan KB menunjukkan hasil yang belum maksimal, hal ini terlihat dari: 1) belum optimalnya dampak pembinaan akseptor dan advokasi KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi) terhadap capaian program KB, dan 2) capaian angka peserta KB aktif (angka Contraceptive Prevalence Rate (CPR)) dan jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) belum terlayani KB (Unmet Need) yang belum memuaskan. Dari kondisi tersebut, penyebab masalah utama adalah CPR yang tidak optimal serta Total Fertility Rate (TFR) dan Unmet Need yang masih tinggi, hal ini dikarenakan: a) belum adanya pengaturan akses pelayanan dan pembiayaan KB MOP dan MOW, b) kurangnya dukungan pendanaan di lapangan, c) terbatasnya penyuluh KB, dan d) pemakaian metode kontrasepsi jangka panjang masih rendah. Untuk mewujudkan sasaran yang akan dicapai dalam rangka mewujudkan Penduduk Tumbuh Seimbang Tahun 2015 yang ditandai dengan Angka Fertilitas Total/Total Fertility Rate (TFR) sebanyak 2,1 dan Net Reproduction Rate (NRR) yaitu banyaknya anak perempuan yang dilahirkan oleh setiap perempuan dalam
97
masa reproduksinya sebanyak 1 di era JKN, maka diperlukan strategi dalam pelaksanaan program KB di Kota Salatiga. Strategi yang dapat ditempuh melalui pengaturan akses serta penyelenggaraan pelayanan dan pembiayaan Keluarga Berencana MOP dan MOW, yaitu dengan penerbitan Petunjuk Teknis Pengaturan Akses Pelayanan KB MOP dan MOW, terwujudnya Perjanjian Kerjasama Pelayanan KB MOP dan MOW dengan Fasilitas Pelayanan Kesehatan (RSUD Kota Salatiga dan RST dr. Asmir Kota Salatiga) serta penetapan Peraturan Walikota tentang Pelayanan KB di Kota Salatiga. Dengan berbagai langkah tersebut diharapkan dapat tercapai optimalisasi kuantitas dan kualitas pelayanan KB di Kota Salatiga seperti : meningkatnya capaian akseptor baru 10%, menurunnya Unmet Need menjadi 6%, menurunnya drop out akseptor KB sebanyak 10% dan menurunnya angka komplikasi dan kegagalan KB 10%. Tahapan jangka pendek yang dilalui dalam program ini adalah membentuk Petunjuk Teknis akses pelayanan dan pembiayaan KB MOP dan MOW, membuat Perjanjian Kerja Sama pelayanan KB dengan Fasilitas Pelayanan Kesehatan, serta melaksanakan sosialisasi pengaturan akses dan pembiayaan pelayanan KB di Kota Salatiga. Capaian program saat ini adalah sedang dilakukan penyusunan Peraturan Walikota Salatiga tentang Penyelenggaraan Pelayanan KB. Setelah Peraturan Walikota Salatiga tentang Penyelenggaraan Pelayanan KB selesai dan disahkan, langkah selanjutnya adalah melakukan sosialisasi peraturan tersebut kepada seluruh stakeholder terkait. Dalam jangka panjang diharapkan dapat terwujud optimalisasi kuantitas dan kualitas pelayanan KB di Kota Salatiga. Dalam pelaksanaannya, ditemui beberapa hambatan yakni: a) keterbatasan tenaga yang menguasai masalah teknis pembiayaan dan pelayanan; b) kurangnya perhatian dan konsistensi penentu kebijakan; c) tumpang tindihnya kewenangan dengan Dinas Kesehatan dan BPJS. Dalam menghadapi hambatan ini, alternatif solusi yang dipilih adalah koordinasi secara intensif dengan para stakeholder yang terlibat dalam program serta percepatan penyusunan Peraturan Walikota Salatiga tentang Penyelenggaraan Pelayanan KB agar penyelenggaraan program memiliki status hukum yang kuat.
98
Adapun yang menjadi faktor kunci dalam keberhasilan program ini adalah adanya komitmen dan konsistensi dukungan dari para penentu kebijakan serta kerja sama yang baik antar tim yang terlibat dalam pelaksanaan program. Program ini sangat mungkin untuk direplikasi dengan prasyarat sebagai berikut: a) adanya dukungan dan komitmen dari para penentu kebijakan; b) adanya komitmen pimpinan dan stakeholder dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas penyelenggaraan KB. 5. Inovasi
e-Government
untuk
Peningkatan
Kinerja
Penyelenggaraan
Pemerintahan oleh Dr. Sri Budi Santoso, M.Si. Perkembangan dan pemanfaatan e-government di lingkungan pemerintah saat ini dapat dapat dikatakan belum optimal dan tertinggal dari sektor bisnis, walaupun beberapa
inisiasi
bermunculan
di
sudah
beberapa
mulai instansi
pemerintahan baik di pusat maupun daerah. Tetapi inisiatif tersebut masih bersifat
sektoral
serta
belum
terintegrasi, sehingga belum dirasakan kemanfaatan
yang
peningkatan
kinerja,
optimal
bagi
peningkatan
kapasitas lembaga dan pelayanan publik.
Di
mengalami
Kota
Pekalongan
kondisi
juga
serupa,
permasalahan strategis yang dihadapi terkait pengembangan e-government yang belum terintegrasi dalam rangka penguatan good governance dan percepatan pembangunan daerah. Pilar-pilar pokok pengembangan e-government di Kota Pekalongan sebenarnya sudah memadai tetapi masih bersifat parsial, oleh karena itu sudah saatnya mengagendakan inovasi e-government pada tahapan yang lebih maju yaitu e-government untuk integrasi dan transformasi pemerintahan. Konteks inovasi yang dilakukan lebih mengarah pada pengembangan dan implementasi inovasi e-Government pada tahapan mewujudkan transform and integrated government, yaitu dalam bentuk aplikasi layanan internal (e-office/surat online) dan aplikasi layanan eksternal, dimana dalam satu sisi, untuk mewujudkan peningkatan kualitas pelayanan publik dan kinerja administrasi internal SKPD, dan
99
di sisi lain mewujudkan integrasi data dan proses bisnis manajemen penyelenggaraan
Pemda.
Perubahan
yang dilakukan antara lain
:
1)
Pengembangan dan implementasi layanan aplikasi (SIM) internal (Digital-MobileOnline Office),” berupa implementasi administrasi perkantoran digital-onlinemobile melalui aplikasi “surat online” atau inovasi “paperless-digital-mobile office. Perubahan yang dilakukan melalui aplikasi ini lebih mengarah agar administrasi pemerintahan berada dalam “genggaman” dan dapat diakses kapan dan dari mana saja, sehingga menjadi lebih efektif dan efisien; 2) Pengembangan dan implementasi layanan eksternal, yang dilakukan melalui: a) Aplikasi/SIM Layanan Informasi Kegiatan SKPD, untuk memberikan layanan informasi kepada masyarakat dan antar SKPD tentang agenda kegiatan organisasi; b) Aplikasi/SIM Layanan Informasi Eksekutif, yaitu aplikasi yang baru diciptakan sebagai layanan informasi strategis kepada masyarakat berbasis digital; c) Aplikasi/SIM Administrasi Kelurahan untuk pembuatan Surat Keterangan Kelurahan yang terintegrasi dengan database SIAK/e-KTP, dimana pelayanan permintaan surat keterangan warga tidak secara manual lagi karena menggunakan database SIAK/e-KTP di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Inovasi e-Government yang mengarah pada transform and integrated government juga mencakup 3 (tiga) level sasaran manajemen perubahan yaitu : perubahan dalam level strategi dan kebijakan, perubahan pada level manajemen dan operasional, dan perubahan pada budaya dan perilaku kerja aparatur pemerintah dan masyarakat. Secara garis besar, milestone dari program ini terbagi dalam 6 pentahapan utama, yakni: a) Perencanaan (Pematangan Rencana Aksi/ Agenda Inovasi); b) Pengembangan Komitmen dan Dukungan Implementasi; c) Assesment dan Penyiapan (instalasi) teknologi pendukung (network, hardware, aplikasi); d) Capacity Building; e) Implementasi dan pendampingan; f) Manajemen program. Adapun faktor-faktor yang menjadi kunci keberhasilan program ini adalah a) komitmen dan dukungan level strategis kebijakan pada level eksekutif dan legislatif, termasuk stakeholder yang terkait; b) Dukungan regulasi dan kebijakan sebagai perwujudan dari komitmen dan dukungan level strategik politik; c) Dukungan aspek manajerial-operasional dari pemimpin level menengah dan
100
pelaksana teknis, termasuk program capacity building; dan d) Dukungan sarana dan prasarana dalam penerapan teknologi e-government. Dalam pelaksanaan program ini juga terdapat beberapa hambatan yang terjadi, yakni : a) Kesulitan implementasi (operasional pemanfaatan aplikasi e-gov) pada level top manajemen atau manajemen puncak Pemerintah Kota Pekalongan; b) Kesulitan dalam operasional aplikasi oleh Kepala SKPD, terutama yang belum familiar dengan ICT; c) Kurangnya daya dukung teknologi yang digunakan, terutama dari aspek infrastruktur jaringan dan data center; d) Tingginya tuntutan layanan helpdesk, terutama pada masa-masa awal implementasi, baik dalam aspek aplikasi, infrastruktur maupun teknis operasional. Dalam menghadapi hambatan ini, beberapa alternatif solusi yang dilakukan antara lain : a) menjalin koordinasi secara intensif dengan para pemangku jabatan di lingkungan Pemerintah Kota Pekalongan; d) perbaikan yang berkesinambungan terhadap aspek sarana dan prasarana terutama yang berkaitan dengan infrastruktur teknologi; e) peningkatan kapasitas SDM IT dari seluruh stakeholder terkait melalui bimbingan teknis. Adapun manfaat yang diharapkan dari program ini adalah : a) Mendorong reformasi birokrasi dimana penerapan aplikasi Layanan Administrasi Kelurahan yang terintegrasi dengan database SIAK/e-KTP merupakan perbaikan area tata laksana, penerapan SIM Layanan Informasi Kegiatan SKPD maupun Sistem Informasi Eksekutif merupakan penguatan akuntabilitas kinerja, serta penerapan SIM Digital-Mobile-Online Government mendorong penataan tata laksana; b) Mendorong perbaikan kinerja SKPD dimana penerapan SIM Digital-Mobile-Online Government mempermudah akses dan komunikasi setiap pegawai, penerapan aplikasi paperless-mobile dan digital office mempermudah pencarian dokumen administrasi secara sistematis, serta penerapan aplikasi Layanan Administrasi Kelurahan yang terintegrasi dengan database SIAK/E-KTP meningkatkan kinerja kelurahan dalam melayani masyarakat; c) Layanan Informasi Kegiatan SKPD maupun Sistem Informasi Eksekutif dan Layanan Administrasi Kelurahan merupakan bentuk peningkatan kualitas pelayanan publik terutama menyangkut kecepatan, kemudahan akses dan keterbukaan informasi publik, dan d) Memberikan manfaat bagi stakeholder/masyarakat dimana SIM Layanan
101
Informasi Kegiatan mempermudah akses bagi publik untuk mengetahui dan memudahkan interaksi dengan SKPD serta Sistem Informasi Eksekutif memberikan manfaat bagi stakeholder untuk memantau dan mencari informasi strategis mengenai kondisi dan kinerja Pemerintah Kota Pekalongan. D. PROYEK PERUBAHAN WILAYAH JAWA TIMUR
O
bservasi lapangan terhadap proyek perubahan wilayah Jawa Timur terdapat beberapa penguatan dari dokumen yang ada. Berdasarkan data sekunder, dilakukanlah validasi dan updating serta penggalian
informasi penting lain di wilayah validasi Jawa Timur, dengan tujuan untuk memastikan bahwa gagasan perubahan yang disusun adalah benar adanya, telah dan masih dilaksanakan serta telah memiliki manfaat bagi lingkungan. Disamping itu, juga dalam rangka pembaruan data (updating) data terkait dengan pelaksanaan lanjutan (tahapan menengah/ panjang) tersebut baik menyangkut data manfaat bagi masyarakat maupun outcome yang telah dicapai dalam pelaksanaan proyek perubahan tersebut. Gagasan perubahan yang dikemas dalam proyek perubahan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Peningkatan Fungsi Dan Peran Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Dalam Mencegah Munculnya Gangguan Keamanan oleh Hardi Utoyo (Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Pasuruan) Keberadaan
FKDM pada
kenyataannya
masih
belum berjalan
dengan
semestinya. Di lain sisi, FKDM merupakan merupakan salah satu sarana yang berfungsi
untuk
dapat
menjaring,
menampung,
mengkoordinasikan
dan
mengkomunikasikan data dan informasi dari masyarakat mengenai potensi ancaman/gangguan stabilitas wilayah. Sebagai upaya untuk mengoptimalisasi peranan FKDM, maka diperlukan realisasi kantor sekretariat FKDM sebaqai pusat pengaduan masyarakat untuk lebih mengenalkan dan mendekatkan diri kepada masyarakat
setempat,
revisi
Peraturan
Walikota
Nomor
188/292/423.012/2007
tentang prosedur
Pasuruan
FKDM,
penyusunan
dan
mekanisme
pelaporan dan sosialisasi tentang
102
FKDM. Fungsi FKDM sendiri adalah sebagai pendukung kinerja kepolisian dalam menjaga stabilitas keamanan di Kota Pasuruan. Tujuan program optimalisasi FKDM adalah untuk 1) Merevisi Peraturan Walikota tentang Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM); 2) Menyusun mekanisme dan prosedur pelaporan bagi masyarakat; 3) Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia Anggota Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat melalui pembinaan secara berkelanjutan; 4) Menyiapkan rencana ruang Sekretariat Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM). Strategi yang ditempuh untuk melaksanakan program optimalisasi fungsi FKDM adalah 1) Pemberian reward bagi anggota FKDM yang berprestasi dalam melaksanakan tugasnya; 2) Menjalin komunikasi yang efektif bagi stakeholder internal dan eksternal; 3) Menyediakan dana yang memadai untuk kegiatan operasional FKDM. Keberlanjutan Program sudah dapat dijamin karena program FKDM sampai saat ini sudah terbentuk tim hingga tingkat kelurahan, yang pada rencana awal hanya sampai pada tingkat kecamatan. Penanganan informasi dalam forum FKDM dapat diselesaikan dalam 1 hari dan diteruskan pada instansi berwenang. Upaya sosialisasi juga terus dilakukan dengan mengadakan Forum Senin. Forum Senin adalah Forum sosialisasi kepada masyarakat yang diadakan di kantor kecamatan setempat pada hari Senin. Tim dukungan dari FKDM itu sendiri adalah Masyarakat, Bakesbangpol, Kepolisian, Kodim, Kejaksaan, dan Yonsipur. FKDM pada tahun depan menyediakan kotak pengaduan di kantor Bakesbangpol yang sekaligus sebagai kantor sekretariat Bakesbangol. Kotak pengaduan adalah sebagai salah satu instrumen pendukung untuk menampung keluhan stakeholder. Melalui program ini telah tercapai beberapa target yang ditentukan seperti a) sudah terbentuknya tim teknis sampai tingkat kelurahan; b) draf revisi pereaturan walikota Pasuruan; c) SOP praktis tentang pelaksanaan teknis forum; d) Peningkatan laporan dari masyarakat terkait gangguan keamanan di daerah Kota Pasuruan; e) adanya reward bagi anggota sebesar 150 ribu rupiah; f) pengembangan isu sampai pada isu terkait ISIS, Islam Nusantara dan budaya laten PKI. Faktor kunci keberhasilan program ini adalah a) adanya Peraturan yang mendukung pelaksanaan Optimalisasi peran FKDM; b) adanya mekanisme dan
103
prosedur yang jelas mengenai tata laksana FKDM; c) adanya sosialisasi tentang peranan FKDM kepada stakeholder terkait; d) adanya anggaran memadai untuk operasionalisasi program. Kemanfaatan program selama pengimplementasian sudah terasa manfaatnya bagi masyarakat. Kemanfaatan yang dirasakan itu seperti a) adanya peningkatan peran stakeholder dalam peningkatan fungsi dan peran FKDM; b) adanya peningkatan kerjasama anggota FKDM dalam melaksanakan pengadministrasian kegiatan dan pencapaian hasil secara efektif dan efisien; c) mengangkat citra Bakesbangpol sebagai salah satu institusi yang mampu mendukung terciptanya stabilitas keamanan; d) masyarakat dapat lebih mengenal Bakesbangpol melalui forum FKDM. Program ini tidak luput dari hambatan yang dapat mengurangi kemanfaatannya seperti a) besarnya kebutuhan dana operasional program peningkatan peran FKDM; b) rendahnya respon masyarakat terhadap keberadaan FKDM; c) adanya anggapan dari Pemkot Pasuruan bahwa stablitas merupakan urusan yang dinomorduakan; d) tidak terjalinnya komunikasi dua arah antara Bakesbangpol Kota Pasuruan dan masyarakat setempat; f) masyarakat masih takut dan malu untuk melaporkan tindakan mencurigakan yang terjadi di sekitar mereka. Untuk menyelesaikan permasalahan itu dilakukan solusi seperti a) sosialisasi secara berkelanjutan kepada stakeholder terkait bahwa keberadaan FKDM sangat penting di masyarakat; b) mengajukan tambahan dana kepada pemerintah dan DPRD terkait operasionalisasi FKDM; d) menanamkan keyakinan bahwa masyarakat juga bagian penting dari upaya stabilitas keamanan kota Pasuruan Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) dapat direplikasi dengan prasyarat sebagai
berikut
a)
adanya
ketersediaan
dana
yang
memadai
untuk
keberlangsungan FKDM; b) dukungan dari masyarakat bahwa masyarakat harus berpartisipasi aktif dalam forum FKDM; c) sosialisasi tentang peranan FKDM kepada stakeholder. 2. Percepatan Penurunan Angka Kematian Ibu dan Bayi dengan Metode Kolaborasi Program Contra War (Contraceptive For Women At Risk) dan Sutera Emas (Surveilans Epidemiologi Terpadu Berbasis Masyarakat) di
104
Kabupaten Malang oleh Hadi Puspita (Badan Keluarga Berencana Kabupaten Malang) Penerapan Sutera Emas untuk KB berawal dari tingginya angka kematian ibu pada 2013 yang mencapai 39 kasus. Kolaborasi program contra war dan sutera emas dilatar-belakangi oleh tingginya Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi (AKI dan AKB) di Kabupaten Malang. Di samping itu, program-program reguler di bidang keluarga berencana belum berdaya ungkit secara maksimal terhadap AKI dan AKB. Selama ini, kematian ibu di Kabupaten Malang sebanyak 80 persen disebabkan penyakit bawaan sebelum hamil yang harus dicegah seperti TBC dan jantung. Untuk itu, masyarakat harus mau mendeteksi kasus di sekitarnya dan melaporkan secepat mungkin kepada tenaga kesehatan. Kunci keberhasilan sistem adalah sukses menggerakkan kader. Perhatian terhadap kader berbentuk nonmateri merupakan kunci utama. Perhatian nonmateri penting karena perhatian berbentuk materi hanya berupa insentif Rp 10.000 per bulan untuk kader KB. Uang itu akan diputar untuk arisan kader. Setiap bulan, ada acara temu kader
sebagai
pengalaman
ajang
dan
berbagi
penyegaran
kemampuan kader. Saat itulah Hadi hadir untuk mendekatkan diri dengan kader dan membagi ilmu kesehatan. Menurut Hadi, kader ingin disapa, diperhatikan, dan mendapatkan penyegaran pengetahuan. Ambulans desa disiapkan dengan menggilir kendaraan milik warga, yang bisa siap setiap hari selama seminggu. Tenaga kesehatan desa pun diwajibkan berkunjung ke rumah pasien yang tidak mampu menjangkau layanan kesehatan. Semua puskesmas beroperasi 24 jam. Strategi untuk pelaksanaan program tersebut adalah a) Pengoptimalan tenaga program keluarga berencana, b) Perencanaan Program Keluarga Berencana, c) Menentukan metode pelaksanaan yang tepat untuk pelaksanaan Program Keluarga Berencana, dan d) Memperbaiki sarana dan prasarana program keluarga berencana. Adapun manfaat yang ingin dicapai pada saat program
105
tersebut digagas adalah a) Meningkatkan kinerja Badan Keluarga Berencana sesuai visi dan misi Pemerintah Kabupaten Malang, b) Memudahkan petugas untuk dapat mengetahui sasaran Unmet Need by name, by address dan by case, c) Meningkatkan pemahaman petugas bahwa peningkatan cakupan akseptor KB baru seharusnya berbanding lurus dengan penurunan AKI dan AKB, d) Mengurangi mindset ego sektoral dan ego program, e) Merangsang semangat petugas untuk bekerja lebih inovatif dan lebih bertanggung jawab, f) Memudahkan petugas dalam melakukan pendampingan terhadap akseptor KB dari kelompok Unmet Need dalam melaksanakan kehamilan terencana, g) Meningkatkan kerjasama lintas program dan lintas sektoral, h) Meningkatkan kualitas pelayanan keluarga berencana bagi masyarakat, i) Data wanita usia subur dari pasangan usia subur yang butuh ber KB tetapi belum terlayani yang sedang menderita penyakit menular, penyakit tidak menular, penyakit bawaan serta mempunyai riwayat faktor risiko tinggi kebidanan pada kehamilan sebelumnya, dapat diperoleh secara otomatis dari server Sutera Emas Dinas Kesehatan, j) Data diperoleh dari kegiatan surveilans yang berlangsung secara terus menerus 24 jam non stop serta pelaporannya berlangsung realtime (setiap saat), k) Sasaran baru program kesehatan by name, by address bermanfaat untuk update data akseptor aktif dan unmetneed,
l)
Adanya
guidance
yang
mempermudah
penemuan
dan
penatalaksanaan Wanita Usia Subur yang berisiko tinggi, m) Meminimalisir kemungkinan terjadinya under dan double recording dalam pelaporan data Wanita Usia Subur berisiko tinggi, n) Update data peserta KB Aktif dan unmetneed sangat mudah dan cepat dilakukan karena sudah tersedia guidance (pedoman) yang merupakan output data dari program Sutera Emas, o) Jumlah calon akseptor baru dari kelompok WUS Risti (Unmetneed) yang menjalani penapisan reproduksi tidak terbatas karena data-data tersebut diekspor secara otomatis oleh server Sutera Emas ke server Contra War, p) Data by name by address WUS Risti dari server Contra War akan terkirim secara otomatis ke nomor-nomor HP PPLKB, q) Terjadinya peningkatan cakupan Akseptor KB baru dari kelompok Wanita Usia Subur (Unmet Need) berisiko tinggi melalui proses penapisan reproduksi terhadap Wanita Usia Subur yang sedang menderita suatu penykit (menular, tidak menular atau bawaan) dan mempunyai faktor-faktor risiko terhadap kehamilan, serta
106
pernah mempunyai riwayat kehamilan berisiko tinggi sebelumnya, yang dapat membahayakan
proses
kehamilan
dan
persalinan
selanjutnya,
dengan
penggunaan kontrasepsi yang tepat selama masa penyembuhan penyakitnya sesuai rekomendasi dokter puskesmas dan dokter spesialis, r) Terjadinya peningkatan pelayanan kesehatan bagi akseptor KB baru dari kelompok Wanita Usia Subur berisiko tinggi (Unmet Need), s) Mempercepat rencana aksi Pemerintah Kabupaten Malang dalam pencapaian tujuan MDG’s Milestone/tahapannya meliputi tahap I, a) Terbitnya SK Bupati tentang Tim Contra War Badan Keluarga Berencana Kabupaten Malang, b) Tersusunnya Buku Panduan Program Contra War, c) Tersusunnya Buku Panduan Kolaborasi Program Contra War dan Sutera Emas, d) Tersusunnya Buku Pedoman Teknis Kolaborasi Program Contra War dan Sutera Emas Bagi Tim Medis Rumah Sakit dan Dokter, e) Tersusunnya Buku Pedoman Teknis Kolaborasi Program Contra War dan Sutera Emas Bagi Bidan, PPLKB, PKB dan PLKB, f) Tersusunnya Buku Pedoman Teknis Kolaborasi Program Contra War dan Sutera Emas Bagi Kader Keluarga Berencana, g) Terlaksananya sosialisasi bagi anggota Tim Kolaborasi Program Contra War – Sutera Emas dan Pengurus PKK Kabupaten, h) Terlaksananya
sosialisasi
bagi
Kepala
Puskesmas,
Paramedis
RSUD
Kanjuruhan, PKB, PPLKB / PLB, Bidan Desa dan kader KB, i) Terlaksananya bimbingan teknis bagi Kepala Puskesmas, Paramedis RSUD Kanjuruhan, PPLKB, PLKB, Bidan Desa dan Kader KB, j) Terbangunnya sistem aplikasi Contra War, k) Pelaksanaan uji coba kolaborasi program Contra War dan Sutera Emas di Kecamatan Kepanjen, l) Penurunan Angka Kematian Ibu menjadi <70 / 100.000 Kelahiran Hidup pada akhir 2014, m) Penurunan kasus kematian ibu menjadi 75% pada akhir tahun 2014, n) Angka Kematian bayi baru lahir dapat dipertahankan sebesar 4/1.000 kelahiran hidup pada akhir tahun 2014, o) Penurunan angka kebutuhan ber-KB yang tidak terpenuhi (unmet Need) menjadi 9% pada akhir 2014. Tahap 2 meliputi, a) Terlaksananya kesiapan sumber daya kolaborasi program Contra War – Sutera Emas di Badan Keluarga Berencana, RSUD Kanjuruhan, RSUD Lawang dan Dinas Kesehatan Kabupaten Malang, b) Diusulkannya anggaran pengembangan Kolaborasi Program Contra War – Sutera Emas, c)
107
Terlaksananya monitoring, evaluasi dan penyempurnaan Kolaborasi Program Contra war – Sutera Emas pada periode jangka menengah secara periodik, d) Terlaksananya pelaporan perkembangan Kolaborasi Program Contra War – Sutera Emas kepada sponsor program (Sekretaris Daerah) dan Bupati secara periodik, e) Penurunan angka kebutuhan ber KB yang tidak terpenuhi menjadi 6,5 %, f) Peningkatan cakupan Akseptor KB baru dari kelompok Wanita Usia Subur berisiko tinggi sesuai rekomendasi dokter spesialis, g) Peningkatan pelayanan kesehatan bagi akseptor KB baru dari kelompok Wanita Usia Subur berisiko tinggi. Tahap ke 3 meliputi, a) Terlaksananya Monitoring, evaluasi dan penyempurnaan Kolaborasi Program Contra War – Sutera Emas secara periodik, b) Terlaksananya pelaporan perkembangan Kolaborasi Program Contra War – Sutera Emas progam (Sekretaris Daerah) dan Bupati secara periodik, c) Terjadinya penurunan angka kematian ibu (AKI) menjadi <50 / 100.000 kelahiran hidup, d) Terjadinya penurunan angka kematian bayi (AKB) sebesar <4 /1.000 kelahiran hidup. Faktor Kunci Keberhasilan (Faktor Pendorong) Program; a) Adanya keinginan untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi; b) Adanya kemauan dari stakeholder terkait untuk melaksanakan kegiatan, c) Adanya partisipasi dari akseptor KB dari kelompok Wanita Usia Subur; d) Adanya pelayanan kesehatan yang memadai dari fasilitas kesehatan. Faktor Penghambat dari sisi Internal, antara lain a) Kekurangan Jumlah petugas lapangan KB; b) Anggaran yang digunakan untuk pengembangan program Percepatan Penurunan Angka Kematian Ibu dan Bayi Dengan Metoda Kolaborasi Program Contra War di Kabupaten Malang; c) Peningkatan cakupan peserta KB aktif belum berhasil menurunkan Angka Kebutuhan ber KB yang belum terlayani khususnya bagi WUS berisiko tinggi; d) Pemanfaatan sistem informasi berupa pendistribusian laptop dan modem di setiap kecamatan belum dimanfaatkan secara optimal. Faktor penghambat dai sisi Eksternal, antara lain meliputi a) SDM di Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik dan Rumah Sakit Bersalin, Bappeda dan KP3A terbatas; b) Belum adanya keterpaduan anggaran untuk kolaborasi Program Contra War – Sutera Emas di masing-masing SKPD; c) Sarana dan Prasarana di masing-
108
masing SKPD belum dimanfaatkan untuk strategi percepatan pencapaian tujuan MDGs secara terpadu. Sampai saat ini keberlanjutan Program masih tetap berjalan, dan capaian saat ini, sedang dilaksanakan Bimbingan Teknis Kolaborasi Program Contra War. Manfaat program, a) Meningkatkan dukungan stakeholder terhadap keberlangsungan program; b) Memberi pemahaman kepada stakeholder mengenai manfaat Kolaborasi Program Contra-War. Prasyarat bagi pihak lain yang ingin mereplikasi, adanya komitmen dari pimpinan, mau bekerja keras, adanya anggaran (untuk pelaksanaan bimtek dan lainnya). 3. Optimalisasi manajemen sumber daya dan potensi program pengendalian penyakit tuberkulosa melalui revitalisasi jejaring kerja guna mewujudkan efektivitas dan efisiensi organisasi oleh Tries Anggraeni (UPT RS Paru Batu) Penanggulangan Tuberkulosis merupakan program nasional yang harus dilaksanakan di seluruh Unit Pelayanan Kesehatan termasuk rumah sakit. Khusus bagi pelayanan pasisen tuberkulosis di rumah sakit dilaksanakan dengan strategi Directly Observed Treatment Short Course (DOTS). Hal tersebut memerlukan pengelolaan yang lebih spesifik, karena dibutuhkan kedisiplinan dalam penerapan semua kebijakan/standar prosedur operasional ditetapkan. Di samping, perlu adanya koordinasi antar unit pelayanan dalam bentuk jejaring serta penerapan standar diagnosa dan terapi yang benar. Dukungan yang kuat dari jajaran direksi rumah sakit berupa komitmen dalam pengelolaan sangat penting. Sukses dalam pelayanan TB bukan saja akan meningkatkan angka kesembuhan pasien, tetapi juga mencegah terjadinya akibat lebih lanjut berupa Multi Drug Resistant (MDR) atau Extreme Drug Resistant (XDR) TB. Survei yang telah dilakukan oleh Direktorat
Jenderal
Bina
Pelayanan Medik pada bulan Juli 2009 menunjukkan bahwa tingkat pencapaian pelayanan pasien
TB
dengan
strategi
DOTS di rumah sakit masih rendah. Salah satu penyebabnya adalah tingkat komitmen jajaran direksi di rumah sakit yang belum terwujud dan belum
109
dipenuhinya berbagai faktor yang dibutuhkan lagi bagi keberhasilan penerapan pelayanan TB di rumah sakit. Jenis pelayanan di RS Paru Batu dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok besar yaitu Pelayanan Paru dan Pelayanan Non Paru, dengan masing-masing pelayanan meliputi rawat jalan dan rawat inap. Tetapi tenaga spesialis paru masih belum memenuhi standar karena spesialis paru yang tersedia baru 1 (satu) orang dan dokter sub spesialis bedah TKV belum tersedia. Beberapa permasalahan dalam kinerja RS Paru Batu dalam program pencegahan dan pemberantasan TB, antara lain : belum optimalnya dukungan RS dalam program P2TB di wilayah binaan RS Paru Batu sesuai SK Kadinkes Provinsi, kebijakan direktur atau Kepala RS terkait pelayanan pasien TB dan operasionalisasi tim TB-HIV belum ada, kedudukan program P2TB dalam struktur organisasi tidak jelas, koordinasi dan jejaring dengan Dinas Kesehatan Kab/Kota dan RS lainnya belum berjalan optimal, koordinasi antar unit terkait internal RS (jejaring internal) belum optimal, pelaksanaan pelayanan pemeriksanaan sputum SPS untuk penderita suspect TB belum sesuai standar dan masih belum tersedianya tempat/prasarana/fasilitas mengeluarkan dahak bagi pasien suspect TB. Faktor kunci keberhasilan berjalannya program ini adalah a) Adanya kebijakan yang mendukung penderita suspect TB; b) Adanya dukungan anggaran untuk pembiayaan pelayanan one day pasien suspect TB; c) Adanya sosialisasi terkait standar pelayanan penderita suspect TB; d) Adanya advokasi dari dinas terkait Faktor Penghambat keberlangsungan program ini secara internal adalah sebagai berikut a) Pengaturan jadwal untuk menghadiri kegiatan-kegiatan pertemuan atau pelatihan tersebut yang kerap berbenturan dengan kegiatan pelayanan, kegiatan rapat di tingkat Provinsi, maupun juga karena volume pekerjaan di bagian administrasi sedang meningkat untuk menyelesaikan target-target kegiatan akhir tahun; b) Keterbatasan jumlah tenaga administrasi dalam pendokumentasian dan penyusunan laporan kegiatan; c) Belum jelasnya status Wasor RS selama beberapa tahun ini sehingga menyebabkan pengelolaan kegiatan di RS menjadi mengambang, terkesan tarik ulur kepentingan antara wasor lama dengan petugas RR yang sudah aktif mengelola selama ini; d) Keterbatasan jumlah dokter spesialis Paru di RS hanya 1 orang menyebabkan pelaksanaan program belum bisa
110
optimal; e) Kesibukan di pelayanan karena tindakan-tindakan di OK Paru yang meningkat, menyebabkan terjadi gangguan pada saat dilaksanakan proses pembelajaran (pada saat pelatihan), pertemuan dan rapat; f) Ketiadaan tempat mengeluarkan dahak bagi pasien suspek yang berasal dari Instalasi Rawat Jalan. Sedangkan secara eksternal yang menjadi penghambatnya adalah kesibukan yang cukup padat dari stakeholder di Provinsi, sehingga menyebabkan pelaksanaan kegiatan terkesan dipaksakan.
111
BAB V DISEMINASI DIREKTORI INOVASI ADMINISTRASI NEGARA
A. PEDOMAN DISEMINASI DIREKTORI INOVASI ADMINISTRASI NEGARA 1. Tujuan Tujuan diadakan diseminasi inovasi administrasi negara ini adalah a. Mensosialisasi praktik-praktik inovasi instansi pemerintah melalui diseminasi dokumen inovasi administrasi negara dalam rangka pelayanan publik; b. Memotivasi aparatur sipil negara dan instansi pemerintah untuk melakukan berbagai inovasi di masing-masing instansinya. 2. Metode Penyelenggaraan diseminasi administrasi negara lebih mengedepankan dokumen inovasi administrasi negara yang telah dikumpulkan dan didokumentasikan. Metode yang digunakan adalah sebagai berikut: a. Mengungkapkan persepsi terhadap tema inovasi administrasi negara. b. Menyatakan
pendapat
tentang
tema inovasi administrasi negara atau
menanggapipendapat sebelumnya. 3. Waktu Waktu penyelenggaraan diseminasi mulai dari pembukaan, pemaparan materi, memotivasi dan bertanyajawab adalah 120-240 menit 4. Alat dan bahan a. Alat perekam (kaset, tape perekam atau perekam suara digital, batere secukupnya; jika ada). b. Kertas dan alat tulis (untuk catatan proses/transkrip diskusi). c. Dokumen contoh inovasi administrasi negara d. Video Inagara
112
B. DISEMINASI DIREKTORI INOVASI ADMINISTRASI NEGARA DI PROVINSI ACEH
Diseminasi Direktori Inovasi Administrasi Negara yang diselenggarakan di Provinsi Aceh dirasa sangat berhasil dalam mensosialisasikan praktik praktik inovasi yang ada serta memotivasi aparatur sipil negara dan instansi pemerintah untuk melakukan berbagai inovasi. Penyelenggaraan Diseminasi di Provinsi Aceh dapat berlangsung berkat kerjasama dengan PKP2A IV LAN Aceh. Kontribusi Perwakilan Lembaga Administrasi Negara di Sumatra ini sangat proaktif dalam membantu penyelenggaraan. Diseminasi Direktori Inovasi Administrasi Negara diselenggarakan di Mini Teater Iskandar Muda PKP2A IV LAN pada hari Rabu tanggal 25 November 2015. Penyelenggaraannya berlangsung selama empat jam yakni 8.30 – 12.30 WIB dengan dimoderatori oleh Kepala Bidang Kajian dan Inovasi PKP2A IV LAN ibu Nurul Hidayah, SH, M.Si. Tim Kedeputian Inovasi Administrasi Negara yang datang sebagai pembicara dalam acara tersebut adalah Agung Nugroho, Marsono, dan Witra Apdhi Yohanitas. Tentu saja untuk kelancarannya diperlukan notulensi yang dilakukan oleh saudara Muhammad Ikhsan S.Pd.I. Acara ini turut dihadiri oleh Sekda Sabang, Pemko Banda Aceh, Ombudsman Aceh, dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Sumatera. Acara yang dibuka langsung oleh Kepala pusat PKP2A IV LAN Ir. Faizal Adriansyah, M.Si. 1. Sambutan (Pembukaan) oleh Kepala pusat PKP2A IV LAN Ir. Faizal Adriansyah, M.Si Dalam sambutannya Kepala pusat PKP2A IV LAN Ir. Faizal Adriansyah, M.Si yang mewakili Kedeputian Inovasi administrasi Negara- Lembaga Administrasi Negara menjelaskan bahwa Upaya penerapan inovasi di Pemerintahan Daerah
113
didukung oleh DIAN (Kedeputian Inovasi Administrasi-LAN). Hal tersebut telah diperjelas pada salah satu Tugas Lembaga administrasi
Negara
yakni
mendorong
kegiatan Inovasi dari level pemerintahan pusat/Kementrian sampai dengan tingkat Pemerintahan Daerah. Untuk itu diperlukan adanya sinergi antar instansi di Aceh dalam mendukung penerapan Inovasi. LAN
telah
menyusun
Direktori
Inovasi
Administrasi Negara yang pada tahun ini terkait dengan Proyek Perubahan Diklatpim (Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan) Pola Baru. Selain Diseminasi Produk Inovasi, DIAN juga telah melaksanakan Kegiatan Workshop Inovasi dan Laboratorium INAGARA di Yogyakarta. Kota Yogyakarta dipilih dan dibina oleh LAN sebagai kota model bagi penerapan Inovasi bagi daerah lain di Indonesia. Daerah-daerah lain yang sedang dalam progress pembinaan oleh Lab. Inovasi antara lain Kota Pontianak, Kab. Muara Enim, Kab. Majalengka, dan Kab, Tanjung Jabung Barat. Pada prinsipnya diseminasi INAGARA ini merupakan upaya LAN untuk menumbuh kembangkan Inovasi Administrasi Negara di Kementerian/ lembaga khususnya Pemerintah Daerah karena sebagian besar layanan publik dilakukan oleh pemerintah daerah. 2. Paparan Materi Diseminasi Pemaparan diseminasi direktori inovasi tidak serta merta hanya menyajikan isi direktori inovasi 2014 – 2015
saja. Untuk
menggugah dan memotivasi peserta untuk mau melakukan inovasi administrasi negara dilakukan pemanasan dengan menggugah inisiasi inovasi melalui drum up inovasi. Selanjutnya
dilakukan
pula
pengenalan
pelaksanaan inovasi administrasi negara melalui konsep 5D yang telah dikembangkan LAN: Konsep 5 D. Setelah itu dilanjutkan dengan pengenalan direktori inovasi administrasi negara yang berfungsi untuk bahan referensi
114
pemerintah daerah dalam menginisiasi inovasi untuk perbaikan kinerja instansi masing masing. Sebagai pembuka Paparan, diputarlah Video “Temu INAGARA 2015” yang dimaksudkan agar peserta mengetahui bahwa inovasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah mendapat perhatian dari Lembaga Administrasi Negara selaku Pembina diklat dan pengkajian serta inovasi administrasi negara. Tujuan dari video
untuk
mendorong
dan
menginisiasi
pengembangan
inovasi
penyelenggaraan pemerintahan. Selanjutnya dijelaskan oleh Agung Nugroho bahwa urgensi perlunya inovasi administrasi Negara karena adanya perubahan konteks administrasi negara: political, managerial, legal dan occupational. Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menjelaskan adanya ruang untuk dilakukan Inovasi. Lembaga Administrasi Negara telah mengidentifikasi delapan jenis inovasi administrasi negara, antara lain mencakup inovasi produk, inovasi konsep, inovasi hubungan, inovasi teknologi, inovasi SDM, inovasi struktur organisasi, inovasi Metode, inovasi proses. Inovasi inovasi tersebut dapat dikembangkan melalui rumus inovasi yaitu ATM (Amati, Tiru, Modifikasi). Inovasi menurut Pak Tri Widodo (Deputi Inovasi Administrasi Negara-LAN) adalah ada tidaknya kebaruan, kemanfaatan, berkesinambungan dan dapat direplikasi. untuk melakukannya maka inovasi harus menjadi keharusan karena inovasi adalah tanggungjawab, kebutuhan dan harga mati. Pemaparan kedua oleh Saudara Marsono lebih menekankan pada konsep pengembangan inovasi melalui konsep 5 D yaitu Drum-up, Diagnose, Desain, Deliver dan Display. Dalam pemaparannya disajikan pula inovasi yang telah dilakukan pemerintah daerah dengan menggunakan konsep 5 D ini. Fungsi utama konsep 5 D tersebut adalah menggagas inovasi, mengujicoba inovasi, memvalidasi inovasi. Untuk saat ini konsep ini cukup ideal untuk diterapkan pada instansi pemerintah. Pemaparan ke tiga oleh saudara Witra Apdhi Yohanitas yang menekankan pada dokumen penginspirasi inovasi yaitu Direktori Inovasi Administrasi Negara (Direktori Inagara). Direktori INAGARA adalah kumpulan rujukan, kebijakan, model praktik-praktik inovasi yang sudah terbukti kemanfaatannya dalam bidang
115
tata pemerintahan, pelayanan publik dan kelembagaan serta sumber daya aparatur. Direktori Inagara dapat menjadi sebagai referensi dan untuk mempermudah dalam pencarian/ perolehan informasi inovasi apa saja yang telah dilakukan di bidang tata pemerintahan, pelayanan publik serta kelembagaan dan sumber daya aparatur. selain itu berfungsi sebagai pemicu kementerian/lembaga, pemda, BUMN/BUMD, swasta, NGO (LSM) dan masyarakat untuk melakukan replikasi inovasi di bidang tata pemerintahan, pelayanan publik serta kelembagaan dan sumber daya aparatur. Pada kesempatan tersebut dijelaskan pula penentuan penyusunan direktori inovasi administrasi negara melalui kriteria tertentu. Pemaparan diakhiri dengan menyajikan contoh inovasi yang ada dalam direktori inovasi administrasi negara 2014/2015, handbook inovasi, dan laboratorium inovasi. 3. Forum Tanya Jawab Sesi Tanya jawab dilakukan dalam dua periode.
Hal
ini
dilakukan
untuk
mengakomodasi antusiasme peserta diseminasi terhadap konsep dan produk yang dipaparkan LAN. Tentu saja sesi Tanya jawab dipandu oleh moderator yang
kredibel
sehingga
dapat
melakukan penyimpulan terhadap hasil dari sesi tanya jawab ini. a. Sesi Pertama 1) Bpk Arfah Salwa (PKP2A IV LAN) : 1) Saran saya selain inovasi dikemas dalam bentuk berbagai perlombaan ditingkat kementrian atau pusat, diharapkan juga kementrian pusat datang ke daerah untuk melakukan lanjut
sosialisasi
tentang
Apakah mengevaluasi
lebih
Inovasi.
LAN
2)
sudah proyek
perubahan diklatpim agar tidak ada produk hasil plagiat?
116
2) Bpk Nurdin (Pemko Banda Aceh) : Pemko Banda Aceh sudah memulai penerapan Inovasi tapi sudah dilaksanakan konkret, belum dalam bentuk pelaporan tertulis. Keinginan Pemko ingin dibimbing oleh LAN terutama pendampingan oleh DIAN karena kelemahan dalam hal penulisan proposal inovasi. b. Sesi kedua 1) Bpk Taqwaddin Hussein (Ombudsman Aceh) : Inovasi tidak hanya membuat sekedar perubahan tapi juga produktivitas yang berdampak pada masyarakat bukan hanya pada aparatur. Bagaimana Inovasi lebih ditekankan pada sektor pelayanan publik. Sebaiknya seluruh perwakilan dari Pemko dan Pemda di Aceh diundang agar pemahaman tentang Inovasi dapat merata dan menyeluruh. 2) Bpk Sofyan Adam (Sekda Sabang) : Pemko Sabang telah mengubah arah kebijakan pembangunan daerah dari orientasi perdagangan ke pariwisata. Di Sabang, setiap stakeholder diwajibkan mendorong dan membawa wisatawan ke Sabang, apakah itu termasuk Inovasi? Apakah inovasi harus dimulai dari tingkat atas(hal besar) ke bawah(hal kecil) atau sebaliknya? c. Tanggapan pertanyaan 1) Bagaimana mengawali inovasi untuk diikutkan dalam laporan? Untuk itu DIAN siap memfasilitasi. 2) Harus adanya perubahan mindset dari Orientasi Inovasi Administrasi ke Inovasi sektor pelayanan publik, hal tersebut dapat difasiitasi oleh Ombudsman dalam menampung keluhan terhadap pelayanan publik. 3) Mencegah suatu karya Inovasi merupakan hasil plagiat? DIAN telah membuat Datebase masterplan inovasi berisi kumpulan proyek perubahan peserta. Meniru dapat dilakukan karena sesuai konsep Modifikasi dimana kebutuhan tiap daerah berbeda. 4) Inovasi tidak harus dilakukan dari hal besar dengan biaya besar bisa juga dilakukan sebaliknya. Keduanya dapat saling bersinergi. Kewajiban mendorong pariwisata termasuk Inovasi. d. Kesimpulan oleh Moderator
117
1) Inovasi mengandung 2 hal, Kebaharuan dan kemanfaatan yang pada akhirnya harus mampu mendorong kinerja pemerintah untuk memberikan pelayanan publik yang terbaik bagi masyarakat. 2) Rumus Inovasi ATM: Amati, Tiru dan Modifikasi. Tidak masalah dari mana ide awal inovasi tersebut, selama dilakukan penyesuaian dengan instansi penyelenggara, maka inovasi dapat menjadi bagian dari instansi tersebut. 3) Inovasi dapat dimulai dari yang besar maupun dari yang kecil, hal yang terpenting inovasi dapat memberi dampak bagi masyarakat, terutama di bidang pelayanan publik. 4) Dari agenda kegiatan ini diharapkan ada tindak lanjut untuk kerjasama dan pembimbingan Pemda oleh DIAN yang dapat difasilitasi oleh PKP2A IV LAN.
C. DISEMINASI DIREKTORI INOVASI ADMINISTRASI NEGARA DI MAKASSAR
Diseminasi Direktori Inovasi Administrasi
Negara
di
Makassar
dilaksanakan
Kota di
PKP2A II LAN Makassar pada tanggal Kegiatan
24 ini
November
2015.
bertujuan
untuk
menyebarluaskan berbagai hasil kegiatan di Kedeputian Bidang Inovasi Administrasi Negara dan meningkatkan innovation awareness di kalangan aparatur sipil negara. Produk Kedeputian Bidang Inovasi Administrasi Negara yang didiseminasikan adalah berbagai produk kegiatan pengembangan inovasi administrasi negara di bidang tata pemerintahan, pelayanan publik, kelembagaan dan sumber daya aparatur. Peserta yang hadir berjumlah 40 (empat puluh) orang dari lembaga Litbang Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Sulawesi serta unit kerja lainnya antara lain dari : Pemda Kota Palu, Setda Mamuju, Setda Kota Gorontalo, Badan Diklat Poso, BKDD Kota BauBau, Badan Diklat Sultra, Setda Kabupaten Sorong, Bappeda Prov. Sulut,
118
UNHAS, STIA LAN Makassar dan PKP2A II LAN Makassar. Kegiatan diseminasi ini dapat berlangsung berkat kerjasama antara Pusat Inovasi Pelayanan Publik dengan PKP2A II LAN Makassar yang mempunyai komitmen yang sama dalam mengembangkan inovasi administrasi negara. Narasumber yang hadir dalam kegiatan ini berasal dari internal LAN yaitu : Erfi Muthmainah, SS, MA (Kepala Pusat Inovasi Pelayanan Publik), Abdul Muis, S.Sos., MM (Peneliti Madya Pusat Inovasi Tata Pemerintahan) dan Harditya Bayu Kusuma, S.Sos., M.Si. (Peneliti Pertama Pusat Inovasi Pelayanan Publik). Materi secara umum yang disampaikan mengenai hasil kegiatan Kedeputian Bidang Inovasi Administrasi Negara, pengenalan inovasi administrasi negara, pengelolaan laboratorium inovasi dan direktori inovasi administrasi negara tahun 2014 dan 2015. 1. Sambutan dan Pembukaan oleh Kepala Pusat Inovasi Pelayanan Publik Erfi Muthmainah selaku Kepala Pusat Inovasi Pelayanan Publik secara resmi memberikan sambutan dan membuka kegiatan Diseminasi Direktori Inovasi Administrasi Negara. Dalam sambutan tersebut juga disampaikan
mengenai
secara
ringkas
kegiatan
diseminasi dimaksud. Latar belakang kegiatan ini adalah
fenomena
reformasi
birokrasi
dan
perkembangan inovasi administrasi negara yang akan diarahkan menuju world class civil service. Sedangkan dasar hukum mengenai inovasi tertuang dalam UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemda, UU No.5 Tahun 2014 tentang ASN dan SE MenPAN-RB No.9 Tahun 2014. Kemudian disampaikan arah pengembangan inovasi administrasi negara yang dilakukan oleh LAN berupa : panduan laboratorium inovasi, handbook IAN, lomba pemimpin perubahan, workshop champion of innovation dan direktori IAN. Selama tahun 2015 juga telah dikembangkan kegiatan laboratorium inovasi yang mendampingi pelaksanaan inovasi di daerah yaitu di Kota Yogyakarta, Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten Majalengka. Sedangkan laboratorium in process antara lain Kota Pontianak, Pemprov Kalimantan Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Secara umum kegiatan ini diharapkan sebagai upaya untuk menumbuhkembangkan IAN di K/L/D khususnya Pemda. Tujuan yang ingin dicapai
119
dalam kegiatan ini adalah : 1) Mensosialisasi praktek-praktek inovasi pelayanan publik di instansi pemerintah sebagai bahan benchmarking IAN; dan 2) Memotivasi aparatur sipil negara dan instansi pemerintah untuk melakukan berbagai inovasi di instansinya masing-masing. 2. Paparan Materi Materi
awal
yang
disampaikan oleh Peneliti Madya LAN, Abdul Muis yakni mengenai pengelolaan laboratorium inovasi. Tahap awal diberikan pengertian mengenai
inovasi
administrasi
negara yaitu proses memikirkan dan mengimplementasikan suatu kebijakan
oleh
penyelenggara
kepentingan publik untuk memenuhi kepentingan publik yang memiliki unsur kebaruan serta kemanfaatan. Melakukan inovasi dapat melalui berbagai media antara lain mencari inspirasi melalui kasus inovasi (Direktori Inovasi, Top 99 Inovasi, Apeksi, Apkasi) dan mengelola lab. Inovasi melalui 5 D. Kemudian pengelolaan lab. Inovasi lebih difokuskan pada tahapan 5 D yaitu drum-up (kemauan berinovasi), diagnose (gagasan inovasi), desain (rencana aksi inovasi), deliver (hasil dan bukti inovasi) dan diplay (promosi inovasi). Tahapan drum-up lebih difokuskan untuk meningkatkan kesadaran berinovasi dan membangun komitmen untuk berinovasi. Diagnose lebih mengarah pada analisis kebutuhan berinovasi yang memunculkan gagasan berinovasi. Sedangkan tahap desain ke perancangan inovasi fokus pada action plan. Dan Deliver merupakan pelaksanaan rencana aksi atau proses pelaksaaan berinovasi. Kemudian tahap display mengarah pada innovation exibition (pameran karya inovasi –poster, video, leaflet, buku, dll-- yang dihasilkan SKPD). Fungsi 5 D secara umum untuk menggagas inovasi, mengujicoba inovasi dan memvalidasi inovasi. Disampaikan pula oleh Abdul Muis bahwa pada tahun 2015 ini telah terdapat 5 (lima) kerjasama LAN dengan daerah terkait lab. Inovasi antara lain : Kota Yogyakarta, Kabupaten Muara Enim, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kota Pontianak. Sedangkan pada tahun
120
2016 rencana kerjasama lab inovasi dengan : Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Cilacap dan mengarah pada street level innovation. Paparan
selanjutnya
mengenai
direktori
inovasi
adminitrasi
negara
disampaikan oleh Harditya Bayu Kusuma peneliti pertama LAN. Direktori inovasi adminitrasi negara adalah kumpulan rujukan, kebijakan, model praktik-praktik inovasi yang sudah terbukti kemanfaatannya dalam bidang tata pemerintahan, pelayanan publik dan kelembagaan serta sumber daya aparatur.Direktori IAN digunakan sebagai referensi dan untuk mempermudah dalam pencarian/ perolehan informasi inovasi apa saja yang telah dilakukan di bidang tata pemerintahan, pelayanan publik serta kelembagaan dan sumber daya aparatur. Tujuannya untuk memicu Kementerian/Lembaga, pemda, BUMN/BUMD, swasta, NGO (LSM) dan masyarakat untuk melakukan replikasi inovasi di bidang tata pemerintahan, pelayanan publik serta kelembagaan dan sumber daya aparatur. Disampaikan pula 8 (delapan) jenis inovasi menurut LAN yaitu : produk, konseptual, metode, proses, hubungan, teknologi, SDM dan struktural. Direktori IAN yang dilaksanakan oleh Pusat Inovasi Pelayanan Publik telah berlangsung pada tahun 2014 dan 2015. Pada tahun 2014, fokus direktori
pada
inovasi
yang
dilakukan K/L/D. Sedangkan pada tahun 2015 fokus pada 5 (lima) besar alumni diklatpim I dan II pola baru. Pada direktori IAN tahun 2015 ada pengembangan desain untuk menyesuaikan content direktori terutama untuk proyek perubahan. Pada sesi ini juga disampaikan beberapa inovasi yang telah berjalan di beberapa daerah dan sudah masuk dalam direktori, misalnya : media centre Kota Surabaya, akta kelahiran jemput bola Kota Surakarta, one map and one data informasi, penyelenggaraan UN CBT dan berbagai contoh model inovasi lainnya. Dr. Sulaiman dari PKP2A II LAN Makassar melanjutkan paparan berikutnya, pertama-tama menyampaikan proyek perubahan sederhana yang masih berjalan di
121
PKP2A II LAN Makassar. Ide ini digagas oleh M.Firdaus selaku Kepala PKP2A II LAN Makassar yang ingin memberikan pelayanan, kewenangan dan tanggung jawab. Gagasan ini berusaha mengerucutkan semua potensi masalah dalam berbagai ide bisa disampaikan langsung, bisa tertulis bahkan dapat menggunakan media sosial (whatsup). Setiap orang bertanggung jawab terhadap respon permasalahan itu, dan harus segera dijawab oleh pemberi respon. Modelnya sederhana, dan bagi yang ditegur harus menerimanya dengan baik dan tidak perlu harus disikapi dengan negatif. Di tahun 2015 ini PKP2A II LAN Makassar mencoba menggagas bagaimana inovasi dapat tumbuh di semua instansi pemerintah dengan membuat gugus inovasi instansi pemerintah. Perlu juga digunakan ilmu level marketing, misal orang LAN kalau ke daerah bisa menceritakan dan mendorong dari tingkat pimpinan, kemudian SKPD sehingga sampai ke tingkat yang paling bawah. Diharapkan juga di daerah ada gugus inovasi yang bentuknya formal maupun informal sehingga terbentuk komite yang bisa menjalin kerjasama. Kemudian PKP2A II LAN Makassar mengadakan perjanjian layanan yang disebut sebagai proses bisnis, itulah yang disebut dengan perjanjian pelayanan (pro services). Di Tahun 2016, PKP2A II LAN Makassar mengumpulkan ide-ide inovasi dalam bentuk laboratorium inovasi di Kota Palu. Hal itu menunjukkan bahwa inovasi tidak harus muncul pada produk, tapi pada proses inovasi tersebut juga bisa muncul. 3. Forum Tanya Jawab
Pertanyaan a. Bp. Berly (Kabupaten Poso) Kabupaten Poso sekarang sudah aman karena sudah terdapat inovasi yang riil, hal ini dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kemudian Bp.
122
Berly menyampaikan bahwa Diklat Poso saat ini berdiri sendiri karena masih muda dari yang lain sehingga masih banyak kekurangan, oleh karena itu perlu penguatan dan komitmen dalam inovasi di seluruh Kabupaten di Indonesia. Sebuah kekeliruan kalau setiap daerah itu harus bisa maju, namun tidak ada tindak lanjut. Kendalanya adalah akibat otonomi daerah berupa kebijakan Pemda. Bahwa aparatur kita ini banyak aktivitas untuk berinovasi, namun karena otonomi daerah menjadi terkendala apalagi dikaitkan dengan masalah politik,
misalnya
ketika
membuat
proyek
perubahan,
tiba-tiba
yang
bersangkutan di mutasi. Tentang regulasi baik di daerah maupun pusat, UU no 5 tahun 2014 seperti tidak disesuai dengan kebijakan Perka LAN. masih ada peraturan Diklatpim Tk. III dan IV, pada hal di ASN jabatan eselon tersebut sudah berubah. b. Bp. Alam (STIA LAN Makassar) Saat ini ada euforia tetapi bukan pada substansi inovasi dan hal itu sangat menggangu. Ada kompetisi inovasi Pelayanan Publik dari KemenPAN-RB, sistem inovasi daerah, ada Deputi Inovasi Administrasi Negara, dalam UU no.5/2014 juga terdapat inovasi daerah. Tetapi di level daerah bertanya apa itu inovasi? Maka perlu disusun program inovasi harus didesain di tingkat nasional dengan dasar KISS (Koordinasi, Informasi, Sinkronisasi dan Simplifikasi). Kadang juga menimbulkan kebingungan terutama adanya Undang-Undang mengenai inovasi di daerah. Hal ini merupakan masalah substansi karena menyangkut program dan sistem itu diciptakan. Tanggapan Ibu Erfi Muthmainah Inovasi yang dilakukan oleh seluruh kabupaten/kota merupakan kerinduan bagi semua pihak, tetapi harus diakui masih terkendala unsur politik. Kalau politik secara logika seperti matematika yang tidak bisa dihindari. LAN membuat innovator, menciptakan innovator yang dimanapun berada akan terus menciptakan inovasiinovasi. Dari LAN tuntutannya adalah komitmen dari daerah. Kemudian mengenai peraturan di daerah dan pusat yang tidak jelas, terutama UU ASN yang belum keluar PP nya. Hal ini juga berkaitan dengan tataran politik yang tidak dapat ditekan. RPP terutama Manajemen ASN masih belum ditandatatangani.
123
Kemudian LAN memang belum menyesuaikan dengan nama Diklatpim yang disesuaikan sesuai UU ASN, begitu juga nomenklaturnya. Tentu saja ini menjadi agenda LAN ke depan, karena regulasi tidak bisa secepat itu untuk launching nama baru. Mengenai nomenklatur Diklatpim, LAN tidak dapat mengubah secepat itu karena berkaitan dengan Keputusan Presiden, tapi dalam proses untuk mengubah secara nasional. Kalau inovasi harus terintegrasi dan apabila dijadikan dalam satu pattern tentunya akan ada kendala-kendala. Sehingga kadang koordinasi ini menjadi hal yang mahal di Indonesia. Di LAN dituntut melakukan inovasi dari berbagai tingkat Kedeputian sampai dengan individual, misal : Data base Widyaiswara yang sudah masuk secara nasional, Akreditasi secara online, Melaksanakan elektronik survey, dll. 4. Penutupan oleh Kepala PKP2A II LAN Makassar Kepala PKP2A II LAN Makassar, M. Firdaus dalam penutupan kegiatan Diseminasi Direktori IAN menyatakan bahwa Inovasi di LAN baik di Kedeputian Inovasi Administrasi Negara ataupun di PKP2A adalah hal yang baru. Apalagi sudah diwadahi dalam satu Kedeputian, maka LAN dapat menjadi motor inovasi bagi sektor publik. Sekaligus menanamkan kepada sektor publik, kalau mereka juga mampu melakukan inovasi. Salah satu penggeraknya adalah diklat yang dirancang sebagaimana rupa yang berorientasi pada penciptaan inovasi-inovasi dan solusi dari pemecahan masalah yang ada. Di PKP2A II LAN Makassar inovasi yang dilakukan diantaranya adalah : 1) Inovasi yang dilakukan WI yaitu membuat proyek inovasi WI agar dapat membimbing peserta dalam melakukan inovasi secara maksimal; 2) Membantu instansi pemerintah dalam mengembangkan inovasi melalui laboratorium inovasi; 3) Di wilayah bagian timur, baru akan dimulai tahun 2016 mengenai inovasi. LAN siap membantu apabila pemda ingin mengembangkan inovasi; dan 4) Lomba inovasi secara regular.
124
BAB VI PENUTUP
D
irektori Inovasi Administrasi Negara seri proyek perubahan yang disusun pada tahun 2015 merupakan langkah yang baik dalam pengembangan database proyek perubahan diklat kepemimpinan
tingkat I dan II. Pengembangan database direktori inovasi ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan monitoring dan evaluasi lembaga diklat dan bahan replikasi peserta diklatpim yang tengah menyusun proyek perubahan. Penyusunan direktori tentunya menemukan berbagai perkembangan yang ditunjukkan oleh peserta diklatpim dalam mengimplementasikan proyek perubahan. Keberhasilan pelaksanaan proyek perubahan harus didukung oleh komitmen yang kuat dari pimpinan daerah dan stakeholder.Proyek perubahan sebaiknya dinaungi oleh aturan hukum agar proyek perubahan tetap berjalan walaupun sewaktu-waktu ada pergantian kebijakan yang mengancam eksistensi proyek perubahan. Harapan dengan penerbitan buku direktori seri proyek perubahan adalah peserta diklatpim, pimpinan daerah dan stakeholder dapat mengambil lesson learn yang tersurat dalam buku direktori ini. Lesson learn yang telah diambil dapat dijadikan bagian penyempurnaan dari penyelenggaraan diklatpim pada tahun-tahun berikutnya, bahkan dapat mempercepat inisiasi ide inovasi yang relevan dengan kondisi lingkungan.
125
DAFTAR PUSTAKA
Harigopal,
K.
2006.
Management
of
Organizational
Change:
Leveraging
Transformation, 2nd edition. New Delhi: Respons Books. Fauzi, Masfi. 2013, Pengertian Perubahan Dan Perkembangan Organisasi. Tersedia Online
(http://masfiifauzii02.blogspot.com/2013/05/pengertian-perubahan-dan-
perkembangan_3.html , diakses 12 Mei 2015) Ginting, Eka DantaJaya. Meiyanto, IJK Sito. 2010. Postpurchase Dissonance Observed from Consumer’s Intention as an Innovator, Ability as an Opinion Leaders and Level of Creativity: Jurnal Psikologi:Volume 37, No. 2, Desember 2010: 189 – 202 Irmawati. 2012. Teori Perubahan Menurut Para Ahli. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Nani Hasanuddin: Makasar Kasali, Rhenald. 2009. Change Management. paparan yang disampaikan di Mahkamah Agung, 2009. Lembaga Administrasi Negara. 2014. Direktori Inovasi Administrasi Negara 2014. LAN:Jakarta Maner, J. K., Richey, J. A., Cromer, K., Mallott, M., Lejuez, C. W., Joiner, T. E., & Schmidt, N. B. (2007). Dispositional Anxiety and Risk Avoidant Decision‐ Making. Journal Personality and Individual Differences, 42, (2), 665-675. Robbins,Stephen P. Coulter, Mary . 2012. Management 11th ed. Prentice Hall Publishing, New Jersey Suryanto, 2015. Identifikasi Data Dan Informasi Direktori Inovasi Administrasi Negara. Paparan yang disampaikan di FGD pengembangan dan Diseminasi Direktori Inovasi di Lembaga Administrasi Negara, 2015. Undang Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Peraturan Kepala LAN No. 19 Tahun 2014 jo Peraturan Kepala LAN Nomor 10 Tahun 2013
tentang
Pedoman
Kememimpinan Tk. I
Penyelenggaraan
Pendidikan
dan
Pelatihan
126
Peraturan Kepala LAN No. 20 Tahun 2014 jo Peraturan Kepala LAN Nomor 11 Tahun 2013
tentang
Pedoman
Penyelenggaraan
Pendidikan
dan
Pelatihan
Kememimpinan Tk. II Peraturan Kepala LAN No. 21 Tahun 2014 jo Peraturan Kepala LAN Nomor 12 Tahun 2013
tentang
Pedoman
Penyelenggaraan
Pendidikan
dan
Pelatihan
Kememimpinan Tk. III Peraturan Kepala LAN No. 22 Tahun 2014 jo Peraturan Kepala LAN Nomor 13 Tahun 2013
tentang
Pedoman
Kememimpinan Tk. IV
Penyelenggaraan
Pendidikan
dan
Pelatihan
127