Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
UPAYA PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI TERNAK DOMBA DI TINGKAT PETAN–TERNAK HASTONO Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRAK Salah satu upaya peningkatan sefisensi reproduksi ternak domba adalah perkawinan tepat waktu. Melalui perkawinan tepat waktu diharapkan ternak domba dapat beranak paling tidak tiga kali dalam dua tahun. Agar program ini dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan, maka peternak harus mau melakukan pencatatan, khususnya mengenai catatan perkawinan dan kelahiran. Disamping itu peternak harus mengetahui tandatanda berahi dan siklus berahi sehingga peternak dapat mengetahui ternak yang dipeliharanya dalam keadaan bunting atau tidak. Apabila pengetahuan tersebut sudah diketahui oleh peternak, maka langkah berikutnya adalah dapat melakukan sistem perkawinan yang efisien, sehingga efisiensi reproduksi ternak meningkat. Kata kunci: Perkawinan, domba, berahi
PENDAHULUAN
PERMASALAHAN
Salah satu upaya untuk pelestarian sumberdaya genetik (plasmanutfah) suatu bangsa ternak adalah melalui peningkatan populasi, dan hal tersebut tidak terlepas dari penampilan reproduksi ternak yang bersangkutan. Berbicara reproduksi maka sistem perkawinan akan terlibat didalamnya, baik kawin alam maupun suntik (IB). Kemudian waktu mengawinkan dan jumlah perkawinan memegang peranan penting dalam menentukan efisiensi reproduksi ternak, karena hal ini menyangkut jarak beranak yang akan ditimbulkannya. Salah satu penyebab rendahnya efisiensi reproduksi adalah kegagalan perkawinan sehingga jumlah berkawinan meningkat. Sejalan dengan fenomena tersebut, otomatis akan memperpanjang jarak beranak, yang pada akhirnya akan menghambat peningkatan populasi suatu bangsa ternak akibat rendahnya efisiensi reproduksi. SETIADI et al. (1995) melaporkan bahwa selang beranak ternak kambing pada kondisi pedesaan relatif masih tinggi, yakni berkisar antara 9–15 bulan, sementara pada domba 9,9 bulan (SUBANDRIYO et al., 1994). Pada makalah ini dibahas upaya peningkatan efisiensi reproduksi pada ternak domba yang dapat dilakukan oleh petani ternak secara mandiri.
Penyebab rendahnya efisiensi reproduksi ternak domba ditingkat petani di pedesaan diantaranya adalah tidak tepat waktu, ketika mengawinkan ternak domba yang dipeliharanya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya yaitu: a). Rendahnya pemilikan pejantan. Petani beranggapan bahwa bila memelihara pejantan tidak menguntungkan karena tidak menghasilkan anak (HASTONO dan MASBULAN, 2001). Hasil penelitian PAMUNGKAS et al. (1996) menunjukkan bahwa terdapat rasio yang tidak seimbang antara pejantan dengan betina; yakni 1 : 24 sampai 1 : 27. Dengan tidak dimilikinya pajantan oleh sebagian besar petani, maka jika domba induk berahi tidak dapat segera dikawinkan. Petani terlebih dahulu harus mencari pejantan ketempat lain, biasanya dengan jalan menyewa. Akhirnya perkawinanpun terlambat untuk dilakukan. b). Petani belum memahami, atau tidak peduli terhadap tanda–tanda berahi sehingga perkawinan tidak tepat waktu. Selain itu karena sebagian besar petani tidak mengandangkan ternak dombanya, terutama pada pagi hingga sore hari, maka berahi sulit untuk diketahui. c). Pada umumnya para petani belum memiliki catatan mengenai reproduksi ternaknya, sehingga tidak dapat menentukan kapan mulai mengamati untuk mengetahui
236
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
apakah domba induk atau dara yang dipeliharanya berahi kembali setelah dikawinkan. Bahkan tidak dapat menentukan kapan domba induk yang sudah beranak dikawinkan kembali. Salah satu cara agar penggunaan pejantan lebih efisien, adalah dengan kawin suntik (IB). Namun perkawinan secara IB ini sangat sulit, bila dilakukan oleh petani itu sendiri. Bagi petani, IB merupakan pekerjaan yang sangat rumit. Jangankan di tingkat petani, hingga saat inipun para ilmuawan masih terus melakukan penelitian mengenai kawin suntik (IB) pada ternak domba yang lebih efektif dan efisien (mudah dan murah) agar dapat dilakukan oleh para petani secara mandiri. Selain itu untuk menunjang keberhasilan IB agar lebih efektif
dan efisien adalah dengan penyerempakkan berahi. TOMASZEWSKA et al. (1991) menyatakan bahwa salah satu keuntungan dari penyerempakan berahi adalah dapat menekan biaya Inseminasi Buatan (IB). Permasalahan dalam penyerempakan berahi ini adalah bila menggunakan hormon. Diketahui bahwa penyerempakan berahi secara hormonal merupakan hal yang sulit untuk dilakukan oleh petani, selain menyita waktu juga memerlukan biaya yang cukup tinggi untuk ukuran petani dipedesaan. Pokok permasalahan yang menyebabkan rendahnya efisiensi reproduksi pada ternak domba dapat digambarkan secara sederhana dalam diagram 1.
Efisiensi reproduksi rendah
Jarak beranak panjang
AKIBAT
Tidak bunting
S E B A B
Berahi tidak diketahui
Tidak dikandangkan
Tidak ada catatan reproduksi
Terlambat kawin
Jumlah pejantan terbatas
Belum tahu tanda-tanda berahi
Gambar 1. Diagram hubungan sebab akibat negatif
PEMECAHAN MASALAH Untuk meningkatkan efisiensi reproduksi pada ternak domba di pedesaan, maka petani harus melakukan langkah-langkah sebagai berikut: Kesediaan memelihara pejantan Hasil penelitian HASTONO dan MASBULAN (2001) menunjukkan bahwa sebanyak 71,13 persen petani di Desa Tenjonegara Kabupaten Garut meminjam pejantan dari orang lain ketika mengawinkan ternaknya. Untuk mengatasi rendahnya jumlah petani yang memiliki pejantan tersebut, adalah mengadakan percontohan kepada petani yang
menunjukkan bahwa manfaat yang diperoleh dengan memiliki pejantan antara lain : 1) Petani tidak perlu menyewa pejantan kepada peternak lain, sehingga dapat menghemat pengeluaran untuk mengawinkan ternaknya , 2) Peternak tidak perlu mengamati waktu berahi, karena dengan memiliki pejantan sendiri, maka pejantan tersebut dapat disatukan dalam satu kandang dengan betina induk secara terus menerus, sehingga perkawinan dapat terjadi kapan saja, 3) Jarak beranak dapat diperpendek dari 10–12 bulan menjadi 7–8 bulan atau dapat beranak tiga kali dalam dua tahun, 4) Jumlah pemilikan ternak meningkat.
237
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
Mengetahui tanda–tanda berahi Salah satu syarat agar perkawinan dapat dilakukan tepat waktu, khususnya pada perkawinan dengan sistem hand mating, petani hendak mengetahui tanda-tanda berahi. TOELIHERE (1993) menerangkan bahwa tanda– tanda berahi pada domba induk adalah diam bila dinaiki pejantan, menggoyang–goyangkan ekornya, memperhatikan dan mendekati pejantan. Pencatatan (recording) Untuk memudahkan petani dalam melakukan manajemen perkawinan maka pencatatan reproduksi ternak mutlak diperlukan, antara lain menyangkut: • Waktu mengawinkan, pentingnya catatan ini adalah peternak dapat mengetahui apakah ternaknya sudah bunting atau belum, dengan melihat apakah domba induk minta kawin (berahi) lagi atau tidak setelah 14 – 19 hari dikawinkan. TOELIHERE (1993) menerangkan bahwa siklus berahi pada domba, yang normal 14 –19 hari, dengan rataan 17 hari. Apabila pada waktu siklus brahi berikutnya domba induk tidak berahi lagi setelah dikawinkan, maka dapat dipastikan domba induk tersebut sudah bunting. • Waktu kelahiran, catatan ini penting, untuk mengetahui umur domba anak yang dilahirkan secara tepat dan akurat, selain itu berguna untuk menentukan umur penyapihan dan waktu mengawinkan kembali domba induk setelah beranak. Dengan adanya pencatatan tersebut, peternak dapat memperoleh keuntungan seperti: peternak dapat membuat beberapa perencanaan diantaranya menentukan waktu mengawinkan setelah beranak agar jarak beranak dapat diperpendek, mengamati jika ada induk berahi kembali setelah dikawinkan. Sistem perkawinan Dikenal dua sistem perkawinan pada ternak domba yaitu kawin alam dan kawin suntik (IB), namun yang paling memungkinkan dilakukan petani adalah kawin alam. Hingga
238
saat ini kawin suntik (IB) belum dapat dilakukan secara mandiri oleh petani, walaupun tingkat kebuntingan hasil IB dengan semen cair dapat mencapai 79,4 persen (ADIATI dan SUPARYANTO, 2001). Perkawinan alam ada dua macam yakni: 1) ternak jantan dipisah dengan domba induk dan pejantan dikawinkan pada waktu domba induk dalam keadaan berahi. Kelemahan pada sistem perkawinan ini adalah bila petani terlambat mengetahui waktu berahi, maka kemungkinan besar waktu mengawinkan tidak tepat (terlambat), akibatnya kemungkinan kecil terjadi kebuntingan. Jadi pada sistem perkawinan ini petani dituntut harus paham benar mengenai tanda–tanda berahi 2). Sistem perkawinan kelompok, yaitu pejantan disatukan dengan kelompok induk secara terus menerus, paling tidak selama dua bulan. Diharapkan selama dua bulan tersebut, semua domba induk sudah bunting, baru kemudian pejantan ditempatkan pada kandang yang terpisah. Sistem perkawinan kelompok inilah kiranya yang cocok untuk diterapkan ditingkat petani, karena mudah dan murah. Untuk menghemat waktu dan tenaga sebaiknya perkawinan dilakukan secara alam dengan sistem kelompok, dengan perbandingan jantan : betina = 1 : 10 – 15 (LINDSAY dalam PAMUNGKAS et al., 1996). Agar waktu mengawinkan dan melahirkan dapat seragam, maka perlu dilakukan penyerempakkan berahi yang sederhana yang dapat dilakukan oleh peternak seperti penyerempakan berahi secara biologis. Penyerempakan berahi secara hormonal merupakan hal yang sulit untuk dilakukan oleh petani, karena memerlukan biaya yang cukup tinggi untuk ukuran peternak dipedesaan. Penyerempakkan berahi secara biologis dapat dilakukan dengan menggunakan perangsangan pejantan. Proses tersebut diawali dengan menempatkan ternak betina secara terpisah (tidak terlihat secara fisik dan tidak tercium bau) dari pejantan selama kurang lebih 34 hari (OLDHAM, yang dikutip SIANTURI et al., 1997). Selanjutnya ternak jantan disatukan dengan betina, maka kehadiran pejantan tersebut menyebabkan rangsangan fisiologis melalui penglihatan, suara dan bau terhadap proses ovulasi dan berahi. Pheromon adalah bau spesifik yang diproduksi oleh kelenjar
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
tubuh ternak jantan dan dikeluarkan melalui kulit dan bulu. Diduga pheromon memegang peranan penting dalam proses penyerentakan berahi secara biologis (KNIGHT dan LYNCH, dalam SIANTURI et al., 1997). Bagi indukinduk yang tidak memperlihatkan tanda-tanda berahi (berahi tenang), disarankan untuk disatukan dengan pejantan selama 6 hari. Proses tersebut menyebabkan berahi akan terjadi dengan diikuti oleh ovulasi (PUSLITBANG PETERNAKAN, 1989). Penelitian mengenai penyerempakkan berahi secara biologis yaitu dengan cara mengisolasi sekelompok betina selama 3 minggu dari pejantan, kemudian setelah tiga minggu secara tiba-tiba dimasukkan pejantan kedalam kelompok betina tersebut, maka sekitar 37 jam kemudian akan timbul berahi secara bersamaan (ADIATI et al., 1997). Memperpendek jarak beranak Usaha memperpendek jarak beranak ini erat hubungannya dengan aktivitas seksual, semakin cepat berahi kembali stelah beranak, maka akan semakin cepat ternak tersebut dikawinkan kembali, sehingga akan memperpendek jarak beranak. Kenyataan di lapang jarak beranak pada domba masih cukup panjang yakni 9,9 bulan (SUBANDRIYO et al., 1994). Hasil penelitian PAMUNGKAS et al. (1996) menunjukkan bahwa di pedesaan jarak dikawinkan kembali domba ekor gemuk setelah beranak cukup lama yaitu 87, 88 dan 87,23 hari masing-masing untuk dataran rendah dan sedang. Untuk memperpendek jarak beranak, hendaknya domba induk dikawinkan kembali paling lama dua bulan setelah beranak, atau paling cepat dua kali berahi setelah beranak, karena pada umur tersebut diharapkan keadaan uterus sudah pulih kembali (normal). Hasil penelitian HASTONO dan MASBULAN (2001) menunujukkan bahwa domba induk Garut dikawinkan kembali 54,07 dan 58,28 hari setelah beranak, masing–masing untuk desa Sukawargi dan Tenjonegara Kabupaten Garut, sehingga diperoleh jarak beranak 7,54 dan 8,14 bulan.
Mengandangkan ternak Pengandangan ternak merupakan salah satu upaya peningkatan efisiensi reproduksi. Dengan cara ini peternak akan lebih mudah melakukan pengamatan birahi dan tatalaksana perkawinan. Dalam prakteknya manajemen pengandangan ternak dapat dilakukan sebagai berikut: a. Untuk domba dara dikandangkan pada umur pubertas yaitu pada umur antara 7– 10 bulan b. Untuk domba induk setelah beranak, dikandangkan terus-menerus selama dua bulan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui waktu berahi kembali setelah beranak. c. Setelah dikawinkan, tujuannya adalah untuk memastikan keberhasilan perkawinan (terjadi kebuntingan) atau tidak. KESIMPULAN Peningkatan efisiensi reproduksi pada ternak domba di pedesaan dapat ditempuh dengan: 1). peningkatan jumlah petani memelihara pejantan , 2). dilakukan pencatatan (recording) reproduksi, 3). menggunakan sistem perkawinan alam secara kelompok. DAFTAR PUSTAKA ADIATI. U., HASTONO, RSG. SIANTURI., T.D. CHANIAGO dan I-K. SUTAMA. 1997. Sinkronosasi birahi secara biologis pada kambing Peranakan Etawah. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18–19 Nopember 1997. Puslitbang Peternakan. Badan Litbang Pertanian. departemen Pertanian. Hlm. 411–416. HASTONO dan E. MASBULAN. 2001. Keragaan reproduksi domba rakyat di Kabupaten Garut. Pros. Sem. Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor,17–18 September 2001. Puslitbang Peternakan. Badan Litbang Pertanian. Deptan. Bogor, 2001. Hlm. 100–105.
239
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
PAMUNGKAS, D., L. AFFANDHY, D. B. WIJONO, dan K. MA’SUM. 1996. Karakteristik usaha pemeliharaan domba Ekor Gemuk di daerah sentra bibit pedesaan di Jawa Timur. Pros. Temu Ilmiah Hasil–Hasil Penelitian Peternakan. Ciawi, Bogor, 9–1 Januari 1990. Balitnak. Puslitbangnak. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian, 1996. PUSLITBANG PETERNAKAN, 1989. Pedoman Praktis Beternak Kambing-Domba sebagai Ternak Potong. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian, 1989. SIANTURI, RSG., U. ADIATI, HASTONO, IGM. BUDIARSANA dan I-K. SUTAMA. 1997. Sinkronisasi birahi secara hormonal pada
240
kambing Peranakan Etawah. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18–19 Nopember 1997. Puslitbang Peternakan. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. SUBANDRIYO, B. SETIADI, T. D. SOEDJANA dan P. SITORUS. 1994. Produktivitas usahaternak domba di pedesaan. Jurnal Penelitian Peternakan. Nomor 1. Hlm. 1–7. TOELIHERE. 1993. Fisiologi Reproduksi Ternak. Penerbit Angkasa Bandung.
pada
TOMASZWESKA, M. W., I-K SUTAMA, I. G. PUTU dan T. D. CHANIAGO. 1991. Reproduksi Tingkah Laku dan Produksi Ternak di Indonesia. Gramedia Pustaka Utama Yakarta, 1991.