TRADISI KADA SEBAGAI SUMBER SEJARAH PADA MASYARAKAT MORONENE
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Kependidikan Pada Jurusan /Program Studi Pendidikan Sejarah
ASWAR A1A2 09 094
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2015
Abstrak Aswar, A1A209094, judul: Tradisi Kada Sebagai Sumber Sejarah Pada Masyarakat Moronene, Masalah dalam penelitian ini yaitu: Bagaimana latar belakang tradisi Kada pada masyarakat Moronene ?, Bagaimana fungsi tradisi Kada pada masyarakat Moronene ? dan Nilai-nilai apa yang terkandung dalam tradisi Kada pada masyarakat Moronene ?. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah yang dikemukakan oleh Sjamsuddin, meliputi (1) pengumpulan sumber (heuristik), (2) kritik sumber (verifikasi), dan (3) penulisan (historiografi). Hasil penelitian menunjukan bahwa tradisi Kada merupakan salah satu jenis tradisi lisan masyarakat Moronene di Kabupaten Bombana, tidak diketahui secara pasti tahun berapa tradisi Kada ini mulai dilaksanakan, namun tradisi penuturan Kada ini diperkirakan muncul pada abad ke-13 pada awal pemisahan ketiga kerajaan di Bombana, yaitu Kerajaan Rumbia berkedudukan di Taubonto, Kerajaan Polea di Toburi, dan Kerajaan Kabaena di Tangkeno. Kada muncul sebagai upaya masyarakat Moronene untuk tetap mempertahankan cerita kebesaran dan kejayaan masyarakat Moronene di masa lampau, dengan mewariskannya secara turun temurun dari generasi ke generasi, sebelum pelaksanaannya si pencerita harus meminta izin kepada para leluhur, agar pada pelaksanaannya tidak diganggu oleh arwah. Tradisi Kada muncul karena Kada merupakan aturan-aturan dan norma-norma tidak tertulis yang mengikat, dan tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat Moronene dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam hal adat-istiadat, salah satunya dalam adat istiadat pesta perkawinan masyarakat Moronene yang kesemuanya merupakan realisasi dari apa yang disampaikan dalam cerita Kada. Fungsi kada dalam etnik Moronene sebagai dokumentasi lisan, kada dalam masyarakat Moronene berfungsi untuk (1) menyimpan dan memberikan informasi mengenai fenomena masa lalu, baik yang terkait dengan sejarah dan kepahlawanan, (2) berfungsi heroik, yang dapat membangkitkan jiwa patriotisme bagi pendengar atau masyarakat pendukungnya, (3) sebagai pengesahan pranatapranata kebudayaan, yakni terkait dengan ritual adat perkawinan yang berlaku dalam budaya masyarakat Moronene, (4) mengandung fungsi politik, yakni terkait dengan proses awal pembentukan Kabupaten Bombana, yang memekarkan diri dari Kabupaten Buton. Nilai yang terkandung dalam Kada yakni (1) nilai religi, (2) nilai sosial, (3) nilai budaya, dan (4) nilai estetika. Dengan demikian, diharapkan keberadaan Kada sebagai bagian dari tradisi lisan pada masyarakat Moronene dapat lebih diperhatikan karena tersimpan nilai-nilai yang berharga.
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang atas rahmat serta karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Tradisi Kada Sebagai Sumber Sejarah Pada Masyarakat Moronene”. ini sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Hayari, M.Hum sebagai pembimbing I, dan Basrin Melamba, S.Pd, M.A sebagai pembimbing II. Yang telah banyak memberikan saran dan arahan kepada penulis, dalam penyusunan Skripsi ini. Penulis menyadari bahwa keberhasilan penyusunan Skripsi ini tidak terlepas dari kerjasama dan bantuan dari berbagai pihak dalam memberikan informasi, dorongan moril maupun materil. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, M.Si, selaku Rektor Universitas Halu Oleo. 2. Prof. Dr. La Iru, S.H., M.Si, selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo. 3. Rizal. S,Pd., M.Hum, selaku ketua Jurusan Pendidikan IPS Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo. 4. Drs. Hayari, M.Hum, selaku Koordinator Program Studi Pendidikan Sejarah
v
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo. 5. Bapak dan Ibu Dosen pada Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo, yang telah banyak memberikan bimbingan dan kemudahan kepada penulis sehingga dapat menyusun Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 6. Teman-teman mahasiswa seperjuangan angkatan 09 Program Studi Sejarah. Dan khususnya saudara-saudara di komunitas SMOKERS (La Mani S.Pd, LM. Zulfakar Rahman S.Pd, Asra Bantiala, Jufra Udo, Asmara, Kua Parmadi S.Pd, Hayun S.Pd, Safrudin Sabara S.Pd, Sufairin S.Pd). 7. Keluarga besar Lorong Sakura yang selama ini selalu memberikan semangat dan dukungan kepada penulis. 8. Para Informan yang telah banyak membantu penelitan ini dengan meluangkan waktunya untuk wawancara guna memberikan informasi kepada penulis. 9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang telah dengan tulus ikhlas memberikan doa dan dukungan hingga terselesaikannya skripsi ini. Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati yang sedalam-dalamnya penulis mengucapkan terima kasih yang tak ternilai kepada kedua orang tua tercinta Ayahanda Alm. Ayub Sukari dan ibunda Rosmin yang telah melahirkan dan membesarkan saya sampai hari ini. Khususnya buat Almarhum ayahanda tercinta yang tidak sempat mewujudkan cita-citanya untuk melihat penulis wisuda, terima kasih atas kasih sayang yang besar hingga hembusan nafas terakhir, nama dan semua tentangmu akan selalu ada di setiap langkah ini. Semoga engkau selalu
vi
bahagia di sisi-Nya, Amiin yaa rabbal aalamiin. Penulis juga mengucapkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada keluarga besar kakek almarhum Sukari, yang telah banyak memberikan bantuan dukungan baik materil maupun moril. Terakhir, penulis juga mengucapakan terima kasih kepada adik-adikku tercinta “Mia, Della, Edu, dan Uki” yang selalu memberikan motivasi dan dukungan kepada saya. Penulis mohon maaf jika ada kesalahan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja dalam penulisan Skripsi ini. Akhirnya penulis memanjatkan doa, semoga Allah SWT memberikan balasan yang setimpal kepada semua pihak yang telah membantu penulis. Amin.
Kendari,
Penulis,
vii
September 2015
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…..………………..……………………..………………….i HALAMAN PERSETUJUAN………………………….……………..………...ii HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………….......iii ABSTRAK.............................................................................................................iv KATA PENGANTAR…………………………………………………………....v DAFTAR ISI………………...………………………..………..………………viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang………………………..………………………..………..1 B. Rumusan Masalah……………………..…………………………….......4 C. Tujuan Penelitian……………………………………………………......4 D. Manfaat Penelitian…………….……………..…………………………..5 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Konsep Nyanyian Rakyat (Folksong)….…….…..………………………6 B. Konsep Folklor………….……………….……………………………….8 C. Konsep Tradisi Lisan….….………………………………….…………10 D. Konsep Sumber Sejarah………………………………………………...15 E. Konsep Sruktural Fungsional…………………………………………...17 F. Penelitian yang Relevan………………………………………………...21 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian………………………………………......22 B. Jenis Penelitian……………………………………………..…………...22 C. Pendekatan Penelitian…………………………………….………….....22 D. Sumber Data Penelitian………..………………………..…………........23 E. Metode Penelitian………………………………………………………23
viii
BAB IV GAMBARAN UMUM MASYARAKAT MORONENE A. Sejarah Suku Moronene di Kabupaten Bombana………………….......26 B. Kondisi Sosial Budaya Masyarakata Moronene……………………….30 C. Ragam Tradisi Lisan Masyarakat Moronene…………………………..37 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Latar Belakang Tradisi Lisan Kada Pada Masyarakat Moronene……..38 B. Fungsi Tradisi Lisan Kada Pada Masyarakat Moronene………………43 1. Fungsi Sumber Sejarah……………………………………………43 2. Fungsi Kepahlawanan………………………………………….....45 3. Fungsi Pengesahan Pranata-Pranata Kebudayaan…………..…….46 4. Fungsi Politik……………………………………………………..48 5. Kedudukan cerita kada dalam Masyarakat Moronene……............50 C. Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi Kada pada masyarakat Moronene…………………………………………………………........52 1. Nilai Religi…..………………………………………………….....52 2. Nilai Sosial………………………………………………...............53 3. Nilai Budaya…………………………………………………….....55 4. Nilai Estetika………………………………………………………56 BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan…………………………………………………………….58 B. Saran-Saran………………………………………………………….....59 C. Implikasi
Hasil
Penelitian
Terhadap
Pembelajaran
Sejarah
di
Sekolah………………………………………………………………....60 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN - LAMPIRAN
ix
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Setiap bangsa memiliki kebudayaan, kebudayaan daerah merupakan bagian terpenting dari kekayaan budaya bangsa Indonesia. Keanekaragaman budaya bangsa itu tercermin dalam keragaman tradisinya, hal ini merupakan warisan sejarah bangsa yang mempunyai sumbangan yang sangat besar bagi sejarah bangsa Indonesia tercinta. Ciri khas kehidupan suatu bangsa dapat dilihat dari pelaksanaan tradisi budaya yang dimilikinya. Hal itu mencerminkan masyarakat tersebut memegang teguh nilai-nilai luhur yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi dan diharapkan dapat bertahan secara permanen dan kekal abadi dalam kehidupan masyarakat sebagai bentuk identitas terhadap keberadaan suku bangsa tersebut. Tradisi lisan merupakan bentuk ekspresi sejarah lokal yang jumlahnya sangat banyak diseluruh Indonesia, terbukti banyak kesamaan kandungan nilai sejarah dan ajaran hidup diantaranya tetapi juga ada perbedaan-perbedaan yang memperlihatkan keragaman ciri kebudayaan setiap daerah. Tradisi lisan sebagai sumber sejarah melingkupi segala sendi kehidupan manusia, membuktikan bahwa nenek moyang kita dimasa lampau telah mengenal ajaran kehidupan dalam tradisi lisan. Jan Vansina mengemukakan bahwa tradisi lisan sebagai pesan-pesan verbal yang merupakan kalimat-kalimat laporan dari masa lalu yang melampaui masa
2
masa kini. Lebih lanjut Lord (1995:1) mendefinisikan tradisi lisan sebagai suatu yang dituturkan dalam masyarakat, penutur tidak menulis apa yang dituturkannya tetapi melisankannyadan penerima tidak membacanya namun mendengar. Tradisi lisan sebagai sumber sejarah mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya pengembangan sejarah nasional. Untuk itu penggalian tradisi lisan sebagai sumber sejarah memerlukan informasi yang lengkap sehingga keanekaragamn tersebut dapat mewujudkan kesatuan bangsa melalui sejarah yang dimilikinya. Salah satu informasi yang sangat penting yaitu adanya sumber sejarah yang masih berbentuk lisan dan masih terdapat di tengah-tengah masyarakat serta diwarisi dan disebarkan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Tradisi lisan merupakan sumber sejarah dan merupakan salah satu bagian sejarah lokal yang perlu dibina dan dilestarikan. Untuk mencapai maksud tersebut maka Kada sebagai tradisi lisan dan sumber sejarah yang saat ini semakin kurang dikenal oleh masyarakat pendukungnya dan terancam punah karena semakin kurang orang yang menguasainya maka perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak. Hadirnya budaya-budaya lain khususnya di kabupaten Bombana membuat budaya lokal yang berbau sejarah yang kita miliki salah satunya tradisi lisan Kada semakin terabaikan. Oleh karena itu, sebagai generasi penerus dan pelanjut citacita bangsa harus tetap mempertahankan tradisi sejarah lokal sebagai sumber sejarah yang diwariskan kepada kita.
3
Sejalan dengan perkembangan zaman yang kompetitif dan dibarengi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern berdampak pula pada bergesernya tata nilai dan struktur budaya dan tradisi dalam masyarakat. Hal ini perlu disadari oleh semua pihak bahwa tradisi lisan sebagai sumber sejarah yang tersebar diberbagai daerah semakin terdesak oleh perkembangan zaman. Arus informasi yang serba canggih telah memperlihatkan dominasinya dalam merebut simpati generasi muda, akibatnya tradisi lisan sebagai sumber sejarah yang diwariskan oleh leluhur terabaikan begitu saja. Di samping itu, penyebaran yang bersifat lisan tanpa dokumen yang tertulis dan penuturnya yang semakin berkurang menjadikan tradisi lisan terancam punah. Apabila ancaman tersebut tidak segera diatasi maka tradisi lisan tersebut lambat laun akan punah sama sekali. Padahal dalam tradisi lisan sebagai sumber sejarah lokal terkandung mutiara kehidupan yang sangat berharga untuk diwarisi dan diwariskan kepada generasi selanjutnya. Dalam kehidupan masyarakat Moronene Kabupaten Bombana, Kada merupakan salah satu tradisi lisan yang masih dilestarikan oleh sebagian kecil masyarakat pendukungnya. Di samping itu, tradisi Kada dapat berguna untuk memperkokoh nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku didalam masyarakat. Namun keberadaan tradisi lisan Kada sebagai sumber sejarah nasibnya tidak jauh beda dengan tradisi lisan lainnya di Kabupaten Bombana yang terancam punah. Sebagian besar masyarakat Moronene dikabupaten Bombana khusunya generaasi muda sudah tidak mengetahui bentuk, struktur, dan makna Kada. Kurangnya perhatian
generasi muda terhadap warisan leluhur disebabkan oleh berbagai
4
faktor. Di antaranya adalah perkembangan zaman yang semakin canggih, akibatnya mereka lebih tertarik pada budaya modern yang lebih tersedia disekitarnya. Hal ini semakin menambah kekhawatiran penulis bahwa bukan tidak mungkin dimasa mendatang tradisi Kada ini akan hilang dari masyarakat Moronene. Sejauh ini belum ada hasil penelitian sejarah yang meneliti tentang tradisi Kada pada masyarakat Moronene. Jika hal
ini dibiarkan tentu kita akan
kehilangan salah satu tradisi yang merupakan bagian dari sejarah lokal, tradisi lisan merupakan warisan berharga dari para leluhur. Hal inilah yang kemudian membuat penulis sebagai generasi penerus bangsa merasa perlu untuk melakukan penggalian dan pengembangan tradisi Kada yang dimiliki oleh masyarakat Moronene. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana latar belakang tradisi Kada pada masyarakat Moronene ? 2. Bagaimana fungsi tradisi Kada pada masyarakat Moronene ? 3. Nilai-nilai apa yang terkandung dalam tradisi Kada pada masyarakat Moronene ? C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui latar belakang tradisi Kada pada masyarakat Moronene. 2. Untuk mengetahui fungsi tradisi Kada pada masyarakat Moronene.
5
3. Untuk mengetahui nilai-nilai apa yang terkandung dalam tradisi Kada pada masyarakat Moronene. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Praktis a. Sebagai bahan masukan bagi kalangan akademis, menjadi sumber pedoman dalam melakukan penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan penelitian ini. b. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah, dalam membina dan membangun kehidupan berbangsa dan bernegara melalui budaya-budaya lokal. c. Sebagai bahan informasi, khususnya bagi masyarakat Moronene dan masyarakat Sulawesi Tenggara pada umumnya tentang tradisi dan budaya pada masyarakat Moronene. 2. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis sekurang-kurangnya dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi dunia pendidikan.
6
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Nyanyian Rakyat (Folksong) Nyanyian rakyat (folksong) adalah bentuk puisi yang dinyanyikan sehingga syair dan lagu rakyat merupakan satu kesatuan. Berdasarkan jenisnya nyanyian rakyat (folksong) dibedakan atas lagu anak, lagu umum, dan lagu religius. Berdasarkan fungsinya nyanyian rakyat (folksong) dibedakan menjadi lagu pengiring tarian, lagu untuk mengiringi permainan, dan lagu untuk dinyanyikan. Lagu religius umumnya berisi pujian terhadap tuhan, dinyanyikan pada upacara yang berhubungan dengan kehidupan seperti kelahiran, perkawinan, dan panen. Nyanyian rakyat adalah salah satu bentuk folklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu, yang beredar secara lisan di antara masyarakat tertentu dan berbentuk tradisional serta banyak memiliki varian. Dalam nyanyian rakyat kata-kata dan lagu merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Akan tetapi, teks yang sama tidak selalu dinyanyikan dengan lagu yang sama. Sebaliknya, lagu yang sama sering dipergunakan untuk menyanyikan beberapa teks nyanyian rakyat yang berbeda. Nyanyian rakyat memiliki perbedaan dengan nyanyian lainnya, seperti lagu pop atau klasik. Hal ini karena sifat dari nyanyian rakyat yang mudah dapat berubah-ubah, baik bentuk maupun isinya. Brunvand (dalam Danandjaya, 1986 : 141) mengatakan bahwa nyanyian rakyat adalah salah satu bentuk folklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu-lagu yang beredar secara lisan dalam satu masyarakat tertentu yang berbentuk
7
tradisional serta dapat mempunyai banyak varian. Zaidan dkk (2000:139) mengatakan bahwa nyanyian rakyat adalah jenis nyanyian yang termasuk tradisi lisan, pengarangnya individual, tidak diketahui dan temanya universal yaitu suka dan duka manusia. Nyanyian rakyat lebih luas peredarannya pada suatu masyarakat dari pada lagu-lagu lainnya. Karena nyanyian rakyat beredar, baik di kalangan melek huruf maupun buta huruf, kalangan atas maupun kalangan bawah. Umur nyanyian rakyat pun lebih panjang daripada nyanyian pop. Bentuk nyanyian rakyat juga beraneka ragam, yakni dari yang paling sederhana sampai yang cukup rumit. Penyebarannya melahirkan tradisi lisan menyebabkan nyanyian rakyat cenderung bertahan sangat lama dan memiliki banyak varian-varian. Dari berbagai jenis nyanyian rakyat, yang dapat dipertimbangkan sebagai salah satu sumber dari penulisan sejarah adalah nyanyian rakyat yang bersifat berkisah, nyanyian rakyat yang tergolong dalam kelompok ini adalah Balada dan Epos. Perbedaan antara balada dan epos terletak pada tema ceritanya. Tema cerita balada mengenai kisah sentimentil dan romantis, sedangkan epos atau wiracarita mengenai cerita kepahlawanan. Keduanya memiliki bentuk bahasa yang bersajak. Nyanyian yang bersifat berkisah ini banyak terdapat di Indonesia. Sejalan dengan pendapat ahli diatas maka dapat dikatakan bahwa Kada katakata yang beredar secara lisan dari mulut ke mulut dari nenek moyang, anonim dan bersifat tradisi menurut adat kebiasaan yang dijalankan oleh suatu masyarakat, dengan demikian maka Kada termasuk nyanyian rakyat.
8
B. Konsep Folklor Kata folklor adalah pengindonesiaan kata Inggris “folklore”. Kata itu adalah kata majemuk yang berasal dari dua kata dasar “folk dan lore” (Danandjaja, 2002 : 1). Menurut Alan Dundes, “folk” adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Sedangkan “lore” adalah tradisi “folk”, yaitu sebagian budaya yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat, (Danandjaja, 2002 : 1-2). Folklor menurut Brunvand dalam Semiotika (1997 : 9) adalah sebagian dari kebudayaan suatu masyarakat yang tersebar dan diwariskan secara turuntemurun secara kolektif dan secara tradisional dalam versi yang berbeda baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun diantara kolektif apa saja secara tradisional dalam versi yang berbeda baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Danandjaja, 2002 : 2). Menurut Brunvand dalam Danandjaja (2002 : 21-22), folklor dapat digolongkan dalam tiga tipe yaitu : 1. Folklor lisan, yaitu folklor yang memang bentuknya murni lisan. Bentuk-bentuk folklor yang termasuk dalam kelompok besar ini antara lain : a. Bahasa rakyat seperti sindiran, logat, bahasa rahasia, dan mantera.
9
b. Ungkapan tradisional seperti pepatah, peribahasa dan seloka. c. Pertanyaan tradisional atau teka-teki tradisional. d. Puisi rakyat seperti pantun, syair, dan gurindam. e. Cerita rakyat seperti mite, legenda, dongeng, dan fabel. 2. Folklor sebagian lisan, adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Kepercayaan rakyat misalnya yang sering disebut dengan takhayul, terdiri dari pernyataan lisan ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap mempunyai makna gaib dan berkhasiat untuk melindungi diri atau dapat membawa rezeki seperti batu-batu tertentu. 3. Folklor bukan lisan, yaitu folklor yang bentuknya bukan lisan walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Contohnya seperti arsitektur rakyat, kerajinan tangan rakyat, makanan dan minuman rakyat, serta musik rakyat. Selanjutnya Danandjaja dalam Semiotika (1997 : 2), menyebutkan bahwa ciri pengenal folklor khususnya folklor lisan adalah sebagai berikut : 1. Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yaitu disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut. 2. Folklor bersifat tradisional yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau bukan bentuk standar. 3. Folklor ada dalam versi-versi yang berbeda, hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut. 4. Folklor bersifat anonim, nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi.
10
5. Folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola. 6. Folklor mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama suatu kolektif. 7. Folklor bersifat prologis, yakni mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. 8. Folklor menjadi milik bersama dari kolektif tertentu yang hal ini sudah tentu diakibatkan karena penciptanya sudah tidak diketahui lagi sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa miliknya. 9. Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu sehingga seringkali terlihat kasar dan spontan. Menurut Gaffar (1990:3) folklor merupakan bentuk tradisi lisan yang memakai media bahasa, pengertian akan kabur bilamana diperhadapkan pada bentuk sastra lisan lain yang juga memakai media bahasa seperti teka-teki dan ungkapan tradisional. Pengertian cerita rakyat dikemukakan pula oleh Fahruddin Ambo Enre (1991:1) bahwa folklor adalah suatu kebudayaan ditengah-tengah masyarakatnya yang diwariskan secara lisan sebagai milik bersama. Dalam pengertian lain, folklor adalah kisahan atau anonim yang tidak terikat oleh ruang dan waktu yang beredar secara lisan di tengah-tengah masyarakat (Sudjiman, 1989:16). C. Konsep Tradisi Lisan Kemampuan manusia dalam berbicara menggunakan bahasa lisan dalam masyarakat yang belum mengenal tulisan, bukan berarti mereka tidak punya kemampuan untuk merekam dan mewariskan pengalaman masa lalunya melalui
11
tradisi lisan. Tradisi lisan dapat diartikan sebagai kebiasaan atau adat berkembang dalam suatu komunitas masyarakat yang direkam dan diwariskan dari generasi ke generasi melalui bahasa lisan. Dalam tradisi lisan terkandung kejadian-kejadian sejarah, adat istiadat, cerita, dongeng, peribahasa, lagu, mantra, nilai moral, dan nilai keagamaan. Lord (1995 : 1) mendefinisikan tradisi lisan sebagai sesuatu yang dituturkan dalam masyarakat. Penutur tidak menulis apa yang dituturkannya tetapi melisankannya, dan penerima tidak membacanya namun mendengar. Senada dengan itu, Pudentia (2007 : 27) mendefinisikan tradisi lisan sebagai wacana yang diucapkan atau disampaikan secara turun-temurun meliputi yang lisan dan yang beraksara yang kesemuanya disampaikan secara lisan. Akan tetapi modus penyampaian tradisi lisan ini tidak hanya berupa kata-kata, tetapi juga gabungan antara kata-kata dan perbuatan tertentu yang menyertai kata-kata. Tradisi lisan pun akan menyediakan seperangkat model untuk bertingkah laku yang meliputi etika, norma, dan adat-istiadat. Lebih lanjut Taylor (dalam Daud 2008 : 258) mendefinisikan tradisi lisan sebagai bahan-bahan yang dihasilkan oleh masyarakat tradisional, yang berbentuk pertuturan, adat resam, dan amalan diantaranya ritual, upacara adat, cerita rakyat, nyanyian rakyat, tarian dan permainan. Satu kelompok masyarakat dengan nilai, norma, tradisi, adat, dan budaya yang sama akan mempunyai jejak-jejak masa lampaunya. Dalam masyarakat yang belum mengenal tulisan, jejak-jejak masa lampaunya disebarluaskan dan diwariskan secara turun temurun kepada generasi berikutnya secara lisan sehingga
12
menjadi bagian dari tradisi lisan. Karya-karya dalam tradisi lisan merupakan bagian dari folklore. Piliang (dalam Darwan Sari,2011:22-23) mendefinisikan tradisi lisan sebagai bentuk karya, gaya yang dipresentasikan sebagai kelanjutan dari masa lalu kemasa kini, sehingga tradisi lisan adalah sesuatu yang tidak pernah berubah, dan dijalankan sebagai sebuah pengulangan-pengulangan. Tradisi menurut piliang adalah proses repetisi dan reproduksi. Tradisi adalah reproduksi atau kelanjutan masa lalu dan ia akan kehilangan sifat tradisi bila ia berubah. Perubahan dianggap sebagai musuh tradisi yang mengancam keaslian dan keberlanjutannya. Konsep lain yang dikemukakan Piliang menyangkut tradisi lisan adalah bentuk, prinsip, konsep, pranata tingkah laku, ekspresi, norma dan nilai yang telah didefenisikan dimasa lalu secara kolektif, dan diwariskan secara turun-temurun. Karena didefinisikan secara kolektif, maka tradisi mampu mengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan budaya lokal yang dapat bertahan dalam menumbuhkan
kemampuannya,
dalam
arti
tidak
terikat
dengan
sifat
ketergantungan pada globalisasi. Dengan kata lain, tradisi harus mampu bergerak secara aktif dalam menumbuhkan kemampuannya. Masyarakat Moronene memiliki tradisi lisan yang telah diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi secara berkelanjutan. Salah satu tradisi lisan yang masih hidup di tengah-tengah masyarakat Moronene adalah tradisi Kada. Tradisi lisan merupakan salah satu bentuk ekpresi sejarah lokal yang jumlahnya sangat banyak di Indonesia. Terbukti banyak kesamaan dan kesejajaran
13
kandungan nilai sejarah dan ajaran hidup diantaranya tetapi juga kelihataan adanya perbedaan-perbedaan yang memperlihatkan keragaman ciri dari masingmasing kebudayaan setiap daerah. Tradisi lisan sebagai sumber sejarah melingkupi segala sendi kehidupan manusia, membuktikan bahwa nenek moyang kita dimasa lampau telah mengenal ajaran kehidupan yang terkandung dalam tradisi lisan. Jan Vansina mengemukakan bahwa tradisi lisan sebagai pesan-pesan verbal yang merupakan kalimat-kalimat laaporan dari masa lalu yaang melampaui masa kini. Lebih lanjut Lord (1995:1) mendefinisikan tradisi lisan sebagai suatu yang dituturkan dalam masyarakat, penutur tidak menulis apa yang dituturkannya tetapi melisankannya dan penerimanya tidak membacanya namun mendengar. J.C. Miller (dalam Jan Vansina, 2014:44) membatasi tradisi hanya kepada pernyataan-pernyataan kesadaran sejarah: orang-orang yang menceritakannnya ingin menyampaikan masa lalu kepada kita. Pada praktiknya J.C. Miller kelihatannya mengesankan bahwa pernyataan-pernyataan tersebut harus berupa cerita. Lebih lanjut dia berpendapat bahwa inti daripada pernyataan-pernyataan seperti itu berisikan stereotip atau klise yang terus berada dalam keadaan stabil dan berbentuk tidak berubah dan yang harus diselidiki oleh sejarawan. Biasanya tradisi lisan berisi pesan-pesan antara lain ; (1) kemenangan dalam perang, (2) kehebatan pemimpin kelompok, (3) bencana alam, (4) kepindahan suku mereka ke tempat yang baru, dll. Pesan-pesan tersebut biasanya disampaikan dengan susunan kata-kata, syair, dan tembang atau lagu. Adapun jenis-jenis tradisi lisan adalah sebagai berikut ;
14
1. Petuah-petuah atau nasehat, merupakan suatu pandangan atau pesan untuk generasi berikutnya 2. Kisah-kisah tentang peristiwa disekitar kehidupan manusia yang berisi fakta tertentu atau yang dikenal sebagai historical gossip. 3. Cerita kepahlwanan, yang berisi gambaran tentang berbagai tindakantindakan
kepahlawanan
yang
mengagumkan
bagi
kelompok
pemiliknya. 4. Cerita dongeng, yang umumnya bersifat fiktif. Unsur fakta masih ada tapi fungsi utama adalah untuk menghibur atau menyenangkan para pendengarnya. Peranan tradisi lisan dalam penulisan sejarah lokal adalah sebagai sumber sejarah untuk mewujudkan fakta-fakta dalam rangka penyusunan sejarah. Walaupun demikian, ada keterbatasan-keterbatasan yang harus diperhatikan ; a. Konsep waktu, dalam tradisi lisan urutan terjadinya waktu peristiwa tidak diperhatikan terutama yang berkaitan dengan pandangan hidup waktu, dalam hal ini hanya untuk menunjukkan pergeseran/peralihan dari satu posisi ke posisi lain yang pada akhirnya kembali ke posisi semula. b. Unsur subjektivitas, dalam sumber tertulis subjektivitas hanya berasal dari penyampai, tetapi dalam sumber/tradisi lisan subkjektivitas dari penyampai dan penerima. c. Penerapan konsep kausalitas dalam deskripsi ceritanya, hubungan sebab akibat yang rasional dapat diidentifikasi pada sejumlah peristiwa
15
sejarah. Dalam alam pemikiran tradisional, hubungan kausalitas hanya ditarik pada satu garis hubungan yang bersumber pada satu sebab tunggal yang menghasilkan berbagai akibat gejala alam sosial didunia ini. D. Konsep Sumber Sejarah Peristiwa sejarah hanya dapat direkonstruksi apabila didukung oleh faktafakta yang mencukupi. Dengan kata lain fakta memiliki posisi sentral karena menjadi landasan bagi kerja sejarawan. Berpijak pada posisi penting fakta, maka pengumpulan sumber sejarah merupakan tahap yang sangat menentukan berhasil atau tidaknya suatu penelitian sejarah. Pada ilmu sejarah, sumber dibedakan menjadi primer, sekunder, dan tersier. Sumber primer adalah informasi yang disampaikan oleh pihak yang terdekat dengan peristiwa yang diteliti, apabila tokoh-tokoh yang menjadi pelaku dalam peristiwa dijadikan sumber, maka tokoh tersebut ditempatkan sebagai sumber primer. Sumber informasi dikelompokkan sebagai sekunder apabila diperoleh melalui perantara yang tidak terkait langsung dengan peristiwa yang diteliti. Contoh yang paling mudah tentang sumber sekunder adalah informasi yang disampaikan oleh sejarawan, baik melalui buku maupun artikel surat kabar. Sumber tersier adalah infomasi yang disampaikan oleh pihak ketiga. Dilihat dari wujudnya, sumber sejarah sangat beragam. Oleh karena wujudnya yang sangat beragam maka cara memeperolehnyapun harus menggunakan berbagai jalan. Sebagai contoh untuk mengumpulkan sumber yang berupa artefak diperlukan ekskavasi atau penggalian, untuk sumber tertulis dikumpulkan melalui studi arsip
16
dan pustaka, sedangkan untuk pengumpulan sumber-sumber lisan dilakukan wawancara Sumber sejarah merupakan bahan-bahan yang dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang peristiwa sejarah. Sumber sejarah terdiri atas : 1. Sumber tertulis, yakni cara pengumpulan data atau informasi peristiwa sejarah melalui peninggalan-peninggalan tertulis, catatan peristiwa yang terjadi di masa lampau. Misalnya prasasti, dokumen, naskah, piagam,babad, surat kabar, dan tambo. Sumber tertulis dapat dibedakan menjadi sumber primer dan sumber sekunder, dilihat dari segi bentuknya sumber tulisan dapat berbentuk tulisan yang tercetak dan tulisan yang masih ditulis tangan (manuskrip). 2. Sumber lisan, yakni cara pengumpulan data atau informasi tentang suatu peristiwa sejarah melalui sejarah lisan. Sumber lisan berfungsi sebagai pelengkap sumber tertulis yang belum memadai. Namun, sumber lisan memiliki keterbatasan-keterbatasan dibanding dengan sumber tertulis. Sumber lisan menggunakan metode wawancara langsung Penelitian sejarah lisan memiliki beberapa kelebihan dibandingkan sejarah tertulis, yakni : 1. Pengumpulan data dapat dilakukan dengan adanya komunikasi dua arah (antara peneliti dan tokoh) sehingga jika ada hal yang kurang jelas bisa langsung ditanyakan pada narasumber. 2. Penulisan sejarah menjadi lebih demokratis (terbuka) karena memungkinkan sejarawan untuk mencari informasi dari semua golongan masyarakat (baik rakyat biasa sampai pejabat)
17
3. Melengkapi kekurangan data atau informasi yang belum termuat dalam sumber tertulis atau dokumen. Namun, sejarah lisan juga memiliki beberapa kekurangan dalam penyampaiannya yaitu keterbatasan daya ingat seorang pelaku/saksi sejarah terhadap suatu peristiwa dan subjektifitas yang tinggi dikarenakan sudut pandang yang berbeda-beda dari masing-masing pelaku dan saksi terhadap suatu peristiwa, sehingga cenderung memperbesar peranannya dan menutupi kekurangannya. E. Konsep Struktural Fungsional Fungsionalisme strukturis menekankan pada persyaratan fungsional yang dibutuhkan oleh masyarakat sebagai sebuah sistem untuk terus bertahan. Kecenderungan masyarakat untuk terus menciptakan konsensus (kesepakatan) antar
anggotanya
dan
kontribusi
peran
dan
status
yang
dimainkan
individu/institusi dalam keberlangsungan sebuah masyarakat. Masyarakat dilihat sebagai sebuah sistem dimana seluruh struktur sosialnya terintegrasi menjadi satu, masing-masing memiliki fungsi yang berbeda-beda tapi saling berkaitan dan menciptakan konsensus dan keteraturan sosial serta keseluruhan elemen akan saling beradaptasi baik terhadap perubahan internal dan eksternal dari masyarakat (George Ritzer dan Gouglas J. Goodman, 2007 : 118). Struktural Fungsional mengkaji peran atau fungsi dari suatu struktur sosial atau institusi ssosial dan perilaku tindakan sosial tertentu dalam sebuah masyarakat dan pola hubungannya dengan elemen-elemen lainnya. Selain itu, juga mengkaji status peran dan proses kerja keseluruhan masyarakat.
18
Pendekatan strukutural fungsional ini adalah teori sosiologi yang diterapkan dalam analisis sistem sosial atau kehidupan sosial masyarakat (Suhardin, 2001:30). Herbert Spenser (dalam Suhardin 2001 : 35) menyatakan bahwa apabila sebuah organisasi terdiri dari rangkaian konstruksi yang menyatu dimana setiap bagian hanya dapat berfungsi melalui cara saling ketergantungan antara satu sama lainnya maka pemisahan salah satu bagian dari kesatuan organisasinya akan menyebabkan berubahnya fungsi dari bagian-bagian lain secara keseluruhan. Menurut pendekatan struktural fungsional, masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap sistem dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya kalau tidak fungsional struktur itu tidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinya (Ritzer, 1992 : 25). Pendekatan struktural fungsional ini adalah pendekatan konsep sosiologi yang ditetapkan dalam analisis sistem sosial atau kehidupan sosial masyarakat. Soekanto (1982 : 6) menjelaskan bahwa lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat sebagai unsur struktural fungsional dianggap dapat memenuhi kebutuhan kelangsungan hidup dan pemeliharaan masyarakat. Pendekatan ini mempunyai warna yang jelas yaitu mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial. Keragaman ini merupakan sumber utama dari adanya struktur masyarakat, dan akhirnya keragaman dalam fungsi sesuai dengan posisi seseorang
19
dalam sebuah sistem. Misalnya, dalam sebuah organisasi pasti ada segmen anggota yang mampu menjadi pemimpin, dan yang menjadi sekretaris atau anggota biasa. Tentunya kedudukan seseorang dalam struktur organisasi akan menentukan fungsionalnya,
yang masing-masing akan berbeda.
Namun
perbedaann fungsi ini tidak untuk mencapai tujuan organisasi sebagai kesatuan. Tentunya struktur dan fungsi ini tidak akan pernah lepas dari pengaruh budaya, norma dan nilai-nilai yang melandasi sistem masyarakat yang bersangkutan (Megawangi, 1999 : 57). Para pakar ilmu sosial yang berjasa dalam mengembangkan konsep struktural fungsional dalam sosiologi dan hasil pemikiran mereka telah menjadi fondasi penting dalam mengembangkan konsep ini sebagai berikut : Aguste Comte (1798 – 1857) memulai perspektif fungsionalisme dan dari hasil pemikirannya yang mempunyai perhatian penuh pada ketertiban dan keharmonisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan setelah Revolusi Perancis (Becker dan Barnes, 1952 : 572 – 573). Comte menyerang paham utilitarianism dan individualisme yang sangat berpengaruh di Inggris pada zamannya. Comte menginginkan sebuah prinsip “konsensus sosial” yang dapat tercipta dalam masyarakat. Menurut Comte, elemen-lemen dalam tubuh organik sosial masyarakat tidak berdiri sendiri, tetapi saling terkait yang merupakan unit kesatuan. Kesatuan ini bersumber dari adanya solidaritas sosial dan konsensus dalam kehidupan masyarakat (Poloma, 1994 : 23).
20
Herbert Spencer (1820 – 1903), melanjutkan apa yang telah dirintis oleh Comte, Herbert Spencer menekankan bahwa perubahan yang terjadi pada struktur organisme akan menyebabkan perubahan pada fungsinya dalam organisasi sosial. Emile
Durkheim
(1898
–
1971),
pemikirannya
tentang
sistem
kemasyarakatan banyak dipengaruhi oleh Comte. Pemikiran Durkheim tentang masyarakat secara ringkas sebagai berikut : individu adalah ekspresi dari kolektifitas tempat individu tersebut berada adalah unsur dari masyarakat itu sendiri yang memberikan tanggung jawab kepada setiap individu. Walaupun masyarakat mengizinkan individu untuk menjadikan dirinya sendiri, namun kesadaran akan kebersamaannya dalam kolektifitas akan tetap ada dalam setiap diri individu. Seperti halnya setiap organ tubuh organisme hidup, setiap individu adalah berbeda dan mempunyai fungsi yang berbeda pula (Megawangi, 1999 : 61). Kesimpulan yang dapat diambil dari konsep struktural fungsional ini adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya kalau tidak fungsional struktural tidak ada atau akan hilang dengan sendirinya. Dalam perjalanannya, di tengah-tengah masyarakat tradisi Kada dapat berfungsi
sebagai
saran
hiburan
dan
sarana
pelindung
norma-norma
kemasyarakatan. Kada sebagai salah satu tradisi lisan pada masyarakat etnik Moronene merupakan tradisi yang juga sarat akan nilai, sehubungan dengan nilai Freankel (1977:6) menjelakan bahwa nilai adalah idea atau konsep yang bersifat abstrak
21
tentang apa yang dipikirkan seseorang atau dianggap penting oleh seseorang, biasanya mengacu pada estetika (keindahan), etika pola perilaku dan logika benar. Aadapun nilai yang terkandung dalam tradisi Kada yaitu (1) nilai keagamaan, (2) nilai sosial, (3) nilai estetika, dan (4) nilai moral. Selanjutnya nilai-nilai tersebut masih dapat diuraikan dalam kelompok yang lebih kecil, yaitu nilai agama terdiri atas nilai tauhid dan menyerah kepada takdir. Nilai sosial terdiri atas nilai gotong royong, musyawarah, kepatuhan, kesetiaan, dan keikhlasan. Nilai estetika terdiri atas nilai kasih sayang, percintaan, dan keindahan. Dalam nilai moral terdiri atas nilai kejujuran, kesopanan, ketabahan, dan menuntut malu atas harga diri. F. Penelitian Yang Relevan Penelitian yang relevan dengan penelitian ini antara lain yang dilakukan oleh La Banara dalam penelitiannya mengenai “Kabhanti Kusapi sebagai Tradisi Lisan Masyarakat Muna” menyimpulkan bahwa Kabhanti Kusapi merupakan salah satu tradisi lisan masyarakat Muna yang diturunkan secara turun-temurun dari mulut ke mulut dan didalamnya mengandung nilai-nilai budaya. Selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Darwan Sari dalam penelitiannya yang berjudul “Revitalisasi Tradisi Lisan Kantola Masyarakat Muna Sulawesi Tenggara Pada Era Globalisasi” menyimpulkan bahwa tradisi lisan Kantola memiliki kekuatan dasar, yaitu kekuatan bermakna edukasi yang berlandaskan nilai-nilai, dimana nilai-nilai sangat kaya denagn keyakin-keyakinan yang dapat dijadikan titik tolak untuk membentuk pribadi yang kuat.
22
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Lamoare Kecamatan Poleang Tenggara Kabupaten Bombana Sulawesi Tenggara dengan pertimbangan sebagai berikut; (1) pelantun tradisi lisan Kada masih dijumpai diwilayah ini, (2) Desa Lamoare Kecamatan Poleang Tenggara sudah mewakili pola perilaku masyarakat Moronene secara keseluruhan dalam hal pewarisan dan pemanfaatan tradisi lisan Kada. Adapun waktu pelaksanaan penelitian ini yaitu dimulai dari bulan Juni 2015 sampai selesai. B. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian sejarah yang bersifat deskriptif kualitatif yakni memberikan gambaran dan penjelasan tradisi Kada sebagai tradisi lisan dan sumber sejarah bagi masyarakat Moronene di Kecamatan Poleang, Rumbia, dan Kabaena Kabupaten Bombana Sulawesi Tenggara. C. Pendekatan Penelitian Penelitiaan ini menggunakan pendekatan strukturis yaitu merupakan perpaduan antara pendekatan individualis dan strukturalis. Pendekatan strukturis ini lebih mengungkapkan pada individu atau kelompok sosial tertentu sebagai faktor perubahan. Sedangkan faktor sosial menjadi wadahnya yang mengikat antara individu atau kelompok sosial sehingga terjadi interaksi.
23
D. Sumber Data Penelitian a. Sumber tertulis, yakni data yang diperoleh dalam bentuk buku, skripsi, dan hasil laporan penelitian yang relevan dan mendukung perolehan data dalam penelitian ini. b. Sumber lisan, yakni data yang diperoleh melalui keterangan lisan atau hasil wawancara dengan para informan yang merupakan tokoh masyarakat/adat, dan pemerintah yang mengetahui tentang Kada. c. Sumber visual, yaitu data berupa benda-benda yang berkaitan dengan tradisi Kada pada masyarakat etnik Moronene. E. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah yang dikemukakan oleh Sjamsuddin (2007:17) yang terbagi dalam tiga tahapan, yaitu (1) pengumpulan sumber (heuristik), (2) kritik sumber (verifikasi) (3) penulisan (historiografi). Berdasarkan penjelasan yang dikemukakan Helius Sjamsuddin,
maka
penelitian ini melalui prosedur atau tahapan-tahapan sebagai berikut : a. Pengumpulan Sumber (Heuristik) Pengumpulan sumber dilakukan dengan cara : 1. Penelitian kepustakaan (library research), yaitu teknik yang digunakan untuk memperoleh data yang diperlukan melalui sumber-sumber tertulis berupa buku-buku/literatur/skripsi, makalah, dan laporan hasil penelitian yang relevan dengan judul dan masalah yang dikaji.
24
2. Penelitian lapangan (field research), yaitu teknik yang digunakan untuk memperoleh data yang diperlukan dengan cara peninjauan langsung ke lokasi penelitian dengan menggunakan teknik sebagai berikut : a. Pengamatan (observasi), peneliti melakukan pengamatan terhadap masyarakat etnik Moronene dengan tradisinya sebagai objek yang diteliti. b. Studi lisan, peneliti melakukan wawancara dengan beberapa informan yang dianggap mengetahui permasalahan yang diteliti. Para informan tersebut terdiri dari tokoh adat, tokoh masyarakat, dan beberapa informan yang mampu memberikan penjelasan mengenai tradisi Kada. c. Studi dokumen, yakni teknik pengumpulan data dengan mengkaji dokumen yang ada hubungannya dengan permasalahan yang akan diteliti. b. Kritik Sumber (Verifikasi) Kritik sumber adalah suatu teknik analisis untuk menilai otentisitas (keaslian) dan kredibilitas (kebenaran) suatu sumber data yang telah dikumpulkan baik untuk luar maupun isinya dengan menempuh dua tahapan, yaitu : 1. Kritik ekstern, dimaksudkan untuk mengevakuasi apakah sumber dokumentasi itu asli atau tidak dan informan itu jujur atau tidak. Untuk itu dalam mengevaluasi sumber data dari segi otentitas keaslian paling tidak ada tiga perttnyaan yang diajukan untuk mengkaji aspek luar sebuah sumber yaitu : (1) adakah sumber itu memang sumber yang kita kehendaki, (2) adakah sumber itu asli atau turunan, (3) adakah sumber itu asli atau telah diubah-ubah (Nugroho Notosusanto, 1978:38)
25
2. Kritik intern, dimaksudkan untuk mengevaluasi kredibilitas atau keabsahan serta relevansi isi sumber dengan sumber data lainnya seperti hasil pengamatan dengan hasil wawancara atau dokumen yang telah melewati kritik ekstern dan selanjutnya dilakukan pemilihan berdasarkan relevansi dan permasalahan. c. Penyusunan Data (Historiografi) Menurut Sjamsuddin (2007:155), tahap-tahap penyusuna sejarah adalah sebagai berikut : a. Penafsiran (interpretasi) adalah kegiatan yang dilakukan oleh penulis sehingga kecenderungan untuk memasukkan ide-ide, gagasan, dan pemikiran penulis, semua data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan masyarakat yang mengetahui tentang tradisi Kada selanjutnya dihubungkan atau dikaitkan satu sama lain sehingga fakta yang satu dengan fakta yang lainnya akan kelihatan sebagai satu rangkaian yang masuk akal (logis) dalam arti menunjukkan kecocokan (relevansi) satu sama lain. b. Penjelasan (eksplanasi), setelah dilakukan penafsiran maka tahapan berikutnya adalah penjelasan (eksplanasi) dimana peneliti harus dapat menjelaskan sumber-sumber yang berhubungan dengan pokok-pokok masalah penelitian. c. Penyajian (ekspose), setelah peneliti melakukan penafsiran dan penjelasan maka tahap selanjutnya adalah penyajian dimana peneliti menulis cerita sejarah berdasarkan interpretasi dan eksplanasi sesuai permasalahan.
26
BAB IV GAMBARAN UMUM MASYARAKAT MORONENE
Selain sejarah dan sosial budaya masyarakat Moronene, dipaparkan juga tentang jenis tradisi-tradisi lisan yang lain, sebagai bagian dari tradisi lisan dan budaya yang ada dalam masyarakat Moronene. Pemaparan tradisi lisan yang lain dalam masyarakat Moronene dilakukan untuk melihat perbedaan-perbedaan yang mendasar dengan tradisi lisan Kada. A. Sejarah Suku Moronene di Kabupaten Bombana Suku Moronene adalah salah satu suku bangsa yang mendiami wilayah pada bagian ujung selatan jazirah Sulawesi Tenggara dan Pulau Kabaena, pada zaman dahulu juga membentuk kerajaan yang menurut cerita dalam epos kepahlawanan suku Moronene mereka berasal dari langit. Moronene sendiri berasal dari kata majemuk Moro yang berarti serupa atau semacam, dan Nene yang berarti resam atau pohon resam. Jadi, kata Moronene adalah berasal dari nama sejenis tumbuhan yang menyerupai pohon resam (Muthalib, 1991:1, Limba, dkk, 2015). Hasil wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat bahwa sebelum digunakan kata Moronene, digunakan Wonua Bombana/Wita Moronene, yakni terkait dengan Kerajaan Moronene seperti yang dituturkan dalam cerita Kada bahwa kerajaan Moronene dipimpin oleh seorang raja yang bernama Tongki Puu Wonua, tidak diketahui darimana asalnya dan siapa orangnya, hanya dituturkan bahwa beliau adalah seorang keturunan dari sebuah kerajaan. Secara politik suku bangsa Moronene dapat meneguhkan kesatuan kerajaan; yang dalam epos kepahlawanannya disebut pernah mengalami masa kejayaannya.
27
Dalam perkembangannya suku Moronene sering mendapat serangan dari sukusuku lain. Peperangan dengan suku-suku lain itu telah melemahkan kerajaan Moronene sehingga terpecah menjadi tiga kerajaan kecil masing-masing Rumbia, Poleang, dan Kotuo (Monografi: 49-52). Menurut versi tradisi lokal yang lain, cikal bakal suku bangsa Moronene berasal dari sekelompok orang yang dipimpin oleh La Pao (raja) yang berlayar dari Mata Oleo, tempat matahari terbit. Mula-mula mereka tiba di Muna dan Buton, tetapi karena sudah ada orang-orang yang menetap di sana mereka pergi ke Kabaena dan Sulawesi Selatan, di wilayah-wilayah yang belum berpenghuni. Kelompok orang yang dikepalai La Pao itulah yang menurunkan kerajaan Poleang. Sementara itu, datang putra raja Luwuk bernama Haluoleo. Di sini Haluoleo mengawini saudara perempuan Elu-Ute-Ntoluwu anak raja Polea. Kehadiran Haluoleo di sini untuk membantu kerajaan Polea mengusir bajak laut Tobelo (Monografi: 53). Menurut tradisi lisan bahwa di daerah ujung Pulau Sulawesi itu Haluoleo meninggalkan dua anak, yang laki-laki bernama Marorimpu dan yang perempuan bernama Sangia Tewalaka. Kedua anaknya inilah yang kemudian menjadi raja masing-masing di kedua bagian itu, Rumbia dan Poleang (Vonk dalam Zuhdi, 2010: 56, Limba, 2015). Sementara itu, Tamburaka (2004: 137), mengatakan bahwa kira-kira tahun 720 M, Sawerigading tiba di daerah ini dari Luwuk dengan maksud untuk melantik Dendeangi atau Tongki Puu Wonua sebagai tokoh dan pemimpin baru, yang sedang berkembang dan berkedudukan di Tangkeno Wawolesea, sekitar sungai Laa Moronene (yang sekarang berada di daerah Pangkuri) Desa Taubonto,
28
yang merupakan bukti nyata di hulu sungai Laa Moronene terdapat Tangkeno Wawolesea. Adapun arti dari kalimat Tangkeno Wawolesea adalah alun-alun istana raja dahulu, setiap acara penobatan raja yang baru, diulas bahwa wilayah kekuasaannya disebut Bombana yakni termaksud Keu Wia, Lembompari, dan Wonua Karambau; sekarang ini lebih dikenal dengan sebutan; Rumbia, Poleang, dan Kabaena. Keberhasilan Sawerigading melantik raja Moronene yang pertama ini, kemudian sebagai imbalan jasa, Sawerigading diberi gelar Tari Morompu, yang berarti bambu yang rimbun dengan perlambangan bahwa bambu
yang
rimbun menunjukkan Sawerigading diibaratkan orang yang megah dan gagah. Sebagai tambahan diungkapkan oleh Sawerigading bahwa batas wilayah Moronene secara turun temurun adalah daerah tempat tumbuhnya pohon bambu berduri (Tari Koriu) dalam bahasa Moronene. Hasil wawancara dengan salah seorang tokoh masyarakat Moronene Madjid Ege (67 tahun), istilah Pu’uno Ronga Tekaleano Tomoronene dalam bahasa Moronene yang berarti asal mula orang Moronene khusus di Rumbia dan Poleang, leluhurnya, sepadan dengan kalimat di atas bahwa manusia sebagai pribadi memiliki kesejarahan dan pandangan masa depan baik yang dihadapinya secara tingkah laku juga sikapnya terhadap situasi ke depan, ditandai normanorma sebagai ukuran pedoman kehidupannya; memunculkan timbulnya persaingan pendapat dengan leluhur Moronene yang ada di Kabaena. Mitos dalam masyarakat Moronene yang ada di Pulau Kabaena dikatakan bahwa leluhur mereka berasal dari seruas bambu gading (Tari Datebota) sedangkan istrinya dari bunga Kayu Waru (Haitolomeano Waru).
29
Sementara itu, Saimuddin (1997:32) mengatakan bahwa persebaran suku Moronene yang mendiami pulau Kabaena sekarang dimulai dari manusia pertama yang menghuni Kabaena bernama Donsiolangi, yang berarti Sembilan orang dari langit. Disebut Sembilan karena terdiri atas sembilan pasang keluarga, yang dipimpin oleh seorang bernama Walua. Dijelaskan pula bahwa Donsiolangi itu sebenarnya adalah rombongan suku Moronene yang berasal dari pihak keluarga terdekat Dendeangi (keluarga pimpinan Moronene daerah Rumbia dan Poleang). Ditinjau dari etimologi, Kabaena berasal dari kata Mokobaena (bahasa wolio). Bae atau Pae artinya padi (beras). Jadi, Mokobaena berarti “Yang Empunya Beras/Padi”. Dalam bahasa Moronene, daerah itu disebut Katuo yang artinya panenan. Dalam catatan sumber asing nama Kabaena sudah dikenal oleh pedagang Inggris pada awal abad ke-17. Pada tahun 1608 kapal bernama Consent milik EIC, setelah memuat cengkeh dari Ternate berlayar kembali ke Inggris melalui perairan Buton. Di wilayah inilah, kongsi dagang Inggris itu menjalin hubungan dengan penguasa Buton dan Kabaena (Keay, 1993:36). Mitos yang lain mengatakan bahwa Bombana yang dikenal sebagai wilayah Moronene, salah satu etnis di Sulawesi Tenggara, sebagai Negeri Dewi Padi (Sanggoleo Mpae). Konon, Sang Dewi pernah turun di sebuah tempat yang belakangan disebut Tau Bonto (saat ini lebih dikenal dengan penulisan Taubonto). Dalam bahasa Moronene, Tau Bonto berarti tahun pembusukan, karena ketika Dewi Padi turun ditempat tersebut, produksi padi ladang melimpah ruah sehingga penduduk kewalahan memanennya. Akibatnya, banyak padi tertinggal dan membusuk di ladang. Padahal, luasan ladang yang dibuka pada saat itu tidak
30
seberapa, hanya beberapa hektar saja untuk setiap keluarga (Darman T, wawancara pada tanggal 10 Juni 2015). Dari beberapa versi pendapat yang dipaparkan di atas, keberadaan suku Moronene tidak terlepas dari cerita-cerita rakyat atau tradisi lisan yang ada dalam masyarakatnya, dalam cerita Kada terdapat nama tokoh yang merupakan gambaran mengenai asal usul suku Moronene, yakni munculnya tokoh Tongki Puu Wonua atau yang terkenal dalam masyarakat dengan gelar Tamano Moronene sebagai seorang raja yang pertama memimpin daerah Bombana. Cerita Kada juga merupakan salah satu wahana untuk mengukuhkan dan mengungkapkan kembali budaya dan sejarah, yang telah lama terlupakan sehingga menjadi semacam legenda dalam masyarakat Moronene. B. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Moronene Pemaparan mengenai budaya yang hidup dalam masyarakat, tidak terlepas dari berbagai aktivitas kehidupan baik itu berupa tradisi maupun kegiatan yang dilakukan oleh manusia atau masyarakat di dalam lingkungan komunitasnya. Konsep budaya seperti yang diungkapkan oleh Kuntowijoyo (2006:xi) merupakan bentuk-bentuk simbolis berupa kata, benda, mite, tradisi, lukisan, nyanyian, musik, dan kepercayaan. Demikian juga dengan budaya material berupa bangunan peralatan, persenjataan, termasuk sejarah ekologi mempunyai peranan besar dalam pembentukan budaya. Sehubungan dengan hal di atas, suku Moronene merupakan salah satu suku yang berada di Sulawesi Tenggara, yang tentunya memiliki budaya yang beraneka ragam. Budaya suku Moronene pada dasarnya adalah budaya lisan. Terdapat
31
beberapa konsep kebudayaan yang biasanya disampaikan dalam bentuk lisan, misalnya sejarah, nasihat, perbincangan, ajaran agama, dan peraturan adat. Biasanya masyarakat Moronene menuangkan bentuk ekspresi kehidupan dalam bentuk Pogau (musyawarah dan mufakat). Pogau merupakan kegiatan pembeberan
permasalahan
yang
ada
dalam
masyarakat
dengan
cara
mengumpulkan anggota masyarakat dalam sebuah forum yang disebut dengan istilah Sara. Di hadapan Sara inilah semua akar permasalahan diungkapkan dengan meminta informasi dari segenap anggota masyarakat yang hadir, Sehingga dengan
ditemukannya
akar
permasalahan,
seluruh
yang
hadir
akan
mengemukakan pendapatnya untuk mencari jalan penyelesaian atau solusi alternatif. Misalnya, dalam penyelesaian suatu permasalahan adat, masyarakat Moronene mempunyai suatu falsafah hidup yang terpatri dalam kehidupannya, yakni “inai dako sara dahoo ntapinesara, inai dasai kosara dahoo ntanikasarai” yang mengandung arti yang mendalam bahwa “barang siapa menghargai dan memelihara adat, hidupnya akan selamat dan dihargai, tetapi barang siapa yang tidak menghargai dan memelihara adat, maka hidupnya akan menderita dan dikucilkan dalam pergaulan”. Falsafah hidup tersebut, merupakan konsep humanis masyarakat Moronene yang diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya secara lisan. Ciri khas budaya masyarakat Moronene, yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya adalah masyarakat yang peramah, mudah menghormati yang tua, suka menjalin persahabatan. Beberapa istilah yang biasa digunakan terkait dengan kesopansantunan yakni Ampadea (berlaku sopan), Tabea (ucapan
32
ketika lewat di depan orang), Paramisi (ucapan apabila mau pulang usai bertamu), Moantani/Mompanga (menyuguhkan sirih pinang apabila ada yang bertamu di rumah), Konianto’u (sifat terpuji, seperti jujur, rajin, dan tekun mengerjakan suatu pekerjaan), Metokia (menjalin persahabatan antara dua orang yang baru, Metanduale artinya bersumpah turun-temurun, berasal dari kata Tunda Leele yang artinya Tunda (sumpah) dan Leele (turun-temurun). Apabila kedua orang yang akan meningkatkan hubungan yang lebih erat maka diadakan Metanduale yakni dengan jalan minum ramuan dalam satu gelas yang berair atau saguer, beberapa kerat jahe, beberapa pecahan kulit telur yang kesemuanya memiliki arti simbolik, (M. Arsyad, wawancara pada tanggal 29 Juni 2015), Stratifikasi sosial dalam masyarakat Moronene terkait erat dengan penilaian darah atau keturunan, yang terdiri atas, (1) Mokole, yakni golongan bangsawan dan putranya diberi gelar Ndau sedangkan putrinya Mbisi atau lazim juga gelar untuk kedua-duanya laki-laki atau perempuan disebut Anamea, (2) Limbo, yakni golongan pemangku adat yang menentukan dan mengangkat raja (untuk memerintah), (3) Sangkinaa, yakni golongan rakyat biasa, (4) Ata, yakni golongan budak, terdiri atas; (a) karena keturunannya, biasa bertempat tinggal di sekitar rumah raja untuk selalu mengabdi pada raja atau tinggal di dalam rumah raja, yang lazim disebut Kungku Holue (tukang masak), (b) karena tidak dapat membayar hutangnya sehingga harus tinggal di sekitar rumah raja atau orang yang telah membayarkan hutangnya sehingga lazim disebut Tepoata (Rambe, 1996:11. Limba, dkk, 2015) Pandangan hidup masyarakat Moronene yang bermuara pada landasan fundamental falsafah hidup masyarakatnya, berhubungan dengan aspek
33
historis pada masa lalu (masa Kerajaan Moronene), yang hingga sekarang tetap hidup di tengah masyarakat sebagai alat pemersatu rakyat dalam lingkungan masyarakat, yakni “kato measa laro wangusako wonua, kato pohedo samaturu,” yang berarti “kita satukan hati untuk membangun negeri, kita bekerja sama membagi rasa”. Falsafah hidup masyarakat Moronene tersebut, sering diaplikasikan ke dalam tatanan kehidupan maupun dalam tradisi masyarakatnya. Misalnya, dalam masyarakat Moronene dikenal dengan tradisi Mompeeta (gotong royong atau meminta tolong). Tradisi Mompeeta sering dilakukan seperti Mompeeta dalam Pongkotua (menuai padi), Mompeeta Pondaiha, yakni tradisi mengikat dua jagung dengan kulitnya untuk digantung di tempat yang tinggi agar tidak rusak dimakan serangga, Mompeeta Kokaaha-Pondoua, yakni tradisi pesta makan dan minum ketika selesai panen dan berhasil atau biasa juga disebut dengan istilah Pontulaaha. Dalam hubungannya dengan kepercayaan, suku Moronene kebanyakan adalah pemeluk agama Islam dan juga terdapat pemeluk agama lain, yakni Kristen tetapi jumlahnya tidak banyak. Meskipun mereka sudah memeluk agama resmi, tetapi masih dijumpai unsur-unsur kepercayaan dari nenek moyangnya atau leluhurnya. Unsur-unsur kepercayaan itu biasanya muncul dalam tradisi upacara adat, yang masih dilakukan dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa sekitar lingkungan hidup individu, seperti pada acara Pinokompopinda Pali (dituntun untuk menginjak kapak), yang di dalamnya terdapat makna simbolik bagi seorang yang akan menjalani kehidupan baru setelah perkawinan.
34
Selain hal yang diuraikan di atas, suku Moronene juga memiliki kesenian yang terkait dengan tradisi atau budaya dalam masyarakatnya. Adapun beberapa jenis seni yang terdapat dalam masyarakat Moronene, yakni seni lukis, seni arsitektur, seni kerajinan, dan seni tari. Seni lukis dalam masyarakat Moronene biasanya ditemukan di dinding-dinding gua, salah satunya yakni gambar dan tulisan yang terdapat di dinding gua Watuburi. Terkait dengan seni kerajinan, suku Moronene sejak dulu sudah memproduksi berbagai jenis seni kerajinan tangan, seperti Tandu Laica (bumbungan rumah), Kompe Niwulele (keranjang tempat sirih gadis), Ului Pongkotu (tangkai ani-ani), Karada (tombak untuk kerbau, rusa dan anoa), Kuro Wita, (belanga dari tanah liat), Pohotea (belanga tanah liat ukuran besar), sedangkan dari anyam-anyaman, yakni Kompe (keranjang), Be’u (bakul), Kalea (keranjang penangkap ikan), Empe (tikar), Boru Balao (payung dari daun pandan), dan Wonua Mpolulua (tempat rokok). Untuk seni tari yang terdapat dalam tradisi masyarakat Moronene, yakni tari Momaani (tarian perang), tari Mololoso atau tari biasa disebut tari Morengku (tarian sesudah memanen padi), tari Lumense (tarian untuk menyambut tamu), dan tari Ondoondo
(sejenis
tarian
pemujaan).
Tarian-tarian
tersebut,
masih
sering
dipertunjukkan di dalam masyarakat Moronene, terutama apabila ada hajatan atau kegiatan ritual upacara adat. Salah satu tarian, yakni tarian Lumense, pada waktu dahulu sering dipertunjukkan bersamaan dengan Kada ketika ada acara hajatan pesta perkawinan, (Radia, wawancara pada tanggal 8 Juni 2015). Bentuk lain dari budaya lisan yang hidup dalam masyarakat Moronene adalah tradisi orang Moronene bersyair tentang sesuatu, telah membangun tradisi
35
lisan yang terpelihara dan kuat. Sebagai contoh, adalah Kada, yang berupa syair kepahlawanan dalam masyarakat Moronene. Pada masa lalu sering didendangkan atau dinyanyikan ketika ada acara-acara perkawinan, panen hasil ladang, dan hiburan bagi keluarga. Kada adalah berupa syair yang di dalamnya terkandung tentang kesejarahan dan adat istiadat dalam masyarakat Moronene, terutama mengenai adat perkawinan. Sebagai contoh, dalam cerita Kada tokoh Tongki Puu Wonua dalam sejarah masyarakat Moronene merupakan raja pertama yang memimpin daerah Moronene. Contoh petikan Kada di bawah ini adalah yang terkait dengan adat istiadat perkawinan dalam suku Moronene,
“kai raa
rentaaho” hingga ia menarik keluar, “katora saporiti” tempat sirih suasa, “be’u sangkowulaa” bakul yang terbuat dari emas, “mompanga ntepo’ili” memakan sirih sambung menyambung, “wule ntepo’iraru” mempersiapkan pinangan berulang kali, “kai leso mompanga” hingga selesai memakan sirih, Kada (baris 916-921) Petikan Kada di atas, terdapat gambaran tentang adat istiadat perkawinan dalam masyarakat Moronene. Pada saat acara ritual adat, ada satu tahapan yang disebut dengan Pinokompompanga, yakni berupa acara yang dilakukan ketika acara pelamaran ataupun proses perkawinan berlangsung. Pinokompompanga adalah ritual ketika Tolea (tokoh adat) mengambil buah pinang dan sirih yang disiapkan dalam wadah disebut dengan Mpangana yakni tempat sirih, pinang, gambir, dan kapur. Sirih dan pinang dikerat masing-masing dua kerat, kemudian diletakkan dalam wadah lain berupa Lopa-lopa (tempat sirih, pinang, gambir, dan kapur, terbuat dari perak dan berukir). Setelah itu, Tolea
36
mengangkat wadah dan menyuguhkan kepada kedua pengantin, sambil mempersilahkan untuk saling menyuapi dan makan sirih secara bergantian. Keberadaan daun sirih dan pinang adalah salah satu syarat yang harus ada dalam ritual adat perkawinan suku Moronene, sebagai pelengkap sahnya ritual tersebut, karena terkandung makna simbolik yang begitu bermakna, dalam budaya kehidupan suku Moronene. Budaya bersyair dalam masyarakat Moronene, ada juga yang disebut dengan Moodulele (bersyair tentang kabar-kabar tertentu). Walaupun terdapat persamaan dengan Kada yakni sama-sama dinyanyikan, tetapi isi yang terdapat di dalamnya terdapat perbedaan. Kada isinya berupa informasi tentang kesejarahan, kepahlawanan, dan adat istiadat, serta tidak terikat dengan jumlah baris tiap baitnya, Moodulele isinya hanya ungkapan-ungkapan duka cita, kerinduan, dan kegembiraan, serta mempunyai ketentuan tiap bait terdiri dari tiga dan empat baris yang sambung menyambung. Kada dalam konteks budaya suku Moronene merupakan produk budaya yang lahir dan dipengaruhi oleh sosial budaya masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu, sebagai produk budaya tradisi Kada merupakan pencerminan tentang kondisi faktual yang terdapat dalam masyarakat pendukungnya pada zamannya, walaupun telah dibumbui dengan imajinasi dan kreativitas dari penceritanya ketika membawakannya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa teks Kada sebagai salah satu jenis tradisi lisan dalam masyarakat Moronene tidak terlepas dari kondisi sosial budaya yang berkembang dalam masyarakatnya.
37
C. Ragam Tradisi Lisan Masyarakat Moronene. Tradisi lisan Kada merupakan salah satu bagian tradisi lisan atau folklor lisan Moronene yang hingga sekarang masih ada, walaupun telah banyak berubah dan tidak dipakai serta sudah mulai dilupakan. Hal itu disebabkan oleh pengaruh dan perubahan dari masyarakat Moronene yang disebabkan oleh interaksi budaya yang ada. Sejalan dengan hal tersebut, Tuloli (1991:2) mengatakan perubahan pada tradisi lisan disebabkan oleh pengaruh perkembangan masyarakat dalam berbagai segi, seperti pendidikan, ekonomi, politik, dan kepercayaannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Finnegan (1978:77-78) yang mengatakan keberadaan tradisi lisan perlu dipertimbangkan dari hal-hal yang menyangkut geografi, sejarah, kepercayaan, dan agama, serta semua aspek kebudayaan yang lainnya. Sebagai perangkat konstruksi dan sosialisasi konsep-konsep sosial, moral, dan humanisme, tradisi lisan masyarakat Moronene masih tetap ada dalam masyarakat hingga sekarang. Adapun tradisi lisan tersebut yakni berbentuk prosa lisan dan puisi lisan. Prosa lisan Moronene meliputi Tula-tula dan Tumburiou, sedangkan yang berbentuk puisi lisan mencakup Kada, Pe’oliwi, Moodulele, Doti, dan Nantu.
38
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Tradisi Kada Pada Masyarakat Moronene. Kada merupakan salah satu jenis tradisi lisan masyarakat Moronene di Kabupaten Bombana, tidak diketahui secara pasti tahun berapa tradisi Kada ini mulai dilaksanakan, namun diperkiraksan tradisi penuturan Kada ini diperkirakan muncul pada abad ke-13 pada awal pemisahan ketiga kerajaan di Bombana yaitu Kerajaan Rumbia berkedudukan di Taubonto, Kerajaan Polea di Toburi dan Kerajaan Kabaena di Tangkeno, (Abd. Majid Ege, Wawancara tanggal 23, 24 Agustus 2015). Menurut salah satu informan, Kada muncul sebagai upaya masyarakat Moronene untuk tetap mempertahankan cerita kebesaran dan kejayaan masyarakat Moronene di masa lampau dengan mewariskannya secara turun temurun dari generasi ke generasi, sebelum pelaksanaannya si pencerita harus meminta izin kepada para leluhur agar pada pelaksanaannya tidak diganggu oleh arwah (Darman. T, wawancara tanggal 10 Juni 2015). Sementara itu menurut Wahidin, tradisi Kada muncul karena Kada merupakan aturan-aturan dan norma-norma tidak tertulis yang mengikat dan tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat Moronene dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam hal adat-istiadat (wawancara tanggal 7 Juni 2015). Tradisi Kada merupakan salah satu jenis tradisi lisan masyarakat Moronene yang cara penyampaiannya sama dengan Odulele, yakni dinyanyikan.
39
Kada tersusun dalam bentuk cerita dan terikat pada aturan jumlah suku kata tiap baris dan rima. Jika ditinjau dari bentuknya, ragam Kada termasuk puisi naratif (Narrative Poetry). (Limba, dkk, 2015: 46) Dalam Kada terdapat peristiwa yang bersumber dari sejarah dan kepahlawanan. Isi ceritanya banyak mengenai perang dan juga cinta. Menurut keyakinan masyarakat Moronene, sebagian peristiwa yang dikisahkan merupakan kejadian yang dianggap sungguh terjadi dalam sejarah suku Moronene. Kada biasanya dinyanyikan di malam hari dan bisa sampai semalam suntuk hingga menjelang fajar tanpa menggunakan alat. Pendendang harus berbaring dalam kelambu dan para pendengar duduk di luar. Pada saat tertentu pendengar memberi tanggapan terhadap cerita dengan berseru “Saru’ ai”. Jika pendendang sudah letih setelah menyanyi satu jam lebih, biasanya beristrahat sejenak sambil minum kopi dan kalau para pendengar masih bersemangat akan dilanjutkan kembali ceritanya. Proses pewarisannya juga tidak sama dengan cerita-cerita yang lain. Salah satu yang unik dalam Kada adalah ceritanya tidak boleh dihabiskan, ceritanya begitu panjang dan selalu bisa disambung, tidak pernah selesai. Menceritakan Kada hingga selesai dianggap tabu menurut kepercayaan masyarakat Moronene, karena akan mendatangkan bencana (wawancara dengan Abd. Majid Ege, pada tanggal 24 Juni 2015). Sebagai salah satu bentuk tradisi lisan dalam masyarakat Moronene, Kada mempunyai perbedaan dengan ragam yang lain seperti Tula-tula, Tumburiou, Pe’oliwi, dan Nantu. Namun, mempunyai ciri-ciri yang sama dengan Odulele,
40
persamaannya terutama adalah proses penyampaiannya yakni dengan cara dinyanyikan, tetapi isinya berbeda. Kada juga merupakan cerita yang berbentuk puisi yang tersusun dari peristiwa ke peristiwa. Menurut Galib, dkk (1978) cerita Kada merupakan sumber dari segala cerita rakyat yang ada dalam suku Moronene. Setiap masyarakat mempunyai seperangkat tradisi lisan yang harus digali dari pengalaman hidup mereka pada masa lalu. Tradisi lisan merupakan produk budaya masa lalu yang berupa nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus yang kesemuanya itu dianggap baik sehingga patut secara terus menerus dijadikan pegangan hidup. Tradisi lisan merupakan semua kecerdasan tradisional yang ditransformasikan kedalam cipta, karya, dan karsa sehingga masyarakat dapat mengatasi berbagai persoalan hidup dalam berbagai iklim sosial yang terus berubah-ubah. Maka untuk itu diperlukan kesungguhan dan kerja secara sistematis dan periodik yang sangat kuat serta diakrabkan kembali pada masyarakat pendukungnya dalam mempertahankan eksistensi warisan budaya lokal yang merupakan penunjang kebudayaan nasional. Untuk itu langkah penting harus segera dilakukan pemerintah dan lembaga non-pemerintah serta masyarakat pendukung untuk terus proaktif dalam upaya penyelamatan dan peningkatan apresiasi masyarakat terhadap warisan budaya. Namun pada kenyataannya, tradisi lisan Kada pada masyarakat Moronene terancam punah seiring berjalannya waktu karena tidak adanya upaya baik dari pemerintah setempat maupun masyarakat pendukungnya untuk mempertahankan dan melestarikannya.
41
Akhir-akhir ini krisis kebudayaan yang melanda dunia, bukan hanya mengakibatkan keterpinggiran ilmu-ilmu budaya oleh perkembangan teknologi dan media yang sangat pesat tetapi juga berdampak pada terpuruknya apresiasi masyarakat, terutama generasi muda terhadap produk-produk tradisi lisan yang tak ternilai harganya selain nilai sejarah, filosofis, dan etis yang terkandung didalamnya. Mayoritas generasi muda lebih suka menikmati dan menggeluti produk-produk budaya modern dan beranggapan bahwa produk-produk tradisi lisan yang bernuansa tradisional merupakan bagian dari masa lalu dan tidak lagi sesuai dengan kondisi masyarakat yang dianggap modern saat ini.(Mariama, wawancara pada tanggal 20 Juni 2015). Tradisi lisan Kada adalah salah satu jenis tradisi lisan yang ada pada masyarakat
Moronene
pendukungnya, tradisi
dan
sudah
mulai
ditinggalkan
oleh
masyarakat
lisan Kada merupakan epos kepahlawanan yang
dibawakan oleh seorang Pakada (pencerita Kada) dan didendangkan saat malam hari di waktu tertentu. Pertunjukannya tanpa alat musik, tetapi hanya mengandalkan suara dan kegiatan nonverbal seperti gerak anggota badan serta terkandung unsur sakralitas dalam proses penyampaiannya, hal itu terkait dengan sejarah masa lampau yang pernah dipimpin oleh seorang raja yang bergelar Tongki Puu Wonua sebagai raja pertama di daerah Moronene. Jadi ketika akan memulai penceritaannya dimulai dengan pembacaan doa sejenak agar dalam proses pelaksanaannya tidak diganggu oleh para leluhur. Sebelum melakukan penceritaan terlebih dahulu disediakan kelambu sebagai sarana, karena ketika proses penceritaannya pendendang Kada harus
42
berbaring didalam kelambu. Setelah siap, dimulailah ceritanya dengan mengandalkan suaranya yang dapat diubah-ubah, kadang ditinggikan atau direndahkan nadanya sesuai dengan irama lagu Kada yang diceritakan. Awal ceritanya dimulai dengan nada rendah dan lambat, kemudian agak tinggi dan cepat sampai akhirnya sangat cepat. Pada bagian yang sangat cepat pendengar seolah-olah mendengar rentetan atau urutan kata-kata yang sukar diketahui batas perhentian antar barisnya. Pencerita juga pada saat bercerita terkadang berekspresi dengan gaya menggoyang-goyangkan kepala, meletakkan tangan diatas kepala. Gaya tambahana itu dilakukan untuk menghiasi dan memperkuat gaya penceritanya, sesuai dengan suasana adegan yang digambarkan. Proses pewarisan dan penurunan tradisi Kada adalah melalui orang tua atau berdasarkan garis keturunan serta bukan melalui proses penghafalan, hasil wawancara dengan beberapa informan menyatakan bahwa kesanggupan untuk menyanyikan Kada bukanlah sesuatu yang bisa dipelajari seperti cerita biasa. Orang yang biasa menyanyikan cerita Kada seakan-akan menerima kuasa tertentu, karena dalam pandangan masyarakat Moronene Kada mempunyai unsur sakralitas yang berhubungan dengan para leluhur, hal inilah yang menyebabkan minimnya pewaris aktif tradisi Kada.(Wahidin, wawancara, 18 Juni 2015). Setiap kelompok masyarakat yang hidup bersama pasti mempunyai cara tersendiri sebagai upaya untuk mempertahankan kejayaan mereka dimasa lampau dalam berbagai bentuk cipta, karya, dan rasa. Begitu pula dengan masyarakat Moronene sebagai salah satu masyarakat yang pernah memiliki sejarah panjang di masa lampau di bawah pemerintahan kesultanan Buton. Tradisi Kada merupakan
43
tradisi lisan dan mempunyai arti yang sangat penting dalam masyarakat Moronene sebagai sebagai salah satu tradisi yang masih bertahan dan tetap hidup hingga saat ini, namun mulai kurang mendapatkan perhatian khususnya dari kalangan generasi muda karena berbagai alasan khususnya
karena Kada itu sendiri
dianggap sebagai hal yang sakral bagi masyarakat Moronene dan berhubungan dengan para leluhur sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menjadi seorang Pakada. B. Fungsi Tradisi Lisan Kada Pada Masyarakat Moronene Kada sebagai salah satu jenis tradisi lisan yang hidup dalam masyarakat Moronene, mempunyai beberapa fungsi. Secara umum Kada berfungsi sebagai sarana penyimpan peristiwa masa lampau dan hiburan bagi pencerita. Secara khsusus Kada berfungsi historis, fungsi heroik, fungsi pengesahan pranata-pranata kebudayaan, dan mempunyai fungsi dalam kaitannya dengan politik. Hal itu akan diuraikan di bawah sebagai berikut. 1. Fungsi Sumber Sejarah Dalam Kada terdapat nama tempat dan tokoh, yang menurut pandangan masyarakat Moronene merupakan fakta-fakta yang dahulu pernah ada. Walaupun pencerita Kada dalam menyajikan ceritanya telah dihiasi dengan imajinasi, fantasi, sehingga kejadian itu seolah-olah hidup kembali dalam bayangan pendengarnya. Pencerita Kada ketika merangkai ceritanya tidak disajikan seperti cerita biasa, tetapi dengan gaya bahasa yang menarik, dengan menggunakan formula dan pola baris yang formulaik atau melalui perulangan-perulangan kata, serta skema-skema yang telah ada dalam pikirannya. Tokoh Tongki Puu Wonua,
44
yang hadir dalam cerita Kada merupakan raja pertama yang memimpin kerajaan Moronene pada zamannya, merupakan bukti nyata terkait dengan fungsi historis cerita Kada. Hal itu berdasarkan beberapa pendapat masyarakat dan para ahli sejarah. Dalam cerita Kada, terdapat nama tempat yang merupakan fakta sejarah tentang keberadaan kerajaan Moronene. Hal itu tampak pada petikan baris dalam teks Kada berikut ini. “Tongki Puu Wonua” penguasa daerah “Tamano Moronene” pahlawan Moronene “nta lolakoomo” akan berangkatlah “teleu i Tangkeno” sampai di Tangkeno Kada (baris 1-4). Petikan baris di atas, kata Tangkeno merupakan salah satu nama tempat yang terletak di daerah Moronene, yang apabila ditelusuri sekarang berkedudukan di Desa Taubonto, perkampungan Pangkuri. Menurut pendapat beberapa informan Tangkeno yang dimaksud adalah daerah yang disebut dengan Tangkeno Wawolesea sekitar Sungai Laa Moronene, tepatnya di hulu sungai. Adapun maksud dari Tangkeno Wawolesea adalah alun-alun istana raja dahulu, setiap penobatan raja yang baru dilantik, dipaparkan bahwa wilayah kekuasaannya disebut Bombana, yang di dalamnya termasuk Keu Wia, Lembompari,, dan Wonua Karambau, sekarang ini lebih dikenal dengan nama Moronene Rumbia, Poleang, dan Kabaena. Penyebutan nama Kabupaten Bombana sekarang terkait dengan sejarah serta cerita epos kepahlawanan dalam masyarakat Moronene, yakni Kada. Dalam Kada penyebutan kerajaan Moronene adalah Alamui Bombana Witai Moronene, yang kemudian dijadikan nama Kabupaten Bombana sampai sekarang. Jadi, cerita Kada juga mengandung fungsi politik yang akan dibahas secara tersendiri.
45
2. Fungsi Kepahlawanan Dalam Kada diceritakan tentang keberanian dan kegagahan tokoh yang luar biasa, tokoh Tongki Puu Wonua yang digambarkan merupakan tokoh yang mengarah kepada tokoh mite atau legenda, tetapi dalam sejarah suku Moronene dia adalah tokoh yang pernah memimpin Kerajaan Moronene. Dalam legenda Sawerigading versi Moronene, Tongki Puu Wonua adalah raja pertama yang memimpin daerah Moronene setelah dilantik oleh Sawerigading. Dalam cerita Kada, ia digambarkan sebagai tokoh yang bersama dengan adiknya akan pergi meminang adik raja Tolaki. Namun, kedatangannya tidak disambut baik, kemudian terjadilah pertempuran yang mengakibatkan terbunuhnya raja Tolaki serta berhasil membawa adiknya sebagai persembahan. Oleh pencerita, ia digambarkan adalah tokoh yang mempunyai kekuatan yang luar biasa. Hiasan yang diberikan oleh pencerita pada saat terjadi pertempuran untuk memperkuat kesan keheroikan tokoh. Seperti terlihat dalam baris di bawah ini. Tongki Puu Wonua penguasa daerah Tamano moronene pahlawan moronene peti-petiropaa masih mengukur lagi pitu ropa iaa tujuh depa dia 70. Bilangiano Kila Cahaya Kilat Lintuano Berese suara Guntur ndoleu tepo’awa mereka datang bertemu sampea ntonga’ano sampai di pertengahannya tila mengkenaano tempat bagi keduanya
46
75. pada mewosu ntaa sama-sama mengibaskan parang merasai mponae mengibaskan dengan parang simbau ngkikila’o sama-sama seperti kilat pada weweahaa sama-sama membara lumolinda’o ntaa terpentallah parang 80. lumesee mponae lantang parang Kada (baris 66-80) Kutipan di atas, kedua tokoh yang terlibat pertempuran digambarkan mempunyai kesaktian, yakni sama-sama kebal atau tidak mempan senjata. Karena hebatnya pertempuran yang terjadi, dalam cerita digambarkan alam seakan-akan gelap gulita seluruhnya. Dari beberapa pendapat tokoh masyarakat tokoh Tongki Puu Wonua tidak hanya kebal tetapi digambarkan pula sebagai tokoh yang dapat pula menghilang karena kesaktiannya. Terkait dengan hal itu, pandangan masyarakat Moronene dahulu dan sekarang bahwa seorang yang akan jadi pemimpin di daerah Bombana, harus seorang yang punya sifat heroisme dan berani dalam mengambil keputusan. Dengan demikian, dalam Kada juga tersimpan secara tersirat tentang angan-angan proyeksi keinginan masyarakat Moronene mengenai pemimpin yang akan membawa Kabupaten Bombana kedepannya. 3. Fungsi Pengesahan Pranata-Pranata Kebudayaan Sebagaimana yang telah diuraikan oleh Danandjaja bahwa salah satu fungsi folklor adalah sebagai pengesahan pranata-pranata lembaga kebudayaan. Kada sebagai bagian dari folklor, terkandung gambaran tentang kebudayaan yang
47
ada dalam suku Moronene, khususnya terkait dengan ritual adat perkawinan. Dalam ritual adat perkawinan masyarakat Moronene terdapat serangkaian acara yang harus dilalui, seperti (1) Metotoa (menyumbang untuk keluarga pihak pria yang akan meaksanakan hajatan), (2) Metiwawa (mengantar pengantin wanita ke rumah pengantin pria), (3) Molongko Tinaniwawa (menjemput pengantin wanita oleh keluarga pengantin pria yang dipimpin oleh Tolea (tokoh adat) ), (4) Pinokompompida Pali (kedua pengantin dituntun untuk mengijak kapak dalam wadah yang telah disediakan, di tuntun oleh Tolea), (5) Pinokompe’olo (dituntun untuk makan bersama dalam satu piring), (6) Pinokompompanga (dituntun untuk makan sirih bersama), (7) Pinokompekai (dituntun untuk berpegangan tangan mengikuti acara Molulo (menari bersama). Beberapa rangkaian ritual adat perkawinan dalam masyarakat Moronene di atas, salah unsur hadir dalam teks Kada, meskipun tidak secara persis sama tetapi mempunyai keterkaitan erat dengan ritual adat tersebut, yakni unsur yang keenam. Hal tersebut tampak dalam kutipan baris Kada yang terkait dengan fungsi pengesahan pranata kebudayaan, di bawah ini, kai raa rentaho hingga ia menarik keluar katora saporiti tempat sirih suasa be’u sangkowulaa bakul yang terbuat dari emas momponga ntepo’ili memakan sirih sambung-menyambung wule ntepo’iraru mempersiapkan pinangan berulang kali kai leso mompanga hingga selesai memakan sirih Kada (baris 916-921)
48
Kutipan baris di atas, di dalamnya digambarkan tentang salah satu ritual adat yang akan dilalui dalam proses perkawinan dalam masyarakat Moronene, baik itu sebelum dan sesudahnya. Dalam konteks tradisi ritual adat perkawinan dalam masyarakat Moronene, kegiatan memakan sirih secara bersama atau diistilahkan dengan Pinokopompanga merupakan salah satu syarat yang harus dilalui oleh pengantin pria dan wanita dan di dalamnya terkandung makna simbolik. Selain itu, juga terkait erat dengan budaya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Moronene. Budaya Mompanga atau Moantani (menyuguhkan sirih dan pinang) merupakan salah satu tradisi atau budaya yang dilakukan ketika ada tamu yang bertamu di rumah, sebagai bentuk penghormatan dan simbol keterjalinan kekeluargaan. 4. Fungsi Politik Anggapan bahwa di dalam folklor terkadang mengandung muatan politik bukan sesuatu hal yang baru. Pemahaman keterkaitan aspek politik dalam folklore pernah dipaparkan oleh Danandjaja (2003:50-65), khususnya membahas keterkaitan politik dan folklor di Amerika dan Indonesia. Dalam kaitannya dengan fungsi politik, folklor biasa digunakan untuk mencapai tujuan apa saja. Misalnya, ketika politik sedang bergejolak, bisa saja folklor dijadikan media propaganda sebuah partai. Sehubungan dengan hal di atas, Kada sebagai bagian dari folklor terdapat gambaran yang terkait dengan fungsi politik. Pada waktu perjuangan wilayah Moronene untuk memekarkan diri menjadi sebuah kabupaten, yang berdiri sendiri
49
dan terpisah dari Kabupaten Buton, terjadi silang pendapat beberapa tokoh masyarakat termasuk suku-suku lain, yang bermukim di wilayah tersebut. Perbedaan pendapat yang mendasar adalah terkait dengan pemberian nama kabupaten. Hasil wawancara dengan salah seorang pejuang pemekaran wilayah Moronene, Sahrun Gaus (45 tahun, anggota DPRD periode 2004-2009), nama yang diusulkan pertama adalah Moronene, tetapi ditentang oleh beberapa penggagas yang lain karena terlalu bersifat kedaerahan, serta kurang merepresentasikan keberadaan suku-suku lain yang ada di daerah tersebut. Setelah melalui perdebatan yang panjang, akhirnya dikembalikan ke perspektif sejarah yang dikaitkan dengan cerita Kada dalam masyarakat Moronene. Kemudian muncullah nama Bombana sebagai penetralisir perbedaan pandangan itu dan diterima oleh semua pihak (wawancara pada tanggal 8 Agustus 2015). Dalam cerita Kada, kata Bombana sering hadir ketika pencerita mendendangkannya. Berikut petikan baris dalam bait Kada yang terkait dengan hal itu, naku da’apo pande’o saya belum mengetahui tukaka, to’orio kakak, mengetahui , alamui Bombana daerah di Bombana witai Moronene tanah di Moronene Kada (baris 255-258) Petikan baris di atas, isinya adalah pernyataan kesedihan dari adik raja Moronene, yang sedih ketika kakaknya terluka dalam perempuran dan merasa diri akan ditinggalkan, sementara dia belum siap untuk menggantikannya. Apabila
50
dikaitkan dengan fungsi politik, kata Bombana dalam petikan baris Kada itulah, yang dipolitisasi dan dijadikan sebagai acuan untuk meredam perbedaan pendapat antar tokoh masyarakat ataupun tokoh politik yang duduk di DPRD Tingkat I Sulawesi Tenggara pada saat itu, sebagai nama kabupaten yang akan dimekarkan dari Kabupaten Buton yakni, bernama Kabupaten Bombana. Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa tradisi lisan yang hidup dalam masyarakat, juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politik atau berfungsi politik dalam lingkungan sosial budaya masyarakat pendukungnya. Dengan demikian, tradisi lisan yang merupakan bagian dari folklor tidak hanya berkisar pada oposisi simplistis mengenai tradisi yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, melainkan sudah memperlihatkan kecenderungan terdapatnya manfaat dari tradisi-tradisi tersebut ditinjau dari berbagai perspektif, seperti dari sudut individual, komunitas, dan regional. 5. Kedudukan cerita kada dalam Masyarakat Moronene Pada penjelasan sebelumnya telah dipaparkan bahwa Kada merupakan salah satu tradisi lisan dalam masyarakat Moronene, yang isi ceritanya terkait dengan kesejarahan, adat, dan kepahlawanan. Peristiwa yang diceritakan dalam Kada merupakan kejadian yang dianggap pernah terjadi dalam sejarah suku Moronene. Walaupun peristiwa tersebut telah dihiasi dengan imajinasi, yang dikembangkan oleh kesenian masyarakat Moronene sehingga menjadi semacam legenda. Jika dilihat dari kedudukannya dalam masyarakat Moronene, Kada tidak hanya sebagai bentuk tradisi lisan yang dapat dinikmati sebagai seni tetapi berupa
51
cerita yang begitu penting karena berkaitan dengan aspek kesejarahan. Salah satu unsur sejarah yang muncul dalam cerita Kada adalah nama tokoh dan tempat. Tokoh Tongki Puu Wonua yang hadir dalam cerita adalah tokoh yang sangat dikenal dalam komunitas masyarakat Moronene sebagai raja pertama yang pernah jadi pemimpin di daerah tersebut. Hal lain yang begitu penting adalah kaitannya dengan terbentuknya Kabupaten Bombana sebagai daerah pemekaran dari Kabupaten Buton, tidak terlepas dari cerita Kada sebagai sumber dan dasar pemberian nama kabupaten tersebut. Jadi, jika dikaitkan dengan kondisi sekarang, kedudukan Kada dalam masyarakat Moronene merupakan tradisi lisan yang mempunyai nilai yang begitu berharga dan jadi pemersatu dalam komunitas masyarakat Moronene maupun masyarakat Bombana pada umumya. Hasil wawancara dengan beberapa tokoh adat atau tokoh masyarakat, Kada dapat dijadikan sebagai wahana untuk mengingatkan kembali tentang kehistorisan daerah Moronene dan menumbuhkan semangat jiwa heroisme, patriotisme, dan rasa memiliki bagi generasi muda, serta kepedulian yang tinggi terhadap keberadaan tradisi tersebut. Seorang tokoh adat di Kecamatan Poleang Tenggara, yang juga merupakan kepala desa Rambaha mengatakan bahwa pada waktu dahulu Kada sangat disukai oleh masyarakat karena merupakan suatu tradisi hiburan sekaligus sebagai ajang untuk menilai siapa yang layak jadi penerus kepemimpinan Mokole (raja), (Ali Basu, wawancara pada tanggal 14 Juni 2015). Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa tradisi lisan Kada begitu penting dan berharga dalam lingkup budaya suku
52
Moronene. Kada bukan hanya sebagai cerita pelipur lara atau hiburan semata, tetapi terkandung nilai-nilai serta berguna untuk menggali kembali tentang aspek yang terkait dengan kesejarahan dalam konteks budaya suku Moronene. C. Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Tradisi Kada Pada Masyarakat Moronene 1. Nilai Religi Dalam hubungannya dengan kepercayaan, suku Moronene kebanyakan adalah pemeluk agama Islam tetapi juga terdapat pemeluk agama lain, yakni Kristen meskipun jumlahnya tidak banyak. Meskipun mereka sudah memeluk agama resmi, tetapi masih dijumpai unsur-unsur kepercayaan dari nenek moyangnya atau leluhurnya. Unsur-unsur kepercayaan itu biasanya muncul dalam tradisi upacara adat, yang masih dilakukan dihubungkan dengan peristiwaperistiwa sekitar lingkungan hidup individu, seperti pada acara Pinokompopinda Pali (dituntun untuk menginjak kapak), yang di dalamnya terdapat makna simbolik bagi seorang yang akan menjalani kehidupan baru setelah perkawinan Aspek ini dikaitkan dengan agama dan kepercayaan masyarakat tentang kepercayaan tentang makhluk gaib atau makhluk halus dan roh-roh. Hal ini mendorong
manusia
untuk
melakukan
perbuatan-perbuatan
yang
dapat
menghubungkan dirinya dengan ketentuan-ketentuan yang berada di atas dirinya. Puerson (1988-55) mengemukakan bahwa dunia mistik terutama ditandai oleh rasa takut dalam diri manusia terhadap daya-daya purba dalam hidup dan alam raya. Manusia mencari semacam strategi guna menemukan hubungan tepat antara manusia dengan daya-daya kekuatan tersebut. Perbuatan-perbuatan praktis seperti
53
tata upacara ditemukan tetapi pertimbangan-pertimbangan teoritis seperti dongeng-dongeng mengenai kejadian dewa memainkan peranan pula. Pendapat diatas menunjukkan bahwa upaya manusia untuk berhubungan dan mendekatkan diri dengan kekuatan-kekuatan lain yang dianggap dapat mempengaruhi dan mengendalikan hidup mereka. Adanya kepercayaankepercayaan tentang kekuatan-kekuatan lain yang lebih tinggi daripada manusia pada zaman dahulu pada biaasanya dihubungkan dengan aktifitas manusia pada masa itu. Masyarakat Moronene disamping mempercayai adanya Tuhan yang Maha Esa sebagai pencipta alam semesta juga mempercayai akan adanya kekuatan lain yakni roh-roh atau arwah para leluhur yang dapat mengganggu aktifitas atau membawa malapetaka bagi mereka jika ada perbuatan yang melanggar normanorma yang ada dalam kehidupan masyarakat Moronene. Termasuk dalam proses pelaksanaan Kada yang bagi masyarakat Moronene merupakan suatu tradisi yang sakral dan berhubungan dengan arwah para leluhur, sebelum si pencerita mulai melantunkan Kada terlebih dahulu dia akan meminta izin kepada arwah para arwah para leluhur dengan tujuan agar pada proses pelaksanaannya dia tidak akan diganggu oleh roh atau arwah para leluhur. 2. Nilai Sosial Berbicara tentang nilai sosial, dalaam setiap kegiatan yang melibatkan masyarakat tentu mengandung nilai-nilai sosial, begitu pula dengan tradisi Kada tentu tidak terlepas dari nilai-nilai sosial. Nilai-nilai sosial, interaksi antar pribadi dan masyarakat berkisar sekitar nilai-nilai baik buruk, pantas tak pantas, sopan
54
santun, nilai-nilai baik dalam masyarakat dituntut pada setiap anggota masyarakat untuk mewujudkannya disebut susila atau moral (Gazalba, 1981-154). Dalam cerita Kada banyak ditekankan tentang nilai-nilai sosial yakni pentingnya kebersamaan, gotong-royong dan tolong menolong. Hal ini dapat dibuktikan bahwa dalam kehidupan masyarakat Moronene tidak terlepas dari semangat kebersamaan dan gotong-royong misalnya pada saat ada salah satu keluarga yang sedang mengalami kedukaan maka masyarakat Moronene akan ikut berpartisipasi membantu keluarga tersebut baik dengan bantuan materi maupun tenaga. Ciri khas budaya masyarakat Moronene, yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya adalah masyarakat yang peramah, mudah menghormati yang tua, suka menjalin persahabatan. Beberapa istilah yang biasa digunakan terkait dengan kesopansantunan yakni Ampadea (berlaku sopan), Tabea (ucapan ketika lewat di depan orang), Paramisi (ucapan apabila mau pulang usai bertamu), Moantani/Mompanga (menyuguhkan sirih pinang apabila ada yang bertamu di rumah), Konianto’u (sifat terpuji, seperti jujur, rajin, dan tekun mengerjakan suatu pekerjaan), Metokia (menjalin persahabatan antara dua orang yang baru, Metanduale artinya bersumpah turun-temurun, berasal dari kata Tunda Leele yang artinya Tunda (sumpah) dan Leele (turun-temurun). Apabila kedua orang yang akan meningkatkan hubungan yang lebih erat maka diadakan Metanduale yakni dengan jalan minum ramuan dalam satu gelas yang berair atau saguer, beberapa kerat jahe, beberapa pecahan kulit telur yang kesemuanya memiliki arti simbolik.
55
Begitupun mengenai kata-kata yang digunakan si pelantun Kada, meskipun tetap menggunakan bahasa Moronene, namun tidak seperti bahasa yang digunakan masyarakat Moronene sehari-hari. Kata-kata yang digunakan merupakan kata-kata yang paling halus dalam bahasa Moronene dengan tujuan untuk menghargai para leluhur, dan diyakini sebagai bahasa yang digunakan para leluhur atau Sangia sehingga kadang ada kata-kata atau kalimat yang susah dipahami oleh pendengar. 3. Nilai Budaya Tradisi Kada merupakan tradisi yang dipahami oleh masyarakat bahwa tradisi ini dapat dijadikan sarana untuk berkumpul dengan kerabat. tradisi Kada adalah salah satu tradisi yang sering dilakukan oleh masyarakat Moronene, melalui momentum ini mereka mengingat kembali bagaimana ketangguhan dan keberanian para leluhur sehingga dijadikan spirit dalam menjalani kehidupan. Kada dalam konteks budaya suku Moronene merupakan produk budaya yang lahir dan dipengaruhi oleh sosial budaya masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu, sebagai produk budaya tradisi Kada merupakan pencerminan tentang kondisi faktual yang terdapat dalam masyarakat pendukungnya pada zamannya, walaupun telah dibumbui dengan imajinasi dan kreativitas dari penceritanya ketika membawakannya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa teks Kada sebagai salah satu jenis tradisi lisan dalam masyarakat Moronene tidak terlepas dari kondisi sosial budaya yang berkembang dalam masyarakatnya. Kada merupakan tradisi lisan yang diwariskan dari genenrasi ke generasi, dan diyakini memiliki manfaat dalam kehidupan masyarakat Moronene. tradisi Kada yang merupakan ketinggian
56
nilai budaya masyarakat Moronene sejak masa lampau dan tetap dipelihara dan dijunjung tinggi oleh generasinya sampai sekarang. Seperti yang diungkapkan Montagu dalam Gazalba (1981-147) bahwa ada 3 kriteria pokok yang perlu diketahui untuk mengenal kebudayaan yaitu (1) ia masih diwariskan dari angkatan ke angkatan, (2) ia masih ditemukan, (3) ia masih bertahan dalam bentuk yang berubah. Dengan demikian, Kada sebagai bagian dari warisan budaya lokal harus tetap dipertahankan baik oleh masyarakat pendukungnya maupun pemerintah setempat sehingga bias tetap eksis di tengah pergeseran budaya yang disebabkan oleh masuknya budaya-budaya modern agar dapat memperkaya keberadaan budaya lokal maupun nasional. 4. Nilai Estetika Peran keindahan selalu terkait dengan kehidupan sosial budaya manusia sehari-hari misalnya dalam arsitektur rumah atau tempat tinggal, berbusana, menikmati keindahan musik, dan sebagainya. Manusia memerlukan keindahan karena memberikan kesenangan dan kepuasan dari sesuatu yang menyentuh perasaan. Perasaan keindahan diperoleh dari alam, benda, ataupun karya seni. Namun dalam perkembangannya, karya seni diciptakan tidak selalu untuk menyenangkan perasaan manusia saja. Karya seni juga dapat memberikan perasaan terkejut namun tetap menghadirkan nilai-nilai yang dibutuhkan manusia seperti perenungan, pemikiran, ajakan, penyadaran, pencerahan, dan lain sebagainya.
57
Dalam penceritaan Kada meskipun hanya mengandalkan suara si pencerita, tapi dalam penyampaiannya si pencerita selalu menjaga keindahan Kada dengan memperhatikan panjang pendeknya kalimat, intonasi suara, dan kejelasan dalam pengucapan kata-kata agar pendengar tetap dapat mencerna dan mengerti
apa
yang
disampaikan
oleh
sang
empunya
cerita.
Dalam
penyampaiannya si pencerita juga sering menambahkan ungkapan-ungkapan yang berulang di tengah atau akhir kalimat agar tercita irama yang sama yang disebut Didimba. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pendendang Kada tetap menjaga keharmonisan dan irama dalam setiap pengucapan suku kata yang terdalam dalam baris Kada dengan tetap mempertahankan arti yang sebenarnya.
58
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Kada merupakan salah satu jenis tradisi lisan masyarakat Moronene di Kabupaten Bombana, tidak diketahui secara pasti tahun berapa tradisi Kada ini mulai dilaksanakan, namun diperkiraksan tradisi penuturan Kada ini diperkirakan muncul pada abad ke-13 pada awal pemisahan ketiga kerajaan di Bombana yaitu Kerajaan Rumbia berkedudukan di Taubonto, Kerajaan Polea di Toburi dan Kerajaan Kabaena di Tangkeno, Kada muncul sebagai upaya masyarakat Moronene untuk tetap mempertahankan cerita kebesaran dan kejayaan masyarakat Moronene di masa lampau dengan mewariskannya secara turun temurun dari generasi ke generasi, sebelum pelaksanaannya si pencerita harus meminta izin kepada para leluhur agar pada pelaksanaannya tidak diganggu oleh arwah. Tradisi Kada muncul karena Kada merupakan aturan-aturan dan norma-norma tidak tertulis yang mengikat, dan tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat Moronene dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam hal adat-istiadat, salah satunya dalam adat istiadat pesta perkawinan masyarakat Moronene. 2. Kada dalam masyarakat Moronene berfungsi untuk (1) sumber sejarah, menyimpan dan memberikan informasi mengenai peristiwa masa lalu, nama tokoh, dan tempat yang terkait dengan sejarah (2) berfungsi heroik,
59
yang dapat membangkitkan jiwa patriotisme bagi pendengar atau masyarakat pendukungnya, (3) sebagai pengesahan pranata-pranata kebudayaan, yakni terkait dengan ritual adat perkawinan yang berlaku dalam budaya masyarakat Moronene, (4) mengandung fungsi politik, yakni terkait dengan proses awal pembentukan dan penamaan Kabupaten Bombana, yang memekarkan diri dari Kabupaten Buton. 3. Nilai yang terkandung dalam Kada yakni (1) nilai religi, (2) nilai sosial, (3) nilai budaya, dan (4) nilai estetika. Dengan demikian, diharapkan keberadaan Kada sebagai bagian dari tradisi lisan pada masyarakat Moronene dapat lebih diperhatikan karena tersimpan nilai-nilai yang berharga. B. Saran – Saran Berdasarkan uraian kesimpulan di atas, penulis mengemukakan beberapa saran saran sebagai berikut: 1. Bagi mahasiswa, sebagai generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa, hendaklah tetap mempelajari, memahami dan menghayati tradisi lisan sebagai sumber sejarah suatu wilayah. 2. Bagi Masyarakat Moronene, agar turut lebih berpratisipasi dalam usaha pelestarian tradisi lisan Kada sebagai warisan sejarah. 3. Bagi pihak pemerintah, agar terus memberikan perhatian dan dukungan dalam upaya mempertahankan dan melestarikan tradisi lisan Kada sebagai bagian dari sejarah Masyarakat Moronene.
60
4. Bagi Peneliti selanjutnya yang relevan dengan judul ini, agar dapat banyak lagi mengkaji dan meneliti tentang tradisi lisan Kada pada masyarakat Moronene sebagai bagian dari sejarah lokal kabupaten Bombana. C. Implikasi Hasil Penelitian Terhadap Pembelajaran Sejarah di Sekolah Dunia pendidikan merupakan satu-satunya sarana untuk menggali segala macam ilmu pengetahuan, baik yang bersifat empiris maupun non empiris, eksata dan non eksata. Timbulnya berbagai jenis ilmu pengetahuan menuntut peradaban manusia untuk senantiasa menyesuaikan diri dengan profesi masing-masing yang pada akhirnya tumbuh individu-individu yang profesional. Potensi pada diri manusia memang pada dasarnya sudah ada, namun cara menggali potensi itu tergantung pada masing-masing individu, tergantung pada budaya dan lingkungannya. Sehubungan dengan perkembangan dunia pendidikan dewasa ini sangat diperlukan oleh generasi muda utamanya untuk mengenal studi pendidikan melalui pembelajaran pada sekolah dalam mata pelajaran sejarah. Keberadaan pelajaran sejarah di sekolah bertujuan untuk membimbing para peserta didik agar mampu memahami dan mengerti masa kini berdasarkan atas dasar perspektif masa lampau. Sehingga memotifasi siswa untuk memahami sejarah. Implikasi hasil penelitian yang berjudul “Tradisi Lisan Kada Sebagai Sumber Sejarah Pada Masyarakat Moronene”. Terhadap pembelajaran sejarah pada siswa SMA kelas XI semester II untuk kelas Ilmu Pengetahuan Sosial, pada pokok bahasan kehidupan sosial budaya masyarakat di Indonesia. Untuk membahas materi pelajaran ini diperlukan waktu 2 x 45 menit. Adapun strategi
61
yang dapat diterapkan oleh guru dalam mengajarkan materi ini yaitu dengan menggunakan metode ceramah, diskusi dan tanya jawab. Dengan ditulisnya tradisi lisan Kada sebagai sumber sejarah lisan pada masyarakat Moronene dalam bentuk karya ilmiah diharapkan dapat dijadikan referensi tambahan di sekolah pada mata pelajaran sejarah agar siswa dapat memahami tradisi dan budaya dalam suatu masyarakat serta memahami nilai-nilai apa saja yang terkandung didalamnya. Pengetahuan semacam ini dapat menumbuhkan rasa cinta pada diri seorang pelajar terhadap budaya-budaya yang ada di daerah asalnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ambo Enre, Fahruddin. 1991. Sastra Lisan Bugis. Jakarta: Depdikbud. Danandjaja, James. 2003. Folklor Amerika; Cermin Multikultural yang Manunggal. Jakarta: Grafiti Press -----------. 2007. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafiti Pers. Daud,
Haron. 2008.Analisis Data Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.
Penelitian
Tradisi
Lisan
Kelantan.
Dorson, Richard M. (ed.). 1972. Folklor and Folklife. Chicago & London: The University of Chicago Press. Esten, M. 1978. Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa. Finnegan, Ruth. 1992. Oral Tradition and the Verbal Arts. London: Routledge. ------------. 1977. Oral Poetry: Its Nature, Significance and Social Context. Bloomington: Indiana University Press. ------------. 1978. Oral Literature in Africa. Nairobi, London: Oxford University Press. Gaffar, Zainal Abidin, dkk. 1990.Sastra Lisan Musi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Galib, Abdurrauf Tarimana, M. Gazali, Ardin Sarewo, Hamid Hasan. 1978. Cerita Rakyat Daerah Sulawesi Tenggara (Mitologis dan Legendaris).Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. Kendari: Provinsi Sultra. Jansina, Van.2014. Tradisi Lisan sebagai Sejarah. Terjemahan oleh Astrid Reza dkk. Yogyakarta. Ombak. Limba, Rekson Solo, dan Basrin Melamba. 2015. Sejarah Peradaban Moronene. Yogyakarta: Lukita.
Lord. Albert. 1981. The Singer of Tales. Cambridge: Harvard University. Luxemburg, Jan van et. Al. 1989. Tentang Tradisi. Diterjemahkan oleh Achdiati Ikram. Seri ILDEP. Jakarta: Intermasa. Marafad, La Ode Sidu. 1997. Semiotika.Kendari: Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Unhalu. Monografi Provinsi Sulawesi Tenggara, 1990. Muthalib, Abdul. 1991. Struktur Bahasa Moronene. Jakarta: Depdikbud. Notosusanto, Nugroho.1978 .Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer (Suatu Pengalaman). Jakarta. Yayasan Idayu Press Panuti, Sudjiman.1989.Memahami Cerita Rekaan.Jakarta:Pustaka Raya Poloma, Margareth. 1994. Sosiologi Kontemporer. Terjemahan oleh Team Penerjemah Yosogama. Jakarta.Rajawali Press. Pudentia. 2007. Hakikat Kelisanan dalam Tradisi Lisan Melayu Mak Yong. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Univesitas Indonesia Rambe. 1996. Adat Perkawinan Moronene dalam Upaya Melestarikan Kebudayaan Suku Moronene. Kendari: RKM. Ritzer, Goerge dan Douglas J. Goodman. 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media. Saimuddin. 1997. Migrasi Orang Bugis di Kecamatan Kabaena Timur Kabupaten Buton. Kendari: Unhalu. Sari, Darwan. 2011. Tesis.Revitalisasi Tradisi Lisan Kantola Masyarakat Muna Sulawesi Tenggara Pada Era Globalisasi. Program Pascasarjana Universitas Udayana. Sjamsuddin, Helius. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta. Ombak Soekanto, S. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press
Suhardin. 2001. Fungsi Medulu dalam Kehidupan Orang Tolaki di Kabupaten Kendari Sulawesi Tenggara. Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Padjajaran. Bandung Tamburaka, Rustam. 2004. Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra Membangun. Kendari: Pemerintah Provinsi Sultra. Tuloli, Nani. 1990. Tanggomo: Salah Satu Ragam Tradisi Lisan Gorontalo. Jakarta: Internusa. Zaidan, Abdul Razak, dkk. 2000. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka Zuhdi, Susanto. 2010. Sejarah Buton yang Terabaikan: Labu Rope Labu Wana.Jakarta: Rajawali Press.
68
DAFTAR INFORMAN 1. N a m a Umur Alamat Pekerjaan Keterangan
: Darman. T : 58 tahun : Poleang : Tani : Tokoh Adat
2. N a m a Umur Alamat Pekerjaan Keterangan
: Murthada : 40 tahun : Poleang : Kepala Desa : Tokoh Masyarakat
3. N a m a Umur Alamat Pekerjaan Keterangan
: M. Arsyad : 53 tahun : Poleang : Kepala Dusun : Tokoh Masyarakat
4. N a m a Umur Alamat Pekerjaan Keterangan
: Ny. Radia : 60 tahun : Poleang :: Tokoh Adat
5. N a m a Umur Alamat Pekerjaan Keterangan
: Supriadi : 49 tahun : Rumbia : Petani :-
6. N a m a Umur Alamat Pekerjaan Keterangan
: Ny. Mariama : 57 tahun : Poleang :: Tokoh Adat
69
7. N a m a Umur Alamat Pekerjaan Keterangan
: Wahidin, S.Ag : 40 tahun : Poleang : Guru :-
8. N a m a Umur Alamat Pekerjaan Keterangan
: Ali Basu : 48 tahun : Poleang : Kepala Dusun : Tokoh Masyarakat
9. N a m a Umur Alamat Pekerjaan Keterangan
: Abd. Majid Ege : 65 tahun : Desa Tangkeno Kabaena :: Tokoh Adat
70
DOKUMENTASI
Foto wawancara dengan salah satu narasumber, (Dokumentasi 6 Juni 2015)
Foto wawancara dengan narasumber. (Dokumentasi 8 Juni 2015)
71
Kegiatan Mekada pelantunnya berada didalam kelambu, (Dokumentasi 13 Agustus 2015)
Darman, T. Salah Seorang Tokoh Adat dan Pakada, (Dokumentasi 5 Juni 2015)
72
Foto masyarakat Moronene yang bergotong-royong saat upacara pemakaman. (Dokumentasi 10 Agustus 2015)
Foto masyarakat Moronene yang saling tolong-menolong pada acara pesta perkawinan, (Dokumentasi 20 Juli 2015)
73
PETA KABUPATEN BOMBANA
Sumber : https://infonusa.wordpress.com. Diakses pada tanggal 2 oktober 2015
74
CONTOH NASKAH KADA Naskah Cerita, Transkripsi, dan Terjemahan Teks Kada Judul: Tongki Puu Wonua, Tamano Moronene Sumber Naskah dan Terjemahan : Darman. T
Tongki puu wonua Tamano Moronene nta lako meoanu Bilangiano Kila 5 Lintuano Berese boboiho tuaino Tongki puu wonua Tamano moronene tenao lako moala parewano 10. leumo parewa rentau taano pandangano, perereino nta lakoomo tetiinapa sibulako bangkano 15. mepandarai nambo metompa ilabusa susuka halu ropa mekendarako tuuna, tepentade 20. konsorei bangkano kai lako bangkano Tongki puu wonua Tamano moronene kanadaa dare-dare 25. welia pinelonto keasa oleo lako bangkano ialu lako bangkano kai poonto wita tolen kabossi 30. teleu bangkano Tesandarako labuano nigora nambo ni haulili metihakomo 35 Tongki puu wonua Tamano moronene nta lolakoomo
Penguasa daerah pahlawan Moronene akan pergi berperang Cahaya Kilat Suara Guntur memanggil adiknya penguasa daerah pahlawan Moronene menyuruh pergi mengambil peralatannya setelah datang alat menarik parangnya pedangnya, perisainya akan berangkat sampai ditambatan mendorong perahunya di kedalaman batas rumput laut berhenti di tempat berlabuh bergeser delapan depa melompatlah jatuh, berdiri keanjungan perahunya hingga berjalan perahunya penguasa daerah pahlawan Moronene ibarat alat penangkap ikan jangkar penyeimbang setelah sehari jalan perahunya delapan hari jalan perahunya hingga melihat tanah (negeri) bunga pepaya sampai perahunya tersandarkan pada pelabuhan rumput laut tersedot berputar turunlah ia penguasa daerah pahlawan Moronene akan berangkatlah
75
teleu i Tangkeno kotiro-tiroo wonuana 40. Bilangiano kila datangasa sano ndou’ano Lintuano Berese mewangu sako lolako 45. tetii wonuano pongkino gandano Bilangiano Kila Lintuano Berese koripua kongko miano 50. tetii lonto duano Mewuatako laika tumpumani aweriako dubano memai-mai hondo 55. motui nkohomo mokontiiho i wawono wonuano Bilangiano Kila tiimo kato pe’o taano 60. metiihakomo helamo taano pandangano, kinalawano kando pomaani halu ropa iaa 65. nta pinoko’alano Tongki puu wonua Tamano Moronene peti-petiropaa pitu ropa iaa 70. yo mokole ntumoka mokole ntumoule ndoleu tepo’awa sampea ntonga’ano tila mengkenaano 75. pada mewosu ntaa merasai mponae simbau ngkikila’o pada weweahaa lumolinda’o ntaa 80. lumesee mponae lumolinda sombaho tetanda marou’o kando asa oleo
sampai di Tangkeno melihat ke bawah daerahnya Cahaya Kilat yang sementara perta minum Suara Guntur berdirilah berjalan sesampai di daerahnya membunyikan gendangnya Bilangiano Kila Lintuano Berese memanggil berkumpul orang sampai di persembunyiannya naiklah rumah tempat istrahatannya mengipaskan bajunya mengering-ngeringkan keringat keringlah sudah menantangnya di atas daerahnya Cahaya Kilat turunlah lalu kita berperang turunlah ia dengan parangnya pedangnya, perisainya lalu mereka berperang delapan depa dia akan diambilnya penguasa daerah pahlawan Moronene masih mengukur lagi tujuh depa dia yakni raja yang mencintai raja yang ingin bertunangan mereka datang bertemu sampai di pertengahannya tempat bagi keduanya sama-sama mengibaskan parang mengibaskan dengan parang sama seperti kilat sama-sama membara terpentallah parang lantang parang terpental maka sujud tergelincir takluk lalu mereka sehari
76
korua oleondo 85. kontolu oleondo kando pato oleondo kando wolia ntae wotu hoharatia hindo kokai ngkeru 90 meka’olu ntonisu kando ialu mondo kando uru mongkadu kando rorae dua mompupulu’aako 95. dahomo konteliano hine kosuruno oleo kai pontibo’ako molai-lai mpampa lako-lako ntiwere 100 tongki puu wonua tamano moronene dahomo dadasio nte mokudodohio ”sie tibobo tola ” 105. tara’usa molai hii lawe-laweu kantula sabuau nde’e mo’usu ntali marompasi pe’iu 110. simbau’u solara padau harimao dahoo torengeiho tewiso i birino Tongki puu wonua 115. Tamano Moronene mokotonda bungkuo na’ana kinia rombo enu kantalele bahandi “subahanala lono 120. asitaga laburu po’ontokosi bara “ saheangku nta tola hulangku nta molai kaku potitisuko 125. mokokonto’oriko powo wanduno poso penganeno taruna taruna lele ntodo dahoo nde’e diie
kedua harinya mereka ketiga harinya mereka lalu mereka keempat harinya lalu mereka tidak bersuara maupun berbicara mereka saling berhadapan saling bersambut tangan lalu mereka delapan hari penuh lalu mereka cukup lama lalu mereka melekat beradu kesepuluh harinya sementara sudah hampir sore ketika hampir terbenam matahari hingga ia tiba-tiba berlari-lari ke samping berjalan-jalan miring penguasa daerah pahlawan Moronene sementara ia paksakan dan mendesaknya jangan langsung pergi terus-menerus lari oleh karena kemauanmu akibat keinginanmu lantas merebut destar merampas pengikat sesama kesatria sesama harimau” kemudian terdengar masuk di telinganya penguasa daerah negeri Moronene memukul kebelakang juga dengan parang beranyaman ikatan kalung kumpulan kalung subhaanallah hancur astagafirulah celaka apakah dapat kau lihat wajahku akan menghilang rupaku akan berlari saya ajarkan kamu membuatmu tahu caranya bermain kerbau jantan permainannya orang berani orang berani tetap tahan kemudian, lantas ia
77
130. nde’e mekiarako tambanio limano popole me’ilo’o taa ngkarambauo na’ana simabuno 135. dahoo terongeiho ruuno taa’owu anakia ntumoka mokole ntumoule mokotonda bungkuo na’ana 140. kinia rombo enu kantalele bahandi tambanio limano kando daa i’ira pada mepiterako 145. mekora satendedo satuntuno larondo kau nte o’ontoho pohohau tuntuo sisi wulekaa’o 150. bubu wita motu’i sirawai ntaado yahomo nineendo mengkina nahiindo rondomaa dunia 155. maloo bawaangi meantai sombali wawai asa pampa ndodaa i’ira simbau mekadandasi 160. meka menonaako kai lumese taa lumolinda ponae i podo ntokiano dungku montakalako 165. i lelea bahundo wawo mpodo malado kando daa i’ira simbau nteposinca pada ntepoweati 170. dahoo, kai daa tuuna tekadangka isa ntekarambau anakia ntumoka mokole ntumoule 175. dahoo momperorongo
lantas mengambil celah membantu kedua tangannya memotong sekuatnya memarang sekuat kerbau juga pada temannya kemudian terdengar hembusan parang raja yang mencintai raja yang ingin bertunangan memukul ke belakang juga parang beranyaman ikatan kalung kumpulan kalung membantu kedua tangannya lalu mereka sama-sama miringkan badan sekuat tenaganya sepenuh hatinya kau melihat meraup seluruh tanah bunyi tiupan terhambur debu tanah kering oleh ujung parang mereka inilah yang dinamakan mereka yang mereka katakan gelap gulita dunia malam seantero bumi siang di sebelah terang di samping sementara mereka sama-sama mendesak saling membuktikan hingga lantang parang terpental parang di pokok lengannya sampai makan di tempat rata bahu mereka atas pokok lengan mereka lalu mereka sama-sama terpisah sama-sama terpisah dari perkelahian kemudian, hingga ia jatuh tersungkur rebah seperti kerbau raja yang mencinta raja yang ingin bertunangan kemudian seperti pengikat
78
mompewiwiri lere dahano sai empa rongo wadihorino kai sisia rea 180. momperirii ntowu salanomo keena kai dodara bungku kai sowo ntoruku Tongki puu wonua 185. Tamano Moronene raane tepohonda laa roda wulaa nai timpaa laro awaa pinehawa 190. kana’atesi kia wowosua boboto ari sabe molia wumbu tube malano tuunasi timpa 195. rongo wadihorino hii daa iaa tangasa mekokonainoo ndau porongo ngkadu mewosu-wosu ntaa 200. merasai mponae dahoo tebosi bungku nteilea ntoruku tuuna tepentade tinolai ntotuno 205. i naro mengkonamo tukaka pogantino ntowa poleneeno umo’ora pontula keihako ntoburi 210. kumora motihi’o kei ntalambiina “karamanupo ntowa “ moneepo tukaka kau poo’alahi lele 215. salele ngkasio’au dio nta samange’u itu sala ngkasio’au kau pontiboboako montara’usaako 220. sau laro mbule’o mehawa bulilio
seperti daun alang-alang tempat yang tidak putus pengikat ginjalnya hingga menyembur darah seperti daun tebu begitulah keadaannya hingga merangkak ke belakang hingga mundur kebelakang penguasa di daerah negeri di Moronene di sana ia bersandar batang pohon dadap emas tidak sadar diri dapat berpikir seperti itulah, kawan bekas cambukan bulat telah tampak melewati atas bahunya jatuhlah kena pengikat ginjalnya ketika ia sementara bersamaan pula pangeran pembawa pundi-pundi mengibas-kibaskan parang mengibaskan dengan parang kemudian salto ke belakang dan lompat ke belakang jatuh berdiri di hadapannya persis tepat di depannya kakak penggantinya saudara penggantinya berteriak keras berteriak nyaring berteriak melengking berteriak dengan suara lantang bersemangatlah saudara saya katakan kepada kakak kamu mendapat nama kurang baik tersiar berita tentangmu akan memalukan bagimu dan menertawankanmu” kau tiba-tiba dan langsung tidak sadar kembali memikirkan kembali
79
tolomeano wula wuleleno wotiti kaluku i ohora 225. ni’i i wiwi lere nabesa ntangasa mekokonaimoo wua salaka nggilo wua ngkeu libara 230. kaluku ngkinese’u ni’i nirompoiu totolomea ntonde longa’ompaiyasa kau pontibo’ako 235. montara’usaako nde’e nta dungku bintaho teleu bungkuiho nde’e ntowa lulio dio kolumpeeho? 240. hii lou mpependa rorae mbuleano ala buliliano kau pontibo’ako tukaka, bintaaku kakak, 245. ntowa bungkuihaku kusauri okidi kulia wuri-wuri naku da’apo, ntowa telaa mohoridi 250. mo’anamea ntama yahoo nta nilarou nta pinehawa’u ka’asi kadohongku kara-karasaingku 255. naku da’apo pande’o tukaka, to’orio , alamui Bombana witai Moronene die pande’o sala 260. to’orio ruruho kau pontibo’ako die nta bintaaku ntowa bungkuihaku sau da’a ada’aku 265. ntowa oliwiaku kau nte’o ontoho pendua motetewe pinanga
kembangnya bulan bunganya bulan kelapa di daerah pelabuhan kelapa di pinggir alang-alang melimpah ruah sementara bersamaan pula berbuah perak mengkilat berbuah pohon lebat kelapa yang kau lindungi kelapa yang kau pertahankan berbunga kaca berbunga cermin kau tiba-tiba dan terus lantas akan sampai meninggalkannya sampai membelakanginya lantas saudara lupa itu melupakannya lagi pula kalau diingat lagi memikirkan kembali kau tiba-tiba tinggalkan saya saudara membelakangi saya saya terlalu kecil saya teramat kecil saya belum , saudara tumbuh menjadi pangeran menjadi putra raja itulah akan kau ingat akan kau kasihani kasihan penderitaanku kesengsaraanku saya belum mengetahui kakak, mengetahui daerah di Bombana tanah di Moronene ini mengetahui jalan mengetahui jalannya kau tiba-tiba akan meninggalkan saya saudara membelakangiku tidak menasehati saya saudara menasehatiku kau lihatlah dua kali dia makan sirih
80
mo’amba sinalende kai timpaa laro 270. awaa pinehawa Tongki puu wonua Tamano Moronene umo’ora pontula keihako ntoburi 275. kumora motihi’o kai ntalambiina tii mepuri wita me’ai ntumondete sabe lombaa langi 280. laahio oleo ronga mangkaramanu “karamanupo ndau “ anakia ntumoka mokole ntumoule 285. sie mosoro wita mompetana alamu kau arimo, kia montotoki rahau mongkolo komaliu 290. komali pesompou raha mpesamporau nta poturiau kiu teleu ngkana kiu dungku morongka 295. kiu daa dee’u kia megaga meleleako laro kato daa mompokaru pada mompohuari sabemo i laica 300. hia ntei laica kaku todoi tete hicu miano leu tapolo adiie kiku pompoweehi 305. pongku monohi raha pontodohi ngkomali dahoo terongeiho tewiso i birino anakia ntumoka 310. mokole ntumoule meka bulilisako tepekatu kaoko ponae mporodano
sampai hambar rasa sirih hingga kembali sadar dapat berfikir penguasa daerah pahlawan Moronene berteriak keras berteriak nyaring berteriak melengking hingga suaranya lantang turun sampai ke bawah tanah lewat celah udara naik menembus langit menembus matahari sambil berbangga karena menang bersemangatlah, pangeran raja yang mencintai raja yang ingin bertunangan jangan berbaring atas tanah hanya beralaskan bumi” kau sudah, kawan memotong-motong kayu istanamu memotong rumah kebesaranmu rumah kebesaran pertunanganmu istana perkawinanmu akan tempat tidurmu bila kau datang sekarang bila kau tiba sekarang bila kau bisa gagah berani mempunyai kemantapan hati kita lagi berkelahi sama-sama mati bersamaan naiklah di rumah engkau pemilik rumah saya berhenti diteras karena saya orang pendatang jangan sampai ini saya mengakibatkan membuat gabah istana tabu ditanam sebagai yang meninggal di rumah kemudian terdengar masuk di telinganya raja yang mencintai raja yang ingin bertunangan saling membelakangi dia bertongkatkan parang andalannya
81
taa mpohalusino 315. sibai kale tandu tewangu mentade ruane pusakako wida mpekokorino tepalantuu elinga 320. widai lele wula nta lincaa tahane nta koko’o belano dahoo, kai daa nde’e megilisako 325. nta hoharatio yo dosono lipu pepeleno wonua “lincudu tolincudu somba tolalo ena 330. lincudu kita sinda somba kita tokia kolincuduno lipu ko’apuno wonua menteehomo nde’e 335. naku da’asi tumbaa lipu soorako wonua naku meloa’ako merea miahako wonua niwawau 340. lipu ntinotangkiu kuda’asi diie sauro meduluo lono mereretee nde’e siwu rea’o 345. dulu waranaa’o tende dampono laro asuluno penaa” nde’e membulatako yo dosono lipu 350. pepeleno wonua mototaa mengiri “nato nta hapaako “ to’ori kana’umpe na’iaasi ai 355. nta ruruho panta’u nta sala me’asau nta ruruho luwunto nta sala mponohanto dahoo kai daa
parang yang selalu tepat sasaran sampai dikuningan pada ujung hulu bangkit berdiri di sana dia membuka sabuk selendangnya berjumbai sampai ke lutut sabuk bernama berita bulan akan pindahkan ke atas akan membalut lukanya kemudian, hingga ia lantas berbalik akan menyapa yakni datuknya negeri pelindungnya daerah “maaf, sekali lagi maaf maaf, beribu maaf” maaf kepada sahabat maaf kepada kawan maaf kepada negeri kepada penguasa daerah sudah jelas, lantas saya tidak menolak menolong negeri tinggalkan daerah begitu saja saya tidak menebus mengorbankan darah orang lain demi daerah yang kau pegang negeri yang kau pimpin saya ini tidak hancur bersama hancur secara merata lantas satukan darah mencampur nyawa karena hati yang rela keikhlasan nyawa” lantas membuka matanya yakni penguasanya negeri pelindungnya daerah tertawa sinis kita mau berbuat apa apa boleh buat bukan hanya akan menjadi jalan engkau sendiri akan jalanmu sendiri akan menjadi jalan kita semua akan menjadi jalan kita semua” kemudian, hingga ia
82
360. nde’e saru na’ana silo-silo mataho o’onto pongkiiho luaroi owose wambai raha’ea 365. tii mekendarako keena tokaano takara ngkaru’ano luaroi sabeka wambai raha’ea 370. dahoo, kai lako nta meo’alahio palangga nte landono tambi mpera wumbuno kai dungku medoso 375. ronga mekendarako alaa pusakako yo kadu wulaano mompanga ntepo’ili wule ntepo’iraru 380. kai leso mompanga lapasi mesalende dahoo kai daa nde’e saru na’ana mekokolehaako 385. renta-rentaho kasolili nggilono bolongko wulaano sadampano rapano purano penaano nde ‘e saru i ndau 390. Tongki puu wonua Tamano Moronene dahoo mewatahako nta me’o’alahio pinehoroi ulu 395. patendei ntiroa i pinehoro ngkale i patande bolusu kai dungku raane nde’e medoso-doso 400. ronga mekandarako mehonda-honda bahu meporasa owea lima-lima mpatande wolili mpinehoro 405. dahoo kai daa
lantas ia juga curi-curi mata melihat melihat dengan mata halaman di rumah besar pintu di istana besar turun melompatlah di sana tempat hinggapnya tempat berhenti kakinya di halaman tempat naik di pintu istana besar kemudian, hingga jalan akan menuju alas tubuhnya yang terangkat ranjang setinggi ubun-ubunnya hingga datang berpegang sambil melompatlah mengambil membuka yakni kantung sirih emasnya memakan sirih sambung-menyambung mempersiapkan pinangan berulang kali hingga selesai makan sirih selesai makan sirih kemudian, hingga ia lantas ia juga berbaring sambil menarik-narik sarung berkilauannya sarung emasnya setelah rapat kepalanya putus nyawanya lantas yang mulia penguasa daerah pahlawan Moronene kemudian naiklah akan menuju tempat istrahat di alun-alun balai-balai di halaman di tempat istrahat kuningan di balai-balai kuningan hingga tiba di sana lantas berpegang-pegang sambil melompatlah bersandar-sandar bahu bersentuhan bahu sandaran tangan balai-balai sandaran tangan tempat istrahat kemudian, hingga ia
83
gilisako kaduno momponga ntepo’ili wule ntepo’iraru kai leso momponga 410. lapasi masalende piditako ilino i aita liole oloi laamoa moniati pompande 415. mobasa ponto’ori pate wuku onunu pobea ntonuana dahoo kai daa tealo molimpaki 420. yo dosono lipu pepeleno wonua mobea-bea’omo pewaheakoano pompetotoiino 425. ponto’uohakono ndau porongo ngakadu na’ana lawuiho nde’e wosu ntaa’o rasai mponaeho 430. mokolawa-lawa’o nai buro taano tenteo mponaeno dedepo mantapuno alua isamano 435. kau nte’o’ontoho kana’atemo kia ledo-ledoo ari ndau porongo ngkadu dahoo kai daa 440. nde’e saru na’ana ronga ngko’awa-awa ndau porongo ngkadu “pompetotoiiu “ ponto’uohakou 445. yo dosono lipu pepeleno wonua nai da’a megaga moleleako laro dahaku nta wawaa 450. diie totangkio torai ntumundau
memutarkan tempat sirihnya memakan sirih sambung-menyambung mempersiapkan pinangan berulang kali hingga selesai makan sirih selesai makan sirih semprotkan ludahnya di celah udara celah di angkasa berniat memakai ilmu membaca mantera mati tulang roh bahan magis hantu kemudian hingga ia lewatlah melangkahi yakni datuknya negeri pelindungnya daerah agak berat sudah gerak-geraknya emosinya semangatnya pangeran pembawa pundi-pundi juga membabi buta lantas mengibaskan parang kibaskan dengan parangnya menampar kiri kanan tidak henti-hentinya parangnya reda parangnya begitu lincahnya tidak ada samanya kau lihatlah sepertinya, kawan baru dibangunkan pangeran pembawa pundi-pundi kemudian, hingga ia lantas ia juga sambil ikut berbicara pangeran pembawa pundi-pundi emosimu semangatmu yakni datuknya negeri pelindungnya daerah tidak gagah berani memantapkan hati saya akan membawa membawa sekarang bulu ajimatmu
84
wuu mpopaliau kaku dungku soi’o teleu wowahio 455. wowahio tambera beli’o raha wita dahoo kai daa nde’e saru na’ana sadaa-daanomo 460. Tongki puu wonua Tamano Moronene nde’e makaraiho moko’oru-oruo ituai’iteno 465. “anene ai ntowa “ ana ntuai’ite ana ntowa mohiwu sie weo-weo’o ala-ala nturio 470. pompetotoiiu ponto’uohakou limai mikiki’o hedo mpoe laroo dahoo kai daa 475. nde’e saru na’ana yo dosono lipu pepeleno wonua hii nte’o’ontoho ponoha te’engka 480. ponae mporodano taa mpohalusino pempulu kompehalu ndau porongo ngkadu mokolawa-lawa’o 485. nde’e wosu ntaa’o rasai mponaeho dahomo konteliano hine kosuluno oleo dahoo megilisako 490. mokotonda bungkuo kinia rombo enu kantalele bahandi ndau porongo ngkadu dahoo kai daa 495. nde’e mekiarako tambanio limano popole me’ilo’o
bulu keramatmu saya datang persembahkan datang membawanya membawanya kepada kuburan raja memberi sebagai sesajen di istana raja kemudian, hingga ia lantas ia juga terus-menerus penguasa daerah pahlawan Moronene lantas mendesak menyuruh cepat-cepat adiknya yang masih kecil hai saudara adikku yang kecil saudaraku yang kecil jangan teledorkan kendur-kendurkan emosimu semangatmu tangani dia terus dengan hati-hati kerjakan dengan sakit hati” kemudian, hingga ia lantas ia juga yakni datuknya negeri pelindungnya daerah kalau dilihat satu kali terangkat parang andalannya parang yang selalu tepat sasaran delapan belas kali pangeran pembawa pundi-pundi menampar muka belakang lantas kibaskan parangnya kibaskan dengan parang sementara sudah hampir sore ketika hampit terbenam matahari kemudian berbalik menampar kebelakang dengan parang beranyam ikatan kalung kumpulan kalung pangeran pembawa pundi-pundi kemudian, hingga ia lantas mengambil celah membantu kedua tangannya memotong sekuatnya
85
taa ngkarambauo yo dosono lipu 500. pepeleno wonua kiu nte’o’ontoho pohohau tuntuo posiru lekaa’o bubu wita motu’i 505. sirawai ntaano yahosi nineendo mengkina nahiindo rondomai dunia maloi bawaangi 510. meantai sombai wowai asa pampa nde’e terongeiho tewisoi birino dahoo megilisako 515. kinia rombo enu kantelele bahandi tambanio limano pada mepiterako kando pekadandasi 520. meka menonaako kai nte’o’ontoho hi lumesse taa lumolinda ponae dahoo kai lako mentete 525. i podo ntokiano dungku mentalako i lelea bahuno i wawo oweano alaa sintakako 530. ndau porongo ngkadu ponae mporodano taa mpohalusino tuuna tekadangka isa ntekarambau 535. nde’e dosono lipu pepeleno wonua dahoo momperorongo mompewiwiri lere dahano sai empa 540. kai sisia rea mompewiwiri ntowu dahoo dodara bungku ndau porongo ngkadu
memarang sekuat kerbau yakni datuknya negeri pelindungnya daerah bila kau melihat meraup seluruh tanah menyendok sehingga terangkat debu tanah kering oleh ujung parangnya ini yang dinamakan mereka yang mereka katakan gelap gulita dunia malam seantero bumi siang di sebelah terang di samping lantas terdengar masuk di telinganya kemudian berbalik dengan parang beranyaman ikatan kalung kumpulan kalung membantu kedua tangannya sama-sama miringkan badan kebelakang lalu mereka saling mendesak saling membuktikan hingga terlihatlah lantang parang terpental parang kemudian ia pergi memukul di pokok lengannya sampai jauh masuk di tempat rata bahunya di atas bahunya menarik kembali pangeran pembawa pundi-pundi parang andalannya parang yang selalu tepat sasaran jatuh tersungkur rebah merangkak seperti kerbau lantas datuknya negeri pelindungnya daerah kemudian seperti pengikat seperti daun alang-alang tempat yang tidak putus hingga menyembur darah seperti daun tebu kemudian mundur kebelakang pangeran pembawa pundi-pundi
86
raane tepohonda 545. weweu mololawu dio sosambalica raane tepohonda laa roda wulaa ipolaisakopo 550. dahoo kai lako raane tepohonda pu’u ngkoota kale porangkua lagunti ipolaisakopo 555. dahoo kai lako raane tepohonda ilaa ni’i wulaa ana ngkaluku nggadi ana ni’i tumoro 460. ipolaisakopo dahoo nde’e i ndau Tongki puu wonua Tamano Moronene mokopekaanio 565. i tuai’iteno dahoo tebosi bungku nde’e lela ntoruku i aita liole oloi laamoa 570. mentade lolawa’o lako totambeiho i tuai’iteno tuuna tepentade metundokii wita 575. pera ngkolo witino kai o’oo nde’e taru kekebaiho “anene i ntowa “ ana ntuai’ite 580. ana ntowa mohiwu hicu kana-kanahi daako nta mesompeako merere mataako yahopo kau daa 585. mepopotisu’ako mepokokonto’ori mo’episako taa mompuale mponae daako saru na’au
di sana tersandar dalam keadaan mengigau dan berpikir berlayang-layang di sana ia tersandar batang pohon dadap emas masih tak tertahankan kemudian hingga pergi di sana tersandar pohon tiang kuningan tempat ikatan masih tak tertahankan kemudian hingga pergi di sana tersandar di batang kelapa emas anak kelapa kuning anak kelapa yang kuat masih tidak tertahankan kemudian lantas pangeran penguasa daerah pahlawan Moronene dapat melihat itu adik kecilnya kemudian salto ke belakang lantas melompat ke belakang di celah udara celah di angkasa berdiri menerimanya pergi membantu itu adiknya kecilnya jatuh berdiri tumit menginjak tanah batas tungkai betisnya hingga memanggilnya lalu menegurnya hai saudara anak adik kecil anak saudara yang masih kecil berulang kali saya katakan nantilah akan kau terbiasa menutup mata” barulah kau tadi mempelajarinya mengetahuinya mengibaskan parang memutar parang nantilah kau juga
87
590. nta mehiwoo’ako merere mataako na’ai kau tudu ntowa kau pakooni teporasai lara 595. tehondai bangkele bangkeleno owola larano keu dato” tuuna tepohonda ndau porongo ngkadu 600. yahopo todoano keena tetangkoano kai nte’o’ontoho dahoo sisia rea momperirii ntowu 605. ilelea bahuno iwawo oweano dahoo nde’e i ndau Tongki puu wonua Tamano moronene 610. umo’ora mpontula keihako ntoburi kumora motihi’o kai ntalambiina “karamanupo ntowa “ 615. moneepo tuai kau pebangu ngkana mepowawe morongka” dahoo tahu lua’o yo upe mpinangano 620. ruane nta pisi’o yo mata belano i tuai’iteno ronga rorangiaho dahoo mompokomoli 625. dahoo nde’e iaa ontarako limano morongka sai ari kana sai paisa bela kai ari mebaho 630. dahoo kai daa nde’e saru na’ana Tongki puu wonua Tamano Moronene “namohapako nde’e “ 635. ana ntowa mohiwu
akan terbiasa menutup mata di sini kau berhenti saudara, kau bersandar menyentuh baju tangguh tersandar di baju andalan baju andalan kayu biti terasnya kayu datu” jatuh tersandar pangeran pembawa pundi-pundi barulah berhenti ke sana tempat terhentinya hingga terlihatlah kemudian menyembur darah tak henti-hentinya di tempat rata dari bahunya di atas bahunya kemudian lantas yang mulia penguasa daerah pahlawan Moronene berteriak keras berteriak nyaring berteriak melengking hingga suaranya lantang bersemangatlah, saudara terhadap adik kau bangun sekarang berpakaian sekarang” kemudian ia mengeluarkan yakni ampas pinangannya lalu akan menempelkan yakni mata lukanya itu adik kecilnya sambil memeluknya kemudian menyembuhkannya kemudian, lantas ia lepaskan tangannya seperti tidak terjadi seperti tidak pernah luka hingga selesai mandi kemudian, hingga ia lantas ia juga penguasa daerah pahlawan Moronene apa yang terjadi anak saudara yang kecil
88
kau lia mongkuu sauri mparubeke” dahoo nde’e na’ana umo’ora mpontula 640. keihako ntoburi kumora motiho kai ntalambiina tii mepuri wita me’ai ntumondete 645. laahio oleo kai lako keino mentade kumorano Ndau porongo ngkadu keena isaano 650. nde’e dungku ntekaka isa nte wuwukei alamui Bombana witai Moronene tinolai ntotuno 655. i naro mengkonano mbue daa raha motu’a hii daa totoro yo mbueno daa raha motu’a kai isa ntekaka 660. dungku ntewuwukei dahanomo keena “dede ai larongku “ itea mpenaangku saurio megaga 665. lia menturusia Tongki puu wonua Tamano Moronene nde’e hiiwamo i tuai’iteno 670. dahomo adiie kumora mpelolono keibasa londeno nde’e hoharatio yo dosono lipu 675. pepeleno wonua “nde’e unena’opo “ tanda-tandai hopo toria patande’u tunggu mpinehoro’u 680. hii walo wuako wolohi pinangako
kau terlalu loyo terlalu lemah” kemudian lantas ia juga berteriak keras berteriak nyaring berteriak melengking hingga suaranya lantang turun dibawah tanah menembus ke langit menembus matahari hingga pergi berteriak berdiri meneriakan pangeran pembawa pundi-pundi di sana tempat hilangnya lantas tiba dan terungkap hilang dan diketahui daerah di Bombana negeri di Moronene di hadapannya persis tepat di mukanya nenek yang tua yang sementara duduk yakni neneknya yang tua hingga hilang dan terungkap tiba dan diketahui berada di sana bagaimana perasaanku hatiku nafasku kau terlalu berani terlewat usahanya” penguasa daerah tamano Moronene lantas sudah dapat itu adik kecilnya sudah ada ini suara jelasnya teriakan pemberitahuannya lantas menyapa yakni datuknya daerah pelindungnya daerah lantas sekarang, kamu rasakan masih coba-coba penjaga balai-balaimu penunggu tempat istrahatmu dia membalasmu dengan balasan pinangan”
89
osie ai kia, mosuru-suru wita dahoo kai daa 685. tabea saru kia “ torai ntumundau wuu mpopaliau dahaku nta wowaa kutodo tuunani 690. i molio’ano tahi i saano ohia tabea, tuaiu dahaku nta wowaa die nta totangkio 695. raane i lipungku mbule i wonuangku weweuho podangka dioho potirisa potirisa i polu 700. podangka i dapura” dahoo nde’e iaa yo dosono lipu pepeleno wonua dahoo terongeiho 705. tewisoi birino ruane pusakako wida mpekokorino nta lincaa tahane nta koko’o belano 710. silo-silo mataa o’onto mpongkiiho luaro i owose wamba i raha’ea leu mekendarako 715. keena tokaano takara ngkaru’ano luaro i sabeka wamba i raha’ea dahoo kai lako 720. nta me’o’alahio palangga ntelondono tambi mpera wumbuno kai dungku medoso-doso ronga mekendarako 725. alaa pusakako yo kadu wulaano mompanga ntepo’ili
jangan, kasian kawan beralaskan tanah kemudian hingga ia maafkanlah kawan bulu ajimatmu rambut keramatmu saya akan bawa saya berhenti dan jatuhkan di tengah laut di hempasan samudera maafkan, adikmu saya akan bawa ini akan membawanya di sana di negeriku kembali di daerahku membuatnya sebagai pelayan memeliharanya sebagai babu babu di dapur pelayan di dapur” kemudian hingga ia yakni datuknya negeri pelindungnya daerah kemudian terdengar masuk di telinganya ke sana membuka kain pengikatnya akan di pindahkan di atas akan membalut lukanya curi-curi mata melihat dengan matanya halaman di pintu besar pintu di istana besar datang melompatlah di sana tempat hinggapnya tempat perhentian kakinya halaman di depan pintu pintu di istana besar kemudian hingga pergi akan menuju alas tubuhnya yang terangkat ranjang setinggi ubun-ubunnya hingga datang berpegang-pegang sambil melompatlah mengambil membuka yakni kantung sirih emasnya memakan sirih sambung-menyambung
90
wule ntepo’iraru kai leso mompanga 730. lapasi mesalende 192.alaa motoro’o yo kadu wulaano mekokolehaako rentaho kasolili nggilino 735. bolongko wulaano sadampano rapano purano penaano dahoo kai lako yo sangkoleono 740. dahomo tahane o’aro’o dungku mpopanguluo pinehoro onunu patende ntonuana kai laro mbule’o 745. mehawa bulilio sai da’a diie lapasi po’adano leso pe’oliwino i tuai’iteno 750. kai pohule mbule nde’e wangu ntotoro me’engka totahero kai o’oo nde’e taru kekebaiho 755. “anene i ntowa “ ana ntuai’ite ana ntowa mohiwu ki daasi diie nde’e ntitiako 760. ndau porongo ngkadu raane i lipuno mbule i wonuano osie to’u ntowa rora’aiho nawa 765. sosa’oo penaa kaho kau mbule nunu’o raane tundorio dahoo terongehio tewisoi birino 770. i tuai’iteno mentelunta luuno mentehohoalu raka “saru ai i ntowa “
mempersiapkan pinangan berulang kali hingga selesai makan sirih selesai makan sirih mengambil meletakkan yakni pundi emasnya berbaring sambil menarik sarung berkilauannya sarung emasnya setelah rapat kepalanya putus nyawanya kemudian pergilah yakni rohnya sementara ke atas mendaki sampai menunjukkan jalan tempat istrahat roh balai-balai hantu hingga ingat kembali memikirkan kembali tidak ada ini selesai pesannya hentikan nasehatnya kepada adiknya yang kecil hingga pulang kembali lantas bangun duduk memaksakan duduk hingga memanggi lantas lalu menegurnya hai saudara anak adik yang kecil anak saudara yang kecil kalau dia ini lantas mengajakmu pangeran pembawa pundi-pundi ke sana di negerinya pulang di daerahnya jangan sekali saudara menghancurkan nyawa merusakkan nafas biar kau pulang ikut dia ke sana bersamanya kemudian terdengar masuk di telinga itu adik kecilnya mengeluarkan air matanya masing-masing delapan jalur kasihan hai saudara
91
menona i tukaka 775. labiraa kulono laluo kulaburu 193.ka’iaa nta mbule naku pande’o sara to’orio waweta 780. wawetai bombana sarai moronene kiku dungku konaho “ teleu tosikio nahina danta kana 785. teleu saliako nta lolaa’o rapa nta lako’o ntorai labiraa kulono laluo kulaburu” 790. dahoo mololawani na’ana tukakano “anene ai ntowa “ menona i tuai ana ntuai’ite 795. ana ntowa mohiwu osiemo ka’asi tuai mepokere nta metotariani daho entiwi nawa 800. ongkonaa penaa osie sai ehe raanei Bombana mbulei Moronene mowada liuhanto 805. kawo lohia hanto dahoo kai daa lapasi po’adamo leso po’oliwino i tuai’iteno 810. mekokolehaako sadampano rapano purano penaano dahoo nde’e na’ana Tongki puu wonua 815. Tamano Moronene nta hoharatio i taui’iteno “anene ai ntowa “ ana ntuai’ite
sebetulnya kakak lebih baik kuhancur lebih baik kulebur daripada pergi saya tidak tahu adat mengetahui peraturan peraturan di Bombana adat di Moronene” kalau saya tiba baik-baik datang menyesuaikan diri tidak ada yang akan seperti itu sampai berbuat salah akan melayang kepala akan pergi rambut lebih baik kuhancur lebih baik kulebur” kemudian menjawablah juga kakaknya hai, saudara betul, adikku anak adik yang kecil anak saudara yang kecil jangan, kasihan adik bertahan akan menunggu lagi sudah sedikit nafas sudah sedikit nyawaku jangan sampai tidak mau ke sana di Bombana pergi di Moronene membayar hutang kita harus kita kembalikan kemudian hingga ia selesaikan pesanannya selesai nasihatnya kepada adiknya membaringkan tubuhnya setelah rapat kepalanya putus nyawanya kemudian lantas ia juga penguasa daerah pahlawan Moronene akan menyapa itu adiknya yang kecil hai, saudaraku anak adik yang kecil
92
820. ana ntowa mohiwu tealomoi masigi sabemoi baluara otu masigi nggilo baluara wulaa 825. nde’e sabe resaa te’ala tiihako i tuai’iteno yo dosono lipu pepeleno wonua 830. kau wawaa mbule totangkio bulili raanei bombana mbulei moronene kau tanu ntowaa 835. weweu ntuaiho kei alaa wuto kei toe ntinumbu dahoo kau wowaa diie totangkio 840. nde’e wowaa sabe diie porambahi ngkaruno empesa mpinindano wonui olono lipui po’aino 845. i po’aino ohoro tidano wiwi lere poteana wuuno ponduna ntoraino kindo dungku awaa 850. teleu rombeako i tolomea ngkapa wulele mpiniuhi wulele sai ombo longa sai to’ori 855. ile ngko’ipuano” dahoo kai daa nde’e saru na’ana mewatahako lako ndau porongo ngkadu 860. rua mesoopako turupa ato ntete mokonte’ala taha melaa saupana nahina kompakono 865 ko’uo-uoano
anak saudara yang kecil singgahlah di ruangan atas naiklah di ruangan yang dihias ruangan atas yang berkilauan dihias dengan emas lantas pergi naik turunkan ambillah, turunkanlah itu adik kecilnya yakni datuknya daerah pelindungnya daerah kau bawa pergi bawalah bersamamu kesana di bombana pergi di moronene kau jadikan dia saudara membuatnya sebagai adik kalau ia sudah besar kalau tumbuh tinggi kemudian kau membawanya di sini mengantarnya lantas membawanya naik di sini sebagai hadiahnya letakkan pijakannya daerah di pertengahannya negeri perbatasannya di perbatasan peternakan batasnya pinggir padang alang-alang menjadi penjaga rambutnya pencari kutu rambutnya kalau mereka sampai mendapatkannya sampai menemukannya itu puteri bunga kapas putri kembang kapas putri yang belum bertunangan kembang yang tidak tahu besok atau lusa“ kemudian hingga ia lantas ia juga berangkat pergi pangeran pembawa pundi-pundi turun memasuki depan teras terus lurus ke atas menuju ruangan atas tidak ada segannya atau halangannya
93
kai dungku tahane tekaberako wamba umbatai sabeka 195.wambai raha’ea 870. dahoo kai lako kai leu rumai nta me’o’alahio yo dosono lipu pepeleno wonua 875. kai dungku medoso ronga mekendarako hii daa iaa leleha ntepolele endo mekorohako 880. nai tuuna hulano nai isa saheano dahanomo rongee keena modeaho “anene ai ndau “ 885 lumasa mpoholili ana mporongo ngkadu kiunia nta wawaho totangkio rapangku wowaa ntoraingku 890. osie to’u ka’asi ntetodo tuunani i molio’ano tahi i saano ohia kaho kai dadu 895. nde’e nta wawaaku kau dungku diohaku raha mpohioau witai moronene totono pulu ta’u hoalu 900. naku tuuna hula naku isa sahea yahoo nta tahampa’u saru basa londeu dahoo molowani 905. “nta hapangku ico “ nta lako mororongo torai ntumunda’u wuu mpopaliau sawaliangkonopo 910. dahaku nta alaa bahagia ntonda’u
hingga sampai di atas sana terbukalah pintu pintu tempat naik di rumah pintu di istana besar kemudian hingga pergi hingga datang di sini akan menuju yakni datuknya negeri pelindungnya daerah hingga tiba berpegang sambil melompatlah sementara ia terbaring terlentang tidur nyenyak terlentang tidak berubah sinar wajahnya tidak hilang cahaya mukanya sementara ia dengar di sana ia mendengarkan hai pangeran anak penyandang anak pembawa pundi-pundi kalau kau berniat akan membawa membawa kepalaku membawa rambutku jangan sekali, kasihan berhenti jatuhkan di tengah laut di hamparan samudera biarlah engkau lantas akan membawaku kau tiba simpanlah aku istana pertahananmu tanah di moronene selama delapan belas tahun tidak berubah cahaya wajahku tidak akan hilang sinar mukaku itulah akan menjadi kebangganmu namamu pasti terkenal” kemudian menjawablah akan apa saya itu” akan pergi membawa bulumu yang angker rambutmu yang keramat akan tetapi saya akan ambil ajimat sandaranmu
94
inolu ntangkoriu pomali-malincu dio ngkikitoongku 915. nta dahangku sangkeko die tealohico hicu ari tealo montoria hakoko pinehoro ngkale’u 920. patande bolusu’u dahoo kai daa nde’e raa alaho bahagia ntondano inolu ntangkurino 925. sorongano nawano kompeno penaano dahoo kai daa nde’e taha huu’o dahoo lambitako 930. moko i muanaho mewatahako lako lako nunu’o dopi tundurio pa’ota wawo mpa’ota ngkale 935. wawo dopi bolusu kai leu nunu’o bantaleleno raha luenono ngkomali lako mototuiho 940. saupana masigi baluara wulaa mokonteala taha otu masigi nggilo baluara wulaa 945. tealo tabelako gala-gala mpadoma toriki mpaisa dahoo nta nilauno nta nilasarakono 950. tealo tabelako maedani untede wotutu olimpopo hii daa moo’ia tuaino i ndau 955. yo dosono lipu pepeleno wonua rua totaarako
jimat ramalanmu untuk peganganku simpan sebagai pusaka akan saya mengenang engkau ini mengingatmu bahwa saya pernah singgah menjagakanmu tempat istrahat kuninganmu balai-balai kuninganmu” kemudian hingga ia lantas ia mengambil ajimat sandarannya jimat ramalannya peti nyawanya keranjang nafasnya kemudian hingga ia lantas ambil yang tergantung kemudian meletakkan di sebelah kanan berangkatlah pergi berjalan ikuti papan mengikuti pembatas ruangan pembatas ruangan kuningan atas papan kuningan hingga datang mengikutinya di ruangan istana di aula kebesaran berjalan menuju ke tangga ruangan atas berhiaskan emas menuju ke atas ujung ruangan atas yang berkilauan berhiaskan emas lewat menggeser dinding-dinding jendela dinding kaca kemudian akan seterusnya akan meneruskannya lewat menggeserkan kelambu berkelap-kelip kelambu bintang di mana ia berada adiknya itu pangeran yakni datuknya negeri pelindungnya daerah dari bawah ia mengangkat
95
piso wulaa’ate taha nta dosolako 960. i pu’u ngkudomano 197.dahomo asa doso dahano sai dampa raane rorodaa ndau porongo ngkadu 965. ronga sapu suwaa ronga mongkambia’o “anene ai ndau “ tuaino mokole ntowano pe’ombua 970. peloo sosa’oo tetabe rora’aiho rora’aiho nawa sosa’oo penaa nde’e dadisi saru 975. kei moico laro moriana penaa diie kato mbule diie kato raane alamui Bombana 980. witai Moronene” dahoo kai daa nde’e mololawani wuleleno horidi longano anamea 985. “labiraa kulono “ laluo kulaburu ka’iaa nta mbule naku pande’o sara to’orio waweta 990. wawetai bombana sarai moronene waweta ngkonaano sara iaahano” dahoo kai daa 995. ronga mololawani ndau porongo ngkadu “nai hinamo mosala “ mokaa baliangko wawetai pedalu 1000.sarai Tolaki kau mbule na’au mowada liuhau kawolohiahau
pisau emas kecil ke atas akan dia tancapkan di kerongkongannya sementara masih satu jengkal yang belum rapat ke sana dapat mendahului pangeran pembawa pundi sambil tangkap dengan tangan kiri sambil memegangnya Hai yang mulia adiknya raja saudaranya penguasa jangan merusak dilarang mengorbankan mengorbankan nyawa merusak nafas lantas lebih baik kalau tenang hati hidup senang sekarang kita pergi sekarang kita ke sana daerah di Bombana negeri di Moronene” kemudian hingga ia lantas menjawablah bunganya permaisuri kembangnya putri raja lebih baik kuhancur lebih baik kulebur” daripada akan pergi saya tidak tahu adat mengetahui peraturan peraturan di Bombana adat di Moronene peraturan yang sebenarnya adat yang benar” kemudian hingga ia sambil menjawab pangeran pembawa pundi-pundi tidak ada masalah” tidak berlawanan peraturan di musuh adat di Tolaki kau pergi juga membayar hutangmu pinjamanmu
96
hii loumo penda 1005.kolaroo iaa i tukaka wulele 198.i ntowa tolomea metuai sinaru mentowa ino’ane 1010.dahoo kai daa nde’e saru na’ana wuleleno horidi longano anamea tabelako luuno 1015.sehee ngkori rino kai raa rentaho katora saporiti be’u sangkowulaa momponga ntepo’ili 1020.wule ntepo’iraru kai leso mompanga lapasi mesalende tahu hungke mpisoo lomba-lombai ulu 1025.kaumbai ntiroa nta mo’upu bite nta montoliti wua totoro mangkalati wua mo’e’ete pinanga 1030.na’ana ihiiho samo’iri nggilono salopa wulaano nai peloo luu nai oti ngkoriri 1035.nde’e saru na’ana tepowangu mentade tiihako soronga resaa tampasera alaa tapalio 1040.gili ntinalimaa mbimbiina gilino kele’a ungkahino mowuwukei sangka mongkakasi parewa 1045.hii ari menona mepowawe airenda mesawu ntoliwuto mekombo Lasalimu metulambai ari
bagaimanpun juga sangat baik ia itu kakak sang putri itu saudara kembang menjadi adik pinjaman menjadi saudara angkat” kemudian hingga ia lantas ia juga bunganya permaisuri kembangnya putri raja menghapus air matanya melap air matanya hingga menarik keluar tempat sirih suasa bakul yang terbuat dari emas makan sirih sambung-menyambung mempersiapkan pinangan berulang kali hingga selesai makan sirih selesai makan sirih membuka dengan pisau jendela-jendela di depan jendela di depannya akan memetik sirih akan memetik buah pinang duduk mengiris pinang memotong pinang kecil-kecil ia juga mengisi tempat sirihnya yang berkilauan tempat sirih emasnya tidak berhenti air mata tidak henti-hentinya air mata lantas ia juga bangun berdiri menurunkan peti turunkan peti mengambil ditepak-tepaknya memutar ibu jarinya berbunyi putarannya berbunyi pembukaannya membuka perhiasan memilih pakaiannya setelah berpakaian berpakaian renda memakai sarung buatan luar negeri memakai baju pengantin Lasalimu lengkaplah sudah
97
1050.mesisi ngkoa lima metampula antinambe mewuwu mpinokala 199.ruanepo alaho rumpangoano wula 1055.sangkulano wotiti tahane dakatako nta metandu-tandu’o kando ntewowolite ilaa ngkopisino 1060.polino-linoosi pe’ase e’eesi molinoopo riri bali’opo sangkula ka’iaa iaa 1065.wuleleno horidi longano anamea mentee-ntee to’u tii mpe’onunua da podapono suo 1070.powawoi ntoriki pontompari kombono kau nte o’ontoho wuleleno horidi langano anamea 1075.nai unta luuno tenteo ngkoririno dahoo kai daa nde’e saru na’ana ndau porongo ngkadu 1080.alaa pusakako wida mpekokorino “lincudu, tolincudu “ somba tolalo ena ana ntuai’ite 1085.ana ntowa mohiwu dahaku nta balalo mompekalimbaari olo seseki nggilo olo bindu wulaa 1090.sesekino solora . binduno harimao raane kikihia kono’o ico saru luuno wulele inaari 1095.longa wegilinga
bercincin setiap jarinya bersanggul melintang rambut tersusun melintang turun lagi mengambil daun seperti bulan sangkulanya bulan ke atas menyisipkan akan bertanduk-tandukkan lalu mereka berbalik-balik di batang pipinya jernih-jernih sekali serasi sekali lebih jernih dari daun lebih harum dari daun sangkula daripada ia bunganya permaisuri kembangnya putri raja jelas sekali turun cahaya seperti bayangan dari langit-langit kamar di atas dinding hiasan baju kombonya kau melihat bunganya permaisuri kembangnya putri raja tidak berhenti air matanya tidak reda air matanya kemudian hingga ia lantas ia juga pangeran pembawa pundi-pundi mengambil melepaskan selendang sabuknya maaf, sekali lagi maaf, maaf, beribu maaf” anak adik yang kecil anak saudara yang kecil saya akan keterlaluan berbuat kurang sopan terhadap panutan berkilau terhadap model keemasan panutannyanya kesatria modelnya harimau” ke sana menghapuskannya itu air matanya bunga putri cilik kembang yang belum mekar
98
iwegilinga ntonde inaari mpadoma “saru ai larongku “ itea mpenaangku 1100.tuaindo mokole ntowanda pe’ombua peloo sosa’oo tetabe rora’aiho rora’aiho luu 1105.sosa’oo ngkoriri sie marembiako laro nau da’a ntaapenda nta mbule ntekadoho die ntekarasai 1110.nahina nta mosala mokaa baliangko die taro ntowangku wotolu ntuaingku yahoo nta salakono 1115.pompoko mperongano wulele ntuu enu longano ntobahandi pelulio-lulio pekolu-kolumpee 1120.tukaka mpoganti’u ntowa mpoleneeu nahina nta susa’u nta kaeno larou kiu dungku raane 1125.alamui Bombana witai Moronene nahina danta kana teleu pengkenano i tukaka wulele 1130.i ntowa anamea metuai sinaru mentowa ino’ane” kai mongkadu sangka kai mondo mparewa 1135.rua totaarako samo’iri nggilono salopa wulaano dahoo kai daa nde’e saru na’ana 1140.wuleleno horidi longano anamea
itu kembang kaca putri cilik bunga kaca bagamana perasaanku dan hatiku adiknya raja saudaranya penguasa berhentilah rusakkan dilarang mengorbankan mengorbankan air mata merusakkan air mata jangan mengingat-ingat dihati kau tidak akan juga akan pergi menderita ini sengsara tidak akan ada masalah tidak dibeda-bedakan ini bagian saudaraku dari tiga adikku demikian akan ada temannya menemani bersamanya bunga yang berkalung kembang yang berkalung dilupakan saja lupa-lupakanlah kakak penggantimu saudaramu yang tertua tidak akan ada susahmu akan kekurangan hatimu kalau kau sampai disana daerah di Bombana negeri di Moronene tidak ada yang akan mirip sampai tidak ada samanya itu kakak sang puteri itu saudara puteri raja kau menjadi adik pinjaman saudara angkat” hingga dia selesai berpakaian hingga lengkap pakaiannya turun mengambilkan tempat sirih berkilauannya tempat sirih emasnya kemudian hingga ia lantas ia juga bunganya permaisuri kembangnya puteri raja
99
dahoo mewatahako nta tealo huu’o boru mpou wulaa 1145.dahoo kai lako yahopo kai daa tepowangu mentade ndau porongo ngkadu dahoo susumio 1150.daa tutuupako doomi ngkapape’o boru ntambuale’o wileleno horidi longano anamea 1155.tealo tabelako meidani untete wotutu olimpopo yaho nta nilauno nta nilasarakono 1160.tealo tabelako gala-gala mpadoma toriki mpaiasa leu melo’asako umbatai masigi 1165.wambai baluara tuuna nirarano isa mpangalibuno bantaleleno raha luenono ngkomali 1170.kando te’umba rua dahoo kando lako
kemudian berjalanlah akan singgah mengambil payung emasnya kemudian hingga jalan barulah hingga ia terbangun berdiri pangeran pembawa pundi-pundi kemudian menyusulnya dan mengikutinya sambil mennggoyangkan payung akan melingkarinya bunganya permaisuri kembangnya puteri raja lewat menggeserkan permadani berkelap-kelip kelambu bintang yang akan berlangsung lama akan seterusnya lewat menggeserkan dinding-dinding kaca dinding cermin datang memunculkan diri di pintu ruangan atas di pintu berhiaskan emas turun cahayanya hilang terangnya bulan di ruangan besar istana di aula kebesaran lalu mereka keluar ke bawah kemudian lalu mereka berangkat