12
TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Individu Lionberger dan Gwin (1982) mengungkapkan bahwa peubah-peubah yang penting dalam mengkaji masyarakat lokal di antaranya adalah peubah karakteristik individu. Dijelaskannya bahwa karakteristik anggota kelompok pada dasarnya merupakan karakteristik individu. Menurut Lionberger (1960) bahwa karakteristik individu meliputi; umur, tingkat pendidikan dan ciri psikologis. Anwar (1982) dalam disertasinya menyatakan bahwa karakteristik individu yang patut diperhatikan, antara lain: umur, pendidikan formal, luas tanah garapan, sikap terhadap inovasi dan tingkat pengetahuan. Penelitian Ichwanudin (1998) mengungkapkan bahwa status sosial ekonomi, seperti umur, pendidikan formal, pendidikan nonformal dan tingkat pendapatan berhubungan erat dengan perilaku komunikasi. Schramm dan Kincaid (1978), mengatakan bahwa karakteristik individu meliputi umur, pendidikan, pengalaman kerja maupun status pekerjaan serta kemampuan individu dalam melaksanakan tugas. Sedangkan Rogers dan Shoemaker (1995) melihat ciri khas individu dalam penyebaran gagasan atau inovasi pada suatu sistem sosial, dikatakannya bahwa karakteristik aparat/ individu meliputi status sosial, kepribadian dan perilaku komunikasi. Setiap orang mempunyai karakteristik tertentu dan dalam hal ini perlu diperhatikan agar berhasil dalam keterlibatan mereka dalam pelaksanaan tugas di organisasinya. Wayang Hazeu (1979) menulis bahwa Wayang dalam bahasa Jawa berarti "bayangan" dan dalam bahasa Melayu berarti "bayang-bayang," "samar-samar," "menerawang." Kata Hyang berarti roh, sukma, dewa atau Allah yang juga mengakar pada kata Wa-Yang. Sedangkan Van der Tuuk dalam Hazeau (1979) melihat akar-kata yang sudah memberi arti bergerak berkali-kali, simpang-siur, lalu-lalang dan melayang-layang. Jadi kata "wayang" dapat berarti sukma, roh yang melayang mengitari. Menurut bahasa Jawa Kuno awalan “wa” berarti suatu fenomena yang "kian-kemari." Menurut Mulyono (1979) wayang mengandung arti "berjalan kian-kemari,” tidak tetap, sayup-sayup (dalam substansi bayangbayang. Secara harafiah, kata "wayang" adalah “bayangan” yang menunjuk pada boneka dari kulit binatang (belulang kerbau), pipih, dipahat, diwarna dan
13
bertangkai; dalam arti luas adalah sebuah pertunjukan dramatik, drama atau tontonan dengan aktor boneka atau manusia (Holt, 1967). Kata wayang yang berarti "bayangan" bermula dari pertunjukan bayangan, karena boneka-boneka yang muncul dalam pertunjukan ini menimbulkan bayangbayang, fenomena itulah yang mungkin mendukung penamaannya. Tetapi sudah sejak ratusan tahun lalu boneka-boneka itu diberi warna-warna dan tidak hanya mengandalkan efek bayangan saja. Pola-pola bentuk dan warnanya terus berubah dari masa ke masa, hingga sampai pada bentuk yang dibakukan pada pertengahan abad 19 (seperti yang kita lihat sekarang ini). Lambat laun paradigma wayang berkembang bukan hanya untuk menyebut pertunjukan yang menimbulkan bayang-bayang, tetapi juga kesenian yang berkaitan dengan cerita, lakon, struktur dramatik dan sebagainya; seperti dalam pergelaran Wayang Beber, Wayang Golek dan Wayang Wong (Guritno, 1988 dan Mulyono, 1975). Wayang merupakan dongeng, khayal dan mitos, berkembang menjadi sintesa yang tidak rasional (bagi orang modem) dunia pewayangan adalah mitos atau lambang yang dapat membangkitkan daya-daya mistik dalam diri penghayatnya. Penafsiran orang (Barat) bahwa wayang kulit hanya shadow play belaka adalah kurang tepat, karena wayang bukanlah obyek visual belaka. Bagi masyarakat penghayatnya (Jawa), pergelaran wayang kulit adalah pengungkap wewayang ing ngaurip (gambaran dari hidup dan kehidupan) yang tidak ada hubungannya bayang-bayang hitam (silhouette) pada kelir (layar) (Haryanto, 1988). Asal-usul Wayang Ada banyak pendapat yang menelusuri asal-usul wayang dan sebagian besar bermuara pada dualisme; beberapa pakar menyebut wayang berasal dari India (Hindu) dan sebagian lagi menyatakan kesenian asli Bangsa Indonesia Purba (Jawa). Pendapat di luar itu menyebutkan bahwa wayang adalah produk dan bertemunya dua kebudayaan, yaitu Hindu dan Jawa. Beberapa di antaranya mendekati dan berbagai disiplin ilmu untuk memastikan asal-usul wayang misalnya Hazeu (1897) memakai bukti-bukti linguistik. Rassers dengan kacamata antropologi struktural, Brandes memakai bukti-bukti etnologi dan antropologi budaya, sedangkan Pischel dari sudut pandang budaya dan sebagainya (Amir, 1994). Suroto (1975) mengatakan bahwa jauh sebelum pengaruh Hindu datang ke Indonesia, nenek moyang kita telah mengenal pertunjukan bayang-bayang
14
dengan memakai boneka wayang. Menurut Mellema (1954), usia wayang sulit dijelaskan, dalam literatur Jawa menyebut sekitar 1000 AD dan merupakan hasil karya asli wilayah setempat (Jawa); tentang bagaimana dan kapan wayang kulit mulai berkembang di Indonesia masih berupa praduga. Catatan tertua yang menguatkan kehadiran pertunjukan yang disebut "wayang" di Jawa Tengah berasal sejak tahun 907 Masehi pada inskripsi batu Raja Balitung. Sebagian inskripsi itu menyebut "mawayang buat Hyang" yang berarti "mempertunjukan wayang bagi para dewa," yaitu upacara persembahan ritual di biara lokal atau bangunan suci pada sebuah perdikan (tanah bebas) untuk dewa-dewa yang diikuti oleh semua penduduk perdikan tersebut (Holt, 1967). Hazeu (1897) menekankan bahwa wayang sudah dikenal masyarakat Jawa sekitar tahun 778 Masehi (700 Caka) salah satu contoh wayang purwa yang tertua ditemukan pada relief candi Prambanan Jawa Tengah (abad 9-10); sedangkan ceritanya yang mengambil kisah kepahlawanan Ramayana dan Mahabharata telah menjadi mitos sejak beberapa abad sebelumnya. Hazeu ilmuwan terkemuka Belanda ahli kesusasteraan dan budaya Jawa akhir abad 19, dalam disertasi doktornya di Leiden Belanda mengemukakan bahwa wayang purwa bukan berasal dari India; karena istilah-istiIah teknik yang digunakan dalam pertunjukan bukan berasal dari kata Sansekerta. Istilah-istiIah itu seperti: wayang, kelir, blencong, kepyak, dalang, kothak dan cempala adalah asli Jawa dan bukan dari Hindu (India) (Hazeu, 1897 dan Guritno, 1988). Teon Rassers yang biasanya bertentangan dengan Hazeu, pada bagian ini justru saling memperkuat; bahwa pertunjukan wayang telah mengalami evolusi dari ritus-ritus inisiasi kuno yang asli dan semua peralatan serta teknik pelaksanaan wayang menggunakan istilah Jawa dan bukan dari India (Holt, 1967). Hasil penyelidikan Kern dan Brandes menunjukan bahwa unsur-unsur Hindu hanya merupakan pelapis luar belaka yang menutupi bahan dasar asli kebudayaan Indonesia (Hazeu, 1897). Bowers dalam Sastromidjojo (1964) menulis dalam "Theater in the East," bahwa sejarah pertunjukan wayang kulit atau permainan bayangan (shadow play) muncul mulai abad ke-I Sebelum Masehi. Pryono dalam almanak Primbon Jawa 1959 menyebutkan bahwa bukan hal yang mustahil jika kurang lebih 2.000 tahun yang lalu bangsa kita telah memiliki satu kebudayaan yang dapat dinilai sebagai embrio (cikal bakal) wayang kulit (wayang purwa), lengkap dengan
15
tetabuhan (gamelan) pengiring serta nyanyian-nyanyian mantram (mantra), dengan pengantar bahasa Jawa kuno (Kawi) (Sastroamidjojo, 1964). Tidak terpungkiri bahwa perjalanan sejarah wayang tidak mungkin menghindar dari periode Jawa-Hindu (Krom, 1931 dalam Pigeaud, 1967), tetapi bukan berarti kesenian wayang ini berasal dari asal agama Hindu (India). Di daratan India memang terdapat pertunjukan bayangan bernama Chayanataka yang diterjemahkan sebagai "drama bayang-bayang" tetapi kesenian tersebut diduga merupakan kesinambungan dari bentuk sastra yang diteater-rakyatkan lewat media boneka (Holt, 1967), bukan teater yang diperkaya dengan karya sastra seperti dalam wayang kulit purwa. Jenis dan Ragam Wayang Di Indonesia terdapat puluhan jenis wayang yang tersebar di pulau Jawa, Bali, Lombok, Kalimantan, Sumatera dan lain-lain; baik yang masih populer maupun hampir atau sudah punah dan hanya dapat dikenali dalam kepustakaan atau di museum-museum wayang. Pada umumnya perkembangan wayang di daerah-daerah
tertentu
mempunyai
hubungan
erat
dengan
masuknya
kebudayaan Hindu yang ditandai dengan diketemukannya berbagai prasasti. Seni pewayangan tersebut terus berasimilasi hingga menjadi milik masingmasing daerah dan akhirnya menggunakan nama, bahasa pengantar, gendinggending pengiring serta sistematika pergelaran yang berbeda-beda. Di luar Jawa terdapat beberapa jenis wayang (terutama wayang kulit) yang berbeda dengan wayang purwa, antara lain adalah: Wayang Palembang, Wayang Bengkulu, Wayang Banjar(masin), Wayang Sumatera Utara, Wayang Sasak (Nusa Tenggara) dan Wayang Bali, Wayang Betawi dan sebagainya. 1. Wayang Kulit
Dari bahan dan media perupaannya maka boneka wayang yang muncul di panggung adalah boneka dari kulit binatang (belulang kerbau), pipih/tipis, ditatah (dipahat), disungging (diwarna) dan dilengkapi dengan cempurit atau gapit (tangkai/penjepit) dari tanduk kerbau. Kesenian ini berkembang pesat dalam masyarakat Jawa, bahkan bukan hanya dalam perupaan dan pementasan tetapi juga berkembang dalam peragaman jenis dan cerita yang dipergelarkan. Beberapa jenis wayang kulit yang ada (pernah ada) dan telah dibakukan di Tanah Jawa antara lain adalah : a. Wayang Purwa, istilah "purwo" berasal dari kata Sansekerta "purwa" atau ''parwa'' berarti pertama, terdahulu zaman purwa atau jaman dahulu,
16
(Hazeu, 1897). Wayang ini berpijak pada empat mitos sebagai dasar pengembangan lakon; yaitu: (a) Adiparwa (awal mula Mahabharata), sebagian kemudian berkaitan dengan mitologi Indonesia kuno (Indonesia Prasejarah), (b) Arjuna Sasrabahu berkisah tentang asal-usul beberapa tokoh penting dalam kisah Ramayana, (c) Ramayana, mengambil kisah persengketaan antara Rama dan Rahwana (Dasamuka), (d) Mahabharata, kisah perseteruan dua kubu dari satu keturunan Bharata, yaitu Pandawa dan Kurawa. b. Wayang Gedog, atau Wayang Antara dicipta oleh Sunan Giri tahun 1563 (1485 Caka, candra sengkala: Gegaming Naga Kinaryeng Dewa) (Hazeu, 1897) dan dikembangkan pada masa pemerintahan Sri Gajayu (R. Subrata) sampai Panji Kuda Laleyan. Penciptaannya didasarkan pada cerita kepahlawanan di wilayah Jenggala sampai Pajajaran, yaitu legenda Raden Panji dari Jawa Timur (dalam Serat Panji) dan legenda Damarwulan. Karakteristiknya hampir mirip dengan wayang purwa, hanya berbeda dalam detail busana terutama pada hiasan penutup kepala tanpa gelung supit, semuanya memakai keris dan berkain kepala gaya Yogyakarta atau udeng gilik gaya Bugis. Pergelaran wayang ini iringan gamelan berirama pelog, tidak terdapat tokoh buto (raksasa) dan kera, karena kisah nyata (asli) yang dilakonkan tanpa ada tokoh fiktif. Menurut beberapa pendapat, kata "gedog" berhubungan dengan "peng-gedog-an" (ketokan), yaitu saat ki dalang memukulkan cempala pada kothak wayang. Ada juga yang mengatakan bahwa "gedog" berasal dari kata "kedok" (topeng) karena selain dipentaskan dengan boneka dari kulit, jenis wayang ini juga ada yang menggunakan manusia sebagai bonekanya (seperti Wayang Wong) dan semua pemerannya memakai kedok (topeng)
(Holt,
1967
dan
Sastroamidjojo,
1964).
Pendapat
lain
menyebutkan bahwa Wayang Gedog berarti "pagedogan" (kandang kuda) karena banyak tokoh-tokoh dalam cerita Panji menggunakan nama "Kuda," seperti Kuda Waningpati, Kuda Narawangsa dan sebagainya. Wayangini menyebar hingga ke Kalimantan Selatan (Banjar), terbukti ditemukan dalam Hikayat Banjar atau Tutur Candi yang menyebut-nyebut Wayang Gedog atau Wayang Gadogan dalam bahasa Banjar (Budi, 2002).
17
c. Wayang Madya (tengah), muncul sekitar tahun 1880 dan mengambil lakon masa "tengah” (madya), yaitu generasi Bharata terakhir atau kisah Pasca-perang Bharatayuda; dimulai dari Yudayana anak Parikesit dan permulaan Jayalengkara sampai runtuhnya kerajaan Sigaluh. Wayang ini dicipta oleh K.G.P.A.A. Mangkunegara IV (1853-1881) di Solo setelah menerima Serat "Pustaka Raja Madya" dan "Serat Witaradya" dan R.Ng. Ranggowarsito (1802-24 Desember 1873) pada tahun 1870 (1792 Caka). Inti dari serat-serat tersebut berkaitan dengan Serat Pustaka Raja Purwa yang menceritakan riwayat dewa-dewa dan para Pandawa sampai akhir perang Bharatayuda (Haryanto, 1988). Perupaan para tokoh wayang terutama raja tidak memakai praba (sinar atau nimbus) yaitu busana tambahan (aksesoris) yang dipakai di punggung, biasa digunakan oleh seorang prabu (raja) sebagai lambang keluhuran kedudukannya; seperti dalam wayang purwa. Kebanyakan perupaan Wayang Madya dilengkapi senjata keris atau pedang, selain memakai kain agak panjang menjuntai yang
dinamakan
cara
hanyakan
(seperti
sikap
burung
angsa)
(Sastroamidjojo, 1964). d. Wayang Dobel, dibuat oleh Amat Kasan alias Kyai Slamatan dari desa Slamatan Yogyakarta. Tema ceritanya berisi ajaran agama Islam yang berpijak pada "Babad Ambiya" (Amir, 1994). Lambang-lambang yang ditampilkan berkaitan dengan ajaran agama Islam dengan demikian nama tokoh-tokoh pemerannya diambil dari sejarah penyebaran agama tersebut. Bahan dasar wayang masih tetap kulit kerbau tetapi bentuk rupanya berbeda dengan wayang kulit purwa; meskipun sekilas seperti wayang purwa tetapi ukuran proporsi tubuh, tangan dan kaki tampak lebih besar (anatomis). Posisi badan wayang cenderung menghadap ke penonton bahkan ada beberapa tokoh wayang yang benar-benar menghadap ke muka (en-face). Busana dan perhiasan yang dikenakan lebih sederhana dengan teknik garap perupaannya cenderung kaku dan geometris. Bahasa pengantar yang digunakan bahasa Jawa tetapi gamelan pengiringnya dicampur-aduk dengan terompet dan rebana; akhirnya tampak
sekali
bahwa
wayang
ini
lebih
sebagai
hasil
kreasi
(eksperimentasi) pembuatnya yang berpijak pada ajaran Agama Islam (Sastroamidjojo, 1964). Wayang dobel dibuat tahun 1921 dan hanya bertahan sekitar dua tahun karena diketahui menampilkan tokoh Nabi
18
Muhammad yang berpantang untuk digambarkan, akhirnya wayang ini dianggap sesat dan dilarang beredar (Sutrisno, 1983). e. Wayang Jawa,
dicipta oleh Bupati Surakarta bernama R.M.Ng.
Dutadipradja sekitar tahun 1937; berkisah tentang kepahlawanan yang berkembang di Jawa, terutama perjuangan Pangeran Diponegoro dalam melawan Kompeni Belanda. Perupaan wayang bergaya wayang purwa tetapi busana yang digambarkan gaya Jawa (busana tradisional Jawa). Gamelan pengiringnya berirama pelog lengkap, gending ayak-ayakan dan srempegan yang diaransir secara khusus (Sastroamidjojo, 1964). f.
Wayang Dupara, ciptaan R. Danuatmadja dari Solo tahun 1938, bentuk perupaannya hampir mirip wayang kulit purwa, hanya pada bagianbagian: penutup kepala (topeng), busana dan senjata terselip di pinggangIah yang membedakan. Wayang ini berkisah tentang legenda Nyai Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan), Sunan Kalijaga, Kisah Jaka Tingkir, Jaka Tarub dan lainnya; berkisar sejarah antara Kerajaan Demak sampai Kartasura atau mulai zaman Majapahit (akhir) hingga masa perjuangan Pangeran Diponegoro (Sastroamidjojo, 1964 dan Sutrisno, 1983).
g. Wayang Wahana, dicipta oleh R.M. Sutarto Hardjawahana (Reshi Wahana) sekitar tahun 1938/1939. Setiap lakon dapat dimainkan dengan sembarang tokoh karena memang tidak ada nama tokoh tetap pada masing-masing wayang, jadi mirip kesenian "kethoprak." Kesenian ini menceritakan tentang permasalahan sosial kekinian (saat itu) dengan alokasi waktu pementasan sekitar 6 jam. Bahannya terbuat dari belulang kerbau dengan bentuk wayang mirip boneka gambar manusia wajar (realistis), busana dan perhiasannya digambarkan seperti apa adanya kondisi masyarakat saat itu (Sastroamidjojo, 1964). h. Wayang Kancil, berisi cerita binatang (fabel) dengan tokoh utama adalah sang kancil dan tokoh-tokoh manusia relatif sedikit. Pemrakarsa adalah Bo Lim seorang keturunan China sekitar 1924-1925. Pada tahun 1943 disempumakan oleh R.M. Sajid dan diperbanyak menjadi 200 buah (Sastroamidjojo, 1964). Ceritanya didasarkan pada "Serat Kancil Kridomartono" karangan Raden Panji Notoroto dan dari kitab karangan Raden Sosrowijoyo dari Yogyakarta (Haryanto, 1988). i.
Wayang Perjuangan, dibuat oleh R.M. Sajid tahun 1944 di Surakarta (Solo)
yang mencoba mempopulerkan kisah kepahlawanan perang
19
gerilya dalam revolusi fisik Indonesia (Holt, 1967), berjumlah sekitar 200 buah
(Mulyono, 1975). Dalam perupaannya hampir mirip dengan
Wayang Wahana, baik dalam penggambaran postur tubuh yang realistis maupun busana seperti yang dipakai para pejuang saat itu. Banyak tokoh wayang ini tidak mempunyai nama tetap (sabrangan) tetapi untuk tokohtokoh utama dibuat serealistis mungkin; seperti Presiden Soekarno-Hatta, Jenderal Soedirman dan sebagainya. j.
Wayang Sandiwara ciptaan R.M. Sajid tahun 1944 sejenis Wayang Wahana dan Wayang Perjuangan; cerita yang ditampilkan mengenai persoalan sosial kekinian (saat itu), terutama politik dan kepartaian. Perupaannya lebih realistis seperti gambar manusia wajar dengan gaya busana sesuai dengan keadaan masyarakat saat itu (Sastroamidjojo 1964).
k. Wayang Suluh, (suluh = obor, penerangan) diciptakan di Madiun atas inisiatif Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (B.K.P.R.I.) tahun 1946/1947. Menceritakan tentang kondisi politik dan pemerintahan pada periode revolusi fisik dan Orde Lama (Sastroamidjojo, 1964). l.
Wayang Pancasila, muncul setelah Indonesia merdeka, dirancang oleh Empu Hadi alias Harsono Hadisoeseno seorang pegawai Departemen Penerangan R.I. Yogyakarta, bertujuan sebagai media pendidikan politik bernegara; terutama krisis politik antara Republik Indonesia dengan Pemerintah Belanda pasca kemerdekaan (Holt, 1967 dan Sastroamidjojo, 1964).
m. Wayang Adam Ma'rifat, muncul di Magelang Jawa Tengah, pada sebuah ”sekte” Islam Mistik dan digunakan sebagai media dakwah (Holt, 1967). Dicipta oleh Dwija Siwaya untuk mendukung cerita-cerita tasawuf tetapi dalam pementasannya sebagian besar meminjam wayang kulit purwa (Mulyono, 1979). n. Wayang Menak, dicipta oleh Trunadipa, seorang "dukun" dari Baturetna (Wonogiri), mengambil kisah masa kecil hingga wafatnya "Wong Agung Menak" berdasarkan Serat Menak karangan R. Ng. Yasadipura. Oleh karena dalam penggambaran tokohnya kebanyakan berbusana Jubah dan surban (baju panjang dan penutup kepala Bangsa Arab), memakai sepatu dan pedang panjang sedangkan tokoh wanita memakai kebaya dan tata rambut Jawa konde gondel (konde gantung). Pementasan
20
wayang ini diiringi gamelan laras (irama) pelog (Sastroamldjojo, 1964 dan Sutrisno, 1983). o. Wayang Wahyu (Wayang Katolik), lahir atas inisiatif Bruder Timothiheus Mardi Winyosoebroto. F.I.C, Kepala Bruderan F.I.C. Solo yang kemudian divisualisasikan bulan Desember 1959 oleh R. Roesradi, seorang ahli gambar Surakarta, dipergelarkan pertama kali tanggal 2 Februari 1960. Perupaannya adalah setengah wayang setengah gambar realistis (nyata) manusia terutama pada bagian wajah tokoh. Lakon yang dipentaskan diambil dari kisah-kisah dalam Kitab Suci Agama Katolik (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) dengan pengantar Bahasa Jawa dan diiringi gamelan slendro (Sastroamidjojo, 1964). Wayang inilah yang akan dibahas lebih jauh pada bab-bab berikutnya. p. Wayang Warta (wayang kristen), dicipta oleh Hadi Subroto dan pakelirannya oleh Sumiyanta atas inisiatif Sukimin guru Sekolah Dasar Klaten sekitar tahun 1970 (Sutrisno, 1983). Dari beberapa sumber menyebutkan bahwa wayang ini banyak kemiripan dengan wayang wahyu, baik dalam perupaan wayang maupun lakon-lakon yang dipentaskan dan kemungkinan menjadikan wayang wahyu sebagai acuan penciptaannya 2. Wayang Klitik atau Kerucil (Krucil)
Wayang klitik adalah boneka-boneka kayu pipih (tipis) diukir seperti patung relief dan dicat tetapi menggunakan lengan tangan dari kulit (kerbau) yang dapat digerakkan seperti lengan tangan wayang purwa. 3. Wayang Golek
Boneka wayang yang muncul di panggung terbuat dari kayu (tiga dimensional)
dipahat,
dicat,
dilengkapi
dengan
pakaian
dan
perhiasan/aksesoris (miniatur) dan dilengkapi dengan lengan-lengan tangan kayu berengsel sehingga dapat digerakkan. Karakteristik perupaannya mirip wayang purwa; tidak realistik dengan stilasi dan abstraksi (distorsi) bentuk. 4. Wayang Beber
Pada mulanya mengambil lakon dari kisah Mahabharata, kemudian beralih pada cerita Panji berasal dari kerajaan Jenggala abad ke XI dan mencapai kejayaannya pada zaman Majapahit abad XlV-XV (Haryanto, 1988). Wayang Beber pernah disempurnakan oleh K.G.P.A.A. Mangkunegara VI dalam perkembangannya pernah populer di daerah Wonosari Gunung Kidul
21
Yogyakarta dengan cerita "Remeng Mangunjaya" dan di Pacitan Jawa Timur yang berkisah tentang "Joko Kembang Kuning" (Raden Panji dan Permaisuri Dewi Candrakirana). Wayang ini berilustrasi seperti layaknya wayang purwa tetapi setiap adegan yang menampilkan beberapa tokoh digambar seluruhnva dalam satu bentangan kain panjang (horisontal). 5. Wayang Batu
Rupa wayang (pewayangan) yang digelar permanen dalam bentuk relief (dipahatkan) pada dinding candi, dinamakan "Wayang Batu" atau "Wayang Candi." 6. Wayang Wong
Wayang wong atau wayang orang lebih identik dengan sendratari atau drama tari yang di dalamnya posisi dalang hanya meresitasi serta menyanyi (nembang) sedangkan dialog antar tokoh dilakukan oleh masing-masing aktor atau pelakunya. Para pemain harus pandai menari (seperti sabet) dan nembang (menyanyi) serta paham ontowecono (karakter suara) tokoh wayang yang dibawakan (Sumardjo, 1992). Lakon wayang ini juga mengambil kisah Ramayana dan Mahabharata (satu konterpart dari wayang purwa) (Holt, 1967). Beberapa sumber menyebutkan bahwa kesenian Wayang Wong adalah hasil olah cipta K.B.AA Mangkunegoro I (1757-1795). 7. Wayang Topeng
Pada zaman kerajaan Demak, Sunan Kalijaga menciptakan topeng yang mirip dengan rupa wajah wayang purwa di tahun 1586 (1508 Caka, sengkala: Hangesli Sirna Yakseng Bawana). Kesenian ini lebih populer di tiga daerah yaitu Topeng Losari, Topeng Malang dan Topeng Madura tetapi pada perkembangan selanjutnya pertunjukan wayang topeng ini lebih dikenal dengan sebutan "tari topeng" seperti halnya sebutan wayang (Haryanto, 1988). Meskipun banyak sumber yang menyebutkan bahwa topeng diciptakan oleh Sunan Kalijaga tetapi harus dipahami dalam konteks kosmologi (kosmis-mithologis) dalam sejarah tak tertulis bahwa perupaan topeng itu sendiri dianggap sudah sangat tua dan pantas dihormati (Pigeaud,1967). 8. Wayang Alternatif
Berbagai jenis dan ragam wayang di atas masih banyak lagi wayangwayang yang ada dan pernah populer meskipun dalam tingkat lokal wayang kulit purwa sendiri ternyata mempunyai bentuk atau gagrak (gaya pakeliran) yang
22
berlainan pada masing-masing daerah, seperti: gagrak Surakarta, Yogyakarta, Kedu, Banyumas, Cirebon, Jawa Timur, Bali dan sebagainya. Sedangkan wayang-wayang yang sebagian besar menginduk (mengambil ide-cipta) pada wayang purwa adalah: Wayang beber purwa (1361), Wayang Demak (1478), Wayang Keling (1518), Wayang Jengglong, Wayang Kidang Kencana (1556), Wayang Purwa Gedog (1583), Wayang Rama (1788), Wayang Babad, Wayang Kuluk (1830), Wayang Kaper, Wayang Taspirin, Wayang kulit Betawi atau Wayang Tambun, dan yang termasuk wayang baru adalah Wayang Ukur hasil cipta Sukasman Yogyakarta, Wayang Sejati (1973), Wayang Budha (1978), Wayang Jemblung, Wayang Sadat (1985), belum termasuk wayang dolanan anak-anak yang terbuat dari kertas dan rumput (1964) (Haryanto, 1988). Perkembangan terakhir muncul pula fenomena wayang kampung, wayang kreasi baru dan sebagainya. Fungsi Wayang Daya tahan wayang terhadap perubahan peradaban dan berbagai macam pengaruh budaya membuktikan bahwa wayang mempunyai ”tempat khusus" dalam kehidupan masyarakatnya. Pada perkembangan terakhir tidak lagi terfokus pada upacara-upacara ritual dan keagamaan, bahkan bergeser untuk konsumsi hiburan: sehingga lakon dan pakem banyak disesuaikan dengan selera penggemarnya. Apa yang sekarang ini disebut wayang oleh orang Jawa, baru berkembang setelah melewati beberapa masa (abad) dan telah mengumpulkan sekian aspek dalam penyempurnaannya, baik Kepercayaan (Animisme-Dinamisme), unsur Hindu-Budha, Kebudayaan Islam dan Kejawen yang bersifat mistik. Religio Magis Diperkirakan sejak
tahun
1500
SM,
bangsa
Indonesia
memeluk
kepercayaan Animisme dan Dinamisme, yakni keyakinan bahwa arwah leluhur atau roh nenek moyang masih mempunyai andil dalam kehidupan dan semua benda itu 'berjiwa' atau mempunyai kekuatan gaib. Dalam periode Neolitikum mereka membuat alat-alat pemujaan berupa patung-patung dan perupaan lainnya yang dijadikan sebagai media memanggil roh-roh nenek moyang guna dimintai pertolongan (Soeroto dalam Mulyono, 1979). Wayang kulit sudah lama muncul pada ritus-ritus suci (Holt, 1967), dapat dipahami jika wayang berasal dari sistem kepercayaan "asli" Indonesia, yaitu kepercayaan purba yang dihidupkan kembali oleh aliran kepercayaan Kebatinan atau Mistikisme. Wayang
23
menyerap ajaran-ajaran dan nilai-nilai tentang penghormatan kepada alam, berkembang ke penghormatan pada roh-roh leluhur atau nenek moyang yang akhirnya dimitoskan sebagai dewa atau didewakan. Dari kacamata antropologi religi, dapat dipahami bahwa asal-usul (embrio) wayang mendasarkan pada kepercayaan fatisisme, sebuah kepercayaan bahwa benda-benda tertentu buatan manusia dapat menjadi tempat bersemayamnya kekuatan gaib; sehingga patung, gambar, boneka wayang. Jimat dan sebagainya dapat dijadikan media pemanggilan daya gaib atau roh-roh nenek moyang (Koentjaraningrat, 1992 dan Subagya, 1981). Begitu pula dengan segala macam sesaji, pembakaran kemenyan (setanggi), tembang dan suluk (mantra), serta tetabuhan lainnya; dipercaya dapat membujuk roh-roh baik (arwah nenek moyang) untuk "masuk" ke media (benda atau pelaku) upacara dan mengusir roh jahat (Sumardjo, 1992). Nenek moyang bangsa Indonesia percaya akan adanya suatu aturan tetap yang mengatasi segala apa yang terjadi pada alam dunia manusia dan manusia itu harus berpartisipasi dalam aturan "suprakosmis," sehingga hidupnya menjadi otentik, berarti dan bernilai sebagai bagian dan aturan kosmos. Untuk mengungkapkan kepercayaan itu mereka menggunakan lambang-lambang atau tanda berupa "mitos" dan "ritus." Dengan mitos mereka merasa memiliki nilainilai kehidupan berdasarkan kejadian purba. Dengan ritus merupakan sikap simbolik untuk turut mengurus tata alam dan menempatkan manusia pada tata alam (Subagya, 1981). Kepercayaan inilah yang mendasari cikal bakal pementasan-pementasan suatu cerita dalam upacara ritus tadi. Bermacam ritus mereka
ciptakan,
diwariskan
secara
turun-temurun
dengan
adaptasi
perkembangan kebudayaan dari generasi-generasi berikutnya. Pada waktu budaya prasejarah masih berkembang maka cerita-cerita lokal atau mitos asli yang kemudian diangkat dalam upacara ritual dengan cara dipentaskan, diceritakan atau ditarikan (Sumardjo, 1992). Salah satu bentuk pementasan tersebut adalah ”wayang” meski dalam bentuk yang masih sangat sederhana. Wayang sebagai karya asli manusia prasejarah Indonesia, dipercaya sebagai media pemanggil roh nenek moyang dan terus berkembang dalam berbagai bentuk upacara. Pada perkembangan dari generasi ke generasi mengokohkan wayang sebagai upacara terbuka yang bersifat ritual hingga pada tahapan tertentu akhirnya menjadi seni pertunjukan (panggung) yang mentradisi.
24
Pertunjukan wayang mempunyai fungsi dan latar belakang agama, secara tradisional fungsi wayang (kulit) terjalin dengan ruwatan, pengambilan hati serta doa untuk kesuburan. Dalam perkembangan terakhir wayang telah menjadi multifungsi; dari pergelaran yang masih berbau sakral hingga sampai yang bersifat hiburan. Memasuki
periode
kebudayan
Hindu
terjadi
pengkayaan
dalam
pelaksanaan upacara ritual wayang. Konsepsi dasar kebudayaan (agama) Hindu yang menganut politheisme tak merisaukan kepercayaan asli bangsa Indonesia karena kaya akan konsep Ketuhanan; teisme, monoteisme, deisme mitologi alam, animisme, monisme, dewaraja, dinamisme dan fetisisme. Kebudayaan (agama) Hindu menyebar tanpa terjadi shock-culture atau konfrontasi budaya karena dalam penyebarannya menggunakan adaptasi budaya dan bukan misi penyebaran agama. Pengaruh ini sedikit demi sedikit menggeser kepercayaan asli dari posisi monopoli menjadi sub-culture, hingga ritus wayang pun mengalami pergeseran konsep (Subagya, 1981). Semula tokoh-tokoh wayang yang merupakan personifikasi para Ieluhur nenek moyang dan dunia mitos; perlahan diganti dengan abstraksi dewa-dewa Hindu dan tokoh-tokoh dalam epos Ramayana dan Mahabharata. Paham gnostis mengidentifikasi Ketuhanan dengan ”jiwa alam” (Hyang-Suskama) seperti dalam Kejawen, merupakan pintu terbuka bagi bentuk-bentuk atheisme lainnya; sehingga tokoh dewa-dewa
khayangan (Hindu)
dalam
Ramayana
dan
Mahabharata cukup adaptif masuk dalam cerita wayang. Cerita Ramayana dan Mahabharata yang mulai melokal bercampur dengan mitos kuno tradisional, hingga para dewa dan pahlawan dalam kitab-kitab tersebut menjadi dewa-dewa dan pahlawan mereka dan sejajar dengan nenek moyang mereka sendiri bahkan dipercaya oleh masyarakatnya bahwa raja-raja besar di Jawa masih keturunan raja-raja dalam pewayangan (Arjuna dan Prikesit). Agama Hindu merupakan kumpulan agama-agama dari monoteistis, panteistis sampai monistis, tampak jelas dalam Ramayana dan Mahabharata yang rnenjadi sumber lakon wayang (purwa); banyak mengajarkan tentang nilainilai kepahlawanan/ kesatriaan, kebajikan, kejujuran dan sebagainya. Pada tingkatan yang lebih tinggi Hinduisme juga mengajarkan tentang kesempurnaan hidup, meliputi tingkatan-tingkatan manusia, tentang dharma dan karma yang berkaitan dengan reinkarnasi (Amir, 1994). Selain menjadi kitab,
kitab
Ramayana dan Mahabharata menjadi sumber pokok cerita pewayangan (purwa),
25
ada beberapa kisah atau lakon yang berkaitan dengan agama Budha (Indonesia Budha Mahayana) (Sutrisno, 1983) Metafisik Agama atau kepercayaan dalam pandangan antropologi budaya tidak pernah merupakan persoalan metafisika belaka; bagi semua bangsa, bentukbentuk, wahana, fenomena dan obyek-obyek penyembahan selalu terkait erat dengan aura kesungguhan moral yang mendalam. “Yang kudus” di mana saja dalam diri penganutnya mendorong sebuah rasa kewajiban instrinksik yang tidak hanya berkaitan dengan rasa bakti (iman) atau pertimbangan logika (intelektual) melainkan juga komitmen ”emosional” (Geertz, 1992). Dalam beberapa komunitas "beriman" tersebut untuk mengungkapkan komitmen ini dalam bentuk lambang-lambang religius (yang disakralkan) dipentaskan dalam ritus-ritus atau yang dikaitkan dalam mitos-mitos. Lambanglambang sakral tersebut lalu menghubungkan dengan sebuah ontologi dan kosmologi dengan sebuah estetika dan moralitas. Lambang-Iambang tersebut dipentaskan tidak hanya memiliki muatan positif melainkan juga muatan negatif; tidak hanya menunjukkan ke arah kebaikan melainkan juga adanya kejahatan serta ke arah konflik di antara keduanya. Dari paradigma ini terlihat nyata dalam nilai-nilai ”kejawen” sekaligus dimensi metafisika jawa yang terangkum dalam bentuk-bentuk kesenian yang sekaligus merupakan sebuah upacara religiusnya, yaitu pertunjukan boneka bayang atau wayang (Geertz, 1992). Bagi orang Jawa (terutama pola pikir yang dipengaruhi atau dibentuk dalam periode Hindu-Budha), memiliki arus pengalaman subyektif yang diambil dalam
kelangsungan
fenomenologisnya
yang
merupakan
sebuah
alam
mikrokosmos dari alam semesta pada umumnya; sehingga dari kedalaman dunia batiniah dari pikiran dan emosi, terciptalah kesunyatan (kenyataan sebenarnya). Paradigma (yang diperkaya dari India) ini mendasari konsepsi alam pikiran Jawa yang meletakkan segala kristalisasi pemahaman dari pemaknaan dalam bentuk rasa yang memiliki dua arti pokok, yaitu "perasaan" (feeling) dan "makna" (meaning). Dalam penerapannya yang lebih jauh, rasa ini untuk menunjukan muatan implisit pada "perasaan" konotatif dari gerakan-gerakan tari (termasuk bela diri), olah ungkap dalam seni, tata krama dan sebagainya. Dalam arti semantis bahwa rasa juga berarti "makna terakhir," yakni makna terdalam yang dicapai dalam usaha mistis dalam wilayah (pengalaman) transendental yang
26
mampu menjernihkan segala ambigiutas kehidupan duniawi. Pendek kata, rasa adalah inti dari kehidupan itu sendiri (Becker, 1993 dan Geertz, 1992). Bagi para penonton yang dewasa dalam spiritual, pertunjukan wayang dipandang memiliki muatan maknawi yang luwes bagi interpretasi dalam tingkat yang berbeda; mulai dari gemerlap pementasan sebuah lakon hingga maknamakna kosmis yang tersembunyi (Holt, 1967). Sebagai sebuah pagelaran yang memiliki berbagai bentuk ungkap seni, pakeliran wayang (purwa) juga penuh dengan fenomena rasa, dimana memiliki berbagai tingkat kesadaran individual dari masing-masing penghayat dalam mendudukkan fenomena tersebut sebagai bentuk olah rasa. Terutama dalam irama gending-gending gamelan yang dalam tingkat kesadaran tertentu, diyakini memiliki kekuatan metafisik yang mampu menuntun "telinga Jawa" ke dalam wilayah trance yang membawa seseorang dalam aura spiritual (Becker, 1993). Pragmatis Memasuki periode pengaruh Islam di Pulau Jawa (1478) yang dibawa Maulana Malik Ibrahim, kemudian dikembangkan oleh para wali (Walisongo), wayang mengalami pergeseran dasar konsepsi. Tidak Iagi sebagai upacara religius magis pemanggilan roh nenek moyang, melainkan berfungsi pragmatis, yaitu sebagai alat dakwah, pendidikan, komunikasi, sumber sastra dan budaya juga seni hiburan meskipun suasana magis kadang masih terasa. Para wali memodifikasi legenda dunia wayang menjadi cerita-cerita babad, yakni percampuradukan antara epos Ramayana Mahabharata versi Indonesia dengan cerita-cerita Islamik bahkan konsepsi dunia dewa Khayangan (Bhatara, Sang Hyang) menjadi titah yang tidak lebih tinggi dari Nabi Adam. 1. Media Dakwah Sistem dakwah yang dilakukan oleh Walisongo bukan merupakan perubahan atau perombakan kebudayaan Hindu-Budha dan diganti dengan kebudayaan Islam, melainkan melakukan penyelarasan atau penggabungan antara
Islam
dengan
kebudayaan
tradisional
(Hindu-Budha);
terjadilah
sinkronisasi keagamaan yang dikenal hingga sekarang ini, yaitu "Islam Kejawen" (Haryanto, 1995) dan wayang masih menjadi media adaptif dalam proses sinkronisasi tersebut. Selain terjadi penyesuaian bentuk rupa, lakon dan babad, muncul pula beberapa lakon carangan yang bernuansa Islamis, seperti: Mustaka Alam
(Semar
Lungo
Kaji),
Syekh
Siti
Jenar,
Wahyu
Makuto
Romo
(penggabungan cerita Ramayana dan Mahabharata), Jamus (Jimat) Kalimasada,
27
Mustokoweni, Petruk dadi Ratu (Petruk Menjadi Ratu), Pandu Bergala, Dewaruci (kumpulan beberapa ajaran agama). Wedaring sifat rongpuluh (realisasi duapuluh sifat Tuhan), Mbangun Candi Sapta Arga dan sebagainya (Sugito, 1984). Dalam
perkembangan
selanjutnya
walaupun
para
muslim
Jawa
mengetahui hal-hal non-Islamis dalam pertunjukan wayang tetapi ternyata sulit untuk melepas diri dari dasar filosofi wayang. Usaha menggunakan wayang purwa sebagai sarana dakwah lslamik dengan segala dalih kiranya justru akan berakibat fatal jika tidak dipahami secara substansial, hal ini disebabkan karena inti filosofi wayang purwa memang bukan Islamik. Barangkali sebagai pengenalan ajaran Islam, wayang adalah media adaptif bagi masyarakat jawa tetapi untuk pendalaman ajaran jelas sangat beresiko karena ajaran suatu agama adalah dogmatis yang tidak sembarang sinkron dengan unsur lain. Melihat kenyataan ini para seniman Islam pasca Wali Songo mulai mencipta beberapa wayang yang sesuai dengan ajaran Islam seperti Wayang Gedog, Wayang Sadat, Wayang Demak dan sebagainya. Pada dasarnya mempergunakan wayang purwa sebagai media pewartaan agama dapat mempersempit falsafah pewayangan itu sendiri karena kisah atau lakon wayang purwa lebih bersifat universal dan bukan sebuah ajaran agama atau aliran tertentu. Sejarah menunjukan bahwa sekalipun memakai tokoh pahlawan Hindu seperti terdapat dalam Kitab Weda tetapi wayang purwa tidak pemah mengajarkan tentang Hinduisme atau Budhisme karena yang dijabarkan adalah ilmu pengetahuan hidup orang Jawa (Kejawen). Wayang purwa adalah kesenian asli Jawa dengan sumber lakon dari epos Ramayana dan Mahabharata (dari India) dan telah mengalami adaptasi dengan kebudayaan Jawa; yang telah diolah dan disusun dalam Kitab Pustaka Raja. 2. Media Pendidikan Fungsi wayang yang tidak terbatas pada ritual penyucian jiwa (katarsis), juga merupakan alat pedagogis yang sangat efektif. Dalam cerita-cerita ajaib pewayangan terungkap gambaran suatu masyarakat ideal yang tersusun dari ide-ide dasar dan justru gambaran itulah yang disebarkan oleh para dalang keliling
sampai
ke
desa-desa
yang
paling
terpencil.
Dalam
wayang
mencerminkan masyarakat agraris ideal dengan baik dengan karya-karya sastra dari para pangeran Jawa terkemuka yang banyak dijadikan pengkayaan dalam lakon pewayangan; berisi ajaran tentang pameling (peringatan) dan piwulang
28
(nasihat moral) (Lombard, 1996). Etika Jawa membingkai pola pentas wayang yang mengarah pada nilainilai pendidikan merupakan strategi adaptif agar mudah ditangkap oleh segala tingkat penghayatan; mulai dari madubasa (tingkat kedewasaan individual), madurasa (kedewasaan sosial), hingga madubrata (kedewasaan spiritual). Pendidikan dalam wayang menekankan pada pendewasaan budi pekerti dengan melatih kemampuan tanggap sasmita (peka terhadap perlambangan/tandatanda jaman/alam) untuk mempersiapkan tahapan jasmani dan rokhani mumpuni (mampu dan matang) dalam menghadapi segala hidup dan kehidupan (Haryanto, 1995). Tak ada satupun pertunjukan wayang yang tidak mengandung fungsi pendidikan dalam arti luas. Apapun bentuk ajaran yang disampaikan selalu berbicara tentang kebenaran, pendidikan akhlak, kebajikan dan moral. 3. Media Hiburan Sebagai seni pertunjukan terbuka (panggung), wayang tidak bisa lepas dari unsur entertainment (hiburan) dalam setiap pementasannya. Unsur-unsur ini menjadi daya tarik penonton untuk menghayati lebih jauh sehingga muatanmuatan intinya secara tidak langsung ikut terserap dalam proses penghayatan; yang telah berlangsung berabad-abad. Pada dasamya perupaan wayang adalah sebagai pendukung seni pertunjukan (teater), kedudukan wayang menjadi salah satu elemen pokok dari sekian elemen (unsur seni) lainnya dalam proses pergelaran cerita (lakon). 4. Estetik Wayang sebagai pertunjukan multi-perspektif rnemiliki beragam sudut kajian; antara lain adalah bidang studi filsafat, teologi, psikologi, karakterologi, pedagogi, sosiologi, kultural, sosio-kultural, literatur serta teaterologi atau dramatologi. Wayang sebagai bentuk seni multi-media telah merangkum sekian jenis seni, antara lain adalah: seni sastra dan teater, seni pedalangari, karawitan (musik) dan tari serta seni rupa pada wujud boneka peraganya. Dengan demikian pergelaran Wayang selain memiliki muatan keilmuan (science), sekaligus bidang seni (art) (Satoto, 1985). a. Estetika Rupa Wayang kulit dalam perkembangan bentuknya mengalami evolusi beratusratus tahun, kini telah memperoleh perupaan yang paling canggih, paling kena dari segala aspek dengan ikonografi dan karakteristik yang dibawakannya,
29
berikut gaya stilasi serta unsur-unsur seni rupa; sehingga seni tradisi ini mencapai titik klasik sebagai puncak perkembangannya. Pada ikonografi wayang seperti dalam grafologi, tidaklah satu ciri dapat diinterpretasikan secara terpisah; setiap ciri pasti berhubungan dengan keistimewaan-keistimewaan penting lainnya untuk sampai pada karakterisasi penuh makna. Masing-masing bagian (unsur
rupa)
memiliki
kualitas-kualitas
karakteristik
yang
merupakan
perlambangan bagi tokoh protagonis-antagonis yang mendukung ketajaman konflik. Dalam wayang ada sejumlah "pola-olah" khas yang elemen-elemen utamanya adalah: tinggi badan, postur tubuh, ukuran tangan, bentuk mata, hidung dan torso; ciri-ciri fisik ini serta sikap-sikap yang menandai dasar fisik seorang
pahlawan
ditarik
bersama
untuk
menentukan
wanua
atau
penggambaran ekpresi karakteristiknya. Sedangkan peran dan status fungsional ditandai oleh busana, perhiasan serta atribut-atribut yang dikenakan (Holt, 1967). Stilasi hebat pada wayang-wayang Jawa (purwa) yang dikembangkan dua atau tiga abad terakhir diperkirakan mengacu pada perupaan yang menjauhi kemiripan gambar manusia normal (realistis) yang "bertentangan" dengan ajaran Islam atau memang untuk memperkuat ekspresi efek bayangan yang dikembangkan dari relief pada candi-candi Hindu. Makin kuat pahlawanpahlawan ini dirasakan sebagai roh-roh nenek moyang dan diibaratkan satu dunia khusus yang di dalamnya cerita-cerita (legenda) itu terjadi; maka semakin "supranaturalis." Kualitas pencitraan yang luar biasa itu semakin menjauhkan dari bentuk realistis; menyimpang jauh dari bentuk kodrati manusia lumrah. Perlakuan semacam ini berkaitan erat dengan penggambaran karakteristik tokohtokoh pahlawan dalam dunia bayang-bayang, mereka adalah "tokoh lambang" dan bukan penggambaran manusia nyata. Semua penyimpangan bentuk-bentuk alami dari tubuh manusia yang tak abadi dipercaya sebagai "tanda-tanda berkah atau keberuntungan.” Pencitraan ini telah berevolusi berabad-abad dan pada saat itu tak seorangpun yang sadar evolusi ke arah bentuk paling mentakjubkan itu sedang terjadi (Holt, 1967). Perupaan wayang (purwa) yang ajaib mampu menciptakan Image bahwa pewayangan adalah induk seni tertinggi (klasik) dari kesenian Jawa, menjadikan keberadaannya tak lekang oleh bermacam kajian dan kritik dari berbagai Konsep estetika. Unsur perupaan yang penuh dengan stilasi dan deformasi bentuk mampu mencapai tahap pencitraan yang tak berkesan janggal atau dibuat-buat, teknik warna (sungging) yang jauh dari perupaan wajar dan realis, (misalnya
30
badan berwama emas atau wajah berwarna merah, dsb) pun tak pernah ditangkap aneh oleh penghayatnya. Didukung dengan teknik pahat yang rumit ternyata menciptakan jenis karya seni lainnya, seperti permainan/eksperimentasi bayangan (light art) yang memperkaya imajinasi penonton di kelir (Iayar) belakang. lkonografi rupa wayang secara lahiriah mampu menandai karakter tokoh yang menunjuk pada peranan fungsional, status hirarkhis, temperamen dan kadang suasana hati (sikap) tokoh (Holt, 1967). Dari kaidah seni rupa, bentuk wayang kulit itu justru jauh lebih modem dari seni modern barat. Beberapa gaya terwadahi dalam aspek rupa wayang, seperti: ekspresif, dekoratif, tradisional dan kadang humoris. Perupaan wayang kulit purwa diperkaya dengan wanda pada masing-masing tokohnya, sebagai cara pembeda penggambaran karakteristik masing-masing tokoh dalam konteks adegan tertentu. Wanda-wanda tersebut memvisualisasikan watak dasar, lahir batin wayang pada kondisi mental atau emosi tertentu: dilukiskan dengan pola pada mata, hidung, mulut, warna wajah, posisi dan perbandingan ukuran tubuh (Haryanto, 1991). Para wali berusaha merubah sesuatu yang Hinduistis menjadi Islamis dengan sangat halus terutama pada unsur seni-budayanya. Tahap demi tahap wayang dirubah pada perupaan abstrak dekoratif sebagai upaya penggambaran bentuk yang jauh dari realistis. Penggambaran bentuk manusia dengan hidung dan leher panjang anatomi badan yang diperamping, bahu diperlebar, bahkan lengan tangan hampir mencapai ujung kaki dan sebagainya, selain untuk mengarah ke non-realistis, perhitungan "pas dan enak" dari jarak pandang penonton, ternyata menyimpan unsur estetika (seni rupa) yang rumit dan canggih.
Anatomi
wayang
diwujudkan
berdasar
kesadaran
metafisik
(transendental) dalam aura penalaran Jawa, sebuah penggambaran yang jauh melenceng dari kanon estetika seni rupa Modern Barat. Penggambaran letak mata sebagai misal, dua bola mata yang wajarnya untuk posisi wajah tampak muka (en face), diletakkan pada wajah tampak samping (en-profil). b. Estetika Teater (pakeliran) Sejak abad XI pertunjukan wayang yang berasal dari kepentingan upacara religi telah berkembang menjadi toonel (tonil) yang teratur (sistematik), terbukti dari kitab-kitab Jawa kuno. Selama ini kajian wayang lebih menekankan pada sisi simbolik, filosofik dan pedagogiknya tetapi telaah pada lakon (drama) wayang kulit Jawa dan struktur dramatiknya jarang dilakukan. Pada dasarnya
31
struktur dramatik inilah yang menciptakan konvensi ini apa yang dinamakan pakem, ugeranwayang atau kaidah dasar pakeliran dapat dilihat secara jelas; untuk mempermudah upaya pelestarian, pengembangan dan revitalisasinya. Pergelaran wayang kulit purwa dapat digolongkan kepada jenis seni panggung drama atau teater tradisional karena mempunyai bentuk konvensi struktur dramatik berdasar kaidah-kaidah literatur (sastra) dan teater. Sebagai seni tradisional, pergelaran wayang kulit jawa merupakan seni kolektif (multimedia), kompleks dan ansamble. Sebagai bentuk kesenian klasik Jawa, wayang tidak mungkin dipergelarkan dengan baik tanpa melibatkan hampir seluruh cabang disiplin ilmu dan seni karena wayang adalah kristalisasi dari sikap hidup, tingkah laku, pola pikir atau seluruh peradaban dan kebudayaan Jawa (Satoto, 1985). Lakon wayang disusun menurut struktur klasik yang tidak pernah berubah dan diperkirakan struktur lakon ini adalah asli kreasi manusia Jawa karena drama-drama Hindu (drama Sansekerta dan teater bonekanya) tidak mengenal struktur ini. Pada dasarnya struktur yang digunakan seperti dalam seni panggung pada umumnya, yaitu: permulaan, pertengahan dan akhir. Pada masing-masing bagian terdiri dari beberapa adegan dan masing-masing bagian diiringi gending (irama gamelan) yang berbeda; keberadaan gending yang didukung berbagai tembang (lagu) oleh sinden dan sesekali ditingkahi gerong untuk memperkaya unsur seni pakelirannya. Pakeliran
wayang purwa tidak cukup tuntas dinilai dari estetika
panggungnya saja, karena pakeliran mempunyai paradigma lambang yang tidak sekedar bertujuan untuk keindahan pementasan semata.
Masyarakat Jawa
begitu akrab bahwa struktur lakon dalam pergelaran semalam suntuk terdiri dari tiga bagian, berlangsung mulai jam 9 malam hingga jam 6 pagi (waktu yang tepat untuk upacara pemanggilan roh, pada waktu wayang masih sebagai upacara religius-mistis). Sebelum lakon dimulai kekuatan-kekuatan yang hadir disusun sebelah-menyebelah pada kelir, tatkala dicabut (bedol kayon) mulailah dunia pewayangan digelar, adegan pertama dimulai dengan jejer, deskripsi sebuah kerajaan lengkap dengan narasi ajaib dalang. Masalah mulai dimunculkan, usaha-usaha penyelesaian dilakukan; mulai dari perang ampyak atau rampongan hingga perang kembang. Tepat tengah malam suasana semakin memburuk, keseimbangan kosmos terganggu, bencana alam besar (goro-goro) yang menjungkirbalikkan segalanya. Sebuah solusi diusahakan;
32
seorang ksatria tokoh protagonis mencari kekuatan untuk mengatasi keadaan, disertai Punakawan ia masuk hutan. Rintangan demi rintangan dihadapi untuk menemukan kekuatan suci, kemudian kembali pada peperangan (perang kembang) untuk menentukan siapa yang harus menang. Babak ke tiga dimulai: pertempuran besar (perang ageng) berkobar, bagaimanapun yang baik akan lebih unggul meski penuh perjuangan yang berat dan begitulah yang diharapkan untuk membuat tatanan alam (kosmos) kembali seimbang. Filosofi Wayang Wayang dalam perspektif Jawa adalah pembicaraan yang tanpa batas karena wayang terdiri dari semua aspek kebudayaan Jawa. Suatu dunia bayangbayang, dunia legendaris dari pertunjukan seni tradisional Jawa yang telah mencapai puncak kesenian klasik (Holt, 1967). Mempelajari dan memahami wayang merupakan syarat yang tan kena ora (tidak bisa tidak) atau condilio sine qua non untuk menyelami budaya Jawa, baik etos Jawa dalam nilai etis dan moral, religius-magis maupun pandangan hidup Jawa (Kejawen) tergambar dan terjalin dengan baik dalam wayang (Geertz, 1995). Tipologi wayang telah memberi pengaruh kuat pada sikap-sikap keseharian orang Jawa. Tingkah laku yang ideal dunia wayang berhubungan dengan etika yang distilasi tinggi dari istana-istana Jawa dan meresap pada masyarakat Jawa sebelum Revolusi, bahkan masih bertahan pada beberapa orang generasi tua. Mengenal wayang sesungguhnya membicarakan dunianya orang Jawa karena pewayangan merupakan dunia Kejawen dan filsafat Kejawen adalah penjelajahan alam mistik dan supranatural. Wayang
(pewayangan)
sebagai
kesenian
total
mempunyai
sifat
multiperspektif dan dalam aspek pendidikannya cenderung mengarah ke kasampurnaan
(kesempurnaan)
yang
mempunyai
nilai
puncak
ideal
kebudayaan klasik. Ajaran Kejawen dimungkinkannya manusia mencapai kesempumaan,
baik
ketika
lahir,
masa
hidup
maupun
sesudah
mati;
kesempurnaan mempunyai nilai puncak ideal (tertinggi) dalam budaya klasik Jawa. Dalam pentas pewayangan hal itu digambarkan secara simbolis; mulai dari jebolan (mencabut kayon atau gunungan pertama) yang melambangkan lahirnya manusia, muncullah bayang-bayangnya yang menciptakan perlambangan kehidupan dunia dan berakhir dengan tancep kayon sebagai tanda berakhirnya pementasan dan berakhir pula kehidupan seseorang.
33
Sejak awal penetrasi ajaran Islam dalam pakeliran, sebenamya mulai terjadi persengketaan paham di tubuh Islam sendiri saat itu, satu pihak adalah tasawuf (Sufisme) dan mistik, di lain pihak adalah penganut figh dan teologi. Ternyata dalam menjadikan kesenian wayang sebagai media penyiaran maka pihak tasawuf dan mistiklah yang mendapat banyak pengikut karena ajaranajarannya lebih adaptif dengan tradisi Hinduistis; hingga unsur-unsur Politheisme Hindu berubah menjadi Manotheisme Indonesia (Jawa). Filsafat pewayangan adalah filsafat universal, di mana hidup harus berdasar pada kebenaran dan dalam wayang adalah "kebenaran sejati" (Ultimate Truth) yang datangnya dari Sang Pencipta Alam. Untuk menemukan kebenaran sejati manusia harus melewati tahap “kesadaran sejati" (Ultimate Awareness), hal ini dapat dicapai jika memiliki ilmu atau "pengetahuan sejati" (Ultimate Neality). Kebenaran filosofis dalam dunia wayang lebih mendasarkan pada ngelmu (bukan sekedar ilmu), yakni sesuatu yang dicapai bukan hanya dari analisa penalaran (rasio) belaka tetapi juga rasa sejati (Ultimate Feeling) (Haryanto, 1995). Dengan demikian filosofi wayang selalu berkaitan dengan paradigma mistik-religius yang juga mendasari konsepsi filsafat Timur dalam wayang mampu menjabarkan makna sejati (ultimate meaning) dari hidup dan kehidupan manusia Jawa. Wayang adalah cara pendahulu manusia Jawa mengkristalisasikan pengalaman badani dan spiritual yang dirangkum dan disempumakan secara turun-temurun. Wayang adalah bahasa lambang yang kaya akan nilai-nilai filosofis dan di dalamnya para pendahulu Tanah Jawa mengajarkan tentang “makna hidup” bagi generasi berikutnya; wayang adalah bahasa filsafat dari hakekat hidup orang Jawa (Kejawen). Karakteristik Pertunjukan Wayang Purwa Pertunjukan wayang purwa menyajikan aspek-aspek dan problem-problem kehidupan manusia baik individu maupun masyarakat dalam bahasa dan dengan idiom simbolik yang langsung menyentuh jiwa khalayak secara subtil penuh rasa. Hal ini sudah dipaparkan melalui uraian di atas sehingga dalam hal ini akan menjelaskan secara lebih terperinci mengenai karakteristik pertunjukan wayang purwa. Wayang sebagai hubungan dalang dengan penonton Wayang sebagai teater, mempunyai fungsi yang sama dengan teaterteater pada umumnya, yakni memberikan santapan-santapan yang bersifat
34
psikologis, intelektual, religius, filosofis, estetis dan etis. Bedanya hanyalah bahwa wayang tidak memisah-misahkan fungsi-fungsi ini. Wayang memberikan hiburan yang sehat bagi penontonnya. Unsur-unsur tragedi, komedi dan tragedikomedi ada dalam wayang. Percintaan yang mengharukan, dilema-dilema yang amat berat, pengorbanan-pengorbanan besar dan hiburan-hiburan ringan berupa lawakan-lawakan, semua ada dalam wayang. Wayang juga memberikan santapan intelektual bagi mereka yang mau berpikir lebih serius. Wayang selalu berangkat dari ide untuk memberikan penerangan, pendidikan dan dakwah kepada rakyat. Wayang mempersilahkan para penonton memutuskan sendiri tindakan mana yang dianggap benar. Wayang selalu mempertahankan jarak estetis ini. Penonton tidak pernah secara fisik melibatkan diri dalam pertunjukan wayang, dalam arti penonton tidak pernah diizinkan untuk mewayang. Keterlibatan penonton adalah keterlibatan mental dan spiritual, yakni dalam mengadakan communicate dengan pertunjukan itu, yaitu dengan jalan menyatukan diri dengan kehendak yang jelas dari ki dalang. Tokoh Pelaku Pewayangan Dibanding dengan drama-drama di dunia, untuk suatu bentuk drama, klasik atau bukan, dapat dikatakan bahwa wayang mempunyai repertoire yang paling lengkap. Lakon-lakon baku (pokok) wayang memang terbatas dibandingkan dengan mitos-mitos, legenda-legenda dan cerita-cerita dari Ramayana dan Mahabharata tetapi dari lakon-lakon baku dapat diciptakan lagi lakon-lakon baru dan pelaku-pelaku yang banyak sekali jumlahnya. Di antara drama-drama di dunia dapat dikatakan bahwa wayang mempunyai pelaku paling banyak dalam lakon-lakonnya. Kalau drama-drama dunia hanya mengenal pelaku-pelaku yang berwujud manusia kecuali beberapa drama klasik Timur yang juga bersumber pada Ramayana dan Mahabharata, maka wayang mengenal pelaku-pelaku dari tiga dunia: dari dunia atas (Tuhan, dewa-dewa dan bidadari-bidadari), dari dunia tengah (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan alam) dan dari dunia bawah (raksasa, makhluk-makhluk halus). Kalau dilihat jumlah wayang yang ada, yakni jumlah wayang yang lengkap yang biasa dipakai dalam pertunjukan wayang, pelaku lakon-lakon wayang paling sedikit ada 344. Terdiri 144 wayang simpingan yakni wayang yang diatur di samping kanan dan kiri kelir (layar), 200 wayang ricikan yakni wayang yang diletakkan di atas eblek (penutup kothak wayang) dan wayang dudukan (dhuadaha) wayang yang diletakkan di dalam kothak. Menurut
35
Rijasudibyoprana dalam Amir (1994) dilihat dari nama-nama pelaku dalam wayang, jumlah pelaku dalam wayang
(pelaku manusia biasa saja) akan
mencapai 707. Ditambah pelaku-pelaku dari dunia atas sekitar 30 (hanya namanama dewa yang paling penting saja). Eliott
dalam Kusuma (1972), membagi pelaku-pelaku dalam sastra ke
dalam dua golongan: flat characters, yakni pelaku-pelaku digambarkan sebagai hitam dan putih, sebagai orang-orang yang baik 100% dan round characters, yakni pelaku-pelaku yang tidak selamanya baik atau selamanya jahat. Berbeda dengan sementara pandangan umum, pelaku-pelaku dalam wayang bukanlah flat characters. Wayang, sebagai suatu embodiment of Javanese philosophy, mengikuti filsafat Jawa yang realistik tentang manusia, yakni bahwa manusia sebagai makhluk tidaklah ada yang sempurna. Para Pandawa yang dikatakan sebagai ksatria-ksatria teladan, bukanlah manusia-manusia sempurna. Dalam “Mahaprasthanikaparwa” diceritakan tentang kematian para Pandawa ini. Satu demi satu mereka mati. Yudhistira tidak menyesali kematian mereka ini karena masing-masing dalam hidupnya pernah berbuat kesalahan-kesalahan. Drupadi karena tidak adil dalam membagi cinta kasih kepada adik-adiknya (ia terlalu mengasihi Arjuna). Sadewa karena ia merasa paling cerdik dan paling pandai di antara sesama manusia. Nakula karena dianggap terlalu angkuh, ia merasa paras mukanya paling cantik di seluruh dunia. Arjuna karena terlalu sombong (ia pernah mengatakan, setiap detik ia dapat menghancurkan Kurawa). Bima karena ia dianggap terlalu egoistis dan berbudi bahasa kasar. Mereka semua ini masuk neraka karena kesalahan-kesalahan mereka, kata Yamadipati, malaikat (dewa) pencabut nyawa (Suroto, 1975). Sedangkan Yudhistira sendiri tidak luput dari kesalahan-kesalahan (contoh: Yudhistira dalam permainan dadu melawan Sangkuni
dengan
mempertaruhkan
segala-galanya
termasuk
saudara-
saudaranya dan istrinya sendiri). Juga manusia-manusia yang dianggap suci, seperti Bhisma dan Abiyasa, tidak luput dari berbuat salah. Bhisma dengan segala kesuciannya tidak dapat mempengaruhi dan mencegah para Kurawa untuk bertindak batil. Sedang Abiyasa dalam pertapaannya di Sapta Arga, masih menunjukan hati yang pilih kasih. Demikian pula dengan Kresna yang adalah pengejawantahan dari Wisnu. Dalam satu cerita ia diceritakan terlalu menyayangi anaknya, Samba yang menginginkan wahyu yang seharusnya diperuntukkan bagi Arjuna. Kresna pun berusaha agar wahyu ini diberikan kepada anaknya. Bahkan Batara Guru sendiri
36
yang dikatakan sebagai dewa yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam tindak-tanduknya banyak sekali berbuat sesuatu yang amat memalukan. Ia juga menginginkan wahyu yang diperuntukkan Arjuna untuk diberikan kepada anaknya, Dewasrani. Cacat-cacat dalam tubuhnya menunjukan cacat dalam jiwanya. Bertaring, bertangan empat karena waktu mengejar Dewi Uma ia memaksa Dewata untuk diberikan tangan empat. Ia bertaring karena sumpah Dewi Uma yang mengatakan, “...perbuatannya itu adalah perbuatan makhluk bertaring.” Sebaliknya, wayang menunjukan bahwa kebaikan-kebaikan juga terdapat dalam diri orang-orang atau makhluk-makhluk yang dianggap rendah. Anoman adalah makhluk kera yang luar biasa pengabdiannya kepada Rama. Juga Jatayu, si makhluk Garuda yang mencoba merebut Sinta dari cengkraman Rahwana. Bahkan dalam wayang diceritakan (dalam “Mahaprathikaparva” tadi), bahwa seekor anjing pun dapat masuk surga karena pengabdiannya dan kesetiaannya kepada manusia. Juga raksasa-raksasa dalam wayang bukanlah selalu makhlukmakhluk jahat. Banyak di antara mereka yang berjiwa ksatria (seperti Kumbakarna) dan banyak di antara mereka yang menolong para Pandawa waktu mereka dalam kesusahan. Penyebab orang terkecoh dalam mempelajari tokoh-tokoh wayang adalah kenyataan bahwa dalam menggambarkan para tokoh itu watak-watak yang ideallah yang amat ditonjolkan. Tipologi dalam wayang adalah tipologi manusiamanusia ideal. Sedang kelemahan-kelemahan tokoh-tokoh ini banyak diabaikan orang karena tertutup oleh watak-watak ideal mereka itu. Dalam Mahabharata dan Ramayana tokoh-tokoh antagonis tidaklah digambarkan sebagai raksasa, tetapi sebagai ksatria-ksatria biasa. Rahwana adalah seorang raja perkasa yang di Sri Lanka dipuja-puja sebagai pahlawan dan para Kurawa bukanlah raksasaraksasa. Arjuna dan Yudhistira tidaklah digambarkan sebagai orang-orang yang lemah lembut tetapi sebagai ksatria-ksatria yang ahli dalam ilmu perang. Pujangga-pujangga Jawalah yang telah mempertajam kontras-kontras antara baik dan buruk, benar dan salah. Kontras-kontras ini diekspresikan dalam lambang-lambang, termasuk wajah dan bentuk wayangnya sendiri (boneka wayang tidak menggambarkan wujud fisik seseorang, tetapi watak yang dominan dari orang itu). Penggambaran kontras-kontras ini melukiskan keyakinan atau filsafat orang Jawa yang menganggap bahwa semua kejahatan harus diberantas. Untuk
37
menyampaikan ajaran ini, dibuatkan kontras-kontras fisik tadi sehingga dengan gampang rakyat akan menangkap isi ajaran itu dengan jalan menumbuhkan kebencian kepada tokoh-tokoh yang jahat. Tokoh-tokoh yang mestinya round characters menjadi tampak seperti flat characters. Penangkapan (persepsi) yang memandang manusia sebagai hitam putih ini berbahaya karena menghilangkan gradasi watak atau gradasi kesempurnaan hidup seseorang. Dalam dunia ksatria pun gradasi ini ada. Tidak semua ksatria berwatak luhur, seperti juga tidak semua raksasa berwatak rendah. Watak luhur dan watak rendah ada pada setiap manusia. Menurut ajaran Hindu bentuk luar setiap makhluk adalah hasil dari kharma dari kehidupannya di masa lalu. Orang dilahirkan sebagai raksasa karena kehidupannya di masa lalu tidak baik. Tetapi selama hidup ia akan berusaha untuk menjadi baik, yakni apabila ia mau berbuat demikian. Sehingga dalam hidup yang akan datang ia akan dilahirkan sebagai manusia. Dengan demikian ajaran Hindu tidak terlalu membeda-bedakan bentuk luar. Ajaran Hindu menonjolkan adalah bahwa setiap manusia dilahirkan berbeda. Masing-masing orang mempunyai kekuatan dan kelemahan-kelemahan dan masing-masing ditakdirkan menempati suatu jabatan tertentu. Tetapi jabatan ini tidak ada hubungannya
dengan
watak.
Mahabharata
mengajarkan,
kebrahmanaan
seseorang tidak ditentukan keturunan tetapi oleh tindakan orang itu selama hidupnya. Ajaran tentang varna ini dalam perkembangannya kemudian berubah menjadi ajaran tentang kasta. Orang mulai menyangkutkan jabatan dengan kelahiran dan jabatan dengan karakter. Ajaran tentang kasta ini diambil alih oleh orang Jawa/Nusantara waktu Hinduisme datang. Ajaran Islam yang demokratis mencoba menghilangkan ajaran ini tetapi tidak seluruhnya berhasil. Orang Jawa masih menyangkut masalah pangkat dan derajat dengan masalah kelahiran dan bukan masalah usaha. Persepsi bahwa ksatria mesti baik karena ia dilahirkan sebagai ksatria dan sebaliknya raksasa mesti jahat karena ia dilahirkan sebagai raksasa adalah salah tanggap atas ajaran tentang varna ini. Tokoh-tokoh pelaku dalam Mahabharata dan Ramayana kebanyakan adalah ksatria karena kebetulan cerita-cerita dari kitab-kitab tersebut berkisar pada kehidupan para ksatria. Hal yang sama terjadi juga pada drama-drama dunia yang lain, seperti drama-drama Yunani, drama-drama Shakespeare, drama-drama Sanskrit, ataupun drama-drama klasik Tiongkok. Tetapi masalah keksatriaan ini tidak harus dilihat sebagai masalah keluhuran watak tetapi lebih sebagai suatu jabatan yang menunjukan tempat, fungsi dan dharma manusia itu.
38
Manusia yang dilahirkan dalam kedudukan lain seperti para brahmana, para pedagang dan rakyat biasa mempunyai fungsi dan dharma-dharma yang lain. Dalam masing-masing golongan apabila ada yang berwatak luhur dan rendah itu adalah hal yang alami. Tokoh-tokoh pelaku dalam wayang lebih kaya dalam variasi daripada tokoh-tokoh dalam Mahabharata dan Ramayana. Karena ke dalam wayang para pujangga Jawa telah menambahkan tokoh-tokoh yang tidak ada atau tidak benar fungsinya dalam kedua kitab tersebut. Tokoh-tokoh ini adalah tokoh-tokoh punakawan yang dimasukkan ke dalam wayang sebagai pengimbang dari tokohtokoh ksatria, brahmana dan raksasa. Punakawan yang melambangkan rakyat jelata ini berfungsi sebagai pendamping para ksatria, yang menghibur mereka di kala duka, memberi petunjuk-petunjuk di kalangan mereka sedang kebingungan dan membenarkan tindakan-tindakan mereka yang tidak benar. Dengan demikian maka punakawan ini bertindak sebagai hati nurani sang ksatria. Adalah amat mengherankan bahwa orang tidak pernah mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh-tokoh bijaksana yang nota bene adalah kreasi bangsa Jawa sendiri. Sebabnya mungkin sekali adalah karena kebanyakan orang masih terpesona dengan masalah kepangkatan yang disangkutpautkan dengan budi luhur. Tema serta Masalah Pokok dalam Pertunjukan Wayang Purwa Lakon yang begitu banyak jumlah dan variasinya dan pelaku-pelaku yang berasal dari ketiga dunia itu, wayang mempunyai repertoire yang paling lengkap di antara bentuk-bentuk drama yang ada di dunia. Berbeda dengan drama-drama Barat yang melihat hidup secara sepotong-sepotong, wayang melihat hidup sebagai suatu kesatuan yang bulat. Lakon-lakon wayang memang mengisahkan insiden-insiden yang dialami oleh manusia dalam hidupnya tetapi dalam wayang insiden-insiden ini tidak pernah berdiri sendiri melainkan selalu berkaitan satu dengan yang lain. Kisah Kumbakarna dan Karna yang loyal kepada prinsipprinsip politiknya tak dapat dilepaskan dari kisah Wibisana dan Sanjaya yang loyal terhadap prinsip-prinsip moralnya. Kisah kepahlawanan para Pandawa tak bisa dilepaskan dari kisah ketengikan para Kurawa. Kisah pengorbanan Drupadi tak bisa dilepaskan dari kisah keambisiusan Gendari. Kisah kesucian Abiyasa tak bisa dilepaskan dari kisah keculasan Durna. Kisah kesetiaan patih Gandamana tak bisa dilepaskan dari kisah kecurangan patih Sangkuni. Dari kisah-kisah dan insiden-insiden ini kita dapat menarik garis ke atas dan mendapatkan suatu tema pokok yang dominan dalam wayang, yaitu
39
manusia pada dasarnya dilahirkan dengan kodrat kebinatangan dan kodrat kemalaikatan. Setiap makhluk hidup atau benda selalu terdapat dua dasar yang paling berlawanan tetapi saling melengkapi. Unsur positif (yang dalam filsafat Cina) membangun dan unsur negatif (yin) menghancurkan. Masalah pokok manusia selalu berkisar tentang dilema yang dihadapinya yakni antara memenangkan kodrat kemalaikatannya dan kodrat kebinatangannya. Antara memenangkan unsur positifnya dan memenangkan unsur negatifnya. Manusia diberikan kebebasan menjatuhkan pilihan. Para Kurawa, Gendari, Sengkuni dan Durna menghadapi dilema antara bertindak benar dan bertindak salah. Mereka telah mendengar pendapat-pendapat dan nasihat-nasihat dari Bhisma dan Kresna tetapi mereka telah menentukan pilihan yang salah. Kumbakarna dan Karna, Wibisana dan Sanjaya menghadapi dilema antara berbuat benar yang satu dan berbuat benar yang lain, yakni berbuat loyal kepada prinsip-prinsip politik dan berbuat loyal
kepada prinsip-prinsip moral. Mereka pun telah
menentukan pilihan. Segala sesuatunya terdiri dari dua unsur, kejahatan dan kebaikan yang pada hakikatnya kedua unsur itu adalah bagian dari satu benda yang sama. Mereka hanyalah sisi lain dari benda yang sama itu. Salah satu daripadanya tak dapat dihilangkan karena keduanya saling melengkapi dan saling membutuhkan. Kejahatan adalah sisi lain dari kebenaran tetapi tanpa kejahatan tak akan ada kebenaran. Kejahatan memang harus diberantas tetapi kejahatan akan selalu muncul kembali. Adegan perang kembang antara Cakil dan satria selalu tampil dalam setiap lakon meskipun adegan itu tidak mempunyai fungsi dramatik. Ditampilkannya adegan ini hanyalah untuk menonjolkan pentingnya tema pokok wayang. Dimana kejahatan tak mungkin diberantas sama sekali karena kejahatan adalah sisi lain saja dari kebenaran. Kesadaran akan adanya unsur yang berlawanan tetapi yang selalu saling mengisi dan saling membutuhkan, menumbuhkan kesadaran yang lain, yakni bahwa hidup ini merupakan suatu kesatuan yang bulat. Keanekaan hidup manusia adalah satu. “Bhineka Tunggal Ika,” kata kitab Sutasoma. Bukan hanya hidup manusia tetapi juga hidup seluruh isi alam semesta ini. Masalah hidup adalah suatu kesatuan, merupakan tema pokok yang lain dalam wayang. Betapapun hebatnya konflik antara para Pandawa dan Kurawa, mereka pada dasarnya adalah anggota dari keluarga yang sama.
40
Tema bahwa manusia dilahirkan berbeda tetapi dalam perbedaan itu manusia tetap satu, menggariskan masalah pokok manusia sebagai makhluk sosial, masalah ini menurut wayang adalah masalah bagaimana manusia dapat menempatkan dirinya pada tempat yang telah ditentukan oleh Tuhan, bagaimana manusia memenuhi fungsinya dan menjalankan tugas-tugasnya berdasarkan fungsi itu. Tugas-tugas sosial manusia itu meliputi tugas “mempercantik” negara, bangsa dan kemanusiaan pada umumnya yang menurut wayang digariskan dalam ajaran mawayu hayuning praja, mawayu hayuning bangsa dan mawayu hayuning bawana. Untuk “mempercantik” negara, bangsa dan dunia ini tugas manusia paling utama ialah memberantas kejahatan yang diajarkan dalam ajaran sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti. Hal mengemban tugas-tugas sosial ini wayang amat menekankan pentingnya tempat seseorang dalam masyarakat. Pengaruh ajaran Hindu tentang varna di sini kuat sekali: manusia dilahirkan berbeda, masing-masing dengan kemampuan tertentu, menduduki fungsi tertentu dalam hidup. Manusia hanyalah menempati tempat yang telah ditentukan dan menjalankan fungsinya berdasar kodratnya sendiri. Cara inilah tata masyarakat yang merupakan bentuk mikro dari tata kosmos, dapat dipertahankan. Keseimbangan tata masyarakat yang juga keseimbangan tata kosmos terjadi manakala masing-masing manusia menempati tempat yang telah ditentukan dan manjalankan
fungsinya
berdasarkan
kedudukannya
dalam
masyarakat.
Ketidakseimbangan terjadi manakala manusia mencampuradukkan tempat dan fungsi masing-masing. Manakala manusia tidak menempati tempatnya dan menjalankan fungsinya dengan baik. Kriteria baik atau buruk tindakan seseorang ditentukan baik atau tidaknya ia menempati tempatnya dan menjalankan fungsinya. Tema bahwa hidup manusia dikuasai dan diatur oleh Tuhan menggariskan masalah pokok manusia sebagai makhluk Tuhan. Kenyataan, bahwa manusia tidak dapat mengubah nasibnya kecuali atas kehendak Tuhan dan untuk dapat hidup sebaik-baiknya ia harus menuruti kehendak dan hukum Tuhan, mewajibkan manusia untuk mengerti kehendak Tuhan dan bertindak sesuai kehendak Tuhan. Ajaran ini dalam wayang disebut ajaran manunggaling kawulo Gusti. Untuk dapat menunggal dengan kehendak Tuhan manusia harus mengerti hakikat hidup ini, dari mana asal hidup dan apa tujuan hidup. Dalam wayang ajaran ini disebut ajaran sangkan paraning dumadi. Hidup berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya.
41
Dari masalah-masalah pokok, dapat ditarik kesimpulan bahwa masalah pokok manusia yang paling utama ialah bagaimana hidup sebaik-baiknya di dunia ini. Manusia dapat mencapai kesempurnaan hidup, sebagai pribadi, makhluk sosial maupun sebagai makhluk Tuhan. Ajaran pokok yang paling sentral dalam wayang adalah ajaran tentang kesempurnaan hidup yang disebut kasampurnaning ngagesang. Efektivitas Komunikasi Menurut Vardiansyah (2004), efek komunikasi adalah pengaruh yang ditimbulkan pesan komunikator dalam diri komunikannya. Efek komunikasi dapat kita bedakan atas efek pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) dan tindakan (konatif). Efek komunikasi adalah salah satu elemen komunikasi yang penting untuk mengetahui berhasil atau tidaknya komunikasi. Pesan yang sampai pada komunikasi menimbulkan dampak (efek), sehingga persoalan utama dalam komunikasi efektif adalah sejauh mana tujuan komunikasi komunikator terwujud dalam diri komunikannya. (1) Apabila hasil yang didapatkan sama dengan tujuan yang diharapkan, dikatakan bahwa komunikasi berlangsung efektif. (2) Apabila hasil yang didapatkan lebih besar dari tujuan yang diharapkan, dikatakan bahwa komunikasi berlangsung sangat efektif. (3) Apabila hasil yang didapatkan lebih kecil daripada tujuan yang diharapkan, dikatakan bahwa komunikasi tidak atau kurang efektif. Menurut Goyer (1970) dalam Tubbs dan Moss (2001), bila S adalah sumber pesan dan R penerima pesan, maka komunikasi disebut mulus dan lengkap bila respons yang diinginkan S dan respons yang diberikan R identik atau secara matematis sama dengan satu, seperti tersaji pada rumus berikut ini:
R
makna yang ditangkap penerima =
S
=1 makna yang dimaksud pengirim
dimana : R = penerima pesan S = pengirim pesan 1 = nilai kesempurnaan penyampaian dan penerimaan pesan
42
Nilai 1 menunjukan kesempurnaan penyampaian dan penerimaan pesan. Bisa saja R/S bernilai 0 yang berarti tidak ada kaitan sama sekali antara respons yang diinginkan dengan respons yang diperoleh. Sedangkan Hardjana (2000), menjelaskan bahwa komunikasi dikatakan efektif, bila komunikasi yang dilakukan adalah benar. Dengan kata lain, apa yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan semula. Menurut
Sendjaja (1993), tujuan yang dimaksud dalam kegiatan
komunikasi menunjukan pada suatu hasil atau akibat yang diinginkan oleh pelaku komunikasi. Hasil atau akibat komunikasi meliputi tiga aspek, yaitu aspek kognitif, aspek afektif dan aspek konatif. Menurut Effendy (2003), komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberitahu atau mengubah sikap, pendapat atau perilaku, baik langsung secara lisan maupun tidak langsung melalui media. Komponen-komponen komunikasi meliputi komunikator, pesan, saluran atau media, komunikan dan efek. Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya keberhasilan, dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Mulyana, 2000). Secara sederhana, komunikasi dikatakan efektif bila orang menyampaikan apa yang dimaksudkannya. Secara umum komunikasi dinilai efektif bila rangsangan yang disampaikan dan dimaksudkan oleh pengirim atau sumber, berkaitan erat dengan rangsangan yang ditangkap dan dipahami oleh penerima. Semakin besar kaitan antara yang dimaksud oleh komunikator dapat direspons oleh komunikan, maka semakin efektif pula komunikasi yang dilaksanakan. Efektivitas komunikasi erat hubungannya dengan tujuan, biasanya dalam komunikasi
yang
efektif
menghasilkan:
pemahaman,
kesenangan,
mempengaruhi sikap, memperbaiki hubungan dan tindakan (Mulyana, 2000). Menurut DeVito (1997) komunikasi efektif sangat erat hubungannya dengan kemampuan seseorang dalam berkomunikasi. Kemampuan tersebut mencakup
pengetahuan
tentang
peranan
lingkungan
(contex)
dalam
mempengaruhi kandungan (content) pesan komunikasi. Untuk mencapai komunikasi efektif seringkali akan mengalami berbagai hambatan yang disebabkan oleh faktor personal maupun faktor situasional. Comton dan Galaway (dalam Swastomo, 2000) mengemukakan beberapa hal yang
merupakan
penghambat
komunikasi
di
antaranya
adalah:
(1)
ketidakmampuan dalam mengkonseptualisasikan dan menggunakan simbol-
43
simbol, (2) kegagalan untuk memakai konsep-konsep yang diterima dan (3) pengaruh lingkungan Komarudin (1983) mengemukakan bahwa efektif adalah suatu keadaan yang menunjukan tingkat keberhasilan kegiatan manajemen dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan lebih dahulu. Sejalan dengan pengertian tersebut Sugandha (1988) menyatakan bahwa prinsip efektif itu adalah kemampuan mencapai sasaran dan tujuan akhir melalui kerjasama orang-orang dengan memanfaatkan sumber-sumber yang ada seefisien mungkin. Menurut Berlo (1960), komunikasi akan berjalan efektif apabila ketepatannya dapat ditingkatkan dan gangguannya (noise) dapat diperkecil. Oleh karena itu meningkatkan ketepatan dan mengurangi gangguan harus terjadi pada setiap unsur komunikasi. Hal tersebut dapat terjadi bila : 1. Seorang komunikator harus memiliki keterampilan berkomunikasi, bersikap positif terhadap komunikan dan pesan yang disampaikan serta mampu menyesuaikan diri dengan sistem sosial budaya. 2. Seorang komunikan harus memiliki kemampuan berkomunikasi, bersikap positif terhadap komunikator dan pesan yang disampaikan, memahami isi pesan yang disampaikan serta perilaku kebiasaan dalam menerima dan menafsirkan pesan. 3. Pesan yang disampaikan harus memenuhi persyaratan kode atau bahasa pesan, kesesuaian isi pesan dengan tujuan komunikasi serta pemilihan dan pengetahuan bahasa dan isi pesan. 4. Media komunikasi harus sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, sesuai dengan isi pesan, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat serta efisien dalam memilih media. Prinsip penggunaan media harus dapat dilihat, didengar, disentuh, dicium dan dirasakan. Menurut Schramm dan Forter (1973) efektivitas komunikasi ditujukan oleh kondisi saling melengkapi antara komunikasi secara umum dengan penggunaan media komunikasi dalam mengantarkan suatu perubahan. Effendy (2003) mengemukakan bahwa efektivitas komunikasi atau kondisi sukses komunikasi ditentukan oleh: 1. Komunikator yang mampu mengenal komunikan, memahami kerangka rujukan dan bidang pengalamannya. 2. Ketepatan pesan yang disampaikan, yaitu pesan harus dirancang agar menarik perhatian sasaran dengan menggunakan tanda-tanda yang tertuju
44
pada pengalaman yang sama antara komunikator dengan komunikan. Pesan mampu membangkitkan kebutuhan pribadi komunikan dan pesan harus menyarankan suatu cara untuk memperoleh kebutuhan tersebut yang layak bagi situasi kelompok tempat komunikasi berada. 3. Pemilihan media tergantung pada tujuan yang akan disampaikan dan teknik yang akan digunakan. Efektivitas
komunikasi
menurut
Siahaan
(1991)
memperhatikan
keterampilan berkomunikasi, yaitu kemampuan komunikator dalam menulis, berbicara,
mendengar,
berpikir,
menganalisis,
membuat
penalaran
dan
sebagainya. Seorang komunikator yang baik akan menggunakan kata-kata secara tepat, sederhana, mengena dan mudah dimengerti. Kata-kata tersebut pun dirangkai sedemikian rupa sehingga tersusun rapi dan efektif. Seperti halnya Mulyana
(2000),
Rakhmat
(2001)
mengemukakan
bahwa
tanda-tanda
komunikasi yang efektif paling tidak menimbulkan lima hal, yaitu: 1. Pengertian, yaitu penerimaan yang cermat dari isi pesan yang disampaikan komunikator sehingga tidak terjadi kesalahan penafsiran pesan oleh komunikan. 2. Kesenangan, yaitu suasana yang menjadikan hubungan menjadi hangat, akrab dan menyenangkan. 3. Mempengaruhi sikap, yaitu kemampuan persuasif komunikator dalam penyampaian pesan yang menimbulkan efek pada diri komunikan. 4. Hubungan sosial yang baik, yaitu tumbuhnya perasaan ingin bergabung dengan orang lain, ingin mengendalikan dan dikendalikan serta ingin mencintai dan dicintai. 5. Tindakan, yaitu tindakan nyata yang dilakukan komunikan setelah terjadi pengertian, pembentukan dan perubahan sikap serta tumbuhnya hubungan yang baik. Dengan demikian agar terjadi efektivitas komunikasi, maka unsur-unsur komunikasi harus memenuhi kriteria sebagai berikut, Pertama komunikator, menurut Berlo (1960) terdapat empat faktor yang menentukan kemampuan komunikator agar ketepatan komunikasi dapat ditingkatkan: (1) keterampilan berkomunikasi (communication skill), yaitu keterampilan berbicara dan menulis agar penerima pesan mampu mendengar dan membaca secara baik dan jelas, (2) sikap (attitude), yaitu kecenderungan sikap positif atau negatif, baik terhadap dirinya sendiri, terhadap pesan yang disampaikan maupun terhadap penerima
45
pesan, (3) pengetahuan (knowledge), yaitu wawasan pengetahuan terhadap persepsi dari pesan yang disampaikan dan (4) sistem sosio-kultural (sociocultural system), yaitu berkaitan dengan posisi komunikator dalam sistem sosial budaya. Kedua pesan, Schramm (Effendy, 2003) menyebutkan bahwa agar pesan mendapat tanggapan baik dari komunikan, hendaknya: (a) pesan dirancang dan disampaikan sedemikian rupa sehingga dapat menarik perhatian komunikan, (b) pesan menggunakan lambang-lambang yang tertuju kepada pengalaman yang sama antara komunikator dan komunikan sehingga samasama mengerti, (c) pesan membangkitkan kebutuhan pribadi komunikan dan menyarankan beberapa cara untuk memperoleh kebutuhan tadi yang layak bagi situasi kelompok dimana komunikan berada pada saat ia digerakkan untuk memberikan tanggapan yang dikehendaki. Ketiga, saluran, Effendy (2003) dalam komunikasi dua tahap arus informasi pembangunan yang dilancarkan oleh pemerintah melalui berbagai media mula-mula akan diterima oleh pemuka masyarakat, pada tahap berikutnya oleh pemuka masyarakat, akan diteruskan kepada orang-orang yang berada di sekitarnya dalam hal ini pemuka masyarakat merupakan saluran komunikasi yang penting. Terakhir komunikan, Rogers (dalam Wardiana, 1993) berpendapat bahwa komunikan adalah anggota suatu sistem sosial yang disebut sebagai kumpulan unit yang berada secara fungsional dan terkait dalam kerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Barnard (Effendy, 2003) mengemukakan bahwa komunikan akan menerima sebuah pesan hanya jika secara simultan terdapat kondisi berikut: (a) komunikan benar-benar dapat mengerti pesan komunikasi, (b) pada saat mengambil keputusan dia sadar bahwa keputusannya itu sesuai dengan tujuannya, (c) pada saat mengambil keputusan dia sadar bahwa keputusannya itu bersangkutan dengan kepentingan pribadinya dan (d) dia mampu untuk menepatinya baik secara mental maupun secara fisik. Globalisasi Informasi dan Komunikasi Toffler (1989) mengatakan bahwa arus perubahan dewasa ini yang menggemuruh teramat kuat hingga menumbangkan lembaga, menggeser nilai dan menggoyahkan akar budaya. Percepatan perubahan dalam zaman dewasa ini merupakan kekuatan elemental. Terjadinya perubahan ini biasanya akan disusul kemajuan kebudayaan yang meliputi segala aspek kehidupan: politik. sosial, budaya dan ekonoml.
46
Ada asumsi bahwa kemajuan kebudayaan itu terpacu terutama oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi ini komunikasi antar bangsa semakin mudah dan lancar. Komunikasi ini dapat dilakukan melalui televisi, sambungan telepon nasional maupun internasional dan lain sebagainya. Kemudahan sarana komunikasi ini mempercepat proses globalisasi dalam segala aspek kehidupan. Pengertian Globalisasi Informasi Rasanya sulit apabila untuk mendefinisikan atau mencari definisi globalisasi secara pasti. Sering orang memberi gambaran bahwa globalisasi ini menunjuk pada proses terbentuknya keterpaduan yang bulat dari bidang-bidang kehidupan manusia. Bila orang mengartikan globalisasi didasarkan pada bidang ilmu atau disiplin ilmu yang dikuasainya misalnya seorang ahli ekonomi akan rnengartikan globalisasi menurut pandangan ekonomi, ahli politik akan mengartikan globalisasi dari sudut pandang kehidupan politik, seorang yang menekuni kebudayaan akan mengartikan bahwa globalisasi sebagai suatu proses terbentuknya kebudayaan manusia yang didorong oleh kesadaran umat manusia yang saling bergantung satu sama lain dalam setiap aspek kehidupannya (Sujamto, 1993). Agaknya
akan
perkembangan budaya
lebih
jelas
manusia.
apabila Biasanya
melihat
globalisasi
perkembangan
sebagai
budaya
atau
kebudayaan ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini akan menimbulkan perubahan-perubahan dalam kehidupan manusia. Hal ini dimungkinkan karena manusia akan memperoleh kemudahan dalam berhubungan dengan manusia yang lain, sekaligus hubungan dengan manusia yang berlainan negara. Globalisasi diartikan sebagai perkembangan kebudayaan manusia, maka globalisasi informasi dan komunikasi yang muncul karena perkembangan teknologi Informasi, diartikan sebagai teknologi elektronika yang mampu mendukung percepatan dan meningkatkan kualitas informasi serta percepatan arus informasi ini tldak mungkin lagi dibatasi oleh ruang dan waktu (Wahyudi, 1992). Sementara Itu Rogers (2003) mengartikan teknologi informasi adalah perangkat keras bersifat organisatoris dan meneruskan nilai-nilai sosial dengan siapa
individu
atau
khalayak
mengumpulkan,
memproses
mempertukarkan informasi dengan individu atau khalayak lain.
dan
saling
47
Teknologi informasi ini telah membawa perubahan-perubahan dalam proses pengolahan, penyimpanan, distribusi data dan informasi. Data "informasi” telah dapat disimpan dan dikomunikasikan dalam jumlah yang hampir tak terbatas dalam waktu yang relatif cepat (Subrata, 1992). lnformasi itu sendirl dapat diartikan sebagai "isi pemberitahuan/komunikasi,” yang bersumber dari ide-ide, gagasan-gagasan, pendapat atau pemikiran manusia dan yang dapat disajikan dalam bentuk lisan, tercetak, audio maupun audiovisual gerak dengan kelebihan dan kelemahan masing-masing. Informasi ini dapat mempercepat atau memperlambat pengambilan keputusan (Wahyudi, 1992). Globalisasi informasi ini yang ditandai dengan perkembangan teknologi informasi (antara lain televisi, komputer) pada akhir-akhir ini, sadar atau tidak sadar telah banyak menimbulkan dampak positif maupun negatif terhadap tatanan hidup masyarakat. Namun ini semua tergantung pada kemampuan masyarakat dalam memilih, mengolah dan menyerap informasi yang mereka terima. Bersih Desa Kegiatan bersih desa dilakukan oleh banyak desa di Jawa, dengan nama dan cara yang tidak selalu sama. Ada yang menyebutnya sedekah desa karena di dalam acara tersebut diadakan sedekah massal. Ada pula yang menyebut rasulan, karena dalam kendurinya disajikan selamatan rasulan (sega gurih dan lauk ingkung ayam). Ada lagi yang menyebut memetri desa karena dalam kegiatannya dilakukan pembenahan dan pemeliharaan desa, baik mengenai semangat maupun acara kegiatannya. Dari sekian ragam istilah bersih desa, esensinya merupakan fenomena untuk mencari keselamatan hidup. Bersih desa sebagai tradisi budaya juga memuat seni spiritual. Seni spiritual ini, perlu dilihat lebih jauh dari aspek etnografi agar jelas makna dan fungsinya. Jadi, mencermati seni dari sisi budaya bukanlah seni sebagai seni, melainkan seni dalam konteks (Simatupang, 2005). Pendapat ini memberikan gambaran bahwa di balik fenomena tradisi dan seni, memuat konteks etnografi yang menarik diperbincangkan. Hal yang menarik dari fenomena tradisi bersih desa, dapat terkait dengan berbagai hal, antara lain tempat, waktu dan pelaku, dalam rangkaian sebuah prosesi seni budaya. Atas dasar ini dapat dikatakan bahwa dalam seni ada spiritualitas dan dalam tradisi ada seni.
48
Waktu penyelenggaraan bersih desa pun bisa berbeda-beda. Bahkan teks dan tatacara ritual masing-masing wilayah dapat berbeda satu sarna lain. Perbedaan aktivitas budaya semacam ini menurut James (1980) justru menarik dari sisi antropologi. Perbedaan ini juga menarik untuk dianalisis lebih mendalam. Lebih jauh lagi Turner dan Schechner (Murgiyanto, 1998) menjelaskan agar ditekankan antropologi pertunjukan pada "proses" atau "bagaimana" pertunjukan mewujud dalam ruang, waktu, konteks sosial dan budaya masyarakat pendukungnya. Pendapat ini menekankan agar kajian budaya, seni dan ritual mampu mengaitkan dengan pemilik budaya itu. Perbedaan dan kesamaan proses, merupakan aspek penting bagi pemahaman makna dan fungsi seni spiritual. Tiap desa tentu mempunyai waktu pilihan, kegiatan pilihan, sesuai dengan kepentingan dan kebiasaan desa setempat, misalnya (1) bersih desa dijatuhkan pada hari dimulainya pemukiman di desa tersebut, (2) dilaksanakan bersama dengan hari lahir atau mangkatnya cikal bakal desa. Tempat penyelenggaraan bersih desa dan pesta desa mengikuti kebiasaan desa setempat. Ada kegiatan yang merata dilakukan di seluruh lingkungan desa beserta penghuninya, di samping itu juga ada kegiatan yang dipusatkan pada tempat-tempat tertentu, misalnya (1) tradisi puncak dipusatkan di balai desa, (2) pesta desa dipusatkan di lapangan desa setempat, (3) sedekahan massal dilaksanakan di makam leluhur, (4) sesaji dan doa dilakukan di makam atau petilasan cikal bakal desa. Waktu
dan
tempat
penyelenggaraan
bersih
desa
tetap
menjadi
pertimbangan tersendiri. Aspek kesakralan baik hari maupun tempat menjadi pertimbangan penting, karena hari dan tempat akan menentukan keberhasilan selamatan. Apalagi, dalam konteks bersih desa itu masyarakat hendak memanjatkan doa dalam suasana keheningan, sehingga hari dan waktu selalu diarahkan untuk menemukan kesucian. Hal ini senada dengan pemikiran Eliade (Baal, 1988) bahwa religi seseorang (primitif) selalu menuju ke arah hierophanie, dari kata hieros (sud) dan phanein (menunjukan). Jadi hierophanie merupakan sasaran penting penghayat kepercayaan dalam menjalankan bersih desa agar mendapatkan kesucian. Kesucian berarti keabadian yang merupakan tandatanda akan datangnya keselamatan hidup. Tradisi ini memiliki bobot spiritual yang Iuar biasa. Paling tidak, melalui ritual tersebut bersih desa menjadi sebuah wahana antara lain (1) menyatakan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas ketentraman penduduk dan desa,
49
hasil panennya yang memuaskan, (2) memberi penghormatan kepada para Ieluhur dan cikal bakal desa yang telah berjasa merintis pembukaan desa setempat, (3) mengharapkan pengayoman (nyuwun wilujeng) dari Tuhan Yang Maha Esa dan Rasulullah, agar panen mendatang Iebih meningkat dan hidup masyarakat desa lebih sejahtera. Tradisi bersih desa telah mendarah daging, dalam masyarakat Jawa pedesaan, karena hampir setiap wilayah menyelenggarakannya. Format bersih desa dari waktu ke waktu bisa saja berbeda atau berubah, namun esensinya tetap pada pendekatan diri pada Tuhan. Atas dasar ini, bersih desa dapat berusia panjang. Masing-masing wilayah di Jawa memiliki keunikan sendirisendiri dalam melaksanakan bersih desa. Keunikan tradisi bersih desa di wilayah ini, yaitu selalu menggunakan seni pertunjukan ritual berupa wayang kulit. Rangkaian ritual telah ditata menurut laku dan aktivitas spiritual. Di dalamnya terdapat laku mistik kejawen yang kental dengan nilai-nilai mitos. Bersih desa yang dilaksanakan di kawasan pegunungan telah berusia lama, memiliki kesejarahan mitos yang panjang. Tradisi ini juga terdapat mitos-mitos yang diyakini akan membawa berkah apabiIa dihormati melalui bersih desa. Sebaliknya akan mendatangkan bahaya apabiIa masyarakat meninggalkannya. Fenomena ritual tersebut dalam seni pertunjukan spiritual juga selalu digunakan. Ada perasaan takut masyarakat jika bersih desa tidak melaksanakan pertunjukan wayang kulit. ltulah sebabnya, masyarakat selalu berjuang keras agar bersih desa tetap terselenggara meskipun dalam ekonomi yang kurang memungkinkan. Masyarakat selalu menyepakati secara aklamasi ketika diIakukan rencana bersih desa. Hal ini selalu didorong oleh asumsi bahwa dengan cara gotong royong menjalankan bersih desa kelak akan mendapatkan keselamatan hidup. Kondisi ini meneguhkan kembali pendapat Tylor (Coleman, 1998) bahwa inti dari religi adalah kepercayaan pada hal-hal spiritual. Penjelasan ini, mengisyaratkan bahwa nilai-nilai spiritual jauh lebih penting dibanding nilai material dalam bersih desa. Nilai-nilai spiritual tersebut menjadi penggerak batin warga masyarakat untuk selalu mengadakan aktivitas bersih desa. Bersih Desa: Penghayat Kepercayaan dan Budi Luhur Hakikat dari aktivitas bersih desa merupakan penghayat kepercayaan (kebatinan) tidak lain merupakan langkah panembah dan budi luhur. Penekanan kebatinan,
di
kesempurnaan
samping hidup.
panembah Melalui
ritual
adalah bersih
tercapainya desa,
budi
luhur
diharapkan
dan
tercapai
50
kesempumaan hidup dan budi luhur. Oleh karena selamatan bersih desa dilaksanakan dengan cara yang khas, khidmat dan sakral. Penuh dengan lakuIaku mistik, baik yang diwujudkan dalam bentuk sesaji, pertunjukan dan tradisi mistik. Inti dari aktivitas bersih desa adalah pemujaan. Doa-doa terkandung dalam pemujaan, baik yang diwujudkan dalam bentuk mantra maupun seni pertunjukan. Biasanya para penghayat kepercayaan menjadikan bersih desa sebagai tradisi sakral. Tradisi ini mempunyai sasaran pada caos pisungsung, artinya pemberian pengorbanan kepada leluhur. Hubungan antara penghayat kepercayaan dengan leluhur tampak dekat, yakni melalui batin. Kontak batin, akan terjadi pada saat bersih desa dilaksanakan tahap demi tahap. Tradisi demikian dilandasi oleh aktivitas moral yang tinggi yang disebut budi luhur. Budi luhur merupakan perisai hidup penghayat kepercayaan yang dilakukan dengan cara-cara beradab, ketika berhubungan dengan roh leluhur. Apalagi, mereka menganggap bahwa roh di wilayah tersebut ada yang menjadi nenek moyang. Pekerti penghayat pada saat bersih desa, tergolong etika moral Jawa yang Iuhur.
Mereka
menjalankan
aktivitas
mulai
membuat
sesaji,
bertapa,
membersihkan diri, membersihkan kuburan, membuat tarub, doa, seni pertunjukan dan sebagainya didasarkan atas pekerti budi luhur. Konteks ini sejalan dengan pendapat Geertz (1973) bahwa religi merupakan pancaran kesungguhan moral. Bersih desa merupakan bagian khusus religi Jawa. Di dalamnya menuntut kewajiban instrinsik yang kudus. Implikasi dari seluruh hal ini, tidak lain sebagai perwujudan hidup yang berbudaya. Segala pekerti penghayat kepercayaan menjadi sinar batin yang luhur. Pekerti para penghayat kepercayaan demikian, sejalan dengan makna kata bersih desa yang senada dengan mreti desa. Bersih desa, berarti membersihkan desa baik lahir maupun batin. Sedangkan kata merti desa, berasal dari kata merti aslinya dari kata mreti dan bisa juga berasal dari kata dasar preti. Kata preti bisa jadi aslinya dari bahasa Jawa Kuna pitre (metatesis). Pitrekarya dalam karya sastra Jawa Kuno ada kata artinya memiliki hajat memberi pada arwah para leluhur. Penghayat kepercayaan jelas memiliki tradisi menghormati arwah leluhur, dengan jalan ritual, seni spiritual maupun semedi. Seluruh pekerti ini dilaksanakan dengan keyakinan ada kontak batin antara dunia roh dan dunia manusia.
51
Menurut Darusuprapta (1998) mreti desa kemungkinan besar masih berkaitan dengan tata cara memberikan makanan (pengorbanan) kepada roh leluhur sebagai cikal bakal yang menjaga desa majupat maju lima pancer. Arwah tersebut, memang pantas dimintai berkah agar membantu anak cucu. Roh leluhur itu dianggap yang menjadi penjaga (backing) sajawining wangon dan salebeting wangon, artinya di luar pekarangan dan di dalam pekarangan. Hal ini berarti bahwa penghayat kepercayaan mencoba mengaitkan antara dunia (alam seisinya) dengan kosmologi Jawa. Kaum penghayat kepercayaan dalam menghormati roh leluhur dan berupaya manunggal dengan Tuhan, dilakukan secara mistik. Komunikasi batin yang diandalkan pada diri mereka. ltulah sebabnya, dunia kebatinan menjadi fenomena yang amat penting juga dalam bersih desa. Berbagai ritual mistik selalu dilakukan secara individu maupun kolektif. Namun tingkatan masingmasing pada saat melakukannya amat berbeda satu sama lain. Melalui tradisi mistik ini, penghayat kepercayaan melakukan kontak untuk maneges, agar mendapatkan keselamatan hidup baik secara pribadi rnaupun kolektif desanya. Tolstoy dalam James (2003) dalam kaitannya dengan hal tersebut di atas memang tidak salah jika berpendapat bahwa mistik bersifat tak tertandingi, di dalamnya menancap iman. Keimanan menyebabkan seseorang hidup. Laku mistik penuh dengan moral luhur. Tatacara yang dibangun dalam setiap semedi, tidak boleh dengan sembarangan. Tindakan nyata dibangun atas dasar budi luhur. Karenanya, laku mistik pada saat bersih desa, mulai dari penyiapan sesaji, pelaksanaan, sampai usai ritual selalu mengedepankan budi luhur. Setiap penghayat dalam konsep ini kepercayaan akan menerapkan budi luhur melalui doa-doa (donga) Kejawen, pembersihan diri, tapa, semedi dan sebagainya. Seluruh aktivitas dikemas secara mistik sehingga kemanunggalan batin dengan Tuhan selalu menjadi acuan utama. Penghayat kepercayaan dalam proses mistik bersih desa setidaknya akan mengikuti irama liminalitas dan komunitas yang ditawarkan Turner (2005). Liminalitas adalah kondisi threshold people, orang dalam suasana ambang. Hal ini juga terjadi pada saat penghayat menjalani aktivitas ritual, mereka berada pada tahap preparasi (persiapan) menuju "pintu" yang tidak jelas posisinya (betwixt dan between). Pada saat liminalitas terjadi, berarti komunitas ada. Pada waktu proses bersih desa terjadi, baik dalam semedi, pertunjukan wayang, sesaji
52
dan sebagainya terbentuk komunitas. Namun, komunitas tersebut dalam keadaan ambigu. Komunitas itu baru akan rnenjadi jelas, ketika selesai ritual. Penghayat kepercayaan semula merasa was-was jika tidak menjalankan bersih desa, berharap agar mendapat keselamatan. Baru pada saat prosesi berlangsung, suasana penghayatan berada di tengah-tengah, tidak pasti. Mereka semakin jelas eksistensinya setelah prosesi selesai, mendapatkan ketenteraman batin. Jadi tahap-tahap bersih desa yang cukup kompleks tadi, sebenarnya dapat diringkas menjadi tiga, yaitu preparasi, liminal dan reagregasi. Bersih desa merupakan "kawah candradimuka" bagi penghayat kepercayaan untuk menempa diri (batin), baik secara individu maupun kolektif. Menurut Turner (Simatupang, 2005) di tengah "kawah Candradimuka" ada posisi ambang (limen) yang memuat tindakan reflexive (mawas diri). Dengan suasana yang serba tidak jelas ini, komunitas penghayat kepercayaan mengoreksi diri, merenung, agar mencapai pencerahan batin. Mereka akan masuk ke wilayah enlightenment yang luar biasa. Fungsi Sosial Budaya Bersih Desa Bersih desa tetap lestari dan berkembang di tengah masyarakat karena adanya keterkaitan fungsi dan makna dalam suatu sistem sosial-budaya. Keterkaitan itu terletak pada peranan wayang kulit, warga penghayat kepercayaan, pemerintah (Kadus), dalang dan sebagainya yang menjadi bagian dari sistem sosial-budaya masyarakat, yaitu sebagai media tradisi bersih desa. Seluruh komponen tersebut secara struktural fungsional saling bersimbiosis, saling diuntungkan sehingga satu sarna lain sulit terpisahkan. Hal demikian meneguhkan pendapat Radcliffe-Brown (1979) bahwa ritual dan adat istiadat dapat berlangsung terus karena memiliki fungsi sosial. Ritual merupakan pernyataan simbolik yang teratur. Tradisi ini memiliki fungsi sosial yang tetap, apabila dan sejauh mana ritual itu memiliki kesan dalam mengatur, mengekalkan dan menurunkan masyarakat dari generasi satu ke generasi yang lain. Pendapat demikian, memberikan isyarat bahwa bersih desa sebagai bagian budaya spiritual merupakan refleksi simbolik keinginan masyarakat. Simbol keinginan itu memiliki fungsi tertentu bagi kehidupan sosial masyarakat. Dengan begitu maka ritual bersih desa berjalan terus-menerus, didukung oleh seluruh komponen. Dukungan penghayat kepercayaan dan kolektif lain terjadi karena masing-masing dapat mengambil manfaat yang satu sama lain boleh berbeda. Bertumpu pada pendapat Mathew Arnold dalam Story (2003) budaya adalah studi kesempurnaan, tidak harus dalam wujud inward (batin) maupun outward.
53
Budaya merupakan untuk mengetahui yang terbaik dan bermanfaat bagi manusia. Jadi kalau bersih desa tadi sebuah aset budaya spiritual, memiliki makna dan nilai terbaik bagi penghayat kepercayaan, akan berjalan terus. Tradisi bersih desa ini, di samping memiliki makna religi bagi kesejahteraan masyarakat, sebenarnya secara sosial merupakan forum interaktif antar warga masyarakat
yang
pada
gilirannya
akan
membangun
solidaritas
sosial.
Komunikasi sosial budaya ini sudah barang tentu mempunyai dampak positif bagi kelangsungan kehidupan bermasyarakat, terutama dalam menghadapi masalah dunia pertanian. Bahkan, jika bertumpu pada teori Turner (2005) sebenarnya pertunjukan ritual memiliki fungsi hiburan bagi audien. Audien merupakan hal penting dalam sebuah pertunjukan. ltulah sebabnya, bersih desa di samping membangun solidaritas dengan warga penghayat kepercayaan, juga mempererat persaudaraan antar warga desa tetangga. Oleh karena tidak sedikit warga desa lain yang berbondong-bondong, menonton, berjualan dan (maaf) ada yang hadir untuk "berjudi Kluthuk" di dekat arena pentas. Lebih lanjut Turner (2005), juga menyetujui adanya perubahan baik tempat maupun waktu dalam penyelenggaraan ritual. Tempat dilaksanakannya bersih desa telah dipastikan terpusat pada rumah Kepala dusun. Adapun waktu, terutama bulan Sapar jarang bergeser kecuali hari yang biasanya mengambil Malam Rabu. Pemilihan waktu ini didasarkan pada perhitungan Jawa, oleh sesepuh yang sekarang telah tiada. Pemilihan waktu dan tempat selalu dikaitkan dengan pertimbangan budaya dan sosial. Dari sisi budaya, diharapkan menguntungkan sebagai fungsi keselamatan hidup. Dari sisi sosial, masyarakat juga akan mudah hadir pada waktu dan tempat yang telah tertentu. Keterkaitan makna yang dimaksud, bahwa pertunjukan wayang kulit sebagai media tradisi bersih desa memiliki makna simbolis yang diyakini oleh masyarakat memberi berkah atau tuah. Makna dan simbol pada dasarnya merupakan dua unsur yang berbeda namun berkaitan erat saling melengkapi, sehingga dalam masyarakat muncul istilah makna simbolis. Dengan demikian, simbol Iebih merupakan bentuk lahiriah yang mengandung maksud, sedang makna adalah isinya. Dari pengertian ini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa antara simbol dan makna merupakan dua unsur yang berlawanan sekaligus melengkapi. Jika demikian makna dan fungsi wayang kulit, sesaji, tempat, waktu, penonton dan rangkaian lain merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahpisahkan. Menurut Matisse dalam Geertz (1973) tentang seni sebagai sistem
54
budaya tidak dapat semata-mata dipahami sebagai "fine art," seni murni, melainkan perlu dikaitkan dengan yang memiliki dan melingkupi seni itu. Sistem tradisi religius ini melaksanakan, melambangkan dan menyimpulkan konsep-konsep wujud kelakuan (behavioral manifestation) dari religi. Seluruh sistem tradisi ini terdiri dari aneka macam tradisi yang bersifat musiman. Masingmasing tradisi terdiri dari kombinasi dari berbagai unsur tradisi seperti berdoa, bersujud, sesaji, berkorban, makan bersama, menari dan menyanyi, berprosesi, berseni drama suci, berpuasa, bertapa dan bersemadi (Koentjaraningrat,1985). Kedudukan
simbol
atau
tindakan
simbolis
dalam
religi
adalah
relasi
(penghubung) antara komunikasi human-kosmis dan komunikasi religius lahirbatin. Pemahaman simbolis dalam religi pada dasarnya terletak pada sikap manusia ketika sedang menjalankan agama, manusia bersikap pasrah kepada Tuhan, kepada dewa, kepada roh nenek moyang. Manusia menyerahkan diri sarna sekali kepada kekuatan tinggi yang disembahnya. Keterkaitan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa itu diungkapkan melalui simbol-simbol seni wayang kulit sakral yang diyakini oleh kelompok masyarakat dengan harapan permohonannya dapat diterima. Konteks ini menunjukkan, bahwa bersih desa merupakan bentuk religi Jawa yang telah menjadi tradisi besar di kalangan penghayat kepercayaan. Dalam kaitan ini, Geertz (2001) memiliki rumusan tersendiri tentang religi. Menurut dia, religi memiliki empat pengertian, yaitu: (1) sebagai sistem simbol yang berperan, (2) membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, pervasi dan tahan lama di dalam diri manusia dengan cara, (3) merumuskan konsepsi tahanan ·kehidupan yang umum, (4) membungkus konsepsi-konsepsi ini dengan aura faktualitas semacam itu sehingga, (5) suasana hati dan motivasi tampak realistik. Empat rumusan ini cukup mengalir dan berturutan dalam memahami religi. Berpijak dari sini, berarti bersih desa pun memang religi yang bersifat simbolis, dibungkus dengan aroma seni sehingga masyarakat secara kolektif termotivasi untuk menjalankannya. Sebagai bentuk simbolis, maka kehadiran wayang kulit dalam tradisi bersih desa ini mengandung suatu maksud dibalik bentuk atau wujudnya, yaitu ekspresi penghormatan kepada Tuhan maupun roh-roh nenek moyang. Wayang kulit sebagai
simbol
kehidupan
mengandung
nilai-nilai
yang
berharga
bagi
masyarakat Jawa. Dalam hal ini, sikap dan tindakan pada dasarnya mencerminkan perilaku bijaksana. Kebijaksanaan hidup manusia Jawa yang
55
dimaksud merupakan cara ataupun sarana untuk menciptakan kehidupan yang selaras dan harmonis sehingga tercipta kesejahteraan dunia dan akhirat. Dalam hal ini wayang kulit secara simbolis memberi kontribusi pada pembentukan sikap hidup manusia dalam upaya mencapai kehidupan yang selaras dengan lingkungan. Pertunjukan wayang kulit merupakan suatu pesan moral berupa tindakantindakan simbolis yang terpadu dalam sistem pathet, perwatakan tokoh, gending iringan dan cerita yang dibawakan. Tindakan simbolis pertama terlihat dalam pertunjukan wayang kulit oleh orang yang punya hajat. Tindakan simbolis yang kedua ialah pelaksanaan pertunjukan wayang kulit lakon Sri Mulih, termasuk kedudukan dalang. Tindakan dalang sebagai orang yang menguasai jalannya pertunjukan. Ia memberi aba-aba pertama dan menghentikan gending, mengatur dinamika pertunjukan. Makna simbolis pertunjukan wayang kulit lakon Sri Mulih dalam sistem tradisi bersih desa secara antropologis mengandung empat aspek ialah orang yang melakukan dan memimpin tradisi, tempat tradisi, waktu tradisi, bendabenda dan alat-alat tradisi. Dalam tradisi bersih desa, kehadiran dalang mempunyai peranan yang sangat penting, yaitu sebagai perantara hubungan antara manusia dan kekuatan gaib atau dunia supranatural dan penghubung perilaku ritual (Groenendael, 1997). Dalang menguasai jalan cerita yang telah ditetapkan dalam lakon wayang, oleh karenanya interpretasi dalang dalam menangkap setiap peristiwa dan tokohnya harus benar-benar dipahami agar tujuan dari pertunjukan itu tercapai. Hal yang penting untuk diamati ialah laku ritual seorang dalang sebelum melaksanakan tugas mendalang dalam tradisi ritual, ia selalu menjaga kebersihan batinnya dari sifat-sifat kurang baik melalui puasa atau semadi. Keberadaan dalang dalam tradisi bersih desa ini merupakan lambang "hidup" roh atau "jiwa manusia," yaitu hidup yang menghidupi.